Taiko Bab 24 : Pengkhianatan Murashige

Bab 24 : Pengkhianatan Murashige

"BOHONG! Ini pasti kabar bohong!" Mula-mula Nobunaga tak dapat mempercayainya. Ketika berita mengenai pemberontakan ini sampai di telinga Nobunaga di Azuchi, tindakan pertama yang diambil Nobunaga adalah menyangkal kebenarannya. Tapi gawatnya keadaan segera terbukti ketika Takayama Ukon dari Takatsuki maupun Nakagawa Sebei dari Ibaragi mengikuti langkah Murashige dan mengibarkan bendera pemberontakan.

Nobunaga mengerutkan alis dengan cemas. Anehnya ia tidak menunjukkan kemarahan maupun wataknya yang cepat naik darah ketika menghadapi perkembangan tak terduga ini. Keliru jika orang menggolongkan watak Nobunaga sebagai api. Tapi keliru juga kalau dengan mengamati ketenangan wataknya ia digolongkan sebagai air. Pada saat dianggap api, ia menjadi air; pada saat dipandang sebagai air, ia menjadi api. Panasnya api dan dinginnya air saling berdampingan dalam dirinya.

"Panggil Hideyoshi!" Nobunaga tiba-tiba memerintahkan.

"Yang Mulia Hideyoshi telah bertolak ke Harima tadi pagi." Takigawa membalas dengan was-was.

"Dia sudah pergi?"

"Beliau tentu belum jauh. Dengan seizin tuanku, hamba akan mengambil kuda dan mengejar beliau." Jarang-jarang ada orang yang demikian tanggap, sehingga sanggup menyelamatkan junjungannya dari ketidaksabarannya sendiri. Ketika para pengikut menoleh untuk mencari tahu siapa orang itu, mereka melihat Ranmaru, pelayan setia Nobunaga.

Nobunaga meluluskan permintaannya dan mendesaknya agar bergegas.

Pagi berganti siang, dan Ranmaru belum juga kembali. Sementara itu, laporan-laporan para pengintai dari daerah Itami dan Benteng Takatsuki terus berdatangan. Satu laporan membuat terperanjat, karena berisi perkembangan baru lagi.

"Tadi pagi sebuah armada besar dari pihak Mori mendekati Pantai Hyogo. Prajurit-prajurit mendarat dan memasuki benteng Murashige di Hanakuma." Jalan raya pesisir di dekat Hyogo, yang melintas di bawah Benteng Hanakuma, merupakan satu-satunya jalan penghubung antara Azuchi dan Harima.

"Hideyoshi takkan sanggup menerobos." Ketika Nobunaga menyadari ini, ia juga memahami bahaya yang mengancam jika komunikasi antara pasukan Hideyoshi dan Azuchi terputus. Ia hampir dapat merasakan cengkeraman tangan musuh pada lehernya.

"Ranmaru sudah kembali ?" tanya Nobunaga. "Dia belum kembali ."

Sekali lagi Nobunaga termenung-menung. Marga Hatano, marga Bessho, dan Araki Murashige kini tibatiba memperlihatkan ikatan mereka dengan musuh— pihak Mori dan Honganji—dan Nobunaga merasa terkepung. Selain itu, kalau memandang ke Barat, ia melihat bahwa marga Hojo dan marga Takeda belum lama ini telah mencapai kesepakatan.

Ranmaru memacu kudanya melewati Otsu, dan akhirnya berhasil mengejar Hideyoshi di dekat Kuil Mii. Hideyoshi sedang beristirahat di sana. Ia telah mendapat kabar mengenai pemberontakan Araki Murashige, dan mengutus Horio Mosuke beserta dua atau tiga pengikut lain untuk memastikan kebenaran laporan itu dan mencari keterangan terperinci.

Ranmaru menghentikan kudanya dan berbicara pada Hideyoshi. "Yang Mulia menyuruh hamba mengejar Tuan. Beliau hendak berbicara lagi dengan Tuan. Sudikah Tuan kembali ke Azuchi secepat mungkin?"

Hideyoshi meninggalkan anak buahnya di Kuil Mii dan kembali ke Azuchi, hanya discrtai oleh Ranmaru. Dalam perjalanan, Hideyoshi membavangkan apa yang akan terjadi. Nobunaga tentu marah sekali karena pemberontakan Murashige. Murashige pertama kali mengabdi pada Nobunaga dalam serangan terhadap Istana Nijo, ketika mereka mengusir bekas shogun. Nobunaga adalah jenis orang yang suka menunjukkan rasa terima kasih pada semua orang yang menyenangkan hatinya, dan ia sangat menghargai keberanian Murashige. Kasih sayang Nobunaga terhadap Murashige melebihi kasih sayangnya terhadap kebanyakan orang. Dan Murashige telah mengkhianati kepercayaan Nobunaga. Hideyoshi dapat membayangkan bagaimana perasaan Nobunaga.

"Ranmaru, kau tidak mendengar apa-apa mengenai kejadian ini?" tanya Hideyoshi.

"Maksud Tuan, mengenai pengkhianatan Tuan Murashige?"

"Apa kiranya yang membuat dia begitu tidak puas, sehingga memberontak terhadap Yang Mulia Nobunaga?" Perjalanan yang mereka hadapi panjang, jika mereka terus bergegas, kuda-kuda yang mereka tunggangi akan ambruk. Ketika Hideyoshi menjalankan kudanya dengan pelan, ia menoleh ke arah Ranmaru di belakang, yang mengikutinya dengan kecepatan sama.

"Sebelumnya memang sudah ada desas-desus," ujar Ranmaru. "Di antara pengikut-pengikut Yang Mulia Murashige konon terdapat satu orang yang menjual beras jatah pasukan kepada para biksu-prajurit Honganji. Osaka sedang mengalami kekurangan beras. Sebagian besar jalan darat sudah terputus, dan jalurjalur laut diblokir oleh armada kita, jadi tak ada kemungkinan untuk mengangkut perbekalan dengan kapal-kapal perang Mori. Harga beras melambung tinggi, dan jika seseorang menjual beras di sana, dia bisa meraih keuntungan luar biasa. Itulah yang dilakukan oleh pengikut Yang Mulia Murashige, dan ketika perbuatannya terbongkar, Yang Mulia Murashige mengambil inisiatif dan mengibarkan bendera pemberontakan, karena merasa bahwa bagaimanapun juga Yang Mulia Nobunaga akan menuntut tanggung jawabnya atas kejahatan itu. Paling tidak, inilah cerita yang beredar."

"Kedengarannya seperti hasutan yang sengaja disebarkan oleh musuh. Ini pasti fitnah yang tak berdasar."

"Hamba pun sependapat. Dari apa yang hamba lihat, banyak orang merasa iri karena jasa-jasa Yang Mulia Murashige. Hamba rasa bencana ini disebabkan oleh kedengkian orang tertentu."

"Orang tertentu?"

"Tuan Mitsuhide. Setelah desas-desus mengenai Yang Mulia Murashige mulai terdengar, Tuan Mitsuhide terus menjelek-jelekkannya di hadapan Yang Mulia Nobunaga. Hamba selalu berada di sisi Yang Mulia, diam-diam memasang telinga, dan memang, hambalah salah seorang yang merasa gundah karena kejadian ini."

Ranmaru mendadak terdiam. Rupanya ia sadar bahwa ia terlalu banyak bicara, dan ia menyesalinya. Ranmaru menyembunyikan perasaannya terhadap Mitsuhide seperti anak perawan. Pada saat-saat seperti itu, Hideyoshi selalu bersikap tidak memperhatikan pembicaraan. Ia bahkan tampak tak peduli sama sekali.

"Ah, aku sudah bisa melihat Azuchi. Mari bergegas!" Begitu menunjuk ke kejauhan, Hideyoshi memacu kudanya. Sedikit pun ia tidak menanggapi ucapan rekan seperjalanannya. Gerbang utama benteng diramaikan oleh orang suruhan pengikut-pengikut yang mendengar kabar mengenai pemberontakan Murashige dan datang ke benteng, serta oleh kurir-kurir dari provinsi-provinsi tetangga. Hideyoshi dan Ranmaru mencmbus kerumunan orang itu dan memasuki benteng dalam, tapi diberitahu bahwa Nobunaga sedang mengadakan pertemuan. Ranmaru masuk dan berbicara dengan Nobunaga, lalu cepat-cepat kembali dan memberitahu Hideyoshi. "Yang Mulia minta Tuan menunggu di Ruang Bambu." Ia mengantar Hideyoshi ke sebuah menara bertingkat tiga di benteng dalam.

Ruang Bambu merupakan bagian kediaman Nobunaga. Hideyoshi duduk seorang diri, memandang ke danau. Tak lama kemudian Nobunaga muncul, berseru gembira melihat Hideyoshi, dan mengambil tempat duduk dengan mengabaikan segala formalitas. Hideyoshi membungkuk penuh normal dan tetap membisu. Keheningan berlangsung selama beberapa saat. Tak ada yang angkat bicara.

"Bagaimana pendapatmu mengenai ini, Hideyoshi?" Inilah ucapan pertama Nobunaga, dan kata-kata itu menunjukkan bahwa berbagai pendapat yang dikemukakan dalam pertemuan belum menghasilkan keputusan.

"Araki Murashige adalah laki-laki yang luar biasa jujur. Hamba tidak bermaksud buruk, tapi dia bisa disebut orang bodoh dengan keberanian menonjol. Hanya saja hamba tak menduga bahwa dia begitu bodoh," balas Hideyoshi.

"Tidak." Nobunaga menggelengkan kcpala. "Aku tidak sependapat. Dia tak lebih dari sampan. Dia merasa was-was mengenai masa depanku, dan mengadakan kontak dengan marga Mori, karena silau oleh keuntungan yang terbayang. Ini perbuatan orang berpikiran dangkal. Murashige terjebak oleh kedangkalannya sendiri.''

"Sebenarnya dia hanya orang bodoh. Dia telah menikmati kebaikan berlcbihan, dan tak punya alasan untuk merasa tidak puas," ujar Hideyoshi.

"Orang yang berniat memberontak pasti akan mewujudkan niatnya, tak peduli betapa baiknya dia diperlakuan." Nobunaga mengemukakan perasaannya tanpa tedeng aling-aling. Ini pertama kali Hideyoshi mendengar Nobunaga menyebut seseorang sebagai sampah. Biasanya Nobunaga takkan bicara demikian karena marah atau benci; justru karena ia tidak memperlihatkan kemarahan secara terbuka, pertemuan tadi belum menghasilkan keputusan. Namun, seandainya Hideyoshi ditanya, ia pun kehabisan akat. Haruskah mereka menyerang Benteng Itami? Ataukah mereka harus mendekati Murashige dan membujuknya untuk membuang jauh-jauh gagasan pemberontakan? Masalahnya, mereka harus memilih satu dari kedua alternatif itu. Menaklukkan Benteng Itami tentu tidak sukar. Tapi penyerbuan daerah Barat baru saja dimulai. Jika mereka salah langkah dalam urusan sepele ini, ada kemungkinan semua rencana mereka terpaksa ditinjau kembali .

"Bagaimana kalau hamba bertindak sebagai utusan dan berunding dengan Murashige?" Hideyoshi mengusulkan.

"Jadi, kau pun berpendapat bahwa kita sebaiknya tidak menggunakan kekerasan?"

"Kecuali kalau terpaksa," balas Hideyoshi. "Mitsuhide dan dua atau tiga orang lain juga

menyarankan demikian. Kau sependapat dengan mereka, tapi rasanya lebih baik orang lain yang dikirim sebagai utusan."

"Tidak, hamba ikut bertanggung jawab atas kejadian ini. Murashige wakil hamba, dan karena itu juga bawahan hamba. Jika dia melakukan tindakan bodoh..."

"Tidak!" Nobunaga menggelengkan kepala dengan tegas. "Mengirim utusan yang terlalu akrab dengannya tidak bermanfaat. Aku akan mnugaskan Matsui, Mitsuhide. dan Mami. Mereka takkan membujuk Murashige, melainkan sekadar menyelidiki kebenaran desas-desus yang beredar."

"Itu langkah tepat," Hideyoshi menyetujui. Kemudian ia mengucapkan beberapa patah kata demi kepentingan Murashige maupun Nobunaga. "Ada pepatah yang mengatakan bahwa kebohongan biksu Buddha disebut kebijaksanaan, dan bahwa pemberontakan dalam marga samurai disebut strategi. Tuanku jangan tcrpancing untuk bertempur, sebab itu hanya menguntungkan pihak Mori." "Aku tahu."

"Sesungguhnya hamba ingin menunggu hasil perundingan para utusan, tapi masalah-masalah di Harima membuat hamba tidak tenang. Barangkali lebih baik jika hamba segera mohon diri."

"Benar?" Nobunaga tampak agak enggan melepaskan Hideyoshi. "Bagaimana dengan jalan yang menuju ke sana? Rasanya mustahil kau bisa melewati Hyogo kalau tidak berhati-hati sekali."

"Jangan khawatir, masih ada jalur laut."

"Hmm, apa pun hasilnya. aku akan memberitahukannya padamu. Dan jangan lalai mengirim kabar untukku."

Akhirnya Hideyoshi berangkat. Meski lelah, dari Azuchi ia menyebcrangi Danau Biwa ke Otsu, bermalam di Kuil Mii, dan keesokan harinya bertolak ke Kyoto. Ia menyuruh dua pelayannya mendahului rombongan dengan perintah untuk menyiapkan kapal di Sakai, sementara ia dan para pengikutnya menempuh perjalanan ke Kuil Nanzen. Di sana ia mengumumkan bahwa mereka akan berhenti sejenak untuk melepas lelah.

Di kuil ini ada seseorang yang ingin ditemuinya. Orang itu tentu saja Takenaka Hanbei yang sedang bertetirah di tempat bertapa di Kuil Nanzen.

Para biksu menjadi bingung karena kedatangan tak terduga seorang tamu agung, tapi Hideyoshi berbicara dengan salah satu dari mereka, dan minta agar mereka meniadakan sambutan yang biasa diberikan kepada tamu yang setaraf dengannya.

"Semua pengikutku membawa bekal, jadi kebutuhan kami hanya air panas untuk membuat teh. Dan karena aku datang untuk menengok Takenaka Hanbei, aku tak perlu disuguhi sake maupun teh. Setelah selesai bicara dengan Hanbei, aku akan berterima kasih jika dibuatkan makanan ringan." Akhirnya ia bertanya, "Apakah keadaan si pasien sudah membaik sejak kedatangannya?"

"Kelihatannya dia hanya mengalami sedikit kemajuan, tuanku," si biksu menjawab sedih.

"Obatnya diminum secara teratur?" "Baik pagi maupun malam."

"Dan dia diperiksa dokter secara berkala?"

"Ya, ada dokicr yang khusus datang dari ibu kota. Dan dokter pribadi Yang Mulia Nobunaga pun mengunjunginya secara teratur."

"Apakah dia sedang bangun?"

"Tidak, dia tidak bangun selama tiga hari terakhir." "Di mana dia sekarang?"

"Di tempat bertapa, jauh dari keramaian."

Kerika Hideyoshi melangkah ke pekarangan, seorang pembantu yang melayani Hanbei berlari untuk menyambutnya. "Tuan Hanbei sedang berganti pakaian agar dapat mencmui tuanku," anak itu berkata.

"Dia tidak boleh bangun." Hideyoshi menggerutu, lalu mempercepat langkahnya menuju tempat bertapa. Ketika Hanbei mendengar bahwa Hideyoshi hendak menjenguknya, ia langsung minta agar tempat tidurnya disingkirkan dan menyuruh seorang pelayan untuk menyapu ruangan, sementara ia sendiri berganti pakaian. Kemudian, dengan mengenakan sandal kayu, ia membungkuk di sungai kecil yang mengalir di tengah-tengah bunga serunai di gerbang bambu, dan berkumur serta membilas tangan. Ia berbalik ketika seseorang menyentuh pundaknya.

"Oh, hamba tidak tahu tuanku ada di sini." Hanbei cepat-cepat berlutut. "Di sebelah sana, tuanku," katanya, mengajak Hideyoshi ke ruangannya. Dengan gembira Hideyoshi duduk di tikar. Di ruangan itu tak ada apa-apa selain lukisan tinta yang tergantung di dinding. Pakaian Hideyoshi sama sekali tidak mencolok di antara warna-warna Azuchi, tapi di tempat bertapa yang bersahaja ini, baik mantel maupun baju tempurnya tampak gemilang dan mengesankan.

Membungkuk sambil melangkah, Hanbei pergi ke serambi, lalu memasukkan sekuntum bunga serunai ke dalam tempat bunga yang terbuat dari ruas bambu. Kemudian ia kembali duduk di samping Hideyoshi dan meletakkan tempat bunga di dekatnya.

Hideyoshi mengerti. Walaupun tempat tidur telah disingkirkan, Hanbei khawatir bau obat-obatan dan keapakan ruangan masih tercium. Daripada membakar dupa, ia mencoba menyegarkan udara dengan wangi bunga itu.

"Aku sama sekali tidak terganggu. Jangan pikirkan soal itu," ujar Hideyoshi, lalu menatap sahabatnya dengan prihatin. "Hanbei, bukankah sukar bagimu untuk bangun seperti ini?" Hanbei mundur sedikit dan sekali lagi membungkuk rendah-rendah. Namun di balik sikap kaku ini, kegembiraannya mengenai kunjungan Hideyoshi tetap terbaca di wajahnya. Tuanku jangan cemas." katanya. "Selama beberapa hari terakhir, hawa memang dingin, jadi hamba tetap tinggal di dalam ruangan, berlindung di bawah selimut. Tapi hari ini udara mulai menghangat, dan hamba pikir sudah waktunya bangun dari tempat tidur."

"Sebentar lagi Kyoto sudah memasuki musim dingin, dan kabarnya udara di pagi dan malam hari dingin sekali. Bagaimana kalau kau pindah ke tempat yang lebih hangat selama musim dingin?"

"Tidak, tidak. Dari hari ke hari keadaan hamba terus bertambah baik. Hamba akan sembuh sebelum musim dingin tiba."

"Kalau memang begitu, semakin banyak alasan bagimu untuk tidak meninggalkan tempat perawatanmu selama musim dingin. Kali ini kau sebaiknya bertetirah sampai benar-benar sembuh. Tubuhmu bukan milikmu semata-mata."

"Perhatian tuanku pada hamba lebih besar daripada yang patut hamba terima." Hanbei duduk dengan lesu, matanya tertuju ke bawah. Tangannva merosot dari lutut dan—seiring dengan air matanya— menyentuh lantai ketika ia menyembah. Sesaat ia membisu. Ah, dia begitu kurus sekarang, pikir Hideyoshi, dan mendesah. Pergelangan tangan Hanbei tampak kurus kering, pipinya cekung. Benarkah penyakit yang menggerogotinya tidak tersembuhkan? Hati Hideyoshi serasa disayat-sayat. Bagaimanapun, siapakah yang menarik orang sakit ini ke dunia yang kacau, bertentangan dengan kehendaknya sendiri? Berapa kalikah ia tersiram hujan dan diterpa angin dingin di medan pertempuran? Dan siapakah yang, bahkan di masa damai pun, membebaninya dengan masalahmasalah intern maupun hubungan diplomatik, tanpa memikirkan kesempatan beristirahat. Hanbei laki-Iaki yang seharusnya dipandang sebagai guru, tapi nyatanya Hideyoshi memperlakukannya sama saja seperti para pengikut lain.

Hideyoshi merasa bersalah atas kondisi Hanbei yang gawat, dan akhirnya, ketika ia membuang muka, air matanya mulai mengalir. Di hadapannya, bunga serunai di tempat bunga semakin putih dan wangi karena terendam air.

Dalam hati, Hanbei menyalahkan diri sendiri atas air mata Hideyoshi. Sebagai pengikut dan samurai, ia merasa bersalah karena menyebabkan Hideyoshi berkecil hati di saat Hideyoshi mengemban tanggung jawab militer yang begitu berat.

"Hamba pikir Tuanku tentu lelah karena operasi militer yang berkepanjangan ini, jadi hamba memetik sekuntum serunai di pekarangan," kata Hanbei.

Hideyoshi membisu, tapi pandangannya tertuju pada bunga itu. Ia tampak lega karena topik pembicaraan mereka telah berubah.

"Wanginya sangat menyenangkan. Mungkin bungabunga serunai juga bermekaran di Bukit Hirai, tapi aku tidak memperhatikannya. Barangkali semuanya terinjak-injak oleh sandal kami yang berlumuran darah," balas Hideyoshi sambil tertawa , berusaha mcnghibur Hanbei yang merana.

Keharuan yang diperiihatkan Hanbei ketika mencoba bcrsimpati kepada junjungannya dibalas oleh usaha Hideyoshi untuk menghibur pengikutnya.

"Di sini aku benar-benar merasa sulit terus-menerus mempertahankan hidupku dengan jiwa dan raga yang bertindak sebagai satu kesatuan," ujar Hideyoshi. "Medan perang membuatku sibuk dan kasar. Di sini aku merasa tenang dan bahagia. Kontras itu kini telah jelas, dan hatiku menjadi mantap."

"Ya, orang memang menghargai waktu senggang dan pikiran yang tenang, tapi sesungguhnya tak ada keuntungan yang dapat diraih dengan menjadi orang yang hidup demi kesenangan duniawi. Tuanku tak sedikit pun memiliki waktu luang antara satu kecemasan dan kecemasan berikut. Jadi, hamba dapat membayangkan bahwa saat-saat penuh kedamaian seperti ini merupakan obat penawar yang manjur. Kalau bagi hamba..."

Sepertinya Hanbei hendak menyalahkan diri dan minta maaf sekali lagi, jadi Hideyoshi tiba-tiba memotong. "Oh, ya, kau sudah mendengar berita mengenai pemberontakan Murashige?"

"Sudah, semalam seseorang mengunjungi hamba dengan membawa laporan terperinci." Hanbei berbicara tanpa perubahan ekspresi, seakan-akan masalah itu tidak penting.

"Aku ingin membicarakannya sejenak." kata Hideyoshi, lalu maju sedikit sambil tetap berlutut. "Rapat dewan Yang Mulia Nobunaga di Azuchi telah memutuskan untuk mendengarkan keluhan-keluhan Murashige, dan menempuh segala upaya untuk menenangkannya dan mencapai kesepakatan dengannya. Tapi aku meragukan bahwa itu gagasan yang baik. Dan apa yang harus kita lakukan kalau Murashige ternyata sungguh-sungguh memberontak? Aku ingin mendengar pendapatmu. Itu salah satu alasanku datang ke sini." Hideyoshi menanyakan strategi untuk menyelesaikan situasi itu, tapi Hanbei hanya menjawab singkat,

"Hamba kira itu tindakan yang tcpat."

"Hmm, kalau utusan dikirim dari Azuchi dengan membawa pesan yang menyejukkan, apakah Benteng Itami dapat ditenteramkan tanpa insiden?"

"Tentu saja tidak." Hanbei menggelengkan kepala. "Menurut hamba, sekali orang-orang di benteng itu mengibarkan bendera pemberontakan, mereka takkan menggulungnya kembali dan tunduk pada Azuchi."

"Kalau memang begitu, bukankah sia-sia saja kita mengirim utusan?"

"Tampaknya memang demikian, tapi sebenarnya tetap ada manfaat yang dapat ditarik. Dengan menunjukkan perikemanusiaan dan dengan menyadarkan seorang pengikut akan kesalahannya, dunia akan melihat kelebihan Yang Mulia Nobunaga. Selama masa itu, Tuan Murashige akan sangat sedih bingung. dengan demikian anak panah yang ditarik tanpa alasan dan keyakinan akan melemah dari hari ke hari." "Stratcgi apa yang harus kita gunakan jika kita menyerangnya, dan bagaimana ramalanmu untuk

provinsi-provinsi Barai?"

"Hamba rasa, baik pihak Mori maupun Honganji takkan bertindak gegabah. Murashige telah memberontak, jadi mereka akan membiarkan dia memberikan perlawanan sengit. Kemudian, kalau mereka melihat bahwa orang-orang kita di Harima dan di markas besar Yang Mulia di Azuchi melemah, mereka akan menerjang untuk mengisi kekosongan dan menyerang dari segala arah."

"Itu benar, mereka akan memanfaatkan kebodohan Murashige. Aku tidak tahu keluhan apa yang disimpannya, atau umpan apa yang diberikan padanya, tapi pada dasarnya dia dimanfaatkan sebagai perisai oleh orang-orang Mori dan Honganji. Begitu perannya sebagai tameng selesai, dia tak punya pilihan selain bunuh diri. Dari segi keberanian bertempur, dia jauh di atas orang lain, tapi otaknya tumpul. Kalau ada cara untuk menyelamatkan dia, aku ingin mengusahakannya."

"Strategi terbaik adalah berusaha agar dia tidak terbunuh. Orang seperti itu patut diselamatkan dan dipertahankan sebagai sekutu."

"Tapi, jika kau beranggapan bahwa pengiriman utusan dari Azuchi sia-sia belaka, pada siapa Murashige mungkin tunduk?"

"Mula-mula, cobalah mengirim Kanbei. Kalau Kanbei berbicara dengannya, dia mestinya sanggup menjelaskan duduk perkaranya pada Murashige, atau setidaknya membangunkan dia dari mimpi buruknya."

"Bagaimana kalau dia menolak menemui Kanbei?" "Kalau begitu, marga Oda mengirim utusan mereka

yang terakhir." "Yang terakhir?" "Tuanku sendiri."

"Aku?" Sesaat Hideyoshi termenung-menung. "Hmm, kalau itu terjadi, semua nya sudah terlambat."

"Ajarkan perihal kewajiban padanya, dan hadapi dia dengan persahabatan Kalau dia tidak menerima ucapan tuanku, tak ada lagi yang dapat dilakukan selain menyerang dengan alasan menumpas pemberontakan. Jika tindakan itu terpaksa diambil, Benteng Itami jangan diserbu dengan sekali gebrak. Penyebab keberanian Tuan Murashige bukan kekuatan Benteng Itami, melainkan kerja sama dua orang yang diandalkannya bagaikan tangan kanan dan tangan kiri.

"Maksudmu Nakagawa Sebei dan Takayama Ukon?" "Jika kedua orang itu bisa dijauhkan darinya, dia akan menyerupai badan tanpa lengan. Dan kalau Takayama atau Nakagawa berhasil diajak membelot, menjauhkan mereka dari Tuan Murashige takkan merupakan masalah." Hanbei seakan-akan lupa pada penyakitnya dan berbicara mengenai ini-itu, sampai kepucatan di wajahnya hampir lenyap.

"Bagaimana aku dapat merangkul Takayama?" Hideyoshi bertanya penuh semangat, dan Hanbei tidak mengecewakannya.

"Takayama pemeluk ajaran Nasrani. Jika tuanku memberikan kondisi yang memungkinkan bagi penyebaran kepercayaannya, tak perlu diragukan bahwa dia akan meninggalkan Murashige."

"Ya, itu jelas," ujar Hideyoshi dengan kagum. Dan kalau ia bisa membujuk Takayama untuk meyakinkan Nakagawa, itu berarti ia menyelam sambil minum air. Ia menghentikan pertanyaannya. Hanbei pun tampak lelah. Hideyoshi berdiri untuk berangkat lagi.

"Tinggallah sebentar lagi." Hanbei memohon. Ia berdiri dan keluar dari ruangan, mungkin ke arah dapur.

Hideyoshi teringat bahwa ia lapar. Para pembantunya tentu sudah selesai makan siang. Tetapi sebelum ia sempat memikirkan umuk pergi ke ruang tamu kuil dan makan sedikit, seorang bocah laki-laki, yang tampaknya pelayan Hanbei, membawa masuk dua baki, salah satu berisi tempat sake.

"Ke mana Hanbei? Apakah dia lelah karena pembicaraan kami yang panjang-lebar?

"Bukan, Yang Mulia. Tuan Hanbei berada di dapur. Dia sendiri yang menyiapkan sayur-mayur untuk santapan Yang Mulia. Sekarang dia sedang menanak nasi, dan dia akan kembali begitu nasinya sudah matang."

"Apa? Hanbei memasak untukku?" "Ya, Tuanku."

Hideyoshi menggigit sepotong talas yang masih panas, dan sekali lagi matanya berkaca-kaca. Aroma talas tidak hanya terkecap oleh lidahnya, melainkan seolah-olah mengisi seluruh tubuhnya. Walaupun Hanbei seorang pengikut, dari Hanbei-lah Hideyoshi mempelajari prinsip-prinsip rahasia pengetahuan militer Ona. Hal-hal yang dipelajarinya ketika duduk bersama Hanbei setiap hari bukanlah hal-hal biasa— memerintah rakyat di masa damai, serta keharusan untuk menjalankan disiplin diri.

"Dia tak perlu berbuat begitu," Tiba-tiba Hideyoshi meletakkan cawan, dan sambil meninggalkan bocah pelayan, ia pergi ke dapur, tempat Hanbei sedang menanak nasi.

Hideyoshi meraih tangannya. "Hanbei, ini keterlaluan. Mengapa kau tidak duduk bersamaku dan mengobrol untuk beberapa waktu?

Ia mengajak Hanbei kembali ke ruangan tadi dan menyuruhnya mengambil secawan sake. Tapi, karena sakit yang dideritanya, Hanbei hanya dapat menempelkan cawan itu ke bibirnya. Kemudian mereka makan. Sudah lama junjungan dan pengikut itu tidak menikmati santapan bersama-sama. "Sudah waktunya pergi. Tapi aku merasa segar kembali. Sekarang aku bisa bertempur. Hanbei, jagalah dirimu baik-baik."

Ketika Hideyoshi meninggalkan Kuil Nanzen, hari sudah mulai senja, dan langit di atas ibu kota berubah menjadi merah tua.

***

Suasana hening, tanpa satu letusan senapan pun— begitu hening, sehingga orang mungkin tak percaya bahwa ini medan pertempuran; begitu hening, sehingga bunyi belalang sentadu yang bergerak di tengah-tengah rumput kering terdengar menggerisik di telinga. Musim gugur di provinsi-provinsi Barat telah mencapai pertengahannya. Di semua puncak gunung dan bukit, daun-daun pohon telah berubah merah selama dua atau tiga hari terakhir, dan kemerahan itu seolah-olah membakar mata Hideyoshi.

Hideyoshi telah kembali ke perkemahannya di Bukit Hirai. Ia duduk di hadapan Kanbei, di bawah pohon cemara, di bukit tempat mereka memandang bulan beberapa waktu lalu. Setelah membicarakan berbagai hal, mereka akhirnya menarik kesimpulan penting.

"Hmm, bersediakah kau pergi untukku?"

"Dengan senang hati hamba akan menjalankan tugas ini. Apakah hamba berhasil, terserah para dewa."

"Aku mengandalkanmu." "Hamba akan berusaha sekuat tenaga. Selebihnya hamba serahkan pada Tuhan. Jika hamba tidak kembali dalam keadaan hidup, Tuanku sudah tahu apa yang akan menyusul."

"Kekerasan."

Mereka berdiri. Suara seekor burung bulbul terdengar dari seberang lembah di sebelah barat. Daundaun merah yang tampak di sana sungguh mencengangkan. Kedua laki-laki itu menuruni bukit sambil membisu, dan berjalan ke arah perkemahan. Momok kematian—serta perpisahan yang sudah dekat—menguasai suasana sore yang damai dan menyelubungi pikiran kedua sahabat itu.

"Kanbei," Hideyoshi menoleh ke belakang ketika menuruni jalan setapak yang sempit dan curam. Kemungkinan bahwa sahabatnya takkan kembali lagi mengusik hatinya, dan ia menyangka Kanbei mungkin hendak menyampaikan kata-kata terakhir. "Masih ada hal lain?"

"Tidak."

"Tak ada pcsan untuk Benteng Himeji?" "Tidak."

"Barangkali pesan untuk ayahmu?"

"Tolong jelaskan mengapa hamba menjalankan tugas ini."

"Baik."

Udara sangat cerah, dan benteng musuh di Miki terlihat di kejauhan. Sejak musim panas, jalan menuju benteng telah terputus, jadi mudah membayangkan rasa lapar dan haus yang diderita orang-orang di dalamnya. Meski demikian, seperti yang bisa diharapkan dari pasukan penjaga benteng yang terdiri atas jendral-jendral paling bersemangat dan prajuritprajurit paling berani di Harima, mereka tetap memperlihaikan jiwa juang yang luar biasa.

Musuh yang terkepung itu dipaksa melancarkan serangan tiba-tiba terhadap pasukan Oda yang mengeilinginya. Namun Hideyoshi memberikan perintah keras pada anak buahnya agar tidak terpancing oleh sepak terjang musuh, dan agar tidak mengambil tindakan berdasarkan durongan hati.

Scgala upaya ditempuh untuk mencegah sampainya berita mengenai situasi di luar ke benteng, jika orangorang di dalam benteng mendapat kabar mengenai pemberontakan Araki Murashige terhadap Nobunaga, semangat mereka akan berkobar-kobar kembali. Bagaimanapun, pemberontakan Murashige bukan sekadar menimbulkan kecemasan di Azuchi. Pemberontakan itu mengancam seluruh operasi di daerah Barat. Dan bukan itu saja. Begitu Odera Masamoto, penguasa Benteng Gochaku, mengetahui pemberontakan Murashige, ia segera menyatakan memisahkan diri dari Nobunaga, dan pada suatu malam bahkan pergi ke markas musuh.

"Semestinya provinsi-provinsi Barat tidak diserahkan begitu saja ke tangan para penyerbu." Odera berkata pada mereka. "Sebaiknya pihak Mori bertindak sebagai poros untuk mempersatukan kekuatan. Setelah itu usir orang-orang Oda dari sini."

Odera Masamoto merupakan junjungan ayah Kanbei, dan dengan demikian juga junjungan Kanbei. Karena itu. Kanbei menghadapi dilema: di satu pihak ada Nobunaga dan Hideyoshi, di pihak lain ayahnya dan Odera Masamoto.

Araki Murashige tersohor karena keberaniannya. tapi ia juga dikenal sebagai orang yang suka membangga-banggakan diri. Kehalusan perasaan dan pemahaman mengenai tanda zaman berada di luar kemampuannya. Setelah mencapai umur yang oleh Konfusius discbut "bebas dari kebimbangan", yakni empat puluh tahun. Pada usia itu, seorang laki-laki mestinya telah matang, tapi rupanya watak Murashige tidak berubah banyak selama sepuluh tahun terakhir. Tanpa kebijakan dan kehalusan budi bahasa yang seharusnya ia miliki, ia belum maju satu langkah pun dari keadaannya semula— samurai yang menakutkan.

Dapai dikatakan bahwa dengan membujuk Murashige sebagai wakil Hideyoshi, Nobunaga telah menutupi kekurangan-kekurangan Hideyoshi. Tapi Murashige berpandangan lain. Ia tak pernah segan memberi nasihat, namun baik Hideyoshi maupun Nobunaga tak pernah menjalankan gagasangagasannya.

Murashige merasa terganggu dengan kehadiran Hideyoshi. Tapi ia tak pernah memperlihatkan kctidaksenangannya saat berhadapan dengan Hideyoshi. Dari waktu ke waktu ia menunjukkan kesebalannya, dan bahkan tertawa keras di depan pengikutpengikutnya sendiri. Di dunia ini ada orang-orang yang tak dapat dibuat tersinggung, tak peduli apa yang dilakukan terhadap mereka, dan bagi Murashige, Hideyoshi termasuk kelompok orang tersebut. Dalam serangan di Benteng Kozuki, Murashige berada di garis depan. Namun, ketika   waktu bertempur tiba dan Hideyoshi memberi perintah menyerbu, Murashige hanya duduk bersilang tangan dan tak mau beranjak dari tempatnya.

"Kenapa kau tidak terjun ke dalam kancah peperangan?" Hideyoshi menegurnya kemudian.

"Hamba tidak ikut dalam pertempuran yang tidak menarik minat hamba," Murashige menjawab tanpa berkedip.

Tapi karena Hideyoshi hanya tertawa, Murashige pun memaksakan senyum. Masalahnya ditutup, tapi desas-desus yang beredar di antara para jendral bernada mencela.

Mitsuhide mengecam tindak-tanduk Murashige dengan keras. Murashige, sebaliknya memandang rendah jendral-jendral seperti Akechi Mitsuhide dan Hosokawa Fujitaka yang merupakan orang terpelajar. Ia gemar memberi julukan banci pada orang-orang seperti itu. Penilaian ini didasarkan atas kebenciannya terhadap pesta sajak dan upacara minum teh yang acap kali mereka selenggarakan di perkemahan. Satusatunya hal yang mengesankan bagi Murashige adalah bahwa Hideyoshi rupanya tidak melaporkan sikapnya. baik pada Nobunaga maupun Nobutada.

Murashige meremehkan Hideyoshi sebagai prajurit berhati lemah, tapi justru karena itu ia menganggap Hideyoshi orang yang sukar ditangani. Namun yang paling menyadari sikapnya di medan perang adalah musuh-musuhnya, orang-orang Mori. Mereka mendapat kesan bahwa Murashige menyimpan berbagai keluhan, dan bahwa jika mereka bisa berbicara dengannya, ada kemungkinan ia akan beralih ke pihak mereka. Kurir-kurir rahasia, baik dari pihak Mori maupun Honganji, berulang kali keluar-masuk perkemahan Murashige, bukan keluar-masuk Benteng Itami. Ini menunjukkan bahwa mereka bukan tamu yang tak diharapkan. Tindakan Murashige merupakan undangan tanpa kata bagi mereka.

Kalau orang tanpa kecerdasan memadai mencoba mengandalkan kecerdikannya, berarti ia bermain api. Berkali-kali para penasihat Murashige mewanti-wanti junjungan mereka bahwa rencananya tak mungkin berhasil, tapi peringatan mereka tidak digubrisnya.

"Jangan bicara yang bukan-bukan! Apalagi marga Mori sudah mengirim perjanjian tertulis padaku."

Dengan berpegang teguh pada perjanjian tertulis itu, ia segera dan dengan jelas memperlihatkan semangat pemberontakannya pada Nobunaga. Padahal, di zaman yang serbakacau itu, kalau orang dengan seenaknya menyingkirkan perjanjian antara pengikut dan junjungannya seperti sepasang sandal tua, apalah arti sebuah perjanjian tertulis dari marga Mori, yang notabene sampai kemarin masih merupakan musuh? Murashige tidak berpikir sejauh itu, dan ia pun tidak melihat pertentangan yang dihadapinya.

"Dia hanya orang jujur yang bodoh. Percuma saja kita mendendam padanya," Hideyoshi sempat berkata pada Nobunaga untuk menenangkannya. Rasanya ucapan Hideyoshi memang paling tepat untuk kondisi waktu itu.

Namun situasinya tak dapat diremehkan oleh Nobunaga, sehingga ia mewanti-wanti, "Tapi dia orang kuat."

Masalah yang dihadapi Nobunaga ditambah lagi dengan pertanyaan bagaimana pengaruh pemberontakan itu terhadap jendral-jendral lain di bawah komandonya dan bagaimana akibat psikologis yang timbul. Karena itu, Nobunaga menempuh segala cara, termasuk mengutus Mitsuhide untuk menenangkan Murashige.

Namun upaya-upaya itu justru membuat Murashige semakin curiga. Ia segera mempergiat persiapannya untuk menghadapi perang dan berkata, "Aku sudah menunjukkan sikap bermusuhan, jadi kalau aku sampai termakan oleh bujuk rayu mereka dan menjawab panggilan dari Azuchi, tak pelak lagi aku akan dibunuh atau dipcnjara."

Nobunaga sakit hati. Akhirnya keputusan untuk bertempur melawan Murashige diumumkan, dan pada hari kesembilan di Bulan Kesebelas, Nobunaga sendiri membawa pasukan sampai ke Yamazaki. Pasukan Azuchi akan dibagi tiga. Pasukan pertama, yang terdiri atas pasukan Takigawa Kazumasu, Akechi Mitsuhide, dan Niwa Nagahide, mengelilingi Benteng Ibaragi; pasukan kedua, yang merupakan gabungan pasukan Fuwa, Maeda, Sassa, dan Kanamori, mengepung Benteng Takatsuki.

Markas besar Nobunaga didirikan di Gunung Amano. Pada waktu barisannya mulai membentuk formasi tempur, ia masih menyimpan harapan bahwa pasukan pemberontak dapat ditundukkan tanpa pertumpahan darah. Harapan itu berhubungan dengan Hideyoshi yang telah kembali ke Harima dan baru saja mengirim pesan.

Hamba mempunyai satu ide lagi, Hideyoshi menulis. Di balik kata-katanya terselip persahabatannya dengan Murashige, serta perasaan bahwa keberanian Murashige terlalu berharga untuk disia-siakan. Dengan sungguh-tungguh ia memohon agar Nobunaga menunggu sedikit lagi. Tangan kanan Hideyoshi, Kuroda Kanbei, secara mendadak meninggalkan perkemahan di Bukit Hirai pada suatu malam.

Keesokan harinya Kuroda Kanbei bergegas ke Benteng Gochsku, dan berkata pada Odera Masamoto. "Ada desas-desus bahwa Yang Mulia bersekongkol dengan Yang Mulia Murashige, bahwa benteng ini telah berpaling dari marga Oda, dan bahwa Yang Mulia hendak beralih ke kubu marga Mori." ia bicara terus terang, dari hati ke hati. Senyum tipis muncul di bibir Masamoto ketika mendengar ucapan Kanbei. Dari segi umur, Kanbei pantas menjadi putranya; dari segi kedudukan pun ia tak lebih dari putra pengikut senior. Karena itu, tidak mengherankan bahwa jawaban Masamoto bernada amat congkak.

"Kanbei, kelihatannya kau serius, tapi coba pikir sebentar. Sejak marga ini menjadi sekutu Nobunaga, apa yang kami peroleh sebagai balasan? Tidak ada."

"Menurut hamba, urusan ini bukan urusan untungrugi semata-mata."

"Kalau begitu, apa?"

"Ini masalah kesetiaan. Marga Odera merupakan marga termasyhur, dan menjadi sekutu marga Oda di Harima. Jika Yang Mulia tiba-tiba bergabung dengan pemberontakan Araki Murashige dan membelakangi teman-teman lama, itu berarti menginjak-injak norma kesetiaan."

"Apa maksudmu?" tanya Masamoto. Ia memperlakukan Kanbei seperti juru runding tak berpengalaman, dan semakin sungguh-sungguh sikap Kanbei, semakin dingin tanggapan yang diberikan Masamoto.

"Sejak pertama, persekutuanku dengan Nobunaga bukan masalah kesetiaan." katanya. "Kau dan ayahmu tampak yakin bahwa masa depan negeri ini berada di tangan Nobunaga; dan ketika ia menduduki ibu kota, langkah yang paling bijaksana adalah bekerja sama dengannya. Paling tidak, seperti itulah situasi yang dijelaskan padaku, dan aku pun terbujuk. Tapi sesungguhnya mulai sekarang Nobunaga menghadapi banyak bahaya. Bayangkanlah kapal besar yang hendak mengarungi lautan. Dari darat, kapal itu tampak aman: kaupikir jika kau menaiki kapal itu, kau takkan gentar menantang ombak dan badai. Tapi kemudian kau benar-benar menaikinya dan mempertaruhkan nasibmu pada nasib kapal itu. Setelah itu, bukan kedamaian yang kauperoleh, melainkan keraguan dan kebimbangan. Setiap kali ombak menerjang, kau merasa tidak tenang dan menyangsikan kekuatan kapal itu. Ini memang sifat manusia."

Tanpa sadar Kanbei menepuk lutut. "Dan sekali kita sudah menaiki kapal, kita tak mungkin turun di tengah jalan."

"Kenapa tidak? Jika kita menyadari bahwa kapal itu takkan sanggup menahan pukulan ombak, mungkin tak ada cara lain untuk menyelamatkan nyawa selain meninggalkan kapal dan berenang ke tepian sebelum kapalnya karam. Kadang-kadang kita harus menutup mata terhadap perasaan kita."

"Ini pemikiran yang memalukan, Yang Mulia. Setelah badai berlalu dan kapal yang tadinya terancam mara bahaya menaikkan layar dan akhirnya memasuki bandar, justru orang yang gemetar ketika diterjang topan, menyangsikan kapal yang dipercayainya, mengkhianati teman-teman seperjalanannya, dan dengan bingung melompat ke laut, yang akan menjadi bahan tertawaan."

"Aku bukan tandinganmu dalam bersilat lidah." Masamoto tertawa. "Sesungguhnya kau malah terlalu fasih berpidato. Mula-mula kau berkata bahwa Nobunaga akan menyapu daerah Barat dengan cepat. Tapi pasukan yang dikirim bersama Hideyoshi hanya berjumlah lima atau enam ribu orang. Dan meskipun Nobutada dan jendral-jendral lain acap kali datang membantu, orang-orang di ibu kota tetap merasa waswas, dan sepertinya pasukan Hideyoshi takkan lama bertahan di sini. Setelah itu aku akan dimanfaatkan sebagai barisan depan dan diminta mengerahkan prajurit, kuda, dan perbekalan, tapi pada gilirannya aku hanya akan menempati posisi sebagai penyangga antara Nobunaga dan musuh-musuhnya. Coba renungkan masa depan marga Oda. Lihatlah bagaimana Araki Murashige—yang telah diangkat ke posisi yang begitu penting oleh Nobunaga—membalik situasi di ibu kota ketika dia bersckutu dengan marga Mori! Rasanya alasan kenapa aku meninggalkan marga Oda bersama Murashige sudah cukup jelas."

"Rencana yang baru saja hamba dengar sungguh menyedihkan. Hamba kira Yang Mulia akan segera menyesalinya."

"Kau masih muda. Kau hebat dalam pertempuran, tapi tidak dalam urusan duniawi."

"Yang Mulia, hamba mohon agar Yang Mulia sudi berubah pikiran."

"Itu takkan terjadi. Aku sudah menjelaskan pada semua pengikutku bahwa aku telah memberi janji kepada Murashige, dan telah memutuskan untuk bergabung dengan marga Mori."

"Tapi jika Yang Mulia sudi mempertimbangkan sekali lagi..."

'Sebelum kau berkata apa-apa lagi, cobalah bicara dengan Araki Murashige. Kalau dia batal membelot, aku akan mengikuti jejaknya."

Dewasa dan kanak-kanak. Perbedaan di antara mereka bukan saja cara berpikir yang tak masuk akal. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa orang seperti Kanbei pun. yang dianggap unik di daerah Barat karena kecakapan dan gagasan-gagasannya yang maju, takkan mampu bertahan di hadapan lawan seperti Odera Masamoto, tak pengaruh apakah ia benar atau salah.

Masamoto menekankan sekali lagi. "Bagaimanapun, bawalah ini dan pergilah ke Itami. Lalu segera sampaikan jawabannya padaku. Kalau aku sudah mendengar pendapat Murashige, aku akan memberikan jawaban yang pasti."

Ia menulis pesan untuk Araki Murashige. Kanbei menyelipkannya ke balik kimono, kemudian bergegas ke Itami. Situasinya genting, dan setiap tindakannya mungkin berdampak besar. Ketika mendekati Benteng Itami, ia melihat prajurit-prajurit menggali selokan dan mendirikan pagar kayu runcing.

Tanpa memedulikan lingkaran tombak yang segera mengelilinginya, ia berkata, seolah-olah tak ada yang perlu dikhawatirkan. "Aku Kuroda Kanbei dari Benteng Himeji. Aku bukan sekutu Yang Mulia Nobunaga maupun Yang Mulia Murashige. Aku datang sendiri untuk pembicaraan empat mata yang penting dengan Yang Mulia Murashige." Dan kemudian ia mendesak.

Ia melewati beberapa gerbang, akhirnya memasuki benteng dan segera bertemu Murashige. Kesan pertamanya ketika menatap wajah Murashige adalah bahwa laki-laki itu tidak setegar yang dibayangkannya. Roman muka Murashige tidak mengesankan. Kanbei menyadari semangat dan rasa percaya diri yang goyah pada diri lawannya, dan bertanya-tanya mengapa ia memilih berperang melawan Nobunaga, yang dianggap sebagai orang paling menonjol dari generasinya. "Hmm, sudah lama kita tak berjumpa," Murashige berkata tak berketentuan. Nadanya hampir menyanjung. Kanbei menduga kalau jendral sehebat bersikap demikian, itu berarti ia masih diliputi kebingungan.

Kanbei berbasa-basi sejenak, sambil terus tersenyum pada Murashige. Murashige tak mampu menutupnutupi keluguannya dan kelihatan kikuk sekali.

Ia merasa wajahnya memerah. "Apa keperluanmu?" ia bertanya.

"Aku mendengar desas-desus." "Bahwa aku mcngcrahkan pasukan?" "Tuan menghadapi masalah besar."

"Ada yang berkata baik, ada yang buruk."

"Pendapat orang-orang rupanya masih terpecahbelah. Seharusnya mereka menunggu sampai pertempuran selesai sebelum memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Reputasi seseorang tak pernah ditetapkan sebelum dia mati."

"Sudahkah Tuan mempertimbangkan apa yang akan terjadi setelah Tuan tiada?"

"Tentu saja."

"Kalau begitu, aku yakin Tuan sadar bahwa akibat dari keputusan Tuan tak dapat ditarik kembali."

"Kenapa begitu?"

"Nama buruk yang akan Tuan peroleh karena menentang junjungan yang begitu banyak menunjukkan kebaikan terhadap Tuan takkan pupus selama beberapa generasi."

Murashige terdiam. Denyut nadi di pelipisnya penuh emosi, tapi lidahnya tak cukup lincah untuk menyangkal.

"Sake sudah siap," seorang pengikut memberitahunya.

Murashige tampak lega. Ia berdiri. "Kanbei, mari masuk. Bagaimanapun, kita sudah lama tidak bertemu. Mari minum bcrsama-sama," ia mengusulkan.

Murashige bersikap sebagai tuan rumah yang baik. Ia telah mcnyuruh pelayan-pdayan menyiapkan jamuan makan di benteng utama. Tentu saja kedua laki-laki itu mcnghindari setiap perdebatan ketika minum sake, dan roman muka Murashige tampak melunak. Namun pada suatu titik Kanbei kembali ke topik pembicaraan semula. "Bagaimana, Tuan? Mcngapa Tuan tidak menghentikan semua ini sebelum berlanjut terlalu jauh?"

"Sebelum apa berlanjut terlalu jauh?" "Unjuk kekuatan yang tak berguna ini."

"Pendirianku dalam masalah penting ini tak ada sangkut-pautnya dengan unjuk kekuatan."

"Itu mungkin benar, tapi orang-orang menyebutnya pengkhianatan. Bagaimana perasaan Tuan mengenai ini?"

"Ayo, mari tambah sake lagi."

"Aku tak mau menipu diri sendiri. Tuan telah melayaniku dengan sebaik-baiknya hari ini, tapi sake yang Tuan sajikan serasa agak pahit."

"Kau diutus oleh Hideyoshi."

"Tentu saja. Yang Mulia Hideyoshi sangat mencemaskan Tuan. Bukan itu saja, beliau juga terus membela Tuan, tanpa memedulikan omongan orang. Beliau menyebut Tuan orang yang berharga dan pejuang yang gagah berani. Beliau mewanti-wanti agar kami tidak melakukan kesalahan, dan aku tahu beliau takkan pernah melupakan persahabatan dengan Tuan."

Murashige menarik napas panjang dan berkata dari lubuk hati, "Sebenarnya aku telah menerima dua atau tiga surat teguran dari Hideyoshi. dan aku terharu oleh persahabatannya. Tapi Akechi Mitsuhide dan para pengikut Oda yang lain berdatangan sebagai utusan Yang Mulia Nobunaga, dan aku menampik mereka semua . Tentunya tak mungkin aku menuruti kata-kata Hideyoshi sekarang."

"Kurasa itu tidak benar. Jika Tuan menyerahkan urusan ini pada Yang Mulia Hideyoshi, aku yakin beliau akan menemukan cara untuk menengahi sengketa ini."

"Aku tidak sependapat," ujar Murashige dengan muram. "Kabarnya, ketika Mitsuhide dan Sakuma mendapat kabar bahwa aku memberontak, mereka bertepuk tangan dan bersukacita. Mitsuhide datang ke sini untuk menenteramkanku. Dia membujukku dengan kata-kata manis, tapi siapa yang tahu laporan macam apa yang diberikannya pada Nobunaga. Seandainya aku membuka benteng dan kembali berlutut di hadapan Nobunaga, pada akhirnya dia hanya akan memerintahkan anak buahnya untuk menjambak rambutku dan memotong kepalaku. Tak satu pun pengikutku berkeinginan kembali pada Nobunaga. Mereka telah sampai ke titik di mana mereka menganggap berjuang sampai mati merupakan pilihan terbaik, jadi ini bukan pendapatku sematamata. Kalau kau kembali ke Harima, tolong sampaikan pada Hideyoshi agar jangan berpikiran buruk tentangku."

Kelihatannya Kanbei takkan mudah membujuk Murashige. Setelah minum beberapa cawan sake lagi, ia mengeluarkan surat Odera Masamoto yang hampir terlupakan, dan menyerahkannya pada Murashige.

Kanbei sudah mempelajari isi surat itu. Bunyinya sedcrhana, tapi mengecam tindakan Murashige. Murashige bergegas mendekati sebuah lentera dan membaca suratnya, tapi begitu selesai membaca, ia mohon diri dan meninggalkan ruangan.

Ketika ia melangkah keluar, sekelompok prajurit mendesak masuk. Mereka mengepung Kanbei, membentuk pagar baju tempur dan tombak di sekelilingnya.

"Berdiri!" mereka berscru.

Kanbei meletakkan cawannya dan menatap wajahwajah geram di sekelilingnya. "Apa yang akan terjadi setelah aku berdiri ?" ia bertanya.

"Tuanku Murashige memerintahkan agar kau digiring ke penjara," salah satu prajurit menjawab.

"Penjara?" Kanbei berseru. Ia ingin tertawa keraskeras. Sejenak ia menyangka maut telah menunggunya. dan ia menyadari betapa ia kelihatan bodoh karena masuk ke perangkap Murashige.

Ia bangkit sambil tersenyum. "Kalau begitu, mari kita berangkat. Tak ada yang dapat kulakukan selain menurut, kalau memang begitu cara Tuan Murashige memperlakukan utusan."

Tanpa berkata apa-apa, para prajurit menggiring Kanbei menyusuri koridor utama. Gemerincing baju tempur mereka bercampur baur dengan suara langkah. Mereka melewati selasar-selasar dan tanggatangga gelap. Kanbei disuruh berjalan di tempattempat yang gelap gulita, tak berbeda kalau matanya diikat dengan kain, dan ia bertanya-tanya kapan mereka akan membunuhnya. Ia sudah siap menghadapi kemungkinan itu, tapi rupanya Murashige tidak memerintahkan demikian. Bagaimanapun, tempat tak bercahaya yang dilewatinya mungkin sebuah terowongan rumit yang membelah benteng. Beberapa saat kemudian, sebuah pintu berat dibuka.

"Masuk!" ia diperintahkan, dan setelah berjalan maju sekitar sepuluh langkah, ia menemukan dirinya di tengah-tengah sebuah sel. Pintu sel menutup di belakangnya. Kali ini Kanbei tertawa keras-keras ke dalam kegelapan. Lalu ia berpaling ke dinding dan berkata dengan geram, hampir seperti membaca sajak. "Aku telah masuk perangkap Murashige. Hmm... moral orang-orang semakin rumit saja. Rupanya sikap yang pantas sudah tidak berlaku."

Ia menebak bahwa ia berada di bawah sebuah gudang senjata. Sejauh yang dapat diketahuinya dengan meraba-raba dengan telapak kaki, lantai selnya terbuat dari papan-papan kayu yang tebal dan saling mengunci. Kanbei melangkah dengan tenang, mengikuti keempat dinding. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa sel tempat ia ditawan berukuran tiga puluh meter persegi.

"Ah, Murashige patut dikasihani. Apa yang dia harapkan dengan menahanku di sini? Keuntungan apa yang hendak diraihnya?"

Ia duduk bersilang kaki di tempat yang ia kira merupakan tengah-tengah sel. Pantatnya terasa dingin, tapi sepertinya tidak ada tikar jerami di ruangan itu.

Tiba-tiba ia menyadari bahwa ia tidak disuruh menyerahkan pedang pendeknya, dan berpikir. "Ini patut disyukuri. Selama aku punya senjata ini... kapan saja aku bisa "

Dalam hati ia berkata bahwa walaupun pantatnya mati rasa, semangatnya tetap takkan pudar. Meditasi Zen yang ditekuninya di masa muda mungkin bermanfaat sekarang. Pikiran inilah yang terlintas dalam benaknya ketika waktu berlalu. Untung saja aku yang datang, adalah pikiran berikutnya. Seandainya Hideyoshi sendiri yang bertindak sebagai utusan, bencana kecil ini akan berubah jadi bencana besar.

Tak lama kemudian, seberkas sinar menerangi wajahnya. Dengan tenang Kanbei memandang ke arah sumber cahaya itu. Sebuah jendela telah dibuka, dan wajah seorang laki-laki muncul di balik kisi-kisi. Orang itu Araki Murashige.

"Dinginkah di dalam sana, Kanbei?" tanya Murashige.

Kanbei menatapnya, lalu menjawab tenang. "Tidak, tubuhku masih hangat karena sake tadi, tapi menjelang tengah malam nanti keadaannya mungkin kurang nyaman. Jika Tuanku Hideyoshi mendengar bahwa Kuroda Kanbei mati beku, dia tentu akan datang sebelum fajar dan memajang kepalamu di atas gerbang penjara. Murashige, kenapa tidak kaupakai otakmu? Apa yang ingin kaucapai dengan memenjarakanku di sini?"

Murashige tak sanggup berkata apa-apa, ia juga menyadari bahwa tindakannya telah mencoreng arang di kening sendiri. Namun akhirnya ia tertawa dengan nada menghina.

"Berhentilah menggerutu, Kanbei. Kau berkata aku tak punya otak, tapi bukankah justru kau yang masuk perangkap ini?"

"Ejekanmu tak berguna. Tak sanggupkah kau mengucapkan sesuatu yang masuk akal? Ayolah. Murashige."

Murashige tidak mcngatakan apa-apa, dan Kanbei melanjutkan. "Kau tentu menuduhku sebagai ahli siasat atau setan berakal bulus, tapi aku menangani masalah-masalah besar, bukan tipuan-tipuan tak berarti. Tak pernah terpikir olehku untuk bersekongkol melawan kawan sendiri, dan menarik keuntungan. Aku hanya memikirkanmu dan kesusahan Yang Mulia Hideyoshi. Karena itu aku datang seorang diri ke sini. Belum mengerti jugakah kau? Bagaimana dengan persahabatan Yang Mulia Hideyoshi? Bagaimana dengan kesetiaanmu?"

Murashige tidak tahu harus menjawab apa. Sesaat ia membisu, tapi akhirnya ia bcrkata, "Kau bicara tentang persahabatan dan prinsip-prinsip moral, tapi kata-kata itu hanya berkilau di masa damai, bukan? Sekarang berbeda. Negcri ini dilanda perang, dan seluruh dunia kacau-balau. Kalau kau tidak berkomplot, kau akan menjadi korban persekongkolan orang lain, jika kau tidak menghantam lebih dulu, orang lain akan menghantammu. Dunia ini begitu suram, sehingga kau mungkin harus membunuh atau dibunuh dalam waktu sepersekian detik saat kau meraih sumpit. Sekutu kemarin bisa menjadi musuh hari ini, dan jika seseorang merupakan musuhmu—walaupun dia temanmu—tak ada pilihan selain memasukkannya ke penjara. Semuanya taktik semata-mata. Hanya karena kasihan aku belum membunuhmu."

"Ah, begitu rupanya. Sekarang aku memahami pandangan hidupmu, pandanganmu mengenai peperangan, serta kedalaman akhlakmu. Kau pun tak luput dari kebutaan yang mencirikan zaman ini, dan aku sudah tak berminat untuk berdiskusi denganmu. Silakan, hancurkanlah dirimu sendiri."

"Apa? Kauanggap aku buta?"

"Benar. Ah, tidak, sekarang pun aku tak sanggup mencampakkan sisa rasa persahabatan. Ada satu hal lagi yang perlu kuajarkan padamu."

"Apa? Apakah orang-orang Oda mempunyai strategi rahasia?"

"Ini bukan masalah untung-rugi. Kau patut dikasihani. Meski tersohor karena keberanianmu yang luar biasa, kau tak paham bagaimana caranya hidup di negeri yang kacau-balau ini. Bukan itu saja, kau juga tidak memiliki keinginan untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan. Kau bukan manusia, kau lebih hina daripada orang kota atau petani. Berani-beraninya kau mengaku samurai!"

"Apa! Kauanggap aku bukan manusia?" "Benar. Kau binatang."

"Bah!" "Silakan! Marahlah sehebat-hebatnya. Semuanya hanya ditujukan pada dirimu sendiri. Dengar, Murashige. Jika manusia kehilangan akhlak dan kesetiaan, dunia ini tak lebih dari dunia binatang. Kita berperang dan terus berperang, dan api persaingan manusia tak pernah padam. Jika kau hanya memikirkan perang, intrik, dan kekuasaan, serta melupakan akhlak dan perikemanusiaan, kau bukan saja musuh Yang Mulia Nobunaga. Kau musuh segenap umat manusia, dan merupakan wabah bagi seluruh dunia. Kalau kau orang semacam itu, dengan senang hati aku akan memuntir batang lehermu."

Setelah mengemukakan pendapatnya secara terus terang, lalu terdiam. Kanbei mendengar kegegeran. Di luar jendda penjara. Murashige dikelilingi pengikutpengikut dan para pembantu pribadinya, dan semua nya berteriak menuntut.

"Dia harus menerima akibatnya!" "Tidak, dia tidak boleh dibunuh!" "Dia keterlaluan."

"Jangan bertindak gcgabah!"

Rupanya Murashige terperangkap di antara mereka yang hendak menarik keluar Kanbei dan membantainya di tempat, dan mereka yang menyatakan bahwa membunuh Kanbei hanya akan berakibat buruk. Dan sepertinya ia tak dapat mengambil keputusan.

Namun akhirnya diputuskan kalaupun mereka akan membunuhnya, mereka tak perlu terburu-buru. Setelah itu suasananya menjadi lebih tenang, dan suara langkah Murashige dan yang lainnya terdengar menghilang di kejauhan.

Dengan kejadian ini, Kanbei segera memahami keadaan di Benteng Itami.

Walaupun bendera pemberontakan telah jelas-jelas dikibarkan, sampai sekarang pun orang-orang di dalamnya masih terpecah ke dalam dua kubu. Ada yang hendak memerangi marga Oda dengan hati panas, dan ada pula yang menyarankan untuk bekerja sama dengan bekas sekutu mereka itu. Di bawah satu atap, mereka berselisih dalam hampir segala hal, dan situasinya terbaca dengan mudah.

Murashige, yang terjebak di tengah-tengah perselisihan ini, telah mengusir para utusan Nobunaga dan mempergiat persiapan militernya. Dan kini ia memenjarakan Kanbei.

Kelihatannya dia sedang menuju kehancurannya. Ah, betapa menyedihkan, pikir Kanbei. Tanpa menyesali nasibnya sendiri, ia menyayangkan kebodohan Murashige. Setelah suara-suara di luar lenyap, lubang jendela ditutup lagi, tapi Kanbei tibatiba menyadari bahwa secarik kertas jatuh ke dalam. Ia memungutnya, tapi tak bisa mengamatinya malam itu. Keadaan di dalam sel begitu gelap, sehingga jarinya sendiri nyaris tak kelihatan.

Namun, keesokan harinya, ketika cahaya pagi mulai tampak, ia langsung teringat kertas itu dan membacanya. Kertas itu rupanya sepucuk surat dari Odera Masamoto di Harima, yang ditujukan pada Araki Murashige.

Oknum merepotkan yang sempat kita bicarakan ternyata datang ke sini, memperingatkanku agar berubah pikiran. Aku mengelabui dia dengan menyuruhnya menanyakan pendapatmu dulu, jadi kemungkinannya dia tiba di bentengmu bersamaan dengan surat ini. Dia orang yang panjang akal, jadi selama dia hidup, dia akan tetap menjadi beban. Kalau dia tiba di Benteng Itami, kusarankan agar kau memanfaatkan kesempatan dan tidak melepaskan dia lagi.

Kanbei terkejut melihat tanggal surat itu, sebab ternyata surat itu ditulis pada hari yang sama dengan saat ia berbicara dengan Masamoto dan meninggalkan Benteng Gochaku.

"Hmm, kalau begitu dia mengirim surat segera setelah aku pergi," Kanbei bergumam dengan kagum. Ia tiba-tiba menyadari bahwa dunia ini penuh dengan orang cerdik. Meski demikian, dunia memandang dirinya—ia yang begitu berupaya menghindari pemikiran dangkal dan rencana-recana picik—sebagai ahli siasat.

"Menarik sekali, bukan? Hidup di dunia ini."

Sambil menatap langit-langit, ia bicara tanpa menyadarinya. Suaranya menggema, seolah-olah ia berada di dalam gua. Betapa menarik hidup di dunia ini.

Seperti   bisa    diduga,    ada    kebohongan    dan kebenaran, ada bentuk dan kehampaan, ada kemarahan dan kegembiraan, ada keyakinan dan kebimbangan. Inilah hidup di dunia. Tapi paling tidak selama beberapa minggu, Kanbei akan terpisah jauh dari dunia.

***

Pasukan penyerbu yang menyebar di sekeliling Itami, Takatsuki, dan Ibangi siap menyerang kapan saja. Meski demikian, perintah menyerang tak kunjung tiba dari markas besar Nobunaga di Gunung Amano. Di masing-masing perkemahan, hari demi hari berlalu begitu tenang, sehingga kesabaran para prajurit mulai menipis. "Belum ada kabar?"

Sudah dua kali pada hari itu Nobunaga mengajukan pertanyaan tersebut. Namun penyebab kegelisahannya justru berlawanan dengan sumber ketidaksabaran para prajurit. Saat itu kerumitan posisi marga Oda sudah mencapai taraf luar biasa, bahkan berbahaya—bukan sehubungan dengan provinsi-provinsi Barat maupun Timur, melainkan malah di sekitar ibu kota, jika ada pilihan, Nobunaga cenderung tidak bertempur di sini pada waktu ini. Dan ketika hari demi hari berlalu, ia mencemaskan keputusannya untuk menghindari pertempuran di daerahnya sendiri.

Setiap kali Nobunaga merasa gelisah, Hideyoshi-lah yang menyibukkan pikirannya. Ia ingin Hideyoshi terus berada di sisinya. Belum lama berselang, sebuah laporan tiba dan jendral yang begitu diandalkannya itu, yang memberitahunya bahwa Kanbei telah memberikan uraian kepada bekas majikannya, Odera Masamoto, lalu langsung pergi ke Benteng Itami untuk membujuk Murashige agar bersedia berunding. Kanbei bahkan bersedia mati dalam tugas ini. Hideyoshi berpesan, dan memohon agar Nobunaga mau menunggu.

"Kelihatannya dia yakin sekali," ujar Nobunaga. "dan Hideyoshi tidak biasa bersikap lalai."

Tapi biarpun Nobunaga memaksa diri untuk bersabar, suasana di markas besarnya mulai tegang karena kejengkelan para jendral lain. Setiap kali Hideyoshi melakukan kesalahan sepele, kedongkolan mereka langsung meledak, seakan-akan sudah lama membara di bawah permukaan.

"Aku tidak mengerti kenapa Hideyoshi mengutus dia! Siapa Kanbei itu? Kalau latar belakangnya diselidiki, ketahuan bahwa dia pengikut Odera Masamoto. Dan ayahnya pun pengikut senior Masamoto. Sedangkan Masamoto sendiri bersekongkol dengan Araki Murashige. Mereka membuka hubungan dengan pihak Mori dan mengkhianati kita. Masamoto dan Murashige sama-sama mengibarkan bendera pemberontakan di daerah Barat. Bagaimana mungkin Hideyoshi memilih Kanbei untuk tugas sepenting ini?"

Hideyoshi dicela karena tidak melihat ke depan, dan beberapa orang malah curiga bahwa ia berunding dengan marga Mori.

Laporan-laporan yang mulai berdatangan membawa informasi yang sama: Odera Masamoto bukannya tunduk pada uraian Kanbei, ia malah semakin menentang Yang Mulia Nobunaga. Ia menyebarkan desas-desus mengenai kelemahan-kelemahan pihak Oda, dan ia semakin sering berkomunikasi dengan orang-orang Mori.

Nobunaga terpaksa mengakui bahwa itu benar. "Tindakan Kanbei tak lebih dari tipu daya.

Sementara kita menunggu kabar gembira dari orang yang tak dapat diandalkan itu, musuh justru memperkuat diri dan menyempurnakan pertahanan, sehingga pada akhirnya pasukan kita takkan mencapai apa-apa, tak peduli betapa hebatnya serangan yang kita lancarkan."

Pada titik itulah berita dari Hideyoshi tiba. Namun beritanya tidak menggembirakan. Kanbei belum juga kembali, dan informasi yang jelas belum berhasil diperoleh. Selain itu, surat itu bernada putus asa. Nobunaga mendecakkan lidah. Tiba-tiba ia mencampakkan kantong yang semula berisi surat.

"Sudah terlambat!" Tak kuasa menahan diri lebih lama lagi, Nobunaga tiba-tiba membentak, "juru tulis! Tulis ini sckarang juga dan alamatkan pada Hideyoshi. Suruh dia datang ke sini secepat mungkin."

Kemudian ia menatap Sakuma Nobumori dan berkata. "Aku mendengar bahwa Takenaka Hanbei mengurung diri di Kuil Nanzen untuk bertetirah. Masih di sanakah dia?" "Hamba kira masih."

Tanggapan Nobunaga atas jawaban Nobumori menyusul secepat gema. "Kalau begitu, pergilah ke sana dan sampaikan ini pada Hanbei: putra Kuroda Kanbei, Shojumaru, dikirim sebagai sandera ke benteng Hanbei oleh Hideyoshi beberapa waktu lalu. Dia harus segera dipancung, dan kepalanya harus dikirim ke ayahnya di Itami."

Nobumori membungkuk. Sejenak semua orang di sekitar Nobunaga meringkuk ketakutan karena ledakan amarahnya. Tak ada yang berani bersuara, dan Nobumori pun tidak segera kembali tegak. Suasana hati Nobunaga dapat berubah dalam sekejap, dan kemarahannya meledak dengan mudah. Kesabaran yang ia perlihatkan sampai saat itu bukanlah bagian dari watak sesungguhnya. Kesabaran itu hanyalah akibat dari akal sehatnya. Karena itu, jika ia mencampakkan kendali diri yang begitu dibencinya dan meninggikan suara, telinganya akan memerah, dan roman mukanya tiba-tiba terkesan garang.

"Tuanku, bersabarlah sedikit lagi."

"Ada apa, Kazumasu? Kau hendak menegurku?" "Tidak pada tempatnya orang seperti hamba

menegur Yang Mulia, tapi mengapa tuanku tiba-tiba memberi perintah untuk membunuh putra Kuroda Kanbei? Seyogyanya tuanku mempertimbangkan keputusan ini masak-masak."

"Aku tak perlu pertimbangan lebih lanjut untuk mengetahui pengkhianatan Kanbei. Dia pura-pura berbicara dengan Odera Masamoto, setelah itu dia sekali lagi mengelabuiku agar aku menyangka dia berunding dengan Araki Murashige. Sepuluh hari aku menahan diri untuk bertindak, dan semuanya karena rencana-rencana busuk Kanbei keparat itu. Hideyoshi baru saja melaporkannya. Hideyoshi pun jera dipermainkan oleh Kanbei."

"Tapi bagaimana kalau tuanku memanggil Hideyoshi untuk mendapatkan laporan lengkap, dan berbicara dengannya mengenai hukuman untuk putra Kanbei'''

"Usulmu hanya cocok untuk masa damai. Keadaan sekarang tidak memungkinkannya. Dan aku tidak memanggil Hideyoshi ke sini untuk mendengarkan pendapatnya. Aku ingin tahu bagaimana dia sampai menimbulkan bencana ini. Cepat bawa pesan itu, Nobumori."

"Baik. tuanku. Hamba akan menyampaikannya pada Hanbei."

Nobunaga semakin muram. Ia berpaling kepada juru tulisnya dan bertanya, "Sudah kautulis pesanku untuk Hideyoshi?"

"Mungkin Yang Mulia hendak membacanya?"

Surat itu ditunjukkan pada Nobunaga, lalu segera diberikan pada kepala kurir, yang diperintahkan mengantarkannya ke Harima.

Tapi sebelum kurir itu berangkat, seorang pengikut mengumumkan. "Yang Mulia Hideyoshi baru saja tiba."

"Apa? Hideyoshi?" Roman muka Nobunaga tidak bcrubah, tapi sejenak kemarahannya tampak berkurang.

Tak lama kemudian suara Hideyoshi terdengar, ceria seperti biasa. Begitu Nobunaga mendengar Hideyoshi, ia harus memaksakan diri untuk mempertahankan tampang gusar. Kemarahannya mencair dalam dada, seperti es mencair di bawah terik matahari, dan ia tak dapat mencegahnya. Sikapnya langsung berubah begitu ia mengctahui kcdatangan Hideyoshi.

Sambil menyapa para jcndral yang hadir, Hideyoshi memasuki petak bertirai. Ia melewati dewan jendral dan berlutut dengan santun di hadapan Nobunaga, lalu menatap  junjungannya itu.

Nobunaga tidak berkata apa-apa. Ia berusaha menunjukkan kemarahannya. Tak banyak komandan yang sanggup berbuat sesuatu selain menyembah ketakutan jika berhadapan dengan kebisuan Nobunaga.

Sebenarnya, dari anggota-anggoia keluarga Nobunaga pun tak ada yang sanggup menghadapi perlakuan seperti itu. Jika jendral-jendral senior seperti Katsuie dan Nobumori menjadi sasaran kemarahan Nobunaga, mereka langsung pucat pasi. Orang-orang yang sudah banyak makan asam garam seperti Niwa dan Takigawa menjadi bingung dan tergagap-gagap. Dengan segala kebijakannya, Akechi Mitsuhide juga tak mampu mengatasinya, dan segenap kasih sayang Nobunaga pun tak banyak membantu Ranmaru. Tapi sikap Hideyoshi dalam situasi semacam ini sangat berbeda. Jika Nobunaga marah dan mendelik atau memelototinya, Hideyoshi tidak menunjukkan reaksi sama sekali. Ia bukannya meremehkan junjungannya. Justru sebaliknya, lebih dari orang-orang lain, ia mengagung-agungkan Nobunaga. Biasanya ia akan menatap Nobunaga seperti menatap langit mendung, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Yang Mulia tampak agak gusar, Hideyoshi sedang berkata dalam hati. Ketenangan ini seolah-olah merupakan bagian dari jati diri Hideyoshi, dan tak ada yang mampu menirunya. Seandainya Katsuie atau Mitsuhide mencoba mengikuti sikap Hideyoshi, itu berarti mereka menyiram api minyak, dan kemarahan Nobunaga tentu akan meledak-ledak.

Nobunaga rupanya kalah dalam adu kesabaran ini.

Akhirnya ia angkat bicara.

"Hideyoshi, kenapa kau datang ke sini?"

"Hamba datang untuk menerima cercaan Yang Mulia." Hideyoshi menjawab dengan normal.

Dia selalu siap dengan jawaban yang tepat, pikir Nobunaga. Semakin sukar baginya untuk tetap bersikap marah. Dengan ketus ia menghardik. "Apa maksudmu, kau datang untuk dicerca? Kaupikir masalah ini bisa diselesaikan dengan ucapan minta maaf? Kau membuat kesalahan besar yang bukan saja berpengaruh padaku, melainkan juga pada seluruh pasukan."

"Yang Mulia sudah membaca surat yang hamba kirimkan?"

"Sudah!"

"Mengirim Kanbei sebagai penengah jelas-jelas berakhir dengan kegagalan. Sehubungan dengan ini..."

"Kau mencari-cari alasan?"

"Tidak, tapi sebagai tanda penyesalan, hamba menerobos barisan musuh untuk menawarkan sebuah rencana yang mungkin dapat mengubah bencana ini menjadi keberuntungan. Dengan segala hormat hamba mohon agar Yang Mulia sudi memerintahkan semua   orang keluar dari sini, atau berkenan pindah ke tempat lain. Selain itu, jika ada hukuman atas kesalahan hamba, hamba siap menerimanya."

Nobunaga merenung sejenak, lalu meluluskan permohonan Hideyoshi dan menyuruh semua orang pergi. Para jendral lain terbengong-bengong melihat kejemawaan Hideyoshi, tapi, sambil saling pandang, mereka tak dapat berbuat apa-apa selain menaati perintah Nobunaga. Di antara mereka ada yang terheran-heran melihat Hideyoshi tetap lancang, walaupun jelas-jelas telah bersalah. Ada pula yang mendecakkan lidah sambil mendongkol dan menuduhnya mencari muka. Hideyoshi seakan-akan tidak memperhatikan mereka, dan ia menunggu sampai hanya ia dan Nobunaga yang masih tertinggal. Setelah semua orang pergi, wajah Nobunaga agak melunak. "Nah, usul seperti apa yang membuatmu jauh-jauh datang ke sini dari Harima?"

"Hamba menemukan cara untuk menyerang Itami. Saat itu kira tinggal melancarkan serangan hebat ke kubu Araki Murashige."

"Dari semula memang sudah begitu. Itami sendiri tidak sebcrapa penting, tapi kalau para biksu-prajurit Honganji dan Murashige bekerjta sama dengan marga Mori, kita bisa mengalami kesulitan besar."

"Tidak juga. Justru kalau kira bergerak terlalu cepat, sekutu-sekutu kita mungkin kewalahan, dan kalau di antara mereka ada yang salah langkah, tanggul yang tuanku dirikan dengan begitu cermat mungkin runtuh seketika."

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?"

"Hamba sendiri pun sempat habis akal, tapi Takenaka Hanbei, yang berada di ibu kota untuk bertetirah, dapat memahami situasi yang kita hadapi sekarang." Hideyoshi lalu membeberkan rencana itu pada Nobunaga, persis seperti yang didengarnya dari Hanbei. Pada dasarnya, rencana menumpas pemberontakan Benteng Itami menghcndaki korban di pihak Oda sesedikit mungkin. Tanpa terburu-buru. mereka harus berupaya dulu agar Murashige terkucil, dengan memotong sayap-sayapnya.

Nobunaga menyetujui rencana itu tanpa ragu sedetik pun. Secara garis besar, memang itu yang hendak dilakukannya. Rencana ditctapkan, dan Nobunaga sama sekali lupa menegur Hideyoshi. Masih banyak hal yang perlu ditanyakan pada Hideyoshi sehubungan dengan strategi-strategi belakangan ini.

"Karena urusan mendcsak ini sudah selesai, barangkali lebih baik kalau hamba kembali ke Harima hari ini," ujar Hideyoshi sambil menatap langit malam. Namun Nobunaga berpendapat bahwa perjalanan darat terlalu berbahaya, dan ia menyuruh Hideyoshi pulang naik kapal pada malam hari. Karena Hideyoshi akan pulang naik kapal dan masih banyak waktu, junjungannya takkan membiarkannya pergi tanpa mengisi cawan sake dulu.

Hideyoshi duduk lebih tegak dan bertanya. "Yang Mulia akan membiarkan hamba pergi tanpa hukuman?"

Nobunaga memaksakan senyum. "Hmm, apa yang harus kulakukan?" ia berkelakar.

"Jika Yang Mulia memaafkan hamba, namun tetap diam seribu bahasa, entah bagaimana sake yang hamba tcrima dari Yang Mulia berkurang rasa nikmatnya."

Untuk pertama kali Nobunaga tertawa lepas. "Ah, bagus. Ini bagus."

"Kalau begitu," ujar Hideyoshi, seakan-akan dari tadi telah menunggu saat yang tcpat. "Kanbei pun tak dapat disalahkan, bukan? Sedangkan setahu hamba, kurir yang membawa perintah untuk memenggal kepala putranya sudah berangkat."

"Tidak, kau tidak bisa menjamin jalan pikiran Kanbei. Bagaimana mungkin kau mengatakan dia tidak bersalah. Takkan kutarik kembali perintahku untuk membawa kepala putranya ke Benteng Itami, ini masalah disiplin militer, dan sia-sia saja kau berusaha ikut campur." Dengan sewenang-wenang Nobunaga menyuruh pengikutnya tutup mulut.

Malam itu Hideyoshi kembali ke Harima, tapi begitu tiba di sana, diam-diam ia mengutus kurir untuk mengantarkan sepucuk surat pada Hanbei di ibu kota. Isi surat tersebut akan diketahui nanti, tapi pada dasarnya mencakup keprihatinan Hideyoshi mengenai putra sahabat penasihatnya.

Kurir Nobunaga pun bergegas ke Kyoto. Dalam perjalanan pulang, ia mampir sejenak di Gereja Kenaikan Yesus Kristus. Ketika kembali ke markas besar Nobunaga di Gunung Amano, ia disertai seorang padri Jesuit asal Italia, Padri Gnecchi, seorang misionaris yang sudah bertahun-tahun bermukim di Jepang. Di Sakai, Azuchi, dan Kyoto ada banyak misionaris Nasrani, tapi di antara orang-orang asing itu, Padri Gnecchi-lah yang paling berkenan di hati Nobunaga. Nobunaga bukannya tidak menyukai orang Nasrani. Dan walaupun ia telah bertempur melawan orang-orang Buddha dan mmbumihanguskan kubu-kubu mereka, ia pun tidak membenci ajaran Buddha, sebab ia mengakui nilai-nilai yang terkandung dalam agama.

Bukan Padri Gnecchi saja, semua misionaris Katolik yang dari waktu ke waktu diundang ke Azuchi berusaha keras mengajak Nubunaga memeluk agama mereka. Tapi mencoba menyelami hati nurani Nobunaga sama saja dengan mencoba menyendok bayangan bulan di ember berisi air.

Salah satu padri telah memberi Nobunaga seorang budak kulit hitam yang dibawanya dari seberang lautan, sebab Nobunaga rupanya tertarik pada orang itu. Setiap kali Nobunaga meninggalkan bentengnya, biarpun hanya ke Kyoto, budak itu turut serta dalam rombongannya. Para misionaris merasa agak iri, dan suatu ketika mereka bertanya pada Nobunaga. "Yang Mulia tampak sangat tertarik pada budak hitam itu. Sesungguhnya hal apa pada dirinya yang membangkitkan minat yang Mulia?"

".Aku bersikap baik terhadap kalian semua, bukan?" Nobunaga sgera menjawab. Tanggapan ini dengan jelas memperlihatkan sikap Nobunaga terhadap para misionaris. Perhatian yang ditunjukkan Nobunaga kepada Padri Gnecchi dan para padri lain pada dasarnya tidak berbeda dengan perhatiannya kepada budaknya yang berkulit hitam. Ini membawa kita ke hal yang lain. Ketika Padri Gnecchi pertama kali menghadap Nobunaga, ia membawa sejumlah tanda mata dari negeri seberang. Daftarnya mencakup sepuluh senapan, delapan teropong, dan kaca pembesar, lima puluh kulit harimau, sebuah kelambu. dan seratus potong kayu gaharu. Di antara cendera matanya terdapat barang-barang langka seperti jam, bola dunia, tekstil, dan barang pecah belah.

Nobunaga minta agar hadiah-hadiah itu dipajang, dan ia mengamati semuanya, seperti anak kecil. Dengan bola dunia di hadapannya, malam demi malam Nobunaga mendengarkan cerita Padri Gnecchi mengenai negeri asalnya, Italia: jarak-jarak yang harus diseberangi: perbedaan-perbedaan antara Eropa bagian utara dan selatan: dan tentang pengembaraannya di India, Annam, Luzon, dan Cina bagian selatan. Di antara orang-orang yang itu ada satu orang yang bahkan lebih tekun mendengarkan kisah-kisahnya dan tak pernah kehabisan pertanyaan—Hideyoshi.

"Ahh, syukurlah Tuan datang." Dengan gembira Nobunaga menyambut Gnecchi di perkemahannya. Misionaris itu dapat bercakap-cakap dalam bahasa Jepang.

"Apa kiranya yang menyebabkan Yang Mulia memanggil hamba ke sini? Rupanya urusannya cukup penting."

"Silakan duduk." Nobunaga menunjuk kursi pendeta Buddha yang sengaja disediakan. Kursi yang biasa digunakan petinggi Buddha itu dianggap cocok bagi seorang padri.

"Oh, terima kasih," ujar Padri Gnecchi sambil duduk. Ia seperti bidak cadangan pada sebuah papan catur, bertanya-tanya kapan jasanya akan dimanfaatkan. Dan justru karena itu Nobunaga mendatangkannya.

"Tuan pernah menyerahkan petisi atas nama para misionaris di Jepang, dan memohon izin umuk mendirikan gereja dan menyebarkan ajaran Nasrani."

"Hamba tidak tahu berapa tahun sudah kami menanti-nanti saat Yang Mulia berkenan meluluskan permohonan kami."

"Sepertinya hari itu sudah dekat."

"Apa? Yang Mulia sudi memperkenankan kami?" "Bukannya tanpa syarat. Seorang samurai tidak

biasa memberikan anugerah khusus pada orang-orang yang belum menunjukkan jasa baik."

"Apa sesungguhnya maksud Yang Mulia?"

"Aku mendengar bahwa putra Takayama Ukon dari Takatsuki menjadi pemeluk ajaran Nasrani ketika dia berusia sekitar empat belas tahun. Aku bisa membayangkan bahwa Tuan mengenalnya dengan baik."

"Takayama Ukon, Yang Mulia?"

"Seperti Tuan ketahui, dia mendukung pemberontakan Araki Murashige dan mengirim dua anaknya sebagai sandera ke Itami. Kukira sikapnya itu tidak didasarkan pada alasan kuat."

"Situasi ini memang memilukan, dan kami, temanteman seimannya, merasa sangat sedih. Entah berapa banyak doa yang telah kami panjatkan agar beliau tetap dalam perlindungan Yang Maha Kuasa."

"Begitukah? Hmm, Padri Gnecchi, dalam keadaan seperti sckarang, doa-doa yang dipanjatkan di gereja Tuan rupanya tidak membawa hasil. Kalau kecemasan Tuan mengenai Ukon memang begitu besar, Tuan tentu akan menaati perintah yang kuberikan sekarang. Kuminta Tuan mendatangi Benteng Takatsuki dan memberikan pencerahan pada Takayama Ukon mengenai perbuatannya yang tidak bijaksana." "Kalau itu sesuatu yang dapat hamba kerjakan, hamba bersedia berangkat kapan saja. Tapi setahu hamba, benteng beliau telah dikepung oleh pasukan Yang Mulia Nobutada serta oleh pasukan Yang Mulia Fuwa, Maeda, dan Sassa. Barangkali mereka takkan membiarkan kami lewat."

"Aku akan menyiapkan pasukan pengawal dan memberikan surat jalan. Jika para misionaris dapat menjelaskan masalah ini pada Takayama Ukon dan putranya, serta membujuk mereka untuk kembali ke dalam barisanku, aku akan memberikan imbaian yang sepadan. Aku akan memberi izin mendirikan gereja dan kebebasan untuk mewartakan Kabar Gembira. Aku berjanji."

"Oh, Yang Mulia..."

"Tapi tunggu." Nobunaga lalu berkata kepada Padri Gnecchi. Tuan sebaiknya paham bahwa jika Ukon menolak usul Tuan dan tetap menentangku, aku akan memperlakukan semua orang Kristen seperti marga Takayama. Aku akan menghancurkan kuil-kuil Tuan, menghapuskan agama Tuan dari tanah Jepang, dan membinasakan para misionaris dan pengikut-pengikut mereka. Aku ingin agar kebcrangkatan Tuan disertai kesadaran mengenai hal ini."

Wajah Padri Gnecchi mendadak pucat. Sejenak ia menatap ke bawah. Tak satu pun orang-orang yang menaiki kapal dan berlayar ke Timur dari Eropa bisa dituduh berhati kecut, tapi ketika duduk di hadapan Nobunaga dan diperingatkan seperti itu, Padri Gnecchi merasa tubuhnya mengerut karena takut. Sebaliknya, sosok Nobunaga tak dapat dikatakan menyerupai iblis, dan sesungguhnya penampilan maupun tutur katanya cukup halus. Tapi telah terukir dalam benak para misionaris bahwa laki-laki itu tak pernah mengumbar ancaman kosong. Contohnya adalah penghancuran Gunung Hiei dan penaklukan Nagashima. Dan sebenarnya, semua keputusan yang pernah dikeluarkan Nobunaga merupakan bukti.

"Hamba akan pergi ke sana. Hamba akan bertindak sebagai utusan, sesuai kehendak Yang Mulia, dan akan menemui Yang Mulia Ukon," Padri Gnecchi berjanji.

Dikawal sekitar selusin prajurit berkuda, ia mengarah ke jalan yang menuju Takatsuki. Setelah mengantar Padri Gnecchi, Nobunaga merasa semuanya berjalan sesuai rencana. Tapi Padri Gnecchi pun, yang seolah-olah dengan mudah diatur-atur, merasa puas. Tak semudah itu ia dapat dipengaruhi oleh Nobunaga. Warga Kyoto pada umumnya telah menyadari bahwa jarang ada orang secerdik para padri Jesuit. Bahkan sebelum Nobunaga menyuruhnya menghadap, Padri Gnecchi sudah berkali-kali berhubungan lewat surat dengan Takayama Ukon. Ayah Ukon acap kali minta pendapat penasihat rohaninya mengenai masalah yang kini dihadapinya. Dan setiap kali Padri Gnecchi memberi jawaban yang sama. Menentang kehendak penguasa bukanlah jalan yang benar. Yang Mulia Nobunaga merupakan junjungan Murashige maupun Ukon. Ukon telah membeberkan perasaannya dari lubuk hati yang paling dalam.

Kami telah menyerahkan dua anak kami sebagai sandera kepada marga Araki, sehingga istri maupun ibuku tidak bersedia tunduk pada Yang Mulia Nobunaga. Kalau bukan karena itu, aku pun tak ingin terlibat dalam pemberontakan ini.

Jadi, Padri Gnecchi tak perlu meragukan keberhasilan tugasnya. Ia merasa Ukon belum-belum sudah setuju dengan usul yang akan diajukannya.

Tak lama kemudian Takayama Ukon mengumumkan bahwa ia tak dapat memalingkan muka saat agamanya dihancurkan walaupun ia dibenci oleh anak-istri karena membelanya. Kita bisa mengabaikan rumah dan keluarga, tapi tidak Jalan Kebenaran. Diam-diam ia meninggalkan bentengnya pada suatu malam, dan melarikan diri ke Gereja Kenaikan Yesus Kristus. Ayahnya, Hida, segera memohon suaka pada Araki Murashige di Itami, dan dengan getir menjelaskan situasinya. "Kita dikhianati oleh putraku yang hina."

Di kubu Murashige ada banyak orang yang memiliki ikaian erat dengan marga Takayama, sehingga Murashige tak dapat menjatuhkan hukuman kepada para sandera Takayama. Jadi, meskipun Murashige bukan orang yang peka, samar-samar ia pun sanggup melihat kepelikan situasi yang dihadapinya.

Tak ada yang bisa dilakukan. Kalau Ukon memang berkhianat, sandera-sandera ini tak berguna." Karena menganggap kedua anak itu sebagai beban belaka, ia mengembalikan mereka pada ayah Ukon. Ketika Padri Gnecchi menerima kabar ini, ia beserta Ukon pergi ke Gunung Amano untuk menghadap Nobunaga.

"Tuan berhasil." Nobunaga gembira sekali. Ia berkata pada Ukon bahwa ia akan memberikan tanah di Harima, lalu memberinya hadiah berupa beberapa potong kimono sutra dan seekor kuda.

"Hamba ingin meninggalkan kehidupan duniawi dan mengabdi pada Yang Maha Kuasa."

Tapi Nobunaga tidak setuju dan berkata, "Belum saatnya orang seusiamu bertindak demikian."

Jadi, pada akhirnya, segala sesuatu berjalan seperti yang direncanakan Nobunaga dan diduga oleh Padri Gnecchi. Tapi sikap Ukon, yang telah menyelamatkan kedua anaknya, merupakan hasil kelihaian Padri Gnecchi semata-mata.

Keadaan kemarin tidak dipandang berdasarkan keadaan hari ini, sebab perubahan waktu berjalan sekejap demi sekejap. Berubah pendirian pun tak ada salahnya. Alasan mengapa orang melakukan kesalahan dalam mengejar cita-cita dan kehilangan nyawa tak kalah banyak dari jamur di musim hujan.

Bulan Kesebelas telah hampir berakhir, Nakagawa Sebei—orang yang diandalkan bagaikan tangan kanan sendiri oleh Murashige—tiba-tiba meninggalkan bentengnya dan menyerah pada Nobunaga. "Ini masa penting bagi seluruh bangsa. Kesalahankesalahan kecil tak perlu dihukum," ujar Nobunaga. Ia bukan saja tidak meminta pertanggung-jawaban Sebei atas kejahatannya, melainkan malah memberinya tiga puluh keping emas. Sebei menyerah atas desakan Takayama Ukon.

Para jendral Oda tentu saja bertanya-tanya mengapa kedua orang itu diperlakukan begitu baik. Nobunaga pun menyadari rasa tidak puas di kalangan anak buahnya, namun ia tak dapat berbuat lain jika masih ingin meraih sasaran militernya.

Upaya perdamaian, diplomasi, dan kesabaran tidak sesuai dengan watak aslinya. Karena itu musuhmusuhnya terus dihajar dengan serangan-serangan gencar dan sengit. Sebagai contoh, Nobunaga menyerang Benteng Hanakuma di Hyogo dan tidak menunjukkan bellas kasihan ketika membakar kuilkuil dan desa-desa sekitarnya. Pembangkangan sekecil apa pun tidak diampuninya, entah dilakukan oleh yang tua atau yang muda, laki-laki maupun perempuan. Tapi kini segala siasat dan gerakan mulai membuahkan hasil.

Araki Murashige terkucil di Benteng Itami, sebuah kubu yang telah kehilangan kedua sayapnya. Baik Takayama Ukon maupun Nakagawa Sebei tidak tampak lagi dalam barisan tempurnya.

"Kalau kita bergerak sekarang, dia akan tumbang bagaikan boneka pengusir burung di ladang," ujar Nobunaga. Ia yakin Itami dapat direbut kapan saja ia menghendakinya. Serangan gabungan dilancarkan pada awal Bulan Kedua Belas. Pada hari pertama, serangan dimulai sebelum hari terang dan berlanjut sampai kegelapan kembali menyelubungi bumi. Di luar dugaan, ia menghadapi perlawanan sengit. Komandan salah satu korps penyerang tewas terbunuh, dan korban jiwa serta luka-luka mencapai ratusan orang.

Pada hari kedua, jumlah korban semakin meningkat, namun pasukan Oda tetap tidak berhasil menduduki benteng. Bagaimanapun, Murashige tersohor karena keberaniannya, dan prajurit-prajuritnya banyak yang tak kalah gagah. Kecuali itu, ketika Murashige hendak menggulung bendera pemberontakan setelah Nobunaga berusaha mencapai perdamaian, justru anggota-anggota keluarga serta para perwira yang mencegahnya dengan berkata. "Menyerah sekarang sama saja dengan menyerahkan kepala kita kepadanya."

Gema pertempuran itu dengan cepat menjalar ke seluruh Harima, mengguncang para pejabat di Osaka. Gaung peristiwa itu merambat sampai ke Tamba dan Sanin.

Di provinsi-provinsi Barat, Hideyoshi segera memulai serangan terhadap Benteng Miki, dan menyuruh pasukan tambahan di bawah Nobumori dan Tsutsui memaksa pasukan Mori mundur sampai ke perbatasan Bizen. Ia menduga bahwa begitu marga Mori mendengar seruan-seruan dari ibu kota, pasukan mereka akan bergerak menuju Kyoto. Di Tamba, marga Harano menganggap keadaan sedang menguntungkan, dan mulai memberontak. Daerah tersebut berada di bawah kekuasaan Akechi Mitsuhide dan Hosokawa Fujitaka, dan keduanya bergegas untuk mempertahankannya.

Pihak Honganji dan pasukan Mori berkomunikasi melalui pesan-pesan yang disampaikan lewat jalur laut, dan musuh-musuh yang kini menghadapi Nobunaga, Hideyoshi, dan Mitsuhide menari mengikuti irama kedua kekuatan itu.

"Rasanva kita sudah selesai di sini," ujar Nobunaga sambil memandang Benteng Itami. Artinya ia menganggap segala sesuatu sudah beres. Walau terisolasi, Benteng Itami belum menyerah. Namun di mata Nobunaga benteng itu sudah takluk. Setelah menemparkan pasukan pengepung, ia tiba-tiba kembali ke Azuchi.

Penghabisan tahun telah tiba, Nobunaga merencanakan untuk melewatkan Tahun Baru di Azuchi. Tahun yang telah dilewatinya merupakan tahun penuh gangguan dan operasi militer tak terduga, tapi ketika memandang jalan-jalan di kota benteng, ia menangkap bayangan seluruh budaya baru yang sedang terbentuk. Toko-toko, baik besar maupun kecil, berderet-deret dengan rapi, menunjukkan hasil kebijaksanaan perniagaan yang dijalankan Nobunaga. Penginapan-penginapan dipadati tamu, sementara di tepi danau, tiang-tiang layar dari kapal-kapal yang sedang berlabuh menyerupai hutan.

Sebagian besar perkampungan samurai, dengan jaringan jalan-jalan sempit, maupun kediaman para jendral terkemuka sudah selesai dikcrjakan. Kuil-kuil pun telah diperluas, dan Padri Gnecchi juga telah mulai membangun gereja.

Apa yang kita sebut "budaya" sesungguhnya menyerupai kabut—kedua-duanya tak dapat diraba. Yang bermula sebagai tindakan penghancuran kini tiba-tiba membentuk sebuah budaya baru, tepat di depan kaki Nobunaga. Dalam seni musik, seni teater, seni lukis, kesusastraan, seni minum teh, pakaian, seni memasak, serta arsitektur, sikap dan gaya lama dicampakkan, digantikan oleh yang baru dan segar. Pola-pola baru untuk kimono wanita pun saling berlomba dalam budaya Azuchi yang berkembang pesat ini.

Inilah Tahun Baru yang kutunggu-tunggu. Tahun Baru bagi bangsa ini. Rasanya tak perlu dijelaskan bahwa membangun lebih menyenangkan dari-pada menghancurkan, pikir Nobunaga. Ia membayangkan bahwa budaya baru yang penuh dinamika itu akan datang bagaikan air pasang, membanjiri provinsiprovinsi Timur, bahkan daerah Barat dan Pulau Kyushu, tanpa menyisakan sejengkal tanah pun.

Nobunaga masih termenung-menung ketika Sakuma Nobumori, dengan punggung disinari matahari cerah, menyapanya dan melangkah ke dalam ruangan. Mellihat Nobumori, Nobunaga tiba-tiba teringat.

"Ah, betul. Bagaimana kelanjutan urusan itu?" ia langsung bertanya, sambil menyerahkan cawan di tangannya kepada pelayan yang lalu memberikannya pada Nobumori.

Penuh hormat Nobumori mengangkat cawan itu ke keningnya, dan berkata, "Urusan itu?" Ia menatap alis junjungannya dengan tajam.

"Betul. Aku sudah menyinggung Shojumaru, bukan? Putra Kanbei yang ditawan sebagai sandera di benteng Takenaka Hanbei."

"Ah, urusan sandera itu yang dimaksud Tuanku." "Kau kusuruh menyampaikan perintah pada Hanbei

untuk memenggal kepala Shojumaru dan membawanya ke Itami. Tapi setelah itu belum ada kabar lagi. Kau sudah mendengar sesuatu?"

"Belum, Yang Mulia." Nobumori menggelengkan kepala, dan ketika menjawab, ia rupanya teringat pada tugasnya tahun lalu. Ia telah menyelesaikan tugasnya, tapi Shojumaru dititipkan pada Takenaka Hanbei di Mino, jadi perinrah itu tak mungkin dilaksanakan seketika.

"Jika ini kehendak Yang Mulia Nobunaga, hamba akan melaksanakannya, tapi hamba butuh waktu lebih banyak," jawab Hanbei waktu itu. Ia menanggapi perintah Nobunaga dengan cara lazim, dan Nobumori, tentu saja, memahaminya.

"Baiklah, aku telah menyampaikan perintah Yang Mulia," Nobumori sempat menambahkan, lalu segera kembali untuk melapor pada Nobunaga.

Akibat kesibukan-kesibukan yang dihadapinya, Nobunaga rupanya melupakan urusan itu; tapi sesungguhnya Nobumori pun tak ingat pada nasib Shojumaru. Ia beranggapan bahwa Hanbei akan langsung melapor pada Nobunaga.

"Tuanku belum menerima kabar mengenai urusan ini dan Hideyoshi maupun Hanbei?"

"Mereka tak pernah menyinggungnya." "Itu agak mencurigakan."

"Kau yakin telah menyampaikan perintahku pada Hanbei?"

"Tuanku tak perlu meragukannya. Tapi belakangan ini Hanbei memang luar biasa lamban." Nobumori bergumam dengan jengkd. "Kalau dia meremehkan urusan yang menyangkut putra seorang pengkhianat ini, dan belum mengambil tindakan walau telah menerima perintah Yang Mulia, ketidakpatuhannya tak dapat didiamkan. Saat hamba kembali ke garis depan, hamba akan mampir di Kyoto dan minta pertanggungjawaban Hanbei."

"Begitu?" Nobunaga berkata sambil lalu. Ketegasannya saat memberikan perintah itu dan cara ia menanggapinya sekarang mencerminkan dua keadaan mental yang sama sekali berbeda. Namun ia tidak menyuruh Nobumori melupakan masalahnya, sebab itu akan mencoreng arang di kening orang yang diberi tugas.

Bagaimana reaksi Nobumori? Mungkin ia menduga bahwa Nobunaga menyangkanya melaksanakan tugasnya dengan tidak benar, sebab ia cepat-cepat menyampaikan ucapan selamat Tahun Baru, lalu segera mohon diri, dan pada waktu kembali ke Benteng Itami yang sedang dikepung, ia sengaja mampir ke Kuil Nanzen.

Ia berkata pada biksu yang menyambutnya. "Aku tahu Tuan Hanbei terpaksa berdiam di kamar karena penyakitnya, tapi kedatanganku dalam rangka tugas dari Yang Mulia Nobunaga." Permintaan untuk bertemu disampaikannya secara keras dan dalam bentuk perintah. Biksu itu pergi, segera kembali dan mempersilakan Nobumori mengikutinya. Nobumori hanya menganggukkan kepala, dan mengikuti biksu itu. Pintu bangunan beratap jerami yang mereka datangi tertutup rapat, tapi suara batuk yang tak putusputus—dan mungkin karena Hanbei terpaksa meninggalkan tempat tidur untuk menyambut tamunya—terdengar dari dalam. Sejenak Nobumori menunggu di luar. Ia memandang langit dan menyadari bahwa salju akan turun. Walaupun masih siang, udara terasa dingin di bayang-bayang gunung di sekitar kuil.

"Silakan masuk," sebuah suara berkata dari dalam. dan seorang pembantu membuka pintu geser ke ruang penerimaan tamu yang berukuran kecil. Sosok kurus majikannya duduk di lantai.

"Selamat datang," Hanbei menyapa. Nobumori langsung masuk, dan setelah membungkuk, ia segera menjelaskan maksud kedatangannya.

"Tahun lalu aku menyampaikan perintah untuk membunuh Shojumaru, dan menduga bahwa urusan itu akan segera ditangani. Namun sejak itu belum ada laporan bahwa perintah tersebut sudah dilaksanakan, dan Yang Mulia Nobunaga pun mulai bertanya-tanya. Hari ini aku ditugaskan untuk kedua kalinya. Kali ini untuk memastikan apa yang tcrjadi. Aku ingin tahu apa yang akan Tuan katakan."

"Hmm, hmm...," gumam Hanbei. Ia membungkuk sambil menempelkan tangan ke lantai, memperlihatkan punggung setipis papan. "Apakah kecerobohanku telah menimbulkan kecemasan di hati Yang Mulia? Aku akan bergegas dan berusaha menjalankan kehendak Yang Mulia setelah penyakitku berangsur-angsur membaik."

"Apa?! Apa kata Tuan?" Nobumori mulai kehilangan kendali diri. Atau Lebih tepat, dilihat dari roman mukanya, ia begitu marah karena jawaban Hanbei, sehingga tak dapat menahan kegusarannya.

Sambil menghela napas, Hanbei dengan tenang mengamati kebingungan tamunya.

"Kalau begitu... mungkinkah ada yang,..?" Pandangan Nobumori tetap beradu dengan pandangan Hanbei. Ia batuk tak terkendali, lalu bertanya. "Mungkinkah Tuan belum memenggal kepala sandera itu? Mungkinkah Tuan belum mengirim kepalanya pada Kuroda Kanbei di Benteng Itami? Itukah masalahnya?" "Semuanya persis seperti yang Tuan katakan." "Persis seperti yang kukatakan? Jawaban Tuan

sungguh tidak lazim. Mungkinkah Tuan sengaja mengabaikan perintah Yang Mulia?"

"Jangan mengada-ada. Aku memahami perintah beliau."

"Kalau begitu, kenapa belum Tuan bunuh anak itu?"

"Dia dipercayakan padaku. Kupikir aku bisa melakukannya kapan saja, tanpa harus terburu-buru."

"Kemurahan hati Tuan terlalu berlebihan. Kelambanan ini harus ada batasnya. Belum pernah aku merasa sejanggal seperti pada tugas ini."

"Tuan tidak melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas. Sudah jelas bahwa aku sengaja menundanunda urusan ini berdasarkan pertimbanganku sendiri."

"Sengaja?"

"Meski aku tahu tugas ini amat penting, secara sembrono perhatianku lebih tertuju pada penyakitku..."

"Bukankah sudah cukup kalau Tuan mengutus kurir yang membawa pesan?"

"Tidak. Dia memang sandera dari marga lain, tapi sudah bertahun-tahun dia dipercayakan pada kita. Orang-orang di sekitar anak yang begitu menyenangkan tentu bersimpati padanya dan pasti merasa berat untuk membunuhnya. Aku khawatir kalau kemungkinan terburuk terjadi, dan kepala anak lain dikirim pada Yang Mulia Nobunaga, aku tak dapat mberikan alasan pada Yang Mulia. Jadi kupikir lebih baik kalau aku sendiri pergi ke sana untuk memenggal kepalanya. Barangkali tak lama lagi kondisiku akan membaik." Sambil bicara. Hanbei mulai batuk tak terkendali. Ia menutup mulutnya dengan saputangan, tapi sepertinya ia tak bisa berhenti.

Salah satu pembantu melangkah ke belakang Hanbei dan mulai menggosok-gosok punggungnya. Nobumori tak dapat berbuat apa-apa selain diam menunggu sampai Hanbei agak tenang. Tapi duduk di hadapan laki-laki yang berusaha mengendalikan batuknya dan sedang dipijit-pijit mulai terasa menyiksa.

"Mengapa Tuan tidak beristirahat dulu?" Untuk pertama kali nada suara Nobumori mengandung simpati, namun roman mukanya tetap keras. "Bagaimanapun, dalam beberapa hari mendatang harus ada tindakan sehubungan dengan perintah Yang Mulia. Aku sungguh heran melihat kelalaian Tuan, tapi setelah kusampaikan semuanya ini, tak ada lagi yang dapat kulakukan. Aku akan mengirim surat ke Azuchi untuk menjelaskan situasi apa adanya. Betapa pun parahnya penyakit Tuan, penundaan lebih lanjut hanya akan memancing kemarahan Yang Mulia. Ini memang tidak menyenangkan, tapi aku harus menjelaskan semuanya pada beliau!"

Tanpa memedulikan sosok Hanbei yang tampak tersiksa dan masih terus terbatuk-batuk, Nobumori berdiri, memohon diri, dan pergi. Ketika sampai di serambi, ia berpapasan dengan seorang perempuan yang membawa baki. Bau ramuan obat tercium jelas.

Perempuan itu cepat-cepat meletakkan bakinya dan menyembah untuk memberi hormat. Nobumori mengamatinya dengan saksama, mulai dari tangannya yang putih, yang menyentuh lantai kayu, sampai ke lehernya, dan akhirnya berkata, "Rasanya aku sudah pernah bertemu denganmu. Ah, ya, betul. Waktu aku diundang ke Nagahama oleh Yang Mulia Nobunaga. Aku ingat kau melayani beliau waktu itu."

"Ya. Hamba diberi izin untuk mengurus kakak hamba, jadi hamba akan menetap di sini selama beberapa waktu.

"Oh, kalau begitu kau adik Hanbei?" "Ya, nama hamba Oyu."

"Kau Oyu," Nobumori bergumam. "Kau cantik." Kemudian ia meneruskan langkahnya.

Oyu hanya mengangguk ketika Nobumori pergi. Suara batuk kakaknya masih terdengar dari balik pintu geser, dan Oyu lebih cemas kalau ramuan obat yang dibawanya menjadi dingin, daripada mengenai pendapat tamu ini tentang dirinya. Oyu menduga tamunya sudah pergi, tapi Nobumori berbalik sekali lagi dan berkata. "Apakah belakangan ini ada kabar dari Yang Mulia Hideyoshi di Harima?"

"Tidak."

"Kakakmu sengaja mengabaikan perintah Yang Mulia Nobunaga, tapi ini tak mungkin karena petunjuk Hideyoshi, bukan? Aku takut junjungan kita mungkin merasa ragu-ragu mengenai ini. Jika Hideyoshi menyulut kemarahan Yang Mulia, dia berada dalam kesulitan besar. Aku akan mengatakannya sekali lagi. Kupikir putra Kuroda Kanbei sebaiknya segera dieksekusi." Sambil menatap langit, Nobumori cepat-cepat pergi. Sosoknya yang menjauh dan atap besar Kuil Nanzen mulai diselubungi salju.

"Tuan Putri!" Di balik pintu geser, suara batuk Hanbei tiba-tiba berhenti, digantikan oleh suara bingung seorang pembantu. Dengan dada berdebardebar Oyu membuka pintu dan memandang ke dalam. Hanbei tengkurap di lantai. Saputangan kertas yang tadi menutupi mulutnya tampak merah oleh darah segar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar