Taiko Bab 39 : Secawan Teh

Bab 39 : Secawan Teh

PENAMPILAN laki-laki itu seperti biksu pengembara, namun gaya berjalannya lebih menyerupai prajurit. la sedang mendaki Jalan Raya Shurukuji.

"Hendak ke mana kau!" seorang penjaga gerbang Shibata berseru.

"ini aku," biksu itu membalas sambil membuka tudung yang menutupi kepalanya.

Para penjaga gerbang memberi isyarat ke arah pagar pertahanan di belakang mereka. Sekelompok orang terlihat berkerumun di muka gerbang. Si biksu menghampiri seorang perwira dan mengucapkan beberapa patah kata. Sejenak timbul kegaduhan. tapi kemudian perwira itu mengambil seekor kuda dan menyerahkan tali kekang pada si biksu.

Gunung Yukiichi merupakan perkemahan Sakuma Genba dan adiknya, Yasumasa. Laki-laki yang menyamar sebagai biksu adalah Mizuno Shinroku, seorang pengikut Yasumasa. Sebuah pesan rahasia telah dipercayakan padanya. dan kini ia tengah berlutut di hadapan junjungannya, di dalam markas besar.

"Bagaimana hasilnya? Kabar baik atau burukkah yang kaubawa?" Yasumasa bertanya tak sabar. "Semuanya sudah beres." jawab Shinroku.

"Kau berhasil bertemu dengannya? Apakah semuanya berjalan lancar?" "Musuh sudah menempatkan barisan pengintai, tapi hamba berhasil menemui Yang Mulia Shogen." "Bagaimana rencananya?" "Hamba membawa surat dari beliau."

la melongok ke dalam topi anyaman yang dipakainya, lalu mencabut sambungan tali pengikat. Sepucuk surat yang ditempelkan di bawahnya jatuh ke pangkuannya. Shinroku melicinkan semua kerut, lalu menyerahkan surat itu kepada junjungannya.

Yasumasa mengamati sampulnya untuk beberapa saat.

"Ya, ini memang tulisan tangan Shogen, tapi suratnya ditujukan kepada kakakku. Ayo, ikut aku. Sekarang juga kita temui kakakku, lalu melapor ke perkemahan utama di Gunung Nakao."

Junjungan dan pengikut itu keluar dari pagar pertahanan dan mendaki puncak Gunung Yukiichi. Semakin dekat ke puncak, barisan prajurit, kuda, gerbang-gerbang pagar penahanan, serta barak-barak semakin rapat. Penjagaan pun semakin ketat. Akhirnya kubu pertahanan utama, yang menyerupai sebuah benteng, mulai tampak. dan mereka melihat petak-petak bertirai yang tak terhitung jumlahnya tersebar-sebar di puncak gunung. "Beritahu kakakku bahwa aku ada di sini." Ketika Yasumasa tengah bicara dengan pengawal di hadapannya, salah satu pengikut Genba meng- hampirinya sambil berlari.

"Tuanku Genba tidak ada di tempat, Yang Mulia."

"Dia pergi ke Gunung Nakao?" "Tidak, beliau ada di sebelah sana."

Ketika menoleh ke arah yang ditunjuk pengikut itu, Yasumasa melihat kakaknya, Genba, duduk di rumput di belakang benteng, bersama lima atau enam samurai dan pelayan. Sukar untuk memastikan apa yang sedang mereka kerjakan.

Setelah mendekat, ia melihat bahwa Genba telah menyuruh salah satu pelayannya memegang cermin, sementara pelayan lainnya membawa baskom. Di sana, di bawah langit biru. Genba sedang bercukur, seakan-akan tak ada yang membebani pikirannya.

Hari itu hari kedua belas di Bulan Keempat.

Musim kemarau telah tiba, dan kota-kota benteng di daerah dataran sudah dilanda hawa panas. Tapi di pegunungan, kesejukan musim semi masih bertahan.

Yasumasa mendekat dan berlutut di rumput. "Ah. adikku?" Genba melirik dari sudut mata,

namun tetap menyorongkan dagunya ke arah cermin, sampai ia selesai bercukur. Baru setelah pisau cukur diletakkan dan wajahnya dibasuh dengan air dari dalam baskom, ia menoleh kepada adiknya. "Ada apa. Yasumasa?"

"Sebaiknya Kakanda menyuruh para pelayan pergi dulu."

"Kenapa kita tidak kembali ke petakku saja?" "Jangan, jangan. Ini justru tempat terbaik untuk

pembicaraan rahasia."

"Kaupikir begitu? Baiklah." Sambil berpaling kepada para pelayannya, Genba memerintahkan agar mereka menjauh.

Mereka membawa cermin dan baskom, kemudian pergi. Para samurai pun mengikuti mereka. Tinggal kakak-adik Sakuma yang duduk berhadap-hadapan di puncak bukit. Selain mereka berdua. masih ada satu orang lagi—Mizuno Shinroku. yang datang bersama Yasumasa.

Sesuai pangkatnya, Shinroku tetap menjaga jarak, dan bersujud ke arah kedua atasannya.

Baru sekarang Genba melihatnya. "Rupanya Shinroku sudah kembali." "Ya, dan dia melaporkan bahwa semuanya berjalan lancar. Sepertinya dia berhasil melaksanakan tugasnya."

Tentu tidak mudah. Hmm. bagaimana tanggapan Shogen?" "Shogen menitipkan surat."

Genba segera membuka surat yang diserahkan kepadanya. Sorot matanya tampak gembira, dan kegembiraan itu juga tercermin dalam senyumnya yang mengembang. Keberhasilan macam apakah yang bisa membuatnya begitu senang? Bahunya sampai terguncang-guncang hampir tak terkendali.

"Shinroku, mendekatlah. Kau terlalu jauh di sana."

"Baik, tuanku."

"Berdasarkan surat Shogen, keterangan lengkap rupanya telah dipercayakan padamu. Ceritakanlah semua yang dikatakan Shogen."

"Yang Mulia Shogen mengungkapkan bahwa beliau maupun Yang Mulia Ogane telah berselisih paham dengan junjungan mereka, Katsutoyo. bahkan sebelum Nagahama beralih tangan. Perselisihan itu telah diketahui oleh Hideyoshi. sehingga meskipun keduanya ditunjuk sebagai komandan Benteng Dangi dan Gunung Shinmei. mereka berada di bawah pengawasan pengikut kepercayaan Hideyoshi, Kimura Hayato. Mereka hampir tak dapat berbuat apa-apa."

"Tapi baik Shogen maupun Ogane bermaksud melarikan diri dan datang ke sini."

"Mereka berniat membunuh Kimura Hayato besok pagi. Setelah itu. mereka berdua bersama anak buah masing-masing akan membelot ke pihak kita."

"Kalau ini akan terjadi besok pagi, kita tak boleh buang-buang waktu. Kirim pasukan ke tempat mereka." Genba memerintahkan pada Yasumasa. Kemudian ia kembali menanyai Shinroku, "Sementara laporan mengatakan bahwa Hideyoshi berada di perkemahan utamanya, sedangkan menurut berita lain, dia berada di Nagahama. Kau tahu di mana dia sekarang?"

Shinroku mengakui bahwa ia tidak mengetahuinya.

Bagi pihak Shibata, pertanyaan apakah Hideyoshi berada di garis depan atau di Nagahama merupakan pertanyaan yang sangat penting.

Tanpa mengetahui di mana ia berada, orang- orang Shibata tak bisa menentukan langkah berikut. Strategi Katsuie tidak memberi tempat bagi serangan tunggal dari satu sisi. Ia telah menunggu cukup lama agar pasukan Nobutaka di Gifu dapat ikut meramaikan kancah peperangan. Setelah itu pasukan Takigawa Kazumasu dapat melancarkan serangan, dan bersama-sama pasukan Mino dan Ise akan mengancam Hideyoshi dari belakang. Pada saat itulah kekuatan utama Katsuie yang berjumlah dua puluh ribu orang akan menyerbu dan memojokkan Hideyoshi di Nagahama.

Katsuie telah menerima surat dari Nobutaka sehubungan dengan rencana itu. Jika Hideyoshi berada di Nagahama, ia akan mengatur agar Gifu maupun Yanagase bersiap-siap. Jika Hideyoshi berada di garis depan. Katsuie harus siaga, sebab saat pemberontakan Nobutaka sudah dekat.

Tapi sebelum salah satu dari kedua rencana itu dapat dilaksanakan, orang-orang Shibata harus membatasi ruang gerak Hideyoshi, guna memberi kesempatan pada Nobutaka untuk melangkah.

"Keberadaan Hideyoshi tetap belum jelas." ujar Genba. Tampak jelas bahwa dalam masa penantian yang begitu lama, yang telah berlangsung lebih dari sebulan, ia semakin tertekan. "Hmm. kita berhasil memancing Shogen, dan itu saja sudah merupakan alasan untuk bergembira. Yang Mulia Katsuie harus segera diberitahu. Kita tunggu tanda dari Shogen besok."

Yasumasa dan Shinroku pergi lebih dulu dan kembali ke perkemahan mereka. Genba memanggil seorang pelayan dan menyuruhnya membawakan kuda kesayangannya. Disertai sepuluh prajurit, ia segera bertolak ke perkemahan utama di Gunung Nakao.

Lebar jalan baru antara Gunung Yukiichi dan perkemahan utama di Gunung Nakao kira-kira empat meter. Jalan itu meliuk-liuk sepanjang lebih dari enam mil, menyusuri punggung gunung- gunung. Di mana-mana para prajurit melihat kehijauan musim semi, dan ketika Genba memacu kudanya, ia pun diliputi perasaan puitis.

Perkemahan utama di Gunung Nakao dikelilingi pagar pertahanan yang berlapis-lapis. Setiap kali Genba mendekati sebuah gerbang, ia hanya menyebutkan namanya dan langsung lewat, sambil memandang para penjaga dari atas kuda.

Tapi ketika   ia   hendak   memasuki   gerbang terakhir, komandan pasukan penjaga tiba-tiba mencegahnya. Tunggu! Mau ke mana!" Genba menoleh dan memelototi orang itu.

"Ah, kaukah itu, Menju? Aku datang untuk menemui pamanku. Apakah dia ada di tendanya, atau di markas?"

Menju mengerutkan kening. la berjalan ke depan Genba dan berkata dengan gusar. "Harap turun dulu."

"Apa?"

"Gerbang ini dekat sekali dengan markas Yang Mulia Katsuie. Biarpun dalam keadaan terburu- buru, tak seorang pun diperkenankan masuk dengan menunggang kuda."

"Lancang betul kau. Menju!" Genba membalas dengan geram, tapi berdasarkan disiplin militer, ia tak dapat menolak. Ia turun dari kudanya dan membentak. "Mana pamanku?"

Yang Mulia tengah mengadakan rapat militer." "Siapa saja yang hadir?"

"Yang Mulia Haigo, Yang Mulia Osa, Yang Mulia Hara, Yang Mulia Asami, dan Yang Mulia Katsutoshi."

"Kalau begitu, tak ada masalah jika aku bergabung." "Jangan, mereka harus diberitahu dulu."

"Tidak perlu."

Genba mendesak maju. Menju hanya dapat memandangnya pergi. Roman mukanya meman- carkan keprihatinan. Tindakan yang baru saja diambilnya, dengan mempertaruhkan reputasinya sendiri, bukan demi tegaknya peraturan militer semata-mata. Sudah beberapa waktu ia diam-diam berusaha agar Genba merenungkan sepak terjangnya.

Kecongkakan yang diperlihatkan Genba berkaitan dengan sikap pilih kasih pamannya. Melihat kasih sayang buta yang ditunjukkan penguasa Kitanosho pada keponakannya. Menju mau tak mau merasa risau mengenai masa depan. Paling tidak, ia merasa Genba tidak sepantasnya menyebut panglima tertinggi sebagai "paman".

Tapi Genba tidak memedulikan hal-hal seperti keprihatinan Menju. Ia langsung masuk ke markas pamannya, dan tanpa mengindahkan para pengikut lain di sana, berbisik ke telinga Katsuie, "Seusai rapat ini, ada masalah penting yang perlu dibahas secara empat mata."

Katsuie cepat-cepat mengakhiri rapat. Setelah para jendral pergi, ia mencondongkan badan dan berbicara dengan keponakannya. Genba tertawa puas lalu menunjukkan balasan Shogen tanpa berkata apa-apa, seakan-akan sudah tahu bahwa Katsuie akan gembira sekali.

Dan Katsuie memang senang sekali. Rencana yang telah disusunnya dan dilaksanakan oleh Genba ternyata berhasil. Ia teramat gembira karena segala sesuatu  berjalan  sesuai  rencana. Katsuie dikenal gemar bersekongkol, dan ketika membaca surat Shogen, ia hampir tak dapat menguasai diri.

Rencana itu bertujuan menggerogoti kekuatan musuh dari dalam. Dari sudut pandang Katsuie, kehadiran orang-orang seperti Shogen dan Ogane dalam pasukan Hideyoshi membuka peluang untuk melancarkan siasat demi siasat.

Sementara itu, Shogen yakin bahwa kemenangan akan diraih oleh pihak Shibata. Sesungguhnya keyakinan itu tak berdasar. Dan nyatanya di kemudian hari ia pun dihantui kesedihan dan penyesalan mendalam. Tapi surat persetujuan telah dikirim, dan tak perlu dipikirkan lagi. Dengan segala akibatnya, pengkhianatan Shogen dijadwalkan untuk keesokan paginya, dan ia menunggu untuk menyambut pasukan Shibata di bentengnya.

***

Hari kedua belas di bulan itu, tengah malam. Semua api unggun tinggal bata merah, dan satu- satunya suara yang terdengar di perkemahan yang diselubungi kabut adalah suara angin yang membelai pohon-pohon cemara.

"Buka gerbang!" seseorang berseru dengan suara tertahan, sambil me-ngetuk-ngetuk gerbang kayu di pagar pertahanan.

Benteng kecil di Motoyama semula merupakan markas Shogen, tapi Hideyoshi telah menggantinya dengan Kimura Hayato.

"Siapa itu?" si penjaga bertanya sambil mengintip ke luar.

Sebuah sosok gelap tampak dalam kegelapan. "Panggil Komandan Osaki," sosok itu berkata.

"Katakan dulu siapa kau dan dari mana kau datang."

Sejenak orang yang berdiri di luar tidak menjawab. Hujan rintik-rintik turun dari langit yang kelihatan sepekat tinta. "Itu tak bisa kukatakan. Aku harus bicara dengan Osaki Demon di sini, di pagar pertahanan. Beritahu dia."

"Kawan atau lawan?"

"Kawan, tentu saja! Kaupikir musuh begitu mudah datang ke sini? Sembronokah para penjaga yang ditempatkan di luar? Seandainya ini siasat musuh, mungkinkah aku mengetuk gerbang?"

Penjelasan orang itu masuk akal. Si penjaga gerbang pergi untuk me-manggil Osaki.

"Ada apa?" Osaki benanya. "Tuan Komandan Osaki?" "Ya- Apa keperluanmu?"

"Namaku Nomura Shojiro. dan aku pengikut Yang Mulia Katsutoyo. Sekarang aku di bawah komando Yang Mulia Shogen."

"Urusan apa yang membuatmu ke sini di tengah malam buta?"

"Aku harus segera bicara dengan Yang Mulia Hayato. Aku tahu ini mencurigakan, tapi ada hal penting yang harus segera kusampaikan pada beliau."

"Katakan saja padaku, biar aku yang menyampaikannva

"Tidak, aku harus bicara langsung dengan beliau. Sebagai bukti bahwa aku beriktikad baik, kuserahkan ini padamu," ujar Nomura sambil melepaskan pedang-pedangnya dan menyodorkan semuanya ke hadapan Osaki.

Osaki menyadari bahwa Nomura bukan musuh yang menyamar. la membuka gerbang, lalu mengantarnya ke tempat tinggal Hayato. Di masa perang, penjagaan tetap ketat, baik siang maupun malam.

Tempat ke mana Nomura dibawa disebut benteng utama, tapi sesungguhnya hanya berupa pondok, dan tempat tinggal Hayato tak lebih dari pagar kayu.

Hayato masuk dan duduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Apa yang hendak kausampaikan?" ia lalu bertanya sambil menatap Nomura. Mungkin akibat cahaya lentera dari samping, wajah Hayato tampak pucat sekali.

"Hamba menduga Tuan telah menerima undangan untuk menghadiri upacara minum teh di perkemahan Yang Mulia Shogen di Gunung Shinmei besok pagi."

Sorot mata Nomura tampak membara, dan dalam keheningan malam, suaranya terdengar agak bergetar. Baik Hayato maupun Osaki diliputi perasaan aneh.

"Betul." jawab Hayato.

"Dan Tuan telah menyatakan kesediaan untuk hadir?" "Ya. Karena dia telah bersusah payah mengirim undangan, aku mengutus seorang kurir untuk memberi tahunya bahwa aku akan datang." "Kapan kurir Tuan berangkat?" "Sekitar tengah hari tadi."

"Kalau begitu, ini memang siasat busuk yang hamba duga."

"Siasat?"

"Tuan jangan pergi besok pagi. Upacara minum teh itu merupakan jebakan. Shogen bermaksud membunuh Tuan. Dia sudah bertemu dengan utusan rahasia dari pihak Shibata dan mengirim ikrar tertulis pada mereka. Jangan membuat kesalahan. Shogen berencana membunuh Tuan, lalu mengibarkan bendera pemberontakan."

"Bagaimana kau bisa tahu semuanya ini?"

"Dua hari yang lalu. Shogen memanggil tiga biksu Buddha dari Kuil Shuhiku untuk menyelenggarakan upacara peringatan bagi leluhurnya. Hamba pernah melihat salah satu dari mereka, dan hamba yakin dia samurai Shibata. Hamba terkesima, dan ternyata seusai upacara dia mengeluh sakit perut dan tetap tinggal di perkemahan pada waktu kedua rekannya pulang. Dia pergi keesokan paginya, dan mengaku hendak kembali ke Kuil Shuhiku. Tapi sekadar untuk memastikan, hamba menyuruh salah satu pengikut hamba membuntutinya. Dan persis seperti yang hamba duga, dia tidak kembali ke Kuil Shuhiku. melainkan langsung bergegas ke perkemahan Sakuma Genba."

Hayato mengangguk-angguk, seolah-olah tak perlu mendengar apa-apa . "Aku berterima kasih atas peringatan ini. Yang Mulia Hideyoshi tak percaya pada Shogen maupun Ogane, dan telah berpesan agar berhati-hati terhadap mereka. Pengkhianatan mereka sudah jelas sekarang. Apa yang harus kita lakukan. Osaki?"

Osaki maju beringsut-ingsut dan mengemuka- kan pendapatnya. Gagasan Nomura pun dipertimbangkan, dan mereka segera menyusun rencana. Osaki mengirim beberapa kurir ke Nagahama.

Sementara itu, Hayato menulis surat dan menitipkannya pada Osaki. Surat tersebut berisi pesan singkat untuk Shogen, yang menjelaskan bahwa ia tak dapat menghadiri upacara minum teh karena alasan kesehatan.

Menjelang fajar menyingsing, Osaki membawa surat itu dan pergi menemui Shogen di Gunung Shinmei.

Penyelenggaraan upacara minum teh merupakan kebiasaan saat itu. Tentu saja semuanya dipersiapkan secara sederhana—ruangan yang digunakan berupa pondok dengan dinding berplester kasar. tikar alang-alang, dan vas berisi bunga liar. Upacara minum teh bertujuan memupuk kekuatan mental yang diperlukan untuk mengatasi kelelahan akibat perang berkepanjang- an. Pagi-pagi sekali Shogen telah menyapu tanah yang basah karena embun dan membakar arang di tungku. Tak lama kemudian. Ogane dan Kinoshita tiba. Keduanya pengikut Shibata Katsutoyo. Shogen menaruh kepercayaan pada mereka, dan mereka telah bersumpah setia padanya.

"Rasanya Hayato terlambat, bukan?" Ogane berkomentar.

Di kejauhan terdengar kokok ayam jantan, dan kedua tamu tampak gelisah. Namun Shogen bersikap seperti tuan rumah yang baik dan tetap tenang. "Sebentar lagi dia akan datang." ia berkata dengan yakin.

Akan tetapi orang yang mereka tunggu-tunggu tak pernah muncul; mereka malah dihampiri seorang pelayan yang membawa surat yang dititip- kan Hayato pada Osaki.

Ketiga laki-laki itu saling pandang.

"Bagaimana dengan pembawa surat ini?" Shogen bertanya. Si pelayan menjawab bahwa orang itu segera kembali setelah menyerahkan surat tersebut. Kecemasan tercermin pada wajah ketiga laki-laki itu. Seberapa besar pun keberanian yang mereka miliki, mereka tak sanggup tetap tenang, karena sadar bahwa pengkhianatan mereka mungkin telah terungkap.

"Bagaimana bisa bocor?" Ogane bertanya.

Setiap ucapan terdengar bagaikan keluhan. Setelah rencana mereka ter-bongkar, tak ada lagi yang memedulikan upacara minum teh, dan masing-masing memikirkan cara untuk menyelamatkan diri sendiri. Baik Ogane maupun Kinoshita seakan-akan tak tahan tinggal lebih lama lagi.

"Tak ada yang bisa dilakukan setelah ini." Ketika keluh kesah ini keluar dari mulut Shogen, kedua laki-laki yang lain merasa seperti ditikam. Namun Shogen memelototi keduanya, seolah-olah menyuruh mereka tetap berkepala dingin.

"Sebaiknya segera kumpulkan anak buah kalian dan pergi ke Ikenohara. Tunggu di dekat pohon cemara besar yang ada di sana. Aku akan mengirim surat ke Nagahama. Setelah itu aku akan segera menyusul kalian."

"Ke Nagahama? Surat macam apa?"

"Ibu, istri, dan anak-anakku masih ada di benteng. Aku bisa lolos, tapi keluargaku pasti akan dijadikan sandera kalau kita menunggu terlalu lama."

"Rasanya sudah terlambat. Tuan pikir masih ada waktu"

"Apa lagi yang bisa kulakukan? Meninggalkan mereka begitu saja di sana? Ogane, ambilkan tempat tinta di sebelah sana."

Shogen mulai mencoretkan kuasnya di selembar kertas. Pada saat itulah salah satu pengikutnya masuk untuk melaporkan bahwa Nomura Shojiro menghilang.

Shogen mencampakkan kuasnya. "Ternyata dia. Rupanya aku lalai mem-perhatikan si pandir itu. Dia akan merasakan akibatnya."

la mendelik, seakan-akan hendak menyantet seseorang, dan tangan yang menggenggam surat kepada istrinya mulai bergetar.

"lppeita!" ia memekik.

Orang yang dipanggil segera muncul.

"Ambil kuda dan bergegas ke Nagahama. Cari keluargaku dan naikkan mereka ke perahu. Jangan coba-coba menyelamatkan harta benda: seberangi danau, ke perkemahan Yang Mulia Katsuie. Keselamatan mereka tergantung padamu. Berangkat sekarang juga, dan jangan buang-buang waktu." ia memerintahkan.

Sambil bicara, Shogen mengencangkan tali pengikat baju tempurnya. Sambil menggenggam tombak panjang, ia berlari keluar. Ogane dan Kinoshita segera mengumpulkan anak buah masing-masing dan menuruni gunung.

Ketika itu hari sudah mulai terang, dan Hayato telah mengirim pasukannya. Pada waktu orang- orang di bawah pimpinan Ogane dan Kinoshita sampai di kaki gunung, mereka disergap oleh Osaki. Mereka yang berhasil lolos dari serangan itu berupaya kabur ke pohon cemara besar, tempat mereka akan menunggu Shogen. Tapi anak buah Hayato telah mengitari sisi utara Gunung Dangi dan memotong jalan mereka. Dalam keadaan terkepung, hampir semuanya dibantai.

Shogen hanya satu langkah di belakang mereka. Ia pun melarikan diri ke arah itu, disertai segelintir orang. Ia mengenakan helmnya yang berhiaskan tanduk rusa dan baju tempurnya yang berwarna hitam, dan menjepit tombak panjang di bawah lengan saat berkuda. Penampilannya seperti pejuang yang siap menerjang angin dan musuh paling gagah sekalipun, namun ia sudah menyimpang dari Jalan Samurai, dan gema kebenaran serta cita-cita luhur tak lagi terdengar ketika kudanya berlari.

Tiba-tiba saja ia dikepung pasukan Hayato. "Jangan biarkan pengkhianat itu lolos!"

Mereka mencaci maki Shogen, tapi ia bertempur seolah-olah tak takut mati. Sambil meninggalkan jalur berdarah di belakangnya, ia akhimya berhasil menerobos kepungan yang bagaikan kerangkeng besi. Dengan memacu kudanya sekencang-kencangnya sejauh kurang- lebih enam mil, tak lama kemudian ia bergabung dengan pasukan Yasumasa yang telah menunggu sejak malam sebelumnya. Seandainya pembunuh- an Hayato berhasil, kedua benteng di Motoyama akan diserang dan direbut setelah Shogen memberi isyarat. Tapi rencana itu tidak berjalan sesuai harapan. dan Shogen beruntung masih bisa menyelamatkan diri.

Ketika mendengar laporan mengenai perkembangan terakhir dari adiknya, Yasumasa, Genba tampak gusar. "Apa? Maksudmu, Hayato mendului mereka karena rencana itu terungkap tadi pagi?" katanya. "Hah, rupanya rencana Shogen tidak dipikirkan matang-matang. Suruh ketiga- tiganya menghadapku."

Sampai saat itu, Genba berupaya sekuat tenaga untuk membujuk Shogen mengkhianati jun- jungannya. Namun sekarang, setelah rencana itu gagal memenuhi harapannya, ia bersikap seolah- olah Shogen hanya membuat masalah saja.

Shogen dan kedua rekannya menduga mereka akan disambut dengan tangan terbuka, tapi mereka dikecewakan oleh tanggapan Genba. Shogen minta bertemu dengan Katsuie, karena hendak menyampaikan informasi rahasia guna menebus kegagalannya.

"Hmm. sepertinya masih ada harapan." Sikap Genba sedikit melunak, namun terhadap Ogane dan Kinoshita ia tetap kasar, seperti sebelumnya. "Kalian tunggu di sini. Hanya Shogen yang akan ikut ke perkemahan utama denganku."

Kemudian mereka segera berangkat ke Gunung Nakao.

Peristiwa pagi itu, dengan segala komplikasinya, telah dilaporkan selengkap-lengkapnya pada Katsuie.

Tak lama setelah itu, ketika Genba menyertai Shogen ke perkemahan Katsuie, ternyata Katsuie sudah menunggu dengan memasang wajah angkuh. Bagaimanapun situasi yang dihadapinya, Katsuie setalu tampak penuh wibawa. Shogen segera diberi kesempatan menghadap.

"Kau gagal kali ini, Shogen," ujar Katsuie.

Ekspresi wajahnya ketika menyapa Shogen mencerminkan gejolak perasaan-nya. Baik paman maupun keponakan Shibata dikenal penuh perhitungan dan mementingkan diri sendiri, dan sekarang Katsuie dan Genba menunggu penjelasan Shogen dengan sikap dingin.

"Hamba mengaku lalai." ujar Shogen, yang menyadari bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa selain memohon maaf. Saat itu ia tentu menyesali keputusannya, namun sudah terlambat untuk mundur. Sambil menahan marah dan malu tak terperi, ia terpaksa bersujud di hadapan pembesar yang angkuh dan mementingkan diri sendiri itu.

la hanya bisa memohon ampun. Tapi ia masih menyimpan rencana lain yang mungkin dapat berkenan di hati Katsuie, dan rencana itu berkaitan dengan teka-teki mengenai keberadaan Hideyoshi. Pertanyaan tersebut sangat penting bagi Katsuie dan Genba, dan ketika Shogen menying- gung topik itu, mereka mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Di mana Hideyoshi sekarang?"

"Keberadaan Hideyoshi dirahasiakan, bahkan terhadap anak buahnya sendiri," Shogen menjelaskan. "Meskipun sempat terlihat selama pembangunan benteng-benteng, dia sudah agak lama tidak berada di perkemahannya. Kemungkinan besar dia ada di Nagahama, dan ada kemungkinan dia sedang melakukan persiapan untuk melancarkan serangan dari Gifu, sambil mengamati perkembangan di sini, Hamba pikir dia mencari posisi agar dapat menanggapi kondisi di kedua tempat itu."

Katsuie mengangguk serius, dan bertukar pandang dengan Genba. "Ya, itu jawabannya. Dia pasti ada di Nagahama."

"Bukti apa yang kaumiliki untuk memperkuat dugaanmu?"

"Hamba belum mempunyai bukti nyata." balas Shogen. "Tapi jika diberi waktu beberapa hari. hamba akan memastikan di mana Hideyoshi berada.

Hamba menjalin hubungan baik dengan beberapa orang di Nagahama, dan hamba yakin jika mereka mendengar hamba mendukung Yang Mulia, mereka akan menyusup dari Nagahama dan mencari hamba di sini. Dan tak lama lagi pasti sudah ada laporan dari mata-mata yang hamba kirim. Selain itu, hamba ingin mengusulkan strategi yang akan mengalahkan Hideyoshi." ia mengakhiri penjelasannya. Sorot matanya meng- isyaratkan betapa ia meyakini keberhasilan siasatnya.

"Awas, jangan gegabah. Tapi coba kita dengar dulu bagaimana usulmu."

Matahari baru hendak terbit pada hari kesembilan belas di bulan itu, ketika Shogen dan Genba mengunjungi perkemahan Katsuie untuk kedua kali. Apa yang dibawa Shogen pagi itu memang sangat bernilai. Genba telah mengetahui informasi yang diperoleh Shogen, tapi Katsuie baru sekarang mendengarnya. Matanya membe- lalak lebar, dan bulu-bulu di seluruh tubuhnya berdiri tegak.

Shogen berkata dengan semangat meluap-luap. "Selama beberapa hari terakhir. Hideyoshi berada di Nagahama. Dua hari yang lalu, pada hari ketujuh belas, dia tiba-tiba membawa pasukan berkekuatan dua puluh ribu orang dari sana, dan terburu-buru menuju Ogaki, tempat ia mendirikan perkemahan. Rasanya sudah jelas bahwa dengan menghancurkan Yang Mulia Nobutaka di Gifu dengan sekali pukul, dia tak perlu cemas lagi mengenai serangan dari belakang. Sudah bisa diduga bahwa dia bertekad mengerahkan segenap kekuatannya, menuju ke arah itu, dan bertempur habis-habisan. Kabarnya. sebelum bertolak dari Nagahama. Hideyoshi memerintahkan agar semua sandera dari keluarga Yang Mulia Nobutaka dibunuh, jadi tak perlu diragukan bahwa bajingan itu sudah membulatkan tekad. Dan masih ada lagi. Kemarin barisan depannya menyulut kebakaran di beberapa tempat dan sedang bersiap-siap mengepung Benteng Gifu."

Hari yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba, pikir Katsuie. la demikian gembira, sehingga hampir menjilat-jilat bibir.

Pandangan Genba pun sama. Ini suatu kesempatan emas—yang takkan terulang lagi. Tapi bagaimana mereka dapat memanfaatkannya sebaik- baiknya?

Kesempatan kecil dalam suatu pertempuran berjumlah puluhan ribu, tapi kesempatan besar yang akan menentukan nasib seseorang dengan sekali pukul hanya datang satu kali. Kini akan ketahuan, apakah Katsuie mampu melihat kesem- patan seperti itu. Air liurnya nyaris meleleh ketika ia memikirkan berbagai kemungkinan, dan wajah Genba tampak merah.

"Shogen." Katsuie akhirnya angkat bicara, "jika kau ingin menawarkan strategi tertentu, jangan segan-segan."

"Dengan segala hormat, hamba berpendapat bahwa kesempatan ini seyogyanya tidak disia- siakan. Kita harus menyerang kedua benteng musuh di Gunung Iwasaki dan Gunung Oiwa. Kita bisa bekerja sama dengan Yang Mulia Nobutaka, meskipun Gifu jauh dari sini, dan kita bertindak tak kalah cepat dari Hideyoshi. Dan secara bersamaan, sekutu-sekutu Ying Mulia dapat menyerang dan menghancurkan benteng-benteng Hideyoshi."

"Ah, itulah yang ingin kulakukan, tapi berbicara lebih mudah daripada bertindak. Shogen. Musuh bukannya tanpa prajurit, dan mereka juga telah membangun benteng-benteng, bukan?"

'Kalau formasi tempur Hideyoshi dipelajari dengan cermat. akan terlihat bahwa ada satu lubang besar," balas Shogen. "Pertimbangkan ini. Kedua benteng musuh di Iwasaki dan Oiwa terietak jauh dari perkemahan Yang Mulia, tapi Yang Mulia tetap menganggap keduanya sebagai benteng utama. Nyatanya kedua benteng tersebut jauh lebih rapuh dibandingkan benteng-benteng yang lain. Ditambah lagi para komandan dan prajurit yang menjaga benteng-benteng itu sama sekali tak menyangka mereka akan diserang musuh. Tampaknya persiapan mereka dilakukan dengan teramat sembrono. Jika kita akan melancarkan serangan mendadak, di sanalah tem- patnya. Kecuali itu, kalau kita menghancurkan pusat kekuatan musuh, benteng-benteng yang lain akan jauh lebih mudah ditaklukkan."

Katsuie dan Genba sepenuhnya setuju dengan rencana Shogen.

"Shogen telah membaca tipu muslihat musuh." kata Katsuie. "Ini rencana terbaik untuk menghantam Hideyoshi."

Baru sekali ini Shogen dipuji begitu tinggi oleh Katsuie. Selama beberapa hari ia kelihatan lesu dan tak bersemangat, tapi kini roman mukanya mendadak berubah.

"Coba lihat ini." katanya sambil menggelar sebuah peta. Benteng-benteng di Dangi, Shinmei. Gunung Iwasaki, dan Gunung Oiwa terletak di tepi timur Danau Yogo. Juga ada sejumlah benteng dari daerah selatan Shizugatake sampai Gunung Tagami, rangkaian perkemahan yang membentang menyusuri jalan raya ke provinsi-provinsi Utara, dan beberapa posisi militer lainnya.

Semuanya tercantum dengan jelas, dan topografi daerah itu—berikut danau-danau, gunung-gunung, dataran-dataran, serta lembah- lembah—di-gambarkan dengan teliti.

Yang tak mungkin kini menjadi mungkin. Hideyoshi menderita kerugian besar, pikir Katsuie dengan gembira, karena peta rahasia seperti itu digelar di markas besar musuh sebelum pertempur- an dimulai.

Hal itu saja membuat hati Katsuie berbunga- bunga. Sambil mempelajari peta tersebut dengan cermat, ia sekali lagi memuji Shogen.

"Ini hadiah yang tak terhitung nilanya, Shogen." Genba, yang berdiri di sampingnya, juga mengamati peta itu, tapi tiba-tiba ia mengangkat kepala dan berkata dengan tekad membara. "Paman, rencana Shogen ini—menyusup jauh ke balik garis musuh dan merebut kedua benteng di Iwasaki dan Oiwa—kuharap Paman berkenan menugaskan aku sebagai pimpinan barisan depan! Aku yakin serangan dengan tekad dan kecepatan yang dibutuhkan hanya dapat dilakukan oleh aku seorang."

"Hmm, tunggu dulu..."

Katsuie memejamkan mata dan merenung, seakan-akan merasa khawatir karena semangat yang diperlihatkan oleh laki-laki yang lebih muda itu. Sebaliknya, akibat hasrat bertempur yang menggebu-gebu, Genba tak sabar menghadapi kebimbangan pamannya.

"Apa lagi yang Paman tunggu? Tentunya Paman takkan ragu-ragu memanfaatkan kesempatan ini. bukan?"

"Apa? Kukira tidak."

"Kesempatan seperti ini takkan terulang lagi. Sementara kita berdiri di sini, peluang ini mungkin terlepas dari tangan kita." "Jangan terburu-buru, Genba."

"Tidak. Semakin lama Paman berpikir, semakin banyak waktu terbuang. Apakah Paman tak sanggup mengambil keputusan pada saat kemenangan gemilang telah berada di depan mata? Ah, mungkin si Iblis Shibata sudah termakan usia."

"Bicaramu tak keruan. Masalahnya, kau masih muda. Kau memiliki keberanian untuk bertempur, tapi masih kurang pengalaman dalam hal strategi."

"Kenapa Paman berkata begitu?" Wajah Genba menjadi merah, tapi Katsuie tidak terpancing. Ia telah mengikuti pertempuran yang tak terhitung jumlahnya, dan tak mudah kehilangan kendali diri.

"Coba renungkan sejenak, Genba. Tak ada yang lebih berbahaya daripada menyusup jauh ke balik garis musuh. Patutkah kita mengambil risiko sebesar itu? Bukankah kita telah mencapai suatu titik yang harus kita pikirkan matang-matang, agar tak ada penyesalan di kemudian hari?"

Genba tertawa keras-keras. Tapi di balik isyarat bahwa kecemasan pamannya tak beralasan, jiwa muda Genba juga menertawakan kebimbangan yang menyertai pertambahan usia.

Namun Katsuie tidak menegur keponakannya yang terang-terangan tertawa mengejek. Sepertinya ia justru senang melihat anak muda yang tak dapat menahan diri itu. Ia senang melihat semangat Genba berkobar-kobar.

Genba sudah hafal tabiat pamannya. Ia bisa membaca perasaan laki-laki itu dengan mudah. Kini ia mendesak lebih lanjut, "Memang benar aku masih muda, tapi aku sepenuhnya sadar bahwa penyusupan ke balik barisan musuh tidak terlepas dari bahaya. Dalam situasi ini, aku berpegang pada strategi, dan takkan bertindak gegabah karena ingin mengharumkan namaku. Bahaya yang mengancam justru merupakan tantangan bagiku."

Katsuie belum juga dapat memberikan persetujuannya dengan sepenuh hati. Seperti semula, ia kembali termenung-menung. Genba berhenti memaksa-maksa pamannya, dan mendadak berpaling pada Shogen.

"Mana peta tadi?"

Tanpa berdiri dari kursi, Genba menggelar peta itu, mengusap-usap dagu dengan satu tangan, dan tetap membisu. Hampir satu jam berlalu.

Katsuie sempat khawatir sewaktu keponakannya berbicara dengan semangat menggelora, tapi ketika melihat Genba mempelajari peta dengan tekun, ia tiba-tiba merasa yakin akan kemampuan anak muda itu.

"Baiklah." Setelah akhirnya mengambil keputusan, ia berpaling dan berkata pada keponakannya. "Jangan membuat kesalahan, Genba. Aku memberikan perintah untuk menyusup jauh ke balik garis musuh malam ini."

Genba mengangkat wajah, sekaligus berdiri dari kursinya. Kegembiraannya nyaris tak terkendali, dan ia membungkuk dengan teramat sopan. Tapi sementara Katsuie mengagumi keponakannya yang begitu gembira karena ditunjuk sebagai pemimpin barisan depan, ia juga tahu bahwa posisi tersebut dapat membawa maut jika orang yang bersangkutan melakukan kesalahan.

"Kutekankan sekali lagi, begitu kau berhasil menghancurkan Iwasaki dan Oiwa, kembalilah secepat angin." "Baik. Paman."

"Kau tentu tahu bahwa kembali dengan selamat sangat penting dalam peperangan, khususnya dalam operasi penyusupan ke wilayah musuh. Gagal kembali dengan selamat sama saja dengan meninggalkan keranjang tanah terakhir setelah menggali sumur sedalam seratus depa. Pergilah secepat angin, dan kembalilah dengan cara yang sama.

" Aku paham."

Setelah keinginannya terwujud, Genba kini bersikap patuh sepenuhnya. Katsuie segera mengumpulkan jendral-jendralnya. Ketika malam tiba, perintah-perintahnya telah disampaikan ke semua perkemahan, dan persiapan masing-masing korps tampaknya telah rampung.

Malam itu malam kesembilan belas Bulan Keempat. Pasukan berkekuatan delapan belas orang diam-diam meninggalkan perkemahan, tepat pada penengahan kedua Jam Tikus. Pasukan penyerang dibagi menjadi dua korps, masing- masing dengan empat ribu orang. Mereka bergerak menuruni gunung, ke arah Shiotsudani, melintasi Celah Tarumi. dan maju ke arah timur, di pesisir barat Danau Yogo.

Dalam suatu manuver untuk mengalihkan perhatian, kedua belas ribu orang yang merupakan pasukan utama Katsuie melewati jalur lain. Sambil menyusuri jalan raya menuju provinsi-provinsi Utara, mereka perlahan-lahan berpaling ke arah tenggara. Manuver mereka bertujuan membantu keberhasilan korps serangan mendadak yang dipimpin Sakuma Genba, sekaligus mengawasi setiap gerakan dari benteng-benteng musuh.

Di antara korps-korps pasukan utama, korps Shibata Katsumasa yang berkekuatan tiga ribu orang menyusuri lereng sampai ke liura, menyembunyi-kan panji-panji dan perlengkapan tempur, dan diam-diam memantau gerakan- gerakan musuh ke arah Shizugatake.

Maeda Inuchiyo ditugaskan menjaga garis yang membentang dari Shiotsu sampai ke Gunung Dangi dan Gunung Shinmel.

Shibata Katsuie bertolak dari perkemahan utama di Gunung Nakao dengan pasukan berkekuatan tujuh ribu orang, dan ia menyusuri jalan raya ke provinsi-provinsi Utara, sampai ke Kitsunezaka. Pasukan itu mengibarkan panji-panji dan berbaris dengan bangga, guna memancing kelima ribu prajurit Hidemasa di Gunung Higashino dan membuat mereka tak berdaya.

Langit malam perlahan-lahan bertambah cerah dengan datangnya fajar. Hari itu hari kedua puluh Bulan Keempat pada penanggalan kamariah. sangat dekat ke titik balik matahari, dan malam berlalu dengan cepat.

Kira-kira pada saat itulah para jendral barisan depan mulai berkumpul di pesisir Danau Yogo. Di belakang barisan depan berkekuatan empat ribu orang, korps kedua segera menyusul. Itulah pasukan yang akan menyusup jauh ke balik garis musuh, dan Sakuma Genba berada di tengah- tengahnya.

Kabul tebal membatasi jarak pandang.

Tiba-tiba cahaya berwarna pelangi muncul di tengah danau, memberi isyarat pada orang-orang bahwa sebentar lagi hari akan terang. Tapi mereka nyaris tak dapat melihat ekor kuda di depan mereka, dan jalan setapak yang membelah dataran berumput masih diselubungi kegelapan.

Dengan kabut melayang-layang di antara panji- panji, baju tempur, dan tombak, mereka semua tampak seakan-akan berjalan di air.

Mereka dihantui perasaan yang menyesakkan dada. Kabut dingin me-nempel pada alis dan bulu hidung mereka.

Bunyi gemercik serta tawa dan senda gurau terdengar dari tepi danau. Pengintai-pengintai dari pasukan penyerang segera tiarap dan merangkak maju untuk menyelidiki siapa yang berada di tengah-tengah kabut. Mereka melihat dua samurai dan sekitar sepuluh tukang kuda dari benteng di Gunung Iwasaki; mereka baru saja masuk ke air dangkal dan sedang memandikan kuda-kuda.

Para pengintai menunggu sampai pasukan barisan depan menyusul, lalu memberi isyarat dengan lambaian tangan. Kemudian, setelah yakin bahwa musuh terkepung. mereka tiba-tiba berteriak, "Tangkap mereka hidup-hidup!"

Disergap seperti itu, kedua samurai dan para tukang kuda langsung berlari menyusuri tepi danau. "Musuh! Pasukan musuh!"

Enam atau lima orang berhasil lolos, tapi yang lainnya tertangkap.

"Hmm. Hmm, hasil buruan yang pertama.

Dengan kasar para prajurit Shibata menggiring tawanan-tawanan itu ke hadapan komandan mereka. Fuwa Hikozo, yang menginterogasi mereka dari atas kudanya.

Sebuah pesan dikirim pada Sakuma Genba. menanyakan apa yang harus dilakukan dengan para tawanan. Balasan Genba memacu mereka untuk bertindak cepat. "Jangan buang-buang waktu dengan orang-orang itu. Bunuh mereka dan lanjutkan perjalanan ke Gunung Oiwa."

Fuwa Hikozo turun dari kuda, mencabut pedang, dan memenggal kepala salah satu tawanan. Kemudian ia menyerukan perintah kepada para anggota barisan depan, "Hei, nikmati perayaan berdarah! Penggal kepala mereka sebagai persembahan kepada Dewa Perang. Lalu kumandangkan teriakan perang dan serbu benteng di Oiwa!"

Prajurit-prajurit di sekitar Hikozo nyaris berkelahi karena memperebutkan kesempatan untuk memenggal para tukang kuda. Sambil mengacung-acung-kan pedang berdarah, mereka mempersembahkan nyawa para tawanan, dan seruan mereka disambut oleh seluruh pasukan.

Gelombang baju tempur membelah kabut pagi, setiap orang berusaha mendului yang lain. Kuda- kuda bermandikan keringat, saling berpacu dalam usaha merebut tempat pertama, dan korps demi korps mendesak maju.

Letusan senjata sudah mulai menggema, tombak dan pedang panjang tampak berkilauan dalam cahaya pagi, dan sebuah bunyi aneh terdengar dari arah pagar pertahanan pertama di Gunung Oiwa.

Betapa hebatnya bualan mimpi malam musim panas yang singkat! Lereng-lereng Gunung Oiwa, yang dipertahankan oleh Nakagawa Sebei, dan Gunung Iwasaki, yang diamankan oleh Takayama Ukon—pusat pertahanan Hideyoshi—diselubungi kabut dan keheningan, seakan-akan belum ada yang menyadari gelombang manusia yang akan menerjang.

Pembangunan benteng di Gunung Oiwa dilaksanakan secara cepat dan sederhana. Nakagawa Sebei tidur di sebuah pondok, di sebelah pagar pertahanan di tengah lereng.

Dalam keadaan setengah terjaga, ia tiba-tiba mengangkat kepala dan bergumam. "Apa yang terjadi?"

Di ambang antara mimpi dan kenyataan, tanpa tahu sebabnya ia mendadak bangkit dan mengenakan baju tempur yang telah diletakkan di samping tempat tidurnya.

Ketika ia hampir selesai, seseorang mengetuk pintu pondok, lalu rupanya mendorong-dorongnya dengan bahu.

Pintu itu roboh ke dalam, dan tiga atau empat pengikut jatuh terguling-guling.

"Orang-orang Shibata!" seru mereka. "Tenang dulu!" ia menegur mereka.

Para tukang kuda yang selamat memberikan laporan membingungkan, sehingga Sebei tak dapat memastikan di mana musuh berhasil menerobos pagar pertahanan dan siapa yang memimpin mereka.

"Menyusup sejauh ini sungguh luar biasa, bahkan bagi musuh yang paling berani pun. Orang-orang itu takkan mudah dihalau. Aku tidak tahu siapa pemimpin mereka, tapi kurasa dari semua komandan pasukan Shibata, Sakuma Genba-lah orangnya."

Sebei segera memahami situasi, dan seluruh tubuhnya gemetar. Sulit untuk menyangkal bahwa orang itu musuh yang tangguh, ia berkata dalam hati. Tapi bertawanan dengan perasaan itu, sebuah kekuatan lain timbul dalam dirinya, dan ia segera pulih kembali.

Sambil menyambar tombak ia berseru. "Mari bertempur"

Tembakan sporadis terdengar di kejauhan, dari kaki gunung. Kemudian letusan-letusan mendadak lebih dekat, di sebuah daerah berhutan di lereng tenggara.

"Mereka lewat jalan pintas."

Karena kabut tebal, panji-panji musuh tidak kelihatan jelas, dan ini membuat pasukan Nakagawa semakin bingung.

Sebei berseru sekali lagi. Suaranya bergema di keheningan malam.

Korps Nakagawa yang mempertahankan gunung itu terdiri atas seribu orang, dan mereka dibangunkan oleh serangan yang telah sampai di depan mata. Mereka benar-benar tidak siap menghadapi serangan mendadak seperti itu. Setahu mereka. posisi utama pasukan Shibata berada jauh dari tempat mereka—sebuah anggapan yang membuat mereka gegabah. Musuh takkan menyerang tempat seperti itu! Tapi sebelum sempat menyadari kekeliruan mereka, musuh telah menerjang bagaikan badai.

Sebei mengetak-entakkan kaki dan mencela anak buahnya atas kelalaian mereka. Satu per satu para perwira menemukannya, entah karena melihat panji komandan atau karena mengenali suaranya, dan mereka beserta para prajurit terburu- buru mengelilinginya dan membentuk susunan tempur.

"Genba-kah yang memimpin mereka?" "Ya, tuanku." seorang pengikut menjawab.

"Seberapa besar kekuatannya?" Sebei melanjutkan.

"Kurang dari sepuluh ribu orang." "Satu atau dua baris?"

"Kelihatannya ada dua pasukan. Genba menyerang dari Niwatonohama, dan Fuwa Hikozo melewati jalan setapak dari Gunung Onoji."

Dengan mengumpulkan semua prajurit pun benteng itu dipenahankan oleh tak lebih dari seribu orang. Pasukan penyerang dilaporkan berkekuatan hampir sepuluh ribu orang.

Baik jalan-jalan pintas maupun gerbang-gerbang di kaki gunung tidak memadai Semuanya segera tahu bahwa hanya masalah waktu sebelum mereka dibinasakan.

"Cegat musuh di jalan pintas!" Sebei mula-mula menugaskan tangan kanannya beserta tiga ratus orang, lalu membakar semangat anak buahnya sendiri. "Yang lainnya ikut aku. Pasukan Nakagawa belum pernah ditaklukkan sejak keluar dari Ibaraki di Settsu, jangan mundur satu langkah pun dari musuh yang kini di hadapan kita!"

Di depan panji komandan dan umbul-umbul, Nakagawa Sebei segera melesat maju dan memacu kudanya sekencang-kencangnya ke kaki gunung.

Pada pagi hari yang sama, enam atau tujuh kapal perang melintasi Danau Biwa ke arah utara, bagai sekawanan unggas air. Pada tirai yang menutupi anjungan salah satu kapal, sebuah lam- bang bunga seruni berkibar-kibar ditiup angin.

Niwa Nagahide berdiri di anjungan kapal itu, ketika ia tiba-tiba melihat asap hitam mengepul dari salah satu gunung di sisi utara danau. Ia berseru pada orang-orang di sekitarnya. "Apakah itu dekat dengan Oiwa atau Shizugatake?" tanyanya.

"Kelihatannya seperti Shizugatake." seorang anggota stafnya menjawab.

Jika seseorang memandang ke arah itu, gunung- gunung tersebut kelihatan bertumpuk-tumpuk. sehingga api di Gunung Oiwa tampak berasal dari Shizugatake.

"Benar-benar sukar dimengerti." Niwa mengerutkan alis dan tetap memandang ke kejauhan.

Sungguh mengejutkan, betapa tepat firasatnya. Pada waktu fajar di hari itu—hari kedua puluh—ia telah menerima pesan dari putranya. Nabemaru:

Semalam terjadi gerakan mencurigakan di perkemahan Katsuie dan Genba.

Pada waktu itu, ia telah menduga bahwa apa yang dilihatnya merupakan serangan musuh. Hideyoshi sedang menggempur Gifu. Dan jika musuh-musuh mereka mengetahui hal itu, mereka tentu menyadari bahwa se-karanglah saat yang tepat untuk menyerbu posisi Hideyoshi yang tak terjaga.

Niwa langsung waswas ketika mendengar laporan putranya. Setelah menaikkan pasukannya yang hanya berjumlah seribu orang ke atas lima atau enam kapal, ia memerintahkan mereka menyeberangi danau ke daerah sekitar Kuzuo.

Seperti yang dikhawatirkannya, dari arah Shizugatake terlihat lidah api. dan ketika ia akhirnya mencapai tepi danau di Kuzuo. ia mendengar bunyi tembakan.

"Rupanya musuh telah menyerbu benteng di Motoyama. Shizugatake juga terancam. dan aku sangsi apakah Gunung Iwasaki dapat bertahan." Niwa menanyakan pendapat dua perwira stafnya.

"Situasinya tampak gawat," salah satu dari mereka menjawab. "Musuh telah mengerahkan pasukan besar, dan sepertinya kekuatan kita tidak memadai untuk membantu sekutu-sekutu kita dalam keadaan darurat ini. Langkah terbaik adalah kembali ke Sakamoto dan berkubu di dalam benteng di sana."

"Bicaramu tak keruan." Niwa menampik usul itu. "Perintahkan seluruh pasukan segera naik ke darat. Lalu bawa kapal-kapal ke Kaitsu dan bawa sepertiga kekuatan Nagamaru ke sini." "Cukupkah waktunya, tuanku?"

"Perhitungan sehari-hari tak berguna di saat perang. Kehadiran kita saja sudah mempunyai pengaruh. Mereka butuh waktu untuk menaksir kekuatan kita. Dan itu akan menghambat mereka. Suruh pasukan turun dari kapal dan bergegaslah ke Kaitsu."

Pasukan Niwa mendarat di Ozaki, dan kapal- kapalnya segera kembali berlayar. Niwa menghentikan kudanya di sebuah desa untuk menanyai para penduduk setempat.

Warga desa itu memberi tahunya bahwa pertempuran meletus pada waktu fajar, dan sama sekali di luar dugaan. Begitu melihat api di Gunung Oiwa, mereka juga mendengar teriakan perang yang menderu-deru bagaikan gelombang pasang. Kemudian prajurit-prajurit berkuda dari pasukan Sakuma, mungkin sebuah regu pengintai. melewati desa dari arah Yogo. Menurut kabar angin, pasukan Nakagawa Sebei berusaha mempertahankan benteng, tapi dibatai sampai orang terakhir.

Ketika ditanyai apakah mereka mengetahui sesuatu mengenai pasukan Kuwayama di daerah Shizugatake, para penduduk desa menjawab bahwa Yang Mulia Kuwayama Shigeharu baru saja membawa semua anak buahnya dari benteng di Shizugatake, dan kini sedang bergegas menyusuri jalan pegunungan ke arah Kinomoto. Jawaban tersebut membuat Niwa terbengong- bengong. Ia datang dengan membawa bala bantuan, siap berjuang bahu-membahu beserta para sekutunya, tapi rupanya pasukan Nakagawa telah dimusnahkan, sedangkan pasukan Kuwayama telah meninggalkan pos dan lari terpontang-panting. Betapa memalukan! Apa yang mereka pikirkan? Niwa merasa iba pada Kuwayama yang dilanda kebingungan.

"Dan ini baru saja terjadi?" Niwa benanya kepada para penduduk.

"Mereka pasti belum sampai dua mil dari sini." seorang petani menjawab.

"lnosuke!" ia memanggil salah satu pengikutnya. "Kejar korps Kuwayama dan bicara dengan Yang Mulia Shigeharu. Beritahu dia bahwa aku datang, dan bahwa kita akan mempertahankan Shizugatake bersama-sama. Beritahu dia agar segera berbalik arah."

"Baik, tuanku!"

Orang itu memacu kudanya dan menuju ke arah Kinomoto.

Pagi itu Kuwayama dua atau tiga kali berusaha membujuk Nakagawa agar mundur, tapi ia sama sekali tidak menawarkan bantuan, dan sepertinya ia telah patah arang menghadapi gempuran pasukan Sakuma. Begitu mendapat kabar mengenai kekalahan korps Nakagawa, ia semakin goyah. Kemudian, setelah mengetahui kehancuran perkemahan utama sekutunya, ia meninggalkan Shizugatake tanpa melepaskan satu tembakan pun. Pasukannya terkocar-kacir dan semua prajurit mencari selamat sendiri-sendiri.

Ia hendak bergabung dengan sekutu-sekutu mereka di Kinomoto, lalu menunggu perintah dari Hideyoshi. Tapi kini dalam perjalanan ia disusul anggota marga Niwa dan diberitahu mengenai bala bantuan Niwa. Semangat-nya mendadak bangkit lagi. la mengatur pasukan, berbalik arah, dan kembali ke Shizugatake.

Sementara itu, Niwa telah menenangkan para penduduk desa. Dan pada waktu menaiki Shizugatake, ia akhirnya bergabung dengan Kuwayama Shigeharu.

Ia segera menulis surat untuk menjelaskan keadaan gawat yang dihadapi, dan mengutus kurir guna menyampaikan surat itu ke perkemahan Hideyoshi di Mino.

Pasukan Sakuma di Gunung Oiwa mendirikan perkemahan sementara, dan karena terbuai oleh nikmatnya kemenangan, mereka beristirahat selama dua jam sejak jam Kuda. Para prajurit merasa letih seusai pertempuran sengit dan perjalanan panjang yang dimulai pada malam sebelumnya. Namun setelah menyantap ransum masing-masing, mereka membanggakan tangan dan kaki yang berlumuran darah; senda gurau terdengar di sana-sini, dan kelelahan mereka segera terlupakan.

Perintah baru diberikan, dan para perwira ditugaskan untuk meneruskan-nya dari korps ke korps.

Tidur! Tidur! Pejamkan mata kalian sejenak. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti malam!"

Awan-awan di langit tampak seperti awan musim panas, dan bunyi jangkrik sudah terdengar di pepohonan. Angin berembus perlahan, melewati pegunungan dari danau ke danau, dan para prajurit yang telah mengisi perut akhirnya mulai mengantuk. Mereka duduk sambil tetap menggenggam senjara api dan tombak.

Di bawah naungan pohon-pohon, kuda-kuda juga memejamkan mata; para komandan regu pun bersandar pada batang-batang pohon dan tertidur.

Semuanya hening, tapi kesunyian ini merupakan kesunyian yang menyusul pertempuran dahsyat. Perkemahan musuh—yang diselubungi mimpi sampai menjelang fajar—kini tinggal abu, dan semua prajuritnya telah berubah menjadi mayat yang tergeletak di rumput. Hari sudah terang, tapi kematian ada di mana-mana. Selain para penjaga, semua orang sedang melepas lelah, dan suasana di markas pun hening.

Genba, sang panglima tertinggi, sedang mendengkur keras di balik tirai. Tiba-tiba lima atau enam ekor kuda berhenti di suatu tempat, dan sekelompok orang dengan helm dan baju tempur berlari ke arah markas. Para anggota staf, yang semula tidur sambil duduk mengelilingi Genba, segera melihat ke luar.

"Ada apa?" mereka berseru.

"Matsumura Tomojuro, Kobayashi Zusho, dan para pengintai yang lain telah kembali."

"Ayo. mari masuk."

Orang yang mempersilakan mereka adalah Genba. Matanya terbelalak dan masih merah karena kurang tidur. Rupanya sebelum memejamkan mata ia telah menghabiskan sake dalam jumlah cukup besar. Sebuah cawan sake yang besar dan berwarna merah tergeletak kosong di samping tempat duduknya.

Matsumura berlutut di sudut petak bertirai dan rnelaporkan hasil pengamatan mereka.

Tak satu prajurit musuh pun tersisa di Gunung Iwasaki. Mula-mula kami menduga mereka mungkin menyembunyikan panji-panji dan bermaksud menjebak kita, sehingga kami memeriksa daerah itu untuk memastikannya. Tapi rupanya panglima mereka. Takayama Ukon, dan semua orang di bawah komandonya telah pergi ke Gunung Tagami."

Genba bertepuk tangan.

"Mereka kabur?" Ia tertawa keras-keras dan memandang para perwira stafnya. "Dia bilang Ukon melarikan diri! Lucu sekali!" Ia kembali tertawa, sampai seluruh tubuhnya terguncang- guncang.

Sepertinya ia masih di bawah pengaruh sake yang diminumnya untuk merayakan kemenangan, Genba tak dapat berhenti tertawa.

Pada saat itu, utusan yang dikirim ke perkemahan utama Katsuie untuk melaporkan perkembangan terakhir kembali dengan membawa perintah Katsuie.

"Tidak ada gerakan musuh di daerah Kitsunezaka?" tanya Genba.

"Tidak ada. Yang Mulia Katsuie tampak bersukacita."

"Tentunya dia gembira sekali."

"Memang benar." Utusan itu terus menjawab pertanyaan-pertanyaan Genba tanpa sempat mengusap keringat di alisnya. "Ketika hamba menceritakan detail-detail pertempuran tadi pagi kepada beliau, beliau berkata. "O ya? Hmm. begitulah keponakanku yang satu ini."

"Bagaimana dengan kepala Sebei?"

"Beliau segera memeriksanya dan memastikan bahwa itu kepala Sebei. Sambil memandang orang- orang di sekeliling, beliau berkata bahwa itu merupakan pertanda baik, dan sepertinya beliau semakin gembira."

Genba pun sedang berbesar hati. Setelah men- dengar bahwa Katsuie demikian bersukacita, ia bertambah bangga, dan dalam dadanya meng- gelora hasrat untuk membuat kejutan yang bahkan lebih hebat untuk pamannya.

"Kukira sang Penguasa Kitanosho belum mendengar bahwa benteng di Gunung Iwasaki pun sudah jatuh ke tanganku." ia berkata sambil tenawa. "Kelihatannya dia terlalu cepat merasa puas."

Tidak, penaklukan Iwasaki telah dilaporkan pada beliau ketika hamba hendak berangkat dari sana."

"Kalau begitu, percuma saja aku mengirim utusan lain."

"Begitulah."

"Bagaimanapun, besok pagi Shizugatake akan menjadi milikku."

"Ehm, mengenai itu..." "Apa maksudmu?"

"Yang Mulia Katsuie berkata bahwa tuanku mungkin terpengamh oleh kemenangan yang baru diraih, sehingga tuanku menganggap enteng musuh, dan ini dapat menyebabkan tuanku bersikap gegabah."

"Jangan mengada-ada." balas Genba sambil tertawa. "Aku takkan lupa daratan karena satu kemenangan ini."

"Tapi sebelum tuanku berangkat, Yang Mulia Katsuie sempat menekankan bahwa tuanku harus langsung mundur setelah menerobos jauh ke wilayah musuh. Dan hari ini beliau berpesan agar tuanku segera kembali."

"Dia menyuruhku segera kembali?"

"Yang Mulia berpesan agar tuanku secepatnya kembali dan bergabung dengan sekutu-sekutu yang ada di belakang kita."

"Hah, betapa loyo!" Genba menggerutu sambil tersenyum mengejek.

"Hmm, baiklah."

Pada saat itulah beberapa pengintai menghadap untuk menyampaikan laporan. Pasukan Niwa yang berkekuatan tiga ribu orang telah bergabung dengan korps Kuwayama, dan bersama-sama mereka memperkuat pertahanan di Shizugatake.

Bagaikan api disiram minyak, semangat tempur Genba kembali berkobar-kobar. Semua jendral yang benar-benar berani pasti akan terpacu oleh berita seperti itu.

"Ini bakal menarik."

Genba menyingkap tirai dan melangkah ke luar. Ketika memandang kehijauan yang bersemi di pegunungan, ia melihat Shizugatake berjarak sekitar enam mil ke arah selatan. Lebih dekat dan lebih rendah dari tempat ia berdiri, seorang jendral sedang mendaki dari kaki gunung, disertai sejumlah pengikut. Komandan pasukan penjaga gerbang tampak bergegas untuk menunjukkan jalan.

Genba berdecak dan bergumam, "Itu pasti Dosei." Begitu ia mengenali jendral yang selalu berada di sisi pamannya, ia telah dapat menduga maksud kedatangan orang itu. "Ah, rupanya tuanku di sini."

Dosei menghapus keringat dari alis. Genba hanya berdiri, tanpa mengundangnya ke dalam petak bertirai. Tuan Dosei, apa yang membawa Tuan ke sini?" ia bertanya tanpa basa-basi.

Dosei tampak enggan menjelaskan tujuan kunjungannya di tempat itu, tapi Genba lebih dulu angkat bicara.

"Malam ini kami akan berkemah di sini. Besok pagi kami mundur. Ini sudah disampaikan kepada pamanku." Sepertinya ia tak mau mendengar apa- apa lagi mengenai urusan itu.

"Aku telah diberitahu." Dosei mengawali pereakapan dengan memberi salam. Kemudian ia mengucapkan selamat secara panjang-lebar atas ke- menangan gemilang yang diraih Genba di Gunung Oiwa, tapi Genba tak sabar menghadapi basa-basi itu.

"Apakah pamanku mengutus Tuan karena dia masih merasa khawatir?"

"Seperti perkiraan Tuan, beliau sangat cemas mengenai rencana Tuan untuk berkemah di sini. Beliau mengharapkan Tuan segera mundur dari wilayah musuh, paling lambat malam ini, dan kembali ke perkemahan utama."

"Jangan takui, Dosei. Kalau pasukan pilihanku bergerak maju, mereka didukung kekuatan yang meledak-ledak; kalau mereka mempertahankan suatu tempat, mereka bagaikan tembok baja. Kehormatan kami belum pernah tercoreng."

"Sejak awal Yang Mulia Katsuie telah menaruh kepercayaan penuh pada Tuan, tapi kalau masalah ini dipandang dari sudut militer, penundaan gerak mundur setelah menyusup jauh ke wilayah musuh tidak mendukung keberhasilan strategi Tuan."

"Tunggu dulu, Dosei. Maksudmu, aku tidak memahami seni perang? Dan apakah itu kata-kata pamanku atau ucapanmu sendiri?"

Saai itu Dosei pun mulai gugup. dan ia tak punya pilihan selain diam seribu bahasa. Ia mulai merasa tugasnya sebagai utusan mengancam ke- selamatannya.

"Jika itu kehendak Tuan. Aku akan menyampai- kan tekad Tuan kepada Yang Mulia Katsuie."

Dosei cepat-cepat mohon diri, dan ketika Genba kembali ke kursinya, ia segera mengeluar- kan perintah-perintah. Setelah menugaskan satu korps ke Gunung lwasaki, ia juga mengirim sejumlah regu pengitai ke Minegamine dan ke daerah sekitar Kannonzaka, antara Shizugatake dan Gunung Oiwa.

Tak lama kemudian, sebuah suara lain terdengar membuat pengumuman.

"Yang Mulia Joemon baru saja tiba, atas perintah dari perkemahan utama di Kitsune." Kali ini utusan tersebut tidak sekadar ingin berbincang-bincang atau menyampaikan pemikiran Katsuie. la membawa perintah resmi agar Genba segera mundur. Genba mendengarkannya dengan tenang, namun seperti sebelumnya ia tetap pada pendirian semula dan tidak menunjukkan gelagat akan mengalah.

"Dia telah memberikan tanggung jawab padaku untuk mengawasi penyusupan ke wilayah musuh. Menuruti permintaannya sekarang sama saja dengan   tidak memberikan sentuhan terakhir kepada operasi militer yang sudah sejauh ini berhasil. Aku berharap dia mau mempercayakan tongkat komando padaku untuk satu langkah lagi." Genba  tidak tunduk  kepada pesan  yang disampaikan utusan itu, tapi juga tidak menentang perintah langsung atasannya. la memanfaatkan egonya sebagai perisai. Berdiri di hadapan Genba. Joemon pun—yang dipilih sendiri oleh Katsuie untuk melaksanakan tugas  ini—tak sanggup

menggoyahkan tekad laki-laki itu.

"Tak ada lagi yang dapat kulakukan." ujar joemon, seakan-akan hendak lepas tangan. Ucapan terakhirnya diiringi pandangan agak jengkel. "Aku tak bisa membayangkan tanggapan Yang Mulia Katsuie, tapi aku akan menyampaikan jawaban Tuan kepada beliau."

Joemon langsung kembali. la mencambuk kudanya agar berlari lebih kencang, persis seperti yang dilakukannya ketika datang tadi.

Dengan demikian, utusan ketiga pulang tanpa membawa hasil, dan pada waktu utusan keempat tiba, matahari telah meredup di barat. Ota Kuranosuke, pejuang kawakan, pengikut senior, dan penasihat pribadi Katsuie, berbicara panjang- lebar. Tapi ia lebih banyak membahas hubungan antara paman dan keponakan daripada perintah yang dititipkan padanya, dan berusaha sekuat tenaga untuk melunakkan sikap keras kepala yang diperlihatkan Genba.

"Hmm, hmm. Aku memahami tekad Tuan, tapi dari semua anggota keluarga Tuan, Tuan-lah yang paling dihargai oleh Yang Mulia Katsuie, karena itulah beliau demikian cemas sekarang. Setelah Tuan berhasil menghancurkan satu seksi musuh, kita bisa mengonsolidasi posisi kita, terus meraih kemenangan demi kemenangan, dan mendobrak titik-titik lemah musuh satu per satu. Itulah strategi yang lebih luas, dan itu pula strategi yang telah disepakati untuk menguasai seluruh negeri. Tuan Genba, seyogya-nya Tuan mengakhiri operasi penyusupan ini."

"Perjalanan akan penuh bahaya setelah matahari terbenam. Orang Tua. Pulanglah."

Tuan takkan melakukannya, bukan?" "Apa maksudmu?"

"Bagaimana keputusan Tuan?"

"Sejak semula aku tidak bermaksud mengambil keputusan itu."

Dengan letih pengikut tua itu kembali. Utusan kelima tiba.

Tekad Genba semakin membaja. Ia telah maju begitu jauh, dan takkan mundur lagi. la menolak menemui utusan itu, tapi orang tersebut bukan pengikut biasa. Semua utusan yang datang hari itu merupakan tokoh terkemuka, namun yang kelima termasuk orang dekat Katsuie yang sangat berpengaruh.

"Aku sadar bahwa utusan-utusan kami mungkin tidak berkenan di hati Tuan, tapi kini Yang Mulia Katsuie sedang mempertimbangkan untuk datang ke sini. Kami, para pembantu dekat, mendesak beliau agar tetap di perkemahan utama, dan aku. betapapun tak berartinya aku, datang sebagai wakilnya. Aku memohon dengan sangat agar Tuan merenungkan hal ini. lalu membongkar perkemahan dan kembali ke Gunung Oiwa secepat mungkin."

la menyampaikan permohonan itu sambil bersujud di luar petak bertirai.

Namun Genba menilai situasinya seperti ini: Kalaupun Hideyoshi diberitahu mengenai kekalahan pasukannya dan bergegas dari Ogaki, jarak dari sana ke sini tetap sekitar tiga puluh sembilan mil, dan peringatan takkan tiba sebelum malam hari. Selain itu, takkan mudah meninggalkan Gifu dengan cepat. Karenanya, pergeseran posisi itu takkan rampung sebelum besok malam atau hari sesudahnya.

"Keponakanku itu tak bakal mau menurut, tak peduli siapa pun yang kukirim," Katsuie sempat menggerutu. "Aku sendiri yang harus pergi ke sana dan memaksanya mundur sebelum hari gelap."

Kabar mengenai keberhasilan pasukan Genba telah sampai ke perkemahan utama di Katsune, dan disambut dengan sukacita, tapi perintah untuk segera mundur tidak dilaksanakan. Sambil tersenyum mengejek, Genba bahkan menolak mematuhi perintah yang disampaikan para utusan yang terhormat.

"Ah, keponakanku itu akan membawa malapetaka bagiku," Katsuie menggerutu. Ia nyaris tak sanggup menahan diri. Ketika berita mengenai perselisihan di tingkat staf diketahui kalangan prajurit—bahwa sikap keras kepala Genba dicela oleh Katsuie—semangat tempur di perkemahan mulai melemah.

"Satu utusan lagi telah berangkat." "Apa? Satu lagi?"

Melihat utusan-utusan itu mondar-mandir antara perkemahan utama dan Gunung Oiwa. para prajurit diliputi perasaan galau.

Selama setengah hari Katsuie dihantui kecemasan. Selama menunggu sampai utusan kelima kembali, ia hampir tak sanggup duduk tenang. Markasnya berada di sebuah kuil di Kitsunezaka, dan di selasar-selasar kuil itulah Katsuie berjalan-jalan sambil membisu. Sebentar- sebentar ia menoleh ke arah gerbang kuil.

"Shichiza belum datang?" ia berulang kali bertanya pada para pembantu dekatnya. "Malam sudah dekat, bukan?"

Menjelang malam ia mulai gelisah. Matahari sore kini menerangi menara lonceng.

"Yang Mulia Yadoya telah kembali!" Itulah berita yang disampaikan prajurit penjaga gerbang.

"Bagaimana?" Katsuie bertanya cemas.

Prajurit itu melaporkan apa adanya. Mula-mula Genba rupanya menolak menemui Yadoya, namun Yadoya berkeras. la telah membeberkan pandang- an junjungannya secara terperinci, tapi sia-sia belaka. Genba tak mau mengalah. Kalaupun Hideyoshi bergegas ke Gunung Oiwa dari Ogaki. Genba berdalih, ia tetap memerlukan waktu paling tidak satu-dua hari. Genba merasa yakin pasukan Hideyoshi dapat dikalahkan dengan mudah, karena mereka tentu sangat lelah akibat perjalanan panjang. Dengan alasan itu, Genba menyatakan tekadnya untuk tetap bertahan di Gunung Oiwa, dan sama sekali tidak bersedia mengubah pikiran.

Mata Katsuie bersinar-sinar marah. "Dasar bodoh!" ia berseru dengan gusar. Lalu. sambil menggeram sampai seluruh tubuhnya terguncang, ia bergumam, "Kelakuan Genba tidak bisa diterima" "Yaso! Yaso!" Sambil memandang berkeliling dan melihat ke tempat tunggu para praiurit di ruang sebelah, Katsuie memanggil-manggil orang itu dengan nada tinggi.

"Tuanku mencari Yashida Yaso?" Menju Shosuke bertanya.

"Tentu saja!" Katsuie menghardik, melampias- kan kemarahannya pada Shosuke. "Panggil dia ke sini! Suruh dia datang sekarang juga!"

Suara langkah berlari terdengar menggema di kuil. Yoshida Yaso menerima perintah Katsuie dan segera memacu kudanya ke Gunung Oiwa.

Hari yang panjang itu akhirnya menjadi gelap, dan cahaya api unggun mulai menari-nari pada bayangan daun-daun muda. Lidah api itu men- cerminkan perasaan di hati Katsuie.

Perjalanan pulang-pergi sejauh enam mil dapat ditempuh dalam sekejap dengan kuda yang berlari kencang, dan dalam tempo singkat Yaso telah kembali.

"Hamba memberitahunya bahwa ini merupakan peringatan terakhir, dan menegurnya dengan keras. Tapi Yang Mulia Genba tidak bersedia mundur."

Dengan demikian, utusan keenam pun kembali tanpa membawa hasil. Katsuie tak sanggup lagi marah-marah, dan seandainya tidak di medan tempur, ia akan berurai air mata. la tenggelam dalam kesedihan dan menyalahkan dirinya sendiri. menyesali kasih sayang buta yang selama ini ia berikan pada Genba.

"Akulah yang bersalah." ia berkeluh kesah.

Di medan perang, tempat seseorang harus bertindak berdasarkan disiplin militer yang ketat, Genba telah menyalahgunakan hubungan dekat- nya dengan pamannya. la telah mengambil keputusan yang dapat menentukan nasib seluruh marga, dan berkeras mempertahankan sikapnya tanpa pertimbangan matang.

Namun siapakah yang membiarkan anak muda tersebut terbiasa dengan sepak terjang seperti itu? Bukankah kekacauan ini akibat sikap Katsuie sendiri? Berkat kasih sayangnya yang buta pada Genba, Katsuie telah kehilangan putra sangkatnya, Katsutoyo, serta Benteng Nagahama. Sekarang ia terancam kehilangan kesempatan luar biasa yang takkan terulang, yang akan menentukan nasib seluruh marga Shibata.

Ketika pikiran-pikiran itu melintas dalam benaknya, Katsuie merasakan penyesalan mendalam, dan ia sadar bahwa kesalahan tak dapat ditimpakan pada orang lain.

Masih ada lagi yang dilaporkan Yaso—kata-kata yang diucapkan Genba.

Menanggapi saran Yaso, Genba hanya tertawa dan bahkan mencemooh pamannya.

"Dahulu kala, jika orang-orang menyinggung nama Yang Mulia Katsuie, mereka menyebutnya Iblis Shibata, dan berkata bahwa dia jendral yang penuh siasat-siasat misterius—paling tidak, itulah yang kudengar. Tapi kini taktik-taktiknya berasal dari kepala uzur yang tidak mengikuti perkembangan. Peperangan sekarang ini tak bisa dimenangkan dengan strategi-strategi yang telah ketinggalan zaman. Lihatlah penyusupan kami ke wilayah musuh. Mula-mula pamanku bahkan tidak memberi izin untuk menjalankan rencana tersebut. Seharusnya dia menyerahkan semuanya padaku, dan menunggu hasilnya dalam satu-dua hari ini."

Kemurungan dan kesedihan Katsuie menimbul- kan rasa iba. Ia, lebih dari siapa pun, sepenuhnya menyadari kemampuan Hideyoshi sebagai pang- lima. Komentar-komentar yang diberikannya pada Genba dan para pengikutnya yang lain sesungguhnya hanya dimaksudkan untuk melenyapkan rasa takut mereka terhadap musuh. Dalam hati, Katsuie mengakui Hideyoshi sebagai lawan tangguh, terutama setelah Hideyoshi kembali dari provinsi-provinsi Barat dan meme- nangkan Pertempuran Yamazaki dan tampil mengesankan pada penemuan di Kiyosu. Kini musuh yang hebat itu telah berada di hadapannya, dan di awal pertempuran yang menentukan, ia menyadari bahwa sekutunya sendiri merupakan batu sandungan.

"Kelakuan Genba sungguh keterlaluan. Belum pernah aku merasakan pahitnya kekalahan atau membelakangi musuh. Ah, ini memang tak terelak- kan."

Malam semakin gelap, dan penderitaan Katsuie berubah menjadi kepasrahan.

Tak ada utusan lagi. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar