Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 65

Jilid 65

Demikianlah, pada saat melihat bahwa Kun Hong bertanding menghadapi Thai Khek Sian sedangkan Beng Kun Cinjin dikeroyok oleh Eng Lan, Lan Lan dan Lin Lin, Wi Liong tidak membuang waktu lagi, terus saja dia menerjang Beng Kun Cinjin dengan sulingnya.

"Celaka...!" seru Beng Kun Cinjin dalam hatinya ketika mengenal Wi Liong.

Pemuda putera Thio Houw dan Kwee Goat ini sudah terang takkan mau mengampuninya. Sakit hati besar harus dilunaskan pada waktu itu juga. Beng Kun Cinjin menjadi nekat, ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan Wi Liong yang juga menyerang dengan hebat saking marahnya melihat musuh besar ini.

Ada pun Thai Khek Sian tidak gentar melihat kedatangan Wi Liong, pemuda murid Thian Te Cu yang pernah dia robohkan itu. Akan tetapi ketika dia melihat Kong Bu dan pasukan pasukan pemerintah, dia segera mengeluarkan seruan kaget.

Ia telah mengundang orang-orang Mongol ke tempatnya untuk membantunya menyergap orang-orang kang-ouw. Bila mana hal ini sudah diketahui oleh pasukan pemerintah, maka kedudukannya menjadi betul-betul berbahaya. Ia bisa didakwa sebagai pemberontak dan pemerintah tentu akan mengirim pasukan-pasukan kuat untuk menghancurkan Pek-go-to. Ini berbahaya bagi keamanan tempat tinggalnya.

Teringat akan ini, dia berseru keras, "Aku tidak ada waktu untuk bermain-main lebih lama lagi!" Dan tubuhnya langsung melesat sambil menghujankan jarum-jarum beracun ke arah Kun Hong.

Pemuda ini kaget sekali, maklum akan kekejian senjata-senjata rahasia ini. Maka ia cepat-cepat memutar pedang untuk melindungi tubuhnya, tidak sempat lagi mengejar. Demikian pula Lin Lin yang segera memutar pedang untuk melindungi dirinya.

Beberapa orang anggota pasukan yang dipimpin Kong Bu, yang belum mengenal Thai Khek Sian, mencoba untuk menghadang dan menyerang kakek mengerikan itu.

"Jangan...!" Kun Hong memperingatkan, akan tetapi terlambat.

Thai Khek Sian telah mengibaskan tangan kanannya. Tampak uap hitam menyambar dan lima orang anggota pasukan roboh dan tewas di saat itu juga terkena uap beracun yang amat dahsyat. Di lain saat, Thai Khek Sian telah lenyap dari situ. Kakek tokoh Mokauw ini memperlihatkan kekejaman dan ketidak setia-kawanannya, membiarkan Beng Kun Cinjin seorang diri terancam kematian!

Teringat akan Beng Kun Cinjin, Kun Hong cepat memutar tubuh hendak ganti menyerang musuh besarnya. Akan tetapi ia terlambat karena pada saat itu suling di tangan Wi Liong dengan tepat telah berhasil menotok ulu hati Beng Kun Cinjin dan pukulan ini sudah tidak ada obatnya lagi. Beng Kun Cinjin melepaskan tasbehnya, terhuyung-huyung memegangi dadanya, terengah-engah bersambat,

"Aku... aku menebus dosa... Kun Hong... anakku... baik-baiklah kau..." Lalu ia pun roboh dan napasnya putus!

Wi Liong mengangkat sulingnya ke atas, memandang ke angkasa raya, bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa kepada arwah ayah bundanya bahwa pada saat itu dia telah berhasil membalas dendam. Akan tetapi tiba-tiba ia melompat dan…

"Traanggg...!"

Sulingnya cepat menangkis pedang di tangan Kun Hong yang dengan beringas hendak menggunakan pedangnya mencacah-cacah tubuh Beng Kun Cinjin.

"Kun Hong, apa kau gila?!" bentak Wi Liong.

Dengan muka beringas, mata merah dan wajah pucat, Kun Hong berkata dengan suara terputus-putus. "Biarkan aku menghancurkan tubuh si keparat ini! Sampai dalam matinya dia menyebut anak kepadaku. Dia sudah merusak hidupku, dia yang membuat aku begini, terperosok ke dalam kejahatan. Dia... dia yang membuat aku semakin tidak berhak hidup, membuat aku menjadi seorang anak penjahat yang menjadi jahat pula! Aku menjadi tidak berharga, dan terutama dialah biang keladinya. Biarkan aku hancurkan mayatnya!"

"Kun Hong, ingat! Betapa pun juga dia adalah ayah kandungmu, darah dagingmu sendiri. Yang jahat adalah perbuatannya, bukan orangnya. Kini dia telah mati, tak perlu diganggu lagi. Manusia baik atau jahat ditentukan oleh perbuatannya sendiri, bukan oleh keturunan. Keturunan penjahat bisa menjadi seorang berguna dan gagah, keturunan orang baik-baik bisa menjadi penjahat."

Kun Hong menjadi sadar oleh kata-kata bersemangat ini. Ia lalu menjatuhkan diri, berlutut karena kedua kakinya terasa lemas. "Sam... sampai mati dia melempar najis kepadaku... mengakui aku sebagai anaknya... ahh, aku orang hina... keturunan rendah..."

"Tidak, Kun Hong. Sikapmu ini saja meyakinkan aku bahwa kau seorang gagah," kata Wi Liong menghibur, akan tetapi Kun Hong tak dapat terhibur oleh kata-kata ini.

Eng Lan melangkah maju, ikut berlutut di samping Kun Hong, meraba pundaknya. Wajah gadis ini amat pucat dan air mata membasahi pipinya. "Kun Hong, aku tidak menganggap kau rendah..."

Dalam dukanya Kun Hong tidak melihat kedatangan Eng Lan. Kini, mendengar suaranya dan merasakan sentuhan tangannya, barulah dia menengok, kaget dan sangsi.

Memang adanya Eng Lan di situ yang membuat ia tadi merasa sengsara, karena ia dapat menduga bahwa gadis kekasihnya itu tentu akan memandangnya rendah. Tak diduganya sama sekali bahwa gadis ini sekarang berlutut di sampingnya, menyentuh pundaknya dan mengeluarkan ucapan seperti itu. Tidak mimpikah dia?

"Kau... Eng Lan... benar-benarkah ucapanmu tadi? Aku hanya seorang rendah, tidak saja keturunan orang jahat, bahkan... bahkan aku pun sudah melukai hatimu... aku melakukan perbuatan-perbuatan tidak patut... sudah selayaknya kau membenciku dan memandang rendah..."

Melalui air matanya, gadis itu menatap wajah Kun Hong. Bagaimana dia bisa membenci pemuda ini yang setiap saat bayangan wajahnya tak pernah meninggalkan ruang hatinya? Bagaimana dia bisa memandang rendah pemuda ini yang selalu meninggalkan kenangan dan kesan indah di dalam hatinya, yang dia kagumi, dia kasihani, dan dia cinta?

Eng Lan tersenyum, dua butir air mata menitik turun sampai ke ujung bibirnya, membuat senyumnya tampak manis mengharukan.

"Aku... aku ampunkan semua itu, Kun Hong. Thio-taihiap berkata benar. Betapa pun juga kakek yang sudah mati itu adalah ayahmu, tak perlu kau menurutkan nafsu hati."



Hampir saja Kun Hong berteriak saking girang dan terharunya. Ia hanya dapat merangkul pundak gadis itu dan air matanya mengalir turun, penuh keharuan.

"Eng Lan... Eng Lan..." hanya demikian terdengar bisikannya.

Wi Liong, Kong Bu, Lan Lan dan Lin Lin memandang penuh keharuan. Kemudian Kong Bu memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mengurus lima orang kawan yang tewas, sedangkan Wi Liong, Lan Lan dan Lin Lin juga cepat menjauhi tempat itu untuk memberi kesempatan kepada Kun Hong dan Eng Lan dalam pertemuan yang mesra mengharukan itu.

Tetapi tidak lama kemudian Kun Hong sudah dapat menguasai hatinya. Ia menarik lengan Eng Lan berdiri, dan untuk sesaat menatap wajah kekasihnya tanpa mengeluarkan kata-kata. Namun di dalam sinar matanya terkandung sumpah bahwa sejak saat itu dia akan merobah diri, menjadi orang baik-haik sesuai dengan harapan Eng Lan.

Dan Eng Lan dapat menangkap sinar mata ini. Dia balas memandang dengan sinar mata penuh harapan, penuh terima kasih, penuh kebahagiaan karena dalam diri Kun Hong dia mendapatkan seorang yang akan menjadi pengganti orang tua, menjadi pengganti guru, menjadi satu-satunya orang yang dia miliki di dunia ini.

Kun Hong teringat akan keadaan di sekitarnya, dengan muka merah ia lalu berbisik. "Aku masih harus menyelesaikan banyak tugas." Eng Lan mengangguk dan Kun Hong cepat-cepat menghampiri Wi Liong.

"Wi Liong, kau tahu, Thai Khek Sian mempunyai rencana yang amal keji terhadap semula tokoh kang-ouw yang dia undang."

Wi Liong mengangguk. "Mengundang orang-orang Mongol?" jawabnya menduga.

"Bukan itu saja, lebih keji dan hebat lagi."

Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang rencana meracuni semua tokoh kang-ouw dengan racun ular Ang-siauw-liong dan sebagai bukti penuturannya, dia memperlihatkan bangkai ular itu yang menjadi obat penawarnya.

"Aku bisa membujuk nona Cheng In dan Ang Hwa untuk memperbaiki jalan hidup mereka dan mencoba untuk memberikan arak itu kepada para undangan orang-orang Mongol itu." Ia menceritakan rencananya yang telah dilakukan oleh dua orang oona itu.

Air muka Wi Liong berubah. Ia telah mengenal baik Cheng In dan Ang Hwa. Kalau tidak ada dua orang nona itu, dahulu ia bisa tewas di tangan Thai Khek Sian. Ia harus berusaha menolong mereka dari ancaman bahaya. Pekerjaan yang mereka lakukan itu benar-benar berbahaya.

"Kalau begitu mari kita susul mereka. Pekerjaan mereka itu terlampau berbahaya. Orang-orang Mongol itu bukanlah musuh-musuh yang mudah dikalahkan," kata Wi Liong.

Kun Hong menyatakan setuju. Wi Liong lalu minta kepada Kong Bu untuk mengajak Eng Lan, Lan Lan, dan Lin Lin agar mengatur semua pasukannya melakukan penjagaan kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Juga dia memesan supaya memberi peringatan kepada orang-orang kang-ouw tentang bahaya yang mengancam mereka kalau bertemu dengan mereka yang hendak mengunjungi Pek-go-to.

Lin Lin cemberut karena tadinya dia hendak turut. Akan tetapi sambil memandang dengan wajah sungguh-sungguh, Wi Liong berkata,

"Pekerjaan ini cukup dilakukan oleh Kun Hong dan aku. Kau amat dibutuhkan di samping kawan-kawan lain, adik Lin. Di antara semua kawan, kaulah yang mempunyai kepandaian paling tinggi. Kalau kau juga ikut pergi, siapa yang dapat diandalkan di sini? Kita bagi-bagi tugas, baikkah itu?"

Lin Lin terpaksa tidak dapat membantah lagi dan dengan cepat pergilah Wi Liong dan Kun Hong berperahu, menuju ke pulau-pulau yang dijadikan markas oleh orang-orang Mongol, menyusul Cheng In dan Ang Hwa.

Wi Liong yang dulunya menjadi lawan Kun Hong, sekarang amat percaya kepada pemuda ini. Untuk memperlihatkan kepercayaannya, ia melolos Cheng-hoa-kiam dan memberikan pedang itu kepada pemuda ini. Tadinya Kun Hong segan dan sungkan menerima, namun Wi Liong memaksa sambil berkata,

"Kau lebih ahli mempergunakan pedang ini dari pada aku yang sudah biasa menggunakan sulingku ini. Kita harus hati-hati karena yang kita hadapi adalah orang-orang pandai, apa lagi Thai Khek Sian.”

Matahari telah naik tinggi ketika dua orang pemuda perkasa ini tiba di pulau yang mereka tuju. Di pinggir pantai telah terlihat perahu orang Mongol dan tiba-tiba Kun Hong berseru heran,

"Bukankah itu perahu Kui-bo Thai-houw?”

Seruannya ini dijawab oleh suara hiruk-pikuk orang-orang berkelahi ketika dengan lincah keduanya melompat ke darat. Cepat mereka berlari ke tengah dan benar saja, di depan tenda-tenda darurat sedang terjadi pertempuran hebat.

Akan tetapi pemandangan pertama yang membuat mereka cepat memburu ke tempat itu adalah menggeletaknya Cheng In dan Ang Hwa! Wi Liong menghampiri Cheng In dan Kun Hong menghampiri Ang Hwa. Dua orang gadis ini terluka parah dan napas mereka tinggal satu-satu. Akan tetapi Ang Hwa tersenyum ketika Kun Hong memangku kepalanya.

"Aku puas... bisa melaksanakan tugas... mati sebagai orang yang telah menebus dosa... perbuatan terakhir... satu-satunya yang baik... dan sekarang mati di pangkuanmu, koko..." Tubuhnya mengejang dan nyawanya melayang.

Kepala Cheng In juga diangkat oleh Wi Liong yang melihat bahwa gadis ini pun sudah tak dapat ditolong pula. Cheng In memandang Wi Liong, lalu berkata terengah-engah,

"Hanya setengahnya bisa kami bujuk... mereka minum dan mati... tetapi kami ketahuan... kemudian dikeroyok... Kun... Kun Hong... selamat tinggal..." Dan gadis ini pun mati dalam pelukan Wi Liong yang ia sangka Kun Hong.

Sesudah merebahkan mayat dua orang gadis itu, Wi Liong dan Kun Hong bangkit berdiri. Mereka melihat sedikitnya ada dua puluh orang Mongol menggeletak berserakan di dalam tenda, tentu mereka yang telah minum arak beracun. Ada tiga puluh orang lagi yang kini bertempur kacau balau mengeroyok empat orang nenek kembar dan empat orang gadis berpakaian merah, pengikut-pengikut Kui-bo Thai-houw yang sudah payah sekali.

Biar pun mereka delapan orang ini sudah merobohkan sepuluh orang lebih, tapi dikeroyok seperti itu mereka menjadi kewalahan juga dan sudah terluka di sana-sini. Thai Khek Sian sendiri sedang bertempur dengan hebatnya melawan Kui-bo Thai-houw. Keduanya sama-sama sakti, sama kuat dan sama-sama mengeluarkan serangan-serangan maut yang keji dan dahsyat sekali.

Memang Kui-bo Thai-houw sengaja datang ke tempat itu setelah dia mendengar dari para
Kedatangan Kuibo Thai-houw ke tempat itu memang ia sengaja setelah ia mendengar dari penyelidiknya bahwa Pek-go-to mendatangkan orang-orang Mongol. Biar pun jahat tetapi Kui-bo Thai-houw bukanlah penghianat dan perbuatan Thai Khek Sian ini mendatangkan kemarahannya.

Sebagai bekas selir kaisar, dia membenci orang-orang Mongol dan dengan dikawani oleh empat orang nenek kembar serta empat orang gadis pakaian merah yang menjadi murid-murid kesayangannya, dia segera berperahu mendatangi pulau itu dan menyerang orang-orang Mongol.. Akan tetapi Thai Khek Sian yang mengkhawatirkan rahasianya bocor tiba-tiba datang pula ke pulau itu sehingga terjadi pertempuran seru dan hebat itu.

Tanpa dikomando lagi Wi Liong dan Kun Hong lantas menyerbu, menyerang orang-orang Mongol. Dalam menghadapi musuh rakyat, tak ada perbedaan lagi antara mereka dengan orang-orang Ban-mo-to.

Empat orang nenek kembar tertawa terkekeh-kekeh girang mendapat bantuan pemuda-pemuda perkasa ini. Mereka mengamuk lebih garang lagi, menjatuhkan beberapa orang dengan sabuk-sabuk mereka. Pedang Cheng-hoa-kiam di tangan Kun Hong mengamuk seperti naga yang haus darah sedangkan suling di tangan Wi Liong tidak kalah hebatnya. Sekali towel dan sekali ketok saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan.

Orang-orang Mongol itu panik. Mayat-mayat mereka bergelimpangan. Sisanya hendak lari tetapi kehabisan jalan, lalu terpaksa bertempur secara nekat.

Tanpa ia sadari, dalam pertempuran ini Wi Liong telah dapat membalas dendam sakit hati orang tuanya, karena di dalam rombongan orang Mongol ini terdapat Hek-mo Sai-ong dan panglima-panglima Mongol lainnya yang dulu ikut pula mengeroyok dan membunuh ayah bundanya, Thio Houw dan Kwee Goat.

Dalam waktu kurang dari dua jam semua orang Mongol terbasmi habis, tak seorang pun terluput dari kematian. Tempat itu menjadi mengerikan dengan mayat bertumpuk-tumpuk. Empat orang gadis pakaian merah pengikut Kui-bo Thai-houw juga ikut tewas, sedangkan empat orang nenek kembar luka-luka. Akan tetapi mereka masih bisa tertawa-tawa puas sambil memuji-muji Wi Liong dan Kun Hong yang merawat luka-luka mereka hingga dua orang pemuda ini menjadi jengah dan juga sebal.

Pertempuran antara Thai Khek Sian dan Kui-bo Thai-houw masih berlangsung seru. Baik Wi Liong mau pun Kun Hong tidak mau mencampuri, hanya menonton saja sambil diam-diam mencatat di dalam hati gerakan-gerakan yang luar biasa lihainya.

Bagi orang-orang yang tingkat ilmu silatnya setinggi mereka, menonton pertempuran yang dilakukan dua orang tokoh puncak ini merupakan penambahan pengalaman dan pelajaran yang tak ternilai harganya. Semua ilmu silat yang selama ini tak pernah dikeluarkan, yang merupakan simpanan dua orang tua sakti itu, sekarang terpaksa mereka keluarkan untuk mengalahkan lawan.

Betapa pun tinggi ilmu kepandaian mereka, namun mereka harus menyerah kepada usia tua. Semangat mereka masih besar, tapi keuletan mereka banyak berkurang karena usia tua membuat jasmani mereka tidak sekuat dulu. Gerakan-gerakan mereka makin lambat dan pada suatu saat ujung tali ikat pinggang Kui-bo Thai-houw melibat jari-jari tangan Thai Khek Sian yang berkuku runcing-runcing itu.

Mungkin baru sekarang inilah sepuluh buah kuku yang terlalu panjang itu bisa terbelit dan tidak dapat dilepaskan lagi. Mereka saling betot dan kedua tangan Thai Khek Sian seperti dibelenggu saja, karena dia tidak dapat melepaskan belitan ujung tali yang. lihai itu.

Terdengar Kui-bo Thai-houw mengeluarkan suara ketawa mengejek, lantas tangan kirinya yang tidak memegang sabuk bergerak menampar. Inilah pukulan maut yang menghantam dada Thai Khek Sian, pukulan yang tak dapat dielakkan lagi. Tepat mengarah ke dada di mana tergantung tengkorak manusia.

"Prakkk...!"

"Celaka...!" seru Kui-bo Thai-houw.

Pada saat dia memukul pecah tengkorak itu berikut dada Thai Khek Sian, tengkorak yang pecah itu lantas melontarkan jarum-jarum hitam yang muncrat bagaikan hujan menyerang tubuhnya tanpa dapat dielakkan lagi. Juga ternyata Thai Khek Sian sudah mengumpulkan tenaga pada dadanya, maka dia tadi menerima pukulan itu mengadu kekuatan lweekang sehingga keduanya mendapat luka hebat di dalam tubuh.

"Ha-ha-ha-ha...!" Thai Khek Sian tertawa bergelak melihat Kui-bo Thaihouw bergulingan di atas tanah.

Akan tetapi suara ketawanya tiba-tiba terhenti, lalu tubuhnya berkelojotan dan nyawanya melayang. Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan tadi terlalu hebat, masih ditambah lagi oleh jarum-jarumnya sendiri yang tadi keluar berhamburan dari dalam tengkorak kemudian memasuki dadanya.

Kui-bo Thai-houw merintih-rintih. Kun Hong yang melihat hal ini menjadi tidak tega, segera berlari menghampiri untuk menolong. Kui-bo Thai-houw tersenyum getir. Ia maklum akan maksud Kun Hong bahwa luka-luka akibat racun dapat ditolong oleh Ngo-heng-giok-cu. Ia menggeleng kepala.

"Tiada guna... iblis itu benar-benar hebat... lukaku di dada... ah... dua kemala di lain saku bajuku... kutinggalkan untukmu, Kun Hong... aduuuhhhh..." Wanita itu menjadi lemas dan meninggal dunia dalam keadaan tenang, tidak berkelojotan seperti Thai Khek Sian.

Empat orang nenek kembar segera menubruk mayat Kui-bo Thai-houw sambil menangis menggerung-gerung. Kemudian mereka mengambil dua buah batu kemala mukjijat dan memberikannya kepada Kun Hong. Tadinya pemuda ini segan menerima.

"Kongcu... terimalah..."

"...Im-yang-giok-cu..."

"...Ngo-heng-giok-cu..."

"...menurut pesan Thai-houw..." kata mereka di antara tangis.

Empat orang nenek kembar ini memang aneh dan lucu, dalam keadaan susah seperti ini masih bicara sambung-menyambung sambil menangis. Akhirnya Kun Hong menerima dan menyimpan dua batu kemala mustika itu.

"Siancai... siancai...!"

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu seorang kakek tinggi kurus yang berpakaian putih dan bermuka pucat kehijauan seperti mayat hidup, sudah berdiri di sana dan mengebut-ngebutkan kebutannya ke kanan kiri sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat sekian banyaknya mayat bertumpuk memenuhi tempat itu.

"Thian Khek Sian menimbulkan bencana hebat...".

Kun Hong dan yang lain-lain terkejut sekali lantas menengok, sedangkan Wi Liong segera menjatuhkan diri berlutut.

"Suhu...”

Kun Hong juga memberi hormat sambil berlutut. "Sian-su..."

Thian Te Cu, kakek itu, tidak berkata apa-apa hanya menggeleng-geleng kepala, tampak sedih sekali melihat sekian banyaknya manusia mati di tempat itu. Tidak lama kemudian datanglah Kwee Sun Tek. Wi Liong memburu dan memeluk pamannya.

"Paman, Beng Kun Cinjin sudah tewas di tanganku."

Kwee Sun Tek tidak terlihat gembira, hanya menarik napas panjang. "Dia mencari celaka sendiri." hanya demikian ucapannya, membuat Wi Liong agak heran mengapa sekarang pamannya itu sudah hampir menyerupai sikap gurunya.

Kemudian barturut-turut muncullah Thai It Cinjin bersama Im-yang Sian-cu. juga ikut pula murid-muridnya, Hui Nio dan Hui Sian, diiringkan oleh Kong Bu dan pasukannya. Muncul pula menyusul ke situ Lin Lin, Lan Lan dan Eng Lan yang tidak mampu menahan hatinya untuk menyusul Wi Liong dan Kun Hong.

Ternyata mereka sudah bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang berdatangan ke situ dan kini orang-orang kang-ouw itu juga ikut pula menyusul ke pulau itu karena penasaran ketika mendengar bahwa Thai Khek Sian hendak menyambut kedatangan mereka dengan keroyokan orang-orang Mongol!

Banyak lagi yang bermunculan di situ. Berturut-turut datang Bhok Lo Cinjin yang mewakili Siauw-lim-pai, juga Kun-lun Lojin atau Pek Mau Sianjin ketua Kun-lun-pai, Hu Lek Sian-su ketua Go-bi-pai, Lam-san Sian-ong si tangan buntung, See-thian Hoat-ong, beserta tokoh-tokoh lain. Bahkan sambil tertawa-tawa muncul pula Phang Ek Kok dan muridnya, Sim hui-kiam Kui Sek pemuda gemuk tampan yang dogol dan jujur!

Semua orang menyatakan syukur bahwa tipu muslihat keji yang direncanakan oleh Thai Khek Sian dan kawan-kawannya telah digagalkan oleh Kun Hong dan Wi Liong, malah-malah Thai Khek Sian pentolan Mo-kauw sendiri tewas dalam pertempurannya melawan iblis wanita Kui-bo Thai-houw yang juga terkenal keji.

Agak tidak enak hati Cin Cin Cu tokoh Go-bi-pai yang dulu menjebak dan menangkap Kun Hong, juga Pek Mau Sianjin ketua Kun-lun melihat Kun Hong dengan muka merah. Ketika mendengar semua orang memuji Kun Hong, tak tertahan lagi Pek Mau Sianjin melangkah maju menghadapi Kun Hong sambil berkata,

"Siancai...! Siapa sangka sekarang kaulah yang sudah berjasa besar membasmi rencana jahat yang membahayakan kami semua. Dulu pinto telah berlaku salah kepadamu, malah nyaris membunuhmu. Orang muda, jika untuk perbuatan yang dulu itu kau menaruh sakit hati, pinto bersedia menebusnya pada hari ini." Tosu tua ini meraba gagang pedangnya sambil menjura.

"Ah, pinto telah keduluan oleh Pek Mau Sianjin. Orang muda, pinto juga masih berhutang padamu dahulu di Kun-lun-san. Kalau sekarang harus membayar, pinto bersedia." Cin Cin Cu melompat maju dan menjura pula.

Muka Kun Hong menjadi merah sekali. Sikap dua orang tosu ini sekaligus mengingatkan ia akan semua penyelewengannya sehingga ia dimusuhi orang-orang gagah dari Kun-lun. Ia cepat-cepat balas menjura penuh hormat kepada dua orang kakek itu sambil berkata,

"Ji-wi toliang harap maafkan dan memberi muka terang kepadaku. Memang kuakui bahwa dahulu aku sudah terperosok ke jalan sesat oleh karena pergaulanku dengan orang-orang yang mendidikku. Peristiwa di Kun-lun dahulu adalah karena kesalahanku sendiri. Masih untung aku tidak binasa oleh pukulan Im-yang-lian-hoan dari totiang karena aku mendapat pertolongan mendiang Liong Thai suhu. Tetapi ji-wi totiang, apakah seorang yang pernah tersesat seperti aku ini tidak boleh mencari jalan benar kembali? Harap ji-wi tidak terlalu mendesakku."

Dua orang tosu ini melangkah mundur dan menjura lagi. "Makin tua pinto menjadi lamur dan tak tahu diri. Maaf, maaf..." kata Pek Mau Sianjin yang terpukul oleh pengakuan Kun Hong yang terus terang itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar