Golok Sakti Bab 19 : Pelukan Yang Hangat

Bab 19 : Pelukan Yang Hangat

Hui Seng Kang dan Khoe cong sampai tidak punya kesempatan untuk menyerang lawannya yang gesit dan pandai itu.

Mereka merasa heran, sampai sebegitu jauh, mereka belum menemukan tandingan yang demikian hebat, tapi jatuhnya sampai juga mereka tak dapat mendesak mundur lawannya.

Malah mereka merasa seram sendirinya karena pedang yang dimainkan si kedok kuning bukan hanya mengeluarkan suara mengaung, tapi juga mengandung hawa dingin yang dirasakan nyusup ketulang-tulang.

Kong Goan hweshio nampak si kedok kuning penolongnya, dikerubuti demikian rupa, sudah tidak sabaran lagi, maka ia juga lantas keluarpun bentakan dan menyerbu kedalam kalangan pertandingan dengan golok Seng Kok yang ia sambar dari tangan sutenya itu.

Ia menempur Hui Seng Kang dengan hebat sekali, ia menggunakan ilmu golok delapan belas jurus keluaran Siauw- limpay yang lihay.

"Kurang ajar" teriak Hui Seng Kang, "Kiranya ilmu golok Tiong Jong itu ada dari siauw lim-pay dan kalian kepala gundul disini yang mengajarnya? Bagus aku akan membasmi kuil ini sehingga tidak ada satu manusia yang terluput dari kematian Ha ha ha..." Hai Seng Kang tertawa kejam, sepasang tongkatnya yang bernama jantung hati dimainkan cepat sekali menangkis dan menyerang lawannya yang menggunakan golok.

Si kedok kuning ini hanya melayani Khoe cong seorang yang bersenjata golok rupanya dianggap enteng sekali, karena ilmu pedangnya yang lihay dalam sekejapan saja sudah dapat mendesak Khoe cong keluar dari dalam kamar.

Khoe cong merasa sangat malu kena didesak keluar oleh lawannya, ia sejak umur tiga belas tahun sudah terhitung menjadi salah satu jago dari Perserikatan Benteng Perkampungan, Dalam sepuluh tahun ia melatih ilmu silat dengan tekunnya dan merasa dirinya sudah berkepandaian sangat tinggi, tidak sembarang orang berani menempur padanya.

Tidak dinyana, kini ia menghadapi lawan yang begitu kecil pengawakannya kena didesak keluar dari kamar.

Hatinya menjadi sangat panas. Pikirnya, masa iya aku kalah dengannya?

Tabeatnya yang nekad-nekadan seketika itu telah timbul dan lantas mengeluarkan ilmu simpanannya untuk melayani siorang berkedok kain kuning.

"orang asing." terdengar ia berkata pula, "lekas kau beritahukan namamu, supaya tuan mudamu tidak mengotorkan tangannya dengan membunuh segala orang tak ternama. Kalau kau masih membandel, jangan sesalkan aku, Khoe ..."

Khoe cong tidak diberi kesempatan untuk melampiaskan omong besarnya, karena sikedok kuning telah menceCer ia dengan ilmu pedang yang lihay dan membuat ia kelab akan untuk mengandalkan diri dari serangan-serangan itu.

Kong Goan hweshio tidak tahan melayani senjata Hui Seng Kang yang berat, lagi pula badannya masih belum sembuh benar, ia rasakan tangannya kesemutan kalau senjatanya

bentrok dengan senjatanya Hui Seng Kang. Dilain pihak Ie Ya menjadi sangat gelisah. Diam diam ia berdoa, supaya Khoe cong dengan kawannya dapat diusir pergi.

Ia mengerti, kalau siorang she Khoe itu mengetahui ia berpihak pada Ho Tiong Jong, ia akan dianggap sebagai penghianat dan bisa mendapat hukuman dari kepala komplotannya, ayahnya Khoe cong sendiri, yalah hukuman beset kulit dan dibelah hati. Suatu hukuman yang mengerikan sekali.

Ia terus mengumpat dibelakang kerai, menyaksikan Hui Seng Kang mengamuk^

Tiba-tiba terdengar ia menjerit, karena kerai yang mengalingi dirinya sudah jatuh terpukul oleh Hui Seng Kang. Kini dirinya sudah dilihat oleh si orang she Hui tak dapat ia menyembunyikan diri lagi.

"ooo, Li-lo-sat Ie Ya juga ada disini?" menyindir Hui Seng Kang dengan nada dingin, Kemudian ia tidak menghiraukan lagi si nona, hanya terus berjalan menghampiri pintu kamar dimana Ho Tiong Jong berada dengan Tay Hong Hosiang. Ie Ya dan Kong Goan menjadi ketakutan-

Untuk turun tangan mencegah, mereka tidak berdaya, Maka dengan mata terbelalak mereka menyaksikan Hui Seng Kang menggempur pintu dengan dahsyat sekali. Suara bergedubrakan dari pintu yang rubuh digempur terdengar nyaring.

Hui Seng Kang tiba tiba dibikin kaget, didepannya sekarang sudah berdiri Ho Tiong Jong, orang yang ia mauin itu.

Anak muda itu berdiri tegak dengan gagahnya, hingga ia tanpa disadari telah berseru: "Tiong Jong, apa kau kaget ?"

Suaranya halus, menandakan cinta kasihnya yang mesra serta penuh kasih sayang. Halmana tidak terluput dariperhatinnya Hui Seng Kang, siapa segera berkata dengan

suara dingin. "^ Ya, lebih baik sekarang kau lari untuk menyelamatkan dirimu, kalau kelak di kemudian hari Perserikatan Benteng Perkampungan tidak dapat mencekuk batang lehermu, benar-benar kau ada satu iblis wanita jempolan- Ha ha ha ha..."

Li lo-sat Ie Ya bergemetar tubuhnya, ia ngeri kalau mengingat akan hukuman apa yang ia akan terima karena telah menghianati perserikatan- Tapi ibarat nasi sudah menjadi bubur, rahasianya berpihak pada Ho Tiong Jong sudah diketahui, maka timbullah kenekadannya dan ia menyahut dengan nada dingin.

"Aku Ie Ya tidak akan mengedipkan mata menghadapi perbuatannya. Tak usah kau mengancam, orang she Hui"

"Ha ha ha ..." Hui Seng Kang tertawa besar "Bagus-bagus, kau ada satu wanita kosen dengan gagah berbicara begitu, Tapi .."

"Seng Kang" menyelak Ho Tiong Jong dengan suara membentak. "Kau hanya mencari Ho Tiong Jong tidak berurusan dengan yang lainnya bukan? Nah sekarang kau sudah menghadapi orang yang dicari, kau boleh berbuat sesukamu. Tapi aku mau memperingan kau, kalau mau malam ini tak mampu membunuh aku, maka kau yang akan menjadi setan tak berkepala."

Ho Tiong Jong berkata sambil menghunus goloknya Lam-tian-to. "Haa ha... bisa omong gede juga, ya?" menyindir Hui Seng Kang,

Sementara berkata demikian, Hui Seng Kang diam-diam ia berpikir, kini ia menghadapi Tiong Jong didepan dan ie Ya dibelakang benar dirinya kejepit, kalau mereka turun tangan berbareng, ia bakal mendapat kerugian- Maka seketika itu timbul akal liciknya dan berkata lagi.

"Tiong Jong, disini tempat sempit, Kalau kau satu laki-laki hendak menempur aku, marilah keluar, bagaimana?"

"Seng Kang, siapa takuti kau? Hmm, jangan buang tempo terimalah golokmu?"

Ho Tiong Jong keluarkan goloknya menyerang, dengan sepasang tongkatnya Hui Seng Kan menangkis tapi tidak urung tubuhnya sempoyongan dan tangannya dirasakan kesemutan-Hatinya menjadijerih seketika.

"Ha, ha.... Seng Kang, kau masih bukan tandinganku Lekas kumpulkan kawan-kawanmu untuk mengeroyok aku siorang she Ho"

Hui Seng Kang bukan main marahnya mendengar hinaan itu.

Ia pusatkan seluruh tenaganya pada sepasang senjata pentungannya, Satu pentungan menangkis goloknya Ho Tiong Jong yang lain nya dengan gerak tipu yang sangat lihay itu. Suara beradunya senjata nyaring sekali.

"Tiong Jong," tiba-tiba Ie Ya berkata. "orang she Hui ini sangat jahat, lebih baik jangan kasih dia lolos ..."

Ho Tiong Jong menjawab, hanya ia bersenyum menganggukan kepalanya. Dilain pihak Hui Seng Kang bukan main marahnya.

"Budak hina, apa kau kira begitu mudah untuk membuhkan aku? Hm... kau lihat sebentar aku bikin remuk kepalanya Tiong Jong ..."

Tapi belum pertanyaan lampias, tangannya tergetar menangkis goloknya Ho Tiong Jong. ia sangat heran senjatanya Ho Tiong Jong tidak begitu berat kelihatannya, akan tetapi di tangkisnya ada demikian beratnya.

Ini sebenarnya tidak heran, karena Ho-Tiong Jong menggunakan goloknya dibarengi dengan tenaga dalamnya yang hebat.

Hui Seng Kang terus-terusan bergetar, malah satu tongkatnya telah terpapas kutung.

Ia semakin jerih menghadapi lawan berat, Karena ini, pembelaannya makin kalut dan satu saat kembali pentungannya kena dipapas kutung.

Ia masih memberikan perlawanan dengan nekad, tapi hanya sebentaran saja sebab sebentar kemudian dadanya sudah berada dalam ancaman ujung goloknya si pemuda, Hui Seng Kang tidak berdaya, ia hanya memejamkan matanya untuk memenuhkan keinginannya ie Ya, akan tetapi dipikir sebaliknya jikalau ia membunuh Hui Seng Kang satu orang, akibatnya seluruh hweshio penghuni kuil itu akan di basmi habis-habisan oleh Perserikatan Benteng perkampungan-

Mengingat ini, ia urungkan ujung goloknya menusuk pada dadanya si orang she Hui, ia hanya mengancam saja dengan ujung goloknya kearah dada orang.

Hui Seng Kang sudah ketakutan setengah mati, pikirnya kali ini melayanglah jiwa nya, Ketika ditunggu-tunggu Ho Tiong Jong masih juga belum turun tangan- Hui Seng Kang berkata. "Tiong Jong, lekas kau turun tangan Apa kau kira aku orang she Hui takut dengan kematian- ."

"cres...." terdengar goloknya Ho Tiong Jong menembusi dadanya, hingga Hui-Seng Kang matanya terbelalak dan dengan badan sempoyongan ia rubuh di lantai mandi darah.

Hei, kenapa Ho Tiong Jong membunuh? Bukankah ia tadi sudah menarik niatnya untuk mengambil jiwanya orang she Hui itu?

Inilah ada sebabnya pembaca, pada saat Hui Seng Kang menantang ditusuk golok, tiba-tiba Ho Tiong Jong merasakan ada angin pukulan yang luar biasa hebatnya menyerang dari belakangnya,

Ia tidak keburu berbalik maka ia segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk disalurkan sebagai yang diarah musuh untuk menangkisnya serangan membokong itu.

Meskipun ia dapat memunahkan pukulan dahsyat itu, tapi tidak urung badannya terdorong kedepan, hingga golok yang mengarah Hui Seng Kang kontan telah menembusi dadanya si orang tua she Hui yang apes.

Ketika Ho Tiong Jong berbalik, ia kenali orang yang menyerang padanya adalah Hui siauw ceng, ayahnya Hui Seng Kang.

"Bagus perbuatanmu." kata Ho Tiong Jong menyindir. "lantaran gara-gara pukulanmu membokong orang, akibatnya adalah kematian dari anakmu sendiri..."

Hui Siauw ceng tanpa menghiraukan kata-katanya Ho Tiong Jong telah lari menubruk anaknya yang menggeletak mandi darah dan sudah tidak bernapas. Hatinya bukan main sedihnya, karena kematian itu disebabkan olehnya sendiri.

Setelah mengucurkan air matanya sejenak. lalu timbul amarahnya pada Ho Tiong Jong dan berkata pada si pemuda.

"Tiong long, bagaimana juga kematian anakku karena gara-gara ancaman golokmu. Maka untuk membalas dendam hati anakku yang sudah mati, mari kita bertempur diluar. Mari..." menantang siorang tua.

"Ha ha..." Ho Tiong Jong ketawa dingin. "Kau menantang bertempur dengan aku di luar, apakah kau tidak takut aku melarikan diri?"

"Kau jangan mengimpi" jawab Hui siauw cong dengan suara dingin. "Sekalipun kau mempunyai sayap. tidak nanti dapat keluar dari dalam kuil ini. Aku hendak membesetmu ha ha.." ia tertawa seram. Ho Tiong Jong tidak menjawab

Ia mengerti akan kedukaan hatinya si orang tua dan ingin membalas kematian anaknya, meskipun kematian itu

disebabkan oleh kesalahan kepada orang lain, seakan-akan ini ada hiburan untuk kedukaannya.

Maka ketika Hui Siauw ceng bertindak keluar, ia juga mengikuti dengan tidak diminta lagi. Periahan-lahan ie Ya terdengar berkata. "Tiong Jong, aku tunggu kau di luar kuil, ya"

Ho Tiong Jong hanya anggukan kepalanya, ia tidak menjawab karena kuatir Hui siauw ceng mendapat tahu kalau disitu ada Li lo-sat Ie Ya.

Ie Ya pada waktu melihat Hui Siauw ceng datang, telah menyembunyikan dirinya lagi, ia hampir menjerit ketika melihat orang tua itu membokong Ho Tiong Jong, tapi hatinya bukan main lega dan girangnya tatkala menampak Ho Tiong Jong tidak kurang suatu apa, malah Hui Seng Kang yang ia benci telah binasa diujung golok pemuda pujaannya itu.

Ketika Ho Tiong Jong sudah sampai dipekarangan luar, ia heran disitu ada Khoe cong sedang bertempur dengan seorang yang berpengawakan kecil yang wajahnya ditutup dengan kain kuning.

Ia merasa kagum melihat ilmu pedangnya si kedok kuning yang hebat, hingga musuhnya terdesak mundur. Tapi herannya, setelah ia muncul disitu, dengan tiba-tiba saja si kedok kuning permainan silatnya agak kalut dan barbalik keteter oleh serangan Khoe cong yang hebat.

Ho Tiong Jong berpikir, "Aku tidak kenal orang ini, tapi kedatangannya pasti hendak membantu aku, maka nya dia bertempur mati-matian dengan Khoe cong."

"Tapi kenapa barusan ilmu silat pedang nya demikian bagus, sekarang berubah menjadi kalut? Betul-betul aneh. Tapi tidak apa, aku harus menolong padanya ..."

Sebentar kemudian tubuhnya melesat dan menyelak diantara dua orang yang sedang bertempur, hingga dua-duanya tertolak mundur.

"Tiong Jong..." seru Khoe cong heran

"Ya, aku Ho Tiong Jong," jawab sipemuda kemudian ia berpaling kearah si kedok kuning dan berkata. "Saudara, kau mundurlah. Biarlah aku yang menempur kawanan kurcaci ini. Terima kasih atas bantuanmu, lain kali kita ketemu aku akan membalas budimu."

Si kedok kuning mundur berdiri disamping menonton Ho Tiong Jong menghadapi bekas lawannya tadi (Khoe cong), ia tak bergerak apa atas perkataannya Ho Tiong Jong. Khoe cong perdengar tertawa menghina,

"Segala anak haram berani membentur Siauw- ya (tuan muda), benar-benar tidak tahu diri."

Kata-katanya belum lampias atau satu serangan golok yang berat membuat si muka buruk itu gelagapan menangkisnya. ia merasa linu tangannya ketika senjata goloknya membentur golok lawan- Bukan main kagetnya ia tidak mengira sama sekali bahwa Ho Tiong Jong kepandaiannya kini sukar diukur.

Dengan kepandaiannya Ho Tiong Jong seperti tempo hari, pikirnya ia boleh menghina seenaknya pada pemuda itu, akan tetapi sekarang setelah mendapat kenyataan kepandaian Ho Tiong Jong lain daripada yang lain, maka tak berani memandang rendah lagi dan terus melayani dengan ilmu-ilmu yang lihay.

Hui Siauw ceng yang ditinggalkan musuhnya, tidak tinggal peluk tangan, ia buru dan berteriak-teriak. "Anak bau, kenapa kan meninggalkan aku? Kau jangan mengimpi untuk melarikan diri dari hadapanku "

Sementara itu Ho Tiong Jong dan Khoe cong sudah bertempur

Hui Siauw ceng, begitu sampai, ia juga lantas menyerbu, ia gunakan senjata pitnya untuk menyerang Ho Tiong Jong.

orang muda itu tidakjerih dikerubuti berdua, sambil memainkan ilmu golok keramat-nya, kini ia sudah mahir delapan belas jurus berkat kebaikannya Ie Boen Hoei yang sudah menurunkan enam jurus lagi kepadanya, Ho Tiong Jong dengan tenang-tenang ia melayani musuh kuat itu.

si kedok kuning yang berdiri menonton, matanya memancarkan sinar kagum.

"Kau lekas pergi, saudara." kata Tiong Jong tiba-tiba, ketika melihat sikedok kuning tinggal berdiri menonton saja.

Si kedok kuning hanya anggukan kepala, tapi tak bergerak dari tempat berdirinya, Hal mana membuat Ho Tiong Jong tak enak hati nya, karena pikirnya ia bertempur tidak leluasa kalau harus melindungi kedok kuning.

"Saudara, apa kau masih tak mau menurut permintaanku." Tanya Ho Tiong Jong.

Seperti barusan, sikedok kuning hanya anggukan kepala, tubuhnya tidak bergerak barang setindak juga.

"Bocah bau," kata Hui Siauw ceng, "jangan perhatikan orang, perhatikan diri sendiri yang sebentar lagi akan menemui Giam lo ong."

Ho Tiong Jong panas hatinya. Tangkisannya dibikin lebih berat lagi, hingga saban-saban menggetarkan tangannya lawan kalau kedua senjata beradu. Hui Siauw ceng mengagumi tenaga dalamnya sianak muda yang hebat.

Pikirnya entah dari mana ini pemuda dapatkan pelajarannya? Dalam sedikit waktu saja kepandaiannya sudah melampaui orang-orang yang sudah berlatih puluhan tahun lamanya, sungguh luar biasa.

Ia gunakan senjata pitnya lebih cepat dan menyerang bertubi tubi pada Ho Tiong Jong akan tetapi semua itu dapat dikelit dan di-tangkis dengan mudahnya.

Si kedok kuning kembali memancarkan sinar kagum dari sepasang matanya yang jernih, ia tidak turun tangan, karena ia sudah tahu bahwa dua lawannya Tiong Jong itu tidak nanti dapat menjatuhkan kepandaiannya si pemuda yang setingkat lebih atas dari mereka.

Sementara ia sedang terkagum- kagum oleh ilmu silatnya Ho Tiong Jong, tiba-tiba si pemuda lompat menyambar tubuhnya yang langsing ceking dan dilontarkan sejauh beberapa tumbak. Lontarannya itu seperti dikendalikan saja, karena jatuhnya si orang ber-kedok kain kuning berdiri jejak dan tidak sempoyongan-

orang berkedok kain kuning itu kelihatan merasa sangat kagum akan berkepandaiannya Ho Tiong Jong, sebaliknya sipemuda agak tertegun karena ketika ia sedang menyambar pinggang si kedok kuning yang langsing liba tiba hidungnya mengendus bau harum yang ia sudah dapatkan.

"Apakah..." tanyanya dalam hatinya sendiri.

Khoe cong yang melihat si kedok kuning dilemparkan, pikirnya musuhnya itu akan melarikan diri, maka ia cepat lompat menyusul. Tapi ia kecele, sebab dengan enteng sekali si kedok kuning telah enjot tubuhnya melesat keatas dan menghilang diatas genteng rumah, ia telah mengumpat di tempat gelap dan terus menyaksikan jalannya pertempuran Ho Tiong Jong dengan dua orang lawannya, yang seketika itu telah dimulai lagi.

Ho Tiong Jong hatinya repot dengan pertanyaan "apakah dia." tapi disampingnya, tidak lalai melayani dua musuhnya. Ketika ia hendak merobah serangannya dan membuat dua lawannya kucar-kacir, mendadak ia mendengar dari atas genteng ada suara yang ketawa dingin-

"Bocah bandel, apakah klau tidak mau lekas menyerah untuk lohu ikat?"

Berbareng, orangnya melayang turun dan menyerbu dalam kalangan pertempuran mengerubuti sipemuda. Ternyata ada Lauw Pek cong, kepala dari Lauw ke Chung (Perkampungan Lauw), salah seorang terkuat dari Perserikatan Benteng Perkampungan-

Ho Tiong Jong tidak jerih, malah merasa bangga dirinya dikerubuti oleh tiga orang kuat dari Perserikatan Benteng Perkampungan- Semangatnya terbangun dengan mendadak, gerakannya kelihatan lebih gesit dan menyerangnya lebih berbahaya.

Pertandingan dikeroyok tiga berjalan sampai tiga puluh jurus, mereka tidak dapat menjatuhkan si pemuda. Tampak jalannya pertandingan tak seimbang sekali.

Tiga orang itu lihay kepandaiannya, terutama Hui Siauw ceng jago menotok jalan darah dengan senjata pitnya yang khusus untuk menyerang demikian-

Dalam jurus jurus yang dilebatkan, tubuh-nya Ho Tiong Jong bukannya tidak kena disentuh oleh serangan mereka. Sudah beberapa kali senjata pitnya Hui Siauw ceng menotok jalan darahnya, yang penting-penting, akan tetapi heran si pemuda tidak apa-apa, Ho Tiong Jong seolah-olah badannya kebal dengan totokan, juga goloknya Lauw Pek ceng sudah berkali-kali menggores lengannya dan mengeluarkan darah, tapi Ho Tiong Jong tinggal anteng-anteng saja memberikan perlawanannya. semua itu seperti juga sudah dihiraukannya .

Tidak heran kalau musuh-musuhnya menjadi kebingungan Ho Tiong Jong kebal sekali terhadap totokan dan senjata tajam, harus dengan cara bagaimana mereka dapat merubuhkannya pemuda kosen ini?

Tiba-tiba terdengar Khoe cong berkata, "Anak bau ini rupanya ada pakai baju pelindung badannya, maka nya tidak

mempan totokan orang. Baik-baik kita harus menjaga jangan sampai dia dapat meloloskan diri. Dibelakang hari dia dapat membikin sulit Perserikatan kita, kalau malam ini kita beri kebebasan kepadanya." Dua kawannya tidak menjawab, hanya menyerang lebih gencar lagi.

Ho Tiong Jong sebenarnya tidak punya maksud untuk melarikan diri, akan tetapi mendengar perkataan Khoe cong tadi, tiba-tiba hatinya dibikin tergerak, pikirnya perlu ia melarikan diri dahulu untuk sementara waktu. Belakangan ia akan menuntut balas kepada mereka satu demi satu sehingga habis.

Setelah berpikir demikian maka setelah menangkis senjatanya Hui Siauw ceng, dengan gesit ia menerjang pada Khoe cong, yang ia anggap diantara tiga lawannya itu adalah Khoe cong yang paling lemah.

Khoe cong tahu akan maksud Ho Tiong Jong, maka ia teriaki kawannya, "Hei, awas anak bau ini mau meloloskan diri"

Berbareng ia menyerang dengan tipu serangan "Hong jauw Si-liu" atau "Angin menggoyangkan cabang pohon Liu", hebat sekali serangannya, tapi dengan mudah dapat dipunahkan oleh Ho Tiong Jong.

Kemudian terdengar anak buahnya itu keluarkan tertawanya yang panjang. Sambil menangkis serangan golok Lauw Pek cong dan berkelit dari totokan senjata pitnya Hui Siaow ceng, ia enjot tubuhnya laksana burung terbang menciok diatas genteng.

"Tuan-tuan maafkan, lain kali saja kita ketemu lagi..." katanya, kemudian putar tubuhnya henda benalu dari situ.

Tiga musuhnya dengan penasaran telah menyusul lompat keatas genteng, akan tetapi satu demi satu dipukul jatuh lagi, hingga mereka tidak berdaya. "Dia dapat meloloskan diri "

kata Khoe cong sambil banting-banting kaki. Terdengar Ho Tiong Jong dari atas genteng berkata.

"Tuan-tuan, aku Ho Tiong Jong sudah paham siapa lawan atau siapa kawan, nanti ada satu hari aku akan datang kepusat Perserikatan Benteng Perkampungan untuk menguji kepandaian kalian-Jangan cemas, pasti ada satu hari aku akan datang pada kalian-.."

Perkataannya ditutup dengan siulan panjang orangnya yang lantas berkelebat meninggalkan tempat itu

Meskipun dengan sangat geregetan Khoe cong dan kawan kawannya telah memborbardeer dengan senjata-senjata gelap mereka yang sangat di andalkan, ternyata Ho Tiong Jong sudah menghilang dengan selamat.

Khoe cong membanting-banting kaki saking menyesal tak dapat menangkap Ho Tiong Jong, dilain pihak Hui Siauw ceng berCatrukan giginya dan tangannya dikepal-kepal dengan sangat sengit, "Anak haram itu bisa lolos, sungguh sayang sekali, Aku sebenarnya ingin menangkap hidup-hidup, kemudian membelah dadanya dan diambil hatinya untuk menyembahyangi anakku. oh, Seng Kang, kau sudah menjadi korban anak haram itu..."

Hui Siauw ceng menangis sambil menghampiri mayat Hui Seng Kang, dimana ia jatuhkan diri memeluk pada tubuh anaknya yang sudah jadi dingin itu.

sebenarnya tidak selayaknya ia menyesalkan Ho Tiong Jong dan mengatakan anaknya mati menjadi korbannya Ho Tiong Jong, sebab kematiannya Hui Seng Kang karena gara-garanya yang melakukan serangan membokong, Ho Tiong Jong terdorong kedepan justeru ujung goloknya sedang ditujukan ke-arah dadanya Hui Seng Kang maka enak saja ujung golok yang tajam itu menembusi dadanya si orang kasar. Mari kita lihat kemana Ho Tiong Jong pergi?

Waktu ia lari belum berapa tindak, matanya yang lihai dapat melihat bayangan orang yang kecil langsing berkelebat didepannya. ini tentu si dia, pikirnya dalam hati, maka seketika itu juga Ho Tiong Jong lantas mengejar.

orang yang dikejar ternyata sangat gesit dan juga larinya cepat sekali.

Karena ketinggalan beberapa tumbak. maka Ho Tiong Jong tak dapat menyandak dengan lantas, Apa mau ketika jaraknya di antara mereka tinggal tidak seberapa dengan mendadak bayangan kecil langsing itu telah nyelusup kedalam rimba dan menghilang Ho Tiong Jong heran, ia celingukan mencarinya, akan tetapi orang yang dikejar tadi tidak kelihatan meskipun hanya bayangannya, ia jadi berdiri bengong.

Ketika ia berpaling kebelakang, alangkah kagetnya karena melihat dijurusan kuil Kong-beng sie ada terbit kebakaran besar.

Itulah tidak salah lagi, tentu kuil Kong-beng-sie yang terbakar, di bakar oleh itu tiga orang jahat. Demikian pikir Ho Tiong Jong dengan sangat gelisah mengingat akan nasibnya Tay Hong Hosiang, Padri tua itu sudah kehilangan semua tenaganya oleh karena sudah diberikan kepadanya, maka sudah tentu ia tidak bisa menolong dirinya sendiri.

Apakah ia dapat ditolong oleh murid-muridnya? Ya, apa murid-muridnya tidak menjadi korban keganasan mereka bertiga?

Pertanyaan-pertanyaan itu mengaduk dalam otaknya Ho TiongJosg. ia tak sampai hati, maka ia lantas memutar tubuh hendak kembali kekuil Kong beng-Sie.

Selagi ia baru saja jalan beberapa langkah lantas muncul bayangan si kecil langsing, siapa ternyata bukan lain siorang berkedok kain kuning.

Ia menghadang di depan Ho Tiong Jong sambil menggoyang-goyangkan tangannya. Inilah ada isyarat supaya Ho Tiong Jong jangan kembali ke kuil, karena ada sangat berbahaya rupanya.

Ho Tiong Jong mengerti akan gerakan itu tapi ia masih tetap gelisah dan berkata. "Ya, kalau aku tidak kembali menolong pada Tay Hong Hosiang, membiarkan dia binasa dimakan api, apakah itu bukan tandanya seorang tidak berbudi? Dia telah menolong jiwaku dan mengorbankan tenaganya untuk kepentinganku, bagaimana aku bisa peluk tangan saja menonton kematiannya?"

Si kedok kuning menggeleng-gelengkan kepalanya sambil goyangkan tangannya. Ho Tiong Jong sangsi terhadap orang didepannya ini apakah dia Seng giok cin?

Dari bau harum tadi, ketika ia menyambar pinggangnya dan dilempar jauh-jauh supaya dapat kesempatan melarikan diri, itulah bau harum yang biasa dipakai oleh si cantik dari Seng keepo, gadis pujaan yang ia tak dapat melupakannya.

Matanya Ho Tiong Jong memandang tajam pada sepasang matanya sikedok kuning, yang balas memandang dengan melalui lubang pada bagian mata dari kedoknya, itulah sepasang mata yang tidak asing lagi bagi Ho Tiong Jong.

Tapi apa benar seng Giok Cin mungkin ia benar sinona, sebab ia sudah biasa menyaru dalam pakaian lelaki. Tapi, Ho Tiong Jong sangsi, kalau benar Seng Giok Cin, kenapa ia tidak mau bicara ? Bukankah pertemuan itu ada menggembirakan mereka? Kenapa? Apakah Seng giok cin marah kepadanya.

Untuk mendapat kepastian, maka ia lalu berkata.

"Ya, baikah, aku menurut padamu, tapi aku mau lihat dahulu wajahmu, Nah, bukalah kedokmu."

sikedok kuning menggeleng-gelengkan kepalanya.

Penolakan itu memang sudah diduga teriebih dahulu oleh Ho Tiong Jong.

Pemuda itu maju menghampiri tapi si kedok kuningpun mundur menjauhi, maka sipemuda hentikan langkahnya.

"Saudara, kau telah memberikan bantuan padaku. apakah sebabnya ?"

si kedok kuning tidak menjawab, hanya ia berdiri memandang pada sipemuda.

"Apa saudara ini gagu?" Tanya Ho Tiong Jong.

Si kedok kuning anggukkan kepalanya. Ho Tiong Jong melengak. Pikirnya, "pantasan dia dari tadi tak bisa bicara, kalau begitu memangnya dia gagu?

Tapi pemuda itu sangsi untuk membantah dugaannya sendiri, bahwa orang asing di depannya itu ada si nona pujaannya, Apalagi, karena tiupannya angin malam pada saat itu telah membawa harum yang ia sudah kenal baik menusuk kehidungnya. Akhirnya Ho Tiong Jong bersenyum tawar.

Ia merasa sedih, karena gadis pujaannya itu kelihatannya sudah tidak mau kenal lagi kepadanya. itulah mudah dimengerti karena tingkatan giok cin dengan dirinya ada seperti bumi dan langit, mana ia surup menjadi timpalannya?

Mengingat akan nasibnya yang malang, Ho Tiong Jong jadi melamun pada kejadian yang lampau, bagaimana baiknya si nona terhadap pada dirinya, bagaimana mesra si cantik menyintai dirinya, Sekarang mungkin ia sudah diusir oleh ayahnya dan teriunta-lunta disebabkan gara-gara dirinya yang dituduh mencuri benda pusaka keluarga Seng, ia saat itu menjadi bengong seketika lamanya.

Pikirnya, apakah ia balik kembali ke kuil untuk bertempur? Tapi dipikir sebaliknya ia sendiri melawan tiga jago kenamaan dari Perserikatan Benteng perkampungan ada berat untuk

menang, Mungkin mereka kini sudah mendapat bala bantuan lagi, tentu akan lebih berat melawannya.

Paling baik ia batalkan niatannya kembali biarlah lain kali, ada satu hari ia dapat mengunjungi jago-jagonya perserikatan Benteng perkampungan ini untuk membuat perhitungan dan disitu barulah mereka akan kenal kelihayan Ho Tiong Jong.

siorang berkedok kain kuning melihat Ho Tiong Jong seperti orang linglung, agaknya tidak sabaran dan diam-diam telah meninggalkan si pemuda.

Ketika Ho Tiong Jong tersadar dari lamunannya, ia celingukan mencari si kedok kuning, ternyata sudah tidak berada disamping nya lagi Kemana dia ? Terdengar ia menghela napas beberapa kali.

Meskipun hatinya tidak niat kembali ke-kuil Kong beng sie, akan tetapi sang kaki tanpa disadari telah membawa dirinya dengan perlahan-lahan kearah kuil.

Makin dekat makin berkobarnya api makin besar, hatinya sangat perih, mengingat ia tidak berdaya memberikan pertolongan kepada Tay Hong Hosiang yang telah berkorban tenaganya untuk kepentingan dirinya.

Ia berdiri termenung-menung mengawasi lautan api yang memusnahkan kuil Kong beng sie dari sebelah kejauhan air matanya beriinang-linang. ia menyesal saat itu tak dapat membasmi kawanan orang ganas itu, karena kalau ia berlaku nekad, sekali kena dikepung jiwanya sukar tertolong dan kalau ia mati, siapa yang nanti akan membalas Tay Hong Hosiang dengan murid-muridnya yang menjadi korban keganasan kawanan jahat, untuk menbalaskan sakit hatinya.

Selagi ia termenung tiba-tiba ada sebuah batu menyambar dari samping atas.

Ho Tiong Jong sudah mahir menangkap suara bagaimana kecilpun, maka sambaran batu itu sudah lantas diketahui

olehnya, cepat ia berkelit dan tubuhnya berputar kejurusan batu tadi menyambar. Ternyata di atas sebuan pohon tidak jauh daripadanya ada si kedok kuning yang sedang menggapaikan tangannya.

Berbareng si kedok kuning sudah melompat turun dari atas pohon, hingga ketika Ho Tiong Jong sampai kesitu ia sudah angkat kaki beberapa tumbak jauhnya. Tangannja terus menggapai lagi, ketika melihat Ho Tiong Jong berdiri menjublek.

Sipemuda tergerak hatinya, pikirnya, kalau tidak ada urusan penting niscaya ia si kedok kuning tidak menggapai-gapaikan tangannya demikian. Berpikir kesitu, cepat cepat ia gerakkan kakinya menyusul.

Dua orang beriumba-lumba lari, Kelihatan keduanya mahir dalam ilmu mengentengi tubuh dan lari cepat maka dalam tempo pendek saja sudah dilebatkan jarak beberapa li. Mereka sampai pada sebuah lapangan yang rata, dimana ada terdapat sebuah telaga yang jernih airnya.

Si kedok kuning sudah masuk kedalam rimba, sedang Ho Tiong Jong merandek di-tepinya telaga dan menyaksikan pemandangan disitu, hatinya lantas terkenang kepada masa lampau ketika Seng Giok Cin menyediakan seperangkat baju baru untuknya setelah ia mandi dalam telaga di Seng-kee-po.

Nona Seng cantik luar biasa, ia pandai bun dan bu (silat dan sastra), pikirnya bukan timpalannya untuk menjadi kawan hidup, Lebih lagi, si nona ada turunan orang hartawan, sedang ia hanya seorang miskin dan tidak tahu siapa orang tuanya. Ia merasa sedih kalau ia memikirkan nasibnya yang buruk.

Tiba-tiba hatinya mendadak terbuka dan bergembira, ketika pikirannya melayang kepada saat-saat ia bersama dengan si nona, berkuda berduaan dan saling peluk dengan mesra. Meski Seng Giok Cin ada anaknya orang hartawan dan kecantikannya dapat menundukkan pemuda yang mana saja,

akan tetapi ia tidak angkuh dan sombong terhadap dirinya yang miskin, malah si nona pernah mengatakan bahwa ia belum pernah melayani lelaki dan Ho Tiong Jong yang pertama kalinya dilayani, sedang hatinya pun sangat tunduk kepadanya, ramah tamah dan telaten ketika merawat dirinya sipemuda dalam mabuk dalam sebuah hotel.

Melamunkan apa yang sudah lewat, hatinya terus terkenang kepadanya yang baik hati itu. Pikirnya entah kapan ia dapat berjumpa lagi dengan nona Seng?"

Saking asyik semangatnya melayang-layang hingga ia tidak merasa kalau si kedok kuning sudah berada disampingnya berdiri mengawasi kepadanya.

XXXI PELUKAN YANG HANGAT

SI KEDOK KUNING kelihatan seperti yang merasa sangat kasihan kepada Ho Tiong Jong yang berdiri termenung-menung sambil mengawasi kearah telaga.

Ia datang lebih dekat dan mengutik lengannya si pemuda, saat itu si pemuda baru ingat dan cepat berbalik, kiranya yang mengutik tangannya adalah si kedok kuning, Ho Tiong Jong tertawa tawar, "Saudara kau mengajak aku kemari ada urusan apa ?" tanyanya.

Si kedok kuning tidak menjawab, hanya tangannya diangkat dan jarinya menunjuk ke sebuah batu besar seakan-akan menyuruh si pemuda duduk disitu.

Ho Tiong Jong tidak mengerti akan maksudnya, akan tetapi ia tidak banyak menanya, lalu ia menghampiri dan duduk diatas batu yang ditunjuk tadi. Kemudian si kedok kuning menghampiri dan datang dekat padanya.

Tangannya segera diulur membukai bajunya si pemuda, memeriksa luka-lukanya di bagian pundak dan dadanya. Ho Tiong Jong seperti yang terkena sihir, diam saja dan biarkan si

kedok kuning tangannya memijat-mijat bagian yang terluka untuk menjalankan darah yan membeku. Rasa sakit bukan main, akan tetapi tidak dihiraukan oleh Ho Tiong Jong, matanya terus mengawasi pad si kedok kuing yang seolah-olah tidak tahu bahwa dirinya diperhatikan oleh sipemuda didepannya, Ho Tiong Jong pelahan-lahan merasa heran dan aneh juga menghadapi kelakuannya si kedok kuning. Dilihat dari tangannya yang begitu halus dan lemas, putih laksana salju, si kedok kuning ini tentu ada seorang yang menyaru lelaki.

Tapi, kenapa dia begitu memperhatikan dirinya?

Sementara itu ia lihat si kedok kuning mengeluarkan dari sakunya obat cair, di oleskan pada luka-lukanya, hingga dirasakan sangat perih oleh sipemuda sebentar lagi, setelah tangannya yang halus memijit-mijit lagi, lantas ia mengeluarkan obat bubuk dan di torehkan kebagian yang luka di bahu dan dadanya. obat bubuk. ini begitu diborehkan, dirasakan oleh Ho Tiong Jong sangat adem dan rasa sakitpun telah lenyap pelahan-lahan. sungguh mujarab sekali obat bubuk itu.

Sementar merasakan kesegaran dari pengaruhnya itu obat si kedok kuning. diam-diam Ho Tiong Jong hatinya bergoncang keras. pikirnya kalau bukan si "dia" siapa lagi yang begitu telaten melayani dirinya?

Maka ketika kedua tangan yang halus itu hendak merapihkan bajunya sipemuda, Ho Tiong Jong dengan tidak sabaran telah memegangnya dan menatap wajahnya si kedok kuning, ia berontak. matanya balas mengawasi sebentara n, kemudian telah menundukkan kepala.

"A... dik Giok. kau..." terdengar suara Ho Tiong Jong terputus-putus. Si kedok kuning tergetar hatinya. Pelahan-lahan ia coba menarik pulang tangannya yang dicekal oleh si pemuda, akan tetapi sudah kasep. karena dengan satu

gerakan yang tidak terduga-duga Ho Tiong Jong sudah bikin si kedok kuning jatuh dalam pelukannya.

"Adik Giok, hanya kau seorang yang dapat memperlakukan diriku seperti apa yang barusan kau berbuat mengobati luka-lukaku? Adik Giok, kau..."

Dengan penuh kasih, Ho Tiong Jong dengan pelahan-lahan telah pegang dagunya si kedok kuning yang menutupi wajahnya dilain saat sudah terbuka dan-.. satu wajah yang elok dan menggiurkan tertampak di depannya. "Adik ... Giok..."

Ho Tiong Jong berdebar keras hatinya.

Debaran itu telah dirasakan oleh si nona yang dipeluk erat-erat.

Seng Giok Cin tidak berontak. tapi ia tampaknya tidak gembira. Mulutnya yang mungil menyungging senyuman tawar, hingga si pemuda menjadi sangat heran-Pikirnya apakah gadis pintar ini tidak senang berada dalam pelukannya.

Maka ia segera melepaskan si nona berkata.

"Adik Giok, sukakah kau membalut lukaku dengan kain kuning?"

Ia bersenyum dan perkataan itupun banyak main-main saja. Tapi Seng Giok Cin ternyata bersikap sungguh-sungguh. Ia tidak menjawab bicaranya Ho Tiong Jong, akan tetapi ia ambil kain kuning yang dipakai kedok olehnya barusan, lalu disobek dan dipakai membalut luka lengan si pemuda, yang terus dalam bingung menghadapi sikap si cantik,

Seng Giok Cin kelihatan bersikap tawar dan dingin, tetapi dalam pekerjaan menolong luka Ho Tiong Jong tampak ada sangat telaten. Ia membalut luka sipemuda dengan penuh perhatian dan hati-hati, hingga Ho Tiong Jong merasa sangat berterima kasih atas pertolongannya. Selama itu ternyata

Seng Giok Cin sepatahpun tak mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.

Kelakuannya yang berubah begitu jauh jika dibandingkan dengan dahulu mereka berada bersama-sama telah membuat Ho Tiong Jong terbenam dalam teka-teki.

Sementara si nona bekerja membalut dan kemudian merapihkan lagi, otaknya Ho Tiong Jong terus bekerja, pikirnya, Seng Giok Cin ada satu nona tingkatan atas, paadai silat dan surat, tentu ia merasa menyesal telah bergaul dengannya.

Buktinya kini ia bersikap dingin, tak mau membuka suara menanyakan apa-apa sejak mereka berpisahan. Kafau si nona tidak mau menanyakan apa apa, bagaimana ia bisa mulai bicara? Ah, gadis pujaannya sudah mulai dingin hatinya, iapun hatinya akan berubah dingin-

Lebih baik ia mengasingkan diri kepuncak gunung dan tak ketemu lagi dengan si nona, yang merasa menyesal mencintai dirinya seorang bodoh dan miskin-Tiba-tiba hatinya merasa sangat perih.

"Adik Giok..." akhirnya ia berkata dengan suara di tenggorokan, "terima kasih atas kebaikanmu. Tapi aku seorang bodoh dan miskin, tidak sepatutunya mena dapat perhatianmu seorang gadis..."

Ia hentikan bicaranya sampai disitu, sebenarnya ia bermaksud melanjutkan bicaranya dengan kata-kata yang kaya raya dan pintar. Tidak pantas seorang gadis demikian memperhatikan si bodoh dan miskin yang tidak ada gunanya.

Ia tekan kata-katanya demikian yang hendak meluncur dari mulutnya, dikuatir akan melukai hatinya si gadis karena ia belum tahu pasti apa perubahan sikap si nona itu desebabkan ia ada satu pemuda miskin-

Seng Giok Cin tidak menjawab, hanay sepasang matanya yang jeli mengawasi kepada si pemuda dengan mengembeng air matana, mukanya berubah pucat seketika.

Tiba-tiba ia menekap muka dan kemudian putar tubuhnya pergi meninggalkan Ho Tiong Jong, yang jadi melengak tidak tahu apa yang ia harus berbuat.

Lantas saja pikiran "diri rendah" telah menguasai dirinya, ia biarkan si nona berlalu, malah ia jadi sangat mendongkol, karena pikirnya si gadis benar telah tidak memandang mata kepadanya.

Ia mengalihkan pandangannya kearah telaga, ia seperti tidak ingin melihat bayangannya si nona. Tapi cintanya yang besar atas dirinya si gadis, tak mengijinkan ia berbuat demikian, sebab dilain saat ia sudah memalingkan pula pandangannya mengikuti bayangan si nona yang berjalan dengan agak limbung kelihatannya. Hatinya merasa pilu ia mengawasi dengan bengong pada bayangan seng Giok Cin.

Pikirnya, saat itu adalah pertemuannya yang penghabisan kali dengan si nona, selanjutnya tidak akan berjumpa pula. Sementara Seng Giok cinpun ada pemikiran demikian-

Kini ia sudah ketemu Ho Tiong Jong pemuda yang menjadi pujaan kalbunya. Selanjutnya tidak akan berjumpa lagi dengan pemuda itu, yang ia anggap ada seorang yang tak mempunyai rasa cinta yang teguh. Kalau memang ada mempunyai rasa cinta yang murni, tentu tidak akan meninggalkan dirinya mentah-mentah dalam rumah penginapan tempo hari, sehingga dirinya hampir-hampir menjadi korbannya penjahat tukang memetik bunga. Memikir begitu, hatinya sangat gemas pada pemuda cakap ganteng itu, tapi kegemasannya lantas menjadi lumer kalau mengingat akan cinta kasih yang dialamkan selama bergaul dengan sipemuda dalam tempo yang singkat, naik kuda bersama sama dan bergurau dengan penuh rasa kemesraan, hangat dalam pelukannya tak dapat ia melupakannya. Begitu cinta Ho Tiong Jong kepada dirinya,

masih dengan tegas ia sudah menyatakan cintanya yang murni berani mengorbankan dirinya untuk kepentingan si nona. Tapi kenapa dia berkelakuan demikian rupa terhadap dirinya?

Kenapa ia menotok urat tidurnya dan kemudian meninggalkan dirinya dalam kamar tidak terkunci? Apa maksudnya ?

AAAH... salah paham di antara kedua muda mudi itu.

Yang satu dianggap dirinya dipandang rendah, yang lain menganggap si pemuda tidak teguh cintanya. Sungguh sulit sekali diperbaikinya, karena kedua pihak tak mau membuka mulut untuk menyatakan rasa penasarannya masing-masing.

coba kalau mereka tak sungkan-sungkan menyatakan isi hatinya yang penasaran, sudah tentu salah paham itu tak akan terjadi.

sementara berjalan, Seng Giok cin pikirannya sangat kalut, Air matanya terus turun bercucuran, sapu tangan yang dipakai menyeka air mata boleh dikata sudah boleh diperas saking banyaknya air kesedihan-

Jalannya yang agak linglung sudah main terabas saja apa yang melintang didepannya, seakan-akan ia jalan tanpa mata, Ho Tiong Jong mengawasi dan kejauhan menjadi sangat heran-

sebelumnya ia dapat menduga-duga sebabnya, tiba-tiba ia dibikin kaget oleh jeritan Seng Giok Cin yang saat itu telah kesandung oleh batu yang menghadang didepannya dan ia sempoyongan jatuh tengkurep.

"IHuuusst..." terdengar Ho Tiong Jong berseru, lantas tubuhnya melesat menghampiri si nona yang jatuh tengkurep.

Ia angkat si nona dengan penuh kasih,

"Adik Giok. kau kenapa?" tanyanya halus, Si nona yang menyandarkan kepalanya didada yang kekar lebar dari si anak muda, lalu mendongak dan mengawasi wajah yang tampan didepannya, kedua belah pipinya berlinang-linang dengan air mata.

Ho Tiong Jong mengawasi dengan hati heran dan kasihan-"Adik Giok, kau kenapa?" ia mengulangi pertanyaannya.

Seng Giok Cin tidak menjawab, sebaliknya terdengar tangisannya yang sedih sekali sambil menyusupkan kepalanya pada dadanya sipemuda, hingga air mata menembusi dada yang kekar kokoh itu.

Ho Tiong Jong menjadi bingung, ia hanya dapat mengusap-usap rambutnya sigadis yang hitam jengat dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya memeluk erat pada tubuh yang langsing ceking itu.

Tampaknya ia sangat menyinta sekali, kelakuannya seolah olah takut akan terpisah lagi dari pemudi impiannya itu. Kelakuan yang demikian itu justeru membuat Seng Giok Cin merasakan kehangatanya cinta murni pemuda pujaannya, hatinya sangat girang dan pelahan lahan menangisnya yang tadi keras menjadi pelahan dan akhirnya hanya kedengarnya masih terisak-isak.

"Adik Giok..." terdengar Ho Tiong Jong menghibur, "kau jangan menangis, adik Giok, karena air matamu membuat hatiku seperti disayat-sayat dengan pisau yang tajam. Aku cinta padamu dengan setulus hati..."

"Engko Jong, apakah kata-katamu ini betul?" tanya sigadis masih terisak-isak.

"Apa kau masih belum percaya hatiku?"

"Tapi kenapa kau meninggalkan aku dalam keadaan tertotok dirumah penginapan ?"

Ho Tiong Jong melengak.

"Itu..itu... itulah..." kata Ho Tiong Jong gugup,

"itu, itu apa? jawab yang tegas, kenapa kau meninggalkan aku?"

"Baik, mari kita duduk disana, aku akan menutur..." kata si pemuda, sambil memimpin si gadis diajak duduk diatasnya sebuah batu besar, dibawah sebuah pohon yang teduh sekali.

Ho Tiong Jong sambil masih terus menyekal tangannya si gadis, belum mau bercerita lantas, matanya memandang dengan tidak bosannya pada wajah Seng Giok Cin yang cantik jelita.

Seng Giok Cin tersenyum, ia tidak marah sebaliknya malah merasa sangat bangga sang kekasih melepaskan pandangannya begitu rupa atas dirinya tampaknya seperti yang sangat mengagumi sekali kecantikannya.

"Engko Jong kenapa kau belum mau cerita?" ia akhirnya menegur.

"oo, ya, ya.... maaf, adik Giok, Aku beriaku kurang sopan barusan memandang wajahmu terus-terusan- Baik, baik, aku akan ceritakan ..."

"Tidak apa." jawab si gadis ketawa manis. "malah aku merasa bangga wajahku yang jelek mendapat perhatianmu."

"Ah, adik Giok... wajahmu sangat cantik, tidak satu saat aku dapat melupakannya, betul."

"terima kasih, tapi kenapa kau meninggalkan aku dalam keadaan tertotok?" memotong si gadis, wajahnya agak guram.

"Adik Giok. maafkan, karena kala itu aku tidak ingin kau menyaksikan-..?"

"Menyaksikan apa?"

"Menyaksikan kematianku..."

"Tapi kenyataannya sampai sekarang kau toh belum mati ?"

"Ya, aku juga tidak sangka aku bisa panjang umur."

"Kau toch kena racunnya Tok-kay. ceng-ciauw dan souw Kie Hin punya jarum hati, bagaimana jiwamu bisa terluput dari kematian?"

"Ha ha itulah ada sebabnya, adikku yang manis..."

Seng Giok Cin deliki matanya yang jeli, tapi tidak urung mulutnya yang mungil menyungging senyuman mesra. Ho Tiong Jong ketawa gembira.

"Adikku, dengarlah engkomu akan ceritakan pengalamannya yang luar biasa." kata nya dengan jenaka sekali.

Seng Giok Cin ketawa gelak ia menekap mulutnya supaya jangan ketawa ngikik.

"Awas, ini apa?" kata Seng Giok Cin, sambil unjukkan jempoi dan telunjuknya dalam sikap menyapit.

"Hei, mau cubit iagL" serunya jenaka.

Seng Giok Cin ulur tangannya hendak mencubit pemuda jenaka itu. Tapi Ho Tiong Jong malah menyodorkan lengannya untuk dicubit si gadis.

"Aduh" seru sigadis, ketika cubitannya di rasakan seperti mencubit papan besi. Matanya terbelalak mengawasi pada kekasihnya, "Kau, ooooo kau..."

"Kenapa?" tanya sipemuda sambil nyengir ketawa,

"Kulitmu...." kata si nona heran, "kulitmu seperti papan besi . . ."

Ho Tiong Jong terpingkel-pingkel ketawa, "Makanya, coba adik Giok dengar dahulu aku menutur, tentu tidak berani mencoba menyentuh kulit badanku."

"Bagaimana kau bisa jadi begitu, Engko Jong, Lekas cerita."

Ho Tiong Jong lantas menceritakan pengalamannya yang luar biasa, ketemu dengan Ie Boen Hoei, Racunnya dapat dikeluarkan kemudian belajar ilmu golok keramat yang kurang enam jurus lagi, hingga sekarang ia pandai memainkan ilmu goloknya sampai delapan belas jurus.

Kemudian menceritakan pengalamannya dalam gemblengan Tay Hong Hosiang, yang tenaga dalamnya diberikan kepadanya, hingga ia kebal terhadap totokan musuh pada jalan darahnya dan tenaganya menjadi berlipat ganda tambahnya.

Dalam ceritanya itu, sudah tentu ia sembunyikan pengalamannya dengan Li-losat Ie Ya, si iblis cantik yang juga ada menyintai dirinya. Karena kalau ia menyebut nama Ie Ya dan diceritakan pengalamannya dalam kuil Kong Beng Sie, sudah tentu Seng Giok Cin akan merasa tidak enak hatinya dan cemburuan.

Setelah mendengar ceritanya Ho Tiong Jong, Seng Giok Cin angguk-anggukan kepalanya dengan berlinang-linang air mata.

"Allah selamanya memberkahi orang baik-baik." katanya, sambil menyeka air matanya yang mulai mengalir membasahi pipinya yang botoh. Ho Tiong Jong terkejut Seng Giok Cin menangis.

"Adik Gok. kenapa kau menangis ?"

"Inilah ada sebabnya."

"Sebabnya, apa ?"

"Girang, karena jiwamu sudah terluput dari bahaya kematian-..."

Ho Tiong Jong tergerak hatinya. Duduknya menggeser lebih dekat, kemudian tangan-tangannya memegang kedua

tangannya si nona dan dibawa kepipinya, matanya menatap wajah si nona yang elok dengan sepasang matanya yang jeli jernih, yang saat itu balas menatap kepadanya, bibirnya yang merah semringah dan kecil mungil bergerak-gerak seolah-olah yang menantang dicium. Hatinya Ho Tiong Jong bergoncang.

Ingin ia mencium bibir yang merah semringah itu, ingin ia menyentuh pipi yang putih halus laksana kapas itu dengan hidungnya tapi pikiran sehat tak mengijinkan ia berbuat demikian-

Seng Giok Cin masih belum resmi menjadi miliknya.

Ia malah seketika itu merasa jengah, apabila ia mengingat pada waktu yang lampau ia sudah mencuri mencium pipinya si gadis karena pikirnya saat itu ada saat yang penghabisan pertemuannya dengan si nona, karena ia akan menghadapi kematian karena racun yang ada dalam dirinya.

Maka ia hanya dapat mencium jidatnya si nona dan mengusap usap pipinya yang botoh.

"Adik Giok...^ katanya berbisik, "kau...kau..."

"Aku kenapa, Engko Jong,.,.? "tanya si gadis pelahan, yang sementara itu merasakan hangat ciuman mesra sipemuda pada jidatnya.

"Kau... kau adalah jiwaku yang kedua, adik Giok."

"oo....yaaa..." jawabannya Seng Giok Cin dapatkan dari pelukannya sipemuda yang hangat.

oh bahagialah dua merpati itu.

Seng Giok cin sambil senderkan kepalanya didadanya Ho Tiong Jong melamun pada saat-saat yang bakal datang, bagaimana ia akan hidup penuh bahagia disampingnya Ho Tiong Jong, pemuda yang menjadi buah kalbunya itu.

Terbenam dalam lamunan kebahagian hidup, tampak bibirnya bergerak-gerak bersenyum. Ho Tiong Jong sebaliknya melamun bagaimana nasibnya nanti?

Ia mencintai Seng Giok Cin, tapi disamping itu, ia juga tak dapat melupakan cintanya Kim Hong Jie dengan sepasang sujen nya yang memikat hati dan Li losat Ie Ya si iblis cantik yang berkali-kali menolong dirinya, yang juga ada menyintai dirinya dengan segenap hatinya.

Dua-dua melamun berbeda-beda, yang satu penuh bahagia dan yang lainnya penuh dengan keragu-raguan.

Siapa yang akan memiliki Ho Tiong Jong pemuda cakap. gagah dan tinggi ilmu silatnya? itulah sang nasib yang akan menetapkan pada kelak kemudian hari.

"Adik Giok." bisik sipemuda dengan tiba-tiba. "bagaimana dengan pengalamanmu ketika aku tinggalkan dalam rumah penginapan?"

Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba saja awan kebahagiaan yang meliputi Seng Giok cin seolah-olah ditiup angin keras dan tak meninggalkan bekas. Ia berontak pelahan dan meloloskan diri dari pelukannya sipemuda. Kemudian mengawasi Ho Tiong Jong sejenak. mukanya berubah guram.

"Engko Jong, pengalamanku sangat getir," katanya sambil menghela napas, "Sekarang aku tidak diijinkan pulang kerumah, karena aku sudah diusir oleh ayahku, lantaran-.."

Seng Giok Cin tundukkan kepalanya, dari sela-sela matanya kontan butiran-butiran air mata laksana mutiara, ia tak dapat melampiaskan ceritanya.

"Adik Giok, lantaran apa?" tanya Ho Tiong Jong.

"Lantaran aku dituduh membantu kau men..."

"Hei, bicara sedikit terang, adik Giok."

"Dituduh membantu kau mencuri salah satu benda pusakanya yang paling disayangi." Ho Tiong Jong tercengang, Sampai disini kita ajak pembaca untuk mengetahui pengalaman Seng Giok cin yang katanya ada sangat getir.

seperti pembaca tahu, Seng Giok Cin ditinggalkan oleh Ho Tiong Jong dalam rumah penginapan dalam keadian tertotok urat tidurnya, hingga si nona jadi tidur pulas, si pemuda berbuat demikian, karena tidak ingin Seng Giok Cin akan menderita kesedihan hebat disebabkan menyaksikan kematiannya karena racun.

Pada waktu itu, Ho Tiong Jong meninggalkan kamarnya dengan pikiran ling-lung, sedih dan bercucuran air mata mengingat akan nasibnya yang malang, hingga ia lupa merapatkan pula pintu kamar dan memadamkan lampunya.

Satu bayangan dikala itu tampak berkelebat begitu Ho Tiong Jong sudah meninggalkan kamarnya agak jauh. Bayangan itu menyelinap masuk kedalam kamar yang pintunya tidak dirapatkan tadi.

Bayangan itu tenyata ada kira kira umur tiga puluh tahun, pengawakannya kurus tinggi dan wajahnya lumayan juga tidak termasuk dalam golongan jelek.

orang itu ketika sudah berada dalam kamar, meminjam penerangan lampu, ia lihat diatas pembaringan ada rebah wanita cantik luar biar biasa sedang pulas. Ia berlndap-indap menghampiri pembaringan-

"Ho Tiong Jong si bocah tolol itu, apa-apaan menotok orang punya urat tidur? Ha-ha ha... dasar ikan bagian aku, sayang sekali kalau aku menolaknya." Demikian orang itu berkata kata sendirian dengan suara pelahan-

Ditepi pembaringannya ia duduk mengawasi kecantikan Seng Giok cin, tubuhnya yang langsing ceking menggiurkan hatinya dengan mendadak saja napsu jahatnya berontak.

Tangannya diulur untuk mengusap- usap pipi si nona yang halus.

"Nona Seng, betul-betul kau cantik laksana bidadarl..." ia memuji, setelah matanya menatap dengan beringas pada wajahnya Seng Giok Cin sekian lamanya. Kelihatannya ia mengagumi sekali kecantikannya Seng Giok Cin.

ow, kalau saja sinona sadar dengan mendadak melihat ada lelaki asing duduk ditepi pembaringannya, niscaya ia akan lompat bangun dan menyerang tanpa ampun lagi. Tapi justeru si nona dalam tidur, dalam pulas, tidak ingat keadaan disekitarnya, hingga sangat leluasa untuk orang berbuat jahat atas dirinya.

Demikianlah yang terjadi dengan si lelaki tadi, setelah memandang puas wajah orang dan lengannya mengusap usap pipi si nona, lantas tanganya menggerayang lebih jauh.

"Nona Seng, siapa suruh kau begini cantik..." katanya seraya tangannya membukai kancing baju sinona.

Saat itu sudah sebagian kancing bajunya sinona terbuka, hatinya lelaki jahat itu sudah dakdik, duk. Pikirnya nona Seng puterinya Seng Pocu yang akan menjadi "makanan" lezatnya, tapi . . .

Tiba-tiba saja satu bayangan orang tinggi besar telah masuk melalui jendela kamar, hingga bikin orang jahat itu menjadi lompat mundur dari pembaringan sambil mengawasi siapa yang datang.

Hatinya bukan main kagetnya, karena ia kenali siapa yang datang itu. orang yang baru masuk dari jendela tadi ketawa dingin.

"Teng Leng" bentaknya, "Betul-betul kau berani mati, Kau tahu siapa nona yang kau hendak ganggu itu ?"

"Dia Seng Giok cin putrinya Seng Pocu."

"Nah, kau sudah tahu kenapa kau begitu berani mati hendak mengganggunya " Si penjahat yang ternyata bernama Teng Leng membangkang.

"Kau sebenarnya ada satu Penjahat pemetik bunga, entah sudah berapa banyak perempuan baik-baik yang telah menjadi korbanmu. DiSeng-keepo aku sudah mengenali kau, ketika mana aku sudah ingin membunuh padamu. Tapi aku harus bersabar, karena aku masih pandang mukanya tuan rumah, Seng Pocu. Disini kau ketemu aku,jangan harap kau dapat meloloskan diri..."

"orang she Kim, jangan banyak bacot, apa sih kepandaianmu?" memotong Teng Leng dengan sikap jumawa.

"Ha ha ha..." tertawa orang yang dipanggil orang she Kim, ia ternyata bukan lain dari Kim Toa Ki, murid kesayangan dari ketua oei-sanpay dan akan menjadi calon ciangbun-jin (ketua) dari partainya menggantikan ceng coe Goan, ayahnya nona ceng li yang pada saat itu masih memegang tampuk pimpinan-

"Kau tertawakan apa?" bentak Teng Leng.

"Aku tertawakan kau, bangsat tolol"

"Bagaimana kan bisa mengatakan aku tolol?"

"Kau menguntit Ho Tiong Jong dan Seng Giok Cin akan tetapi diri sendiri dikuntit orang tidak berasa ha ha ha..."

Teng Leng berubah wajahnya, ia merasa malu sebagai penjahat tukang menggerayangi orang perempuan, ia terkenal sangat gesit dan sukar dicari jejaknya, karena ia sangat licin. Tempatnya tidak menentu.

Dilain pihak, sebenarnya merasa jerih terhadap Kim Toa Ki, yang sudah merebut nama dalam kalangan Kang-ouw karena ilmu pedangnya. Kalau ia sudah unjuk sikap jumawa dan ucapannya yang dikeluarkan seperti yang tidak takuti Kim Toa Ki, itulah karena ia paksakan- Pikirnya, kalau ia tidak unjuk

kelemahannya, Kim Toa Ki niscaya tidak begitu memandang rendah padanya.

"orang she Kim..."

Baru ia mengucapkan demikian, lantas ia seakan angin serangan telapakan tangan telah mengarah dadanya,

Itulah serangan Kim Toa Ki yang tidak mau mengasih ketika si bangsat ngoceh lebih lama, jago dari oey-san-pay itu memang sangat benci Teng Leng, pengrusak kesucian kaum wanita. Di Seng keepo sebenarnya ia sudah hendak turun tangan, kalau ia tidak mengingat perbuatannya itu kurang baik terhadap dirinya tuan rumah.

Sejak meninggalkan Seng- keepo Kim Toa Ki terus menguntit penjahat cabul itu, tanpa disadari. Kebetulan sekali ketika penjahat perempun itu memasuki kamarnya Ho Tiong Jong diikuti Kim Toa Ki dan lantas mengintai perbuatannya dalam kamar.

Ketika ia melihat penjahat itu membukai kancing bajunya Seng Giok Cin, hatinya gusar bukan main tanpa menunggu lagi ia sudah menerjang masuk melalui jendela yang mana tidak terkunci. Ternyata penjahat cabul itu sangat gesit, sebab serangannya Kim Toa Ki dapat dipunahkan dengan kegesitannya.

Kemudian ia mengebut dengan lengan bajunya dan saat itu lampu menjadi padam, Keadaan dalam kamar menjadi gelap. pintu tampak terbuka dan si penjahat meloloskan diri, kemudian lompat kegenteng hendak melarikan diri lebih jauh.

Tapi ia tidak menyangka sama sekali, kalau Kim Toa Ki gerakannya ada lebih gesit lagi, karena belum berapa langkah ia lari, Kim Toa Ki sudah menyandak dan mengirim serangan dahsyat dengan angin pukulannya, hingga si penjahat terpental tubuhnya dan menggelundung jatuh lagi ketanah.

Dengan kesakitan ia bangun dan lekas-lekas mau menghilang, tapi Kim Toa Ki sudah berada lagi didepannya, Kini ia tanpa dapat ditangkis oleh si terjahat cabul, pukulan geledek dari Kim Toa Ki sudah bersarang didadanya, seketika itu juga Teng Leng terhuyung-huyung sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya.

Kemudian ia rubuh dan-.. jiwanya melayang menemui raja akherat untuk beruntungan akan dosanya yang sudah berbuat banyak kejahatan didalam dunia. Demikian ada bagiannya si penjahat cabul yang dikutuk oleh masyarakat.

Kim Toa Ki datang mendekati ia memeriksa dan dapat kenyataan memang Teng- Leng sudah tidak bernyawa lagi, ia kemudian meninggalkan sang korban dan masuk ke dalam kamarnya Seng Giok Cin, ia menyalakan lampu, lalu menghampiri sinona yang sedang rebah tidak ingat keadaan disekitarnya.

ia mendadak melihat badannya Seng-Giok Cin yang bajunya sudah terbuka separuh. cepat-cepat ia bertindak keluar dan rapatkan lagi pintu kamar. Dengan tindakan lebar ia pulang ketempat penginapannya sendiri. ia mengetuk kamar disebelah kanan yang ia sewa.

"Sumoy, sumoy, bangun... Ada urusan penting yang memerlukan pertolonganmu. Lekas bangun sebentar." demikian sambil mengetuk pintu, Kim Toa Ki telah membanguni sumoaynya ceng Ie yang tidur dikamar tersebut.

"Aaaa... ada apa suheng?" tanya ceng ie dari sebelah dalam, suaranya marah-marahan-

"Bangun sebentar, ada urusan penting perlu dikerjakan-"

"Ah, suheng sebaiknya itu dilakukan besok pagi saja, aku ngantuk...."

Kim Toa Ki tak berdaya, ia kenal baik tabiatnya sang sumoy kalau sudah tidur tak mau dibangunkan meskipun ada kejadian apa juga.

Setelah ia terpekur sejenak. mendadak ia mendapat serupa pikiran yang dianggapnya akan membikin sang sumoy dapat bangun-

ia lalu mengetuk lagi dan berkata. "Sumoy si penjahat memetik bunga hampir-hampir saja masuk..."

"Haaa.... dia" terdengar ceng ie lompat bangun dari tempat tidurnya.

Dilain saat tampak pintu kamar terbuka dan ceng ie sudah berdiri dipintu dengan pakaian untuk jalan malam, "Mana dia suheng? Kurang ajar, aku sebelum dapat membunuh mati orang cabul itu hatiku belum merasa puas." katanya dengan bengis, hingga Sang suheng ketawa nyengir karena akalnya berhasil.

"Hampir masuk bukan kekamarmu sumoy, dia hampir kekamarnya seorang wanita dilain tempat penginapan- mari kita kesana, untuk mengepung dirinya, Masa iya dia bisa lolos dari tangan kita?" kata Kim Toa Ki.

ceng ie tanpa diminta kedua kalinya, dengan lantas merapatkan pintu kamarnya dan mengikuti pada suhengnya yang jalan dimuka menuju ketempat penginapannya Seng Giok Cin.

XXXII LENCANA RAHASIA TUHAN.

NONA ceng di bawa ketempat di mana Teng Leng menggeletak dalam keadaan tidak bernyawa, dari jauh ceng ie dapat melihat ada orang menggeletak ditanah, lalu menanya pada suhengnya, "Hei, suheng, didepan itu ada orang yang menggeletak. siapa dia ?"

"Dia adalah penjahat yang barusan kuberitahukan padamu, sumoy."

"Kan bilang kita akan mengepung penjahat, sekarang dia sudah menggeletak dalam keadaan tidak bergerak. buat apa mesti dikepung lagi ?" ceng ie melirik pada suhengnya sambil monyongkan mulutnya.

Kim Toa Ki ketawa nyengir "mari kita lihat dia " Dilain saat keduanya sudah berdiri dekat tubuhnya Teng Leng.

"Dia sudah mampus, siapa yang membunuh dia." tanya ceng ie

"Aku sendiri yang membunuhnya."

"celaka tiga belas." menggerendeng ceng ie sambil putar tubuhnya dan hendak kembali ke tempat penginapannya.

"Eh, eh nanti dahulu, sumoy...." kata Kim Toa Ki gugup, sambil pegang lengannya si- nona, hingga si nona terpaksa merandek.

"Kau ada apa lagi, penjahat sudah kau bunuh, apa kau kurang puas dan sekarang hendak mengganggu ketentramanku diwaktu tidur?" Si nona berkata, wajahnya cemberut, rupanya mendongkol diapusi oleh suhengnya.

"Bukan begitu, sumoy. Kau jangan marah dahulu, dengar aku cerita. Nah, disana itu ada kamarnya wanita yang si penjahat hendak satroni, Dia keburu aku bunuh, hinga tak dapat melakukan kerjaannya yang busuk..."

"Hahh, sekarang kau mau apa?" memotong si nona.

"Aku minta pertolonganmu."

"Pertolongan apa, sih?"

"Tolong kau masuk kedalam kamar itu dan lihat bagaimana keadaannya siwanita dalam kamar itu, apakah dia masih pingsan karena ketakutan ?"

ceng ie jebikan bibirnya. "Hmmm...." katanya, "ada-ada saja suheng mengasih kerjaan diwaktu aku enak tidur..."

Meskipun mulutnya berkata demikian, tapi kakinya terus jalan menghampiri kamarnya Seng Giok Cin. Dalam kamar lampu dipasang terang, maka ketika ia masuk dan mendekati pembaringan lantas saja ia kenali wanita yang sedang tidur itu ada nona Seng, putrinya Seng Pocu.

Hatinya ceng ie terkejut "Kenapa Seng Giok Cin berada disini?"

Pikirnya, "benar-benar penjahat itu berani mati, berani-berani membentur putrinya seng pocu yang sangat berpengaruh dalam dunia Kang ouw." Terdengar ia meneriaki suheng.

"Suheng, apa kau tidak tahu atau dalam kamar ini ada Seng Giok Cin ?"

"Mana aku tahu, sebab aku tidak masuk kedalam." jawab Kim Toa Ki, dalam hati diam-diam ia merasa geli.

"celaka betul, bagaimana kau bilang dalam kamar ini ada perempuan kalau kau tak dengan mata sendiri melihatnya ?"

"Sudah, jangan banyak rewel, Tolong sadarkan dia dari pingsannya. habis perkara, setelah sadar, kau boleh meninggalkannya sumoy. Kita harus buru-buru pulang..."

"Hmmm...." sumoy perdengarkan suara di-hidung.

ceng Ie datang dekat pada nona Seng, lalu ulur tangannya membuka totokan pada urat tidurnya, sebentar lagi sinona mengucek-ngucek matanya, kemudian menangis sedih hingga ceng Ie menjadi heran.

"Adik seng, kenapa kau menangis?" tanya nya.

Seng Giok cin sambil susut air matanya yang bercucuran telah mengawasi pada nona ceng.

"Hei, enci ceng ada disini?" ia balik menanya.

"Aku disini, karena gara-garanya suhengku yang mengganggu orang tidur-"

"Enci ceng, kenapa begitu?" tanya nona Seng heran.

Pikirnya, mesti ada kejadian yang tidak beres, makanya Kim Toa ci dan ceng Ie mendadak ada disitu, ia kuatirkan Ho Tiong Jong, Karena salah paham, dua orang oei-san pay itu yang menduga Ho Tiong Jong mau berbuat jelek terhadap dirinya, telah menghajar Ho Tiong Jong hingga kabur dari situ.

"Kalau tidak ada suhengku, niscaya kau akan menjadi korban orang jahat." kata ceng Ie. "Untung saja ada suhengku yang keburu turun tangan . . ."

"Enci ceng, siapa orang jahat itu?" memotong Giok Cin dengan pikiran gelisah. Pikirnya, tentu tidak bisa salahi Kim Toa Ki salah mengerti dan mengira Ho Tiong Jong ada orang jahat.

"orang itu yang hendak berbuat jahat atas dirimu sekarang sudah mampus." Seng Giok Cia kaget bukan main-

Hampir saja keterlepasan dari mulutnya menyebut nama Ho Tiong Jong.

Tapi perkataan "Ho" yang hampir meluncur dari mulutnya telah ditelannya lagi.

"Enci ceng, siapa orang jahat itu yang telah dimampusi oleh suheng ?"

ceng Ie tertawa, "Suhengku sangat berjasa sudah turun tangan sebelum kau dijadikan korbannya." kata ceng Ie, ia seperti juga yang hendak menggoda nona Seng, tidak lantas menjawab langsung pertanyaannya Seng Giok Cin.

Seng Giok Cin tidak sabaran, dalam hati diam-diam sangat mendongkol. "Kau tahu, siapa orang jahat itu?" tanya ceng ie. Seng Giok Cin geleng-geleng kepala.

"Dia adalah si tukang petik bunga diwaktu malam yang tersohor bernama Teng Leng. penjahat paling kurang ajar dan entah sudah berapa banyak wanita yang menjadi korban kebusukannya itu. Hmm baiknya dia hanya ketemu suhengku, coba kalau dia berhadapan dengan aku, pasti kematiannya Tidak tinggal utuh, sedikitnya kepalanya akan terpisah dari tubuhnya"

Kaget bukan main Seng Giok Cin mendengar penuturan nona ceng.

"terima kasih, memang aku dalam keadaan pulas lupa daratan, mana dapat berdaya membela diri kalau penjahat itu hendak berbuat jahat? Sukur, sukur, dan aku mengucapkan terima kasih kepada suheng mu yang sudah dapat mencegah kejahatannya itu atas diriku. Mana suheng mu sekarang?"

"Suhengku ada diluar, mungkin dia sekarang sudah kembali kerumah penginapan- Nah, sekarang kau sudah tersadar dan aku pun sudah tidak diperlukan lagi pertolongannya, maka aku permisi berlalu saja, adik seng."

Seng Giok cin turun dari pembaringannyadan memberi hormat pada ceng ie sambil berkata, "Enci ceng, tolong kau sampaikan pada suhengmu aku punya terima kasih atas perlolongannya itu. juga kepadamu yang sudah membuka totokan urat tidurku, aku juga tidak lupa menghaturkan banyak banyak terima kasih." ceng ie repot juga menerima penghormatan dari nona Seng,

Dilain saat Seng Giok Cin sudah berada sendirian lagi, ceng ie sudah pergi menyusul suhengnya, yang pada keesokan harinya mereka telah meneruskan perjalananya ke oey-san.

Seng Giok Cin saat itu memikirkan Ho Tiong Jong. Kemana perginya pemuda itu sehingga dirinya dalam keadaan tidak ingat orang hampir-hampir saja menjadi korbannya Teng Leng, yang ia sudah dengar penjahat itu sangat busuk kelakuannya.

Ia tidak mengerti akan perbuatannya Ho Tiong Jong yang telah menotok urat tidurnya kemudian ditinggalkan sendirian-

Kapan ia ingat akan kejadian dirinya hampir menjadi mangsanya Teng Leng, si penjahat cabul yang mesum itu hatinya Seng Giok Cin menjadi tawar terhadap dirinya Ho Tiong Jong. Pikirnya, pemuda itu benar-benar tak setulusnya menyinta pada dirinya karena buktinya ia telah meninggalkan dirinya.

Tapi kemudian ia ragu ragu dalam hatinya sendirian-

Kenapa Ho Tiong Jong sudah meninggalkan ia sendirian? Kemana dia sudah pergi? Apakah dia sudah mati karena racun dalam tubuhnya.

Pelahan-lahan ia rapihkan pakaiannya, puyeng ia memikirkan halnya Ho Tiong Jong. Sementara itu cuaca juga sudah mulai terang tanah.

Dengan hati sedih Seng Giok Cin meninggalkan rumah penginapan itu, kembali pulang ke rumahnya, karena ia tidak ungkulan untuk mencari jejaknya Ho Tiong Jong.

Ia jalankan kudanya dengan pelahan-lahan, Pikirannya kusut betul, saban-saban tampak ia kerutkan alis dan bibirnya menjadi seperti yang merasa cemas sekali. Inilah karena pikirannya tidak bisa melupakan pada Ho Tiong Jong,

Pemuda itu sudah demikian ihlas meninggalkan dirinya dalam keadaan tertotok, apa- maksudnya? Apakah dengan maksud hendak membuat dirinya celaka? Ah, tidak bisa jadi. Demikian dalam otaknya bergulat pikiran yang hendak menilai kewalitetnya Ho Tiong Jong dalam urusan asmara.

Ketika sang matahari sudah mulai naik tinggi, ia terpaksa pecut kudanya untuk dilarikan karena ia merasa kepanasan juga. Tidak lama kemudian ia sudah sampai di rumah.

Setelah menyerahkan kudanya kepada pelayannya, lantas ia masuk ke dalam kamarnya, ia menukar pakaian yang

barusan penuh debu, kemudian mencari ayahnya dalam ruangan kamar tempat bekerjanya.

Pada saat itu, ia melihat ayahnya sedang duduk menghadapi meja tulisnya sambil termenung-menung dan saban-saban tangannya mengurut- urut kumis dan jenggot yarg panjang, Air mukanya seperti yang sangat berduka sekali, hingga Seng Giok Cin merasa sangat kasihan-

Tiba-tiba saja ia telah menubruk ayahnya sambil berseru. "Ayah."

Tapi seng Eng ternyata sikapnya ada lain dari biasa. Kalau biasanya ia suka menyambut pelukannya sang puteri yang manja dengan penuh kasih, kini ia telah menolak tubuhnya si gadis, sehingga Seng Giok cin jatuh meloso dilantai.

"Ayah..." Seng Giok Cin sambil merayap bangun.

"Kau jangan menyentuh pula tubuhku, aku sudah bukan ayahmu lagi..."

Seng Giok Cin buka lebar matanya, karena merasa sangat kaget akan sikapnya dan perkataannya sang ayah yang demikian asing untuk telinganya. "Ayah, kau kenapa?" tanyanya ketika sudah berdiri lagi.

"Hmm...Budak hina, kau sudah berikan golok Lam tian-to kepada Tiong Jong? jawab." sang ayah membentak dengan amat gusar.

Seng Giok cin anggukkan kepalanya, Seng Eng sangat murka, Alisnya berdiri, kumis dan jenggotnya juga hampir pada berdiri, bahwa menahan amarahnya yang besar, "Budak hina, kalau begitu tentukan yang sudah kasih lolos Tiong Jong yang itu malam menyaru sebagai pengemis. Betul?"

Seng Giok cin perih hatinya. Air mata-nya tanpa terasa mengucur deras, sambil anggukkan kepalanya perlahan-lahan ia menjawab "Ayah, Tiong Jong sudah mati, untuk apa ayah sampai begini marahnya?"

"Mati? Apa aku tidak tahu, ketika di Liu-soa kok kau tidak ikut pulang, selanjutnya kau kabur dengan anak gendeng itu?"

"Memang benar aku bersama Tiong Jong berjalan bersama-sama tapi selama itu aku bergaul dengannya tidak melanggar batas kesopanan-"

"Bagus Bagus!!! Tidak melanggar batas kesopanan-"

"Kau kenapa ayah? Tiong Jong ada satu pemuda baik-baik bagaimana ayah bagitu marah kepadanya."

"Baik, baik, itulah dalam anggapanmu yang sudah mabok cinta, Budak hina, kau pulang apa maksudmu?"

"Aku pulang kerumah hendak menemui ayah "

"Kau pulang hendak membikin aku muntah darah dan lekas mati, bukan?"

Seng Giok Cin melengak, ia melihat ayahnya saking marah suaranya hampir terdengar ditenggorokan, kemudian mengucurkan air mata.

Seng Eng ada satu jago yang terkenal dalam kalangan putih dan hitam, tidak berkedip membinasakan jiwa manusia dan tidak menyesal akan segala perbuatannya yang salah, apa lagi mengeluarkan air mata.

Tapi kali ini, menghadapi puterinya, yang dianggapnya sudah nyeleweng dan membantu pada pemuda bukan komplotannya, bukan main perihnya dan tanpa terasa ia mengucur kan air mata.

Menyaksikan keadaannya sang ayah demikian, cepat Seng Giok cin jatuhkan diri berlutut.

"Ayah" katanya sambil menangis tersedu-sedu, "apakah kesalahan Giok Jie Yang membuat ayah begini marah? oh... kalau saja ibu masih ada, tentu Giok Jie akan memeluk kakinya untuk minta perlindungan dari kemarahan ayah yang begini rupa..."

Seng Eng semakin sedih mendengar puterinya menyebut-nyebut ibunya yang sudah lama meninggal dunia.

Perlahan-lahan dari lengan bajunya ia mengeluarkan badi-badi kecil dan dilemparkan kedepan Seng Giok Cin sambil berkata, "Budak hina, kau sudah bikin malu ayahnu, hanya kematian saja yang dapat menebus dosamu.. Nah, terimalah ini dan kau boleh habiskan jiwamu di depanku.."

Seng Giok Cin bukan main kagetnya, inilah ada perlntah ayahnya yang tidak bisa ditawar lagi. Sudah menjadi kebiasaan ayahnya, kalau hendak menghukum orang-orangnya paling dekat, ia melemparkan badi-badi kecilnya untuk orang itu membunuhi diri. Tak ada pengampunan lagi.

Dilihat dari sikap orang tua itu. Seng Giok Cin sudah tidak diberi ampun lagi.

Pikirnya Seng Giok Cin, pemuda yang menjadi idam-idamannya sudah mati karena racun maka ia hidup lama-lama juga tidak ada gunanya. Kini ada jalan, ayahnya telah menyuruh ia mati didepannya, Maka ia sudah tidak menyayangi pula jiwanya. Ia lalu menubruk kaki ayahnya dan menangis sesenggukan

"Ayah..." katanya dengan suara memilukan- "Giok Jie ada satu anak yang tidak berbakti, telah membikin ayah kesal dan marah, maka biarlah setelah nanti Giok jie sudah tidak bernapas harap ayah suka mengampuni dosa Giok jie menjadi bergembira lagi sebagaimana biasa . . ."

Ia hentikan kata-katanya sejenak. tangannya pelan-lahan memungut badi badi yang dilemparkan ayahnya tadi.

Saat itu Seng Eng melihat kelakuannya sang putri yang sangat dikasihinya itu, bukan main pilu hatinya, ia seolah-olah ingin menangis menggerung- gerung dan ia tidak tega menyaksikan keadaan putrinya demikian menderita.

Ia lihat, setelah badi-badi berada ditangan nya, sambil acungkan itu diarahkan ke tenggorokannya, Seng Giok Cin dengan berlinang-linang air mata telah berkata.

"Tiong Jong, kau sudah jalan lebih dulu, tunggulah aku akan menyusul padamu..."

seketika itu, tangannya digerakan hendak menubles tenggorokannya sendiri, akan tetapi diluar dugaan kakinya Seng Eng dengan cepat telah menendang tangan si nona, hingga badi badi itu telah terlempar jauh.

"Budak jelek." kata Seng Eng dengan hati pilu, "Apa-benar Ho Tiong Jong sudah mati? Lekas jawab?"

Seng Eng sama sekali tidak menduga kalau Seng Giok Cin begitu setia membela kekasihnya hingga dengan tabah hendak mengorbankan dirinya menyusul rokhnya Ho Tiong Jong. Keadaan Sang puteri membuat Seng Eng berubah wajahnya pucat seketika, dengan gugup barusan ia menendang dengan kakinya si nona hendak tancapkan badi badi nya yang tajam ditenggorokannya .

"Ayah. . ."jawab Seng Giok Cin. "Tiong Jong semalam sudah mati karena racun yang ada dibadannya. Dimana mayatnya sekarang berada, Giok Jie, aku sendiri tidak tahu, Karena ayah begitu marah kepadanya maka Giok Jie pikir biarlah jiwa Giok Jie berkorban untuk menghilangkan kebencian ayah, Ayah, dia ada seorang baik, Giok Jie menyinta kepadanya."

Mendengar putrinya dengan terang-terangan membuka rahasia hatinya, Seng Eng sangat gusar selalu. Bahna gemas, saat itu kakinya melayang menendang putrinya, sehingga tubuhnya Seng Giok Cin terlempar bergulingan dua tumbak. Seng Eng masih marah, ia terus menghampiri puterinya dan berkata dengan keras.

"Budak hina, budak tak berbudi, kamu ini dengan mati-matian membela Ho Tiong Jong dan melupakan ayah yang

membesarkan dan mendidik kau sampai dua puluh tahun lamanya. Kau tidak ingat budi orang tua, apa kau ini boleh dihitung manusia?"

Seng Giok Cin menangis sedih sekali.

Seumurnya, baru kali ini ia mengalami periakuan yang demikian tak enak dari sang ayah, seingatnya, ia sangat dimanja oleh ayahnya dan dianggapnya ia puteri tunggalnya yang sangatjempolan- Tapi kali ini karena sangat membenci Ho Tiong Jong, Seng Eng demikian marah terhadap puterinya.

"Ayah..." kata Seng Giok Cin, "perlu apa menyebut-nyebut orang yang sudah mati. Semalam jam tiga racun dalam tubuhnya bekerja, dan merenggut jiwanya, Pada saat ia meninggalkan Giokjle ia telah menotok urat tidurnya Giokr jie sehingga tidak tahu ke mana ia sudah pergi . ."

"Bagus.." memotong sang ayah, "Kau ditotok dan kau tidak tahu kenapa Tiong Jong sudah pergi, Hm Dalam hal ini kalau bukan kau yang mendustai aku, adalah kau yang membohongi Ho Tiong Jong, kau mengerti."

"Ayah mengapa kau berkata demikian?"

"Lencana Rahasia Tuhan telah hilang.."

"Ayah . . ."

"Kalau bersekongkol mencuri lencana itu, kau membohongi aku, tapi kalau kau tidak tahu hal Lencana itu, Tiong Jong telah menipu padamu."

"Tapi, ayah . . ."

"Heran." kata Seng Eng. "Tiong Jong menemukan kematiannya, kenapa ia tidak menyerahkan kembali Lencana itu kepadamu, Lencana itu sudah tentu masih ada pada Tiong Jong ketika ia menarlk napasnya yang penghabisan.."

Seng Giok Cin sangat terkejut mendengar cerita ayahnya, dengan suara lemah ia ber-kata.

"Tapi, ayah, lencana itu pasti dicuri orang lain- Buat Tiong Jong yang melakukan itu tidak bisa jadi, Giokjie kenal betul hatinya yang jujur. Tak bisa jadi Ho Tiong Jong melakukan itu karena dia tidak tahu akan nilai harganya. Lencana Rahasia Tuhan itu, ia sama sekali tidak tahu kalau dalam Perserikatan Benteng perkampungan ada pertikaian dan keretakan. Betul, dia tidak tahu."

Seng Eng tertawa getir, "Anak bodoh, kau tahu apa? Anak tolol itu telah menipu pada mu kau tidak berasa. Kau tahu, lencana itu Selainnya dia tidak ada siapa lagi yang mengambilnya. Dia dengan co Kang cay sudah berdiam dalam gudang benda benda pusaka, bekas- bekas jejaknya mereka tampak tegas. Diluar gudang harta, bekas bekas kakinya itu telah dihapus oleh mereka, rupanya supaya jangan diketahui orang." Seng Giok Cin gelisah hatinya.

Ia sama sekali tidak perCaya, kalau Ho Tiong Jong telah mencuri lencana pusaka ayahnya itu. Kalau benar ia pencurinya benar benar anak muda itu cinta kasih terhadap dirinya palsu belaka.

Dengan begitu tentu Ho Tiong Jong tidak mati sedang racun yang dikatakan ada dalam tubuhnya dan akan merenggut jiwanya tentu itu hanya karangan Tiong Jong saja.

Mengingat pada yang barusan disebut, Seng Giok Cin, keretak gigi wajahnya berubah bengis, tangannya dikepal- kepalkan, se-olah-olah yang sangat gemas sekali.

Melihat kelakuannya sang puteri, Seng Eng menarlk kesimpulan bahwa Seng Giok Cin benar tidak tahu menahu soal lencana pusaka itu. Pasti adalah Ho Tiong Jong yang telah mencurinya.

seng Eng berduka mengingat putrinya sudah terbenam dalam lautan asmara.

Ho Tiong Jong cakap dan gagah, ia tidak bisa menyaksikan anaknya meny intai pemuda seperti Ho Tiong Jong yang menjadi idam-idaman gadis yang mana juga.

cuma saja ia sangat menyesal, karena terlibat oleh asmara itu, putrinya telah melupakan dirinya yang menjadi ayahnya dan yang mendidiknya sedari kecil.

Seng Eng benar-benar sangat berduka, bagaimana ia harus mengambil putusannya kepada putrinya yang sangat dikasihinya itu? Kembali ia mengucurkan air mata.

Sambil menyusut air matanya yang mengalir dikedua pipinya, orang tua itu telah berjalan masuk kedalam dan sebentar kemudian keluar lagi, dengan membawa satu bungkusan kecil yang segera dilemparkan pada Seng Giok Cin berkata.

"Dalam bungkusan itu ada barang permata berharga, paling sedikit harganya tidak kurang dari seratus sembilan rlbu tail perak,cukup buat ongkos hidupmu, Mulai saat ini kita putus hubungan antara anak dan ayah, maka kau pergilah dari siul, jangan kau menginjak pula rumah ini. Kalau kau melanggar putusanku ini, aku akan membakar rumah ini, dan akan membunuh kau dan aku juga akan menyusul rokhmu."

"Ayah." seru Seng Giok Cin, kembali ia menubruk kaki ayahnya, Akan tetapi Seng Eng dengan keras hati sudah menendang sang puteri hingga ia bergulingan dilantai sambil menangis gegerungan-

"Kau tentu kenal baik adatku." katanya, "Sekali menetapkan keputusan tak dapat dilanggar oleh siapapun. Nah, segera sekarang ku akan mengabarkan kepala gurumu, Kok Lo lo di Tay pek san, supaya dia tidak menerima kedatanganmu kesana karena perbuatanmu yang menghianati ayah sendiri, Kok Lo lo tentu akan menerima baik permintaanku, sebab dia memang paling benci kepada orang yang berhianat, kau boleh hidup kemana saja, jangan

mengaku lagi aku sebagai ayahmu. Nah, jalanlah lekas meninggalkan tempat ini "

"Ayah, oh, kau... ke.." lagi-lagi ia menubruk kaki ayahnya, kali ini juga tubuhnya si nona telah terlempar jauh-jauh kena di tendang oleh Seng Eng yang segera meninggalkan putrinya sedang menangis gegerungan. Dilain saat Seng Eng sudah tidak kelihatan dalam ruangan itu, sementara Seng Giok cin juga sudah jatuh pingsan bahna sedihnya, Ketika ia mendusin hari sudah menjelang magrlb.

Ia sangat berduka, kembali ia menumpahkan air mata mengingat akan nasibnya entah bagaimana nanti.

Setelah melampiaskan kesedibannya, sambil menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya, Seng Giok cin pelahan-lahan merangkak dan memungut bungkusan kecil tadi yang dilemparkan oleh ayahnya. isinya memang ada barang permata yang sangat berharga dan cukup untuk bekal selama melewatkan hidupnya. Tapi apa artinya hidup untuk dia tanpa Ho Tiong Jong disampingnya?

Penghidupan untuknya menjadi tawar, lebih-lebih lagi karena ia dilarang untuk menjumpai gurunya di Tay-pek san- Memang orang tua dalam rumah es di Tay peh-san itu, mudah saja akan menerima pengaduan-nya sang ayah danakan membenci padanya, pikirnya tidak berguna ia pergi menemui gurunya untuk meminta keadilan-

Mengingat akan kata-kata ayahnya bahwa Tiong Jong tentu sudah menipu dirinya dan ia kena dibohongi oleh pemuda itu, pikirnya Tiong Jong tentu belum mati dan ia akan mencari orang muda untuk bikin perhitungan atas perbuatannya yang telah membuat putus hubungan antara ia dengan ayahnya^ Semangatnya lantas bangun.

Lantas ia bangkit berdiri, kemudian berjalan masuk kedalam kamarnya.

Dalam kamarnya tidak terlihat dua pelayannya yang biasa menyambutnya. Kemana mereka itu ?

Pikirnya, sudah tentu ayahnya yang sudah menggebah dua pelayannya itu.

Hatinya sakit sekali, sambil menggigit bibirnya ia buka lemari dan bereskan pakaiannya yang perlu dibawa sekalian juga beberapa barang permata yang menjadi kesukaannya ia bawa, pedangnya yang disangkutkan pada tiang pembaringan juga tidak lupa ia bawa.

Setelah beres, dengan pedang tersoren di pinggang, ia berjalan keluar.

Tidak seorangpun ia ketemukan dalam rumah itu, se-olah-olah semuanya sudah dilarang oleh ayahnya untuk menjumpai dan melayani padanya.

Seng Giok Cin gigit bibirnya sampai berdarah, iailah saking ia menahan pilu hatinya, ia sebagai satu puteri yang sangat dimanja kini diusir begitu kejam.

Ia tahu tabiat ayahnya, sekali ia bilang putih harus putih, maka sekali ia mengusir ia sudah harus angkat kaki dari rumahnya, Kalau tidak. benar benar orang tua itu akan membuktikan perkataannya akan membakar rumahnya, membunuh ia dan kemudian membunuh diri sendiri.

Demikianlah dengan hati sangat sedih ia meninggalkan rumahnya.

Saban-saban tampak ia menoleh kebelakang seakan-akan yang mengucapkan selamat tinggal kepada itu pohon-pohonan yang bagus, kepada itu taman bunga dan kolam indah permai, dimana ia bisa bermain dengan gembira.

Sang waktu sudah malam, maka ia tahu mencari suatu rumah penginapan unmk melewatkan sang malam.

Dalam rumah penginapan ia minta disediakan makanan, untuk menangsal perutnya yang sudah keroncongan, ia sebenarnya tidak bernapsu makan, akan tapi ia paksakan juga karena kuatir masuk angin dan nanti mendapat halangan dalam perjalanannya mencari Ho Tiong Jong.

Mengingat akan dirinya Ho Tiong Jong saban-saban si gadis kertak gigi dan kepal-kepalkan tangannya, ia sangat gemas, karena dirinya sudah ditipu oleh kecintaanya yang palsu, demikian pikirnya.

Ia mengharap lekas-lekas ia akan menjumpai pula pemuda itu dan akan membuat perhitungan untuk perbuatannya yang palsu.

Untuk membikin supaya dirinya tidak dikenali orang makanya ia sudah menyaru sebagai lelaki dalam perjalanannya. Malah kali ini, ia sudah menutup wajahnya dengan sepotong kain kuning, yang dibagian matanya ia lubangi.

Demikianlah dalam pakaian itu, ia telah melakukan perjalanan beberapa hari, tapi penyelidikannya tentang Ho Tiong Jong tidak juga ia dapat selentingan apa-apa.

Dengan cara kebetulan sekali, pada itu malam penyerbuan ke kuil Kong beng-si oleh Khoe cong dan kawan-kawannya, seng Giok cin justru berada dalam kuil tersebut, baru saja bertindak masuk untuk minta meneduh karena kemalaman-

Ia mendengar orang berteriak menyebut nama Ho Tiong Jong, hatinya lantas terkesiap dan ia kenali bahwa yang berseru itu ada Siauw-pocu Khoe cong.

Pikirnya, tidak bisa salah lagi tentu dalam kelenteng itu ada bersembunyi Ho Tiong Jong, orang yang sedang ia cari.

Seng Giok Cin mengerti kedatangannya Khoe cong mencari Ho Tiong Jong niscaya tidak bermaksud baik. Khoe cong

datang tentu bukan sendirian, masih ada lagi kawan-kawannya yang akan menyusul belakangan.

Melihat kekejamannya Khoe cong yang menerjang masuk dengan menggunakan pukulan-pukulan yang ganas, hatinya Seng Giok Cin tidak tega mendengar hweshlo muda yang menjadi korbannya pada berteriak menyayatkan hati.

Lantas Ho Tiong Jong dam kamar yang dijaga kuat oleh Kong Goan hweshlo itu sedang berbuat apa? ia tidak ingin pemuda itu jatuh ditangan kawanan orang kejam, ia harus ambil pihaknya Ho Tiong Jong untuk menolak mundur mereka, kalau sudah selamat barulah nanti ia sendiri membuat perhitungan dengan si pemuda.

Setelah mengambil keputusan tetap. maka ia sudah menyerbu dalam perkelahian ketika Khoe cong sedang membasmi kawanan kepala gundul yang tidak seberapa kepandaiannya dari pada menganggap Khoe cong itu ada satu tamu lihay ilmu silatnya.

Selanjutnya adalah seperti pembaca mengetahui, maka sekarang kita kembali menceritakan pertemuannya Ho Tiong Jong dan Seng Giok Cin. Melihat Ho Tiong Jong melengak, Seng Giok Cin berkata.

"Engko Jong, meskipun cintamu terhadapku tidak dengan setulusnya, aku sendiri tak dapat melupakan padamu. Aku akan pergi kesuatu kuil yang jarang dikunjungi manusia, dimana aku akan cukur rambutku dan masuk menjadi nikow..."

Ho Tiong Jong kaget, sambil cekal tangan si gadis dan digoyangkan ia menanya. "Adik Giok, kau mengambil keputusan itu sudah dipikir matang-2"

Seng Giok Cin tundukan kepalanya dan sejenak tak dapat menjawab.

"Bagaimana, apa kau sudah pikir dengan matang?" si pemuda ulangi pertanyaannya.

"Ya, sudah..." jawabnya pelahan-

"Sebabnya, kenapa kau mau menjauhkan diri dari aku ?"

Si nona tak dapat menjawab ia tundukkan kepalanya dengan pikiran kusut.

"Kau mengambil tindakan itu karena menyesal sudah bergaulan dengan aku, hingga kau diusir oleh ayahmu bukan?"

". . . bukan begitu engko . . .Jong..."

"Habis, apa?"

"Kau tidak tahu kesulitan hatiku, Apa kau tidak paham dengan perkataanku barusan bahwa meskipun kau tidak menyinta aku dengan setulusnya, aku sendiri tetap tidak akan melupakan padamu. "

"Kesulitan karena lencana pusaka itu?"

"Ya. Karena hilangnya lencana itu, ayahku akan mengalamkan kesulitan dari kawan-kawan seperjuangannya yang semuanya ada mempunyai tanda demikian-"

"Adik Giok apa kau menyangka aku yang mencurinya."

"Aku tidak menuduh padamu, hanya menurut katanya ayah dalam kamar harta ada kedapatan bekas-bekas kakimu dan co Kang cay." Ho Tiong Jong tidak enak hatinya. Sesaat lamanya mereka membisu.

"Adik Giok, ayahmu tidak keliru mendapatkan bekas bekas kaki kami dalam kamar harta itu, akan tetapi aku tidak mencuri lencana yang dimaksud itu. Aku hanya mengambil beberapa butir mutiara untuk diberikan kepada co Kang cay..."

"Kenapa kau berbuat begitu?"

"Karena aku pikir co Kang cay sudah disekap oleh ayahmu dua puluh tahun lamanya, ada lebih dari pantas kalau dia mendapat keuntungan sedikit untuk ongkos hidup melewatkan hari tuanya. Aku kasihan dia...."

Sampai disini, si pemuda seperti ingat sesuatu? Ketika ia berada dalam kamar harta dan ketarlk hatinya oleh sesuatu benda dari gading, yang ia masukkan kedalam kantongnya tanpa disadari bahwa itu ada maksud perbuatan mencuri.

"Eh Adik Giok. Bukankah ini barangnya yang kau maksudkan?" sembari keluarkan benda yang terbikin dari gading itu diserahkan pada tangannya si gadis. seng Giok Cin terbelalak matanya melihat benda itu.

"Engko Jong, benar ini dia.." katanya sambil terus diperiksa benda itu.

WAJAHNYA yang barusan sangat berduka, kini telah berubah dengan tiba-tiba- ia begitu girang, hingga mulutnya tak berhenti menyungging senyuman-

Ho Tiong Jong yang melihat kekasihnya demikian gembira ia merasa puas dan lega hatinya. ia berkata pada Seng Giok Cin.

"Adik Giok. harap kau jangan salah paham dan suka dimaafkan perbuatannya, Benda itu telah aku masukkan kedalam kantongku dengan tak mengandung maksud lain dari pada aku merasakan sangat ketarik olehnya dan tanpa disadari aku mengambilnya. Aku berani bersumpah kalau..."

Seng Giok Cin menubruk si pemuda, tangannya yang mungil menekap mulutnya yang hendak meneruskan ucapannya,

"Aku percaya, aku percaya, Engko Jong," kata Seng Giok Cin dengan berseri-seri manis.

Ho Tiong Jong memeluk tubuhnya si nona yang langsing, matanya berlinangkan air mata, "Adik Giok hanya kau seorang

didunia ini yang dapat mempercayai diriku, Adik Giok kau adalah jiwaku yang kedua..."

Seng Giok Cin terharu, ia juga tak tahan kalau tak mengucurkan air mata, karena hatinya sangat kasihan pada pemuda sebatang kara ini.

"Aku selalu percaya akan kejujuranmu, Engko Jong."

Si gadis berkata sambil mengeluarkan sapu tangannya yang wangi semerbak. dipakai menyeka air matanya si pemuda yang berlinang dipipinya yang cakap.

Keduanya dengan perasaan lega dan girang lalu pada duduk lagi diatas batu besar dan Seng Giok Cin telah menanya pada sipemuda.

"Engko Jong, apakah kau tahu riwayatnya benda ini yang dinamai "Lencana Rahasia Tuhan?"

Ho Tiong Jong geleng-geleng kepala, "Aku tak tahu riwayatnya, aku baru melihatnya lebih tegas juga sekarang setelah kau kenali dia ada benda yang dicarinya." Seng Giok Cin angguk-anggukan kepalanya sambil berseri seri,

"inilah memang aku sudah menduga," sahutnya dengan suara merdu, "Engko Jong baiklah aku akan bercerita padamu hal riwayatnya benda pusaka ini, yang begitu jauh aku mendapat tahu dari ayahku, yang dalam tempo senggangnya suka mendongeng kepadaku sukalah kau mendengarkannya ?"

"Adik Giok. asal kau yang bercerita, biarpun bermalam-malam aku akan mendengarkannya dengan penuh perhatian. "

"Kalau orang lain?" Memotong sigadis sambil mengerlingkan matanya yang jeli, yang kontan menusuk hatinya si pemuda hingga berdebaran. Ho Tiong Jong ketawa nyengir.

"Kalau yang lain bagaimana ?" mengulangi Seng Giok Cin.

XXXIII. KEMBALI BERPISAHAN.

"Kalau yang lain aku ngantuk dibuatnya."

"Hii..." Seng Giok Cin sambil ulur tangannya yang halus hendak mencubit lengannya si pemuda akan tetapi ia urungkan ketika mengingat tempo hari ia mencubit seperti iuga mencubit papan besi.

"Kenapa tidak jadi adikku ?" menggoda si-pemuda.

Seng Giok Cin deliki matanya, tapi sudah tentu dibarengi dengan senyuman mesra. Keduanya gembira bersenda gurau.

Kemudian Seng Giok Cin menuturkan riwayatnya, "Lencana Rahasia Tuhan itu seperti berlkut, Leluhur dari "Perserikatan Benteng Perkampungan," ada berjumlah sembilan orang.

Mereka semuanya ada berkepandaian ilmu silat tinggi dan masing-masing ada mempunyai kepandaian simpanannya yang istimewa. Semuanya sangat terkenal dalam kalangan rlmba persilatan dan rata-rata pada belum punya istri.

Mereka itu ada menjagoi dalam kalangan putih, ada juga yang menjagoi dalam kalangan hitam. Pendeknya rata-rata mereka malang melintang dalam kalangan Kangouw jarang menemukan tandingan, oleh karenanya mereka jadi sangat bangga dengan kepandaiannya dimilikinya.

Berbareng pada masa itu, ada muncul juga seorang jago silat tua yang menamakan dirinya in Kie Lojin, Kepandaiannya dalam soal ilmu silat, tenaga dalam dan lain-lain, sangat tinggi sukar diukur berapa tingginya.

Satu demi satu sembilan jagoan ketemu dengan in Kie Lojin dan satu demi satu sudah pernah dikalahkan oleh In-Kie Lojin. Mereka merasa kurang puas dengan kelakuannya itu. Apa mau, pada suatu waktu mereka bisa berkumpul bersama-sama

dan masing-masing pada menceritakan pengalamannya kena dijatuhkan oleh In Kie Lojin.

Mereka dengan serentak lalu menganggap bahwa In Kie Lojin itu sebagai musuh mereka bersama.

Untuk menebus kekalahan, mereka telah menggabungkan tenaga hendak mencari in Kie Lojin. Tapi sebelumnya, mereka ingin minta petunjuk dari Beng Hie Sanjin, yang menurut kabar ada susioknya in Kie dan benci kepada sutitnya itu.

Satu diantaranya sembilan jago itu telah mengutarakan pikirannya, kalau hendak mencari Beng Hie Sanjin tempatnya dibelakang Sian-hoa digunung oeisan. Sebab sering orang melihat orang tua itu ada muncul digunung oei san-

Mereka lantas berunding dan telah diambil keputusan untuk pergi kebelakang puncak Lian hoa, mencari orang tua yang telah mengasingkan diri itu.

Betul saja, mereka sudah bisa menemui Beng Hie Sanjin ditempat yang disebutkan oleh salah satu kawannya. Mereka dengan berterus terang telah menceritakan bahwa mereka penasaran tempo hari telah dipecundangi oleh In Kie Lojin dan kedatangan mereka adalah hendak minta petunjuk bagaimana caranya supaya bisa mengalahkan in Kie Lojin. Beng Hie Sanjin ketawa mendengar permohonannya sembilan orang itu. Ia kata. benar ia ada susioknya in Kie Lojin.

Dahulu ketika suhunya masih hidup, ia belajar bersama-sama dengan suhengnya. Tapi dalam pelajaran itu ternyata dibeda-bedakan, suhengnya telah mendapat pelajaran ilmu tenaga dalam yang istimewa, akan tetapi ia sendiri tidak. Maka ketika suhunya meninggal ia bangkit bangkit suhunya yang menyayangi muridnya pilih kasih, selalu mengeloni suhengnya.

Sang suheng dengan ketawa menghibur pada sutenya, supaya ia jangan salah mengerti karena dalam anggapan suhunya sang sute ita tabeatnya masih belum ada ketentuan,

di kuatirkan kalau sudah mempunyai ilmu yang hebat perjalanannya akan menyeleweng.

Keterangan mana membuat Beng Hie Sanjin tidak tenang dan bertengkar dengan suheng yang selalu mengalah kepadanya.

Kemudian sang sute sudah meninggaikan suhengnya, yang jadi sangat berduka ketika melihat kepergiannya sang sute yang tak dapat ditahan. Malah Beng He Sanjin saat itu telah sesumbar, bahwa kelak, kemudian ada satu hari ia akan kembali dan mengunjukkan kepandaian yang lebih mahir dari suhengnya.

Suhengnya hanya menyambut sesumbarnya sang sute dengan ketawa getir.

Lama sejak itu mereka tidak ketemu, ketika pada suatu hari Beng Hie San-jin pulang hendak menemui suhengnya ternyata sang suheng sudah meninggal dunia.

Itulah pada tiga puluh tahun berselang, sejak Beng Hie Sanjin meninggaikan suhengnya.

Ia dapat kenyataan bahwa ilmu gaib dari kitab, "Kumpulan ilmu silat sejati," telah diwariskan kepada in Kie Lojin. Hal yang membuat hatinya sangat tidak senang dan mencaci maki pada in Kie Lojin, yang dikatakan tidak berhak menerima warisan kepandaian dari suhengnya.

Mereka bertengkar mulut, akhirnya urusan hanya dipusatkan dengan kepalan, Maka keduanya lantas mengukur tenaga kepandaiannya, akan tetapi ternyata Beng Hie Sanjin masih bukan tandingannya in Kie Lojin, ia akhirnya dikalahkan dengan sangat malu sekali ia lantas mencari suatu tempat untuk menyepi dan meyakinkan lebih jauh kepandaian yang kiranya dapat menjatuhkan in Kie Lojin.

Ia telah menciptakan suatu tin (barisan) yang istimewa, terdiri dari beberapa orang untuk menempur ln Khie Lojin,

karena kalau mengandaikan kepandaian satu dua saja untuk menempur in Kie Lojin masih bukan tandingannya. Kebetulan sembilan orang itu datang berkunjung.

Waktu itu in Kie Lojin masih belum rampung meyakinkan semua ilmu dalam kitab pusaka itu, jikalau in Kie Loiin sudah satu tahun meyakinkannya, jangan harap sembilan orang itu dapat merubuhkannya. Tapi justeru waktu itu masih ada tiga bulan dan baru in Kie Lojin tamat mempelajari kitab gaib itu.

Sembilan orang itu ketarik dengan penuturannya Beng Hie San jin tentang kitab Kumpulan ilmu silat sejati, mereka ingin memilikinya, maka mereka telah mendesak kepada orang tua itu supaya memberikan pelajarannya tentang barisan.

Beng Hie san-jin berkata kepada mereka, bahwa tempo ada demikian singkat, yaitu jikalau sebelumnya tiga bulan mereka dapat belajar dengan mahir pasti ada harapan dapat menang, dan in Kie Lojin, sebaliknya kalau sampai belajar lewat tiga bulan mereka belum mahir dengan ilmu barisan ini, jangan harap bisa menempur in Kie Lojin yang ilmunya sangat tinggi.

In Kie Lojin setelah dia mahir dengan segala ilmu silat yang tersebut dalam kitab "Kumpulan ilmu silat sejati" tentu ia akan menjadi jago tanpa tandingan dalam kalangan rlmba persilatan-

Sembilan orang itu merengek-rengek minta diajari ilmu barisan ( tin ) itu dari si orang tua, mereka berjanji akan belajar sungguh-sungguh supaya dapat mengalahkan in Kie Lojin dan merampas kitab pusaka itu untuk dijadikan milik mereka.

Demikian, akhirnya mereka punya permintaan diluluskan, Mereka belajar dengan tekan ilmu barisan itu, yang kemudian di namai "barisan Naga Emas dan Kuda sembrani di empat penjara angin", Disebabkan mereka belajar dengan sangat tekun, maka dalam tempo dua bulan mereka sudah lulus di uji

oleh Beng Hie Sanjin-Mereka kemudian mencari in Kle Lo-jin untuk membuat perhitungan-

Sembilan orang itu terdiri dari sembilan she, mulai she Kim co, Seng, Khoe, Lauw, IHui, cong dan ciauw. Dalam pertemuan dengan In Kie Lojin, mereka minta disaksikan oleh orang-orang dari kalangan Kang-ouw pengeroyokannya atas dirinya in Kie Lojin.

Sedang pada in Kie Lojin mereka telah menetapkan syarat, ialah kalau mereka kalah, mereka disuruh apa saja oleh In Kie Lojin, tegasnya mereka menyerah dibawa kekuasaannya In Kie Lojin. Tapi sebaliknya, jikalau mereka menang, mereka tak menginginkan lain dari pada in Kie Lojin suka menyerahkan kitab pusakanya yang sangat mengilarkan hati mereka.

in Kle Lojin mendengar syarat itu, telah mengerutkan alisnya dan diam-diam berpikir. "ia sudah mahir atau apal diluar kepala akan isinya kitab "Kumpulan ilmu silat sejati", kalau ia kalah bertanding, tidak ada halangan melukiskan petunjuk diatas sesuatu benda untuk mereka mencari sendiri dimana disimpannya buku pusaka itu."

Kalau mereka berjodo, sudah tentu dengan mudah didapatkan oleh mereka berdasarkan petunjuk yang dilukiskan olehnya, akan tetapi kalau mereka tidak mempunyai jodo sudah tentu buku itu tak dapat diketemukan-

Akhirnya in Kie Lojin telah menyanggupi syarat yang diajukan oleh mereka.

Begitulah, mereka telah mengatur barisannya dengan lantas dan kemudian mengundang untuk In Kle Lojin datang memukul pecah barisannya.

In Kie Lojin agak terkejut juga menyaksikan barisan yang belum pernah ia lihat dalam pengalamannya. Tapi, sebagai jago ulung, ia pantang mundur dan menyerbu pada barisan-

Dengan dikepalai orang she Kim, sembilan orang itu telah mengurung dan jalankan ilmunya dengan sangat hati-hati dan cepat sekali.

Setelah lama in Kle Lojin terputar-putar tidak juga dapat memecahkan barisan tersebut, maka ia telah menyerah kalah dan meluluskan permintaannya mereka.

Ia minta supaya sembilan orang itu mundur tiga puluh lie dari tempat tinggalnya.

Dalam tiga hari mereka akan mendapat pengunjukan dari jago kawasan itu perihal dimana ditaruhnya buku wasiat itu.

Mereka memang jerih untuk berurusan lebih jauh dengan in Kie Lojin, maka perjanjiannya itu telah diterima saja dengan sangat terpaksa.

Demikianlah dalam tempo tiga hari in Kie Lojin telah melukis pada sembilan buah lencana dari gading, yang mengunjukkan dimana disimpannya buka pusaka itu.

Kalau orang dapat membaca dan mengerti maksudnya, yang terlukis pada sembilan lencana gading itu, sudah tentu akan dapat mengambil kitab yang diliarkan itu.

Tempo tiga hari sangat cepat dalam anggapannya in Kie Lojin, akan tetapi lama untuk sembilan orang yang menanti-nantikan kedatangannya jago ulung itu.

Tidak sampai mereka mengeluh kekesalan karena in Kie Lojin memegang betul janjinya. Pada waktunya ia telah menemukan sembilan orang itu dan menyerahkan pada mereka masing-masing satu lencana yang dan diberitahukan bagaimana mereka harus gunakan sembilan lencana itu sebagai pengunjuk jalan ketempatnya kitab "Kumpulan ilmu silat sejati" disimpan-

Kala itu sudah malam, maka mereka setelah satu persatu menerima lencana gading itu telah kembali ke tempat penginapannya, semalaman mereka tidak bisa tidur, karena

masing-masing pada kuatir kalau lencananya nanti akan dirampas oleh kawannya sendiri.

Mereka kemudian telah angkat saudara, akan tetapi perbuatan itu tak menghilangkan rasa curiganya masing-masing akan kecurangan dari kawannya sendiri.

Dalam tempo lima tahun mereka gentayangan mencari kitab pusaka itu, akan tetapi tidak mendapatkan hasilnya, karena belum paham benar apa yang tersebut pada sembilan lencana itu. Akhirnya satu persatu merayap pada suatu tempat, sehingga mati mereka tidak saling berjumpa lagi.

Kemudian turunannya membentuk perserikatan yang dinamai "Perserikatan Benteng perkampungan" dengan tujuan mempererat hubungan, tapi belakangan ini mereka telah ngalamkan keretakan, Satu dengan lain saling curiga mencurigai dan masing-masing pada mengambil jalannya sendiri-sendiri mengumpulkan kawan yang gagah gagah untuk nanti menjagoi diantara kawan-kawannya perserikatan.."

Ho Tiong Jong setelah mendengar riwayat sembilan lencana tersebut, lalu angguk-anggukkan kepalanya, kemudian menyekal tangannya si gadis, katanya.

"Adik Giok. bagaimana kalau kita sama-sama berusaha mengumpulkan lencana itu, hingga berjiwalah lengkap sembilan dan kita sama-sama memahamkannya arti dalam lencana itu? Aku tidak percaya kalau kita tidak paham dan mendapatkan pedang pusaka itu. Bagaimana pikiranmu?"

Giok cin bersenyum manis, diam-diam merasa bahagia atas perhatian pemuda pujaannya itu dan tangan yang menyekal tangannya itu rasanya hangat dan mesra.

"Adik Giok. kau sudah diusir oleh ayahmu, rasanya tidak ada halangannya kau mengikuti aku merantau bukan?" tanya si pemuda, ketika melihat Seng Giok Cin diam saja.

"Aku girang bila dapat menyertai kau merantau, tapi bukannya sekarang."

"Kenapa begitu?"

"Namamu jelek dipemandangan ayah, karena dituduh dengan sengaja kau mencuri benda pusakanya. Aku diusir juga lantaran dituduh sekongkol dengan kau. Hal ini perlu dibersihkan karena kau bukan sengaja membawa benda pusakanya dan aku juga bukan Sekongkolanmu. Maka perlu aku menemui ayahku untuk menyerahkan benda ini dan menerangkan bahwa kau membawanya dengan tidak disengaja, Bukan ini baik?"

Ho Tiong Jong tidak menjawab, hanya kerutkan alisnya.

"Jadi, kau tak mau ikut aku merantau?"

"Bukannya begitu Engko Jong."

"Habis bagaimana maksudmu?" Ho Tiong Jong seperti yang agak mendongkol karena kekasihnya menolak diajak bersama-sama merantau, sebaliknya hendak kembali kerumah ayahnya.

"Kasih, aku pulang dahulu untuk menemui ayahku, untuk membereskan salah paham lencana pusaka yang dibawa olehmu ini." kata Seng Giok Cin sambil menunjukkan benda pusaka yang mengakibatkan kesulitan itu. "Kau tak usah ikut aku mungkin ada meminta tempo juga untuk aku membikin ayahku mengerti dan memaafkan pada kita, Kau boleh menantikan aku disuatu tempat untuk kita berjumpa lagi...."

"Berapa lama kau pulang ke rumah?" tanya si pemuda.

"sebaiknya kau kasih tempo lamaan sedikit, paling lama tiga bulan dah."

"Baik, baik, aku akan menanti kau."

"Dimana sebaiknya kau menanti aku untuk kita bertemu pula?" Ho Tiong Jong tundukkan kepalanya, seakan-akan yang berpikir.

"Aku kira dirumahnya co Kang cay di Yang-ce ada tempat yang paling baik untuk kita bertemu muka kembali, Disana aku sekalian dapat menyelidiki..."

"Menyelidiki apa?" memotong Seng Giok Cin.

Ho Tiong Jong lantas menyeritakan ceritanya co Kang cay dalam penjara air perihal baskom ajaib dan patung kumala yang mempunyai khasiat luar biasa.

Benda benda itu terdapat dalam gunung-gunungan yang telah dapat diselidiki jalan masuknya oleh co Kang cay didalam dua puluh tahun lamanya. la sudah berjanji dengan orang tua itu akan bersama-sama menyelidiki dua benda wasiat itu.

Setelah mendengar penuturan sang kekasih. "sebaiknya kau jangan terlalu memikirkan yang bukan-bukan. orang semakin berilmu semakin dibuat iri hati oleh sesamanya. Maka paling baik kita jadi orang sederhana saja, selamat dan aman bukanlah ini ada lebih baik?"

Si nona menutup matanya sambil mengerlingkan matanya dan bersenyum manis. Ho Tiong Jong tersenyum menyambutnya.

Kemudian ia angguk-anggukan kepalanya, tandanya ia setuju dengan perkata anyasi Nona. Tiba-tiba IHo Tiong Jong ingat sesuatu, ia merogoh kantongnya sambil berkata.

"Adik Giok kurasa kitab pusaka yang dimaksudkan dalam sembilan lencana itu ada jilid ke-1, sebab jilid kedua aku sudah punya. Nah, ini dianya."

Ho Tiong Jong menyerahkan pada si nona buku yang tempo hari di bawa-bawa oleh si-pengemis beracun Kang ciong, Seng Giok Cin terkejut, ia lantas menyambuti dan memeriksa buku itu, ternyata tidak salah itu jilid ke dua.

"Engko Jong, kau dapat dari mana kitab berharga itu?" tanya si nona heran.

Ho Tiong Jong lalu menuturkan dengan rlngkas pengalamannya dengan Tok-ka y Kang Ciong dan ia peroleh buku itu diatas sebuah pohon yang sedang dipatokin burung. Kitab mana telah di sambitkan oleh si pengemis beracun itu dan nyangkut dipohon.

"Kau simpanlah baik baik, Engko Jong." kata sigadis setelah habis memperhatikan, seraya diserahkan kepada sipemuda lagi.

"Aku ingin, setelah kita dapatkan yang ke satu, kitab ini menjadi lengkap dan kita bisa bersama sama mempelajarlnya disuatu tempat pegunungan-"

"Kau ingin mengasingkan diri, Engko Jong?" menyelak si gadis,

"Memang maksudku demikian, asal kau selalu berada disampingku . . ."

Seng Giok Cin mengerlingkan matanya yang jeli, penuh dengan rasa bahagia dan kasih. sebelum ia membuka mulut, Ho Tiong Jong telah berkata lagi.

"Adik Giok. asal kita sudah memahamkan dengan mahir isinya kitab ajaib itu pasti kita akan merupakan pasangan pendekar dalam dunia Kangouw tanpa tandingan-"

"Bagus, bagus, kau boleh melamun muluk-muluk. Nah, sekarang aku hendak pergi."

"Nanti dulu, adikku." mencegah Ho Tiong Jong sambil tangannya menyamber pinggang yang langsing itu, ditarlk dan dipeluknya dengan hangat.

"Adik Giok . ."

"Engko Jong ..."

Dua pasang mata beradu denganpenuh kasih sayang, itulah ada saat-saat yang sangat bahagia bagi sepasang merpati itu.

Mulutnya tak dapat mengucapkan kata-kata, akan tetapi sorot mata dari kedua pihak cukup menyatakan seribu kata isi hatinya, Lama mereka saling berpelukan, "Engko Jong, aku hendak pergi..." terdengar suara si nona pelahan, ia pelahan-lahan meloloskan diri dari pelukan lengan yang kuat itu.

"Adik Giok aku tidak ingin kau tinggalkan..." sambil memeluk makin erat, hampir si nona tak berkutik.

"Engko Jong, hanya untuk sementara waktu saja kita berpisah."

"Kau akan ikut aku merantau bukan?"

"Tentu, pasti aku akan ikut kau. Eh, kenapa kau menangis."

Si nona kaget menampak IHo Tiong Jong berlinang-linang air mata. cepat-cepat ia mengeluarkan setangannya dipakai menyusuti air mata kekasihnya.

"Engko Jong, kau jangan menangis. Kau kenapa?" sambil menyeka air matanya.

"Adik Giok . ." sahut sipemuda dengan suara d iteng gorokan, "hidupku matang dalam penghinaan, hanya kau adik Giok ... hanya kau seorang yang memperhatikan aku dan menyayang diriku. Kau adalah jiwaku yang kedua..."

Lengannya memeluk makin erat, seng Giok Cin sampai hampir tak bernapas, tapi ia rela dan biarkan diri dipeluk demikian rupa oleh pemuda pujaannya yang hendak melampiaskan rasa duka hatinya, mencari kehangatan dari orang yang mengasihinya. sebentar lagi pelukan sipemuda mengendur.

Seng Giok gunakan ketika ini untuk melepaskan diri, sambil berkata.

"Nah, Engko Jong, lepaskan aku, untuk menemui ayah membikin bersih namamu yang dituduh tanpa atasan, lepaskan Engko Jong ...."

Agak tidak rela si pemuda melepaskan si nona yang bertubuh kecil langsing tapi lincah dan gesit sekali.

Dilain saat kelihatan Ho Tiong Jong mengawasi berlalunya Seng Giok Cin sambil berdiri terbengong-bengong, semangatnya seolah-olah terbawa oleh bayangannya Seng Giok cin yang telah menghilang tidak lama kemudian-Ketika ia tersadar dari lamunannya, semangatnya terbangun.

Ia sudah berkeputusan pasti, bahwa Seng Giok cinlah yang akan menjadi pasangannya yang setimpal. Meski ia ada puterinya seorang Pocu yang kaya raya anak yang dimanja sejak kecil, ternyata ia dapat menyesuaikan dirinya untuk menyinta dan dicinta oleh seorang miskin seperti dirinya.

Ia memperhatikan sikap dan kelakuan si nona terhadap dirinya, begitu ramah dan telaten, ia mengingat akan kebalkan Seng Giok Cin yang berulang kali menolongnya. Semua ini seolah-olah merupakan "meterai" pada hatinya akan tidak mencintai gadis lagi, kecuali si jelita Seng Giok Cin.

Demikian ia melanjutkan perjalanannya dengan melamun-

Tidak lama, ia sudah sampai dirumahaya co Kang cay di Yang-ce. Ketika ia mengetuk pintu rumah, yang membukanya adalah si cantik Ie Ya.

Ho Tiong Jong agak tertegun menampik si iblis cantik ada dirumahnya co Kang cay sebelum ia membuka mulut telah didului oleh Ie Ya.

"Adik Jong, aku memang sudah menduga kau akan datang lagi kesini, cuma saja begini cepat benar ada diluar dugaanku."

Ie Ya berkata sambil menyilahkan Ho Tiong Jong masuk.

seraya berjalan masuk Ho Tiong Jong menanya. "Encie le, kenapa kau ada di sini?"

"Kenapa, apa tak boleh aku berada disini"

"Bukannya begitu, hanya aku merasa heran saja"

"ow, kau heran, kau baik sekali enci le." kata Ho Tiong Jong tersenyum

Ie Ya mengerlingkan matanya yang galak. tiba-tiba ia ingat akan kelakuannya sendiri ketika menghadapi sipemuda dalam pingsan- ia telah mencium Ho Tiong Jong dengan berlinang-linang, oh, bagaimana bahagianya ia dapat menyentuh pipi orang yang menjadi impiannya itu. justru ia ingat itu, maka selembar mukanya menjadi merah dan ia tundukkan kepalanya ketika Ho Tiong Jong mengawasi kepadanya.

Diam-diam Ho Tiong Jong tidak enak hatinya, karena ia tahu benar, bahwa iblis cantik ini ada jatuh hati kepadanya. Bagaimana ia dapat menyambut cintanya si cantik karena hatinya sudah ditempati oleh Seng Giok Cin, gadis pujaannya yang kecil langsing, yang pandai dalam bun dan bu (sastra dan silat).

Untuk membuat nona Ie tidak lebih menjadi lengket pula kepadanya, maka Ho Tiong Jong sebisa bisa unjukkan sikap tawar, ia terus berjalan masuk menemui co Kang cay yang saat itu datang menyambut dengan jalan dingkluk-dingkluk pakai tongkat.

Ie Ya tidak enak hatinya melihat sikap sipemuda tetapi ia bisa bersabar dan mengikuti dibelakangnya masuk ke dalam.

"Aaa, Tiong Jong, selamat ketemu lagi..." co Kang cay berkata dengan gembira.

"Selamat, selamat co lopek.,." sambut Ho Tiong Jong gembira. Keduanya saling bergandengan jalan masuk keruangan tetamu.

Li lo-sat ie Ya tidak turut masuk. karena ia anggap mereka baru ketemu lagi, sudah tentu keduanya merasa kangen untuk dapat berCakap cakap berduaan saja.

Memang juga dugaannya ie Ya tidak meleset, sebab mereka terus bercakap cakap dengan sangat gembira agaknya. Terutama si orang tua she co nyerocos terus.

Setelah masing-masing basahkan tenggorokannya dengan teh hangat, co Kang cay berkata pada Ho Tiong Jong.

"Tiong Jong, bagaimana dengan maksud kita tempo hari?"

"Urusaa apa itu co lopek?"

"Ah, kau ini suka kelupaan, apa kau sudah lupa dengan baskom ajaib dan si cantik yang hebat khasiatnya."

Ho Tiong Jong terkejut ia diam-diam saja, tidak lantas menjawab, hingga si orang tua tidak sabaran dan menanya pula.

"Tiong Jong kau kenapa? Apa ada hal-hal yang menghalang kau turut aku melakukan penyelidikan kesana?" Ho Tiong Jong anggukkan kepalanya.

"Hei, bukankah kau sudah berjanji akan kita bersama-sama menyelidikinya?"

"Tadinya memang begitu, tapi sekarang hatiku merasa tawar."

"Tawarnya? Apa sebabnya, Tiong Jong?"

Ho Tiong Jong kerutkan alisnya, "co lopek," katanya kemudian, menurut katanya adik Giok penyelidikan itu kita jangan terus kan, karena banyak bahayanya."

"Ah, Tiong Jong, Sudah dua puluh aku membuat penyelidikan bagaimana aku dapatkan rahasianya jalan masuk ke gunung-gunungan itu, dan sekarang aku sudah yakin benar theorlku itu akan berhasil. Tapi dengan mendadak kau berubah pikiran, apa kau mau membikin aku muntah darah karena kekesalan?"

Ho TiongJoug tercengang mendengar bicaranya si orang tua yang diucapkan dengan sungguh-sungguh, ia lalu menghiburi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar