Kuda Putih Menghimbau Angin Barat Jilid 02

Bagian ke II

Dari magrib itu, badai bekerja terus Seantero malam, besoknya pagi baru reda. Kembali sang gurun menjadi tenang.

Goan Liong beramai merangkak bangun. Syukur mereka tidak menampak kerugian besar. Dua orangnya mati disebabkan napas sesak dan lima ekor kuda menjadi bangkai. Tinggal semua letih dan lemas. Dengan mengimbangi penderitaan mereka, mereka menduga si bocah dan kuda putihnya tentulah, dalam sepuluh, sembilan bagian telah mati menjadi kurban badai itu. Bukankah mereka semua bertubuh tangguh tetapi mereka hampir tak kuat bertahan?

Mereka lantas menyalakan api untuk memasak nasi, guna menangsel perut.

Mereka tidak putus asa. Hok Goan Liong telah menyerukan: "Siapa yang mendapatkan bekas-bekasnya si bocah dan kuda putihnya, dia bakal dapat upah uang emas lima puluh tail!"

Inilah hadiah besar, janji itu disambut dengan tempik sorak. Bagaikan payung yang dibuka lebar, lima puluh lebih orang itu lantas pergi berpencaran, untuk mencari di sekitar gurun itu. Di setiap otak mereka terbentang: "Kuda putih... bocah wanita... lima puluh tail emas..."

Lebih dulu daripada itu mereka telah berjanji, di waktu magrib mereka harus berkumpul di barat enam puluh lie dari tempat bermalam ini.

Liangtauw Coa Tang Yong, si Ular Kepala Dua, dengan seekor kuda pilihan, menuju ke barat daya Ialah piauwsu yang telah berpengalaman belasan tahun, meski dalam ilmu silat ia bukan tergolong kelas satu, ia cerdik sekali, untuk Luliang Samkiat, ialah pembantu yang berharga. Sebentar saja ia telah pergi dua puluh lie lebih, hingga ia mencil sendirian. Setelah itu baru ia merasa jeri juga. Sunyi di sekitarnya. Ia mendaki sebuah bukit pasir, untuk melihat kelilingan. Maka ia girang sekali kapan matanya melihat ke ujung barat daya itu, di sana nampak cahaya hijau dari tujuh atau delapan buah pohon kayu. Heran ia di gurun pasir ada tumbuh-tumbuhan.

"Mungkin di situ tidak ada rumah orang, dengan ada pepohonan, di situ tentu ada air," ia berpikir. "Itulah tempat bagus untuk rombonganku beristirahat."

Maka ia naik pula kudanya, ia kabur ke ujung barat daya itu.

Itulah seperjalanan sepuluh lie lebih. Dari jauh-jauh telah terlihat banyak kerbau dan kambing di daerah pegunungan yang tumbuh pepohonan dan rumput itu. Bahkan di baratnya terdapat banyak sekali tenda gurun, mungkin dua sampai tiga ribu buah. Ia menjadi heran, ia terkejut. Yang ia pernah lihat, paling banyak gundukan tenda dari tiga atau empat puluh buah. Dan ini ribuan. Inilah gundukan suku bangsa gurun pasir paling besar yang ia pernah ketemukan. Dilihat dari macamnya tenda, itu pasti kepunyaan suku Kazakh.

Untuk wilayah Hweekiang, suku Kazakh adalah suku paling gagah. Anak-anaknya, lelaki atau perempuan, semenjak umur enam atau tujuh tahun, sudah belajar menunggang kuda, sesuatunya membawa golok, pandai main panah, alat-alat untuk membela diri dan menyerang. Di antara mereka ada tersebar peribahasa: "Satu orang Kazakh dapat melawan seratus orang. Seratus orang Kazakh dapat malang melintang di Hweekiang."

Tang Yong ketahui peribahasa itu, maka ia kata di dalam hatinya: "Aku berada di wilayah orang Kazakh ini, aku harus berlaku hati-hati." Di timur laut, di kakinya sebuah bukit, ada sebuah rumah mencil sendirian, yang terbuat tembok tanah dan mirip sama rumah-rumah di Tionggoan. Itulah beda sekali dari tenda- tenda orang Kazakh.

"Baiklah aku pergi ke sana, untuk melihat," pikir Liangtauw Coa. Ia menduga-duga apa mungkin itu rumahnya orang Hai. Ia mengeprak kudanya, untuk dikasih lari ke arah rumah itu. Tapi kudanya melihat rumput di sepanjang jalan, dia repot gegares, jalannya menjadi perlahan. Ia menjadi sengit, ia mendupak. Dengan begitu barulah kuda itu lari ke arah rumah kecil itu.

Dengan matanya yang tajam, Tang Yong dapat melihat seekor kuda putih tertambat di belakang rumah, kuda mana tinggi dan besar dan surinya panjang. Ia segera mengenali kudanya Pekma Lie Sam. Tanpa dapat mengendalikan diri, ia berseru sendirinya: "Kuda putih! Kuda putih di sini!" Lantas ia mendapat akal. Maka ia lompat turun dari kudanya. Dari kaos kakinya, ia mencabut goloknya yang pendek dan tajam, ia sembunyikan itu di tangan kirinya, tergubat ujung bajunya. Setelah itu dengan berindap-indap, ia pergi ke belakang rumah itu. la tengah mengintai di jendela ketika mendadak kuda putih itu meringkik, sebagai juga tanda peringatan kepada tuan rumah bahwa ada orang datang...

"Binatang!" Tang Yong mencaci di dalam hatinya. Ia menciutkan diri sebentar ia mengintai pula. Justeru itu ada kepala orang nongol di jendela, hingga hidung mereka hampir beradu. Ia terkejut. Ia menampak sebuah muka yang keriputan, yang matanya bercahaya tajam. Ia lantas lompat bangun. "Siapa?" ia menegur.

"Kau siapa?" balik tanya orang itu, suaranya dingin. "Apa perlunya kau datang kemari?"

Orang itu bicara dalam bahasa Tionghoa. Untuk sejenak, Tang Yong terdiam. Selekasnya ia dapat menenangkan diri, ia lantas bersenyum.

"Aku Tang Yong," sahutnya. "Dengan kebetulan saja aku tiba di sini dan mengganggu lootiang. Bolehkah aku mendapat ketahui lootiang she dan nama apa?"

"Aku she Kee," menyahut orang itu.

"Oh, Kee Lootiang," kata Tang Yong pula. la tertawa. "Aku girang sekali dapat bertemu orang bangsa sendiri di sini. Kalau sudi, aku mohon seceglukan teh."

"Kau ada bersama siapa-siapa lagi?" si orang tua tanya. "Aku bersendirian saja."

"Apakah tuan dari perusahaan piauwkiok?" si orang tua menanya pula.

Tang Yong terkejut. "Tajam matanya orang tua ini," pikirnya. "Di jidatku toh tidak ada mereknya piauwkiokku..." Ia memikir untuk mendusta tetapi sebab si orang tua telah mengatakannya, ia membatalkan itu. Ia menjawab: "Benar. Bagaimana lootiang mengetahuinya?"

"Kebanyakan piauwsu bermacam bangsat," kata si orang tua tawar, sedang matanya yang bersinar dingin menyapu beberapa kali ke muka orang.

Mukanya Tang Yong menjadi merah, tetapi ia berpikir: "Biarlah, akan aku cari tahu dulu tentang dia..." Karena itu, ia hanya menyeringai.

"Kalau mau minum, ambillah jalan pintu depan, jangan merayap di jendela!" berkata pula si empee.

"Ya, ya," sahut si piauwsu, yang terpaksa merendahkan diri. Ia jalan mutar ke depan, untuk terus masuk ke dalam, hingga ia melihat perlengkapan miskin dari rumah itu, hanya semua ada bersih. Setelah duduk, ia mengawasi ke sekitarnya. Tidak lama muncul seorang nona kecil, yang membawa secangkir teh. Ketika sinar mata mereka bentrok, nona itu kaget, cawannya terlepas, jatuh ke tanah hingga pecah hancur!

Bocah itu pun berdiri melongo. Tang Yong lantas mengasih lihat senyumannya. Ia girang bukan main. Inilah bocah yang dicari mereka, untuk siapa Hok Goan Liong menjanjikan upah lima puluh tail uang emas. Dengan melihat kuda putih tadi. ia sudah menduga-duga, sekarang dugaannya itu merupakan kenyataan.

Lie Bun Siu telah dibawa kabur kudanya, hingga dia tak ingat suatu apa. Kuda putih dapat membaui bau rumput dan air, dia kabur menerjang badai, sampai di tempat yang banyak pepohonannya ini. Segera dia bertemu sama orang tua she Kee itu, yang menolonginya.

Tengah malam Bun Siu sadar, ia tidak melihat ayah dan ibunya, lantas ia menangis, hingga Kee Loojin membujukinya. Orang tua itu lantas merasa suka, ia mengasihaninya.

Di dalam usianya itu, Bun Siu belum mengerti banyak. Ditanya ayahnya, ia menyebut Pekma Lie Sam. Ditanya tentang ibunya, ia cuma dapat menyebut "ibu", atau "Sam Niocu", seperti disebut berulang-ulang oleh "orang jahat" yang mengejar mereka. Tentu sekali, ia pun tidak tahu apa perlunya mereka bertiga datang ke wilayah Hweckiang ini.

"Pekma Lie Sam, Pekma Lie Sam..." Kee Loojin menyebut berulang-ulang. "Ya, aku ingat dia... Pada sepuluh tahun yang lampau, dialah bandit haguna yang malang melintang di Kanglam. Kenapa dia datang kemari?"

Orang tua ini mengasih si nona minum susu, ia membujukinya hingga nona itu tidur pulas di pembaringannya. Ia sendiri, sebaliknya, menjadi tidak dapat tidur, la memikiri segala kejadian pada sepuluh tahun yang lampau itu. Besoknya pagi, Bun Siu mendusin dari tidurnya. Segera ia minta si orang tua mengajak ia pergi mencari ayah dan ibunya. Tepat selagi Kee Loojin membujuki, dia mempergoki lagak bangsat dari Liangtauw Coa Tang Yong si Ular Kepala Dua itu.

Dengan jatuh pecahnya cangkir, Kee Loojin muncul dengan segera. Melihat orang tua itu, Bun Siu lari untuk menubruk sambil berkata: "Yaya, yaya, dialah si orang jahat yang mengejar-ngejar aku!..."

Orang tua itu mengusap-usap rambut si anak, sikapnya lembut.

"Jangan takut, jangan takut," membujuknya. "Dia bukan orang jahat..."

"Benar, dia si jahat!" kata nona itu. "Dia bersama puluhan orang lain mengejar ayah dan ibu, mereka menyerangnya..."

Kee Loojin sementara itu berpikir: "Yang satu bandit haguna, yang lainnya piauwsu, tentulah karena urusan piauw, mereka benterok, mereka menyusul sampai di sini... Tidak dapat aku mencampuri urusan mereka itu."

Tang Yong mengawasi si orang tua, yang rambutnya ubanan, tubuhnya bongkok melengkung, tubuh itu besar melebihkan ia. Ia pikir: "Orang tua ini, kalau dia belum berumur seratus tahun, sembilan puluh tentunya ada. Di sini tidak ada lain orang, kalau aku hajar dia pingsan, dapat aku bawah kabur bocah ini serta kuda putihnya. Aku mesti bekerja cepat, supaya tak menanti terjadinya perubahan..."

"Apakah kamu kehilangan piauw?" si orang tua tanya. "Berapa harganya itu?"

"Harganya tidak seberapa, hanya namanya Chin Wie Piauwkiok menjadi runtuh. Syukur jumlah itu telah didapat pulang seluruhnya," sahut orang yang ditanya. Orang tua itu mengangguk. "Chin Wie Piauwkiok?" katanya. "Jadi Luliang Samkiat pun datang semuanya?"

Tang Yong heran. Kenapa orang tua ini ketahui piauwkiok- nya dan ketiga majikannya itu? Bukankah orang ini tua dan wilayah Hweekiang ini jauh dari Tionggoan? Apa benar nama Luliang Samkiat demikian tersohor, sampai di tanah perbatasan? Mungkinkah ini orang tua asal piauwsu juga?

"Ya," ia menyahuti. Terus ia memasang kuping, kakinya pun bertindak ke jendela. "Nah, lihatlah! Bukankah mereka di sana tengah mendatangi?"

Kee Loojin tidak mendengar tindakan kaki kuda, akan tetapi mendengar perkataan Tang Yong itu, ia bertindak ke jendela, untuk melihat. Ia tidak menampak siapa juga di sekitarnya, hanya kerbau dan kambing lagi memakani rumput di tegalan.

"Mana ada orang?" kata ia pada tetamunya seraya ia menoleh.

Justeru itu Tang Yong mengasih dengar tertawanya yang seram, yang disusuli angin serangannya. Sebab tengah si aki melongok keluar, dia membokong.

Orang tua itu bongkok, agaknya dia bercacad, akan tetapi dia berkuping terang, matanya celi, gerakannya sebat. Ketika tinju hampir tiba di kepalanya, ia berkelit, sebelah tangannya diangkat, untuk dipakai menangkis sambil membangkol. Ia nyata menggunai jurus Kimnahoat, "Tangkapan", maka tangan kanan si piauwsu lantas kena dicekal.

Tang Yong terkejut, tetapi kepalang tanggung, ia beraksi terus. Ia mengelit tangan kanannya itu, untuk dilepaskan dari cekalan orang, ia gagal, atas mana, tangan kirinya meluncur. Di tangan kiri ini tersembunyi golok pendeknya, maka golok itu mengasih lihat sinar berkelebat, menyambar ke punggung yang naik tinggi seperti punggung unta dari si empee, tepat kenanya. Lie Bun Siu kaget hingga dia menjerit, lantas dia lompat, untuk dengan kedua tangannya menghajar punggung si piauwsu di betulan pinggang. Selama dua tahun, dia telah mulai belajar silat dari ayah dan ibunya. Hanyalah, dua kepalannya masih kecil, seperti tenaganya pun belum besar.

Kee Loojin juga tidak berdiam saja. Ia menyikut dengan tangan kirinya, mengenai uluhati dari Tang Yong, hingga piauwsu ini menjerit tertahan, tubuhnya membungkuk, terus roboh terkulai di lantai.

"Yaya..." kata si nona, yang kaget dan ngeri melihat golok nancap di punggung si orang tua, "golok di punggungmu itu..."

Kee Loojin berpaling, ia melihat roman si nona. "Anak ini berhati baik," pikirnya.

"Yaya, lukamu..." kata pula Bun Siu. "Nanti aku cabut golok itu..." Ia mengulur tangannya, niat mencabut senjata tajam itu.

"Jangan pedulikan aku!" kata si orang tua. Mendadak dia beroman gusar, suaranya pun keras. Dia memegangi meja, tubuhnya terhuyung. Dengan limbung ia berjalan masuk ke dalam, di sana terdengar suara berisik dari pintu yang ditutup menggabruk.

Bun Siu heran dan takut melihat air mukanya orang tua itu. la pun ngeri melihat Tang Yong rebah melingkar, ia takut orang nanti bangun pula. Bagaimana kalau piauwsu ini bangun dan menerjang padanya? Saking takutnya ia memikir untuk lari ke luar. Tapi, ketika ia ingat si orang tua, yang terluka dan bersendirian saja, ia batalkan niatnya itu. Setelah ragu-ragu sebentar, ia menghampirkan pintu dalam. Ia mengetuk perlahan, beberapa kali, kupingnya dipasang. Tidak ada jawaban. "Yaya," ia memanggil. "Yaya, apakah kau sakit?" Baru sekarang terdengar suara kasar dari dalam: "Pergi!

Pergi! Jangan gerecoki aku!"

Bun Siu heran dan kaget. Suara itu beda sekali daripada semula. Ia lantas berduduk diam di lanah, saking bingung, ia menangis.

Tiba-tiba pintu berbunyi, lalu terbuka. Lantas si nona merasai rambutnya dielus-elus perlahan, kupingnya pun mendengar bujukan halus: "Jangan nangis, jangan nangis. Luka yaya-mu tidak berbahaya..."

Si nona mengangkat kepalanya. Ia melihat si empee bersenyum. Dasar anak kecil, mendadak ia menjadi girang sekali, hingga dari menangis, ia menjadi tertawa.

"Kau menangis, lalu tertawa, apa kau tidak malu?" kata Kee Loojin tertawa juga.

Bun Siu menusupkan kepalanya di dada aki-aki itu untuk sekejap itu, ia merasai kehangatannya orang tuanya

Kee Loojin sendiri mengerutkan kening. Matanya mengawasi ke mayatnya Tang Yong. Hebat sikutnya, yang telah mengenai uluhati orang, hingga piauwsu itu mati seketika. Ia memikir: "Dia dan aku tidak bermusuh hebat, kenapa aku menurunkan tangan jahat terhadapnya?" Ia seperti lupa bahwa justeru ia yang disateroni dan ditikam terlebih dulu.

"Yaya, apa lukamu sudah baik?" kemudian si nona cilik menanya pula. Ia ingat lukanya si aki.

Ketika itu Kee Loojin telah menukar bajunya, entah bagaimana lukanya, tapi ketika ditanya, mendadak ia menjadi gusar kembali. Mungkin ia merasai tikamannya Tang Yong suatu penghinaan untuknya.

"Mau apa kau rewel?" dia membentak. Bun Siu kaget, ia menjadi ketakutan pula. Justeru itu, di luar terdengar suara meringkiknya si kuda putih. Si aki sadar secara tiba-tiba. Maka ia pikir: "Orang- orang Chin Wie Piauwkiok mencari bocah ini, maka itu Tang Yong menurunkan tangan jahat atas diriku." Lalu ia berpikir pula, habis mana dia lantas pergi ke dapur. Di sana ada tahang dengan air berwarna kuning, ialah air sepuhan peranti penggembala kambing memberi warna tanda kepada ternaknya, la bawa itu keluar, ia menuntun si kuda putih, lantas bulu kuda yang bagus itu ia poles kuning, dari kepala sampai di ekornya, hingga menjadi kuning seluruhnya. Kemudian lekas-lekas ia pergi ke tendanya seorang Kazakh, untuk minta seperangkat pakaian bocah laki-laki, dengan itu ia menyuruh Lie Bun Siu menyalin pakaian, hingga si nona menjadi bersalin rupa.. Bun Siu cerdas. "Yaya," katanya, "kau hendak membikin si orang jahat tidak mengenali aku?"

Empee itu mengangguk, terus ia menghela napas.

"Aku sudah tua, kalau tidak, biarnya si jahat besar jumlahnya, aku tidak takut," ujarnya. "Lihat saja barusan, dia toh berhasil membacok aku..."

Bun Siu berdiam. Walaupun si empee yang mulai bicara, ia tidak berani menyambuti.

Habis itu, Kee Loojin bekerja pula, secara kesusu. Ialah ia menggali tanah untuk memendam mayatnya Tang Yong, sedang kuda orang, ia sembelih. Ia menyingkirkan segala apa, yang dapat menjadi tanda. Akhirnya ia duduk bercokol di depan pintu, duduk seraya menggosok sebilah golok panjang...

Tidaklah sia-sia siasat orang tua ini. Sore itu Hok Goan Liong bersama Tan Tat Hian serta rombongannya tiba di tanah datar berumput itu. Mereka melakukan perampasan atas beberapa ratus ekor kerbau dan kambing yang gemuk-gemuk. Orang-orang Kazakh seperti kena dibokong. Wilayah mereka aman, tidak biasanya datang penyamun. Mereka melakukan perlawanan secara sia-sia, kecuali rugi ternak, tujuh orang pria terbinasakan dan lima orang wanita kena diculik.

Rombongan itu juga menyateroni Kee Loojin, hanya mereka tidak menyangka jelek kepada orang tua itu, yang rumahnya buruk. Mereka juga tidak bercuriga terhadap Bun Siu, yang mirip anak Kazakh, yang sembunyi di pojokan rumah, mukanya dekil. Pula tidak ada seorang juga, yang melihat matanya yang tajam. Ia sebaliknya melihat tegas, golok ayahnya tergantung di pinggangnya Tan Tat Hian dan pedang ibunya berada di pinggangnya Hok Goan Liong. Ia mengenali baik senjata orang tuanya itu, yang tak pernah terpisah dari tubuh mereka, maka tahulah ia, pasti ayah dan ibunya telah bercelaka...

Besoknya, orang-orang Kazakh itu dapat menggabung diri, mereka lantas mencari kawanan penyamun, untuk menuntut balas, tetapi rombongan Chin Wie Piauwkiok telah pergi ke mana tahu di gurun yang luas itu. Yang dapat diketemukan ialah mayatnya ke lima wanita bangsanya, yang menggeletak di tempat terbuka dengan tubuh telanjang bulat, keadaannya sangat menyedihkan.

Kemudian mereka menemukan juga mayatnya Lie Sam dan isterinya.

Lie Bun Siu ada bersama, ia menubruk dan memeluki mayat ayah ibunya itu, ia menangis sedih sekali, sekalipun begitu, ia toh dirangket seorang Kazakh, yang terus mendupak padanya sambil mulutnya mengutuk: "Tuhan tidak memberkahi kamu penyamun llan!"

Kee Loojin memondong tubuh bocah itu, ia tidak mau melayani orang Kazakh yang lagi seperti kalap itu. Bun Siu sendiri bersedih dan bingung, hingga ia kata di dalam hatinya: "Kenapa ada begini banyak orang jahat? Kenapa siapa pun menghina aku?..."

Oood~wooO
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar