Taiko Bab 10 : Sang Perantara

Bab 10 : Sang Perantara

LlMA atau enam hari terakhir terasa menjemukan sekali bagi Tokichiro. Ia telah menerima tugas untuk menyertai Nobunaga dalam perjalanan rahasia ke suatu provinsi jauh dan disuruh mempersiapkan diri. Mereka akan berangkat dalam sepuluh hari, dan sampai saat itu ia diminta tidak ke luar rumah. Tokichiro duduk-duduk dan menunggu.

Ia menegakkan badan sambil merasa heran bahwa Nobunaga hendak menempuh perjalanan jauh. Ke manakah mereka akan pergi?

Ketika menatap sulur-sulur tanaman rambat di pagar, ia tiba-tiba teringat pada Nene. Tokichiro telah diwanti-wanti agar sesedikit mungkin ke luar rumah, tapi pada waktu angin senja mulai berembus, ia lewat di depan rumah pujaan hatinya. Entah kenapa, belakangan ini Tokichiro merasa sungkan berkunjung ke sana dan setiap kali ia berpapasan dengan orangtua Nene, mereka berlagak tidak melihatnya. Karena itu ia hanya berlalu di depan rumah itu, kemudian kembali ke rumahnya sendiri.

Bunga-bunga tanaman rambat di pagar rumah Nene pun sedang mekar. Pada malam sebelumnya. Tokichiro sempat melihat Nene menyalakan lampu, dan pada waktu pulang ia merasa seolah-olah tujuan kedatangannya telah tercapai. Kini ia mendadak teringat bahwa profil Nene lebih putih daripada bunga-bunga di pagar.

Asap dari tungku di dapur menyebar ke seluruh rumah. Setelah mandi. Tokichiro mengenakan kimono tipis yang terbuat dari rami dan memakai sandal, lalu keluar lewat gerbang pekarangan. Pada saat itu seorang kurir muda menyapanya, menyerahkan sepucuk surat resmi, kemudian langsung pergi lagi. Tokichiro kembali ke dalam, cepat-cepat berganti pakaian, dan bergegas menuju kediaman Hayashi Sado.

Sado sendiri yang menyodorkan perintah tertulis:

Datanglah ke rumah petani bernama Doke Seijuro, di jalan Maya Barat di luar Kiyoiu, pada jam Kelinci.

Hanya itu. Nobunaga akan menempuh perjalanan di suatu provinsi jauh sambil menyamar, dan Tokichiro akan ikut sebagai anggota rombongan. Ketika memikirkannya. Tokichiro merasa bisa memahami rencana-rencana Nobunaga. meski sesungguhnya hanya sedikit sekali yang ia ketahui.

Ia menyadari bahwa ia akan berpisah cukup lama dengan Nene, dan hasrat untuk melihat gadis itu di bawah bulan musim kemarau, walau hanya sekilas, menggelora dalam dadanya. Dan jika Tokichiro sudah berniat melakukan sesuatu, tak ada yang dapat menghentikannya. Hasrat dan keinginan yang menggebugebu dalam sanubari menyeretnya ke rumah Nene. Kemudian, persis seperti anak nakal yang mengintip lewat jendela. Tokichiro mengintai dari luar pagar.

Mataemon tinggal di perkampungan pemanah, dan hampir semua orang yang berlalu-lalang saling mengenal. Tokichiro waspada terhadap langkah para pejalan kaki, dan takut dipergoki oleh orangtua Nene. Tingkahnya sungguh menggelikan. Seandainya Tokichiro melihat orang lain bertindak seperti ini,. ia akan memandang hina orang tersebut. Namun pada saat itu ia tak punya waktu untuk memikirkan martabat maupun reputasi.

Sebenarnya ia sudah puas jika pada saat mengintip lewat pagar ia sempat melihat profil Nene, walau hanya sekilas. Mestinya Nene sudah selesai mandi dan sedang mendandani wajahnya. Tokichiro berkata dalam hati. Ataukah dia sedang makan malam bersama orangtuanya?

Tiga kali ia berjalan mondar-mandir, sambil berusaha tampil sepolos mungkin. Senja telah tiba, sehingga hanya sedikit orang yang berada di jalan. Amatlah memalukan seandainya seseorang menyerukan namanya ketika ia sedang mengintip lewat pagar. Bahkan lebih buruk lagi, kejadian semacam itu bisa merusak kesempatannya untuk menikahi Nene, yang sesungguhnya memang tipis. Bagaimanapun, rivalnya, Inuchiyo, telah menarik diri dari kancah persaingan, sehingga Mataemon mulai mau mempertimbangkan lamaran Tokichiro. Untuk sementara, lebih baik segala sesuatu dibiarkan berjalan dengan sendirinya. Nene dan ibunya memang sudah membulatkan tekad, tapi ayahnya takkan semudah itu mengambil keputusan.

Asap obat nyamuk terbawa angin. Bunyi piring diletakkan terdengar dari dapur. Rupanya hidangan makan malam belum disajikan. Dia bekerja keras. Tokichiro membayangkan. Dalam keremangan dapur, Tokichiro akhirnya melihat perempuan yang telah dipilihnya sebagai calon istri itu. Terlintas di kepalanya bahwa perempuan seperti Nene pasti pandai mengatur rumah rangga.

Ibunya memanggil, dan jawaban Nene terngiangngiang di telinga Tokichiro, meski ia sedang membungkuk di luar pagar, sambil mengintip ke dalam. Tokichiro melangkah ke samping. Seseorang sedang berjalan ke arahnya.

Dia bekerja keras dan dia lemah lembut. Ibuku tentu bahagia dengan menantu seperti Nene. Dan Nene takkan angkuh terhadap ibuku, hanya karena dia perempuan desa. Pikiran Tokichiro mulai muluk-muluk. Kami akan memikul kemiskinan. Kami takkan terperangkap dalam kesombongan. Dia akan membantu dari balik layar, mengurusku dengan setia, dan memaafkan segala kekuranganku.

Nene betul-betul menawan hati. Tak ada wanita selain Nene yang akan menjadi istrinya. Tokichiro sungguh-sungguh meyakini hal ini. Dadanya membusung dan jantungnya berdentum-dentum. Sambil menatap bintang-bintang di langit, ia mendesah panjang. Ketika akhirnya kembali ke dunia nyata, ia baru sadar bahwa ia telah berjalan mengelilingi blok dan sudah berdiri di depan rumah Nene lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara Nene dari balik pagar, dan ketika ia mengintip lewat sela-sela sulur-sulur tanaman rambat, ia melihat wajah Nene yang putih.

Dia bahkan mau mengangkat air seperti pelayan. Dengan tangannya yang begitu lincah memainkan koto. Tokichiro ingin memberitahu ibunya bahwa seperti inilah calon istrinya. Lebih cepat lebih baik. Tak puas-puasnya ia memandang melalui pagar. Ia mendengar bunyi air dicedok, namun tiba-tiba Nene berpaling ke arahnya, tanpa mengangkat ember. Dia pasti melihatku, pikir Tokichiro, waswas. Begitu pikiran ini terlintas di kepala Tokichiro, Nene menjauhi sumur dan mulai berjalan ke arah gerbang belakang. Dada Tokichiro terasa panas membara, seakan-akan terbakar.

Ketika Nene membuka gerbang dan melihat sekelilingnya. Tokichiro sudah berlari menjauh, tanpa menoleh ke belakang. Baru setelah tiba di persimpangan berikut ia berani menengok. Nene berdiri di depan gerbang, dengan ekspresi heran pada wajahnya yang pucat. Tokichiro berharap Nene tidak marah padanya, tapi pada saat yang sama ia mulai memikirkan keberangkatannya besok pagi. Ia akan menyertai Nobunaga, dan ia dilarang menceritakan rencana ini pada siapa pun. Termasuk Nene. Setelah melihat pujaan hatinya dan mengetahui bahwa ia baik-baik saja, Tokichiro kembali seperti semula, dan bergegas pulang. Pada waktu ia terlelap, Nene sama sekali tidak muncul dalam mimpinya.

Gonzo membangunkan majikannya lebih dini dan pada biasanya. Tokichiro mencuci muka, menghabiskan makan pagi. dan mempersiapkan diri untuk menempuh perjalanan.

"Aku berangkat!" ia mengumumkan, namun tidak memberitahu pelayannya ke mana ia hendak pergi. Beberapa saat sebelum waktu yang telah disepakati, ia tiba di rumah Doke Seijuro.

"Hei, Monyet! Kau ikut juga?" tanya seorang samurai desa yang berdiri di gerbang pekarangan Doke Seijuro. "Inuchiyo!" Tokichiro menatap sahabatnya dengan bingung, ia bukan hanya terkejut melihat kehadiran Inuchiyo, melainkan juga karena penampilan sahabatnya itu telah berubah—mulai dari cara rambutnya diikat, sampai ke celana yang dikenakannya, Inuchiyo tampak seperti samurai yang baru tiba dari daerah

pedalaman.

"Ada apa ini?" Tokichiro bertanya. "Semuanya sudah datang, cepat masuklah." "Bagaimana denganmu?"

"Aku? Aku ditunjuk sebagai penjaga gerbang untuk sementara. Nanti aku menyusul."

Setelah melewati gerbang, Tokichiro terlambatlambat di pekarangan. Sejenak ia tidak tahu jalan setapak mana yang harus diikutinya. Kediaman Doke Seijuro merupakan rumah tua yang aneh, bahkan di mata Tokichiro. Ia tak dapat memastikan berapa usianya. Rumah itu seakan-akan merupakan peninggalan suatu zaman yang telah berlalu, ketika masih lazim bagi satu keluarga besar untuk tinggal bersama-sama. Sebuah rumah memanjang dengan banyak ruangan, beberapa pondok, gerbang dalam gerbang, dan jalan-jalan setapak yang tak terhitung banyaknya meliputi seluruh pekarangan.

"Monyet! Di sebelah sini!" Seorang samurai desa lain memberi isyarat dari gerbang di dekat taman. Tokichiro mengenalinya sebagai Ikeda Shonyu. Pada waktu memasuki taman, ia menemukan sekitar dua puluh pengikut yang berpakaian seperti samurai desa. Tokichiro telah diberitahu mengenai rencana ini, dan ia tampak paling "kampung" di antara mereka semua.

Tujuh belas atau delapan belas pertapa sedang beristirahat di pinggit halaman dalam. Mereka pun samurai Oda yang tengah menyamar. Nobunaga sendiri mungkin berada di sebuah ruangan kecil di seberang halaman dalam. Tentu saja ia pun menyamar.

Tokichiro dan yang lain tampak santai. Tak ada yang bertanya. Tak ada yang tahu. Namun semuanya menduga-duga.

"Yang Mulia menyamar sebagai putra samurai desa yang disertai segelintir pengikut. Tapi ini bukan perjalanan untuk bersenang-senang. Dia menunggu sampai semua pembantunya tiba. Kemungkinan besar dia hendak pergi ke suatu provinsi jauh, tapi aku sangsi apakah ada yang mengetahui tujuan sesungguhnya."

"Aku pun tidak tahu banyak, tapi waktu dipanggil ke rumah Hayashi Sado, aku mendengar seseorang menyinggung sesuatu mengenai ibu kota."

"Ibu kota?" dan semuanya menahan napas.

Tak ada yang lebih berbahaya, dan Nobunaga tentu memiliki rencana rahasia jika ia hendak bepergian ke sana. Tanpa disadari oleh yang lain, Tokichiro mengangguk-angguk dan keluar ke kebun sayur.

Beberapa hari kemudian, para samurai desa yang akan menyertai Nobunaga, serta rombongan pertapa yang akan mengawalnya dari jauh, berangkat ke ibu kota.

Kelompok pertama menyamar sebagai samurai desa dari provinsi-provinsi timur yang hendak berpesiar ke Kyoto. Mereka tampak santai ketika berjalan. Sorot mata menyala-nyala yang mereka perlihatkan di Okehazama sengaja ditutup-tutupi.

Doke telah mencarikan tempat menginap di sebuah rumah di pinggir ibu kota. Pada waktu berjalan-jalan mengelilingi Kyoto. Nobunaga selalu menarik tepi topinya sampai menutupi mata dan ia berpakaian seperti penduduk desa. Pengawal-pengawalnya paling banyak berjumlah empat atau lima orang. Andai kata jati dirinya diketahui oleh pembunuh bayaran, ia akan merupakan sasaran empuk.

Kadang-kadang sepanjang hari ia berjalan-jalan di tengah keramaian dan debu di Kyoto. Pada malam hari acap kali ia pergi pada jam-jam yang tidak menguntungkan, mendatangi kediaman orang-orang istana untuk mengadakan pembicaraan rahasia.

Para samurai muda tidak memahami tujuan langkah-langkah yang diambil Nobunaga dan mereka juga tidak mengerti mengapa ia berani menempuh perjalanan sedemikian berbahaya pada waktu seluruh negeri dilanda perang saudara. Tokichiro pun tidak memahaminya. Tapi ia memanfaatkan waktunya untuk mengamati keadaan. Ibu kota telah berubah, ia berkata dalam hati. Ketika masih mengembara sebagai penjual jarum. Tokichiro sering datang ke sini untuk membeli barang. Dengan menghitung jari, ia menaksir bahwa itu baru enam atau tujuh tahun yang lalu, namun keadaan di sekitar Istana Kekaisaran telah berubah secara mencolok.

Keshogunan masih berdiri tegak, tapi Ashikaga Yoshiteru, shogun ketiga belas, hanya berfungsi sebagai boneka belaka. Bagaikan air di kolam yang dalam, perkembangan budaya dan moral masyarakat telah berganti. Segala sesuatu memperlihatkan tandatanda bahwa akhir suatu masa telah dekat. Kekuasaan sesungguhnya berada di tangan wakil gubernur jendral Yoshiteru, Miyoshi Nagayoshi, namun ia pun telah menyerahkan wewenang di hampir semua bidang kepada salah seorang pengikutnya, Matsunaga Hisahide. Hal ini menimbulkan pertikaian berkepanjangan dan pemerintahan yang lalim dan tidak efisien. Desas-desus yang beredar dalam masyarakat mengatakan bahwa kekuasaan Matsunaga akan segera runtuh dengan sendirinya.

Ke arah manakah perkembangan di masa mendatang? Tak seorang pun mengetahui jawabannya. Setiap malam lentera-lentera menyala terang, tapi orang-orang terperangkap dalam kegelapan. Bagaimana besok saja, begitu pikir mereka, dan arus tanpa arah, tanpa daya, mengalir dalam hidup mereka, bagaikan sungai lumpur.

Jika pemerintahan Miyoshi dan Matsunaga dianggap tak dapat diandalkan, bagaimana dengan para gubernur provinsi yang ditunjuk oleh sang Shogun? Orang-orang seperti Akamatsu, Toki, Kyogoku, Hosokawa, Uesugi, dan Shiba semuanya mengalami masalah-masalah serupa di provinsi masing-masing.

Dalam situasi inilah Nobunaga melakukan perjalanan rahasia ke ibu kota. Tak ada panglima perang di provinsi-provinsi lain yang berani bertindak senekat itu, bahkan dalam mimpi pun. Imagawa Yoshimoto bergerak di Kyoto dengan pasukannya yang besar. Cita-citanya—memperoleh restu Kaisar, dan dengan demikian mengendalikan Shogun dan memerintah seluruh negeri—kandas di tengah jalan, tapi ia hanya orang pertama yang hendak mencobanya. Semua penguasa daerah lain menganggap rencana Imagawa yang terbaik. Namun hanya Nobunaga yang berani mendatangi Kyoto seorang diri untuk mempersiapkan masa depan.

Setelah beberapa   pertemuan   dengan   Miyoshi Nagayoshi, Nobunaga akhirnya berhasil mendapat kesempatan untuk menghadap Shogun Yoshiteru. Tentu saja ia mendatangi kediaman Miyoshi sambil menyamar, lalu berganti pakaian, baru kemudian pergi ke istana Shogun.

Tempar kediaman sang Shogun merupakan istana mewah yang tampak tak terurus lagi. Kemewahan dan kekayaan yang dikumpulkan, lalu dihambur-hamburkan oleh tiga belas shogun, kini hanya merupakan mimpi yang sudah setengah terlupakan. Yang tersisa hanyalah suatu pemerintahan yang mementingkan diri sendiri.

"Jadi engkau putra Nobuhide, Nobunaga?" ujar Yoshiteru. Suaranya tak bertenaga. Sikapnya sempurna, namun tanpa semangat sama sekali.

Nobunaga segera menyadari bahwa jabatan Shogun tidak lagi mengandung kekuasaan. Sambil menyembah, ia berterima kasih atas kesediaan sang Shogun menerimanya. Tetapi dalam suara laki-laki yang membungkuk itu terdapat kekuatan yang menarik perhatian atasannya.

"Hamba datang ke Kyoto dengan menyamar. Hamba sangsi apakah hasil karya rakyat Owari akan menarik bagi mara orang ibu kota." Setelah menyerahkan daftar hadiah kepada Yoshiteru, ia segera mulai mundur.

"Barangkali engkau bersedia menemani kami bersantap malam," kata Yoshiteru.

Sake pun dihidangkan. Dari ruang makan, para tamu dapat mengagumi taman yang indah. Dalam keremangan senja, embun pada lumut yang lembap tampak berkilau-kilau.

Nobunaga tidak menyukai formalitas, tak peduli lingkungan maupun situasi yang dihadapinya. Ia tidak bersikap malu-malu ketika botol-botol sake dibawakan penuh hormat dan pada waktu makanan disajikan secara berbelit-belit, sesuai tradisi.

Yoshiteru mengamati tamunya, seakan-akan selera makan yang diperlihatkan Nobunaga merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Meski sudah bosan dengan segala kemewahan dan formalitas, Yoshiteru merasa bangga bahwa setiap hidangan yang disajikan merupakan kelezatan khas ibu kota.

"Nobunaga, bagaimana pendapatmu mengenai masakan ibu kota?"

"Luar biasa..." "Bagaimana rasanya?"

"Hmm, rasanya agak tawar. Hamba jarang menikmati makanan setawar ini."

"Begitukah? Apakah engkau mendalami Upacara Minum Teh?"

"Sejak kanak-kanak, hamba minum teh seperti minum air, tapi hamba tidak paham bagaimana para ahli melaksanakan upacara tersebut."

"Sudahkah engkau melihat taman kami?" "Ya, hamba sudah melihatnya."

"Dan bagaimana pendapatmu?" "Menurut hamba, taman itu agak kecil." "Kecil?"

"Taman itu memang indah, tapi jika dibandingkan pemandangan bukit-bukit Kiyosu... "

"Rupanya engkau memang tidak memahami apaapa." Sang Shogun kembali tertawa. "Tetapi lebih baik tidak tahu apa-apa daripada tahu serbasedikit. Hmm, kalau begitu, bidang apakah yang engkau minati?"

"Memanah. Selain itu, hamba tidak memiliki bakat khusus. Namun, jika tuanku hendak mendengar sesuatu yang luar biasa, hamba berhasil menempuh perjalanan ke gerbang istana tuanku dalam tiga hari. melewati wilayah musuh di jalan Mino-Omi dari Owari. Mengingat seluruh negeri kini dilanda kekacauan, selalu ada kemungkinan terjadi sesuatu di dalam atau di sekitar istana. Hamba akan berterima kasih sekali jika tuanku bersedia mengingat-ingat hamba." Nobunaga berkata sambil tersenyum.

Justru Nobunaga-lah yang mula-mula memanfaatkan suasana kacau-balau untuk menjatuhkan Shiba, gubernur Provinsi Owari yang ditunjuk oleh sang Shogun.

Kejadian tersebut sempat dibawa ke hadapan Mahkamah Tinggi sebagai bukti kemarahan dan wibawa pemerintah, namun sesungguhnya itu hanya informalitas belaka. Tetapi belakangan ini para gubernur provinsi jarang datang ke Kyoto, dan sang Shogun merasa terkucil. Kejenuhan terobati dengan kunjungan Nobunaga. dan sepertinya ia sedang berkeinginan untuk bercakap-cakap. Yoshiteru mungkin menduga Nobunaga hendak menyinggung pelantikan resmi atau minta kedudukan di istana selama perbincangan mereka, namun sampai Nobunaga mohon diri, urusan semacam itu tidak dibicarakan sama sekali.

"Mari kita pulang." kata Nobunaga, untuk memberitahu para pengikutnya bahwa kunjungan mereka selama tiga puluh hari telah berakhir. "Besok," tambahnya cepat-cepat. Ketika para anggota rombongan yang menyamar sebagai samurai desa atau pertapa mulai mempersiapkan diri untuk menempuh perjalanan pulang, seorang kurir mengantarkan pesan dari Owari.

Desas-desus telah beredar sejak keberangkatan tuanku dari Kiyosu. Berhati-hatilah dalam perjalanan pulang, dan bersiaplah menghadapi kejadian yang tak diinginkan.

Jalur mana pun yang mereka tempuh, mereka harus melewati musuh. Jalan manakah yang paling aman? Barangkali lebih baik mereka naik kapal saja.

Malam itu para pengikut Nobunaga berkumpul di tempat ia menginap, untuk membahas masalah ini, namun mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan. Tiba-tiba Ikeda Shonyu muncul dari arah kamar Nobunaga dan memandang ke arah mereka. "Kalian belum tidur?"

Salah seorang pengikut menatapnya heran. "Kami sedang membahas masalah penting." "Aku tidak tahu bahwa kalian tengah mengadakan rapat. Apa yang kalian bicarakan?"

"Kau tampak tenang-tenang saja. Kau belum mendapat kabar mengenai pesan yang dibawa kurir tadi?"

"Aku sudah tahu."

"Kita harus memastikan tidak terjadi apa-apa dalam perjalanan pulang. Dan sekarang ini kami sedang berunding mengenai jalan mana yang sebaiknya kita tempuh."

"Kekhawatiran kalian sia-sia saja. Yang Mulia sudah mengambil keputusan."

"Apa? Beliau sudah mengambil keputusan?"

"Waktu kita datang ke ibu kota. jumlah kita terlalu banyak, sehingga Yang Mulia merasa kita terlalu mencolok. Karena itu beliau memutuskan bahwa empat atau lima orang sudah cukup untuk menyertainya dalam perjalanan pulang. Pengikut-pengikut lain boleh pulang secara terpisah, dan bebas memilih jalan yang akan mereka lewati."

Nobunaga meninggalkan ibu kota sebelum matahari terbit. Dan seperti dikatakan Shonyu, dua puluh atau tiga puluh orang yang menyamar sebagai pertapa, dan sebagian besar samurai desa tetap tinggal di Kyoto. Hanya empat orang yang menyertainya. Shonyu, tentu saja berada di antara mereka. Tapi yang merasa paling beruntung karena terpilih untuk kelompok kecil ini adalah Tokichiro.

"Pengawalan beliau kurang ketat."

"Kau yakin beliau akan aman selama perjalanan?" Rombongan pengikut yang ditinggalkan merasa tidak tenang, dan mereka mengikuti Nobunaga sampai ke Otsu. Tapi di sana Nobunaga dan anak buahnya menyewa kuda dan berpating ke timur, melewati jembatan di Seta. Nobunaga telah meminta dan memperoleh surat jalan dari Miyoshi Nagayoshi yang menyatakan bahwa dirinya berada di bawah perlindungan Gubernur Jendral. Di setiap rintangan yang mereka temui, ia menunjukkan surat itu kepada petugas yang bertanggung jawab, lalu meneruskan perjalanan.

***

Upacara Minum Teh merupakan kebiasaan yang telah menyebar ke seluruh negeri. Di dunia yang penuh darah dan kekerasan, orang-orang mencari ketenteraman dan tempat tenang untuk beristirahat sejenak dari segala kegaduhan dan kekacauan. Minum teh adalah batas anggun di mana ketenteraman merupakan kontras dengan hiruk-pikuk. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa penganut-penganut yang paling setia justru para samurai, yang dalam kehidupan sehari-hari selalu berlumuran darah.

Nene telah mempelajari Upacara Minum Teh. Ayahnya, yang sangat disayanginya, juga minum teh, jadi ini sangat berbeda dengan bermain koto, memperlihatkan bakatnya pada orang-orang yang kebetulan lewat di depan rumahnya. Ketenteraman pagi hari, senyum ayahnya yang ramah-tamah, serta keasyikan saat menuangkan cairan panas berwarna hijau ke dalam cawan hiram dari Seto—semua itu merupakan dorongan untuk membuat teh. Ini bukan sekadar permainan, melainkan telah menjadi bagian hidupnya.

"Lihatlah embun yang membasahi pekarangan. Dan kuntum-kuntum bunga serunai pun masih menguap." Mataemon memandang ke arah pekarangan yang dikelilingi pagar, dari serambi yang terbuka. Nene yang sibuk di depan tungku, dengan cedok teh di tangan, tidak menjawab. Air mendidih yang dicedoknya dari ceret jatuh ke dalam cawan teh, bagaikan air dari mata air, memecahkan kesunyian di dalam ruangan, ia tersenyum dan memalingkan wajah.

"Tidak, dua atau tiga bunga serunai sudah mulai mengembang."

"Betulkah? Sudah adakah yang mekar? Aku tidak memperhatikan waktu aku menyapu tadi pagi. Sangat disayangkan bahwa kembang-kembang terpaksa mekar di bawah atap prajurit rendahan."

Nene tersipu-sipu karena ucapan ayahnya, tapi Mataemon tidak menyadarinya. Ia menempelkan cawannya ke bibir, dan menghirup teh hijau yang masih berbusa. Wajahnya menunjukkan bahwa ia menikmati suasana pagi. Namun tiba-tiba pikirannya berbalik. Jika putriku pindah ke tempat lain, aku takkan minum teh seperti ini lagi.

"Permisi." Sebuah suara terdengar dari balik pintu geser.

"Okoi?" Ketika istrinya memasuki ruangan, Mataemon menyerahkan cawan teh pada Nene.

"Perlukah Nene menyiapkan teh untukmu?" "Tidak, aku minum nanti saja."

Okoi membawa sebuah kotak berisi surat, dan seorang kurir menunggu di pintu masuk. Mataemon meletakkan kotak itu di pangkuannya dan membuka penutupnya. Kesan ragu melintas di wajahnya. "Sepupu Yang Mulia. Surat ini dari Tuan Oda dari Nagoya. Ada apa gerangan?" Mataemon tiba-tiba berdiri, mencuci tangan, lalu kembali meraih surat itu dengan penuh hormat. Walau hanya sepucuk surat, surat itu dikirim oleh anggota keluarga Nobunaga, dan Mataemon bersikap seakan-akan berhadapan langsung dengan pengirimnya.

"Apakah kurirnya menunggu?"

"Ya, tapi menurutnya jawaban lisan saja sudah cukup."

"Jangan, jangan. Itu tidak sopan. Ambilkan tempat tinta."

Mataemon mulai menulis, lalu menyerahkan balasannya kepada kurir tadi. Namun Okoi merasa tak senang. Amat tidak lazim surat dari sepupu Nobunaga dikirim ke rumah seorang pengikut rendahan. Apalagi surat ini diantarkan secara khusus.

"Ada apa sebenarnya?" ia bertanya. Mataemon juga tidak mengetahuinya, sebab ia pun tidak berhasil menemukan makna terselubung yang mungkin terkandung dalam surat itu.

Hari ini aku sepanjang hari berada di peristirahatan-ku di Horikawazoi. Aku menyesalkan bahwa tak seorang pun berkunjung pada hari yang indah ini untuk menikmati wangi bunga serunai yang kukembangkan. Jika ada waktu luang, datanglah ke tempatku ini.

Tak ada tambahan apa pun, namun mestinya ada lebih dari ini. Seandainya Mataemon sangat mendalami Upacara Minum leh, atau amat terpelajar, atau dikenal bercita rasa halus, undangan ini tidaklah janggal. Namun nyatanya ia bahkan tidak melihat bunga serunai yang mulai mekar di pagarnya sendiri. Debu yang melekat pada busur pasti segera diketahuinya, tapi selebihnya ia termasuk laki-laki yang mungkin menginjak-injak bunga serunai tanpa berpikiran apa-apa.

"Aku harus pergi ke sana. Okoi, ambilkan pakaianku yang terbaik."

Diterpa sinar matahari musim gugur yang cerah, Mataemon berbalik satu kali untuk menatap rumahnya. Nene dan Okoi keluar sampai ke gerbang. Mataemon merasa sangat tenteram. Ia bersyukur masih ada hari seperti ini, bahkan di dunia yang dilanda kekacauan sekalipun. Mataemon tersenyum dan menyadari bahwa Nene dan Okoi juga tersenyum. Ia berbalik dan mulai mengayunkan langkah. Para tetangga menyapanya, dan ia membalas sambil berjalan. Rumah-rumah para pemanah kecil dan sederhana. Di mana-mana anak-anak kecil sedang bermain, dan melalui pagar di setiap rumah. Mataemon melihat popok bayi dijemur.

Barangkali sebentar lagi aku pun akan menjemur popok cucu di pekarangan kita. Pikiran itu timbul begitu saja. namun terasa tak menyenangkan bagi Mataemon. Ia sama sekali tidak gembira bahwa suaru hari ia akan dipanggil "Kakek". Sebelum itu terjadi, ia berniat mengukir nama untuk dirinya sendiri, ia telah berusaha agar tidak tertinggal di Dengakuhazama dan ia masih berhasrat untuk berada pada urutan teratas dalam daftar prajurit yang berjasa dalam pertempuranpertempuran yang akan datang.

Asyik dengan pikirannya sendiri, ia tiba-tiba sudah berada di hadapan tempat peristirahatan Oda.

Bangunan itu semula merupakan kuil kecil, tetapi Oda telah mengubahnya menjadi rumah peristirahatan.

Oda sangat gembira karena Mataemon segera memenuhi undangannya. "Terima kasih atas kedatanganmu. Tahun ini kita mengalami berbagai gangguan militer, tapi aku masih sempat menanam bunga serunai. Aku akan gembira sekali jika engkau berkenan melihatnya nanti."

Apa maksud semuanya ini? Mataemon bertanya-tanya. "Mataemon, bersantailah. Silakan ambil bantal. Dari sini pun engkau bisa melihat bunga serunai di taman. Menatap bunga serunai bukan sekadar menatap bunga, melainkan menatap hasil karya seseorang. Memamerkannya bukanlah menyombongkan diri, tetapi berbagi kesenangan dan menikmati apresiasi orang lain. Mencium wangi bunga serunai di bawah langit yang indah merupakan satu lagi berkah dari Yang Mulia."

"Tentu, tuanku,"

"Belakangan ini kita semua telah sadar bahwa kita beruntung karena memiliki junjungan yang bijaksana. Aku yakin tak seorang pun dari kita sanggup melupakan penampilan Tuan Nobunaga di Okehazama."

"Dengan segala hormat, tuanku, ketika itu beliau tampil bukan seperti manusia, melainkan bagaikan tirisan dewa perang."

"Bagaimanapun, kita semua patut berbangga hati, bukan? Engkau anggota resimen pemanah, tetapi pada hari itu engkau berada di barisan pembawa tombak, bukan?"

"Benar, tuanku."

"Engkau ikut dalam penyerangan ke markas Imagawa?"

"Pada waktu kami menyerbu bukit itu. Suasananya begitu kacau, sehingga kami nyaris tak sanggup membedakan kawan dan lawan. Tetapi di tengahtengah kegaduhan, hamba mendengar Mori Shinsuke mengumumkan bahwa dia berhasil mendapatkan kepala si Penguasa Suruga."

"Apakah di kesatuanmu ada orang bernama Kinoshita Tokichiro?"

"Memang ada, tuanku." "Bagaimana dengan Maeda Inuchiyo?"

"Dia telah membuat gusar Yang Mulia, namun kemudian diizinkan mengambil bagian dalam pertempuran. Hamba belum melihatnya sejak kita kembali dari medan laga, tetapi bukankah dia telah kembali ke tugasnya semula?"

""Benar. Engkau mungkin belum mengetahuinya, tetapi baru-baru ini dia menyertai Yang Mulia dalam perjalanan ke Kyoto. Mereka sudah kembali ke benteng, dan Inuchiyo kini mengabdi di sana."

"Kyoto! Untuk apa Yang Mulia pergi ke sana?" "Beliau pergi ke sana hanya dengan tiga puluh atau

empat puluh orang, dan beliau sendiri menyamar sebagai samurai desa yang sedang berziarah. Mereka pergi sekitar empat puluh hari. Selama itu para pengikutnya bersikap seakan-akan beliau berada di sini. Bagaimana kalau kita melihat-lihat bunga serunai sekarang?"

Mataemon mengikuti tuan rumah ke raman, seakan-akan ia seorang pelayan. Oda membahas selukbeluk menanam bunga serunai, dan bercerita bahwa mengurus bunga-bunga itu memerlukan curahan kasih sayang, sama halnya seperti membesarkan anak.

"Kudengar engkau dikaruniai anak perempuan. Namanya Nene, bukan? Anak tunggalkah dia? Aku hendak membantumu mencari menantu."

"Tuanku?" Matacmon membungkuk rendah-rendah. Meski demikian, ia ragu-ragu sejenak. Pembicaraan ini mengingatkannya pada kebingungan yang ia alami. Namun Oda tidak mengacuhkan kebimbangannya, dan melanjutkan. "Aku kenal seseorang yang bakal menjadi menantu yang baik. Serahkan saja padaku. Biar aku yang menanganinya."

"Keluarga hamba tidak patut memperoleh kehormatan sepeni ini, tuanku."

"Sebaiknya engkau membicarakan hal ini dengan istrimu. Laki-laki yang kuanggap cocok sebagai menantumu adalah Kinoshita Tokichiro. Engkau sudah mengenalnya dengan baik. bukan?"

"Ya, tuanku," Mataemon menjawab tanpa berpikir. Ia menegur dirinya sendiri dengan keras, karena bersikap kasar dengan memperlihatkan keheranan, tapi ia memang tak sanggup menguasai diri.

"Aku akan menunggu jawabanmu."

"Ya... baiklah—" Dan dengan itu Mataemon mohon diri.

Sesungguhnya ia bermaksud mengajukan beberapa pertanyaan mengenai maksud undangan ini, tapi ia tak mungkin menunjukkan rasa ingin tahu secara terbuka pada anggota keluarga Nobunaga. Ketika sampai di rumah. Mataemon menceritakan hasil kunjungannya, dan istrinya tampak tak senang karena Mataemon tidak segera memberikan jawaban.

"Mestinya kau langsung menerima permintaan beliau," Okoi berkata. "Menurutku, ini kabar baik. Hubungan antarmanusia merupakan masalah waktu, dan kenyataan bahwa Tokichiro begitu sering bicara dengan Nene menunjukkan mereka berhubungan erat dalam kehidupan terdahulu. Tokichiro pasti memiliki suatu kelebihan. Kalau tidak, kerabat Yang Mulia takkan bersedia bertindak sebagai perantara baginya. Datangilah Tuan Oda besok, untuk menyampaikan jawabanmu."

"Tapi bukankah kita harus menanyakan pendapat Nene dulu?"

"Bukankah dia sudah menjelaskannya?" tanya Okoi. "Hmm, aku hanya ingin tahu, apakah dia belum

berubah pikiran."

"Nene memang tidak banyak bicara, tapi kalau dia sudah mengambil keputusan, dia jarang menariknya kembali."

Seorang diri, Mataeemon bergulat dengan kekhawatirannya mengenai masa depan, dan merasa seolah-olah dikucilkan. Jadi, ketika mereka beranggapan bahwa Tokichiro sudah terlupakan, karena tak pernah menampakkan batang hidungnya, ia sekali lagi muncul dalam pikiran Mataemon, istrinya, dan Nene.

Keesokan harinya Mataemon langsung berangkat untuk menyampaikan jawabannya pada Oda. Begitu kembali, ia berkata pada istrinya, "Aku membawa berita mengejutkan." Melihat raut wajah suaminya. Okoi segera tahu bahwa ada sesuatu yang luar biasa. Ketika Mataemon melaporkan pertemuannya dengan Oda, cahaya cerah yang menerangi situasi Nene tercermin dalam senyum mereka berdua.

"Semula aku telah bertekad untuk menanyai Tuan Oda, mengapa beliau menawarkan diri sebagai perantara, tapi menanyakan hal seperti ini pada anggota keluarga Yang Mulia sungguh sulit. Aku sedang berusaha bersikap sesantun mungkin, ketika beliau menyebutkan bahwa Inuchiyo-lah yang memohon kesediaan beliau."

"Inuchiyo yang memohon kesediaan beliau?" istrinya berseru. "Maksudmu, Inuchiyo yang mengusulkan agar Nene dan Tokichiro menikah?"

"Rupanya urusan ini sempat mereka bicarakan ketika Yang Mulia menempuh perjalanan ke Kyoto. Hmm, kurasa Yang Mulia mendengarnya."

"Wah! Yang Mulia sendiri?"

"Ya, ini sungguh luar biasa. Rupanya selama perjalanan panjang itu, Inuchiyo dan Tokichiro membicarakannya tepat di hadapan Yang Mulia." Tuan Inuchiyo telah memberikan persetujuan?"

"Inuchiyo-lah yang mendatangi Tuan Oda untuk memohon bantuannya, jadi dia tak perlu kita pikirkan lagi."

"Hmm, kalau begitu, apakah kau sudah memberikan jawaban yang jelas pada Tuan Oda?"

"Ya, aku memberitahu beliau bahwa urusan ini kuserahkan sepenuhnya pada beliau." Mataemon menegakkan badan, seakan-akan semua kecemasannya telah terhapus.

*** Waktu terus berlalu, dan pada suatu hari baik di musim gugur, pernikahan Tokichiro dan Nene dirayakan di rumah keluarga Asano.

Tokichiro merasa resah dan gelisah. Keadaan di rumahnya serbasemrawut, dengan Gonzo, si pelayan perempuan, dan orang-orang lain yang datang untuk membantu. Sejak pagi ia tak sanggup melakukan apaapa, kecuali keluar-masuk rumah. Hari ini hari ketiga di Bulan Delapan, bukan? Berulang-ulang Tokichiro memastikannya dalam hati. Sesekali ia membuka lemari pakaian, atau mencoba bersantai di bantal, tapi ia tak bisa diam. Aku akan menikahi Nene dan akan menjadi anggota keluarganya, Tokichiro berkata pada diri sendiri. Akhirnya saat yang kutunggu-tunggu sudah tiba, tapi entah kenapa aku malah merasa tidak tenang sekarang.

Setelah rencana pernikahan mereka diumumkan. Tokichiro menjadi malu-malu, tidak seperti biasanya. Ketika para tetangga dan rekan-rekan kerjanya mendengar berita itu, mereka datang dengan membawa hadiah, tapi Tokichiro tersipu-sipu dan berbicara seakan-akan hendak menyelamatkan reputasinya. "Ah, sebenarnya hanya pesta keluarga. Sebenarnya aku merasa masih terlalu dini untuk menikah, tapi pihak keluarga ingin pernikahan kami diselenggarakan secepat mungkin."

Tak ada yang tahu bahwa hasrat Tokichiro menjadi kenyataan berkat sahabatnya, Maeda Inuchiyo. Inuchiyo bukan saja rela melepaskan Nene. Ia juga sudah mempengaruhi Oda dari Nagoya untuk melibatkan diri.

"Kudengar Tuan Oda sudah memberikan rekomendasi. Kecuali itu, Asano Mataemon pun menyetujuinya. Artinya, mereka tentu beranggapan bahwa si Monyet menjanjikan sesuatu." Jadi, mula-mula di antara rekan-rekannya, lalu di kalangan berkedudukan tinggi maupun rendah, reputasi Tokichiro terangkat berkat perkawinan ini, dan desas-desus bernada sumbang pun dapat dibatasi.

Tokichiro, di pihak lain, tidak memedulikan desasdesus, baik maupun buruk. Baginya, menyampaikan kabar pada ibunya di Nakamura-lah yang paling penting. Sudah tentu ia hendak berangkat sendiri ke sana untuk bercerita mengenai Nene, mengenai keturunan dan wataknya, serta mengenai beberapa hal lain. Namun ibunya berpesan agar Tokichiro mengabdi dengan tekun, dan membiarkannya tinggal di Nakamura, dan tidak memikirkannya sampai ia menjadi orang berpengaruh.

Tokichiro menekan keinginannya untuk segera menemui ibunya, dan mencernakan perkembangan terakhir melalui surat. Dan ibunya sering mengirim balasan. Yang paling menyenangkan bagi Tokichiro adalah bahwa berita mengenai kenaikan pangkatnya dan kabar mengenai perkawinannya dengan putri seorang samurai, berkat jasa baik sepupu Nobunaga. telah diketahui luas di Nakamura. Akibatnya, ia menyadari, baik ibunya maupun kakak perempuannya kini dipandang secara berbeda oleh para warga desa. "Bolehkah hamba menata rambut Tuan?" Gonzo

muncul dengan kotak berisi sisir dan berlutut di samping Tokichiro.

"Apa? Rambutku harus diikat?"

"Malam ini Tuan menjadi pengantin, dan rambut Tuan harus ditata secara pantas."

Setelah Gonzo selesai, Tokichiro pergi ke pekarangan.

Bintang-bintang mulai terlihat di antara dahandahan pohon. Si pengantin pria dilanda perasaan sentimental. Tokichiro dikelilingi luapan kegembiraan. Namun setiap kali menjumpai kebahagiaan, ia selalu teringat ibunya. Karena itu kebahagiaannya selalu bercampur dengan setitik kesedihan. Hasrat manusia tak ada batasnya. Tapi di pihak lain, ia menghibur diri, di dunia ini juga ada orang yang tidak memiliki ibu.

Tokichiro berendam di bak mandi. Malam ini ia berniat menggosok tengkuknya lebih lama daripada biasanya. Seusai mandi, memakai kimono tipis, dan kembali ke dalam rumah, ia menemukan begitu banyak orang, sehingga sukar untuk memastikan apakah ini rumahnya atau rumah orang lain. Sambil terheran-heran mengapa semua orang demikian sibuk. Tokichiro memandang berkeliling dan akhirnya berbagi tempat dengan kawanan nyamuk di suatu sudut ruangan.

Suara-suara melengking   menyerukan   berbagai perintah, dan ditanggapi oleh suara-suara yang tak kalah melengking.

"Perlengkapan pribadi pengantin pria harap disusun di atas lemari pakaiannya."

"Aku sudah mengurusnya. Kipas dan kotak obatnya juga ada di sana."

Segala macam orang berlalu-lalang. Istri siapakah itu? Dan suami siapa di sebelah sana? Orang-orang itu bukan saudara dekat, tapi mereka semua bekerja sama secara harmonis.

Sang pengantin pria yang masih berdiri seorang diri di pojok ruangan, mengenali wajah semua orang itu dan merasakan kegembiraan mendalam. Di salah satu ruangan, seorang laki-laki tua yang ramai sedang berbicara mengenai tradisi dan tata cara mengambil menantu dan istri. "Apakah sandal pengantin pria sudah usang? Pengantin pria tidak boleh memakai sandal tua. Dia harus memakai sandal baru pada waktu mendatangi rumah calon istrinya. Kemudian, nanti malam, ayah pengantin wanita akan tidur sambil memegang sandal itu, dan kaki si pengantin pria takkan meninggalkan rumah mereka."

Seorang perempuan tua angkat bicara. "Orang-orang harus membawa lampion. Tidak pantas mendatangi rumah pengantin wanita sambil membawa obor. Kemudian lampion-lampion itu diserahkan pada keluarga pengantin wanita, dan diletakkan di hadapan altar rumah selama tiga hari tiga malam." Ia berbicara dengan nada ramah, seakan-akan putranya sendiri yang bakal menjadi pengantin.

Pada waktu itu, seorang kurir tiba, mengantarkan surat pertama dari pengantin wanita untuk pengantin pria. Dengan malu-malu salah satu istri menembus kerumunan orang sambil membawa sebuah kotak berisi surat.

Tokichiro berkata dari serambi. "Aku di sini."

"Ini surat pertama dari pengantin wanita." perempuan tadi berkata. "Dan berdasarkan tradisi, sang pengantin pria harus memberikan jawaban."

"Apa yang harus kutulis?"

Perempuan itu tertawa cekikikan, namun tidak menjawab. Kertas dan perlengkapan tulis diletakkan di hadapan Tokichiro.

Dengan bingung Tokichiro meraih kuas. Selama ini ia tak pernah menekuni kesusastraan. Ia belajar menulis di Kuil Komyo, dan ketika ia bekerja di toko tembikar, kemampuan menulisnya paling tidak termasuk rata-rata, jadi ia tidak merasa sungkan karena harus menulis di depan orang-orang. Ia hanya tidak tahu apa yang mesti ia katakan. Akhirnya ia menorehkan:

Pada malam yang menyenangkan ini, seyogyanya sang pengantin pria pun datang untuk berbincang-bincang.

Tokichiro memperlihatkan hasil karyanya kepada ibu rumah tangga yang membawakan perlengkapan menulis untuknya. "Bagaimana kalau begini?"

"Ini sudah cukup." "Bukankah suamimu juga mengirimkan surat serupa pada waktu kalian menikah? Tidak ingatkah kau apa yang ditulisnya?"

"Tidak."

Tokichiro tertawa. "Kalau kau sendiri lupa, isinya tentu tidak penting." Setelah itu, sang pengantin pria dirias dengan kimono kebesaran dan diberi kipas.

Bulan bersinar cerah di langit senja, dan obor-obor menyala terang di gerbang. Iring-iringan itu dipimpin oleh kuda tanpa penunggang serta dua pembawa tombak. Di belakang mereka menyusul tiga pembawa obor, lalu sang pengantin pria yang mengenakan sandal baru.

Tidak ada perabor perkawinan indah seperti lemari bertatah, layar lipat, maupun perabot dari Negeri Cina, tapi ada satu lemari baju tempur dan satu peti pakaian. Sebagai samurai yang memimpin tiga puluh prajurit infanteri, Tokichiro tak perlu malu. Justru sebaliknya, dalam hati Tokichiro mungkin justru merasa bangga. Sebab tak seorang pun dari orangorang yang datang untuk membantu malam ini merupakan saudaranya, dan mereka juga tidak dipekerjakan sebagai pembantu. Mereka datang dan ikut gembira, seolah-olah pernikahan Tokichiro merupakan pernikahan kerabat mereka.

Cahaya lentera menari-nari di setiap gerbang di perkampungan para pemanah, dan semua gerbang terbuka lebar. Api unggun menyala di sana-sini, dan banyak orang membawa lampion, menunggu kedatangan pengantin pria bersama sanak keluarga pengantin wanita.

Saat itulah sejumlah anak kecil berlarian dari arah persimpangan jalan.

"Dia datang! Dia datang!" "Pengantinnya datang!"

Ibu anak-anak itu memanggil mereka, lalu menegur mereka dengan lembut dan menyuruh mereka berdiri di sisinya. Seluruh jalan bermandikan cahaya bulan yang keperak-perakan. Pengumuman anak-anak tadi dianggap sebagai peringatan, dan sejak itu tak seorang pun menyeberangi jalan yang sunyi.

Dua pembawa obor muncul di tikungan. Mereka diikuti oleh pengantin pria. Hiasan kuda telah dilengkapi dengan lonceng, dan ketika tergoyanggoyang, lonceng-lonceng itu mengeluarkan bunyi bagaikan suara jangkrik, lemari baju tempur dan kedua tombak dibawa oleh lima orang. Untuk lingkungan itu, pertunjukannya tidak terlalu buruk.

Sang pengantin pria. Tokichiro, tampak mengesankan. Ia berperawakan kecil, tapi penampilannya cukup pantas, walaupun tanpa pakaian mewah. Tampangnya tidak sedemikian jelek hingga mengundang desasdesus, dan ia pun tidak kelihatan seperti orang yang jadi besar kepala karena merasa dirinya cerdas. Jika orang-orang yang berdiri di pagar-pagar dan gerbanggerbang dimintai pendapat, mereka akan berkomenrar bahwa ia orang biasa saja, dan bahwa ia pantas menjadi suami Nene. "Selamat datang, selamat datang." "Beri jalan bagi pengantin pria!" "Selamat!"

Sanak saudara dan kerabat yang menunggu di dekat gerbang Mataemon menyapa Tokichiro. Sejenak wajah-wajah mereka diterangi cahaya kerlap-kerlip.

"Silakan masuk." Sang pengantin pria diantar ke sebuah ruangan terpisah. Tokichiro duduk seorang diri. Rumah Mataemon tidak besar, hanya terdiri atas enam atau tujuh kamar. Para pembantu duduk di balik pintu geser. Dapur berada di seberang taman kecil, dan ia bisa mendengar suara orang yang sedang mencuci piring, bau masakan pun tercium jelas.

Tokichiro tidak begini memperhatikannya ketika ia melangkah menyusuri lalan. Tapi setelah duduk, ia mendengar detak jantungnya sendiri dan mulutnya terasa kering. Ia duduk seorang diri dalam ruangan itu, seakan-akan terlupakan. Meski demikian, tak sepantasnya ia melanggar tata krama, padi ia tetap duduk tegak, tak peduli apakah ada yang melihatnya atau tidak.

Untung saja Tokichiro jarang merasa jemu. Di pihak lain, sebagai pengantin pria yang akan segera menemui calon istrinya, ia tak punya alasan apa pun untuk merasa jemu. Meski demikian, pada suatu titik ia melupakan urusan pernikahan dan menyibukkan diri dengan angan-angan yang sama sekali tak berkaitan. Pikirannya melayang ke arah yang tak masuk akal untuk situasi yang tengah dialaminya—Benteng Okazaki. Bagaimana perkembangan terakhir di sana? Belakangan ini, hal itulah yang paling menyita pikirannya, bukannya bagaimana istri yang baru dinikahinya akan menyapanya besok pagi dan seperti apa penampilannya ketika itu.

Apakah Benteng Okazaki akan berpihak pada orang-orang Imagawa? Ataukah mereka akan bersekutu dengan marga Oda? Sekali lagi jalannya nasib akan bercabang. Tahun lalu, menyusul kekalahan total yang dialami amarga Imagawa di Okehazama, marga Tokugawa menghadapi tiga pilihan. Apakah mereka akan terus mendukung marga Imagawa? Apakah lebih baik mereka tidak bersekutu dengan marga Imagawa maupun marga Oda memberanikan diri mengumumkan kemerdekaan? Ataukah mereka sebaiknya memilih bersekutu dengan pihak Oda? Cepat atau lambat mereka harus menentukan sikap. Sudah bertahun-tahun marga Tokugawa menjadi semacam benalu yang tergantung pada pohon Imagawa.

Namun akar dan batang hubungan mereka telah runtuh di Okehazama. Kekuatan mereka sendiri belum memadai, tapi setelah kematian Imagawa Yoshimoto, orang-orang Tokugawa merasa tak dapat mengandalkan pewarisnya, Ujizane. Semua informasi ini berasal dari desas-desus atau dari pembicaraan kalangan atas yang dipantau dari kejauhan, tapi Tokichiro sangat tertarik sekaligus khawatir.

Sekarang kita akan melihat, laki-laki seperti apa Tokugawa Ieyasu. Tokichiro berkata dalam hati. Tokichiro lebih menaruh perhatian kepada si penguasa benteng Okazaki dibandingkan orang-orang lain. Tokichiro beranggapan bahwa meski dilahirkan sebagai penguasa benteng dan provinsi, Tokugawa Ieyasu telah memikul lebih banyak kemalangan daripada dirinya sendiri. Semakin banyak yang didengar Tokichiro mengenai kehidupan Ieyasu. semakin besar rasa simpatinya kepada laki-laki itu. Namun, bagaimanapun, Ieyasu masih muda sekali; tahun ini usianya baru sembilan belas. Dalam pertempuran di Okehazama, ia berada di barisan terdepan Yoshimoto, dan penampilannya ketika merebut Washizu dan Marune sungguh mengagumkan. Keputusannya untuk mundur ke Mikawa ketika mendengar bahwa Yoshimoto terbunuh pun patut dikagumi, Ieyasu memiliki reputasi bagus, baik di markas marga Oda maupun belakangan, di Kiyosu. Karena itu namanya menjadi buah bibir. Tokichiro pun kini sibuk sendiri memikirkan posisi apa yang akhirnya akan diambil oleh Ieyasu dan Benteng Okazaki.

"Tuan Pengantin Pria. Tuan di dalam sini?"

Pintu geser membuka. Tokichiro kembali ke alam nyata.

Niwa Hyozo, seorang pengikut Oda dari Nagoya, masuk beserta istrinya. Mereka akan bertindak sebagai perantara. "Kita akan menyelenggarakan upacara tokoroarawashi." ujar Hyozo, "jadi harap Tuan menunggu sedikit lebih lama di sini." Tokichiro tampak bingung. "Tokoroara... apa?"

"Itu sebuah upacara kuno. Ibu dan ayah pengantin waniu beserta keluarga mereka datang menemui pengantin pria untuk pertama kali."

Istri Niwa segera melanjutkan, "Silakan duduk." dan sambil membuka pintu geser, ia memberi isyarat pada orang-orang yang idah menunggu di ruang sebelah. Yang pertama-tama masuk dan mengucapkan selamat adalah mertua Tokichiro, Asano Mataemon dan istrinya. Meski sudah saling mengenal, mereka mengikuti tata cara yang telah ditentukan. Begitu melihat kedua wajah yang sudah akrab bagi maunya, Tokichiro merasa jauh lebih tenang, dan tangannya meraba-raba seakan-akan hendak menggaruk kepala.

Orangtua Nene diikuti oleh anak perempuan cantik berusia lima belas atau enam belas tahun, yang lalu membungkuk dan berkata malu-malu, "Aku adik Nene. Namaku Oyaya."

Tokichiro terheran-heran. Gadis ini bahkan lebih cantik daripada Nene. Lebih dari itu, sampai kini Tokichiro bahkan tidak tahu bahwa Nene memiliki adik perempuan. Di bagian rumah yang mana kembang indah ini disembunyikan selama ini?

"Ehm, ah, terima kasih. Aku Kinoshita Tokichiro, dituntun ke sini oleh nasib. Aku senang berkenalan denganmu."

Sambil bertanya-tanya, inikah orang yang akan dipanggil 'Kakak Laki-Laki', Oyaya melirik ke arah Tokichiro, tapi sanak saudara lain sudah mengantre di belakangnya. Satu per satu mereka masuk dan berbincang-bincang dengan Tokichiro. Karena berkenalan dengan begitu banyak orang, Tokichiro hampir rak sanggup mengingat siapa yang merupakan paman dari pihak ayah atau keponakan atau sepupu, dan dalam hati ia bertanya-tanya seberapa banyakkah saudara Nene.

Tokichiro menganggap ini mungkin bisa menjadi masalah di kemudian hari, tapi kemunculan adik ipar yang cantik dan sanak saudara yang ramah segera menghiburnya. Saudaranya sendiri tidak banyak, tapi ia menyukai keramaian, dan keluarga yang ramah, riang, dan gemar tertawa sangat cocok baginya.

"Tuan Pengantin, silakan ambil tempat duduk." Kedua perantara mengajaknya ke sebuah ruang sempit yang nyaris tidak cukup besar untuk menampung mereka semua, dan setelah dituntun ke kursi yang telah disediakan untuknya, si pengantin pria duduk di tengah.

Meski telah memasuki musim gugur, udara di dalam rumah tetap terasa panas dan pengap. Kerai rotan tergantung dari tepi atap, menyaring bunyi jangkrik serta embusan angin yang membuat cahaya lampu minyak berkenap-kerlip. Ruangan yang bersih itu tampak gelap dan jauh dari mewah.

Ruangan yang dipersiapkan untuk upacara berukuran kecil, dan ketiadaan dekorasi justru menimbulkan rasa segar. Tikar alang-alang idah digelar di lantai. Tempat pemujaan dewa-dewa pencipta, Iranagi dan Izanami didirikan di bagian belakang ruangan. Di hadapannya terdapat persembahan berupa kue dan sake, sebatang lilin, dan ranting sebatang pohon keramat.

Tokichiro merasa tubuhnya menjadi kaku ketika duduk di sana.

Mulai malam ini...

Upacara ini akan mengikatnya pada kewajibankewajiban seorang suami, pada hidup baru. dan pada nasib keluarga istrinya. Semua ini menyebabkan Tokichiro bermawas diri. Ia tak kuasa menahan cintanya pada Nene. Jika ia tidak berkeras, Nene akan menikah dengan orang lain. tapi setelah malam ini. Nene dan Tokichiro akan menempuh perjalanan hidup bersama-sama.

Aku harus membuatnya bahagia. Inilah pikiran pertama yang terlintas di benak Tokichiro ketika ia duduk di kursi pengantin pria. Ia merasa kasihan pada Nene, sebab sebagai perempuan, kesempatan Nene untuk menentukan nasibnya sendiri lebih kecil dibandingkan kesempatan laki-laki.

Tak lama kemudian, upacara sederhana pun dimulai. Setelah pengantin pria duduk, Nene dibawa masuk oleh seorang perempuan tua dan mengambil tempat di samping Tokichiro.

Rambut Nene diikat dengan tali berwarna merahputih. Jubah luarnya yang terbuat dari sutra putih berpola wajik, melingkar pada pinggangnya. Di dalamnya ia mengenakan gaun dari bahan yang sama, dan di bawah itu ia memakai selapis sutra merah yang menyembul dari ujung lengan. Selain jimat keberuntungan pada lehernya, ia tidak menggunakan hiasan rambut dari emas atau perak, maupun dandanan muka tebal. Penampilannya sangat serasi dengan kesederhanaan yang mengelilinginya. Keindahan upacara itu bukan keindahan pakaian mewah, melainkan keindahan yang polos, tanpa pernik-pernik. Satu-satunya yang bernada hiasan adalah sepasang botol yang dibawa oleh anak laki-laki dan anak perempuan.

"Semoga perkawinan ini berlangsung bahagia dan untuk selama-lamanya. Semoga kalian saling setia selama seratus ribu musim gugur." perempuan tadi berkata kepada kedua pengantin.

Tokichiro menyodorkan cawan, menerima sedikit sake, dan langsung menghabiskannya. Orang yang menuangkan sake berpaling pada Ncne, dan Nene pun berikrar dengan menghirup isi cawan.

Tokichiro merasa darahnya naik ke kepala dan dadanya berdentum-dentum, tapi Nene tetap bersikap tenang. Nene sendiri yang memutuskan untuk menikahi Tokichiro, karena itu ia telah bertekad untuk tidak menyalahkan orangtuanya maupun para dewa, tak peduli apa pun yang akan dialaminya mulai hari ini. Penampilannya mengharukan ketika ia mendekatkan cawan ke bibirnya.

Begitu sang pengantin wanita berbagi cawan perkawinan dengan pengantin pria. Niwa Hyozo mulai mengumandangkan nyanyian memberi selamat dengan suara yang menjadi matang di medan pertempuran. Hyozo baru saja menyelesaikan bait pertama, ketika seseorang di luar melanjutkan dengan refrein.

Seluruh isi rumah terdiam pada waktu Hyozo bernyanyi, sehingga suara di luar yang tiba-tiba dan tak tahu aturan itu terasa mengejutkan sekali. Hyozo pun kaget dan berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang. Tokichiro menoleh ke pekarangan.

"Siapa itu?" seorang pelayan bertanya pada si pengganggu.

Pada saat itulah seorang laki-laki di luar gerbang mulai menyanyi dengan suara berat, meniru pemain Noh, dan melangkah ke arah serambi. Seakan-akan lupa diri, Tokichiro bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju serambi.

"Kaukah itu, Inuchiyo?"

"Tuan Pengantin!" Maeda Inuchiyo melepaskan kerudungnya. "Kami datang untuk upacara siraman. Bolehkah kami masuk?"

Tokichiro bertepuk tangan. "Aku gembira sekali kau datang. Silakan masuk, silakan masuk!"

"Aku membawa teman. Tidak apa-apa?"

"Tentu saja tidak apa-apa. Upacara perkawinan telah selesai, dan mulai malam ini. aku menantu di rumah ini."

"Mereka memperoleh menantu yang baik. Barangkali aku bisa memperoleh secawan sake dari Tuan Mataemon." Inuchiyo herbalik dan memberi isyarat ke arah kegelapan.

"Hei, semuanya! Kita diizinkan masuk untuk mengadakan upacara siraman!"

Seman Inuchiyo dijawab oleh sejumlah laki-laki yang segera mendesak masuk, meramaikan suasana dengan suara-suara mereka. Ikeda Shonyu berada di antara mereka, demikian pula Macda Tohachiro. Kato Yasaburo. dan teman lama Tokichiro. Ganmaku. Bahkan si kepala tukang kayu bermuka bopeng pun hadir.

Upacara siraman merupakan tradisi kuno. Temanteman lama pengantin pria mendatangi rumah ayah mertuanya tanpa diundang. Keluarga pengantin wanita wajib menerima mereka dengan ramah, dan kemudian para tamu tak diundang itu menarik pengantin pria ke pekarangan untuk mengguyurnya dengan air.

Namun pelaksanaan upacara siraman malam ini agak terlalu dini. Biasanya acara tersebut baru diselenggarakan enam bulan sampai satu tahun setelah pernikahan.

Seluruh keluarga Mataemon dan Niwa Hyozo merasa terkejut. Tetapi si pengantin pria tampak riang gembira, dan mempersilakan rombongan temannya untuk masuk.

"Wah? Kau ikut juga?" Tokichiro berkata sambil menyalami seseorang yang sudah lama tidak dijumpainya, lalu berpesan pada istrinya. "Nene, cepat, ambilkan makanan. Dan sake. Berbotol-botol sake" "Segera." Nenc kelihatannya sudah menduga akan

ada kunjungan. Sebagai istri Tokichiro, ia sadar bahwa ia tak boleh dikejutkan oleh hal-hal seperti ini. Ia menerima situasi itu tanpa mengeluh sedikit pun. Ia melepaskan kimononya yang putih bagaikan salju, lalu melingkarkan baju sehari-hari pada pinggangnya. Setelah mengikat lengan bajunya yang panjang dengan tali, ia mulai bekerja.

"Pernikahan macam apa ini?" salah seorang tamu berseru dengan jengkel. Sambil menenangkan kerabat mereka, Mataemon dan istrinya terburu-buru melewati kerumunan orang yang bingung. Ketika Mataemon mendengar bahwa rombongan yang baru datang dipimpin oleh Inuchiyo, ia sempat merasa waswas. Namun, ketika melihat Inuchiyo berbincang-bincang dan tertawa bersama Tokichiro, perasaan Mataemon segera tenang kembali.

"Nene! Nene!" Mataemon berkata. "Kalau persediaan sake tidak cukup, suruh saja salah seorang untuk membeli lebih banyak. Biarkan orang-orang ini minum sepuas hati." Dan kemudian, kepada istrinya, "Okoi! Okoi! Kenapa kau hanya berdiri di situ? Sake sudah dihidangkan, tapi para tamu belum memperoleh cawan. Walaupun ini bukan pesta besar, keluarkanlah apa saja yang kita miliki. Aku gembira sekali karena Inuchiyo datang bersama rombongannya."

Setelah Okoi kembali sambil membawakan cawancawan. Mataemon sendiri yang melayani Inuchiyo. Ia menyimpan perasaan yang amat mendalam bagi lakilaki yang hampir menjadi menantunya ini. Tetapi takdir menentukan lain. Anehnya persahabatan mereka tetap terjalin erat, persahabatan antara dua samurai. Berbagai perasaan bergejolak dalam lubuk hati Mataemon, tapi ia tidak mengungkapkannya dengan kau maupun ekspresi wajah.

"Ah. Mataemon, aku pun bahagia. Kau memperoleh menantu yang baik. Aku mengucapkan selamat dengan sepenuh hati." ujar Inuchiyo. "Aku tahu bahwa aku menyerobot masuk malam ini. Kau tidak tersinggung, bukan?"

"Sama sekali tidak, sama sekali tidak!" Mataemon umpak penuh semangat. "Kita akan minum-minum sepanjang malam."

Inuchiyo tertawa keras. "Kalau kita minum-minum dan menyanyi sepanjang malam, bukankah pengantin wanita akan marah?"

"Kenapa dia harus marah? Bukan begitu cara dia dibesarkan," kau Tokichiro. "Dia perempuan berbudi luhur."

Inuchiyo mendekati Tokichiro dan mulai menggodanya. "Dapatkah kau memberi penjelasan lebih lanjut?"

"Tidak. Aku minta maaf. Aku sudah bicara terlalu banyak."

"Aku takkan melepaskanmu begitu uja. Nah, ini ada cawan besar." "Jangan repot-repot. Yang kecil pun sudah cukup untukku."

"Pengantin macam apa kau ini? Mana rasa banggamu?"

Mereka saling menggoda bagaikan anak kecil. Tapi, meski sake mengalir bebas di sekitarnya, Tokichiro tidak minum melewati batas—tidak malam ini maupun kapan saja. Sejak kecil ia telah menyimpan kenangan pahit mengenai akibat terlalu banyak minum, dan kini, ketika menatap cawan besar yang disodorkan ke hadapannya, ia melihat wajah ayah tirinya yang sedang mabuk, lalu wajah ibunya yang begitu sering bersedih hati karena ayah tirinya terlalu menggemari sake. Tokichiro menjadi dewasa di tengah kemiskinan, dan tubuhnya tidak seberapa kuat jika dibandingkan tubuh orang-orang lain. Walau masih muda. ia selalu bersikap hati-hati.

"Satu cawan besar terlalu banyak untukku. Tolong tukar dengan yang lebih kecil saja. Sebagai gantinya, aku akan menyanyikan sesuatu untukmu."

"Apa? Kau mau menyanyi?"

Tokichiro tidak menjawab, melainkan langsung menepuk-nepuk paha, seakan-akan memukul gendang, dan mulai bersenandung.

Hidup manusia

Hanya lima puluh tahun...

"Jangan, berhenti." Inuchiyo cepat-cepat menutupi mulut Tokichiro dengan satu ungan. Tidak pantas kaunyanyikan tembang ini. Ini dari Atsumon. yang begitu digemari Yang Mulia."

"Aku mempelajari larian dan nyanyian yang sering dibawakan Tuan Nobunaga dengan meniru beliau. Ini bukan tembang terlarang, jadi salahkah kalau aku menyanyikannya?"

"Ya, salah sekali." "Kenapa begitu?"

"Tembang ini tidak patut ditampilkan dalam acara pernikahan."

"Yang Mulia membawakan tarian Atsumori pada pagi hari sebelum pasukan kita berangkat ke Okehazama. Mulai malam ini, kami berdua, suamiistri yang dilanda kemiskinan, akan menempuh hidup baru. Jadi, bukankah pilihanku pantas?"

"Ketetapan hati untuk maju ke medan tempur dan pesta pernikahan merupakan dua hal berbeda. Prajurit sejati bertekad untuk hidup lama bersama istri, sampai kedua-duanya telah berambut putih."

Tokichiro menepuk lututnya. "Itu benar. Terus terang, justru itulah yang kuharapkan. Kalau terjadi perang, apa boleh buat, tapi aku tak ingin mati sia-sia. Lima puluh tahun belum cukup. Aku ingin hidup bahagia dan setia pada Nene selama seratus tahun."

"Dasar mulut besar. Lebih baik kau menari saja.

Ayo, mulailah."

Mendengar Inuchiyo mendesak-desak si pengantin pria, sejumlah tamu lain segera mendukungnya.

"Tunggu. Harap tunggu sejenak. Aku akan menari." Sambil membujuk teman-temannya untuk bersabar, Tokichiro berpaling ke arah dapur, bertepuk tangan, dan memanggil, "Nene! Persediaan sake sudah menipis."

"Sebentar." jawab Nene. Ia sama sekali tidak malumalu di hadapan para tamu. Dengan riang ia membawa botol-botol sake, melayani orang-orang seperti yang diminta oleh Tokichiro. Yang merasa terkejut hanya orangtua Nene dan para saudaranya yang sejak dulu cuma menganggapnya anak kecil. Namun hati Nene telah bersatu dengan hati suaminya, dan Tokichiro pun tidak kelihatan kikuk dengan istri yang baru dinikahinya. Sesuai dugaan, Inuchiyo yang sudah agak mabuk berulang kali tersipu-sipu ketika dilayani Nene.

"Hah, Nene, mulai malam ini. kau istri Tuan Kinoshita. Izinkanlah aku memberi selamat sekali lagi," Inuchiyo berkata sambil menyingkirkan meja iokt dari hadapan Nene. "Ada satu hal yang diketahui oleh semua sahabatku dan yang tak pernah kusembunyikan dari mereka. Daripada merasa malu dan merahasiakannya, aku akan menyelesaikannya sampai tuntas. Bagaimana, Kinoshita?"

"Ada apa?"

"Perkenankan aku meminjam istrimu sejenak." Sambil tertawa, Tokichiro berkata. "Silakan." "Begini, Nene. Pada suatu ketika, semua orang tahu

bahwa aku mencintaimu, dan ini belum berubah. Kaulah perempuan yang kucintai." Inuchiyo menjadi lebih serius. Dan seandainya pun sikapnya tidak berubah, dada Nene sudah penuh gejolak emosi, karena baru saja menjadi istri seseorang. Sejak malam ini, hidupnya sebagai perempuan muda yang masih sendiri lelah berakhir, tapi ia tak sanggup memadamkan perasaannya terhadap Inuchiyo.

"Nene, kata orang, hati seorang gadis muda tak dapat ditebak, tapi kau telah mengambil langkah terbaik ketika memilih Tokichiro. Aku rela melepaskan orang yang telah merebut hatiku. Tapi cintaku terhadap Kinoshita bahkan lebih kuat daripada cintaku padamu. Boleh dibilang aku memberikanmu padanya sebagai tanda tinta dari satu laki-laki kepada laki-laki lain. Berarti aku telah memperlakukanmu seperti barang, tapi begitulah laki-laki. Betul tidak. Kinoshita?"

"Aku menerimanya tanpa ragu-ragu, karena aku sudah menyangka bahwa itulah alasanmu."

"Hmm, kalau kau ragu-ragu mengenai perempuan yang baik ini, berarti akulah yang salah menilaimu, dan untuk selanjutnya kau takkan kupandang sebelah mata. Kau memperoleh perempuan yang berada jauh di atasmu."

"Bicaramu tak keruan."

"Ah, ha ha ha ha. Pokoknya, aku bergembira. Hei. Kinoshita, kita menjalin persahabatan kekal, tapi pernahkah kau menduga bahwa kita akan mengalami malam sebahagia sekarang?"

"Tidak, kurasa tidak." "Nene, adakah rebana di sekitar sini? Kalau aku memainkan rebana, kuharap salah seorang berdiri dan menari. Karena Kinoshita ini bukan orang berakal sehat, aku yakin kemampuan menarinya pun tak seberapa."

"Ehm, untuk menghibur para hadirin, izinkanlah aku membawakan tarian sebisaku." Orang yang berbicara ini adalah Nene. Inuchiyo, Ikeda Shonyu, dan tamu-tamu lainnya tertegun dan membelalakkan mata. Diiringi permainan rebana Inuchiyo, Nene membuka kipas dan mulai menari.

"Bagus! Bagus!" Tokichiro bertepuk tangan, seolaholah ia sendiri yang menari. Mungkin karena mereka sedang mabuk, kegembiraan mereka tidak memperlihatkan tanda-tanda akan surut. Kemudian seseorang mengusulkan agar mereka pindah ke Sugaguchi, kawasan paling meriah di Kiyosu. Dan tak seorang pun di antara mereka cukup sadar untuk mengatakan tidak.

"Baiklah! Mari kita ke sana!" Tokichiro, si pengantin baru, berdiri dan berjalan di depan. Ia tidak mengacuhkan sanak saudara yang tampak marah. Rombongan yang datang untuk mengadakan upacara siraman pun melupakan maksud semula, dan sambil berangkulan dengan si pengantin pria, mereka meninggalkan ruang pernikahan, saling menopang dan melambaikan tangan.

"Sungguh malang nasib si pengantin wanita." Para kerabat merasa iba pada Nene yang ditinggalkan begitu saja. Tapi ketika mereka menatap berkeliling untuk mencari Nene yang tadi masih menari, mereka tidak menemukannya. Nene telah membuka pintu samping dan menyusul keluar.

Sambil mengejar suaminya yang dikelilingi oleh teman-teman yang mabuk, ia berseru, "Bersenangsenanglah!" lalu menyelipkan dompet ke bagian depan kimono Tokichiro.

Tempat yang sering dikunjungi para pemuda dari benteng adalah sebuah kedai minum bernama Nunokawa, Terletak di bagian lama Sugaguchi, kedai itu konon bekas toko saudagar sake, yang telah tinggal di sana sebelum marga Oda, maupun pendahulunya, marga Shiba menjadi penguasa Owari. Jadi, toko itu terkenal karena bangunan kunonya yang besar.

Tokichiro lebih dari sekadar pelanggan. Bahkan jika wajahnya tidak terlihat ketika orang-orang berkumpul di sana, para pelayan dan teman-temannya merasa seakan-akan ada yang kurang—seperti sebuah senyum dengan satu gigi hilang. Pernikahan Tokichiro merupakan alasan kuat bagi para pengunjung untuk mengangkat cawan. Ketika rombongan Tokichiro menerobos masuk lewat tirai di pintu, seseorang langsung memberi pengumuman.

"Para hadirin dan pegawai Nunokawa! Sambutlah kedatangan tamu istimewa. Kami membawa pengantin pria yang tak ada duanya di dunia ini! Silakan tebak siapa orangnya. Namanya Kinoshita Tokichiro. Bergembiralah, bergembiralah! Kita akan menyelenggarakan upacara siraman untuknya."

Langkah mereka tersendat-sendat. Tokichiro dioperoper dan masuk sambil terhuyung-huyung.

Para pegawai tampak bingung, tapi setelah menyadari apa yang sedang terjadi, tawa mereka pun meledak. Terheran-heran mereka mendengarkan cerita bagaimana si pengantin pria diciduk dan dibawa pergi dan tengah upacara pernikahan.

"Ini bukan upacara siraman." mereka berkelakar. "Ini lebih pantas disebut penculikan pengantin." Dan semuanya tenawa terbahak-bahak. Tokichiro bergegas masuk, seakan-akan hendak melarikan diri, tapi kawan-kawannya yang gemar bersenda gurau segera mencari tempat duduk, mengelilinginya, dan memberitahunya bahwa ia akan disekap sampai fajar tiba.

Siapa yang tahu seberapa banyak yang mereka minum? Hampir tak ada yang sanggup memastikan lagu dan tarian apa saja yang mereka bawakan.

Akhirnya masing-masing orang tertidur di tempatnya tumbang, dengan sebelah lengan memeluk bantal, atau dengan tangan dan kaki terentang. Ketika malam semakin larut, bau-bauan musim gugur diam-diam merayap masuk.

Tiba-tiba Inuchiyo mengangkat kepala dan menatap berkeliling. Tokichiro pun melakukan hal yang sama. Ikeda Shonyu membuka mata. Sambil saling berpandangan, mereka memasang telinga. Bunyi langkah kuda yang memecah keheningan malam telah membangunkan mereka. "Apa itu?"

"Sepertinya ada cukup banyak kuda." Inuchiyo menepuk lutut, seakan-akan baru teringat sesuatu. "Ah, betul. Sudah waktunya Takigawa Kazumasu kembali. Beberapa waktu lalu dia diutus sebagai kurir untuk menemui Tokugawa Ieyasu di Mikawa. Mungkin itu."

"Tentu. Apakah mereka akan bersekutu dengan marga Oda, atau tetap mengandalkan orang-orang Imagawa? Si kurir mestinya membawa jawaban dari Mikawa."

Satu per satu mereka membuka mata, tapi tiga orang bergegas keluar tanpa menunggu yang lain. Mengikuti bunyi sanggurdi dan kerumunan orang serta kuda di depan, mereka menuju ke arah jembatan benteng.

Sejak pertemuan di Okehazama tahun lalu. Kazumasu acap kali pergi ke Mikawa sebagai kurir. Bahwa ia mengemban tugas diplomatik penting untuk meyakinkan Tokugawa Ieyasu agar bersedia bekerja sama dengan marga Oda bukan rahasia di Kiyosu.

Sampai beberapa saat lalu, Mikawa merupakan provinsi lemah yang tergantung pada marga Imagawa. Dan walaupun Owari juga tergolong provinsi kecil. Owari telah berhasil memberikan pukulan fatal kepada marga Imagawa yang kuat, sekaligus memberikan peringatan bagi para pesaing yang memperebutkan kepemimpinan nasional bahwa kini ada orang dengan nama Nobunaga. Kekuatan dan semangat orang-orang Oda sedang menanjak. Persekutuan yang hendak mereka capai disebut federasi kerja sama, namun kesulitan yang harus diatasi adalah bagaimana caranya agar marga Oda memperoleh peran yang lebih besar dalam persekutuan itu.

Bagi sebuah provinsi yang kecil dan lemah, sangatlah penting untuk bertindak tanpa ragu-ragu. Sebuah provinsi seperti Mikawa dapat ditelan dengan satu serangan militer saja. Dan nyatanya, setelah kematian Yoshimoto, Provinsi Mikawa tiba pada persimpangan yang akan menentukan hidup atau mati. Apakah marga Tokugawa harus terus mengandalkan orangorang Imagawa di bawah Ujizane? Ataukah lebih baik kalau mereka menyeberang dan berpihak kepada Marga Oda?

Orang-orang Tokugawa menghadapi pilihan sulit, dan mereka telah melewati sejumlah penimbangan, pertukaran kurir, diskusi, dan rekomendasi. Sementara itu, pertempuran-pertempuran kecil terus terjadi antara Suruga dan Mikawa. Pertikaianpenikaian antara benteng-benteng Oda dan lawanlawan mereka di pihak Mikawa pun tidak berkurang, dan tak seorang pun sanggup memperkirakan risiko yang ditanggung oleh kedua provinsi, atau kapan perang mungkin meledak. Dan tidak sedikit marga selain marga Oda dan Tokugawa yang telah menantinanti peristiwa ini—marga Saito di Mino. marga Kitabatake di Ise, marga lakeda di Kai. dan marga Imagawa di Suruga. Namun perang tidak menawarkan keuntungan apa pun. Tokugawa Ieyasu enggan bertempur, dan Oda Nobunaga menyadari bahwa menggempur marga Tokugawa merupakan tindakan sia-sia belaka. Artinya, Nobunaga pun enggan mengangkat senjata. Tapi amatlah penting untuk tidak memperlihatkannya. Nobunaga mengenal watak orang-orang Tokugawa yang sabar dan keras kepala, dan menganggap perlu umuk mempertimbangkan reputasi mereka.

Mizuno Nobutomo merupakan komandan Benteng Ogawa. Walaupun ia pengikut marga Oda, ia juga paman Tokugawa Ieyasu. Nobunaga telah meminta Nobutomo untuk berbicara dengan keponakannya. Nobutomo menemui Ieyasu beserta pengikut-pengikut seniornya, dan berusaha membujuk mereka dengan usaha-usaha diplomatik. Didekati secara langsung maupun tak langsung, orang-orang Tokugawa tampaknya sudah mengambil keputusan, dan Ieyasu pun telah memberi jawaban, Jadi, Takigawa Kazumasu diutus sebagai kurir ke Mikawa untuk menerima keputusan akhir mengenai tawaran Nobunaga untuk membentuk persekutuan. Dan ketika ia kembali pada malam itu, ia segera menuju benteng, walaupun tengah malam telah berlalu. Kazumasu merupakan jendral senior dari pihak Oda, terampil menggunakan senjata api, dan penembak jitu.

Namun bagi Nobunaga, kecerdasan Kazumasu bahkan lebih penting daripada keahlian menembaknya. Kazumasu tak dapat disebut orator ulung, tapi ucapannya yang terus terang selalu berkesan rasional. Serius dan penuh akal sehat, ia juga sanggup berpikir cepat. Karena itu, Nobunaga menganggapnya orang yang paling cocok untuk tahap penting dalam proses perundingan ini.

Malam telah larut, tapi Nobunaga sudah bangun dan mengambil tempat duduk. Kazumasu segera menyembah, masih dengan pakaian yang dikenakannya selama perjalanan. Terlalu memikirkan penampilan pada saat seperti ini, sehingga menata rambut dan pakaian dulu. menghapus keringat dan debu. baru kemudian menghadap, hanya akan mengundang cercaan seperti. "Apakah kau melihatlihat bunga dulu?" Kazumasu sudah sering mendengar sindiran tajam seperti ini. jadi ia segera menyembah dengan kedua tangan menempel di lantai, masih dalam keadaan tersengal-sengal, dengan pakaian berbau kuda. Di pihak lain. Nobunaga pun jarang sekali membiarkan para pengikutnya menunggu sementara ia mengambil tempat duduk dengan santai.

Nobunaga langsung mengajukan pertanyaan.

Jawaban Kazumasu tidak berbelit-belit. Ada pengikut yang ketika kembali dan memberikan laporan resmi, berbicara panjang-lebar mengenai ini dan itu, berceloteh mengenai kejadian-kejadian sepanjang perjalanan, dan sibuk membahas hal-hal kecil. Akibatnya, sukar untuk mencapai pertanyaan pokok: Berhasilkah mereka menjalankan tugas atau tidak? Nobunaga tidak menyukai sikap seperti ini, dan jika seorang kurir menjawab dengan cara menyimpang, wajah Nobunaga akan terlihat jengkel. "Jangan mendongeng!" adalah tanggapan yang sering dilontarkannya.

Kazumasu sudah diperingatkan mengenai ini. Ia menatap Nobunaga, memberi hormat, lalu segera mengungkapkan inti permasalahannya. "Tuanku, hamba membawa berita baik. Persetujuan dengan Yang Mulia Ieyasu dari Mikawa akhirnya disepakati. Bukan hanya itu, tapi juga hampir semua persyaratan yang tuanku ajukan."

"Kau berhasil?"

"Ya, tuanku, semuanya sudah dibereskan."

Wajah Nobunaga tampak biasa-biasa saja, tapi di baliknya ia menghela napas lega.

"Lebih jauh lagi." Kazumasu melanjutkan, "hamba berjanji bahwa masalah-masalah detail akan diselesaikan dengan suatu diskusi di kemudian hari. Diskusi ini akan diadakan di Benteng Narumi, dengan Ishikawa Kazumasa dan pihak Tokugawa."

"Hmm, kalau begitu sang Penguasa Mikawa telah setuju untuk bekerja sama dengan kita?"

"Atas perintah tuanku."

"Bagus," Nobunaga memuji untuk pertama kali. Baru setelah itu Kazumasu memberikan laporan terperinci.

Fajar telah dekat ketika Kazumasu akhirnya mengundurkan diri dari hadapan Nobunaga. Pada waktu sinar matahari pagi mulai menerangi pekarangan benteng, desas-desus bahwa marga Oda membentuk persekutuan dengan penguasa Mikawa telah menyebar ke mana-mana, dibisikkan dari telinga ke telinga.

Bahkan informasi rahasia pun, seperti rencana pertemuan antara wakil kedua marga di Narumi untuk menandatangani persetujuan serta rencana kunjungan Tokugawa Ieyasu ke Kiyosu pada Tahun Baru untuk melakukan pertemuan pertama dengan Nobunaga, diteruskan dari pengikut ke pengikut, diam-diam dan dengan cepat.

Biarpun dari jauh, Inuchiyo, Shonyu, Tokichiro. dan para samurai muda yang lain langsung mengenali kurir yang baru kembali ke benteng, dan mereka segera mengejarnya. Sambil berdesak-desakan di sebuah ruangan dalam benteng, mereka menahan napas dan menunggu apakah mereka akan berdamai atau berperang dengan Mikawa.

"Bergembiralah!" Tohachiro, pelayan Nobunaga telah mendengar berita yang keluar dari ruang dewan, dan ia segera menceritakan segala sesuatu yang diketahuinya.

"Mereka menerimanya?" Hasil ini memang sudah diduga, tapi setelah mengetahui bahwa kedua provinsi berhasil mencapai kesepakatan, wajah-wajah mereka bertambah cerah, dan mereka menatap masa depan dengan penuh harap.

"Sekarang kita bisa bertempur," salah seorang samurai berkata.

Bagi para pengikut Nobunaga, persekutuan dengan Mikawa bukanlah siasat untuk menghindari perang. Mereka menyambutnya dengan gembira, karena kini mereka dapat memusatkan segenap kekuatan untuk menghadapi musuh yang lebih besar.

"Ini suatu berkah bagi kepemimpinan Yang Mulia." "Dan juga menguntungkan bagi Mikawa."

"Selelah mendengar hasilnya, aku tak sanggup lagi menahan kantuk. Omong-omong, kita semua belum tidur sejak semalam," ujar salah seorang yang ikut minum-minum. Namun Tokichiro membalas. "Aku justru sebaliknya. Acara semalam adalah acara gembira ria, begitu juga pagi ini. Dengan kegembiraan bertubitubi ini, rasanya aku ingin kembali ke Sugaguchi untuk minum-minum lagi."

Shonyu bergurau. "Kau bohong. Mengaku sajalah, sebenarnya kau ingin kembali ke rumah Nene. Hmm, hmm, bagaimanakah sang pengantin wanita melewatkan malam pertama? Ha ha ha ha! Tuan Kinoshiia! Ke sabaranmu sia-sia saja. Kenapa kau tidak minta cuti satu hari dan pulang ke rumah? Sekarang sudah ada orang yang menunggumu."

"Bah!" Tokichiro memperlihatkan sikap tegas di hadapan teman-temannya. Ledakan tawa menggema ke semua koridor. Akhirnya sebuah genderang besar di puncak benteng berdentam, dan semuanya bergegas ke pos masing-masing. "Aku pulang!" Pintu masuk rumah Asano Mataemon tidak besar, tapi ketika Tokichiro berdiri di sana. pintu itu jadi berkesan amat megah. Suara Tokichiro terdengar jelas, dan kehadirannya membuat keadaan sekitarnya bertambah cemerlang.

"Oh!" Oyaya, adik Nene, sedang bermain bola, dan ia menatap Tokichiro dengan matanya yang bundar. Mula-mula ia menyangka ada tamu, namun ketika mengenali suami kakaknya, ia tertawa cekikikan dan berlari ke dalam rumah.

Tokichiro ikut tertawa. Ia merasa geli. Ia baru menyadari bahwa ia telah meninggalkan pesta pernikahan dan pergi minum-minum bersama temantemannya, lalu langsung menuju benteng. Kini ia pulang menjelang senja. Malam ini gerbang-gerbang tidak lagi diterangi api unggun, tapi sudah tiga hari ada semacam perayaan keluarga. Rumah Mataemon kembali diisi suara para tamu dan beberapa pasang sandal ditinggalkan di pintu masuk.

"Aku pulang!" si pengantin pria berseru ceria. Tak ada yang keluar untuk menyambutnya, mungkin karena semuanya sibuk di dapur dan ruang tamu. pikir Tokichiro. Bagaimanapun, sejak semalam ia telah menjadi menantu di rumah ini. Setelah ayah dan ibu mertuanya, Tokichiro-lah yang merupakan tuan rumah. Hmm, mungkin lebih baik ia tidak masuk sebelum semuanya keluar untuk menyambutnya.

"Nene! Aku pulang!"

Tanggapan terkejut terdengar dari arah dapur, di balik pagar rendah. Mataemon, istrinya, Oyaya, beberapa saudara dan pelayan, semuanya keluar dan menatapnya dengan dongkol, seakan-akan bertanyatanya apa yang sedang dilakukannya. Ketika Nene muncul, ia segera membuka rok kerja, berlutut, dan menyambut Tokichiro dengan menempelkan kedua tangan ke lantai.

"Selamat datang."

"Selamat datang." yang lain cepat-cepat menambahkan sambil berbaris dan membungkuk, terkecuali, tentu saja, Matemon dan istrinya. Sepertinya mereka keluar hanya untuk melihat saja.

Tokichiro menatap Nene, kemudian yang lain. dan membungkuk satu kali. Ia langsung melangkah masuk, dan kali ini ia membungkuk penuh hormat di hadapan ayah mertuanya, sebelum melaporkan kejadian-kejadian di benteng hari ini.

Sejak semalam Mataemon sudah mendongkol. Ia bermaksud mengingatkan menantunya akan segala kewajiban terhadap sanak saudara, dan juga akan kedudukan Nene. Tokichiro kembali tanpa memperlihatkan penyesalan, dan Mataemon telah bertekad untuk tidak menahan diri, biarpun ini sebenarnya tidak pantas di hadapan para tamu. Namun Tokichiro kelihatan begitu riang, sehingga Mataemon melupakan maksud semula. Apalagi ucapan pertama yang keluar dari mulut Tokichiro menyangkut kejadian-kejadian di benteng serta keadaan junjungan mereka. Tanpa sadar Mataemon menegakkan tubuh dan membalas. "Hmm, kau pasti lelah setelah bekerja keras sehari penuh." Jadi, ia justru mengucapkan kebalikan dari yang hendak dikatakannya, dan memberi pujian, bukan teguran, kepada Tokichiro.

Tokichiro menemani para tamu minum-minum sampai larut malam. Bahkan setelah para tamu pulang, masih ada sejumlah saudara yang terpaksa menginap, karena tinggal di tempat jauh. Nene tidak memperoleh kesempatan keluar dari dapur, dan para pelayan pun tampak lelah.

Walaupun Tokichiro telah pulang, ia dan Nene nyaris tidak mendapat kesempatan untuk saling menukar senyum, apalagi melewatkan waktu berdua saja. Ketika malam semakin larut, Nene membereskan cawan-cawan di dapur, memberi petunjuk mengenai sarapan, memastikan bahwa para saudara yang sudah tidur tidak kekurangan apa-apa, dan akhirnya membuka tali yang mengikat lengan bajunya. Setelah bisa bersantai untuk pertama kali malam itu, ia melayangkan pandang untuk mencari laki-laki yang telah menjadi suaminya.

Ruangan yang disediakan bagi mereka telah dipakai oleh sanak saudara yang lebih tua beserta anak-anak mereka. Di ruangan tempat mereka minum-minum, ayah dan ibu Nene sedang mengobrol bersama kerabat dekat.

Di mana dia? Nene bertanya-tanya. Ketika ia keluar ke serambi, seseorang memanggilnya dari kamar pelayan yang gelap. "Nene?" Suara itu milik suaminya. Nene berusaha menjawab, namun tak sanggup berkata apa-apa. Jantungnya berdebar-debar. Walaupun ia tak pernah merasa seperti ini sampai saat upacara pernikahan, ia tak sempat melihat Tokichiro sejak semalam.

"Masuklah." ujar Tokichiro. Nene masih bisa mendengar suara orangtuanya. Ketika sedang berdiri, bingung apa yang harus dilakukannya, ia melihat obat nyamuk yang dibiarkan membara. Sambil meraihnya, ia masuk dengan malu-malu.

"Kau tidur di sini? Pasti banyak nyamuk." Tokichiro berbaring di lantai. I menatap kakinya.

"Ah, nyamuk. "

"Kau pasti lelah sekali."

"Dan kau juga," Tokichiro menanggapi. "Para saudara sebenarnya menolak tegas, tapi aku tak sampai hati membiarkan orang tua tidur di kamar pelayan, sementara kita tidur di ruangan bertirai emas."

"Tapi tidur di tempat seperti ini, tanpa ranjang. "

Nene hendak berdiri, tapi Tokichiro mencegahnya. "Tidak apa-apa. Aku sering tidur di bawah—bahkan

di lantai papan sekalipun. Tubuhku sudah kebal didera kemiskinan." Tokichiro duduk. "Nene, mendekatlah."

"Ba. baik."

"Pernah ada yang mengatakan bahwa istri yang baru dinikahi serupa dengan tempat penyimpanan beras. Kalau tidak dipakai untuk waktu lama, kedua-duanya berbau apak dan tak bisa digunakan lagi. Kalau sudah tua, simpai-simpainya cenderung copot. Tapi ada baiknya mengingat bahwa seorang suami adalah seorang suami. Kita berencana untuk hidup lama bersama-sama, dan telah berjanji untuk saling setia sampai kita berdua sudah tua dan ubanan, tapi hidup kita takkan mudah. Jadi, mumpung kita baru mulai, sebaiknya kita saling berikrar. Bagaimana menurutmu?"

"Tentu. Aku akan taat sepenuhnya pada ikrar ini.

Bagaimanapun bunyinya," Nene menjawab tegas.

Tokichiro tampak serius sekali. Ia bahkan kelihatan agak cemberut. Namun Nene justru gembira melihat ekspresi ini untuk pertama kali.

"Pertama-tama, sebagai suami, aku akan memberitahumu apa yang kuharapkan dari seorang istri."

"Baik."

"Ibuku perempuan petani miskin dan menolak menghadin pernikahan kita. Tapi orang yang paling berbahagia di dunia karena aku mengambil istri adalah ibuku."

"Aku mengerti."

"Cepat atau lambat, dia akan tinggal serumah denganmu, tapi aku tidak keberatan kalau kau menomorduakan urusan melayani suami. Lebih dari apa pun, aku ingin kau menyayangi ibuku dan membuatnya bahagia."

"Baik."

"Ibuku lahir dari keluarga samurai, tapi lama sebelum aku lahir, dia sudah hidup miskin. Dia membesarkan beberapa anak di tengah kemiskinan. Membesarkan satu anak saja dalam keadaan seperti itu berarti bergelut dengan penderitaan. Ibuku tak punya apa pun uniuk membuatnya bahagia— kimono katun untuk musim dingin dan kimono untuk musim panas pun tak dimilikinya. Dia tidak berpendidikan, dia bicara dalam logat udik, dan dia sama sekali tidak tahu tata krama. Sebagai istriku, bersediakah kau mengurus ibuku dengan cinta kasih sejati? Apakah kau bisa menghormati dan menghargainya?"

"Tentu. Kebahagiaan ibumu adalah kebahagiaanmu juga. Kurasa itu sudah sewajarnya."

"Tapi kau juga memiliki orangtua yang sehat. Mereka pun sangat penting bagiku. Kasih sayangku terhadap mereka tak kalah dengan kasih sayangmu."

"Ucapanmu membuat hatiku gembira."

"Lalu masih ada satu hal lagi." Tokichiro melanjutkan. "Ayahmu telah mendidikmu menjadi perempuan yang berbakti, dan mengajarkan disiplin dengan menegakkan banyak peraturan. Tapi aku tidak menuntut banyak. Hanya ada satu hal yang kuminta darimu."

"Apa itu?"

"Kuminta kau bahagia dengan pengabdian suamimu, dengan pekerjaannya, dan segala sesuatu yang harus dilakukannya. Hanya itu, Kedengarannya mudah, bukan? Tapi pasti sama sekali tidak mudah. Perhatikanlah suami-istri yang telah bertahun-tahun hidup bersama. Ada istri-istri yang sama sekali tidak tahu-menahu mengenai pekerjaan suami masingmasing. Suami-suami seperti ini kehilangan dorongan penting, dan laki-laki yang bekerja demi kepentingan bangsa dan provinsi pun menjadi kecil dan lemah jika dia berada di rumah. Kalau saja istrinya bahagia dan tertarik pada pekerjaan suaminya, pada pagi hari lakilaki itu bisa maju ke medan tempur dengan segenap keberanian yang dimilikinya. Bagiku, inilah cara terbaik seorang istri membantu suaminya."

"Aku mengerti."

"Baiklah. Sekarang coba ungkapkan apa saja yang kauharapkan dariku. Katakanlah, dan aku akan berjanji."

Walaupun diminta angkat bicara, Nene tak sanggup mengatakan apa-apa. Ia hanya diam seribu bahasa.

"Apa pun yang diinginkan seorang istri dari suaminya. Jika kau tak mau menceritakan keinginanmu, bagaimana kalau aku saja yang menguraikannya?" Nene tersenyum dan menanggapi ucapan Tokichiro dengan anggukan kepala. Kemudian ia cepat-cepat menunduk.

"Cinta seorang suami?" "Bukan."

"Kalau begitu, cinta yang tidak berubah?" "Ya."

"Melahirkan anak sehat?"

Nene gemetar. Seandainya ada lampu, Tokichiro akan melihat bahwa wajahnya merah padam. ***

Pada pagi yang menyusul pesta pernikahan selama tiga hari. Tokichiro dan istrinya mengenakan kimono resmi untuk menjalankan satu upacara lagi, dan mengunjungi kediaman perantara mereka, Oda dari Nagoya. Setelah itu mereka berjalan-jalan selama duatiga jam, sambil merasa seakan-akan semua mata di Kiyosu tertuju ke arah mereka. Namun Nene dan suaminya penuh simpati terhadap semua orang yang menoleh dan menatap mereka.

"Mari kita kunjungi rumah Tuan Otowaka." kata Tokichiro.

"Hei, Monyet!" Otowaka berseru, lalu segera meralat ucapannya dengan berbisik. "Tokichiro."

"Aku mengajak istriku untuk berkenalan denganmu."

"Apa? Oh, tentu! Putri si pemanah, Tuan Asano!

Tokichiro, kau sungguh beruntung."

Baru tujuh tahun berlalu sejak Tokichiro mendatangi serambi ini untuk berjualan jarum, berpakaian kotor. Waktu itu ia merasa seperti belum makan selama berhari-hari. Ketika diberi makan, ia segera menyantapnya dengan rakus, dan kedua sumpitnya saling beradu.

"Kau betul-betul beruntung," kau Otowaka. "Hmm, rumah ini kotor, tapi silakan masuk." Dengan suara tertahan ia memanggil istrinya di dalam rumah, lalu mengajak tamunya masuk. Pada saat itulah mereka mendengar seseorang berseru di jalanan. Orang itu bergegas dari rumah ke rumah,

"Berkumpullah di kesatuan masing-masing! Berkumpullah di kesatuan masing-masing! Atas perintah Yang Mulia!"

"Perintah resmi?" ujar Otowaka. "Kita disuruh mengangkat senjata."

"Tuan Otowaka." Tokichiro tiba-tiba berkata, "aku harus segera pergi ke lapangan upacara."

Sampai pagi ini, tak ada tanda-tanda bahwa hal seperti ini mungkin terjadi, dan ketika Tokichiro mengunjungi kediaman Oda dari Nagoya pun semuanya tampak aman-aman saja. Entah apa yang sedang terjadi? Kali ini naluri Tokichiro pun tidak berfungsi. Setiap kali kata "pertempuran" diucapkan, nalurinya selalu menebak dengan tepat ke mana mereka akan menuju. Tapi si pengantin baru sudah beberapa saat tidak mencurahkan pikiran pada situasi yang dihadapi provinsi. Ia berpapasan dengan sejumlah orang yang bergegas dari perkampungan samurai, semuanya memanggul perlengkapan tempur masing-masing.

Sekelompok penunggang kuda melesat dari benteng. Walau tidak tahu pasti apa yang terjadi, perasaan Tokichiro mengatakan bahwa medan pertempuran berjarak jauh dari Kiyosu.

Nene bergegas pulang mendahului suaminya. "Kinoshita! Kinoshita!" Ketika Tokichiro mendekati

perkampungan para pemanah, seseorang memanggilnya dari belakang. Tokichiro menoleh dan melihat bahwa Inuchiyo-lah orangnya. Sahabatnya itu duduk di atas kuda, dengan baju tempur yang dipakainya di Okchazama, panji dengan lambang kembang prem melambai-lambai dari tongkat bambu yang terpasang di punggungnya.

"Aku baru mau mampir untuk memanggil Tuan Mataemon. Bersiaplah, lalu segera pergi ke lapangan upacara."

"Apakah kita akan berperang?" tanya Tokichiro. Inuchiyo melompat turun dari kudanya. "Bagai-

mana hasilnya... semalam?" Inuchiyo bertanya. "Apa maksudmu. 'Bagaimana hasilnya'?"

"Rasanya lebih baik kalau tidak kujelaskan. Maksudku, apakah kalian sudah suami-istri sekarang?"

"Itu bukan urusanmu."

Inuchiyo tertawa keras-keras. "Pokoknya kita akan menuju garis depan. Kalau kau terlambat, orang-orang di lapangan upacara akan menertawakanmu, karena kau baru menikah."

"Aku tidak peduli ditertawakan."

"Pasukan jalan kaki dan berkuda dengan kekuatan dua ribu orang akan berangkat ke Sungai Kiso menjelang senja."

"Berarti kita akan menuju Mino."

"Ada laporan rahasia yang mengatakan bahwa Saito Yoshitatsu di Inabayama tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. Pengerahan pasukan secara mendadak itu bertujuan untuk memastikan kebenaran cerita ini." "Hmm, coba ingat. Musim panas yang lalu kita juga sempat terperanjat waktu mendengar bahwa Yoshitatsu jatuh sakit dan meninggal."

"Tapi sepertinya kali ini beritanya benar. Di samping itu, dari sudut pandang marga, Yoshitatsu telah membunuh ayah mertua Tuan Nobunaga, Yang Mulia Dosan. Dari segi itu, Yoshitatsu musuh kita. dan kita tak bisa hidup di bawah langit yang sama dengan dia, dan jika marga hendak memperluas pengaruh, kita harus mendapatkan tempat berpijak di Mino."

"Harinya sudah dekat, bukan?"

"Sudah dekat? Malam ini juga kita akan berangkat ke Sungai Kiso."

"Belum, tidak secepat itu. Aku meragukan bahwa Yang Mulia akan menyerang dengan terburu-buru."

"Pasukan kita berada di bawah komando Katsuic dan Nobumori. Yang Mulia sendiri tidak akan pergi."

"Tapi, walaupun Yoshitatsu sudah mati, dan walaupun anaknya, Tatsuoki tak dapat diharapkan. Tiga Serangkai dari Mino—Ando,Inaba, dan Ujiie— masih hidup. Ditambah lagi, selama masih ada orang bernama Takenaka Hanbei, yang konon hidup menyendiri di Gunung Kurihara. Urusan ini takkan dapat diselesaikan dengan mudah."

"Takenaka Hanbei?" Inuchiyo memiringkan kepala. "Nama Tiga Serangkai sudah lama bergaung di provinsi-provinsi tetangga, tapi betulkah Takenaka Hanbei ini sehebat yang dikabarkan?" "Kebanyakan orang tak pernah mendengar namanya. Akulah satu-satunya pengagumnya di Owari."

"Dari mana kauketahui hal-hal seperti ini?"

"Aku lama berada di Mino, dan..." Tokichiro terdiam di tengah-tengah kalimat. Pengalamannya sebagai pedagang keliling, pengabdiannya pada Koroku, dan kegiatannya sebagai mata-mata di Inabayama tak pernah ia ceritakan pada Inuchiyo.

"Hmm, kita sudah kehilangan banyak waktu." Inuchiyo menaiki kudanya kembali.

"Nanti kita ketemu di lapangan upacara."

"Baiklah. Sampai nanti." Kedua laki-laki itu berpisah, menuju arah berlawanan.

"Halo! Aku pulang!" Setiap kali kembali ke rumah. Tokichiro selalu berseru keras-keras di gerbang, sebelum melangkah masuk. Dengan demikian, semuanya tahu bahwa menantu tuan rumah telah datang—mulai dari pelayan di gudang sampai ke sudutsudut dapur. Tetapi hari ini Tokichiro tidak menunggu sampai orang-orang menyambutnya.

Ketika memasuki ruangan, ia terperanjat. Sebuah tikar baru telah digelar di lantai, dan lemari baju tempurnya diletakkan di atasnya. Tentu saja sarung tangannya, pelindung tulang keringnya, pelindung dadanya, seru ikat pinggangnya sudah siap, tapi selain itu masih ada obat-obaun. sebuah penjepit, seru kantong amunisi—segala sesuatu yang akan ia perlukan telah diatur rapi. "Perlengkapanmu," kata Nene.

"Bagus! Bagus sekali!" Tokichiro memuji tanpa berpikir, namun tiba-tiba ia menyadari bahwa penilaiannya terhadap perempuan ini belum sempurna. Nencebahkan lebih tanggap daripada yang diduga Tokichiro sebelum menikahinya.

Setelah Tokichiro selesai mengenakan baju tempur. Nene berpesan agar Tokichiro tidak cemas mengenai mereka. Nene juga telah menyiapkan cawan tembikar untuk sake suci.

"Tolong tangani semuanya sementara aku pergi." "Tentu saja."

'Tak ada waktu untuk berpamitan pada ayahmu.

Maukah kau melakukannya untukku?"

"Ibuku mengajak Oyaya ke Kuil Tsushima. dan mereka belum pulang. Ayahku mendapat tugas di benteng, dan dia mengirim pesan bahwa dia takkan pulang malam ini."

"Kau takkan kesepian?"

Nene membuang muka, namun tidak menangis.

Ia tampak seperti bunga yang diterpa angin. Tokichiro meraih helm di pangkuan Nene, dan ketika mengenakannya, wangi kayu gaharu tiba-tiba menggelitik hidungnya. Ia tersenyum pada istrinya, lalu mengencangkan tali pengikat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar