Kuda Putih Menghimbau Angin Barat Jilid 04

Bagian ke IV

Cambuknya Suruke bukan lagi dipakai untuk mengajar anak hanya guna melampiaskan kebenciannya, dia mencambuk bukan lagi anaknya sendiri hanya musuh, la kata sengit: "Kenapa kawanan anjing itu bukan menempur aku terang- terangan? Kau bilang, bilanglah! Apakah aku tidak sanggup melawan beberapa bangsat anjing Han itu?"

Anak yang dibinasakan rombongan Hok Goan Liong ada anaknya Suruke yang paling disayang, dan isterinya yang terbinasa itu adalah isteri yang mencintainya semenjak mereka masih kecil dan biasa bermain-main bersama, sedang ialah orang Kazakh tergagah, maka itu, bisa dimengerti kemurkaannya itu.

Bun Siu berduka, la merasa sangat kasihan terhadap Supu. Tidak dapat ia mendengar tangisan kawannya itu. Dengan merasa berat, dengan tindakan perlahan, ia berjalan pulang. Ia menarik keluar kulit serigala dari bawah kasurnya, ia memandangi itu sekian lama. Dalam kesunyian itu, ia seperti mendengar samar-samar

tangisannya Supu, meski terpisahnya tenda Supu dan rumah Kee Loojin ada sekira dua lie. Ia seperti mendengar juga cambukannya Suruke, si orang tua berewokan yang romannya bengis itu. la sangat menyukai kulit itu tetapi ia telah mengambil keputusan untuk mengurbankannya.

Oood~wooO

Besoknya pagi Suruke keluar dari tendanya, kedua matanya merah. Segera telinganya mendengar nyanyiannya Cherku, yang sembari bernyanyi mengawasi kepadanya dengan kepala dimiringkan, mukanya tersungging senyuman persahabatan.

Cherku pun seorang Kazakh termasuk jago. Orang tahu dia pandai sekali membikin jinak kuda dan larinya sangat keras, hingga orang mengatakannya, di dalam satu lie, tidak ada kuda pilihan yang dapat menyandak padanya, atau sedikitnya, dia cuma kalah sejarak Indung, sebab hidungnya yang mancung...

Sebenarnya di antara Suruke dan Cherku tidak ada persahabatan erat, bahkan kesan mereka satu dengan lain tidak baik. Inilah sebab kegagahannya Suruke membuatnya Cherku iri. Cherku lebih muda sepuluh tahun, akan tetapi ketika satu kali mereka mengadu golok, pundaknya kena dihampiri goloknya Suruke. Atas itu ia kata: "Sekarang aku kalah, tapi lain kali, lagi lima tahun, atau lagi sepuluh tahun, kita nanti bertanding pula!" Dan Suruke menyahuti: "Lagi dua puluh tahun, kalau kita bertanding pula, tanganku tak ada seenteng kali ini!"

Akan tetapi hari ini, sikapnya Cherku tidak bermusuhan. Hanya kesan buruk dari Suruke belum lenyap, dia balik mengawasi dengan mata mendelik.

Cherku tertawa dan berkata: "Sahabatku Su, anakmu lihai matanya!"

"Kau maksudkan Supu?" Suruke tanya. Dia meraba gagang goloknya, matanya bersinar bengis. Di dalam hatinya ia kata: "Kau hendak menyindir aku karena anakku telah memberikan kulit serigala kepada itu perempuan Han?"

Cherku mau menyahuti: "Kalau bukan Supu, mungkinkah kau mempunyai anak yang lain?" tapi batal, sembari bersenyum ia menjawab: "Memang Supu! Anak itu baik romannya, dia pandai bekerja, aku senang dengannya."

Seorang tua pastilah senang anaknya dipuji orang tetapi ia tak akur dengan Cherku maka Suruke kata: "Apakah kau mengiri? Sayang kau tidak mendapatkan anak laki-laki."

Cherku tidak gusar, dia bahkan tertawa. "Anak perempuanku, si Aman juga tidak ada kecelaannya, kalau tidak, mustahil anakmu penuju kepadanya?" sahutnya.

"Fui, jangan ngaco!" kata Suruke. "Siapa bilang anakku penuju si Aman?"

Cherku mendekati, untuk menarik tangan orang.

"Mari turut aku, aku memberi kau melihat sesuatu!" katanya. Suruke heran, ia mengikuti. Sembari jalan, Cherku kata: "Beberapa hari yang lalu anakmu membunuh seekor serigala itulah hebat! Bukankah dia masih kecil? Maka kalau dia sudah besar, tidakkah dia akan mirip seperti ayahnya? Ayahnya jago, anaknya gagah!"

Suruke berdiam. Ia menduga orang lagi memasang perangkap. Maka ia mau berhati-hati.

Kira-kira satu lie dua orang ini jalan di padang rumput, tibalah mereka di tenda Cherku. Segera Suruke melihat digantungnya sehelai kulit serigala di luar tenda. Segera ia mengenali kulit serigala yang dibunuh anaknya itu. Ia menjadi bingung.

"Aku, aku salah..." pikirnya. "Aku menyalahkan si Pu, aku pun telah menghajarnya, kiranya kulit ini ia menyerahkannya kepada si Aman, bukan kepada itu wanita Han... Anak celaka, kenapa dia tidak mau bicara sebenarnya?

Mungkin kulitnya tipis, dia malu bicara? Ah, kalau ibunya masih ada, ibunya tentu bisa membujuki aku, menasihati aku jangan memukul dia. Memang anak-anak lebih bisa bicara dengan ibunya..."

"Mari minum satu cangkir arak!" berkata Cherku sambil ia menepuk pundak orang, selagi orang ngelamun. "Kau belum pernah datang ke rumahku."

Tenda Cherku terawat baik dan bersih, di sekitarnya digantungi permadani tenunan bulu kambing merah. Seorang nona yang bertubuh langsing menyuguhkan arak. "Aman, inilah ayahnya Supu," kata Cherku tertawa pada si nona. "Kau takut atau tidak? Lihat berewokannya yang menakuti!"

Muka si nona menjadi bertambah dadu, tetapi matanya bersinar. Ia seperti menjawab: "Aku tidak takut..."

Suruke tertawa, ia kata: "Sahabat Cher, orang membilang kau mempunyai seorang anak yang bagaikan bunga yang bisa berjalan di padang rumput kita ini, benar-benar, inilah bunga yang dapat berjalan!"

Setelah seperti saling mendendam belasan tahun, maka dua orang ini sekarang menjadi sebagai sahabat-sahabat kekal, keduanya bicara dan minum dengan gembira sekali. Akhirnya Suruke mabuk keras dan pulang dengan mendekam di atas kudanya.

Selang dua hari, Cherku mengantarkan dua helai permadani kulit kambing yang indah, katanya yang besaran untuk si tua, yang kecilan untuk si muda-artinya, untuk Suruke dan Supu.

Ketika Supu memeriksa sehelai, ia mendapatkan sulaman yang merupakan seorang laki-laki yang tubuhnya besar, dengan sebilah golok panjang, lagi membacok seekor harimau, sedang seekor harimau lain lari sambil menggoyang ekor. Di permadani yang lain, sulamannya ialah halnya seorang bocah menikam mati seekor serigala. Dua-dua orang itu, lua dan muda, sama-sama beroman gagah.

"Bagus!" Suruke memuji kegirangan. "Sulaman yang indah!"

Di wilayah Hweekiang ada sangat sedikit harimau, tapi tahun i lu, entah dari mana datangnya, lelah muncul dua ekor yang menjadi ancaman bencana untuk manusia dan ternak. Ketika itu Suruke sedang gagahnya. Dengan membawa golok panjang, ia memasuki gunung, ia cari binatang alas itu, ia membunuh yang seekor, ia melukai seekor yang lain, yang kabur ke gunung bersalju. Dan menyulamkan perbuatan gagah itu di atas permadaninya

Karena Cherku mengantar permadani itu, ketika ia pulang, ia mabuk arak, ia menggantikan mendekam di atas kudanya, hingga Suruke menyuruh Supu mengantarkannya pulang.

Di dalam tenda Cherku, Supu melihat kulit serigalanya. Ia menjadi heran sekali. Sedang begitu Aman, dengan muka dadu, menghaturkan terima kasih kepadanya. Ia heran tetapi ia tidak berani menanyakan. Ia bicara sama Aman tanpa junterungan. Karena ini besoknya, ia lantas pergi ke tempat di mana ia membunuh serigala. Ia mau cari Lie Bun Siu, untuk minta keterangan, tetapi hari itu si nona tidak muncul.

Besoknya ia pergi pula, tetapi ia tetap menantikan dengan sia-sia. Maka di hari ketiga, dengan memberanikan diri, ia pergi ke rumah Kee Loojin.

Bun Siu membuka pintu, ketika ia melihat anak Kazakh itu, ia kata: "Sejak sekarang ini tidak dapat aku menemui kau pula!" Lalu ia menutup pintunya

Supu melongo, ia pulang dengan pikiran ruwet, ia sangat bingung.

Pemuda ini pulang tanpa ia mengetahui, Bun Siu menangis di belakang pintunya itu. Si nona senang bergaul dengannya tetapi dia takut kepada ayahnya yang galak itu. Dia tahu, kalau mereka bergaul pula, Supu bakal dihajar lagi ayahnya.

Demikian, hari lewat hari, maka kedua bocah itu pun, dengan lewatnya hari-hari itu, menjadi besar, menjadi dewasa. Yang satu cantik manis, yang lain tampan dan gagah. Dan sang burung nilam pun bernyanyi makin merdu, Hanya sekarang, nyanyiannya jarang sekali, nyanyinya pun di tengah malam setelah tidak ada orang lainnya, bernyanyi seorang diri di bukit di mana Supu telah membunuh serigala... Kalau dulu Bun Siu tidak mengerti apa yang ia biasa nyanyikan bersama Supu, sekarang ia mengerti berlebihan. Coba ia masih tidak mengerti, kedukaannya mungkin berkurang. Sekarang lain, sekarang sering ia tidak tidur semalaman...

Pada suatu malam di musim semi, seorang diri Bun Siu naik kuda putihnya pergi ke bukit yang ia kenal itu. Berdiri di atas bukit, ia memandangi tenda-tenda orang-orang Kazakh itu di mana orang tengah menyalakan unggun, di mana mereka itu bergirang bersorak-sorai. Sebab hari itu kebetulan hari besar mereka, yang mereka rayakan bersama di tepi unggun, menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.

"Pasti dia dan ia hari ini bergirang luar biasa," Bun Siu kata di dalam hatinya. Dengan "dia" taklah lain orang kecuali Supu, dan dengan "ia" ialah si nona yang menjadi "bunga yang dapat berjalan..."

Tapi terkaannya Bun Siu salah. Ketika itu Supu dan Aman tidak lagi bergirang hanya hati Supu sedang tegangnya. Dia tengah bergulat bersama seorang muda lain, yang tubuhnya jangkung dan kurus. Itulah adu gulat yang terpenting di harian pesta itu. Siapa yang menang, dia memperoleh tiga buah hadiah, ialah: seekor kuda pilihan, seekor kerbau gemuk, serta sehelai permadani indah.

Supu telah menjatuhkan empat lawannya, sekarang ia lagi menghadapi si jangkung ini, Sangszer. Mereka ada sahabat- sahabat kekal, tapi sekarang mereka mesti mencari keputusan. Sangszer juga telah mengalahkan empat lawan lainnya. Pula Sangszer pun mengharap "si bunga yang dapat berjalan", yang demikian cantik manis, yang pandai menenun dan menyulam. Sangszer tahu Supu dan Aman hidup rukun semenjak masih kecil tetapi ia ingin mendapatkannya juga di tempat umum ini. Ia percaya, kalau ia menang, Aman akan menyukainya. Maka selama tiga tahun, ia rajin berlajar ilmu gulat itu, sedang gurunya ialah Cherku, ayah si Aman... Supu sendiri ada murid ayahnya sendiri.

Gulat Kazakh bukan gulat belaka, kepalan pun dapat dimainkan, juga kaki, untuk menggaet atau merengkas, guna menyengkelit. Maka satu kali, ketika kepala Sangszer kena dihajar, dia roboh terguling. Di lain pihak, tempo Supu digaet, dia roboh juga. Sama-sama mereka bangun pula.

Suruke menyayangi kegagalan anaknya itu, sampai ia merasakan tangannya dingin.

Cherku menyaksikan adu gulat itu dengan pikiran kacau. Ia tahu Aman, anaknya, menyukai Supu, Di lain pihak, Sangszer adalah muridnya yang disayang, ingin ia muridnya itu menang, supaya ia mendapat muka terang. Kesudahan gulat ini pun akan membuatnya si pemenang menjadi "orang kosen nomor satu". Ia menyukai Supu tetapi ia ingin Sangszer yang menang...

Para penonton bersorak untuk para jago muda itu. Supu bertubuh besar dan kuat, tapi Sangszer selain kuat pun lincah. Jadi sukar untuk menerka, siapa bakal keluar sebagai juara

Ramai suara penonton di kedua pihak: "Supu, lekas, lekas!..., ..Saszer, bangun, serang pula!" Masing-masing menganjurkan jagonya. Samar-samar Bun Siu mendengar: "Supu! Supu!" Ia heran mengapa ia hanya mendengar suara untuk Supu itu. Maka akhirnya, ia mengajukan kudanya, mendekati. Ia bersembunyi di belakang sebuah pohon besar. Sekarang ia melihat Supu dan Sangszer lagi berkutat dan para penonton ribut dengan sorak-sorai mereka.

Di antara penonton, Bun Siu melihat Aman. Nona itu tegang hatinya, dia pun sebentar bergirang dan sebentar berkuatir. Terang dia menyukai Supu.

Mendadak orang bersorak ramai, lalu sirap. Supu dan Sangszer bergumul di tanah, hingga tubuh mereka tak tertampak si Nona Lie. Sekian lama orang bersikap tegang. Di akhirnya riuhlah seruan orang banyak: "Supu! Supu!" Lantas terlihat Aman menuntun tangannya si juara.

Bun Siu girang berbareng berduka. Ia putar kudanya, untuk dikasih jalan pulang dengan perlahan-lahan. Tidak ada orang yang melihatnya, atau memperhatikannya. Ia tidak menarik tali les, ia membiarkan si kuda putih jalan sendiri. Ia baru terkejut ketika ia mendapatkan ia berada di ujung padang rumput, atau di permulaan Gobi, gurun pasir.

"Eh, perlu apa kau bawa aku kemari?" katanya kepada kudanya. Tentu sekali ia tidak memperoleh jawaban, hanya di lain pihak ia melihat munculnya dua penunggang kuda, disusul oleh dua yang lain, yang semuanya membawa golok panjang. Mereka itu dandan sebagai orang Han. Ia kaget sekali. Ia lantas ingat pada si penyamun Han.

"Kuda putih! Kuda putih!" begitu ia mendengar beberapa orang itu berteriak-teriak selekasnya mereka itu melihat kudanya, lantas mereka kabur mendatangi. Antaranya ada yang menyerukan: "Berhenti! Berhenti!"

Dalam takutnya, Bun Siu menyerukan kudanya: "Lari!" la mengeprak kuda itu lari ke jalanan kembali. Tapi ia kaget akan melihat, sekarang di depannya pun ada beberapa penunggang kuda lain, begitu pun di lain arah. Ia terpegat di timur, selatan dan utara. Maka ia kabur ke barat, di mana gurun pasir tak berujung pangkal...

Mengenai gurun itu, di antara orang Kazakh ada ceritera atau dongeng, padang pasir ada memedinya, bahwa siapa memasuki gurun, dia bakal tak kembali dengan masih hidup, bahwa sekalipun telah menjadi memedi, si memedi tak akan dapat keluar lagi dari wilayah tandus itu...

Oood~wooO
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar