Taiko Bab 38 : Salju Pegunungan Echizen

Buku Sembilan Tahun Tensho Kesepuluh 1582 Musim Dingin

Bab 38 : Salju Pegunungan Echizen

SIANG-MALAM salju turun di Echizen yang tengah dilanda musim dingin, tanpa memberi kesempatan untuk melepaskan beban pikiran. Tapi suasana di Benteng Kitanosho justru terasa lebih hangat daripada biasa. Keadaan yang tidak lazim itu disebabkan oleh kehadiran Putri Oichi beserta ketiga anak perempuannya. Sang Putri sendiri jarang kelihatan, tapi anak-anaknya tak tahan tinggal terus-menerus di dalam kamar. Yang tertua, Chacha, berusia lima belas tahun, adiknya sebelas tahun, dan yang bungsu baru sembilan tahun. Bagi anak-anak ini, daun-daun yang ber- guguran pun merupakan suatu keajaiban, dan tawa mereka terdengar bergema di selasar-selasar ben- teng.

Suara merekalah yang membawa Katsuie ke tempat tinggal kaum wanita. Ia berharap dapat melupakan segala masalahnya di tengah tawa riang mereka, tapi setiap kali ia muncul, roman muka ketiga gadis itu langsung muram, dan mereka tidak tertawa maupun tersenyum. Putri Oichi pun men- jaga jarak dan lebih banyak diam. Kecantikannya berkesan dingin dan tak terjangkau.

"Silakan masuk, tuanku," Putri Oichi biasa ber- kata, lalu mengajak Katsuie duduk di samping anglo yang terbuat dan perak.

Biarpun telah menikah, mereka tetap bertegur sapa dengan kaku, seperti seorang pengikut yang menyapa anggota keluarga junjungannya.

"Kesepianmu tentu semakin besar karena salju dan hawa dingin tempat ini, yang baru pertama kali kau alami," kata Katsuie.

"Tidak juga, tuanku," balas Oichi, meski sudah jelas ia mendambakan tempat yang lebih hangat. "Kapan salju di Echizen mulai mencair?" tanyanya.

"Ini bukan Gifu atau Kiyosu. Pada waktu bunga lobak bermekaran dan kembang ceri berguguran di sana, gunung-gunung ini masih diselubungi salju yang mencair."

"Dan sampai saat itu?"

"Setiap hari keadaannya seperti sekarang." "Maksud tuanku, saljunya tak pernah mencair?" "Hanya ada salju setebal beberapa ribu meter!"

Katsuie membalas ketus. Ketika teringat betapa lama salju akan menyelubungi Echizen. hatinya dirasuki perasaan getir. Karena itu ia tak dapat bersantai dengan keluarganya. walau hanya sejenak.

Katsuie segera kembali ke benteng dalam. Disertai para pelayannya, dengan langkah panjang ia menyusuri koridor beratap yang diterpa angin dingin. Begitu ia pergi. ketiga anak perempuan itu keluar ke serambi dan mulai bersenandung, bukan mengenai Echizen, melainkan mengenai daerah asal mereka. Owari.

Katsuie tidak menoleh ke belakang. Sebelum memasuki bangunan utama, ia menyuruh salah satu pelayannya, "Beritahu Gozaemon dan Gohei agar segera menemuiku di kamar."

Keduanya merupakan tokoh penting dalam marga Shibata. Mereka dipandang sebagai sesepuh dan amat dipercaya oleh Katsuie.

"Sudah kaukirim kurir kepada Maeda Inuchiyo?" Katsuie bertanya pada Gozaemon.

"Sudah, tuanku. Dia berangkat beberapa waktu yang lalu." orang itu menjawab. "Apakah ada pesan tambahan yang hendak tuanku sampaikan padanya?"

Katsuie mengangguk-angguk sambil membisu; ia tampak termenung-menung. Semalam, dewan marga membahas masalah penting: Hideyoshi. Dan keputusan mereka tidak bersifat pasif. Mereka mempunyai waktu sepanjang musim dingin untuk menjalankan sebuah rencana: Takigawa Kazumasu akan mengumpulkan orang-orang di Ise, Nobutaka bertugas membujuk Gamo Ujisato untuk bergabung dengan mereka serta meminta bantuan dari Niwa Nagahide; Katsuie sendiri akan menulis surat pada Tokugawa Ieyasu untuk menjelaskan maksudnya; dan seorang kurir telah diutus untuk menemui bekas shogun yang terkenal gemar berkomplot— Yoshiaki. Akhirnya mereka berharap bahwa jika saatnya tiba, pihak Mori akan menyerang Hideyoshi dari belakang.

Begitulah rencana mereka. namun sikap Ieyasu masih merupakan tanda tanya. Dan meskipun telah dapat diramalkan bahwa Yoshiaki akan besedia membantu, rasanya hanya ada sedikit harapan bahwa marga Mori akan bergabung dengan mereka. Bukan itu saja, Gamo Ujisaro. orang yang harus dibujuk oleh Nobutaka, sudah bersekutu dengan Hideyoshi, sementara Niwa secara arif memilih untuk tidak memihak siapa pun. Ia menjelaskan bahwa ia tak dapat memberikan dukungan pada salah satu pengikut bekas junjungannya, dan bahwa keterlibatannya hanya akan menyulitkan per-lindungan terhadap penerus yang sah, Yang Mulia Samboshi.

Sementara itu Hideyoshi tengah menyeleng- garakan upacara peringatan megah bagi Nobunaga di Kyoto, sebuah upacara yang menarik perhatian seluruh negeri. Nama Hideyoshi yang semakin termasyhur membuat Katsuie berpikir, apakah ia harus bertindak dan seberapa cepat. Tapi pegunungan Echizen menanggapi segala siasat Katsuie dengan hujan salju. la merencanakan operasi-operasi besar. tapi ia tak sanggup meng- gerakkan pasukannya untuk melaksanakan rencana-rencananya.

Keiika rapat beriangsung, sepucuk surat tiba dari Kazumasu. la menyarankan agar Katsuie bersabar sampai musim semi, dan baru kemudian menuntaskan usaha mereka dengan sekali pukul. Sampai saat itu, Kazumasu berpesan, Katsuie harus berdamai dengan Hideyoshi. Katsuie memper- timbangkan saran ini dan memutuskan bahwa itulah cara paling tepat untuk menangani situasi yang dihadapinya.

"Jika ada yang hendak tuanku sampaikan pada Yang Mulia Inuchiyo, hamba akan mengirim kurir lain." Gozaemon mengulangi. ketika melihat roman muka Katsuie yang cemas.

Katsuie membeberkan kebimbangannya kepada orang-orang ini. "Di dalam rapat, aku telah setuju untuk mengirim dua pengikut kepercayaan bersama Inuchiyo. guna memndingkan perdamaian dengan Hideyoshi. tapi sekarang aku mulai ragu-ragu."

"Apa maksud tuanku?" salah satu pengikutnya bertanya.

"Aku kurang yakin mengenai Inuchiyo." "Tuanku meragukan kemampuannya sebagai

utusan?"

"Aku tahu kemampuannya. tapi ketika Hideyoshi masih prajurit bawahan, mereka berteman akrab."

"Hamba rasa tuanku tak perlu cemas mengenai hal ini."

"Tidak perlu?"

"Sama sekali tidak," Gozaemon mengatakan. "Baik provinsi Inuchiyo di Noto maupun provinsi putranya di Fuchu berada di tengah-tengah wilayah kekuasaan tuanku, dan dikelilingi oleh benteng- benteng para pengikut marga Shibata. Jadi, selain secara geografis terpisah dari Hideyoshi, dia juga harus meninggalkan istri dan anak-anaknya sebagai sandera."

Gohci berpendapat sama. "Belum pernah ada perselisihan antara tuanku dan dia, dan Yang Mulia Inuchiyo pun mengabdi dengan setia selama operasi di wilayah Utara. Bertahun-tahun lalu, ketika dia masih samurai muda di Kiyosu, Yang Mulia Inuchiyo dikenal ugal-ugalan. Tapi sekarang dia sudah berubah. Dewasa ini namanya dikaitkan dengan ketulusan dan kejujuran, dan banyak orang yang menaruh kepercayaan padanya. Karena itu, hamba rasa dia justru orang yang paling cocok untuk tugas ini."

Katsuie mulai percaya bahwa mereka benar. Sekarang ia dapat tertawa dan mengakui bahwa kecurigaannya tak berdasar. Namun jika rencananya gagal karena suatu sebab, dengan cepat seluruh situasi dapat berbalik melawan Katsuie. Selain itu. ia pun merasa waswas karena pasukannya tak dapat bergerak sampai musim semi tiba. Keterpencilan Nobutaka di Gifu dan Takigawa di Ise bahkan lebih membebani pikirannya. Karena itu, misi utusan yang akan dikirimnya merupakan kunci keberhasilan strategi keseluruhan. Beberapa hari kemudian, Inuchiyo tiba di Kitanosho. Tahun itu ia berusia empat puluh empat tahun—beberapa tahun lebih muda dari Hideyoshi. la telah ditempa oleh tahun-tahun di medan tempur. dan biarpun kehilangan sebelah mata, ia tetap tampak tenang dan dapat mengendalikan diri.

Ketika disambut dengan hangat oleh Katsuie, ia menanggapi sikap berlebihan itu dengan senyum. Putri Oichi pun ikut menyambut, tapi Inuchiyo berkata dengan santun. Berkumpul dengan sekelompok samurai kasar di ruangan dingin ini tentunya kurang menyenangkan bagi Tuan Putri." , Mendengar ucapan itu, Putri Oichi segera meninggalkan ruangan. Katsuie menganggapnya sebagai ungkapan rasa hormat, tapi sesungguhnya Inuchiyo bermaksud memperlihatkan simpati pada Oichi, karena ia melihat bayangan Nobunaga

dalam diri perempuan itu.

Tindak-tandukmu ternyata sesuai dengan reputasimu. Kabarnya kau sangat berpengalaman dalam hal ini," ujar Katsuie.

"Yang Mulia berbicara mengenai sake" "Berbotol-botol sake"

Inuchiyo tertawa lepas, sebelah matanya berki- lau dalam cahaya lilin. la tetap laki-laki tampan yang dikenal Hideyoshi di masa mudanya. "Hideyoshi tak pernah kuat minum," Katsuie berkomentar. "Itu benar. Wajahnya langsung merah."

"Tapi aku ingat, ketika masih muda, kalian berdua sering menghabiskan sepanjang malam dengan minum-minum."

"Ya, dalam hal pesta pora, si Monyet muda tak kenal lelah. Dialah ahlinya. Setiap kali hamba terlalu banyak minum, hamba langsung ambruk dan tertidur, di mana pun hamba berada."

"Sepertinya kalian masih berteman dekat." "Tidak juga. Tak ada yang lebih tak dapat

dipercaya dari pada bekas teman minum-minum." "Begitukah?"

"Yang Mulia pasti masih ingat hari-hari yang diisi dengan makan. minum. dan bernyanyi sampai fajar. Sesama teman saling merangkul dan mengungkapkan hal-hal yang takkan mereka ceritakan pada saudara sendiri. Saat itu kita menganggap orang tersebut sebagai sahabat terbaik yang pernah kita miliki, tapi kemudian kita sama- sama terjun ke dunia nyata, mengabdi pada junjungan masing-masing dan berkeluarga. Ketika mengenang perasaan kita pada waktu masih sama- sama tinggal di barak, kita menyadari bahwa semuanya telah berubah. Cara kita memandang dunia, cara kita memandang orang lain—kita telah dewasa. Teman kita tak lagi seperti dulu, begitu juga kita sendiri. Teman sejati yang sungguh- sungguh setia adalah teman yang kita jumpai di tengah-tengah kesengsaraan." "Hmm. kalau begitu, akulah yang keliru." "Bagaimana maksud Yang Mulia?"

"Kupikir hubunganmu dengan Hideyoshi lebih erat dari pada ini, dan karenanya aku hendak minta bantuanmu."

"Jika Yang Mulia ingin berperang melawan Hideyoshi." kata Inuchiyo. "hamba tak bisa membantu, tapi jika Yang Mulia bermaksud mengadakan perundingan damai, dengan senang hati hamba akan berada di barisan depan. Ataukah ada hal lain lagi?"

Ucapan Inuchiyo tepat mengenai sasaran. Tan pa berkata apa-apa lagi, ia tersenyum dan mengangkat cawan.

Bagaimana rencana mereka bisa sampai ke telinga Inuchiyo? Mata Katsuie memancarkan kebingungan. Tapi setelah merenung sejenak, Katsuie pun menyadari bahwa ia sendiri yang terus menguji sikap Inuchiyo mengenai Hideyoshi sejak awal pertemuan mereka.

Meski tinggal di pedalaman, Inuchiyo bukan orang yang tidak mengikuti perkembangan dunia. Tentunya ia mengetahui apa saja yang terjadi di Kyoto, dan ia pasti juga memahami persoalan antara Katsuie dan  Hideyoshi. Kecuali itu, Inuchiyo telah menerima surat panggilan Katsuie dan segera datang tanpa mengindahkan salju tebal. Setelah merenungkan semuanya itu. Katsuie terpaksa  mengubah pandangannya mengenai Inuchiyo, agar dapat menemukan suatu cara untuk mengontrolnya. la sadar bahwa pengaruh Inuchiyo akan semakin membesar di masa mendatang. Sama seperti Sassa Narimasa, Inuchiyo berada di bawah komando Katsuie atas perintah Nobunaga. Selama lima tahun berlangsungnya operasi di wilayah Utara, Katsuie memperlakukan Inuchiyo seperti pengikutnya sendiri, dan Inuchiyo taat pada Katsuie. Tapi sekarang Nobunaga telah tiada, dan Katsuie bertanya-tanya, apakah hubungan mereka akan tetap seperti semula. Inti permasalahannya adalah sebagai berikut: Kekuasaan Katsuie tergantung pada Nobunaga. Setelah Nobunaga wafat, ia hanya salah satu di antara sekian banyak jendral.

"Aku tak ingin berperang melawan Hideyoshi. tapi aku takut desas-desus yang beredar mengatakan sebaliknya," Katsuie berkata sambil tertawa.

Semakin matang seseorang, ia pun semakin ahli dalam hal tertawa untuk menutup-nutupi perasaan sebenarnya. "Rasanya janggal aku mengirim utusan pada Hideyoshi," Katsuie melanjutkan, "padahal kami tidak dalam keadaan perang. Tapi aku telah menerima seiumlah surat dari Yang Mulia Nobutaka dan Takigawa yang berisi desakan untuk mengutus seseorang. Belum enam bulan berlalu sejak kematian Yang Mulia Nobunaga, namun sudah ada kabar selentingan bahwa para pengikutnya yang masih hidup saling meng- gempur. Ini sungguh memalukan. Lagi pula, kurasa marga Uesugi, marga Hojo, dan marga Mori tak boleh diberi kesempatan yang mereka cari-cari."

"Hamba mengerti, Yang Mulia"

Memberi penjelasan bukanlah keahlian Katsuie, dan Inuchiyo menerima penugasannya secara garis besar saja, seakan-akan tak ada gunanya men- dengarkan detail-detail yang menjemukan. Keesokan harinya ia meninggalkan Kitanosho. la disertai dua orang, Fuwa Hikozo dan Kanamori Gorohachi. Keduanya pengikut kepercayaan marga Shibata, dan meskipun mereka ikut sebagai utusan, sesungguhnya mereka bertugas mengawasi Inuchiyo.

Pada hari kedua puluh tujuh Bulan Kesepuluh, mereka tiba di Nagahama untuk menjemput Katsutoyo. Malangnya, pemuda itu sedang sakit. Para utusan menyarankan agar ia tinggal di Nagahama saja, tapi Katsutoyo berkeras ingin ikut, dan mereka menempuh perjalanan dari Nagahama ke Otsu dengan menumpang kapal. Setelah menginap satu malam di ibu kota, mereka tiba di Benteng Takaradera keesokan harinya.

Inilah medan tempur tempat Mitsuhide menemui kekalahan pada musim panas yang lalu. Di tempat ini dulu tak ada apa-apa selain desa miskin dengan stasiun pos yang keadaannya menyedihkan, tapi kini sebuah kota benteng yang makmur telah muncul. Sesudah para utusan menyeberangi Sungai Yodo, mereka melihat perancah-perancah di sekeliling benteng. Gerobak- gerobak sapi telah meninggalkan bekas yang dalam di jalanan, dan segala sesuatu yang mereka lihat mencerminkan rencana-rencana besar Hideyoshi.

Inuchiyo pun mulai mempertanyakan iktikad Hideyoshi. Katsuie, Nobutaka, dan Takigawa menuduh Hideyoshi mengabaikan Yang Mulia Samboshi dan bekerja demi kepentingannya sendiri. Di Kyoto ia sedang menggalang kekuatan, sementara di luar ibu kota ia mengerahkan dana besar untuk pembangunan benteng-benteng. Proyek-proyek ini tak ada sangkut-pautnya dengan marga-marga musuh di Barat dan Utara, jadi terhadap siapakah ia mempersiapkan pasukannya di jantung negeri?

Apakah yang dikatakan Hideyoshi untuk membela diri? la pun mengemukakan sejumlah keluhan: Pertama-tama soal janji untuk memindahkan Samboshi ke Azuchi, yang dibuat dalam pertemuan Kiyosu dan belum juga dipenuhi, lalu masalah upacara peringatan bagi Nobunaga yang tidak dihadiri Nobutaka dan Katsuie.

Pertemuan antara Hideyoshi dan para utusan berlangsung di benteng utama yang sebagian sudah dibangun kembali. Makanan dan teh dihidangkan sebelum perundingan dimulai. Ini pertama kalinya Hideyoshi dan Inuchiyo berjumpa setelah kematian Nobunaga.

"Inuchiyo, berapa usiamu sekarang?" tanya Hideyoshi.

"Tahun ini umurku empat puluh lima tahun." "Kita sama-sama mulai tua."

"Apa maksudmu? Aku tetap satu tahun lebih muda darimu, bukan?" "Ah, betul juga. Seperti seorang adik—setahun lebih muda. Tapi kalau kita bandingkan sekarang, tampaknya kau yang lebih matang."

Kaulah yang kelihatan terlalu tua untuk usiamu," Hideyoshi angkat bahu. "Sejak kecil aku sudah kelihatan tua. Tapi terus terang, berapa pun usiaku, aku tetap tidak merasa dewasa, dan ini membuatku agak cemas."

"Ada yang bilang laki-taki seharusnya tak tergoyahkan lagi setelah mencapai usia empat puluh."

"Itu bohong." "Kau yakin?"

"Laki-laki terhormat tak tergoyahkan lagi— begitulah bunyi pepatah ter-sebut. Tapi bagi kita, rasanya lebih tepat kalau dikatakan bahwa usia empat puluh merupakan saat kita goyah untuk pertama kali. Bukankah ini juga berlaku untukmu. Inuchiyo?"

"Tuan Monyet masih saja suka berkelakar, bukan begitu, Tuan-Tuan?"

Sambil tersenyum, Inuchiyo menatap rekan- rekannya. Ia cukup akrab dengan Hideyoshi untuk menyapanya dengan julukan Tuan Monyet, dan ini tak luput dari perhatian mereka.

"Hamba tidak sependapat dengan Tuan Inuchiyo maupun Yang Mulia." ujar Kanamori, yang merupakan orang tertua di antara mereka.

"Kenapa?" tanya Hideyoshi. Kelihatan jelas bahwa ia menikmati percakapan itu.

"Menurut hamba, sejak umur lima belas, seorang laki-laki tak tergoyahkan lagi."

"Wah, rasanya itu terlampau dini, bukan?" "Hmm. lihatlah pemuda-pemuda yang untuk

pertama kali terjun ke kancah perang."

"Benar juga. Tak tergoyahkan pada usia lima belas, apalagi pada waktu berumur sembilan belas atau dua puluh, tapi ketika mencapai usia empat puluh, kita mulai runtuh perlahan-lahan. Kalau begitu, bagaimana kalau kita sudah memasuki masa tua?"

"Pada waktu berusia lima puluh atau enam puluh, kita benar-benar bingung."

"Dan kalau tujuh puluh atau delapan puluh?" "Kita mulai lupa bahwa kita bingung." Semuanya tertawa.

Sepertinya pertemuan itu akan berlanjut sampai larut malam, tapi keadaan Katsutoyo mulai memburuk. Topik pembicaraan beralih, dan Hideyoshi mengusulkan agar mereka pindah ke ruangan lain. Seorang sinse dipanggil. Ia segera memberi obat pada Katsutoyo, dan segala usaha ditempuh untuk menghangatkan ruangan tempat perundingan akan berlangsung.

Begitu keempat orang itu mengambil tempat masing-masing, Inuchiyo membuka pembicaraan resmi. "Mestinya Tuan telah menerima surat dari Yang Mulia Nobutaka, yang juga menasihati Yang Mulia Katsuie untuk berdamai." ujar Inuchiyo.

Hideyoshi mengangguk. Tampaknya ia bersedia mendengarkan lawan bicaranya. Inuchiyo meng- ingatkannya akan kewajiban bersama sebagai pengikut Nobunaga, lalu mengakui terus terang bahwa Hideyoshi-lah yang memenuhi kewajiban tersebut secara tuntas. Tapi setelah itu, ujar Inuchiyo, timbul kesan bahwa Hideyoshi berselisih paham dengan para pengikut senior. Ia seakan- akan mengabaikan Yang Mulia Samboshi dan bekerja demi kepentingan pribadi. Seandainya pun ini tidak benar, Inuchiyo merasa patut disesalkan kalau sepak terjang Hideyoshi memberi peluang bagi interpretasi seperti itu.

Ia menyarankan Hideyoshi melihat situasinya dari sudut pandang Nobutaka dan Katsuie. Yang satu terpaksa menelan kekecewaan, sementara yang satu lagi kini merasa tidak tenang. Katsuie, yang dijuluki "sang Pendobrak" dan "sang Iblis", telah lambat bertindak dan tertinggal satu langkah di belakang Hideyoshi. Dalam rapat di Kiyosu pun bukankah Katsuie telah memperlihatkan rasa hormat padanya?

"Jadi. mengapa perselisihan ini tidak Tuan sudahi saja?" Inuchiyo akhirnya bertanya. "Bagi orang seperti aku, urusan ini bukan masalah berarti, namun lain halnya dengan keluarga Yang Mulia Nobunaga. Rasanya tak pantas kalau para pengikut yang masih hidup berbagi ranjang, tapi memiliki impian berbeda-beda."

Sorot mata Hideyoshi berubah pada waktu mendengarkan ucapan Inuchiyo. Secara tak langsung, Inuchiyo menuduh Hideyoshi sebagai penyebab keretakan di kalangan pengikut Nobunaga, dan ia bersiap-siap menghadapi sangkalan yang berapi-api.

Di luar dugaan, Hideyoshi malah mengangguk- angguk. "Tuan sepenuhnya benar." ia berkata sambil mendesah. "Sesungguhnya aku tak dapat dipersalahkan. dan jika aku mengemukakan alasan-alasanku, tentu ada segunung. Tapi kalau aku memandang situasinya berdasarkan penjelasan Tuan. kelihatannya aku telah melangkah terlampau jauh. Dan dari segi ini, aku bersalah. Inuchiyo, kuserahkan semuanya ke tanganmu."

Saat ini juga perundingan telah selesai. Ucapan Hideyoshi begitu terus terang, sehingga para utus- an merasa agak bingung, tapi Inuchiyo mengenal Hideyoshi dengan baik. "Aku sangat berterima kasih pada Tuan. Ternyata perjalananku dari Utara tidak sia-sia," ia berkata dengan rasa puas mendalam.

Namun Fuwa dan Kanamori tidak memperlihatkan kegembiraan mereka secara terbuka. Karena memahami kenapa mereka bersikap bungkam, Inuchiyo maju satu langkah lagi.

Tuan Hideyoshi, jika Tuan mempunyai keluhan mengenai Yang Mulia Katsuie yang hendak Tuan kemukakan, kuharap Tuan mau mengungkap- kannya secara terbuka. Aku khawatir persetujuan damai ini takkan bertahan lama kalau Tuan menutup-nutupi sesuatu. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan setiap masalah yang mungkin mengganjal, apa pun masalahnya."

"Itu tidak perlu." ujar Hideyoshi sambil tertawa. "Apakah aku termasuk orang yang bisa menyimpan sesuatu dalam hati dan diam saja? Aku telah mengemukakan semua yang hendak kukatakan, baik kepada Yang Mulia Nobutaka maupun kepada Yang Mulia Katsuie. Aku sudah mengirim surat panjang yang menjelaskan segala sesuatu secara mendetail."

"Ya, surat itu telah diperlihatkan pada kami di Kitanosho. Yang Mulia Katsuie berpendapat bahwa semua yang diuraikan Tuan masuk akal dan tak perlu disinggung lagi dalam perundingan damai ini." "Kudengar Yang Mulia Nobutaka mengusulkan untuk mengadakan perundingan damai setelah membaca suratku. Inuchiyo, aku sengaja berhati- hati agar tidak menyinggung perasaan Yang Mulia Katsuie sebelum kedatanganmu ke sini."

"Hmm. sudah sewajarnya negarawan terkemuka diperlakukan dengan hormat dalam keadaan apa pun. Tapi aku pun sadar bahwa sang Iblis Shibata berkali-kali gusar akibat perbuatan-perbuatanku."

"Memang sukar melakukan apa pun tanpa menyenggol tanduk sang Iblis. Ketika kita sama- sama masih muda pun tanduknya itu amat menakut-kan—terutama bagiku. Sesungguhnya. tanduk sang Iblis bahkan lebih menakutkan daripada kejengkelan Nobunaga."

Tuan-Tuan dengar itu?" tanya Inuchiyo sambil tertawa. Tuan-Tuan dengar itu?" Baik Fuwa maupun Kanamori ikut tertawa. Mengatakan hal seperti ini di hadapan mereka tak dapat disebut menjelek-jelekkan junjungan mereka di belakangnya. Mereka justru menganggapnya sebagai hal yang sama-sama mereka rasakan dan tak dapat disangkal.

Jiwa manusia sungguh sukar diraba. Setelah tertawa bersama, Kanamori dan Fuwa merasa lebih akrab dengan Hideyoshi, dan mereka pun mengen- durkan pengawasan terhadap Inuchiyo.

"Kukira ini saat yang menggembirakan," ujar Kanamori. "Kami tak mungkin lebih gembira dari ini," Fuwa menambahkan. "Selain itu, aku ingin mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati Tuan. Tugas kami telah rampung, dan kehormatan kami pun tetap terjaga."

Namun keesokan harinya Kanamori ternyata masih diliputi perasaan waswas. dan ia berkata pada Fuwa, "Kalau kita kembali ke Echizen dan melapor pada junjungan kita tanpa membawa pemyataan tertulis dari Yang Mulia Hideyoshi, bukankah persetuiuan ini berkesan terlalu lemah?" Sebelum berangkat pada hari itu, para utusan sekali lagi  mendatangi benteng  untuk menemui

Hideyoshi dalam rangka berpamitan.

Beberapa pembantu dan sejumlah kuda tampak menunggu di depan gerbang utama. dan para utusan menyimpulkan bahwa Hideyoshi sedang menerima tamu. Tapi rupanya Hideyoshi-lah yang hendak pergi. Ia baru saja melangkah keluar dari benteng utama.

"Syukurlah Tuan-Tuan datang," katanya. "Mari kita masuk saja." Sambil berbalik. Hideyoshi mengajak para tamu ke ruangannya. "Aku benar- benar bergembira semalam. Berkat Tuan-Tuan. aku bangun kesiangan tadi pagi."

Dan memang, sepertinya ia baru bangun dan cuci muka. Tapi pagi itu para utusan tampak agak berbeda—seakan-akan mereka terbangun dalam kondisi lain. "Kami sudah tertalu banyak menyita waktu Tuan yang amat berharga, tapi kami akan pulang hari ini." ujar Kanamori.

Hideyoshi mengangguk. "Begitukah? Hmm. tolong sampaikan salamku kepada Yang Mulia Katsuie kalau Tuan-Tuan sudah kembali nanti."

"Aku yakin hasil perundingan kita akan disambut gembira oleh Yang Mulia Katsuie."

"Hatinya terasa lebih ringan karena kedatangan Tuan-Tuan. Semua pihak yang ingin menghasut kita agar berperang tentu merasa kecewa sekarang." "Sudikah Tuan mengambil  kuas dan menandatangani suatu surat per-janjian, sekadar untuk membungkam mulut orang-orang itu?"

Kanamori memohon.

Itulah masalahnya. Itulah yang tiba-tiba menjadi sumber kegelisahan bagi para utusan. Perundingan damai berjalan terlalu lancar, dan mereka kurang yakin terhadap kata-kata belaka. Kalaupun mereka melaporkan hasil perundingan pada Katsuie, tanpa sebuah dokumen perjanjian, itu tak lebih dari janji lisan.

"Baiklah." Roman muka Hideyoshi menunjuk- kan bahwa ia sepenuhnya setuju. "Aku akan memberikan perjanjian tenulis pada Tuan-Tuan, dan aku mengharapkan hal yang sama dari Yang Mulia Katsuie. Tapi perjanjian ini bukan hanya berlaku bagi Yang Mulia Katsuie dan aku. Jika nama para jendral kawakan lainnya tidak dicantumkan, dokumen tersebut tak ada artinya. Aku segera akan membicarakannya dengan Niwa dan Ikeda. Tuan-Tuan tidak keberatan, bukan?"

Hideyoshi menatap Inuchiyo.

"Sebaiknya begitu," jawab Inuchiyo dengan tegas. Matanya membaca segala sesuatu yang tersimpan dalam hati Hideyoshi—ia telah melihat ke masa depan, bahkan sebelum bertolak dari Kitanosho. Kalau Inuchiyo memang bisa disebut bajingan, harus diakui bahwa ia bajingan yang simpatik.

Hideyoshi berdiri. "Aku sendiri juga baru hendak pergi. Aku akan menemani Tuan-Tuan sampai ke kota benteng."

Bersama-sama mereka meninggalkan benteng. "Aku belum melihat Yang Mulia Katsutoyo hari

ini. Apakah dia sudah berangkat?" tanya Hideyoshi.

"Dia masih kurang enak badan," jawab Fuwa. "Kami meninggalkannya di tempat dia menginap."

Mereka menaiki tunggangan masing-masing dan berkuda sampai ke persimpangan di kota benteng.

'Hendak ke mana kau hari ini. Hideyoshi?" tanya Inuchiyo.

"Aku berangkat ke Kyoto, seperti biasa."

"Hmm. kalau begitu kita berpisah di sini. Kami masih harus kembali ke penginapan dan melakukan persiapan untuk menempuh perialanan "Aku ingin mengunjungi Yang Mulia Katsutoyo." ujar Hideyoshi. "untuk melihat apakah keadaannya sudah membaik."

Inuchiyo, Kanamori, dan Fuwa kembali ke Kitanosho pada hari kesepuluh di bulan yang sama, dan langsung menghadap Katsuie. Katsuie bersukacita karena rencananya untuk mewujudkan perdamaian palsu ternyata berjalan lebih lancar daripada yang diperkirakannya.

Tak lama kemudian Katsuie mengadakan pertemuan rahasia dengan para pengikut kepercayaannya dan berkata pada mereka, "Kita pertahankan keadaan damai ini selama musim dingin. Begitu salju mulai mencair, kira bantai musuh bebuyutan kita dengan sekali pukul."

Segera setelah Katsuie menyelesaikan tahap pertama strateginya dengan berdamai dengan Hideyoshi. ia mengirim utusan berikut, kali ini kepada Tokugawa Ieyasu. Utusan itu berangkat pada akhir Bulan Kesebelas.

Selama setengah tahun terakhir, sejak Bulan Keenam, Ieyasu absen dari pusat kegiatan. Setelah peristiwa Kuil Honno, perhatian seluruh negeri terfokus pada usaha mengisi kehampaan yang terjadi ketika pusatnya runtuh begitu tiba-tiba. Selama masa itu, ketika tak seorang pun sempat menoleh ke arah lain, Ieyasu telah memilih jalannya sendiri.

Pada saat Nobunaga terbunuh, Ieyasu sedang bertamasya di Sakai dan nyaris tak berhasil kembali ke provinsi asalnya dalam keadaan hidup. Ia segera memberi perintah ke Narumi. Tapi motif di balik tindakan tersebut sangat berbeda dengan alasan Katsuie melintasi Yanagase dari Echizen.

Ketika Ieyasu mendengar bahwa Hideyoshi telah sampai ke Yamazaki, ia berkata. "Provinsi kita tidak terancam." Kemudian ia menarik mundur pasukannya ke Hamamatsu.

Ieyasu tak pernah menganggap dirinya setingkat dengan para pengikut Nobunaga yang masih hidup. Ia sekutu marga Oda, sementara Katsuie dan Hideyoshi merupakan jendral di bawah Nobunaga. Ia tak melihat alasan untuk melibatkan diri dalam pertikaian di antara para pengikut yang masih hidup, untuk bertempur guna memperebutkan apa yang tersisa. Dan kini ada sesuatu yang jauh lebih penting baginya, Sudah beberapa lama ia menanti-nanti kesempatan untuk memperluas wilayahnya ke Kai dan Shinano. kedua provinsi yang berbatasan dengan provinsinya sendiri. Ia tak dapat menjalankan rencananya semasa Nobunaga masih hidup, dan mungkin takkan pernah ada kesempatan sebaik sekarang.

Orang yang secara sembrono membuka jalan untuk mencapai tujuan itu dan memberikan kesempatan emas kepada Ieyasu adalah Hojo Ujinao, penguasa Sagami, salah satu di antara orang-orang yang menarik keuntungan dari peristiwa Kuil Honno. Karena menyangka waktunya sudah tiba, pasukan Hojo berkekuatan lima puluh ribu orang memasuki bekas wilayah marga Takeda di Kai. Penyerbuan itu berskala besar, dan dilaksanakan seolah-olah Ujinao menggunakan kuas untuk menarik garis pada sebuah peta, lalu merebut apa saja yang ia anggap dapat direbutnya.

Tindakan ini memberi alasan kuat bagi Ieyasu untuk mengerahkan pasukannya. Namun kekuatannya tak lebih dari delapan ribu prajurit. Barisan depannya yang berkekuatan tiga ribu prajurit menghalau pasukan Hojo yang berkekuatan lebih dari sepuluh ribu orang, sebelum bergabung dengan pasukan utama Ieyasu. Perang berlangsung lebih dari sepuluh hari. Menghadapi gempuran musuh, pihak Hojo tak punya pilihan selain membuat pertahanan terakhir atau—seperti harapan Ieyasu yang kemudian menjadi kenyataan—memohon damai.

"Joshu akan diberikan kepada pihak Hojo, sementara Provinsi Kai dan Shinano akan diserahkan kepada marga Tokugawa-"

Itulah kesepakatan yang tercapai di antara mereka, dan kesepakatan itu persis seperti yang diinginkan Ieyasu.

Dengan berselubung salju, para utusan Shibata Katsuie yang menuju Kai tiba pada hari kesebelas Bulan Kedua Belas. Pertama-tama mereka dipersilahkan melepas lelah di wisma tamu di Kofu. Rombongan mereka besar dan dipimpin oleh dua pengikut senior marga Shibata, Shukuya Shichizaemon dan Asami Dosei.

Selama dua hari mereka dijamu oleh pihak tuan rumah, tapi selain itu mereka dibiarkan menunggu.

Ishikawa Karumasa minta maaf banyak- banyak dan memberitahukan bahwa Ieyasu masih sibuk menangani urusan-urusan militer.

Para utusan mendongkol karena sambutan yang sedemikian dingin. Mereka membawa banyak hadiah sebagai tanda persahabatan marga Shibata, tapi para pengikut Tokugawa hanya menerima daftar tanda mata tersebut dan tidak memberikan tanggapan lebih lanjut. Pada hari ketiga, mereka akhirnya memperoleh kesempatan untuk bertatap muka dengan Ieyasu.

Cuaca di tengah-tengah musim salju sedang dingin-dinginnya. Meski demikian, Ieyasu duduk di sebuah ruangan besar yang tidak dihangatkan oleh api. Penampilannya bukan seperti orang yang didera penderitaan dan kemalangan sejak masa muda. Pipinya tampak montok. Cuping telinganya yang besar memberi bobot tertentu pada seluruh tubuhnya. dan membuat para tamu bertanya-tanya, apakah benar laki-laki ini seorang jendral besar yang baru berusia empat puluh tahun.

Seandainya Kanamori yang datang sebagai utusan, ia akan segera me-nyadari bahwa ungkapan "tak tergoyahkan pada usia empat puluh" sangat tepat untuk orang ini.

"Terima kasih atas kedatangan kalian serta semua tanda persahabatan yang kalian bawa. Apakah Yang Mulia Katsuie sehat-sehat saja?"

Tutur kata Ieyasu penuh wibawa, dan suaranya, meski lembut, membuat Shukuya dan Asami tertegun. Para pengikutnya memelototi kedua utusan itu, yang merasa seperti wakil sebuah marga kecil yang datang untuk membayar upeti. Menyampaikan pesan junjungan mereka dalam keadaan seperti ini akan membuat mereka kehilangan muka. Namun tak ada pilihan lain.

"Yang Mulia Katsuie mengucapkan selamat atas penaklukan Provinsi Kai dan Shinano. Sebagai tanda turut bergembira, beliau mengirimkan hadiah-hadiah ini kepada Yang Mulia."

"Yang Mulia Katsuie mengutus Tuan-Tuan untuk menyampaikan ucapan selamat setelah sekian lama kami tak pernah berhubungan lagi? Wah betapa baik hati."

Walhasil, para utusan menempuh perjalanan pulang sambil memendam perasaan getir. Ieyasu tidak menitipkan pesan apa pun untuk Katsuie. Tentu sukar melaporkan pada Katsuie bahwa Ieyasu sama sekali tidak menanggapi ucapan selamatnya, apalagi bahwa mereka memperoleh sambutan begitu dingin.

Yang paling menyakitkan hati adalah bahwa Ieyasu tidak membalas surat bernada hangat yang dikirim Katsuie. Singkat kata, misi mereka bukan saja gagal total, tapi sepertinya Katsuie juga telah merendahkan diri lebih dari seharusnya di hadap- an Ieyasu.

Kedua utusan membahas situasinya dengan perasaan cemas. Musuh mereka, Hideyoshi, tentu saja ikut disinggung dalam pembicaraan itu, begitu juga musuh lama mereka, marga Uesugi. Jika ancaman-ancaman tersebut masih di tambah dengan perselisihan antara marga Shibata dan Tokugawa... Mereka hanya dapat berdoa agar hal itu tidak terjadi.

Tetapi laju perubahan selalu lebih cepat daripada ketakutan tanpa dasar dari orang-orang berhati waswas. Tak lama setelah para utusan kembali ke Kitanosho, perjanjian yang dibuat pada bulan sebelumnya telah diingkari, dan beberapa saat sebelum akhir tahun. Hideyoshi mulai bergerak ke Omi bagian utara. Pada waktu yang sama, Ieyasu tiba-tiba mundur ke Hamamatsu karena alasan yang tidak jelas.

Kira-kira sepuluh   hari   telah   berlalu   sejak Inuchiyo kembali ke Kitanosho. Anak angkat Katsuie, Katsutoyo, yang terpaksa ditinggal di Benteng Takaradera karena sakit, kini telah sembuh dan berpamitan pada tuan rumah.

"Aku takkan pernah melupakan kebaikan Tuan," Katsutoyo berkata pada Hideyoshi.

Hideyoshi menyertai Katsutoyo sampai ke Kyoto, dan berupaya keras memastikan bahwa Katsutoyo dapat menempuh perjalanan pulang ke Benteng Nagahama dengan nyaman.

Kedudukan Katsutoyo termasuk paling tinggi dalam marga Shibata, tapi ia dijauhi oleh Katsuie dan dipandang rendah oleh para anggota marga lainnya. Perlakuan Hideyoshi yang ramah telah berhasil mengubah sikap Katsutoyo terhadap musuh ayah angkatnya itu.

Selama hampir setengah bulan setelah Inuchiyo, lalu Katsutoyo, mengakhiri kunjungan mereka. Hideyoshi tampaknya tidak menyibukkan diri dengan pembangunan benteng maupun perkembangan di Kyoto, la justru mengalihkan perhatiannya ke gelanggang yang luput dari perhatian orang.

Pada awal Bulan Kedua Belas, Hikoemon—yang sebelumnya telah dikirim ke Kyoto—-kembali ke markas besar Hideyoshi. Dengan satu langkah ini, Hideyoshi mengakhiri masa istirahat yang pasif dan penuh kesabaran yang diperlihatkannya sejak penemuan Kiyosu, dan untuk pertama kali ia membanting batu ke papan go politik nasional, mengisyaratkan bahwa ia kembali ikut

Hikoemon pergi ke Kyoto untuk meyakinkan Nobuo bahwa manuver-manuver rahasia yang dilakukan saudaranya, Nobutaka. semakin mengancam, dan bahwa tujuan penyiagaan pasukan oleh Katsuie tak perlu dipertanyakan lagi. Nobutaka belum memindahkan Samboshi ke Azuchi. dan malah menyekap anak itu di bentengnya sendiri. Tindakan ini melanggar perjanjian yang ditandatangani seusai pertemuan Kiyosu, dan dapat dipandang sebagai penyanderaan terhadap ahli waris Oda yang sah.

Dalam petisinya, Hideyoshi lalu menjelaskan bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri kemelut ini adalah dengan menyerang Katsuie—pemimpin komplotan itu, sekaligus penyebab pergolakan yang terjadi—sementara pihak Shibata tak dapat bergerak karena terkurung salju.

Sejak awal Nobuo sudah merasa tidak puas, dan bukan rahasia lagi bahwa ia tidak menyukai Katsuie. Tentunya ia pun sadar bahwa ia tak dapat mengandalkan Hideyoshi untuk menjamin masa depannya, tapi dalam pandangannya Hideyoshi masih lebih baik daripada Katsuie. Karena itu, tak ada alasan baginya untuk menolak petisi Hideyoshi.

"Yang Mulia Nobuo tampaknya cukup antusias," Hikoemon melaporkan. "Beliau berkata bahwa jika tuanku terjun langsung dalam operasi militer melawan Gifu, beliau pun akan bergabung. Beliau bukan sekadar meluluskan permohonan kita, sepertinya dia mendukung kita secara aktif.

"Dia antusias? Hmm. aku bisa membayangkan- nya."

Hideyoshi membayangkan pemandangan menyedihkan itu. Pemimpin sebuah keluarga tersohor, tapi dengan watak yang menyebabkan ia sukar diselamatkan,

Meski demikian, tanggapan Nobuo memang menguntungkan. Sebelum kematian Nobunaga, Hideyoshi tak pernah menggembar-gemborkan cita-citanya sendiri, tapi setelah Nobunaga wafat— dan khususnya setelah pertempuran Yamazaki—ia mulai menyadari kemungkinan bahwa ia telah ditakdirkan untuk memimpin seluruh negeri. Ia tak lagi menyembunyikan rasa percaya dirinya dan tak lagi bersikap merendah.

Dan masih ada perubahan lain yang patut dicatat. Orang yang berhasrat memimpin seluruh negeri biasanya dituduh ingin memperbesar kekuasaannya sendiri, tapi belakangan orang-orang mulai bersikap seakan-akan sudah sewajarnya Hideyoshi menggantikan kedudukan Nobunaga.

Tiba-tiba, sangat tiba-tiba, kerumunan laskar mulai terbentuk di muka gerbang depan Kuil Sokoku. Para prajurit berdatangan dari Barat, Selatan, dan Utara untuk bergabung di bawah panji labu emas, sampai sebuah pasukan berke- kuatan lumayan terkumpul di tengah-tengah Kyoto.

Hari itu hari ketujuh Bulan Kedua Belas. Sinar matahari pagi diiringi angin kering.

Para warga kota tidak tahu apa yang tengah terjadi. Upacara peringatan di Bulan Kesepuluh diadakan dengan segala kemegahan. Orang-orang dengan mudah terjebak oleh pikiran mereka sendiri. Roman muka mereka menunjukkan bahwa mereka telah mengelabui diri sendiri dengan percaya bahwa untuk sementara waktu takkan ada peperangan lagi.

"Yang Mulia Hideyoshi sendiri yang memimpin barisan. Pasukan Tsutsui ada di sini, begitu juga pasukan Yang Mulia Niwa."

Tapi suara-suara di tepi jalan tak dapat menebak tempat yang dituju pasukan ini. Barisan helm dan baju tempur yang meliuk-liuk melintasi Keage dengan sangat cepat dan bergabung dengan pasukan yang menunggu di Yabase. Kapal-kapal perang yang mengangkut para prajurit membelah gelombang dalam formasi rapat, mengarah ke timur laut, sementara pasukan yang menempuh jalur darat berkemah selama tiga malam di Azuchi. lalu sampai di Benteng Sawayama pada hari kesepuluh.

Pada hari ketiga belas, Hosokawa Fujitaka dan putranya. Tadaoki, tiba dari Tamba dan segera minta waktu untuk bertatap muka dengan Hideyoshi.

"Aku senang kalian datang," Hideyoshi berkata dengan hangat. "Kalian tentu direpotkan oleh hujan salju."

Mengingat situasi mereka, Fujitaka dan putranya pasti merasa seperti berjalan di atas es tipis selama enam bulan terakhir. Mitsuhide dan Fujitaka sudah berteman karib sejak sebelum keduanya mengabdi pada Nobunaga. Tadaoki telah menikahi putri Mitsuhide. Disamping itu, masih banyak ikatan lain di antara para pengikut kedua marga. Berdasarkan alasan ini saja, Mitsuhide merasa yakin bahwa Fujitaka dan putranya akan mendukung pemberontakannya.

Namun ternyata Fujitaka tidak bergabung dengan Mitsuhide. Seandainya ia sempat membiarkan dirinya hanyut terbawa perasaan pribadi, kemungkinan besar marganya sudah menemui kehancuran bersama marga Akechi. Ten- tunya ia merasa seakan-akan menumpuk telur di atas telur. Bertindak hati-hati ke luar sambil menghindari bahaya di dalam pasti telah menimbulkan kepedihan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Ia telah menyelamatkan istri Tadaoki, tapi pengampunan yang ia berikan ternyata menimbulkan per- tentangan di dalam marga.

Kini Hideyoshi   telah   mengampuninya   dan mengakui kesetiaan yang diperlihatkan pihak Hosokawa. Karena itu mereka disambut baik oleh Hideyoshi. Ketika Hideyoshi menatap Fujitaka, ia melihat bahwa cambang laki-laki itu telah berubah seputih bunga es dalam setengah tahun terakhir. Ah, orang ini memang piawai, pikir Hideyoshi, dan secara bersamaan ia menyadari bahwa untuk ikut berperan dalam arus perubahan tanpa melakukan kesalahan, seseorang harus rela mengerat dagingnya dan mengorbankan kehitaman rambutnya. Mau tak mau ia merasa iba setiap kali melihat Fujitaka.

"Genderang ditabuh di seberang danau maupun di kota benteng, dan rupanya tuanku sudah siap menyerang. Hamba berharap tuanku sudi memberikan kehormatan pada kami dengan menempatkan putra hamba di barisan terdepan." kata Fujitaka.

"Maksudmu, pengepungan Nagahama?" balas Hideyoshi. Sepertinya ia menyinggungnya secara sambil lalu saja, tapi kemudian ia melanjutkan dengan nada berbeda. "Kita akan menyerang dari darat dan dari danau. Namun serangan sesungguhnya terjadi di dalam benteng, bukan di luar. Aku yakin para pengikut Katsutoyo akan datang ke sini nanti malam."

Ketika merenungkan ucapan Hideyoshi. Fujitaka teringat pepatah lama. "Orang yang mengistirahatkan anak buahnya dengan baik dapat memacu mereka sampai ke batas kemampuan."

Ketika memandang Hideyoshi, putra Fujitaka pun teringat sesuatu. Pada waktu nasib marga Hosokawa berada di persimpangan yang menentukan, dan semua pengikutnya berkumpul untuk memutuskan langkah berikut. Fujitaka angkat bicara dan secara tegas menyatakan posisi yang harus mereka ambil. "Dalam generasi ini, aku hanya melihat dua orang yang benar-benar luar biasa: yang pertama Tokugawa Ieyasu. yang satu lagi tak pelak Yang Mulia Hideyoshi."

Kini Tadaoki bertanya-tanya. apakah ucapan ayahnya itu memang benar. Inikah orang luar biasa yang dimaksud ayahnya? Betulkah Hideyoshi satu dari dua jendral besar segenerasinya?

Setelah kembali ke penginapan mereka, Tadaoki mengemukakan keraguannya.

"Kurasa kau belum mengerti." Fujitaka bergumam. "Kau masih kurang pengalaman." Melihat roman muka Tadaoki yang tidak puas, ia menebak pikiran putranya dan berkata, "Semakin kau mendekati sebuah gunung tinggi, semakin sukar bagimu merasakan kebesarannya. Kalau kau mulai mendaki, kau sama sekali tidak memahami ukurannya. Kalau kau mendengarkan dan membandingkan komentar semua orang, kau akan mengerti bahwa kebanyakan dari mereka bicara tanpa pernah melihat gunung itu secara keseluruhan. Meski baru melihat satu puncak atau satu lembah. mereka mengira telah melihat semuanya. Tapi sesungguhnya mereka hanya menilai keseluruhannya berdasarkan bagian yang sempat mereka lihat."

Tanpa terpengaruh oleh pelajaran yang baru diierimanya, pikiran Tadaoki tetap diliputi keraguan semula. Namun ia sadar bahwa ayahnya sudah lebih banyak makan asam-garam di dunia. sehingga ia tak dapat berbuat apa-apa selain menerima ucapan ayahnya sebagai kebenaran.

Secara mengejutkan, dua hari setelah kedatangan mereka, Benteng Nagahama beralih ke tangan Hideyoshi tanpa satu prajurit pun terluka. Segala sesuatu berjalan seperti diramalkan Hideyoshi kepada Fujitaka dan putranya. "Benteng ini akan ditaklukkan dari dalam."

Rombongan utusan yang menghadap Hideyoshi terdiri atas tiga pengikut senior Shibata Katsutoyo. Mereka membawa ikrar tertulis, yang menyatakan bahwa Katsutoyo dan semua pengikutnya bersumpah setia kepada Hideyoshi.

"Mereka bertindak bijaksana." ujar Hideyoshi, yang kelihatan cukup puas. Berdasarkan persyaratan yang diajukan, wilayah kekuasaan Benteng Nagahama takkan diusik, dan Katsutoyo akan diperkenankan untuk tetap menjabat sebagai pemiliknya.

Ketika Hideyoshi menerima persyaratan itu, orang-orang segera berkomentar betapa cepat ia setuju untuk melepaskan lokasi yang demikian strategis. Benteng itu diambil alih kembali semudah membalik tangan.

Tapi seandainya pun Katsutoyo meminta bala bantuan, pasukan Echizen takkan bisa datang akibat hujan salju lebat. Selain itu, Katsuie pasti hanya akan mencaci makinya, seperti sudah kerap ia lakukan sebelumnya. Ketika Katsutoyo jatuh sakit pada waktu bertugas menemui Hideyoshi. Katsuie memperlihatkan kegusarannya secara terang-terangan di hadapan seluruh marga.

"Memanfaatkan keramahan Hideyoshi dengan berlagak sakit, lalu kembali setelah menjadi tamunya selama beberapa hari—orang itu benar- benar bodoh."

Laporan mengenai ucapan Katsuie yang begitu ketus akhirnya sampai juga ke telinga Katsutoyo.

Kini, dalam keadaan terkepung oleh pasukan Hideyoshi, Benteng Nagahama terputus dari dunia luar, dan Katsutoyo tidak mempunyai tempat berpaling.

Pengikut-pengikut seniornya, yang sudah bisa menebak niat Katsutoyo. mengumumkan. "Para pengikut yang mempunyai kerabat di Echizen sebaiknya kembali ke sana. Mereka yang ingin tetap bersama Yang Mulia Katsutoyo dan bergabung dengan Yang Mulia Hideyoshi boleh tinggal di sini. Tapi Yang Mulia juga menyadari bahwa tidak sedikit dari kalian mungkin merasa melanggar jalan Samurai dengan meninggalkan marga Shibata dan mengabaikan Yang Mulia Katsuie. Mereka yang merasa begitu, boleh mengundurkan diri tanpa perlu ragu sedikit pun."

Sejenak suasana terasa tegang. Para pengikut menundukkan kepala dengan getir, dan hanya ada segelintir suara yang tidak setuju. Malam itu cawan-cawan sake diangkat untuk menandakan perpisahan terhormat antara junjungan dan pengikut, tapi kurang dari satu di antara sepuluh orang kembali ke Echizen.

Dengan cara inilah Katsutoyo memutuskan hubungan dengan ayah angkatnya, dan bersekutu dengan Hideyoshi. Mulai saat itu ia secara resmi berada di bawah komando Hideyoshi, tapi sebenarnya itu pun hanya formalitas belaka. Jauh sebelumnya, hati Katsutoyo sudah menyerupai burung kecil yang diberi makan dalam sangkar Hideyoshi.

Bagaimanapun, penaklukan Nagahama kini telah rampung. Tapi bagi Hideyoshi keberhasilan itu tak lebih dari langkah kecil dalam perjalanan menuju Gifu—benteng utama Nobutaka.

Jalan lintas di atas Fuwa dikenal sebagai tempat yang sulit dilalui di musim dingin, dan khususnya di Dataran Sekigahara, kondisi yang dihadapi teramat berat.

Mulai hari kedelapan belas sampai hari kedua puluh delapan, pasukan Hideyoshi melintasi Sekigahara. Pasukannya dibagi-bagi ke dalam sejumlah korps dan masing-masing korps dipecah lagi menjadi beberapa divisi: iring-iringan kuda beban, penembak, pasukan tombak, prajurit berkuda, dan laskar infanteri. Mereka terus maju. tanpa mengindahkan salju maupun lumpur. Pasukan Hideyoshi yang berkekuaian sekitar tiga puluh ribu prajurit, memerlukan waktu dua hari untuk menyeberang ke Mino.

Perkemahan utama didirikan di Ogaki. Dari sana Hideyoshi menyerang dan merebut semua benteng kecil di daerah sekitar. Hal ini segera dilaporkan pada Nobutaka yang menjadi kalang kabut selama beberapa hari. la tak tahu strategi mana yang harus ia jalankan, apalagi bagaimana caranya bertempur sebagai pihak yang bertahan.

Nobutaka telah menyusun rencana-rencana besar, tapi ia sama sekali tidak tahu bagaimana harus mewujudkan rencana-rencana tersebut. Sampai saat itu ia bersekutu dengan orang-orang seperti Katsuie dan Takigawa serta mengusulkan siasat-siasat untuk menyerang Hideyoshi, tapi ia tak pernah menduga bahwa ia akan digempur olehnya.

Karena kehabisan akal, Nobutaka mempercaya- kan nasib ke tangan para pengikut seniornya.

Namun, mengingat situasi yang mereka hadapi, para pengikut seniornya tidak mempunyai pilihan selain bersujud di perkemahan Hideyoshi, persis seperti yang dilakukan para pengikut Katsutoyo. Ibu Nobutaka dikirim sebagai sandera, dan para pengikut seniornya pun diharuskan mengirim ibu masing-masing.

Niwa memohon Hideyoshi agar membiarkan Nobutaka tetap hidup. Dan seperti yang dapat diduga, Hideyoshi pun mengampuninya. Ia menatap para pengikut senior Nobutaka sambil tersenyum dan bertanya, "Sudah jerakah Yang Mulia Nobutaka? Moga-moga dia sudah menyadari kekeliruannya."

Para sandera langsung dibawa ke Azuchi. Segera setelah itu. Samboshi, yang semula ditahan di Gifu, diserahkan pada Hideyoshi dan ikut dipindahkan ke Azuchi.

Nobuo lalu ditetapkan sebagai walinya yang baru. Sesudah menunaikan tanggung jawabnya itu. Hideyoshi kembali ke Benteng Takaradera. Malam Tahun Baru dirayakan dua hari setelah Hideyoshi pulang. Lalu tibalah hari pertama di tahun Tensho Kesebelas. Sejak pagi, sinar matahari memantul pada salju di pepohonan yang belum lama ditanam di benteng yang telah selesai dipugar.

Bau harum kue-kue Tahun Baru menggantung di udara, dan bunyi genderang terdengar bergaung di selasar-selasar selama lebih dari setengah hari. Tapi pada siang hari sebuah pengumuman berkumandang dari bangunan utama. "Yang Mulia Hideyoshi akan berangkat ke Himeji!" Hideyoshi tiba di Himeji sekitar tengah malam pada Hari Tahun Baru. Disambut oleh api unggun yang berkobar-kobar, ia segera memasuki benteng. Namun kegembiraan terbesar bukan milik Hideyoshi, melainkan milik rakyat yang menyaksi- kan tontonan megah ini. Semua pengikut Hideyoshi beserta keluarga masing-masing berkumpul di gerbang utama benteng untuk menyambutnya.

Setelah turun dari kuda, ia menyerahkan tali kekang pada salah satu pembantunya, dan sejenak memandang ke menara. Di Bulan Keenam pada musim panas yang lalu, tepat sebelum bertolak ke Yamazaki dan meraih kemenangan besar untuk membalas pembunuhan Nobunaga, ia berdiri di gerbang yang sama dan bertanya-tanya apakah ia akan kembali dalam keadaan hidup.

Perintah terakhir yang ia berikan kepada para pengikutnya sangat jelas. "Kalau kalian mendapat kabar bahwa aku kalah, bunuhlah seluruh keluargaku dan bakarlah benteng ini sampai rata dengan tanah."

Kini ia telah kembali ke Benteng Himeji, tepat tengah malam pada Hari Tahun Baru. Seandainya ia sempat bimbang dan membuang-buang waktu dengan memikirkan istri dan ibunya di Nagahama, ia takkan sanggup berjuang dengan tekad seseorang yang siap menghadapi ajal di medan tempur. Ia akan ditekan oleh marga Mori di Barat, dan melihat kekuatan pihak Akechi semakin mem besar di Timur.

Baik dalam lingkup perorangan maupun dalam skala negara, batas antara kejayaan dan kekalahan selalu berupa taruhan yang didasarkan atas hidup atau mati—hidup di tengah kematian, mati di tengah kehidupan.

Namun Hideyoshi tidak pulang untuk beristirahat. Begitu memasuki bangunan utama, bahkan sebelum berganti pakaian, ia mengadakan pertemuan dengan para pengurus benteng. Dengan saksama ia mendengarkan laporan mengenai perkembangan di wilayah Barat dan keadaan di berbagai benteng miliknya.

Pertengahan kedua Jam Tikus telah tiba—tengah malam. Walau tidak memikirkan keletihan mereka sendiri, para pengikut Hideyoshi cemas kalau-kalau kelelahan mungkin mempengaruhi kesehatan junjungan mereka.

"Ibunda Yang Mulia serta Putri Nene telah menanti kedatangan Yang Mulia sejak sore tadi. Mengapa Yang Mulia tidak masuk dulu untuk menunjukkan bahwa Yang Mulia dalam keadaan sehat?" saudara ipar Hideyoshi, Miyoshi. mengusulkan. Ketika Hideyoshi melangkah masuk, ia menemukan bahwa ibu, istri, keponakan- keponakan, dan saudara-saudara iparnya telah menunggu. Meski sama sekali belum tidur, mereka berbaris untuk menyambutnya dan berlutut dengan tangan menempel di lantai. Hideyoshi berjalan melewati mereka sambil tersenyum. Matanya berbinar-binar. Akhirnya ia berhenti di hadapan ibunya yang tua dan berkata,

"Aku ada sedikit waktu senggang pada Tahun Baru ini, dan aku kembali agar dapat menghabis- kan waktu sejenak bersama Ibu."

Ketika memberi penghormatan pada ibunya. penampilan Hideyoshi persis seperti julukan yang sering digunakan oleh ibunya—"anak itu".

Terbungkus tudung sutra berwarna putih, wajah ibunya berseri-seri oleh kegembiraan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. "Jalan yang kaupilih ternyata penuh dengan cobaan yang luar biasa," perempuan tua itu berkata. "Khususnya tahun lalu sangat berat bagimu. Tapi kau berhasil mengatasi segala rintangan."

"Udara di musim salju kali ini lebih dingin daripada tahun-tahun sebelumnya," ujar Hideyoshi, "tapi ibu kelihatan sehat sekali."

"Kata orang, usia merupakan sesuatu yang merayap tanpa terasa, dan tahu-tahu umurku sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Hidupku sudah panjang—jauh lebih panjang dari yang pernah kuduga. Aku tak pernah menyangka akan hidup selama ini."

"Ah, Ibu harus hidup sampai seratus tahun. Ibu lihat sendiri, aku masih kanak-kanak."

"Tahun Baru ini kau akan berumur empat puluh enam," perempuan tua itu membalas sambil tertawa. "Kau sudah tidak pantas disebut kanak' kanak."

"Tapi, Ibu, bukankah Ibu sendiri yang selalu memanggilku dengan julukan 'anak itu'?'

"Itu hanya kebiasaan lama."

"Himm. aku berharap Ibu akan terus memanggilku begitu. Terus terang, meski usiaku terus bertambah, perkembangan jiwaku tak dapat mengimbangi lajunya waktu. Selain itu, seandainya Ibu tidak ada di sini, aku akan kehilangan dorongan yang paling besar dan mungkin malah berhenti tumbuh."

Miyoshi, yang muncul di belakangnya, melihat Hideyoshi masih ber-bincang-bincang dengan ibunya. la tertegun, lalu berkata, "Tuanku belum berganti pakaian?"

"Ah, Miyoshi. Duduklah bersama kami." "Terima kasih, tapi mengapa tuanku tidak

mandi dulu?"

"Ya, kau benar, Nene, antar aku."

Hideyoshi dikejutkan oleh kokok ayam jago. Hampir sepanjang malam ia asyik mengobrol, dan hanya sebentar saja ia memejamkan mata. Pada waktu fajar Hideyoshi mengenakan topi serta kimono kebesaran dan pergi ke tempat persembahan benteng. Sesudah itu ia makan pagi di kamar Nene, kemudian ia menuju bangunan utama. Hari ini, hari kedua di tahun yang baru, antrean orang yang datang ke benteng untuk menyampaikan ucapan selamat Tahun Baru seakan-akan tak ada habisnya.

Hideyoshi menyambut mereka semua dan menawarkan secawan sake pada setiap tamunya. Para pengunjung lalu melewati tamu-tamu yang datang lebih dulu, dengan wajah cerah dan berseri- seri. Pada waktu melalui bangunan utama dan bangunan sebelah timur, mereka melihat semua ruangan dipadati tamu—di sini ada sekelompok orang yang sedang mengalunkan tembang Noh, di sana ada sekelompok yang membacakan sajak. Setelah siang pun Hideyoshi masih terus didatangi pengunjung.

Hideyoshi menyelesaikan semua urusan di Himeji sampai hari kelima, dan malam itu ia mengejutkan para pengikutnya dengan meng- umumkan bahwa ia hendak bertolak ke Kyoto keesokan harinya. Mereka bergegas agar segala sesuatu siap pada waktunya. Semula mereka menduga ia akan tinggal di Himeji sampai pertengahan bulan, dan sampai siang hari memang belum ada gelagat bahwa Hideyoshi ingin bepergian.

Baru lama kemudian orang-orang memahami tujuan di balik tindakannya. Hideyoshi bergerak cepat dan tak pernah menyia-nyiakan kesempatan.

Seki Morinobu adalah komandan Benteng Kameyama di Ise. Walau sebenarnya termasuk pengikut Nobutaka, ia kini cukup akrab dengan Hideyoshi. Pada hari raya yang baru lalu, Seki pun diam-diam berkunjung ke Himeji untuk menyampaikan ucapan selamat Tahun Baru.

Ketika  ia sedang  bertatap muka  dengan Hideyoshi, seorang kurir menyusulnya dari Ise. Rupanya bentengnya  telah jatuh ke  tangan pendukung utama Nobutaka. Takigawa Kazumasu. Hideyoshi segera bertolak dari Himeji. Malam itu juga ia sampai di Benteng Takaradera. Pada hari ketujuh ia memasuki Kyoto, keesokan harinya ia mencapai Azuchi. dan pada hari kesembilan ia menghadap Samboshi yang kini berusia tiga tahun. "Aku baru saja mohon restu dari Yang Mulia Samboshi   untuk menunduk-kan  Takigawa Kazumasu." ujar Hideyoshi tanpa basa-basi pada Seki dan para pembesar lain ketika ia memasuki bangsal. "Katsuie-lah yang mendalangi semuanya ini. Jadi. kita harus menaklukkan Ise sebelum

pasukan Katsuie sempat bergerak."

Hideyoshi mengeluarkan sebuah pengumuman di Azuchi. Pengumuman tersebut beredar luas di wilayah kekuasaannya, dan juga dikirim kepada para jendral di daerah-daerah yang bersahabat. Semua pejuang pembela kebenaran diminta berkumpul di Azuchi. Betapa malang nasib pencetus strategi buta yang mengakibatkan pengumuman ini. Di Kitanosho sana, bersama Puiri Oichi yang cantik dan dikelilingi salju tebal, Shibata Katsuie menanti dengan sia-sia agar alam bermurah hati padanya.

Kalau saja matahari musim semi mau menampakkan diri dan mencairkan salju. Tapi tembok salju yang dianggapnya sebagai perisai sakti sudah mulai runtuh, bahkan sebelum musim semi tiba.

Katsuie mengalami pukulan demi pukulan: penaklukan Benteng Gifu, pemberontakan di Nagahama, penyerahan diri Nobutaka. Dan kini Hideyoshi akan menyerbu lse. Katsuie merasa serba salah. la tak mampu bergerak, juga tak sanggup diam di tempat. Tapi salju di perbatasannya setebal salju di Pegunungan Szechuan. Baik barisan prajurit maupun rombongan perbekalan militer takkan sanggup melintas.

la tak perlu cemas mengenai serangan dari Hideyoshi. la akan bergerak pada hari salju mulai mencair, tapi siapa yang tahu kapan hari itu tiba? Salju seakan-akan telah menjadi tombak pelindung bagi pihak musuh.

Kazumasu pun pejuang kawakan, pikir Katsuie, tapi merebut benteng-benteng kecil di Kameyama dan Mine merupakan gerakan sembrono yang tidak memperhitungkan waktu. Tindakan itu sungguh bodoh, Katsuie marah sekali.

Meski strateginya sendiri banyak mengandung kesalahan, ia mencela Takigawa Kazumasu yang terialu dini melancarkan serangan.

Namun, kalaupun Kazumasu mengikuti ren- cana Katsuie dan menunggu sampai salju mencair. Hideyoshi—yang telah membaca niat musuh— takkan memberi kesempatan pada mereka. Singkat kata, Hideyoshi telah memperdaya Katsuie. Ia telah membaca isi hati Katsuie sejak Katsuie mengirim utusan untuk mengadakan perundingan damai.

Menghadapi itu semua, Katsuie tak sudi duduk berpangku tangan. Dua kali ia mengirim kurir: pertama ke markas Shogun Yoshiaki, dengan permintaan agar Yoshiaki menghasut marga Mori untuk melancarkan serangan dari wilayah Barat; lalu ke Tokugawa Ieyasu.

Tapi pada hari kedelapan belas Bulan Pertama, leyasu diam-diam bertemu dengan putra sulung Nobunaga. Nobuo, dengan alasan yang tidak diketahui. Selama ini Ieyasu memilih bersikap netral, jadi apa gerangan rencananya sekarang? Dan mengapa orang yang demikian pandai bersiasat mau menemui orang yang sama sekali tidak memiliki bakat itu?

Ieyasu telah mengundang Nobuo, yang tak berdaya menghadapi arus perubahan zaman, ke tempat tinggalnya. Di sana ia menjamu laki-laki lemah itu dengan berbagai hiburan dan pembicaraan rahasia. Ieyasu mem-perlakukan Nobuo persis seperti orang dewasa memper- lakukan anak kecil, dan apa pun hasil pembicaraan mereka, tetap dirahasiakan. Nobuo tampak cerah ketika kembali ke Kyoto. Penampilannya seperti orang kebanyakan yang merasa puas akan dirinya, tapi juga ada kesan bahwa ia dihantui perasaan bersalah mengenai sesuatu. Sepertinya ia enggan bertatapan dengan Hideyoshi.

Dan di manakah Hideyoshi pada hari kedelapan belas Bulan Pertama? Disertai beberapa pengikut kepercayaan saja, ia telah mengitari bagian utara Danau Biwa, dan diam-diam melintasi wilayah bergunung di perbatasan Omi dan Echizen.

Ketika Hideyoshi melakukan perjalanan keliling ke desa-desa pegunungan dan dataran tinggi yang masih terselubung salju tebal, ia menunjuk tempat- tempat strategis dengan tongkat bambunya dan memberikan perintah-perintah sambil berjalan.

"Gunung Tenjin-kah itu? Dirikan beberapa kubu pertahanan di sana. Juga di gunung sebelah sana."

Pada hari ketujuh Bulan Kedua, Hideyoshi mengirim surat dari Kyoto kepada marga Uesugi. berisi tawaran untuk bersekutu.

Alasannya sederhana saja. Marga Shibata dan Uesugi sudah bertahun-tahun terlibat pertikaian berdarah, dan gonta-ganti merebut atau kehilangan wilayah. Katsuie tentu akan berupaya mengakhiri permusuhan mereka, sehingga ia dapat memusat- kan seluruh kekuatannya pada konfrontasi dengan Hideyoshi. Tapi akibat sifatnya yang keras kepala dan tinggi hati, kemung-kinannya kecil ia akan berhasil menjalankan strategi yang sedemikian rumit.

Dua hari setelah mengirim surat kepada pihak Uesugi di Utara, Hideyoshi ntengumumkan keberangkatan pasukannya menuju Ise. la membagi kekuatannya ke dalam tiga korps, yang bergerak melewati tiga jalur berbeda.

Diiringi teriakan perang, panji-panji, dan gen- derang, gerak maju mereka mengguncangkan gunung-gunung dan bukit-bukit. Ketiga pasukan melintasi barisan pegunungan di Omi dan Ise, dan bergabung kembali di daerah Kuwana dan Nagashima. Di sanalah tempat Takigawa Kazumasu bercokol.

"Pertama-tama kita lihat dulu, formasi tempur macam apa yang dipilih Hideyoshi." ujar Kazumasu ketika mendengar bahwa musuh sedang mendekat. Ia yakin sepenuhnya akan kemam- puannya sendiri.

Semuanya tergantung pemilihan waktu, dan ia telah keliru memilih waktu untuk memulai peperangan. Rahasia persekongkolan antara Katsuie, Nobutaka, dan Kazumasu telah dijaga ketat, bahkan terhadap penasihat-penasihat mereka sendiri, tapi kini segala sesuatu terancam hanya karena Kazumasu begitu bernafsu memantaatkan kesempatan. Pesan-pesan mendesak dikirim ke Gifu dan Echizen. Setelah mening- galkan dua ribu prajurit di Benteng Nagashima, Kazumasu sendiri pindah ke Benteng Kuwana.

Benteng ini lebih mudah dipertahankan dibandingkan Nagashima. Satu sisinya dilindungi laut, satu sisi lagi oleh bukit-bukit yang mengelilingi kota benteng. Namun strategi Kazumasu bukan sekadar mundur ke tempat yang menguntungkan. Hideyoshi akan terpaksa membagi pasukannya yang berkekuatan enam puluh ribu orang untuk menyerang Gifu, Nagashima, serta Kuwana. dan juga benteng- benteng lain di daerah sekitar. Jad, kalaupun pasukan utamanya menyerang, serangan itu takkan melibatkan segenap kekuatannya.

Di satu pihak, Kazumasu telah mendengar bahwa kekuatan pasukan musuh sangat mengesankan, namun di pihak lain, ia tahu bahwa para prajurit Hideyoshi akan melewati jalan-jalan yang melintasi barisan Pe-gunungan Owari-Kai. Sudah tentu iring-iringan yang membawa amunisi dan perbekalan akan sangat panjang.

Mengingat hal itu, Kazumasu yakin ia takkan menemui kesulitan untuk memusnahkan Hideyoshi. Ia akan memancing musuh, menyerang tanpa ampun, mencari kesemparan untuk membantu Nobutaka bangkit kembali, bergabung dengan para prajurit di Gifu, dan menghancurkan Nagahama.

Berlawanan dengan dugaan Kazumasu, Hideyoshi tidak membuang-buang waktu dengan merebut benteng-benteng kecil, melainkan memutuskan untuk langsung menyerang kubu pertahanan utama musuh. Pada saat itulah Hideyoshi mulai menerima pesan-pesan mendesak dari Nagahama, Sawayama, dan Azuchi. Situasinya tidak mudah; awan-awan dan pasang-surut yang mdiputi dunia berubah dengan setiap hari yang berlalu.

Berita pertama berbunyi. "Barisan depan Echizen telah melewati Yanagase. Sebagian akan segera menyerbu Omi bagian utara."

Kurir berikutnya membawa pesan serupa, "Kesabaran Katsuie akhirnya mencapai batasnya. Daripada menunggu saat salju mencair, ia memilih mengerahkan dua puluh atau tiga puluh ribu kuli untuk membersihkan salju dari jalan raya."

Kurir ketiga menegaskan kegentingan situasi yang dihadapi, "Kabarnya pasukan Shibata telah bertolak dari Kitanosho pada hari kedua Bulan Ketiga. Pada hari ketujuh, satu divisi mengancam posisi kita di Gunung Tenjin, sementara divisi- divisi lain membakar Desa Imakhi, Yogo, dan Sakaguchi. Pasukan utama berkekuatan dua puluh ribu orang di bawah komando Shibata Katsuie dan Maeda Inuchiyo terus bergerak kearah selatan,"

"Segera bongkar   kemah."   Hideyoshi   me- merintahkan. Lalu. "Kita berangkat ke Omi bagian utara."

Setelah menyerahkan operasi militer di Ise pada Nobuo dan Ujisato. Hideyoshi mengalihkan pasukannya ke Omi. Pada hari keenam belas ia mencapai Nagahama, dan pada hari ketujuh belas pasukannya menyusuri jalan di tepi danau yang menuju Omi bagian utara. Ia sendiri menempuh perjalanan dengan berkuda. Wajahnya diterpa angin musim semi keiika ia berkuda di bawah panji komando berlambang labu emas.

Perbatasan Omi di daerah Yanagase yang bergunung-gunung masih diselubungi lapisan salju baru yang tampak seperti ombak bergulung- gulung. Angin yang bertiup masih cukup dingin untuk membuat merah hidung para prajurit. Pada waktu fajar, pasukan Hideyoshi berpencar-pencar mengambil posisi. Kehadiran musuh hampir dapat dicium. Meski demikian, tidak teriihat asap dari perkemahan musuh atau satu prajurit musuh pun. Tapi para perwira menunjukkan posisi-posisi musuh kepada anak buah masing-masing. "Unit- unit Shibata berada di sepanjang kaki Gunung Tenjin dan di daerah Tsubakizaka. Divisi-divisi musuh juga terdapat di daerah Kinomoto, Imaichi, dan Sakaguchi, jadi waspadalah, bahkan pada

waktu kalian tidur pun."

Namun kabut putih yang merayap memasuki perkemahan membawa suasana begitu damai, sehingga sukar untuk membayangkan bahwa dunia sedang dilanda perang.

Tiba-tiba terdengar tembakan sporadis di kejauhan—semuanya dari sisi Hideyoshi. Sepanjang malam tak ada satu pun tembakan balasan. Apakah musuh sedang terlelap?

Ketika fajar menyingsing, pasukan penembak yang ditugaskan menguji barisan depan musuh ditarik mundur lagi. Hideyoshi memerintahkan agar para komandan korps senapan melapor ke markasnya. Di sana ia mendengarkan laporan mereka mengenai posisi-posisi musuh.

"Apakah kalian melihat tanda-tanda kehadiran pasukan Sassa Narimasa?" tanya Hideyoshi.

Hideyoshi ingin memperoleh kepastian, tapi ketiga komandan memberikan jawaban sama. "Panji-panji Sassa Narimasa tidak terlihat di medan laga."

Hideyoshi mengangguk, seakan-akan mengakui kebenaran berita itu. Biarpun Katsuie sendiri yang datang, ia takkan bisa tenang karena ancaman pihak Uesugi di belakangnya. Hideyoshi dapat membayangkan bahwa inilah alasan Sassa tidak turut serta.

Perintah untuk makan pagi diberikan. Ransum yang dibawa ke medan tempur berupa nasi campur pasta kacang kedelai yang dibungkus daun ek. Hideyoshi berbincang-bincang dengan para peiayan pribadinya sambil me-ngunyah. Sebelum ia menghabiskan setengah jatahnya, yang lain sudah selesai makan.

"Kalian langsung main telan saja?" tanyanya. "Bukankah tuanku yang makan terialu pelan?"

para pelayan menjawab. "Sudah menjadi kebiasaan kami untuk makan dengan cepat dan buang air dengan cepat.'

"Itu bagus." balas Hideyoshi. "Buang air dengan cepat memang baik, tapi dalam hal makan, kalian seharusnya mencontoh Sakichi."

Para pelayan segera menoleh ke arah Sakichi. Seperti Hideyoshi. Sakichi makan pelan-pelan. Baru setengah jatah nasinya habis. la mengunyah seperti perempuan tua.

"Kalian mau tahu kenapa?" Hideyoshi meianjutkan. "Jika kalian menghadapi pertempur- an, memang ada baiknya kalian makan cepat-cepat. Tapi kalau kalian terkepung di sebuah benteng dengan persediaan makanan terbatas, kalian harus pandai-pandai berhemat. Pada saat itu, kalian akan sadar bahwa makan pelan-pelan banyak manfaatnya bagi kepentingan benteng maupun bagi kesehatan kalian sendiri. Selain itu, andaikata kalian tak punya perbekalan di tengah-tengah pegunungan dan harus bertahan untuk waktu lama, kalian mungkin terpaksa mengunyah apa saja—akar-akaran atau daun-daunan—sekadar untuk memuaskan perut. Mengunyah secara baik harus dilatih, dan kalau kalian tidak terbiasa, dalam keadaan terdesak kalian takkan dapat melakukannya secara otomatis*." Tiba-tiba ia berdiri dari kursinya dan memberi isyarat pada mereka. "Ayo, mari kita mendaki Gunung Fumuro."

Gunung Fumuro termasuk barisan gunung di tepi utara dua danau— Danau Yogo yang lebih kecil dan Danau Biwa yang lebih besar. Gunung itu menjulang hampir delapan ratus meter di atas Desa Fumuro yang terletak di kakinya, dan untuk mencapai puncak gunung, orang harus berjalan sekitar enam mil. Jika ingin mendaki lerengnya yang terjal, harus menyediakan waktu paling tidak setengah hari.

"Yang Mulia pergi."

"Hendak ke mana beliau, mendadak begini?"

Para prajurit yang bertugas mengawal Hideyoshi melihat rombongan pelayannya menjauh, dan segera berlari menyusul. Mereka melihat Hideyoshi berjalan paling depan sambil menggenggam tongkat bambu. Ia seakan-akan hendak pergi berburu.

"Yang Mulia akan mendaki gunung?"

Hideyoshi menunjuk suatu titik di tengah lereng dengan tongkatnya.

"Ya. Kira-kira sampai ke sana."

Setelah mendaki beberapa waktu, mereka tiba di sebidang tanah datar. Hideyoshi memandang berkeliling. Angin yang berembus menyejukkan keringat pada keningnya. Dari tempatnya berdiri, ia dapat mengamati daerah antara Yanagase dan Yogo. Jalan raya menuju provinsi-provinsi Utara. yang berkelok-kelok melintasi pegunungan dan menghubungkan beberapa desa, tampak seperti pipa.

"Yang mana Gunung Nakao?" "Yang itu, di sebelah sana."

Hideyoshi memandang ke arah yang ditunjuk. Itulah perkemahan utama musuh. Panji-panji dalam jumlah besar tampak berderet-deret di lereng, sampai ke kaki gunung itu. Di sana satu korps dapat dikenali. Tapi jika melayangkan pandangan, akan terlihat bahwa panji-panji pasukan Utara memenuhi gunung-gunung di kejauhan, dan menempati posisi-posisi strategis pada puncak-puncak yang lebih dekat serta di sepanjang jalan. Sepertinya seorang ahli militer telah menjadikan bagian bumi dan langit itu sebagai markasnya, dan sedang berusaha membentuk formasi yang mahaluas. Tak ada celah maupun tempat kosong dalam susunan yang cermat itu. Mereka telah siap menelan musuh, dan kemegahan yang mereka perlihatkan tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Hideyoshi mengamati semuanya itu sambil membisu. Kemudian ia kembali menoleh ke perkemahan utama Katsuie di Gunung Nakao, dan menatapnya untuk waktu lama.

Dengan saksama ia mempelajari keadaan dan melihat sekelompok orang bekerja bagaikan semut di tepi selatan perkemahan utama di Gunung Nakao. Dan bukan hanya di satu atau dua tempat. la menemukan kesibukan di semua tempat yang agak tinggi itu.

"Hmm, tampaknya Katsuie bersiap-siap meng- hadapi pertempuran panjang."

Hideyoshi langsung mendapatkan jawabannya. Pihak musuh sedang membangun kubu-kubu pertahanan di ujung selatan perkemahan utama. Seluruh susunan tempur, yang menyebar bagaikan kipas dari pasukan utama, telah diatur dengan hati-hati. Pasukan musuh akan bergerak maju secara teratur dan terencana. Tak ada tanda-tanda bahwa mereka berniat melancarkan serangan mendadak.

Rencana musuh telah terbaca oleh Hideyoshi. Kesimpulannya, Katsuie bermaksud menahan Hideyoshi di sini, agar sekutu-sekutunya di Ise dan Mino memperoleh kesempatan untuk mempersiapkan serangan serempak dari depan dan belakang.

"Mari kita kembali." ujar Hideyoshi, dan lang- sung mulai berjalan. "Adakah jalan lain untuk turun?"

"Ada, tuanku." salah satu pelayan menjawab dengan bangga. Mereka mencapai perkemahan sekutu di antara Gunung Tenjin dan Ikenohara. Melihat panji- panji yang berkibar, Hideyoshi segera tahu bahwa itu pos Hosokawa Tadaoki.

"Aku haus," ujar Hideyoshi setelah memperkenalkan diri di gerbang.

Tadaoki dan para pengikutnya menyangka Hideyoshi melakukan pemeriksaan mendadak.

"Bukan," Hideyoshi menjelaskan. "Aku baru kembali dari Gunung Fumuro. Tapi karena aku sudah di sini..." Sambil berdiri di hadapan Tadaoki, ia minum beberapa teguk air dan memberikan perintah. "Segera bongkar kemah, lalu pulanglah. Kemudian ambil semua kapal perang yang berlabuh di Miyazu di Tango dan serang pantai musuh."

Ide untuk menggunakan kapal muncul ketika Hideyoshi sedang mendaki gunung. Rencana itu seakan-akan tak ada sangkut-pautnya dengan apa yang tengah dikerjakannya saat itu, tapi ketidak sesuaian ini mungkin justru ciri khas jalan pikirannya. Proses berpikir Hideyoshi tidak tcrbatas pada apa yang terpampang di depan matanya.

Setelah melakukan pengamatan selama setengah hari, Hideyoshi hampir selesai menyusun strategi. Malam itu ia memanggil semua jendral ke markasnya dan memberi tahukan rencananya pada mereka: Berhubung musuh sedang bersiap-siap untuk perang berkepanjangan, pasukan Hideyoshi pun harus mendirikan sejumlah kubu pertahanan untuk menghadapi pertempuran yang akan bcrlangsung lama.

Pembangunan serangkaian benteng di mulai. kcgiatan itu bersekala besar-besaran—bertujuan untuk memacu semangat juang. Keputusan Hideyoshi untuk memulai pembangunan tepat di depan hidung musuh bisa disebut gegabah atau gagah berani. Keputusan itu dengan mudah dapat mengakibatkan kekalahan, tapi Hideyoshi bersedia mengambil risiko itu untuk merangkul para warga provinsi.

Gaya tempur Nobunaga bercirikan kekuatan yang tak dapat dibendung: kata orang. "Ke mana pun Nobunaga bergerak, rumput dan pohon menjadi layu. Tapi gaya tempur Hideyoshi berbeda. Jika ia bergerak maju, jika ia mendirikan perkemahan, dengan sendirinya ia menarik orang- orang di sekitarnya. Meraih dukungan masyarakat setempat merupakan hal penting yang harus ditangani sebelum mulai berusaha mengalahkan musuh.

Disiplin militer yang keras amat menentukan, tapi pada hari-hari yang ditandai banjir darah pun angin sejuk terasa berembus di tempat Hideyoshi menaruh kursinya. Scseorang pernah mencatat, "Di mana ada Hideyoshi, di situ angin musim semi bertiup." Deretan benteng itu membelah dua kawasan. Yang pertama membentang dari Kitayama di Nakanogo, mengikuti jalan raya ke provinsi- provinsi Utara yang melewati Gunung Higashino. Gunung Dangi, dan Gunung Shinmei; yang kedua menyusuri Gunung Iwasaki, Gunung Okami, Shizugatake, Gunung Tagami, dan Kinomoto. Pckerjaan raksasa seperti itu membutuhkan puluhan ribu pekerja.

Hideyoshi mengambil orang-orang dari Provinsi Nagahama. la memerintahkan pemasangan papan- papan pemberitahuan untuk mengumumkan pekerjaan di daerah-daerah yang dilanda kerusakan paling parah akibat perang. Gunung-gunung dipadati pengungsi. Pohon-pohon ditebang, jalan- jalan dibuka, kubu pertahanan didirikan di mana- mana, dan orang-orang dengan mudah terpenga- ruh untuk percaya bahwa pembangunan rangkaian benteng akan selesai dalam satu malam. Namun tugas yang dihadapi tidak semudah itu. Masing- masing benteng harus dilengkapi menara intai dan barak, juga parit serta tembok pertahanan. Tiga pagar kayu runcing didirikan, sementara batu-batu besar dan batang-batang pohon ditumpuk di jalan yang paling mungkin menjadi sasaran serangan musuh.

Selokan dan pagar kayu runcing meng- hubungkan kawasan antara Gunung Higashino dan Gunung Dangi, yang paling mungkin digunakan sebagai medan tempur. Pekerjaan galian untuk ini saja sudah mengecilkan hati, tapi berhasil dirampungkan hanya dalam dua puluh hari. Kaum perempuan dan anak-anak pun ikut membantu.

Pihak Shibata melancarkan serangan kecil- kecilan pada malam hari dan menggunakan siasat- siasat remeh yang sempat menghambat kemajuan pembangunan, Namun rupanya mereka pun menyadari bahwa mereka takkan dapat berbuat banyak menghadapi orang-orang yang selalu siaga, sehingga mereka akhirnya berhenti dengan sendirinya.

Sikap mereka benar-benar mengherankan. Mengapa mereka tidak bertindak saja? Tapi Hideyoshi paham. Pikiran yang selalu berada dalam kepalanya—bahwa lawannya merupakan pejuang kawakan dan bukan sasaran empuk— juga tercermin dalam benak Katsuie. Namun kecuali itu masih ada berbagai alasan penting lainnya.

Persiapan pasukan Katsuie telah rampung, tapi ia merasa belum waktunya mengerahkan sekutu- sekutu yang dicadangkannya.

Sekutu-sekutu itu, tentu saja, pasukan Nobutaka di Gifu. Begitu Nobutaka sudah dapat bergerak, Takigawa Kazumasu pun bisa menyerang dari Benteng Kuwana. Baru setelah itu rencana- rencana Katsuie akan berubah menjadi strategi efektif. Katsuie sadar bahwa jika ia tidak bertindak demikian, kemenangan takkan mudah diraih. Begitulah ia menilai situasi sejak semula-—diam- diam dan dengan perasaan waswas. Penilaian itu sendiri didasarkan pada perbandingan kekuatan provinsi-provinsi Hideyoshi dan provinsi-provinsi yang berada di pihaknya.

Pada waktu itu, dengan mengingat popularitas dan kekuasaan Hideyoshi yang menanjak pesat setelah Pertempuran Yamazaki, Hideyoshi dapat meng-harapkan dukungan dari Provinsi Harima, Tajima, Settsu, Tango, Yamato, serta beberapa provinsi lain, dengan kekuatan total sebesar enam puluh tujuh ribu prajurit. Bila ditambah dengan laskar-laskar Owari, Ise, Iga, dan Bizen, jumlah totalnya mencapai seratus ribu orang.

Katsuie dapat mengerahkan pasukan utama Echizen, Noto, Oyama, Ono, Matsuto, dan Toyama. Itu berarti kekuatannya tak lebih dari empat puluh lima ribu prajurit. Namun jika ia menambahkan kekuatan Mino dan Ise yang dikuasai Nobutaka, serta kekuatan provinsi milik Kazumasu, berarti ia membawahi hampir enam puluh dua ribu prajurit, suatu jumlah yang hampir dapat menyaingi musuh. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar