Buku Enam
Bab 25 : Kewajiban Seorang Pengikut
OPERASI-OPERASI militer di bawah pimpinan Hideyoshi di provinsi-provinsi Barat dan di bawah pimpinan Mitsuhide di Tamba, serta pengepungan Benteng Itami yang berkepanjangan masih terus menyibukkan Nobunaga. Operasi militer di provinsi- provinsi Barti dan pengepungan Benteng Itami masih menghadapi jalan buntu, dan hanya di Tamba ada sedikit kemajuan. Setiap hari tak terhitung banyaknya surat dan laporan yang datang dari ketiga kawasan itu. Semua dokumen disaring oleh perwira-perwira staf dan para asisten pribadi, sehingga Nobunaga hanya membaca yang terpenting saja.
Di antara surat-surat ini ada sepucuk surat dari Sakuma Nobumori. Nobunaga membacanya, lalu mencampakkannya dengan gusar. Orang yang bertugas mengumpulkan surat-surat yang dibuang adalah pelayan kepercayaan Nobunaga—Ranmaru. Karena menduga perintah Nobunaga diabaikan, diam- diam ia membaca surat itu. Ternyata tak ada sesuatu pun dalam surat itu yang mungkin membuat Nobunaga marah. Bunyinya sebagai berikut:
Di luar dugaan hamba, Hanbei ternyata belum mengambil tindakan apa pun untuk melaksanakan perintah Yang Mulia. Sebagai kurir Yang Mulia, hamba mengingatkannya akan kesalahannya, mem-beritahunya bahwa jika ia mengabaikan perintah Yang Mulia, hamba akan dituduh lalai. Hamba kira perintah Yang Mulia akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Masalah ini sangat membebani hamba, dan dengan segala kerendahan hati hamba memohon kemurahan hati Yang Mulia.
Orang mendapat kesan bahwa di balik kata- katanya. Nobumori terutama mencoba menutup- nutupi kesalahannya sendiri. Dan sebenarnya memang demikian niatnya. Namun Ranmaru tak melihat apa yang tersirat.
Kemarahan Nobunaga atas surat itu, dan kesadaran bahwa Nobumori telah berubah, baru belakangan terwujud nyata. Sampai saai itu, rasanya sukar bagi siapa pun selain Nobunaga untuk memahami perasaan sesungguhnya. Gelagat yang terlihat hanyalah bahwa Nobunaga tidak tampak marah karena sikap Hanbei—bahkan setelah menerima surat Nobumori— dan bahwa setelah kejadian itu, urusan tersebut dilupakan. Nobunaga sendiri memang tidak mempermasalahkannya lagi. Tapi Hanbei tentu saja tidak menyadari perubahan rumit dalam pemikiran Nobunaga. Akhirnya bukan Hanbei, melainkan Oyu dan pan pengikut yang merawat Hanbei, yang merasa bahwa Hanbei harus melakukan sesuatu. Rupanya ia belum memutuskan langkah apa yang akan diambil- nya.
Satu bulan berlalu. Pohon-pohon prem sedang berbunga di gerbang utama Kuil Nanzen dan sekeliling tempat tetirah Hanbei. Hari demi hari berlalu dan matahari pun bertambah hangat, tapi kondisi Hanbei tidak membaik.
Ia tidak tahan kejorokan, jadi setiap hari ia minta agar kamar tidurnya dipel sampai bersih, dan setelah itu ia biasa duduk berjemur di serambi.
Adiknya membuatkan teh untuknya, dan satu- satunya kesenangan selama sakit adalah mengamati uap mengepul-ngepul dari cawan teh, di tengah sinar matahari pagi yang cerah.
"Kakak kelihatan lebih segar pagi ini," Oyu berkata dengan gembira.
Hanbei menggosok pipi dengan tangannya yang kurus. "Rupanya aku pun tak luput dan pengaruh musim semi, ini menyenangkan. Selama dua atau tiga hari terakhir aku merasa cukup baik," ia menjawab sambi tersenyum.
Suasana hati dan pancaran wajahnya memang membaik selama dua atau tiga hari terakhir, dan Oyu merasa senang ketika menatapnya pagi ini. Tapi tiba- tiba ia jadi sedih karena teringat kata-kata dokter. "Kecil harapan untuk sembuh." Namun Oyu tak mau menyerah pada perasaannya. Berapa banyak pasien yang pulih setelah dokter mereka menyatakan tak ada harapan lagi? Oyu berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan merawat kakaknya sampai sehat kembali— melihat Hanbei dalam keadaan sehat merupakan hasrat yang dibaginya bersama Hideyoshi, yang sehari sebelumnya mengirim surat dari Harima untuk mem- besarkan hati Hanbei. "Kalau keadaanmu terus membaik seperti ini, kau pasti sudah sanggup bangun pada waktu pohon-pohon ceri berbunga."
"Oyu, selama ini aku hanya merepotkanmu, bukan?"
'Kakak jangan bicara begitu."
Hanbei tertawa lemah. "Aku belum pernah mengucapkan terima kasih karena kita kakak-adik, tapi pagi ini aku merasa harus mengatakan sesuatu. Barangkali karena aku merasa jauh lebih baik."
"Aku bahagia membayangkannya."
"Sudah sepuluh tahun berlalu sejak kita meninggal- kan Gunung Bodai."
Waktu berjalan cepat. Kalau kita melihat ke belakang, kita sadar bahwa hidup berlalu seperti mimpi."
"Kau terus berada di sisiku dari waktu itu, mem- buatkan makananku pagi dan malam, mengurusku. bahkan menyiapkan obatku."
"Ah, sesungguhnya belum lama. Dulu Kakak terus berkata bahwa Kakak takkan pernah pulih. Tapi begitu kesehatan Kakak membaik, Kakak bergabung dengan Yang Mulia Hideyoshi, ikut bertempur di Sungai Ane, Nagashino, dan Echizen. Kakak cukup sehat waktu itu, bukan?
"Kurasa kau benar. Tubuh lemah ini ternyata cukup alot."
"Jadi, asal Kakak mau menjaga diri, kali ini pun Kakak akan sehat lagi. Aku bertekad agar Kakak dapat kembali seperti semula."
"Aku bukannya ingin mati." "Kakak tidak akan mati!"
"Aku ingin hidup. Aku ingin hidup untuk memastikan dunia ini menemukan kedamaian lagi. Ah, kalau saja aku sehat, aku bisa membantu junjunganku dengan segenap kemampuanku." Suara Hanbei mendadak bertambah pelan. Tapi umur manusia, siapa yang tahu? Apa yang dapat kulakukan dalam keadaan seperti ini?"
Ketika menatap mata kakaknya, hati Oyu terasa pedih. Adakah sesuatu yang disembunyikan kakaknya? Bunyi lonceng di Kuil Nanzen menandai jam siang.
Walaupun seluruh negeri dilanda perang sipil. orang- orang terlihat memandang pohon-pohon prem yang tengah bcrbunga, dan suara burung bulbul terdengar di antara kuntum-kuntum bunga yang gugur.
Musim semi tahun itu dianggap menyenangkan, tapi Bulan Kedua belum berlalu. Ketika malam tiba dan lentera-lentera mulai berkelap-kelip. Hanbei kembali terbatuk-batuk. Di malam hari, Oyu harus bangun beberapa kali untuk menggosok-gosok punggung kakaknya. Memang ada pengikut-pengikut lain, tapi Hanbei tidak mau diurus seperti itu oleh mereka.
"Mereka semua akan ikut ke medan tempur bersamaku. Tak sepantasnya mereka diminta menggosok-gosok punggung orang sakit," ia menjelaskan. Malam itu pun Oyu bangun untuk memijit-mijit punggung kakaknya. Ketika pergi ke dapur untuk menyiapkan obat, ia tiba-tiba mendengar suara di luar, seakan-akan ada orang yang menyenggol pagar bambu. Oyu memasang telinga. Ia mendengar suara bisik-bisik di luar.
"Ada lentera. Tunggu sebentar. Pasti ada yang bangun." Suara-suara di luar itu semakin dekat. Kemudian seseorang mengetuk daun penutup jendela.
"Siapa itu?" tanya Oyu.
"Tuan Putri? Hamba Kumataro dari Kurihara.
Hamba baru kembali dari Itami."
"Kumataro ada di luar!" Oyu berseru pada Hanbei. Ia membuka pintu geser di dapur dan melihat tiga laki-laki berdiri dalam cahaya bintang.
Kumataro meraih ember yang disodorkan Oyu padanya. Ia memanggil kedua rekannya, dan bertiga mereka pergi ke sumur.
Oyu bertanya-tanya siapa kedua orang itu. Kumataro adalah pengikut yang mereka asuh di Gunung Kurihara. Pada waktu itu namanya masih Kokuma, tapi kini ia sudah menjadi samurai muda yang gagah. Setelah Kumataro menimba dan menuangkan air ke dalam ember yang diterimanya dari Oyu, kedua orang lain itu membersihkan tangan dan kaki dari lumpur dan membilas lengan baju untuk menghilangkan darah.
Meski malam telah larut. Hanbei menyuruh Oyu menyalakan lentera di ruang tamu yang kecil, memasukkan beberapa potong arang membara ke dalam anglo, dan mengambil bantal-bantal untuk para tamu.
Ketika Hanbei memberitahunya bahwa salah satu dari kedua orang yang menyertai Kumataro pasti Kuroda Kanbei, Oyu tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. Oyu telah banyak mendengar berita simpang-siur mengenai Kuroda: bahwa ia ditawan di Benteng Itami sejak tahun lalu, atau bahwa ia telah menyeberang ke kubu musuh dan tinggal di sana atas kemauannya sendiri. Biasanya tidak semua pengikut diajak bicara mengenai urusan tugas oleh Hanbei— apalagi mengenai urusan rahasia seperti ini—sehingga Oyu pun tidak mengetahui ke mana Kumataro pergi sebelum Tahun Baru, atau mengapa ia pergi umuk waktu begitu lama.
"Oyu, tolong bawakan mantelku," ujar Hanbei.
Walau cemas akan kesehatan kakaknya, Oyu tahu bahwa Hanbei akan berkeras menemui para tamu tanpa memedulikan penyakitnya. Ia memasang mantel pada bahu kakaknya.
Setelah menyisir rambut dan berkumur, Hanbei keluar ke ruang penerima tamu, tempat Kumataro dan kedua tamu lainnya sedang duduk menunggu sambil membisu.
Hanbei menanggapi tegur sapa para tamu dengan perasaan mendalam. "Ah, kau selamat!" lalu duduk dan meraih tangan Kanbei. "Aku mencemaskanmu." "Kau tak perlu cemas karena aku. Seperti kaulihat, aku baik-baik saja," balas Kanbei.
"Untung saja kau berhasil."
"Rupanya aku telah menimbulkan kekhawatiran dalam dirimu. Aku mohon maaf."
"Bagaimanapun, kita patut bersyukur bahwa kita dipertemukan lagi. Bagiku ini kegembiraan besar."
Tapi siapakah laki-laki yang satu lagi, yang lebih tua, yang memperhatikan Hanbei dan Kanbei sambil membisu, enggan mengganggu perjumpaan kedua sahabat itu? Akhirnya Kanbei minta agar ia mem- perkenalkan diri.
"Hamba kira ini bukan pertama kali kita bertemu, tuanku. Hamba pun mengabdi pada Yang Mulia Hideyoshi, dan hamba sering melihat tuanku dari jauh. Hamba anggota pasukan ninja yang tidak sering bergaul dengan para samurai lain, jadi mungkin saja Tuanku tak ingat pada hamba. Hamba keponakan Hachisuka Hikoemon. Watanabe Tenzo. Hamba gembira sekali bisa berkenalan dengan tuanku."
Hanbei menepuk lutut. "Kau Watanabe Tenzo! Aku sudah mendengar banyak mengenaimu. Dan rasanya aku memang pernah melihatmu sekali-dua kali sebelum ini."
Kumataro berkata, "Hamba secara kebetulan bertemu Tenzo di penjara di Benteng Itami. Rupanya dia menyusup ke sana dengan maksud yang sama seperti hamba."
"Hamba tidak tahu apakah ini sekadar kebetulan atau memang sudah digariskan oleh para dewa, tapi hanya karena kami berdua bertemu kami dapat mem- bebaskan Yang Mulia Kanbei. Seandainya kami bertindak sendiri-sendiri, kami tentu akan terbunuh dalam usaha itu," ujar Tenzo sambil tersenyum.
Tenzo menyusup ke Benteng Itami karena Hideyoshi pun berusaha membebaskan Kuroda Kanbei. Mula-mula Hideyoshi mengirim urusan untuk membujuk Araki Murashige agar melepaskan Kanbei, kemudian ia menggunakan jasa seorang biksti Buddha yang dipercaya Murashige dengan maksud sama. Ia telah menempuh segala cara, tapi Murashige tetap menolak membebaskan Kanbei. Sebagai upaya terakhir, Hideyoshi memerintahkan Tenzo untuk mengeluarkan Kanbei dari penjara.
Tenzo menyusup ke dalam benteng, lalu mem- peroleh kesempatan untuk membebaskan Kanbei. Para penghuni benteng sedang merayakan sesuatu, dan seluruh keluarga Araki Murashige serta semua pengikutnya berkumpul di ruang pertemuan utama, sementara setiap prajurit memperoleh jatah sake. Kebetulan malam itu amat gelap, tanpa bulan maupun angin. Tenzo tahu bahwa itulah waktu untuk bertindak. Ia telah mempelajari medan, dan sedang menyelidiki daerah di bawah menara ketika ia melihat orang lain mengintai ke dalam penjara, seseorang yang kelihatannya bukan penjaga. Orang itu tentunya juga menyusup ke dalam Benteng. Ia memperkenalkan diri sebagai pengikut Takenaka Hanbei, Kumataro.
"Aku agen Yang Mulia Hideyoshi," balas Tenzo. Dengan demikian, keduanya mengetahui bahwa mereka mengemban tugas yang sama. Bersama-sama mereka mencongkel jendela penjara dan membebas- kan Kanbei. Terselubung kegelapan, mereka melewati tembok pertahanan, mengambil perahu kecil dari pintu air di belakang selokan, lalu melankan diri.
Setelah mendengarkan penjelasan terperinci mengenai kesulitan-kesulitan yang mereka lalui, Hanbei berpaling pada Kumataro dan berkaia. "Aku sempat cemas bahwa kau kusuruh menjalankan tugas yang tak mungkin berhasil, dan aku menyadari bahwa peluangmu hanya satu atau dua berbanding sepuluh. Ini pasti berkat pertolongan para dewa. Tapi apa yang terjadi pada hari-hari sesudahnya? Dan bagaimana kalian bisa sampai di sini?"
Kumataro berlutut penuh hormat. Tampaknya ia tidak merasa bangkit karena telah melakukan sesuatu yang patut dipuji. "Keluar dari benteng ternyata tidak seberapa sukar. Kesulitan sesungguhnya baru meng- hadang kemudian. Pasukan Araki berjaga-jaga di sana- sini, di balik pagar kayu runcing, jadi kami beberapa kali terkepung, dan kadang-kadang kami terpisah satu sama bun di tengah-tengah tombak dan pedang musuh. Akhirnya kami berhasil menerobos barisan mereka, tapi Yang Mulia Kanbei sempat mendapat cedera di lutut kiri, dan karenanya kami tak dapat berjalan jauh. Kami terpaksa bermalam di sebuah gudang jerami. Kami bergerak pada malam hari dan tidur di kuil-kuil di tepi jalan selama hari terang. Akhirnya kami berhasil sampai ke Kyoto."
Kanbei melanjutkan ceritanya, "Kalau saja kami bisa menghubungi pasukan Oda yang mengepung Benteng Itami, semuanya tentu lebih mudah. Tapi menurut apa yang kudengar di dalam benteng. Araki Murashige telah mengumumkan bahwa Yang Mulia Nobunaga mencurigai tindak-tandukku. Dia memberi- tahu orang-orang bahwa aku sebaiknya pindah ke kubunya, tapi aku hanya menanggapinya dengan senyum."
Kanbei memaksakan senyum sedih, dan Hanbei mengangguk tanpa bcrkomentar.
Pada waktu semua pertanyaan telah terjawab, langit malam sudah kelihatan putih pucat. Oyu sedang memasak sup di dapur.
Keempat laki-laki itu merasa lelah setelah ber- bincang-bincang sepanjang malam, dan semuanya tidur sejenak. Begitu terbangun, mereka melanjutkan pembakaran.
"Oh, ya," Hanbei berkata pada Kanbei. "Aku tahu ini amat mendadak, tapi aku merencanakan untuk pulang ke Mino hari ini, lalu pergi ke Azuchi untuk menghadap Yang Mulia Nobunaga. Karena aku akan menyampaikan kisahmu pada Yang Mulia, kusarankan kau langsung menuju Harima."
"Tentu aku tak ingin menyia-nyiakan waktu, biarpun hanya satu hari," ujar Kanbei, tapi kemudian ia menatap Hanbei dengan ragu. "Kau masih sakit. Bagaimana pengaruh perjalanan mendadak ini terhadap kesehatanmu?"
"Aku memang sudah berniat pergi ke sana. Kalau aku tunduk pada penyakitku, takkan ada habis- habisnya. Lagi pula aku merasa lebih sehat belakangan ini."
"Tapi kau harus pulih sepenuhnya. Aku tidak tahu seberapa mendesak urusan yang akan kaukerjakan, tapi tak bisakah kau menundanya beberapa waktu dan bertetirah di sini?" Kanbei bertanya.
"Aku terus berdoa agar aku cepat sembuh seiring datangnya Tahun Baru, dan kesehatanku pun kujaga baik-baik. Setelah yakin kau selamat, aku tidak lagi dihantui kecemasan. Aku telah melakukan kejahatan, dan aku harus menerima hukuman di Azuchi. Rasanya hari ini hari yang baik untuk bangkit dari tempat tidur dan mengucapkan selamat tinggal."
"Kejahatan yang harus dihukum di Azuchi?"
Baru sekarang Hanbei memberitahu Kanbei bagai- mana ia mengabaikan perintah Nobunaga selama lebih dari satu tahun.
Kanbei terpukul sekali. Kecurigaan Nobunaga ter- hadapnya masih dapat dimengerti. Tapi bahwa Nobunaga memberi perintah agar kepala Shojumaru dipenggal, itu sama sekali di luar dugaan Kanbei.
"Begitukah kejadiannya?" Kanbei mengeluh. Tiba- tiba perasaannya terhadap Nobunaga menjadi dingin dan hampa. Begitu besar risiko yang telah dipikulnya— menyusup ke Benteng Itami seorang diri, dipenjara, mempertaruhkan nyawa—tapi akhirnya untuk siapakah ia berkorban? Pada saat yang sama, ia tak dapat menahan air mata karena kepercayaan yang di- perlihatkan Hideyoshi dan persahabatan Hanbei.
"Aku berutang budi, tapi kenapa kau mau me- lakukan ini demi putraku? Kalau keadaannya memang seperti ini, biarlah aku sendiri yang pergi ke Azuchi untuk menjelaskan semuanya."
"Jangan, akulah yang melakukan kejahatan dengan melalaikan perintah. Satu-satunya permintaanku adalah agar kau bergabung dengan Yang Mulia Hideyoshi di Harima. Entah aku dianggap bersalah atau tidak, aku tahu bahwa hari-hariku di dunia ini sudah bisa dihitung. Aku berharap kau secepat mungkin menuju Harima."
Hanbei bersujud di hadapan Kanbei, seakan-akan memohon kesediaan sahabatnya itu. Ia memperlihat- kan tekad seseorang yang dirongrong penyakit. Kecuali itu, ia Hanbei, laki-laki yang sukar tergoyahkan; sekali mengucapkan sesuatu, ia takkan menariknya kembali.
Hari itu kedua sahabat tersebut berpisah, satu menuju ke timur, satu ke barat. Kanbei hendak bergabung dengan pasukan Hideyoshi di Harima, disertai oleh Watanabe Tenzo. Hanbei bertolak ke Mino, hanya disertai oleh Kumataro.
Mata Oyu berkaca-kaca ketika ia mengantar kakak- nya ke gerbang Kuil Nanzen. Ia membayangkan bahwa Hanbei mungkin takkan kembali lagi. Para biksu berusaha menghibur Oyu dengan berkata bahwa kesedihannya akan segera berlalu, tapi akhirnya mereka hampir terpaksa memapahnya pada waktu kembali dari gerbang utama.
Hanbei pun diusik oleh pikiran serupa, dan kesedihannya bahkan lebih mendalam lagi. Tubuhnya terayun-ayun di atas kuda ketika ia mendekati sebuah tanjakan.
Tiba-tiba Hanbei menarik tali kekang, seakan-akan baru teringat sesuatu. "Kumataro," ujarnya, "ada sesuatu yang lupa kukatakan tadi. Aku akan menulis- kannya, kuminta kau kembali dan menyerahkannya pada Oyu." Ia mengambil secarik kertas, menuliskan sesuatu, dan menyerahkannya pada Kumataro. "Aku akan jalan pelan-pelan, supaya kau bisa menyusul nanti."
Kumataro mengambil surat itu, membungkuk hormat, dan berlari-lari kembali ke kuil.
Bukan cuma sekali aku melakukan kesalahan. Ia berpikir sedih sambil memandang Kuil Nanzen untuk terakhir kali. Aku tidak menyesal mengenai jalan yang kutempuh, tapi mengenai adikku... Ia membiar- kan kudanya melangkah semaunya.
Jalan yang ditempuh seorang samurai adalah jalan lurus, dan setelah Hanbei turun dari Gunung Kurihara, tak sekali pun ia menyimpang dari jalan tersebut. Ia pun takkan menyesal seandainya hidupnya berakhir hari itu. Tapi ia merasa sedih karena Oyu telah menjadi gundik Hideyoshi. Sebagai kakak Oyu, Hanbei terus-menerus merasa dicela oleh suara hatinya. Bagaimanapun, Oyu berada di sampingnya ketika tiba waktu untuk menentukan jalannya sendiri, Hanbei berkata dalam hati. Ia yang harus disalahkan, bukan adiknya. Diam-diam ia mencemaskan tahun- tahun yang membentang di depan adiknya setelah ia tiada.
Betapa malang kaum perempuan. Kebahagiaan mereka tak pernah bertahan seumur hidup. Hanbei semakin sedih karena ia merasa telah menodai kesucian Jalan Samurai—jalan yang didasarkan pada kematian. Entah berapa kali ia merenungkan masalah ini sambil menggcrutu, berpikir bahwa ia harus mohon maaf pada Hideyoshi dan minta diberhenti- kan, atau bahwa ia harus membebaskan diri dari perasaan bersalah dengan meminta agar adiknya hidup dalam pengasingan. Tapi kesempatan untuk itu tak pernah muncul.
Kim ia akan menempuh perjalanan terakhir dan ia tahu bahwa ia tidak akan kembali, jadi tentu saja ia hendak menyampaikan pandangannya mengenai urusan ini pada Oyu. Ia tak sanggup berkata apa-apa ketika Oyu berdiri di hadapannya, tapi sekarang barangkali ia bisa menulis sajak pendek yang mungkin lebih mudah diterima oleh adiknya. Setelah ia tiada, Oyu mungkin dapat menggunakan alasan berkabung untuk menjauhkan diri dari kelompok perempuan yang berkerumun di sekitar kamar tidur Hideyoshi, seperti tanaman rambat di sebuah gerbang.
Pada waktu tiba di kediamannya di Mino, Hanbei segera berziarah ke makam leluhurnya, lalu mampir sejenak di Gunung Bodai. Sudah lama ia tidak berkunjung ke sana, tapi ia tidak menyerah pada keinginannya untuk tinggal lebih lama.
Ketika bangun keesokan paginya, ia cepat-cepat merapikan rambut dan memanaskan air untuk mandi, sesuatu yang jarang dilakukannya.
"Panggil Ito Hanemon ke sini!" ia memerintahkan.
Kicauan burung bulbul sering terdengar, baik dari dataran di sekitar Gunung Bodai maupun dari pohon- pohon di pekarangan benteng.
"Hamba siap menerima perintah, tuanku." Dengan pintu geser di belakangnya, seorang samurai setengah baya berpenampilan kokoh membungkuk rendah- rendah. Ito adalah wali Shojumaru.
"Hanemon? Masuklah. Hanya kau yang memahami masalah ini secara terperinci, tapi keberangkatan Shojumaru ke Azuchi akhirnya tak dapat ditunda- tunda lagi. Kita berangkat hari ini juga. Aku tahu ini mendadak, tapi tolong beritahu semua pembantu dan suruh mereka bersiap-siap untuk perjalanan ini."
Hanemon memahami kesulitan majikannya. dan wajahnya mendadak pucat.
"Berarti nyawa Tuan Muda Shojumaru..."
Hanbei melihat orang tua itu gemetar, dan untuk menenangkannya ia berkata sambil tersenyum, "Tidak, kepalanya takkan dipenggal. Aku akan mereda- kan kemarahan Yang Mulia Nobunaga, walaupun untuk itu aku harus mengorbankan nyawaku sendiri. Begitu dibebaskan dari Benteng Itami, ayah Shojumaru langsung menuju garis depan di Harima, suatu bukti bahwa dia tidak bersalah. Kini tinggal satu hal yang belum terselesaikan, yaitu kelalaianku dalam menjalankan perintah Yang Mulia."
Tanpa berkata apa-apa, Hanemon menarik diri dan pergi ke kamar Shojumaru. Ketika mendekat, ia mendengar suara gembira anak itu, diiringi bunyi rebana. Shojumaru diperlakukan begitu baik oleh marga Takenaka, sehingga sukar untuk membayang- kan bahwa ia dititipkan sebagai sandera.
Jadi, ketika para pengasuhnya, yang tidak mengetahui situasi sesungguhnya, mendengar bahwa mereka harus bersiap-siap untuk melakukan per- jalanan, mereka tentu saja cemas akan keselamatan Shojumaru.
Hanemon berusaha menenteramkan hati mereka. "Kalian tak perlu takut. Percayalah pada rasa keadilan Yang Mulia Hanbei. Kurasa sebaiknya kita serahkan semuanya pada beliau."
Shojumaru tidak tahu apa yang terjadi dan terus bermain dengan riang, memukul rebana dan menari- nari. Walaupun ia seorang sandera, ia mewarisi ketabahan ayahnya dan menjalani latihan samurai. Ia sama sekali bukan anak kecil yang takut-takut.
"Apa kata Hanemon?" tanya Shojumaru sambil meletakkan rebana. Melihat roman muka pengasuh- nya, anak itu menyadari bahwa terjadi sesuatu, dan ia pun tampak cemas.
"Tuan Muda tak perlu khawatir." salah satu pengasuhnya menjawab. "Kita harus segera bersiap-siap untuk pergi ke Azuchi."
"Siapa yang akan pergi ?" "Tuan Muda sendiri."
"Aku ikut juga? Ke Azuchi?"
Para pengasuh memalingkan wajah, agar anak itu tak dapat melihat air mata mereka. Begitu Shojumaru mendengar kata-kata mereka, ia melompat berdiri dan bertepuk tangan.
"Betulkah? Hore!" Dan ia berlari kembali ke kamarnya. "Aku akan pergi ke Azuchi! Mereka bilang aku akan pergi bersama Yang Mulia Hanbei. Tak ada lagi menari dan menabuh rebana, berhenti semuanya!"
Kemudian ia bertanya keras-keras. "Pantaskah pakaianku ini?"
Ito masuk dan berkata, "Yang Mulia ingin agar Tuan Muda mandi dan mengatur rambut dengan rapi."
Para pengasuh membawa Shojumaru ke pemandi- an, menyuruhnya berendam di dalam bak, dan merapikan rambutnya. Tapi ketika mereka mulai membantunya mengenakan pakaian untuk perjalanan itu, mereka melihai bahwa baju dalam maupun kimono yang disediakan untuknya terbuat dari sutra putih—pakaian kematian. Para pembantu Shojumaru segera menyangka bahwa Ito sengaja berbohong untuk menenangkan mereka, dan bahwa kepala anak itu akan dipenggal di hadapan Nobunaga. Mereka mulai berurai air mata lagi, tapi Shojumaru sama sekali tidak memperhatikan mereka dan mengenakan kimono putih, baju luar dari kain brokat berwarna merah, serta jubah dari sutra Cina. Berpakaian seperti ini dan diapit oleh kedua pembantunya, ia dibawa ke kamar Hanbei
Dalam keadaan riang gembira, Shojumaru tidak memedulikan wajah sedih para pembantunya. Ia justru mendesak Hanbei. "Mari kita berangkat."
Hanbei akhirnya berdiri dan berkata kepada para pengikutnya. "Tolong urus segala sesuatu setelah ini." Ketika mereka merenungkan ucapannya kemudian, mereka menyadari bahwa junjungan mereka memberi tekanan khusus pada kata-kata "setelah ini".
***
Seusai pertempuran di Sungai Ane, Nobunaga telah memberi kesempatan pada Hanbei untuk meng- hadapnya. Pada kesempatan itu Nobunaga berkata, "Kudengar dari Hideyoshi bahwa dia memandangmu bukan sebagai pengikut belaka, melainkan sebagai guru. Harap kauketahui bahwa aku pun tidak meremehkanmu."
Setelah itu, saat Hanbei diperkenankan menghadap atau sekadar pergi ke Azuchi, Nobunaga memper- lakukannya seperti pengikutnya sendiri.
Kini Hanbei mendaki jalan ke Benteng Azuchi, membawa serta putra Kanbei, Shojumaru. Didera penyakit, kelelahan tampak jelas di wajahnya, namun dengan mengenakan pakaian terbaiknya, ia berjalan langkah demi langkah dengan kepala tegak, menaiki menara tempat Nobunaga duduk. Kedatangan mereka telah dilaporkan pada Nobunaga semalam sebelum- nya, dan ia sudah menunggu.
"Begitu jarang aku bertemu denganmu," Nobunaga berkata dengan gembira ketika melihat Hanbei. "Aku senang kau ada di sini. Mendekatlah. Kau boleh mengambil bantal. Pelayan, ambilkan sesuatu yang bisa diduduki Hanbei." Sambil memperlihatkan simpati yang luar biasa, ia berkata pada Hanbei yang tetap bersujud penuh hormat. "Sudah membaikkah keadaanmu? Bisa kubayangkan bahwa kau lelah jiwa- raga karena perang berkepanjangan di Harima. Menurut dokterku, terlalu berbahaya untuk mengirim- mu kembali ke medan tempur sekarang. Dia bilang kau harus beristrahat penuh selama paling tidak satu- dua tahun lagi."
Selama dua-tiga tahun terakhir. Nobunaga hampir tak pernah mengguna-kan kata-kata sehalus itu jika berbicara dengan seorang pengikut. Hati Hanbei diliputi kebingungan yang bukan berasal dari kegembiraan maupun kesedihan.
"Hamba tak patut menerima kemurahan hati seperti ini, Yang Mulia. Di medan laga, hamba jatuh sakit; setelah kembali, hamba tidak melakukan apa-apa selain menikmati kebaikan hati Yang Mulia. Hamba hanya orang sakit yang tidak melakukan apa-apa untuk tuanku."
"Tidak benar! Aku akan mengalami kesulitan besar jika kau tidak menjaga kesehatanmu. Jangan sampai Hideyoshi patah scmangat."
"Hamba mohon Yang Mulia jangan berkata begitu, sebab ucapan Yang Mulia membuat hamba malu hati," ujar Hanbei. "Sesungguhnya hamba memberanikan diri untuk minta waktu menghadap, karena tahun lalu Sakuma Nobumori menyampaikan perintah Yang Mulia mengenai eksekusi Shojumaru. Tapi sampai sekarang ..."
"Tunggu sebentar," Nobunaga memotong. Pandangannya beralih ke pemuda yang berlutut di samping Hanbei. "Shojumaru-kah itu?"
"Ya. Yang Mulia."
"Hmm, begitu. Dia mirip ayahnya, dan dia kelihatan sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Aku percaya dia memiliki masa depan yang cerah. Urus dia baik-baik, Hanbei."
"Kalau begitu, bagaimana dengan perintah Yang Mulia untuk mengirimkan kepalanya?" Tubuh Hanbei menegang dan ia menatap Nobunaga dengan mantap. Jika Nobunaga berkeras bahwa kepala anak itu harus dipenggal, Hanbei telah bertekad mempertaruhkan nyawa dengan menegur junjungannya. Tapi sejak awal pertemuan, tampaknya bukan itu maksud Nobunaga. Hanbei kini mulai menyadari.
Di bawah tatapan Hanbei, Nobunaga tiba-tiba tertawa keras-keras, seakan-akan tak sanggup lagi menyembunyikan kebodohannya. "Lupakan semua nya! Aku sendiri langsung menyesal begitu mem- berikan perintah itu. Aku memang orang yang mudah curiga. Urusan ini sangat merepotkan, baik bagi Hideyoshi maupun Kanbei. Tapi Hanbei yang bijak mengabaikan perintahku dan tidak membantai anak itu. Sesungguhnya, ketika aku mendengar bagaimana kau menangani masalah ini, aku merasa lega. Mana mungkin aku menyalahkanmu? Akulah yang harus disalahkan. Maafkanlah aku, tindakanku tidak pada tempatnya." Meski tidak menundukkan kepala atau membungkuk, Nobunaga tampaknya ingin segera mengalihkan pembicaraan.
Namun kemurahan haii Nobunaga tidak diterima begitu saja oleh Hanbei. Nobunaga menyuruhnya melupakan semuanya, membiarkan semuanya hanyut terbawa waktu, tapi roman muka Hanbei tidak memperlihatkan kegembiraan sedikit pun.
"Kelalaian hamba dalam menjalankan perintah Yang Mulia mungkin berpengaruh pada wibawa Yang Mulia di kemudian hari. Jika Yang Mulia membiarkan Shojumaru hidup karena Kanbei tidak bersalah dan telah berjasa, perkenankanlah anak muda ini mem- buktikan bahwa dia patut menerima kemurahan hati Yang Mulia. Kecuali itu, tak ada yang lebih meng- gembirakan bagi hamba selain menerima perintah Yang Mulia untuk melakukan sesuatu, guna menebus kesalahan hamba." Hanbei bicara dari lubuk hati yang paling dalam. Sekali lagi ia bersujud dan menunggu tanggapan Nobunaga. Inilah yang diinginkan Nobunaga sejak awal.
Setelah menerima pengampunan junjungannya untuk kedua kali, Hanbei berbisik agar Shojumaru mengucapkan terima kasih dengan sopan. Kemudian ia kembali berpaling pada Nobunaga. "Barangkali ini terakhir kali Yang Mulia dan hamba bertemu dalam hidup ini. Hamba berdoa agar keberuntungan di medan tempur semakin besar bagi Yang Mulia."
"Perkataanmu agak janggal, bukan? Apakah kau hendak menentang perintahku lagi?" Nobunaga mendesak Hanbei untuk menjelaskan maksudnya.
"Takkan pernah lagi." Hanbei menggelengkan kepala, lalu menatap Shojumaru. "Hamba mohon Yang Mulia sudi memperhatikan cara berpakaian anak ini. Dia akan bertolak ke Harima untuk bertempur di sisi ayahnya. Dia bertekad mengukir nama yang tak kalah harum dari nama Kanbei, siap menyerahkan segalanya pada nasib."
"Apa? Dia mau maju ke medan tempur?"
"Kanbei samurai tersohor, dan Shojumaru putra- nya. Hamba mohon Yang Mulia berkenan memberi- kan restu padanya. Suatu kebahagiaan tak terhingga jika Yang Mulia memerintahkannya berperang dengan gagah berani."
"Tapi bagaimana denganmu?" "Sebagai orang sakit, hamba sangsi bahwa hamba dapat menambah kekuatan pasukan kita, tapi rasanya ini waktu yang baik untuk menyertai Shojumaru dalam perjalanan menuju medan laga."
"Sanggupkah kau? Bagaimana dengan kesehatan- mu?"
"Hamba lahir sebagai samurai, dan meninggal dengan tenang di tempat tidur amatlah memalukan. Jika ajal tiba, manusia tak kuasa menolaknya."
"Kalau begitu, pergilah. Aku pun mengharapkan segala keberuntungan bagi Shojumaru dalam per- tempurannya yang pertama." Nobunaga memberikan isyarat mata kepada pemuda itu, lalu menyerahkan sebilah pedang pendek buatan ahli senjata terkemuka. Kemudian ia menyuruh seorang pengikut mengambil sake, dan mereka minum bersama-sama.