Kemelut Lembah Ular Jilid 07

Jilid 07

AKAN tetapi tampaknya usaha para penduduk tersebut masih belum juga dikabulkan oleh Hay Liong Ong, karena Hay Liong Ong belum lagi ingin menurunkan hujan. Raja Naga yang menguasai lautan dan hujan itu belum ingin menyiramkan bumi di bagian tempat itu untuk menjadi subur. Waktu itu memang penduduk perkampungan tersebut merasa susah dan juga terlihat mereka selalu berkeluh-kesah.

Siang itu seekor kuda mencongklang cepat sekali memasuki perkampungan tersebut, tampak debu beterbangan sangat tebal. Dan kuda itu terus juga berlari dengan pesat sekali sampai akhirnya tiba di depan rumah makan di mulut perkampungan itu, barulah penunggang kuda tersebut menghentikan kuda tunggangannya. Dia telah melompat turun dengan gesit sekali. Ternyata dia seorang wanita yang berparas cukup cantik, dengan baju berwarna kuning.

Rambutnya yang dikepang dan juga dengan angkin berwarna merah jingga benar-benar membuatnya jadi cantik sekali. Akan tetapi dengan wajah yang cantik itu tampak dia masih memiliki suatu kekurangan, yaitu dia bercacat pada tangannya.

Di antara lengan bajunya yang kendor di sebelah kanan, tampak lengan kanan dari wanita itu tiada. Dia hanya bertangan tunggal, memiliki tangan kiri belaka.

Sebatang pedang yang berkilauan tampak tergantung di pinggang kirinya dan pedang itu membuktikan bahwa wanita ini memiliki kepandaian silat yang tentunya tidak rendah. Terbukti dari gerakannya tadi yang begitu gesit dan lincah sekali, sehingga bukanlah wanita sembarangan.

Dengan langkah lebar dia memasuki rumah makan itu. Kudanya telah ditambat oleh seorang pelayan rumah makan tersebut yang keluar menyambut kedatangannya. Keadaan di rumah makan itu sepi sekali. Sama halnya seperti udara yang kering itu, memang jelas terlihat betapapun juga keadaan di dalam rumah makan itu sangat kering. Kelesuan meliputi semua pelayan di rumah makan tersebut. Kasir rumah makan yang tengah asyik dengan suiphoanya, telah berulang kali menyusut keringatnya. Dan juga di waktu itu terpecik dari wajahnya kegembiraan di saat melihat ada seorarg tamu berkunjung ke rumah makannya.

Seorang pelayan telah menghampiri dan melayani si gadis dengan sikap yang menghormat sekali.

Gadis itu duduk dengan sikap yang angkuh, dia mengawasi sekelilingnya, kemudian baru dia bertanya: "Mengapa sepi seperti ini?!"

Si pelayan nyengir terpaksa, dia menyahuti dengan hati-hati: "Kami tengah mengalami paceklik.... memang belakangan ini kami kurang sekali menerima tamu. "

"Kenapa?!" tanya gadis itu sambil menoleh dan mengawasi pelayan tersebut dengan sorot mata yang tajam, seperti juga menantikan penjelasan pelayan itu. Memang rupanya perasaan herannya melihat rumah makan yang sesepi ini membuat gadis itu tidak mengerti.

“Kampung kami ini tengah ditimpa musim kemarau yang panjang. Seperti Kouwnio lihat, betapa penduduk kampung ini tengah di timpa kegelisahan karena panen mereka kali ini belum tentu berhasil dengan baik.... Musim kemarau yang panjang dan menjengkelkan ini benar-benar merupakan suatu hal yang sangat menjemukan sekali, jika dalam satu-dua bulan ini masih tidak turun hujan, malah malapetaka yang lebih hebat lagi akan melanda kami terus-menerus, mengerikan... Sekarang saja, banyak di antara kami yang terserang penyakit-penyakit yang aneh ”

Gadis itu mengangguk.

"Hemmm, kiranya perkampungan ini juga tidak terhindar dari kemarau yang panjang ini! Sepanjang perjalanan, memang aku pun telah melihat beberapa perkampungan lainnya yang mengalami nasib yang sama. Akan tetapi rumah makan di berbagai kampung itu tidak sesepi seperti di rumah makan ini..." kata gadis itu kemudian.

Sedangkan pelayan itu telah menanyakan makanan apa yang diinginkan oleh gadis tersebut.

Si gadis menyebutkan beberapa macam makanan yang dikehendakinya, akan tetapi pelayan tersebut sambil memperlihatkan sikap menyesal telah menyatakan makanan yang diinginkan gadis tersebut tidak ada dalam persediaan.

"Hanya ada ayam rebus.... kami dapat segera memasaknya. Dan juga beberapa bah-pauw dan juga beberapa macam sayur saja...” kata pelayan itu. "Jika memang Kouwnio tidak keberatan maka kami akan segera menyajikannya."

Gadis itu termenung sejenak, dan dia seperti berpikir beberapa saat lamanya sampat akhirnya dia rnengangguk.

"Baiklah....!" kata gadis itu kemudian. "Memang aku merasa lapar... biarlah, asal yang masih dapat dimakan dan cukup lezat, kalian boleh mengeluarkannya...! Akan tetapi, apakah kalian memiliki persediaan arak yang cukup baik?!"

Pelayan itu tersenyum terpaksa lagi, dia kemudian bilang, "Menyesal sekali tidak dapat kami menyajikan arak bermutu baik, akan tetapi kami akan menyajikan arak yang paling terbaik dalam persediaan kami...!"

Gadis itu hanya mengangguk saja.

Sedangkan waktu itu terlihat jelas betapa pelayan tersebut menjadi sibuk sekali. Memang tidak lama, karena dia telah muncul berdua dengan kawannya menyajikan beberapa macam sayur. Akan tetapi melihat masakan yang ada di hadapannya itu, gadis tersebut jadi lenyap sebagian besar selera makannya. Juga waktu dia mencicipi arak yang disediakan kepadanya, dia telah mengerutkan sepasang alisnya, karena waktu itu dia merasakan arak itu lebih buruk dari air teh. Akhirnya malah gadis tersebut telah minta agar araknya diganti air teh saja.

Dengan perlahan-lahan gadis tersebut telah bersantap, akan tetapi tidak banyak yang dimakannya, karena dia telah makan dengan mengerutkan sepasang alisnya dan makanan yang disantapnya itu lebih mirip makanan yang pantas dijadikan makanan babi saja.

Si pelayan yang melayaninya jadi tidak enak hati. Dia melihat cara berpakaian gadis tersebut, tentunya gadis ini memang merupakan orang yang berada. Dan sekarang barang- barang yang disajikannya terlalu sederhana sekali, dengan demikian membuat pelayan itu jadi malu sendirinya. Terlebih lagi melihat gadis tersebut hanya makan sedikit sekali, malah selalu mengerutkan alisnya, menunjukkan bahwa gadis tersebut tidak puas.

Sedangkan waktu itu terlihat jelas bahwa si gadis telah mendorong mangkok nasinya yang dirasakan begitu keras, dimasak dari beras yang tidak baik. Diapun meminum tehnya sedikit lagi, baru kemudian memanggil pelayan.

“Hitung semua yang telah kumakan itu.” kata gadis tersebut. Pelayan tersebut dengan sikap hormat telah menghitungnya.

Dia melihat boleh dibilang si gadis sama sekali tidak memakan

sayur-sayur yang disajikannya, hanya nasinya mungkin dimakan dua suap belaka.

“Semuanya jadi tiga tail, Kouwnio..." kata pelayan itu kemudian. Gadis itu mengangguk, dia merogoh sakunya dan mengeluarkan lempengan uang seberat sepuluh tail, yang diberikan kepada pelayan itu.

“Tidak usah dikembalikan, kau boleh mengambil kembaliannya!" kata si gadis.

Pelayan tersebut jadi tertegun, dia kaget dan heran, sampai dia lupa mengucapkan terima kasih. Baru kemudian berulang kali dia mengucapkan terima kasihnya dengan tubuh terbungkuk- bungkuk.

Si gadis telah mengibaskan tangannya, diperintahkannya pelayan itu pergi.

“Aku ingin beristirahat sebentar di sini!" kata gadis itu kemudian. “Pergilah kau."

Pelayan itu mengiyakan berulang kali.

Kemudian gadis ini telah duduk termenung. Dia juga telah mengawasi sekelilingnya.

Tidak ada tamu, hanya ada pelayan-pelayan belaka, yang semua mukanya berminyak dan kotor sekali. Dan juga kasir yang tengah duduk menghitung-hitung dengan suiphoanya, walaupun sebenarnya tidak ada yang dihitungnya, telah berulang kali menghapus keringatnya.

Waktu itu terlihat betapa gadis ini telah menghampiri meja kasir, dia bertanya : “Kasir, ada sesuatu yang ingin kutanyakan, dapatkah kau memberikan keterangan padaku?"

“Keterangan apa yang Kouwnio inginkan?" tanya kasir itu kemudian.

“Apakah selama beberapa hari belakangan ini di tempat ini datang seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan brewokan di seluruh mukanya dan kasar sekali. Dia berusia di antara lima puluh tahun, mengenakan baju warna biru tua ?!" tanya gadis

itu.

Kasir itu berdiam diri sejenak sambil memicingkan matanya, tampaknya dia berpikir keras sekali. Sampai akhirnya dia berseru perlahan dan menepuk mejanya.

“Ada.... ada, tentunya yang Kouwnio maksudkan itu adalah Tu....toa.... seorang petani di ujung permukaan kampung sebelah barat ini!" kata si kasir.

Si gadis cepat-cepat menggeleng sambil mengulapkan tangannya.

“Bukan! Bukan!" katanya kemudian dengan suara yang tertahan mengandung kemendongkolan. “Bukan orang itu yang kumaksudkan. Dan juga orang yang tengah kutanyakan itu bukan penduduk di kampung ini, dia seorang pengelana dari daerah lain. Hanya menurut perkiraanku, tentunya dia lewat di daerah ini!"

Si kasir telah menggeleng beberapa kali.

“Jika memang bukan Tu-toa, maka orang yang Kouwnio tanyakan itu tidak kutahu !" kata kasir itu kemudian.

“Hemmm,” si gadis telah mendengus tawar. Lalu kembali ke kursinya tanpa mengucapkan sepatah perkataanpun juga. Di waktu itu terlihat jelas sekali betapa gadis ini seorang yang agak penasaran, yang cepat naik darah. Tadi justru oleh sebab tingkah dari si kasir, yang mungkin ingin mengambil hati padanya walaupun tidak mengetahui orang yang ditanyakan gadis itu, dia mencari-cari alasan buat dapat memancing percakapan dengan gadis itu. Karena dilihatnya, betapa gadis ini sangat terbuka sekali tangannya, di mana dia telah menghadiahkan pelayan dengan sejumlah uang sangat besar dan baru pernah terjadi sejak dia membuka rumah makannya ini. Gadis tersebut telah duduk termenung, dia mengawasi ke arah pintu sampai akhirnya dia menghela napas dan menepuk meja.

“Pelayan!” panggilnya dengan suara yang nyaring.

Pelayan mendatangi dengan segera dan memperlihatkan sikap yang sangat menghormat sekali.

“Siapkan kudaku!" kata si gadis kemudian.

Pelayan itu mengiyakan berulang kali dan segera dalam waktu yang singkat dia telah mempersiapkan kuda si gadis dan datang melaporkan segalanya telah dipersiapkan dengan baik. Tidak lupa juga dia melaporkan bahwa kuda si gadis telah diberi makan dan dibersihkan.

Si gadis mengangguk, dia merogoh sakunya mengeluarkan tiga tail perak yang diberikan kepada pelayan itu.

“Ini buatmu. !" katanya.

Bukan kepalang girangnya hati pelayan itu, karena tadi sejak dia melihat kawannya memperoleh hadiah yang sangat besar dari si gadis, dia memang telah mencari-cari akal untuk dapat mendekati gadis itu buat bermuka-muka. Dan memang harapannya itu tidak sia-sia, diapun menerima hadiah yang tidak kecil itu. Dia berterima kasih dan bersyukur tidak hentinya.

Tanpa memperdulikan sikap pelayan itu, tampak gadis tersebut melangkah keluar dan melompat gesit sekali ke atas punggung kudanya.

Semua pelayan telah mengawasi dengan perasaan kagum pada gadis tersebut, karena mereka melihat betapa gadis itu memang sangat liehay dan gesit sekali.

“Tentunya seorang Liehiap...” bisik seorang pelayan. “Ya, seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian sangat tinggi sekali !” menggumam yang lainnya.

“Hemmm, tetapi kalian lihat tidak?!!” tanya seorang pelayan lain yang tidak kebagian rejeki dan hadiah dari gadis itu.

“Kenapa?" tanya kawan-kawannya.

“Kalian perhatikan tangan kanannya, tangan kanannya itu tidak ada!" kata pelayan tersebut.

Semua mata pelayan itu mengawasi lebih cermat, dan apa yang dikatakan kawan mereka memang benar, bahwa gadis itu memang tidak memiliki tangan kanan.

“Tentunya dia benar-benar seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian sangat tinggi dan luhur.... dia tentunya bercelaka dalam suatu pertempuran, sehingga dia tidak memiliki tangan kanan "

Pelayan-pelayan lainnya mengangguk.

Sedangkan gadis yang tanpa lengan kanan tersebut telah mengedut tali les kudanya yang segera juga rnencongklang dengan cepat sekali.

Dia tidak meninggalkan perkampungan tersebut, karena dia telah melarikan kudanya justeru ke dalam perkampungan.

Dilihatnya, semua penduduk kampung itu lesu sekali, memang hawa udara yang kering dan panas membuat penduduk kampung itu jadi lesu dan juga berpengaruh buruk sekali buat mereka.

Si gadis menghela napas dalam-dalam, tampaknya memang sulit buat dia mencari jejak orang yang tengah diburunya. Telah berhari-hari lamanya gadis ini memburu seseorang, akan tetapi selama itu dia telah kehilangan jejak dari orang buruannya. Akan tetapi gadis tersebut bertekad, walaupun bagaimana akan memburu terus orang buruannya itu, karena dia mempunyai urusan yang sangat penting sekali, di mana persoalan itu hanya berada di tangan orang buruannya tersebut.

Selama melakukan pengejaran ini, gadis itu telah menempuh ribuan lie. Dan juga hawa udara yang demikian gersang serta kering, membuatnya benar-benar jadi tersiksa sekali. Jika memang bukan disebabkan dia tengah melakukan suatu hal yang sangat penting, juga ingin berusaha membongkar sesuatu peristiwa yang menyangkut dengan beberapa korban jiwa manusia, tentu gadis itu akan menyudahi buruannya hanya sampai di situ saja.

Kudanya telah dijalankan perlahan-lahan, dia juga mengawasi sekitar rumah penduduk.

Banyak penduduk yang tengah duduk di depan rumah mereka, dan anak-anak yang bermain dengan riang.

Si gadis akhirnya menghampiri sebuah rumah penduduk, sebuah rumah yang tidak begitu besar dan dua orang wanita setengah baya tengah duduk mencari hawa udara segar.

Si gadis melompat turun dari kudanya, dia telah tersenyum, katanya: “Jiewie Hujin, dapatkah kalian membantuku?!"

Kedua wanita itu yang memiliki paras cukup cantik, akan tetapi keadaan mereka tampak sangat lesu, telah cepat-eepat berdiri.

“Apa yang bisa kami bantu, Kouwnio... dan kesulitan apa yang tengah kau hadapi?!" tanya kedua wanita setengah baya tersebut.

Gadis itu tersenyum. “Aku tengah mencari seseorang, yang menurut dugaanku akan melewati tempat ini!" kata si gadis kemudian. “Dan orang itu berwajah sangat kasar dengan berewok kumis yang tebal di sekeliling mukanya, juga tubuhnya yang tinggi besar gampang dikenali, dimana dia mengenakan baju berwarna biru. Apakah jiewie berdua melihatnya lewat di perkampungan ini?”

Kedua wanita itu berdiam diri dan saling pandang satu dengan yang lain. Tampaknya mereka itu memang tengah terheran-heran.

“Aku.   aku tidak pernah melihat orang yang seperti nona itu

tanyakan.” kata yang seorang kemudian kepada kawannya. “Dan kau, apakah kau melihatnya?!”

Kawannya itu menggeleng. “Tidak!" sahutnya.

Dengan wajah memperlihatkan penyesalan, kedua wanita itu telah berkata kepada si gadis.

“Sayangnya kami tidak melihat orang yang nona cari!" kata mereka.

Si gadis menghela napas, kemudian mangangguk. Dia meloncat ke atas punggung kudanya.

“Terima kasih!" katanya kemudian sambil menarik les kudanya, yang kemudian mencongklang perlahan-lahan menyusuri perkampungan itu lagi.

“Apakah orang itu tidak lewat daerah ini ?!" berpikir si gadis kemudian dengan hati yang bimbang. Dia telah melihatnya, baik kasir rumah makan itu, maupun penduduk kampung tersebut tidak yang melihat orang yang tengah dicarinya, tentunya orang itu memang tidak melewati perkampungan ini. Dan akhirnya si gadis memutuskan buat meninggalkan perkampungan ini guna melanjutkan perjalanannya. Dia telah memutar kudanya dan kemudian melarikan kudanya menuju ke pintu kampung.

Waktu sampai di pintu kampung, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun telah berlari memapaknya, sambil berteriak-teriak: "Ciecie... ciecie...!"

Gadis itu menahan tali les kudanya, dia telah memandang kepada anak lelaki itu. Beberapa saat kemudian baru bertanya: "Kau mau apa, adik kecil?!”

“Ciecie... bagi aku uang...!" menyahuti anak lelaki itu sambil mengulurkan tangannya, dia memperlihatkan sikap meminta.

Mendengar permintaan anak lelaki itu, Si gadis tersenyum.

Dia telah mengangguk.

"Baiklah!" katanya sambil merogoh sakunya dan memberikan satu tail perak kepada anak itu.

Bukan main girangnya anak yang berpakaian kotor sekali itu, dia telah mengucapkan terima kasihnya dan memutar tubuhnya berlari-lari meninggalkan gadis itu.

“Horeee...horeee aku memperoleh hadiah!” teriak anak itu.

Si gadis tersenyum, kemudian melarikan kudanya lagi keluar dari pintu perkampungan tersebut.

Di waktu itu terlihat betapa di permukaan kampung itu ada tiga orang lelaki setengah baya yang tengah berjalan kaki bermaksud untuk memasuki perkampungan itu, arah mereka berpapasan dengan arah si gadis. Dan mereka juga terpisah tidak begitu jauh. “Aha, seorang nona yang cantik manis!" berseru salah seorang di antara mereka.

“Ya, cantik sekali!" berseru yang lain.

Malah yang seorang di antara mereka telah memperlihatkan sikap ceriwis sekali.

“Mau ke mana nona manis? Tidakkah menggembirakan jika kami bertiga menemanimu? Mari kita bersenang-senang, jangan perdulikan udara yang demikian buruk menjemukan!"

Muka si gadis jadi berobah merah, dia menahan lari kudanya. “Apa yang kalian bilang?!" tanyanya.

“Kami mengatakan agar kau tidak usah memperdulikan hawa udara yang demikian buruk menjemukan, mari kita bersenang- senang. Aku ada sepuluh tail, aku akan menjamumu nona ”

menyahuti yang seorang.

“Ya, mari kita bersenang-senang, nona manis. Kami jamin, dengan adanya kami bertiga, tentu akan membuat engkau gembira dan bahagia, tentu kau akan berada di langit ke tujuh!!” kata yang seorang lainnya lagi.

“Ya... ya mari kita bergembira!” kata yang seorang pula.

Sambil berkata-kata begitu, ketiga orang itu memperlihatkan sikap yang ceriwis sekali.

Sedangkan si gadis tidak menyahuti, dia hanya mengawasi saja dengan wajah yang dingin tidak berpenasaran. Hanya matanya saja yang memancarkan sinar sangat tajam. Diapun telah memandang bergantian dari yang seorang ke seorang yang lainnya bergantian.

Waktu itu ketiga orang tersebut yang melihat gadis itu berdiam diri, mereka menduga tentunya memang gadis ini tertarik dengan tawaran mereka, karenanya salah seorang di antara mereka telah bertanya: “Apakah kau menerima ajakan kami?!”

Si gadis setelah tertawa dingin, dia melompat turun dari kudanya, tahu-tahu dia telah mencabut keluar pedangnya.

“Kalian bertiga perlu dihajar!" kata si gadis yang memegang pedangnya itu dengan tangan kirinya.

Melihat gadis tersebut mencabut keluar pedangnya, ketiga orang tersebut jadi tertegun, mereka memandang beberapa saat, kemudian satu dengan yang lainnya saling pandang, sampai akhirnya mereka telah tertawa.

“Pedang itu bukan barang mainan buat wanita, karena dari itu, janganlah nona main-main dengan senjata itu, nanti kulitmu yang putih halus itu akan terluka.... harus dibuat sayang jika sampai terjadi itu..." kata salah seorang di antara mereka.

“Ya... ya... janganlah nona main-main dengan pedang itu, kami tidak akan takut menghadapi sebatang pedang seperti itu...” kata yang seorang lagi.

"Benar.... kami.... aduhhh!" belum lagi orang yang ketiga menyelesaikan perkataannya itu tiba-tiba dia menjerit kesakitan karena pedang si gadis telah melayang dengan cepat menabas telinga sebelah kanan dari orang itu.

Kedua orang kawannya yang menyaksikan kejadian ini jadi memandang tertegun, sampai akhirnya mereka melihat gadis itu menggerakkan pedangnya lagi.

Mereka bermaksud mengelak, akan tetapi belum lagi mereka bergerak, justeru merasakan betapa telinga sebelah kanan terasa sakit bukan main, sampai mereka menjerit-jerit. “Jika memang kalian tidak cepat-cepat angkat kaki, hemm, aku akan menabas batang leher kalian!" kata gadis itu mengancam dengan suara yang dingin.

Ketiga orang lelaki tersebut yang sangat ceriwis sekali jadi terbang semangatnya, karena mereka melihat betapa gadis tersebut dapat menggerakkan pedangnya begitu cepat sekali. Mereka juga tidak berani berayal, dengan tangan menutupi telinga yang memancurkan darah dan telah putus itu, mereka berlari masuk ke dalam kampung.

Si gadis telah mendengus tawar, dia menyusut pedangnya yang berlumuran darah kepada daun-daun pohon, baru kemudian memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya, dia telah melompat ke atas kudanya dengan ringan dan mencongklangkan kudanya dengan cepat sekali meninggalkan perkampungan itu.

Setelah berlari belasan lie, si gadis merasa panas sekali, tubuhnya seperti mengeluarkan uap, dan keringat mengucur sangat deras, karena udara yang begitu kering dan teriknya matahari.

Maka dia telah melompat turun dari kudanya, beristirah di tepi jalan di bawah pohon.

Waktu itu terlihat betapa keadaan sangat sunyi sekali, di sekitar tempat itu tidak terlihat seorang manusiapun juga. Sawah- sawah yang kering dan tandus tidak terurus lagi, dan merupakan tanah yang kering merekah, disamping itu juga memang terlihat betapa pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat tersebut kering sekali.

Banyak daun-daun yang masih bergantungan di pohon tersebut yang kering karena memang pohon-pohon tersebut kekurangan air. Sedangkan saat itu si gadis masih juga tersiksa oleh bawa udara yang begitu panas dan terik, juga terlihat bahwa dalam keadaan demikian gadis ini beberapa kali telah menyusut keringatnya.

Si gadis telah memandang sekitarnya, dia hendak mencari tempat yang sekiranya dapat dipergunakan buat beristirahat dan merupakan tempat yang lebih baik dari tempat di mana sekarang ini dia berada.

Akan tetapi sejauh mata memandang tidak terlihat tempat yang lebih sejuk, karena waktu itu hanya pohon-pohon yang kering belaka dengan tanah yang kering merekah. Boleh dibilang rumput-rumput tidak terdapat di daerah tersebut. Jika memang ada, itupun telah kering dan seperti akan mati.

Setelah beristirahat sejenak lamanya, akhirnya gadis itu memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya lagi. Diapun melihat kudanya tengah mencari rumput, akan tetapi tidak ada rumput yang dapat dimakannya. Jika ada, itupun sangat sedikit sekali, rumput yang telah kering.

Si gadis bangkit perlahan-lahan, baru saja dia ingin bersiul memanggil kudanya, tiba-tiba di kejauhan tampak mengepul debu, disertai dengan suara derap langkah kaki kuda.

Gadis ini jadi batal memanggil kudanya, dia melihat ke arah datangnya kuda yang tengah mencongklang dari arah sebelah selatan itu!

Di saat itu terlihat, penunggang kuda yang tengah mendatangi itu cepat sekali telah tiba. Dia melarikan kudanya dengan pesat, akan tetapi sebat sekali dia bisa menghentikan lari kudanya itu. Dan tubuhnya itu juga telah diam tenang di atas punggung kudanya, seperti juga tidak terjadi sesuatu apapun juga walaupun kudanya itu yang semula berlari dengan cepat dihetikan mendadak sekali, tidak membawa kegoncangan apapun juga.

Gadis itu telah melihatnya, bahwa orang yang berada di atas puuggung kuda tersebut adalah seorang pemuda berusia di antara tiga puluh tahun lebih, memakai baju singsat warna hijau muda dan sebatang pedang tergemblok di punggungnya. Pemuda itu cukup tampan, akan tetapi dilihat dari bola matanya tidak hentinya mencilak-cilak, jelas dialah seorang yang tidak boleh melihat wanita cantik.

Sambil tersenyum cengar-cengir, pemuda itu telah berkata: "Aha... siapa sangka di daerah kering tandus seperti ini aku bisa bertemu dengan seorang nona yang manis seperti kau!"

Gadis itu telah mendelik.

"Jangan kurang ajar!" katanya dengan suara yang dingin. "Jika engkau ingin kepalamu itu selamat dan tetap utuh berada di tempatnya, lanjutkanlah pula perjalananmu!"

Akan tetapi pemuda itu bukannya melanjutkan perjalanannya malah telah tertawa bergelak-gelak.

“Aha, nona yang cantik akan tetapi tampaknya judes sekali...... jangan galak-galak. aku tidak akan menganiaya dan

menyusahkan dirimu! Malah aku ingin sekali mengajak kau bersenang-senang! Lihatlah di kala udara demikian kering dan juga semua penduduk di sekitar tempat ini lesu dan kumal mesum. Maka dari itu. Apa salahnya kau bersenang-senang denganku? Tidakkah kau melihat betapa aku seorang pemuda yang tampan?!”

Muka gadis itu berobah merah, dia telah mendengus dingin, tahu-tahu tangan kirinya telah menyambar gagang pedangnya, yang dicabut keluar. Pemuda itu tertegun waktu memperhatikan betapa gadis itu mencabut pedangnya dengan tangan kiri.

“Heh? Kau... tangan kananmu itu?!" kata si pemuda, yang dimaksudkan ialah tangan kanan si gadis yang tidak ada, dan telah mengejutkannya.

Gadis itu tertawa dingin.

“Hemmm, sekarang kau walaupun berlutut sambil memanggut-manggut meminta ampun, tetap saja aku tidak bisa mengampuni jiwamu...!” rupanya sikap pemuda yang telah memperhatikan cacad pada dirinya, telah membuat gadis itu jadi gusar. Akan tetapi pemuda itu tertawa gelak-gelak, tenang sekali, sama sekali dia tidak gentar menghadapi gadis tersebut. Hanya baru saja dia ingin bicara, tiba-tiba dia teringat kepada seseorang. Mukanya sedikit berobah dan dia memperlihatkan sikap yang bersungguh-sungguh.

“Ihhh, bukankah engkau Sun Tiong Kun, murid dari Hoa San Pay?!" tanyanya kemudian.

Gadis itu tertawa dingin.

“Hemmm, setelah kau tahu bahwa aku ini orang yang sangat menggemparkan rimba persilatan, apakah engkau ingin cepat- cepat angkat kaki? Sayang, telah terlambat! Tadi aku telah memberikan kesempatan hidup buatmu, akan tetapi sekarang ini justru memang telah terlambat, engkau harus dibinasakan!"

Pemuda itu tampak tertegun sejenak, akin tetapi kemudian telah tertawa.

“Hahaha... galak sekali! Tidak salah apa yang kudengar, memang Sun Tiong Kun sangat galak sekali! Dan sekarang ini aku telah mendengar dan melihatnya sendiri, betapa memang Sun Tiong Kun sangat galak dan ganas, juga suaranya sangat merdu memabok kepayangkan setiap pria !”

Itulah kata-kata ejekan, dan pemuda ini memang tidak pernah jeri pada gadis ini, yang ternyata tidak lain dari Sun Tiong Kun, murid dari Kwie Sin Sie.

Sun Tiong Kun gusar sekali. Memang dia paling benci orang menyinggung cacadnya itu, sekarang pemuda ini bahkan seperti ingin mengejekaya terus. Maka dengan mengeluarkan suara bentakan nyaring, tubuhnya dengan ringan telah mencelat ringan sekali, pedangnya telah berkelebat dan menikam ke arah dada dari pemuda itu.

Sun Tiong Kun memiliki ilmu pedang yang terlatih sangat baik sekali. Di dalam rimba persilatan dia terkenal sebagai pendekar wanita yang sangat ganas sekali, disamping tangannya telengas. Dan justru karena sifat yang telengas tersebut, membuat Sun Tiong Kun menerima hukuman dari Sucouwnya, dimana tangan kanann ya itu telah dibuntungkan guru besarnya tersebut, sehingga membuat dia selanjutnya hanya memiliki tangan kiri. Akan tetapi disebabkan dia memperoleh petunjuk dari gurunya dan juga latihan yang tekun, walaupun dengan mempergunakan tangan kiri, pedangnya tokh sama liehaynya seperti ketika dia masih memiliki tangan kanan. Karena dari itu, Sun Tiong Kun menyerang hebat sekali kepada lawannya, karena memang dia tengah murka.

Tikaman pedang itu sebetulnya tidak mudah dielakkan oleh orang sembarangan, sehingga pemuda itu terancam bahaya yang tidak kecil, terlebih lagi tikaman dari Sun Tiong Kun mengincar bagian yang mematikan di dada dari pemuda tersebut. Akan tetapi pemuda itu tetap tenang duduk di punggung kudanya, sama sekali tidak terlihat maksud hendak mengelakkan tikaman tersebut. Pemuda itu menantikan tikaman datang lebih dekat, dan waktu mata pedang hampir mengenai dadanya, di saat yang tepat sekali pemuda itu telah mendoyongkan tubuhnya ke samping, tahu-tahu dia telah merubuhkan dirinya bergelantungan di perut kudanya dan timbul di bagian lain dari bawah perut kuda tersebut.

Sambil muncul, pemuda itu telah menggerakkan tangan kanannya, dia bermaksud hendak menotok beberapa jalan darah di tubuh Sun Tiong Kun.

Gadis itu terkejut, dia telah menarik pulang tangannya, yang kemudian ditukikkan ke bawah, di mana dia hendak menabas kutung tangan dari lawannya tersebut.

“Ganas dan telengas sekali!” berseru pemuda itu, yang telah menarik pulang tangannya, dia juga telah melompat keluar dari bawah perut kudanya, sehingga dia dapat melompat dengan gesit dan berdiri di belakang Sun Tiong Kun.

Pemuda ini benar-benar ceriwis sekali, walaupun melihat Sun Tiong Kun telah dalam keadaan gusar, tokh tetap saja dia tidak mau menceabut keluar pedangnya buat melakukan perlawanan.

Dia hanya mengulurkan tangan kanannya menepuk pundak dari Sun Tiong Kun.

Tepukan yang dilakukannya perlahan sekali, hanya disebabkan jail belaka.

Karena dari itu, begitu ditepuk pundaknya, Sun Tiong Kun jadi gusar bukan main, dia semakin kalap dan telah membalikkan tubuhnya menyerang lagi dengan tiga tikaman.

Tadi waktu ditepuk, pemuda itu tidak mempergunakan tenaga, karena dari itu, Sun Tiong Kun tidak merasakan angin serangan yang menyambar kepadanya. Dan itu pula sebabnya mengapa pundak Sun Tiong Kun telah kena ditepuk oleh pemuda itu.

Akan tetapi, justru dalam kegusarannya, Sun Tiong Kun yang mengetahui pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi tidak berani berayal, dia telah mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menyerang pemuda ceriwis itu.

Pemuda itu yang melihat betapa Sun Tiong Kun menyerangnya seperti itu tidak berani berayal lagi, dia telah mencabut keluar pedangnya juga. Dan dia telah menangkisnya beberapa kali.

Dalam keadaan demikian, terdengar benturan yang sangat keras dan nyaring, sepasang pedang saling bentrok di tengah udara.

Di kala itu, tampak betapa Sun Tiong Kun yang semakin panas telah berulang kali menyerang, dan memang keadaan seperti ini telah membuat pemuda itu sibuk sekali buat berkelit dan mengelakkan diri.

Dengan begitu, mereka berdua jadi bertempur seru.

Akan tetapi dasarnya memang Sun Tiong Kun memiliki ilmu dan kepandaian murni Hoa San Pay, membuat dia bisa menyerang semakin lama semakin hebat. Ilmu pedang Hoa San Pay memang sangat terkenal, itulah sebabnya, di kala dia menyerang bertubi-tubi seperti itu, dia telah membuat pemuda ini jadi agak terdesak.

Pemuda ini memang seorang pemuda yang ceriwis sekali, walaupun dia tengah sibuk menghadapi serangan bertubi-tubi dari Sun Tiong Kun, tidak hentinya dia tertawa dan mengejek Sun Tiong Kun sehingga membuat Sun Tiong Kun semakin panas dan gusar. Pedang dari Sun Tiong Kun telah berkesiuran dengan cepat sekali mengincar bagian-bagian yang mematikan di tubuh pemuda tersebut.

“Sun Tiong Kun!” tiba-tiba pemuda itu telah berseru dengan nyaring. “Hentikan dulu, aku akan bicara!”

“Hemmm, hentikan? Sudah terlambat! Engkau harus mampus dulu baru akan kuhentikan pedang ini!” teriak Sun Tiong Kun yang menyahuti dengan sengit.

Di kala itu tampak jelas Sun Tiong Kun semakin bernafsu dengan serangannya karena pedangnya itu berkelebat-kelebat seperti telah berobah menjadi puluhan batang, yang mengincar seluruh bagian anggota tubuh dari pemuda tersebut.

Sedangkan pemuda itu juga telah menghadapi dengan hebat, pedangnya bergerak tidak kalah cepatnya, dia telah menikam, menabas dan juga berusaha menangkis serangan dari Sun Tiong Kun dengan cepat dan kuat.

Malah beberapa kali pemuda itu masih berusaha mengejek Sun Tiong Kun.

“Sekarang kau sudah tidak memiliki tangan kanan, sebagai gadis buntung, engkau sebetulnya tidak boleh galak-galak karena engkau tidak akan kebagian jodoh !”

Setelah berkata mengejek seperti itu, tampak pemuda ini melompat menjauhi diri dari Sun Tiong Kun sambil tertawa gelak-gelak.

Bukan main gusarnya Sun Tiong Kun, dia merasakan betapa dadanya seperti ingin meledak. Dia menjerit bengis, dan menyerbu dengan tikaman pedangnva. Gerakannya itu sangat cepat dan tangguh sekali, pedangnya membawakan gerakan dan jurus-jurus yang berbahaya.

Memang Sun Tiong Kun di dalam rimba persilatan terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang berangasan sekali, di mana jika dia gusar, maka tidak segan-segan dia akan mempertaruhkan dirinya untuk mengadu jiwa dengan lawannya.

Akan tetapi pemuda itu yang memiliki kepandaian tidak rendah, tidak mau tinggal diam. Dia melayani setiap serangan dari Sun Tiong Kun dengan sebat dan gesit, juga pedangnya itu bertubi-tubi menyerang, membuat Sun Tiong Kun walaupun kalap, tidak bisa merangsek.

Sedangkan mulut pemuda itu tidak hentinya mengejek, membuat Sun Tiong Kun semakin kalap, dan dia telah menyerang semakin membabi buta. Dengan sikapnya yang kalap seperti itu, sebetulnya membawa kerugian buat dirinya, karena dengan demikian, lenyapnya ketenangannya, membuat Sun Tiong Kun kehilangan kontrol dirinya, dia juga jadi kurang memperhatikan penjagaan dan pembelaan dirinya.

Di antara berkesiuran angin serangan pedang Sun Tiong Kun dan pemuda itu, terlihat tubuh kedua orang tersebut juga berkelebat-kelebat dengan cepat sekali, di mana mereka mempergunakan ginkangnya yang tinggi.

Tubuh Sun Tiong Kun berkelebat-kelebat seperti juga bayangan, akan tetapi pemuda itu, walaupun tidak bergerak segesit Sun Long Kun tetap saja dia bisa mempertahankan diri, karena ilmu pedangnya memiliki pembelaan diri yang rapat, sehingga Sun Tiong Kun selama ini tidak berhasil menerobos pertahan dari pemuda tersebut.

Di kala itu, tampak jelas betapa Sun Tiong Kun bertambah penasaran, dia telah menjerit beberapa kali sambil menyerang dengan hebat. Pedangnya itu berkelebat-kelebat dengan dahsyat sekali, dan setiap tikamannya selalu mengandung maut.

"Sungguh ganas.... sungguh ganas....!" teriak pemuda itu berulang kali. "Memang tidak salah, hantu seperti kau sebetulnya tidak pantas mempergunakan gelaran sebagai pendekar wanita. Dan rupanya engkan masih kurang memperoleh ganjaran, dimana tangan kananmu telah buntung, dan kau menghendaki tangan kirimu juga buntung rupanya...! Baiklah, aku akan membantumu agar keinginanmu tercapai, dimana tangan kirimu kubuntungkan juga, agar keganasanmu itu berkurang!" Setelah berkata begitu, pemuda tersebut memperhebat serangannya, sehingga setiap kali pedangnya berkelebat, maka dia mengincar tangan kiri Sun Tiong Kun.

Diserang seperti itu, maka Sun Tiong Kun jadi agak terdesak. Dia memang mempergunakan pedangnya dengan tangan kirinya, karena dari itu, dengan diserang dan selalu diincar tangan kirinya, membuat gerakannya itu tidak leluasa. Sedangkan diapun tidak memiliki tangan kanan, yang bisa dipergunakan buat bantu menyerang, dimana dia hanya mengandalkan tangan kirinya. Jalan satu-satunya buat Sun Tiong Kun hanyalah memutar pedangnya dengan cepat sekali, sehingga pedang tersebut berkelebat seperti juga titiran, membuat pedang pemuda tersebut tidak bisa menerobos masuk menembus pertahanan yang sekarang dilakukan Sun Tiong Kun.

Pemuda itu berulang kali memancing kemarahan Sun Tiong Kun dengan mengejek tidak hentinya, dan dia telah berulang kali melontarkan juga kata-kata yang kotor. Di waktu itu tampak jelas sekali, betapapun juga memang pemuda itu telah berusaha untuk meruntuhkan pertahanan Sun Tiong Kun.

Memang Sun Tiong Kun seorang yang berangasan sekali, diejek berulang kali seperti itu, akhirnya pecahlah kesabarannya. Dia sudah tidak memutar pedangnya terus untuk melakukan pertahanan dirinya, hanya dengan segera dia telah menikam berulang kali dengan kalap.

Menyaksikan ini, pemuda itu jadi girang, dia telah tertawa sambil mengelakkan diri dari setiap serangan yang dilakukan Sun Tiong Kun.

Dalam keadaan seperti itulah, pemuda ini kemudian telah balas menyerang.

Sekali ini dia menyerang dengan hebat sekali, karena dia menikam tidak hentinya dan juga serangannya itu mengandung kekuatan yang sangat dahsyat mengincar tangan kiri Sun Tiong Kun. Karena Sun Tiong Kun jadi panik sendirinya dan berusaha untuk menutup diri lagi.

Terlambat... pedang pemuda itu telah berkelebat dekat sekali, dengan bersuara "Brett!” maka lengan baju dari Sun Tiong Kun telah kena dirobek oleh pedang pemuda itu.

Untung saja Sun Tiong Kun bisa bergerak dengan cepat dan lincah sekali, sehingga dia bisa menghindarkan diri dari tikaman itu dimana hanya bajunya saja yang robek, dengan demikian kulit lengannya tidak sampai tergores atau berdarah.

Pemuda itu telah tertawa bergelak-gelak untuk memancing kemarahan Sun Tiong Kun, karena jika memang Sun Tiong Kun dalam keadaan marah, niscaya dia akan dapat ditundukkan lebih mudah, dimana dalam kekalapannya seperti itu, akan membuat Sun Tiong Kurt hilang kontrol dirinya dan juga lemah penjagaan dirinya.

Di kala itu memang Sun Tiong Kun tengah kalap dan bertambah nekad. Dengan robek lengan bajunya telah membuat Sun Tiong Kun gelap pikiran. “Aku akan mengadu jiwa dengan kau!” teriak Sun Tiong Kun kalap, dan dia telah bergerak dengan cepat sekali, dengan pedangnya juga telah menikam berulang kali. Hanya saja Sun Tiong Kun gagal mencapai sasarannya.

Sedangkan pemuda itu tertawa geli, dia mengejek: “Hanya sebegini saja kepandaian dan ilmu pedang Hoa San Pay?!”

Sun Tiong Kun merasakan dadanya seperti mau meledak, dan diiringi dengan jeritan yang mengandung kegusaran, dia telah melompat menikam dengan dahsyat sekali, pedangnya berkelebat dengan cepat.

Pemuda itu kali ini tidak berkelit, sama sekali dia tidak berusaha mengelakkan diri dari serangan Sun Tiong Kun, karena dia memang bermaksud untuk menantikan tibanya serangan itu. Di saat pedang Sun Tiong Kun hampir tiba, cepat sekali pedang pemuda itu bergerak.

Dia bukan hanya sekedar menangkis, dia menangkis untuk langsung menempelkan pedangnya itu kepada pedang Sun Tiong Kun. Dengan begitu, terlihat bahwa memang Sun Tiong Kun dibuat tidak berdaya untuk menggerakkan pedangnya itu sehingga ke mana saja pedangnya itu bergerak, pedang pemuda itu menempel terus.

Dengan mengeluarkan jeritan marah, Sun Tiong Kun mengerahkan tenaganya, dia berusaha menarik pulang pedangnya.

Akan tetapi gagal, karena pedangnya itu tetap saja dapat ditempel oleh pedang dari lawannya, dan terlihat betapa pedang dari pemuda itu selalu menempel dan mengikuti ke mana saja gerak dari pedang Sun Tiong Kun. “Licik... manusia bangsat!” teriak Sun Tiong Kun dengan penuh hawa amarah, dia berusaha menikam dengan harapan pedangnya itu dapat digeser dari tempelan pedang lawannya.

Di kala itu juga tampak pemuda ini masih belum mau melepaskan tempelan pedangnya, dia telah menempel terus dan berseru: “Ayo, kau kerahkan seluruh tenagamu, aku tidak menyangka, hanya sebegini saja ilmu pedang dari Hoa San Pay, tidak ada artinya apa-apa!”

Sambil berkata begitu, pemuda ini mengerahkan tenaganya, dan dia berusaha memutar pedang Sun Tiong Kun tersebut. Dia bermaksud untuk memutar semakin lama semakin cepat, agar pedang Sun Tiong Kun terlepas dari cekalannya.

Sun Tiong Kun berusaha mempertahankan pedangnya yang dicekalnya dengan kuat sekali, akan tetapi putaran yang dilakukan oleh pemuda itu sangat kuat sekali, membuat diluar keinginannya, pedangnya telah ikut terputar.

Dalam keadaan itulah, pemuda ini telah berseru: “Lepas!” Dan tahu-tahu dia mengerahkan tenaga lwekangnya Dari pedangnya itu seperti juga keluar tenaga yang menghisap pedang Sun Tiong Kun.

Sun Tiong Kun masih mati-matian berusaha mempertahankan pedangnya, dia mencekalnya dengan kuat sekali. Akan tetapi dia gagal buat melindungi pedangnya tersebut, karena waktu itu pedangnya tetap terbang dari cekalannya, terlepas dan terlempar pedang itu telah jatuh di atas tanah dengan mengeluarkan suara berkerontangan sangat keras sekali.

Sedangkan waktu itu si pemuda tertawa bergelak-gelak dan pedangnya tahu-tahu berkelebat menyambar ke arah dada Sun Thiong Kun. Melihat keadaan seperti ini, maka Sun Tiong Kun mengetahui jalan satu-satunya buat dia hanyalah menghindarkan diri dengan melompat ke belakang dan bergulingan di atas tanah.

Tikaman pemuda itu jatuh di tempat kosong, akan tetapi pemuda tersebut tidak tinggal diam sampai di situ saja, dia melanjutkan lagi dengan tikaman lainnya, pedangnya itu berkelebat dengan cepat sekali.

Sun Tiong Kun mengeluh, karena dia yakin, jika keadaan seperti ini berlangsung terus, tentu pihak dirinya yang akan menderita kerugian.

Karena Sun Tiong Kun sudah tidak memiliki pedanng lagi, setiap serangan pedang dari pemuda itu harus dielakkan dengan mengandalkan kegesitan.

Sedangkan si pemuda yang mengetahui bahwa Sun Tiong Kun dalam kedudukan yang lemah dan ini merupakan kesempatan yang paling baik buatnya, maka tampak Sun Tiong Kun didesaknya terus-menerus dengan gencar.

“Hahaha, aku akan menggores beberapa goresan di mukamu...!” tertawa si pemuda, dan dia juga telah menggerakkan pedangnya buat melakukan goresan pada muka Sun Tiong Kun.

Selama ini memang Sun Tiong Kun menyayangi akan kecantikan wajahnya. Dan jika ada seseorang yang menyatakan bahwa dia tidak cantik, tentu orang itu akan dibinasakannya. Dia bangga dengan kecantikan wajahnya yang menarik itu.

Walaupun usianya telah tiga puluh tahun lebih, tokh kenyataannya dia masih memiliki kecantikan yang menarik sekali, sebab itu dia selalu merawatnya dengan sebaik mungkin kecantikan wajahnya agar dia selalu tampak seperti juga seorang gadis jelita. Sekarang, mendengar pemuda tersebut ingin menggores mukanya dengan mata pedangnya, membuat Sun Tiong Kun jadi murka bercampur ketakutan.

Beberapa kali dia menghindarkan dirt dengan gerakan yang gesit sekali, dia berusaha buat menghindarkan dari sambaran pedang lawannya itu.

Akan tetapi di saat itu terlihat bahwa tikaman pemuda itu jatuh di tempat kosong, dan membuat pemuda itu tertawa geli melihat Sun Tiong Kun begitu repot menghindarkan diri dari setiap goresan pedangnya.

“Hahahaha, walaupun bagaimana, tetap saja mukamu itu akan kuhadiahkan cacad yang jelas!” kata pemuda tersebut.

Pedang Sun Tiong Kun tergeletak di tempat yang terpisah cukup jauh, dan waktu itu juga tampak betapa Sun Tiong Kun tengah berusaha hendak mendekati pedangnya itu. Namun pemuda itu memang sengaja tidak membiarkan Sun Tiong Kun mendekati pedangnya itu, dia telah mengejek sambil melompat ke dekat pedang Sun tong Kun, dan menginjaknya.

“Ambillah.... ayo ambillah...,” kata pemuda itu sambil tersenyum lebar.

Muka Sun Tiong Kun jadi berobah merah padam, karena dia tidak melihat kemungkinan untuk dapat mengambil pedangnya, di mana pedangnya telah diinjak oleh kaki kanan pemuda itu. Sedangkan pemuda tersebut juga tengah menantikan dengan pedang terhunus. Dengan demikian, jika saja Sun Tiong Kun menyerbu datang dengan tangan kosong dan berusaha menghadapi pedang pemuda itu dengan tangan tunggalnya, maka kemungkiaan besar dia akan bercelaka.

Tengah Sun Tiong Kun berdiri ragu-ragu dengan penuh kemarahan, di waktu itu si pemuda telah tertawa mengejek, dia bilang: “Ayo... ayo datang mendekat kemari, aku akan membiarkan engkau untuk mengambil pedang ini... ambillah nona manis bertangan satu...!”

Bukan main gusarnya Sun Tiong Kun, dia telah berseru nyaring sekali, di mana dia telah menyerbu tanpa memperdulikan keselamatan dirinya lagi. Dia bermaksud untuk menyerang si pemuda dengan mempergunakan ilmu pukulan telapak tangan kosong dari jarak jauh.

Si pemuda merasakan menyambarnya angin yang berkesiuran menerjang kepada dirinya.

Dalam keadaan seperti ini si pemuda terpaksa harus menangkisnya, dia mempergunakan kibasan pedangnya.

Akan tetapi tenaga yang menyerang itu makin hebat juga, sehingga tubuh pemuda itu terhuyung tiga langkah ke belakang.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Sun Tiong Kun yang segera menubruk pedangnya.

Pemuda itu yang melihat Sun Tiong Kun berusaha merampas pedangnya diatas tanah tersebut, maka dia telah menikam dengan pedangnya.

Akan tetapi Sun Tiong Kun telah bergerak sangat sebat, karena dia telah berhasil untuk mengangkat pedangnya, yang di pergunakan menyampok sambaran pedang pemuda itu.

Dengan demikian, terdengar suara "tring, tringgg!" yang nyaring sekali.

Namun tangkisan yang dilakukan Sun Tiong Kun kurang begitu kuat, dimana tenaga bentrokan tersebut membuat telapak tangan kirinya jadi pedih bukan main. Coba San Tiong Kun masih memiliki tangan kanan, tentu dia tidak akan mengalami kesulitan seperti itu, karena di waktu itu dia bisa saja membarengi dengan serangan tangan kanannya buat mengancarn lawannya.

Walaupun telapak tangan kirinya pedih sekali, Sun Tiong Kun tidak berdiam diri, dia telah melompat mundur dan berdiri.

Di waktu itu terlihat betapa Sun Tiong Kun bersiap-siap buat menerima serangan lagi.

Akan tetapi pemuda itu berdiam diri saja sambil berdiri tertawa gelak-gelak.

“Hahaha....!" mengejek pemuda itu. “Jika memang engkau berani, ayo kita teruskan pertempuran ini! Aku jamin tentu mukamu itu akan mernperoleh hadiah yang menggembirakan sekali! Dan juga engkau akan memperoleh hadiah di mana tangan kirimu akan kuhadiahkan menjadi buntung, agar lengkap engkau sebagai gadis bertangan buntung dan selajutnya tentu engkau tidak akan seganas itu lagi!”

Di kala itu tampak jelas sekali bahwa tenaga dari Sun Tiong Kun berkurang banyak sekali, dan juga memang dia merasakan jika saja dia bertempur terus dengan lawannya belum tentu dia bisa menghadapi terus lebih dari duapuluh jurus lagi, dan tentu dirinya yang di rubuhkan oleh pemuda itu.

Karena dari itu, tampak Sun Tiong Kun diliputi kebimbangan yang sangat. Dia telah berdiri diam dengan muka yang merah padam, dan dia mengawasi pemuda itu dengan sorot mata yang mengandung kegusaran.

Sedangkan pemuda itu dengan tertawa mengejek telah melontarkan kata-kata yang agak kotor dan ceriwis, membuat darah Sun Tiong Kun bergolak lagi. “Baiklah, tinggalkan namamu, nanti aku akan mencarimu lagi buat menyelesaikan persoalan ini!” kata Sun Tiong Kun akhirnya. “Sekarang aku memiliki satu pekerjaan yang harus kuselesaikan dengan cepat, maka dari itu tidak dapat aku menemanimu terlalu lama jika memang engkau ingin mengetahui sampai di mana keliehayanku ini, nanti kita boleh bertempur laksaan jurus... !” Sambil berkata begitu segera juga Sun Tiong Kun mengibaskan pedangnya dan telah mengawasi dengan sorot mata yang sangat tajam.

Sedangkan pemuda itu tertawa bergelak-gelak, dia telah berkata : “Baik! Baik! Aku juga tidak akan membiarkan engkau terluka dan bercacad lebih jauh, asal engkau memang tahu diri!” Dan setelah berkata begitu, si pemuda memasukkan kembali pedangnya, diapun telah pula   memandang kepada Sun Tiong Kun sambil tersenyum-senyum, katanya: “Nah, sekarang ini kau dengarlah baik-baik, aku she Tang dan bernama Po Sui !”

“Hemm, baik, nanti aku akan mencarimu buat mengadakan perhitungan ini!” kata Sun Tiong Kun kemudian sambil menasukkan pedangnya, dia telah menahan kegusaran hatinya. Sebetulnya dia sangat mendelu sekali pada pemuda itu dan ingin menerjang buat mengadu jiwa dengannya.

Akan tetapi disebabkan dia menyadari bahwa dia tidak mungkin akan dapat menghadapi pemuda itu lebih jauh, dengan sendirinya membuat Sun Tiong Kun akhirnya menahan kegusarannya itu, dan kelak baru akan mencari pemuda itu buat mengadakan pembalasan sakit hati dan penasarannya ini.

Sun Tiong Kun yang telah terdesak oleh keadaannya itu, harus menelan penasaran dan kegusarannya, dia sudah tidak memperdulikau kata-kata ejekan dari pemuda itu, dia memasukkan pedangnya dan melompat ke atas punggung kudanya. “Lain kali engkau jangan terlalu ganas, nona buntung, sekarang kau masih beruntung bertemu denganku, karena jika saja bertemu dengan orang lain, hemmmm, hemmmm, tentu orang itu tidak akan baik hati seperti aku, dimana tangan kirimu itu akan dibuntunginya juga!” Dan setelah berkata begitu, segera juga pemuda tersebut telah tertawa bergelak-gelak.

Muka dari Sun Tiong Kun tampak merah padam. Namun dia tidak bisa memberikan perlawanan seperti yang dikehendakinya, membuat dia akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dulu dan kelak baru akan mengadakan perhitungan dengan pemuda itu.

Sedangkan pemuda tersebut sambil mengejek terus memperhatikan betapa Sun Tiong Kun telah rnengedut tali les kudanya berlari meninggalkannya.

Setelah melihat Sun Tiong Kun berlari jauh meninggalkannya dan akhirnya lenyap dari pandangan matanya, tampak pemuda yang mengaku bernama Tang Po Sui telah melompat ke atas kudanya dan kemudian dilarikan memasuki perkampungan itu.......

– oOo –

SAMA halnya seperti yang dialami oleh Sun Tiong Kun, maka pemuda itu telah memandang terheran-heran akan keadaan kampung tersebut, yang begitu lesu dan semua penduduknya tampak muram dan tidak bergairah menghadapi hidup mereka.

Ketika tiba di depan rumah makan dimana Sun Tiong Kun tadi pernah singgah, pemuda yang bernama Tang Po Sui tersebut juga singgah. Seorang pelayan menyambut kedatangannya dan menyambuti kudanya, yang kemudian diikatnya pada tempatnya.

“Beri makan secukupnya pada kudaku dan bersihkan baik- baik!” kata pemuda itu.

Pelayan tersebut mengiyakan.

Sedangkan pemuda she Tang tersebut telah memilih tempat duduk dan memesan beberapa macam makanan. Walaupun pesanannya tak tersedia di rumah makan ini, dan tampaknya memang pemuda itu telah menerima apa saja adanya makanan yang tersedia di rumah makan tersebut, dia bersantap dengan nikmat.

Walaupun makanan yang disajikan itu kurang nikmat, akan tetapi rupanya pemuda itu terlalu lapar, dia telah memakannya dengan lahap. Malah dia telah meminta tambah semangkok nasi lagi, yang dihabisinya dengan cepat.

Sedang pemuda she Tang tersebut bersantap, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar rumah makan tersebut.

“Ada apa itu?!” tanya pemuda she Tang tersebut kepada pelayan yang melayaninya. “Galak benar suara tamu itu, mari kita keluar untuk melihatnya!”

Pelayan itu mengangguk dengan sikap ragu-ragu, sedangkan Tang Po Sui telah bangun dari duduknya dan melangkah keluar dengan tindakan lebar.

Ternyata rumah penginapan tersebut tengah menerima kunjungan tiga orang tamu. Ketiga orang tamu yang baru datang itu adalah seorang tosu dan dua orang pengemis. Mereka berteriak-teriak karena pelayan rumah penginapan tersebut menolak untuk menerima mereka. “Eh, kalian rupanya hanya melihat pakaian tidak melihat manusia?!" kata si tosu dengan suara gusar. "Mengapa kami tidak boleh menginap di sini?!"

“Totiang,” kata pelayan rumah penginapan itu. "Jika memang ingin menginap di sini, kau boleh minta kamar. Akan tetapi menurut peraturan rumah makan dan rumah penginapaan kami tidak dapat menerima kedua tuan ini!"

“Dusta!” teriak tosu itu membentak dengan suara yang nyaring. “Di dalam dunia, di mana ada peraturan seperti itu?! Baik rumah makan ataupun rumah penginapan tetap akan melayani tamu-tamunya yang membayar dengan baik!”

Kedua pengemis itu tertawa terbahak-bahak.

“Totiang!” kata salah seorang di antaranya. “Benar juga orang berkata, mata anjing hanya dapat memandang rendah kepada orang!"

Setelah berkata begitu, mukanya berobah dan dia membentak. “Tuan besarmu tidak memakai sutera, ada urusan apakah dengan kau?!"

"Plakk!" dia melemparkan sepotong perak ke atas meja. "Perak pengemis juga sama putihnya seperti perak tuan-tuan besar!" dia membentak, "Buka matamu lebar-lebar!"

Walaupun tidak terdapat peraturannya, akan tetapi dapatlah dimengerti jika rumah-rumah makan maupun rumah penginapan sungkan menerima tamu pengemis. Selain itu, sebegitu jauh belum pernah atau sedikitnya jarang sekali, seorang pengemis minta menginap di dalam rumah penginapan.

Melihat potongan perak yang beratnya kurang lebih sepuluh tail, si pelayan jadi terperanjat. Sesudah memikir beberapa saat, ia lantas saja berkata: "Jika kedua Loya mau menginap juga di sini, boleh juga dibikin pengecualiannya "

"Pengecualian apa?!" bentak pengemis itu. "Bilang terus terang: Mau atau tidak mau kau merawati tuan besarmu ?!"

"Mau! Mau!" jawab pelayan itu segera.

Tanpa banyak rewel lagi, ia segeia mengantarkan ketiga tamunya ke kamar kelas satu.

Waktu kedua pengemis dan si tosu itu lewat di dekat pemuda she Tang, mereka telah melirik sejenak, kemudian mengikuti pelayan tersebut buat naik ke atas loteng.

Sedangkan Tang Po Sui setelah menyaksikan semua itu, kembali ke tempatnya. Dia duduk termenung sejenak, lalu memanggil pelayan.

"Apakah rumah makan ini merangkap sebagai rumah penginapan?” tanyanya kemudian.

"Ya." mengangguk pelayan tersebut.

"Jika begitu, siapkan sebuah kamar buatku!" kata Tang Po

Sui.

Pelayan tersebut mengangguk, dia telah berkata dengan sikap

hormat: "Siangkong adalah tamu kami yang ke empat. Telah setengah tahun kami boleh dibilang tidak menerima tamu menginap di sini, kemarau yang panjang membuat penghidupan dan kehidupan di kampung ini menjadi beku, karena dari itu, jarang sekali ada orang yang menginap di rumah penginapan kami. Itulah sebabnya mengapa karni hanya mengusahakan rumah makan ini saja, sedangkan usaha kami sebagai rumah penginapan bagaikan tidak diusahakan lagi. Akan tetapi untuk melayani kedua orang pengemis itu, sesungguhnya memang merupakan hal yang terlalu menjengkelkan sekali!” Dan setelah berkata begitu, si pelayan tersenyum penuh arti pada Tang Po Sui.

Pemuda she Tang tersebut jadi terkejut, dia mengerti ke arah mana tujuan perkataan dari pelayan tersebut, dia telah merogoh sakunya mengeluarkan satu tail perak, diberikan kepada pelayan tersebut.

"Untukmu!" katanya.

Pelayan tersebut menerima hadiah tersebut sambil tidak hentinya mengucapkan terima kasih dan bersukur.

Sedangkan waktu itu tampak Tang Po Sui masih melanjutkan minum teh dan dia telah duduk termenung memikirkan ketiga orang tamu yang tadi dan keadaannya agak luar biasa.

Dilihat dati gerak-gerik mereka bertiga jika memang mereka bukannya pendekar besar yang memiliki kepandaian tinggi, tentunya mereka adalah penjahat-penjahat besar...!" pikir pemuda she Tang tersebut.

Begitulah, tampak jelas betapapun juga pemuda ini tertarik sekali buat mengetahui siapakah sebenarnya ketiga orang tamu luar biasa tersebut, yaitu si tosu dan kedua orang pengemis itu.

Sedangkan pelayan itu memberitahukan bahwa kamar buat pemuda she Tang tersebut telah disiapkannya. Dan waktu itu pemuda she Tang tersebut telah mengikuti pelayan tersebut naik ke atas loteng.

Kamar yang diperoleh Tang Po Sui merupakan kamar yang sederhana sekali, disamping itu hanya terdapat pembaringan dan sebuah lemari belaka.

Di saat itu keadaan sepi sekali, hanya samar-samar terdengar suara percakapan si tosu dengan kedua pengemis itu, yang sangat perlahan. Ketiga orang tamu itu memperoleh kamar terpisah lima kamar dari kamarnya Tang Po Sui.

Sedangkan waktu itu terlihat Tang Po Sui merebahkan tubuhnya di pembaringan. Dia memang telah melakukan perjalanan satu hari penuh, dengan demikian dia bermaksud hendak beristirahat.

Sedang keadaan yang sepi dan hening seperti itu, membuat dia bisa beristirahat dengan tenang.

Di kala itu, tampak di kamar ketiga orang tamu luar biasa itu, tosu dengan kedua pengemis tersebut, tengah terjadi suatu perundingan. Si tosu dengan kedua pengemis tengah duduk mengelilingi meja yang terdapat di dalam kamar itu.

"Apa yang harus kita lakukan di kampung ini?!" tanya tosu itu kepada si pengemis yang duduk di sebelah kirinya, yang dipandangi dengan tajam. "Jika dia tidak datang, tentu usaha kita akan sia-sia belaka!"

Pengemis itu hanya tersenyum, sedangkan pengemis yang satunya lagi telah berkata: "Kau tidak perlu tertalu berkuatir seperti itu, Totiang, karena jika memang dia tidak datang kita tetap akan mencarinya, dan jika telah bertemu, semuanya akan menjadi beres..,!"

Tosu itu menghela napas dalam-dalam: "Untuk mencari orang itu, sebenarnya kita harus melakukannya dengan lebih giat. Jika kita menginap di sini, bagaimana mungkin kita akan mengetahui jika saja dia telah datang dan lewat di perkampungan ini akan tetapi tidak singgah, sedangkan kita tengah berada di dalam kamar ?!" katanya lagi.

Pengemis-pengemis itu berdiam diri saja, mereka tengah termenung. Salah seorang di antara mereka, pengemis yang duduk di sebelah kanan dari Tosu itu telah berkata: "Jika demikian, bagaimana menurut pendapat Totiang yang sebaiknya? Atau memang kita harus meninggalkan rumah penginapan ini lagi? Sekarang aku sangat letih sekali, tidak mungkin melakukan perjalanan lebih jauh !"

"Bukan begitu maksudku.” kata Tosu tersebut. Dan dia menghela napas dalam-dalam lagi.

Kedua pengemis tersebut mengawasi tosu itu, sampai akhirnya salah seorang di antara mereka telah bertanya: "Lalu bagaimana maunya Totiang ?!"

“Kita atur begini saja," kata Tosu itu kemudian. "Bagaimana jika memang kita harus mengadakan giliran menjaga di luar rumah penginapan, dan siapa tahu orang itu kebetulan lewat di perkampungan ini akan tetapi dia tidak singgah?!"

"Begitu juga boleh ! Tetapi yang jelas, aku ingin beristirahat sebentar untuk memulihkan tenagaku!" kata si pengemis di sebelah kanan.

Tosu itu mengangguk.

"Ya, biarlah aku saja yang pergi untuk menjaganya, nanti setelah aku mengantuk, aku akan menbangunkan salah seorang di antara kalian buat melanjutkan penjagaan itu!"

Kedua pengemis itu mengangguk, dan mereka telah rebah di atas pembaringan. Sedangkan Tosu tersebut telah membersihkan mukanya, dia mencuci muka dengan cepat, kemudian setelah merapihkan jubah kependetaannya, dia melangkah keluar buat mengadakan penjagaan. Diajaknya bercakap-cakap seorang pelayan.

Pelayan itu pun menyukai Tosu ini, karena walaupun Tosu ini memiliki dua orang kawan seperjalanan berpakaian sebagai pengemis, akan tetapi pengemis-pengemis itu tampaknya memiliki uang yang banyak sekali.

"Apakah selama dua tiga hari belakangan ini, di kampung ini pernah disinggahi oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih dengan muka yang berewok kasar dan tubuh yang tinggi besar? Dia mengenakan baju berwarna biru?! tanya Tosu itu kepada si pelayan.

Pelayan itu memandang si Tosu beberapa saat, sedangkan Tosu itu jadi heran melihat lagak si pelayan.

“Kenapa? Apakah memang benar orang seperti yang kulukiskan itu pernah lewat di kampung ini?" desak Tosu itu yang jadi tidak sabar!

Pelayan itu menggeleng.

“Bukan! Bukan!" katanya cepat. “Bukan begitu, Totiang.....

sebenarnya orang yang Totiang maksudkan itu tidak pernah lewat di kampung ini, kami tidak pernah melihatnya! Akan tetapi sebelum Totiang, telah ada seseorang yang pernah menanyakan dengan keadaan yang sama seperti itu.”

“Siapa?!' tanya Tosu itu sambil mementang matanya lebar- lebar.

“Dia se orang gadis yang wajahnya sangat cantik, akan tetapi dia mempunyai cacad, yaitu... yaitu...." pelayan tersebut tidak meneruskan perkataannya.

“Yaitu, yaitu, kenapa?!” tanya si Tosu tidak sabar.

“Gadis itu sangat baik hati, dia terbuka tangannya, telah memberikan sepuluh tail perak setelah memakan makanan yang tidak begitu banyak di sini, sedangkan kembalian uangnya itu untuk hadiah kami... Di dekat pintu kampung, diapun memberikan hadiah kepada seorang anak kecil penduduk kampung ini. Memang dia sangat baik hati, akan tetapi dia memiliki cacad, yaitu....” dan pelayan tersebut tidak meneruskan perkataannya lagi.

Tosu itu tambah tidak sabar, akan tetapi dia mengerti apa maksud sikap dari pelayan ini, maka dia merogoh sakunya, mengeluarkan satu tail perak, diberikan kepada pelayan itu.

“Bicara yang jelas dan benar!” kata Tosu itu.

“Ya, ya Totiang..... aku akan bicara yang jelas dan benar!" kata pelayan tersebut. “Gadis itu memiliki paras yang cantik, serta hati yang sangat terbuka sekali, dimana dia peramah dan juga royal sekali, dia tidak segan-segan buat menghadiahkan kami dengan sejumlah uang yang sangat banyak. Dan juga memang gadis itu memiliki cacad, yaitu tangan kanannva tidak ada, buntung. Namun dilihat pedang yang digantungkan pada pinggangnya, tampaknya gadis itu memiliki kepandaian yang tinggi dan ilmu silat maupun ilmu pedang yang liehay! Karena dari itu, dalam keadaan bagaimanapun juga kami tidak akan berani bersikap ceriwis padanya, kami memperlakukan dia dengan hormat sekali! Dan juga, dia memang seorang yang betul- betul gesit ! Tahukah Totiang, betapa ketika dia melompat ke atas kudanya, gerakannya begitu ringan, seperti juga dia tidak menjejakkan kedua kakinya, tahu-tahu tubuhnya telah melompat ke atas punggung kudanya! Benar-benar gadis itu sangat liehay!"

“Apakah gadis itu memiliki potongan muka dalam bentuk seperti kuaci?"

Dan Tosu itu kemudian menggambarkan juga bentuk tubuh si gadis itu, dia menyebut keadaannya.

Pelayan itu mengangguk dengan segera.

“Ya, ya, ya, memang benar begitu! Apakah Totiang memang kenal padanya?!" tanya pelayan rersebut dengan suara yang datar. Tosu itu menggeleng : “Tidak... aku tidak kenal dengannya!" kata Tosu itu. Akan tetapi hatinya sendiri berpikir keras : “Hemm, betina kejam itu datang juga ke perkampungan ini. Jika memang dia ikut mencampuri urusan kami, tentu urusan menjadi lain dan berbahaya ...aku harus segera memberitahukan kepada kedua kawanku agar mereka berhati-hati...!"

Karena berpikir begitu, segera juga Tosu tersebut kembali ke kamarnya, dia memberitahukan kepada kedua pengemis itu apa yang telah didengarnya dari si pelayan.

“Tampaknya hantu wanita yang kejam itu telah datang ke perkampungan ini buat ikut mencampuri urusan ini!” kata Tosu tersebut. “Jika memang yang dimaksudkan si pelayan ini benar dia, maka kita selanjutnya harus lebih berhati-hati.”

Salah seorang di antara kedua pengemis itu, yang usianya lebih muda, telah tertawa dingin.

“Mengapa kita harus jeri padanya? Jika memang dia mencampuri urusan kita, maka biarlah nanti aku yang akan menghajarnya. biar tangan kirinya kuputuskan lagi agar dia menjadi manusia bercacad tanpa kedua tangannya, sehingga selanjutnya dia tidak bisa bertingkah lagi!" waktu berkata begitu, dingin sekali suara pengemis tersebut, tampaknya dia memandang rendah kepada si gadis yang diceritakan si pelayan itu.

TOSU itu tampak belum lagi tenang, dia bergelisah. Sedangkan pengemis yang seorang lagi, tanpa mengatakan suat apapun juga, telah memejamkan matanya kembali buat tidur dengan nyenyak.

Tosu tersebut telah memutar tubuhnya, dia keluar dari kamar itu, kembali ke ruangan bawah. Ketika sampai di pintu kamarnya, justru dia melihat si pemuda Tang yang tadi dilihatnya di ruangan bawah waktu pertama kali mereka datang ke rumah penginapan ini, telah mengawasinya dari kamarnya, dimana mata pemuda itu tajam sekali, seperti juga dia tengah memperhatikan Tosu tersebut dengan seksama. Pintu kamar itu terbuka lebar-lebar.

Tosu itu jadi bercuriga, dia melirik sekali lagi kepada pemuda itu, akhirnya dia memutuskan untuk mendatangi pemuda itu. Segera dia menghampiri kamar pemuda tersebut dan waktu sampai di depan kamar pemuda itu, si Tosu merangkapkan kedua tangannya, katanya: “Maaf, pinto mengganggu sejenak, apakah selama ini kau berdiam di rumah pinginapan ini?”

Pemuda itu, yang memang Tang Po Sui telah tersenyum, dia segera bangun dari duduknya.

“Oh, ada tamu.... mari masuk, mari masuk....” katanya dengan segera.

Tosu itu telah melangkah masuk ke dalam kamar pemuda itu, sambil melangkah masuk matanya mengawasi sekitar kamar tersebut. Tidak terlihat orang lainnya, hanya pemuda itu saja.

“Kau tinggal seorang diri di kamar ini?!” Tanya Tosu itu lagi. “Ya." menyahuti pemuda tersebut.

“Apakah sudah lama berdiam di sini?” tanya Tosu itu pula. Dia bertanya sambil melirik.

“Belum ...baru hari ini. Mengapa?" tanya si pemuda sambil mengawasi Tosu itu dengan sorot mata yang tajam, seperti tengah menyelidiki. “Tidak apa-apa...." menyahuti Tosu itu kemudian. “Hanya saja semula aku ingin menanyakan seseorang kepada anda, jika memang anda telah tinggal cukup lama di kampung ini."

“Siapa yang hendak totiang tanyakan?!'" tanya sipemuda itu dengan suara datar.

Tosu itu ragu-ragu sejenak, akan tetapi akhirnya dia menyahuti juga : “Sebenarnya kami tengah mencari seorang yang bertubuh tinggi besar, mengenakan baju warna biru dan juga memelihara berewok yang sangat lebat di mukanya. Dia berusia empat puluh tahun lebih...

“Hemmm...., aku tidak pernah bertemu dengan orang yang Totiang tanyakan itu." kata si pemuda she Tang tersebut.”Apakah orang itu sahabatmu, Totiang ?!"

Tosu kembali ragu-ragu, sampai akhirnya dia menganggguk. “Mungkin hanya seseorang yang bisa memberikan

keterangan yang jelas kepada kami mengenai orang itu!" kata Tosu itu kemudian sepert juga dengan suara menggumam.

“Siapa?!" tanya pemuda she Tang.

“Dialah seorang gadis dengan tangan kanan yang buntung dan belum lama yang lalu singgah di rumah penginapan ini!" kata Tosu itu. “Akan tetapi dia tidak menginap, dia hanya bersantap dan melanjutkan perjalanannya lagi, diapun tengah mencari orang yang tengah kami cari itu.!”

“Oya?!" Tang Po Sui telah berseru perlahan dan mengawasi Tosu itu beberapa saat, sampai akhirnya dia meneruskan perkataannya :

“Apakah yang Totiang maksudkan itu adalah Sun Tiong Kun?!" Seperti juga digigit kalajengking, Tosu itu jadi tersentak kaget tidak terkira, dan juga telah mundurnya beberapa ke belakang langkah, mementang sepasang matanya tajam-tajam mengawasi pemuda she Tang tersebut.

“Jadi... jadi kau kenal dengan Sun Tiong Kun?!" tanyanya dengan suara yang agak tergetar. Dia telah memperhatikan keadaan Tang Po Sui lebih teliti dan cermat sekali, seperti menyelidiki, sekarang dia ingin menduga juga bahwa pemuda she Tang ini tentunya seorang rimba persilatan, sebab dia bisa mengetahui perihal Sun Tiong Kun.

“Ya... memang aku kenal dengannya, bahkan kami telah main-main beberapa jurus di luar perkampungan ini!" menyahuti Tang Po Sui tanpa memperdulikan sikap dari Tosu itu.

– ooOoo –
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar