Taiko Bab 03 : Gunung Kembang Emas

Bab 03 : Gunung Kembang Emas

BIARPUN telah kembali ke Hachisuka, Koroku takkan membiarkan Tenzo lolos tanpa hukuman. Ia mengutus pembunuh-pembunuh bayaran untuk memburu Tenzo, dan mengirim surat kepada marga-marga di provinsiprovinsi yang jauh untuk menanyakan keberadaan keponakannya itu. Musim gugur tiba, tapi segala usahanya belum juga mendatangkan hasil. Kabar burung mengatakan bahwa Tenzo memperoleh perlindungan dari marga Takeda di Kai. Ia menghadiahkan senapan curiannya pada mereka, dan mulai bertugas sebagai anggota pasukan mata-mata dan penghasut yang bekerja untuk ptovinsi itu.

"Kalau dia sampai ke Kai...," Koroku bergumam dengan getir, tapi untuk sementara ia tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu.

Tak lama kemudian, ia didatangi oleh utusan pengikut marga Oda yang pernah mengundangnya menghadiri upacara minum teh. Orang itu membawa kendi akae.

"Kami tahu benda ini menyebabkan kesulitan yang tidak kecil bagi marga Hachisuka. Meski kami membeli kendi tersohor ini secara sah, kami merasa tak bisa menyimpannya lebih lama lagi. Kami yakin nama baik marga Hachisuka bisa dipulihkan dengan mengembalikan kendi ini kepada pemiliknya semula." Koroku menerima kendi itu, dan berjanji untuk mengadakan kunjungan balasan. Akhirnya bukan ia sendiri yang pergi, melainkan seorang utusan yang membawa berbagai hadiah: sebuah pelana indah serta emas senilai dua kali harga kendi. Pada hari yang sama, ia memanggil Matsubara Takumi dan memberitahunya untuk bersiap-siap mengadakan perjalanan singkat.

Kemudian ia keluar ke serambi. "Monyet!" ia berseru.

Hiyoshi muncul dari antara pepohonan dan berlutut di hadapan Koroku. Mula-mula ia memang pergi ke Futatsudera, tapi kemudian ia segera kembali ke Hachisuka dan memulai kehidupan barunya. Ia cerdas dan mau melakukan apa saja. Orang-orang masih sering mengejeknya, namun ia menahan diri dan tak pernah membalas. Ia banyak bicara, tapi tak pernah bersikap tidak jujur. Koroku mempekerjakannya di kebun dan cukup puas dengannya. Meski Hiyoshi berkedudukan sebagai pelayan, ia tidak sekadar menyapu pekarangan. Pekerjaannya menyebabkan ia selalu di dekat Koroku, sehingga siang-malam ia berada di bawah pengawasan majikannya. Setelah matahari tenggelam, ia bertugas sebagai penjaga. Tentu saja tugas semacam ini hanya diberikan pada orang-orang kepercayaan.

"Kau ikut Takumi untuk menunjukkan jalan ke toko tembikar di Shinkawa."

"Ke Shinkawa?" "Kenapa kau pasang tampang murung?" "Tapi..."

"Aku bisa melihat kau enggan pergi, tapi Takumi harus mengembalikan kendi itu pada pemiliknya yang sah. Kupikir tak ada salahnya kalau kau juga ikut."

Hiyoshi tak berdaya dan menempelkan keningnya ke lantai.

Karena ia ikut sebagai pengiring, Hiyoshi menunggu di luar ketika mereka tiba di rumah Sutejiro. Bekas rekan-rekan kerjanya tidak mengerti apa yang terjadi, dan mereka mendatanginya serta menatapnya dengan heran. Hiyoshi sendiri tampaknya sudah lupa bahwa beberapa dari mereka sering menertawakan dan memukulnya sebelum ia dipulangkan. Sambil tersenyum pada mereka semua, ia jongkok di bawah matahari, menunggu Takumi yang segera keluar dari rumah itu.

Kembalinya kendi yang hilang dicuri betul-betul di luar dugaan Sutejiro dan istrinya. Mereka begitu gembira, sehingga hampir tak percaya bahwa mereka tidak bermimpi. Terburu-buru mereka mengatur letak sandal tamu mereka, agar ia bisa mengenakannya dengan mudah, lalu mendahuluinya ke gerbang, dan di sana mereka membungkuk berulang-ulang. Ofuku juga ikut, dan ia terkejut ketika melihat Hiyoshi.

"Kami akan berusaha menyempatkan diri untuk berkunjung ke Hachisuka, agar kami dapat mengucapkan terima kasih secara langsung," kata Sutejiro.

"Tolong sampaikan salam kami kepada Yang Mulia. Sekali lagi terima kasih karena Tuan telah bersusah payah datang ke sini." Suami, istri, Ofuku, dan semua pegawai membungkuk rendah-rendah.

Hiyoshi mengkuti Takumi keluar dan melambaikan tangan sambil pergi. Ketika mereka melewati perbukitan Komyo, ia berpikir dengan sedih, "Bagaimana kabar bibiku di Yabuyama? Dan pamanku yang malang? Mungkin dia malah sudah tiada."

Mereka berada di dekat Nakamura, dan tentu saja Hiyoshi juga teringat ibu dan kakaknya. Tak ada yang lebih diinginkannya selain berlari ke sana untuk menemui mereka, tapi sumpah yang ia ucapkan pada malam dingin itu menahannya. Ia masih belum melakukan apa-apa untuk membahagiakan ibunya. Ketika ia dengan berat hati berpaling dari Nakamura, ia melihat seorang laki-laki berseragam prajurit infanteri.

"Hei, bukankah kau anak Yaemon?" "Dan Tuan siapa, kalau aku boleh tanya?" "Kau Hiyoshi, bukan?"

"Ya."

"Astaga, kau sudah besar sekali. Namaku Otowaka. Aku teman mendiang ayahmu. Kami bertugas di kesatuan yang sama, di bawah Oda Nobuhide."

"Sekarang aku ingat! Betulkah aku sudah bertambah besar?"

"Ah, kalau saja mendiang ayahmu bisa melihatmu sekarang."

Mata Hiyoshi mulai berkaca-kaca. "Apakah Tuan sempat bertemu ibuku belakangan ini?" ia bertanya. "Aku tak pernah berkunjung ke rumahnya, tapi kadang-kadang aku pergi ke Nakamura dan mendengar berita. Kelihatannya dia masih bekerja keras seperti biasa."

"Dia tidak sakit, bukan?"

"Kenapa kau tidak lihat sendiri saja?"

"Aku tak bisa pulang sebelum menjadi orang besar." "Pergi saja dan tunjukkan batang hidungmu. Bagai-

manapun, dia ibumu."

Hiyoshi hampir menangis. Ia memalingkan wajah. Ketika perasaannya telah kembali tenang, Otowaka sudah pergi ke arah berlawanan. Takumi pun telah meneruskan perjalanan dan meninggalkannya cukup jauh.

***

Panasnya musim kemarau telah berlalu. Pagi dan malam hari terasa seperti di musim gugur, daun-daun talas telah lebat dan mekar.

"Hmm, sudah lima tahun parit ini tak pernah dikeruk," Hiyoshi bergumam.

"Kita terus-menerus berlatih menunggang kuda dan mendalami ilmu tombak, tapi kita membiarkan lumpur menumpuk di depan kaki kita! Itu tidak baik." Ia baru kembali dari rumah tukang potong bambu, dan sedang mengamati keadaan parit tua itu. "Sebenarnya, apa gunanya sebuah parit? Aku harus memberitahukan ini pada Tuan Koroku." Hiyoshi memeriksa kedalaman air dengan tongkat bambu. Permukaan parit dipenuhi tanaman air, jadi tak ada yang memperhatikannya; tapi karena daun gugur dan lumpur telah menumpuk selama bertahuntahun, parit itu jadi tidak begitu dalam lagi. Setelah memeriksa kedalamannya di dua atau tiga tempat, ia membuang tongkatnya. Ia baru saja hendak menyeberangi jembatan yang menuju gerbang samping, ketika seseorang memanggil, "Tuan Setengah Takar." Julukan itu tidak mengacu pada ukuran tubuhnya, melainkan merupakan panggilan yang lazim untuk pelayan sebuah marga pedesaan.

"Siapa kau?" Hiyoshi bertanya pada seorang laki-laki yang tampak kelaparan dan sedang duduk di bawah pohon ek sambil merangkul lutut.

Laki-laki itu mengenakan kimono berwarna kelabu kusam dengan seruling bambu di sabuknya.

"Kemari sebentar." Orang itu memanggil Hiyoshi dengan lambaian tangan. la seorang komuso, seorang biarawan pemain seruling yang kadang-kadang datang ke desa. Seperti komuso lainnya, orang itu pun kotor dan tidak bercukur, dan membawa seruling bambu di dalam tikar alang-alang yang disandangnya di bahu. Beberapa dari mereka mengembara dari desa ke desa, seperti biarawan Zen, sambil menarik perhatian orang dengan membunyikan lonceng kecil.

"Derma untuk seorang biarawan? Atau kau terlalu sibuk memikirkan perutmu yang keroncongan?"

"Tidak." Hiyoshi hendak mengolok-oloknya, tapi karena menyadari bahwa kehidupan acap kali sangat keras terhadap para pengembara, ia malah menawarkan untuk membawakan makanan jika orang itu lapar dan obat-obatan jika ia sakit.

Sambil geleng-geleng, orang itu menatap Hiyoshi dan tertawa, "Hmm, kau tidak mau duduk?"

"Aku lebih suka berdiri, terima kasih. Ada perlu apa?"

"Kau bekerja di sini?"

"Tidak juga." Hiyoshi menggelengkan kepala. "Aku diberi makan, tapi aku bukan anggota rumah tangga."

"Hmm... Kau bekerja di belakang, atau di rumah induk?"

"Aku menyapu pekarangan."

"Penjaga pekarangan dalam, heh? Kau pasti termasuk orang kesayangan Tuan Koroku?"

"Soal itu aku tidak tahu."

"Apakah dia ada di rumah sekarang?" "Dia sedang pergi."

"Sayang sekali," si biarawan bergumam. Ia tampak kecewa. "Apakah dia akan kembali hari ini?"

Hiyoshi merasa ada yang mencurigakan pada diri orang itu, dan terdiam sejenak. Ia merasa perlu berhati-hati memilih jawaban.

"Apakah dia akan kembali?" orang itu bertanya lagi.

Hiyoshi berkata, "Aku yakin kau samurai. Kalau kau memang biarawan, kau pasti masih cantrik."

Terkejut, laki-laki itu menatap tajam ke arah Hiyoshi. Ahirnya ia bertanya, "Kenapa kau beranggapan bahwa aku samurai atau cantrik?"

Hiyoshi menjawab santai, "Mudah sekali. Walaupun kulitmu terbakar matahari, bagian bawah jemarimu putih dan telingamu cukup bersih. Dan sebagai bukti bahwa kau samurai, kau duduk bersilang kaki di tikar, seperti prajurit, seakan-akan masih memakai baju tempur. Pengemis atau biarawan pasti akan membungkuk dan condong ke depan. Sederhana, bukan?"

"Hmm, kau benar." Laki-laki itu bangkit dari tikar tanpa sedetik pun melepaskan tatapannya dari Hiyoshi. "Matamu tajam sekali. Aku telah melewati banyak pos perbatasan dan pos pemeriksaan di wilayah musuh, tapi tak seorang pun berhasil membongkar penyamaranku."

"Di dunia ini, orang dungu dan orang bijak sama banyaknya, bukan begitu? Tapi apa keperluanmu dengan majikanku?"

Orang itu merendahkan suaranya. "Sebenarnya aku datang dari Mino."

"Mino?"

"Kalau kau menyebut nama Namba Naiki, pengikut Saito Dosan, Tuan Koroku pasti mengerti. Sebetulnya aku ingin menemuinya, lalu segera pergi tanpa diketahui orang, tapi kalau dia tidak ada, tak ada yang bisa dilakukan. Lebih baik aku di desa saja selama hari masih terang, dan kembali nanti malam. Kalau dia pulang, sampaikan yang kukatakan tadi secara pribadi padanya."

Naiki mulai melangkah menjauh. Tapi Hiyoshi memanggilnya dan berkata, "Aku bohong."

"Hah?"

"Bahwa dia pergi. Aku bilang begitu karena tidak tahu siapa kau sebenarnya. Dia di tempat menunggang kuda."

"Ah, jadi dia ada di sini."

"Ya. Aku akan mengantarmu ke sana." "Kau cukup cerdas."

"Di sebuah rumah tangga militer, sudah sepatutnya semua orang bersikap waspada. Bolehkah aku berasumsi bahwa orang-orang di Mino terkesan oleh hal-hal semacam ini?"

"Tidak, tidak perlu," balas Naiki sambil mendongkol.

Menyusuri parit, mereka melewati kebun sayurmayur, lalu mengikuti jalan setapak yang melintas di balik hutan, sampai ke lapangan tempat menunggang kuda.

Tanahnya kering dan debu beterbangan sampai ke langit. Orang-orang Hachisuka berlatih dengan tekun. Mereka tidak sekadar berlatih menunggang.

Dalam salah satu manuver, mereka saling mendekat dan bertukar pukulan, seakan-akan sungguh-sungguh bertempur melawan musuh.

"Tunggu di sini," Hiyoshi berkata pada Naiki.

Usai menyaksikan acara latihan, Koroku mengusap keringat dari dahinya dan pergi ke pondok istirahat untuk mengambil minuman. "Air panas, tuanku?" Hiyoshi menuangkan air panas, lalu mengaduk-aduknya sebentar untuk mendinginkannya. Ia meraih cangkir, dan sambil berlutut meletakkannya di hadapan kursi Koroku. Hiyoshi bergeser mendekat dan berbisik, "Kurir dari Mino datang secara rahasia. Apakah aku harus membawanya ke sini? Ataukah tuanku yang akan mendatanginya?"

"Dari Mino?" Koroku langsung berdiri. "Monyet, bawa aku ke sana. Di mana kautinggalkan dia?"

"Di balik hutan."

Tak ada perjanjian resmi antara marga Saito dari Mino dan marga Hachisuka, tapi telah bertahun-tahun mereka menjalin persekutuan rahasia untuk saling membantu dalam keadaan darurat. Sebagai imbalannya, marga Hachisuka menerima upah lumayan besar dari Mino.

Koroku dikelilingi tetangga-tetangga yang kuat— marga Oda di Owari, marga Tokugawa di Mikawa, serta marga Imagawa di Suruga—tapi ia tak pernah bersumpah setia pada mereka. Ia dapat mempertahankan ketidaktergantungannya berkat dukungan penguasa Benteng Inabayama, Saito Dosan.

Namun berhubung wilayah masing-masing terpisah cukup jauh, alasan di balik persekutuan marga Hachisuka dan marga Saito tidak jelas.

Satu kisah mengatakan bahwa Masatoshi, pendahulu Koroku, pernah menyelamatkan seseorang yang hampir mati di depan kediaman Hachisuka. Orang itu rupanya seorang pendekar yang berkelana untuk menyempurnakan ilmu bela dirinya. Karena merasa iba, Masatoshi mengizinkannya menginap dan memberinya pengobatan terbaik. Setelah orang itu sembuh, Masatoshi memberinya sedikit uang untuk bekal di perjalanan.

"Aku takkan pernah melupakan kebaikan Tuan," si pendekar bersumpah.

Dan pada hari keberangkatannya, ia berjanji, "Kalau aku sudah berhasil, aku akan mengirim kabar dan membalas budi Tuan." Nama yang ditinggalkannya adalah Matsunami Sokuro.

Beberapa tahun kemudian sepucuk surat tiba, memuat tanda tangan Saito Dosan. Di luar dugaan mereka, surat itu dikirim oleh laki-laki yang mereka kenal dengan nama Sokuro. Persekutuan itu sudah berjalan lama, diteruskan dari generasi ke generasi. Jadi, begitu Koroku mendengar bahwa kurir rahasia itu diutus oleh Saito Dosan, ia bergegas menemuinya.

Dalam bayang-bayang hutan, kedua laki-laki itu saling bertegur sapa, lalu, sambil saling menatap, masing-masing menempelkan telapak tangannya ke dada, seakan-akan berdoa.

"Aku Hachisuka Koroku."

"Aku Namba Naiki dari Inabayama."

Di masa mudanya, Dosan mendalami ajaran Buddha di Kuil Myokakuji.

Pengalaman ini mendorongnya untuk menggunakan cara-cara rahasia Buddha serta tanda-tanda yang dipelajarinya di kuil-kuil dan biara-biara sebagai sandi di antara orang-orangnya.

Setelah menyelesaikan segala formalitas untuk membuktikan jati diri masing-masing, kedua laki-laki itu merasa lebih tenteram dan berbicara secara terbuka. Koroku memerintahkan Hiyoshi untuk berjagajaga dan tidak membiarkan siapa pun lewat, dan ia beserta Naiki memasuki hutan.

Apa yang mereka bicarakan, atau dokumen rahasia apa yang dibawa Naiki, tentu saja tidak diungkapkan pada Hiyoshi, dan ia juga tak ingin tahu.

Dengan setia ia berdiri di tepi hutan, berjaga-jaga. Kalau harus menjalankan suatu tugas, ia menjalankannya. Kalau harus menyapu pekarangan, ia menyapu pekarangan. Kalau harus berjaga, ia berjaga. Ia selalu melakukannya dengan sungguh-sungguh, apa pun tugasnya. Tidak seperti orang lain, ia dapat menemukan kesenangan dalam setiap tugas yang diberikan padanya, tapi ini bukan hanya karena ia lahir di tengah kemiskinan. Ia justru melihat tugas sekarang sebagai persiapan untuk yang berikutnya. Ia yakin bahwa dengan cara ini, suatu hari ia akan dapat mewujudkan ambisi-ambisinya.

Apa yang perlu dilakukan untuk menjadi orang penting di dunia? Pertanyaan ini sering ia ajukan pada dirinya sendiri. Beberapa orang memiliki asal-usul dan keturunan, tapi ia tidak. Orang lain mempunyai uang dan kekuasaan, namun ini pun tidak dimiliki oleh Hiyoshi. Hmm, bagaimana aku bisa meraih keberuntunganku? Pertanyaan ini membuatnya tertekan, karena tubuhnya begitu pendek dan tidak lebih sehat dibandingkan dengan orang lain. Pendidikannya tak seberapa, dan kecerdasannya pun hanya rata-rata. Apa yang bisa ia andalkan? Kesetiaan—hanya itu yang terlintas dalam pikirannya. Ia takkan memilih-milih dalam bersikap setia, ia telah bertekad untuk setia terhadap semua hal. Ia akan berpegang teguh pada kesetiaannya, sebab tak ada lagi yang dapat ia berikan.

Berikan segalanya atau tidak sama sekali! Itulah yang mesti ia lakukan. Ia akan mengerjakan tugas apa pun dengan baik, sampai selesai. Ia akan menganggap dewa-dewalah yang telah memberikan tugas itu kepadanya.

Entah tugas itu cuma menyapu kebun, menjadi pembawa sandal, atau membersihkan kandangkandang kuda, ia akan melakukannya sebaik mungkin. Demi ambisi-ambisinya, ia bertekad untuk tidak bermalas-malasan saat ini. Ia tak boleh menyia-nyiakan masa kini, demi masa depannya.

Burung-burung kecil penghuni hutan berkicau dan bercicit-cicit di atas kepala Hiyoshi. Tapi ia tidak melihat buah-buah di pepohonan yang sedang dipatuk-patuk oleh burung-burung itu. Ketika Koroku akhirnya muncul dari hutan, ia tampak riang gembira. Matanya bersinar-sinar penuh ambisi, dan wajahnya yang selalu tegang jika mendengar masalah tampak masih memerah karena berita penting yang disampaikan padanya. "Di mana si biarawan?" tanya Hiyoshi.

"Dia mengambil jalan keluar lain dari hutan." Koroku menatap Hiyoshi dengan tajam dan berkata, "Simpan rahasia ini baik-baik."

"Tentu, tuanku."

"Omong-omong, Namba Naiki memujimu setinggi langit."

"Betul?"

"Suatu hari aku akan menaikkan kedudukanmu. Aku berharap kau memutuskan tinggal bersama kami untuk seterusnya."

Malam tiba, dan para anggota kunci marga berkumpul di kediaman Koroku. Pertemuan rahasia itu berlangsung sampai menjelang subuh. Malam itu pun Hiyoshi berdiri di bawah bintang-bintang sebagai penjaga setia.

Pesan dari Saito Dosan tetap dirahasiakan, isinya hanya diketahui oleh tokoh-tokoh utama. Tapi pada hari-hari setelah pertemuan tengah malam itu, beberapa pengikut Koroku mulai menghilang dari Hachisuka. Mereka orang-orang pilihan, hanya yang paling cakap dan paling lihai, dan mereka meninggalkan desa sambil menyamar—dengan tujuan Inabayama, menurut kabar burung yang beredar.

Adik laki-laki Koroku, Shichinai, termasuk di antara yang terpilih untuk menyusup ke Inabayama, dan Hiyoshi diperintahkan menyertainya.

"Apakah ini misi rahasia? Apakah bakal ada pertempuran?" ia bertanya. "Bukan urusanmu," terdengar balasan ketus. "Diam saja dan ikuti aku."

Shichinai tidak berkata apa-apa lagi. Para anggota rumah tangga berkedudukan rendah, bahkan para pekerja dapur, menjulukinya "Tuan Bopeng", tapi hanya di belakangnya. Ia membuat mereka tidak tenang, dan ia membenci mereka. Ia gemar minumminum, selalu bersikap pongah, dan tidak mempunyai kebaikan hati seperti kakak laki-lakinya. Hiyoshi terus terang menganggapnya memuakkan, tapi ia tidak mengeluh mengenai tugasnya. Ia dipilih karena Koroku mempercayainya. Ia siap melayani Shichinai— si Tuan Bopeng—sampai akhir zaman, kalau perlu.

Pada hari keberangkatan mereka, Shichinai mengubah penampilannya sampai ke cara ia mengikat rambut. Ia akan bepergian dengan menyamar, berlagak sebagai pedagang minyak dari Kiyosu. Hiyoshi kembali menjadi penjual jarum keliling, seperti pada musim panas sebelumnya. Mereka berdua akan berperan sebagai teman seperjalanan ke Mino yang bertemu secara kebetulan.

"Monyet, kalau menemukan pos pemeriksaan, lebih baik kita melewatinya secara terpisah."

"Baik, tuanku."

"Kau terlalu banyak omong, jadi usahakan agar mulutmu tetap tertutup, tak peduli apa pun yang mereka tanyakan padamu."

"Ya, tuanku."

"Kalau kedokmu terbongkar, aku akan berlagak tidak mengenalmu, dan akan kutinggalkan kau di sana."

Di sepanjang jalan ternyata banyak pos pemeriksaan. Meskipun ikatan kekerabatan yang kuat antara marga Oda dan marga Saito seharusnya membuat mereka bersekutu, dalam kenyataan hubungan mereka justru sebaliknya. Karena itu, kedua belak pihak sangat waspada di sisi masing-masing perbatasan bersama. Bahkan setelah mencapai tanah Mino pun suasana penuh kecurigaan tidak berkurang, dan Hiyoshi menanyakan sebabnya pada Shichinai.

"Kau selalu menanyakan yang sudah jelas! Sudah bertahun-tahun Saito Dosan berselisih dengan putranya, Yoshitatsu." Shichinai tampaknya tidak heran dengan permusuhan antara dua kelompok dalam satu keluarga itu.

Hiyoshi tergoda untuk mempertanyakan kecerdasan Shichinai. Contoh ayah dan anak dari golongan prajurit mengangkat senjata dan saling berperang memang sudah banyak, biarpun di zaman kuno, tapi selalu ada alasan kuat.

"Kenapa hubungan antara Tuan Dosan dan Tuan Yoshitatsu begitu buruk?" Hiyoshi bertanya lagi.

"Jangan mengganggu! Kalau kau mau tahu, tanya pada orang lain."

Shichinai mendecakkan lidah, dan menolak berkata apa-apa lagi. Sebelum tiba di Mino, Hiyoshi sudah risau kalau-kalau ia akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehatnya. Inabayama merupakan kota benteng yang indah di antara bukit-bukit.

Warna-warni Gunung Inabayama di musim gugur tampak terselubung hujan gerimis, tapi di sana-sini matahari terlihat membayang. Pengaruh musim gugur semakin terasa, dan orang bisa memandangi gunung dari pagi sampai malam tanpa bosan. Tebingnya seolah-olah diselubungi kain brokat berwarna emas, dan inilah asal-usul nama kedua Inabayama—Gunung Kembang Emas. Gunung itu menjulang dari Sungai Nagara, latar belakang yang memukau bagi kota dan ladang-ladang, dan Hiyoshi membelalakkan mata ketika melihat benteng berdinding putih di puncaknya, kecil di kejauhan, bertengger seperti seekor burung putih.

Satu-satunya cara mencapai benteng itu dari kota adalah menyusuri sebuah jalan setapak berliku-liku. Benteng itu juga memiliki persediaan air memadai. Hiyoshi sangat terkesan. Benteng semacam itu sukar diserang dan nyaris mustahil ditaklukkan. Kemudian ia teringat bahwa sebuah provinsi tak bisa dipertahankan dengan benteng semata-mata.

Shichinai menyewa kamar di penginapan pedagang, di sebuah jalan di bagian kota yang makmur. Ia hanya memberi Hiyoshi sedikit uang dan menyuruhnya bermalam di losmen-losmen murah di salah satu gang kecil.

"Nanti aku akan memberi perintah lebih lanjut," katanya. "Orang-orang akan curiga kalau kau bermalasmalasan, jadi sampai aku memerlukanmu, kau harus jajakan jarum-jarummu setiap hari."

Hiyoshi membungkuk penuh hormat, mengambil uangnya, dan bertindak sesuai perintah. Losmennya tidak begitu bersih, tapi ia merasa lebih tenang seorang diri. Ia masih belum bisa membayangkan perintah apa yang bakal diterimanya nanti. Segala macam orang yang bepergian menginap di losmennya—pemain sandiwara, tukang poles cermin, dan tukang tebang kayu. Ia merasa akrab dengan bau mereka yang khas, serta dengan kutu busuk dan caplak yang berbagi tempat tinggal dengannya.

Setiap hari Hiyoshi pergi menjual jarum, dan pada waktu kembali ia membawa sayur asin dan beras, sebab para penghuni losmen memasak sendiri-sendiri. Kompor boleh digunakan oleh mereka yang membayar untuk kayu bakar. Tujuh hari berlalu. Belum juga ada kabar dari Shichinai.

Dan bukankah Shichinai sendiri yang bermalasmalasan setiap hari? Hiyoshi merasa ditelantarkan.

Suatu hari, ketika Hiyoshi sedang menyusuri jalan di sebuah daerah pemukiman, seorang laki-laki yang membawa kantong anak panah terbuat dari kulit dan beberapa busur tua di bahu berjalan menghampirinya, serta berseru dengan suara jauh lebih keras daripada suara Hiyoshi, "Reparasi busur tua! Reparasi busur tua!"

Setelah mendekat, si tukang busur berhenti, matanya melebar karena terkejut. "Hei, rupanya si Monyet? Kapan kau tiba di sini, dan dengan siapa kau datang?"

Hiyoshi tidak kalah terkejut. Tukang busur itu ternyata Nitta Hikoju, salah satu anak buah Koroku.

"Tuan Hikoju, kenapa Tuan memperbaiki busur di Inabayama?"

"Hmm, bukan aku saja yang ada di sini. Paling tidak masih ada tiga puluh atau empat puluh orang kita. Tapi aku tak menyangka akan bertemu kau di sini."

"Aku datang tujuh hari yang lalu bersama Tuan Shichinai, tapi dia hanya menyuruhku berjualan jarum, jadi itulah yang kulakukan. Sebenarnya ada apa?

"Kau belum tahu?"

"Dia tidak mau menceritakan apa-apa. Padahal sungguh tidak enak bagi seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa mengetahui alasannya."

"Ya, aku bisa membayangkan itu."

"Tuan tentu tahu apa yang sedang terjadi."

"Kalau tidak tahu, apa mungkin aku berkelilingkeliling menawarkan jasa memperbaiki busur?"

"Tolonglah, tak bisakah Tuan bercerita sedikit padaku?"

"Hmm, Shichinai memang keterlaluan. Kau berkeliling-keliling tanpa menyadari bahwa hidupmu terancam. Tapi kita tak bisa berdiri dan berbincangbincang di tengah jalan."

"Hidup kita terancam?"

"Kalau kau sampai tertangkap, rencana kita terancam bocor. Tapi mungkin ada baiknya aku menjelaskan sedikit, agar kau mendapat gambaran mengenai apa yang sedang terjadi."

"Aku akan sangat menghargainya."

"Tapi kita terlalu menarik perhatian kalau terus berdiri di sini."

"Bagaimana kalau di balik tempat suci itu?"

"Ya, dan aku lapar. Kenapa kita tidak makan siang sekalian?"

Hikoju berjalan di depan, Hiyoshi mengikutinya. Tempat suci itu dikelilingi pepohonan, dan suasananya sunyi sekali. Mereka membuka daun bambu yang membungkus makan siang masingmasing, dan mulai makan.

Daun-daun ginkgo di atas mereka menari-nari disiram sinar matahari.

Ketika menatap melalui atap dedaunan kuning cerah, mereka melihat Gunung Inabayama terbungkus daun-daun merah manyala yang menandakan bahwa akhir musim gugur sudah dekat. Benteng di puncaknya menjulang ke angkasa biru, kebanggaan marga Saito, sekaligus lambang kekuasaan mereka.

"Itulah sasaran kita." Hikoju menggunakan kedua sumpitnya untuk menunjuk Benteng Inabayama, butir-butir nasi tampak melekat pada masing-masing ujung sumpit. Mereka memandangi benteng yang sama, tapi masing-masing melihat sesuatu yang berbeda. Hiyoshi ternganga ketika menatap ujungujung sumpit sambil terbengong-bengong.

"Apakah orang-orang Hachisuka akan menyerbu benteng itu?"

"Jangan konyol!" Hikoju mematahkan sumpit dan membuang keduanya ke tanah. "Yoshitatsu, putra Saito Dosan, menduduki benteng itu, dan dari sana dia mengawasi daerah sekitar serta jalan-jalan ke Kyoto dan wilayah timur. Di dalam benteng dia melatih pasukannya dan menyimpan senjata-senjata baru. Marga Oda, Imagawa, dan Hojo pun bukan tandingannya. Apalagi orang-orang Hachisuka. Pertanyaanmu tidak masuk akal. Tadinya aku akan membeberkan rencana kita, tapi sekarang aku ragu-ragu."

"Aku menyesal. Aku takkan buka mulut lagi." Dimarahi seperti itu, Hiyoshi segera terdiam.

"Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini, bukan?" Si tukang busur menatap berkeliling, lalu menjilat bibir. "Kurasa kau sudah tahu persekongkolan marga kami dengan Saito Dosan." Tanggapan Hiyoshi terbatas pada anggukan kepala. "Ayah dan anak telah berselisih selama bertahun-tahun." Hikoju bercerita tentang permusuhan mereka serta kekacauan yang ditimbulkannya.

Dosan pernah malang melintang dengan menggunakan berbagai nama, salah satunya Matsunami Sokuro. Ia kaya pengalaman. Ia pernah menjadi pedagang minyak, pendekar pengelana, bahkan murid di sebuah kuil. Lambat laun ia naik dari kedudukan rendah seorang pedagang minyak dan merebut Provinsi Mino dengan kekuatannya sendiri. Untuk itu ia harus membunuh tuannya, Toki Masayori, dan memaksa pewarisnya, Yorinari, ke pengasingan. Kemudian ia mengambil salah satu selir Toki. Cerita mengenai kebrutalan dan kekejian yang pernah ia lakukan tak terhitung lagi. Untuk menambah bukti tentang kelihaiannya, sejak menjadi penguasa Mino, tak satu inci pun tanahnya berhasil direbut pihak musuh.

Tapi perputaran nasib tak bisa ditebak. Mungkinkah yang terjadi kemudian memang sudah digariskan oleh para dewa? Ia mangadopsi Yoshitatsu, anak selir majikannya. Tapi ia bimbang apakah anak itu berpihak padanya atau pada Toki Masayori. Ketika Yoshitatsu bertambah besar, setiap hari keraguan di hati Dosan semakin kuat.

Yoshitatsu laki-laki yang mengesankan, dengan tinggi badan lebih dari 180 cm. Pada waktu ia dijadikan penguasa Inabayama, ayahnya pindah ke Benteng Sagiyama di seberang Sungai Nagara. Dipisahkan oleh aliran sungai, takdir ayah dan anak itu berada di tangan para dewa. Yoshitatsu berada di puncak kejayaannya, dan ia mengabaikan orang yang ia anggap sebagai ayah. Dosan yang telah berusia lanjut semakin curiga. Ia mengutuk Yoshitatsu, dan akhirnya mencabut hak warisnya, dengan rencana untuk mengangkat anak keduanya, Magoshiro, sebagai pengganti Yoshitatsu. Tapi dalam waktu singkat Yoshitatsu telah mencium rencana itu.

Namun kemudian Yoshitatsu kejangkitan penyakit lepra dan mulai dijuluki "Tuan Kusta". Pembawaannya impulsif dan eksentrik, tapi ia juga panjang akal dan berani. Yoshitatsu mendirikan kubu-kubu pertahanan untuk melindunginya terhadap serangan dari Sagiyama, dan tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk bertempur. Bertekad untuk menyingkirkan "Tuan Kusta" yang hina ini—anaknya sendiri—Dosan memutuskan untuk menumpahkan darah. Hikoju menarik napas dalam-dalam. "Para pembantu Dosan tentu saja sangat dikenal di sini. Kita diminta membakar kota benteng ini."

"Membakar kota!"

"Percuma saja kalau kebakarannya muncul tiba-tiba. Sebelum itu, kita harus menyebarkan desas-desus, dan kalau Yoshitatsu dan pembantu-pembantu di Inabayama sudah tidak tenang, kita pilih malam yang berangin dan mengubah kota menjadi lautan api. Kemudian pasukan Dosan akan menyeberangi sungai dan menyerang."

"Begitu." Hiyoshi mengangguk sambil pasang tampang serius. Ia tidak memperlihatkan ekspresi setuju maupun mencela. "Jadi, kita dikirim untuk menyebarkan desas-desus dan membakar."

"Betul."

"Berarti kita cuma penghasut, bukan? Kita di sini untuk membuat orang-orang resah."

"Hmm, ya, bisa dibilang begitu."

"Bukankah menghasut itu pekerjaan orang-orang buangan yang hina?"

"Tak ada pilihan lain. Marga Hachisuka sudah lama tergantung pada Saito Dosan." Pandangan Hikoju amat sederhana. Hiyoshi menatapnya.

Seorang ronin tetap ronin, tapi ia sukar menerima kenyataan itu. Meski nasi yang dimakannya berasal dari meja seorang ronin, ia menganggap nyawanya cukup berharga, dan ia tidak berminat menyianyiakannya.

"Kenapa Tuan Shichinai ikut ke sini?"

"Dia di sini untuk memimpin operasi kita. Dengan tiga puluh atau empat puluh orang yang memasuki wilayah ini secara terpisah, kita membutuhkan seseorang untuk mengkoordinir dan mengawasi mereka."

"Begitu."

"Jadi, sekarang kau sudah tahu semuanya."

"He-eh. Tapi ada satu hal lagi yang tidak kumengerti. Bagaimana dengan aku?"

"Hmm. Kau?"

"Tugas apa yang akan diberikan padaku? Sampai sekarang aku belum mendapat tugas dari Tuan Shichinai."

"Mungkin karena kau kecil dan gesit, kau akan diberi tugas menyulut kebakaran pada malam saat angin bertiup."

"Oh, aku mengerti. Tukang sundut."

"Karena kita memasuki kota ini untuk misi rahasia, kita tidak boleh gegabah. Kalau kita berperan sebagai tukang busur dan penjual jarum, kita harus berhatihati dan menjaga omongan kita." "Kalau rencana kita sampai diketahui mereka, apa mereka akan langsung mulai mencari kita?"

"Tentu saja. Kalau para samurai Yoshitatsu mencium rencana kita, pasti terjadi pembantaian. Kalau kita tertangkap, akibatnya mengerikan, tak peduli kau atau kita semua." Mula-mula Hikoju merasa tidak enak karena Hiyoshi tidak tahu apa-apa. Kini ia mendadak gelisah karena memikirkan kemungkinan rahasia mereka bocor lewat mulut si Monyet.

Hiyoshi seakan-akan sanggup membaca pikirannya. "Jangan khawatir. Aku sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini."

"Kau tidak akan keceplosan?" Hikoju bertanya tegang. "Awas, ini wilayah musuh."

"Aku tahu."

"Hmm, kita tidak boleh terus menarik perhatian." Punggungnya terasa kaku, dan ia menepuk-nepuknya dua atau tiga kali pada waktu berdiri.

"Monyet, di mana kau tinggal?"

"Di gang di belakang penginapan tempat Tuan Shichinai menyewa kamar."

"Oh, begitu? Beberapa malam dari sekarang, aku akan mampir ke tempatmu. Berhati-hatilah di sekitar tamu-tamu lain." Setelah menyandang busur-busurnya di bahu, Nitta Hikoju beranjak ke arah kota.

Sambil duduk di pekarangan tempat suci, Hiyoshi memandangi dinding-dinding putih benteng di kejauhan. Setelah ia mengetahui lebih banyak tentang perselisihan di dalam keluarga Saito serta akibat-akibat buruk yang ditimbulkannya, dinding-dinding benteng yang bagaikan besi itu serta lokasinya yang mengesankan kehilangan pesonanya di mata Hiyoshi. Siapa yang bakal jadi penguasa benteng itu berikutnya? Ia bertanya-tanya. Riwayat Dosan pun takkan berakhir dengan tenang, itu sudah pasti. Mungkinkah sebuah negeri memiliki kekuatan, jika sang penguasa bermusuhan dengan para pembantunya? Bagaimana rakyat bisa tenteram jika para pemimpin, ayah dan anak, saling tak percaya dan saling berusaha menjatuhkan?

Mino merupakan wilayah subur dengan gununggunung sebagai latar belakang. Letaknya di salah satu persimpangan utama antara kota dan provinsiprovinsi. Kekayaan alamnya berlimpah, pertanian dan industri maju pesat, airnya jernih, dan wanitanya cantik-cantik. Tapi semuanya diselubungi kebusukan! Hiyoshi tak sempat memikirkan cacing yang menggerogoti bagian yang busuk. Pikirannya tertuju pada pertanyaan mengenai siapa yang akan menjadi penguasa Mino berikutnya.

Yang paling merisaukan Hiyoshi adalah peran yang dimainkan Hachisuka Koroku, orang yang memberinya makan. Ronin mempunyai reputasi buruk, tapi karena telah cukup lama mengabdi pada Koroku, ia tahu hati tuannya tulus. Koroku memiliki garis keturunan, dan kepribadiannya dapat dikatakan unggul. Semula Hiyoshi merasa ia tak perlu malu karena setiap hari membungkuk di depan laki-laki itu dan menaati semua perintahnya, tapi sekarang ia mulai bimbang.

Dosan sudah lama membantu keuangan marga Hachisuka, dan persahabatannya dengan Koroku terjalin erat. Mustahil Koroku tidak mengetahui watak Dosan, mustahil ia tidak menyadari kelicikan dan kekejiannya. Meski demikian, ia bersedia menjadi penghasut dalam perebutan kekuasaan antara ayah dan anak. Tak peduli berapa kali ia merenungkannya, Hiyoshi tak sudi mengambil bagian dalam urusan ini. Dunia penuh dengan orang buta.

Mungkinkah Koroku termasuk yang paling buta? Perasaan muak yang semakin menguat dalam hatinya membuat Hiyoshi ingin lari saja.

Menjelang akhir bulan kesepuluh, Hiyoshi berangkat dari losmen untuk menjajakan dagangannya. Di pojok sebuah gang sempit ia bertemu dengan

Hikoju yang hidungnya tampak merah akibat angin kering. Hikoju menghampirinya dan menyelipkan sepucuk surat ke tangannya. "Setelah kaubaca, kunyah sampai hancur dan buang ke sungai," Hikoju mewantiwanti.

Kemudian, sambil berlagak tidak mengenal Hiyoshi, ia membelok ke kanan, sementara Hiyoshi berjalan ke arah berlawanan. Hiyoshi tahu surat itu berasal dari Shichinai. Kecemasannya belum berkurang, dan jantungnya mulai berdebar-debar.

Aku harus menjauhi orang-orang ini, ia menyadari. Sudah berulang kali ia memikirkannya, tapi lari, dalam jangka panjang, justru lebih berbahaya daripada tinggal di tempat. Ia sendirian di losmen, namun ia merasa seolah-olah seluruh gerak-geriknya diawasi terus-menerus. Kemungkinan besar para mata-mata pun tidak terlepas dari pengawasan. Mereka semua saling terikat, seperti jalinan mata rantai. Sepertinya rencana mereka jadi dijalankan, Hiyoshi menyimpulkan, dan suasana hatinya menjadi mendung. Barangkali kebimbangannya disebabkan oleh rasa takut, tapi ia tak bisa meyakinkan diri bahwa ia harus bertindak sebagai penghasut licik yang membuat rakyat bingung, menyulut kekacauan, dan mengubah sebuah kota menjadi neraka.

Segala rasa hormatnya terhadap Koroku telah sirna. Ia tak ingin mengabdi pada Dosan, juga tak ingin berurusan dengan Yoshitatsu. Kalau ia harus bersekutu dengan salah satu pihak, pilihannya jatuh pada para penduduk kota. Ia bersimpati pada mereka, dan terutama pada para orangtua dan anak-anak mereka. Merekalah yang selalu menjadi korban peperangan. Ia terlalu gelisah untuk langsung membaca surat yang disampaikan padanya.

Sambil berkeliling-keliling, berseru seperti biasa, "Jarum! Jarum dari ibu kota!" ia sengaja menuju sebuah jalan kecil di daerah pemukiman, di mana takkan ada yang melihatnya. Ia berhenti di tepi sebuah kali kecil.

"Ah, sial, aku tidak bisa lewat di sini," ia berkata dengan suara dikeras-keraskan.

Ia menatap sekelilingnya. Keberuntungan berada di pihaknya. Tak seorang pun terlihat. Tapi untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, ia menghadap ke kali, dan sambil buang air kecil ia mengamati sekitarnya.

Kemudian diam-diam ia mengeluarkan surat dari lipatannya dan membaca:

Nanti malam, pada Jam Anjing, jika angin bertiup dari sebelah selatan atau barat, datanglah ke hutan di belakang Kuil Jozaiji. Kalau angin bertiup dari utara atau berhenti sama sekali, jangan datang.

Selesai membaca, ia menyobek-nyobek surat itu dan menggulung sobekan-sobekannya sampai berupa bola, yang kemudian dikunyahnya sampai menjadi bubur.

"Penjual jarum!"

Terkejut, ia tak punya waktu untuk meludahkan kertas itu ke sungai. Ia menggenggamnya dengan tangan terkepal.

"Siapa itu?"

"Di sini! Kami mau beli jarum."

Tak seorang pun kelihatan, dan Hiyoshi tak bisa memastikan dari mana suara itu berasal.

"Penjual jarum, sebelah sini!"

Di sisi lain ada sebuah tanggul, dan di atasnya ada sebuah tembok dari lumpur kering. Sebuah pintu gedek membuka dan seorang pelayan muda menyembulkan kepala. Hiyoshi menjawab dengan ragu-ragu. Setiap rumah samurai di lingkungan ini pasti rumah pengikut marga Saito. Tapi dari pihak mana? Tak ada yang perlu dicemaskan jika yang ini mendukung Dosan, tapi kalau ia pengikut Yoshitatsu, akibatnya bisa gawat.

"Di sini ada orang yang butuh jarum."

Hiyoshi semakin tidak tenang, tapi ia tak punya pilihan. "Terima kasih," ia berkata dengan pikiran bercabang. Sambil mengikuti si pelayan, ia melewati ambang pintu dan mengelilingi bukit buatan di sebuah pekarangan belakang. Rumah itu kemungkinan besar milik orang penting. Bangunan induknya terpisah dari beberapa gedung tambahan. Hiyoshi mengurangi kecepatan langkahnya, dan mengagumi kemegahan setiap bangunan serta kerapian bebatuan dan sungai-sungai buatan. Siapa gerangan yang ingin membeli jarumnya di tempat seperti ini? Ucapan pelayan tadi menunjukkan bahwa orangnya anggota keluarga si pemilik rumah, tapi rasanya ini tak masuk akal. Di rumah semegah ini, istri maupun anak perempuan si pemilik takkan membeli jarum sendiri. Selain itu, tak ada alasan untuk memanggil penjual keliling yang menjajakan barang dagangannya di jalan.

"Tunggu di sini," ujar si pelayan, lalu meninggalkan Hiyoshi di salah satu sudut pekarangan. Sebuah bangunan berlantai dua dengan plesteran kasar, cukup berjauhan dengan rumah induk, menarik perhatian Hiyoshi. Lantai dasarnya tampak seperti ruang baca, lantai atasnya seperti perpustakaan.

Pelayan muda tadi memanggil ke atas, "Tuan Mitsuhide, hamba membawa orangnya masuk."

Mitsuhide muncul di sebuah jendela berbentuk bujur sangkar yang menyerupai bukaan pada benteng pertahanan. Di tangannya ada beberapa buah buku. Ia masih muda, mungkin dua puluh empat atau dua puluh lima tahun, dengan kulit putih dan sorot mata cerdas. "Aku segera turun. Bawa dia ke serambi," katanya, lalu menghilang ke dalam.

Hiyoshi mengangkat kepala. Untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa seseorang mungkin melihatnya ketika ia berdiri di tepi kali sambil membaca surat. Ia yakin bahwa ia telah kepergok, dan bahwa Mitsuhide ini menjadi curiga dan ingin minta keterangan darinya. Hiyoshi merasa jika ia tidak mengarang cerita, ia akan mengalami kesulitan. Ia sedang menyiapkan penjelasan, ketika si pelayan muda memanggilnya dengan melambaikan tangan, lalu berkata, "Keponakan Tuan Besar akan ke sini, jadi tunggu di serambi saja. Dan jaga sopan santunmu."

Hiyoshi berlutut beberapa langkah dari serambi, kepalanya tertunduk.

Setelah beberapa saat, karena belum ada yang keluar, ia mengangkat wajahnya. Jumlah buku di dalam rumah membuatnya terkagum-kagum. Di manamana ada buku, di atas dan di sekitar meja dan rak buku, dan di ruang-ruang lain di lantai dasar dan atas. Entah pemilik rumah atau keponakannya, ia berkata dalam hati, yang jelas di sini ada orang yang cukup terpelajar. Buku merupakan pemandangan langka bagi Hiyoshi.

Ketika memandang berkeliling, ia menyadari dua hal lain. Antara balok-balok kayu yang horizontal dari rangka rumah tergantung sebuah tombak bagus, dan sepucuk senapan terpasang pada dinding.

Akhirnya laki-laki tadi memasuki ruangan, dan duduk di depan sebuah meja, tanpa berkata apa-apa. Sambil bertopang dagu, ia mengamati Hiyoshi, seakanakan sedang memusatkan perhatian pada huruf-huruf Cina di sebuah buku. "Halo."

Hiyoshi berkata, "Hamba menjual jarum. Apakah Tuan berkenan dengan dagangan hamba?"

Mitsuhide mengangguk. "Ya. Tapi ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Kau datang ke sini untuk menjual jarum atau untuk memata-matai?"

"Untuk menjual jarum, tentu saja."

"Hmm, kalau begitu, kenapa kau memasuki sebuah gang di daerah pemukiman seperti ini?"

"Hamba pikir ada jalan pintas."

"Kau bohong!" Mitsuhide memiringkan tubuhnya sedikit. "Waktu melihatmu, aku langsung tahu bahwa kau sudah berpengalaman dalam berkelana dan berjualan. Jadi, semestinya kau tahu apakah kau bisa menjual jarum di dekat kediaman samurai atau tidak." "Hamba pernah menjual jarum di tempat seperti

ini, biarpun jarang..." "Pasti jarang sekali."

"Tapi bukannya tidak mungkin."

"Baiklah, masalah itu kita sisihkan dulu. Apa yang kaubaca di tempat sepi seperti ini?"

"Hah?"

"Kau mengeluarkan secarik kertas secara sembunyisembunyi, karena menduga tak ada siapa-siapa di sekitarmu. Tapi di mana ada kehidupan, di situ ada mata. Dan benda mati pun bisa berbicata dengan mereka yang memiliki telinga. Apa yang kaubaca?"

"Hamba membaca surat." "Pesan rahasia?"

"Hamba membaca surat dari ibu hamba," Hiyoshi menjawab tanpa berbelit-belit. Mitsuhide menatapnya dengan pandangan mereka-reka. "Begitukah? Sepucuk surat dari ibumu?"

"Ya."

"Kalau begitu, tunjukkan padaku. Menurut hukum benteng, jika kita menemukan orang yang mencurigakan, orang itu harus ditangkap dan dibawa ke benteng. Sebagai bukti, tunjukkan surat dari ibumu, atau kau akan kuserahkan kepada pihak berwajib."

"Hamba memakannya." "Apa?"

"Sayangnya, setelah hamba baca, hamba makan surat itu, Tuan."

"Kau memakannya?"

"Ya, itulah yang hamba lakukan," Hiyoshi melanjutkan dengan sungguh-sungguh. "Bagi hamba, hadirnya hamba di bumi membuat ibu hamba lebih pantas dihormati daripada para dewa maupun Buddha. Karena itu..."

Mitsuhide melepaskan teriakan menggelegar. "Tahan lidahmu! Kurasa kau mengunyahnya karena berisi pesan rahasia. Itu saja sudah membuatmu patut dicurigai!"

"Bukan! Bukan! Tuan keliru!" ujar Hiyoshi sambil mengibaskan tangan.

"Membawa surat dari ibu hamba, pada siapa hamba lebih berterima kasih ketimbang kepada para dewa dan Buddha, lalu menggunakannya untuk menyeka ingus dan membuangnya ke jalanan, di mana surat itu akan diinjak-injak oleh orang-orang yang berlalulalang, adalah perbuatan murtad. Hamba tidak bohong. Bukan hal aneh bagi seseorang untuk begitu rindu pada ibunya, sampai-sampai ingin memakan surat-suratnya yang datang dari jauh."

Mitsuhide yakin semua ucapan itu bohong, namun ia berhadapan dengan anak laki-laki yang jauh lebih pandai berbohong daripada orang-orang pada umumnya. Dan ia pun bersimpati pada anak ini, sebab ia sendiri juga meninggalkan ibunya di rumah.

Meski cerita mengenai surat dari ibunya yang dimakan sampai habis hanya omong kosong, bocah bertampang monyet ini pun pasti memiliki orangtua, pikir Mitsuhide, sekaligus merasa kasihan pada lawannya yang kasar dan tak berpendidikan. Namun, seandainya pemuda lugu itu kakitangan penghasut, ia bisa berbahaya seperti binatang buas. Orang seperti dia tak pantas dikirim ke benteng, sedangkan membunuhnya di tempat terasa terlalu berlebihan. Mitsuhide mempertimbangkan untuk membiarkannya pergi, tapi terus mengawasinya sambil mencari jalan keluar.

"Mataichi!" ia memanggil. "Apakah Tuan Mitsuharu ada di rumah?"

"Hamba rasa ada, tuanku."

"Katakan padanya bahwa aku tidak mau mengganggu, tapi tolong tanyakan apakah dia bisa ke sini sebentar?"

"Baik, tuanku." Mataichi segera berlalu.

Tak lama kemudian, Mitsuharu datang dari rumah induk. Ia berjalan dengan langkah-langkah panjang. Usianya lebih muda dari Mitsuhide, mungkin delapan belas atau sembilan belas tahun. Ia ahli waris tuan rumah, Akechi Mitsuyasu, dan ia dengan Mitsuhide bersepupu. Nama keluarga Mitsuhide juga Akechi. Ia tinggal bersama pamannya dan menghabiskan hariharinya dengan belajar. Dari segi keuangan, ia tidak tergantung pada pamannya. Ia datang ke Inabayama karena kota asalnya, Ena, terlalu jauh dari pusat-pusat budaya dan politik. Pamannya sering berpesan pada anaknya, "Contohlah Mitsuhide dan belajarlah sedikit."

Mitsuhide pelajar yang tekun. Sebelum datang ke Inabayama pun ia telah sering bepergian, melintasi negeri mulai dari ibu kota sampai provinsi-provinsi barat. Ia bergaul dengan para pendekar pengelana, menggali pengetahuan, mempelajari kejadian-kejadian zaman sekarang, dan menerima tantangan kehidupan dengan senang hati. Ketika mendapat kesempatan mempelajari senjata api, ia khusus mengunjungi kota merdeka Sakai, dan kemudian memberikan sumbangan sedemikian besar kepada pertahanan dan organisasi militer Mino, sehingga semua orang, termasuk pamannya, menghormatinya sebagai pembawa pengetahuan baru.

"Bagaimana aku bisa membantu, Mitsuhide?" "Sebenarnya hanya masalah kecil." Nada Mitsuhide

penuh hormat. "Ada apa?"

"Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku, kalau kau tidak keberatan."

Kedua laki-laki itu melangkah keluar, dan sambil berdiri di samping Hiyoshi, membahas apa yang harus mereka lakukan dengannya. Setelah mendengar semua keterangan dari Mitsuhide, Mitsuharu berkata, "Maksudmu, orang yang tak berarti ini?" Ia mengamati Hiyoshi sambil lalu saja.

"Kalau kaupikir dia mencurigakan, serahkan saja pada Mataichi. Kalau dia disiksa sedikit, misalnya dipukul dengan busur patah, dia pasti segera bicara. Takkan ada kesulitan."

"Jangan." Sekali lagi Mitsuhide menatap Hiyoshi. "Rasanya orang seperti dia takkan buka mulut jika diperlakukan begitu. Dan entah kenapa, aku merasa kasihan padanya.

"Kalau dia berhasil membuatmu iba, jangan harap kau bisa mengorek keterangan darinya. Serahkan saja padaku selama empat atau lima hari. Aku akan mengurungnya di dalam gudang. Kalau sudah lapar, dia pasti akan membeberkan semuanya."

"Maaf karena aku telah merepotkanmu dengan urusan ini," ujar Mitsuhide.

"Apakah hamba perlu mengikatnya?" tanya Mataichi sambil memuntir lengan Hiyoshi.

"Tunggu!" Hiyoshi berseru. Ia berusaha membebaskan diri dari genggaman

Mataichi, lalu menatap Mitsuhide dan Mitsuharu. "Tuan sendiri yang bilang bahwa hamba takkan buka mulut kalau dipukuli. Tuan hanya perlu bertanya, dan hamba akan memberitahu Tuan semuanya. Tuan bahkan tidak perlu bertanya! Hamba tidak tahan dikurung di tempat gelap."

"Kau mau bicara?" "Ya."

"Baiklah. Biar aku saja yang menginterogasi dia," kata Mitsuharu.

"Silakan."

"Bagaimana dengan..." Tapi rupanya ketenangan Hiyoshi membuat Mitsuharu terkesima. Ia terdiam, lalu bergumam, "Percuma saja! Dia memang aneh. Mungkin saja otaknya tidak waras. Kelihatannya dia mempermainkan kita." Sambil melirik Mitsuhide, ia tertawa geli. Tapi Mitsuhide tidak tertawa. Ia menatap Hiyoshi dengan ekspresi cemas pada wajahnya.

Akhirnya Mitsuhide dan Mitsuharu bergantian mengajukan pertanyaan, seakan-akan sedang berusaha menghibur anak manja.

Hiyoshi berkata, "Hamba akan menjelaskan rencana untuk malam ini pada Tuan-Tuan, tapi karena hamba bukan anggota gerombolan itu dan tidak punya urusan dengan mereka, dapatkah Tuan-Tuan menjamin keamanan hamba?"

"Baiklah. Mencabut nyawamu toh bukan sesuatu yang membanggakan. Jadi, memang ada komplotan rahasia, heh?"

"Malam ini bakal ada kebakaran besar, kalau angin bertiup dari arah yang tepat."

"Di mana?"

"Aku tidak tahu persis, tapi para ronin yang tinggal di losmen membahasnya secara sembunyi-sembunyi. Nanti malam, kalau angin bertiup dari selatan atau barat, mereka akan berkumpul di hutan dekat Jozaiji, lalu berpencar dan membakar kota."

"Apa?" Mitsuharu terperangah. Mitsuhide menelan ludah, seakan tak percaya pada pendengarannya sendiri.

Hiyoshi mengabaikan reaksi mereka terhadap ucapannya, dan bersumpah bahwa ia tidak mengetahui lebih banyak, hanya itu yang didengarnya ketika para ronin, yang kebetulan tinggal di losmen yang sama, saling berbisik-bisik. Ia sendiri hanya ingin menjual persediaan jarumnya yang masih tersisa, lalu secepatnya kembali ke kota asalnya, Nakamura, untuk melihat wajah ibunya.

Setelah keterkejutan mereka hilang, sejenak Mitsuhide dan Mitsuharu hanya diam termangu. Akhirnya Mitsuhide memberikan perintah.

"Baiklah, kita akan melepaskan dia, tapi baru setelah malam tiba. Mataichi, bawa dia dan sediakan makanan untuknya."

Angin yang telah bertiup sepanjang hari bertambah kencang. Arahnya dari barat daya.

"Mitsuhide, menurutmu apa yang akan mereka lakukan? Angin bertiup dari barat."

Sorot mata Mitsuharu dipenuhi kecemasan ketika ia menatap awan-awan yang melintas di langit. Mitsuhide duduk membisu di serambi perpustakaan.

Pandangannya menerawang jauh, seakan-akan ia sedang berkonsentrasi untuk memecahkan sebuah persoalan pelik. "Mitsuharu," ia akhirnya berkata, "apakah pamanku mengatakan sesuatu yang aneh dalam empat atau lima hari terakhir?"

"Hmm, seingatku ayahku tidak membicarakan halhal istimewa."

"Kau yakin?"

"Tunggu, sekarang aku ingat lagi. Sebelum berangkat ke Benteng Sagiyama tadi pagi, dia memang menyinggung bahwa karena hubungan antara Saito Dosan dan anaknya Yoshitatsu memburuk belakangan ini, kita mungkin akan menghadapi masalah, meskipun waktunya sulit dipastikan. Dia berpesan agar orang-orang menyiapkan baju tempur dan kuda masing-masing, sekadar untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu yang di luar dugaan."

"Itukah yang dikatakannya tadi pagi?" "Ya."

"Itu dia!" Mitsuhide menepuk lututnya. "Ayahmu secara tak langsung memperingatkanmu bahwa akan ada pertempuran nanti malam. Rencana militer seperti ini memang biasa dirahasiakan, biarpun terhadap kerabat terdekat. Rupanya dia akan ikut ambil bagian."

"Nanti malam bakal ada pertempuran?"

"Orang-orang yang akan berkumpul di Jozaiji nanti malam pasti pesuruh-pesuruh yang dibawa dari luar oleh Saito Dosan, kemungkinan besar dari Hachisuka."

"Berarti Saito Dosan telah membulatkan tekad untuk mengusir Yoshitatsu dari bentengnya."

"Begitulah menurutku." Mitsuhide, yakin dugaannya tidak meleset, mengangguk penuh semangat, tapi kemudian menggigit-gigit bibir dengan muram. "Kukira rencana Saito Dosan takkan berhasil. Yoshitatsu sudah mempersiapkan diri dengan baik. Selain itu, sama sekali tak pantas bagi ayah dan anak untuk saling mengangkat senjata dan menumpahkan darah. Para dewa akan menghukum mereka! Tak peduli siapa yang menang dan siapa yang kalah, darah sesama saudara akan mengalir sia-sia. Dan semuanya itu takkan memperluas daerah kekuasaan marga Saito. Justru sebaliknya, provinsi-provinsi tetangga akan menunggu kesempatan untuk campur tangan, dan provinsi kita akan berada di ambang keruntuhan." Ia melepaskan desahan panjang.

Mitsuharu membisu seribu bahasa, menatap awanawan gelap di langit sambil termenung-menung. Dalam perselisihan yang menyangkut dua junjungannya, seorang abdi tak dapat melakukan apa-apa. Mereka tahu bahwa ayah Mitsuharu, Mitsuyasu, seorang pembantu kepercayaan Dosan, berada di barisan terdepan gerakan untuk menjatuhkan Yoshitatsu.

"Kita harus menghentikan pertempuran tidak wajar ini dengan segala cara. Itu kewajiban kita sebagai abdi yang setia. Mitsuharu, kau harus segera pergi ke Benteng Sagiyama untuk mencari ayahmu. Dan kalian berdua harus berusaha membujuk Saito Dosan untuk membatalkan rencananya."

"Baik, aku mengerti."

"Aku akan tunggu sampai malam, pergi ke Jozaiji, dan entah bagaimana menggagalkan rencana para perusuh. Aku akan menghentikan mereka, tak peduli apa yang terjadi."

Di dapur, tiga tungku saling berdampingan. Pancipanci raksasa yang masing-masing berisi beras sebanyak beberapa kantong ditempatkan di atas ketiga tungku itu. Ketika tutup panci diangkat, air yang mengandung kanji segera meluap dan berubah menjadi awan uap. Hiyoshi memperkirakan tentunya ada lebih dari seratus orang di rumah tangga ini, termasuk keluarga si pemilik dan pembantupembantunya beserta tanggungan masing-masing, agar nasi sebanyak itu habis dalam satu kali makan. "Dengan nasi sebanyak ini, kenapa ibu dan kakakku tak pernah bisa makan sampai kenyang?" Ia memikirkan ibunya; ia memikirkan nasi. Nasi membuatnya teringat pada rasa lapar yang diderita ibunya.

"Tiupan angin kencang sekali malam ini." Laki-laki tua yang mengepalai dapur melangkah maju dan memeriksa api di setiap tungku. Ia berpesan pada para pembantu dapur yang menanak nasi, "Angin takkan berhenti, biarpun matahari telah tenggelam. Awasi apinya. Begitu satu panci matang, segera mulai bikin bola nasi."

Ia sedang menuju pintu keluar ketika ia melihat Hiyoshi. Ia menatapnya dengan pandangan heran, lalu memanggil seorang pelayan. "Siapa orang dengan muka seperti monyet itu?" ia bertanya. "Aku belum pernah melihatnya di sini."

"Dia di bawah tanggung jawab Tuan Mitsuhide.

Mataichi mengawalnya agar dia tidak lari."

Baru sekarang si laki-laki tua melihat Mataichi duduk di atas tempat penyimpanan kayu bakar.

"Bagus," ia berkata pada Mataichi, tanpa mengetahui apa yang terjadi.

"Dia ditangkap karena sikapnya mencurigakan?" "Bukan. Aku juga tidak tahu kenapa. Aku hanya tahu bahwa perintahnya berasal dari Tuan Mitsuhide." Mataichi menjelaskan sesedikit mungkin.

Si lelaki tua tampaknya sudah melupakan Hiyoshi dan berkata, "Kebijakan dan kebaikan Tuan Mitsuhide jauh melebihi usianya yang masih muda."

Orang tua itu mengagumi Mitsuhide dan mulai memuji-mujinya. "Dia jauh di atas rata-rata, bukan? Tuan Mitsuhide tidak termasuk orang yang merendahkan pengetahuan dan menyombongkan betapa berat tombak yang mereka gunakan, betapa lihai mereka memainkan lembing sambil menunggang kuda, atau berapa banyak orang yang mereka habisi di medan laga.

Setiap kali aku mengintip ke perpustakaan, dia sedang belajar dengan tekun. Selain itu, dia juga ahli pedang dan jago menyusun strategi. Dia akan menjadi orang besar, itu pasti."

Mataichi, bangga karena majikannya disanjung sedemikian tinggi, menimpali,

"Persis seperti yang kaukatakan. Aku telah menjadi pelayannya sejak dia masih kanak-kanak, dan tak ada majikan yang lebih baik hati darinya. Dia juga anak yang berbakti pada ibunya, dan tak peduli apakah dia sedang menuntut ilmu di sini atau mengembara ke berbagai provinsi, dia tak pernah lalai mengirim surat padanya."

"Sering terjadi bahwa jika pada usia dua puluh empat atau dua puluh lima seorang laki-laki memiliki keberanian besar, dia juga seorang pembual, dan jika dia lemah lembut, dia seorang pesolek," kata si kepala dapur.

"Seakan-akan lahir di kandang, dia segera melupakan jasa-jasa orangtuanya dan hidup mementingkan dirinya sendiri."

"Tapi ingat, Tuan Mitsuhide tidak hanya memiliki sisi lembut," ujar Mataichi. "Dia juga mempunyai sisi ganas, meski tidak tampak dari luar.

Sisi ganasnya jarang muncul ke permukaan, tapi kalau dia sudah marah, tak ada yang sanggup menahannya."

"Jadi, walaupun dia tampak ramah, kalau dia sudah marah..."

"Tepat sekali. Seperti yang terjadi hari ini." "Hari ini?"

"Dalam keadaan darurat, pada waktu dia memikirkan mana yang benar dan mana yang salah, dia memikirkannya sampai tuntas. Tapi kalau dia sudah mengambil keputusan, rasanya seperti tanggul yang bobol, seketika dia memberi perintah pada sepupunya, Tuan Mitsuharu."

"Dia memang berbakat memimpin—seorang jendral sejak lahir."

"Tuan Mitsuharu amat setia pada Tuan Mitsuhide, karena itu dia mau menjalankan setiap perintahnya. Hari ini dia segera menaiki kudanya dan berangkat ke Benteng Sagiyama."

"Menurutmu, apa yang sedang terjadi?" "Aku tidak tahu." '"Tanak nasi sebanyak-banyaknya. Siapkan perbekalan untuk pasukan kita. Mungkin bakal terjadi pertempuran di tengah malam. Itu yang dikatakan Tuan Mitsuhide sebelum dia pergi."

"Persiapan untuk keadaan darurat, heh?"

"Aku akan bersyukur kalau kita hanya sampai pada tahap persiapan, sebab kalau terjadi pertempuran antara Sagiyama dan Inabayama, pihak mana yang harus kita bela? Pihak mana pun yang kita pilih, kita akan melepaskan anak panah ke arah teman dan saudara sendiri."

"Hmm, mungkin tidak akan sampai sejauh itu. Sepertinya Tuan Mitsuhide telah menyiapkan rencana untuk mencegah pertempuran."

"Dewa-dewa menjadi saksi bahwa aku mendoakan agar dia berhasil. Kalau marga-marga tetangga menyerang kita, aku siap bertempur kapan saja."

Di luar, malam telah tiba. Langit tampak gelap gulita. Tiupan angin menerjang dapur, dan api di dalam tungku-tungku besar menggemuruh dan bertambah terang. Hiyoshi, yang masih jongkok di depan tungku, mencium bau nasi hangus.

"Hei! Nasinya sudah hangus! Kalian membiarkan nasinya hangus!"

"Minggir kau!" para pelayan berkata tanpa mengucapkan terima kasih.

Setelah mereka mengecilkan api di dalam tungkutungku, salah seorang memanjat tangga dan memindahkan nasi ke dalam ember besar. Semua orang yang sedang tidak sibuk mengerjakan sesuatu mulai menyiapkan perbekalan. Hiyoshi membantu mereka, membentuk nasi menjadi bola. Ia pun makan beberapa suap, tapi tampaknya tak ada yang peduli. Seakan-akan tak sadar, mereka terus menyiapkan perbekalan sambil mengobrol.

"Sepertinya bakal ada pertempuran, ya?"

"Tidak bisakah mereka mengakhirinya tanpa berperang?"

Mereka menyiapkan perbekalan untuk para prajurit, tapi sebagian besar berharap perbekalan itu takkan dibutuhkan.

Pada Jam Anjing, Mitsuhide memanggil Mataichi yang lalu keluar, tapi segera kembali sambil berseru, "Penjual jarum! Mana si penjual jarum?!"

Hiyoshi langsung berdiri, menjilati butir-butir nasi yang menempel di jarinya. Ia hanya keluar satu langkah dari dapur, untuk mengetahui kekuatan angin.

"Ayo ikut. Tuan Mitsuhide menunggu. Dan cepat sedikit."

Hiyoshi mengikuti Mataichi. Ia menyadari bahwa pelayan itu mengenakan baju tempur ringan, seakanakan siap maju ke medan laga. Hiyoshi sama sekali tidak tahu ke mana mereka menuju. Akhirnya mereka melewati gerbang utama dan ia mengerti. Setelah mengelilingi pekarangan belakang, mereka sampai di depan. Di luar gerbang, seorang penunggang kuda telah menunggu. "Mataichi." Mitsuhide mengenakan baju yang ia pakai siang tadi. Ia menggenggam tali kekang di tangannya, dan menjepit tombak panjang di bawah lengan.

"Ya, tuanku."

"Si penjual jarum?" "Ada di sini."

"Kalian berdua berangkat lebih dulu."

Sambil berpaling pada Hiyoshi, Mataichi memberi perintah, "Ayo, tukang jarum, jalan."

Kedua orang itu bergegas menembus kegelapan malam. Mitsuhide mengikuti mereka di atas kudanya. Mereka tiba di sebuah persimpangan, dan Mitsuhide menyuruh mereka membelok ke kanan, lalu ke kiri. Akhirnya Hiyoshi menyadari bahwa mereka mencapai gerbang Jozaiji, tempat berkumpul orang-orang Hachisuka. Dengan gesit Mitsuhide turun dari kudanya.

"Mataichi, jaga kudaku di sini," ia berkata sambil menyerahkan tali kekang. "Mestinya Mitsuharu datang dari Benteng Sagiyama menjelang berakhirnya Jam Anjing. Kalau dia tidak muncul pada jam yang sudah disepakati, rencana kita dibatalkan." Kemudian, dengan ekspresi sedih pada wajahnya, ia berkata, "Kota kita telah menjadi rumah bagi iblis-iblis yang berperang. Bagaimana mungkin manusia biasa sanggup menebak hasilnya?"

Bagian terakhir kalimat itu hilang tertelan kemurungan yang menyelubunginya. "Tukang jarum! Tunjukkan jalannya."

"Jalan ke mana?" Hiyoshi memperkuat diri untuk menghadapi terpaan angin.

"Ke hutan tempat bajingan-bajingan dari Hachisuka mengadakan pertemuan."

"Ehm, hamba pun tidak tahu tempatnya." "Walaupun kau baru pertama kali ke sini, kurasa

mereka cukup mengenal wajahmu." "Hah?"

"Jangan berlagak pilon!"

Percuma saja, pikir Hiyoshi. Mitsuhide tak bisa dikelabui, dan selanjutnya ia tidak mencoba berbohong lagi.

Hutan gelap gulita. Angin menerbangkan daundaun yang lalu menerpa atap kuil seperti percikan air menerpa haluan kapal. Hutan di balik kuil tampak seperti lautan yang sedang mengamuk—pohon-pohon mengerang-erang dan rerumputan bergemuruh.

"Tukang jarum!" "Ya, Tuan."

"Rekan-rekanmu sudah datang?" "Bagaimana hamba bisa tahu?"

Mitsuhide menduduki pagoda kecil di bagian belakang kuil. "Jam Anjing sudah hampir berakhir. Kalau kau satu-satunya orang yang belum datang, mereka tentu berjaga-jaga." Tombaknya, yang diterjang angin dengan kekuatan penuh, berada tepat di depan kaki Hiyoshi. "Datangi mereka!"

Hiyoshi terpaksa mengakui bahwa sejak semula Mitsuhide sudah selangkah lebih maju. "Beritahu mereka bahwa Akechi Mitsuhide ada di sini, dan dia ingin bicara dengan pemimpin orang-orang Hachisuka."

"Baik, Tuan." Hiyoshi menganggukkan kepala, namun tidak bergerak, "Apakah hamba boleh menyampaikan pesan Tuan di hadapan mereka semua?"

"Ya."

"Dan untuk itukah Tuan membawa hamba ke sini?" "Ya. Sekarang pergilah."

"Hamba akan pergi, tapi karena kita mungkin tidak berjumpa lagi, hamba perlu mengatakan sesuatu."

"Ya?"

"Hamba akan menyesal kalau pergi tanpa mengatakan ini, sebab Tuan memandang hamba hanya sebagai kaki-tangan orang-orang Hachisuka."

"Itu benar."

"Tuan cerdas sekali, tapi mata Tuan terlalu tajam, dan malah menembus apa yang sedang Tuan lihat. Jika seseorang memukul paku, dia harus berhenti pada saat yang tepat, sebab memukul paku terlalu dalam sama buruknya dengan memukul kurang dalam. Kecerdasan Tuan seperti itu. Memang benar bahwa hamba datang ke Inabayama bersama orang-orang Hachisuka. Tapi hati nurani hamba tidak bersama mereka—sama sekali tidak. Hamba lahir dari keluarga petani di Nakamura, dan hamba pernah melakukan macam-macam pekerjaan, misalnya menjual jarum seperti ini, tapi hamba belum mencapai cita-cita hamba. Hamba tidak bermaksud menghabiskan sisa hidup hamba dengan makan nasi dingin dari meja seorang ronin. Hamba juga tidak mau jadi penghasut dengan imbalan yang tak ada artinya. Kalau secara kebetulan kita bertemu lagi, hamba akan membuktikan bahwa Tuan terlalu curiga terhadap dunia. Sekarang hamba akan menemui Hachisuka Shichinai, menyampaikan pesan Tuan, kemudian langsung pergi. Semoga berhasil! Berhati-hatilah, dan belajarlah dengan tekun."

Mitsuhide mendengarkan sambil membisu, lalu tiba-tiba terjaga dari lamunannya. "Tukang jarum! Tunggu!" ia berseru.

Hiyoshi sudah menghilang tertelan badai. Ia berlari memasuki hutan gelap tanpa mendengar seruan Mitsuhide. Ia berlari sampai mencapai sebidang tanah rata yang terlindung dari angin, karena dikelilingi pepohonan.

Ia melihat sejumlah orang di sekitarnya, terpencarpencar seperti kawanan kuda liar di padang rumput, beberapa tidur-tiduran, beberapa duduk, beberapa berdiri.

"Siapa itu?" "Aku." "Hiyoshi?" "Ya."

"Ke mana saja kau? Kau yang terakhir. Semuanya cemas karena kau," salah seorang menggerutu. "Maaf, aku terlambat," Hiyoshi berkata sambil mendekat. Tubuhnya gemetaran. "Di mana Tuan Shichinai?"

"Dia di sebelah sana. Sana, minta maaf. Dia betulbetul marah."

Empat atau lima anggota gerombolan berdiri mengelilingi Shichinai.

"Si Monyet sudah datang?" tanya Shichinai sambil menatap berkeliling.

Hiyoshi menghampirinya dan minta maaf karena datang terlambat.

"Kenapa kau baru datang?"

"Sepanjang siang hamba ditahan oleh seorang pengikut marga Saito," Hiyoshi mengakui.

"Apa?" Shichinai dan yang lain menatapnya dengan gelisah, takut rencana mereka telah terbongkar. "Tolol!" Tanpa peringatan, ia menggenggam kerah baju Hiyoshi, menariknya dengan kasar, dan bertanya dengan ketus, "Di mana dan oleh siapa kau ditahan? Dan apakah kau buka mulut?"

"Hamba bicara." "Kau apa?"

"Kalau hamba tidak bicara, sekarang hamba sudah tak bernyawa. Hamba takkan datang ke sini."

"Haram jadah!" Shichinai mengguncang-guncang Hiyoshi. "Dungu! Kau buka mulut untuk menyelamatkan nyawamu sendiri. Untuk itu, kaulah yang bakal jadi korban pertama dalam pertumpahan darah malam ini." Ia melepaskan Hiyoshi dan mencoba menendangnya, tapi dengan gesit Hiyoshi melompat mundur, sehingga tendangan Shichinai hanya menerjang tempat kosong. Dua orang yang berdiri paling dekat dengan Hiyoshi menangkap dan memuntir kedua lengannya ke belakang. Sambil berusaha membebaskan diri, Hiyoshi berkata dalam satu tarikan napas, "Jangan gegabah. Dengarkan hamba dulu, walaupun hamba tertangkap dan buka mulut. Mereka pengikut Saito Dosan."

Rekan-rekannya tampak lega, tapi juga agak raguragu.

"Baiklah, siapa mereka?"

"Rumah itu milik Akechi Mitsuyasu. Tapi yang menahan hamba bukan dia, melainkan keponakannya, Mitsuhide."

"Ah, si pengikut Akechi," seseorang bergumam.

Hiyoshi menatap orang itu, lalu mengalihkan pandangannya pada seluruh gerombolan. "Tuan Mitsuhide ini ingin bertemu dengan pemimpin kita. Dia datang ke sini bersama hamba. Dia di sebelah sana. Tuan Shichinai, sudikah Tuan menemuinya?"

"Keponakan Akechi Mitsuyasu ikut ke sini denganmu?"

"Ya."

"Kaubeberkan seluruh rencana kita pada Mitsuhide?"

"Kalau tidak, dia pasti bisa menebaknya. Dia jenius." "Untuk apa dia ke sini?"

"Hamba tidak tahu. Dia hanya menyuruh hamba menunjukkan jalan ke sini."

"Dan kau membawanya ke sini?"

"Tak ada lagi yang bisa hamba lakukan."

Sementara Hiyoshi dan Shichinai berbicara, orangorang di sekitar mereka menelan ludah sambil mendengarkan percakapan itu. Akhirnya Shichinai mendecakkan lidah. la melangkah maju dan bertanya, "Baiklah, di mana Tuan Mitsuhide itu?"

Tiba-tiba sebuah suara terdengar di belakang mereka, "Orang-orang Hachisuka, akulah yang mendatangi kalian. Dapatkah aku bertemu dengan Tuan Shichinai?"

Terkejut, mereka berbalik ke arah sumber suara itu. Kedatangan Mitsuhide tidak diketahui, dan ia mengamati mereka dengan tenang.

Shichinai merasa agak bingung, tapi sebagai pemimpin ia melangkah maju.

"Apakah aku berhadapan dengan Tuan Hachisuka Shichinai?" tanya Mitsuhide.

"Betul," balas Shichinai sambil menegakkan kepala. Ia berdiri di depan orang-orangnya, tapi memang biasa seorang ronin tidak bersikap merendah di hadapan samurai yang mengabdi pada bangsawan atau prajurit dengan kedudukan lebih tinggi lagi.

Meskipun Mitsuhide bersenjatakan tombak, ia membungkuk dan berkata dengan sopan, "Bertemu Tuan merupakan kehormatan bagiku. Aku sudah pernah mendengar nama Tuan, begitu juga nama Tuan Koroku yang amat disegani. Aku Akechi Mitsuhide, pengikut Saito Dosan."

Kesopanan lawan bicaranya membuat Shichinai merasa seolah-olah lumpuh.

"Hmm, apa maumu?" ia bertanya. "Rencana malam ini."

"Ada apa dengan rencana malam ini?" tanya Shichinai sambil berlagak acuh tak acuh.

"Ini menyangkut keterangan-keterangan yang kuperoleh dari si tukang jarum, yang membuatku begitu terkejut, sehingga aku segera datang ke sini. Kebiadaban yang akan berlangsung malam ini—maaf, kata kebiadaban mungkin terasa kurang sopan—tapi dari segi strategi militer, rencana Tuan sungguh kurang matang. Aku tak percaya ini gagasan Tuan Dosan. Aku berharap Tuan segera membatalkannya."

"Tidak mungkin!" Shichinai berseru dengan angkuh. "Bukan aku yang memberi perintah untuk melaksanakan rencana ini. Perintahnya datang dari Tuan Koroku, atas permintaan Saito Dosan."

"Aku memang sudah menduga bahwa duduk persoalannya begitu,"

Mitsuhide berkata dengan nada biasa. "Tentu saja Tuan takkan membatalkannya atas wewenang sendiri. Sepupuku Mitsuharu telah pergi ke Sagiyama untuk berunding dengan Saito Dosan. Dia akan menemui kita di sini. Kuminta kalian semua tetap di sini sampai dia datang." Mitsuhide senantiasa bersikap sopan, namun sekaligus tegas dan berani.

Tapi kesopanan bisa memberikan efek yang berbeda-beda pada si lawan bicara, tergantung kehalusan perasaannya, dan adakalanya salah satu pihak menjadi congkak.

Hah! Anak muda yang tak berarti. Dia mengenyam sedikit pendidikan, tapi dia hanya anak bawang, mencaricari alasan, pikir Shichinai. "Kami takkan menunggu!" ia berseru, lalu berkata tanpa tedeng aling-aling, "Tuan Mitsuhide, jangan ikut campur dalam sesuatu yang bukan urusanmu. Kau hanya manusia tak berguna. Bukankah kau tanggungan pamanmu?"

"Aku tak punya waktu untuk memikirkan kewajibanku. Dan ini merupakan keadaan darurat bagi junjunganku."

"Seandainya kau memang berpikiran begitu, seharusnya kau menyiapkan diri dengan baju tempur dan perbekalan, menggenggam obor seperti kami, dan berada di barisan terdepan dalam serangan ke Inabayama."

"Tidak, aku tak bisa berbuat begitu. Ada kesulitan tertentu sebagai pengikut."

"Maksudmu?"

"Bukankah Tuan Yoshitatsu ahli waris Tuan Dosan? Kalau Tuan Dosan junjungan kami, begitu pula Tuan Yoshitatsu."

"Tapi bagaimana kalau dia menjadi musuh?"

"Itu keji. Pantaskah ayah dan anak saling menarik tali busur dan memanah? Di dunia ini, bahkan burung dan hewan liar pun tidak melakukan tindakan tercela seperti itu."

"Kau merepotkan sekali. Kenapa kau tidak pulang saja dan tidak mengganggu kami?"

"Itu tak bisa kulakukan." "Hah?"

"Aku takkan pergi sebelum Mitsuharu tiba."

Untuk pertama kali Shichinai menangkap keteguhan hati yang terkandung dalam suara anak muda di hadapannya. Ia juga melihat kesungguhan dalam tombak di sisi Mitsuhide.

"Mitsuhide! Kau di sana?" Mitsuharu muncul, napasnya tersengal-sengal.

"Di sebelah sini. Apa yang terjadi di benteng?" "Tidak bagus." Mitsuharu, dengan bahu bergerak

naik-turun, meraih tangan sepupunya. "Saito Dosan tidak bersedia membatalkan rencananya, tak peduli apa yang terjadi. Bukan hanya dia, tapi juga ayahku, berkata bahwa kita, sebagai pengikut, tidak seharusnya melibatkan diri."

"Pamanku juga?"

"Ya, dia marah sekali. Aku bersedia mempertaruhkan nyawa dan berusaha sedapat mungkin. Keadaannya sangat menyedihkan. Kelihatannya para prajurit sudah bersiap-siap meninggalkan Sagiyama. Aku khawatir kota sudah mulai dibakar, jadi aku datang secepat mungkin. Mitsuhide, apa yang harus kita lakukan?" "Saito Dosan berkeras untuk membakar Inabayama, tak peduli apa yang terjadi?"

"Tak ada jalan keluar. Sepertinya kita hanya bisa melaksanakan kewajiban kita, dan gugur sebagai abdinya."

"Aku sama sekali tak suka! Biarpun dia tuan dan junjungan kita, tidak sepatutnya seorang laki-laki mati untuk tujuan yang begitu hina. Itu sama saja dengan kematian seekor anjing."

"Ya, tapi apa yang bisa kita lakukan?"

"Kalau kota tidak jadi dibakar, pasukan Sagiyama takkan bergerak. Kita harus menangani sumber kebakaran sebelum apinya mulai menyala." Ucapan Mitsuhide seakan-akan keluar dari mulut orang lain. la kembali berpaling pada Shichinai dan orang-orangnya, dengan tombak siap siaga. Shichinai dan anak buahnya menyebar dan membentuk lingkaran.

"Apa maksudmu?" Shichinai menghardik Mitsuhide. "Mengarahkan tombak pada kami? Tombak jelek, lagi."

"Itulah yang kulakukan." Suara Mitsuhide bernada tegas. "Tak ada yang meninggalkan tempat ini. Kalau kalian mau merenung sejenak, kalian akan mematuhiku dan membatalkan rencana biadab malam ini. Dan kalau kalian mau kembali ke Hachisuka, kami akan membiarkan kalian hidup, dan aku akan memberi ganti rugi setinggi mungkin. Bagaimana?"

"Kaupikir kami bisa pergi sekarang?"

"Ini keadaan darurat. Peristiwa ini mungkin akan membawa keruntuhan bagi seluruh marga Saito. Aku bertindak untuk mencegah kejadian yang dapat menjatuhkan baik Inabayama maupun Sagiyama."

"Bodoh!" seseorang berteriak. "Kau masih bau kencur. Kaupikir kau bisa menghalangi kami? Kalau kau nekat mencobanya, kaulah yang pertama-tama terbunuh."

"Sejak pertama aku sudah siap menghadapi kematian." Alis Mitsuhide tampak melengkung seperti alis iblis. "Mitsuharu!" seru Mitsuhide, tanpa mengubah kuda-kudanya. "Ini pertarungan sampai mati. Kau bersamaku?"

"Tentu saja! Jangan pikirkan aku." Mitsuharu telah mencabut pedang panjangnya, dan berdiri beradu punggung dengan Mitsuhide. Mitsuhide, yang tetap menyimpan secercah harapan, sekali lagi memohon pada Shichinai.

"Kalau Tuan takut kehilangan muka pada waktu kembali ke Hachisuka, bagaimana kalau Tuan membawaku sebagai sandera, betapapun tak bernilainya aku? Aku akan menghadap Tuan Koroku dan membahas benar-salahnya masalah ini dengannya. Dengan demikian, urusan ini bisa diselesaikan tanpa pertumpahan darah."

Meski masuk akal dan penuh kesabaran, katakatanya hanya dianggap rengekan belaka. Lebih dari dua puluh orang Hachisuka membentuk barisan untuk melawan dua orang saja.

"Diam! Jangan dengarkan dia! Jam Anjing sudah hampir berlalu!"

Beberapa orang melepaskan teriakan perang, dan Mitsuhide serta Mitsuharu terperangkap di tengah gerombolan serigala—menghadapi tombak dan pedang dari segala arah. Seruan para prajurit dan benturan senjata bercampur baur dengan gemuruh angin, dan pemandangan segera berubah menjadi pusaran perang yang mengerikan.

Pedang-pedang patah dan beterbangan. Tombaktombak mengejar-ngejar percikan darah. Hiyoshi menyadari bahaya yang mengancamnya jika ia berada di tengah-tengah pembantaian ini, karena itu ia cepatcepat memanjat ke atas pohon. Ia pernah melihat pedang terhunus, tapi ini pertama kalinya ia terlibat langsung dalam sebuah pertempuran. Apakah Inabayama akan berubah menjadi lautan api? Mungkinkah terjadi pertempuran antara Dosan dan Yoshitatsu? Ketika menyadari bahwa ia sedang menyaksikan penentuan hidup atau mati, ia merasakan gairah yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.

Hanya diperlukan dua atau tiga mayat untuk memaksa orang-orang Hachisuka melarikan diri ke hutan.

Hah! Mereka kabur! pikir Hiyoshi. Tapi, untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan mereka kembali, ia secara bijaksana memilih untuk tetap berada di atas pohon. Pohon itu kemungkinan besar pohon berangan, sebab tangan dan tengkuknya terasa ditusuk-tusuk. Buah-buah dan ranting-ranting berangan jatuh ke tanah, karena pohon itu diguncangguncang oleh badai. Hiyoshi menganggap orang-orang Hachisuka sebagai gerombolan pengecut bermulut besar yang dipaksa lari kocar-kacir oleh dua orang saja. Ia memasang telinga. "Apa itu?" Ia menjadi bingung.

Hujan bara api turun bagaikan abu gunung berapi. Ia mengintip di antara dahan-dahan. Sambil kabur, orang-orang Hachisuka ternyata masih sempat menyulut kebakaran.

Dua atau tiga bagian hutan sudah terbakar hebat, dan beberapa bangunan di balik Kuil Jozaiji telah terjilat api.

Hiyoshi melompat turun dan mulai berlari. Kalau ia membuang-buang waktu sekejap pun, ia akan hangus terbakar di tengah hutan. Langit dipenuhi percikan api—burung-burung api, kupu-kupu api. Dindingdinding putih Benteng Inabayama kini berkilau merah, dan tampak lebih dekat dibanding pada siang hari. Api peperangan tampak berkobar-kobar.

"Perang!" Hiyoshi berseru ketika berlari menyusuri jalan-jalan. "Perang! Kiamat telah tiba! Sagiyama dan Inabayama akan runtuh! Tapi di atas puing-puing, rumput akan tumbuh kembali. Kali ini rumputnya akan tumbuh tegak!"

Ia bertabrakan dengan orang-orang.

Seekor kuda tanpa penunggang berlari melewatinya. Di sebuah persimpangan jalan, sejumlah pengungsi tampak berkerumun, gemetar ketakutan. Hiyoshi, terbawa oleh gairahnya yang meluap-luap, berlari sekuat tenaga, berteriak-teriak seperti peramal malapetaka. Ke mana?

Ia tidak memiliki tujuan. Ia tak bisa kembali ke Desa Hachisuka, itu sudah pasti. Pokoknya, ia meninggalkan apa yang paling tak disukainya tanpa penyesalan—orang-orang murung, penguasa berhati gelap, perang saudara, dan peradaban busuk, semuanya di dalam satu provinsi.

Ia melewatkan musim dingin dalam pakaiannya yang tipis, menjual jarum di bawah langit dingin, mengembara ke mana pun kakinya membawa.

Tahun berikutnya, Tahun Temmon kedua puluh, ketika bunga pohon persik bermekaran di mana-mana, ia masih berseru, "Belilah jarum! Jarum dari ibu kota! Jarum jahit dari ibu kota!"

Ia mendekati perbatasan Hamamatsu sambil berjalan tanpa beban pikiran, seperti biasa. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar