Taiko Bab 22 : Menara-Menara Azuchi

Bab 22 : Menara-Menara Azuchi

BELUM lama berselang, sang Tenno telah menganugerahkan gelar Anggota Dewan Negara pada Nobunaga, dan kini Nobunaga dinobatkan sebagai Jendral Kebenaran. Upacara pemberian selamat atas promosi terakhir ini diselenggarakan pada Bulan Kesebelas, dan kemegahannya mengalahkan segala sesuatu yang pernah terjadi pada zaman-zaman sebelumnya.

Kediaman Nobunaga di ibu kota adalah bekas istana Shogun di Nijo. Setiap hari tamu-tamu memadati istana; kerabat kekaisaran, samurai, ahli seni minum teh, penyair, dan saudagar dari kota-kota dagang Naniwa dan Sakai yang berdekatan.

Mitsuhide sudah bersiap-siap meninggalkan Nobunaga dan kembali ke bentengnya di Tamba, dan ketika hari masih terang, ia mendatangi Istana Nijo untuk mohon diri.

"Mitsuhide." Hideyoshi menyapanya sambil tersenyum lebar.

"Hideyoshi," balas Mitsuhide sambil tertawa. "Urusan apa yang membawamu kemari hari ini?"

tanya Hideyoshi, lalu meraih lengan Mitsuhide.

"Oh, besok Yang Mulia akan berangkat." jawab Mitsuhide sambil menyeringai.

"Betul. Kira-kira di mana kita akan bcrjumpa lagi?" "Kau mabuk?" "Tidak satu hari pun berlalu tanpa mabuk kalau aku berada di ibu kota. Yang Mulia pun minum lebih banyak jika dia di sini. Dan kalau kau menghadap sekarang, Yang Mulia tentu akan mengajakmu minum sake dulu."

"Apakah Yang Mulia mengadakan pesta minum lagi?" tanya Mitsuhide.

Memang benar, belakangan ini Nobunaga minum lebih banyak, dan seorang pengikut tua, yang telah mengabdi selama bertahun-tahun, sempat berkomentar bahwa Nobunaga belum pernah minum sebanyak sekarang.

Hideyoshi selalu turut serta dalam setiap keramaian. tapi ia tidak memiliki daya tahan seperti Nobunaga. Walaupun kelihatan berbadan rapuh, sesungguhnya Nobunaga jauh lebih kuat dibanding Hideyoshi. Jika diamati dengan saksama, orang dapat melihat kekuatan batinnya. Hideyoshi justru sebaliknya. Dari luar ia tampak seperti warga pedesaan yang sehat, namun sesungguhnya staminanya tidak berarti.

Ibunya masih scring menegurnya karena mengabaikan kesehatan. Tak ada salahnya bersenangsenang, tapi tolong perhatikan kesehatanmu. Sejak lahir kau sakit-sakitan, dan sampai kau berumur empat atau lima tahun, para tetangga menyangka kau takkan hidup sampai dewasa."

Keprihatinan ibunya berpengaruh pada Hideyoshi, karena ia mengetahui kenapa ia demikian lemah ketika masih kecil. Waktu ibunya mengandungnya, mereka begitu miskin, sehingga kadang-kadang tidak ada makanan di meja, dan keadaan malang itu tentu berakibat pada pertumbuhannya di dalam rahim.

Bahwa ia sanggup bertahan hidup boleh dikata semata-mata berkat kegigihan ibunya. Jadi, biarpun Hideyoshi bukannya tidak menyukai sake, ia selalu teringat pesan ibunya setiap kali memcgang cawan di tangan. Dan ia tak sanggup menghapus kenangan pahit tentang bagaimana ibunya begitu sering menangis karena suaminya pemabuk.

Namun tak seorang pun menduga bahwa pandangannya mengenai sake begitu serius. Orangorang berkata mengenai dirinya. "Dia tidak minum banyak, tapi dia sangat suka pesta minum. Dan kalau dia minum, dia minum dengan bebas." Sesungguhnya, tak ada orang yang lebih berhati-hati daripada Hideyoshi. Dan omong-omong soal minum, Mitsuhide, yang kini berbincang-bincang dengan Hideyoshi di selasar, juga tidak ketinggalan. Meski demikian, Mitsuhide tampak kecewa, dan sudah jelas bahwa kebiasaan Nobunaga menenggak seke—yang baru saja dikonfirmasi oleh Hideyoshi—mcmbuat para pengikutnya pusing tujuh keliling.

Hideyoshi tertawa dan membantah apa yang baru saja dikatakannya. "Ah, aku hanya bergurau." Merasa geli melihat Mitsuhide menanggapinya dengan begitu serius, ia menggeleng-gelengkan wajahnya yang merah. "Sebenarnya aku hanya membodoh-bodohimu. Pesta minum sudah sdesai, dan buktinya aku berada di sini, dalam keadaan mabuk. Itu pun hanya kelakar saja." Ia tertawa.

"Ah, kau memang nakal," Mitsuhide memaksakan senyum. Ia tidak marah, karena ia bukannya tak suka pada Hideyoshi. Sebaliknya. Hideyoshi tak sedikit pun menyimpan perasaan buruk terhadap Mitsuhide. Ia selalu berusaha bergurau dengan rekannya yang berwarak serius itu, tapi sekaligus menghormatinya jika situasi menuntut demikian.

Mitsuhide rupanya mengakui Hideyoshi sebagai orang yang bermanfaat. Dalam tangga senioritas, Hideyoshi sedikit lebih tinggi daripada Mitsuhide, dan ia berada di atas Mitsuhide dalam susunan tempat duduk di markas besar staf lapangan. Namun, seperti para jendral veteran lainnya, Mitsuhide bangga akan kedudukan keluarganya, garis keturunannya, dan pendidikannya. Ia memang tidak menganggap enteng Hideyoshi, tapi ia menunjukkan sikap merendahkan terhadap seniornya itu dengan komentar-komentar seperti, "Kau orang yang menyenangkan."

Sikap merendahkan ini diakibatkan oleh watak Mitsuhide. Tapi, meski sadar bahwa ia direndahkan, Hideyoshi tidak merasa sedih. Justru sebaliknya, ia menganggap wajar bahwa ia direndahkan oleh seseorang dengan kecerdasan luar biasa seperti Mitsuhide. Ia tidak keberatan mengakui kelebihan Mitsuhide dalam hal kecerdasan, pendidikan, dan latar belakang.

"Ah, bctul. Aku lupa," Hideyoshi berkata, seakanakan baru teringat sesuatu. "Aku belum mengucapkan selamat padamu. Pemberian benteng di Tamba tentu membuatmu gembira untuk beberapa waktu. Tapi rasanya memang pantas setelah pengabdian selama bertahun-tahun. Aku berdoa agar ini menandai awal perubahan nasib bagimu, dan agar kau selalu sejahtera dalam tahun-tahun mendatang."

"Tidak, segala kemurahan hati Yang Mulia melebihi apa yang patui kuterima." Mitsuhide selalu membalas kesopanan dengan kesopanan. Tapi kemudian ia melanjutkan. "Walaupun aku diberi sebuah benteng, daerah itu, seperti kauketahui, dulunya dipegang oleh bekas shogun, dan sampai sekarang pun masih ada sejumlah marga setempat yang mengurung diri di balik tembok dan menolak tunduk padaku. Jadi, masih terlalu dini untuk mengucapkan selamat."

"Oh, kau terlalu merendah." Hideyoshi membantah. "Begitu kau pindah ke Tamba bersama Hosokawa Fujiraka dan putranya, marga Kameyama langsung menyerah, jadi kau sudah memperoleh hasil, bukan? Aku mengamati caramu merebut Kameyama dengan penuh perhatian, dan Yang Mulia juga memuji kemampuanmu menaklukkan musuh dan mengambil alih benteng itu tanpa kehilangan satu orang pun."

"Kameyama hanya merupakan permulaan. Kesulitan sesungguhnya masih menghadang di depan."

"Hidup ini hanya patut dijalani jika kita menghadapi kesulitan. Kalau tidak begitu, tidak ada tantangan. Dan tak ada yang lebih memuaskan daripada mewujudkan perdamaian di suatu daerah yang diberikan oleh Yang Mulia kepadamu, dan memerintahnya dengan baik. Kau akan menjadi penguasa di sana, dan bisa berbuat apa saja sesuai kehendakmu," ujar Hideyoshi.

Tiba-tiba kedua orang itu merasa bahwa pertemuan mereka yang tak disengaja ini sudah berlangsung terlalu lama.

"Baiklah, kita akan berjumpa lagi," kata Mitsuhide. "Tunggu sebentar," Hideyoshi berkata, lalu tiba-tiba

mengalihkan pembicaraan. "Kau orang berpendidikan, jadi mungkin kau bisa menjawab ini. Di antara benteng-benteng yang kini ada di Jepang, berapa banyak yang memiliki menara pertahanan bertingkat, dan di provinsi-provinsi mana saja benteng-benteng itu terletak?"

"Benteng milik Saiomi Yoshihiro di Taieyama, di Provinsi Awa, mempunyai donjon bertingkat tiga yang kelihatan dari laut. Selain itu, di Yamaguchi, di Provinsi Suo, Ouchi Yoshioki telah membangun donjon bertingkat empat sebagai benteng utamanya. Benteng itu mungkin yang paling mengagumkan di seluruh Jcpang."

"Hanya dua itu?"

"Sepanjang yang kuketahui. Tapi mengapa kau menanyakan hal ini sekarang?"

"Hmm, tadi aku berada bersama Yang Mulia. membahas berbagai rancangan benteng, dan Tuan Mori menjelaskan kelebihan donjon dengan sangat giat. Dia menyarankan untuk menambahkan donjon pada benteng yang akan dibangun Yang Mulia di Azuchi."

"Hah? Tuan Mori yang mana?" "Pelayan Yang Mulia, Ranmaru."

Alis Mitsuhide berkerut sejenak. "Apa kau agak ragu-ragu mengenai ini?"

"Tidak juga."

Roman muka Mitsuhide segera kembali acuh tak acuh. Ia mengganti topik dan mengobrol selama beberapa mcnit. Akhirnya ia mohon diri dan bergegas memasuki istana.

"Tuan Hideyoshi! Tuan Hideyoshi!"

Selasar utama Istana Nijo penuh dengan orangorang yang datang dan pergi. Sekali lagi seseorang terdengar memanggil.

"Ah, Yang Terhormat Asayama." ujar Hideyoshi ketika ia berbalik sambil tersenyum.

Asayama Nichijo laki-laki yang luar biasa jelek. Araki Murashige, salah satu jendral Nobunaga, juga terkenal karena keburukan rupanya, tapi paling tidak ia masih memiliki daya tarik tertentu. Asayama, di pihak lain, adalah biksu bertampang licik. Ia menghampiri Hideyoshi dan cepat-cepat merendahkan suara, seakan-akan mengetahui sesuatu yang penting.

"Tuan Hideyoshi?" "Ya, ada apa?"

"Sepertinya Tuan baru saja terlibat diskusi rahasia dengan Tuan Mitsuhide." "Diskusi rahasia?" Hideyoshi tertawa. "Apakah ini tempat yang cocok untuk mengadakan diskusi rahasia?"

"Jika Tuan Hideyoshi dan Tuan Mitsuhide berbisikbisik untuk waktu yang cukup lama di selasar Istana Nijo, dengan sendirinya orang-orang akan bertanyatanya."

"Tentu tidak."

"Ya, memang begitu!"

"Rupanya Yang Terhormat juga agak mabuk?" "Benar. Aku minum terlalu banyak. Tapi serius,

Tuan mestinya lebih berhati-hati." "Maksudnya dalam menghadapi sake?"

"Jangan berlagak pilon. Aku ingin memperingatkan Tuan agar lebih waspada dalam berakrab-akrab dengan Mitsuhide."

"Kenapa?"

"Dia itu sedikit terlalu cerdas."

"Wah, semua orang berkata bahwa Tuan orang paling cerdas di Jepang dewasa ini."

"Aku? Tidak, aku terlalu lamban," tangkis si biksu. "Sama sekali tidak," Hideyoshi meyakinkannya.

"Pengetahuan Yang Terhormat menyentuh semua bidang. Titik lemah seorang samurai adalah dalam menghadapi bangsawan atau saudagar yang telah menghimpun kekuasaan, tapi di antara orang-orang Oda tidak ada yang melebihi Tuan dalam hal ketajaman pikiran. Bahkan Yang Mulia Katsuie pun tampak kagum pada kemampuan Tuan." "Tapi di pihak lain aku sama sekali tidak memiliki keberhasilan di medan laga."

"Dalam pembangunan Istana Kekaisaran, dalam pemerintahan ibu koia, dan dalam berbagai urusan keuangan, Tuan menunjukkan kemampuan yang luar biasa."

"Tuan bermaksud memuji atau meremehkan?" "Hmm, dalam golongan samurai, Tuan merupakan

orang yang luar biasa sekaligus tak berguna, dan terus terang, aku akan mcmuji sekaligus meremehkan Tuan."

"Aku tak sanggup menyaingi Tuan." Asayama tertawa keras-keras, memperlihatkan giginya yang ompong di dua atau tiga tempat. Walaupun Asayama lebih tua daripada Hideyoshi—cukup tua untuk menjadi ayahnya—ia memandang Hideyoshi sebagai seniornya.

Asayama tidak semudah itu menerima Mitsuhide. Ia mengakui kecerdasan Mitsuhide, tapi pembawaan Mitsuhide yang serbaserius membuatnya tak nyaman.

"Semula aku mcnyangka bahwa aku hanya berprasangka buruk," ujar Asayama, "Tapi baru-baru ini seseorang yang terkenal akan kemampuannya membaca watak orang berdasarkan tampang mereka mengemukakan pendapat yang sama."

"Dan orang itu memberikan penilaian terhadap Mitsuhide?"

"Dia bukan sembarang orang. Tuan Ekkei, sang kepala biara, merupakan salah satu orang paling terpelajar di zaman ini. Dia memberitahukan hal ini secara diam-diam."

"Memberitahukan apa?"

"Bahwa Mitsuhide memiliki tampang orang bijak yang mungkin tenggelam dalam kebijakannya sendiri. Disamping itu, ada pertanda buruk bahwa dia akan mengganti junjungannya sendiri."

"Asayama." "Apa?"

"Tuan takkan menikmati umur panjang jika Tuan membiarkan ucapan seperti itu keluar dari mulut Tuan," kata Hideyoshi dengan tajam. "Aku sudah mendengar bahwa Yang Terhormat merupakan politikus yang lihai, tapi kurasa kegemaran berpolitik jangan dibiarkan berlanjut sampai menyebarkan omongan seperti ini mengenai para pengikut Yang Mulia."

***

Para pelayan telah menggelar peta Omi berukuran besar di ruangan luas itu.

"Ini bagian tengah Danau Biwa," salah seorang dari mereka berkata.

"Di situ Kuil Sojitsu! Dan Kuil Joraku!" satu lagi berseru.

Pelayan-pelayan itu duduk bersama di satu sisi dan menjulurkan leher untuk melihat, persis seperti anak burung layang-layang. Mori Ranmaru memisahkan diri dari kelompok itu, dan duduk menyendiri. Usianya belum mencapai dua puluh tahun, tapi ia sudah lama melewati upacara akil balig. Seandainya rambut di atas dahinya dipotong, ia akan tampak seperti samurai muda yang gagah.

"Jangan kauubah penampilanmu." Nobunaga pernah berpesan. "Aku menginginkanmu sebagai pelayan, tak peduli berapa usiamu."

Ranmaru dapat bersaing dengan pemuda-pemuda lain dalam hal keapikan, dan jambul serta baju sutranya menyebabkan ia kelihatan seperti kanakkanak.

Nobunaga mempelajari peta itu dengan cermat. "Peta ini digambar dengan baik," katanya, "bahkan lebih teliti daripada peta-peta militer kita. Ranmaru, bagaimana kau dapat memperoleh peta yang demikian terperinci dalam waktu begitu singkat?"

"Ibu hamba, yang kini telah masuk biara, mengetahui bahwa ada peta di gudang rahasia kuil tertentu."

Ibu Ranmaru, yang mengambil nama Myoko ketika menjadi biarawati adalah janda Mori Yoshinari. Kelima putranya ditampung sebagai pengikut oleh Nobunaga. Kedua adik Ranmaru, Bomaru dan Rikimaru, juga pelayan. Semua orang berpendapat bahwa sedikit sekali kemiripan di antara mereka. Ini tidak berarti adik-adik Ranmaru berotak tumpul, tapi memang Ranmaru-lah yang begitu menonjol. Dan ini bukan hanya merupakan pendapat Nobunaga yang menyayanginya tanpa batas. Semua orang yang melihat Ranmaru segera menyadari bahwa kecerdasannya jauh di atas orang lain. Kalau ia mengunjungi para jendral staf lapangan atau para pengikut senior, ia tak pernah diperlakukan seperti anak kecil.

"Apa? Kau memperoleh peta ini dari Myoko?" Nobunaga mendadak menatap Ranmaru dengan pandangan tidak lazim. "Ibumu biarawati, jadi sudah sewajarnya dia mondar-mandir di antara sejumlah kuil, tapi jangan sampai dia dikelabui oleh mata-mata para biksu-prajurit yang masih terus menyumpahnyumpahiku. Mungkin ada baiknya kalau kau mencari waktu yang tepat dan memberikan peringatan padanya."

"Ibu hamba selalu bersikap sangat hati-hati. Bahkan lebih dari hamba scndiri, tuanku."

Nobunaga membungkuk dan meneliti peta Azuchi dengan sungguh-sungguh. Di sinilah ia hendak membangun benteng yang akan berfungsi sebagai kediaman yang baru, sekaligus sebagai pusat pemerintahannya.

Urusan tersebut baru belakangan ini dibicarakan Nobunaga, suatu keputusan yang diambilnya karena lokasi Benteng Gitu tidak lagi sesuai dengan tujuannya.

Tanah yang sesungguhnya diinginkan Nobunaga terletak di Osaka. Tapi di atasnya terdapat Honganji, kubu pertahanan musuh bebuyutannya, para biksuprajurit. Setelah mempelajari kebodohan para shogun. Nobunaga bahkan tidak mempertimbangkan untuk membentuk pemerintahan di Kyoto. Itu keadaan lama, Azuchi jauh lebih cocok dengan bayangannya. Dari sana ia dapat berjaga-jaga terhadap provinsiprovinsi Barat, sekaligus menangkal serangan Uesugi Kenshin dari utara.

"Yang Mulia Mitsuhide berada di ruang tunggu. Dia mohon diperkenankan berbicara dengan tuanku sebelum keberangkatannya." seorang samurai mengumumkan dari pintu.

"Mitsuhide?" ujar Nobunaga dengan ramah. "Suruh dia masuk." Kemudian ia kembali mempelajari peta Azuchi.

Mitsuhide masuk sambil menghela napas lega. Tak ada bau sake di istana, dan pikiran pertamanya adalah, Hideyoshi lagi-lagi berhasil menipuku.

"Mitsuhide, kemarilah."

Tanpa menoleh ke arah Mitsuhide yang membungkuk sopan, Nobunaga menyuruhnya menghampiri peta. Mitsuhide maju dengan penuh hormat.

Nobunaga mungkin tukang mimpi, tapi kemampuannya untuk mcwujudkan setiap angan-angan tiada tandingan.

"Bagaimana pendapatmu? Bukankah daerah bergunung yang menghadap ke danau ini cocok sekali untuk membangun benteng?"

Nobunaga rupanya telah merancang struktur dan ukuran benteng itu di kepala. Ia menarik garis dengan jarinya. "Benteng akan membentang dari sini ke sini. Kita akan membangun kota yang mengelilingi benteng di kaki gunung, dengan daerah untuk para saudagar yang lebih tertata rapi daripada di semua provinsi lain di Jepang," ia berkata. "Aku akan mencurahkan segala sesuatu yang kumiliki untuk benteng ini. Aku harus memiliki sesuatu yang begitu mengesankan, sehingga membuat semua penguasa provinsi lain terkagumkagum. Walaupun tidak mewah, benteng itu takkan memiliki saingan di seluruh kekaisaran. Bentengku akan menggabungkan keindahan, fungsi, dan wibawa." Mitsuhide menyadari bahwa proyek ini bukanlah hasil kesombongan Nobunaga, jadi ia mengemukakan pendapatnya secara terus terang. Tapi jawabannya yang terlalu serius tidak mencukupi. Nobunaga terlalu terbiasa mendengar jawaban yang sepenuhnya setuju dengannya, dan pernyataan yang hanya mengulangi

ucapannya sendiri.

"Bagaimana menurutmu? Tidak baik?" Nobunaga bertanya dengan ragu-ragu.

"Hamba tidak berpikiran demikian." "Apakah waktunya sudah tepat?"

"Menurut hamba, sekarang waktu yang paling tepat."

Nobunaga berusaha memupuk rasa percaya dirinya. Tak scorang pun lebih menghargai kecerdasan Mitsuhide daripada Nobunaga. Mitsuhide bukan saja dibekali kecerdasan modern, ia pun menghadapi masalah-masalah politik yang terlalu sulit diatasi dengan keyakinan semata-mata. Karena itu, Nobunaga bahkan lebih menyadari kejeniusan Mitsuhide daripada Hideyoshi yang selalu memuji-mujinya.

"Kabarnya kau cukup menguasai ilmu pembangunan benteng. Dapatkah kau mengemban tanggung jawab ini?"

"Jangan, jangan. Pengetahuan hamba tidak cukup untuk membangun benteng."

"Tidak cukup?"

"Pembangunan benteng serupa dengan pertempuran besar. Orang yang memimpinnya harus pandai menggunakan orang maupun bahan. Seyogyanya tuanku memberikan tugas ini pada salah satu jendral senior."

"Dan siapakah orangnya?" tanya Nobunaga.

"Yang Mulia Niwa paling cocok, sebab beliau pandai bergaul dengan yang lain."

"Niwa? Ya... dia memang dapat diandalkan." Pendapat ini rupanya sejalan dengan maksud Nobunaga scndiri, dan ia mengangguk-angguk penuh semangat. "Omong-omong, Ranmaru mengusulkan agar aku mendirikan donjon. Bagaimana pendapatmu tentang usul itu?"

Mitsuhide tidak menjawab. Ia bisa melihat Ranmaru dari sudut mata. "Tuanku menanyakan untung-ruginya mendirikan donjon?"' ia bertanya.

"Benar. Apakah lebih baik membangun atau tidak membangun donjon."

"Tentu saja lebih baik kalau tuanku membangun donjon. Biarpun hanya dari segi wibawa bangunannya."

"Seharusnya ada beberapa bentuk donjon. Aku mendengar bahwa waktu kau masih muda, kau sempat berkelana mengelilingi seluruh negeri dan berhasil mengumpulkan pengetahuan mendalam tentang pembangunan benteng."

"Scsungguhnya pengetahuan hamba mengenai halhal seperti itu sangat dangkal." Mitsuhide merendah. "Di pihak lain, Ranmaru tampaknya mendalami bidang tersebut. Ketika hamba berkelana, hamba hanya melihat dua atau tiga benteng yang memiliki donjon, dan itu pun dikerjakan secara kasar. Jika ini usul Ranmaru, dia tentu telah memikirkan secara matang. " Mitsuhide tampak enggan untuk berbicara lebih lanjut.

Namun Nobunaga tak sedikit pun mempertimbangkan kepekaan perasaan kedua orang itu, dan melanjutkan, "Ranmaru, kau tidak kalah terpelajar dari Mitsuhide, dan sepertinya kau sudah mempelajari pembangunan benteng. Apa pendapatmu mengenai donjon! Bagaimana, Ranmaru?" Melihat pelayannya tetap membisu sambil menundukkan kepala, ia bertanya. "Kenapa kau tidak menjawab?"

"Hamba bingung, tuanku." "Kenapa?"

"Hamba malu," jawab Ranmaru sambil menyembah dengan wajah di atas kedua tangan, seakan-akan menanggung aib yang amat besar. "Yang Mulia Mitsuhide terlampau kejam. Dari mana hamba dapat memperoleh ide mengenai pembangunan donjon? Terus terang, tuanku, segala sesuatu yang tuanku dengar dari hamba—termasuk cerita bahwa benteng milik marga Ouchi dan Satomi sama-sama memiliki donjon—disampaikan oleh Yang Mulia Mitsuhide pada hamba, ketika hamba sedang bertugas jaga malam."

"Begitukah?" Nobunaga tertawa. "Jadi, hanya itu masalahnya?"

"Tapi Yang Mulia Mitsuhide menanggapinya dengan cara berbeda," Ranmaru melanjutkan. "Jawaban yang baru saja diberikan beliau memberi kesan seakan-akan hamba telah mencuri ide orang lain. Yang Mulu Mitsuhide sendiri yang memberitahu hamba bahwa beliau memiliki beberapa gambar berharga dari donjon marga Ouchi dan Satomi, dan bahkan sebuah buku sketsa yang langka. Jadi. mengapa beliau menahan diri dan mengalihkan tanggung jawab pada orang yang tak berpengalaman seperti hamba?"

Walaupun penampilan Ranmaru kekanak-kanakan. sikapnya menunjukkan bahwa ia seorang laki-laki.

"Benarkah itu, Mitsuhide?" tanya Nobunaga.

Di bawah tatapan langsung Nobunaga, Mitsuhide tak sanggup tetap tenang. Tergagap-gagap ia menjawab, "Ya." Ia pun tak sanggup mengendalikan kemarahannya terhadap Ranmaru. Mitsuhide sengaja menyimpan pendapatnya sendiri dan mengangkat pengetahuan Ranmaru, sebab ia mengctahui kasih sayang Nobunaga terhadap pemuda itu, dan secara tak langsung bermaksud menunjukkan iktikad baiknya. Ia bukan saja memberi keuntungan pada Ranmaru, melainkan juga berusaha tidak mempermalukannya.

Mitsuhide telah memberitahu Ranmaru segala sesuatu yang diketahuinya mengenai donjon dan pembangunan benteng pada waktu mereka berjaga malam. Sungguh konyol bahwa Ranmaru menyampaikan hal tersebut sebagai hasil pikirannya sendiri pada Nobunaga. Tapi jika Mitsuhide berkata demikian sckarang, Ranmaru akan teramat malu, dan Nobunaga temu merasa muak. Karena beranggapan bahwa mencegah situasi pelik seperti itu akan menguntung-kan baginya, Mitsuhide bersikap scelah-olah Ranmaru yang mendapatkan ide tersebut. Tapi hasilnya justru kebalikan dari yang diharapkannya.

Nobunaga sepertinya dapat menduga apa yang berkecamuk dalam benak Mitsuhide. Tiba-tiba ia tertawa keras-keras. "Ternyata Mitsuhide pun bisa bersikap terlalu hati-haii. Tapi... bisakah kauambilkan gambar-gambar itu?"

"Hamba memiliki Beberapa, tapi hamba ragu apakah gambar-gambar itu mencukupi."

"Jangan khawatir. Pinjamkan saja padaku untuk beberapa waktu."

"Hamba akan mengambil semuanya."

Mitsuhide menyalahkan diri sendiri karena telah berusaha membohongi Nobunaga, dan walaupun urusannya sudah selesai, justru ia sendiri yang menderita kerugian. Namun, ketika pembicaraan beralih pada benteng-benteng di provinsi lain, Nobunaga tetap kelihatan riang. Dan setelah makan malam dihidangkan, Mitsuhide menarik diri tanpa perasaan buruk.

Keesokan paginya, sesudah Nobunaga meninggalkan Nijo, Ranmaru pergi menemui ibunya.

"Ibu, menurut adikku dan pelayan-pdayan lain, Tuan Mitsuhide mewanti-wanti Yang Mulia bahwa Ibu mungkin membocorkan rahasia militer kepada para biksuprajurit, karena Ibu sering keluar-masuk kuil. Jadi, kemarin, waktu dia berada di hadapan Yang Mulia, aku sempat membalas perbuatannya. Bagaimanapun, sejak ayahku meninggal, keluarga kita lebih sering menikmati kemurahan hati Yang Mulia daripada orang lain, sehingga tidak aneh kalau ada yang merasa dengki. Berhati-hatilah dan jangan percaya pada siapa pun."

***

Segera setelah perayaan Tahun Baru di Tahun Keempat Tensho, pembangunan benteng di Azuchi dimulai, seiring proyek kota benteng dengan ukuran yang tak pernah dilihat sebelumnya. Pengrajinpengrajin berkumpul di Azuchi bersama murid-murid dan tukang-tukang mereka. Mereka berdatangan dari ibu kota dan Osaka, dari provinsi-provinsi Barat yang jauh, dan bahkan dari Timur dan Utara: pandai besi. tukang batu. tukang plester, pengrajin logam, bahkan tukang pasang kertas dinding—wakil-wakil dari setiap keterampilan yang ada.

Kano Eitoku yang tersohor dipilih untuk membuat gambar pada pintu-pintu, dinding-dinding penyekat, dan langit-langit. Untuk proyek ini, Kano tidak sekadar mengandaikan tradisi perguruannya sendiri. Ia berkonsultasi dengan para pemuka dari perguruanperguruan lain, lalu menciptakan karya-karya agung, menerangi dunia seni yang mengalami kemorosotan selama tahun-tahun perang saudara.

Ladang-ladang buah murbei lenyap dalam semalam. digantikan oleh jaringan jalan yang terencana, sementara di puncak gunung, kerangka donjon muncul scbelum orang-orang menyadarinya. Benteng utama. yang dirancang berdasarkan mitos Gunung Meru, mempunyai empat menara—mewakili para Raja Keempat Mata Angin—di sekeliling donjon bertingkat lima. Di bawahnya terdapat gedung besar yang terbuat dari batu, dan dari gedung itu beberapa bangunan tambahan memencar. Di bawah dan di atasnya terdapat lebih dari seratus bangunan yang berhubungan, dan sulit dikatakan berapa tingkat dimiliki oleh masing-masing bangunan.

Di Ruang Pohon Prem, Ruang Delapan Pemandangan Termasyhur, Ruang Burung Pegar, dan Ruang Kanak-Kanak Cina, si pelukis menerapkan keahliannya tanpa sempat memejamkan mata. Tukang pernis, yang benci mendengar kata debu disebut-sebut, memberi lapisan pernis pada pegangan tangan yang merah dan dinding-dinding yang hitam. Seorang ahli tembikar asal Gina ditunjuk sebagai mandor pembuat ubin. Siang-malam asap mengepul-ngepul dari tempat pembakarannya di tepi danau.

Seorang biksu tampak bergumam-gumam ketika memandang ke arah benteng. Ia hanya seorang biksu pengembara, tapi alisnya yang tebal dan mulutnya yang lebar sangat menarik perhatian.

"Bukankah ini Ekei?" tanya Hideyoshi. Ia menepuknepuk pundak orang itu dengan pelan, agar tidak mengejutkannya. Hideyoshi telah memisahkan diri dari sekclompok jendral yang berdiri tak jauh.

"Wah, wah! Tuan Hideyoshi!"

"Aku tak menyangka akan bertemu Tuan di sini," Hideyoshi berkata dengan riang. Sekali lagi ia menepuk bahu Ekei dan tersenyum ramah. "Sudah lama sekali sejak kita terakhir kali berjumpa. Kalau tidak salah, di rumah Tuan Koroku di Hachisuka."

"Ya, benar. Belum lama ini—mungkin sekitar akhir tahun di Istana Nijo—aku mendengar Tuan Mitsuhide berkata bahwa Tuan datang ke ibu kota. Aku datang bersama utusan Mori Terumoto dan sempat berdiam di Kyoto selama beberapa waktu. Utusan itu sudah kembali sekarang, tapi karena aku hanya biksu tanpa urusan mendesak, aku mendatangi berbagai kuil di Kyoto dan sekitarnya. Kupikir proyek pembangunan Yang Mulia Nobunaga ini bisa menjadi kisah perjalanan menarik, jadi aku mampir untuk melihatnya. Terus terang, aku sangat terkesan."

"Kabarnya Tuan juga terlibat dalam kegiatan pembangunan," Hideyoshi mendadak berkomentar. Ekei tampak terkejut, tapi Hideyoshi tertawa dan menambahkan, "Bukan, bukan pembangunan benteng. Aku mendengar kabar bahwa Tuan membangun biara yang diberi nama Ankokuji."

"Ah, biara itu." Ketegangan di wajah Ekei mencair, dan ia pun tertawa. "Pembangunan Ankokuji telah rampung. Kuharap Tuan bisa mengunjungiku suatu hari nanti, tapi kurasa kesibukan Tuan sebagai penguasa Benteng Nagahama tidak memungkinkannya."

"Aku memang telah menjadi penguasa benteng, namun upahku masih rendah, jadi posisiku pun tidak berarti banyak. Tapi aku yakin aku tampak lebih dewasa dibandingkan saat terakhir kali Tuan melihatku di Hachisuka."

"Tidak. Tuan tidak berubah sedikit pun. Tuan masih muda, tapi hampir semua anggota staf lapangan Yang Mulia Nobunaga sedang berada dalam masa kejayaan. Sejak semula aku sudah terpukau oleh kemegahan rencana pembangunan bentengnya dan oleh semangat para jendralnya. Tampaknya Yang Mulia Nobunaga memiliki kekuatan matahari terbit."

"Ankokuji dibiayai oleh Yang Mulia Mori, bukan? Provinsinya kaya dan kuat, dan kurasa dalam hal orang-orang berbakat, marga tuanku Nobunaga bukan tandingannya." Ekei berupaya agar tidak terlibat dalam percakapan seperti itu, dan sekali lagi ia memuji pembangunan donjon serta pemandangan sekeliling.

Akhirnya Hideyoshi berkata, "Nagahama terletak di tepi pantai sebelah utara, tidak jauh dari sini. Perahuku tertambat di sini, jadi mengapa Tuan tidak ikut dan menginap satu-dua malam? Aku sedang bebas tugas, dan rasanya aku ingin kembali ke Nagahama."

Ekei memanfaatkan ajakan ini untuk berpamitan secara tergesa-gesa. "Mungkin lain kali. Tolong sampaikan salamku pada Tuan Koroku, maksudku, Tuan Hikoemon." Dan tiba-tiba saja ia pergi.

Ketika Hideyoshi memperhatikan Ekei menjauh. dua biksu, yang sepertinya murid Ekei, keluar dari rumah scorang warga biasa dan segera mengejarnya.

Hanya ditemui oleh Mosuke, Hideyoshi meneruskan perjalanan ke tempat pembangunan yang menyerupai medan perang. Karena tidak diberi tanggung jawab penting dalam pembangunan benteng, Hideyoshi sebenarnya tak perlu tinggal di Azuchi, tapi ia sering menempuh perjalanan laut dari Nagahama ke Azuchi.

"Tuan Hideyoshi! Tuan Hideyoshi!" seseorang memanggilnya. Ketika menoleh, Hideyoshi melihat Ranmaru yang tersenyum dan memamerkan deretan gigi putih, berlari ke arahnya.

"Oh, Tuan Ranmaru. Di mana Yang Mulia?" "Sepanjang pagi beliau berada di donjon, tapi

sekarang beliau sedang beristirahat di Kuil Sojitsu." "Kalau begitu, mari kita ke sana."

"Tuan Hideyoshi, biksu yang baru saja berbincangbincang dengan Tuan... bukankah itu Ekei, ahli fisiognomi itu?"

"Benar. Aku mendengarnya dari orang lain. Tapi aku ragu apakah seorang ahli fisiognomi sanggup melihat watak sesungguhnya dari orang lain." ujar Hideyoshi, pura-pura kurang tertarik pada topik itu.

Setiap kali Ranmaru mengobrol dengan Hideyoshi, ia tidak menjaga ucajpannya seperti kalau berhadapan dengan Mitsuhide. Ini tidak berarti Ranmaru menganggap Hideyoshi orang yang mudah dipengaruhi, tapi adakalanya Hideyoshi berlagak bodoh, dan Ranmaru merasa ia mudah diajak bergaul.

"Oh, tentu saja sanggup!" balas Ranmaru. "Ibu hamba selalu berkata demikian. Sebclum ayah hamba gugur dalam pertempuran, seorang ahli ilmu firasat meramalkan kematiannya. Dan sebenarnya, ehm, hamba tertarik pada salah satu ramalan Ekei."

"Apakah kauminta dia meramalkan nasibmu?" "Bukan, bukan. Ini bukan mengenai hamba."

Ranmaru menoleh ke kiri-kanan, lalu berbisik. "Ini mengenai Tuan Mitsuhide."

"Tuan Mitsuhide?"

"Ekei melihar pertanda buruk, bahwa Tuan Mitsuhide kelihatan seperti orang yang akan menentang junjungannya."

"Kalau kau mencari sifat seperti itu, kau pasti akan menemukannya. Bukan hanya dalam diri Tuan Mitsuhide."

"Hamba serius! Ekei berkata demikian."

Hideyoshi mendengarkannya sambil tersenyum simpul. Orang lain tentu akan menegur Ranmaru karena kegemarannya bergosip, tapi kalau ia berbicara seperti ini, rasanya ia tak lebih dari bocah nakal. Setelah menanggapinya secara main-main selama beberapa waktu, Hideyoshi bertanya lebih serius, "Dari siapa kaudengar hal-hal itu?"

Ranmaru segera membuka rahasianya dengan berkata. "Dari Asayama Nichijo."

Hideyoshi mengangguk-angguk, seakan-akan telah menduganya. Tentunya bukan Asayama sendiri yang memberitahu. Cerita itu pasti lewat orang lain. Coba lihat, apakah aku bisa menebaknya."

"Silakan."

"Orang itu ibumu. bukan?"

"Dari mana Tuan mengetahuinya?" Hideyoshi hanya tertawa.

"Dari mana Tuan mengetahuinya?" desak Ranmaru. "Myoko pasti pcrcaya pada hal-hal semacam itu," kata Hideyoshi. "Atau lebih tepatnya, dia menggemari hal-hal seperti itu. Dan dia punya hubungan baik dengan Asayama. Tapi kalau menurutku, aku cenderung percaya bahwa Asayama lebih pandai menilai fisiognomi sebuah provinsi daripada jati diri

orang lain."

"Fisiognomi sebuah provinsi?"

"Jika penilaian watak seseorang berdasarkan tampangnya dapat disebut fisiognomi, penilaian watak sebuah provinsi dengan cara yang sama juga dapat disebut demikian. Aku menyadari bahwa Ekei telah menguasai seni itu. Sebaiknya kau jangan terlampau akrab dengan orang-orang seperti dia. Sepertinya dia hanya biksu biasa, tapi sesungguhnya dia kaki tangan Mori Terumoto, si penguasa provinsi-provinsi Barat. Bagaimana menurutmu, Ranmaru?" Hideyoshi menambahkan sambil tertawa. "Bukankah aku lebih hebat daripada Ekei?"

Gerbang Kuil Sojitsu mulai tampak. Kedua laki-laki itu masih tertawa ketika mereka menaiki tangga batu.

Pembangunan benteng maju dengan pesat. Pada akhir Bulan Kedua tahun itu, Nobunaga telah meninggalkan Gifu dan pindah. Benteng Gifu diberikan pada putra sulung Nobunaga, Nobutada, yang berusia sembilan belas tahun.

Akan tetapi, sementara Benteng Azuchi—tanpa tandingan dalam kekokohan, sekaligus awal era baru di bidang pembangunan benteng—menjulang tinggi di atas persimpangan strategis itu, ada juga yang mempertanyakan nilai militernya, termasuk para biksuprajurit dari Honganji, Mori Terumoto dari provinsiprovinsi Barat, serta Uesugi Kenshin dari Echigo.

Azuchi bcrada di tepi jalan raya yang menghubungkan Echigo dengan Kyoto. Kenshin, tentu saja, juga mempunyai rencana untuk memasuki ibu kota, jika kesempatan yang tepat tiba, ia akan melintasi gununggunung, muncul di sebelah utara Danau Biwa, dan dengan sekali pukul, mengibarkan panji-panjinya di Kyoto.

Sang Shogun dalam pengasingan, Yoshiaki, yang sudah cukup lama tidak terdengar kabarnya, mengirim pesan-pesan pada Kenshin, dan mencoba menghasutnya untuk benindak.

Saat ini baru bagian luar Benteng Azuchi yang sudah rampung. Penyelesaian bagian dalamnya akan makan waktu dua setengah tahun. Begitu pem-bangunan benteng itu tuntas, jalan antara Echigo dan Kyoto bisa dianggap tak ada lagi. Sekaranglah waktu yang tepat untuk bergeratk. Aku akan mengelilingi provinsi-provinsi dan membentuk persekutuan di antara semua pihak yang menentang Nobunaga, termasuk Yang Mulia Terumoto dari provinsi-provinsi Barat, marga Hojo, marga Takeda, dan marga Yang Mulia sendiri di Echigo. Tapi, jika Yang Mulia tidak bertindak sebagai pemimpin prakarsa ini, aku tidak berani meramalkan keberhasilannya.

Kenshin memaksakan senyum. lalu berkata dalam hati. "Apakah cacing kecil ini hendak menggeliat-geliat sampai dia berumur seratus tahun?" Kenshin bukan pemimpin bodoh yang mungkin terpancing oleh umpan seperti itu."

Dari Tahun Baru sampai ke musim panas, Kenshin memindahkan pasukannya ke Kaga dan Noto, dan mulai mengancam perbatasan Oda. Secepat kilat bala bantuan dikirim dari Omi. Di bawah komando Shibata Katsuie, pasukan Takigawa, Hideyoshi, Niwa, Sasu, dan Maeda mengejar-ngejar musuh dan membakar desa-desa yang digunakan sebagai tempat berlindung, sampai ke Kanatsu.

Seorang utusan datang dari kubu Kenshin dan berseru lantang bahwa surat yang dibawanya hanya boleh dibaca oleh Nobunaga.

"Tak pelak lagi, ini tulisan tangan Kenshin sendiri," ujar Nobunaga ketika ia membuka segelnya.

Sudah lama aku mendengar nama besar Tuan, dan aku menyesal karena belum diberi kesempatan bertatap muka. Sekaranglah kesempatan terbaik. Jika kita tidak bertemu dalam pertempuran, kita berdua akan menyesal selama bertahun-tahun. Pertempuran akan dimulai besok, pada Jam Kelinci. Aku akan menemui Tuan di Sungai Kanatsu. Semuanya akan diselesaikan pada waktu kita berhadapan satu lawaan satu.

Surat itu berisi tantangan resmi untuk bertcmpur. "Ke mana utusannya?" tanya Nobunaga.

"Dia segera kembali," jawab seorang pengikutnya.

Nobunaga mcrinding. Malam itu ia tiba-tiba memerintahkan untuk membongkar perkemahan, dan pasukannya mundur.

Kenshin tertawa keras-keras ketika mendengar kabar itu. "Itulah Nobunaga. Seandainya dia tetap di tempat, besok dia bisa menyerahkan semuanya untuk diinjakinjak oleh kaki kudaku, dan selain bertemu dengannya, seharusnya aku sekaligus bisa membantu memenggal kepalanya di tepi sungai itu."

Tapi Nobunaga cepat-cepat kembali ke Azuchi, disertai satu regu prajuritnya. Ketika teringat surat tantangan Kenshin yang bergaya kuno, mau tak mau ia tersenyum meringis.

"Mungkin cara inilah yang digunakan untuk memancing Shingen di Kawariakajima. Dia memang tak kenal takut. Dan dia sangat bangga akan pedang panjangnya, yang dibuat oleh Azuki Nagamitsu. Rasanya aku tidak berminat melihat pedang itu dengan mata kepala sendiri. Sayang sekali Kenshin tidak lahir di masa lampau, ketika para samurai memakai baju tempur dengan lempeng emas. Entah bagaimana pendapatnya mengenai Azuchi, yang mencampuradukkan gaya Jcpang, Cina, dan bangsa barbar dari Selatan? Segala perubahan dalam persenjataan dan strategi telah membawa kita ke sebuah dunia baru. Bagaimana mungkin seseorang berkeras bahwa seni perang tidak ikut berubah pula? Barangkali dia menertawakan gerak mundurku sebagai tindakan pengecut, tapi pemikirannya yang telah ketinggalan zaman justru kalah dibandingkan pemikiran para pengrajinku.

Mereka yang mendengarkan ini dengan sungguhsungguh bisa belajar banyak. Ada juga yang diajari. tapi tak pernah belajar apa pun.

Setelah Nobunaga kembali ke Azuchi, ia diberitahu bahwa terjadi sesuatu selama operasi di Utara, antara panglima pasukannya, Shibata Katsutc, dan Hideyoshi. Penyebabnya tidak jelas, tapi kedua orang ini berselisih mengenai strategi. Akibatnya Hideyoshi mengumpulkan anak buahnya dan kembali ke Nagahama, sementara Katsuie cepat-cepat memohon pada Nobunaga dengan berkata, "Hideyoshi merasa tak perlu menaati perintah tuanku dan kembali ke bentengnya. Sikapnya tak dapat dimaafkan, dan dia harus dihukum karenanya."

Tak ada kabar dari Hideyoshi. Menyangka bahwa Hideyoshi memiliki alasan kuat untuk tindakannya. Nobunaga memutuskan menunggu sampai semua jendral kembali dari operasi di Utara, sebelum menyelesaikan masalahnya. Namun desas-desus terus berdatangan.

"Yang Mulia Katsuie marah sekali."

"Yang Mulia Hideyoshi terlalu lekas marah. Tak ada jendral yang menarik pasukannya di tengah operasi militer tanpa mencoreng arang di kening sendiri."

Akhirnya Nobunaga menyuruh seorang pembantunya menydidiki persoalan itu.

"Apakah Hideyoshi benar-benar sudah kembali ke Nagahama?" tanya Nobunaga.

"Ya, kelihatannya dia memang berada di sana," pembantunya menjawab.

Nobunaga terpancing amarah, dan ia mengirim utusan untuk menyampaikan teguran keras. "Sikapmu sungguh kurang ajar. Sebelum melakukan apa-apa. perlihatkanlah penyesalanmu."

Ketika utusannya kembali, Nobunaga bertanya. "Seperti apa ekspresinya waktu mendengar teguranku?"

"Dia tampak seakan-akan berpikir. 'Oh, begitu?'" "Hanya itu?"

"Kemudian dia mengatakan sesuatu mengenai beristirahat sejenak."

"Dia terlalu berani dan mulai besar kepala." Roman muka Nobunaga tidak memperlihatkan bahwa ia benar-benar murka terhadap Hideyoshi, walaupun ia telah menegur Hideyoshi secara lisan. Namun, ketika Katsuie dan para jendral lain akhirnya kembali. kemarahan Nobunaga pun meledak.

Salah satu sebabnya, walaupun Hideyoshi dikenakan tahanan rumah di Benteng Nagahama, ia bukannya menunjukkan penyesalan, melainkan justru mengadakan pesta minum setiap hari. Tak ada alasan bagi Nobunaga untuk tidak marah, dan orang-orang menerka bahwa dalam keadaan paling buruk, Hideyoshi akan diperintahkan melakukan seppuku, dan dalam keadaan baik, ia disuruh datang ke Benteng Azuchi untuk dihadapkan ke mahkamah militer. Tapi, setelah beberapa saat, Nobunaga rupanya sudah melupakan kejadian itu, dan kemudian tak pernah menyinggungnya lagi.

***

Di Benteng Nagahama. Hideyoshi mulai terbiasa bangun siang. Setiap hari Nene melihat wajah suaminya saat matahari sudah tinggi di langit.

Bahkan ibunya merasa khawatir dan berkomentar pada Nene, "Tidak biasanya dia seperti ini." Sulit bagi Nene untuk menemukan jawabannya. Hideyoshi selalu tidur sampai siang karena ia minumminum pada malam harinya. Kalau ia minum di rumah, wajahnya langsung merah setelah empat atau lima cawan kecil, kemudian ia cepat-cepat menyelesaikan makan malamnya. Setelah itu ia mengumpulkan para samurai kawakan dan minum-minum sampai larut malam, tanpa mengindahkan waktu. Akibatnya ia tertidur di ruang pelayan. Suatu malam, ketika istrinya sedang berjalan di selasar utama bersama para dayang, ia melihat seorang laki-laki melangkah perlahan ke arahnya. Laki-laki itu mirip Hideyoshi, tapi Nene berseru. "Siapa itu?" seakan-akan tidak mengenalinya.

Suaminya terperanjat, dan berbalik untuk menyembunyikan kebingungannya, tapi dengan gerakannya yang kikuk, ia malah kelihatan seperti sedang berlatih menari. "Aku tersesat." Ia menghampiri Nene dan menjaga keseimbangan dengan meraih bahu istrinya itu. "Ah, aku mabuk. Nene, gendonglah aku! Aku tak sanggup jalan."

Kctika Nene melihat betapa Hideyoshi berusaha menutup-nutupi keadaannya, ia langsung tertawa. Lalu ia menegur sambil berlagak marah. "Baik, baik, aku akan menggendongmu. Omong-omong, ke mana tujuanmu?"

Hideyoshi naik ke punggung Nene dan mulai tertawa cekikikan.

"Ke kamarmu. Bawa aku ke kamarmu!" ia memohon dengan sangat, lalu menendang-nendang seperti anak kccil.

Nene, yang terbungkuk karena beban yang dibawanya, bergurau dengan dayang-dayangnya, "Dengar, semuanya, ke mana aku harus membawa pengelana lusuh yang kutemui di jalan ini?"

Para dayang merasa begitu geli, hingga terpingkalpingkal sampai keluar air mata. Kemudian mereka mengelilingi laki-laki yang digendong Nene, dan bersenda gurau sampai pagi di kamar Nene.

Kejadian seperti itu dapat dihitung dengan jari satu tangan. Pada pagi hari, Nene sering merasa seakanakan tugasnya adalah menatap wajah suaminya yang cemberut. Apa yang disembunyikan Hideyoshi? Mereka telah lima belas tahun menikah. Usia Nene kini sudah lebih dari tiga puluh, dan suaminya empat puluh satu tahun. Ia tak bisa percaya bahwa roman muka getir yang setiap pagi diperlihatkan Hideyoshi hanya akibat suasana hati yang sedang tidak enak. walaupun ia menyesalkan sikap suaminya, dengan tulus ia berdoa agar diberi petunjuk untuk memahami kesusahannya—biarpun hanya sedikil—dan meringankan penderitaannya.

Pada saat-saat scperri ini, Nene menganggap ibu Hideyoshi sebagai teladan. Suatu pagi ibu mertuanya bangun lebih dini, dan pergi ke kebun sayur di pekarangan utara, ketika embun masih membasahi bumi.

"Nene," ia berkata, "masih banyak waktu sebelum Hideyoshi bangun. Mari kita petik terong di kebun. Tolong bawakan keranjang."

Perempuan tua itu mulai memetik. Nene mengisi satu keranjang, lalu mengambil keranjang lain.

"Hei, Nene! Kau dan Ibu ada di sana?"

Suara itu milik suaminya—suaminya yang belakangan ini begitu jarang bangun pagi.

"Aku tidak tahu kau sudah bangun," Nene memohon maaf.

"Aku tiba-tiba saja terjaga. Para pelayan pun kelihatan kaget." Hideyoshi tersenyum cerah, pemandangan yang sudah cukup lama tak pernah dilihat Nene. "Takenaka Hanbei melaporkan bahwa kapal dengan bendera utusan sedang menuju ke sini dari Azuchi. Aku langsung bangun, pergi ke altar, lalu pergi ke sini untuk minta maaf karena mengabaikanmu akhir-akhir ini."

"Aha! Kau sudah minta maaf kepada para dewa!" ujar ibunya sambil terkekeh-kekeh.

"Benar. Setelah itu, rasanya aku harus minta maaf pada ibuku, dan bahkan pada istriku," Hideyoshi menambahkan dengan sungguh-sungguh. "Untuk itukah kau datang ke sini?"

"Ya, dan kalau saja kalian mengerti bagaimana perasaanku, aku tak perlu melakukannya lagi,"

"Oh, anak ini memang pintar."

Walaupun ibu Hideyoshi mungkin agak curiga melihat putranya tiba-tiba bersikap demikian ceria, ia segera memahami sebabnya. "Tuan Maeda dan Tuan Nonomura baru saja tiba di gerbang. Mereka datang sebagai kurir resmi dari Azuchi. Tuan Hikoemon langsung menyambut dan membawa mereka ke ruang penerima tamu," Mosuke mengumumkan.

Hideyoshi menyuruh pelayannya pergi dan mulai memetik terong bersama ibunya. "Ah, terongnya tumbuh subur. Ibu sendirikah yang menaburkan pupuk?"

"Bukankah kau harus bergegas untuk menemui para kurir Yang Mulia?" tanya ibunya.

"Tidak perlu. Aku sudah bisa menebak maksud kedatangan mereka, jadi tak perlu bingung. Aku ingin memetik beberapa terong dulu. Tentu menyenangkan memamerkan warna zamrud yang berkilau dan berselubung embun pagi pada Yang Mulia Nobunaga."

"Kau akan memberikan terong kepada para utusan sebagai tanda mata untuk Yang Mulia?"

"Bukan, aku sendiri yang akan membawanya pagi ini."

"Apa?!"

Bagaimanapun, Hideyoshi telah membangkitkan kemarahan junjungannya, dan dikenakan tahanan rumah. Pagi itu ibunya mulai merasa ragu, dan dalam sekejap hampir bingung karena cemas.

"Tuanku? Kedatangan tuanku sudah dinanti-nanti." Hanbei datang menjemput Hideyoshi, yang akhirnya meninggalkan ladang terong.

Setelah   persiapan    untuk    perjalanan    tuntas, Hideyoshi meminta para utusan menyertainya kembali ke Azuchi.

Tiba-tiba ia berhenti. "Oh, aku lupa sesuatu! Tanda mata untuk Yang Mulia." Ia menyuruh seorang pengikut mengambil keranjang berisi terong. Semuanya sudah ditutup daun, dan embun masih menempel.

Usia kota benteng Azuchi belum lagi setahun, tapi sepertiganya telah rampung dan para warganya hidup dalam kesejahteraan. Semua orang yang singgah di sini terkesan oleh kesibukan kota baru ini, oleh jalan berlapis pasir perak yang menuju gerbang benteng, tangga yang dibuat dengan bongkahan batu besar, dinding-dinding yang diplester, dan perlengkapan logam yang dipoles sampai berkilau.

Dan scmcniara pemandangan itu memang memukau, kemegahan donjon bertingkat lima tak dapat dilukiskan, apakah dilihat dari danau, dari jalanjalan kota benteng di bawahnya, atau bahkan dari pekarangan benteng sendiri.

"Hideyoshi, kau datang." Suara Nobunaga terdengar dari balik pintu geser yang tertutup. Ruangan itu, di tengah-tengah pernis emas, merah, dan biru Azuchi, dihiasi oleh lukisan tinta yang bersahaja.

Hideyoshi masih agak jauh, menyembah di ruang sebelah.

"Kurasa kau sudah mendengamya, Hideyoshi, Hukumanmu sudah kubatalkan. Masuklah."

Hideyoshi maju perlahan-lahan dari ruang sebelah, sambil membawa keranjang berisi terong. Nobunaga menatapnya curiga. "Apa itu?"

"Ehm, moga-moga tanda mata ini berkenan di hati tuanku." Hideyoshi bergerak maju dan meletakkan keranjangnya di hadapan Nobunaga. "Ibu dan istri hamba menanam terong ini di kebun di benteng."

"Terong?"

"Tuanku mungkin menganggapnya tanda mata yang konyol dan aneh, tapi karena hamba datang naik perahu cepat, hamba pikir tuanku sempat melihat terong ini sebelum embunnya menguap. Hamba sendiri yang memetik semuanya tadi pagi."

"Hideyoshi, kurasa yang hendak kauperlihatkan tentu bukan terong maupun embun yang belum menguap. Apa sebenarnya yang hendak kausampaikan?"

"Tuanku tentu dapat menebaknya. Hamba pelayan yang tak berarti, tapi tuanku telah mengangkat hamba dari petani bersahaja menjadi pengikut yang menguasai wilayah senilai dua ratus dua puluh ribu gantang. Walau demikian, ibu hamba yang tua tak pernah lalai mengangkat pacul, menyiram sayurmayur, dan menabur pupuk di ladang. Setiap hari hamba berterima kasih atas pelajaran yang diberikannya. Tanpa perlu berkata apa-apa, dia memberi tahu hamba, Tak ada yang lebih berbahaya daripada petani yang menjadi orang besar, dan kau sebaiknya membiasakan diri bahwa perasaan dengki orang lain berasal dari kesombongan mereka sendiri. Jangan lupa masa lalumu di Nakamura, dan ingatlah selalu kemurahan hati yang ditunjukkan junjunganmu padamu."

Nobunaga mengangguk, dan Hideyoshi melanjutkan. "Percayakah tuanku bahwa hamba mungkin menyusun strategi yang tidak menguntungkan bagi tuanku, kalau hamba memiliki ibu seperti itu? Hamba menganggap pelajarannya sebagai jimat. Walaupun hamba bertikai secara terbuka dengan panglima pasukan, dalam dada hamba tidak ada kepalsuan."

Pada titik itu, tamu di samping Nobunaga menepuk pahanya dan berkata, "Terong ini benar-benar tanda mata yang baik. Nanti kita cicipi bersama."

Baru sekarang Hideyoshi menyadari bahwa ada orang lain di dalam ruangan: seorang laki-laki yang tampak berusia tiga puluhan. Mulutnya yang besar memperlihatkan kemauannya yang keras. Alisnya tebal, dan pangkal hidungnya agak melebar. Sulit dikatakan apakah ia keturunan petani atau sekadar berbadan tegap, tapi sorot matanya serta kilauan kulitnya yang berwarna merah tua menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan batin yang hebat.

'Apakah terong dari kebun ibu Hideyoshi juga menyenangkanmu, Kanbei? Aku sendiri senang menerimanya," ujar Nobunaga sambil tertawa. Kemudian, dengan sikap lebih serius, ia memperkenalkan tamunya pada Hideyoshi.

"Ini Kuroda Kanbei, putra Kuroda Mototaka, pengikut senior Odera Masamoto di Harima." Mendengar ini, Hideyoshi tak sanggup menyembunyikan rasa terkejutnya. Kuroda Kanbei adalah nama yang terus-menerus didengarnya. Disamping itu, ia sering melihat surat-suratnya.

"Wah! Jadi, Tuan-lah Kuroda Kanbei."

"Dan aku berhadapan dengan Yang Mulia Hideyoshi, yang namanya sudah sering kudengar?"

"Selalu dalam surat."

"Ya, tapi aku tak bisa menganggap ini sebagai pertemuan kita yang pertama."

"Dan sekarang aku ada di sini, memohon ampun pada junjunganku. Aku khawatir Tuan akan menertawakanku. Inilah Hideyoshi, orang yang selalu dimarahi oleh junjungannya." Dan ia tertawa dengan suar, yang seakan-akan menyapu segala sesuatu. Nobunaga pun tertawa lepas. Dengan Hideyoshi ia bisa tertawa gembira mengenai hal-hal yang sebenarnya tidak menggembirakan.

Dalam waktu singkat, terong yang dibawa Hideyoshi selesai dimasak, dan tak lama kemudian ketiga orang itu sudah memulai pesta minum. Kanbei sembilan tahun lebih muda dari Hideyoshi, tapi tak kalah sedikit pan dalam pemahaman mengenai arus zaman atau intuisi tentang siapa vang akan meraih tampuk kekuasaan. Ia tak lebih dari putra pengikut sebuah marga berpengaruh di Harima, tapi ia mempunyai benteng kecil di Himeji, dan sejak muda telah menggenggam ambisi besar. Selain itu, dari orang di provinsi-provinsi Barat, hanya ia sendiri yang cukup jeli membaca perkembangan, sehingga mendatangi Nobunaga dan diam-diam menekankan pentingnya penaklukan daerah tcrscbut. Pihak paling berkuasa di daerah Barat adalah marga Mori yang memiliki pengaruh di dua puluh provinsi. Kanbei hidup di tengah-tengah mereka, tapi ia tidak silau melihat kebesaran mereka. Ia menyadari bahwa sejarah bangsa mengalir ke satu arah. Dibekali pengertian ini, ia mencari-cari satu orang: Nobunaga. Dari sudut itu saja, sulit menganggap Kanbei sebagai orang kebanyakan. Sesungguhnya ia merupakan orang yang pandai membeda-bedakan.

Ada pepatah yang mengatakan bahwa satu orang besar selalu dapat mengenali orang besar lainnya. Dalam percakapan mereka pada pertemuan Hideyoshi dan Kanbei tampak akrab, seakan-akan telah saling mengenal selama seratus tahun. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar