Taiko Bab 32 : Lima Puluh Tahun di Bawah Langit

Bab 32 : Lima Puluh Tahun di Bawah Langit

CAHAYA kemerahan matahari yang celah con- dong ke barat menerpa selokan kering yang mengelilingi Kuil Honno. Hari ini hari pertama di Bulan Keenam. Sepanjang hari matahari bersinar terik di atas ibu kota, dan kini lumpur di dasar selokan, yang sebenarnya cukup dalam, mulai retak di sana-sini.

Tembok bergenteng membentang lebih dari seratus meter ke timur dan barat, dan sekitar dua ratus meter dari utara ke selatan. Selokannya selebar lebih dari empat meter dan lebih dalam daripada selokan kuil pada umumnya. Orang- orang yang berlalu-lalang dapat melihat atap kuil utama dan atap-atap kesepuluh bangunan biara, tapi selain itu tak banyak yang tampak dari luar. Hanya sebatang pohon besar di salah satu pojok pekarangan yang kelihatan dari jauh. Pohon tersebut begitu besar, sehingga kerap dijuluki Hutan Honno.

Pohon itu merupakan patokan yang tak kalah tersohor dari pagoda di Kuil Timur. Ketika mata- hari sore menerpa puncaknya, kawanan burung gagak mulai berkaok-kaok serentak. Para warga Kyoto berusaha keras agar kelihatan anggun dan terhormat, tapi ada tiga hal yang tak dapat mereka cegah: anjing-anjing berkcliaran di malam hari, kotoran sapi di jalanan pada pagi hari, dan burung-burung gagak pada sore hari.

Di dalam pekarangan kuil terdapat sejumlah tempat yang masih kosong. Masih banyak yang harus dilakukan untuk membangun kembali sekitar dua puluh bangunan yang dimangsa api ketika perang sipil berkecamuk di ibu kota, jika seorang pengunjung berjalan ke arah jalan Keempat dari gerbang utama kuil, ia akan melihat kediaman Gubernur Kyoto, pemukiman para samurai, serta jalan-jalan sebuah kota yang tertua dengan baik. Tapi di bagian utara kota, kantong- kantong perkampungan kumuh bertahan seperti pulau, tak berbeda dari zaman keshogunan, dan satu gang sempit tetap pantas menyandang nama- nya yang lama, Jalan Got.

Anak-anak di daerah itu berhamburan dari gang-gang sempit di bawah lis-lis atap yang men- cong. Dengan borok, ruam, dan hidung berair, mereka menyusun jalanan seperti serangga ber- sayap berukuran raksasa.

"Para padri datang!" mereka bersorak-sorai. "Para pendeta dari Kuil Namban membawa

kandang burung yang indah!"

Ketiga padri tertawa ketika mendengar suara anak-anak itu, dan memperlambat langkah, seakan- akan menunggu teman lama.

Kuil Namban, nama yang lebih populer untuk Gereja Kebangkitan Yesus Kristus, terletak di Jalan Keempat. Di pagi hari, nyanyian keagamaan dari Kuil Honno terdengar di perkampungan kumuh, sedangkan pada malam hari, suara lonceng gereja bergema di gang-gang sempit. Gerbang Kuil Honno sungguh mengesankan, dan para biksu yang tinggal di sana selalu lewat dengan sikap angkuh, tapi para padri selalu bersikap rendah hati dan ramah terhadap penduduk-penduduk setem- pat. Jika melihat anak kecil dengan bisul di wajahnya, mereka akan menepuk-nepuk kepalanya dan mengajarkan cara mengobati bisulnya; jika mereka mendengar bahwa seseorang jatuh sakit, mereka akan mengunjungi orang tersebut. Konon orang sebaiknya tidak ikut campur dalam per- tengkaran antara suami-istri, namun jika para padri kebetulan menemui situasi seperti itu, mereka akan mampir dan berusaha menengahinya. Karenanya, mereka kemudian dikenal baik hati dan penuh pengertian. "Mereka benar-benar meng- abdi demi kepentingan masyarakat," orang-orang berkomentar. "Barangkali mereka utusan para dewa."

Penduduk-penduduk perkampungan kumuh itu sudah lama mengagumi para padri. Amal bakti mereka mencakup kaum papa, orang-orang sakit, serta orang-orang yang tak memiliki tempat ber- naung. Pihak gereja bahkan mempunyai semacam rumah sakit amal dan tempat penampungan untuk kaum lanjut usia. Dan seakan-akan itu belum cukup, para padri juga menyukai anak-anak.

Tapi jika para padri yang sama berpapasan dengan biksu-biksu Buddha di jalan, mereka tidak menunjukkan keramahan yang mereka perlihat- kan terhadap anak-anak. Mereka memandang para biksu seperti musuh bebuyutan. Karena itu. mereka lebih suka menempuh jalan memutar lewat Jalan Got, sebisa mungkin menghindari Kuil Honno. Namun pada hari ini dan hari sebelum- nya, mereka melakukan kunjungan ke kuil, ber- hubung kuil tersebut telah menjadi markas besar Yang Mulia Nobunaga. Ini berarti orang paling berkuasa di seluruh Jepang kini bertetangga de- ngan mereka.

Sambil membawa burung kecil dari daerah tropis dalam kandang bersepuh emas dan sejumlah kue buatan juru masak yang mereka datangkan dari negeri sendiri, ketiga padri tampaknya sedang dalam perjalanan untuk mempersembahkan hadiah-hadiah itu pada Yang Mulia Nobunaga.

"Tuan Padri! Hei, Tuan Padri!" "Burung apa ini?"

"Apa isi kotak ini?"

"Kalau isinya kue, kami minta beberapa!"

"Ya, Tuan Padri, berikan beberapa untuk kami!" Anak-anak Jalan Goi berdatangan dan meng- halangi jalan. Namun ketiga padri tidak kelihatan kesal. Sambil tersenyum dan terus berjalan, mereka menegur anak-anak itu dalam bahasa Jepang patah-patah.

"Ini semua untuk Yang Mulia Nobunaga. Jangan nakal. Kalian semua akan mendapat kue kalau kalian datang ke gereja bersama ibu kalian," salah satu pastor berkata.

Mereka dibuntuti dan didahului anak-anak. Pada waktu para pastor terkepung seperti itu, salah satu anak berlari ke tepi selokan dan tercebur, mengeluarkan bunyi seperti katak. Selokannya tak berair, sehingga anak itu tidak terancam bahaya tenggelam, tapi dasarnya bagaikan rawa. Bocah itu menggeliat-geliat seperti ikan di lumpur. Bagian pinggir selokan terbuat dari batu, sehingga orang dewasa pun akan menemui kesulitan jika hendak memanjat keluar. Sesekali, pada malam hari, ada pemabuk malang yang jatuh ke dalamnya dan tenggelam pada saat selokan terisi air hujan sampai meluap.

Seseorang segera menghubungi keluarga bocah itu. Para penghuni Jalan Got berhamburan keluar seperti air mendidih yang bercipratan dari panci, dan tak lama kemudian kedua orangtua datang berlari dengan bertelanjang kaki. Kejadian tersebut merupakan bencana bagi mereka. Pada waktu mereka tiba, bocah cilik itu sudah berhasil di- selamatkan. Ia tampak seperti akar kembang lotus yang tercabut dari lumpur, dan menangis tersedu- sedu. Baik ia maupun dua dari ketiga padri ber- lepotan lumpur pada baju dan tangan. Padri ketiga telah melompat ke dalam selokan, dan ia sepenuh- nya terbungkus lumpur.

Ketika anak-anak melihat para padri, mereka berlari-lari dengan riang, bersorak-sorak, bertepuk tangan, dan berseru. "Tuan Padri jadi ikan lele! Janggut merahnya penuh lumpur."

Tapi orangtua bocah tadi mengucapkan terima kasih dan memuji-muji Tuhan para padri, walau- pun mereka sendiri bukan penganut ajaran Nasrani. Mereka bersujud di depan kaki para padri dan mencucurkan air mata sambil merapalkan tangan untuk berdoa. Di tengah kerumunan yang terbentuk di belakang mereka, kata-kata pujian untuk para padri diteruskan dari mulut ke mulut.

Para padri tampaknya tidak menyesal karena harus kembali setelah sampai ke depan kuil, sambil membawa hadiah-hadiah yang kini sudah tak ber- guna. Di mata mereka, Nobunaga dan bocah dari perkampungan kumuh sama saja. Kecuali itu, peristiwa tersebut telah menjadi buah bibir yang akan disampaikan dari rumah ke rumah, dan para padri sadar bahwa ini bisa sangat menguntungkan bagi mereka.

"Sotan, kaulihat itu?" "Ya, aku terkesan."

"Agama itu sungguh menakutkan."

"Ya. Keyakinan mereka membuat kita berpikir- pikir."

Satu dari kedua orang itu merupakan laki-laki berusia tiga puluhan, sementara yang satu lagi jauh lebih tua. Mereka kelihatan seperti ayah dan anak. Ada sesuatu pada diri mereka yang membedakan mereka dari saudagar-saudagar kaya dari Sakai— sebagian pembawaan mereka, mungkin menunjuk- kan wawasan luas dan didikan mendalam. Meski demikian, melihat mereka orang akan segera tahu bahwa mereka pun saudagar.

Setelah didiami oleh Nobunaga, Kuil Honno bukan lagi kuil biasa. Sejak malam hari kedua puluh sembilan, gerbang utama kuil itu diramai- kan oleh gerobak-gerobak dan tandu-tandu yang datang dan pergi, serta oleh hiruk-pikuk orang- orang yang keluar-masuk. Kesempatan menghadap yang kini diberikan oleh Nobunaga dianggap ter- amat berharga oleh seluruh negeri. Jadi, seseorang mungkin saja menarik diri setelah memperoleh sepatah kata atau sebuah senyum dari Nobunaga, dan pulang ke rumahnya dengan perasaan telah mendapatkan sesuatu yang seratus atau seribu kali lebih bernilai daripada barang-barang langka, makanan atau minuman lezat, atau hadiah-hadiah lain yang dipersembahkannya.

"Kita tunggu sebentar di sini. Agaknya ada orang istana yang sedang melewati gerbang."

"Dan itu tentu sang gubernur. Orang-orang itu sepertinya para pembantunya." Gubemur Kyoto, Murai Nagato, dan para pembantunya telah berhenti di gerbang utama. Sepertinya mereka sedang menunggu, sementara tandu seorang bangsawan diusung keluar. Be- berapa saat kemudian, sejumlah samurai menun- tun dua atau tiga ekor kuda, menyusul iring- iringan tandu dan usungan. Ketika para samurai itu mengenali Nagato, mereka membungkuk sam- bil berjalan dan menggenggam tali kekang dengan satu tangan.

Begitu mereka pergi, Nagato memasuki gerbang. Dan setelah kedua saudagar tadi meyakinkan diri bahwa ia telah berada di dalam, mereka meng- ayunkan langkah ke arah yang sama.

Tentu saja penjagaan di gerbang depan teramat ketat. Orang-orang yang keluar-masuk tidak ter- biasa melihat kilau perang yang terpancar dari mata tombak, dan bahkan dari mata para prajurit yang ditemparkan di sana. Semua penjaga menge- nakan baju tempur, dan jika seseorang tampak mencurigakan, mereka segera menghentikan orang itu dengan seruan lantang.

"Tunggu dulu! Kalian hendak ke mana?" se- orang penjaga bertanya pada kedua saudagar itu.

"Aku Soshitsu dari Hakata," orang yang lebih tua menjawab sopan. Ketika ia menganggukkan kepala, rekannya yang lebih muda melakukan hal yang sama.

"Aku Sotan, juga dari Hakata." Nama-nama itu rupanya tak berarti apa-apa bagi para penjaga gerbang, tapi atasan mereka yang ber- diri di muka pos jaga di dalam, tersenyum dan memberi isyarat agar kedua orang itu dibiarkan lewat.

"Mari, silakan masuk."

Bangsal Omotemido merupakan bangunan utama di dalam pekarangan kuil, tapi pusat sesungguh- nya adalah bangunan tempat Nobunaga menginap. Di luar ruangan dari mana suara Nobunaga ter- dengar, sebuah sungai kecil bergemeritik dari mata air di pekarangan, dan dari bangunan-bangunan yang terletak agak jauh sesekali terdengar tawa perempuan bernada riang yang terbawa angin.

Nobunaga sedang berbicara dengan kurir putra ketiganya, Nobutaka, dan Niwa Nagahide. "Itu akan meringankan tugas Goroza. Pastikan dia di- beritahu bahwa semuanya telah diamankan. Dalam beberapa hari aku akan menyusul ke sana, jadi tak lama lagi kami akan bertemu di wilayah Barat."

Menurut rencana, pasukan Nobutaka dan Niwa akan berlayar ke Awa keesokan paginya. Kurir tadi melaporkan hal tersebut, sekaligus menyampaikan berita bahwa Tokugawa Ieyasu telah menempuh perjalanan dari Osaka ke Sakai.

Nobunaga memandang warna langit, seakan- akan baru menyadarinya, lalu berkata pada seorang pelayan. "Matahari sudah terbenam. Naikkan kerai-kerai di sisi barat." Kemudian ia bertanya pada Nobutada. "Tempatmu menginap juga se- panas ini?"

Nobutada tiba di ibu kota beberapa waktu sebelum ayahnya, dan menginap di Kuil Myokaku yang berdekatan. Ia ditempatkan di sana pada malam ayahnya memasuki ibu kota, yaitu kemarin, juga hari ini, dan ia tampak agak lelah. Sesungguh- nya ia hanya hendak berpamitan, tapi ayahnya ber- kata. "Bagaimana kalau kita minum teh nanti malam? Selama dua malam terakhir, kita sudah menerima tamu, dan aku merasa sedih kalau tak ada waktu senggang. Aku akan mengundang se- jumlah orang menarik untukmu." Nobunaga ingin membuat acara untuk putranya, dan ia takkan suka kalau undangannya ditolak.

Seandainya diperkenankan berkata apa adanya. Nobutada mungkin akan berdalih bahwa usianya baru dua puluh lima, dan bahwa ia tidak me- mahami seni minum teh seperti ayahnya. Ia sangat tidak menyukai para ahli seni teh yang meng- hambur-hamburkan waktu luang di masa perang. Jika ia mendapat kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama ayahnya, ia tidak menghendaki kehadiran ahli seni teh. Sebenarnya ia ingin segera bertolak ke medan perang. Ia tak mau tertinggal di belakang adiknya, Nobutaka, biarpun hanya satu jam. Rupanya Nobunaga juga mengundang Murai Nagato, bukan sebagai gubernur Kyoto, melainkan sebagai teman. Namun Nagato tak dapat menge- sampingkan kekakuan yang lazim antara junjungan dan pengikut, sehingga suasana tetap terasa kikuk. Kerikuhan merupakan salah satu hal yang dibenci Nobunaga. Dengan kejadian-kejadian sehari-hari, tekanan akibat menjalankan pemerin-tahan, tamu- tamu yang datang dan pergi, ditambah waktu tidur yang kurang, jika memperoleh kesempatan me- lepaskan kewajiban-kewajibannya untuk sejenak, ia tak tahan kalau harus berhadapan dengan ke- kakuan seperti itu. Situasi-situasi semacam ini selalu membuatnya terkenang akan Hideyoshi.

"Nagato?" ujar Nobunaga. "Ya, tuanku."

"Bukankah putramu ada di sini?"

"Dia datang bersama hamba, tapi dia agak bebal, jadi hamba menyuruhnya menunggu di luar."

"Sikap seperti ini sungguh menjemukan," Nobu- naga bergumam. Ketika minta agar orang itu mengajak putranya, ia jelas-jelas bermaksud me- ngobrol dengan santai, bukan mengadakan pem- bicaraan resmi antara junjungan dan pengikut. Namun akhirnya ia juga tidak memerintahkan Nagato untuk memanggil putranya.

"Hmm, bagaimana kabarnya tamu-tamu kita dari Hakata?" ujar Nobunaga. Ia berdiri dan ber- jalan ke dalam kuil, meninggalkan Nobutada dan Nagato begitu saja.

Suara Bomaru terdengar dari kamar para pelayan. Rupanya ia sedang dimarahi kakaknya, Ranmaru, karena suatu hal. Semua anak Mori Yoshinari kini telah dewasa. Dan belakangan ter- dengar selentingan bahwa Ranmaru berharap akan menerima keempat distrik di Sakamoto, yang sekarang berada di tangan marga Akechi, padahal semula termasuk wilayah kekuasaan ayahnya. Kabar angin ini telah beredar luas, dan Nobunaga pun marah sekali ketika mendengarnya. Jadi, untuk meredakan desas-desus tersebut, ia mere- nungkan kembali keputusannya untuk memper- tahankan Ranmaru sebagai pelayan yang terus- menerus berada di sisinya. Memperbaiki keadaan ini juga akan membawa manfaat bagi dirinya sendiri.

"Tuanku hendak pergi ke pekarangan?" tanya Ranmaru.

Nobunaga berdiri di serambi, dan Ranmaru cepat-cepat berlari dari kamar para pelayan untuk meletakkan sandal di depan kaki majikannya. Betapa menyenangkan dilayani seseorang yang begitu tanggap dan sopan, pikir Nobunaga; ia telah terbiasa dengan perhatian seperti itu selama sekitar sepuluh tahun.

"Tidak, aku tidak bermaksud pergi ke pe- karangan. Panasnya luar biasa tadi, ya?" "Memang, sepanjang hari matahari benar-benar terik."

"Apakah kuda-kuda di kandang sehat-sehat saja?"

"Mereka kelihatan agak lesu."

Nobunaga menengadah dan memandang bin- tang kejora, barangkali karena tiba-tiba teringat pada provinsi-provinsi Barat. Ranmaru menatap profilnya sambil melamun. Nobutada pun telah masuk dan berdiri di belakang kedua orang itu, tapi sikap Ranmaru menunjukkan bahwa ia tidak menyadari kehadiran putra Nobunaga itu. Ia seakan-akan memandang majikannya untuk ter- akhir kali. Seandainya ia lebih memperhatikan perasaannya, ia mungkin lebih menyadari bisikan nalurinya saat itu serta kulitnya yang merinding. Kira-kira pada waktu itulah Akechi Mitsuhide tiba di Oinosaka.

Asap dan dapur besar mulai menyelubungi bagian dalam kuil. Bukan saja di tungku-tungku, di tempat pemandian pun api dinyalakan. Hal yang sama juga teriadi di luar Kuil Honno; di mana- mana asap dari tungku membubung ke langit malam.

Nobunaga mengguyur tubuhnya dengan air di tempat pemandian. Sekuntum bunga putih dari tanaman rambat menyembul lewat kisi-kisi bambu, pada jendela di bagian atas dinding. Setelah rambutnya dirapikan dan mengenakan pakaian bersih, Nobunaga kembali melalui selasar.

Ranmaru menghampirinya dan memberitahu- kan bahwa Sotan dan Soshitsu dari Hakata telah menunggu di ruang minum teh.

"Mereka datang sebelum hari gelap, dan kedua- nya tetap menyapu jalan setapak dari ruang minum teh ke jalanan, serta membersihkan serambi. Kemudian Tuan Soshitsu menyiram jalanan dan menata kembang, sementara Tuan Sotan pergi ke dapur dan memberi petunjuk euntuk mnyiapkan hidangan yang akan mereka sajikan pada tuanku."

"Kenapa aku tidak diberitahu lebih cepat?" "Ehm, mereka berpesan agar kami menunggu

sampai semuanya siap, karena merekalah yang hendak menjamu tuanku."

"Rupanya mereka punya rencana tertentu. Apakah Nobutada sudah diberitahu? Dan Nagato?" "Hamba akan segera menyampaikan undangan." Setelah Ranmaru pergi, Nobunaga segera mem-

belokkan langkahnya ke arah ruang minum teh.

Penampilan bangunan itu tidak menyerupai ruang minum teh. Tempat itu semula dimaksud- kan sebagai kamar tamu, dan ruangan lebih kecil untuk upacara minum teh dibentuk dengan meng- gunakan penyekat yang bisa dilipat.

Para tamu adalah Nobunaga, Nobutada, Nagato, dan putranya. Lentera-lentera mencipta- kan suasana menyegarkan. Seusai upacara minum teh, kedua tuan rumah dan para tamu mereka pindah ke ruangan yang lebih besar, tempat mereka berbincang-bincang sampai larut malam.

Nobunaga masih lapar sekali. Ia melahap hidangan-hidangan yang disajikan padanya, me- reguk anggur—yang seolah-olah terbuat dari batu delima cair—dan sesekali mengambil sepotong kue Eropa, semuanya tanpa berhenti bercakap-cakap.

"Aku ingin bertamasya ke Negeri Selatan, dengan kau dan Sotan sebagai pemandu. Tentu- nya kalian sudah sering mengunjungi tempat- tempat itu."

"Hamba terus memikirkannya, tapi belum sempat pergi." jawab Soshitsu. "Sotan, kau masih muda dan sehat. Sudahkah kau berkunjung ke sana?"

"Belum, Yang Mulia."

"Kalian berdua belum pernah mengunjungi Negeri Selatan?"

"Belum, walaupun para pegawai kami selalu mondar-mandir."

"Hmm, menurutku ini kurang menguntungkan bagi usaha kalian. Kalaupun orang seperti aku menyimpan angan-angan serupa, tetap saja tak ada kesempatan yang baik untuk meninggalkan Jepang, jadi apa boleh buat. Tapi kalian memiliki kapal- kapal dan perwakilan-perwakilan, dan kalian bebas bepergian kapan saja. Mengapa kalian belum pergi juga?" "Beban kerja Yang Mulia dalam mengurus negeri ini sungguh berbeda dengan keadaan kami, namun entah kenapa kami pun selalu terhalang oleh urusan rumah tangga. Dan selama tahun depan, kami tetap belum ada waktu. Meski demikian, begitu Yang Mulia merampungkan segala urusan yang harus ditangani, hamba ingin pergi bersama Yang Mulia dan Sotan, dan mengantar Yang Mulia berkeliling-keliling."

"Ya, aku suka itu! Sudah dari dulu aku ingin melakukannya. Tapi, Soshitsu, apa kau yakin akan hidup selama itu?"

Sementara para pelayan menuangkan anggur. Nobunaga bergurau dengan orang tua itu, tapi Soshitsu tak mau kalah.

"Hmm, daripada memikirkan hal itu, dapatkah Yang Mulia menjamin bahwa segala urusan dapat diselesaikan sebelum hamba mati? Jika Yang Mulia terlalu lamban, hamba mungkin tak dapat me- nunggu."

"Mestinya tidak terlalu lama lagi," ujar Nobu- naga sambil tersenyum menanggapi senda gurau orang tua itu.

Soshitsu berbicara dengan cara yang mustahil bagi para jendral Nobunaga. Sesekali selama per- cakapan Nobutada dan Nagato merasa rikuh dan bertanya-tanya, apakah pantas kedua saudagar itu berbicara demikian terus terang. Mereka juga heran mengapa saudagar-saudagar itu disukai oleh Nobunaga. Rasanya tak masuk akal bahwa Nobu- naga menerima mereka sebagai teman hanya karena mereka ahli seni minum teh.

Percakapan itu membosankan bagi Nobutada. Ia baru mulai tertarik ketika pembicaraan beralih ke Negeri Selatan. Hal-hal tersebut masih baru bagi telinganya, dan menimbulkan impian dan ambisi darah muda dalam dirinya.

Tanpa memandang apakah pengetahuan mereka mengenai Negeri Selatan dalam atau tidak, kaum cerdik pandai pada masa itu mempunyai minat untuk mempelajarinya. Intisari kebudayaan Jepang diguncangkan oleh gelombang pembaruan dari seberang lautan, dan yang paling menonjol di antaranya adalah senjata air.

Sebagian besar pengetahuan mengenai Negeri Selatan dibawa oleh kaum padri dari Spanyol dan Portugal, tapi orang-orang seperti Soshitsu dan Sotan telah merintis jalur perdagangan tanpa menunggu para padri. Kapal-kapal mereka menye- berang ke Korea dan berdagang ke Negeri Cina. Amoy, dan Kamboja. Orang yang menyampaikan berita mengenai kekayaan di negeri-negeri jauh pada mereka bukanlah para padri, melainkan perompak-perompak jepang yang bersarang di dekat Hakata di Kyushu.

Sotan mewarisi usahanya dari ayahnya, dan telah mendirikan perwakilan-perwakilan di Luzon, Siam, dan Kamboja. Konon Sotan yang meng- impor buah pohon lilin dari bagian selatan Negeri Cina dan mengembangkan cara pembuatan lilin, dan dengan demikian menyediakan bahan bakar yang menyebabkan malam-malam di Jepang men- jadi jauh lebih terang. Ia pun memperbaiki teknik pengerjaan logam yang dibawa dari negeri seberang, dan dianggap berjasa atas penyem- purnaan peleburan besi.

Soshitsu juga berkecimpung dalam perdagangan antarbangsa dan bersaudara dengan Sotan. Tak ada pembesar di Pubu Kyushu yang tidak memin- jam uang darinya. Ia memiliki sepuluh atau lebih kapal besar yang sanggup mengarungi lautan bebas, dan sekirar seratus kapal berukuran lebih kecil.

Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Nobunaga memperoleh seluruh pengetahuannya mengenai dunia di luar Jepang pada saat minum teh bersama kedua orang ini. Bahkan sekarang pun Nobunaga larut dalam percakapan dan terus-menerus meng- ambil kue Eropa. Soshitsu memperhatikan betapa banyak kue dimakannya, dan berkomentar. "Kue- kue ini dibuat dengan bahan yang dinamakan gula, jadi Yang Mulia sebaiknya jangan makan tcrlalu banyak sebelum tidur.

"Beracunkah gula itu?" tanya Nobunaga.

"Kalau pun bukan racun, yang jelas gula kurang baik bagi kesehatan." Soshitsu menjawab. "Makanan dari negeri asal para barbar cenderung mengenyangkan dan membuat orang jadi gemuk, sedangkan makanan Jepang lebih ringan. Kuc-kue ini jauh lebih manis daripada kue beras. Kalau Yang Mulia sudah terbiasa dengan gula, Yang Mulia takkan puas dengan kue-kue kita sendiri."

"Sudah banyakkah gula yang diimpor ke Kyushu?"

"Tidak juga. Nilai gula setara dengan emas, jadi keuntungan bagi kami tidak seberapa. Hamba sedang mempertimbangkan untuk membawa se- jumlah tanaman gula dan mencoba memindahkan tanaman-tanaman itu ke daerah hangat, tapi, sama halnya seperti tembakau, hamba ragu apakah gula perlu diperkenalkan di Jepang."

"Tidak biasanya kau bersikap begini." Nobunaga tertawa. "Jangan berpandangan picik. Tak ada bedanya apakah gula dan tembakau baik atau tidak. Kumpulkan saja semuanya dan bawa ke sini. Pasti akan ada manfaatnya bagi budaya kita. Kini segala macam barang dibawa dari laut Barat dan Selatan. Penetrasi ke wilayah Timur takkan dapat dicegah."

"Hamba menghargai kebesaran jiwa Yang Mulia, dan cara berpikir seperti itu tentu menun- jang usaha kami, tapi hamba ragu apakah keadaan itu bisa dibiarkan."

"Tentu saja bisa. Bawalah segala sesuatu yang baru secepat mungkin."

"Baiklah." "Atau, kalau itu gagal, kunyahlah semuanya dengan baik, lalu ludahkan!"

"Ludahkan lagi?"

"Kunyahlah semuanya dengan baik, seraplah segala sesuatu yang baik di dalam perut, lalu ludah- kan ampasnya. Jika para prajurit, petani, pengrajin, dan saudagar di Jepang memahami prinsip ini, takkan ada masalah apa pun yang dibawa ke sini."

"Tidak, itu tidak baik." Soshitsu melambaikan tangan dengan tegas. Ia menentang gagasan itu, dan tak segan-segan mengemukakan pendapatnya mengenai arah pemerintahan. "Sebagai penguasa seluruh negeri, Yang Mulia mungkin berpikiran demikian, tapi akhir-akhir ini hamba melihat tanda-tanda mencemaskan, dan karenanya hamba tak dapat menyetujui pandangan Yang Mulia."

"Apa maksudmu?" "Penyebaran ajaran sesat."

"Maksudmu kaum padri? Rupanya orang-orang Buddha juga sudah menyampaikan tuntutan mereka padamu, Soshitsu?"

"Yang Mulia terlalu meremehkan urusan ini, padahal masalahnya menyusahkan seluruh negeri." Soshitsu lalu bercerita mengenai bocah yang ter- cebur ke selokan beberapa jam sebelumnya, dan tentang pengorbanan para padri yang membuat

orang-orang terkesan.

"Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun, ribuan orang telah berpaling dari tempat persembahan leluhur mereka dan berpindah ke ajaran Nasrani. Hal ini bukan saja terjadi di Omura dan Nagasaki, tapi juga di seluruh Kyushu, di daerah-daerah terpencil di Shikoku, bahkan di Osaka, Kyoto, dan Sakai. Yang Mulia baru saja ber- kata bahwa tak ada yang perlu dicemaskan jika segala sesuatu yang kami bawa ke Jepang dikunyah baik-baik lalu diludahkan kembali, tapi agama me- rupakan hal yang berbeda dan mungkin tak dapat ditangani dengan cara itu. Mau tak mau hati nurani orang-orang akan tersedot ke dalam ajaran ini, dan mereka takkan bersedia melepaskannya lagi, biarpun mereka disalib atau dipancung."

Nobunaga terdiam. Roman mukanya meng- isyaratkan bahwa ini masalah serius yang tak dapat dibahas dengan beberapa patah kaia saja. Ia telah membumihanguskan Gunung Hiei, dan dengan menggunakan kekejaman melebihi para penguasa sebelumnya, memaksa para penganut  ajaran Buddha bertekuk lutut. Ia menghadapi para biksu dengan hujan api dan pedang, tapi ia lebih menyadari dari siapa pun bahwa ke mana pun ia pergi, kemarahan terhadap dirinya takkan mereda. Di pihak lain, ia telah mengizinkan para padri membangun gereja, dan dari waktu ke waktu bahkan mengundang mereka menghadiri jamuan makan. Para biksu Buddha protes keras dan mem- pertanyakan siapa yang dianggap orang asing oleh Nobunaga—orang-orang Nasrani atau mereka sendiri.

Nobunaga membenci penjelasan. Ia benci men- dengar sesuatu diuraikan, tapi ia menghargai intuisi langsung antara dua orang. Hal itu mem- buatnya teramat gembira.

"Sotan." Ia kini berpaling untuk berbincang dengan orang yang satu lagi. "Bagaimana pendapat- mu mengenai urusan ini? Kau masih muda, jadi kurasa kau punya pandangan berbeda dari Soshitsu."

Sejenak Sotan menatap lentera dengan was- pada, tapi kemudian menjawab tegas.

"Hamba sependapat dengan Yang Mulia. Agama asing ini sebaiknya dikunyah baik-baik. lalu di- ludahkan kembali."

Nobunaga menoleh dan menatap Soshitsu seperti orang yang baru saja memperoleh pene- gasan atas pendapatnya. "Jangan khawatir. Kau harus melihat masalah ini secara lebih luas. Be- berapa abad silam, Yang Mulia Michizane menya- rankan agar jiwa Jepang digabungkan dengan ilmu pengetahuan Cina. Apakah kita membawa adat kebiasaan Cina atau benda-benda seni dari Barat, warna-warni musim gugur dan kembang ceri di musim semi takkan berubah. Justru kalau hujan jatuh ke kolam, airnya diperbarui. Kau melakukan kesalahan dengan menilai samudra berdasarkan selokan di sekitar Kuil Tenno. Bukan begitu, Soshitsu?" "Benar, Yang Mulia, selokan harus dinilai dengan ukuran selokan."

"Sama halnya dengan budaya-budaya asing." "Setelah tua, hamba pun menyerupai katak di

dasar sumur," ujar Soshitsu.

"Kurasa kau lebih pantas disebut paus." "Memang." Soshitsu menyetujui, "tapi paus

dengan pandangan sempit."

"Hei, coba bawa air ke sini." Nobunaga mem- beri perintah pada pelayan yang tidur di belakang- nya. Ia belum hendak mengakhiri malam itu. Walaupun mereka tidak makan maupun minum selama beberapa waktu, percakapan terus ber- lanjut dengan seru.

"Ayah," ujar Nobutada, beringsut-ingsut meng- hampiri Nobunaga. "Malam sudah larut. Aku mohon diri."

"Nanti saja," balas Nobunaga. "Kau menginap di Nijo, bukan? Meski sudah malam, kau bisa dibilang tinggal di sebelah. Nagato tinggal tepat di depan gerbang, dan tamu-tamu kita dari Hakata tentu takkan kembali ke sana malam ini."

"Tidak, hanya hamba..." Soshitsu tampak seolah- olah hendak berpamitan. "Hamba telah berjanji untuk menemui seseorang besok pagi."

"Kalau begitu, hanya Sotan yang menginap di sini?"

"Hamba akan bertugas malam. Masih ada peker- jaan untuk hamba, merapikan ruang minum teh." "Bukan demi kepentinganku kau harus tinggal di sini. Kau membawa perlengkapan minum teh yang mahal, dan karena itulah kau harus menginap."

"Hamba takkan menentang kehendak Yang Mulia."

"Bicaralah terus terang." Nobunaga tertawa. Tiba-tiba ia menoleh ke belakang dan menatap lukisan yang tergantung di dinding. "Mu Ch'i terampil sekali. Keterampilan seperti itu sudah jarang sekarang. Kabarnya Sotan memiliki lukisan karya Mu Ch'i yang berjudul Kapal-Kapal Kembali dari Pelabuhan Nan Jauh. Aku tidak tahu, adakah orang yang pantas memiliki lukisan seperti itu?"

Sotan mendadak tertawa keras-keras, seolah- olah Nobunaga tidak ada.

"Apa yang kautertawakan, Sotan?"

Sotan memandang orang-orang di sekitarnya. "Yang Mulia Nobunaga ingin menguasai lukisan Mu Ch'i milikku dengan muslihatnya yang lihai: Adakah orang yang pantas memiliki lukisan seperti itu? Ini sama saja dengan mengirim gerombolan penghasut ke provinsi musuh. Sebaiknya Yang Mulia menjaga kotak teh Yang Mulia yang terkenal itu." Dan ia tak kuasa menghentikan tawanya.

Ucapan itu tepat pada sasaran. Sudah beberapa lama Nobunaga mengejar-ngejar lukisan milik Sotan. Tapi baik kotak teh maupun lukisan itu merupakan pusaka keluarga, sehingga Nobunaga pun tidak dapat memaksakan kehendaknya.

Namun kini pemilik lukisan tersebut telah menyinggung persoalannya, dan Nobunaga berang- gapan itu sama saja dengan menjanjikan lukisan yang diminatinya. Tentunya, setelah menertawa- kannya dengan begitu berani seperti tadi, Sotan takkan sampai hati menolak permintaannya.

Jadi, Nobunaga pun ikut tertawa. "Hmm, kau sungguh jeli. Sotan. Kalau orang sudah seusiaku, dia bisa menyelami seni minum teh dengan sepenuh hati."

Nobunaga mengungkapkan kebenaran itu se- cara berkelakar.

Soshitsu menimpali. "Dalam beberapa hari, hamba akan bertemu dengan Tuan Sokyu dari Sakai. Mari kita rundingkan bersama, di mana tempat lukisan itu. Sebenarnya lebih baik lagi kalau kita menanyakan langsung pada Mu Ch'i."

Nobunaga semakin riang. Dan walaupun para pembantunya berulang kali muncul untuk me- mangkas sumbu lentera-lentera, ia hanya meng- hirup air dan terus berbincang-bincang, tanpa memedulikan waktu.

Pada malam musim panas seperti ini, semua pintu dan daun penutup jendela di kuil terbuka lebar. Mungkin karena inilah lentera-lentera terus berkelip-kelip dan diselubungi lingkaran cahaya yang disebabkan oleh kabut malam.

Seandainya ada orang yang dapat membaca masa depan dari cahaya lentera pada malam itu, orang itu mungkin akan menemukan pertanda buruk dalam lingkaran-lingkaran cahaya.

Seseorang mengetuk gerbang depan kuil. Setelah beberapa saat, seorang pembantu menyam- paikan bahwa berita dari wilayah Barat telah tiba. Nobutada memanfaatkan kesempatan itu untuk berdiri, dan Soshitsu pun mohon diri. Lalu Nobu- naga juga bangkit untuk mengantar mereka sampai ke selasar.

"Selamat tidur," ujar Nobutada sambil berbalik sekali lagi dan menatap tosok ayahnya dari selasar.

Nagato dan putranya berdiri di samping Nobu- tada, memegang lilin. Selasar-selasar di Kuil Honno diliputi kegelapan sepekat tinta. Malam telah memasuki pertengahan kedua Jam Tikus.

***

Mitsuhide berada di sebuah persimpangan; jika membelok ke kanan, ia akan menuju ke Barat; jika membelok ke kiri, ia akan melewati Desa Kutsu- kake, menyeberangi Sungai Katsura, dan kemudi- an sampai di ibu kota. Ia telah mencapai puncak bukit yang didakinya sepanjang hidup. Kedua jalan di hadapannya merupakan titik balik dan titik akhir. Tapi pemandangan di hadapannya tidak mendorongnya untuk merenung. Justru sebalik- nya, langit luas dengan bintang-bintang berkelap- kelip seakan-akan menjanjikan perubahan besar di dunia, sebuah perubahan yang akan dimulai seiring fajar menyingsing.

Tak ada yang memberikan perintah istirahat. tapi kuda Mitsuhide telah berhenti. Ia duduk di pelanan, siluetnya tampak jelas di hadapan langit yang penuh bintang. Menyadari bahwa untuk sementara ia takkan bergerak, para jendral di sekitarnya—semuanya dengan baju tempur ber- kilauan—serta barisan panjang prajurit, panji-panji, dan kuda-kuda di belakangnya menunggu dengan gelisah dalam kegelapan.

"Di sebelah sana ada mata air. Sepertinya aku mendengar gemercik air."

"Di sana! Air!"

Ketika mencari-cari dalam semak-semak di tebing yang berbatasan dengan jalan, salah seorang akhirnya menemukan kali kecil di antara batu- batu. Satu per satu para prajurit mendesak maju untuk mengisi tempat air masing-masing dengan air jernih.

"Ini cukup sampai tiba di Tenjin." "Barangkali kiu bisa makan di Yamazaki."

"Tidak, malamnya terlalu singkat. Hari mung- kin sudah terang pada waktu kita tiba di Kuil Kaiin."

"Kuda-kuda cepat lelah kalau kita bergerak di siang hari, jadi Yang Mulia tentu merasa bahwa kita harus berjalan sejauh mungkin selama malam dan pagi."'

"Itu yang terbaik, sampai kita tiba di wilayah Barat," Para prajurit tingkat bawahan, bahkan para samurai di atas mereka—kecuali para komandan— masih belum tahu apa-apa. Bisik-bisik dan gelak tawa yang tak sampai di telinga para komandan mencerminkan anggapan bahwa medan tempur masih jauh. Barisan mulai bergerak. Sejak saat itu para komandan membawa tombak dan berjalan di samping anak buah masing-masing. Mereka meng- awasi keadaan sekitar dengan saksama dan mem- percepat langkah.

Ke kiri! Ke kiri! Mereka mulai menuruni bukit- bukit di Oinosaka ke arah timur. Tak satu prajurit pun membelok ke jalan yang menuju ke Barat. Kesangsian mulai timbul. Tapi mereka yang curiga pun tetap bergegas maju. Orang-orang itu hanya menatap panji-panji yang berkibar di depan; tak pelak lagi, inilah jalan yang dilewati panji-panji mereka. Suara langkah kuda terdengar di lereng- lereng curam. Dari waktu ke waktu, bunyi batu longsor hampir memekakkan telinga. Pasukan itu menyerupai air terjun yang menyapu segala peng- halang.

Baik orang maupun hewan bermandikan keringat, dan semuanya megap-megap menarik napas. Sambil meliuk-liuk di lembah-lembah yang dalam, mereka kembali bergerak turun. Setelah berpaling ke sungai pegunungan yang deras, mereka mendesak maju sampai ke lereng Gunung Matsuo.

"Istirahat!" "Bagikan ransum!"

"Jangan nyalakan api!"

Perintah demi perintah diturunkan, satu demi satu. Mereka baru sampai di Kutsukake, sebuah desa di sisi gunung yang hanya terdiri atas sekitar sepuluh pondok penebang pohon. Meski demiki- an, peringatan dari komando pusat bernada keras, dan dengan segera dibentuk patroli-patroli di jalan yang menuju bukit-bukit di kaki gunung.

"Mau ke mana kau?" "Ke lembah, ambil air."

"Kau tak boleh keluar barisan. Minta saja sedikit dari orang lain."

Para prajurit membuka ransum masing-masing dan mulai makan sambil membisu. Suara bisik- bisik terdengar ketika mereka mengunyah ma- kanan. Beberapa orang bertanya-tanya, mengapa mereka disuruh makan pada waktu yang kurang menguntungkan ini, di tengah lereng gunung. Padahal mereka sudah makan sebelum bertolak dari tempat persembahan Hachiman malam itu.

Kenapa mereka tidak disuruh makan pada waktu matahari terbit saja, di Yamazaki atau Hashimoto, di tempat mereka dapat mengikat kuda masing-masing? Walau terheran-heran. mereka tetap menyangka bahwa mereka sedang dalam perjalanan menuju provinsi-provinsi Barat. Jalan di Bitchu bukan satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan mereka. Jika membelok ke kanan di Kutsukakce, mereka bisa melewati Oharano dan menuju Yamazaki dan Takatsuki.

Tapi ketika mereka berangkat lagi, seluruh pasukan langsung turun ke Tsukahara tanpa ber- paling ke kiri maupun kanan, lalu maju sampai ke Desa Kawashima. Pada waktu giliran jaga keempat, sebagian besar pasukan telah menghadapi peman- dangan tak terduga: Sungai Katsura di bawah langit malam.

Para prajurit mulai resah. Begitu hawa sejuk dari sungai terasa, seluruh pasukan mendadak ber- henti karena ngeri.

"Tenangkan diri kalian!" para perwira memerin- tahkan. "Jangan berisik! Dan jangan bicara kalau tak perlu!"

Air sungai yang jernih berkelip redup, dan kesembilan panji dengan lambang kembang lonceng berkibar-kibar oleh embusan angin dari arah sungai.

Amano Genemon, yang membawahi kompi di ujung sayap kanan pasukan, disuruh menghadap Mitsuhide. Ia segera melompat dari kuda dan bergegas menghampiri komandannya.

Mitsuhide berdiri di dasar sungai yang kering. Semua jendral mengalihkan pandangan ke arah Genemon. Ada Saito Toshimitsu, dengan wajah dikelilingi rambut putih seperti bunga es, dan Mitsuharu, yang tampak seakan-akan mengenakan topeng. Selain kedua orang itu, para anggota staf lapangan yang lain mengelilingi Mitsuhide bagai- kan lingkaran besi.

"Gengo," kata Mitsuhide. "sebentar lagi hari terang. Kau dan anak buahmu yang pertama-tama menyeberangi sungai. Dalam perjalanan, kau harus menyingkirkan siapa saja yang berhasil menerobos barisan kita untuk memperingatkan musuh. Kecuali itu, mungkin ada saudagar-saudagar atau orang lain yang melewati ibu kota di pagi buta ini. Mereka pun harus kautangani. Ini sangat penting."

"Hamba mengerti."

"Tunggu!" Mitsuhide menyuruhnya kembali. "Untuk berjaga-jaga, aku telah mengirim beberapa orang untuk mengawasi jalan yang melintasi pegunungan dari Hozu, jalan dari bagian utara Saga, dan Jalan Raya Nishijin dari Jizoin. Jangan keliru menyerang orang kita-kita sendiri." Nada suara Mitsuhide setajam pisau; jelas-jelas kelihatan bahwa otaknya sedang bekerja keras dan urat-urat darahnya begitu tegang, sehingga nyaris pecah.

Ketika memperhatikan anak buah Genemon melintasi sungai, prajurit-prajurit yang lain sema- kin gelisah. Mitsuhide kembali menaiki kuda; satu per satu para bawahannya mengikuti contohnya.

"Berikan perintahnya. Pastikan semuanya tahu." Salah satu komandan di sisi Mitsuhide meliuk- kan tangan di depan mulut dan berseru, "Lepaskan sepatu kuda dan buang semuanya!" Perintah melengking dari barisan depan itu terdengar jelas. "Para prajurit infanteri harus memakai sandal baru, jangan gunakan sandal yang talinya sudah kendur karena dipakai waktu menuruni gunung. Kalau memang sudah kendur, ikatlah tali dengan kencang, agar tidak membuat kaki lecet pada waktu basah. Para penembak, potonglah sumbu- sumbu sepanjang tiga puluh senti dan ikatlah semuanya menjadi lima-lima. Hal-hal yang tidak perlu, seperti pembungkus ransum dan barang- barang pribadi, atau apa saja yang bakal meng- hambat keleluasaan kaki dan tangan, sebaiknya dibuang ke dalam sungai. Jangan bawa apa-apa selain senjata kalian."

Seluruh pasukan terheran-heran. Pada saat yang sama, sebuah gelombang timbul di antara orang- orang. Gelombang itu tidak berhubungan dengan suara maupun gerakan yang tampak. Para prajurit menoleh kiri-kanan, tapi karena dilarang berbicara, gelombang itu diteruskan dari wajah ke wajah— sebuah suara tanpa suara. Meski demikian, hampir seketika kesibukan terlihat ke mana pun mata memandang. Segala sesuatu berlangsung begitu cepat, sehingga—paling tidak di permukaan—tak ada tanda-tanda keraguan, kegelisahan, maupun kecemasan.

Setelah semuanya siap dan para prajurit kembali membentuk barisan, sang veteran, Saito Toshimit- su, mengangkat suara yang sudah ditempa dalam seratus pertempuran, dan ia berbicara di hadapan pasukan itu seakan-akan sedang membaca.

"Bersukacitalah! Hari ini junjungan kita, Yang Mulia Mitsuhide, akan menjadi penguasa seluruh negeri. Singkirkanlah segenap keraguan dari hati kalian."

Suaranya mencapai telinga prajurit infanteri dan pembawa sandal yang berdiri paling jauh. Semua orang termegap-megap, seolah-olah mena- rik napas terakhir. Namun tak ada yang menyam- but pemberitahuan itu dengan gembira. Orang- orang justru merinding. Toshimitsu memejamkan mata dan meninggikan suara, seakan-akan hendak memarahi para prajurit. Mungkinkah ia pun sedang berusaha membesarkan hati sendiri?

"Takkan ada hari lain yang bersinar secemerlang hari ini. Kita terutama mengandalkan para samurai untuk mencapai hasil gemilang. Kalaupun kalian gugur dalam pertempuran hari ini, sanak keluarga kalian akan menerima imbalan yang sesuai dengan sepak terjang kalian," Suara Toshi- mitsu tidak berubah banyak sampai ia selesai ber- bicara. Ia telah diberitahu oleh Mitsuhide apa yang harus dikatakannya, dan mungkin itu tidak sejalan dengan pandangannya sendiri. "Mari kita seberangi sungai ini!"

Langit masih gelap. Arus Sungai Katsura sempat mengejutkan para pejuang kawakan ketika mereka hendak menyeberang. Ombak berbuih putih tam- pak bergulung-gulung. Seluruh pasukan gemetar ketika dasar sungai diaduk-aduk oleh sandal jerami. Meskipun mereka sendiri basah kuyup, tak satu penembak pun membiarkan sumbunya ter- kena air. Air yang bening melewati lutut mereka, dan dinginnya melebihi dingin es. Sudah barang tentu setiap prajurit dan perwira disibukkan oleh pikirannya sendiri ketika mEliniasi sungai. Semua- nya merenungkan ucapan komandan kesatuan dan pengikut senior sebelum mulai menyeberang.

"Hmm, kita pasti akan menyerang Yang Mulia Ieyasu. Selain Tokugawa Ieyasu, tak ada yang cukup dekat untuk diserang. Tapi apa maksud Toshimitsu ketika mengatakan bahwa mulai hari ini junjungan kita akan menjadi penguasa seluruh negeri?

Hanya sejauh itulah jangkauan pikiran para prajurit. Mereka orang-orang yang menjunjung tinggi keadaban dan keadilan, dan kemungkinan bahwa mereka akan bertempur melawan Nobu- naga belum jelas terlintas dalam benak mereka. Jiwa Akechi yang sungguh-sungguh dan keras kepala serta bertumpu pada rasa keadilan telah di- turunkan dari para komandan kompi sampai ke prajurit paling rendah dan para pembawa sandal.

"Hei, hari mulai terang." "Sebentar lagi sudah fajar." Mereka berada di daerah antara Nyoigadake dan barisan gunung yang membatasi tepi timur Kyoto. Puncak gumpalan awan berkerlip merah terang.

Jika memaksakan mata, mereka dapat melihat kota Kyoto, samar-samar, diselubungi kegelapan fajar. Tapi di belakang mereka, ke arah Oinosaka atau ke arah perbatasan Provinsi Tamba, bintang- bintang bersinar begitu terang, sehingga bisa di- hitung dengan mata telanjang.

"Ada mayat!"

"Di sini ada satu lagi!" "Dan di sebelah sana!"

Jalanan kini telah mendekati pintu masuk ke pinggiran timur kota Kyoto. Selain rumpun- rumpun pohon dan pondok-pondok beratap jerami, hanya ada tanah pertanian yang terselu- bung embun sampai ke pagoda Kuil Timur.

Mayat-mayat bergelimpangan di kaki pohon- pohon cemara di sepanjang tepi jalan, di tengah jalan, dan hampir di mana pun para prajurit memandang. Mayat-mayat itu tampaknya para petani setempat. Tertelungkup, seakan-akan se- dang tidur di tengah ladang terong, seorang gadis tergeletak tak bergerak, masih menggenggam keranjang, tewas ditebas pedang.

Darahnya jelas-jelas masih mengalir, karena lebih segar dari embun pagi. Tak pelak lagi, anak buah Amano Genemon yang mendului pasukan utama memergoki para petani yang telah bangun pada dini hari di ladang masing-masing, membu- nuh mereka, dan membunuh semuanya. Para prajurit mungkin merasa iba, tapi mereka telah di- perintahkan untuk tidak mempertaruhkan keber- hasilan tindakan lebih besar yang akan menyusul.

Ketika menatap darah segar di tanah dan awan merah di langit. Mitsuhide berdiri di sanggurdi, mendadak mengacungkan cemeti dan berseru.

"Ke Kuil Honno! Serbu kuil itu! Musuh-musuh- ku ada di Kuil Honno! Cepat! Cepat! Aku sendiri akan menghabisi siapa saja yang berlambat- lambat!"

Waktu untuk pertempuran telah tiba. Kesem- bilan panji dengan lambang kembang lonceng biru terpecah menjadi tiga kompi, masing-masing de- ngan tiga panji. Setelah maju ke jalan masuk menuju Jalan Ketujuh, mereka menerobos gerbang demi gerbang, serempak membanjiri ibu kota. Pasukan Akechi tumpah ruah dari gerbang ke Jalan Kelima, Keempat, dan Ketiga, dan berham- buran memasuki kota.

Kabut masih tebal, tapi mega-mega merah telah tampak di atas pegunungan, dan seperti biasa, gerbang-gerbang kecil sudah dibuka agar orang- orang dapat berlalu-lalang.

Para penyerang berdesak-desakan di muka ger- bang, tombak-tombak dan senapan-senapan saling beradu dalam suasana kacau-balau. Hanya panji- panji yang ditundukkan pada saat melewati gerbang.

"Jangan dorong! jangan bingung! Barisan be- lakang tunggu di luar gerbang dulu!"

Menyadari kekacauan yang terjadi, salah satu komandan berusaha sekuat tenaga untuk meng- atur para pujurit. Ia melepaskan palang dari ger- bang besar dan membukakannya lebar-lebar.

"Masuk semuanya!" ia berseru, mendorong mereka untuk maju.

Sebenarnya para prajurit sudah menerima perintah untuk bergerak tanpa suara, tanpa me- mekikkan teriakan perang, untuk menundukkan panji-panji, dan bahkan untuk mencegah kuda- kuda meringkik, tapi begitu mereka menero-bos lewat gerbang-gerbang dan menyerbu kota, luapan semangat pasukan Akechi tak tertahankan lagi.

"Ke Kuil Honno!"

Di tengah hiruk-pikuk, bunyi pintu membuka terdengar dari rumah-rumah di sana-sini, tapi begitu mengintip ke luar, para penghuni segera masuk lagi dan cepat-cepat membanting pintu.

Di antara sekian banyak kesatuan yang ber- lomba-lomba menuju Kuil Honno, dua kesatuan bergerak paling cepat, masing-masing di bawah pimpinan Akechi Mitsuharu dan Saito Toshimitsu yang terlihat di barisan terdepan.

"Jalan-jalan sempit yang terselubung kabut ini sungguh merepotkan. Awas, jangan sampai tersesat karena berusaha mendului yang lain. Gunakan pohon besar di pekarangan Kuil Honno sebagai patokan! Ah, itu dia! Pohon besar yang tersohor itu!"

Sambil memacu kudanya serta melambai- lambaikan tangan memberi petunjuk, Toshimitsu berseru-seru, seakan-akan inilah saat terpenting dalam hidupnya sebagai prajurit.

Pasukan kedua, dipimpin oleh Akechi Mitsu- tada, juga bergerak cepat. Mereka membanjiri daerah sekitar Jalan Ketiga, melewatinya seperti asap, dan melancarkan serbuan untuk mengepung Kuil Myokaku di Nijo. Tindakan ini tentu saja dikoordinasikan dengan pasukan yang menyerang Kuil Honno, dan ditujukan untuk menghabisi putra Nobunaga, Nobutada.

Jarak dari tempat ini ke Kuil Honno hanya selemparan batu. Kedua pasukan dipisahkan oleh kegelapan menjelang fajar, tapi sekarang pun sudah terdengar kebisingan luar biasa dari arah Kuil Honno. Bunyi sangkakala, gong, dan gen- derang terdengar bersamaan. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa bunyi tersebut mengguncangkan bumi dan langit serta tidak menyerupai apa pun yang biasa terdengar di dunia ini. Pagi itu tak ada seorang pun di ibu kota yang tidak melompat kaget atau meloncat dari tempat tidur karena jeritan keluarganya.

Kebisingan itu segera menjalar, bahkan ke daerah pemukiman para bangsawan di sekeliling istana Kekaisaran yang biasanya selalu tenteram. Dengan segala hiruk-pikuk dan gema langkah kuda, sepertinya langit di atas Kyoto berdering.

Namun kebingungan yang melanda para warga kota hanya bertahan sesaat. Begitu para bangsawan dan orang kebanyakan memahami situasinya, rumah-rumah mereka kembali sehening semula. Mereka tidur dengan nyenyak. Tak satu orang pun keluar di jalanan.

Keadaan masih demikian gelap, sehingga para prajurit tak dapat memastikan wajah siapa yang berada di hadapan mereka, dan ketika menuju Kuil Myokaku, pasukan kedua keliru menyangka sejumlah rekan mereka sendiri, yang mengambil rute memutar melalui gang sempit lainnya, sebagai musuh. Meskipun komandan mereka telah mem- beri peringatan keras agar tidak melepaskan tembakan sebelum perintah untuk itu diberikan, ketika mereka tiba di persimpangan jalan, para prajurit yang sudah amat bernafsu itu tiba-tiba mulai menembak tanpa melihat apa-apa di tengah kabut.

Pada waktu mencium asap mesiu, nafsu mereka semakin berkobar-kobar, tanpa dapat dicegah. Bahkan para prajurit yang sudah pernah terjun ke dalam kancah pertempuran pun mungkin meng- alami situasi seperti ini, sebelum mampu mengen- dalikan diri sepenuhnya. "Hei! Di sebelah sana terdengar sangkakala dan gong. Pertempuran di Kuil Honno sudah dimulai."

"Mereka bertempur!" "Serangan sudah di mulai!'

Mereka tak tahu lagi apakah kaki mereka masih menginjak tanah atau tidak. Ketika berlari maju, mereka tetap tak dapat menentukan suara siapa yang mereka dengar, meski mereka tidak menemui perlawanan. Pori-pori di sekujur tubuh mereka mengembang, dan mereka bahkan tidak merasa- kan hawa dingin yang menerpa wajah dan tangan masing-masing. Mereka gemetar terbawa luapan perasaan, sehingga satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan adalah berteriak.

Karena itu mereka memekikkan teriakan perang, bahkan sebelum melihat tembok bergen- teng yang mengclilingi Kuil Myokaku. Tanpa di- duga, teriakan serupa terdengar dari depan kesatu- an itu, dan gong serta genderang pun mulai ber- bunyi tak sabar.

Mitsuhide ikut bersama pasukan ketiga. Tak salah jika dikatakan bahwa markas besarnya ber- lokasi di mana pun ia berada, dan kali ini markas besarnya berhenti di Horikawa. Ia dikelilingi oleh para anggota marganya, dan sebuah kursi ditaruh di hadapannya, tapi ia tidak duduk, walau hanya sekejap. Segenap jiwa-raganya berfokus pada suara awan-awan dan jeritan kabut, dan tanpa berhenti ia memandang langit, ke arah Nijo. Dari waktu ke waktu pemandangannya dipenuhi merahnya awan pagi, namun belum juga terlihat lidah api atau asap yang membubung tinggi.

Nobunaga mendadak terbangun, tapi bukan karena alasan tertentu. Setelah tidur semalaman, ia biasa terjaga sendiri di pagi hari. Sejak masa mudanya ia selalu bangun saat rajar, tak peduli seberapa larut malam ia naik ke peraduan. Ia bangun, atau tepatnya—karena belum sepenuhnya sadar dan kepalanya masih berada di bantal—ia mengalami fenomena khas. Fenomena tersebut berupa peralihan dari dunia mimpi ke dunia nyata dan hanya berlangsung sepersekian detik, tapi dalam waktu yang teramat singkat itu, sejumlah pikiran melintas di benaknya secepat kilat.

Pikiran itu berupa kenangan akan peristiwa- peristiwa yang dialaminya antara masa muda dan sekarang, atau renungan mengenai kehidupannya saat ini, atau tujuan-tujuan yang hendak dicapai- nya di masa mendatang. Bagaimanapun, pikiran- pikiran tersebut melintas di benaknya pada waktu ia berada antara mimpi dan kenyataan.

Fenomena ini mungkin bukan suatu kebiasaan, tapi lebih menjurus ke arah kemampuan yang dibawa sejak lahir. Ketika masih kanak-kanak pun ia sudah merupakan tukang mimpi. Namun onak duri dunia nyata tak memberi peluang untuk hidup di dunia mimpi, terutama mengingat asal- usul serta didikannya. Dunia nyata telah menum- puk kesulitan di atas kesulitan, dan telah mengajar- kan kenikmatan yang dapat ditemui dalam meng- atasi semuanya.

Dalam masa pertumbuhan ini, ketika ia diuji dan pulang dengan membawa kemenangan, lalu diuji kembali, ia akhirnya menyadari bahwa ia tak puas dengan kesulitan-kesulitan yang diberikan padanya. Kenikmatan terbesar dalam hidup, ia me- nyimpulkan, terletak dalam mencari kesulitan, ter- jun untuk mengatasinya, dan menoleh ke belakang untuk melihat bahwa kesulitan tersebut telah ber- hasil dilewati. Keyakinannya diperkuat oleh rasa percaya diri yang diperolehnya dari pengalaman- pengalaman seperti itu, dan telah menimbulkan cara berpikir yang sangat berbeda dari akal sehat orang biasa. Setelah Azuchi, istilah tak mungkin tak ada lagi dalam dunianya. Ini karena semua yang telah dijangkaunya sampai saat itu tidak dicapai dengan mengikuti jalan pikiran orang biasa, melainkan dengan membuat sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin.

Dan pagi itu, di perbatasan antara dunia mimpi dan tubuhnya yang fana, ketika kemabukan se- malam mungkin masih mengalir dalam urat darahnya, berbagai bayangan timbul dalam benak- nya—iring-iringan kapal besar yang berlayar ke pulau-pulau Selatan, ke pesisir Korea, bahkan ke Negeri Ming, ia sendiri berdiri di menara salah satu kapal bersama Sotan dan Soshitsu. Ada satu orang lagi yang harus menyertainya, ia berkata dalam hati—Hideyoshi. Ia merasa bahwa hari keti- ka impian itu bisa menjadi kenyataan tidak jauh lagi.

Dalam pikirannya, prestasi kecil seperti penak- lukan provinsi-provinsi Barat serta Kyushu tak cukup untuk mengisi seluruh hidupnya.

Fajar sudah tiba, gumamnya. Ia bangkit dan keluar dari kamar tidur.

Pintu berat yang membuka ke selasar dibuat sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suara yang seakan-akan memanggil pada waktu dibuka atau diturup. Ketika para pclayan mendengar suara ini, mereka segera bangun. Cahaya lampion yang berkelap-kelip memantul pada pilar-pilar dan lantai serambi yang berkilauan bagai dipoles minyak.

Sadar bahwa majikan mereka terbangun, para pelayan langsung bergegas ke pemandian di sam- ping dapur. Namun ketika menuju ke sana, mereka mendengar suara dari arah selasar utara. Bunyinya seperti daun penutup jendela yang di- buka tergesa-gesa.

Karena menyangka bahwa itu mungkin Nobu- naga, mereka menghentiikan langkah dan me- mandang ke arah selasar yang buntu. Tapi satu- satunya orang yang kelihatan adalah perempuan berkimono berpola besar-besar dan mantel luar bermotif pohon cemara dan kembang ceri. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai. Karena daun penutup jendela telah terbuka,

langit pagi yang biru bagaikan bunga lonceng tampak seperti dibingkai. Angin yang masuk membelai-belai rambut perempuan tadi, dan mem- bawa keharuman kayu cendana sampai ke tempat para pelayan berdiri.

"Ah, di sebelah sana." Para pelayan mendengar suara air mengalir dan berlari ke arah dapur. Para biksu penghuni kuil belum meninggalkan kamar masing-masing, jadi jendela-jendela dan gerbang utama yang besar belum dibuka. Di dapur ber- lantai tanah dan di pelataran kayu, dengung nyamuk dan kegelapan malam masih tertahan, tapi kepengapan musim panas sudah mulai terasa.

Nobunaga tidak menyukai saat di pagi hari itu. Pada waktu para pelayan menyadari bahwa ia telah meninggalkan kamar tidurnya, ia sudah berkumur- kumur dan mencuci tangan. Sambil menghampiri kendi besar yang menampung air dari pipa bambu, ia lalu meraih ember kecil dan mencedok air dari bak. Air bercipraian ke segala arah ketika ia men- cuci muka dengan terburu-buru.

"Ah, lengan baju tuanku jadi basah." "Perkenankan hamba mengganti airnya."

Para pelayan ketakutan. Dengan waswas salah satu dari mereka melipat lengan baju Nobunaga dari belakang, sementara satu orang lagi meng- ambil air bersih. Orang lain lagi menyodorkan handuk sambil berlutut di kaki Nobunaga. Pada waktu yang sama, orang-orang di daerah kamar- kamar para samurai meninggalkan ruang jaga malam dan mulai membuka pintu-pintu yang menuju pekarangan. Saat itulah mereka mende- ngar kebisingan yang berasal dari kuil utama di luar, lalu gema langkah kaki yang berlari ke arah pekarangan dalam.

Nobunaga berbalik, masih dengan rambut basah kuyup, dan berkata dengan nada tak sabar. "Coba lihat ada apa, Bomaru." Setelah itu ia kembali mengeringkan dan menggosok-gosok muka.

Salah satu pelayan berkata. "Barangkali para penjaga di kuil luar bertengkar karena sesuatu."

Nobunaga tidak menanggapi komentar itu. Sejenak matanya menyerupai air di laut yang sangat dalam, berbinar-binar seakan mencari sesua- tu, bukan di dunia luar, melainkan di dalam diri- nya sendiri.

Tapi hanya sejenak. Bukan kuil utama di luar saja yang dilanda hiruk-pikuk. Di sini pun, di rumah tamu, dan dari pilar ke pilar di kesepuluh bangunan biara, sesuatu yang sekuat gempa meng- guncangkan seluruh kulit bumi, dipancarkan oleh kebisingan dan arus energi yang menakutkan.

Semua orang, sekuat apa pun, tentu akan merasa bingung pada saat seperti itu. Wajah Nobunaga pun menjadi pucat, dan para pelayan yang mengelilinginya membelalakkan mata dengan ngeri. Namun hanya selama beberapa tarikan napas saja mereka berdiri seperti patung. Hampir seketika seseorang berlari menyusuri selasar.

Seorang laki-laki berseru. "Tuanku! Tuanku!" Para   pelayan   memanggil   serempak,   "Tuan

Ranmaru! Tuan Ranmaru! Di sebelah sini." Nobunaga sendiri melangkah keluar dan me-

manggil orang itu.

"Ranmaru! Mau ke mana kau?"

"Ah, tuanku ada di sini," ujar Ranmaru. Ia nyaris terjatuh ketika berlutut. Dalam sekejap Nobunaga menyadari bahwa apa yang sedang ter- jadi bukan sekadar perikaian antarsamurai, atau pertengkaran di antara orang-orang di kandang.

"Ada apa, Ranmaru? Apa arti hiruk-pikuk ini?" ia langsung bertanya, dan Ranmaru tak kalah cepat memberikan jawaban.

"Orang-orang Akechi telah melakukan kebia- daban. Di luar ada prajurit-prajurit, berbuat rusuh dan mengibarkan panji-panji yang menampilkan lambang Akechi."

"Apa?! Orang-orang Akechi?" Kata-kata itu ber- nada heran. Reaksi Nobunaga menunjukkan bahwa ia tak pernah menyangka—bahkan tak pernah bermimpi—bahwa ini mungkin terjadi. Tapi rasa kaget dan gejolak emosi berhenti di bibirnya. Diucapkan hampir setenang biasa, kata- katanya yang berikut menyerupai geraman. "Orang-orang Akechi... mestinya sudah kuduga." Nobunaga cepat-cepat berpaling dan bergegas kembali ke kamarnya. Ranmaru mengikutinya, tapi setelah lima atau enam langkah, ia berbalik dan memarahi para pelayan yang gemetaran. "Mulailah bekerja. Aku sudah menyuruh Bomaru memberitahu orang-orang agar semua gerbang dan jendela ditutup rapat. Halangi semua pintu dan jangan biarkan musuh mendekati Yang Mulia." Sebelum ia sempat mengakhtri ucapannya, pintu dapur dan jendela-jendela yang berdekatan sudah mulai dihujani peluru dan panah. Ujung anak- anak panah yang tak terhitung jumlahnya menem- bus pintu-pintu kayu. Mata panah baja yang ber- kilau-kilau mengumumkan perang pada orang-

orang di dalam.

Dari selatan Rokkaku, utara Nishikikoji, barat Toin, dan timur Aburakoji, keempat sisi Kuil Honno terkepung oleh baju perang pasukan Akechi serta teriakan perang mereka. Namun karena terlindung selokan, tembok-tembok beratap genteng memang dapat dilihat, tapi tak mudah dipanjati.

Hutan tombak, panji, dan senapan hanya ber- gerak maju-mundur seperti gelombang.

Beberapa orang nekat melompat ke kaki tembok; ada pula yang tak sanggup meloncat sejauh itu. Banyak dari mereka yang mencoba akhirnya tercebur ke dasar selokan. Dan akibat baju tempur yang berat. mereka yang jatuh segera terperosok sampai ke pinggang di dalam air ber- lumpur dan berbau busuk yang menyerupai tinta hitam. Kalaupun mereka sanggup bangun dan memanggil, rekan-rekan mereka di atas tak pernah menoleh ke bawah.

Pasukan Akechi di Nishikikoji memorak- porandakan pemukiman penduduk daerah itu, sementara perempuan-perempuan dengan bayi dalam gendongan, orang-orang tua, serta anak- anak melarikan diri dari kehancuran. Dengan cara ini, para prajurit menimbun selokan dengan pintu- pintu dan papan-papan atap,

Seketika semuanya berebut melewati tembok. Para penembak membidikkan senapan, dan sambil membidik dari puncak tembok ke pekarangan di bawah, melepaskan berondongan pertama.

Saat itu gedung-gedung biara di pekarangan kuil tampak sunyi. Semua pintu kuil utama di depan tertutup rapat, sehingga sukar untuk memastikan apakah ada musuh di dalam yang dapat ditembak. Panas dari api di bawah rumah-rumah yang hancur mulai membara, dan segera menyulut bangunan- bangunan berikut. Tak lama kemudian segenap warga miskin menyerbu keluar dari perkampungan mereka, seakan-akan hendak saling menginjak- injak. Sambil menangis dan menjerit, mereka tumpah ruah ke dasar Sungai Kamo yang kering serta ke pusat kota, tanpa membawa apa pun, Dilihat dari gerbang utama di sisi berlawanan dari kuil, orang mendapat kesan bahwa gerom- bolan yang telah menerobos masuk lewat gerbang belakang sudah mulai membakar dapur. Pasukan utama yang berkerumun di depan gerbang utama tak sudi dikalahkan oleh rekan-rekan mereka.

Dengan geram para prajurit bawahan berteriak- tcriak, mendesak-desak sekelompok perwira yang sepertinya hanya membuang-buang waktu di seki- tar jembatan tarik.

"Dobrak saja!"

"Ayo. maju! Tunggu apa lagi?"

Salah seorang perwira menghadapi penjaga di dalam gerbang .

"Kami pasukan Akechi, dan kami sedang dalam perjalanan ke wilayah Barat. Kami datang dalam keadaan siap tempur untuk memberi hormat pada Yang Mulia Oda Nobunaga."

Dengan cara ini ia hendak mempengaruhi para penjaga agar membuka gerbang, namun siasatnya terlalu mudah dibaca. Si penjaga tentu saja merasa curiga, dan ia tak mau membuka gerbang tanpa menanyakan perinrah Nobunaga.

Ia menyuruh mereka menunggu. Keheningan di balik gerbang mengisyaratkan bahwa kedatangan pasukan tersebut sedang dilaporkan ke kuil utama, dan bahwa kcadaan darurat akan segera diberlaku- kan.

Para prajurit yang berdesak-desakan di belakang mulai tak sabar karena atasan mereka merasa perlu menggunakan siasat untuk melintasi selokan se- kecil itu. Mereka mendorong-dorong barisan di depan.

"Serbu! Serbu! Tunggu apa lagi?" "Terjang tembok-tembok!"

Sambil berlomba-lomba merebut gerbang, mereka mendorong orang-orang yang tampak ragu- ragu ke samping, dan bahkan mengempaskan rekan-rekan mereka itu.

Beberapa orang yang berada di depan terpero- sok ke dalam selokan, dan teriakan-teriakan perang dilepaskan oleh mereka yang berada di atas mau- pun oleh mereka yang jatuh. Kemudian, seakan- akan dengan sengaja, kelompok-kelompok yang lebih belakang lagi mulai mendesak maju. Lebih banyak orang berjatuhan. Dalam sekejap satu bagian selokan penuh prajurit-prajurit yang ber- lepotan lumpur.

Satu prajurit muda melangkahi orang-orang itu dan melompat ke kaki tembok bergenteng. Prajurit lain mengikuti contohnya.

"Maju!"

Sambil bersorak-sorai dan mengacung-acungkan tombak, para prajurit menyeberang dan segera bergelantungan di puncak tcmbok. Orang-orang di dalam selokan saling dorong, dan ketika sandal jerami mereka menginjak punggung, bahu, dan kepala rekan-rekan mereka sendiri, nyawa demi nyawa melayang, dikorbankan dalam serbuan yang mengerikan. Tapi berkat pengorbanan itu, tak lama kemudian tiga suara berseru dengan bangga dari atas tembok yang mengelilingi Kuil Honno.

"Aku yang pertama."

Yang lain begitu cepat mencapai tembok. Se- hingga sukar untuk memastikan siapa yang per- tama dan siapa yang kedua.

Di balik tembok-tembok, para samurai Oda yang sudah bergegas dari pos jaga di gerbang dan dari daerah sekitar kandang menyambar senjata apa pun yang mereka temui, dan berusaha mem- bendung serangan yang bagaikan terjangan air bah itu. Tapi usaha mereka tak ubahnya menahan tanggul yang bobol dengan tangan semata-mata. Tanpa memedulikan pedang dan tombak pasukan yang bertahan, barisan depan Akechi segera mene- robos, melangkahi mayat-mayat yang bermandikan darah musuh.

Seakan-akan hendak membukiikan bahwa mereka hanya ingin mengunjungi tempat me- nginap Yang Mulia Nobunaga, mereka langsung berlari ke arah kuil utama dan rumah tamu. Namun mereka disambui oleh panah-panah yang menderu-deru bagaikan angin ribut dari serambi kuil utama yang lebar dan dari teras rumah tamu. Walau jaraknya menguntungkan, banyak panah tidak mengenai sasaran dan hanya menancap di tanah. Banyak pula yang menggelincir di tanah, atau membentur tembok-rembok yang jauh.

Di antara pasukan bertahan ada beberapa orang gagah berani yang hanya dengan baju tidur, setengah telanjang, atau bahkan tak bersenjata, bergumul dengan musuh yang berpakaian tempur. Para penjaga yang telah selesai bertugas sudah scmpat tidur. Kini, mungkin karena malu bahwa mereka terlambat terjun ke dalam pertempuran, mereka menghambur keluar untuk menghalau serbuan para prajurit Akechi—biarpun hanya sejenak—hanya bermodalkan kegarangan dan ke- nekatan.

Tapi amukan gelombang baju tempur tak dapat dihadang dan telah berkecamuk di bawah ping- giran atap kuil. Melesat kembali ke kamarnya, Nobunaga mengenakan celana di atas baju sutra putih dan mengikat talinya sambil mengenakkan gigi.

"Busur! Bawakan busur untukku!" serunya.

Setelah ia meneriakkan perintah ini dua-tiga kali, seseorang akhirnya berlutut dan meletakkan sebuah busur di hadapannya. Ia langsung me- nyambarnya, berlari keluar pintu. dan berseru ke belakang, "Biarkan kaum perempuan meloloskan diri. Tak ada salahnya mereka lari. Asal mereka jangan sampai menghalang-halangi kita."

Bunyi pintu dan penyekat ditendang terdengar dari segala arah, dan jeritan perempuan menam- bah kekisruhan di bawah genteng-genteng yang bergetar. Para perempuan berlari dari ruang ke ruang, bingung, menyusun selasar-selasar, melom- pati pagar. Baju mereka melambai-lambai, mem- belah kegelapan bagaikan lidah api berwarna putih, merah, dan ungu. Tapi peluru dan panah menerjang apa saja—daun-daun penutup jendela, pilar-pilar, dan pagar-pagar. Nobunaga sudah ber- diri di pojok serambi dan melepaskan anak panah ke arah musuh. Anak-anak panah yang ditujukan pada dirinya menancap di sekitarnya.

Ketika melihatnya bertempur dengan garang, bahkan para perempuan yang telah kehilangan kendali diri pun tak sanggup meninggalkan sisi nya. Mereka hanya dapat menjerit-jerit.

Lima puluh tahun umur manusia di bawah langit. Itulah salah satu bait dari sandiwara yang begitu digandrungi Nobunaga, sebuah syair yang mencer- minkan pandangan hidupnya di masa muda. Peristiwa yang kini dialaminya tidak dianggap sebagai peristiwa yang mengguncangkan dunia. Dan ia sama sekali tak gentar oleh pikiran bahwa ajalnya mungkin sudah dekat.

Ia justru berjuang dengan semangat membara, tak sudi menyerah dan mati begitu saja. Cita-cita yang disimpannya dalam dada sebagai karya agung- nya bahkan belum tercapai setengahnya. Sungguh mmalukan seandainya ia terpaksa berhenti di tengah jalan. Terlalu banyak yang harus disesalkan jika ia mati pada pagi ini. Karena itu ia meraih sebatang anak panah dan memasangnya pada tali busur. Berulang kali ia mendengarkan dengungan tali busur, dan dengan setiap tembakan, ke- marahannya seakan-akan berkurang. Akhirnya tali busur itu berjumbai dan busurnya sendiri hampir patah.

"Panah! Aku kehabisan panah! Ambilkan panah untukku!"

Sambil terus berseru-seru ke belakang, ia bah- kan memungut dan menembakkan panah-panah musuh yang luput dari sasaran dan jatuh ke lantai selasar. Tiba-tiba seorang perempuan dengan ikat kepala berwarna merah dan lengan kimono ter- lipat membawakan sejumlah anak panah dan memberikan satu pada Nobunaga. Nobunaga menatap perempuan iiu.

"Ano? Kau sudah cukup berjasa di sini. Sekarang larilah." ia menyuruh wanita itu pergi dengan gerakan dagu, tapi Ano terus menyerahkan anak panah pada Nobunaga dan tak mau beranjak, tak peduli betapa ia dimarahi.

Cara Nobunaga melepaskan anak panah lebih didasarkan atas keanggunan sikap daripada ke- terampilan, dan lebih mengandalkan semangat di- bandingkan tenaga. Dengungan anak-anak panah- nya seakan-akan berkata bahwa orang-orang hina itu tak pantas menerima panah tersebut, bahwa mata panah-panah itu merupakan anugerah dari orang yang akan mcmimpin seluruh negeri. Namun panah-panah yang dibawa Ano pun habis dengan cepat.

Di sana-sini terlihat musuh yang tewas oleh panahnya. Tapi, sambil menantang tembakan yang dilepaskannya, sejumlah prajurit berbaju tempur berteriak lantang dan terus mendesak maju, sampai akhirnya berhasil memanjat ke selasar.

"Yang Mulia Nobunaga sudah di depan mata! Yang Mulia tak bisa lolos! Serahkan kepala Yang Mulia dengan jantan!"

Jumlah musuh tak kalah dari jumlah burung gagak yang memenuhi pohon besar yang tersohor di pagi dan sore hari. Para pembantu pribadi serta pelayan muncul dari selasar belakang dan samping, dan mengambil tempat di sekeliling Nobunaga. Pedaang-pedang mereka tampak berkilau, meman- carkan api yang lahir dari kenekatan. Mereka takkan membiarkan musuh mendekat. Kakak- beradik Mori tampak di antara mereka. Beberapa dari orang-orang ini, yang menolak meninggalkan junjungan mereka dan bertempur untuk melin- dunginya, kini menindih lawan masing-masing, sama-sama tewas oleh tangan yang lainnya.

Korps penjaga di kuil luar telah memilih kuil utama sebagai medan laga, dan kini terlibat pertempuran sengit dan berdarah guna mencegah musuh mendekati pekarangan dalam. Tapi karena ujung selasar sudah hampir berada dalam geng- gaman musuh, seluruh korps penjaga yang ber- jumlah kurang dari dua puluh orang segera ber- satu dan bersama-sama bergegas ke bagian dalam.

Dengan demikian, para prajurit Akechi yang telah memanjat ke selasar dijepit dari dua sisi. Tertusuk dan tertebas, mereka berguguran dan jatuh tumpang tindih. Ketika orang-orang dari kuil luar melihat Nobunaga masih selamat, mereka bersorak gembira. "Sekarang waktunya! Sekarang! Mundur secepat mungkin!"

"Bodoh!" Nobunaga menghardik sambil men- campakkan busurnya yang patah. Ia pun kehabisan panah. "Ini bukan waktu untuk mundur! Kemari- kan tombakmu!"

Sambil memarahi mereka, ia merebur senjata salah seorang pengikut dan berlari bagaikan singa, menyusuri selasar. Ketika menemui musuh yang hendak memanjat lewat pagar, ia segera meng- hunjamkan tombak.

Saat itulah seorang prajurit Akechi menarik busurnya dari bayang-bayang pohon cemara hitam dari Cina. Panah yang dilepaskannya menancap di siku Nobunaga. Terhuyung-huyung ke belakang, Nobunaga bersandar pada daun penutup jendela di belakangnya.

Pada saat yang sama, terjadi kericuhan kecil di luar tcmbok barat. Sekelompok pengikut dan prajurit di bawah komando Murai Nagato dan putranya telah keluar dari kediaman Gubernur Kyoto, yang terletak berdekaran dengan Kuil Honno. Sambil menyerang pasukan Akechi dari belakang, mereka mencoba memasuki pekarangan kuil melalui gerbang utama.

Malam sebelumnya, Murai dan putranya sempat berbincang-bincang dengan Nobunaga dan Nobu- tada sampai larut malam. Ia kembali ke ke- diamannya sekitar giliran jaga ketiga. Itulah sebab- nya Murai tidur begitu nyenyak, sehingga tak me- nyadari bahaya yang mengancam. Sebagai guber- nur ibu kota, mestinya ia mengetahui kedatangan pasukan Akechi sejak mereka menginjak wilayah kekuasaannya. Dan kemudian ia seharusnya segera mengirim peringatan ke Kuil Honno, biarpun peringatan itu tiba hanya sesaat sebelum pasukan musuh tiba.

Kelalaiannya berakibat fatal. Namun sesungguh- nya kesalahan tidak terletak pada Murai semata- mata. Kelalaian bisa dituduhkan pada semua orang yang tinggal di ibu kota atau mempunyai rumah di sana.

"Rupanya ada keriburan di luar," Nagato diberi- tahu pada waktu ia terbangun. Ia sama sekali tidak memiliki bayangan mengenai apa yang tengah terjadi.

"Barangkali ada perkelahian atau semacamnya. Coba kauperiksa." ia menyuruh bawahannya. Kemudian, ketika ia dengan santai turun dari tempat tidur, ia mendengar anak buahnya ber- teriak dari atas gerbang . "Ada asap di Nishikikoji!"

Murai berdecak dan bergumam. "Pasti ke- bakaran di Jalan Got."

Namun ia keliru menyangka dunia diliputi kedamaian, dan ia sama sekali lupa bahwa perang sipil belum berakhir.

"Apa?! Pasukan Akechi?" Rasa kagetnya hanya bertahan sekejap. "Keparat!" Kemudian ia melesat keluar, hanya dengan pakaian yang melekat di tubuhnya. Begitu melihat kerumunan penunggang kuda berbaju tempur di tengah kabut pagi, lengkap dengan pedang dan tombak, ia kembali ke dalam, membongkar lemari berisi baju tempur, menge- nakannya, dan meraih pedang.

Disertai hanya sekitar tiga puluh sampai empat puluh orang, ia bergegas untuk bertempur di sisi Nobunaga. Bcrbagai kesatuan Akechi telah menye- bar di jalan-jalan besar dan kecil di sekitar Kuil Honno dan telah menutup semuanya. Bentrokan dengan pasukan Murai bermula di salah satu pojok pada tembok barat pekarangan kuil, dan ber- kembang menjadi pertarungan satu lawan satu yang sengit. Setelah mengatasi patroli musuh yang relatif kecil itu, Murai beserta rombongannya berhasil mendekati gerbang utama; tapi ketika satu detasemen pasukan Akechi mengetahui per- gerakan ini, mereka segera menyiapkan tombak dan menyerang. Murai dan rombongannya bukan tandingan mereka, dan ia maupun putranya meng- alami luka-luka. Dengan kekuatan tinggal setengah- nya, ia terpaksa berpaling ke arah lain.

"Usahakan mencapai Kuil Myokaku! Kita akan bergabung dengan Yang Mulia Nobutada!"

Di atas atap Kuil Honno yang besar, asap hitam pekat mulai membubung ke angkasa. Siapa yang menyulut kebakaran di dalam biara? Pasukan Akechi, pengikut-pengikut Nobunaga, atau bahkan Nobunaga sendiri? Situasinya begitu kacau-balau. sehingga tak seorang pun dapat memastikannya.

Asap mulai mengepul dari kuil luar, dari sebuah ruangan di pekarangan dalam, dan dari dapur. semua nya pada wakru hampir bersamaan.

Seorang pelayan dan dua laki-laki muda ber- tempur bagaikan kerasukan di dapur. Sepertinya para biksu pengurus kuil telah bangun pada dini hari—walau tak seorang pun dari mereka ke- lihatan—sebab kayu bakar di bawah kuali-kuali raksasa telah dinyalakan.

Si pelayan berdiri di ambang pintu dapur dan menikam paling tidak dua prajurit Akechi yang berhasil menyusup. Ketika tombaknya akhirnya di- rebut oleh musuh yang semakin banyak, ia lalu melompat ke pelataran kayu dan menghalau mereka dengan melemparkan peralatan dapur dan apa saja yang berada dalam jangkauan tangannya.

Seorang ahli seni teh dan seorang pelayan lainnya juga mengacungkan pedang dan bertempur dengan gagah di sisi pelayan pertama. Dan walau- pun musuh-musuh mereka memandang rendah pada orang-orang yang bersenjata ringan, muda. dan lemah ini, karena merekalah sejumlah prajurit berbaju tempur lengkap tak dapat naik ke pe- lataran kayu.

"Kenapa begitu lama?"

Seorang prajurit yang tampaknya komandan para penyerang meraih sepotong kayu terbakar dari dalam tungku, lalu melemparkannya ke wajah ketiga orang tadi. Kemudian ia melemparkan puntung berapi ke gudang dan ke arah langit- langit.

"Di dalam!"

"Dia pasti di dalam!"

Sasaran mereka adalah Nobunaga.

Seketika mereka mendesak maju, menendang- nendang kayu bakar yang menyala dengan sandal jerami mereka, sambil menyebar di dalam bangunan. Dengan cepat lidah api menjilat pintu- pintu dan pilar-pilar, menjalar bagaikan tumbuhan rambat berdaun merah. Pelayan dan ahli seni teh tak bergerak ketika mereka pun mulai terselubung api.

Keadaan di kandang ingar-bingar. Sepuluh atau lebih kuda dilanda panik dan menendang-nendang dinding kandang. Dua kuda akhirnya mematahkan palang dan berlari keluar sambil melompar-lompat tak terkendali. Keduanya menerjang barisan Akechi, sementara kuda-kuda lainnya meringkik semakin keras, karena melihat api yang berkobar- kobar. Para samurai yang bertugas di kandang telah meninggalkan pos masing-masing dan ber- gabung untuk mempertahankan tangga di pe- karangan dalam, tempat Nobunaga terakhir kali terlihat. Mereka berjuang sampai titik darah peng- habisan, dan akhirnya gugur bersama-sama.

Para petugas kandang pun, yang seharusnya dapat melarikan diri, tak beranjak dari tempat dan bertempur sampai mati. Orang-orang ini biasanya tak pernah disebut-sebut, tapi hari ini mereka membuktikan dengan mengorbankan nyawa bahwa mereka tak kalah dari orang-orang ber- pangkat.

Sambil membawa tombaknya yang berlumuran darah, seorang prajurit Akechi berlari dari ruangan ke ruangan. Ia berhenti ketika melihat salah satu rekannya di tengah kepulan asap.

"Minoura?" "Hei!"

"Kau sudah berhasil?" "Bclum."

Bersama-sama mereka lalu mencari Nobunaga— atau tepatnya mereka berlomba-lomba untuk lebih dulu menemukannya. Tak lama kcmudian mereka berpencar lagi, mencari jalan sendiri-sendiri, me- nembus asap.

Api rupanya telah menyebar di bawah atap, dan bagian dalam kuil mulai meretih. Bahkan lapisan kulit serta bagian-bagian logam baju tempur para prajurit pun terasa panas ketika dipegang. Dalam sekejap bangunan itu mulai berisi mayat dan para prajurit Akechi. tapi orang-orang Akechi pun ber- lari keluar ketika api merambat ke atap.

Mereka yang masih bertahan di dalam terbatuk- batuk karena asap atau terselubung abu. Pintu- pintu dan dinding-dinding geser di bangsal telah diporak-porandakan, dan kini potongan-potongan kain brokat emas yang terbakar serta serpihan- serpihan kayu menyala tampak beterbangan, me- mancarkan cahaya terang benderang. Tapi keadaan di dalam ruang-ruang kecil tetap gelap. Semua selasar dipenuhi asap tebal yang mengaburkan pandangan.

Ranmaru bersandar pada pintu rahasia yang menuju ruangan yang tengah dijaganya. kemudian pelan-pelan menegakkan badan. Dengan tombak berlumuran darah di tangan, ia memandang ke kiri, lalu ke kanan. Mendengar suara langkah, ia segera menyiagakan tombaknya.

Sambil memusatkan seluruh perhatian pada indra pendengarannya, ia berusaha menangkap suara-suara dari ruangan di belakangnya. Sosok putih yang baru saja melangkah ke dalam adalah sang Jendral Kebenaran, Nobunaga. Ia bertempur sampai melihat bahwa kuil diselubungi api, dan bahwa orang-orang di sekitarnya telah tewas. Ia ter- libat pertarungan jarak dekat dengan prajurit- prajurit bawahan, seakan-akan ia setingkat dengan mereka. Namun masalahnya bukan sekadar men- jaga nama dan menyesal karena harus menyerah- kan kepala pada orang yang tak berarti. Ajal manusia telah ditentukan, jadi ia pun tidak menyesal kalau harus kehilangan nyawa. Yang disesalinya hanya bahwa ia akan kehilangan karya agungnya.

Kuil Myokaku terletak berdekatan. Kediaman Gubernur Kyoto juga tidak jauh. Kecuali itu juga ada samurai yang tinggal di dalam kota. Kalau ada yang dapat menghubungi dunia luar. Kemung- kinan lolos belum tertutup, pikir Nobunaga. Di pihak lain, komplotan ini tentu didalangi oleh si Kepala Jeruk, Mitsuhide. Mitsuhide demikian cermat, sehingga jika mengambil tindakan seperti ini, ia akan memastikan bahwa air pun tak dapat merembes keluar. Baiklah, kalau begitu sudah waktunya bersiap-siap.

Kedua pikiran tersebut berkecamuk dalam benak Nobunaga.

Dengan iba ia menatap para pembantunya yang kini terbujur kaku, tewas dalam pertempuran, dan ia menyadari bahwa akhir hayatnya telah dekat. Setelah menarik diri dari pertempuran, ia masuk ke sebuah ruangan dan menempatkan Ranmaru sebagai penjaga pintu. "Kalau kau mendengar suaraku di dalam." katanya. "itu berarti aku telah melakukan bunuh diri. Letakkan tubuhku di bawah beberapa panel dinding dan bakarlah semuanya. Sampai saat ini, jangan biarkan musuh menerobos masuk." Nobunaga memberikan petunjuk-petunjuk ini sambil menatap mata Ran- maru.

Pintu kayunya cukup kokoh. Sejenak Nobunaga memandang lukisan-lukisan berwarna emas yang belum tersentuh api pada keempat dinding. Asap tipis mulai terlihat, namun sepertinya masih ada waktu sebelum api merambat ke dalam.

Ini saat kcberangkatan. Aku tak perlu terburu- buru.

Ia merasa seolah-olah ada orang yang berbicara padanya. Ketika masuk ke ruangan itu, ia terserang rasa haus yang seakan-akan membakar kerong- kongannya, bahkan mengalahkan hawa panas yang mengepungnya dari keempat sisi. Ia nyaris ambruk ketika hendak duduk di tengah-tengah ruangan, namun segera berubah pikiran dan pindah ke se- buah pelataran. Bagaimanapun, lantai di bawah- nya biasa ditempati oleh para pengikutnya. Ia membayangkan secawan air membasahi kerong- kongannya, dan berupaya agar segenap jiwanya berpusat tepat di bawah pusar. Untuk ini ia berlutut dengan gaya resmi, dengan kedua kaki ter- lipat di bawahnya, lalu menegakkan badan dan merapikan pakaiannya, dan mencoba bersikap se- akan-akan para pengikutnya sedang duduk di hadapannya. Sesaat berlalu sebelum napasnya yang tersengal- sengal menjadi tenang.

Inikah ajal?

Ia merasa begitu damai, sehingga ia menyangsi- kannya. Ia bahkan merasa ingin tertawa.

Ternyata aku pun salah sangka.

Bahkan ketika membayangkan kepala Mitsu- hide yang botak mengilap, ia sama sekali tidak me- rasakan kemarahan. Mitsuhide pun hanya manusia biasa, dan ia melakukan ini karena jengkel, Nobu- naga menduga-duga. Kelalaiannya sendiri merupa- kan kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan, dan ia menyesal bahwa kedongkolan Mitsuhide hanya menghasilkan kekerasan konyol ini. Ah, Mitsuhide, bukankah kau akan menyusulku dalam beberapa hari? tanyanya.

Tangan kirinya telah menggenggam sarung pedang pendeknya. Tangan kanannya menghunus senjata itu. Tak perlu terburu-buru.

Demikian Nobunaga memperingatkan diri sen- diri. Api belum merambat ke ruangannya. Ia me- mejamkan mata. Segala sesuatu yang diingatnya dari masa muda sampai sekarang melintas dalam benaknya, seakan-akan ia sedang menunggangi kuda yang berlari kencang. Ketika ia membuka mata, sepuhan emas dan lukisan-lukisan pada keempat dinding tampak merah membara. Lukisan peoni pada langit-langit berpola kotak- kotak bertunas api. Ia hanya memerlukan waktu setarikan napas untuk mati.

"Tak ada sesal!" Nobunaga berkata keras-keras. Ranmaru mendengar seruan Nobunaga dan ber-

gegas masuk. Majikannya. dengan kimono sutra berwarna putih, sudah tertelungkup di lantai, memeluk aliran darah segar. Ranmaru melepaskan pintu-pintu geser dari sebuah lemari kecil dan mengatur semuanya di atas jenazah Nobunaga. seakan-akan hendak membuat peti mati. Setelah menutup pintu dengan tenang, ia berdiri agak jauh dari pelataran. Ia meraih pedang pendek yang akan digunakannya untuk melakukan seppuku, namun pandangan matanya yang bersinar-sinar melekat pada jenazah Nobunaga, sampai seluruh ruangan dimangsa api.

***

Selama tiga hari pertama Bulan Keenam, langit di atas Kyoto tampak cerah dan matahari bersinar terik. Namun cuaca di provinsi-provinsi Barat yang bergunung-gunung berganti-ganti cerah dan men- dung. Hujan deras terus turun sampai akhir Bulan Kelima. Kemudian, selama dua atau tiga hari pada awal Bulan Keenam, angin tenggara meniup awan- awan dari selatan ke utara, dan langit berganti- ganti cerah dan berawan.

Sebagian besar orang yang bosan dengan hujan dan kelembapan berharap musim hujan segera berakhir, tapi pasukan Hideyoshi, yang masih me- neruskan pengepungan Benteng Takamatsu, me- manjatkan doa pada Delapan Raja Naga untuk mengirim hujan dan lebih banyak hujan—senjata utama mereka di medan tempur. Benteng itu masih terputus dari dunia luar akibat danau berawa yang mengelilinginya. Di sana-sini, puncak pohon-pohon yang terendam tampak menyembul dari permukaan air, seperti rambut orang yang menderita penyakit kulit kepala.

Di kota benteng, tinggal atap rumah-rumah orang kebanyakan yang masih berada di atas air rumah-rumah para petani di daerah-daerah rendah sudah lenyap. Tak terhitung jumlah potongan kayu busuk yang terbawa arus berlumpur, atau terapung-apung di tepi danau.

Sepintas lalu, riak pada pcrmukaan air yang ber- warna kuning lumpur seakan-akan tak bergerak. Namun ketika para prajurit memperhatikan tepi danau, mereka melihat bahwa permukaan air terus naik, inci demi inci,

"Nah, itu ada tontonan menarik! Lihat ke sebelah sana. Mereka sama saja seperti kalian!"

Hideyoshi duduk di atas kuda. Kata-katanya ditujukan kepada para pelayan yang berada di belakangnya."

"Di mana?"

Penuh rasa ingin tahu para pelayan menoleh ke arah yang ditunjuk majikan mereka. Ternyata sekawanan burung bangau putih sedang hinggap di atas kayu yang terapung. Para pelayan, yang semuanya masih remaja, mengangkat bahu dan tertawa-tawa kecil. Sambil mendengarkan obrolan mereka yang kekanak-kan akan, Hideyoshi me- mutar kudanya dan kembali ke perkemahan.

Itu terjadi pada malam hari ketiga di Bulan Keenam. Berita mengenai peristiwa di Kyoto tak mungkin sudah sampai ke telinga Hideyoshi.

Hampir setiap hari Hideyoshi memeriksa per- kemahan, disertai sekitar lima puluh sampai seratus orang. Kadang-kadang para pelayan pun ikut dalam rombongan. Mereka membawa payung besar bergagang panjang dan berbaris sambil mengibarkan panji komandan yang berwarna cerah. Para prajurit yang melihat "iring-iringan agung" tersebut menengadahkan kepala dan ber- pikir. "Itu pemimpin kami. Pada hari-hari saat mereka tidak melihatnya, mereka merasa ada sesuatu yang kurang."

Sambil berkuda. Hideyoshi menatap para prajurit di kiri-kanannya, orang-orang berkeringat dan berlumuran darah yang menikmati makanan yang nyaris tak dapat di makan, para prajurit yang selalu gembira dan hampir tak mengenal rasa jemu.

Hideyoshi merindukan hari-hari saat ia sendiri menjadi bagian dari kelompok anak muda yang riang gembira. Lima tahun lalu ia diberi komando operasi ini. Pertempuran sengit yang terjadi di Benteng Kozuki, Benteng Miki, dan tempat-tempat lain sangat menguras tenaga. Tapi di samping kesengsaraan akibat perang, sebagai jendral ia pun acap kali menemui krisis mental.

Nobunaga laki-laki yang sukar dipuaskan, dan menunjukkan pengabdian dari jauh tanpa mengu- sik ketenangan pikirannya tidaklah mudah. Selain itu, jendral-jendral di sekitar Nobunaga kurang berkenan melihat karier Hideyoshi melesat. Meski demikian, Hideyoshi tetap merasa bersyukur, dan di pagi hari, pada waktu memanjatkan doa kepada Dewi Matahari, ia tak pernah lalai mengucapkan terima kasih atas segala cobaan yang ditimpakan padanya selama lima tahun itu.

Takkan ada orang yang dengan sengaja mencari kesulitan seperti itu. Hideyoshi merasa bahwa para dewa, apa pun rencana yang mereka simpan untuk dirinya, tak henti-hentinya memberi kesulitan demi kesulitan. Adakalanya ia bersyukur atas segala penderitaan dan kemalangan di masa muda- nya, sebab hanya karena itu ia dapat mengatasi kelemahan jasmaninya dan tetap bertahan hidup.

Saat ini strategi serangan air terhadap Benteng Takamatsu telah dilaksanakan, dan Hideyoshi tinggal menunggu kedatangan Nobunaga dari Timur. Di Gunung Hizashi, pasukan Mori ber- kekuatan tiga puluh ribu orang di bawah komando Kikkawa dan Kobayakawa menunggu untuk me- nyelamatkan benteng sekutu mereka, jika cuaca sedang cerah, payung dan panji komandan Hide- yoshi terlihat jelas oleh pihak musuh.

Tepat pada waktu Hideyoshi kembali ke per- kemahan seorang kurir tiba melalui Jalan Raya Okayama dan segera dikepung oleh para pengawal. Jalan tersebut menuju perkemahan Hideyoshi di Bukit Ishii, tapi lewat jalan yang sama kurir itu juga dapat melintasi Hibata, lalu meneruskan perjalanan ke perkemahan Kobayakawa Takakage di Gunung Hizashi. Dengan sendirinya jalan itu dijaga ketat.

Kurir itu telah memacu kudanya sepanjang jalan, sejak ia berangkat pada hari sebelumnya, tanpa berhenti untuk makan maupun minum. Pada waktu para pengawal membawanya ke per- kemahan, ia sudah jatuh pingsan.

Waktu itu Jam Babi. Hideyoshi masih bangun. Ketika Hikoemon kembali, ia, Hideyoshi, dan Hori Kyutaro pergi ke bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal Hideyoshi. Di sana ketiga orang itu duduk bersama untuk waktu lama.

Pertemuan itu bersifat sangat rahasia, sehingga para pelayan pun disuruh pergi. Hanya Yuko sang penyair yang diperkenankan hadir, dan ia duduk di balik pintu kertas, mengaduk teh.

Tiba-tiba terdengar suara langkah mendekati bangunan itu. Para palayan, yang diberi tugas mengamankan daerah sekitarnya, segera meng- hadang orang yang baru datang.

Suara para pelayan terdengar amat genting, sementara orang yang mereka hadang rupanya ber- darah panas.

"Yuko, ada apa itu?" Hideyoshi bertanya. "Hamba tidak pasti. Barangkali ada pelayan dan

penjaga yang bertengkar." "Coba periksa." "Tentu."

Yuko bangkit dan melangkah keluar, membiar- kan perlengkapan minum teh tergeletak di tempat. Ketika melihat ke luar, ia menemukan bahwa Asano Nagamasa-lah yang dihadang oleh para

pelayan.

Namun para pelayan muda telah diperintahkan untuk menghalau setiap orang, dan mereka ber- tekad melaksanakan perintah tersebut dengan sebaik-baiknya, tanpa memandang siapa yang mereka hadapi. Asano menanggapi sikap mereka dengan mengancam bahwa ia akan memaksa masuk jika tidak diberi jalan. Para pelayan lalu mempersilakan Asano mencobanya. Mereka memang tak lebih dari pelayan, tapi mereka pun telah diberi tugas, dan mereka hendak membukti- kan bahwa mereka bukan hiasan belaka.

Yuko mula-mula menenangkan para penjaga yang berusia muda, kemudian bertanya, "Tuan Asano, ada apa sebenarnya?"

Asano menunjukkan kotak surat yang digeng- gamnya, lalu memberitahukan kedatangan kurir dari Kyoto. Ia sudah tahu bahwa Hideyoshi se- dang mengadakan pertemuan tertutup, tapi karena beranggapan bahwa berita yang dibawa tentu tidak menyangkut soal sepele, ia hendak ber-bicara se- bentar dengan junjungannya.

"Harap tunggu sejenak," Yuko kembali ke dalam, tapi segera kembali dan mengajak Asano masuk.

Asano mengikutinya sambil mengintip ke ruang sebelah. Para pelayan di dalam bungkam. Mereka membuang muka dan sama sekali tak mengacuh- kannya.

Sambil menggeser sebuah lentera, Hideyoshi berpaling pada Asano yang baru muncul di pintu.

"Hamba mohon maaf, karena mengganggu pertemuan ini."

"Tidak apa-apa. Rupanya ada berita. Siapa pengirimnya?"

"Hamba diberitahu bahwa beritanya berasal dari Hasegawa Sojin, Yang Mulia."

Asano menyodorkan kotak surat. Lapisan ber- kilap pada kulitnya memantulkan cahaya lentera.

"Berita dari Sojin?" tanya Hideyoshi sambil meraih kotak itu.

Hasegawa Sojin merupakan teman minum teh Nobunaga. Ia tak seberapa akrab dengan Hide- yoshi, jadi aneh rasanya kalau ahli seni minum teh ini tiba-tiba mengirim berita penting ke per- kemahan Hideyoshi. Kecuali itu, menurut Naga- masa, si kurir meninggalkan Kyoto pada siang sebelumnya dan baru tiba pada jam Babi.

Itu berarti ia menempuh perjalanan sejauh sekitar dua ratus mil dari ibu kota ke perkemahan Hideyoshi dalam waktu satu hari dan setengah malam. Itu bukan perjalanan santai, untuk ukuran kurir sekalipun. Tak pelak lagi bahwa ia tidak makan maupun minum, dan bahwa ia berkuda sepanjang malam.

"Hikoemon, geser lenteranya ke sini."

Hideyoshi membungkuk dan membuka surat Sojin. Suratnya pendek dan rupanya ditulis dengan terburu-buru. Tapi ketika membacanya. bulu kuduk Hideyoshi langsung berdiri tcgak.

Ketiga orang lainnya duduk di belakang Hideyoshi, agak jauh, namun ketika melihat bahwa warna kulitnya mendadak berubah dari tengkuk sampai ke telinga, tanpa sadar Kyutaro, Asano, dan Hikoemon mencondongkan badan ke depan.

Asano bertanya, "Yang Mulia... ada apa?"

Begitu mendengar suara Asano, Hideyoshi segera sadar kembali. Seakan menyangsikan kata- kata yang tercantum dalam surat itu, ia memaksa- kan diri membaca semuanya sekali lagi. Kemudian air matanya mulai membasahi surat yang isinya tak perlu diragukan lagi.

"Yang Mulia, mengapa Yang Mulia menangis?" tanya Hikoemon.

"Tidak biasanya Yang Mulia bersikap seperti ini."

"Kabar burukkah yang disampaikan pada tuan- ku?"

Ketiga-tiganya menyangka surat itu berhu- bungan dengan ibu Hideyoshi yang ditinggalkan- nya di Nagahama.

Selama perang, mereka jarang membicarakan kehidupan pribadi masing-masing, tapi jika mereka menyinggungnya, Hideyoshi selalu berbicara ten- tang ibunya, jadi kini mereka membayangkan ibunya sakit keras atau telah meninggal.

Hideyoshi akhirnya menghapus air mata dan duduk lebih tegak. Roman mukanya jadi teramat serius, dan dukanya yang mendalam seolah-olah diwarnai kemarahan. Kemarahan yang tidak lazim dirasakan bila salah satu orangtua meninggal.

"Aku tak sanggup menyampaikannya pada kalian. Kalian bertiga majulah dan lihat ini." Ia menyerahkan surat Sojin dan menoleh ke arah lain, sambil menyembunyikan air mata dengan lengan kimono.

Ketika membaca surat itu, Asano, Kyutaro. dan Hikoemon tampak seperti disambar petir. Nobu- naga dan Nobutada telah tiada. Betulkah itu? Semisterius inikah dunia? Kyutaro, khususnya, sempat bertemu Nobunaga sebelum bertolak ke Bukit Ishii. Ia bahkan datang atas perintah Nobunaga, dan kini ia berulang kali mengamati surat di hadapannya, tak kuasa mempercayai isinya. Baik Kyutaro maupun Hikoemon men- cucurkan air mata, dan lentera di meja bisa saja dipadamkan oleh air mata mereka. Hideyoshi duduk dengan gelisah. Ia sudah dapat menguasai diri, mulutnya terkatup rapat-rapat.

"Hci! Coba ke sini!" ia berseru ke arah ruang para pelayan. Seruannya menggetarkan langit- langit, dan baik Hikoemon maupun Asano—yang sama-sama terkenal gagah berani—begitu kaget, sehingga terlompat dari bantal masing-masing. Betapa tidak, sesaat sebelumnya Hideyoshi masih berlinang air mata, seakan-akan hatinya remuk redam.

"Ya, tuanku!" seorang pelayan membalas, jawaban itu diiringi suara langkah penuh semangat. Mendengar bunyi langkah dan suara Hideyoshi, duka Kyutaro dan Hikoemon tiba-tiba menguap.

"Tuanku?"

"Siapa itu?" Hideyoshi bertanya. "Ishida Sakichi, tuanku."

Sakichi yang berbadan pendek muncul dari bayang-bayang pintu geser ke ruang sebelah. Ia maju sampai ke tengah-tengah tatami, lalu ber- paling ke arah lentera di ruang rapat dan mem- bungkuk sambil menempelkan kedua tangan ke lantai. "Sakichi, pergilah ke perkemahan Kanbei. Beritahu dia bahwa aku perlu segera bicara dengannya. Cepat!"

Kalau saja situasi mengizinkan, Hideyoshi akan menangis tersedu-sedu. Ia telah mengabdi pada Nobunaga sejak berusia tujuh belas tahun. Kepala- nya pernah ditepuk-tepuk oleh tangan Nobunaga, dan dengan tangannya sendiri ia membawa sandal junjungannya itu. Dan kini junjungannya tidak lagi bersama mereka. Hubungan antara Nobunaga dan dirinya bukan hubungan biasa. Mereka se- darah, sekeyakinan, sehidup, dan semati. Tanpa disangka-sangka, sang junjungan mendahului diri- nya, dan Hideyoshi menyadari bahwa mulai saat ini, ia sendiri yang menentukan arah kehidupan- nya.

Tak seorang pun mengenalku seperti beliau, pikir Hideyoshi. Di saat-saat terakhir, di tengah kobaran api yang melanda Kuil Honno, beliau tentu memanggil-manggil namaku dalam hati, dan mengembankan kepercayaan padaku. Walau tak berarti, aku takkan berpaling dari junjunganku dan mengkhianati kepercayaan yang telah diberi- kannya. Itulah janji Hideyoshi. Dan ia bersungguh- sungguh. Pemikirannya sederhana saja: Sesaat sebelum mengembuskan napas penghabisan, Nobunaga sempat meninggalkan perintah terakhir untuk Hideyoshi.

Hideyoshi memahami betapa besar kekesalan junjungannya. Berdasarkan sikap Nobunaga, Hide- yoshi dapat membayangkan penyesalan dalam dada junjungannya karena terpaksa meninggalkan dunia ini pada saat kerjanya baru rampung setengahnya. Ketika memikirkan masalahnya dari segi ini. Hideyoshi tak sanggup lagi menyimpan duka dalam hati, juga tak ada waktu guna menyusun rencana-rencana untuk masa depan. Raganya berada di Barat, tapi jiwanya sudah meng- hadapi musuh, Akechi Mitsuhide.

Namun masih ada perranyaan: bagaimana menangani musuh yang berada di depan hidung- nya, di Benteng Takamatsu. Dan bagaimana ia harus menangani pasukan Mori yang berkekuatan tiga puluh ribu orang? Adakah strategi jitu agar ia segera dapat meninggalkan wilayah Barat dan pindah ke Kyoto? Bagaimana menghancurkan Mitsuhide; masalah-masalah yang dihadapinya membentang bagaikan barisan pegunungan.

Sepertinya ia telah mengambil keputusan. Peluangnya satu berbanding seribu, dan tekadnya untuk mempertaruhkan nyawa pada kemungkinan ini tercermin dari roman mukanya yang berkerut- kerut.

"Di mana kurir itu sekarang?" Hideyoshi ber- tanya pada Asano, segera setelah si pelayan pergi.

"Hamba memerintahkan para samurai untuk mcnyuruhnya menunggu di dekat kuil utama." jawab Asano. Hideyoshi memberi isyarai pada Hikoemon. "Bawa dia ke dapur dan berikan makanan

padanya. Tapi setelah itu kurung dia di salah satu ruangan dan jangan biarkan satu orang pun bicara dengannya." ia memerintahkan.

Ketika Hikoemon berdiri sambil mengangguk, Asano bertanya, apakah ia sebaiknya juga pergi.

Hideyoshi menggelengkan kepala. "Jangan, aku ada perintah lain untukmu, jadi tunggulah se- bentar lagi. Asano, kuminta kau memilih beberapa samurai yang mempunyai telinga tajam dan kaki lincah. Tempatkan mereka di semua jalan dari Kyoto ke wilayah kekuasaan Mori, jangan sampai hal ini bocor. Tangkap semua orang yang kelihatan mencurigakan. Kalaupun mereka tidak mencuriga- kan, periksa identitas mereka, dan geledah barang- barang yang mereka bawa. Ini sangat penting. Laksanakan perintah ini dengan segera, dan ber- hati-hatilah."

Asano langsung pergi. Kini tinggal Kyutaro dan Yuko.

"Jam berapa sekarang, Yuko?" "Pertengahan kedua Jam Babi."

"Sekarang hari ketiga di bulan ini, bukan?" "Benar."

"Besok hari keempat." Hideyoshi bergumam. "Hari keempat, lalu hari kelima." Dengan mata setengah terpejam, ia menggerak-gerakkan jari pada lutut, seakan-akan sedang berhttung. "Sukar rasanya bagi hamba untuk duduk ber- pangku tangan di sini. Sudikah Yang Mulia mem- berikan tugas pada hamba?" Kyutaro bertanya.

"Tidak, aku ingin menunggu sedikit lebih lama di sini," ujar Hideyoshi, berusaha menyabarkan- nya. "Sebentar lagi Kanbei akan datang. Aku tahu Hikoemon sudah mengurus kurir itu, tapi mumpung ada waktu, mengapa kau tidak me- meriksanya sekali lagi?"

Kyutaro segera berdiri dan pergi ke dapur kuil. Si kurir berada di sebuah ruangan kecil di sebelah dapur, sedang melahap makanan yang diberikan padanya. Orang itu belum makan maupun minum sejak siang hari sebelumnya, dan ketika ia akhirnya selesai makan, ia duduk sambil menyandarkan punggung. Perutnya tampak membuncit.

Hikoemon memanggilnya dengan isyarat tangan dan mengantamya ke sebuah ruangan, di daerah kamar-kamar para biksu, ruang penyimpanan naskah-naskah suci. Sambil mengucapkan selamat tidur. Hikoemon mempersilakan orang itu masuk, lalu mengunci pintunya dari luar. Saat itulah Kyutaro menghampiri Hikoemon dan berbisik di telinganya.

"Yang Mulia khawatir berita mengenai peristiwa di Kyoto terdengar oleh para prajurit."

Sorot mata Kyutaro mencerminkan niatnya untuk membunuh si kurir, tapi Hikoemon meng- gelengkan kepala. Setelah berjalan beberapa lang- kah, Hikoemon berkata, "Kemungkinan dia akan mati di ruangan itu karena makan terlalu banyak. Biarlah dia mati dengan tenang."

Sambil mengarahkan pandangannya ke ruangan tadi. Hikoemon menegakkan telapak tangan di depan dada dan berdoa. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar