Taiko Bab 07 : Benteng Kiyosu

Bab 07 : Benteng Kiyosu

SETIAP tahun, pada musim gugur, seluruh negeri dilanda badai-badai dahsyat. Tapi angin yang bahkan lebih buruk lagi bertiup di sekitar Owari. Di sebelah barat, dari marga Sairo dan Mino; di sebelah selatan, dari marga Tokugawa di Mikawa: dan di sebelah timur, dari Imagawa Yoshimoto di Suruga—semua tanda memperlihatkan bahwa Owari semakin terkucilkan.

Amukan badai tahun itu merusak tembok pertahanan luar Benteng Kiyosu sepanjang lebih dari dua ratus meter. Banyak tukang kayu. tukang plester, kuli, dan tukang batu datang dari benteng untuk ikut ambil bagian dalam pekerjaan perbaikan. Kayu dan batubatu dibawa masuk melalui Gerbang Karabashi, dan tumpukan bahan bangunan berserakan di mana-mana, menghalangi jalan-jalan di benteng sekitar parit. Orang-orang yang setiap hari harus berlalu-lalang terang-terangan mengeluh mengenai keadaan ini:

"Lewat mana kita harus berjalan?"

"Kalau mereka tidak segera selesai, tembok-tembok terancam roboh saat badai berikut datang."

Tapi kemudian sebuah papan pengumuman dipasang di tempat pembangunan yang dibatasi tambang: Pekerjaan perbaikan. Dilarang masuk tanpa tzin. Pekerjaannya dilaksanakan bagai operasi militer di bawah pimpinan Yamabuchi Ukon, yang menjabat sebagai pengawas pembangunan, sehingga tanpa disuruh pun orang-orang yang melewati daerah itu berbaris satu-satu.

Pekerjaan perbaikan sudah berlangsung selama hampir dua puluh hari, tapi tanda-tanda kemajuan belum terlihat juga. Tumpukan-tumpukan bahan bangunan mengganggu kelancaran para pejalan kaki, namun tak ada yang mengeluh. Semua orang menyadari bahwa perbaikan tembok pertahanan sepanjang dua ratus meter akan memakan waktu tidak sedikit.

"Siapa orang di sebelah sana itu?" Ukon bertanya pada salah satu bawahannya, yang kemudian berbalik dan melihat ke arah yang ditunjuk.

"Kalau tidak salah, itu Tuan Kinoshita yang bertugas di kandang."

"Apa? Kinoshita? Ah, ya. Bukankah dia yang dipanggil Monyet oleh semua orang? Kalau dia lewat lagi, suruh dia kemari." perintah Ukon.

Si bawahan tahu bahwa majikannya kesal, sebab setiap hari. pada waktu berangkat kerja. Kinoshita melewati tempat pembangunan tanpa pernah memberi hormat. Bukan itu saja, ia juga menginjak-injak tumpukan-tumpukan kayu. Tentu saja tak ada pilihan lain jika tumpukan itu berada di tengah jalan, tapi kayu itu akan dipakai untuk memperbaiki benteng, dan jika seseorang pertu menginjaknya, ia seharusnya minta izin dulu pada orang-orang yang berwenang. "Dia tidak tahu sopan santun," si bawahan ber-

komentar. "Dia diangkat dari pelayan menjadi samurai, dan belum lama ini dia diberi tempat tinggal di kota. Dia orang baru, jadi maklum saja."

"Memang tak ada yang lebih menjengkelkan daripada kesombongan orang yang baru mulai menanjak. Mereka semua cenderung congkak. Ada baiknya kalau hidungnya kena tonjok satu kali."

Bawahan Ukon terus menunggu Tokichiro. Ia baru muncul menjelang malam, ketika semua orang pulang kerja. Ia mengenakan mantel birunya, seperti biasa sepanjang tahun. Karena hampir semua pekerjaan para petugas kandang dilaksanakan di luar, mantel itu sesuai dengan kebutuhannya, tapi sebenarnya ia menempati posisi yang memungkinkan ia berpakaian lebih pantas jika ia menginginkannya. Namun nyatanya Tokichiro seakan-akan tak pernah punya uang untuk keperluan pribadi.

"Dia datang!" Anak buah Ukon saling mengedipkan mata. Tokichiro lewat perlahan-lahan.

"Tunggu! Tuan Kinoshita! Tunggu!"

"Siapa, aku?" Tokichiro membalik. "Ada yang bisa kubantu?"

Si bawahan memintanya menunggu sejenak, lalu menghampiri Ukon. Para pekerja dan kuli sudah mulai meninggalkan tempat itu. Ukon sedang membicarakan pekerjaan untuk besok dengan para mandor tukang kayu dan tukang plester. Tapi ketika mendengar bawahannya, ia segera berdiri. "Si Monyet? Sudah kausuruh tunggu? Bawa dia ke sini. Kalau tidak ditegur sekarang, tingkahnya akan semakin menjadijadi."

Tokichiro mendatanginya tanpa mengucapkan salam, tanpa membungkuk. Dan kini ia seakan-akan berkata dengan angkuh. "Kau menghentikanku. Ada apa?"

Ini membuat Ukon bertambah gusar. Dilihat dari segi status, mereka sama sekali tak dapat dibandingkan. Ukon putra Yamabuchi Samanosuke, penguasa Benteng Narumi, dan dengan demikian putra pengikut senior marga Oda. Kedudukannya jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki bermantel biru di hadapannya.

"Dasar pongah!" Wajah Ukon tampak merah padam.

"Monyet. Hei! Monyet!" panggilnya, tapi Tokichiro tidak menanggapi. Ini tidak biasa. Tokichiro dipanggil Monyet oleh semua orang, mulai dari Nobunaga sampai ke teman-temannya, dan ia tidak terganggu dengan julukan itu. Tapi hari ini berbeda.

"Kau tuli. Monyet?" "Ada-ada saja." "Apa?"

"Memanggil orang, lalu berbicara tak keruan.

Monyet, monyet."

"Semua orang memanggilmu dengan julukan itu. jadi aku pun begitu. Aku sering berada di Benteng Narumi, jadi aku tidak ingat namamu. Dilarangkah aku memanggilmu seperti yang lainnya?"

"Ya. Ada orang yang boleh menggunakan julukan itu dan ada yang tidak."

"Kalau begitu, aku termasuk golongan kedua?" "Begitulah."

"Jaga mulutmu! Tingkah lakumu yang harus diperbaiki. Kenapa kau selalu menginjak-injak tumpukan kayu pada waktu berangkat kerja? Dan kenapa kau tidak pernah menyapa kami dengan semestinya?"

"Apakah itu suatu kejahatan?"

"Rupanya kau tidak punya sopan santun sama sekali, ya? Aku mengatakan ini karena suatu hari kau mungkin akan menjadi samurai. Sopan santun sangat penting bagi seorang prajurit. Setiap kali lewat di sini, kau pasang tampang melecehkan dan mengomel pelan-pelan. Tak tahukah kau bahwa di tempat ini berlaku disiplin yang sama seperti di medan perang? Dasar pongah! Kalau kau tetap bersikap seperti itu. aku terpaksa mengambil tindakan tegas. Inilah akibatnya kalau seorang pembawa sandal diangkat menjadi samurai." Ukon tertawa dan menoleh ke arah mandor dan anak buahnya. Kemudian, untuk memperlihatkan kedudukannya yang lebih tinggi, ia tertawa lagi dan membelakangi Tokichiro,

Para mandor, yang menyangka urusannya sudah selesai, kembali mengerumuni Ukon dan meneruskan pembicaraan mengenai rencana kerja selanjutnya. Tapi Tokichiro terus memelototi punggung Ukon.

Salah satu anak buah Ukon berkata, "Kau tidak diperlukan lagi, Kinoshita."

"Kau sudah mendapat peringatan. Camkanlah baikbaik." orang lain menambahkan.

"Ayo, pulang sajalah," kata orang ketiga.

Mereka seakan-akan ingin menenangkannya dan menyuruhnya pergi, tapi Tokichiro tidak memedulikan mereka. Pandangannya terus melekat pada punggung Ukon. Darah mudanya mulai mendidih, dan tiba-tiba tawanya meledak tak terkendali.

Para mandor maupun Ukon terkejut. Ukon menoleh dan berseru. "Apa yang kautenawakan?"

Tawa Tokichiro semakin keras. "Aku menertawakan kekonyolan kalian semua."

"Kurang ajar!" Ukon menjadi marah sekali dan langsung berdiri dari kursinya. "Sudah dimaalkan. malah besar kepala. Keterlaluan! Peraturan militer berlaku di medan tempur maupun di tempat kerja. Orang celaka! Cepat ke sini! Biar kuhabisi kau!" Tangannya menggenggam gagang pedangnya yang panjang. Namun lawannya berdiri seperti patung.

Ukon semakin gusar. "Tangkap dia! Aku akan menghukumnya! Pegang dia, supaya dia tidak bisa melarikan diri!"

Para pengikut Ukon segera mengepung Tokichiro. Tapi Tokichiro diam saja, dan menatap orang-orang yang mengelilinginya dengan pandangan meremehkan. Sejak semula mereka sudah menganggapnya aneh, tapi ini sudah hampir menakutkan, dan meski mereka mengerumuni Tokichiro, tak ada yang berani menyentuhnya.

"Tuan Ukon, kau memang pandai mengumbar katakata besar, tapi kurang pandai dalam hal-hal lain."

"Apa? Apa kaubilang?"

"Menurutmu, mengapa pekerjaan perbaikan benteng berada di bawah peraturan perang? Kau sendiri yang mengatakannya, tapi aku yakin kau tidak memahami arti ucapanmu itu. Kau tidak pantas menjadi pengawas, tapi kau malah menuduhku bersalah karena menertawakanmu."

"Kata-katamu yang kasar tak bisa dimaafkan! Beraniberaninya kau berkata begitu pada orang dengan kedudukan seperti aku. "

"Dengar!" Tokichiro membusungkan dada, dan sambil menatap wajah-wajah di sekitarnya, ia berkata, "Apakah ini masa damai atau masa perang? Hanya orang bodoh yang tidak memahami ini. Benteng Kiyosu dikelilingi musuh: Imagawa Yoshimoto dan Takeda Shingen di timur. Asakura Yoshikage dan Saito Yoshitatsu di utara, marga Sasaki dan Asai di barat, dan marga Tokugawa dari Mikawa di selatan." Orang-orang terkesima. Suaranya penuh percaya diri, dan karena ia tidak sekadar mengutarakan perasaannya sendiri, semuanya mendengarkan dengan sungguh-sungguh, terpesona oleh suaranya. "Para pengikut menyangka tembok-tembok ini tak dapat ditaklukkan, tapi seandainya badai kembali mengamuk, semuanya akan roboh. Sungguh keterlaluan bahwa pekerjaan kecil ini sudah menghabiskan lebih dari dua puluh hari, dan belum selesai juga. Apa jadinya jika musuh memanfaatkan titik lemah ini dan menyerbu benteng suatu malam?

"Ada tiga peraturan dasar dalam pembangunan benteng. Yang pertama adalah bekerja cepat dan diamdiam. Yang kedua adalah membangun dengan mengutamakan kekuatan. Artinya, ornamen dan keindahan memang baik, tapi hanya di masa damai. Yang ketiga adalah kesiagaan, berarti siap menghadapi serangan musuh, walaupun pembangunan masih berlangsung. Seluruh provinsi bisa jatuh jika pasukan musuh berhasil menerobos tembok penahanan."

Selama Tokichiro berceramah. Ukon dua atau tiga kali hendak angkat bicara, tapi kefasihan lidah Tokichiro membuatnya tak berdaya. Para mandor pun terkagum-kagum oleh pidato Tokichiro. Mendengar kebenaran yang terkandung dalam ucapannya, tak seorang pun berusaha menghentikannya, baik dengan kata-kata kasar maupun dengan kekerasan. Kini tak jelas siapa pengawas sesungguhnya. Setelah yakin perkataannya telah meresap. Tokichiro melanjutkan.

"Jadi, walaupun tak sepatutnya aku bertanya, sebenarnya bagaimanakah Tuan Ukon menangani pekerjaan ini? Di mana kecepatannya, kerahasiaannya? Di mana kesiagaannya? Setelah hampir dua puluh hari, adakah bagian tembok yang sudah dibangun kembali, biarpun cuma satu meter saja? Memang betul, perlu waktu untuk memindahkan reruntuhan tembok lama. Tapi menyatakan bahwa pembangunan benteng berada di bawah peraturan militer yang sama seperti medan laga—itu tak lebih dari omong kosong seseorang yang tak mengerti di mana tempat sebenarnya. Andai kata aku mata-mata provinsi musuh, aku akan segera tahu bahwa serangan bisa dilancarkan di bagian tembok yang paling lemah. Hanya orang tolol yang beranggapan bahwa hal itu takkan terjadi, dan hanya orang tolol yang akan Melaksanakan pembangunan bagaikan orang pensiunan yang sedang mendirikan pondok minum teh!

"Semua ini sangat merepotkan bagi kami yang bekerja di benteng. Daripada menyalahkan orangorang yang berlalu-lalang. mengapa tidak membahas masalahnya dan mempercepat konstruksi? Pahamkah kalian? Bukan hanya si pengawas, tapi kalian juga, para bawahan dan para mandor."

Setelah selesai, ia tertawa riang. "Nah, maafkan aku. Aku telah bersikap kasar dengan mengungkapkan isi hatiku tanpa tedeng aling-aling, tapi kita semua menganggap penting urusan ini, siang dan malam. Baiklah, hari sudah gelap. Aku mohon diri dulu."

Sementara Ukon dan anak buahnya masih ternganga. Tokichiro cepat-cepat meninggalkan pekarangan benteng.

Keesokan harinya Tokichiro berada di kandang. Di tempat kerjanya yang baru, ia memperlihatkan ketekunan tanpa tandingan. "Tak seorang pun menyayangi kuda seperti dia." rekan-rekannya berkomentar. Dengan penuh kesungguhan ia menenggelamkan diri dalam urusan perawatan kuda, dan seluruh waktunya tersita untuk hewan-hewan itu.

Si kepala kandang datang dan memanggilnya. "Kinoshita, kau disuruh menghadap."

Tokichiro mengintip dari bawah perut kuda kesayangan Nobunaga, Sangetsu, dan bertanya. "Menghadap siapa?" Ia sedang mencuci luka bernanah di kaki Sangetsu dengan air panas.

"Kalau kau disuruh menghadap, itu berarti menghadap Yang Mulia Nobunaga. Cepat!" Si kepala kandang berbalik dan berseru ke arah ruang para samurai. "Hei! Salah seorang gantikan Kinoshita dan bawa Sangetsu ke kandang."

"Jangan, jangan. Biar aku saja." Tokichiro tetap berlutut, sampai ia selesai mencuci kaki Sangetsu. Ia mengoleskan salep dan membalut lukanya, mengeluselus leher kuda itu, lalu menuntunnya kembali ke kandang.

"Di mana Tuan Nobunaga?"

"Di pekarangan. Kalau kau tidak cepat-cepat, Yang Mulia pasti murka."

Tokichiro pergi ke ruang kerja dan mengenakan mantel birunya. Bersama Nobunaga ada empat atau lima pengikut di pekarangan, termasuk Shibata Katsuie dan Maeda Inuchiyo.

Tokichiro bergegas mendekat, lalu berhenti lebih dari dua puluh meter dari Nobunaga dan menyembah.

"Monyet, sini kau!" perintah Nobunaga. Inuchiyo langsung menyiapkan kursi untuknya. "Mendekatlah."

"Baik, tuanku."

"Monyet. Kudengar kau mengumbar kata-kata besar di tempat pembangunan di tembok pertahanan luar semalam."

"Berita itu telah sampai ke telinga tuanku?"

Nobunaga memaksakan senyum, ia tak menyangka bahwa Tokichiro, yang kini membungkuk sambil tersipu-sipu, bisa membual seperti itu.

"Mulai sekarang jagalah omonganmu," Nobunaga memperingatkannya. Tadi pagi Yamabuchi Ukon datang menghadap dan mengeluh mengenai sikapmu yang tak sopan. Aku menenangkannya, sebab menurut orang-orang ucapanmu banyak mengandung kebenaran."

"Hamba menyesal sekali."

"Pergilah ke tempat pembangunan dan minta maaf pada Ukon."

"Hamba, tuanku?" "Tentu saja."

"Kalau ini kehendak tuanku, hamba akan pergi dan minta maaf."

"Kau keberatan?"

"Mohon ampun atas kelancangan hamba, tapi bukankah sifat buruknya justru semakin menjadi-jadi jika hamba minta maaf padanya? Hamba hanya bicara apa adanya semalam, dan pekerjaan Ukon, ditilik dari segi pengabdian kepada tuanku, sukar disebut bersungguh-sungguh. Pekerjaan sepele seperti itu saja sudah menghabiskan hampir lebih dari dua puluh hari. dan..."

"Monyet, di hadapanku pun kau berani mengumbar kata-kata besar? Aku sudah mendapat laporan mengenai ceramahmu."

"Hamba bicara sesuai kenyataan, bukan sekadar omong kosong."

"Kalau begitu, dalam berapa hari pekerjaan itu seharusnya rampung?"

"Ehm..." Tokichiro bersikap sedikit lebih hati-hati. tapi ia segera menjawab. "Hmm, berhubung pekerjaannya sudah dimulai, hamba pikir hamba sanggup menyelesaikannya dalam tiga hari."

"Tiga hari!" seruan tak sengaja meluncur dari bibir Nobunaga.

Shibata Katsuie rampak jengkel dan menertawakan kepercayaan Nobunaga terhadap Tokichiro. Tetapi Inuchiyo sama sekali tidak meragukan bahwa Tokichiro sanggup memenuhi janji.

Saat itu juga Nobunaga mengangkat Tokichiro menjadi pengawas pembangunan. Ia akan menggantikan Yamabuchi Ukon, dan dituntut untuk menyelesaikan perbaikan tembok penahanan sepanjang dua ratus meter dalam liga hari saja.

Tokichiro menerima tugas itu dan hendak mengundurkan diri. tapi Nobunaga bertanya sekali lagi, "Tunggu. Kau yakin kau sanggup?" Nada suara Nobunaga jelas menunjukkan bahwa ia tak ingin Tokichiro terpaksa melakukan seppuku seandainya gagal. Tokichiro duduk agak lebih tegak dan berkata dengan tegas, "Hamba takkan mengecewakan tuanku." Meski demikian, Nobunaga tetap minta agar ia memikirkannya lebih matang. "Monyet, mulut adalah sumber banyak bencana. Jangan keras kepala karena

urusan sepele seperti ini."

"Dalam tiga hari tembok penahanan akan siap ditinjau oleh tuanku." Tokichiro mengulangi, lalu mengundurkan diri.

Hari itu ia pulang lebih cepat daripada biasanya, "Gonzo! Gonzo!" serunya. Ketika pelayan itu mengintip ke pekarangan belakang, ia melihat Tokichiro duduk telanjang sambil bersilang kaki.

"Tuan ada tugas untuk hamba?"

"Ya," Tokichiro menjawab penuh semangat. "Kau masih pegang uang, bukan?"

"Uang?"

"Betul, uang."

"Ehm..."

"Bagaimana dengan uang untuk keperluan rumah tangga yang kuberikan beberapa waktu lalu?"

"Itu sudah lama habis."

"Bagaimana dengan uang untuk keperluan dapur?" "Sudah lama hamba tidak menerima uang untuk

dapur. Ketika hamba memberitahukannya pada Tuan—rasanya sudah beberapa bulan lalu—Tuan hanya berpesan bahwa kami harus berusaha memanfaatkan uang yang ada dengan sebaik-baiknya."

"Jadi, tidak ada uang?" "Begitulah."

"Hmm, kalau begitu, apa yang harus kulakukan?" "Tuan memerlukan sesuatu?"

"Nanti malam aku ingin mengundang beberapa orang."

"Kalau sekadar sake dan makanan, hamba bisa pergi ke toko-toko dan berutang dulu."

Tokichiro menepuk pahanya. "Gonzo, kaulah andalanku untuk urusan ini." Ia meraih sebuah kipas. Angin musim gugur sedang bertiup, dan daun-daun pohon pauloumia berguguran: selain itu banyak nyamuk.

"Siapa tamu-tamu yang hendak Tuan undang?" "Para mandor di tempat kerjaku yang baru.

Kemungkinan mereka akan datang bersama-sama."

Tokichiro mandi berendam di pekarangan. Pada saat itu, seseorang terdengar memanggil-manggil dari gerbang depan.

"Siapa itu?" si pelayan perempuan bertanya.

Tamu itu melepaskan topinya dan memperkenalkan diri. "Maeda Inuchiyo."

Sang tuan rumah segera keluar dari bak mandi, mengenakan kimono tipis di teras, dan memandang ke gerbang depan.

"Ah, Tuan Inuchiyo. Kusangka siapa. Silakan masuk dan duduk." Tokichiro berseru dengan santai, sambil menata beberapa bantal. Inuchiyo segera duduk. "Kedatanganku mungkin di luar dugaan Tuan." "Ada masalah penting?"

"Tidak, ini bukan mengenai aku. Ini mengenai Tuan."

"Oh?"

"Tuan bersikap seakan-akan tanpa beban, tapi Tuan telah menenma tugas yang tak mungkin dikerjakan, dan mau tak mau aku jadi cemas memikirkan nasib Tuan. Tuanlah yang mengambil keputusan itu, jadi Tuan tentu yakin akan berhasil."

"Ah, tembok pertahanan, maksud Tuan."

"Tentu! Tuan berbicara tanpa berpikir panjang. Tuan Nobunaga pun kelihatannya enggan melihat Tuan melakukan seppuku karena urusan ini."

"Aku minta waktu tiga hari. bukan?"

"Jadi. menurut Tuan ada kemungkinan berhasil?" "Sama sekali tidak."

"Sama sekali tidak?"

"Tentu saja tidak. Aku tidak tahu apa-apa mengenai pekerjaan pembangunan."

"Kalau begitu, apa rencana Tuan?"

"Jika aku bisa membujuk para pekerja agar mau memeras keringat, kurasa aku sanggup menyelesaikan pekerjaan itu pada waktunya."

Inuchiyo merendahkan suara. "Hmm, justru itu masalahnya."

Hubungan mereka memang ganjil. Meski jatuh hati pada gadis yang sama, mereka pun berteman. Mereka tidak memperlihatkannya dalam ucapan maupun perbuatan, melainkan melalui hubungan yang serbakikuk; mereka saling mengenal dan saling menghormati. Kunjungan Inuchiyo hari ini, misalnya, semata-mata didasarkan atas keprihatinan terhadap nasib Tokichiro.

"Tuan sudah memperhitungkan perasaan Yamabuchi Ukon?" Inuchiyo bertanya.

"Kemungkinan besar dia mendendam padaku." "Hmm, Tuan tahu apa yang dipikirkan dan

dikerjakan oleh Ukon?" "Ya."

"Begitukah?" Inuchiyo berkata singkat. "Ah, kalau begitu hatiku bisa tenang."

Tokichiro menatap Inuchiyo dengan sungguhsungguh. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala, dan sikapnya berubah. "Kau memang luar biasa, Inuchiyo. Kalau kau menginginkan sesuatu, kau takkan berhenti sebelum mendapatkannya, bukan?"

"Justru kaulah yang patut ditiru. Kau segera menyadari ancaman dari Yamabuchi Ukon, kecuali itu kau..."

"Jangan, jangan lanjutkan perkataanmu." Ketika Tokichiro berlagak menutup mulut dengan satu tangan. Inuchiyo bertepuk tangan dengan riang dan tertawa.

"Kau benar, urusan itu sebaiknya jangan dibicarakan lagi." Sebenarnya Inuchiyo hendak menyinggung soal Nene. Gonzo kembali, dan tak lama kemudian pesuruh toko datang mengantarkan sake dan makanan. Inuchiyo bersiap-siap pulang, tapi Tokichiro menahannya.

"Sake-nya baru datang. Minumlah dulu sebelum pergi."

"Baiklah, jika kau memaksa." Inuchiyo minum sepuas-puasnya. Tapi tak seorang pun dari tamu-tamu yang diundang menampakkan diri.

"Hmm, kelihatannya tak ada yang datang," Tokichiro akhirnya berkata. "Gonzo, menurutmu apa sebabnya?"

Ketika Tokichiro berpaling pada Gonzo, Inuchiyo bertanya, "Kinoshita. kau mengundang para mandor ke sini?"

"Betul. Ada pekerjaan persiapan yang harus kami lakukan. Agar pembangunan bisa rampung dalam tiga hari, semangat para pekerja harus ditingkatkan dulu."

"Ternyata aku menilaimu terlalu tinggi." "Mengapa kau berkata begitu?"

"Semula kusangka kau dua kali lebih cerdik daripada kebanyakan orang, tapi ternyata hanya kau yang tidak sadar bahwa inilah yang akan terjadi."

Tokichiro menatap Inuchiyo yang sedang tertawa. "Kalau kaupikirkan baik-baik. kau pun akan

melihatnya." ujar Inuchiyo. "Lawanmu laki-laki berwatak rendah. Kemampuan Yamabuchi Ukon amat terbatas. Tak ada alasan baginya untuk mendoakan keberhasilanmu." "Tentu, tapi... "

"Jadi, apakah dia akan diam saja sambil menggigit jari? Kurasa tidak."

"Hmm, begitu."

"Tentu saja dia akan berupaya untuk menggagalkan usahamu. Jadi, sudah sepantasnya kita menyimpulkan bahwa para mandor takkan memenuhi undanganmu. Baik mereka maupun para pekerja beranggapan bahwa Yamabuchi Ukon lebih penting daripada kau."

"Betul. Aku mengerti." Tokichiro menundukkan kepala. "Kalau begitu, sake ini kita habiskan berdua saja. Urusan lain kita serahkan pada dewa-dewa saja."

"Boleh saja. tapi ingatlah bahwa janjimu untuk menyelesaikan pembangunan dalam tiga hari berlaku mulai besok."

"Kubilang mari minum, terserahlah apa yang akan terjadi."

"Kalau tekadmu sudah bulat, mari kita duduk dan minum."

Mereka tidak minum banyak, melainkan berbicara panjang-lebar. Inuchiyo pandai bercakap-cakap, dan entah bagaimana Tokichiro menemukan dirinya sebagai pendengar. Berbeda dengan Inuchiyo. Tokichiro tak pernah mengenyam pendidikan formal. Semasa kanak-kanak, tak sehari pun dihabiskannya dengan menekuni buku dan mempelajari tata krama, seperti anak-anak para samurai. Kenyataan ini tak disesalinya, tapi ia menyadari bahwa usahanya untuk terus maju akan terhambat karenanya. Dan kalau ia memikirkan mereka yang lebih berpendidikan dibandingkan dirinya, atau duduk mengobrol dengan mereka, ia bertekad untuk menjadikan pengetahuan mereka miliknya sendiri. Karena itu ia mendengarkan ucapan orang lain dengan sungguh-sungguh.

"Ah, aku mulai mabuk, Kinoshita. Lebih baik kita tidur saja. Kau harus bangun pagi-pagi. dan aku percaya penuh padamu." Kemudian Inuchiyo menyingkirkan cawan, berdiri, dan pulang. Setelah tamunya pergi. Tokichiro merebahkan diri. Meletakkan siku ke bawah kepala, dan segera tertidur, ia tidak menyadari kedatangan pelayan perempuan yang menyelipkan bantal ke bawah kepalanya.

Ia tak pernah mengalami kesulitan tidur. Pada saat ia terlelap, tak ada perbedaan antara langit dan bumi dan dirinya sendiri. Namun, ketika ia terjaga keesokan paginya, ia langsung sadar penuh.

"Gonzo! Gonzo!"

"Ya. ya. Tuan sudah bangun?" "Ambilkan kuda untukku." "Tuan?"

"Seekor kuda!" "Seekor kuda, Tuan?"

"Ya. Hari ini aku harus berangkat pagi-pagi. Aku takkan pulang nanti malam maupun malam sesudahnya."

"Sayangnya kita belum memiliki kuda maupun kandang."

"Goblok! Pinjam saja dari tetangga kita. Aku bukannya mau bersenang-senang. Aku memerlukannya untuk tugas resmi, jangan ragu-ragu, pergilah dan carikan kuda untukku."

"Sekarang memang sudah pagi, tapi di luar masih gelap."

"Kalau mereka tidur, gedorlah gerbangnya. Kau boleh ragu-ragu seandainya ini untuk urusan pribadiku. Tapi ini untuk tugas resmi, jadi tindakanmu bisa dibenarkan."

Gopnzo mengenakan mantel dan bergegas keluar, ia kembali sambil menuntun seekor kuda. Karena sudah tak sabar ingin berangkai, Tokichiro segera memacu kuda itu, tanpa menanyakan dari mana tunggangannya berasal. Ia mendatangi enam atau tujuh mandor di rumah masing-masing. Mereka menerima upah dari marga, dan termasuk barisan pengrajin. Rumah-rumah mereka cukup mewah, apalagi dibandingkan rumah Tokichiro, dan mereka memiliki pelayan dan gundik.

"Hadiri pertemuan! Hadiri pertemuan! Semua yang bertugas memperbaiki tembok, datanglah ke tempat pembangunan pada jam Harimau. Siapa yang terlambat, langsung dipecat. Ini perintah Yang Mulia Nobunaga!"

Di setiap rumah yang didatanginya ia menyenikan pesan ini. Uap putih mengepul dari moncong kudanya. Pada waktu ia tiba di parit penahanan, matahari sudah mulai memperlihatkan sinarnya di uruk umur. Ia mengikat kudanya di luar gerbang, menarik napas panjang, lalu berdiri menghadang di Gerbang Karabashi. Tangannya menggenggam pedang panjang dan matanya berbinar-binar.

Para mandor yang dibangunkan ketika hari masih gelap bertanya-tanya apa yang terjadi, dan mereka muncul satu per satu sambil membawa anak buah masing-masing.

"Tunggu!" perintah Tokichiro. menghentikan mereka di muka gerbang. Baru setelah mereka menyebutkan nama. tempat kerja, serta jumlah pekerja dan kuli masing-masing, ia mengizinkan mereka lewat. Kemudian ia menyuruh mereka menunggu di pos masing-masing. Sepertinya hampir semuanya hadir. Para pekerja berkerumun dengan tertib namun sambil berbisik-bisik gelisah.

Tokichiro berdiri di hadapan mereka. Tangannya masih menggenggam pedang. "Diam!" Ia berbicara seakan-akan memberi perintah dengan ujung pedangnya. "Berkumpul dalam barisan!"

Para pekerja menurut, namun sambil tersenyum mengejek. Sorot mata mereka jelas menunjukkan bahwa mereka menganggapnya anak bawang, dan diam-diam mereka menertawakan caranya berdiri sambil membusungkan dada. Bagi mereka, lambaian pedangnya tak lebih dari lagak kosong yang hanya pantas dicemooh.

"Perintah ini berlaku untuk kalian semua." Tokichiro berkata lantang, dengan sikap tak peduli. "Atas perintah Yang Mulia Nobunaga, mulai sekarang aku, betapapun tak pantasnya aku membawahi pekerjaan pembangunan. Sampai kemarin kalian berada di bawah Yamabuchi Ukon, tapi mulai hari ini aku menggantikan tempatnya." Sambil bicara, ia menatap barisan para pekerja dari kanan ke kiri. "Beberapa saat lalu, aku masih menempati posisi pelayan yang paling rendah. Namun berkat kebaikan Yang Mulia, aku dipindahkan ke dapur dan setelah itu ke kandang. Aku belum lama bekerja di sini, dan aku tidak tahu apa-apa mengenai pekerjaan konstruksi, tapi aku merencanakan untuk tidak tersaingi dalam hal mengabdi pada junjungan kita. Sebagai pengawas yang baru, aku ingin tahu apakah kalian bersedia bekerja sebagai bawahanku. Aku bisa membayangkan bahwa di kalangan pengrajin terdapat watak pengrajin. Jadi, jika ada yang keberatan bekerja dengan persyaratan seperti itu, silakan kemukakan sejujurnya, dan aku akan segera membebastugaskan yang bersangkutan."

Semuanya membisu. Para mandor pun tetap tutup mulut.

"Tidak ada? Tak ada yang tidak puas denganku sebagai pengawas?" ia bertanya sekali lagi. "Kalau begitu, kita segera mulai bekerja. Seperti telah kukatakan sebelumnya, membiarkan pekerjaan ini berlarut-larut selama dua puluh hari tak dapat dimaafkan dalam masa perang. Aku bermaksud merampungkannya dalam tiga hari saja, terhitung mulai sekarang. Aku ingin hal ini jelas, agar kalian mengerti dan bekerja keras." Para mandor saling tatap. Tidak mengherankan jika ucapan semacam itu memancing senyum meremehkan dan orang-orang yang rambutnya sudah mulai menipis, dan yang telah menekuni pekerjaan masingmasing sejak masa kanak-kanak. Tokichiro menyadari reaksi mereka, tapi memutuskan untuk tidak memberi tanggapan.

"Mandor batu! Kepala tukang kayu dan tukang plester! Majulah!"

Mereka melangkah ke depan, tapi sambil pasang wajah mengejek. Tiba-tiba Tokichiro memukul si kepala tukang plester dengan bagian pipih pedangnya. "Kurang ajar! Pantaskah kau berdiri di hadapan

seorang pengawas sambil bersilang tangan? Keluar!" Karena menduga bahwa ia menderita cedera, laki-

laki itu menjatuhkan diri sambil menjerit. Yang lainnya mendadak pucat pasi, lutut mereka gemetar.

Dengan keras Tokichiro melanjutkan, "Aku akan memberikan tugas untuk kalian masing-masing. Dengarkan baik-baik." Sikap mereka langsung berubah. Tak ada lagi yang tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Mereka terdiam, meski belum tunduk sepenuhnya. Dan walaupun mereka tidak betul-betul ingin bekerja sama, mereka tampak ketakutan.

"Aku telah membagi tembok sepanjang dua ratus meter menjadi lima puluh bagian, dan masing-masing kelompok bertanggung jawab atas empat meter. Setiap grup akan terdiri atas sepuluh orang: tiga tukang kayu. dua tukang plester, dan lima tukang batu. Pembagiannya kuserahkan kepada para mandor. Masing-masing mandor akan membawahi empat sampai lima kelompok, jadi pastikan tidak ada yang menganggur, dan atur pembagian orang dengan sebaik-baiknya. Kalau di antara kalian ada yang kelebihan orang, segera pindahkan orang itu ke pos yang kekurangan tenaga. Tak boleh ada waktu untuk bersantai-santai."

Mereka mengangguk, namun kelihatan gelisah. Mereka mendongkol karena dikuliahi seperti ini. dan tidak setuju dengan pembagian kerja yang ditetapkan Tokichiro.

"Ah, aku hampir lupa," Tokichiro kembali berkata dengan lantang. "Selain kelompok sepuluh orang untuk setiap empat meter, aku menginginkan kelompok cadangan yang terdiri atas delapan kuli dan dua pekerja untuk masing-masing grup. Kalau kuamati pekerjaan yang telah dilakukan sampai sekarang, terlihat bahwa para pekerja dan tukang kayu sering meninggalkan perancah untuk mengerjakan sesuatu yang bukan tugas mereka, misalnya mengangkut kayu. Sebenarnya, seorang pekerja di tempat kerjanya sama saja dengan seorang prajurit di medan perang. Dia dilarang meninggalkan posnya. Dan dia tidak boleh membiarkan alat-alatnya berserakan. Itu sama saja dengan seorang prajurit yang membuang pedang atau tombaknya ke medan laga."

Ia membagi-bagi tugas, lalu berseru cukup keras, seperti hendak memulai pertempuran, "Mari bekerja!"

Tokichiro juga mendapatkan tugas untuk para bawahan barunya. Salah seorang dari mereka disuruhnya memukul gendang. Ketika ia memberi perintah untuk mulai bekerja, si penabuh gendang mengiringi mereka, seakan-akan mereka sedang menuju pertempuran, satu pukulan untuk setiap enam langkah.

Dua pukulan pada gendang merupakan tanda istirahat.

"Berhenti!" Tokichiro menyerukan perintahnya dari atas sebongkah batu besar. Jika ada yang membangkang, orang itu segera kena bentak.

Kelambanan yang semula mendominasi suasana segera lenyap, digantikan oleh kesibukan yang lebih menyerupai kesibukan di medan perang, dan oleh cucuran keringat. Tapi Tokichiro mengamati perubahan itu tanpa berkomentar. Wajahnya tidak memperlihatkan rasa puas. Belum waktunya. Bukan seperti ini, katanya dalam hati.

Dengan pengalaman bertahun-tahun, para pekerja tahu bagaimana mengatur gerak-gerik agar mereka terlihat sibuk, namun sebenarnya mereka tidak memeras keringat secara sungguh-sungguh. Mereka mengadakan perlawanan dengan berlagak patuh, tapi tidak betulbetul bekerja keras. Seluruh hidup Tokichiro ditandai oleh cucuran keringat, jadi ia tahu makna dan keindahan yang terkandung dalam keringat, tidaklah benar bahwa kerja merupakan urusan jasmaniah. Jika kerja tidak diiringi semangat, keringat manusia tak berbeda dari keringat sapi dan kuda. Orang-orang ini bekerja untuk mencari makan. Atau mereka bekerja karena harus memberi makan orangtua. istri, maupun anak. Mereka bekerja untuk makanan atau kesenangan, tak lebih dari itu. Pekerjaan mereka rendah dan hina. Keinginan-keinginan dalam diri mereka begitu terbatas, sehingga Tokichiro merasa iba. dan dalam hati ia mengakui, aku pun seperti mereka, dulu. Masuk akalkah untuk mengharapkan pekeriaan besar dari orang-orang berjiwa kerdil? Jika ia tak bisa membangkitkan vemangat mereka, tak ada alasan bagi mereka untuk bekerja secara lebih efisien.

Bagi Tokichiro, yang berdiri membisu di tempat pembangunan, selengah hari berlalu dengan cepat. Setengah hari merupakan seperenam waktu yang diberikan padanya, tapi ketika mengamati sekitarnya, ia tidak melihat tanda-tanda bahwa mereka telah mencapai kemajuan sejak pagi tadi. Baik di atas maupun di bawah perancah orang-orang tampak bekerja dengan giat, tapi itu semua hanya pura-pura. Sebaliknya, mereka malah menanti-nanti kekalahan total yang bakal dialami Tokichiro dalam tempo tiga hari.

"Sudah siang. Pukul gendang," Tokichiro memberi perintah. Segala kebisingan di tempat pembangunan segera terhenti. Ketika Tokichiro melihat bahwa para pekerja telah mengeluarkan makan siang masingmasing, ia memasukkan pedang ke dalam sarung dan pergi. Sore harinya berakhir dalam suasana sama, kecuali bahwa disiplinnya telah melemah dan kelambanan mulai terlihat lagi. Keadaannya tak berbeda dengan kemarin, ketika Yamabuchi Ukon masih bertugas. Keadaannya justru bertambah buruk. Para pekerja dan kuli telah diberitahu bahwa mulai malam ini mereka harus bekerja tanpa istirahat maupun kesempatan tidur, dan mereka tahu bahwa mereka takkan meninggalkan pekarangan benteng selama tiga hari. Akibatnya mereka semakin memperlambat lugas masing-masing, dan hanya sibuk memikirkan cara untuk curang selama bekerja.

"Berhenti! Berhenti! Cuci tangan kalian, lalu temui aku di lapangan!" Hari masih terang, namun si petugas tiba-tiba berkeliling sambil membunyikan gendangnya. "Ada apa?" para pekerja saling bertanya dengan curiga. Ketika mereka menanyakan kepada para mandor, para mandor pun hanya bisa angkat bahu. Mereka pergi ke lapangan tempat menyimpan kayu, untuk mencari tahu apa yang terjadi. Di sana mereka menemukan sake dan tumpukan makanan setinggi gunung. Mereka dipersilakan duduk, lalu mencari tempat di atas tikar jerami, batu-batu, dan potonganpotongan kayu. Tokichiro sendiri duduk di tengah-

tengah para pekerja dan mengangkat cawan,

"Ini memang tidak banyak, tapi kita menghadapi tiga hari penuh kerja keras. Satu hari sudah berlalu, tapi kuminta kalian terus bekerja dan berusaha untuk melakukan sesuatu yang mustahil. Jadi. khusus untuk malam ini, silakan minum dan beristirahat sepuaspuasnya."

Sikapnya berbeda seratus delapan puluh derajat dari tindak-tanduk pagi tadi, dan ia memberi contoh dengan menghabiskan isi cawannya. "Mari," ia berseru, "silakan minum. Bagi mereka yang tidak suka sake sudah disediakan makanan dan hidangan pencuci mulut."

Para pekerja tampak heran. Tiba-tiba mereka mulai cemas, apakah mereka sanggup merampungkan seluruh pekerjaan dalam tiga hari.

Tapi kepala Tokichiro-lah yang pertama-tama mulai terasa ringan.

"Hei! Persediaan sake lebih dari cukup untuk kita semua. Dan kuambil dari persediaan benteng, jadi tak berpengaruh seberapa banyak kita minum, di gudang masih banyak lagi. Kalau kita minum, kita bisa menari, bernyanyi, atau sekadar melepas lelah sampai gendang berbunyi.''

Dalam sekejap para pekerja berhenti mengeluh. Mereka bukan saja dibebaskan dari tugas masingmasing, tapi juga memperoleh makanan dan sake secara tak terduga. Dan yang lebih penting lagi. Tokichiro tampak bersantai di tengah-tengah mereka.

"Tuan ini ternyata punya rasa humor!"

Ketika pengaruh sake semakin nyata, mereka mulai bertukar lelucon. Tetapi para mandor tetap menatap Tokichiro dengan dingin.

"Huh! Dia cerdik, tapi rencananya mudah terbaca.'' Dan ini menyebabkan mereka semakin memusuhinya. Dengan tampang seakan-akan mempertanyakan pantas-tidaknya minum sake di tempat kerja, mereka tidak mau menyentuh cawan masing-masing.

"Wahai, para mandor! Ada apa?" Tokichiro berdiri dengan cawan di tangan, lalu pindah duduk di bawah tatapan mereka yang menusuk. "Kalian tidak minum sama sekali. Barangkali kalian beranggapan bahwa seorang mandor memikul tanggung jawab seperti jendral. dan karena itu tidak boleh minum, tapi jangan khawatir. Kalau memang tidak mungkin, ya apa boleh buat? Kalau aku keliru, dan kita tak bisa menyelesaikan pekerjaan kita dalam tiga hari, aku akan mengakhiri urusan ini dengan melakukan bunuh diri." Tokichiro memaksa mandor yang bertampang paling sengit untuk mengambil cawan, lalu menuangkan sake untuknya. "Mumpung kita bicara mengenai kecemasan, ketahuilah bahwa bukan proyek ini maupun nyawaku sendiri yang membuatku khawatir. Aku memikirkan nasib provinsi ini. yang menjadi tempat tinggal kalian semua. Tapi menghabiskan dua puluh hari untuk pekerjaan sepele ini—dengan semangat sepeni ini—seluruh provinsi akan binasa."

Kata-katanya penuh emosi. Para pekerja mendadak terdiam. Tokichiro memandang bintang-bintang di langit, seakan-akan hendak mengadu pada mereka. "Kurasa kalian semua pernah menyaksikan pasangsurutnya sebuah provinsi. Dan kalian tentu tahu penderitaan rakyat di provinsi yang jatuh. Apa boleh buat. Tentu saja Yang Mulia, para jendral. sampai kami para samurai yang paling rendah, tak pernah melupakan urusan penahanan provinsi, bahkan pada waktu tidur pun.

"Tetapi nasib sebuah provinsi tidak ditentukan di dalam benteng. Yang menentukan adalah kalian. Rakyatlah yang merupakan tembok dan parit pertahanan. Mungkin kalian beranggapan bahwa pekerjaan ini tidak berbeda dengan pekerjaan membangun dinding sebuah rumah, tapi kalian keliru. Kalian sedang membangun penahanan kalian sendiri. Apa yang akan terjadi seandainya benteng ini dibumihanguskan suatu han? Tentu bukan seisi benteng saja yang tertimpa kemalangan. Seluruh kota akan dilalap api, dan seluruh provinsi akan musnah. Keadaannya bakal seperti di neraka, anak-anak direnggut dari orangtua masing-masing, orangtua mencari anak-anak mereka, gadis-gadis menjerit-jerit ketakutan, orang-orang salut terbakar hidup-hidup. Ah, jika provinsi ini sampai jatuh, celakalah seluruh rakyatnya. Kalian semua punya orangtua, anak. istri, saudara yang sakit. Kalian harus selalu, selalu mengingat itu."

Kini para mandor pun tak lagi tersenyum mengejekWajah mereka tampak serius. Mereka juga memiliki harta benda, dan ucapan Toluchiro tepat mengenai sasaran.

"Jadi kenapa kita bisa menikmati masa damai sekarang? Pada dasarnya, berkat kepemimpinan Yang Mulia Nobunaga. Tapi kalian, rakyat provinsi ini, ikut berperan dengan benteng ini sebagai titik pusat. Tak peduli betapa gagahnya para samurai berjuang, jika rakyat sampai goyah..." Toluchiro berbicara sambil berlinangan air mata. tapi ia tidak berpun-pura. Hatinya terasa pilu, dan setiap kata yang ia ucapkan merupakan cerminan perasaan sesungguhnya.

Mereka yang tergerak oleh kebenaran kata-katanya langsung sadar dan terdiam. Seseorang menangis dan membuang ingus. Orang itu adalah mandor para tukang kayu—pekerja tertua dan paling berpengaruh— yang selama ini menentang Tokichiro lebih terangterangan daripada rekan-rekannya.

"Ah, ampun ... Ampun!" Ia mengusap air mata yang mengalir di pipinya yang penuh bekas cacar. Yang lain menatapnya heran. Ketika ia sadar bahwa semua orang memandang ke arahnya, ia tiba-tiba maju dan men-jatuhkan diri di hadapan Tokichiro.

"Ampunilah aku! Sekarang aku menyadari kebodohan dan kedangkalan pikiranku. Mestinya Tuan mengikatku, lalu meneruskan pekerjaan demi kejayaan provinsi." Dengan kepala tertunduk, tubuh orang tua itu bergetar ketika ia bicara.

Mula-mula Tokichiro menatapnya sambil terbengong-bengong, tapi kemudian ia mengangguk dan berkata. "Hmm. kau bertindak atas perintah Yamabuchi Ukon. bukan?"

"Tuan mengetahuinya sejak semula."

"Bagaimana aku tidak tahu? Dan Ukon jugalah yang menyuruhmu dan yang lain untuk tidak datang ke rumahku ketika aku mengundang kalian."

"Itu benar."

"Dan dia menyuruh kalian bekerja selambat mungkin, sengaja mengulur-ulur waktu, dan menentang perinuh-perintahku."

"Aku tidak heran dia bersikap demikian. Seandainya kalian yang menyebabkan pekerjaan ini terbengkalai, kalian pun takkan sanggup berpikir jernih. Hmm, baiklah, berhentilah merengek-rengek. Aku akan memaafkanmu, karena kau telah mengakui kesalahanmu."

"Tapi masih ada lagi. Yamabuchi Ukon berpesan bahwa jika kami bekerja selambat mungkin, sehingga pembangunan tidak selesai dalam tiga hari, kami akan diberi uang banyak. Tapi setelah mendengar penjelasan Tuan, aku sadar bahwa dengan menerima uang yang ditawarkan Tuan Yamabuchi, dan dengan menentang Tuan, kami justru menempuh langkah pertama ke arah kehancuran kami sendiri. Sekarang semuanya sudah jelas bagiku. Sebagai pemimpin para pembangkang, aku seharusnya diikat, dan pekerjaan ini seharusnya diselesaikan tanpa ditunda-tunda lagi."

Tokichiro tersenyum, ia menyadari bahwa dalam sekejap saja seorang musuh yang kuat telah menjadi sekutu sejati. Orang itu bukannya diikat, melainkan malah diberi sebuah cawan. "Kau tidak bersalah. Pada detik kau menyadari kekeliruanmu, kau menjadi warga paling setia di provinsi ini. Mari, silakan cicipi sake ini. Sehabis itu. setelah melepas lelah sejenak, kita mulai bekerja."

Si mandor menerima cawan itu dengan dua tangan dan membungkuk dengan sepenuh hati. Tapi ia tidak menyentuh minumannya. "Hei! Semua!" serunya, tibatiba ia melompat berdiri dan mengangkat cawannya tinggi-tinggi. "Kita akan menuruti segala perintah Tuan Kinoshiu. Reguklah isi cawan kalian, lalu mulailah bekerja. Mestinya kita semua merasa malu. Kita beruntung karena belum dihukum oleh langit. Selama ini aku telah melahap nasi dengan sia-sia, tapi mulai sekarang aku akan berusaha melunasi utangutangku. Aku akan berusaha mengabdi dengan sungguh-sungguh. Tekadku sudah bulat. Bagaimana dengan kalian?"

Begitu si mandor selesai bicara, yang lainnya berdiri serempak.

"Ayo, kita mulai!"

"Kita bereskan tugas ini!" mereka semua berseru. "Ah, terima kasih!" balas Tokichiro. Ia pun

mengangkat cawan. "Aku akan menyimpan sake ini selama tiga hari. Setelah merampungkan tugas, kita bisa minum sepuas-puasnya! Kecuali itu, aku tidak tahu berapa banyak uang yang dijanjikan Yamabuchi Ukon. Tpi sesudah kita selesai, aku akan memberi imbalan seadanya."

"Kami tidak memerlukannya." Mengikuti contoh si mandor bermuka bopeng, semuanya menghabiskan isi cawan masing-masing dalam satu tegukan. Dan persis seperti prajurit yang akan bertempur di barisan terdepan, mereka bergegas kembali ke tempat pembangunan.

Menyaksikan semangat mereka yang menggebugebu. untuk pertama kali Tokichiro merasa betul-betul lega.

"Aku berhasil!" serunya tanpa berpikir. Tapi ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini; ia bergabung dengan yang lain, bekerja dalam lumpur, membanting tulang seperti orang kesurupan selama tiga malam dan dua hari berikutnya.

***

"Monyet! Monyet!" Seseorang sedang memanggil namanya. Orang itu ternyata Inuchiyo. yang tampak lebih gelisah daripada biasanya. "Inuchiyo!"

"Saat perpisahan telah tiba." "Apa?"

"Aku dibuang." "Kenapa?"

"Aku telah membunuh seseorang di benteng dan mendapat teguran keras dari Tuan Nobunaga karenanya. Untuk sementara aku haruis menjalani hidup sebagai ronin."

"Siapa yang kaubtinuh?"

"Yamabuchi Ukon. Kau tentu lebih memahami perasaanku daripada orang lain."

"Ah, kau terlalu terburu-buru." "Itulah darah muda! Setelah membunuhnya, aku pun berpikir begitu, tapi sudah terlambat. Watak seseorang tak dapat dipadamkan. Baiklah, aku..."

"Kau hendak pergi sekarang juga?"

"Monyet, kutitipkan Nene padamu. Kejadian ini membuktikan bahwa kami memang bukan jodoh, jaga dia baik-baik."

Pada waktu yang sama. seekor kuda menembus kegelapan malam dalam perjalanan dari Kiyosu ke Narumi. Terluka parah. Yamabuchi Ukon berpegangan erat-erat pada pelananya, jarak antara Kiyosu dan Narumi tidak terlalu jauh, dan kuda Ukon berlari kencang.

Hari sudah gelap dan tak ada yang melihatnya, namun andai kata masih terang, darah yang bercucuran seiring langkah kudanya akan terlihat jelas. Luka Ukon cukup dalam, tapi tidak mematikan. Meski demikian, ketika ia menggenggam bulu tengkuk kudanya, ia bertanya-tanya apa yang lebih cepat: kaki kudanya atau kematian.

Moga-moga aku bisa mencapai Benteng Narumi, ia berharap dalam hati, sambil teringat bagaimana Maeda Inuchiyo berteriak "Pengkhianat!" ketika mengayunkan pedangnya.

Suara yang menjatuhkan tuduhan itu bagaikan paku yang menembus tengkorak, dan terus terngiangngiang di telinga Ukon. Kini, dalam keadaan setengah sadar, diterpa angin malam, pikirannya jadi tak keruan. Dari mana Inuchiyo mengetahuinya? Ketika memikirkan pengaruh peristiwa ini terhadap Benteng Narumi. dan menyadari bahwa bukan saja ayahnya, melainkan seluruh marganya akan menanggung akibatnya, ia menjadi panik dan darahnya mengalir semakin deras.

Benteng Narumi merupakan salah satu benteng perwakilan marga Oda. Oleh Nobuhide, ayah Ukon, Samanosuke, diangkat sebagai komandan Narumi. Akan tetapi pandangannya mengenai dunia amat terbatas, dan apa yang dilihatnya tidak menunjukkan masa depan gemilang. Ketika Nobuhide wafat, Nobunaga berusia lima belas tahun, dan reputasinya berada pada titik paling rendah. Waktu itu Samanosuke beranggapan bahwa pewaris marga Oda tak bisa diharapkan, dan diam-diam bersekongkol dengan Imagawa Yoshimoto.

Nobunaga lalu mengetahui pengkhianatan Narumi. dan dua kali menyerbu benteng itu. tapi sia-sia. Narumi tak berhasil ditaklukkannya, karena memperoleh dukungan militer maupun ekonomi dan marga Imagawa yang kuat. Nobunaga boleh mencoba segala cara, tetapi usahanya selalu kandas tanpa hasil. Nobunaga menyadari hal ini. dan selama beberapa tahun ia tidak mengusik para pembangkang.

Namun kemudian marga Imagawa mulai meragukan kesetiaan Samanosuke. Narumi dicurigai oleh kedua belak pihak, dan memancing sikap seperti itu dari penguasa sebuah provinsi besar sama saja dengan mengundang bencana. Jadi. apa pun tujuan sesungguhnya, Samanosuke menghadap Nobunaga, memohon ampun atas perbuatannya selama bertahuntahun, dan memohon agar dikembalikan ke posisinya semula.

"Sebuah cabang takkan sanggup mengalahkan induknya. Ada baiknya kalau kaupahami ini. Usahakanlah agar kau tetap setia mulai sekarang," Nobunaga berpesan, dan memaafkannya.

Setelah itu. baik ayah maupun anak memperlihatkan hasil yang mengesankan, dan pengkhianatan mereka dilupakan. Tetapi apa yang tersembunyi di bawah permukaan telah diketahui oleh dua orang— Maeda Inuchiyo dan Kinoshita Tokichiro. Ukon telah merisaukan mereka berdua selama beberapa waktu, tapi kemudian Tokichiro mengambil alih posisi pengawas pembangunan, dan keesokan harinya Inuchiyo menyerang dan mencederai Ukon. Kini. dengan berasumsi bahwa rencananya telah terbongkar, dan dalam keadaan terluka parah, ia melarikan diri dari benteng dan menuju Narumi.

Menjelang fajar ia melihat gerbang Benteng Narumi. Ketika yakin bahwa ia telah sampai di tempat tujuannya, ia pingsan, sambil tetap merangkul leber kudanya. Waktu tersadar, ia dikelilingi para penjaga benteng yang sedang merawat lukanya. Kemudian pandangannya kembali jernih dan ia bangkit. Orangorang di sekitarnya tampak lega.

Kedatangan Ukon segera dilaporkan pada Samanosuke, dan beberapa pelayannya bergegas keluar dengan mata terbelalak, sambil bertanya. "Di mana Tuan Muda?"

"Bagaimana keadaannya?"

Mereka cemas sekali. Namun yang paling terkejut adalah ayahnya. Melihat putranya dipapah oleh para penjaga gerbang, Samanosuke segera berlari keluar, tak kuasa membendung rasa khawatir seorang ayah,

"Lukanya dalam?"

"Ayahanda...." Ukon ambruk dan masih sempat berkata. "Ananda minta maaf...." sebelum ia kembali kehilangan kesadaran.

"Bawa dia masuk! Cepat, bawa dia ke dalam!" Wajah Samanosuke diliputi penyesalan. .Sejak semula ia merasa cemas karena Ukon mengabdi pada Nohunaga. sebab Samanosuke tidak sepenuh hati kembali ke marga Oda dan belum rela untuk tunduk. Namun ketika Ukon ditunjuk sebagai pengawas perbaikan tembok penahanan, Samanosuke segera menyadari bahwa kesempatan yang ditunggutunggunya selama bertahun-tahun telah tiba, sehingga ia langsung mengirim pesan rahasia kepada marga Imagawa:

Sekaranglah waktu yang tepat untuk menyerang marga Oda, jika Benteng Kiyosu diserbu oleh lima ribu orang dari perbatasan timur, kami pun akan mengerahkan pasukan. Pada saat yang sama, putra kami akan menimbulkan kekacauan dari dalam dengan membakar benteng.

Dalam hati ia berharap Imagawa Yoshimoto tergerak untuk menentukan sikap. Namun ternyata orang-orang Imagawa tidak segera benindak. Kedua Yamabuchi—ayah maupun putra—sudah lama menjadi abdi marga Oda, sehingga marga Imagawa menaruh curiga pada rencana mendadak itu. Karena tidak mendapat kabar dari kurir pertama dan kedua yang dikirimnya, dua hari kemudian Samanosuke mengutus kurir ketiga yang membawa pesan, "Sekaranglah waktunya."

Sementara itu, Ukon mengalami cedera dan melarikan diri dari Kiyosu. Dan sepertinya luka yang dideritanya bukan akibat pertikaian pribadi. Kelihaiannya persekongkolan mereka telah terbongkar Samanosuke merasa cemas, dan mengumpulkan seluruh marga untuk mengadakan rapat.

"Walaupun mungkin takkan ada dukungan dari orang-orang Imagawa, kita tak dapat berbuat apa-apa selain membuat persiapan militer dan menghadapi serangan marga Oda. Kalau orang-orang Imagawa mengetahui pemberontakan kita dan ikut terjun ke dalam kancah peperangan, tujuan kira semula, yaitu menghancurkan marga Oda dengan sekali pukul, mungkin masih dapai terwujud."

Nobunaga tidak banyak berkomentar setelah mengasingkan Inuchiyo. Mempertimbangkan wataknya yang meledak-ledak, tak satu pun para pembantunya menyinggung masalah Inuchiyo. Tapi Nobunaga tidak puas sepenuhnya, dan ia berkata, "Jika dua prajurit bertikai di perkemahan, atau pedang dihunus di pekarangan benteng, peraturan menentukan bahwa hukumannya harus tegas, tak peduli apa alasan penikaian itu. Inuchiyo laki-laki yang berharga, tapi mudah naik darah. Dan ini kedua kalinya dia mencederai sesama pengikutku. Bersikap murah hari tak dapat dibenarkan oleh hukum."

Larut malam ia mengeluh pada seorang pengikut senior yang sedang bertugas, "Ah, si Inuchiyo! Entah ke mana dia pergi setelah dibuang dari sini. Menjadi ronin baik untuk jiwa. Barangkali sedikit penderitaan akan bermanfaat untuknya."

Di atas tembok pertahanan. Nobunaga menyadari bahwa malam ketiga Tokichiro mengambil alih pekerjaan perbaikan telah tiba, jika ia tidak selesai pada wakiu fajar, ia akan terpaksa melakukan seppuku, tak peduli betapa Nobunaga menyesalkannya. Dia terlalu keras kepala— Nobunaga berkata dalam hati— selalu mengumbar ucapan yang tak masuk akal di depan semua orang.

Pengikut seperti Inuchiyo dan Tokichiro menduduki posisi rendah dan masih muda, tapi Nobunaga tahu bahwa di antara para pengikut yang tersisa dari masa ayahnya, hanya segelintir yang sanggup menyaingi bakat mereka. Orang seperti mereka jarang ditemui, bukan hanya dalam marga Oda. melainkan di dunia secara keseluruhan. Ini kehilangan besar! Namun Nobunaga tak boleh memperlihatkan kekhawatirannya, dan ia menyembunyikannya dari para pelayan dan pengikut yang lebih tua.

Malam itu ia menyusup ke bawah kelambu lebih cepat daripada biasanya. Tapi ketika ia baru akan teridap, seorang pengikutnya muncul di ambang pintu ruang tidur. "Tuanku, ada keadaan darurat! Orangorang Yamabuchi di Narumi mengibarkan bendera pemberontakan, dan sengaja memamerkan persiapan pertahanan mereka."

"Narumi?" Nobunaga keluar dari kelambu, dan masih dalam pakaian tidur dari sutra putih, pergi ke ruang sebelah dan duduk.

"Genba?"

"Tuanku?" "Masuklah."

Sakuma Genba mendekat sampai ke tepi ruangan itu, lalu menyembah. Nobunaga sedang berkipaskipas. Di malam hari. hawa sejuk menjelang musim gugur sudah terasa, tapi kawanan nyamuk masih beterbangan di pekarangan benteng.

"Sebenarnya ini tidak terlalu mengejutkan," Nobunaga akhirnya berkata. Kata-kata itu diucapkan seakan-akan dikunyah satu per satu. "Kalau orangorang Yamabuchi memberontak, borok yang sudah mulai sembuh kini bernanah lagi. Kita tunggu saja sampai pecah dengan sendirinya."

"Apakah tuanku akan pergi ke sana?" "Itu tidak perlu."

"Pasukan tuanku..."

"Rasanya kita tidak perlu ambil tindakan." Ia tertawa dan melanjutkan, "Aku meragukan keberanian mereka menyerang Kiyosu, walaupun mereka telah mengadakan persiapan militer. Samanosuke panik karena putranya terluka. Untuk sementara lebih baik kira amati mereka dari jauh saja."

Tak lama kemudian Nobunaga kembali naik ke ranjang, tapi keesokan harinya ia bangun lebih pagi daripada biasa. Atau mungkin ia tak bisa ridur dan menunggu sampai fajar. Dalam hati ia mungkin lebih mencemaskan nasib Tokichiro daripada kejadian mencemaskan di Narumi. Begitu bangun, Nobunaga meninjau tempat pembangunan dengan beberapa pembantunya.

Matahari pagi sedang menanjak. Kesemrawutan yang kemarin masih terlihat kini tak tampak lagi. Tak sepotong kayu. sebongkah batu. segumpal tanah, maupun setitik debu tersisa. Seluruh pekarangan telah dibersihkan. Seiring fajar, tempat pembangunan itu tidak lagi menyerupai tempat pembangunan. Ini melebihi perkiraan Nobunaga. Ia jarang merasa terkejut, dan jika kini ia merasa demikian, ia tidak memperlihatkannya. Tokichiro berhasil melaksanakan tugasnya dalam tiga hari, dan lebih dari itu, telah membawa keluar semua kayu dan batu yang tak terpakai.

Tanpa berpikir, wajah Nobunaga tampak berseriseri karena gembira. "Dia berhasil! Lihat itu! Lihat apa yang dilakukan si Monyet!" Sambil berpaling kepada para pembantunya, ia bicara seakan-akan sedang membahas hasil pekerjaannya sendiri. "Di mana dia? Panggil Tokichiro ke sini." "Sepertinya Tuan Kinoshita sedang menyeberangi Jembatan Karabashi." salah seorang pembantu berkata. Jembatan itu berada tepat di depan mereka.

Kinoshita sedang berlari mendekat.

Batang-batang kayu yang digunakan sebagai perancah serta kayu dan batu yang tersisa menumpuk di tepi parit. Para pengrajin dan pekerja, yang telah menghabiskan tiga hari tiga malam dengan bekerja tanpa istirahat, kini tertidur lelap, seperti ulat dalam kepompong. Para mandor pun. yang bekerja bahumembahu dengan anak buah mereka, merebahkan diri di tanah dan segera memejamkan mata begitu tugas mereka selesai.

Nobunaga mengamati semuanya dari kejauhan. Sekali lagi ia terpaksa mengakui bahwa ia keliru menilai kemampuan Tokichiro, Si Monyet! Dia tahu cara membuai orang bekerja keras. Kalau dia memiliki kemampuan untuk memacu sekelompok pekerja agar rela bekerja seperti ini, tentu tak ada salahnya jika aku menugaskan dia memimpin sekelompok prajurit terlatih. Sudah sepantasnya aku menyuruh dia maju ke medan perang dengan dua atau tiga ratus anak buah. Nobunaga tiba-tiba teringat sebuah bait dari Seni Perang karya Sun Tiu:

Prinsip utama

Untuk menang dalam perang Adalah membuat prajurit Mati bahagia. Nobunaga mengulanginya berkali-kali, tapi ia menyangsikan apakah ia sendiri memiliki kemampuan itu, yang sama sekali tidak terkait dengan strategi, taktik, maupun wibawa.

"Hari ini tuanku bangun pagi-pagi sekali. Tuanku bisa lihat sendiri apa yang kami lakukan dengan tembok pertahanan,"

Nobunaga menatap kakinya dan melihat Tokichiro yang sedang berlutut dengan kedua tangan menempel di tanah.

"Monyet?*' Tawa Nobunaga meledak. Baru sekarang ia melihat wajah Tokichiro. yang setelah tiga hari tiga malam tanpa tidur, tampak seolah-olah tertutup plesteran kasar setengah kering. Maunya merah dan pakaiannya berlcpotan lumpur.

Nobunaga tertawa lagi, tapi segera merasa kasihan pada orang itu dan berkata dengan serius, "Kau telah melaksanakan tugasmu dengan baik. Kau tentu lelah sekali. Sebaiknya kau tidur sepanjang hari."

"Terima kasih banyak." Tokichiro menikmati pujian itu. Diberiuhu bahwa ia boleh tidur sepanjang hari, padahal seluruh provinsi tidak memiliki kesempatan beristirahat, merupakan pujian tanpa tandingan. Tokichiro berkata dalam hati ketika air mata mulai membasahi kelopaknya. Namun, meski sedang merasakan kepuasan seperti itu, ia berkata dengan hati-hati. "Hamba ada permintaan, tuanku."

"Apa yang kauinginkan?" "Uang." "Banyak?"

"Tidak, sedikit saja." "Untukmu?"

"Bukan." Tokichiro menunjuk ke arah parit. "Bukan hanya hamba yang mengerjakan ini semua. Hamba hanya minu uang secukupnya untuk dibagi-bagikan kepada para pekerja yang begitu lelah, hingga tertidur di tempat."

"Bicaralah dengan bendahara dan ambillah sebanyak yang kauperlukan. Tapi kau pun pantas menerima imbalan. Berapa upahmu sekarang?"

"Tiga puluh kan." "Hanya itu?"

"Itu sudah lebih dari yang patut hamba peroleh." "Aku akan menaikkannya menjadi seratus kan, lalu

memindahkanmu ke kesatuan tombak. Mulai hari ini kau akan membawahi tiga puluh prajurit infanteri.

Tokichiro tetap membisu. Dipandang dari segi jabaun, posisi pengawas arang dan kayu bakar serta posisi pengawas pembangunan dicadangkan bagi samurai berpangkat tinggi. Tapi dalam tubuh Tokichiro mengalir darah muda, sehingga telah bertahun-tahun ia berharap dapat bertugas aktif dalam kesatuan pemanah atau penembak. Membawahi tiga puluh prajurit infanteri merupakan posisi komandan yang paling rendah. Namun tugas ini jauh lebih menyenangkan baginya daripada tugas dapur atau kandang.

Ia begitu bahagia, sehingga lupa diri sejenak, dan bicara tanpa berpikir panjang dengan mulut yang tadinya begitu santun. "Pada waktu hamba menyelesaikan pekerjaan ini, ada satu hal yang terus mengusik pikiran hamba. Sistem pengadaan air di benteng tidaklah memuaskan. Seandainya benteng dikepung, persediaan air minum takkan memadai, dan dalam malau singkat parit pun akan mengering, jika terjadi sesuatu, benteng hanya sanggup menahan serangan mendadak. Tapi kalau diserbu oleh pasukan yang..."

Sambil memalingkan wajah ke samping, Nobunaga berlagak tidak mendengarkannya. Namun Tokichiro tidak mau berhenti di tengah jalan. "Sejak dulu hamba berpendapat bahwa Bukit Komaki lebih menguntungkan daripada Kiyosu, baik dari segi pengadaan air maupun dari segi penyerangan dan pertahanan. Hamba mengusulkan agar tuanku pindah dari Kiyosu ke Komaki."

Mendengar saran itu, Nobunaga memelototinya dan menghardik, "Monyet, cukup! Kau mulai lupa diri! Pergilah tidur sekarang juga!"

"Baik, tuanku." Tokichiro angkat bahu. Aku mendapat pelajaran berharga, katanya dalam hati. Kegagalan sangat mudah dalam keadaan menguntung-kan. Sebaiknya kita dimarahi kalau hati kita sedang gembira. Ternyata aku belum cukup pengalaman. Aku terbawa perasaan dan melangkah terlalu jauh. Aku harus mengakui bahwa aku belum berpengalaman.

Setelah membagi-bagikan uang imbalan kepada para

pekerja, ia tetap tidak pulang untuk tidur, melainkan berjalan-jalan keliling kota seorang diri, sambil gelenggeleng kepala. Dalam hati ia membayangkan sosok Nene yang tak pernah dilihatnya selama beberapa waktu.

Entah apa yang dikerjakannya belakangan ini? Begitu memikirkan Nene, ia mulai cemas mengenai nasib sahabatnya yang rela berkorban dan keras kepala, Inuchiyo, yang meninggalkan provinsi dan menyerahkan cinta Nene kepadanya. Sejak Tokichiro mengabdi pada marga Oda, satu-satunya orang yang dianggapnya teman adalah Inuchiyo.

Aku yakin dia mampir dulu di rumah Nene. Dalam keadaan terpaksa pergi sebagai ronin, dia takkan bisa memastikan apakah dia akan melihat Nene lagi. Dia pasti berpesan sesuatu sebelum pergi, pikir Tokichiro. Sebenarnya saat ini Tokichiro lebih memerlukan tidur daripada cinta maupun makanan. Tapi ketika teringat pada persahabatan, keberanian, dan kesetiaan Inuchiyo, ia tak bisa tidur begitu saja.

Laki-laki sejati akan mengenali laki-laki sejati lainnya. Jadi, mengapa Nobunaga tidak segera menyadari nilai Inuchiyo? Pengkhianatan Yamabuchi Ukon telah diketahui selama beberapa saat, paling tidak oleh Inuchiyo dan Tokichiro. Ia tak mengerti mengapa Nobunaga tidak menyadarinya, dan dengan perasaan tak senang ia bertanya-tanya mengapa Inuchiyo, yang mencederai Ukon, dijatuhi hukuman.

Hmm, Tokichiro berkata pada dirinya sendiri,

barangkali Inuchiyo memang dihukum, tapi mungkin juga pengasingannya justru merupakan perwujudan kasih sayang Nobunaga. Waktu aku bicara tanpa pikir panjang, sambil pasang wajah serba tahu, aku langsung ditegur keras. Harus kuakui bahwa bicara mengenai pengadaan air dan mengusulkan untuk pindah ke Komaki di hadapan para pengikut lain memang tidak pada tempatnya, pikir Tokichiro ketika ia berjalan keliling kota. Ia tidak sakit, tapi secara berkala ia merasa seakan-akan bumi bergerak di bawah kakinya. Dalam keadaan tak bisa tidur, cahaya matahari musim gugur terasa menyilaukan sekali.

Ketika ia melihat rumah Mataemon di kejauhan, kantuknya mendadak lenyap. Sambil tertawa ia mempercepat langkahnya.

"Nene! Nene!" ia berseru, ia berada di kawasan tempat tinggal para pemanah, bukan daerah dengan gerbang beratap megah dan rumah-rumah besar, melainkan deretan pondok mungil dengan pekarangan rapi dan pagar kayu yang menimbulkan perasaan tenteram.

Sudah kebiasaan Tokichiro untuk bicara dengan suara keras, dan ketika ia tiba-tiba melihat sosok kekasihnya, yang tak dijumpainya selama beberapa waktu, ia melambaikan tangan dan bergegas tanpa menutup-nutupi perasaannya. Sikapnya begitu mencolok, hingga semua orang di sekitar tentu bertanyatanya apa yang terjadi. Nene berbalik. wajahnya yang putih memperlihatkan keheranan.

Cinta seharusnya merupakan rahasia yang terpendam dalam lubuk hati paling dalam. Namun jika seseorang memanggil begitu keras, hingga semua tetangga membuka jendela, dan ayah-ibu di dalam rumah pun mendengarnya, tidaklah aneh bila seorang gadis jadi merasa malu. Sejak tadi Nene berdiri di muka gerbang, menatap langit musim gugur. Tapi, ketika mendengar suara Tokichiro. wajahnya menjadi merah dan ia bersembunyi dengan rubuh gemetar di balik gerbang.

"Nene! Ini aku, Tokichiro!" Suara Tokichiro semakin lantang, dan ia bergegas mendekat. "Aku minta maaf karena kurang memperhatikanmu. Aku sibuk sekali dengan tugas-tugasku."

Nene setengah bersembunyi di balik gerbang, tapi karena Tokichiro sudah menyapanya, ia terpaksa membungkuk dengan anggun. "Kesehatanlah yang harus diutamakan,'' katanya.

"Ayahmu di rumah?" tanya Tokichiro. "Tidak. Ayah sedang pergi."

Daripada mengajak Tokichiro masuk. Nene memilih melangkah keluar.

"Hmm, jika Tuan Mataemon sedang pergi..." Tokichiro segera menyadari bahwa Nene mungkin merasa kikuk. "Sebaiknya aku juga pergi saja."

Nene mengangguk, seakan-akan ia pun menganggapnya sebagai pemecahan terbaik.

"Sebetulnya aku datang karena ingin tahu apakah Inuchiyo mampir ke sini."

"Tidak." Nene menggelengkan kepala, tapi wajahnya tersipu-sipu.

"Dia datang ke sini, bukan?" "Tidak."

"Betulkah?"

Sambil mengamati capung merah yang beterbangan, Tokichiro termenung sejenak. "Dia tidak mendatangi rumahmu sama sekali?"

Nene menundukkan kepala, matanya berkaca-kaca. "Inuchiyo memancing kegusaran Yang Mulia dan

meninggalkan Owari. Kau sudah dengar itu?" "Ya."

"Kau mendengarnya dari ayahmu?" Tidak."

"Kalau begitu, siapa yang memberitahumu? Kau tidak perlu menutup-nutupinya. Dia dan aku bersahabat. Apa pun yang dikatakannya padamu, itu tak jadi masalah. Dia datang ke sini. bukan?"

"Tidak. Aku baru saja mengetahuinya—lewat sepucuk surat."

"Surat?"

"Baru saja seseorang melemparkan sesuatu ke pekarangan di depan kamarku. Waktu aku keluar, aku menemukan sepucuk surat yang membungkus batu kecil. Surat itu berasal dari Tuan Inuchiyo." Ketika bicara, suaranya terputus-putus. Ia mulai menangis dan berbalik membelakangi Tokichiro. Selama ini Tokichiro selalu memandangnya sebagai perempuan yang bijak dan cerdas, tapi sebenarnya Ncnc hanyalah seorang gadis. Tokichiro telah menemukan segi lain dan keindahan dan daya tarik yang terkandung dalam diri perempuan ini. "Maukah kau memperlihatkan suratnya padaku? Atau lebih baik jika aku tidak membacanya?" Ketika Tokichiro menanyakannya. Nene mengeluarkan surat itu dari kimono dan menyerahkannya tanpa ragu-ragu.

Perlahan-lahan Tokichiro membukanya. Tak salah lagi, itu memang tulisan tangan Inuchiyo. Isi surat itu sederhana saja, tapi bagi Tokichiro surat itu mengungkapkan lebih banyak daripada yang tertulis.

Aku membunuh orang berpangkal, dan hari mi juga aku harus meninggalkan provinsi Yang Mulia Nobunaga. Pada suatu ketika, aku memberikan nyawa dan nasibku kepada cinta. Tapi, setelah membahasnya secara terhormat sebagai sesama lakilaki. kami memutuskan bahwa kau lebih beruntung dengan Kinoshita. Aku pergi dengan mempercayakanmu ke tangannya. Tolong tunjukkan surat ini kepada Tuan Mataemon, dan harap jangan membebani pikiranmu. Aku tidak tahu apakah kita akan berjumpa lagi.

Air mata berjatuhan. Nene dan Inuchiyo-kah yang menangis? Tidak. Tokichiro menyadari, air mata itu berasal dari matanya sendiri.

*** Narumi telah bersiap-siap menghadapi perang, dan terus mengamari gerak-gerik di Kiyosu. Tapi menjelang akhir tahun belum juga ada tanda-tanda bahwa Nobunaga akan menyerang.

Rasa bimbang dan curiga mengusik ketenangan kedua Yamabuchi, ayah dan anak. Kesulitan mereka dirambah lagi dengan hal lain. Mereka bukan saja membelot dari Nobunaga, tapi juga dipandang dengan sikap bermusuhan oleh bekas sekutu mereka, marga Imagawa di Suruga.

Pada titik inilah desas-desus disebarkan di Narumi. Komandan Benteng Kasadera dikabarkan bersekongkol dengan Nobunaga. dan akan menyerang Narumi dari belakang.

Kasadera merupakan perwakilan marga Imagawa. Entah atas perintah orang-orang Imagawa, atau karena bersekongkol dengan Nobunaga, tidaklah mustahil mereka melancarkan serangan.

Desas-desus itu semakin gencar. Di antara para anggota marga Yamabuchi serta pengikut-pengikut mereka, tanda-tanda panik mulai tampak. Pendapat umum adalah bahwa mereka sebaiknya mengadakan serangan mendadak ke Kasadera. Ayah dan anak. yang telah bersiap-siap bertahan di dalam benteng, akhirnya mengambil inisiatif. Dengan menggerakkan pasukan mereka pada malam hari, mereka berencana menyerbu Benteng Kasadera pada pagi buta.

Akan tetapi desas-desus yang sama juga telah beredar di Kasadera. dan menimbulkan kegelisahan yang sama pula. Garnisun setempat segera berundak dan mempersiapkan diri menghadapi serangan.

Orang-orang Yamabuchi menyerang, dan dalam waktu singkat keberuntungan berpaling menentang pasukan yang bertahan. Pasukan Kasadera, tak sanggup menunggu bala bantuan dari Suruga. Membakar benteng dan binasa dalam pertempuran di tengah kobaran api.

Pasukan Narumi berhasil menduduki benteng yang telah hangus. Kekuatan mereka pun telah berkurang setengah, akibat banyaknya korban yang berguguran. Tapi mereka terus maju dan menyerbu reruntuhan yang berasap, sambil mengacungkan pedang, tombak, dan senapan.

Semuanya melepaskan teriakan kemenangan. Pada saat itu, sejumlah penunggang kuda dan prajurit infanteri tiba dari Narumi. Mereka berhasil meloloskan diri dengan lari terpontang-panting.

"Ada apa ini?" tanya Samanosuke dengan heran. "Pasukan Nobunaga bergerak cepat sekali. Entah

bagaimana, dia mengetahui apa yang terjadi di sini, dan tiba-tiba saja dia membanjiri benteng dengan lebih dari seribu orang. Serangan mereka gencar sekali, dan tak dapat berbuat apa-apa!" Laki-laki yang cedera itu meneruskan laporannya. terengah-engah menarik napas, dan mengakhirinya dengan berkata bahwa bukan saja benteng mereka berhasil direbut, tapi putra Samanosuke pun, Ukon, yang belum sembuh dari luka-lukanya, ditangkap dan dipancung. Samanosuke, yang baru saja mengumandangkan nyanyian kemenangan, membisu. Daerah sekitar Benteng Kasadera, yang baru digempur direbutnya, hanya tersisa puing-puing hangus tak berpenghuni.

"Ini kehendak para dewa!" Sambil berseru, ia mengambil pedang dan membelah perutnya. Sungguh mengherankan bahwa ia menyalahkan para dewa. padahal nasibnya ditemukan oleh ulahnya sendiri.

Dalam satu hari Nobunaga berhasil menundukkan Narumi dan Kasadera. Tokichiro menghilang entah ke mana setelah pekerjaan perbaikan tembok pertahanan selesai, dan tidak terlihat selama beberapa waktu. Namun, begitu mendapat kabar bahwa Narumi dan Kasadera sudah jatuh di tangan Owari, ia pun kembali secara diam-diam.

"Kaukah yang menyebarkan desas-desus di kedua belah pihak, sehingga mengakibatkan perselisihan di antara musuh-musuh kita?" Ketika ditanya. Tokichiro hanya menggelengkan kepala dan tidak berkata apaapa. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar