Kuda Putih Menghimbau Angin Barat Jilid 01

Bagian ke I

Dengan bersuara berketoprakan dalam maka dua ekor kuda telah dikaburkan di antara tanah yang berpasir kuning di gurun dari wilayah Hweekiang, hingga di belakangnya menaik mengutaklah debu tinggi sekira dua tombak. Dua ekor kuda itu kabur bagaikan berkejar-kejaran, karena yang seekor di depan, yang lainnya disebelah belakang.

Kuda yang di sebelah depan itu, yang tinggi, berbulu putih dan tinggi besar badannya. Penunggangnya adalah seorang nyonya muda di dalam tangan siapa ada terangkul seorang nona umur tujuh atau delapan tahun. Kuda yang di belakang, yang berbulu merah marong, penunggangnya adalah seorang pria yang tubuhnya jangkung kurus. Hanya di punggung kiri dia ini ada menancap sebatang anak panah, terus mengeluarkan darah, hingga darahnya itu mengalir ke kudanya, terus menetes jatuh ke pasir, terus meresap ke dalam tanah...

Tidak berani pria itu mencabut anak panah yang mencelakainya itu. Ia jeri. Ia menginsafinya, asal ia mencabutnya, pasti ia bakal roboh dari kudanya itu. Ia tidak takut mati apabila itu perlu, hanya... Siapa nanti mengurus isterinya yang cantik itu, serta anaknya yang manis, yang tengah kabur di sebelah depannya itu? Sedang di belakang mereka ada lagi mengejar musuh-musuh mereka yang telengas...

Kuda merah itu sudah lari beberapa puluh li, hampir habis tenaganya, bekas dicambuki dan didupaki, atau dijepit perutnya, dia sampai susah bernapas, badannya bermandikan keringat, mulutnya mengeluarkan busa putih. Toh dia masih dipaksa lari keras. Maka akhir-akhirnya, kaki depannya lemas dan tertekuk, menyebabkan badannya roboh ngusruk! Si pria mempertahankan diri, ia tidak kurang suatu apa, akan tetapi kudanya itu, setelah meringkik menyayatkan satu kali, rebah tanpa berkutik lagi...

"Engko!..." ia memanggil. "Engko, kau... kau... bagaimana?"

Pria yang dipanggil engko itu mengerutkan kening dan menggelengkan kepala.

Di belakang mereka, jauhnya masih beberapa lie, terlihat debu mengepul tinggi. Itulah tanda dari rombongan si pengejar...

Nyonya muda itu memutar balik kudanya, untuk menghampirkan suaminya. Ia sekarang melihat anak panah di punggung suami itu, melihat darah hidupnya bercucuran. Sang suami hampir pingsan. Ia menjadi sangat kaget.

"Ayah!... ayah!" si anak berkata kaget. "Punggungmu ada anak panahnya..."

"Tidak apa!" berkata si pria, menyeringai, lantas tubuhnya mencelat, berlompat naik ke punggung kuda di belakang isterinya. Dia telah terluka tetapi gerakannya masih gesit dan lincah.

Sang isteri menoleh, mengawasi dengan mata menyayang. "Engko, kau..." katanya halus. Sang engko tidak menyahuti,

hanya kedua kakinya menjepit perut kuda mereka, atas mana si kuda putih berjingkrak dan lari kabur pula.

Kuda ini kuda jempolan, dia telah lari pesat berpuluh-puluh lie, dia masih terus dapat lari keras, hanya kali ini, larinya menjadi berkurang kecepatannya. Semenjak tadi dia belum dapat mengaso sedikit juga, sekarang penunggangnya bertambah, tidak heran apabila sangat sulit untuknya dapat mempertahankan kekuatannya terus menerus, tetapi dia tetap kabur, dia seperti mengerti yang majikannya itu tengah menghadapi ancaman mara bahaya... Di sebelah belakang, rombongan pengejar mendatangi semakin dekat, setindak demi setindak. Sama sekali mereka itu berjumlah enam puluh tiga orang, mereka pun membekal seratus sembilan puluh ekor kuda, dengan begitu setiap ada kuda yang letih, kuda itu lantas ditukar. Benar semua kuda itu sama-sama lari tetapi tanpa penunggangnya, letihnya kurang banyak. Dari caranya mereka itu mengejar, terang sudah, mereka bertekad bulat untuk mendapatkan orang-orang yang dikejar itu, ialah si suami isteri serta anak daranya yang masih kecil itu.

Selagi mengaburkan kudanya, si pria jangkung kurus itu berpaling ke belakang. Ia mengawasi. Dengan datangnya orang semakin dekat, ia bisa melihat kepada mereka itu, makin lama makin tegas.

"Adik Hong, aku hendak mohon sesuatu dari kau!" katanya kemudian. Sebelumnya membuka mulut, ia menggigit dulu kedua giginya erat-erat. "Sudikah kau meluluskannya?..."

Si nyonya muda, sang isteri, menoleh. Ia tertawa manis. "Selama hidup kita bersama, pernahkah sekali jua aku

menampik keinginanmu?" ia balas menanya, suaranya halus.

"Bagus!" berkata suami itu. "Hong, sekarang kau bawa kabur si Siu, anak kita ini. Biarlah dia dapat melindungi darah daging kita berdua! Biarlah dia pun dapat menyelamatkan peta Istana Rahasia Kobu!..."

Isteri itu menyahuti, suaranya bergemetar.

"Engko," katanya, "apa tidak baik peta ini kita serahkan pada mereka dan kita menyerah kalah? Dirimu... dirimu lebih penting..."

Mendadak sang suami mencium pipi kiri isterinya itu. "Hong...," katanya, suaranya lembut, "kita berdua sudah

mengalami banyak sekali bahaya, selamanya kita dapat lolos, maka mungkin kali ini kita bakal lolos juga... Kau harus ketahui, Luliang Samkiat bukan melainkan mengarah peta ini, mereka... mereka juga menghendaki parasmu yang cantik!"

"Justeru karena itu, mungkin aku dapat minta mereka..." "Tapi!" memotong suami itu, "apakah kita menunduki

kepala untuk memohon sesuatu dari lain orang? Kuda ini tidak kuat membawa kita bertiga, maka itu lekaslah kau pergi!..."

Sekonyong-konyong ia mencelat, kedua tangannya dilepaskan, tubuhnya terangkat dari punggung kuda, maka jatuhlah ia ke tanah, terdengar jeritannya: "Aduh!..."

Nyonya itu terkejut. Segera ia menahan kudanya, untuk dikasih balik, guna menghampirkan suaminya. Ia mengulurkan sebelah tangannya, dengan niatan menarik suami itu untuk naik pula atas kudanya. Tapi sang suami menolak, matanya bersorot gusar, dia mengawasi bengis! Adalah biasanya, ia senantiasa menurut kepada suaminya itu, maka juga kali ini, dengan merasa sangat tertindih hatinya, ia memutar pula kudanya, untuk dikasih lari pergi, meninggalkan suami itu bercokol seorang diri di tanah pasir dengan lukanya yang parah itu...

Rombongan pengejar yang terdiri dan enam puluh tiga orang itu melihat orang jatuh dari kudanya dan ditinggal pergi isterinya, mereka itu bersorak-sorai, di antaranya ada yang berteriak-teriak: "Pekma Lie Sam roboh! Pekma Lie Sam roboh!" Mereka lantas terpecah menjadi dua rombongan, yang belasan menghampirkan langsung Pekma Lie Sam itu, yang empat puluh lebih mengejar terus si nyonya dan puteri ciliknya.

Laki-laki itu rebah meringkuk di atas pasir, tubuhnya tidak bergerak, seperti dia telah putus jiwanya.

Salah satu pengejar, yang memegang tombak, sudah lantas menombak pundak orang yang kanan. Mangsa itu tidak bersuara, juga tidak bergerak, dan tempo tombak dicabut, dia tetap berdiam saja. "Dia sudah mampus!" berkata seorang, yang berewokan. Rupanya dialah si pemimpin. "Jangan takut! Geledah tubuhnya! Lekas!"

Dua orang lompat turun dari masing-masing kudanya, guna menghampiri tubuhnya Pekma Lie Sam, si Kuda Putih itu. Dengan lantas mereka membalik tubuh orang, untuk digeledah seperti dititahkan pemimpin mereka.

Sekonyong-konyong saja sebatang golok putih mengkilap berkelebat, terus dua orang itu menjerit tertahan dan roboh terguling. Itulah goloknya Pekma Lie Sam, yang meminta kurban!

Semua orang kaget sekali. Tidak satu di antaranya menyangka, Lie Sam dapat berpura-pura mati demikian sempurna, sampai dia tidak menghiraukan tombakan kepada pundaknya. Dengan sendirinya semua orang mengasih mundur kuda mereka.

Si pemimpin yang berewokan itu memutar goloknya, golok Ganleng to.

"Lie Sam, kau benar-benar tangguh!" serunya. Lantas goloknya menyambar, ke arah kepala orang.

Lie Sam menangkis. Tapi ia telah terluka, tenaganya berkurang banyak, ketika ia mundur hingga tiga tindak, ia lantas muntah darah. Justeru itu, semua musuhnya merangsak, semua menurunkan senjatanya masing-masing.

Benar-benar Lie Sam tangguh, dia gagah sekali, dia melakukan perlawanan. Masih dua orang kena dirobohkan, setelah mana, arwahnya berangkat pulang ke alam baka, tubuhnya terlukakan tidak keruan...

Si nyonya muda belum lari jauh, maka itu ia telah mendengar seman nyaring dari suaminya itu, hatinya bagaikan diiris-iris. "Dia telah mati, buat apa aku hidup terus?" pikirnya. Ia menjadi nekat. Dari sakunya, ia menarik keluar sehelai peta yang terbuat dari kulit kambing, ia belesaki itu ke dalam saku puterinya yang masih kecil itu. Ia kata: "Anak Siu, kau uruslah dirimu!" Habis berkata, ia menepuk kudanya, untuk membikin binatang itu lompat berjingkrak, ia sendiri membarengi mencelat dari punggung kuda. Maka juga, selagi ia jatuh turun, kudanya itu terus kabur bagaikan melesatnya anak panah. Agaknya ia puas, karena ia melegakan hatinya: "Kuda itu kuat lari tak tandingan, anak Siu pun bertubuh enteng sekali, pastilah mereka ini tidak bakal dapat menyandak!" Lantas ia memuji:

"Thian, oh Thian, tolonglah lindungi anak Siu, semoga dia menjadi besar dan dapat menikah suami seperti suamiku yang baik ini, biarnya hidup merantau tetapi kita berbahagia!"

Segera setelah memuji itu, nyonya ini merapikan rambutnya dan pakaiannya juga, terus ia memutar tubuhnya, untuk menghadap rombongan pengejarnya yang dengan cepat telah tiba di hadapannya.

Tentu sekali yang sampai terdepan ialah Luliang Samkiat, tiga jago dari Luliang.

Merekalah tiga saudara angkat. Yang tertua yaitu Sinto Cin Kwansee Hok Goan Liong, jago Kwansee Golok Sakti. Dialah si berewokan yang bertubuh besar, yang telah membinasakan Pekma Lie Sam barusan. Yang kedua, Bweehoa Chio Su Tiong Cun, si Tombak Bunga Bwee. Dia bertubuh kurus kering. Yang ketiga, yang termuda, Cheebong Kiam Tan Tat Hian si Pedang Ular Naga Hijau, tubuhnya kate dan kecil. Dia asal begal kuda di Shoatang, belakangan dia tinggal menetap di Shoasay, bersahabat erat dengan Hok Goan Liong dan Su Tiong Cun, bersama-sama mereka mengusahakan perusahaan piauwkiok di kecamatan Thaykok, Shoasay, dengan memakai merek chin Wie Piauwkiok. Ada hubungannya di  antara Su liong Cun dan isterinya Pekma Lie Sam itu. Nyonya Lie asalnya ialah Nona Siangkoan Hong dan dengan Tiong Cun pernah su-heng dengan sumoay, kakak dan adik seperguruan. Semenjak masih kecil mereka belajar silat bersama tidak heran kalau Tiong Cun kemudian mencintai sumoay-nya yang cantik dan lemah-lembut itu. Mereka memang setimpal. Sampai dengan kebetulan Siangkoan Hong bertemu sama Pekma Lie Sam, keduanya lantas saling mencinta, hanya sayang, pihak orang tua tidak menyetujui perjodohan mereka itu, lantaran mana terpaksa mereka minggat. Tiong Cun jadi sangat berduka, ia mendapat sakit, setelah sembuh, tabiatnya menjadi berubah.

Sepuluh tahun sudah berlalu semenjak lelakon asmara mereka itu atau dengan cara kebetulan, Luliang Samkiat bertemu sama Pekma Lie Sam suami isteri serta anak daranya yang masih kecil itu di jalan Kamliang, rombongan sembilan kecamatan di propinsi Kamsiok, bahkan karena perebutan sehelai peta, kedua pihak menjadi benterok dan bertempur.

Su Tiong Cun tetap tidak bisa melupai adik seperguruannya itu, karena cintanya itu yang gagal, dia terus tidak menikah, maka sekarang, justeru ada benterokan ini, dia jadi sangat membenci Lie Sam, hingga dialah jadi lawan yang paling bengis.

Dikepung enam puluh orang lebih, Lie Sam dan isterinya tidak berdaya, dari itu, mereka melawan sambil melarikan diri. Dari jalan Kamliang itu mereka dikejar terus-terusan sampai di wilayah Hweekiang ini. Anak panah di punggung Lie Sam ialah anak panah yang dilepaskan Su Tiong Cun secara membokong. Akhirnya Lie Sam menemui ajalnya secara menyedihkan itu. Kapan Tiong Cun memandang Siangkoan Hong, hatinya tergerak, maka ia pikir: "Aku telah membinasakan suaminya, maka selanjutnya aku harus merawati dia baik-baik..." Nyonya Lie Sam berdiri di atas pasir, pakaiannya berkibar di antara desiran angin gurun. Dia masih sama cantiknya seperti masa mudanya sepuluh tahun yang lampau, semasa mereka masih sama-sama belajar silat. Dia bersenjatakan sepasang pedang yang luar biasa, sebab yang satu bergagang emas, yang lain bergagang perak, maka juga ia dijuluki Kimgin Siauwkiam Sam Niocu," si Nona Pedang Emas Perak. Nyonya muda ini mengasih lihat senyuman tawar.

Mendadak Su Tiong Cun mendapat harapan, dadanya dirasakan panas, mukanya merah sendirinya. Ia menancap tombaknya di samping pelananya, lantas ia lompat turun dari kudanya, guna menghampirkan si nyonya.

"Sumoay!" ia memanggil, seperti biasanya.

"Lie Sam telah mati," berkata si nyonya, tenang. Tiong Cun mengangguk.

"Sumoay," katanya, "sepuluh tahun kita telah berpisah, aku... setiap hari aku memikirkan kau..."

"Benarkah itu?" si nyonya muda tertawa. "Kau tentu lagi memperdayakan orang..."

Hatinya Tiong Cun goncang. Siangkoan Hong tetap manis seperti pada sepuluh tahun yang telah berlalu itu, dia mirip sebagai masa gadisnya.

"Sumoay," katanya, perlahan, "kalau selanjutnya kau turut aku, aku tanggung kau tidak bakal ngalami penderitaan, tidak sedikit juga..."

Matanya Siangkoan Hong mendadak bercahaya.

"Suko, kau baik sekali!" ujarnya. Mendadak ia mementang kedua tangannya, untuk menjatuhkan diri di dada si bekas kekasih.

Bukan main girangnya Tiong Cun, ia lantas membalas merangkul. Hok Goan Liong, yang telah menyusul, tertawa saling mengawasi dengan Tan Tat Hian. Di dalam hatinya, mereka kata: "Dua puluh tahun mereka saling mencintai, baru sekarang harapan mereka terkabul, cita-cita mereka tercapai..."

Pikirannya Tiong Cun melayang-layang. Hidungnya telah mencium bau yang harum, yang menggiurkan hatinya. Ia sampai beragu-ragu yang Siangkoan Hong pun merangkul ia demikian erat. Hanya tengah ia kelelap itu, atau tak sadarkan diri, tiba-tiba ia merasakan sakit pada perutnya, sakit sekali, seperti tertubles sesuatu. Ia kaget hingga ia menjerit, kedua tangannya menolak tubuh si kekasih. Akan tetapi Siangkoan Hong memeluk sangat keras, tubuhnya itu tidak dapat ditolak terlepas. Karena jago Luliang mencoba berontak, keduanya terguling bersama.

Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian kaget bukan main. Keduanya lompat turun dari kuda mereka, guna menghampirkan saudara angkatnya itu.

Yang lainnya semua tidak kurang kagetnya, mereka heran sekali.

Ketika tubuhnya Siangkoan liong diangkat untuk dipisahkan dari tubuh Su Tiong Cun, kelihatan dadanya mengalirkan darah, yang disebabkan nancapnya sebuah pisau belati kecil bergagang emas, sedang pada perutnya Tiong Cun nancap sebuah pisau belati lain, yang bergagang perak. Maka teranglah sekarang, karena Sam Niocu hendak bersetia kepada suaminya, ia mengurbankan dirinya sambil membalas sakit hati. Ia mencari mati karena pun sudah putus asa. Hebat tikaman pisau belati itu, keduanya nancap dalam sekali. Si nyonya mati seketika, si pria terlukakan hebat.

"Shatee, lekas bantui aku, supaya aku tidak menderita lebih lama," Tiong Cun minta pada Tat Hian. Adik itu mengawasi Goan Liong, kakaknya, untuk mohon keputusan.

Kakak itu mengawasi adiknya yang terluka parah itu, ia mengangguk. Atas itu, dengan mengertak gigi, Tat Hian menikam uluhati kakaknya yang kedua itu, maka Tiong Ijun meram matanya, napasnya berhenti berjalan, la mati dalam kesedihan, karena menjadi kurban sumoay-nya.

"Aku tidak sangka Kimgin Siauwkiam Sam Niocu begini keras hatinya," kata Goan Liong berduka.

Ketika itu salah satu tauvvbak datang melaporkan pada Goan Liong bahwa tubuhnya Lie Sam sudah diperiksa terliti tetapi peta tak kedapatan.

"Kalau begitu, tentu ada di tubuhnya," kata Goan Liong menunjuk tubuh Sam Niocu.

Pengggeledahan dilakukan atas tubuh si nyonya, hasilnya sia-sia belaka, peta tidak ada, yang kedapatan hanya perak hancur serta beberapa potong pakaian.

Goan Liong dan Tat Hian saling mengawasi, mereka putus asa, mereka heran. Heran sebab tidak nanti peta itu disingkirkan Lie Sam, baik dengan dipendam maupun dengan diserahkan kepada lain orang. Mereka menguntit terus hingga pasti tidak ada kesempatan suami isteri itu menyingkirkannya.

Tan Tat Hian penasaran, ia periksa pula bungkusan si nyonya. Ketika ia mendapatkan beberapa potong pakaian anak kecil, ia ingat anak orang.

"Toako, mari kita lekas kejar si bocah!" katanya berseru. Ia baru ingat anaknya Lie Sam.

Hok Goan Liong pun mendusin. "Jangan bingung," katanya. "Di gurun ini ke mana bocah itu bisa pergi? Dua orang berdiam di sini, untuk mengurus jenazah Su jieya, yang lainnya semua turut aku." Ia lantas melarikan kudanya, diikuti orang-orangnya kecuali yang dua itu.

Si nona telah dibawa lari kabur si kuda putih, jauhnya sudah dua puluh lie lebih.

Di gurun pasir tidak ada pepohonan, orang bisa memandang jauh sekali, maka itu, sembari mengejar, Goan Liong semua memandang jauh ke depan. Mereka mengaburkan kuda mereka. Mendekati magrib, mendadak Tan Tat Hian berseru: "Lihat! Itulah dia di depan!"

Jauh di empat seperti bertemunya langit dan bumi, di sana ada sebuah titik. Itulah si kuda putih, yang dari jauh-jauh toh nampaknya hitam. Kuda itu letih sekali meskipun dia dapat lari keras dan sekarang penunggangnya seorang bocah yang tubuhnya enteng. Di lain pihak, Goan Liong semua terus main tukar kuda.

Bocah itu-ialah Lie Bun Siu-duduk mendekam di atas kudanya, la pun sangat lelah, hingga tanpa merasa, ia kepulasan di atas kudanya itu. Pula itu antero hari ia tidak dahar dan minum, sedang matahari panas terik, dari itu mulut dan lidahnya kering semua.

Kuda putih itu seperti dapat perasaan, dia kabur ke arah timur di mana matahari yang bersinar merah marong menggenclang. Tiba di suatu tempat, mendadak dia mengangkat kedua kaki depannya, mulutnya meringkik keras, hidungnya pun mengendus-endus. Dia membaui sesuatu. Suara meringkiknya itu seperti menunjuk dia mengetahui apa- apa.

Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian yang tenaga dalamnya lihai pun merasakan sesuatu, yaitu napas mereka rasanya sesak.

"Shatee, rasanya tak beres ini!" kata kakak itu. Sebelum menyahuti, Tat Hian melihat ke sekitarnya. Di barat daya, di antara sinar layung Batara Surya, nampak mega kuning bergelempang bagaikan kabut, di antara itu ada sinar ungu yang berkilauan. Pemandangan itu luar biasa sekali.

"Mari, toako, kita melihat ke sana!" katanya seraya ia melarikan kudanya.

Tidak antara lama, mega kuning itu telah meluas seperti sudah menutupi separuh langit.

Ketika itu pun orang telah bermandikan keringat dan napas mereka mendesak.

"Toako, mungkin badai bakal datang...," akhirnya kata Tat Hian.

"Benar!" Goan Liong insaf. "Mari lekas, kita bekuk dulu bocah itu, baru kita mencari perlindungan!..."

Belum berhenti suara si berewokan ini, angin telah meniup keras, pasir, terbang berhamburan, menyampok muka mereka, sampai mereka tidak dapat membuka mulut. Lebih celaka ketika tujuh atau delapan orang roboh dari atas kudanya tertiup angin itu.

"Semua turun dari kuda, berkumpul menjadi satu!" Goan Liong paksakan berbicara.

Dengan serentak orang bekerja. Kuda mereka ditarik, dikumpulkan menjadi satu dipaksa rebah, mereka sendiri turut rebah juga, mcnyelindung di perut kuda. Sebisa-bisa mereka saling berpegangan tangan. Mereka merasakan sakit pada muka mereka, yang tersampok pasir, muka itu baret juga lengan mereka. Semua ketakutan. Sebab angin makin besar, tubuh mereka teruruk pasir...

Goan Liong dan Tat Hian pun berkuatir, hingga mereka pikir: "Tidak keruan-keruan kita mencari Istana Rahasia Kobu, dari Shoasay kita sampai di gurun ini... Mungkin di sini kita terpendam di dalam pasir..." Hebat suara badai itu, seperti itu suaranya kawanan hantu...

Oood~wooO
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar