Taiko Bab 21 : Keruntuhan Kai

Buku Lima ~ Tahun Ketiga Tensho 1575

Bab 21 : Keruntuhan Kai

TAKEDA KATSUYORI telah mengalami tiga puluh musim gugur. Ia lebih tinggi dan lebih kekar daripada ayahnya, Takeda Shingen, dan konon ia laki-laki yang tampan.

Tiga tahun telah berlalu sejak kematian Shingen.

Bulan keempat merupakan akhir masa dukacita.

Perintah terakhir Shingen, "Sembunyikan duka kalian selama tiga tahun," dijalankan secepat-cepatnya. Namun setiap tahun pada hari kematiannya, lenteralentera di semua kuil di Kai—dan terutama lenteralentera di Kuil Kitin—dinyalakan untuk mengadakan upacara pcringatan secara sembunyi-sembunyi. Selama tiga hari Katsuyori mengabaikan semua urusan militer dan mengunci diri di Kuil Rishamon untuk bermeditasi.

Pada tahun ketiga, Katsuyori menyuruh buka pintupintu kuil untuk mengeluarkan asap dupa yang dibakar selama upacara peringatan Shingen. Begitu Katsuyori selesai berganti pakaian, Atobe Oinosuke minta waktu untuk menghadap.

"Tuanku." Oinosuke mulai berkata. "harap tuanku segera membaca surat ini, dan memberi jawaban pada hamba. Jawaban lisan pun sudah cukup. Hamba akan menuliskannya untuk Tuanku."

Katsuyori cepat-cepat membuka surat itu. "Oh... dari Okazaki." Terlihat jelas bahwa surat itu sudah beberapa lama ditunggu-tunggunya, dan ekspresi yang melintas di wajah Katsuyori ketika membacanya juga bukan ekspresi biasa. Sesaat ia seakan-akan tak dapat mengambil keputusan.

Kicauan seekor burung terdengar dari kejauhan, yang menandakan kedatangan musim panas.

Katsuyori menatap langit lewat jendela. "Aku mengerti. Itu jawabanku."

Oinosuke memandang junjungannya. "Cukupkah itu, tuanku?" ia bertanya, sekadar untuk memastikan.

"Ya," jawab Katsuyori. "Kesempatan emas ini tak boleh disia-siakan. Kurir yang membawa pesan ini harus orang yang dapat dipercaya."

"Urusan ini teramat penting. Tuanku tak perlu khawatir." Tidak lama setelah Oinosuke meninggalkan kuil, sebuah pemberitahuan mengenai pengerahan pasukan mulai beredar. Prajurit-prajurit terlihat berdatangan sepanjang malam, dan kesibukan di dalam dan di luar benteng tak ada habis-habisnya. Ketika fajar menyingsing, sekitar lima belas ribu prajurit basah akibat embun pagi, telah menunggu di lapangan upacara di luar benteng. Dan prajuritprajurit lain masih terus berdatangan. Sebelum matahari terbit, bunyi sangkakala yang menandakan keberangkatan pasukan. Beberapa kali terdengar bergema di atas rumah-rumah di Kofu.

Malam itu Katsuyori hanya tidur sebentar, tapi kini ia telah mengenakan baju tempur lengkap. Penampilannya bukan seperti orang yang kurang tidur, dan kesehatannya yang luar biasa serta impiannya untuk mencapai hal-hal besar tampak bersinar, seperti embun pada daun-daun muda.

Ia tidak menyia-nyiakan satu hari pun sejak kematian ayahnya tiga tahun yang lalu. Pegunungan dan sungai-sungai berarus deras membentuk pertahanan alami di sekeliling Kai, tapi Katsuyori tidak puas dengan provinsi yang diwarisinya. Bagaimanapun, ia dianugerahi keberanian dan kecerdikan melebihi ayahnya. Katsuyori—berbeda dengan keturunan banyak marga samurai tersohor lainnya— tak bisa disebut putra yang mengecewakan. Justru sebaliknya, kebanggaannya, kesadarannya akan kewajiban, serta kegagahannya dalam pertempuran malah bisa dibilang berlebihan.

Meski marga Takeda berusaha merahasiakannya, berita mengenai kematian Shingen telah sampai di provinsi-provinsi rnusuh, dan tidak sedikit yang merasa bahwa kescmpaun ini tak dapat diabaikan begitu saja. Marga Uesugi telah melancarkan serangan mendadak, marga Hojo pun telah bcrubah sikap. Dan bisa dipastikan bahwa jika ada peluang, marga Oda dan Tokugawa pun akan melakukan serbuan dari wilayah masing-masing.

Katsuyori, seperti putra setiap orang besar, berada dalam posisi sulit. Meski demikian, ia tak pernah membawa aib bagi nama ayahnya. Dalam hampir setiap pertempuran, ia keluar sebagai pemenang. Karena itu, ada desas-desus bahwa kematian Shingen sengaja direkayasa, sebab ia seolah-olah menampakkan diri setiap kali ada kesempatan.

"Jendral Baba dan Jendral Yamagata memohon waktu untuk menghadap tuanku sebelum pasukan maju ke medan laga," seorang pengikut melaporkan.

Pasukan Kai sudah siap berangkat ketika pesan itu disampaikan pada Katsuyori. Baik Baba Nobufusa dan Yamagata Masakage merupakan pengikut senior sejak masa Shingen.

Katsuyori balik benanya. "Apakah keduanya sudah siap bergerak?

"Sudah, tuanku," balas si pembawa pesan.

Katsuyori mcngangguk-angguk. "Kalau begitu, bawa mereka ke sini."

Sesaat kemudian, kedua jendral itu muncul di hadapan Katsuyori. Ia sudah tahu apa yang akan mereka katakan.

"Tuanku bisa lihat sendiri." Baba mulai berkata. "kami langsung berangkat ke sini waktu menerima kabar mengenai pengerahan pasukan semalam. Tapi kejadian ini sangat tidak lazim. Tak ada rapat perang. dan kami berdua tidak memahami tujuan operasi militer ini. Keadaan dewasa ini tidak memungkinkan kita melakukan pergerakan pasukan dengan sembrono." Yamagata melanjutkan. "Mendiang ayah tuanku, tuanku Shingen, berulang kali mencicipi pahitnya kekalahan waktu kita menyerang ke barat. Mikawa memang kecil, tapi prajurit-prajuritnya gagah berani, dan saat ini marga Oda tentu sudah sempat mengambil langkah-langkah balasan. Kalau kita maju terlalu jauh, kita mungkin tak dapat mundur dengan selamat."

Sambil bicara bergantian, kedua orang itu mengemukakan keberatan masing-masing. Keduaduanya merupakan veteran yang dilatih oleh Shingen sendiri, dan kecerdikan serta keberanian Katsuyori tidak dipandang sebelah mata oleh mereka. Justru sebaliknya, mereka menganggapnya sebagai ancaman. Katsuyori sudah agak lama merasakannya, dan wataknya menyebab-kan ia tak dapat menerima saran mereka—bahwa langkah terbaik adalah menjaga perbatasan Kai selama beberapa tahun.

"Kalian tahu bahwa aku tak mungkin melancarkan operasi militer secara gegabah. Tanyakan detaildetailnya pada Oinosuke. Tapi kali ini bisa dipastikan kita akan merebut Benteng Okazaki dan Benteng Hamamatsu. Aku akan menunjukkan bagaimana caranya mewujudkan sebuah impian lama. Straregi kita harus dirahasiakan. Aku takkan memberitahukan rencanaku kepada para prajurit sebelum kita mulai mendesak musuh."

Dengan tangkas Katsuyori menghindari keluhan kedua jendralnya yang kelihatan tak senang.

Saran untuk menemui Oinosuke demi memperoleh keterangan lebih lanjut terasa mengganjal di hati mereka. Kedua jendral itu saling melirik, dan sekilas mereka bertukar pandang sambil terheran-heran. Pasukan dikerahkan tanpa berkonsultasi dulu dengan mereka—jendral-jendral paling senior—dan keputusan diambil dengan orang seperti Atobe Oinosuke.

Sekali lagi Baba mencoba berbicara dengan Katsuyori. "Nanti kami akan mendengarkan segala sesuatu yang mau dikatakan oleh Tuan Oinosuke, tapi jika tuanku sebelumnya sudi menyampaikan sepatahdua kata mengenai rencana rahasia ini, kami sebagai jendral tua dapat menatap tempat kematian kami dengan hati mantap."

"Aku tidak mau mengatakan apa-apa lagi di sini." ujar Katsuyori sambil memandang orang-orang di hadapannya. Kemudian ia menambahkan dengan keras, "Aku senang bahwa kalian merasa prihatin, tapi aku bukannya tidak sadar betapa pentingnya urusan ini. Selain itu, aku tak bisa membatalkan rencana itu sekarang. Tadi pagi aku telah bersumpah demi Mihata Tatenashi."

Ketika mendengar nama-nama keramat ini, kedua jendral segera menyembah dan mengucapkan doa dalam hati. Mihata Tatenashi merupakan benda pusaka yang sudah selama Beberapa generasi dimuliakan oleh marga Takeda. Mihata merupakan panji dewa perang Hachiman: Tatenashi adalah baju tempur pendiri marga. Marga Takeda memiliki peraturan yang tak dapat dilanggar, yaitu jika seseorang telah mengucapkan sumpah dengan menyebut nama kedua benda pusaka itu, sumpahnya tak dapat ditarik kembali. Pengumuman Katsuyori bahwa ia bertindak bcrdasarkan sumpah keramat berarti tak ada alasan lagi bagi kedua jendral untuk terus membantah. Pada saat itu, bunyi sangkakala memberi aba-aba bagi pasukan untuk membentuk formasi dan bersiap-siap berangkat, sehingga kedua jendral terpaksa mohon diri. Tapi, masih diliputi perasaan khawatir mengenai nasib marga, mereka berkuda untuk menemui Oinosuke di tengah barisan.

Oinosuke mengosongkan tempat itu dan dengan bangga menceritakan rencana junjungan mereka. Di Okazaki, yang kini diperintah oleh putra Ieyasu, Nobuyasu, ada laki-laki bernama Oga Yashiro yang mengatur keuangan. Beberapa waktu sebelumnya, Oga menyeberang ke kubu Takeda dan kini merupakan sekutu kepercayaan Katsuyori.

Kurir yang dua hari sebelumnya datang ke Tsutsujigasaki membawa pesan rahasia dari Oga, yang menyatakan bahwa waktunya sudah tiba. Nobunaga berada di ibu kota sejak awal tahun. Bahkan sebelum itu, ketika Nobunaga berusaha menghancurkan para biksu-prajurit di Nagashima, tidak mengirimkan bala bantuan dan hubungan antara kedua provinsi menjadi agak tegang.

Pada waktu pasukan Takeda menyerang Mikawa dengan kecepatannya yang tersohor, Oga akan menemukan jalan untuk menyulut kekacauan di Benteng Okazaki, membuka gerbang benteng, dan membiarkan pasukan Kai masuk. Kemudian Katsuyori akan membunuh Nobuyasu dan menyandera keluarga Tokugawa. Benteng Hamamatsu takkan mempunyai pilihan selain menyerah, dan pasukan pengawalnya akan bergabung dengan pasukan Takeda, sehingga terpaksa melarikan diri ke Ise atau Mino.

"Ragaimana pendapat Tuan-Tuan? Bukankah ini merupakan berkah dari para dewa?" kata Oinosuke dengan bangga, seakan-akan ia sendiri yang menyusun seluruh rencana itu. Kedua jendral tua tidak berminat mendengar lebih banyak lagi. Mereka meninggalkan Oinosuke, dan kembali ke resimen masing-masing, saling memandang sambil membisu.

"Baba, sebuah provinsi konon bisa runtuh, tapi gunung-gunung dan sungai-sungai tetap bertahan. Kita berdua tak sampai hati melihat gunung dan sungai di sebuah provinsi yang hancur," ujar Yamagata dengan perasaan mendalam.

Baba mengangguk, sorot matanya tampak sedih ketika ia berkata. "Akhir hayat kita mendekat dengan cepat. Kita tinggal mencari tempat yang baik untuk gugur, untuk mengikuti bekas junjungan kita, dan untuk menebus dosa-dosa kita sebagai penasihat yang buruk."

Reputasi Baba dan Yamagara sebagai kedua jendral Shingen yang paling berani telah jauh melampaui perbatasan Kai. Kepala mereka sudah beruban semasa Shingen masih hidup, tapi setelah kematiannya, rambut mereka dengan cepat berubah putih.

Daun-daun di pegunungan Provinsi Kai masih muda dan hijau menjelang musim panas tahun itu, dan air Sungai Fuefuki melantunkan nyanyian kehidupan abadi. Tapi berapa prajurit yang bertanyaianya apakah mereka masih akan melihat gununggunung itu?

Pasukan Takeda bukan lagi pasukan di masa hidup Shingen. Nada sedih yang membunyikan ketidakpastian hidup terdengar dalam panji-panji yang berkibar-kibar dan dalam bunyi langkah mereka. Tapi kelima betas ribu prajurit itu memukul genderang perang, mengibarkan panji-panji, dan menyeberangi perbatasan Kai; kemegahan yang tercermin dalam mata rakyat tak kalah gemilang dibandingkan dengan di masa Shingen.

Tepat ketika warna matahari terbenam menyerupai warna matahari saat terbit, tak peduli ke mana pun mata memandang—ke para pembawa pataka atau panji-panji masing-masing resimen, atau ke pasukan berkuda yang maju rapat-rapat di sekitar Katsuyori— tak ada tanda-tanda kemerosotan. Katsuyori sendiri tampak sangat pcrcaya diri, karena ia membayangkan bahwa benteng musuh di Okazaki sudah berada di tangannya. Dengan perhiasan emas pada helmnya memantul di pipi, masa depan jendral itu kelihatan cemerlang. Dan sebenarnya ia telah berhasil mencapai beberapa kemenangan yang memacu semangat tempur Provinsi Kai, bahkan setelah kematian Shingen yang termasyhur.

Bertolak dari Kai pada hari pertama di Bulan Kelima, mereka akhirnya melintasi Gunung Hira dari arah Totomi dan memasuki wilayah Mikawa, lalu mendirikan perkemahan di tepi sebuah sungai pada malam hari.

Dari tepi seberang, dua samurai musuh berenang ke arah mereka. Para penjaga segera menangkap kedua orang itu. Mereka ternyata samurai Tokugawa yang diusir dari provinsi mereka sendiri. Mereka minta agar dibawa ke hadapan Katsuyori.

"Apa? Kenapa mereka lari ke sini?" Katsuyori tahu arti kejadian itu. Pengkhianatan Oga telah terbongkar.

Katsuyori telah membawa pasukannya sampai ke Mikawa. Apakah aku harus menyerang, atau mundur? Katsuyori berulang kali bertanya pada diri sendiri. Ia sangat bingung dan merasa patah semangat. Seluruh rencana Katsuyori didasarkan atas pengkhianatan Oga dan kekacauan yang seharusnya ia buat di dalam Benteng Okazaki. Terbongkarnya kedok Oga serta penangkapannya merupakan pukulan berat. Tapi, setelah maju begitu jauh, tidaklah panias bagi seorang samurai untuk mundur tanpa berhasil mencapai apa pun. Di pihak lain, tidak pada tempatnya untuk maju secara sembrono. Batin Katsuyori bergolak hebat. Dan ia serasa ditusuk-tusuk ketika teringat bagaimana Baba dan Yamagata mewanti-wantinya agar tidak mengambil langkah gegabah, sebelum pasukannya bertolak dari Kai.

"Kirim tiga ribu prajurit ke arah Nagashino," Katsuyori memerintahkan. "Aku sendiri akan menyerang Benteng Yoshida dan menyapu daerah sekitarnya."

Katsuyori membongkar kemah sebelum fajar dan menuju Yoshida. Tanpa keyakinan akan kemenangan, ia membumihanguskan beberapa desa sebagai ajang pamer kekuatan. Ia tidak menyerang Benteng Yoshida, mungkin karena Ieyasu dan putranya, Nobuyasu, telah menggulung para pengkhianat dan cepat-cepat mengirim pasukan sampai ke Hajikamigahara.

Berbeda dengan pasukan Katsuyori yang kini tak dapat maju maupun mundur, sehingga hanya berusaha agar tidak kehilangan muka, pasukan Tokugawa telah membasmi para pemberontak dan menerjang dengan semangat menggebu-gebu.

"Apakah kita provinsi yang sekarat atau yang sedang menanjak?" demikian teriakan perang mereka. Jumlah mereka memang kecil, tapi semangat mereka berbeda sama sekali dengan pasukan Katsuyori.

Barisan depan kedua pasukan itu dua atau tiga kali terlibat bentrokan senjata di Hajikamigahara. Tapi pasukan Kai pun bukan pasukan sembarangan, dan menyadari bahwa mereka tak dapat menyaingi semangat tempur musuh, mereka tiba-tiba mundur.

Scruan, "Ke Nagashino! Ke Nagashino!" terdengar menggema. Mereka segera berbalik dan membelakangi pasukan Tokugawa, lalu berangkat seakan-akan harus menangani urusan mendesak di tempat lain.

Nagashino merupakan medan pertempuran kuno, dan bentengnya konon tak dapat ditaklukkan. Pada awal abad, benteng tersebut berada di tangan marga Imagawa. Belakangan marga Takeda mengakuinya scbagai bagian dari Kai. Tapi kemudian, di tahun pertama Tensho, benteng itu direbut oleh Ieyasu, dan kini berada di bawah komando Okudaira Sadamasa dari marga Tokugawa, dengan pasukan penjaga berkekuatan lima ratus orang.

Karena nilai strategisnya, Nagashino merupakan pusat segala macam komplotan, pengkhianatan, dan pertumpahan darah, bahkan di masa damai.

Pada malam di hari kedelapan Bulan Kelima. pasukan Kai telah mengepung benteng itu.

Benteng Nagashino berdiri di pertemuan Sungai Taki dan Ono, di daerah bergunung-gunung di bagian timur Mikawa. Di belakangnya, ke arah timur laut, tak ada apa-apa selain gunung. Lebar selokan pertahanannya, yang mengambil air dari arus deras kedua sungai, bcrkisar dari enam puluh sampai sembilan puluh meter. Di bagian terendah, tepinya menjulang dua puluh tujuh meter, dan di bagian tertinggi membentuk tebing setinggi empat puluh lima meter. Kedalaman airnya tak lebih dari satu setengah sampai dua meter, tapi arusnya deras.

"Betapa pongahnya!" ujar Komandan Benteng Nagashino ketika ia mengamati penyusunan pasukan Katsuyori dari menara jaga.

Sejak sekitar tanggal sepuluh, Ieyasu mulai mengirim kurir-kurir kepada Nobunaga. Beberapa kali dalam sehari, untuk melaporkan situasi di Nagashino. Setiap ancaman bagi marga Tokugawa juga dianggap ancaman terhadap marga Oda, dan suasana di Benteng Gifu sudah terasa lebih tegang daripada biasanya.

Nobunaga memberikan tanggapan positif, tapi ia tidak terburu-buru mengerahkan pasukannya. Rapat perang berlangsung selama dua hari.

"Tak ada kemungkinan menang. Percuma saja kita kerahkan pasukan," Mori Kawachi memperingatkan.

"Tidak! Itu berarti kita melalaikan kewajiban kita!" orang lain berdalih.

Yang lain, sepertni Nobumori, mengambil jalan tengah. "Seperti dikatakan Jendral Mori, sudah jelas bahwa peluang menang melawan Kai kecil sekali, tapi kalau kita menunda pengiriman pasukan, orang-orang Tokugawa bisa menuduh kita berbuat tidak jujur, dan kalau kita tidak berhati-hati, ada kemungkinan mereka pindah ke pihak musuh, bergabung dengan pasukan Kai, dan berbalik melawan kita. Hamba rasa kita sebaiknya mengerahkan pasukan secara pasif."

Kemudian, dari tengah-tcngah peserta rapat perang, sebuah suara terdengar lantang, "Tidak! Tidak!" Suara itu milik Hideyoshi yang telah bergegas datang dari Nagahama.

"Sekarang ini benteng di Nagashino mungkin kelihatan tidak penting," lanjutnya. "tapi setelah menjadi titik tolak bagi penyerbuan oleh Provinsi Kai, pertahanan orang-orang Tokugawa akan menyerupai tunggul bobol, dan kalau itu terjadi, sudah jelas pasukan Tokugawa takkan sanggup menahan Kai lama-lama. Jika kita sekarang memberikan keuntungan semacam itu pada Kai, bagaimana kita bisa menjamin keamanan Benteng Gifu?" Ia bicara dengan lantang, suaranya bergetar penuh emosi. Orang-orang yang hadir tak dapat berbuat lain dari memandangnya. Ia kembali bcrkata. "Sepengetahuanku tidak ada strategi militer yang membenarkan pengutusan pasukan secara pasif, kalau pasukan tersebut sudah dikerahkan. Daripada begitu, bukankah lebih baik kalau kita maju segera dan dengan yakin? Apakah marga Oda akan runtuh? Apakah marga Takeda akan meraih kemenangan?"

Semua jendral menyangka Nobunaga akan mengirim enam ribu atau tujuh ribu prajurit—pasti tak lebih dari sepuluh ribu—tapi keesokan harinya ia memberi pcrintah untuk menyiapkan pasukan besar berkekuatan tiga puluh ribu orang.

Walaupun Nobunaga tidak menyatakan sependapat dengan Hideyoshi selama rapat perang berlangsung, ia kini menunjukkannya melalui tindakan vang diambilnya. Ia sungguh-sungguh, dan ia sendiri yang akan memimpin pasukannya.

"Pasukan ini bisa saja disebut bala bantuan," Nobunaga berkata. "tapi sebenarnya nasib marga Odalah yang sedang dipertaruhkan."

Pasukan besar itu bertolak dari Gifu pada hari ketiga belas, dan mencapai Okazaki keesokan harinya. Pasukan Nobunaga hanya beristirahat satu hari. Pada pagi hari keenam belas, mereka sudah sampai di garis depan.

Kuda-kuda di seluruh desa mulai meringkik ketika mega-mega fajar mulai tampak. Panji-panji terdengar berdesir terkena   angin,  dan sangkakala  berkumandang. Jumlah prajurit yang bertolak dari kota benteng Okazaki pada pagi itu memang luar biasa besar, dan para warga provinsi kecil itu kelihatan takjub. Mereka lega sekaligus iri melihat pasukan serta perlengkapan yang dikerahkan oleh provinsi hebat yang merupakan sekutu mereka. Ketika ketiga puluh ribu prajurit Oda berbaris dengan segala panji dan pataka, jumlah kesatuan mereka sukar dipastikan. "Lihat senapan-scnapan yang mereka miliki!" seru orang-orang di pinggir jalan. Para prajurit Tokugawa pun tak sanggup menyembunyikan perasaan iri. Dari ketiga puluh ribu prajurit Nobunaga, hampir sepuluh ribu merupakan  pasukan senapan. Mereka juga menarik meriam besar yang terbuat dari besi cor. Tapi yang paling aneh, hampir setiap prajurit yang tidak memanggul senapan membawa tombak runcing yang biasa digunakan untuk membuat pagar pertahanan,

serta sepotong tali.

"Kenapa orang-orang Oda membawa tombak seperti itu?" para penonton bertanya-tanya.

Pasukan Tokugawa yang berangkat ke garis depan pada pagi hari berjumlah kurang dari delapan ribu orang. Dan itu sudah merupakan bagian terbesar dari kekuatan Mikawa. Satu-satunya hal yang tidak kurang adalah semangat mereka .

Bagi marga Oda, wilayah ini merupakan daerah asing—sebuah dacrah yang mereka datangi sebagai bala bantuan. Tapi bagi para prajurit marga Tokugawa. ini adalah tanah leluhur mereka, tanah yang tidak boleh diinjak musuh. Sejak awal, para prajurit rendahan pun berpegang pada keyakinan ini. Dibandingkan perlengkapan pasukan Oda, jelaslah bahwa perlengkapan mereka kalah jauh. Tapi mereka tidak merasa rendah diri. Setelah menempuh Beberapa mil, orang-orang Tokugawa mempercepat langkah mereka. Ketika mendekati Desa Ushikubo, mereka berganti arah, bergegas menjauhi pasukan Oda dan menuju Shidaragahara bagaikan awan badai.

Gunung Gokurakuji terletak tepat di depan dataran Shidaragahara, dan dari puncaknya posisi-posisi Takeda di Tobigasu, Kiyoida, dan Arumigahara tampak jelas.

Nobunaga mendirikan markas besarnya di atas Gunung Gokurakuji, sementara memilih Gunung Danjo. Ketiga puluh delapan ribu prajurit Tokugawa dan Oda di kedua gunung itu telah selesai mengadakan pcrsiapan untuk menghadapi pertecmpuran.

Langit mulai dipenuhi awan, namun tak ada tandatanda petir maupun angin.

Di Gunung Gokurakuji, para jendral dari pasukan Oda dan Tokugawa berkumpul di sebuah kuil di puncak gunung untuk mengadakan rapat gabungan. Di tengah-tengah rapat, dibentahu bahwa para pengintai baru saja kembali.

Ketika Nobunaga mendengar ini, ia berkata. "Mereka datang pada waktu yang tepat. Bawa mereka ke sini, agar kita semua bisa mendengarkan laporan tcntang pergerakan musuh."

Kedua pengintai memberikan laporan sambil bersikap sok penting. Yang pertama memulai dengan berkata, "Yang Mulia Katsuyon mendirikan markasnya di sebelah barat Ammigahara. Para pengikutnya serta pasukan berkudanya tampak cukup andal, jumlah mereka mencapai sekitar empat ribu orang, dan sepertinya mereka sama sekali tidak gelisah."

Pengintai kedua melanjutkan. "Obata Nobusada dan korps penyerangnya mengawasi medan pertempuran dari sebuah bukit rendah, agak ke selatan dari Kiyoida. Hamba melihat pasukan utama berkekuatan sekitar tiga ribu orang di bawah Naito Shuri berkemah di Kiyoida sampai ke Asai. Sayap kiri mereka, yang juga berkekuatan sekitar tiga ribu orang, bcrada di bawah komando Yamagata Masakage dan Oyamada Nubushigc. Dan terakhir, sayap kanan dipimpin oleh Anayama Baisetsu dan Baba Nobufusa. Mereka kelihatan sangat mengesankan."

"Bagaimana dengan pasukan yang mengepung Benteng Nagashino?" tanya Ieyasu.

"Kurang-lebih dua ribu orang tetap tinggal di sekitar benteng itu, dan mereka cukup merepotkan pasukan yang bertahan. Sepertinya juga ada korps pengintai di sebuah bukit di sebelah barat benteng, dan ada kemungkinan sekitar seribu prajurit bersembunyi di benteng-benteng sekitar Tobigasu."

Laporan kedua orang itu sebenarnya kurang lengkap. Tapi para jendral yang mereka sebut itu terkenal garang dan berani, dan baik Baba maupun Obata tersohor sebagai ahli strategi. Wajah para jendral Oda dan Tokugawa menjadi pucat ketika mendengar laporan kedua pengintai mengenai posisi musuh, semangat tempur mereka, serta ketenangan dan rasa percaya diri vang mereka perlihatkan.

Semuanya mcmbisu, sepertni orang-orang yang diserang rasa takut tepat sebelum pertempuran dimulai. Tiba-tiba Sakai Tadatsugu angkat bicara. Suaranya begitu keras, sehingga mengejutkan orangorang di sekelilingnya.

"Hasilnya sudah jelas. Tak perlu berdiskusi panjanglebar. Mana mungkin musuh yang begitu lemah sanggup melawan pasukan raksasa kita?"

"Cukup sekian perundingan kita," Nobunaga sependapa, lalu menepuk lutut. "Tadatsugu patut dijadikan teladan. Di mata seorang pengecut, burung bangau yang terbang di atas sawah menyerupai panji musuh dan membuatnya gemetar kctakutan." ia berkata sambil tertawa. "Aku merasa sangat lega setelah mendengar laporan para pengintai. Tuan Ieyasu, kita harus merayakannya!" Akibat pujian yang diterimanya, Sakai Tadatsugu terbawa luapan scmangat dan menambahkan. "Menurut pendapat hamba, kelemahan musuh yang terbesar terletak di Tobigasu. Jika kita mengambil jalan melingkar dan menyerang titik lemah mereka dari belakang dengan orang-orang bersenjata ringan, moral seluruh pasukan mereka akan mengendur, dan prajurit-prajurit kita..."

"Tadatsugu!" Nobunaga berkata dengan tajam. "Apa manfaatnya siasat seperti itu dalam pertempuran besar ini? Kau terlalu pongah. Kurasa lebih baik kalau semuanya menarik diri." Dengan menggunakan teguran sebagai alasan, Nobunaga mengakhiri rapat itu. Sambil menahan malu, Tadatsugu pergi bersama yang lain.

Namun, setelah semuanya meninggalkan kuil, Nobunaga berkata pada Ieyasu. "Maafkan aku karena menegur Tadatsugu yang gagah dengan begitu keras di depan semua orang tadi. Kupikir rencananya baik sekali, tapi aku takut karena mungkin ada yang membocorkannya pada musuh. Sudikah Tuan menghiburnya nanti?"

"Tidak, memang tidak seharusnya Tadatsugu membeberkan rencana kita, walaupun dia berada di antara sekutu. Itu pelajaran yang baik baginya. Dan aku pun belajar sesuatu."

"Teguranku tadi begitu keras, sehingga orang-orang kita sendiri pun takkan menyangka bahwa kita akan menggunakan rencana itu. Panggil Tadatsugu, dan izinkan dia melancarkan serangan dadakan ke Tobigasu."

"Aku percaya bahwa itulah keinginannya yang paling besar."

Ieyasu menyuruh pelayannya memanggil Tadatsugu, lalu menyampaikan pesan Nobunaga.

Tadatsugu tidak memerlukan dorongan lebih lanjut untuk bertindak. Secara diam-diam ia menyelesaikan persiapan untuk kesatuannya, lalu menghadap Nobunaga untuk pertemuan empat mata.

"Hamba akan berangkat saat matahari terbenam, tuanku." Hanya itu yang dikatakan Tadatsugu.

Nobunaga pun tidak banyak berkata. Tapi ia menugaskan lima ratus prajurit bersenapannya untuk menyertai Tadatsugu. Seluruh pasukan berkekuatan lebih dari tiga ribu orang.

Mereka meninggalkan perkemahan pada senja kala, diselubungi kegelapan Bulan Kelima. Ketika mereka berangkat, tirai hujan mengiris-iris kegelapan. Dalam keadaan basah kuyup mereka berbaris sambil membisu.

Sebclum mendaki Gunung Matsu, seluruh kompi bersembunyi di pekarangan sebuah kuil di kaki gunung. Para prajurit melepaskan baju tempur masingmasing, meninggalkan kuda-kuda, dan memanggul semua perlengkapan yang akan mereka bawa serta.

Lereng gunung teramat curam dan berlumpur akibat hujan yang sangat lebat. Setiap kali melangkah maju, kaki mereka  merosot lagi. Sambil berpegangan pada gagang tombak dan menggapai-gapai tangan rekan-rekan di atas mereka, para prajurit menempuh jarak tiga ratus lima puluh meter ke puncak.

Cahaya pucat mulai tampak di langit malam mendahului fajar yang akan menyusul. Awan-awan mulai terkuak, dan kemegahan matahari pagi menembus lautan kabut tebal.

"Langit mulai cerah!" "Berkah dari para dewa!" "Kondisinya sempurna!"

Di puncak gunung, para prajurit mengenakan baju tcmpur, lalu membagi diri menjadi dua kelompok. Kelompok pertama akan melancarkan serangan fajar terhadap kubu musuh di gunung itu, sementara kelompok kedua akan menyerang Tobigasu.

Orang-orang Takeda telah menyepelekan bahaya yang mengancam mereka. dan kini mereka berteriakteriak bingung. Api yang disulut oleh pasukan Tokugawa menyebabkan asap hitam mengepul-ngepul dari kubu musuh. Dalam keadaan kocar-kacir, orangorang Takeda melarikan diri ke arah Tobigasu. Tapi ketika itu divisi kedua Tadatsugu sudah membobol tembok benteng.

Pada malam sebelumnya, setelah keberangkaran Tadatsugu, seluruh pasukan Nobunaga telah diperintahkan maju. Namun ini bukan awal pertempuran.

Pasukannya mengabaikan hujan deras dan terus maju sampai ke dekat Gunung Chausu. Sejak itu sampai fajar, para prajurit memancang tonggaktonggak yang mereka bawa, lalu mengikat ujungujungnya dengan tali, sehingga membentuk pagar kayu runcing yang menyerupai kelabang meliuk-liuk.

Ketika fajar mendekat, Nobunaga memeriksa pertahanan dari atas kudanya. Hujan telah berhenti. dan pembangunan pagar sudah rampung.

Nobunaga berpaling kepada para jendral Tokugawa dan berseru sambil tertawa. "Tunggu saja! Hari ini kita akan membiarkan pasukan Kai mendekat, setelah itu mereka akan menjadi sasaran empuk bagi kita."

Begitukah? Para jendral Tokugawa tampak bimbang. Mereka menduga Nobunaga hanya berusaha menenangkan mereka. Tapi yang terlihat jelas oleh mereka adalah bahwa para prajurit dari Gifu—pasukan yang memanggul tonggak dan tali sejak dari Okazaki— kini berada di medan tempur. Dan ketiga puluh ribu tonggak telah membentuk pagar panjang yang mirip ular.

"Biarkan pasukan elite Kai menyerbu!"

Tapi konstruksi itu sendiri tak dapat digunakan untuk menyerang musuh. Dan untuk membinasakan musuh dengan cara yang digambarkan Nobunaga, mereka harus dipancing agar mendekati pagar. Untuk menarik musuh, salah satu kesatuan Sakuma Nobumori dan para penembak di bawah Okubo Tadayo dikirim ke luar pagar untuk menunggu pasukan Kai.

Tiba-tiba terdengar   seruan   keras.   Orang-orang Takeda telah bersikap sembrono menghadapi musuh, dan mereka berteriak-teriak ketika melihat asap hitam mengepul-ngepul dari arah Tobigasu, di belakang mereka.

"Musuh juga ada di belakang kita!" "Mereka menyerang dari belakang!"

Ketika kebingungan mereka berubah menjadi panik, Katsuyori memberikan perintah menyerbu. "Jangan tunda sedetik pun! Menunggu musuh hanya memberikan keuntungan padanya!"

Rasa pcrcaya dirinya, serta kepercayaan pasukan yang didasarkan atas rasa percaya diri tersebut, menghasilkan pernyataan tekad berikut: Jangan pertanyakan keputusanku! Percayakan nasib kalian pada kegagahan yang tak kenal kekalahan sejak masa Yang Mulia Shingen.

Tetapi peradaban terus maju seperti kuda yang berlari kencang. Bangsa barbar dari Selatan—orangorang Portugal—telah merombak teknik bertempur dengan memperkenalkan senjata api. Betapa malangnya Takeda Shingen yang tidak memiliki kebijaksanaan untuk meramalkan ini. Provinsi Kai, dilindungi oleh gunung, jurang, dan sungai, terpotong dari pusat kemajuan dan terpencil dari pengaruh-pengaruh asing. Ditambah lagi, para samurainya dikuasai oleh kecongkakan yang khas penghuni provinsi pegunungan. Mereka tidak khawatir mengcnai kekurangan mereka, dan tidak berminat mempelajari adat kebiasaan yang berlaku di tempat lain. Akibatnya. mereka sepenuhnya mengandalkan pasukan berkuda dan para prajurit pilihan. Pasukan di bawah Yamagata melancarkan serangan sengit terhadap pasukan Sakuma Nobumori di luar pagar. Sebaliknya. Nobunaga telah merancang suatu strategi ilmiah, dengan memanfaatkan taktik dan senjata modern.

Hujan baru berhenti; tanahnya berair dan berlumpur.

Sayap kiri pasukan Kai—kedua ribu orang di bawah Yamagata—memperoleh perintah dari jendral mereka untuk tidak menyerang pagar kayu runcing. Mereka mengambil jalan memutar untuk mengelilinginya, tapi lumpurnya memusuhi mereka. Hujan deras yang turun semalam telah menyebabkan sungai menggenangi daerah sekitar. Bencana alam ini terjadi di luar dugaan Yamagata, yang sebelumnya sudah mempelajari keadaan medan. Dengan setiap langkah, para prajurit tenggelam sampai ke tulang kering. Kuda-kuda bahkan tak sanggup bergerak sama sekali.

Menambah kesulitan mereka, para penembak Oda di bawah Okubo mulai menembaki sisi pasukan Yamagata.

"Berbalik!" perintah Yamagata.

Mendengar perintah singkat ini, pasukannya yang berlepotan lumpur sekali lagi mengubah arah, dan menyerang pasukan senapan di bawah komando Okubo. Percikan-percikan lumpur menghujani kedua ribu orang berbaju tempur itu. Diterjang hujan peluru, mereka berjatuhan, menjerit-jerit ketika darah merah mengucur dari tubuh mereka. Terinjak-iniak oleh kuda-kuda mereka sendiri, mereka berteriakteriak dalam kebingungan yang menyedihkan.

Akhirnya kedua pasukan bertemu. Selama puluhan tahun, teknik perang terus berubah. Cara tempur kuno di mana setiap samurai menyerukan namanya dan mengumumkan bahwa ia keturunan si anu, bahwa junjungannya merupakan penguasa provinsi ini-itu, kini menghilang dengan tcpat.

Jadi, begitu pertempuran satu lawan satu pecah— pedang melawan pedang dan prajurit melawan prajurit—kengeriannya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Senjata terbaik adalah senapan, kemudian tombak. Tombak tidak digunakan untuk menusuk, melainkan mencambuk dan memukul, dan itulah yang diajarkan guna menghadapi pertempuran. Karena itu, semakm panjang sebuah tombak, semakin baik. Tombaktombak dengan gagang sepanjang empat sampai enam meter merupakan pemandangan lumrah.

Para prajurit biasa tidak dibekali latihan maupun kebcranian yang dituntut oleh situasi, dan sesungguhnya mereka hanya sanggup memukul dengan tombak masing-masing. Tidak jarang seorang prajurit terampil menerjang ke tengah-tengah mereka dengan membawa tombak pendek, menusuk-nusuk ke segala arah, dan hampir tanpa kesulitan, memperoleh nama harum sebagai prajurit yang seorang diri membantai lusinan musuh. Diserang oleh gerombolan orang seperti itu, baik pasukan Tokugawa maupun pasukan Oda tak berdaya. Korps di bawah Okubo disapu bersih hampir seketika. Namun alasan korps Okubo dan pasukan Sakuma bcrada di luar pagar sebenarnya untuk memancing musuh agar maju, bukan untuk meraih kemenangan. Karena itu, sesungguhnya mereka bisa saja berbalik dan lari. Tapi begitu berhadap-hadapan dengan para prajurit Kai, mereka tak sanggup mencegah dendam bertahun-tahun yang membakar hati mereka.

"Ayo maju!" mereka berseru-seru.

Mereka pun tak bisa menerima cemooh dan ejekan para prajurit Kai. Akhirnya orang-orang Oda mengabaikan sikap berhati-hati di tengah-tengah pertumpahan darah, dan hanya memikirkan provinsi dan nama harum mereka  sendiri.

Sementara itu, Katsuyori dan para jendralnya rupanya beranggapan bahwa waktunya sudah tiba, sebab batalion-batalion tengah dari pasukan Kai yang berkekuaran lima belas ribu orang mulai maju seperti awan raksasa. Formasi mereka yang rapi bubar seperti kawanan burung yang baru terbang, dan ketika mereka akhirnya mendekati pagar pertahanan Oda, masing-masing korps menyerukan teriakan perangnya secara serempak.

Di mata orang-orang Takeda, pagar kayu runcing itu bukanlah rintangan berarti. Mereka pikir, mereka sanggup membobolnya dengan sekali terjang, lalu langsung menerobos ke tengah-tengah pasukan utama Oda.

Sambil bersorak-sorak, pasukan Kai menerjang pagar itu. Tekad mereka membara—ada yang berusaha memanjatnya, ada yang mencoba mendobraknya dengan palu godam dan tombak besi, ada yang berupaya memotongnya dengan gergaji, dan ada yang menyiramnya dengan minyak dan membakarnya.

Sampai saat itu, Nobunaga membiarkan pertempuran ditangani oleh korps Sakuma dan Okubo di luar pagar, dan barisan di Gunung Chausu hanya membisu. Tapi tiba-tiba...

"Sekarang!"

Kipas perang Nobunaga yang berwarna emas menebas udara, dan para komandan resimen penembak saling bcrlomba ketika meneriakkan perintah,

"Tembak!"

"Tembak!"

Bumi terasa bergetar Gunung seolah-olah terbelah dan awan-awan tercabik-cabik. Asap mesiu menyelubungi pagar kayu runcing, dan kuda-kuda serta prajurit-prajurit Kai berjatuhan seperti nyamuk.

"Jangan mundur!" komandan-komandan mereka mendesak. "Ikuti aku!"

Dengan nekat para prajurit meneruskan serangan, meloncati rekan-rekan mereka yang telah tcwas, tapi mereka tak sanggup menghindari hujan peluru yang berhamburan. Sambil menjerit-jerit memilukan, mereka pun berakhir sebagai mayat. Pada gilirannya, pasukan Kai tak dapat bertahan lebih lama.

"Mundur!" teriak empat atau lima komandan berkuda. Hanya dengan susah payah perintah itu meluncur dari tenggorokan yang tercekik rasa panik. Salah satu dari mereka roboh, bermandikan darah, sementara satu orang lain bertempur dari kudanya yang jatuh diterjang peluru.

Namun tak peduli betapa mengerikan pembantaian yang dialami orang Kai, mereka belum patah scmangat. Hampir sepertiga dari orang-orang mereka gugur dalam serangan pertama, tapi begitu mereka mundur, pasukan baru sekali lagi bergegas ke arah pagar kayu runcing. Darah yang membasahi ketiga puluh ribu tonggak belum sempat mengering.

Letusan senapan dari balik pagar segera menjawab serangan itu, seakan-akan hendak berkata. "Kami sudah menunggu."

Sambil menatap pagar yang tampak merah oleh darah rekan-rekan mereka, para prajurit Kai yang ganas berteriak-teriak, saling memberi semangat, bersumpah bahwa mereka takkan mundur satu langkah pun.

"Sudah waktunya menyambut kematian." "Ajal kita telah tiba!"

"Bentuk perisai maut agar yang lain dapat melewati kita!"

"Perisai maut" merupakan taktik terakhir di mana para prajurit di barisan terdepan mengorbankan diri untuk melindungi gerak maju barisan berikut. Kemudian barisan itu bertindak sebagai perisai bagi barisan selanjutnya, dan dengan cara itu, seluruh pasukan maju selangkah demi selangkah. Sungguh cara yang mengerikan uniuk maju.

Orang-orang itu memang gagah berani, namun sebenarnya serangan mereka tak lebih dari unjuk kekuaran yang sia-sia. Padahal di antara para jendral yang memimpin serangan terdapat ahli-ahli taktik yang andal.

Katsuyori, tentu saja, berada di barisan belakang. Ia mendesak-desak anak buahnya agar terus maju, tapi memberitahu para komandannya bahwa kemenangan tak mungkin dapat diraih, tak ada alasan untuk menuntut pengorbanan demikian besar.

"Tembok itu harus diruntuhkan!"

Rupanya mereka percaya bahwa hal itu bisa dilakukan. Begitu senapan telah ditembakkan, untuk mengisi peluru dan mesiu memakan waktu. Jadi, begitu pasukan senapan melepaskan tembakan serempak, suara letusan akan berhenti selama beberapa saat. Oleh para jendral Kai, waktu jeda itulah yang dianggap sebagai peluang yang dapat dimanfaatkan; jadi "perisai maut" tidaklah percuma.

Namun Nobunaga sudah memikirkan titik lemah ini, dan untuk senjata yang baru, ia telah menyusun taktik baru pula. Dalam hal ini, ia membagi ketiga ribu penembaknya ke dalam tiga grup. Setelah seribu orang pertama menembakkan senapan masing-masing, mereka segera melangkah ke samping dan kelompok kedua segera maju, dan langsung melepaskan tembakan. Kemudian mereka pun membuka barisan dan cepat-cepat digantikan oleh kelompok ketiga. Dengan cara ini, waktu jeda yang diharap-harapkan oleh musuh tak pernah timbul sepanjang pertempuran.

Disamping itu, di sana-sini terdapat bukaan pada pagar kayu runcing. Setelah mengukur jarak waktu antara dua serangan, pasukan tombak dari pihak Tokugawa dan Oda akan menerjang keluar dari balik pagar dan cepat-cepat mrnghantam kedua sisi pasukan Kai.

Tcrhalang oleh pagar pertahanan dan hujan peluru, para prajurit Kai tidak dapat maju. Ketika mereka berusaha mundur, mereka dibuat repot oleh musuh yang mengejar dan melancarkan serangan menjepit. Kini para prajurii Kai, yang begitu membanggakan disiplin dan latihan mereka sama sekali tak punya waktu untuk memamerkan keberanian.

Seluruh korps Yamagata telah mundur. Meninggalkan mayat orang-orang yang telah mengorbankan nyawa. Hanya Baba Nobufusa yang tidak masuk ke dalam perangkap itu.

Baba telah bentrok dengan pasukan Sakuma Nobumori. Tapi karena Nobumori sesungguhnya hanya bertugas sebagai umpan, pasukan Oda purapura mundur. Korps Baba mengejar mereka dan merebut perkemahan di Maruyama, tapi Baba telah diperintahkan untuk tidak maju lebih jauh, dan ia tidak mengirim satu prajurit pun melewati Maruyama. "Kenapa tidak maju?!" Baba berulang kali ditanyai, baik oleh markas besar Katsuyori maupun oleh

perwira-perwiranya sendiri.

Namun Baba menolak bergerak. "Aku punya alasan tersendiri untuk berpikir sejenak, dan sebaiknya aku berhenti di sini untuk mengamati perkembangan. Yang lainnya silakan maju. Raihlah nama harum."

Setiap komandan yang mendekati pagar kayu runcing mengalami kekalahan total. Kemudian Katsuie dan Hideyoshi membawa batalion masingmasing mengelilingi desa-desa ke arah utara, dan mulai berusaha agar markas besar pasukan Kai terpotong dari garis depan.

Hari sudah hampir siang, dan matahari berada di langit yang menjanjikan akhir musim hujan. Kini matahari membakar bumi dengan panas menyengat, dan dengan warna yang menunjukkan bahwa musim kemarau akan melanda dengan hebat.

Pertempuran pecah pada waktu fajar, pada pertengahan kedua Jam Macan. Dengan pergantian pasukan yang tanpa henti, para prajurit Kai bermandikan keringat dan tersengal-sengal. Darah yang mengucur di pagi hari telah mengering dan menempel seperti lem pada baju tempur, rambut, serta kulit mereka. Dan kini terlihat darah segar k mana pun mata memandang.

Di belakang pasukan utama, Katsuyori melolong seperti roh jahat. Ia telah mengerahkan setiap batalion, termasuk korps cadangan yang biasanya disimpan untuk keadaan darurat. Seandainya Katsuyori lebih cepat membaca situasi, ia mungkin bisa menyelesaikan urusan ini tanpa perlu menderita kerugian demikian hebat. Tapi sesaat demi sesaat ia justru mengubah kesalahan kecil menjadi kesalahan berakibat fatal. Pendek kata, pertempuran itu tidak ditentukan oleh semangat tempur dan keberanian semata-mata. Ibaratnya, pasukan Nobunaga dan Ieyasu memasang perangkap di medan berburu, lalu menunggu kedatangan bebek liar atau babi hutan. Pasukan Kai yang melancarkan serangan demikian sengit hanya mengorbankan prajurit-prajurit berharga dengan membentuk "perisai maut" yang sia-sia.

Konon, bahkan Yamagata Masakage, yang sejak pagi bertempur begitu gagah di sayap kiri, akhirnya gugur dalam pertempuran. Jendral-jendral termasyhur lainnya, orang-orang dengan keberanian tiada tara, berjatuhan satu per satu, sampai jumlah yang mati dan cedera mencapai lebih dari setengah pasukan.

"Sudah jelas musuh akan kalah. Bukankah ini saat yang tepat?"

Jendral yang mengucapkan kata-kata itu adalah Sassa Narimasa yang menyaksikan jalannya pertempuran bersama Nobunaga.

Nobunaga segera menyuruh Narimasa menyampaikan perintahnya kepada pasukan di balik pagar kayu runcing. Ia berkata, "Keluar dari pagar dan serang mereka. Binasakan semuanya!"

Markas besar Katsuyori pun hancur dalam serangan itu. Orang-orang Tokugawa mendesak dari sisi kiri. Pasukan Oda menerobos barisan depan Takeda dan melancarkan serangan sengit terhadap pasukan utama Kai. Terperangkap di tengah-tengah, panji-panji yang tak terhitung jumlahnya, pataka-pataka komandan, bendera-bendera isyarat, kuda-kuda yang meringkik, baju tempur mengilap, serta tombak dan pedang yang berkilau seperti bintang di sekitar Katsuyori kini diselubungi darah dan kepanikan.

Hanya pasukan Baba Nobuiusa yang tetap diam di Maruyama yang masih utuh. Baba mengutus seorang samurai pada Katsuyori, dengan pesan yang menyarankan untuk mundur.

Katsuyori mengentak-entakkan kaki dengan jengkel. Tapi ia pun tak sanggup menolak kenyataan. Setelah dipaksa bertekuk lutut, pasukan utamanya mundur sambil berlumuran darah.

"Sebaiknya kita mundur sementara, tuanku." "Telanlah amarah tuanku dan pikirkan apa yang

menanti kita." Dengan berusaha mati-matian, para jendral Katsuyori berhasil meloloskannya dari lubang jarum. Sangat jelas bagi pihak musuh bahwa pasukan utama Kai mundur dalam keadaan kacau-balau.

Setelah mcngantar Katsuyori sampai ke suatu jembatan yang berdekatan dengan markas, para jendral berbalik dan membentuk barisan untuk menghadang pasukan pengejar. Mereka semua gugur scbagai pahlawan. Baba menyertai Katsuyori dan sisa pasukannya sampai ke Miyawaki, tapi akhirnya jendral tua itu mengalihkan kudanya ke arah barat. Seribu pikiran berkecamuk di benaknya.

Umurku sudah panjang, atau bisa juga disebut pendek. Panjang atau pendek, rasanya hanya saat inilah yang kekal. Saat kematian... mungkinkah kehidupan abadi lebih dari itu?

Kemudian, tepat sebelum memacu kudanya ke tengah-tengah musuh, ia bersumpah. "Aku akan memohon maaf pada tuanku Shingen di dunia berikut. Aku penasihat dan jendral yang tak becus. Selamat tinggal, gunung-gunung dan sungai-sungai Kai!"

Sambil berbalik, ia menitikkan setetes air mata bagi provinsinya, lalu tiba-tiba memacu kudanya. "Maut! Aku takkan mencemarkan nama Yang Mulia Shingen!"

Suaranya tenggelam dalam lautan musuh. Rasanya tak perlu ditambahkan bahwa semua pengikutnya meniru contohnya. dan menemui ajal dengan gagah berani.

Sejak awal, tak seorang pun sanggup memahami pertempuran ini seperti Baba. Ia telah mempunyai firasat bahwa seusai pertempuran, marga Takeda akan runtuh dan bahkan binasa. Itu memang suratan takdir. Walau demikian, meski dibekali kemampuan untuk melihat jauh ke depan, ia tak sanggup menyelamatkan marga Takeda dari bencana. Arus perubahan terlalu kuat untuk dilawan.

Bcrsama sekitar selusin pembantu berkuda, Katsuyori menyeberangi tempat dangkal di Komatsugase, dan akhirnya meminta perlindungan di Benteng Busetsu. Katsuyori laki-laki pemberani, tapi kini ia terdiam seperti orang bisu-tuli.

Seluruh permukaan Shidaragahara tampak merah— merah tua—ketika matahari mulai terbenam. Pertempuran besar hari ini di mulai sekitar fajar dan berakhir menjelang malam. Tak seekor kuda pun terdengar meringkik: tak satu prajurit pun berseru Dataran luas itu segera ditelan kegelapan dalam suasana sunyi.

Embun malam turun sebelum mereka yang gugur selesai diangkat. Konon mayat orang-orang Takeda saja berjumlah lebih dari sepuluh ribu.  
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar