Buku Delapan Tahun Tensho Kesepuluh 1582 Musim Panas
Bab 33 : Kurir Bernasib Buruk
HIDEYOSHI belum bergerak. Debu halus ber- jatuhan di sekitar kaki lentera— kemungkinan sisa- sisa surat Hasegawa.
Kanbei masuk terpincang-pincang, dan Hide- yoshi menyambutnya dengan anggukan kepala. Kanbei menekuk kakinya yang cacat dan duduk di lantai. Pada waktu ditawan di Benteng Itami, ia terserang gangguan kulit kepala yang tak kunjung sembuh, dan ketika ia duduk berdekatan dengan lentera, rambutnya yang tipis seakan-akan tembus pandang.
"Hamba telah menerima perintah untuk meng- hadap Yang Mulia. Apa gerangan yang sedemikian mendesak di tengah malam ini," tanyanya.
Hideyoshi menjawab. "Hikoemon akan men- jelaskannya." Kemudian ia melipat tangan dan me- nundukkan kepala sambil mendesah panjang.
"Tuan Kanbei tentu akan merasa sangat ter- pukul." Hikoemon mulai berkata.
Kanbei tersohor akan ketabahannya, tapi ketika mendengar penjelasan Hikoemon, wajahnya men- jadi pucat. Tanpa berkata apa-apa, ia pun men- desah, melipat tangan, dan menatap Hideyoshi.
Kyutaro kini maju beringsut-ingsut dan berkata, "Ini bukan saatnya memikirkan yang telah berlalu. Angin pembawa perubahan berembus di dunia, angin baik untuk Yang Mulia. Waktu yang tepat untuk menaikkan layar dan berangkat."
Kanbei menepuk lutut dan berkata, "Tepat sekali! Langit dan bumi memang abadi, tapi roda kehidupan berputar hanya karena segala sesuatu berubah seiring musim. Dari sudut pandang yang lebih luas, kejadian ini justru menguntungkan."
Pendapat kedua orang itu membuat Hideyoshi tersenyum puas, sebab pikiran mereka sejalan dengan pikirannya sendiri. Meski demikian, ia tak dapat memperlihaykan perasaannya di depan umum tanpa risiko salah paham. Bagi seorang pengikut, kematian junjungannya merupakan tragedi, suatu tragedi yang harus diberi balasan setimpal.
"Kanbei, Kyutaro, kalian berdua telah mem- besarkan hatiku. Hanya ada satu hal yang dapat kita lakukan sekarang," ujar Hideyoshi dengan yakin. "Berdamai dengan pihak Mori secepat mungkin, tanpa diketahui orang banyak."
Ekei, si biksu, telah mendatangi perkemahan sebagai utusan marga Mori untuk merundingkan perjanjian damai. Mula-mula Ekei menghubungi Hikoemon, karena keduanya sudah cukup lama saling mengenal; kemudian ia bertemu dengan Kanbei. Sampai saat ini, Hideyoshi menolak berunding dengan pihak Mori, tanpa memandang apa yang mereka tawarkan. Pertemuan antara Ekei dan Hikoemon hari itu berakhir tanpa kesepa- katan.
Sambil berpaling pada Hikoemon, Hideyoshi berkata, "Kau bertemu Ekei hari ini. Apa rencana orang-orang Mori?"
"Kita bisa segera mencapai kesepakatan, jika kita menyetujui syarat-syarat mereka," balas Hikoemon. "Tidak!" ujar Hideyoshi dengan tegas, "Syarat- syarai yang mereka ajukan tak mungkin kuterima.
Dan apa yang ditawarkan Ekei padamu, Kanbei?" "Lima provinsi, yaitu Bitchu, Bingo, Mimasaka,
Inaba, dan Hoki, jika kita mengakhiri penge- pungan Benteng Takamatsu dan membiarkan Jendral Muncharu dan anak buahnya tetap hidup."
"Sepintas lalu lawaran mereka cukup menarik. Tapi, kecuali Bingo, keempat provinsi lain yang ditawarkan marga Mori sudah tidak berada dalam kekuasaan mereka. Kita tak bisa menerima tawaran itu tanpa menimbulkan kecurigaan mereka," Hideyoshi menanggapi. Tapi jika pihak Mori mengetahui apa yang telah terjadi di Kyoto, mereka takkan mau berdamai. Moga-moga mereka belum mendengar apa-apa. Para dewa memberikan waktu beberapa jam padaku, tapi kita harus buru- buru."
"Sekarang baru hari ketiga. Jika besok kita meminta perundingan damai resmi, pertemuannya dapat diselenggarakan dalam dua atau tiga hari," Hikoemon mengusulkan.
"Tidak, itu terlalu lama." balas Hideyoshi. "Kita harus mulai sekarang juga. Kita bahkan tak bisa menunggu sampai fajar. Hikoemon, usahakan agar Ekei datang lagi ke sini."
"Perlukah hamba mengirim kurir sekarang?" tanya Hikoemon.
"Tidak, tunggu beberapa waktu. Kedatangan kurir di tengah malam buta tentu akan membuat- nya curiga. Kita harus memikirkan masak-masak, apa yang akan kita sampaikan padanya."
Sesuai perintah Hideyoshi, anak buah Asano Yahei melakukan pemeriksaan ketat terhadap semua orang yang masuk atau keluar daerah itu. Sekitar tengah malam, para penjaga menghentikan orang buta yang berjalan dengan membawa tongkat bambu dan menanyakan tujuannya.
Dikepung oleh para prajurit, laki-laki itu ber- tumpu pada tongkatnya. "Aku bermaksud mengun- jungi rumah saudara di Desa Niwase," ia berkata dengan sangai sopan.
"Kalau hendak ke Niwase, mengapa kau ada di jalan gunung ini di tengah malam?" tanya perwira yang memegang komando.
"Aku tidak mendapat tempat menginap, jadi aku terus berjalan saja," si buta membalas sambil menundukkan kepala, seakan-akan mengharapkan belas kasihan. "Barangkali Tuan dapat menunjuk- kan sebuah desa dengan penginapan."
Perwira di hadapannya tiba-tiba berseru, "Dia hanya pura-pura! Ikat dia."
"Aku tidak pura-pura," si buta menyangkal. "Aku pemusik buta yang terdaftar di Kyoto. Aku tinggal bertahun-tahun di sana. Tapi sekarang bibiku di Niwase sedang menjelang ajalnya." Ia merapatkan tangan dengan gaya memohon.
"Kau bohong!" ujar si perwira. "Matamu memang terpejam, tapi aku sangsi apakah kau memerlukan ini!"
Tanpa peringatan, perwira itu merebut tongkat si buta dan membelahnya dengan pedang. Sebuah surat yang tergulung rapat jatuh ke tanah.
Kedua mata orang itu kini tampak berapi-api. Sambil mencari titik lemah dari lingkaran prajurit di sekelilingnya, ia bersiap-siap melarikan diri. Tapi dalam keadaan terkepung oleh dua puluh orang, musang ini pun tak mungkin lolos. Ia segera di- ringkus dan diikat sampai nyaris tak dapat ber- gerak, lalu dinaikkan ke atas kuda, seperti sepotong barang.
Ia terus mencaci maki dan menyumpah-nyum- pah, sampai akhirnya dibungkam dengan mulut- nya dijejali tanah. Sambil memecut perut kuda, para prajurit segera menuju perkemahan Hide- yoshi dengan membawa tawanan mereka.
Pada malam yang sama, seorang pertapa di- hadang oleh patroli lain. Berlainan dengan orang yang mengaku sebagai pemusik buta, orang ini bersikap angkuh.
"Aku murid Kuil Shogo," katanya congkak. "Kami, para pertapa, sering berjalan sepanjang malam tanpa istirahat. Kakiku melangkah sesuka hatiku. Apa maksud kalian menanyakan tujuanku? Orang dengan tubuh seperti awan yang beter- bangan dan sungai yang mengalir tidak memerlu- kan tujuan."
Selama beberapa waktu, si pertapa terus mengoceh dengan nada yang sama, lalu berusaha kabur. Tapi seorang prajurit berhasil menjegal kakinya dengan tombak, sehingga ia terempas sambil berteriak.
Pada waktu menggeledahnya, para prajurit menemukan bahwa ia sama sekali bukan pertapa. Ia biksu-prajurit Honganji yang membawa laporan rahasia mengenai peristiwa di Kuil Honno, untuk disampaikan pada orang-orang Mori. Ia pun segera dikirim ke perkemahan Hideyoshi seperti se- potong barang.
Malam itu hanya dua orang itulah yang ditang- kap, namun seandainya salah satu dari mereka sempai lolos dari pemeriksaan dan berhasil men- jalankan misinya, keesokan paginya kematian Nobunaga bukan rahasia lagi bagi pihak Mori.
Pertapa gadungan itu tidak diutus oleh Mitsuhide, tapi orang yang berlagak sebagai pemusik buta ternyata samurai Akechi yang mem- bawa surat dari Mitsuhide untuk Mori Terumoro. Ia bertolak dari Kyoto pada pagi hari kedua. Mitsuhide juga mengirim kurir lain pada pagi yang sama—lewat laut dari Osaka—tapi karena kapalnya dihantam badai, kurir itu terlambat mencapai perkemahan marga Mori.
"Kupikir kita akan berjumpa di pagi hari. "* ujar Ekei setelah menyapa Hikoemon , "tapi surat Tuan berpesan agar aku datang secepat mungkin, jadi aku langsung berangkat."
"Aku mohon maaf karena mengganggu istirahat Tuan Ekei." Hikoemon membalas tanpa ambil pusing. "Besok pun tidak apa-apa, dan aku menyesal bahwa akibat pemilihan kataku yang kurang cermat, Tuan terpaksa mengorbankan waktu tidur."
Kanbei membawa Ekei ke suatu tempat yang lazim disebut Hidung Karak, dan dari sana mereka menuju rumah petani yang kosong, tempat mereka mengadakan pertemuan sebelumnya.
Hikoemon duduk tepat di hadapan Ekei, dan berkata dengan sungguh-sungguh. "Kalau dipikir- pikir, kita berdua sepertinya terikat oleh satu karma."
Ekei mengangguk. Kedua-duanya lalu menge- nang pertemuan mereka di Hachisuka, sekitar dua puluh tahun silam, ketika Hikoemon masih men- jadi pimpinan segerombolan ronin, dan dikenal dengan nama Koroku. Ketika menginap di ke- diaman Hikoemon, Ekei untuk pertama kali mendengar mengenai samurai muda bernama Kinoshita Tokichiro yang belum lama mengabdi pada Nobunaga di Benteng Kiyosu. Di tahun- tahun awal itu, ketika kedudukan Hideyoshi masih jauh di bawah jendral-jendral Nobunaga, Ekei menulis pada Kikkawa Motoharu: Kekuasaan Nobunaga masih akan bertahan lama. Sesudah ia jatuh kelak, Kinoihita Tokichiro-lah orang berikut yang perlu diperhatikan.
Ramalan Ekei kemudian terbukti luar biasa jitu. Dua puluh tahun yang lalu ia telah melihat kemampuan yang tersimpan dalam diri Hideyoshi; sepuluh tahun yang lalu ia menebak kehancuran Nobunaga. Namun pada malam itu, ia sendiri tak mungkin menyadari betapa tepat ramalannya.
Ekei bukan biksu biasa. Ketika ia masih pem- bantu pendeta yang belajar di Kuil Ankokuji, Motonari, kepala marga Mori yang terdahulu. memerintahkan Ekei masuk ke dalam jajaran pengikutnya. Selama masa hidup Motonari, si Biksu Kecil—demikian julukan yang diberikan Motonari pada Ekei—menyertai junjungannya dalam semua operasi militer.
Setelah kematian Motonari, Ekei meninggalkan marga Mori dan mengembara ke setiap pelosok Jepang. Ketika kembali, ia diangkat sebagai kepala biksu di Kuil Ankokuji, dan dijadikan penasihat kepercayaan oleh Terumoto, kepala marga Mori yang baru.
Sepanjang perang melawan Hideyoshi, Ekei tak henti-hentinya menyarankan perdamaian. Ia mengenal Hideyoshi dengan baik, dan merasa bahwa wilayah Barat takkan sanggup menangkal serangannya. Hal lain yang mempengaruhinya adalah persahabatannya dengan Hikoemon yang telah terjalin lama.
Sebelumnya, Ekei dan Hikoemon sudah be- berapa kali bertemu, tapi setiap kali mereka ter- bentur pada masalah yang sama: nasib Muneharu. Maka Hikoemon pun berkata pada Ekei,
"Ketika aku berbicara dengan Yang Mulia Kanbei sebelum ini, beliau mengatakan bahwa Yang Mulia Hideyoshi sesungguhnya jauh lebih murah hati daripada yang disangka orang-orang. Beliau mengisyaratkan bahwa seandainya pihak Mori bersedia memberikan satu kelonggaran lagi, perdamaian tentu akan tercapai. Menurut beliau, jika kami mengakhiri pengepungan dan mem- biarkan Jendral Muneharu tetap hidup, akan timbul kesan bahwa pasukan Oda terpaksa mene- rima kesepakatan untuk berdamai. Yang Mulia Hideyoshi tak dapat menyampaikan syarat-syarat tersebut pada Yang Mulia Nobunaga. Satu-satunya persyaratan kami adalah kepala Muneharu. Tentu- nya Tuan takkan menemui kesulitan untuk meng- akhiri masalah ini." Persyaratan yang diungkapkan Hikoemon belum berubah, tapi ia sendiri tampak berbeda sejak pertemuan mereka yang terakhir.
"Aku hanya dapat menegaskan kembali posisi- ku," balas Ekei. "Jika marga Mori harus menyerah- kan lima dari kesepuluh provinsinya, dan nyawa Muneharu tidak terselamatkan, berarti mereka gagal mengikuti Jalan Samurai."
"Meski demikian, apakah Tuan sempat memas- tikan sikap mereka setelah pertemuan terakhir kita?"
"Tak ada perlunya. Pihak Mori takkan pernah menyetujui kematian Muneharu. Mereka meng- hargai kesetiaan lebih tinggi daripada apa pun, dan tak seorang pun, mulai dari Yang Mulia Terumoto sampai pengikutnya yang paling rendah, akan menyesalkan pengorbanan itu, biarpun mereka terpaksa kehilangan seluruh wilayah Barat."
Langit mulai terang; di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok. Malam mulai berganti fajar di hari keempat bulan itu.
Ekei tidak mau menerima persyaratan Hiko- emon; sebaliknya, Hikoemon pun tidak bersedia mengalah. Mereka kembali menghadapi jalan buntu.
"Hmm, tampaknya tak ada lagi yang perlu dikatakan." Ekei menyimpulkan dengan lesu.
"Akibat kemampuanku yang terbatas," Hikoe- mon mohon maaf, "aku tak berhasil mencapai titik temu dengan Tuan. Jika Tuan berkenan, aku akan minta Yang Mulia Kanbei untuk menggantikan tempatku."
"Aku bersedia bicara dengan siapa saja," jawab Ekei.
Hikoemon menyuruh putranya menghubungi Kanbei, yang tak lama kemudian tiba di atas tandunya. Kanbei turun, dan dengan susah payah ia duduk bersama kedua laki-laki lainnya.
"Akulah yang meminta agar Yang Mulia Hikoe- mon menemui Tuan Biksu untuk pembicaraan terakhir," ujar Kanbei. "Jadi, bagaimana hasilnya? Begitu sukarkah mencapai kata sepakat? Pem- bicaraan ini sudah berlangsung sejak tengah malam."
Keterusterangan Kanbei membangkitkan sema- ngat mereka. Wajah Ekei bertambah cerah dalam cahaya pagi. "Kami telah berusaha," ia berkata sambil tertawa. Dengan alasan harus memper- siapkan penyambutan Nobunaga, Hikoemon mengundurkan diri.
"Yang Mulia Nobunaga akan berkunjung selama dua atau tiga hari," kau Kanbei. "Setelah ini, sukar rasanya menemukan waktu untuk melanjutkan perundingan damai."
Gaya diplomasi Kanbei sederhana dan lurus, juga amat angkuh. Jika pihak Mori hendak ber- debat mengenai persyaratan, tak ada jalan keluar selain perang. "Jika Tuan dapat membantu pasukan Oda hari ini, masa depan Tuan tentu akan terjamin."
Setelah berganti lawan bicara, hilanglah ke- fasihan lidah Ekei. Namun wajahnya tampak lebih bersemangat dibandingkan ketika ia menghadapi Hikoemon.
"Jika dapat dipastikan bahwa Muneharu akan melakuan seppuku, aku akan menanyakan masalah penyerahan kelima provinsi kepada Yang Mulia. dan aku yakin beliau bersedia mencari jalan tengah. Tapi bagaimanapun sudikah Tuan me- nyampaikan tawaran kami kepada Jendral Kikkawa dan Jendral Kobayakawa pagi ini? Aku punya firasat ini merupakan penentuan damai dan perang."
Mendengar uraian Kanbei, Ekei merasa ter- dorong untuk bertindak. Perkemahan Kikkawa di Gunung Iwasaki hanya berjarak sekitar tiga mil. Perkemahan Kobayakawa di Gunung Hizashi berjarak kurang dari enam mil. Tak lama kemudian, Ekei terlihat memacu kudanya.
Setelah mengantar biksu itu, Kanbei men- datangi Kuil Jihoin. Ia mengintip ke kamar Hideyoshi dan menemukannya sedang tidur. Lentera di meja telah padam, minyaknya habis terbakar. Kanbei membangunkan Hideyoshi dan berkata, "Tuanku, hari sudah mulai terang.
"Fajar?" tanya Hideyoshi sambil terkantuk- kantuk. Kanbei segera melaporkan pertemuannya dengan Ekei. Hideyoshi merengut, tapi segera bangkit.
Para pelayan sudah menunggu di ambang pintu pemandian, siap dengan air, agar Hideyoshi dapat menyegarkan diri.
"Begitu selesai makan, aku akan meninjau seluruh perkemahan. Keluarkan kudaku seperti biasa, dan suruh pembantu-pembantuku bersiap- siap," ia memerintahkan sambil mengeringkan wajah.
Hideyoshi berkuda di bawah payung besar. didahului oleh panji komandan. Sambil terayun- ayun di pelana, ia lewat di bawah pohon-pohon ceri yang sedang berbunga, di sepanjang jalan dari gerbang kuil ke kaki gunung,
Setiap hari Hideyoshi meninjau perkemahan. Waktunya tidak tentu, tapi jarang pada pagi hari. Hari ini ia tampak lebih gembira, dan sesekali ia bersenda gurau dengan para pembantunya, seakan- akan tak ada masalah sama sekali. Tak ada tanda- tanda bahwa kabar mengenai kejadian di Kyoto telah bocor, meski hanya ke anak buahnya sendiri. Setelah memastikannya, dengan santai Hideyoshi kembali ke markas besarnya.
Kanbei telah menunggunya di muka gerbang kuil. Pandangannya memberitahu Hideyoshi bahwa misi Ekei berakhir dengan kegagalan. Biksu itu kembali dari perkemahan Mori beberapa saat sebelum Hideyoshi selesai melakukan pemeriksa- an, tapi jawaban yang dibawanya belum berubah:
Jika kami membiarkan Muneharu mati, artinya kami tidak menaati Jalan Samurai. Kami takkan menerima perdamaian yang memaksa Muneharu mengorbankan nyawa.
"Panggil Ekei ke sini." Hideyoshi memerintah- kan. Sepertinya ia tidak berkecil hati; semakin lama ia justru tampak semakin optimis.
Ia mengajak biksu itu ke dalam sebuah ruangan yang terang dan membuatnya merasa nyaman. Setelah berbincang-bincang mengenai masa lampau dan saling bertukar gosip dari ibu kota, Hideyoshi membelokkan percakapan. Ia mulai menyinggung persoalan utama. "Hmm, kelihatan- nya perundingan damai terhenti karena kedua belah pihak tak dapat mencapai kata sepakat tentang nasib Muneharu. Tidak dapatkah Tuan Ekei menemui Yang Mulia Muneharu secara pribadi, menjelaskan duduk perkaranya padanya, lalu menganjurkan agar dia menyerahkan diri? Orang-orang Mori tak akan memerintahkan pengikut setia melakukan seppuku, tapi jika Tuan menjelaskan kesulitan mereka kepadanya, Mune- haru dengan senang hati akan memberikan nyawanya. Bagaimanapun, kematiannya akan menyelamatkan nyawa orang-orang di dalam benteng dan menghindarkan marga Mori dari kehancuran." Setelah mengemukakan pandangan- nya, Hideyoshi mendadak berdiri dan pergi.
Di dalam Benteng Takamatsu, nasib lebih dari lima ribu prajurit dan warga sipil terancam bahaya. Para jendral Hideyoshi telah membawa tiga kapal besar, dilengkapi meriam, melintasi pe- gunungan, dan telah mulai menembaki benteng. Salah satu menara sudah nyaris runtuh, dan akibat penembakan itu, tak sedikit yang mati atau cedera. Ditambah lagi masih musim hujan, dan semakin banyak orang jatuh sakit. Persediaan makanan pun
membusuk dalam udara lembap.
Pasukan bertahan telah mengumpulkan pintu- pintu dan papan-papan, dan membuat beberapa perahu untuk menyerang kapal-kapal perang Hideyoshi. Dua atau tiga perahu berhasil diteng- gelamkan, tapi mereka yang selamat segera berenang ke benteng dan melancarkan serangan kedua.
Ketika pasukan Mori tiba, dan umbul-umbul serta panji-panji mereka terlihat berkibar-kibar, orang-orang di dalam benteng menyangka mereka sudah selamat. Namun tak lama kemudian mereka pun menyadari situasi sesungguhnya. Jarak antara pasukan penyelamat dan mereka sendiri, serta kesulitan operasional yang timbul karena itu, tak memungkinkan tindakan penyelamatan. Tapi, meski kecewa, mereka tidak kehilangan semangat juang. Justru sebaliknya, kini mereka bertekad untuk mati.
Ketika sebuah pesan rahasia dari pihak Mori mengizinkan Muneharu menyerah guna menye- lamatkan orang-orang di dalam benteng, ia mem- balas dengan geram, "Kami belum pernah belajar menyerah. Pada saat seperti ini, kami semua siap menghadapi ajal."
Pada pagi hari keempat di Bulan Keenam, para penjaga di tembok benteng melihat sebuah perahu kecil menuju ke arah mereka, dari tepi danau yang dikuasai musuh. Seorang samurai memegang dayung, dan satu-satunya penumpang adalah seorang biksu.
Ekei datang untuk meminta Muneharu melaku- kan seppuku. Muneharu mendengarkan penjelasan si biksu tanpa berkata apa-apa. Baru setelah Ekei selesai, dan seluruh tubuhnya bersimbah peluh. Muneharu angkat bicara, "Hmm, ini memang hari keberuntunganku. Kalau aku memandang wajah Tuan, aku tahu bahwa ucapan Tuan bebas dari kepalsuan."
Ia tidak mengatakan apakah ia setuju atau tidak. Pikiran Muneharu telah jauh melampaui per- setujuan dan penolakan. "Sudah beberapa lama Yang Mulia Kobayakawa dan Yang Mulia Kikkawa mencemaskan diriku yang tak berarti ini, dan aku bahkan disarankan agar menyerah. Sekarang, jika kata-kata Tuan dapat kupercaya, keamanan marga Mori telah terjamin, dan orang-orang di dalam benteng pun akan selamat. Kalau memang begitu, tak ada alasan bagiku untuk menolak. Malah sebaliknya, ini merupakan kegembiraan besar bagiku. Kegembiraan besar!" ia mengulangi dengan sungguh-sungguh.
Ekei gemetar. Ia tak menyangka tugasnya akan demikian mudah, bahwa Muneharu akan demiki- an gembira menyambut maut. Namun di balik itu, ia pun merasa malu. Ia biksu, tapi apakah ia memiliki keberanian untuk menghadapi kematian seperti itu jika saatnya telah tiba?
"Kalau begitu, Yang Mulia setuju?" "Ya."
Tak perlukah Yang Mulia mcmbicarakan urusan ini dengan keluarga Yang Mulia?"
"Nanti saja kusampaikan keputusanku pada mereka. Seharusnya mereka turut bersukacita ber- samaku."
"Dan—wah, ini sungguh sukar untuk dibicara- kan, tapi masalahnya cukup mendesak—kabarnya tak lama lagi Yang Mulia Nobunaga akan tiba di sini."
"Waktu tak ada artinya. Kapan aku diharapkan mengakhiri urusan ini?"
"Hari ini. Yang Mulia Hideyoshi memberi batas waktu sampai jam Kuda, berarti lima jam dari sekarang."
"Kalau selama itu," ujar Muneharu, "aku takkan mengalami kesulitan dalam mempersiapkan kematianku."
***
Pertama-tama Ekei melaporkan tanggapan Mune- haru pada Hideyoshi, kemudian ia memacu kudanya ke perkemahan Mori di Gunung Iwasaki.
Baik Kikkawa maupun Kobayakawa dibuat cemas oleh kedatangan Ekei yang mendadak.
"Apakah mereka memutuskan perundingan?" tanya Kobayakawa.
"Tidak." jawab Ekei. "Sudah ada tanda-tanda keberhasilan."
"Hmm, kalau begitu, Hideyoshi bersedia me- ngalah?" Kobayakawa kembali bertanya. Ia tampak agak kaget. Namun Ekei menggelengkan kepala.
"Orang yang paling mendambakan penyelesaian damai telah menawarkan untuk mengorbankan diri demi perdamaian."
"Siapa yang kaumaksud?"
"Yang Mulia Muneharu. Beliau berpesan bahwa dia hendak menebus segala kebaikan Yang Mulia Terumoto selama ini dengan nyawanya."
"Ekei, apakah kau bicara dengannya atas per- mintaan Hideyoshi?"
"Yang Mulia tahu bahwa hamba tak mungkin mendatangi benteng tanpa izin beliau."
"Kalau begitu kau menjelaskan situasinya pada Muneharu, dan dia menawarkan diri untuk melakukan seppuku atas kemauannya sendiri?-
"Ya. Beliau akan menyerahkan nyawanya pada Jam Kuda, di atas perahu yang terlihat jelas oleh kedua belah pihak. Pada saat itulah perjanjian damai mulai berlaku, nyawa orang-orang di dalam benteng akan terselamatkan, dan keamanan marga Mori akan terjamin untuk selama-lamanya."
Sambil menahan gejolak batinnya. Kobayakawa bertanya, "Bagaimana tanggapan Hideyoshi ?"
"Perasaan Yang Mulia Hideyoshi pun tergugah ketika beliau mendengar tawaran Jendral Mune- haru. Beliau berkata bahwa hanya orang berhati batu yang akan menutup mata terhadap kesetiaan tanpa tandingan itu. Karena itu, walaupun Yang Mulia telah berjanji untuk menyerahkan lima provinsi, beliau hanya akan mengambil tiga, dan membiarkan kedua provinsi lainnya, sebagai peng- hargaan atas pengorbanan Muneharu. Jika tidak ada keberatan, beliau akan mengirim perjanjian tertulis segera sesudah menyaksikan seppuku Muneharu."
Tak lama setelah Ekei pergi, Muneharu mengumumkan keputusannya. Satu per satu para samurai Benteng Takamatsu menghadap jun- jungan mereka dan memohon agar diperkenankan mengikuti jejaknya. Muneharu berdebat, mem- bujuk, dan memarahi mereka, tapi para samurai tak mundur sedikit juga. Ia kehabisan akal, tapi akhirnya ia tidak meluluskan permohonan satu orang pun.
Ia memberikan perintah pada seorang pem- bantunya untuk menyiapkan perahu. Isak tangis memenuhi benteng. Setelah permohonan para pengikutnya ditolak dan Muneharu tampak agak lebih lega, Gessho, kakaknya, mendatanginya untuk mengajaknya bicara.
"Aku mendengar semua yang kaukatakan," ujar Gessho. "Tapi tak ada alasan bagimu untuk menyerahkan nyawa. Biarkan aku menggantikan tempatmu.'
"Kakak, kau biksu, sedangkan aku jendral. Kuhargai tawaranmu, tapi aku tak mungkin mem- biarkan orang lain menggantikan tempatku."
"Akulah putra sulung, dan seharusnya aku yang membawa nama keluarga. Tapi aku meninggalkan kehidupan duniawi, sehingga tanggung jawabku terpaksa kauambil alih. Jadi sekarang, pada waktu kau harus melakukan seppuku, tak ada alasan bagi- ku untuk meneruskan apa yang tersisa dari hidupku sendiri."
"Apa pun yang kaukatakan," balas Muneharu, "aku takkan mcmbiarkan kau atau siapa pun melakukan seppuku demi aku."
Muneharu menolak tawaran Gessho, tapi meng- izinkannya ikut dalam perahu. Muneharu merasa tenteram. Ia memanggil pelayan pribadinya dan menyuruhnya menyiapkan kimono kebesaran ber- warna biru muda untuk menyambut kematian. "Bawakan juga kuas dan tinta untukku," ia memerintahkan ketika teringat untuk menulis surat kepada istri dan putranya.
Jam Kuda mendekat dengan cepat. Sudah lama setiap tetes air minum dianggap menentukan bagi nyawa orang-orang di dalam benteng, tapi sekarang ia minta diambilkan seember air untuk member- sihkan semua kotoran yang melekat pada badan- nya selama pengepungan berlangsung.
Betapa damai suasana di sela pertempuran ini, Matahari tampak lugu di angkasa. Tak ada angin sedikit pun, dan air berlumpur di semua sisi benteng tetap sekeruh biasanya.
Gelombang-gelombang kecil yang menjilat-jilat tembok benteng berkilauan dalam cahaya mata- hari, dan dari waktu ke waktu teriakan bangau putih memecah keheningan.
Sebuah bendera kecil berwarna merah dinaik- kan ke Hidung Katak di tepi seberang, menanda- kan waktunya telah tiba. Muneharu berdiri dengan tiba-tiba. Para pembantunya tak kuasa mengendali- kan perasaan. Muneharu cepat-cepat menuju tembok benteng, seakan-akan mendadak tuli.
Tarikan dayung menimbulkan riak berpola tak teratur pada permukaan danau. Perahu itu berisi lima penumpang: Muneharu, Gessho, dan tiga pengikut. Semua laki-laki, perempuan, dan anak- anak di dalam benteng berkerumun di atas tembok. Mereka tidak meratap ketika menyaksikan kepergian Muneharu, melainkan hanya merapat- kan tangan untuk berdoa atau mengusap air mata.
Perahu itu meluncur pelan pada permukaan danau. Ketika ia menoleh, Gessho melihat Benteng Takamatsu sudah jauh di belakang, dan bahwa perahu mereka berada di tengah-tengah antara benteng dan Hidung Katak.
"Cukup sampai di sini." Muneharu berkata kepada orang yang memegang dayung.
Tanpa berkata apa-apa orang itu mengangkat dayungnya dari air. Mereka tak perlu menunggu lama-lama.
Ketika perahu mereka berangkat dari benteng, perahu lain bertolak dari Hidung Katak. Perahu itu membawa saksi dari pihak Hideyoshi, Horio Mosuke. Sebuah bendera merah berukuran kecil terpasang pada haluan perahu, dan karpet ber- warna merah digelar di dasarnya.
Perahu Muneharu berayun pelan, mengikuti irama gelombang ketika menunggu sampai perahu Mosuke merapat. Danau diliputi suasana damai. Gunung-gunung di sekitar diliputi suasana damai. Satu-satunya bunyi yang terdengar adalah suara kayuhan dari perahu yang tengah mendekat.
Muneharu menghadap ke arah perkemahan Mori di Gunung Iwasaki, dan membungkuk. Dalam hati ia mengucapkan terima kasih atas perlindungan yang diterimanya selama bertahun- tahun. Ketika melihat panji-panji junjungannya, matanya berkaca-kaca.
"Apakah perahu ini membawa jendral pembela Benteng Takamatsu, Shimizu Muneharu?" Mosuke bertanya.
"Tuan benar." Muneharu menjawab sopan. "Akulah Shimizu Muneharu. Aku datang untuk melakukan seppuku sebagai syarat perjanjian damai."
"Ada hal lain yang perlu kusampaikan, jadi tunggulah sejenak." ujar Mosuke. "Rapatkan perahu," ia lalu berkata pada pengikut Muneharu yang memegang dayung.
Pinggiran kedua perahu saling mendekat. sampai akhirnya bergesekan.
Mosuke lalu berkata penuh wibawa. "Aku mem- bawa pesan dari Yang Mulia Hideyoshi. Perdamai- an takkan tercapai tanpa persetujuan Tuan dalam urusan ini. Pengepungan berkepanjangan tentu melelahkan bagi Tuan, dan Yang Mulia Hideyoshi berharap Tuan sudi menerima persembahan ini sebagai tanda penghargaan beliau. Jangan risau jika matahari semakin tinggi di langit. Selesaikanlah perpisahan ini sesuka hati Tuan."
Segentong kecil sake terbaik dan berbagai hidangan lezat dipindahkan dari perahu ke perahu.
Wajah Muneharu berseri-seri. "Ini sungguh tak terduga. Jika ini kehendak Yang Mulia Hideyoshi, dengan senang hati aku akan mencicipi semua- nya." Muneharu juga menuangkan sake untuk rekan-rekannya. "Mungkin karena sudah lama aku tak pernah mereguk sake sebaik ini, aku merasa agak mabuk. Maafkanlah permintaanku yang janggal ini, jendral Horio, tapi aku ingin menari untuk terakhir kali." Lalu, sambil berpaling pada rekan-rekannya, ia bertanya, "Kita tidak membawa rebana, tapi bersediakah kalian menembang dan bertepuk tangan untuk mengatur irama?
Muneharu berdiri di perahu kecil itu dan mem- buka kipas berwarna putih. Ketika ia bergerak seirama tepuk tangan, perahunya terayun-ayun. menimbulkan gelombang kecil pada permukaan danau. Mosuke menundukkan kepala, tak sanggup menyaksikan adegan itu.
Begitu tembangnya berakhir, Muneharu sekali lagi angkat bicara dengan tegas, "Jendral Mosuke, harap perhatikan ini baik-baik."
Mosuke mengangkat wajah dan melihat bahwa Muneharu telah berlutut dan membelah perut dengan pedangnya. Bagian dalam perahu menjadi merah karena darah yang menyembur.
"Saudaraku, aku akan menyusul!" Gessho ber- seru, lalu menyayat perutnya.
Setelah para pengikut Muneharu menyerahkan kotak berisi kepala junjungan mereka pada Mosuke dan kembali ke benteng, mereka pun mengikuti langkahnya.
Pada waktu Mosuke tiba di Kuil Jihoin, ia melaporkan seppuku Muneharu dan meletakkan kepalanya di hadapan kursi Hideyoshi .
"Sayang sekali," Hideyoshi berkeluh. "Muneharu samurai yang sangat baik." Belum pernah ia kelihatan demikian terharu. Tapi tak lama kemudian ia menyuruh Ekei menghadap. Ketika si biksu tiba, Hideyoshi segera memperlihatkan sebuah dokumen.
"Kini kita tinggal saling menukar surat per- janjian. Bacalah apa yang kutulis, lalu aku akan mengirim utusan untuk mengambil surat perjanji- an dari pihak Mori."
Ekei mempelajarinya, kemudian mengembali- kannya pada Hideyoshi dengan penuh hormat. Hideyoshi minta diambilkan kuas dan membubuh- kan tanda tangan. Ia lalu mengiris kelingking dan menempelkan segel darah di sebelah tanda tangan- nya. Perjanjian damai telah resmi berlaku.
Beberapa jam sesudah itu, rasa kaget melanda perkemahan Mori bagaikan angin puyuh, akibat laporan mengenai kematian Nobunaga. Di markas Terumoto, orang-orang yang sejak semula menen- tang upaya perdamaian kini angkat bicara dengan geram. Mereka menuntut agar pasukan Mori segera melancarkan serangan terhadap Hideyoshi.
"Kita ditipu!"
"Bajingan itu memperdaya kita!" "Perjanjian damai itu harus disobek-sobek!"
"Kita tidak dikelabui," Kobayakawa berkata dengan tegas. "Kitalah yang memprakarsai pe- rundingan damai, bukan Hideyoshi. Dan dia pun tak mungkin meramalkan bencana di Kyoto."
Kikkawa, mewakili mereka yang hendak me- neruskan perang, mendesak Terumoto. "Kematian Nobunaga pasti membawa perpecahan dalam pasukan Oda; mereka takkan sanggup menandingi kita sekarang. Hideyoshi-lah yang paling ber- peluang menggantikan Nobunaga. Kita takkan mengalami kesulitan menyingkirkan dia jika kita menyerang sekarang dan di sini, terutama meng- ingat kelemahan barisan belakangnya. Dengan cara itu, kita akan menjadi penguasa seluruh negeri."
"Tidak, tidak, Aku tidak setuju,'' ujar Kobayakawa. "Hanya Hideyoshi yang dapat mengembalikan perdamaian dan ketertiban. Selain itu, pepatah lama di kalangan samurai mewanti- wanti agar jangan menyerang musuh yang tengah berduka. Seandainya kita merobek-robek per- janjian itu dan menyerang Hideyoshi, kalau sampai selamat, dia pasti akan kembali untuk menuntut balas."
"Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini," Kikkawa berkeras.
Sebagai upaya terakhir, Kobayakawa menying- gung pesan terakhir bekas junjungan mereka, "Marga harus mempertahankan batas-batasnya sendiri. Tak pengaruh seberapa kuat atau kayanya kita kelak, kita tak boleh melebarkan wilayah melampaui provinsi-provinsi Barat."
Tiba waktunya bagi pemimpin marga Mori untuk mengumumkan keputusan. "Aku sepen- dapat dengan pamanku, Kobayakawa. Kita tidak akan melanggar perjanjian perdamaian dan men- jadikan Hideyoshi musuh untuk kedua kalinya."
Pertemuan rahasia mereka berakhir pada malam hari keempat di bulan iiu. Ketika kedua jendral berjalan kembali ke perkemahan mereka, mereka berjumpa dengan serombongan pengintai. Perwira yang memegang komando menunjuk ke kegelapan dan berkata, "Pihak Ukita sudah mulai menarik pasukan."
Kikkawa mendengarkan laporan itu dan ber- decak. Kesempatan mereka telah berlalu. Kobaya- kawa membaca pikiran kakaknya. "Kau masih diliputi penyesalan?"
"Tentu saja."
"Hmm, andai kata kita memang berhasil meng- ambil alih kekuasaan atas seluruh negeri," Kobaya- kawa melanjutkan, "kaupikir kau yang akan me- megang tampuk pemerintahan?" Hening sejenak. "Kau membisu. Berarti kau sendiri menyangsi- kannya. Jika negeri ini dipimpin oleh seseorang yang tak memiliki kemampuan yang diperlukan, kekacauanlah akibatnya. Dan kekacauan itu tak- kan berhenti dengan kehancuran marga Mori."
"Kau tak perlu berkata apa-apa lagi, aku paham," ujar Kikkawa sambil memalingkan wajah. Dengan sedih ia memandang langit malam di atas provinsi- provinsi Barat, dan berjuang untuk membendung air mata yang bergulir di pipinya.