Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 62

Jilid 62

Kun Hong maklum bahwa di balik tawa dan kegembiraan ini sebenarnya Bu-ceng Tok-ong amat berduka. Ia sudah mengenal baik watak bekas suhu-nya ini.

"Tok-ong, apa yang terjadi dengannya? Bagaimana dia bisa sampai begitu?" Pemuda ini melompat dan mengguncang-guncang pundak bekas gurunya.

Bu-ceng Tok-ong menunda minumnya dan memandang bekas muridnya ini dengan mata terbelalak. "Kau ingin membalaskan dendamnya? Ingin menemui pembunuhnya?"

"Di mana dia? Ingin kulihat orangnya!" kata Kun Hong yang merasa benci melihat orang membunuh Tok-sim Sian-Ii secara demikian mengerikan.

"Hah-hah-hah, dia bukan orang."

"Bukan orang?"

Bu-ceng Tok-ong bangkit dari tempat duduknya, memandang kepada pemuda itu dengan mulut tersenyum mengejek akan tetapi wajahnya berseri, lalu berkata. "Mari ikut dengan aku." Ia lalu melompat keluar dan berlari, diikuti oleh Kun Hong.

Kakek itu membawanya ke daerah berbatu, di mana batu-batu gunung menonjol dengan bentuk bermacam-macam, daerah tandus yang hanya ditumbuhi pohon-pohon tua kering dan tetumbuhan yang kurus.

"Kau bantu aku mencari seekor katak yang gemuk," kata Bu-ceng Tok-ong yang segera mencari-cari di bawah tetumbuhan.

Biar pun tidak tahu akan maksud bekas gurunya, namun karena bernafsu hendak melihat apa yang telah membunuh Tok-sim Sian-Ii demikian kejinya, tanpa banyak cakap lagi Kun Hong lalu ikut mencari. Akhirnya mereka mendapatkan seekor katak betina yang gemuk.

Bu-ceng Tok-ong menangkapnya, lalu mengikat katak itu pada perutnya dengan sehelai tali yang sudah ia siapkan. Kemudian ia mengikatkan ujung tali pada sebuah ranting yang panjangnya dua depa. Dengan langkah hati-hati ia lalu menuju ke sebelah lubang di atas gundukan tanah, kemudian menancapkan ranting itu di atas tanah. Katak yang diikatnya tergantung dan bergerak-gerak hendak melepaskan diri dengan sia-sia.

”Kita tunggu di sana," kata Bu-ceng Tok-ong yang mengajak Kun Hong bersembunyi di balik batang pohon. Kun Hong menurut saja dan sekarang timbul dugaan yang membuat hatinya merasa ngeri.

"Ular berbisa?" tanyanya lirih. Bu-ceng Tok-ong tidak menjawab, hanya mengangguk.

Kun Hong mendongkol. "Jangan kau main-main, Tok-ong. Kau yang dijuluki Raja Racun, masa untuk menangkap ular saja harus minta bantuanku!" omelnya.

Memang hal ini amat mencurigakan. Jangankan baru menangkap seekor ular berbisa, biar sekaligus ada sepuluh ekor, orang macam Bu-ceng Tok-ong ini biasanya dengan mudah akan dapat menangkap mereka. Memang itulah pekerjaannya untuk mengumpulkan bisa ular.

Kalau memang benar Tok-sim Sian-li tewas digigit ular, selain hal ini tidak masuk di akal mengingat kelihaian Tok-sim Sian-li, juga mengapa Bu-ceng Tok-ong tidak langsung saja membunuh ular itu dan malah minta bantuannya?

Agaknya Bu-ceng Tok-ong dapat membaca pikirannya. Orang tua itu mengeluarkan suara ketawa perlahan mengejek. "Kau tahu apa? Ular seperti yang akan kau lihat ini sedunia belum tentu ada keduanya. Ketika aku dan Sian-li hendak menangkapnya, baru terkena semburannya saja Sian-li sudah menemui ajalnya. Aku pun hampir saja celaka kalau tidak lekas lari. Terus terang saja aku tidak berani menghadapinya, maka kau yang lebih gesit kumintai tolong untuk menangkapnya agar kita bisa membalas dendam Sian-li."

Kun Hong kaget bukan main. Kepada orang lain, boleh jadi Bu-ceng Tok-ong membohong dan main-main, akan tetapi ucapannya kepadanya tadi dapat dia percaya. Tentu seekor ular berbisa yang hebat sekali!

“Ular apakah itu...?" tanyanya.

"Ssssttt..." Bu-ceng Tok-ong mencegah pemuda itu bicara sambil menunjuk ke depan.

Kun Hong memandang ke arah katak yang dijadikan umpan. Katak itu masih meronta-ronta hendak melepaskan diri dari ikatan. Mendadak katak itu mengeluarkan suara keras dan meronta semakin keras lagi.

Dari dalam lubang di bawah katak yang menjadi umpan pancing itu kelihatan keluar sinar merah ke atas seakan-akan di dalam lubang terdapat api bernyala. Sesudah itu perlahan-lahan keluar uap kemerahan, makin lama semakin tebal dan katak itu pun meronta makin hebat seakan-akan kepanasan.

Tubuh katak itu kemudian meneteskan air, entah peluh entah apa, namun terus menerus meneteskan air yang memasuki lubang. Makin tebal uap merah, makin deras tubuh katak itu meneteskan air hingga akhirnya gerakan katak menjadi lemah sekali dan air pun hanya menetes sedikit. Agaknya tubuh katak itu sudah disedot hampir kering.

Kun Hong hendak mengajukan pertanyaan, tapi kembali Bu-ceng Tok-ong mencegahnya dengan suara, "Sstttt...!"

Terpaksa Kun Hong menahan diri dan kembali memandang. Dari dalam lubang itu keluar sebuah benda merah kecil yang bergerak cepat sekali, tersembul keluar lalu masuk lagi, demikian cepatnya sehingga Kun Hong sukar mengikuti dengan pandang matanya. Benda itu makin lama makin panjang dan tersembullah kepala seekor ular yang bermata merah, berkulit merah kuning, dan ternyata bahwa benda kecil yang bergerak cepat tadi adalah lidahnya yang panjang bercabang.

Ular itu mulai merayap keluar dari lubang dan sekarang barulah kelihatan oleh Kun Hong bahwa ular ini memang berbeda dengan ular-ular lain. Besarnya tidak seberapa, paling-paling sebesar lengan dan panjangnya pun paling banyak tiga kaki, akan tetapi bentuknya aneh sekali. Pada bagian punggung ular itu, dari kepala sampai ke ekor, terdapat duri-duri seperti duri landak!

Bu-ceng Tok-ong menanti sampai ular itu keluar dari lubang dan mulailah ular itu merayap mengelilingi katak sambil menjilat-jilat. Kemudian dia berkata perlahan. "Kau serang ular itu. Jangan dibunuh tetapi harus ditangkap hidup. Awas, jangan kata lagi gigitannya, baru semburannya bisa mematikan. Aku akan menutupi lubangnya sementara kau memancing dia meninggalkan lubang.”

"Baik!" kata Kun Hong yang dalam hatinya merasa heran bagaimana Tok-ong tidak berani menangkap seekor ular sekecil itu. Apakah Bu-ceng Tok-ong kini sudah menjadi seorang pengecut?

Akan tetapi dia segera mendapat bukti akan kebenaran Tok-ong mengenai ular aneh itu. Begitu melihat manusia, ular itu segera mengeluarkan desis tajam sampai menggetarkan jantung, dan tiba-tiba ular itu berdiri di atas ekornya!

Kun Hong pernah melihat ular-ular yang bisa berdiri, akan tetapi hanya setengah tubuhnya saja yang berdiri. Tapi ular ini lain dari pada yang lain, seluruh tubuhnya berdiri, lurus-lurus seperti tonggak, berdiri di atas ekornya dan mukanya menjadi semakin merah. Kemudian ular itu menyemburkan uap berair berwarna merah. Semburan ini hebat, cepat sekali dan dapat mencapai jarak tiga meter!

Kun Hong terkejut dan cepat melompat ke kanan untuk menghindarkan diri dari semburan maut itu. Kembali ular itu menyembur sambil meloncat. Memang aneh kalau disebut ular meloncat, berkaki pun tidak bagaimana bisa meloncat? Caranya meloncat, ketika ular itu berdiri ia melengkungkan tubuh lalu meregang kembali dan tenaga iniah yang membuat ia bisa meloncat sampai hampir dua meter jauhnya!

Untuk kedua kalinya Kun Hong merasa terkejut, tetapi dia masih dapat mengelak dengan mudah. Ia kini sengaja menanti serangan ke tiga, siap untuk menangkap leher ular itu apa bila menyerangnya.

Betul saja, ular itu menyerang lagi dengan sebuah loncatan tinggi dan semburan melebar. Kun Hong mengelak ke kanan dan tangan kirinya menyambar hendak menangkap leher ular itu, namun duri-duri yang berada di belakang leher itu tiba-tiba berdiri dan merupakan jarum-jarum menyambut tangannya.

Kun Hong memiliki kegesitan dan ketajaman mata yang luar biasa, maka ia dapat melihat gerakan ini. Cepat ia menarik kembali tangannya sehingga tidak menjadi korban. Pemuda ini mulai mengerti mengapa ular ini begini lihai.

Tentu mudah saja jika hendak membunuhnya dengan senjata, tapi Tok-ong menghendaki supaya dia menangkapnya hidup-hidup, dan tentu tadinya Tok-sim Sian-li juga berusaha menangkapnya hidup-hidup maka sampai menjadi korban. Dia sendiri yang memiliki ilmu lebih tinggi dari pada Tok-sim Sian-li, sekarang merasa bingung, tak tahu bagaimana dia bisa menangkap ular aneh ini dengan tangan kosong.

Sementara itu, setelah tiga kali gagal menyerang orang, ular itu menjadi gelisah. Agaknya dia pun maklum bahwa sekali ini dia menghadapi lawan tangguh. Agaknya tiga kali sudah cukup baginya, dan dia pun merayap kembali ke lubangnya.

Akan tetapi, pada waktu binatang itu tadi menyerang Kun Hong, Bu-ceng Tok-ong sudah bekerja cepat, menghampiri lubang dan menutupnya dengan sebuah batu besar. Melihat ular itu datang, Tok-ong cepat menjauhi. Ular itu bingung melihat lubangnya tertutup batu, kemudian dia mendesis-desis marah dan berdiri lagi menghadapi Kun Hong.

"Eh, Kun Hong. Apakah kau juga tidak berani dan tidak bisa menangkapnya hidup-hidup?" kata Tok-ong memanaskan hati.

"Binatang macam begini mengapa tidak dibunuh saja?" kata Kun Hong hendak mencabut pedangnya.

"Jangan bunuh! Kalau hanya membunuh, untuk apa aku minta bantuanmu? Aku sendiri juga bisa kalau hanya membunuh, apa sukarnya?"

Panas hati Kun Hong mendengar ini. Ia tidak jadi mencabut pedangnya.

"Apa sih sukarnya menangkap ular?" katanya dan otaknya bekerja. Terang baginya bahwa jika menangkap dengan tangan kosong, andai kata bisa pun amat besar resikonya, salah sedikit saja bisa tewas oleh semburan yang mengandung bisa maut.

Dengan tabah ia menghampiri ular yang berdiri itu. Sekarang binatang itu menjadi marah setelah tidak dapat lari ke dalam lubangnya. Ia mendesis dan tubuhnya mencelat ke arah leher Kun Hong. Pemuda ini kembali mengelak, tetapi sambil melompat ular itu memutar leher dan menyembur!

Inilah serangan hebat yang berbahaya sekali. Kun Hong terpaksa membuang diri karena serangan ini datangnya sangat mendadak. Akan tetapi ujung bajunya yang melambai oleh gerakannya masih terkena semburan dan baju itu menjadi hangus!

Kun Hong terkejut bukan main. Cepat ujung baju itu dia sobek dan buang, maklum bahwa racun yang menempel di situ amat berbahaya. Seketika dia mengeluarkan keringat dingin dan hatinya menjadi makin panas ketika mendengar suara ketawa Bu-ceng Tok-ong yang mengejeknya.

Dia melihat ‘pancing’ tadi dan timbullah akal. Cepat disambarnya ranting yang di sambung tali pengikat katak itu, kemudian ia menghampiri lawannya.

Ular menyerang lagi dan Kun Hong melompat ke kiri sambil menggerakkan pancingnya. Usahanya berhasil baik. Tali pancing berikut katak pada ujungnya itu menyambar ke arah leher dan tepat sekali mengitari kemudian mengikat leher ular yang tentu saja menjadi tak berdaya lagi. Binatang itu meronta-ronta, membelit-belit, akan tetapi tak mungkin dia bisa melepaskan diri.

"Bagus, kau dapat menangkapnya, anak baik!" terdengar Bu-ceng Tok-ong memuji.

Orang ini berlari menghampiri dan dengan sehelai tali lain mengikat ekor ular itu, terus dia gantung ke atas sehingga ular itu tergantung dengan kepala di bawah. Kini dia tidak dapat menyerang lagi karena leher serta ekornya terikat, malah tidak dapat menyembur karena lehernya tercekik erat-erat.

"Tahan dulu dia biar jangan lepas, aku hendak membuat api," kata Bu-ceng Tok-ong yang kegirangan.

Raja Racun ini sambil tertawa-tawa membuat api unggun, kemudian menyediakan sebuah panci dan sambil tertawa bergelak dia memanggang ular itu di atas api. Tentu saja ular itu menggeliat-geliat kepanasan.

"Hah-hah-hah, kau rasakan pembalasanku, ular siluman. Rasakan panasnya api neraka, hah-hah-hah!"

Bu-ceng Tok-ong tidak membakar tubuh ular di dalam api, melainkan memanggangnya di atas api sehingga ular yang kepanasan itu tersiksa bukan main. Binatang itu menggeliat geliat sambil mulutnya terengah-engah, tubuhnya mulai mengeluarkan peluh berminyak. Warna merah menjadi semakin tua dan dari dalam mulutnya keluarlah minyak merah. Bu-ceng Tok-ong cepat-cepat menadahi minyak merah yang bukan lain adalah racun ular itu dengan panci yang sudah dia sediakan.

Kun Hong hanya mengawasi saja dan sekarang tahulah dia mengapa Bu-ceng Tok-ong menghendaki supaya ular itu ditangkap hidup-hidup. Tak lain untuk mengambil racunnya. Memang cara terbaik mengambil seluruh racun ular adalah dengan jalan memanggangnya sampai kepanasan hingga semua racun keluar dari lehernya. Ia tidak peduli akan hal ini, bukan urusannya. Akan tetapi dia merasa heran melihat ular aneh ini dan mengapa pula Tok-sim Sian-li sampai mati oleh binatang ini?

"Ular apakah ini. Tok-ong? Dan kenapa tadi kau tutupi lubangnya?"

“Ular ini adalah rajanya ular-ular kelabang dan belum tentu keluar dari dalam bumi selama puluhan tahun. Aku pernah mendengar namanya, akan tetapi baru sekali ini melihatnya. Namanya tak diketahui orang, akan tetapi dahulu ia disebut Naga Kecil Merah. Kalau tadi ia bisa lari memasuki lubang, jangan harap bisa menangkapnya lagi karena lubangnya itu merupakan terowongan yang tidak ada dasarnya."

Sekarang Tok-ong menyimpan racun ular minyak merah itu karena ular tadi sudah mati, kering tidak mengeluarkan minyak lagi. Bangkai ular yang sudah kering seperti ikan asin ini dia simpan pula.

"Kenapa Tok-sim Sian-li sampai bisa terkena semburannya?"

Bu-ceng Tok-ong menarik napas panjang. "Dia telah kuperingatkan. Dia tahu kehebatan racun ular ini, maka ia begitu bernafsu untuk menangkapnya sehingga ia menjadi korban tanpa dapat kutolong lagi."

"Untuk apa kau mengambil racunnya?" ia bertanya sambil memandang tajam. Tentu ada maksud tertentu Raja Racun ini, kalau tidak, masa sampai mau minta bantuannya?

"Hah-hah-hah. Tadinya aku dan Sianli hendak pergi ke pesta Thai Khek Sian-su. Tanpa membawa barang antaran, mana aku ada muka datang ke sana? Racun Ang-siauw-liong (Naga Kecil Merah) ini merupakan hadiah yang tak ternilai harganya."

"Dan bangkai itu? Untuk apa?”

"Ahh, ini hanya untuk peringatan. Ular ini telah membunuh Sian-li..."

Kun Hong lantas teringat akan maksud perjalanannya. Tok-ong adalah seorang perantau, pikirnya, bukan tak mungkin dia mengetahui tentang Eng Lan.

"Tok-ong. apakah kau melihat nona Pui Eng Lan?" tiba-tiba ia bertanya.

Bu-ceng Tok-ong menengok heran, lalu tertawa. Tidak aneh bila pemuda ini menanyakan seorang wanita. Ia sudah mengenal baik watak bekas muridnya ini, seorang pemuda yang mempunyai banyak kekasih.

"Heh-heh-heh, di mana kau kehilangan kekasihmu ini?" ia menggoda.

"Tok-ong, jangan main-main. Kau melihat dia atau tidak?" bentak Kun Hong.

Bu-ceng Tok-ong heran. Belum pernah ia melihat Kun Hong marah-marah karena digoda tentang diri seorang wanita.

"Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu jika aku tidak tahu siapa itu Pui Eng Lan?"

Kun Hong insyaf akan kekeliruan pertanyaannya. Orang semacam Bu-ceng Tok-ong ini mana bisa mengenal Eng Lan?

“Dia itu murid tunggal Pak-thian Koai-jin. Aku sedang mencarinya."

Bu-ceng Tok-ong masih tersenyum lebar, akan tetapi keningnya dikernyitkan dan matanya bersinar-sinar ganjil. Kun Hong berlaku waspada. Dari pengalamannya ketika hidup dekat bekas gurunya itu ia tahu bahwa kalau Raja Racun ini mengerutkan kening dan matanya bersinar-sinar seperti itu, menandakan bahwa ia sedang mempergunakan pikirannya yang selalu penuh akal-akal licin.

"Ah, dia...? Bukankah dia itu gadis cantik jelita, agak kehitaman akan tetapi manis sekali, membawa pedang, lincah dan tabah?"

Kegembiraan dan harapan besar memenuhi hati Kun Hong, membuat ia lupa akan tanda-tanda pada muka bekas gurunya tadi. "Benar, Tok-ong, benar dia. Apa kau tahu di mana dia?"

"Hah-hah-hah-hah, agaknya kali ini kau betul-betul jatuh cinta. Bukan begitu?"

Maklum akan ketajaman mata bekas gurunya. Kun Hong tidak perlu membohong lagi. Ia mengangguk, wajahnya demikian sungguh-sungguh sehingga Bu-ceng Tok-ong tak berani main-main lagi.

"Aku tahu di mana dia. Baru kemarin aku melihat dia menuju ke Pek-go-to juga,"

"Seorang diri?" tanya Kun Hong. agak heran bagaimana gadis itu berani pergi ke Pek-go-to seorang diri.

"Tadinya seorang diri. Kemudian... sayang sekali..."

Kun Hong melangkah maju lantas menerkam lengan kakek itu. "Kemudian bagaimana? Kenapa sayang? Hayo bilang!"

Bu-ceng Tok-ong meringis. Terkaman tangan itu benar-benar amat kuat dan menyakitkan lengannya. "Kemudian... kemudian dia pergi bersama-sama dengan Beng Kun Cinjin Gan Tui."

Mendengar ini seketika wajah Kun Hong menjadi pucat, kedua kakinya menggetar saking hebatnya ketegangan hatinya. Memang ia tengah mencari-cari Beng Kun Cinjin, ‘ayahnya’ sekaligus musuh besarnya ini. Mendengar adanya Beng Kun Cinjin, tentu saja ia menjadi girang dan ingin segera melakukan pembalasan dendamnya. Akan tetapi dia benar-benar kaget mendengar kekasihnya terjatuh ke dalam tangan musuh besar itu.

"Bagaimana ia bisa bersama dengan... Beng Kun Cinjin?" tanyanya.

"Heh-heh-heh-heh, mana aku mengerti? Aku hanya mendengar Beng Kun Cinjin berkata begini kepada nona itu. Kau calon mantuku, hayo ikut dengan pinceng sambil menunggu datangnya Kun Hong anakku! Nah, demikianlah, lalu mereka pergi bersama."

Pucat lagi wajah Kun Hong. "Jadi kau... kau pun sudah tahu tentang dia dan aku...?"

"Hah-hah, siapa orangnya yang tidak tahu? Tentang kau anak Beng Kun Cinjin, semua orang sudah tahu. Kau hendak menyusul ke sana, Kun Hong? Mari pergi bersamaku."

Kun Hong menyembunyikan getaran hatinya. Ia khawatir sekali akan nasib Eng Lan, akan tetapi juga gembira karena akan berhadapan dengan musuh besarnya. Karena itu tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut Bu-ceng Tok-ong menuju ke Pek-go-to.

Sesudah sampai di pantai, Bu-ceng Tok-ong lalu mendatangi sebuah tempat tersembunyi di pantai laut di mana ternyata sudah disediakan perahu-perahu kecil yang dijaga oleh beberapa orang selir Thai Khek Sian-su. Mereka ini menyambut kedatangan Bu-ceng Tok-ong dan terutama Kun Hong dengan gembira.

Akan tetapi Kun Hong tidak mempedulikan mereka, walau pun di antaranya ada beberapa orang yang dahulu pernah menjadi sahabat baiknya. Bersama Bu-ceng Tok-ong dia lalu mendayung perahu yang dikemudikan oleh si Raja Racun.

"Ehh, kenapa tidak ke Pek-go-to?" tanya Kun Hong ketika melihat bahwa perahu menuju ke pulau lain.

"Sabarlah, aku hendak singgah dulu di pulau gudang makanan. Kau tahu, untuk keperluan para tamunya, Sian-su sudah menyediakan makanan dan minuman di pulau kecil itu dan aku mempunyai tugas di sana. Laginya, sekarang sudah hampir gelap, tidak patut datang malam-malam di Pek-go-to."

Meski pun hatinya tidak puas, akan tetapi pada saat itu Kun Hong tidak mau banyak ribut. Lagi pula diam-diam dia masih menaruh hati curiga terhadap Raja Racun ini dan hendak mengawasi gerak-geriknya.

Perahu kecil itu mendarat di pulau kosong, sebuah di antara tiga pulau kosong yang kecil dan indah. Kedatangan mereka disambut lagi oleh sepasukan gadis penjaga yang sudah mendirikan banyak kemah-kemah darurat di tempat itu.

"Kalian pergilah menghadap Sian-su dan katakan bahwa tugasku sudah berhasil dengan baik," kata Bu-ceng Tok-ong kepada dua belas orang penjaga itu. ”Sekarang ada aku dan Kun Hong di sini, kami yang akan menjaga. Pergilah!"

Dua belas orang wanita itu lalu meninggalkan pulau dengan perahu-perahu kecil mereka yang mewah, meninggalkan Kun Hong berdua. Jelas sekali kelihatan mereka itu kecewa harus pergi meninggalkan Kun Hong, karena tadinya mereka sudah amat gembira ketika melihat datangnya pemuda ini.

Malam ilu Bu-ceng Tok-ong bekerja keras. Sambil tertawa-tawa dia menggodok minyak racun ular kelabang sampai menjadi kental, kemudian dia membawa godokan racun ini ke dalam sebuah tenda tempat menyimpan minuman.

Di tempat itu ada tiga puluh buah guci arak besar. Bu-ceng Tok-ong menuangkan racun ke dalam guci-guci itu kemudian menggunakan sebatang sumpit panjang untuk mengocek agar racun itu bercampur betul.

"He... apa yang kau lakukan ini, Tok-ong?” tanpa sadar Kun Hong menegur, kaget melihat perbuatan ini.

"Ha-ha-ha, kau lihat sendiri. Aku sedang mencampur arak dengan racun Ang-siauw-liong. Ha-ha-ha!"

Kun Hong melangkah maju, sikapnya mengancam. "Apa maksudmu? Katakan Tok-ong, apa maksudmu melakukan ini?" Hampir saja ia menyebut melakukan perbuatan keji, akan tetapi ia menahannya karena maklum bahwa ucapan ini tak sesuai dengan keadaan Tok-ong dan karenanya tentu akan menimbulkan kecurigaan bekas purunya itu.

"Ha-ha-ha, apa kau tidak mengenal watak suhu-mu sendiri, Thai Khek Sian-su? Gurumu itu selain lihai juga amat cerdik. Sekali ini dia hendak menggunakan kepandaianku untuk melenyapkan semua lawan. Ha-ha-ha."

"Apa maksudnya?"

"Apa lagi? Semua tokoh tingkat tinggi dunia kang-ouw telah diundang. Akan datang para bengcu dan ciangbunjin, para ketua partai persilatan dan terutama sekati akan datang pula Thian Te Cu dan Kui-bo Thai-houw. Kalau tidak menggunakan kepandaianku, mana bisa menyuguhkan minuman maut tanpa diketahuli! mereka yang lihai itu? Hah-hah-hah-hah!"

Kun Hong menekan perasaannya dan dengan suaira biasa dia bertanya lagi. "Jadi suhu Thai Khek Sian hendak membunuh para undangan dengan minuman ini? Kedengarannya begitu mudah. Hemm, kiraku tak akan semudah itu mengingat bahwa mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Laginya, mereka tentu menaruh curiga."

"Ha-ha, kau kira gurumu begitu bodoh? Arak campuran ini dikeluarkan sebagai hidangan umum, tidak hanya para undangan yang dianggap musuh, juga kawan sendiri sampai Thai Khek Sian-su ikut pula minum."

Kun Hong mendongkol sekali. Dia tak percaya dan mengira Bu-ceng Tok-ong main-main. "Siapa percaya dengan kebohongan ini? Kau sendiri bilang bahwa racun Ang-siauw-Iiong tidak ada obat penolaknya."

"Memang tidak ada obat penolaknya, kecuali tubuh ular itu sendiri." Bu-ceng Tok-ong lalu mengeluarkan bangkai ular yang sudah kering dari saku bajunya.

Bukan main marah dan kagetnya hati Kun Hong. Dia bukan Kun Hong yang dahulu, yang tentu takkan peduli dengan rencana pembunuhan keji besar-besaran ini, malah akan ikut gembira. Akan tetapi sekarang dia lain lagi. Ia tidak rela untuk membiarkan perbuatan keji ini terjadi, apa lagi jika mengingat bahwa di antara mereka yang hendak dibunuh terdapat Thian Te Cu, Kui-bo Thai-houw, dan lain-lain.

Akan tetapi Kun Hong juga cerdik luar biasa, tidak kalah oleh Bu-ceng Tok-ong. Dia sudah mempelajari segala tipu muslihat licik dari orang-orang semacam Bu-ceng Tok-ong. Rasa benci dan jijik tidak tampak pada mukanya, malah dia segera tersenyum.

"Hebat sekali. Kau benar-benar lihai, Tok-ong, tak malu aku mengaku kau sebagai bekas pendidikku. Memang itulah jalan terbaik untuk melenyapkan orang-orang yang berbahaya bagi kita. Selanjutnya apakah Thai Khek Sian guruku itu hanya mengandalkan racun ini saja? Bagaimana kalau gagal? Ingat, fihak sana tak boleh dipandang ringan. Selain Thian Te Cu dan Kui-bo Thai-houw yang luar biasa lihainya itu, juga masih banyak orang lihai lainnya seperti Thio Wi Liong, Thai It Cinjin. Im-yang Sian-cu serta para ciangbunjin dari partai-partai persilatan besar.”

"Mana bisa gagal? Arak kehormatan dikeluarkan, semua minum baik tamu mau pun tuan rumah. Curiga apa? Mereka akan roboh setengah jam kemudian, tidak kentara. Ha-ha-ha! Takut apa? Kalau gagal sekali pun sudah ada perangkap lain. Gurumu sudah..." Tiba-tiba Bu-ceng Tok-ong menghentikan kata-katanya, berhenti tertawa lantas menatap wajah Kun Hong dengan tajam. "Ehh, Kun Hong. Kau adalah murid terkasih dari Thai Khek Sian-su, mengapa sampai tidak tahu akan rencana gurumu?"

Kun Hong menarik napas panjang, memperlihatkan muka menyesal. "Ini salahku sendiri, Tok-ong. Sudah terlalu lama aku pergi merantau meninggalkan Pek-go-to mengejar-ngejar Wi Liong tanpa hasil. Pesta ulang tahun suhu pun kudengar dari luaran dan sekaranglah saatnya yang baik aku akan dapat membalas kekalahan-kekalahanku dari Wi Liong. Apa rencana yang diatur suhu selain racun ini? Aku akan membantu sekuat tenaga, karena itu aku harus tahu segalanya."

"Kau tahu, kawan-kawan dari utara juga sudah datang berkumpul di dua pulau itu. Jumlah mereka ada lima puluh orang lebih, orang-orang pilihan. Mereka ini akan datang menyerbu bila racun ini gagal. Dengan bantuan lima puluh orang tenaga pilihan dari utara, kita takut apa?"

Diam-diam Kun Hong kaget sekali. Sekarang jelaslah baginya bahwa dengan perantaraan Bu-ceng Tok-ong, Thai Khek Sian telah mengadakan kontak dengan bala tentara Mongol untuk mengadakan pukulan besar-besaran terhadap para tokoh selatan.

Tentu saja fihak Mongol bersedia membantu oleh karena jika sekarang para orang gagah di selatan ini bisa dibasmi, maka kelak tidak ada yang menyulitkan penyerbuan mereka ke selatan. Inilah berbahaya, pikir Kun Hong.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar