Kuda Putih Menghimbau Angin Barat Jilid 03

Bagian ke III

Lie Bun Siu mendusin pada waktu tengah malam, ia mendusin untuk lantas menangis. Rupanya ia bermimpi hebat. Ketika ia membuka matanya, ia kaget hingga ia berteriak. Di atas pembaringannya itu ada berduduk seorang lain. la pun bangun untuk berduduk. Hanya sebentai ia terkejut.

Kee Loojin mengawasi dengan romannya sabar, tangannya pun mengelus-ngelus rambut perlahan sekali.

"Jangan takut, jangan lakui inilah yaya-mu..." kata ia. Ia menyebut dirinya yaya, ia pun dipanggil yaya. Yaya itu kakek. Memang tepat ia menjadi kakek mengingat perbedaan usia mereka berdua.

Bun Siu menangis, air matanya bercucuran deras, ia nelusup di dada aki itu, hinga tangan baju si orang tua basah

"Anak," kata si aki perlahan, "kau sudah tidak punya ayah dan ibu, kau anggaplah aku sebagai kakekmu tulen. Mari kita tinggal bersama, kakekmu sanggup merawati kau..."

Bun Siu mengangguk. "Kenapa semua orang menghina aku? Aku toh tidak berbuat jahat?" ia bertanya, la ingat bagaimana ia dan orang tuanya dimusuhkan orang, ia sendiri pun dibenci dan dianiaya si orang Kazakh yang kasar itu. Ia tahu ia tidak bersalah.

Orang tua itu menghela napas. "Di dalam dunia ini, mereka yang suka menderita justerulah mereka yang belum pernah melakukan kejahatan..." katanya. Ia menuang susu hangatnya, untuk diminum. Ia pun membagi si bocah. Sembari merapikan tempat tidur bocah itu, ia menambahkan pula "Anak Siu, orang Kazakh yang menendangmu itu bernama Suruke, sebenarnya dia seorang baik..."

Bun Siu heran, ia mementang kedua matanya. "Dia... dia orang baik?" ia menegaskan.

"Benar, dia orang baik," si kakek menyahuti, "dia sama baiknya seperti kau. Di dalam satu hari, dia kematian dua orang yang ia paling mencintakannya... Yang satu isterinya, yang lain putera sulungnya... dan mereka semua terbinasa di tangannya rombongan penyamun jahat dan kejam itu. Dia menyangka orang Han orang jahat semua, maka juga didalam bahasanya, dia mengutuk kau sebagai orang Han jahat yang tidak diberkahi Tuhan. Kau jangan membenci dia, dia lagi sakit hatinya, seperti sekarang hatimu pun sakit. Dia sudah berusia lanjut, bisalah dimengerti kalau dia jadi terlebih sakit hatinya..."

Bun Siu mendelong mendengar si orang tua. Sebenarnya dia pun tidak membenci orang Kazakh berewokan itu, hanya dia jeri melihat roman orang yang bengis. Sekarang dia ingat, di matanya orang Kazakh itu pun ada mengembeng air mata. Tentu sekali dia tidak mengerti perkataan yaya-nya, kenapa orang tua itu lebih menderita daripadanya. Sekarang dia berkesan baik terhadap orang tua itu...

Tidak antara lama, dari luar jendela terdengar suara burung, halus dan menggiurkan hati. Suara itu agak jauh tetapi tedas. Ia memasang kupingnya. Ia merasakan suara itu manis. Itulah mirip nyanyiannya seorang nona...

Ia memasang kuping terus. Nyanyian burung itu terdengar jauh, lalu lenyap. Ia menjadi masgul, hingga ia terus berdiam saja Lama ia tidak bersuara, lalu: "Yaya, suara burung itu enak didengarnya," katanya.

"Memang, merdu nyanyiannya burung itu," menyahuti si empee. "Itulah burung nilam malam di padang rumput ini. Orang Kazakh membilang burung itu penitisan seorang nona paling cantik dan yang paling pandai bernyanyi. Katanya dia tidak disukai kekasihnya, dia mati mereras..." Bun Siu heran. "Dia paling cantik, dia juga paling pandai bernyanyi, kenapa dia tidak dicintai?" ia tanya. Ditanya begitu, orang tua itu agak kaget, bahkan air mukanya segera berubah.

"Ya, dia demikian cantik, kenapa dia tidak dicintai?" katanya keras.

Bun Siu kaget, dia mengawasi, matanya mendelong.

Hanya sejenak, si empee menghela napas. Ia jadi sabar pula.

"Di dalam dunia ini, ada banyak sekali hal yang kau tidak mengerti, anak," katanya kemudian.

Kembali Bun Siu mendengar burung tadi bernyanyi, suaranya semakin menggiurkan hatinya, manis tetapi sedih. Ia sampai melupakan sikap aneh dari si orang tua...

Oood~wooO

Demikian Lie Bun Siu tinggal ili rumah Kee Loojin, si orang tua vang hidup menyendiri di wilayah orang Kazakh itu. Ia membantu menanak nasi dan menggembala kambing. Mereka hidup sebagai kakek dan cucu. Hanya kalau malam, suka-suka si nona mendusin dengan kaget, akan mendengar suara si burung malam dari padang rumput itu, yang nyanyiannya mengagumkan dia, yang membuatnya merasa tergiur dan berduka. Kalau dia bermimpi, maka dia memimpikan keindahan wilayah Kanglam di mana dia berada dalam rangkulan ayah atau ibunya...

Musim rontok lewat, musim dingin pun lewat, selama itu, tenteram hidupnya puteri dari Pekma Lie Sam atau Siangkoan Hong, selama itu, ia telah dapat bicara dalam bahasa Kazakh, ia mulai mengerti banyak perihal segala apa di dataran rumput itu.

Pada suatu malam, kembali Nona Lie mendengar nyanyian si burung malam. Jauh suara burung itu, terbawa sang angin, sebentar terdengar, sebentar lenyap Ia bangun untuk mengenakan bajunya, diam-diam ia pergi keluar di mana ia tuntun kudanya, si kuda putih, ia berlaku hati-hati untuk tidak membikin Kee Loojin kaget dan mendusin. Setelah berada jauh dari rumah, baru ia naik atas kudanya, untuk sambil menunggang kuda mengikuti suara burung itu.

Sang malam di dataran rumput, langit rasanya tinggi sekali, warnanya biru, bintang-bintang terang berkilau. Rumput segar dan bunga-bunga menyiarkan bau yang harum.

Suara nyanyian terdengar tegas sekarang, benar-benar menggiurkan. Di dalam hatinya, Bun Siu mengikuti bernyanyi. Ia menjadi girang sekali. Ia lompat turun dari kudanya, membiarkan kuda itu mencari makan, ia sendiri rebah telentang di atas rumput, matanya memandangi langit. Ia terbenam dalam nyanyian sang burung...

Selang sekian lama, burung itu berpindah tempat, suaranya terdengar jauh. Maka si nona merayap bangun, ia bertindak menyusul, mengikuti, hingga sekarang ia menampak romannya burung itu, yang bulunya kuning muda. Burung itu beterbangan di tanah, mematuk sesuatu, lalu terbang, lalu mematuk pula, saban-saban dia bernyanyi...

Mendadak terdengar satu suara keras, serupa barang hitam menyambar kepada burung malam itu. Si nona kaget hingga ia berseru, bercampur seruannya seorang lain. Kalau Bun Siu kaget maka orang itu kegirangan. Dia muncul dari gegombolan pohon. Nyata dialah seorang anak laki-laki Kazakh, yang berseru: "Kena! Kena!"

Dengan baju luarnya, dia menungkrap burung itu, yang kena ditangkap. Burung itu lantas berbunyi berisik sekali, kaget dan ketakutan.

"He, kau bikin apa?" Bun Siu menegur, gusar.

"Aku menangkap burung ini," menjawab orang yang ditegur. "Apakah kau juga menangkap burung?" "Kenapa kau menangkap dia?" Bun Siu menegur pula. "Bukankah lebih baik membiarkan dia merdeka dan bernyanyi?"

"Dengan ditangkap, dia dapat dibuat main," menyahut anak Kazakh itu. Dengan tangan kanannya merogoh ke dalam bajunya, ia memegang burung kuning dan kecil itu, yang sia- sia saja berontak untuk mencoba terbang pergi.

"Kau lepaslah!" kata Bun Siu kemudian. "Lihat, dia harus dikasihani..."

"Di sepanjang jalan aku menyebar gandum, memancing dia makan hingga di sini," kata anak Kazakh itu. "Siapa suruh dia makani gandumku? Haha!"

Bun Siu terbengong. Inilah yang pertama kali ia mengenal perangkap. Burung itu diberi umpan, dia memakannya, dia mengantarkan diri, lalu tertangkap artinya, dia mencari matinya sendiri. Ia masih terlalu muda dan mendapat tahu bunyinya pepatah: "Jin wie cay su, niauw wie sit bong", ialah "Orang mati karena harta, burung mampus karena makanan."

Bocah Kazakh itu membuat main burungnya, hingga burung ini berbunyi tak hentinya.

"Maukah kau kasihkan burung ini padaku?" akhirnya Bun Siu minta. Ia merasa kasihan.

"Habis kau memberikan apa padaku?" tanya si anak Kazakh. Dia minta penggantian atau penukaran.

Bun Siu meraba sakunya, ia tidak mempunyai apa-apa. Ia menjadi berdiam untuk berpikir. Kemudian ia menyahuti: "Besok aku nanti menjahit, membikin kantung, untuk kau pakai..."

"Aku tidak mau diakali. Besok kau menyangkal..." Mukanya si nona menjadi merah. "Aku telah berjanji, tentu aku akan memberikan," ia mengasih kepastian. "Kenapa aku mesti menyangkal?"

"Ah, aku tidak percaya!" bocah ini menggeleng kepala. Tapi di terangnya rembulan, ia melihat gelang kumala, yang bersinar di lengan kiri orang, maka ia menambahkan: "Kecuali kau berikan gelangmu itu!"

Itulah gelang yang Bun Siu il.ipat dari ibunya, kecuali itu, ia udak punya tanda mata apa jua dari ibunya. Berat ia menyerahkan itu, akan tetapi, kalau ia melihat burung itu, ia berkasihan.

"Baiklah, ini aku kasihkan kau," katanya akhirnya. Ia meloloskan gelangnya dan menyerahkannya.

Bocah itu agaknya heran, ia menyambuti.

"Apakah kau tidak bakal memintanya pulang?" ia menegasi. "Tidak!"

"Baik!" Dan ia menyerahkan burungnya.

Dengan kedua tangannya, Bun Siu menyambuti burung itu.

Ketika tangan mereka beradu, si bocah Kazakh merasakan sebuah tangan yang halus dan hangat, hingga ia seperti merasakan guncangnya hati si nona.

Nona itu mengusap-usap sayap burung dengan tiga buah jari tangannya, perlahan-lahan, kemudian ia melepaskan tangannya seraya ia berkata: "Kau pergilah! Lain kali kau mesti berhati-hati supaya orang tidak kena tangkap pula!"

Burung itu terbang, menghilang di gombolan rumput. Si bocah Kazakh heran.

"Kenapa kau lepas burung itu?" ia tanya. "Bukankah kau telah tukar itu dengan gelang kumala?" Dia memegang erat- erat gelangnya, kuatir si nona meminta pulang. "Dia dapat terbang pula," menyahut Bun Siu, "dia bakal bernyanyi kembali! Tidakkah itu senang untuknya?"

Bocah itu heran dan kagum. Ia mengimplang.

"Kau siapa?" ia tanya kemudian. "Aku Lie Bun Siu. Kau sendiri?"

"Aku Supu." Habis menyahuti, dia berjingkrak dan berseru nyaring.

Supu lebih tua dua tahun, tubuhnya jangkung, kalau dia berdiri, nampaknya dia gagah.

"Tenagamu besar, bukankah?" Bun Siu tanya.

Supu tengah kegirangan, pertanyaan si nona membangkitkan keangkuhannya. Dari

pinggangnya, ia menarik keluar sebuah golok pendek. Ia berkata: "Baru bulan yang sudah aku membunuh seekor serigala!"

"Kau begitu kosen?" tanya Bun Siu heran.

Supu jadi bangga sekali. Ia kata pula: "Sebenarnya dua ekor serigala yang datang menyerbu kambing kami. Ayahku kebetulan tidak ada di rumah, jadi aku yang keluar membawa golok mengejarnya. Serigala yang besaran melihat api, dia kabur, aku bunuh yang satunya."

"Jadi kau membunuh yang kecilan?'"

Supu likat, ia mengangguk, tetapi ia menambahkan: "Jikalau serigala yang besar itu tidak kabur, tentu aku bunuh juga padanya!"

Dari suaranya, ia agak ragu-ragu.

Bun Siu percaya keterangan itu. Ia kata: "Serigala yang jahat makan kambing, dia memang harus dibunuh. Kalau nanti kau membunuh serigala pula, maukah kau memanggil aku untuk aku melihatnya?" Supu girang. "Baik! Lain kali aku akan mengeset kulitnya, untuk dihaturkan padamu!"

"Terima kasih!" Bun Siu pun girang. "Nanti aku membikin alas kulit serigala peranti yaya duduk, kepunyaannya telah diberikan padaku."

"Dengan begitu. Aku berikan itu pada kau, itu artinya untukmu sendiri. Kepunyaan yaya-mu kau kembalikan saja."

"Begitu pun baik," si nona mengangguk.

Kedua bocah ini lantas menjadi sahabat satu dengan lain. Erat pergaulan mereka, meski yang satu ada anak Kazakh yang sikap dedaknya kasar, dan yang lain seorang nona Han yang halus.

Lewat beberapa hari, Lie Bun Siu menganggap bocah itu sahabat, buat sebuah kantung kecil, yang ia isikan kembang gula dan menghadiahkannya kepada Supu. Bocah ini heran. Untuknya sudah cukup burungnya ditukar dengan gelang kumala. Karena dia jujur, dia hendak membalas budi. Maka malamnya, satu malam suntuk dia tidak tidur, dia menunggui burung, hasilnya, dia dapat menjebak dua ekor burung nilam. Besoknya pagi, dia serahkan burungnya itu pada sahabatnya.

Melihat perbuatan Supu, Bun Siu menganggap bocah itu salah mengerti, maka dengan banyak kata-kata ia menjelaskan, ia menyukai burung bukan untuk dipiara, ia hanya menyukai kemerdekaannya burung itu, sedang kalau dipiara, burung itu jadi tersiksa. Supu dapat dikasih mengerti tetapi toh ia tetap heran untuk sikap nona, yang ia kata aneh...

Dengan lewatnya banyak hari, mimpinya Bun Siu, mimpi ayah dan ibunya, menjadi berkurang. Itu berarti, basahnya bantalnya karena air matanya pun jadi berkurang |uga. Di lain pihak, pada parasnya lebih sering tertampak senyuman, ia jadi lebih gemar bernyanyi. Demikian, kalau dia dan Supu menggembala kambing, sering lei dengar nyanyian mereka, nyanyian yang mengandung asmara. Sering mereka bernyanyi saling sahutan. Tapi Bun Siu bernyanyi karena kegemarannya, artinya nyanyian belum masuk di olaknya. Ia bahkan heran kenapa muda-mudi gemar bernyanyi berdua-duaan, mereka tertarik satu kepada lain. Ia tidak mengerti kenapa hatinya memukul kalau ia mendengar tindakannya si bocah Kazakh. Tapi yang benar, suara nyanyiannya memang merdu, siapa yang mendengarnya memuji: "Merdu suaranya bocah itu, mirip dengan suaranya si burung nilam dataran rumput..."

Kapan telah datang musim dingin, burung nilam terbang pindah ke Selatan, yang hawanya hangat, akan tetapi di padang rumput itu, ada pengganti suaranya, sebab ada nyanyiannya Bun Siu yang merdu itu:

"Gembala muda yang manis, Aku tanya kau, tahun ini usiamu berapa? Kalau di tengah malam kau bersendirian di gurun, Maukah kau ditemani olehku? "

Biasanya nyanyian berhenti sampai di situ, sesaat kemudian barulah disambungi:

"Ah, kekasihku, jangan gusar. Siapa baik siapa buruk, sukar dibilang, Kalau gurun hendak dijadikan teman. Maka mestilah sepasang orang baik kumpul bersama..."

Supu adalah orang yang paling sering mendengar nyanyian itu. Dia juga tidak memahami artinya nyanyian asmara itu, sampai pada suatu hari di atas salju mereka bersomplokan sama seekor ajag.

Sangat mendadak munculnya binatang alas yang jahat itu. Supu dan Bun Siu tengah duduk berendeng di atas sebuah tanjakan, mata mereka memandang rombongan kambing mereka yang lagi mencari makan di padang rumput. Seperti biasanya, si nona mendongeng, tiga bagian menurut cerita ibunya, tiga bagian menurut cerita Kee Loojin, yang lainnya karangannya sendiri. Supu paling suka mendengar ceritanya Kee Loojin, sebab itu ada mengenai peristiwa-peristiwa hebat. Yang ia paling tidak sukai ialah cerita karangannya si nona sendiri, karena itulah semua cerita kekanak-kanakan. Mendadak Bun Siu menjerit, tubuhnya roboh ke belakang, sebab seekor serigala menerkam dengan tiba-tiba. Binatang jahat itu datang dengan perlahan-lahan dari arah belakang, kedua bocah masing-masing sedang asyik bercerita dan mendengari, mereka tidak mendengar apa-apa sampai terkaman datang. Si nona berkelit, karenanya dia roboh.

Supu kaget. Serigala itu besar sekali. Tapi melihat si nona didalam bahaya, ia menghunus golok pendeknya, terus ia membacok. Binatang itu berkelit, punggungnya tergores kulitnya. Karena itu dia menjadi gusar, sambil mementang mulutnya yang lebar, memperlihatkan giginya yang tajam, dia menubruk bocah itu, dia hendak menggigit muka orang!

Saking kaget, Supu roboh. Ia tentu telah kena digigit kalau tidak Bun Siu lompat maju, untuk menangkap ekor binatang itu, untuk ditarik, hingga si serigala mundur setindak. Tapi binatang ini kuat, dia berontak, dia menerkam pula. Kali ini giginya nempel pada pundak kiri si bocah pria. Dalam kaget dan takut, si nona menarik sekuatnya. Tidak urung, pundak Supu telah mengucurkan darah.

Dalam keadaan seperti itu, Supu melupakan segala apa, ia menikam. Tepat ia menikam perut, di bagian yang berbahaya. Serigala itu berlompat, terus roboh. Supu masih hendak menikam, ketika tubuh binatang itu terus berdiam.

Bun Siu pun jatuh terguling. Ia bertahan, si serigala menarik keras. Meskipun begitu, ia tidak melepaskan cekalannya sampai binatang itu rebah tak berkutik lagi.

"Aku membunuh serigala!" seru Supu kemudian. "Aku membunuh serigala!" Ia lantas mengasih bangun pada si nona, seraya ia berkata: "Lihat, Siu, aku telah bunuh mati seekor serigala!". Ia gembira hingga ia melupakan pundaknya yang borboran darah. "Aku tidak takut sakit!" kata Supu sambil menggeleng kepala, sikapnya gagah.

Sekonyong-konyong terdengar teguran di belakang mereka: "Eh, Pu kau lagi bikin apa?"

Keduanya terkejut, sama-sama mereka berpaling.

Bun Siu melihat seorang yang mukanya berewokan, yang tubuhnya besar bercokol di atas kuda. Supu sendiri segera berkata: "Ayah, lihat! Aku telah bunuh seekor serigala!"

Nampaknya orang itu girang. Ia lompat turun dari kudanya.

Ia memandangi anaknya, Bun Siu dan bangkai serigala. "Kau kena digigit serigala?" ia menanya.

"Ya," si anak mengangguk. "Kita lagi duduk di sini, aku mendengari dia mendongeng mendadak serigala itu muncul dan menerkam dia..."

Si berewokan itu mengawasi pula Bun Siu, mendadak di menegur: "Kau toh si anak perempuan Han yang tidak diberkahi Tuhan?" tegurnya.

Bun Siu terkejut. Ia sekarang mengenali si berewokan ini adalah mang yang telah menendang ia it-lagi ia memeluki mayat ayah dan ibunya. Dialah Suruke yang menurut Kee Loojin, isteri dan anaknya telah dibinasakan penyamun didalam satu malaman. Ia mengangguk, ingin ia mengatakan: "Ayah dan ibuku juga telah dibunuh oleh kawanan penyamun itu..." atau mendadak ia menjadi kaget. Tahu-tahu Supu telah dicambuk ayahnya, hingga mukanya balan, sedang ayah itu berseru: "Aku telah menyuruh kau turun-temurun membenci orang Han, mengapa kau melupai pesanku? Kenapa kau justeru bermain-main sama anak Han ini dan mengadu jiwa untuknya hingga kau mengucurkan darah?" Lalu cambuknya menyambar pula secara membabi buta! Supu berdiam saja, bahkan dia memandang Bun Siu dan bertanya: "Apakah dia si wanita Han yang tidak diberkahi Tuhan?"

"Mustahil bukan?" bentak si ayah, yang tangannya diayun ke samping, maka menjeritlah si nona yang kaget dan kesakitan, sebab cambuk menyambar mukanya!

Justeru itu, Supu roboh, sebab tak tahan ia akan sabatan ayahnya itu. Ia telah terluka diterkam serigala, ia pun dirangket berulang-ulang, selagi ia telah mengeluarkan banyak darah dan lelah, ia pun melihat si nona dicambuk, maka ia sakit, lelah dan menceios hatinya berbareng.

Suruke kaget. Ia lompat kepada anaknya, ia pondong tubuhnya, buat diajak naik ke atas kudanya, kemudian ia kabur dengan mengalak bangkai serigala, maka ketika ia melarikan kudanya itu, bangkai binatang itu terseret-seret pergi. Ia masih menoleh kepada Bun Siu, yang berdiri tercengang, di dalam hatinya ia kata: "Kalau lain kali kau bertemu pula dengan aku, lihat apabila aku tidak menghajar pula padamu!"

Bun Siu tidak takut lagi si berewokan itu, hanya hatinya kosong. Ia merasa bahwa selanjutnya ia bakal tidak bertemu pula sama Supu, kawan satu-satunya dengan siapa ia dapat bermain-main dengan gembira, kawan yang suka mendengari nyanyiannya. Setelah itu, ia merasai mukanya sakit. Tidak lama ia berdiam di situ, dengan tidak keruan rasa ia menggiring kambingnya pulang.

Kee Loojin heran melihat tubuh si nona kecipratan darah dan mukanya balan, bertanda bekas sabatan cambuk.

"Apakah sudah terjadi?" tanyanya lekas.

"Aku terjatuh..." Bun Siu mendusta, suaranya tawar. Orang tua itu tidak mau percaya tetapi setelah ditegasi, si nona tetap sama jawabannya itu, bahkan dia lantas menangis, hingga ia menjadi kewalahan dan bingung.

Malam itu tubuh Bun Siu panas sekali, mukanya menjadi merah, berulangkah dia mengaco: "Serigala! Serigala! Supu! Supu! Tolong! Orang Han yang tidak diberkahi Tuhan!"

Bukan main bingungnya orang tua ini. Maka syukur, mendekati pagi, hawa panasnya si nona berkurang banyak, lantas dia dapat tidur pulas.

Dengan sakitnya ini, satu bulan terus Bun Siu mesti rebah di pembaringan, ketika kemudian ia sembuh, musim dingin sudah lewat, di tanah datar rumput telah mengeluarkan semi baru yang halus...

Lewat beberapa hari, nona Lie merasa tubuhnya sehat betul, maka itu ingin ia pergi menggembala seperti biasa. Ketika ia heran akan mendapatkan ada sehelai kulit serigala terletak di depan pintunya, kulit itu sudah dijadikan alas duduk, lebih heran pula apabila ia periksa, di betulan perut kulit itu ada pecahan bekas tusukan senjata tajam. Ia lantas mengenali itulah serigala yang menerkam ia, yang dibinasakan Supu. Hatinya berdebaran kalau ia ingat Supu tidak menyalahi janji, hanya bocah itu datangnya secara diam-diam. Ia angkat kulit itu, untuk disimpan di dalam kamarnya. Ia tidak mau memberitahukan pada Kee Loojin. Habis itu pergilah ia menggembala kambingnya, di tempat yang biasa.

Sampai magrib, Supu tidak muncul, ada juga kambingnya, yang sekarang diangon oleh seorang muda lain umur tujuh atau delapan belas tahun, la menjadi berpikir.

Mungkinkah lukanya Supu belum sembuh? Kalau begitu, bagaimana dia dapat mengantarkan kulit serigalanya itu? Ingin ia pergi melongok ke tenda kawan itu tetapi ia batal sendirinya kapan ia ingat si berewokan yang bengis. Maka ia sudi bersangsi. Malam itu sampai tengah malam Bun Siu tidak dapat pulas. Akhirnya ia mengambil keputusannya juga. Diam-diam ia pergi ke tendanya Supu, ke sebelah belakangnya. Ia tidak tahu pasti apa perlunya ia menjenguk sahabatnya itu. Untuk hanya menghaturkan terima kasih untuk kulit serigala itu? Untuk menanyakan lukanya bekas digigit serigala? Ia berdiam di belakang tenda, seperti Menyembunyikan diri. Tidak berani ia memanggil-manggil kawannya ini Sampai ia disamperi anjingnya Supu, yang mencium-cium Hibahnya. Anjing itu tidak mengasih dengar suara apa-apa.

Di dalam tenda, lilin dipasang terang-terang. Di situ terdengar suara keras dari Suruke. Kaget Bun Siu, setiap kali mendengar suara orang, hatinya berdenyutan.

Sebab orang Kazakh itu lagi murka.

"Kulit serigalamu kau kasihkan pada perempuan itu?" demikian suara si ayah. "Binatang, kecil-kecil kau sudah mengerti menyerahkan hasil pemburuanmu yang pertama kepada nona kecintaanmu!"

Bun Siu ingat ceritanya Supu hal kebiasaannya bangsa Kazakh, bahwa pemuda bangsa itu paling menghargai hasil pemburuannya yang pertama kali, bahwa itu selalu diberikan kepada kekasihnya, untuk mengutarakan cintanya. Maka mukanya menjadi merah sendirinya. Maka terbangunlah keangkuhannya. Ia, seperti Supu juga, masih terlalu muda, melainkan samar-samar mereka mengenal asmara.

"Bukankah kau memberikannya kepada itu nona Han yang tidak diberkahi Tuhan, itu anak hina-dina?" terdengar pula suaranya Suruke. "Kau tidak mau bicara? Baik! Kau lihat, kau yang tangguh atau cambuk ayahmu!"

Lantas Bun Siu mendengar rangketan beberapa kali, suara cambuk mengenai tubuh.

Seperti kebanyakan orang Kazakh, demikian Suruke. Ia percaya cambuk akan menciptakan  orang bangsanya  yang gagah. Jadi untuk mendidik anak, tidak dapat kelunakan dipakai. Dulu kakeknya telah menghajar dia, maka sekarang dia menghajar anaknya. Itulah pengajaran, itu tidak melenyapkan kasih sayang orang tua pada anaknya. Terhadap sahabat, kepalan dan cambuk yang dipakai. Menghadapi lawan, ialah golok pendek dan pedang panjang.

Hanyalah, mendengar rangketan itu, Bun Siu merasai ialah yang tersiksa itu...

"Kau masih tidak mau menjawab? Kau masih tidak mau menjawab? Baik! Aku merasa pasti kau menyerahkan kulit serigala itu kepada perempuan Han itu! Kau rasai!"

Lalu hujan cambuk, terdengar nyata. Akhir-akhirnya Supu menangis.

Tak dapat ia menahan sakit hanya dengan mengertak gigi saja.

"Sudah, ayah, jangan pukul, jangan pukul," katanya. "Aduh... aduh..."

"Nah, bilanglah, bukankah kau menyerahkan kulit itu pada perempuan Han itu? Ibumu mati di tangan penyamun Han! Kakakmu terbinasa di tangan penyamun Han! Apakah kau tidak ketahui itu? Orang menyebutnya aku orang kosen nomor satu dari bangsa Kazakh tetapi isteri dan anakku dibunuh penyamun bangsa Han! Apakah itu bukannya suatu kehinaan? Sayang hari itu aku justeru tidak ada di rumah! Aku menyesal tidak dapat aku cari penyamun itu untuk membalaskan sakit hatinya ibu dan kakakmu itu!"

Oood~wooO
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar