Bab 04 : Majikan Baru
MATSUSHITA KAHEI berasal dari Provinsi Enshu. Ia putra samurai desa, dan menjadi pengikut marga Imagawa, dengan tempat tinggal di Suruga dan gaji tetap sebesar tiga ribu kan. Ia penguasa benteng pertahanan di Zudayama dan pengurus kepala pos penghubung di Jembatan Magome. Di masa itu Sungai Tenryu dibagi menjadi Tenryu Besar dan Tenryu Kecil.
Kediaman Matsushita berada di tepi Tenryu Besar, beberapa ratus meter sebelah timur Zudayama.
Pada hari itu Kahei sedang dalam perjalanan pulang dari Benteng Hikuma, tempat ia mengikuti rapat dengan sesama pengikut Imagawa. Para pejabat provinsi bertemu secara berkala untuk memperketat pengawasan terhadap rakyat dan berjaga-jaga terhadap serbuan marga-marga tetangga: Tokugawa, Oda, dan Takeda.
Kahei membalikkan badan di atas pelana, dan memanggil salah satu dari ketiga orang yang menyertainya, "Nohachiro!"
Laki-laki yang menyahut memelihara jenggot dan membawa tombak panjang. Taga Nohachiro berlari menyusul kuda majikannya. Mereka sedang menyusuri jalan antara Hikumanawata dan perahu tambang di Magome.
Pohon-pohon tumbuh di kedua sisi jalan, dan di balik pepohonan terlihat pemandangan sawah dan ladang yang menyenangkan.
"Dia bukan petani, dan tampangnya bukan seperti peziarah," Kahei bergumam.
Nohachiro mengikuti garis pandang Kahei. Ia mengamati kuningnya bunga-bunga moster, hijaunya gandum, dan air dangkal di persawahan, tapi ia tidak melihat siapa-siapa.
"Apakah ada sesuatu yang mencurigakan?"
"Ada laki-laki di sebelah sana, di pematang sawah itu. Sepintas mirip burung bangau. Sedang apa dia, menurutmu?"
Nohachiro melihat sekali lagi, dan ternyata memang ada orang yang membungkuk di pematang.
"Selidiki apa yang sedang dilakukannya."
Nohachiro menyusuri jalan setapak sempit. Berdasarkan peraturan yang berlaku di semua provinsi, segala sesuatu yang tampak mencurigakan harus segera diselidiki. Para pejabat provinsi sangat peka terhadap perbatasan mereka serta penampilan orang asing.
Nohachiro kembali dan memberikan laporannya, "Dia mengaku sebagai penjual jarum dari Owari. Dia memakai baju luar berwarna putih yang sudah kusam. Itulah yang mengingatkan Tuan pada burung bangau. Dia anak kecil dengan muka mirip monyet."
"Ha... ha! Bukan bangau atau gagak, tapi monyet, heh?" "Dan banyak omong, lagi. Dia suka mengumbar kata-kata besar. Waktu hamba menanyainya, dia berusaha memutarbalikkan semuanya. Dia bertanya siapa majikan hamba, dan waktu hamba menyebut nama Tuan, dia berdiri tegak dan memandang ke sini dengan cara yang berani sekali."
"Kenapa dia berdiri membungkuk tadi?"
"Dia bercerita bahwa dia akan bermalam di salah satu losmen di Magome, dan bahwa dia sedang mengumpulkan keong untuk dimakan nanti malam."
Kahei menyadari bahwa Hiyoshi telah kembali ke jalan, dan berjalan di depan mereka.
Ia bertanya pada Nohachiro, "Tak ada yang mencurigakan?"
"Hamba tidak melihat sesuatu yang aneh."
Kahei meraih tali kekang. "Kita tak bisa menyalahkan orang dari kalangan rakyat jelata kalau mereka tak punya sopan santun." Kemudian, sambil memberi isyarat berupa anggukan kepala kepada anak buahnya, ia berkata, "Ayo, jalan lagi." Dalam sekejap mereka telah menyusul Hiyoshi.
Pada waktu melewatinya, Kahei menoleh sambil lalu. Hiyoshi sudah lebih dulu menyingkir dari jalan dan berlutut penuh hormat di bawah deretan pohon. Pandangan mereka beradu.
"Tunggu sebentar." Kahei mengekang kudanya, dan sambil berpaling pada anak buahnya, berkata, "Bawa si tukang jarum ke sini." Lalu ia menambahkan dengan nada heran, "Orangnya sungguh aneh... ya, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya."
Nohachiro sudah terbiasa dengan tingkah majikannya, dan segera bergerak.
"Hei! Tukang jarum! Majikanku ingin bicara denganmu. Ayo, ikut aku."
Kahei menatap Hiyoshi dari atas kudanya. Ada apa pada diri pemuda pendek berpenampilan acak-acakan dengan pakaian lusuh ini, yang membuatnya begitu terpesona? Bukan kemiripannya dengan monyet, yang malah hampir tidak disadari oleh Kahei. Untuk kedua kali pandangannya melekat lama pada Hiyoshi, namun ia tak sanggup menuangkan perasaannya ke dalam kata-kata. Sesuatu yang kompleks sekaligus tak berwujud seakan-akan menariknya—kedua mata anak itu! Mata manusia biasanya dianggap sebagai cerminan jiwa. Kahei tak melihat hal lain yang bernilai pada diri makhluk kecil dan berkerut-kerut ini, tapi sorot matanya begitu penuh tawa, sehingga tampak segar dan mengandung... apa? Kemauan gigih, atau barangkali impian yang tak mengenal batas?
Dia punya daya tarik, pikir Kahei, dan ia memutuskan bahwa ia suka pada anak bertampang aneh ini. Kalau saja ia mengamati dengan lebih saksama, ia akan menemukan sepasang telinga semerah jengger ayam jantan tersembunyi di bawah debu yang menempel di kepala Hiyoshi. Kahei juga tidak menyadari bahwa meski Hiyoshi masih muda, kemampuan besar yang akan diperlihatkannya di kemudian hari telah terukir pada garis-garis di keningnya, yang sepintas lalu membuatnya tampak seperti orang tua.
Ketajaman pandangan Kahei tidak sebesar itu. Ia hanya merasakan kasih sayang yang aneh terhadap Hiyoshi, bercampur semacam harapan.
Tak mampu membebaskan diri dari perasaan itu, namun tanpa berkata sepatah pun pada Hiyoshi, ia berpaling pada Nohachiro dan berujar, "Bawa dia." Ia menggenggam tali kekang dengan erat dan memacu kudanya.
Gerbang depan yang menghadap ke sungai terbuka lebar, dan beberapa pengikutnya menunggu. Seekor kuda telah ditambatkan, dan sedang merumput.
Rupanya ada tamu yang datang ketika Kahei sedang pergi.
"Siapa dia?" ia bertanya sambil turun dari kudanya. "Kurir dari Sumpu."
Kahei mengangguk dan melangkah masuk. Sumpu merupakan ibu kota marga Imagawa. Kedatangan kurir bukan hal langka, tapi pikiran Kahei masih tertuju pada pertemuan di Benteng Hikuma, sehingga ia melupakan Hiyoshi.
"Hei, kau, mau ke mana kau?" seorang penjaga menegur Hiyoshi yang hendak melewati gerbang bersama rombongan Kahei. Tangan Hiyoshi dan buntalan terbungkus jerami yang dibawanya berlepotan lumpur. Percikan-percikan lumpur yang mengering di wajahnya terasa gatal. Barangkali si penjaga gerbang mengira Hiyoshi hendak mempermainkannya dengan sengaja menggerak-gerakkan hidung? Si penjaga gerbang mengulurkan tangan untuk menangkap tengkuk Hiyoshi.
Sambil melangkah mundur, Hiyoshi berkata, "Aku penjual jarum."
"Pedagang keliling tak bisa melewati gerbang ini tanpa izin. Pergi sana!"
"Sebaiknya tanya majikanmu dulu." "Kenapa aku harus berbuat begitu?"
"Aku mengikutinya ke sini karena dia yang menyuruhku. Aku datang bersama samurai yang baru saja masuk."
"Tuan Kahei tak mungkin mengajak orang seperti kau ke rumahnya. Hmm, tampangmu cukup mencurigakan."
Pada saat itu Nohachiro teringat pada Hiyoshi dan kembali ke gerbang.
"Biarkan dia masuk," ia memberitahu si penjaga gerbang.
"Baiklah."
"Ayo ikut, Monyet."
Si penjaga gerbang dan beberapa pelayan tertawa. "Siapa dia sebenarnya? Dengan pakaiannya yang putih dan buntalan jeraminya yang berlumpur, dia kelihatan seperti kurir monyet sang Buddha."
Suara-suara riuh itu terngiang-ngiang di telinga Hiyoshi, tapi sepanjang hidupnya yang kini telah memasuki tahun ketujuh belas ia sudah sering mendengar ejekan orang. Apakah ejekan-ejekan itu tidak mengganggunya?
Apakah ia sudah terbiasa? Jika mendengar komentar seperti itu, ia tersipu-sipu, sama seperti orang lain. Namun tindak-tanduknya tidak mencerminkan perasaannya. Ia tetap tenang, seakan-akan penghinaan-penghinaan itu diucapkan ke telinga seekor kuda. Ia malah bisa bersikap sangat luwes pada saat seperti itu. Hatinya bagaikan bunga yang didukung tinggi-tinggi oleh sebatang bambu, menunggu sampai badai berlalu. Kesengsaraan tak mampu membuatnya merasa terganggu ataupun rendah diri.
"Monyet, di sebelah sana ada kandang kosong. Kau tunggu di sana, supaya tampangmu tidak merusak pemandangan," ujar Nohachiro, yang kemudian kembali pada kesibukannya.
Menjelang malam, bau masakan tercium dari jendela dapur. Bulan menampakkan diri di atas pohon-pohon persik. Seusai wawancara resmi dengan kurir dari Sumpu, lebih banyak lampu dinyalakan, dan jamuan makan disiapkan untuk mengiringi keberangkatannya besok. Suara gendang dan seruling mengalun dari rumah utama, tempat pertunjukan Noh sedang berlangsung.
Marga Imagawa dari Suruga merupakan marga terhormat dan termasyhur.
Mereka bukan hanya tertarik pada puisi, tarian, dan musik, tapi juga pada setiap kemewahan dari ibu kota: pedang bertatah untuk para samurai dan kimono bawah bergaya untuk kaum wanita. Cita rasa Kahei sendiri lebih sederhana. Meski demikian, kediamannya yang mewah berbeda jauh dengan rumah para samurai di Kiyosu.
Pertunjukan Noh itu buruk sekali, Hiyoshi berkata dalam hati, ketika merebahkan diri di atas jerami yang disebarkannya di lantai kandang. Ia menyukai musik. Ia tidak memahaminya, namun ia menyukai mimpi indah yang ditimbulkan. Dengan musik ia dapat melupakan segala-galanya. Tapi ia terganggu oleh perutnya yang kosong. Oh, kalau saja aku bisa meminjam panci dan api, ia mengerang dalam hati.
Sambil membawa buntalan jerami yang kotor, ia menyembulkan kepala lewat pintu dapur. "Maaf, bolehkah aku meminjam panci dan tungku? Aku bermaksud menyiapkan makanan untukku."
Para pekerja dapur menatapnya sambil terbengongbengong.
"Dari mana kau tiba-tiba muncul?"
"Aku datang bersama Tuan Kahei tadi. Aku ingin menggodok keong yang kukumpulkan di sawah."
"Keong, heh?"
"Aku diberitahu bahwa keong baik untuk perut, jadi aku makan beberapa setiap hari. Soalnya perutku mudah terganggu."
"Keong dimakan dengan tahu. Kau punya tahu?" "Ya."
"Nasi?"
"Aku punya nasi, terima kasih." "Hmm, di tempat para pelayan ada panci dan tungku menyala. Siapkan makananmu di sana saja."
Seperti yang setiap malam dilakukannya di losmenlosmen murah, Hiyoshi memasak sedikit nasi, menggodok beberapa keong, lalu menyantap makan malamnya. Kemudian ia beranjak tidur. Berhubung tempat para pelayan lebih nyaman daripada di kandang, ia tetap di sana sampai tengah malam, sampai para pelayan selesai dengan tugas-tugas mereka dan hendak beristirahat.
"Bangsat! Siapa yang menyuruhmu tidur di sini?"
Mereka menendangnya, mengangkatnya, dan melemparkannya ke luar. Ia kembali ke kandang, tapi kuda si kurir yang sedang tidur nyenyak seakan-akan berkata padanya, "Di sini pun tak ada tempat untukmu."
Suara gendang telah berhenti, dan bulan yang pucat sedang menyusut.
Hiyoshi, tidak lagi mengantuk, tak bisa diam. Bekerja atau bersenang-senang, bagi Hiyoshi tak banyak bedanya, tapi jika ia tidak suka dengan salah satu, ia cepat sekali bosan.
Barangkali matahari akan terbit pada waktu aku menyapu, ia berkata dalam hati sambil mulai menyapu kandang, mengumpulkan tahi kuda, daun-daun, dan jerami menjadi satu tumpukan di tempat yang tak terlihat oleh si pemilik rumah.
"Siapa di luar?"
Hiyoshi menghentikan sapunya dan menatap berkeliling.
"Ah, si tukang jarum."
Hiyoshi akhirnya menyadari bahwa suara itu berasal dari kamar kecil di pojok rumah induk. Ia melihat wajah Kahei di dalamnya. "Oh, rupanya tuanku."
Kahei terlalu banyak minum sake bersama si kurir yang ternyata peminum yang kuat. Kini, setelah mabuknya berkurang, ia berkata dengan suara lelah, "Sudah hampir subuh?" Ia menghilang dari jendela, membuka kerai-kerai penghalang hujan di serambi, dan menatap bulan yang menyusut.
"Ayam jantan belum berkokok, jadi masih agak lama sampai matahari mulai terbit."
"Tukang jarum—bukan, kami akan memanggilmu Monyet—kenapa kau menyapu pekarangan di tengah malam buta?"
"Hamba tidak punya kesibukan lain." "Tak ada salahnya kalau kaucoba tidur."
"Hamba sudah tidur. Kalau hamba tidur selama waktu tertentu, entah kenapa hamba tak bisa berbaring tenang lagi."
"Apakah ada sandal di luar?"
Hiyoshi cepat-cepat membawa sepasang sandal jerami yang masih baru, dan mengaturnya agar mudah dikenakan oleh Kahei.
"Silakan, tuanku."
"Kau baru tiba hari ini, dan kau mengaku sudah cukup tidur. Dari mana kau tahu keadaan di sini?"
"Maafkan hamba, tuanku." "Untuk apa?"
"Hamba bukan orang yang penuh curiga. Tapi di rumah seperti ini, biarpun hamba sedang tidur, hamba mendengar aneka macam bunyi. Hamba bisa menebak letak segala sesuatu, seberapa besar pekarangan, bagaimana sistem pembuangan airnya, dan di mana tempat api."
"Hmm, begitu rupanya."
"Sebelum ini, hamba sudah melihat tempat penyimpanan sandal. Kebetulan terlintas di benak hamba bahwa seseorang mungkin keluar dan mencari sandal."
"Aku minta maaf. Aku sama sekali melupakanmu."
Hiyoshi tertawa, namun tidak menjawab. Meski masih anak-anak, kelihatannya ia tidak terlalu menaruh hormat pada Kahei. Kahei lalu menanyakan latar belakangnya, dan apakah ia berharap untuk mengabdi pada seseorang. Hiyoshi segera membenarkannya. Ia menyimpan harapan besar untuk masa depan, dan ia telah mengembara dari provinsi ke provinsi sejak berusia lima belas tahun.
"Kau berkelana dari provinsi ke provinsi selama dua tahun karena ingin mengabdi pada seorang samurai?"
"Ya."
"Kalau begitu, kenapa kau masih berjualan jarum?" Kahei bertanya dengan tajam. "Mencari selama dua tahun tanpa mendapatkan majikan—jangan-jangan ada yang tidak beres denganmu?"
"Hamba memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti semua orang. Mula-mula hamba menganggap bahwa setiap majikan dan setiap rumah samurai sama saja, tapi begitu hamba mengenal dunia, hamba mulai merasa lain."
"Lain? Maksudmu?"
"Sambil mengembara dan mengamati golongan pendekar—jendral-jendral yang baik, jendral yang buruk, para penguasa provinsi besar dan kecil—hamba mencapai kesimpulan bahwa tak ada yang lebih penting daripada pandai memilih majikan. Karena itu, hamba memutuskan untuk terus berjualan jarum, dan tanpa hamba sadari, dua tahun sudah berlalu."
Kahei menyadari kecerdikan Hiyoshi, namun sekaligus menemukan sifat pandir dalam dirinya. Dan walaupun kata-kata Hiyoshi mengandung kebenaran, ucapannya sedikit berlebihan dan agak sukar diterima. Tapi ada satu hal yang tak perlu diragukan. Pemuda ini bukan pemuda biasa. Saat itu juga Kahei memutuskan untuk mempekerjakan Hiyoshi sebagai pelayan.
"Maukah kau mengabdi padaku?"
"Terima kasih, tuanku. Hamba akan berusaha," Hiyoshi menjawab tanpa semangat.
Kahei tidak puas dengan tanggapan Hiyoshi yang kurang gembira, tapi tidak terlintas di kepalanya bahwa ia sendiri, sebagai majikan baru pemuda pengembara yang hanya berpakaian baju katun tipis itu, mungkin memiliki kekurangan dalam hal-hal tertentu. Seperti para samurai dari marga-marga lain, para samurai Matsushita pun menjalani latihan keras untuk menyempurnakan keterampilan menunggang kuda yang amat dibutuhkan dalam suatu pertempuran. Menjelang pagi mereka meninggalkan asrama dengan membawa tombak dan pedang latihan, dan pergi ke lapangan luas di depan lumbung padi.
"Hiyaaa!" Tombak beradu dengan tombak, pedang dengan pedang.
Setiap pagi, semua orang, termasuk para samurai rendahan di dapur serta orang-orang yang menjalani tugas jaga, mengerahkan segenap tenaga dan kembali dari lapangan dengan wajah merah karena kelelahan. Sudah diketahui umum bahwa Hiyoshi diterima sebagai pelayan. Para pekerja kandang memperlakukannya sebagai anak bawang dan sering mempermainkannya.
"Hei, Monyet! Setiap pagi mulai sekarang, setelah kami membawa keluar kuda-kuda untuk merumput, kau harus membersihkan kandang. Tanam kotoran kudanya di rumpun bambu itu." Sesudah ia selesai membersihkan kotoran kuda, salah satu samurai yang lebih tua berkata padanya, "Isi kendi-kendi besar itu dengan air." Dan terus begitu. "Belah kayu bakar."
Sementara ia membelah kayu bakar, ia diperintahkan untuk melakukan pekerjaan lain. Singkatnya, ia menjadi pelayan para pelayan.
Mula-mula ia cukup populer. Orang-orang berkomentar, "Tak ada yang bisa membuatnya marah. Itulah kelebihannya. Tak peduli apa yang kaukatakan padanya, dia tak pernah jengkel." Para samurai muda menyukainya, seperti anak kecil menyukai mainan baru, dan kadang-kadang memberikan hadiah padanya. Tapi tak lama kemudian orang-orang mulai mengeluh.
"Dia selalu membantah."
"Dia cari muka di depan Tuan."
"Dia menganggap orang lain bodoh semua."
Karena para samurai muda suka membesar-besarkan kesalahan kecil, ada kalanya keluhan-keluhan mengenai Hiyoshi sampai ke telinga Kahei.
"Kita tunggu saja bagaimana perkembangan selanjutnya," Kahei berkata pada para pengikutnya, lalu melupakan masalah itu.
Para samurai muda semakin mendongkol karena istri dan anak-anak Kahei selalu menanyakan si Monyet. Terheran-heran, Hiyoshi menyadari bahwa memang sukar untuk hidup di antara orang-orang yang tidak mau bekerja dengan tekun, seperti yang selalu dilakukannya.
Hidup di dunia pelayan yang penuh intrik memberikan kesempatan bagi Hiyoshi untuk mempelajari sifat-sifat manusia. Dengan menggunakan marga Matsushita sebagai acuan, ia dapat memahami kekuatan dan kelemahan marga-marga besar di sepanjang jalan pesisir. Dan ia gembira karena telah menjadi pelayan. Kini ia mulai memahami keadaan sesungguhnya dari negerinya, yang sukar ditangkap ketika ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Pelayan biasa, yang bekerja untuk makan dan menyambung hidup, takkan tahu seperti apa dunia sebenarnya. Tapi pikiran Hiyoshi selalu terbuka lebar. Rasanya seperti menatap bidak-bidak pada papan go, lalu menebak-nebak langkah berikut dari para pemain. Kurir-kurir marga Imagawa terus berdatangan dari Suruga, begitu juga para pembawa berita dari provinsi-
provinsi tetangga, Mikawa dan Kai.
Hiyoshi mulai melihat pola tertentu dalam kedatangan dan kepergian mereka, dan menyimpulkan bahwa Imagawa Yoshimoto, penguasa Suruga, sedang berupaya merebut kekuasaan tertinggi. Perwujudan tujuan ini mungkin masih makan waktu lama, tapi ia sudah mulai menjalankan langkahlangkah awal untuk memasuki ibu kota, Kyoto, dengan dalih melindungi sang Shogun, namun sebenarnya untuk memerintah seluruh negeri atas namanya.
Di sebelah timur terdapat marga Hojo dari Odawara yang kuat; marga Takeda dari Kai berada di sisi utara; dan menghalangi jalan menuju ibu kota adalah wilayah marga Tokugawa dari Mikawa. Terkepung seperti itu, sasaran pertama Yoshimoto adalah penaklukan Mikawa. Tokugawa Kiyoyasu, Penguasa Mikawa, tunduk kepada Yoshimoto dan masuk ke dalam jajaran pengikutnya. Putra Kiyoyasu, Hirotada, hanya hidup sedikit lebih lama dari ayahnya, dan penerusnya, Ieyasu, kini menjalani hariharinya sebagai sandera di Sumpu.
Yoshimoto telah mengangkat salah seorang pengikutnya sebagai penguasa Benteng Okazaki, dan memberinya wewenang untuk memerintah Mikawa dan mengumpulkan pajak. Para pengikut Tokugawa dipaksa mengabdi pada marga Imagawa, dan seluruh pendapatan serta perlengkapan militer provinsi itu, terkecuali uang untuk pengeluaran sehari-hari, beralih ke benteng Yoshimoto di Suruga. Hiyoshi menilai masa depan Mikawa sungguh suram.
Dari pengalamannya sebagai penjual keliling, ia tahu bahwa orang-orang Mikawa keras kepala dan tinggi hati. Mereka takkan mau tunduk untuk selamalamanya.
Namun marga yang paling diperhatikannya tentu saja marga Oda dari Owari. Meski ia kini jauh dari Nakamura, Owari merupakan tanah kelahirannya serta tempat tinggal ibunya. Diamati dari kediaman Matsushita, kemiskinan Owari dan wilayahnya yang kecil tampak kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, terkecuali Mikawa. Perbedaannya dengan wilayah Imagawa yang maju dan makmur mencolok sekali. Desa asalnya, Nakamura, dihantui kemelaratan, begitu juga rumahnya sendiri. Apa yang akan terjadi dengan Owari? Hiyoshi berharap suatu hari kelak sesuatu yang berharga bisa tumbuh dari tanahnya yang gersang. Ia memandang hina sikap congkak yang diperlihatkan para pembesar maupun orang-orang bawahan di wilayah Imagawa. Mereka meniru adat kebiasaan yang berlaku di istana, sesuatu yang sejak dulu dianggap berbahaya oleh Hiyoshi.
Kurir-kurir semakin sering berdatangan. Bagi Hiyoshi, ini berarti sedang berlangsung perundingan untuk mengikat Provinsi Suruga, Kai, dan Sagami melalui perjanjian tidak saling menyerang, dengan marga Imagawa sebagai pusat. Tokoh penggerak utamanya tentu saja Imagawa Yoshimoto. Sebelum membawa pasukan besar menuju ibu kota, ia terlebih dulu harus yakin terhadap kesetiaan marga Hojo dan Takeda. Sebagai langkah pertama, Yoshimoto memutuskan untuk mengawinkan anak perempuannya dengan anak sulung Takeda Shingen, dan mengusahakan agar salah seorang anak perempuan Shingen menikah dengan keturunan Hojo. Tindakan ini, bersama pakta-pakta militer dan perdagangan, mengangkat Imagawa sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan di pesisir timur. Kekuatan ini tecermin dalam sikap para pengikut Imagawa. Orang seperti Matsushita Kahei berbeda dengan para pembantu dekat Yoshimoto, tapi ia pun jauh lebih berada daripada samurai-samurai yang dikenal Hiyoshi di Kiyosu, Nagoya, dan Okazaki. Tamunya banyak, dan bahkan para pelayan pun tampak bergembira.
"Monyet!" Nohachiro mencari Hiyoshi di pekarangan.
"Di atas sini."
Nohachiro menoleh ke atap. "Sedang apa kau di sana?"
"Memperbaiki atap."
Nohachiro terkesan. "Kenapa kau menyiksa diri pada hari panas begini?"
"Selama ini cuaca bagus terus, tapi tak lama lagi musim hujan akan tiba. Memanggil tukang atap setelah hujan mulai turun sudah terlambat, jadi aku mencari sirap yang retak dan memperbaiki semuanya." "Itulah yang membuatmu tidak disukai di sini. Di siang hari, semua orang lain sudah mencari tempat
teduh."
"Kalau aku bekerja di dekat orang lain, aku akan mengganggu tidur mereka. Di atas sini, aku tidak mengganggu siapa-siapa."
"Bohong! Kau berada di atas atap untuk mempelajari keadaan."
"Aku tidak heran kalau Tuan berpikiran seperti itu. Kalau seseorang tidak memperhatikan hal-hal kecil, dalam keadaan darurat dia tidak siap untuk mempertahankan diri."
"Jangan bicara sembarangan! Kalau Tuan Kahei mendengar ocehanmu, dia pasti marah sekali. Ayo turun!"
"Baik. Apakah ada tugas lain untukku?" "Malam ini bakal ada tamu."
"Lagi?"
"Apa maksudmu, 'lagi'?" "Siapa yang akan datang?"
"Seorang pendekar yang telah mengembara ke setiap pelosok negeri."
"Berapa orang yang ikut dalam rombongannya?" Hiyoshi turun dari atap. Nohachiro mengeluarkan selembar perkamen. "Kita akan menjamu keponakan Yang mulia Kamiizumi dari Ogo, Hitta Shohaku. Dia disertai dua belas pengikutnya. Selain itu masih ada penunggang kuda lain dan tiga kuda beban dengan penuntun masing-masing."
"Rombongannya cukup besar."
"Orang-orang itu telah mencurahkan hidup mereka untuk mendalami ilmu bela diri. Pasti banyak barang bawaan dan kuda, jadi kosongkan tempat para pekerja gudang, supaya kita bisa menempatkan mereka di sana untuk sementara waktu. Tempat itu harus bersih menjelang malam, sebelum mereka ke sana."
"Baik, Tuan. Berapa lama mereka akan tinggal?" "Kira-kira enam bulan," ujar Nohachiro. Kelihatan
lelah, ia menyeka keringat yang menempel di wajahnya.
Menjelang malam, Shohaku dan rombongannya berhenti di depan gerbang dan menepiskan debu yang melekat pada pakaian masing-masing. Pengikutpengikut senior dan junior keluar dan mengadakan upacara penyambutan secara panjang-lebar. Pihak tuan rumah menyampaikan ucapan selamat datang yang berbunga-bunga. Balasan dari Shohaku pun, seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, tak kalah indahnya. Seusai upacara penyambutan, beberapa pelayan mengambil alih kuda-kuda beban serta barangbarang bawaan, dan para tamu, dipimpin oleh Shohaku, memasuki pekarangan.
Hiyoshi menyaksikan seluruh pertunjukan tadi. Penyambutan resmi itu membuatnya sadar betapa martabat golongan prajurit telah meningkat, seiring dengan semakin gentingnya masalah-masalah militer. Belakangan ini, istilah "ilmu bela diri" melekat di bibir semua orang, berikut ungkapan-ungkapan baru seperti "jurus pedang" dan "jurus tombak". Pendekar-pendekar seperti Kamiizumi dari Ogo dan Tsukahara dari Hitachi telah dikenal luas. Pengembaraan beberapa orang dari golongan ini jauh lebih keras dibandingkan perjalanan ziarah para pendeta Buddha. Tapi orang seperti Tsukahara selalu disertai oleh enam puluh sampai tujuh puluh pengikut. Para pengikut membawa burung elang, dan perjalanan mereka ditempuh dalam kemewahan.
Jumlah anggota rombongan Shohaku tidak mengejutkan Hiyoshi. Tapi karena mereka akan tinggal selama enam bulan, ia memiliki alasan kuat untuk menduga bahwa ia akan disuruh-suruh sampai kepalanya pening.
Baru empat atau lima hari, ia sudah diperlakukan sama seperti pelayan-pelayan mereka.
"Hei, Monyet! Pakaian dalamku kotor. Cepat cuci!" "Monyet! Belikan obat salep untukku."
Malam-malam musim kemarau lebih pendek, dan tugas-tugas tambahan itu mengurangi waktu tidurnya, sehingga pada suatu siang Hiyoshi tertidur lelap di bawah bayang-bayang sebatang pohon. Hanya iringiringan semut yang tampak bergerak di tanah yang terbakar.
Dua samurai muda, yang tidak menyukainya, berjalan melewati Hiyoshi sambil membawa tombak latihan.
"Wah, lihat itu. Si Monyet." "Tidurnya nyenyak sekali, ya?"
"Dasar pemalas tak berguna. Bagaimana dia bisa menjadi anak kesayangan Tuan dan Nyonya? Mereka takkan senang kalau melihatnya dalam keadaan sekarang."
"Bangunkan saja. Dia harus diberi pelajaran." "Apa rencanamu?"
"Bukankah cuma si Monyet yang belum pernah mengikuti latihan bela diri?"
"Mungkin dia sadar bahwa dia tidak disukai. Dia takut kena pukul."
"Itu tidak benar. Setiap pelayan di rumah samurai wajib berlatih ilmu bela diri dengan tekun. Itulah yang dikatakan dalam peraturan rumah tangga."
"Jangan katakan padaku. Katakan pada si Monyet." "Sebaiknya kita bangunkan dia dan kita bawa ke
lapangan latihan."
"Ya, idemu menarik sekali."
Salah seorang dari mereka mendorong bahu Hiyoshi dengan ujung tombak.
"Hei, bangun!"
Kedua mata Hiyoshi tetap terpejam. "Bangun!" Orang itu mengangkat kaki Hiyoshi dengan tombaknya.
Hiyoshi merosot dan langsung terjaga. "Ada apa?"
"Ada apa dengan kau, mendengkur di pekarangan di siang hari bolong?"
"Aku, tidur?"
"Kau tidur, bukan?"
"Mungkin aku terlelap tanpa sengaja. Tapi sekarang aku sudah bangun."
"Kurang ajar! Kudengar kau belum pernah muncul di tempat latihan bela diri."
"Itu karena aku tidak berbakat."
"Kalau kau tidak pernah ikut latihan, bagaimana kau bisa tahu? Walaupun kau pelayan, peraturan rumah tangga mengharuskanmu berlatih ilmu bela diri. Mulai hari ini, kami akan memastikan kau ikut."
"Tidak, terima kasih."
"Kau menolak menaati peraturan rumah tangga?" "Tidak, tapi..."
"Ayo jalan!" Tanpa memberinya kesempatan membantah lebih lanjut, mereka menyeret Hiyoshi ke lapangan di depan gudang. Mereka akan memberinya pelajaran karena melanggar peraturan rumah tangga.
Di bawah terik matahari, pata pendekar yang sedang berkunjung serta para pengikut Matsushita berlatih dengan tekun.
Para samurai muda yang mengiringi Hiyoshi memaksanya maju dengan memukul-mukul punggungnya.
"Ambil tombak atau pedang kayu dan mulai latihan!"
Hiyoshi terhuyung-huyung, nyaris tak sanggup berdiri, tapi ia tidak meraih senjata.
"Tunggu apa lagi?" Salah seorang memukul dada Hiyoshi dengan gagang tombaknya. "Kau harus ikut latihan, jadi ambil senjata!"
Sekali lagi Hiyoshi terhuyung-huyung, namun ia tetap tidak mau ber-tarung. Ia hanya menggigit-gigit bibir.
Dua anak buah Shohaku—Jingo Gorokuro dan Sakaki Ichinojo—sedang berlatih dengan tombak sungguhan untuk memberi contoh pada orang-orang Matsushita. Gorokuro, yang mengenakan ikat kepala, menombak kantong-kantong beras seberat dua ratus pon dan melemparkannya ke udara sambil memperlihatkan kekuatan yang luar biasa.
"Dengan keterampilan seperti itu, pasti mudah untuk membantai musuh di medan tempur. Tenaganya mengagumkan!" salah seorang penonton berkomentar.
Gorokuro meralat ucapan itu. "Kalian salah besar kalau menganggap ini sebagai pameran kekuatan. Kalau kalian menerapkan jurus ini dengan menggunakan tenaga, gagang tombak akan patah dan lengan kalian cepat lelah." Ia meletakkan tombaknya, lalu menjelaskan, "Prinsip-prinsip pedang dan tombak sama saja. Rahasia semua ilmu bela diri terletak pada ch'i, tenaga dalam dari tan t'ien, daerah yang berada dua inci di bawah pusar. Inilah tenaga tanpa tenaga. Seseorang harus memiliki kekuatan batin untuk mengatasi kebutuhan akan tenaga dan mengatur aliran ch'i." Kuliahnya diberikan dengan penuh semangat dan panjang-lebar.
Merasa sangat terkesan, para peserta latihan mendengarkan dengan penuh perhatian, sampai mereka terganggu oleh kebisingan di belakang mereka. "Monyet kurang ajar!" Si samurai muda mengayunkan gagang tombak dan memukul pinggang
Hiyoshi.
"Aduh!" teriak Hiyoshi dengan suara sedih. Pukulan itu cukup menyakitkan. Ia meringis dan membungkuk sambil menggosok-gosok pinggang.
Orang-orang segera mengerumuni Hiyoshi.
"Dasar pemalas tak berguna!" seru samurai muda yang memukul Hiyoshi.
"Dia mengaku tak berbakat dan tidak mau ikut latihan."
Hiyoshi mendengar suara-suara menggerutu dari kiri-kanan. Ia dituduh tak tahu terima kasih dan besar mulut.
"Hmm, hmm," Shohaku bergumam, sambil maju untuk menenangkan orang-orang. "Melihat penampilannya, dia masih bayi yang belum mengerti sopan santun. Melanggar peraturan pada waktu mengabdi di rumah samurai dan tidak memiliki keinginan untuk berlatih ilmu bela diri merupakan kesalahan anak ini. Aku yang akan menanyainya. Yang lain harap tenang.
"Anak muda," ia berkata pada Hiyoshi.
"Ya." Sambil menjawab, Hiyoshi menatap mata Shohaku. Namun nada suaranya telah berubah, sebab sorot mata samurai itu mengungkapkan bahwa ia orang yang bisa diajak bicara secara terbuka.
"Kelihatannya kau tidak menyukai ilmu bela diri, padahal kau mengabdi di rumah samurai. Betulkah itu?"
"Tidak." Hiyoshi menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, kenapa kau menolak ajakan orangorang yang baik hati ini untuk melatihmu ilmu bela diri?"
"Ya, ehm, aku punya alasan. Kalau aku mendalami jalan pedang atau tombak hingga menjadi ahli, seluruh hidupku mungkin akan habis untuk itu."
"Ya, memang diperlukan semangat seperti itu."
"Aku bukannya tidak menyukai pedang maupun tombak, tapi mengingat aku hanya hidup satu kali, rasanya sudah cukup kalau aku memahami semangatnya saja. Masalahnya, masih banyak hal lain yang ingin kuperdalam dan kulakukan."
"Apa yang hendak kauperdalam?" "Belajar."
"Mengenai apa kau hendak belajar?" "Mengenai seluruh dunia."
"Apa saja yang ingin kaulakukan?"
Hiyoshi tersenyum. "Aku takkan mengatakannya." "Kenapa tidak?"
"Aku ingin melakukan berbagai hal, tapi sebelum aku bertindak, maka membicarakannya akan berkesan menyombongkan diri. Dan kalau kuceritakan sekarang, kalian semua pasti akan tertawa."
Shohaku menatap tajam ke arah Hiyoshi. Dalam hati ia mengakui bahwa anak itu memang lain dari yang lain. "Rasanya aku mengerti sebagian ucapanmu, tapi kau keliru kalau menganggap ilmu bela diri sekadar sebagai rangkaian jurus."
"Kalau begitu, apa sebenarnya ilmu bela diri?" "Menurut satu aliran pemikiran, jika seseorang
menguasai satu keterampilan, berarti dia telah menguasai seluruh ilmu. Ilmu bela diri bukan jurusjurus belaka—ilmu bela diri menyangkut kematangan jiwa. Jika seseorang mengolah jiwanya dengan sungguh-sungguh, orang itu mampu menguasai segala sesuatu, termasuk seni belajar dan pemerintahan. Dia memandang dunia apa adanya, dan sanggup menilai orang."
"Tapi aku yakin orang-orang di sini menganggap menghajar dan menusuk lawan sebagai bagian yang paling penting. Keterampilan itu memang berguna untuk prajurit biasa, tapi apakah perlu bagi seorang jendral yang..."
"Jaga mulutmu!" salah seorang samurai membentak, lalu meninju pipi Hiyoshi.
"Aduh!" Hiyoshi memegang mulutnya dengan kedua tangan, seakan-akan rahangnya patah. "Komentar-komentarnya yang menghina tak bisa didiamkan. Ini mulai jadi kebiasaan. Tuan Shohaku, harap mundur. Biar kami yang menyelesaikannya."
Bukan orang itu saja yang merasa kesal. Hampir semua orang yang mendengar ucapan Hiyoshi merasa perlu mengatakan sesuatu.
"Dia menghina kita!"
"Itu sama saja dengan menginjak-injak peraturan rumah tangga."
"Perbuatan keledai ini tak bisa dimaafkan!"
"Habisi saja! Tuan Kahei takkan menyalahkan kita." Terbawa kemarahan, mereka mungkin saja mewujudkan ancaman itu, menyeretnya ke semaksemak, lalu memenggal kepalanya. Sukar bagi Shohaku untuk menghentikan mereka. Ia harus mengerahkan segenap kekuatannya untuk menenang-
kan mereka dan menyelamatkan nyawa Hiyoshi.
Malam itu Nohachiro datang ke tempat para pelayan dan memanggil-manggil Hiyoshi dengan suara tertahan. Anak itu sedang duduk di salah satu pojok sambil pasang tampang seolah-olah menderita sakit gigi.
"Ya. Ada apa?" Wajahnya tampak membengkak. "Masih sakit?"
"Tidak, sudah lumayan," ia berbohong. Ia menempelkan selembar lap basah ke mukanya.
"Tuan memanggilmu. Pergi lewat pekarangan belakang, supaya tak ada yang melihatmu."
"Hah? Tuan Kahei? Hmm, rupanya dia sudah mendengar apa yang terjadi tadi."
"Tentu saja kata-katamu yang tidak pada tempatnya sudah sampai ke telinganya. Dan tadi Tuan Hitta mengunjunginya, jadi bisa dipastikan dia sudah mengetahui peristiwa tadi siang. Ada kemungkinan dia sendiri yang melaksanakan eksekusinya."
"Kaupikir begitu?"
"Sudah menjadi peraturan marga Matsushita bahwa para pelayan tidak boleh lalai berlatih ilmu bela diri, baik siang maupun malam. Kalau Tuan sampai terpaksa mengambil tindakan khusus untuk menegakkan wibawa peraturan rumah tangga, kepalamu boleh dianggap sudah terpenggal."
"Hmm, kalau begitu aku melarikan diri saja dari sini. Aku tidak mau mati karena urusan seperti ini."
"Jangan ngawur!" ia menangkap pergelangan tangan Hiyoshi. "Kalau kau lari, aku terpaksa melakukan seppuku. Aku diperintahkan untuk membawamu ke sana."
"Melarikan diri pun aku tidak boleh?" tanya Hiyoshi.
"Mulutmu memang keterlaluan. Mestinya kau berpikir dulu sebelum membukanya. Waktu mendengar apa yang kaukatakan hari ini, aku pun terpaksa mengakui bahwa kau tidak lebih dari seekor monyet sombong."
Nohachiro memaksa Hiyoshi berjalan di depannya, dan ia menggenggam gagang pedangnya dengan erat. Kawanan agas beterbangan. Cahaya dari dalam menerangi serambi ruang baca yang baru saja disiram air.
"Hamba membawa si Monyet." Nohachiro berlutut sambil berbicara.
Kahei muncul di serambi. "Mana dia?"
Mendengar suara itu di atas kepalanya, Hiyoshi membungkuk begitu rendah, sehingga keningnya menyentuh parit di pekarangan.
"Monyet."
"Ya, tuanku."
"Sepertinya orang-orang di Owari berhasil membuat baju tempur jenis baru. Mereka menyebutnya domaru. Pergilah ke sana dan beli satu set. Owari daerah asalmu, jadi kurasa kau takkan mengalami kesulitan dalam perjalanan."
"Tuanku?"
"Berangkatlah malam ini juga." "Ke mana?"
"Ke tempat kau bisa membeli baju tempur domaru." Kahei mengambil sejumlah uang dari sebuah kotak, membungkusnya, dan melemparkannya ke hadapan Hiyoshi. Secara bergantian Hiyoshi menatap Kahei dan uang itu. Matanya berkaca-kaca, dan air matanya mulai membasahi pipi, lalu menetes ke punggung tangannya.
"Lebih baik kau segera berangkat, tapi kau tidak perlu terburu-buru membawa baju tempur itu ke sini. Biarpun makan waktu bertahun-tahun, carikan yang terbaik untukku." Kemudian Kahei berpesan pada Nohachiro,
"Biarkan dia keluar lewat gerbang belakang, sebelum malam berakhir."
Betapa nasib tak dapat diramalkan! Hiyoshi merinding. Mula-mula ia menduga ajalnya telah tiba karena ia melanggar peraturan rumah tangga, dan sekarang... Ia merinding karena reaksinya terhadap kebaikan Kahei—karena rasa terima kasih—dan ia merasakannya sampai ke tulang sumsum.
"Beribu-ribu terima kasih." Kahei memang tidak membeberkan maksud sebenarnya, tapi Hiyoshi sudah mengerti.
Ketanggapannya mengejutkan orang-orang di sekelilingnya, pikir Kahei.
Tidak mengherankan kalau sifatnya ini menimbulkan iri dan dengki. Ia tersenyum getir, lalu bertanya, "Kenapa kau berterima kasih?"
"Karena tuanku membiarkan hamba pergi." "Itu betul. Tapi, Monyet..."
"Ya, tuanku?"
"Kalau kau tidak pandai-pandai menyembunyikan kecerdasanmu, kau takkan berhasil."
"Hamba tahu itu."
"Kalau kau tahu, kenapa ucapanmu begitu menantang tadi, sehingga semua orang marah?"
"Hamba kurang pengalaman.... Hamba memukul kepala sendiri segera setelah kata-kata itu meluncur dari bibir hamba."
"Aku takkan mengatakan apa-apa lagi. Karena kecerdasanmu berharga, aku akan menolongmu. Sekarang sudah waktunya memberitahumu bahwa mereka yang iri dan dengki padamu sering menuduhmu pencuri. Kalau ada peniti hilang, atau jika sebuah kotak obat tidak berada di tempatnya, mereka segera menudingmu dan berkata, 'Si Monyet yang mengambilnya.' Omongan mereka yang penuh dengki tak pernah ada habisnya. Kau mudah memancing kebencian orang lain. Sebaiknya kaupahami itu."
"Ya, tuanku."
"Tak ada alasan bagiku untuk menolongmu hari ini. Para pengikutku mempunyai alasan kuat. Berhubung kejadian ini dilaporkan secara pribadi oleh Tuan Shohaku, aku bisa bersikap seakan-akan belum tahu apa-apa, lalu menyuruhmu melaksanakan sebuah misi. Kau mengerti?"
"Hamba mengerti sepenuhnya. Kebaikan tuanku terukir di hati hamba untuk selama-lamanya."
Hidung Hiyoshi tersumbat. Berkali-kali ia membungkuk di hadapan Kahei.
Malam itu ia meninggalkan rumah Mitsushita.
Menoleh ke belakang, ia bersumpah, "Aku takkan lupa. Aku takkan lupa."
Terkesan oleh kebaikan hati orang itu, Hiyoshi bertanya-tanya bagaimana ia dapat membalas budinya. Hanya orang yang dikelilingi kebiadaban dan ejekanlah yang dapat merasakan kebaikan orang lain sebegitu mendalam.
Suatu hari... suatu hari nanti... Setiap kali ia terkesan atau kewalahan menghadapi sesuatu, katakata itu diulang-ulangnya seperti doa seorang peziarah. Sekali lagi ia mengembara seperti anjing tak bertuan, tanpa tujuan dan tanpa pekerjaan. Sungai Tenryu sedang banjir, dan kalau ia berada jauh dari tempat pemukiman, ia merasa ingin menangis karena kesepian, dan karena tak tahu bagaimana nasib yang menantinya. Baik alam semesta, bintang-bintang, maupun air sungai tak dapat memberi petunjuk
padanya.