Taiko Bab 13 : Penguasa Bukit Kurihara

Bab 13 : Penguasa Bukit Kurihara

BUKTT KURIHARA bersebelahan dengan Gunung Nangu, tidak seberapa tinggi, dan menyerupai anak kecil yang merapat pada orangtuanya.

Ah, betapa indahnya! Ketika mendekati puncak, Hideyoshi yang bukan penyair pun merasakan kegembiraan meluap-luap, terpukau oleh keagungan pemandangan matahari musim gugur yang sedang tenggelam. Tapi kini ia memusatkan perhatian pada satu pikiran: Apa yang harus kulakukan agar Hanbei bersedia menjadi sekutuku? Dan pikiran ini segera diikuti oleh pikiran lainnya: Tidak, menghadapi ahli strategi dengan cara menyusun strategi justru merupakan strategi paling buruk. Aku hanya bisa menghadapi dia sebagai selembar kertas kosong. Aku akan bicara terus terang, dengan segenap kekuatanku. Hideyoshi membangkitkan semangatnya. Tapi saat itu ia belum mengetahui tempat tinggal Hanbei, dan sampai matahari terbenam mereka belum berhasil menemukan rumahnya yang terpencil. Namun Hideyoshi tidak terburu-buru. Kalau hari mulai gelap, pasti akan ada lentera yang dinyalakan di suatu tempat. Daripada berputar-putar tanpa tujuan dan terus membelok ke arah yang salah, tentu lebih menyenangkan dan lebih cepat jika mereka tetap di tempat. Hideyoshi duduk di tebing batu terjal sampai cahaya matahari lenyap dari langit. Akhirnya mereka melihat sebuah titik terang di kejauhan, di seberang sebuah lembah berpaya-paya. Mengikuti jalan setapak sempit yang berkelok-kelok naik-turun, mereka sampai di sana.

Tempat itu berupa sebidang tanah datar yang dikelilingi pinus merah, di tengah lereng bukit. Semula mereka menduga akan menjumpai sebuah pondok kecil beratap rumbia yang dikelilingi oleh pagar reyot, tapi kini mereka melihat tembok lumpur yang membatasi pekarangan luas. Ketika mendekat, mereka melihat tiga atau empat lentera berkelip-kelip lebih ke belakang. Sebagai ganti gerbang hanya ada rangka kayu berlapis anyaman bambu yang terkepakkepak tertiup angin.

Tempat itu cukup besar, pikir Hideyoshi ketika ia melangkah masuk. Di dalam pekarangan ada rumpun pinus. Ada jalan setapak dari pintu masuk menuju ke tengah pepohonan, dan selain daun-daun cemara tak ada setitik kotoran pun. Setelah berjalan sekitar lima puluh langkah, mereka sampai ke sebuah rumah. Seekor sapi sedang melenguh di dalam kandang yang berdekatan. Mereka mendengar api meretih tertiup angin, asapnya memenuhi udara. Hideyoshi berdiri tak bergerak. Ia menggosok-gosok matanya yang tajam. Tapi dengan satu hembusan angin dari puncak bukit. tempat itu tiba-tiba terbebas dari asap, dan ketika Hideyoshi memandang ke depan, ia melihat seorang anak kecil sedang menyusupkan ranting-ranting ke dalam tungku di pondok memasak.

"Siapa Tuan?" anak laki-laki itu bertanya curiga. "Kau pelayan di sini?"

"Aku? Ya," bocah itu menjawab.

"Aku pengikut marga Oda. Namaku Kinoshita Hideyoshi. Bisakah kau menyampaikan pesan?"

"Pada siapa?"

"Pada majikanmu." "Dia tidak ada di sini." "Dia sedang pergi?"

"Aku sudah bilang, dia tidak ada. Pergilah." Anak itu membelakangi para tamu dan duduk di hadapan tungku sambil kembali menyusupkan ranting-ranting. Kabut malam di bukit itu terasa dingin, dan Hideyoshi pun berjongkok di depan tungku, bersebelahan dengan si bocah.

"Bolehkah aku menghangatkan badan sejenak?"

Anak itu tidak menjawab, hanya melirik sekilas dari sudut mata.

"Udara malam cukup dingin, bukan?"

"Tuan bcrada di atas bukit. Tentu saja udaranya dingin," si bocah berkata.

"Biksu cilik, ini..."

"Ini bukan biara! Aku murid Tuan Hanbei, bukan biksu!"

"Ha ha ha ha!"

"Kenapa Tuan tertawa?" "Maaf."

"Pergilah! Kalau majikanku tahu ada orang asing masuk ke pondok memasak, aku akan dimarahi." "Tidak. Kau takkan dimarahi. Nanti aku akan minta

maaf pada majikanmu."

"Tuan betul-betul ingin menemuinya?"

"Betul. Kaupikir aku akan menuruni bukit ini tanpa menemui dia setelah berjalan begitu jauh?"

"Orang Owari memang kasar, ya? Tuan dari Owari. bukan?"

"Kenapa kau bertanya?"

"Majikanku membenci orang Owari. Aku juga.

Owari provinsi musuh, bukan?" "Kurasa itu benar."

"Tuan pasti mencari sesuatu di Mino, bukan? Kalau Tuan sekadar mampir, lebih baik Tuan segera melanjutkan perjalanan. Kalau tidak, Tuan akan kehilangan kepala."

"Aku tidak bermaksud pergi ke tempat lain. Satusatunya tujuanku adalah rumah ini."

"Untuk apa Tuan datang kc sini?" "Aku datang untuk mendapatkan izin."

"Mendapatkan izin? Tuan ingin menjadi murid majikanku, seperti aku?"

"He-eh. Kurasa aku ingin menjadi saudara seperguruanmu. Kita pasti bisa berteman baik. Sekarang bicaralah dengan majikanmu. Biar aku yang menjaga perapian. Jangan khawatir, nasinya takkan gosong."

"Aku tidak khawatir. Aku tidak mau pergi dari sini." "Jangan cepat marah. Nah, bukankah itu suara

majikanmu sedang batuk di dalam?" "Majikanku sering batuk pada malam hari. Badannya tidak kuat."

"Jadi, kau membohongiku waktu kau bilang dia tidak ada di sini."

"Ada atau tidak, itu sama saja. Dia tidak mau menemui siapa pun yang datang, tak peduli siapa orangnya atau dari provinsi mana dia berasal."

"Hmm, aku akan menunggu waktu yang tepat." "Ya, kapan-kapan Tuan bisa kembali lagi."

"Tidak. Pondok ini nyaman dan hangat. Izinkan aku menunggu di sini selama beberapa waktu."

"Tuan jangan main-main! Pergilah!" Si bocah melompat berdiri, seakan-akan hendak menyerang tamu tak diundang itu, tapi ketika memelototi Hideyoshi yang sedang tersenyum dalam cahaya api tungku yang berkelap-kelip, ia tak sanggup tetap marah. Pada waktu si bocah menatap tajam ke wajah laki-laki di hadapannya, rasa bermusuhan yang semula menggelora di dadanya berangsur-angsur berkurang.

"Kokuma! Kokuma!" seseorang memanggil dari dalam rumah. Si bocah langsung bereaksi. Ia meninggalkan Hideyoshi, bergegas dari pondok ke rumah, dan tidak kembali untuk beberapa wakiu. Sementara itu, bau masakan gosong tercium dari panci besar di atas tungku. Hideyoshi segera meraih sendok yang tergelctak pada tutup panci dan mengaduk-aduk isi panci itu—bubur beras merah yang dicampur buah berangan dan sayuran yang telah dikeringkan. Orang lain mungkin menertawakan makanan orang miskin ini, tapi Hideyoshi lahir dari keluarga petani melarat, dan setiap kali memandang sebutir beras, ia teringat air mata ibunya. Bagi Hideyoshi, ini bukan urusan sepele.

"Dasar anak kecil! Masakannya akan gosong."

Setelah mengambil sepotong kain, ia meraih pegangan panci dan mengangkatnya.

"Oh, terima kasih. Tuan."

"Ah, Kokuma? Masakanmu hampir gosong, jadi pancinya kuangkat saja. Rasanya masakanmu sudah matang."

"Tuan sudah mengetahui namaku, heh?"

"Begitulah kau dipanggil oleh Tuan Hanbei tadi. Apa kau sudah memberitahukan kedatanganku pada majikanmu?"

"Aku dipanggil karena soal lain. Mengenai permintaan Tuan, ah. menyampaikan hal tak berguna pada majikanku hanya akan membuatnya marah. Karena itu aku tidak mengatakan apa-apa."

"Hmm, hmm. Kelihatannya kau sangat taat pada peraturan gurumu, ya? Aku terkesan sekali."

"Hah! Tuan hanya ingin mencari muka."

"Tidak, aku bersungguh-sungguh. Aku bukan orang sabar, tapi seandainya aku gurumu aku akan memujimu seperti ini. Aku tidak bohong."

Pada saat itu seseorang keluar dari dapur yang berdekatan, sambil membawa lampion. Sebuah suara perempuan berulang kali memanggil Kokuma. Waktu Hideyoshi berbalik, samar-samar ia melihat seorang perempuan berumur sekitar enam belas atau tujuh belas tahun mengenakan kimono berpola kembang ceri dan kabut, yang diikat tali kimono berwarna seperti buah prem. Sosok gadis itu diterangi cahaya lampion di tangannya.

"Ada apa, Oyu?" Kokuma menghampiri dan mendengarkannya. Setelah selesai bicara, gadis itu menuju rumah dan menghilang di balik tembok.

"Siapa itu?" tanya Hideyoshi.

"Adik guruku," jawab Kokuma dengan nada lembut, seakan-akan bicara mengenai keindahan bunga-bunga di pekarangan majikannya.

"Aku minta sekali lagi." Hideyoshi mendesak. "Maukah kau menemui gurumu satu kali saja, untuk menanyakan apakah dia sudi menerimaku? Kalau dia menolak, aku akan pergi."

"Tuan betul-betul akan pergi?" "Ya."

"Betul?" Suara Kokuma bernada tegas, tapi akhirnya ia pun masuk. Ia segera kembali dan berkata ketus, "Guruku bilang tidak, dia tidak suka menerima tamu... dan ternyata aku memang kena marah. Jadi pergilah. Tuan. Sekarang aku mau membawakan makanan untuk guruku."

"Hmm, malam ini aku akan pergi. Kapan-kapan aku akan datang lagi." Tanpa daya Hideyoshi berdiri dan mulai menjauh.

"Percuma saja Tuan kembali lagi!" kata Kokuma. Hideyoshi berjalan sambil membisu. Tanpa mengindahkan kegelapan, ia turun ke kaki bukit dan tidur. Ketika terbangun keesokan harinya, ia mempersiap-

kan diri dan sekali lagi mendekati bukit. Kemudian, persis seperti pada hari sebelumnya, ia mengunjungi tempat tinggal Hanbei menjelang matahari terbenam. Pada hari sebelumnya, ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan si bocah, sehingga hari ini ia mencoba mendatangi pintu yang kelihatannya merupakan pintu masuk utama. Orang yang menanggapi sapaannya tcrnyata Kokuma. "Hah! Tuan kembali lagi?"

"Kupikir barangkali hari ini majikanmu berkenan menerima kedatanganku. Tolong tanyakan pada gurumu sekali lagi." Kokuma masuk ke dalam rumah. dan entah berbicara dengan Hanbei atau tidak segera kembali untuk menyampaikan penolakan yang sama seperti kemarin.

"Kalau begitu, aku akan mencoba lagi kalau suasana hatinya sedang lebih baik," Hideyoshi berkata dengan sopan, lalu pergi. Dua hari kemudian ia kembali mendaki bukit.

"Apakah majikanmu bersedia menemuiku hari ini?" Seperti biasa Kokuma menghilang ke dalam rumah, dan sekali lagi ia menolak mentah-mentah. "Guruku mulai jengkel karena Tuan terus mengganggunya."

Hari itu pun Hideyoshi pulang sambil membisu. Berulang kali ia mendatangi rumah itu. Akhirnya, setiap kali Kokuma melihat wajah Hideyoshi, ia tidak melakukan apa-apa selain tertawa. "Kesabaran Tuan ternyata luar biasa. Tapi kedatangan Tuan di sini percuma saja, betapapun sabarnya Tuan. Sekarang, kalau aku masuk untuk memberitahukan kedatangan Tuan pada guruku, dia hanya tertawa. Dia tidak mengatakan apa-apa padaku."

Anak kecil mudah berteman, dan rasa akrab sudah mulai terjalin antara Kokuma dan Hideyoshi.

Keesokan harinya Hideyoshi untuk kesekian kali menaiki bukit. Saya, yang menunggu di kaki bukit, tidak memahami jalan pikiran majikannya, dan akhirnya naik darah sehingga berkata. "Pongah betul Takenaka Hanbei ini? Kali ini aku akan naik ke sana dan minta pertanggungjawaban atas sikapnya yang kurang ajar."

Kunjungan Hideyoshi yang kesepuluh diiringi angin kencang dan hujan deras dan baik Saya maupun para pemilik rumah tempat mereka menginap berusaha keras mencegah Hideyoshi. Tapi dengan keras kepala Hideyoshi mengenakan jas hujan dan topi yang terbuat dari jerami, lalu memulai pendakiannya. Ketika tiba menjelang malam, ia berdiri di pintu masuk dan memanggil seperti biasa.

"Ya. Siapa itu?" Malam itu, untuk pertama kali, perempuan muda yang dikatakan Kokuma sebagai adik Hanbei melangkah keluar.

"Aku tahu bahwa kedatanganku mengganggu Tuan Hanbe dan aku menyesal karena terpaksa bertindak melawan kehendaknya, tapi aku datang sebagai utusan junjunganku. Sulit bagiku untuk pulang sebelum menemui Tuan Hanbei. Menyampaikan pesan majikan merupakan bagian tugas samurai, jadi aku bertekad untuk datang terus sampai Tuan Hanbei berkenan menerimaku, biarpun untuk itu aku harus menunggu dua atau tiga tahun. Dan seandainya Tuan Hanbei tetap menolak, aku telah memutuskan untuk membelah perutku. Wah, aku yakin Tuan Hanbei mengenal penderitaan golongan samurai lebih baik dari siapa pun."

Di bawah percikan air hujan dari atap yang bocor, Hideyoshi berlutut dan mengajukan permintaannya. Perempuan muda di hadapannya tampak tergerak.

"Tunggu sebentar," perempuan itu berkata lembut. lalu menghilang ke dalam rumah. Tapi ketika kembali, dengan nada menyesal ia memberitahu Hideyoshi bahwa jawaban Hanbei tidak berubah. "Aku menyesal bahwa kakakku begitu keras kepala, tapi sudikah Tuan meninggalkan rumah kami? Kakakku berpesan, tak peduli berapa kali Tuan datang, dia takkan mau menemui Tuan. Kakakku tidak suka bicara dengan orang lain, dan sekarang pun dia menolak."

"Begitukah?" Hideyoshi menundukkan kepala dengan kecewa, tapi tidak berkeras. Air dari cucuran atap mengguyur bahunya. "Apa boleh buat. Hmm,. aku akan menunggu sampai perasaannya sedang enak." Sambil mengenakan topi. Hideyoshi melangkah pergi, patah semangat. Ia menyusuri jalan setapak yang membelah rumpun cemara seperti biasa, tapi ketika baru sampai di luar tcmbok lumpur, ia mendengar Kokuma mengejarnya dari belakang. "Tuan! Dia bersedia menemui Tuan! Dia bilang dia mau menemui Tuan! Dia minta Tuan kembali!"

"Hah? Tuan Hanbei bersedia menemuiku?" Terburu-buru Hideyoshi kembali bersama Kokuma. Tapi hanya Oyu, adik Hanbei, yang menanti mereka.

"Kakakku begitu terkesan dengan ketulusan Tuan. sehingga dia akan merasa bersalah jika tidak menemui Tuan. Tapi bukan malam ini. Kakakku harus berbaring karena hujan, tapi dia minta Tuan kembali pada hari lain, setelah dia mengirim pesan untuk Tuan." Tiba-tiba terlintas di benak Hideyoshi bahwa perempuan ini mungkin merasa iba padanya dan bahwa ia setelah Hideyoshi pergi, membujuk kakaknya, Hanbei.

"Kapan pun harinya, kalau Tuan Hanbei mengirim pesan aku akan datang."

"Tuan tinggal di mana?"

"Aku tinggal di kaki bukit, di rumah Moemon, sebuah rumah petani di dekat pohon besar di Desa Nangu."

"Baiklah, kalau cuacanya sudah membaik." "Aku akan menunggu."

"Udaranya dingin dan Tuan basah kuyup karena hujan. Paling tidak keringkanlah baju Tuan di depan tungku di pondok memasak, dan makanlah sedikit sebelum pergi."

"Tidak, lain kali saja. Aku akan pergi sekarang." Di bawah siraman hujan, Hideyoshi berjalan menuruni bukit. Hujan terus turun keesokan harinya. Hari berikutnya. Bukit Kurihara terselubung awan putih, dan tak ada berita dari Hanbei. Akhirnya cuaca kembali cerah, dan warna-warni di bukit itu tampak seperti baru. Daun-daun pada pepohonan kelihatan merah menyala.

Pagi itu Kokuma tiba di gerbang Moemon sambil menuntun sapi. "Hei, Tuan!" katanya. "Aku datang untuk mengundang Tuan ke atas! Aku disuruh majikanku memandu Tuan ke rumahnya. Dan karena Tuan menjadi tamunya hari ini, aku membawakan tunggangan untuk Tuan. Silakan naiki sapi ini. Sambil berkata begitu, Kokuma menyerahkan surat undangan dari Hanbei. Hideyoshi membukanya dan membaca:

Mengherankan. Tuan sering datang untuk mengunjungi orang lemah yang telah mengurung diri di daerah pelosok, tapi sesungguhnya sulit bagiku untuk meng-hadapi permintaan Tuan. Datanglah untuk secangkir teh. Aku akan menunggu.

Kata-kata itu berkesan agak angkuh. Hideyoshi menyimpulkan bahwa Hanbei laki-laki yang tidak ramah, bahkan sebelum sempat berhadapan langsung dengannya. Hideyoshi duduk di punggung sapi dan berkata pada Kokuma. "Hmm, karena kau telah membawakan tunggangan untukku, bagaimana kalau kita berangkat sekarang?" Kokuma berbalik ke arah bukit dan mulai melangkah. Langit musim gugur di sekitar Bukit Kurihara dan Gunung Nangu tampak cerah. Untuk pertama kali sejak Hideyoshi tiba di bukit-bukit di kaki pegunungan, ia dapat melihat gunung-gunung dengan jelas jika menatap ke atas.

Ketika mereka akhirnya mendekati pintu masuk di tembok luar, mereka melihat perempuan cantik berdiri di sana. Roman mukanya menunjukkan bahwa ia menunggu mereka. Perempuan itu Oyu, yang telah berdandan lebih rapi daripada biasanya.

"Ah, sebenarnya kau tak perlu repot-repot," ujar Hideyoshi. Terburu-buru melompat turun dari punggung sapi.

Setelah masuk, ia ditinggalkan seorang diri di sebuah ruangan. Suara air mengalir terdengar di telinganya. Batang-batang bambu yang terkena angin bergesekan dengan jendela. Suasana di bukit ini betulbetul penuh kedamaian. Pada sebuah gulungan kertas yang tergantung di salah satu sudut ruangan seorang biksu Zen telah menorehkan aksara Cina untuk kata "mimpi".

Bagaimana Hanbei bisa hidup di sini tanpa dilanda kejemuan? Hideyoshi bertanya-tanya bingung menghadapi pikiran laki-laki yang memilih tempat seperti ini sebagai tempat tinggal. Hideyoshi menyadari bahwa ia sendiri takkan tahan lebih dari tiga hari. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya bahkan selama waktu singkat ia berada di sana. Walaupun hatinya disejukkan oleh kicau burung dan desiran pohon cemara, pikirannya melayang ke Sunomata, lalu berlanjut ke Bukit Komaki, sementara darahnya mendidih karena perputaran zaman. Hideyoshi merasa terasing di tengah kedamaian seperti ini.

"Hmm, aku telah membuat Tuan menunggu." Suara seorang laki-laki muda terdengar dari belakang Hideyoshi. Suara Hanbei. Sejak semula Hideyoshi sudah mengetahui bahwa Hanbei masih muda. Tapi ketika mendengar suaranya, ia semakin terkesan. Sang tuan rumah duduk, memberikan kursi kehormatan pada Hideyoshi.

Hideyoshi bicara terburu-buru, membuka percakapan dengan gaya rcsmi. "Aku pengikut marga Oda. Namaku Kinoshita Hideyoshi."

Hanbei memotong dengan sopan. "Tidakkah Tuan sependapat bahwa kita bisa menghindari formalitas yang kaku? Bukan itu maksud undanganku hari ini."

Hideyoshi merasa pembukaan ini telah menyebabkan ia kalah posisi. Sang tuan rumah telah lebih dulu membuat gerakan awal.

"Aku Hanbei, pemilik pondok pegunungan ini. Aku mendapat kehormaian dengan kunjungan Tuan hari ini."

"Tidak, aku khawatir akulah yang berkeras kepala mengetuk gerbang dan mengusik ketenangan Tuan."

"Ha ha ha ha! Terus terang, sikap Tuan memang menjengkelkan. Tapi, setelah bertemu dengan Tuan harus kuakui bahwa aku merasa lega kalau sesekali menerima tamu. Aku berharap Tuan merasa seperti di rumah sendiri. O ya, Tamu yang Terhormat, sesungguhnya apa yang Tuan inginkan sehingga Tuan mau bersusah payah mendaki bukit untuk mencapai rumahku? Kata orang, di pegunungan tak ada apa-apa selain kicau burung."

Hanbei memilih tempat duduk yang lebih rendah daripada tempat duduk tamunya, tapi matanya berbinar-binar, dan sepertinya ia merasa geli melihat orang yang muncul entah dari mana ini. Hideyoshi mengamatinya tanpa sembunyi-sembunyi. Tubuh Hanbei tampaknya memang tidak kuat. Kulitnya lembek wajahnya pucat. Namun ia laki-laki tampan, dan bibirnya yang merah sangat mencolok.

Pada hakikatnya, sikap Hanbei merupakan cerminan dari cara ia dibesarkan. Ia tenang dan berbicara dengan lembut, dan sambil tersenyum. Tapi ada sedikit keraguan apakah penampilan laki-laki ini merupakan perwujudan sesungguhnya dari jati dirinya, ataukah ada yang terselubung di balik penampilannya itu. Hideyoshi membandingkannya dengan Bukit Kurihara yang hari ini tampak cukup tenteram untuk berjalan-jalan, tapi pada hari sebelumnya diamuk badai dari lembah yang membuat pohonpohon berderu-deru.

"Hmm, sebenarnya..." Sejenak Hideyoshi tersenyum, dan ia meluruskan bahunya. "Aku menemui Tuan atas perintah Yang Mulia Nobunaga. Sudikah Tuan turun dari bukit ini? Dunia takkan membiarkan orang dengan kemampuan seperti Tuan menjalani kehidupan tenteram di pegunungan dalam usia begitu muda. Cepat atau lambat,. Tuan pasti akan mengabdi sebagai samurai. Dan kalau begitu, pada siapa Tuan akan mengabdi, kalau bukan pada Yang Mulia Nobunaga? Jadi, aku datang untuk membujuk Tuan agar mengabdi pada marga Oda. Tidakkah Tuan tergerak untuk sekali lagi berdiri di tengah awan-awan perang?"

Hanbei hanya mendengarkan tamunya dan tersenyum misterius. Meski pun memiliki lidah yang lincah, Tokichiro merasa semangatnya memudar menghadapi lawan seperti ini. Hanbei bagaikan rumpun bambu yang merunduk saat tertiup angin. Hideyoshi tak dapat memastikan apakah laki-laki itu mendengarkannya atau tidak. Ia membisu beberapa saat dan menunggu tanggapan Hanbei. Sampai akhir pertemuan mereka, ia membawa diri seperti selembar kertas kosong menghadapi laki-laki itu tanpa siasat maupun luapan perasaan.

Selama itu, kipas di tangan Hanbei menimbulkan embusan angin lembut. Sebelumnya Hanbei telah menaruh tiga potong arang ke dalam anglo, dan setelah meletakkan penjepit, ia mengipas arang itu sampai menyala, tanpa menerbangkan abu. Air di dalam cerek mulai mendidih. Sementara itu, Hanbei meraih serbet yang digunakan dalam Upacara Minum Teh dan mengelap dua cawan kecil, masing-masing untuk tuan rumah dan tamunya. Gerak-geriknya anggun dan seakan-akan tanpa cela, tapi sekaligus tenang dan berhati-hati. Hideyoshi mceasa kakina mulai kescmutan, tapi ia tak sanggup menemukan kesempatan tepat untuk ucapan berikutnya. Dan sebelum ia menyadarinya, halhal yang dibicarakannya secara terperinci telah hilang terbawa angin ke arah pohon-pohon cemara. Sepertinya tak ada yang tersisa di telinga Hanbei.

"Hmm, sudikah Tuan memberi tanggapan mengenai hal-hal yang baru saja kukemukakan? Aku yakin bahwa bujukan dengan nama dan pangkat bukanlah cara tepat untuk menarik Tuan dari sini, jadi takkan kusinggung. Nah, memang benar Owari provinsi kecil, tapi di masa mendatang Owari-lah yang akan mcngendalikan seluruh ncgeri, sebab selain junjunganku tak ada yang memiliki kemampuan untuk itu. Jadi, tak sepatutnya Tuan hidup terpencil di pegunungan sementara dunia dilanda kekacauan. Demi kepentingan bangsa, Tuan seharusnya turun dari bukit ini." Sang tuan rumah tiba-tiba berpaling ke arah Hideyoshi, dan tanpa sadar Hideyoshi menahan napas. Tapi Hanbei hanya menawarkan cawan teh.

"Silakan hirup teh ini." karanya. Kemudian, setelah meraih cawan kecil, Hanbei menghirup berulang kali, seakan-akan tak ada hal lain yang menjadi perhatiannya.

"Tamu yang Terhormat..." "Ya?"

"Apakah Tuan menyukai anggrck? Di musim semi anggrek indah sekali, tapi di musim gugur pun daya tariknya tidak berkurang." "Anggrek! Apa maksud Tuan, anggrek?"

"Bunga anggrek. Kalau Tuan berjalan sekitar tigaempat mil ke dalam hutan, Tuan akan menemukan bunga-bunga anggrek yang menyimpan embun masa lampau pada tebing-tebing dan celah-celah. Aku telah meminta pelayanku, Kokuma, memetik sekuntum dan menaruhnya dalam pot. Sudikali Tuan melihatnya?"

"Ti... tidak." Hideyoshi tcrdiam. "Aku tidak biasa mengamati anggrek."

"Bcgitukah?"

"Kuharap suatu hari kelak aku bisa menikmati keindahan anggrek, tapi sekarang mimpi-mimpiku selalu berkisar di sekitar medan laga, walaupun aku berada di rumah. Aku hanyalah pelayan marga Oda. Aku tidak memahami perasaan orang yang hidup bersenang-senang."

"Hmm, ini memang masuk akal. Tapi tidakkah Tuan menyia-nyiakan hidup Tuan dengan memeras tenaga untuk meraih keuntungan dan kemasyhuran? Kehidupan di pegunungan memiliki makna yang sangat dalam. Mengapa Tuan tidak meninggalkan Sunomata dan mendirikan pondok di bukit ini?"

Bukankah ketulusan sama saja dengan ketololan? Dan pada akhirnya, bukankah tanpa strategi berarti tanpa kebijakan? Barangkali ketulusan saja belum cukup untuk mengetuk hati nurani seseorang. Aku tidak mengerti, pikir Hideyoshi ketika ia menuruni bukit sambil mcmbisu. Segala upayanya sia-sia belaka. Kunjungannya ke rumah Hanbei tidak membuahkan hasil apa pun. Dengan hati terbakar, Hideyoshi menoleh dan memandang ke belakang. Kini tak ada yang tersisa selain kemarahan. Tak ada penyesalan. Seusai pertemuan pertama ini, Hideyoshi secara halus diminta pergi. Barangkali aku takkan pernah berjumpa lagi dengannya. Hideyoshi berkata dalam hati. Tidak. Pada pertemuan berikut aku akan mengamati kepalanya setelah dibawa ke hadapanku di medan tempur, demikian ia berjanji pada diri sendiri sambil menggigit bibir. Berapa kalikah ia telah menyusun jalan setapak ini dan menundukkan kepala, bersikap sopan dan menyembunyikan mulut jalan setapak ini telah menjadi duri bagi Hideyoshi. Sekali lagi ia berbalik.

"Dasar casing!" ia berseru tanpa daya. Barangkali ia teringat wajah Hanbei yang pucat dan tubuhnya yang letih. Dengan geram Hideyoshi mempercepat langkahnya. Kemudian, ketika melewati sebuah tikungan, di tcpi jurang ia seolah-olah mendadak teringat sesuatu yang telah mengganjal hatinya sejak ia meninggalkan rumah Hanbei. Sambil berdiri di tepi jalan, ia membuang air kecil ke lembah di bawah. Arus membusur itu berubah menjadi kabut di tengah jalan. Hideyoshi menyelesaikan hajatnya. lalu berseru. "Cukuplah sudah!" Ia semakin mempercepat langkah. dan bergegas menuruni bukit.

Ketika tiba di rumah Moemon, ia berkata. "Saya, perjalanan ini ternyata menghabiskan waktu lebih lama dari yang diduga. Besok kita bangun pagi-pagi dan kembali ke Sunomata." Melihat majikannya begitu bersemangat, Saya menduga bahwa pertemuan dengan Takenaka Hanbei berjalan mulus dan ia merasa bahagia untuk majikannya. Hideyoshi dan Saya melewatkan malam hari bersama Moemon dan keluarganya, kemudian tidur. Hideyoshi terlelap dengan nyenyak. Saya begitu heran mendengar majikannya mendengkur, sehingga dari waktu ke waktu ia membuka mata. Tapi ketika merenungkannya, ia menyadari bahwa kecemasan serta kelelahan fisik karena berulang kali mendaki Bukit Kurihara pasti tidak kecil. Akibatnya mata Saya pun berkacakaca.

Berusaha mencapai kejayaan, biarpun hanya sedikit. pastilah luar biasa, ia berkata pada diri sendiri. Bahwa upaya majikannya berakhir dengan kegagalan sama sekali tak terbayangkan olehnya. Sebelum fajar, Hideyoshi sudah hampir selesai dengan persiapan untuk perjalanan yang akan ditempuhnya. Membelah embun, mereka meninggalkan desa. Tak pelak lagi banyak keluarga masih terlelap.

"Tunggu. Saya."

Hideyoshi mendadak berhenti dan berdiri tegak. menghadap ke matahari terbit. Bukit Kurihara masih tampak gelap di atas lautan kabut pagi. Di balik bukit. awan-awan berkilauan diterpa cahaya matahari cemerlang.

"Ah, aku keliru." Hideyoshi bergumam. "Aku datang untuk meraih seseorang yang sukar diraih. Jadi, tidak mengherankan kalau aku tak berhasil. Ketulusanku belum cukup. Bagaimana mungkin aku melakukan hal-hal besar jika jiwaku tctap kerdil?"

Ia berbalik. "Saya, aku akan pergi sekali lagi ke Bukit Kurihara. Pulanglah lebih dulu." Kemudian ia mendadak berbalik badan dan kembali menyusuri jalan yang menanjak, mengoyak kabut pagi di lereng bukit, melangkah dengan mantap. Ketika Hideyoshi tiba di tepi paya lebar yang berdekatan dengan rumah Hanbei, ia mendengar sebuah suara mcmanggilnya dari kejauhan.

Rupanya Oyu, dan Kokuma pun bersamanya. Oyu membawa keranjang berisi berbagai macam daun, dan sedang menunggang sapi. Kokuma mcmcgang tali kekang.

"Wah, aku terkejut. Tuan memang luar biasa. Guruku pun menduga bahwa Tuan sudah kapok dan takkan kcmbali lagi."

Sambil turun dari punggung sapi, Oyu mengucapkan salam seperti biasa. Tapi Kokuma memohon pada Hideyoshi.

"Tuan, janganlah Tuan pergi ke sana, paling tidak untuk hari ini saja. Guruku berkata bahwa dia demam semalam, karena tecrlalu lama berbincang-bincang dengan Tuan. Tadi pagi pun suasana hatinya buruk sekali, dan aku dimarahinya."

"Jangan kasar," Oyu memperingatkan Kokuma, lalu minta maaf pada Hideyoshi. Kemudian ia memohon secara tak langsung agar Hideyoshi membatalkan kunjungannya. "Bukan Tuan yang menyebabkan kakakku jatuh sakit. Kelihaiannya dia terkena flu. Hari ini dia berbaring di tempat tidur, jadi aku akan memberitahunya bahwa Tuan hendak berkunjung. Tapi mohon jangan hari ini."

"Kedatanganku tentu akan mengganggu. Aku akan membatalkan niatku dan kembali ke bawah. tapi..."

Hideyoshi mengambil kuas dan tinta dari kimononya dan menulis pesan pada secarik kertas.

Tak ada kesenangan dalam kehidupan yang lamban. Itu sebaiknya hanya dijalani burung dan binatang Rasa terasing bisa muncul di tengah keramaian. Ketenteraman bisa diperoleh di tengah kota.

Awan gunung tak mengenal beban duniawi. Datang dan pergi sesuka hati

Apakah mungkin tempat mengubur tulang-belulang Hanya terbatas pada gunung-gunung yang hijau?

Hideyoshi sadar betul bahwa sajaknya tidak bermutu, tapi hasil karyanya itu mengungkapkan perasaannya dengan tepat. Ia menambahkan satu hal lagi.

Ke manakah arah awan yang meninggalkan puncak gunung?

Ke barat? Ke timur?

"Aku yakin Tuan Hanbei akan menertawakanku, serta menganggapku lancang dan tak tahu malu, tapi ini terakhir kali aku mengganggumu. Aku akan menunggu di sini sampai aku mendapatkan jawaban. Dan jika aku mendapat kesan bahwa perintah junjunganku tak mungkin dapat dilaksanakan, aku akan melakukan seppuku di tepi paya ini. Jadi tolonglah, himbau dia satu kali lagi." Hideyoshi bahkan lebih bersungguh-sungguh dibandingkan kemarin. Dan ia mengucapkan kata seppuku tanpa menyimpan akal bulus. Kata itu seakan-akan meluncur dengan sendirinya dari lubuk hati yang paling dalam.

Oyu bukannya memandang rendah pada Hideyoshi, ia malah merasakan simpati mendalam dan kembali ke tempat tidur kakaknya dengan membawa surat Hideyoshi. Hanbei membaca surat itu satu kali dan tidak mengatakan apa-apa. Ia memejamkan mata selama hampir setengah hari. Senja pun tiba, dan hari berubah menjadi malam yang diterangi cahaya bulan.

"Kokuma, bawa sapi kita ke sini." Hanbei tiba-tiba berkata.

Melihat kakaknya hendak meninggalkan rumah, Oyu langsung cemas dan mengambilkan baju katun serta kimono tebal untuknya. Kemudian Hanbei berangkat, duduk di punggung sapi. Dengan Kokuma sebagai pemandu, mereka menuruni lereng bukit ke arah paya. Di sebuah gundukan tanah di kejauhan. mereka melihat sosok seseorang yang belum menyentuh makanan maupun minuman, bersilangkan kaki seperti biksu Zen di bawah rembulan. Pemburu yang melihatnya dari kejauhan pasti berpendapat bahwa Hideyoshi merupakan sasaran empuk. Hanbei turun dari sapi dan langsung menghampirinya. Kemudian ia berlutut di hadapan Hideyoshi dan membungkuk.

"Tuan Tamu, aku berlaku tidak sopan hari ini. Aku tidak tahu mengapa Tuan menaruh harapan pada seorang laki-laki letih yang hidup di pegunungan, tapi Tuan bersikap lebih santun daripada yang patut kuterima. Orang sering berkata bahwa seorang samurai rela mati untuk seseorang yang sungguhsungguh mengenalnya. Aku tak ingin Tuan mati siasia, dan aku akan mengukir ini di hatiku. Namun aku pun pernah mcngabdi pada marga Saito. Aku tidak mengatakan bahwa aku akan mengabdi pada Nobunaga. Aku akan mengabdi pada Tuan, serta menyerahkan tubuh ini untuk kepentingan Tuan. Aku datang untuk menyampaikan ini. Sudikah Tuan memaafkan kekasaran yang kuperlihatkan selama beberapa hari terakhir ini?"

***

Sudah beberapa lama tidak terjadi pertempuran. Baik Owari maupun Mino memperkuat pertahanan dan membiarkan musim dingin dikuasai salju dan angin membekukan. Bersamaan dengan gencatan senjata tak rcsmi, jumlah orang dan iringan kuda beban yang melakukan perjalanan di antara kedua provinsi itu meningkat. Tahun Baru berlalu, dan akhirnya kuncupkuncup pohon-pohon prem mulai memperlihatkan warna. Para warga kota Inabayama menyangka kehidupan akan berlangsung sentosa selama seratus tahun lagi.

Matahari musim semi menerpa tembok-tembok Benteng Inabayama yang putih menyelubungi semuanya dengan suasana lamban menjemukan. Pada harihari seperti ini, para warga kota menatap ke benteng, dan bertanya-tanya mengapa mereka membangun benteng itu di puncak gunung tinggi. Kalau pusat kehidupan mereka dilanda ketegangan, mereka segera merasakannya; jika kelesuan merajalela, mereka pun menjadi apatis. Tak peduli seberapa banyak pengumuman resmi ditempelkan pada pagi dan malam hari, tetap saja tak ada yang memberikan tanggapan serius.

Hari telah siang. Kawanan bangau putih dan unggas air berceloteh di kolam-kolam. Bunga-bunga pohon persik berguguran. Meskipun kebun buah-buahan itu berada di dalam tembok benteng, jarang ada hari tanpa angin di puncak Gunung Inabayama yang tinggi. Tatsuoki tergeletak pingsan karena mabuk di pondok teh di kebun buah.

Saito Kuroemon dan Nagai Hayato, dua penasihat senior Tatsuoki, sedang mencari si penguasa Inabayama. Gundik-gundik Tatsuoki mungkin tak dapai menyaingi "harem tiga ribu kembang cantik" dalam legenda Cina, tapi di sini pun tak ada kekurangan akan kecantikan. Jika para dayang ikut diperhitungkan, jumlah mereka lebih besar daripada jumlah buah persik di kebun buah. Duduk berkelompok, mereka menunggu, sedih dan jemu, sampai majikan mereka terbangun.

"Di mana Yang Mulia?" tanya Kuroemon.

"Yang Mulia mungkin lelah. Beliau tertidur di pondok teh." pelayan Tatsuoki membalas.

"Maksudmu, beliau sedang mabuk?" ujar Kuroemon. Ia dan Hayato mengintip ke pondok teh. Mereka melihat Tatsuoki di tengah-tengah kerumunan perempuan, terbaring dengan rebana sebagai ganjal kepala.

"Hmm, nanti saja kita kembali lagi," kata Saito.

Kcduanya mulai pergi.

"Siapa itu? Aku mendengar suara laki-laki!" Tatsuoki mengangkat wajahnya yang memerah. Telinganya seakan-akan berpendar. "Kaukah itu, Kuroemon? Dan Hayato? Kenapa kalian ke sini? Kami sedang mengamati kembang. Dan kalian belum mendapat sake!".

Sepertinya mereka datang untuk mengadakan pembicaraan pribadi. Tapi ketika disapa dengan cara demikian, keduanya membatalkan niat untuk menyampaikan laporan-laporan dari provinsi-provinsi musuh.

"Mungkin nanti malam." Tapi pada malam hari kembali terjadi pesta mabuk-mabukan.

"Mungkin besok." Sekali lagi mereka menunggu, tapi siang hari tersita oleh pagelaran musik. Tak satu hari pun dalam seminggu Tatsuoki mengurus masalah pemerintahan. Tugas itu ia serahkan kepada para pengikut seniornya. Beruntung, banyak dari mereka merupakan veteran yang telah menjadi abdi marga Saito seama tiga generasi. Merekalah yang menegakkan kekuasaan marga di tengah-tengah kekacauan. Membiarkan Tatsuoki asyik dengan kesibukannya sendiri, para pengikut senior tak tega menikmati kemewahan seperti tidur pada siang hari di musim semi.

Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan matamata Hayato, marga Oda telah menarik pelajaran dari kekalahan pahit yang mereka alami pada musim panas sebelumnya. dan telah menyadari bahwa percuma saja mereka mencobanya sekali lagi. "Nobunaga hanya menyia-nyiakan pasukan dan uang dalam seranganscrangannya ke Mino, dan mungkin dia sudah membatalkan niatnya sama sekali." Hayato menyimpulkan. Berangsur-angsur ia jadi percaya bahwa Nobunaga telah mencampakkan rencana-rencananya karena kehabisan uang.

Musim semi itu, Nobunaga mengundang seorang ahli upacara teh dan seorang penyair ke benteng, dan mengisi hari-harinya dengan menjalankan Upacara Teh dan mengadakan acara menulis sajak. Paling tidak, bagi orang luar, Nobunaga terlihat memanfaatkan masa damai ini untuk menikmati hidup, seakanakan tak ada hal lain yang membebani pikirannya. Tepat seusai Perayaan Orang Mati di pertengahan musim panas, kurir-kurir yang membawa berita-berita penting memacu kuda masing-masing dari Gunung Komaki ke semua distrik di Owari. Kota benteng heboh. Pemeriksaan terhadap orang-orang yang menyeberang semakin diperketat. Pengikut-pengikut datang dan pergi, dan sering bertemu dalam rapatrapat yang diadakan larut malam di benteng. Kudakuda diambil alih. Para samurai mendesak-desak para pembuat baju tempur untuk segera menyelesaikan baju tempur dan senjata yang telah mereka kirim guna diperbaiki.

"Bagaimana dengan Nobunaga?" Hayato bertanya kepada para mata-matanya.

Mereka menjawab, meski kurang yakin. "Tak ada perubahan dalam bentcng. Lampu-lampu terus menyala sampai fajar, dan nada-nada seruling serta genderang masih terdengar bergema."

Ketika kemarau berganti musim gugur, berita itu akhirnya bocor: "Nobunaga menuju ke barat dengan pasukan berkekuatan sepuluh ribu orang! Mereka berpangkalan di Benteng Sunomata. Sekarang ini pun mereka sudah mulai menyeberangi Sungai Kiso."

Tatsuoki, yang biasanya bersikap tak peduli pada dunia luar, menjadi histeris ketika akhirnya dipaksa menghadapi kenyataan. Para penasihatnya pun merasa cemas, karena mereka belum memikirkan tindakan balasan yang harus diambil.

"Barangkali ini hanya kabar angin," ujar Tatsuoki berulang-ulang. "Marga Oda tak mampu mengerahkan pasukan berkekuatan sepuluh ribu orang. Belum pernah mereka sanggup menggelar pasukan sebesar itu."

Tapi ketika para mata-mata memberitahunya bahwa pasukan Oda kali ini memang berkekuatan sepuluh ribu orang, rasa ngeri menjalar sampai ke sumsum Tatsuoki. Kini ia meminta pendapat para penasihat seniornya.

"Hmm, serangan ini tak lebih dari spekulasi sembrono. Apa yang akan kita lakukan untuk memukul mereka sampai mundur?"

Akhirnya, persis seperti orang yang selalu minta pertolongan para dewa saat menghadapi kesulitan, Tatsuoki mengirim surat panggilan kepada Tiga Serangkai. Namun tak satu pun dari mereka bergegas ke Benteng Inabayama.

"Bagaimana dengan si Macan dari Unuma?"

"Dia? Beberapa waktu terakhir dia berlagak sakit dan mengurung diri di bentengnya. Dia tak bisa kita andalkan."

Mendadak semangat Tatsuoki pulih kembali. seakan-akan menertawakan kebodohan para pengikutnya, atau tiba-tiba menemukan rencana gemilang. "Sudahkah kalian mengirim kurir ke Bukit Kurihara? Panggil Hanbei! Ada apa dengan kalian? Kenapa kalian tidak menuruti perintahku? Jangan mengulurulur waktu dalam keadaan seperti ini! Utus seseorang sekarang juga! Sekarang juga!" "Beberapa hari yang lalu, tanpa menunggu perintah tuanku, kami telah mengirim pesan mengenai situasi gawat yang kami hadapi kepada Hanbei. Kami mendesaknya untuk segera turun gunung, tapi..."

"Dia tidak mau datang?" Tatsuoki mulai tak sabar. "Kenapa? Menurut kalian, kenapa dia tidak bergegas ke sini dengan pasukannya? Bukankah dia pengikut yang setia?"

Dalam benak Tatsuoki, kata-kata "pengikut yang setia" itu menggambarkan seseorang yang biasanya bicara tanpa tedeng aling-aling, dan mengganggu matanya dengan tampang yang tidak menyenangkan. Tapi dalam keadaan gawat, orang itu pula yang pertama-tama menerjang maju untuk membela junjungannya, tak peduli seberapa jauh ia berada.

"Kirim utusan sekali lagi." Tatsuoki berkeras.

Para pengikut utama menganggapnya tak berguna. Namun uniuk keempai kalinya mereka mengutus kurir ke Bukit Kurihara. Orang itu kembali dengan hati remuk.

"Hamba akhirnya berhasil menemuinya, tapi setelah membaca perintah tuanku, dia tidak memberi tanggapan apa pun. Dia hanya meneteskan air mata dan mendesah, bergumam mengenai para penguasa yang malang di dunia ini." si kurir melaporkan.

Tatsuoki merasa dipermainkan mendengar berita itu. Wajahnya menjadi merah karena marah, dan ia mencaci para pengikutnya. "Percuma saja mengandalkan orang sakit!" Hari demi hari berlalu penuh kesibukan. Pasukan Oda telah mulai menyeberangi Sungai Kiso, dan telah mulai melawan pasukan musuh dalam pertempuran sengit. Setiap jam ada laporan baru mengenai kekalahan pasukan Saito.

Tatsuoki tak bisa tidur, matanya tampak merah. Dalam waktu singkat suasana di Benteng Inabayama menjadi kacau-balau dan pilu. Tatsuoki telah memerintahkan agar di sekeiling kebun buah dipasang tirai, dan di sanalah ia duduk. di tengah-tengah para pengikutnya.

"Kalau pasukan kita tidak memadai, kerahkan bala bantuan dari setiap distrik di wilayah kita. Cukupkah pasukan di kota benteng? Kita tak perlu meminjam pasukan dari marga Asai, bukan? Bagaimana menurut kalian?" Suaranya melengking ketakutan, bergetar karena ngeri. Para pengikut harus berhati-hati agar keadaan Tatsuoki tidak sampai mempengaruhi prajurit-prajuritnya sendiri.

Ketika malam tiba, orang-orang di dalam benteng bisa melihat kobaran api. Siang-malam pasukan Oda mendesak maju, dari Atsumi dan Dataran Kano di selatan dan dari hulu anak-anak Sungai Nagara. sampai ke Goto dan Kagamijima di barat. Kebakarankebakaran yang mengikuti gerak maju pasukan Oda berubah menjadi lautan api yang menghanguskan langit. Pada hari ketujuh di bulan itu, orang-orang Oda mengepung Inabayama, benteng utama pihak musuh. Untuk pertama kali Nobunaga memimpin pasukan yang demikian besar. Dari segi itu saja, tekadnya untuk berhasil dapat dimengerti. Nobunaga telah mengerahkan kekuatan seluruh provinsi. Jika mereka kalah, baik Owari maupun marga Oda akan lenyap dari muka bumi.

Begitu pasukan Oda mencapai Inabayama, gerak majunya terhenti, dan selama beberapa hari kedua belah pihak terlibat pertempuran sengit. Letak Inabayama yang menguntungkan serta para veteran berpengalaman dari pihak Saito terbukti sangat berharga. Tapi yang paling merugikan pasukan Oda adalah persenjataan mereka. Kekayaan Mino telah memungkinkan orang-orang Saito membeli senjata api dalam jumlah cukup besar.

Pihak Saito mempunyai kesatuan bedil—sesuatu yang tidak dimiliki pasukan Oda—yang melepaskan tembakan kepada para penycrang pada waktu mereka mendekati kota benteng. Akechi Mitsuhide, orang yang membentuk kesatuan itu, sudah lama meninggalkan Mino dan menjadi ronin. Meski demikian, kesatuan bedil itu memiliki dasar-dasar kokoh, karena Mitsuhide telah mencurahkan segenap perhatiannya untuk mempelajari senjata api.

Bagaimanapun, setelah beberapa hari mengalami hawa panas dan pertempuran jarak dekat, pasukan Oda akhirnya mulai lelah. Seandainya saat itu marga Saito meminta bala bantuan dari Omi atau Ise, scpuluh ribu orang takkan pernah melihat Owari lagi. Yang paling mencemaskan adalah sosok Bukit Kurihara, Gunung Nangu, dan Gunung Bodai, yang membayang di kejauhan.

"Tuanku tak perlu menaruh pcrhatian ke arah itu." Hideyoshi meyakinkan Nobunaga.

Namun Nobunaga tetap cemas. "Pengepungan bukanlah strategi yang tepat, tetapi ketidaksabaran hanya akan membawa kerugian bagi pasukanku. Aku tidak melihat jalan untuk merebut benteng itu, apa pun yang kita lakukan."

Rapat demi rapat diadakan, tapi sepertinya tak seorang pun memiliki usul bagus. Akhirnya disetujui untuk menjalankan rencana Hideyoshi, dan suatu malam ia menghilang dari barisan terdepan.

Mulai dari persimpangan jalan Unuma dan jalan Hida, yang berjarak sekitar empat sampai lima mil dari ujung barisan gunung tempat Inabayama berdiri tegak, Hideyoshi berangkat dengan sembilan orang kepercayaan saja. Bermandikan keringat, rombongan itu mendaki Gunung Zuiryuji yang cukup jauh dari Inabayama, sehingga takkan dijaga. Di antara yang menyertai Hideyoshi terdapat Hikoemon serta adiknya, Matajuro. Bertindak sebagai pemandu adalah laki-laki yang baru-baru ini menjadi akrab dengan Hideyoshi dan merasa bcrutang budi padanya, Osawa Jirozaemon, si Macan dari Unuma.

"Dari kaki tebing besar itu kalian harus menuju ke arah lembah. Seberangi sungai kecil nun di sana, lalu berjalanlah ke arah paya-paya." Ketika mereka menduga telah mencapai ujung lembah, sekaligus ujung jalan setapak, mereka meihat tanaman rambat menempel di sebuah tebing. Setelah mencari-cari, mereka menemukan jalan setapak menuju lembah tersembunyi di balik rumpun bambu.

"Jarak dari sini ke bagian belakang benteng sekitar dua mil. Kalau kalian berjalan sejauh itu dengan mengikuti peta, kalian akan menemukan sebuah pintu air yang menuju ke dalam. Nah, sekarang aku mohon diri."

Osawa meninggalkan rombongan itu dan kembali seorang diri. Ia laki-laki yang menjunjung tinggi kesetiaan. Walaupun telah memutuskan untuk membantu Hideyoshi, ia pun pernah bersumpah setia pada marga Saito. Batinnya, tentu tersiksa sekali ketika ia menuntun rombongan Hideyoshi menyusuri jalan setapak rahasia yang menuju benteng utama bekas junjungannya. Hideyoshi memahami perasaan Osawa, dan sengaja menyuruhnya kembali sebelum mereka mencapai tempat tujuan.

Dua mil tidak seberapa jauh, tapi sesungguhnya tak ada jalan setapak yang dapat mereka ikuti. Sambil berjalan, Hideyoshi terus-menerus mengamati peta, berusaha mencari jalan setapak rahasia. Tetapi gambar pada peta dan keadaan sesungguhnya ternyata tidak sesuai.

Ia tak dapat mencmukan sungai kecil yang seharusnya menjadi patokan bagi mereka. Mereka tersesat. Sementara itu, matahari mulai tenggelam, dan udara mulai dingin. Hideyoshi tidak memperhitungkan kemungkinan tersesat. Pikirannya tertuju pada pasukan yang mengepung Inabayama. Jika ia gagal menjalankan rencananya sampai matahari terbit keesokan paginya, rekan-rekannya itu akan menghadapi kesulitan yang tidak kecil.

"Tunggu!" salah seorang anggota rombongan mereka berkata, begitu mendadak, sehingga yang lain tersentak kaget. "Aku melihat cahaya."

Cahaya lampu di lereng gunung memang mencurigakan, apalagi jika berdekatan dengan jalan setapak rahasia menuju Benteng Inabayama. Rupanya mereka sudah di dekat benteng, dan kemungkinan besar cahaya ini berasal dari pos jaga musuh.

Mereka segera bersembunyi. Dibandingkan para ronin yang bisa bergerak lincah saat mendaki gunung maupun berjalan biasa, Hideyoshi merasa lamban.

"Berpeganglah pada ini." kata Hikoemon, menyodorkan gagang tombaknya. Hideyoshi berpegangan erat, dan Hikoemon menaiki tebing yang terjal, menarik Hideyoshi di beakangnya. Mereka tiba di sebuah lapangan datar. Ketika malam semakin gelap, cahaya yang mereka lihat sebelumnya tampak berkelap-kelip dari sebuah celah di gunung sebelah barat mereka.

Dengan berasumsi bahwa itu sebuah pos jaga, jalan setapak rahasia itu hanya mungkin menuju ke satu arah.

"Tak ada pilihan lain," mereka berkata, bertekad untuk menerobos maju.

"Tunggu," Hideyoshi segera menenangkan mereka. "Kemungkinan besar hanya ada beberapa orang di pos jaga itu, tidak cukup banyak untuk merepotkan kita, tapi kita tak boleh membiarkan mereka mengirim isyarat ke Inabayama. Kalau memang ada tempat untuk memberi sinyal, letaknya pasti di sekitar pos jaga. Jadi, mari kita cari, lalu tempatkan dua orang di sana. Setelah itu, untuk mencegah para penjaga melarikan diri ke benteng, setengah dari kita mengambil tempat di balik pos,"

Mengangguk pertanda setuju, mereka merangkak seperti binatang penghuni hutan, melewati sebuah cekungan dan memasuki lembah. Wangi rami di ladang-ladang terasa mengejutkan. Selain itu juga ada petak-petak beras, bawang, dan ubi jalar.

Hideyoshi memiringkan kepala. Pondok itu dikelilingi ladang-ladang dan dibuat secara sederhana, tidak menyerupai pos jaga. "Jangan terburu-buru. Aku akan mengintai dulu."

Hideyoshi merangkak di tengah-tengah rami, berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Berdasarkan apa yang dilihatnya, rumah itu hanyalah rumah kumuh milik keluarga pctani. Dalam cahaya lentera remang-remang, Hideyoshi melihat dua orang. Yang satu rupanya perempuan tua yang tidur berbaring di tikar jerami. Yang satu lagi kelihatan seperti putranya, dan ia sedang memijat pinggang perempuan tua itu. Sejenak Hideyoshi lupa di mana ia berada. Hatinya diliputi perasaan haru saat melihat adegan di hadapannya. Rambut perempuan tua itu sudah memutih. Putranya cukup kckar, walaupun usianya baru sekitar enam belas atau tujuh belas tahun. Hideyoshi tak dapat menganggap anak dan ibu ini sebagai orang asing. Tiba-tiba ia merasa seakan-akan melihat ibunya di Nakamura serta dirinya sendiri ketika masih anak-anak.

Anak muda itu mendadak bcrdiri dan berkata, "Ibu, tunggu sebentar. Ada sesuatu yang aneh."

"Ada apa, Mosuke?" Perempuan tua itu mengangkat kepala.

"Jangkrik-jangkrik tiba-tiba berhenti mengerik." "Paling-paling binatang yang mau masuk ke

gudang."

"Bukan." Mosuke menggelengkan kepala. "Binatang takkan berani mendekat pada waktu lentera masih menyala." Ia bergeser ke arah serambi, siap keluar rumah, dan meraih pedang. "Siapa yang berkeliaran di luar!" serunya.

Hideyoshi tiba-tiba berdiri.

Terkejut. Mosuke menatap Hideyoshi. Akhirnya ia bergumam. "Ada apa ini? Sudah kuduga ada orang di luar. Samurai dari Kashihara-kah Tuan?"

Hideyoshi tidak menjawab, melainkan berbalik dan memanggil anak buahnya dengan isyarat tangan. "Kepung pondok itu! Kalau ada yang keluar, gunakan pedang kalian!" Para prajurit melompat dari petak rami dan langsung mengepung pondok.

"Bersusah payah mengepung rumahku," kata Mosuke, seolah-olah menantang Hideyoshi yang belum mendekat. "Hanya ibuku dan aku yang ada di sini. Tak ada yang patut dikepung dengan begitu banyak orang. Apa yang kalian cari di sini, Samurai?"

Sikap Mosuke ketika berdiri di serambi jauh dari bingung. Justru sebaliknya, ia tampak terlalu tenang. Ia jelas-jelas memandang rendah pada mereka.

Hideyoshi duduk di tepi serambi dan berkata, "Bukan, anak muda, kami hanya berhati-hati. Kami tidak bermaksud menakut-nakuti kalian."

"Aku sama sekali tidak takut, tapi ibuku kaget. Kalau mau minta maaf, mintalah maaf pada ibuku." Mosuke bicara tak gentar. Anak muda itu pasti bukan petani biasa. Hideyoshi menatap ke dalam pondok.

"Ah, Mosuke. Kenapa kau bersikap kasar terhadap seorang samurai?" ujar perempuan tua di dalam rumah. Kemudian ia berpaling pada Hideyoshi dan berkata. "Hmm, hamba tidak tahu siapa Tuan. Tapi anak hamba tak pernah bercampur dengan masyarakat luas, dan dia hanya anak kampung yang tidak tahu sopan santun. Maafkanlah dia, Tuan."

"Kau ibu anak muda ini?" "Ya. Tuan."

"Kau mengatakan dia hanya anak kampung yang tidak tahu sopan santun, tapi dari ucapan dan roman mukamu, rasanya sukar dipercaya bahwa kalian petani biasa." "Kami menyandang hidup dengan bcrburu di musim dingin, serta dengan membuat dan menjual arang di musim panas."

"Sekarang mungkin memang begitu, tapi tidak sebelumnya. Paling tidak, kalian berasal dari keluarga berketurunan baik. Aku bukan pengikut marga Saito, namun karena keadaan, aku tersesat di pegunungan ini. Kami tidak bermaksud mengganggu kalian. Kalau tidak keberatan, dapatkah kau memberitahu kami di mana kami berada?"

Mosuke, yang telah duduk di samping ibunya, tibatiba bertanya. "Tuan Samurai, Tuan berbicara dengan logat Owari. Apakah Tuan berasal dari Owari?"

"Ya, aku lahir di Nakamura."

"Nakamura? Itu tidak jauh dari desa kami. Aku lahir di Gokiso."

"Kalau begitu, kita dari provinsi yang sama."

"Kalau Tuan pengikut Owari, aku akan menceritakan scmuanya. Nama ayahku Horio Tanomo, abdi Yang Mulia Nobukiyo di Benteng Koguchi."

"Ah, jika ayahmu abdi Yang Mulia Nobukiyo, kau pun pengikut Yang Mulia Nobunaga." Aku bertemu orang yang tepat, pikir Hideyoshi dengan gembira.

Setelah diangkat menjadi komandan Sunomata, ia mencari orang-orang yang berkemampuan untuk mengabdi padanya. Hideyoshi tak pernah mempekerjakan seseorang lebih dulu, baru kemudian menilai kecakapannya. Jika mempercayai seseorang, ia langsung mempekerjakan orang itu, kemudian berangsur-angsur memanfaatkan jasanya. Cara itu pula yang digunakan Hideyoshi ketika mencari istri. Ia luar biasa jeli melihat bakat sejati dalam diri seseorang.

"Ya, aku mengerti. Tapi kurasa, sebagai ibu Mosuke, kau tentu tidak menginginkan Mosuke menghabiskan hidupnya sebagai pembuat arang dan pemburu. Kenapa tidak kaupercayakan saja anakmu padaku? Aku sadar bahwa aku akan mcngambil segenap milikmu. Kedudukanku tidak tinggi, tapi aku pengikut Yang Mulia Oda Nobunaga. Namaku Kinoshita Hideyoshi. Upahku tak sebcrapa, dan aku meng-anggap diriku sebagai orang yang menghadapi dunia hanya bersenjatakan tombak. Maukah kau mengabdi padaku?" Hideyoshi bertanya, menatap ibu dan anak.

"Apa? Aku?" Mosuke membelalakkan mata.

Begitu bahagia sampai bertanya-tanya apakah ia mimpi atau tidak, kedua mata si perempuan tua berkaca-kaca. "Jika dia bisa mengabdi pada marga Oda, suamiku—yang mati tak terhormat dalam pertempuran—pasti bahagia sekali. Mosuke! Terimalah tawaran ini dan bersihkanlah nama ayahmu."

Mosuke tentu saja tidak keberatan, dan langsung mengucapkan sumpah setia sebagai pengikut.

Kemudian Hideyoshi memberikan perintah pertama pada Mosuke. "Kami dalam perjalanan ke bagian belakang Benteng Inabayama. Kami memiliki peta gunung ini, tapi tidak berhasil menemukan jalan yang benar. Ini memang cukup sulit sebagai tugas pertama, tapi kau harus menunjukkan jalan ke sana. Kaulah satu-satunya andalan kita."

Mosuke mempelajari peta itu selama beberapa waktu, melipatnya, dan mengembalikannya pada Hideyoshi. "Aku mengerti. Adakah yang perlu makan? Cukupkah persediaan kita untuk dua kali makan?"

Berhubung tersesat, persediaan makanan yang mereka bawa sudah menipis.

"Jarak ke benteng memang hanya dua setengah mil, tapi sebaiknya kita bawa persediaan untuk dua kali makan."

Mosuke segera menanak nasi dan mencampurkan buah prem yang telah diasinkan, cukup untuk sepuluh orang. Kemudian ia memungut gulungan tali rami dan mengikat batu api serta pedang ayahnya ke pinggangnya.

"Ibu, aku pcrgi sekarang." ujar Mosuke. "Menuju medan laga adalah cara terbaik untuk mengawali pengabdianku, tapi tergantung nasibku sebagai samurai, mungkin ini terakhir kali kita saling mcngucapkan selamat tinggal. Jika itu yang terjadi, terimalah kehilangan putramu dengan hati lapang."

Waktu untuk berangkat sudah tiba, namun ibu dan anak tentu saja merasa berat untuk berpisah. Hideyoshi hampir tak tega menyaksikan mereka. Ia berjalan menjauhi pondok dan memandang ke arah pegunungan yang gelap gulita.

Pada saat Mosuke hendak beranjak, ibunya memanggil. Perempuan tua itu menyodorkan sebuah labu. "Isilah dengan air dan bawalah bersamamu." pesannya. "Kau pasti akan haus dalam perjalanan nanti."

Hideyoshi dan yang lain merasa senang. Sampai sekarang, mereka sudah lebih dan sekali menderita karena kekurangan air, sebab di pegunungan hanya ada beberapa tempat mata air mengalir. Tapi semakin dekat mereka ke puncak, semakin sedikit air yang bisa mereka peroleh.

Ketika mereka tiba di sebuah tebing, Mosuke melemparkan tali, mengikatnya pada akar pohon cemara, memanjat naik, lalu menarik yang lain ke atas. "Mulai dari sini, medan yang harus ditempuh akan semakin berat." katanya. "Ada beberapa tempat, seperti gardu jaga di Gua Akagawa, di mana kita mungkin menangkap oleh  para penjaga." Mendengar itu, Hideyoshi memahami kebijaksanaan Mosuke yang ketika disuruh  mengamati peta,  mempelajarinya sejenak tanpa segera memberikan komentar. Dalam beberapa hal Mosuke masih berkesan kekanakkanakan, tapi ini justru memperdalam kasih sayang

Hideyoshi terhadapnya.

Air di dalam labu akhirnya menjadi keringat pada wajah kesepuluh orang itu. Mosuke mengusap peluh yang membasahi wajahnya dan berkata, "Kita takkan sanggup bertempur jika selelah ini. Bagaimana kalau kita tidur di sini?"

"Kurasa itu gagasan baik." Hideyoshi menyetujui, namun kemudian benarnya seberapa jauh mereka masih harus berjalan untuk mencapai bagian belakang benteng.

"Tinggal turun ke sana." kata Mosuke, menunjuk ke lembah.

Semuanya gembira, tapi Mosuke menenangkan mereka dengan gerakan tangan. "Kita tak bisa bicara keras-keras lagi sekarang. Suara kita mungkin terbawa angin ke arah benteng."

Hideyoshi menatap ke bawah. Pepohonan gelap yang menyelubungi lembah tampak seperti danau tanpa dasar. Tapi ketika matanya telah terbiasa dengan kegelapan, samar-samar ia melihat tembok yang terbuat dari batu-batu besar, sebuah tembok pertahanan, dan sesuatu yang tampak seperti gudang di antara pepohonan.

"Kita tepat di atas musuh. Baiklah, kita tidur di sini sampai fajar tiba."

Mereka duduk di tanah. Mosuke membungkus labu yang kini telah kosong dengan kain, dan menyisipkannya ke bawah kepala majikannya. Sementara yang lain tidur selama dua jam. Mosuke tetap membuka mata berjaga-jaga.

"Hei!" serunya.

Hideyoshi mengangkat kepala. "Ada apa, Mosuke?" Mosuke menunjuk ke timur. "Matahari terbit."

Ternyata betul, langit malam mulai terang. Lautan awan bertengger di puncak gunung, lembah di balik Benteng Inabayama, yang berada tepat di bawah mereka, tak kelihatan sama sekali. "Hmm, mari kita serang mereka," kata salah seorang. Hikoemon dan yang lain merasakan luapan semangat, dan segera mengencangkan tali baju tern pur.

"Jangan, tunggu. Kita makan dulu," ujar Hideyoshi.

Pada waktu matahan muncul di atas lauun awan yang luas. mereka menghabiskan makanan yang disiapkan Mosuke malam sebelumnya. Persediaan air mereka telah habis. Tapi nasi yang terbungkus daun ek terasa manis sekali, begitu manis, sehingga mereka yakin takkan pernah melupakannya.

Seusai makan, kabut di lembah mulai menipis. Mereka melihat sebuah tebing curam dan sebuah jembatan gantung yang dipenuhi tanaman rambat. Di balik jembatan ada pagar batu atau tembok pertahanan yang diselubungi lumut tebal berwarna hijau. Tempatnya gelap, dan angin bertiup terusmenerus.

"Mana tabung suar? Berikan pada Mosuke dan ajarkan cara menyalakannya."

Hideyoshi berdiri pelan-pelan dan bertanya pada Mosuke, apakah ia mengetahui cara memakai tabung suar, lalu berkata, "Kita akan turun sekarang dan menerobos masuk. Bukalah telingamu lebar-lebar. Begitu mendengar teriakan, segeralah nyalakan tabung suar. Mengerti? Jangan keliru."

"Aku mengerti." Mosuke mengangguk dan berdiri di samping tabung suar. Melihat majikannya dan yang lain turun ke lembah dengan semangat menyala-nyala, ia tampak agak sedih. Sebenarnya ia ingin ikut bersama mereka. Awan-awan mulai menyerupai ombak besar yang sedang mengamuk, dan dataran antara Mino dan Owari akhirnya tampak di bawah lapisan awan.

Karena musim panas baru berlalu, matahari masih terik. Tak lama kemudian kota benteng Inabayama, aliran Sungai Nagara, bahkan persimpanganpersimpangan di antara rumah-rumah, sudah kelihatan. Namun tak seorang pun terlihat. Matahari semakin tinggi.

"Ada apa?" Mosuke bertanya-tanya dengan gelisah. Jantungnya berdentum-dentum. Kcmudian, tiba-tiba. ia mendengar letusan bedil menggema. Sinyal yang di tembakkannya meninggalkan jalur asap di langit biru, seperti cumi-cumi melepaskan tintanya.

Hideyoshi dan anak buahnya tampak tenang ketika mendekati bagian belakang benteng.

Prajurit-prajurit Benteng Inabayama yang pertamatama melihat mereka menyangka rombongan itu terdiri atas orang-orang mereka sendiri. Ditempatkan sebagai penjaga gudang bahan bakar dan lumbung padi, mereka menghabiskan jatah makan pagi sambil bergosip. Meski pertempuran sengit telah berlangsung selama beberapa hari, ini benteng besar, dan seluruh hiruk-pikuk terjadi di gerbang depan. Di sini, di bagian belakang benteng alami ini, suasana begitu tenang, sehingga kicau burung pun terdengar jelas. Pada waktu terjadi pertempuran di bagian depan benteng, para prajurit di bagian belakang dapat mendengar letusan bedil dari jalan berliku-liku sang menuju gerbang depan. Tapi mereka. yang hanya segelintir orang, menyangka takkan terlibat sampai menjelang akhir pertempuran.

"Mereka digempur habis-habisan di depan." kata salah seorang prajurit dengan prihatin.

Sambil menghabiskan jatah makanan masingmasing, para prajurit memperhatikan Hideyoshi dan anak buahnya, dan akhirnya mulai curiga dengan kehadiran mereka. "Siapa mereka?"

"Maksudmu, orang-orang di sebelah sana itu?"

"He-eh. Cara mereka berkerumun agak aneh, bukan? Mereka mengintip ke gardu jaga di tembok pertahanan."

"Paling-paling mereka dan garis depan." "Tapi siapa mereka?"

"Semua orang tampak mirip kalau sedang memakai baju tempur."

"Hei, salah satu dari mereka baru keluar dapur sambil membawa kayu berapi! Mau diapakan kayu berapi itu?"

Di bawah pandangan para prajurit yang sedang memegang sumpit, laki-laki yang membawa kayu berapi memasuki gudang bahan bakar dan menyulut tumpukan kayu bakar. Yang lainnya menyusul membawa dan melemparkan obor ke bangunanbangunan di sekitar mereka. "Mereka musuh!" seru para penjaga.

Dua orang, Hideyoshi dan Hikoemon, berpaling ke arah mereka dan tertawa.

Di bagian depan benteng, begitu melihat suar menyala, pasukan Oda menyerbu, menyusuri ketiga jalan setapak yang menuju gerbang utama. Pertempuran sengit segera pecah, tapi dalam setengah hari Benteng Inabayama telah jatuh. Bagaimana benteng yang seakan-akan tak tertaklukkan ini bisa jatuh dengan begitu mudah? Pertama-tama, keadaan di dalam benteng dilanda kekacauan karena kobaran api di bagian belakang. Kedua, sorak-sorai Hideyoshi dan anak buahnya menimbulkan kepanikan di tengah pasukan yang bertahan, sehingga mereka mulai saling bertempur, menyangka ada pengkhianat di antara mereka. Tapi faktor paling penting dalam kekalahan Inabayama, dan ini baru disadari kemudian, merupakan hasil nasihat seseorang.

Beberapa hari sebelumnya, Tatsuoki telah membawa anak-istri para prajurit yang bertempur di luar serta keluarga warga kota kaya ke dalam benteng untuk dijadikan sandera, agar para prajuritnya tidak menyerah pada musuh.

Tapi yang merancang strategi ini tak lain daro Iyo, salah satu dari Tiga Serangkai dari Mino, yang telah bersekutu dengan Hideyoshi. Jadi. "strategi" ini tak lebih dari komplotan durhaka. Dan karenanya, kekacauan yang terjadi di dalam benteng selama serbuan berlangsung sungguh mengerikan, sehingga pasukan yang bertahan tak sanggup memberikan perlawanan berarti. Pada puncak kekacauan. Nobunaga, yang selalu mencari-cari kesempatan, mengirim surat pada Tatsuoki:

Hari ini marga Tuan yang tak bermoral telah diselubungi api pembalasan dewa-dewa, dan akan segera diluluhlantakkan oleh prajurit-prajuritku. Warga provinsi ini menanti-nanti hujan yang akan memadamkan api ini, dan sorak-sorai kegembiraan sudah terdengar dari kota benteng. Tuan keponakan istriku. Bertahun-tahun aku mengasihani kekecutan hati dan ketololan Tuan, dan aku tak sanggup menghukum Tuan dengan pedangku. Sebaliknya, aku bersedia menyelamatkan nyawa Tuan dan memberikan upah untuk Tuan. Jika Tuan ingin hidup, segeralah menyerah dan kirim utusan ke perklemahanku

Bcgitu Tatsuoki membaca surat itu, ia memerintahkan pasukannya agar meletakkan senjata, dan ia bersama anggota-anggoia keluarganya meninggalkan benteng, disertai tiga puluh pengikut saja. Setelah menugaskan prajurit-prajurit sendiri sebagai pengawal, Nobunaga mengasingkan Tatsuoki ke Kaisei, tapi bcrjanji menganugerahkan sedikit tanah pada adik Tatsuoki, Shingoro, agar marga Saito tidak sampai musnah.

Dengan penyatuan Owari dan Mino, nilai wilayah kckuasaan Nobunaga menjadi satu juta dua ratus ribu gantang padi. Untuk ketiga kali Nobunaga memindahkan tempat kedudukannya, dari Gunung Komaki kc Inabayama, yang diberinya nama Gifu, mengikuti nama tanah kelahiran Dinasti Chou di Ncgeri Cina. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar