Bab 02 : Tenzo Si Bandit
LEBIH dari setahun telah berlalu sejak Hiyoshi kembali ke rumah. Kini usianya sebelas tahun. Setiap kali ia menghilang dari pandangan Chikuami, walau hanya sejenak, ayah tirinya itu akan mencarinya sambil berteriak sekuat tenaga, "Monyet! Kau sudah selesai potong kayu bakar? Kenapa belum? Kenapa kautinggalkan ember di sawah?" Jika Hiyoshi berani membantah, telapak tangan ayah tirinya yang keras dan kasar segera melayang ke pelipis anak itu. Pada saat seperti itu, ibunya, dengan bayi terikat di punggung sementara ia menginjak-injak gandum atau memasak, memaksakan diri untuk membuang muka dan tetap membisu. Meski demikian, wajahnya tampak kesakitan, seakan-akan ia sendiri yang kena tampar.
"Sudah seharusnya bocah umur sebelas tahun meringankan pekerjaan orangtuanya. Kalau kaupikir kau bisa menyelinap ke luar untuk bermain-main terus, aku akan memberi pelajaran padamu!"
Chikuami yang suka berbicara kotor memaksa Hiyoshi bekerja keras. Tapi, setelah dipulangkan dari kuil, Hiyoshi bekerja membanting tulang, seakan-akan telah menjadi orang lain. Pada kesempatankesempatan saat ibunya secara tidak bijaksana berusaha melindungi Hiyoshi, tangan dan suara Chikuami yang kasar semakin menjadi-jadi. Kini Chikuami jarang pergi ke sawah, tapi ia sering tidak berada di rumah. Biasanya ia pergi ke desa, lalu pulang dalam keadaan mabuk dan membentak-bentak anakistrinya.
"Sekeras apa pun aku bekerja, rumah ini tetap saja dilanda kemiskinan," ia mengeluh. "Di sini terlalu banyak parasit, dan pajak tanah juga naik terus. Kalau bukan karena anak-anak ini, aku lebih baik jadi samurai tak bertuan—jadi ronin! Aku akan minum sake yang lezat. Ah, kalau saja tangan dan kakiku tidak terbelenggu."
Setelah ledakan amarah seperri itu, ia akan memaksa istrinya menghitung uang yang mereka miliki, lalu menyuruh Otsumi atau Hiyoshi membeli sake, bahkan di tengah malam buta sekalipun.
Kadang-kadang, jika ayah tirinya kebetulan tidak kelihatan, Hiyoshi mengungkapkan perasaannya. Onaka memeluknya dengan erat, dan berusaha menghiburnya.
"Ibu, aku ingin pergi dan bekerja lagi," ia berkata suatu hari.
"Tolong, jangan pergi. Kalau bukan karena kau ada di sini..." Kata-kata selanjurnya tak dapat dipahami karena isak tangisnya. Onaka memalingkan wajah dan mengusap mata. Melihat ibunya berurai air mata, Hiyoshi tak bisa berkata apa-apa. Ia ingin lari dari rumah, tapi ia tahu ia harus tetap di tempat dan menanggung segala kesedihan dan kegetiran. Kalau ia merasa kasihan pada ibunya, keinginan-keinginan alami di masa muda—keinginan untuk bermain, makan, belajar, kabur—semakin mekar dalam dirinya.
Semuanya itu beradu dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Chikuami pada Onaka dan kepalan tinju yang menghujani kepalanya.
"Sialan!" ia bergumam. Darahnya serasa mendidih di tubuhnya yang kecil. Akhirnya ia membulatkan tekad untuk menghadapi ayah tirinya yang menakutkan itu.
"Aku ingin pergi dan bekerja lagi," katanya. "Aku lebih suka jadi pelayan daripada tinggal di rumah ini."
Chikuami tidak keberatan. "Baik," ia menanggapi permintaan Hiyoshi.
"Pergilah ke mana pun kau suka, dan makanlah nasi orang lain. Tapi kalau kau diusir lagi, jangan kembali ke rumah ini." Ia bersungguh-sungguh.
Meskipun sadar bahwa Hiyoshi baru berusia sebelas tahun, ia merasa berhadapan dengan orang yang sebaya, dan ini membuatnya makin berang.
Majikan Hiyoshi berikutnya adalah tukang celup di desa.
"Dia banyak omong dan malas bekerja. Dia cuma cari tempat yang nyaman untuk mengorek-ngorek kotoran dari pusarnya," ujar salah seorang pekerja.
Tak lama setelah itu, datang kabar dari si perantara, "Rasanya dia tidak berguna." Dan sekali lagi Hiyoshi dipulangkan.
Chikuami memelototinya. "Nah, bagaimana, Monyet? Apakah masyarakat mau memberi makan pada pemalas seperti kau? Apa kau belum paham juga, betapa berharganya orangtuamu?"
Hiyoshi ingin menjawab, "Aku tidak malas!" Namun yang terucap olehnya adalah, "Kaulah yang tidak lagi bertani, dan akan lebih baik kalau kau tidak cuma berjudi dan mabuk-mabukan di pasar kuda. Semua orang kasihan pada Ibu."
"Beraninya kau berkata begitu pada ayahmu!" Suara Chikuami yang menggelegar membuat Hiyoshi terdiam, tapi kini Chikuami mulai melihat anak itu dari sudut lain. Sedikit demi sedikit dia bertambah dewasa, ia berkata dalam hati. Setiap kali Hiyoshi merantau lalu kembali lagi, ia kelihatan lebih besar. Matanya yang menilai orangtua dan rumahnya menjadi matang dengan cepat. Kenyataan bahwa Hiyoshi memandangnya dengan mata orang dewasa terasa sangat mengganggu, menakutkan, dan tidak menyenangkan bagi ayah tirinya.
"Cepat, cepat cari kerja lain!" ia memerintah.
Keesokan harinya, Hiyoshi mendatangi majikan berikutnya, tukang kandang ayam di desa. Dalam waktu sebulan ia sudah kembali lagi. Istri si pemilik toko mengeluh, "Aku tidak bisa menerima anak yang begitu mengganggu di rumahku."
Ibu Hiyoshi tak mengerti apa yang ia maksud dengan "mengganggu".
Tempat lain di mana Hiyoshi sempat magang adalah bengkel tukang plester, warung makan di pasar kuda, dan bengkel pandai besi. Setiap kali ia tidak bertahan lebih lama dari tiga sampai enam bulan. Lama-lama reputasinya begitu buruk, sehingga tak ada lagi yang bersedia menjadi perantara baginya.
"Ah, anak di rumah Chikuami itu. Dia pemalas dan tak berguna."
Tentu saja ibu Hiyoshi merasa malu. Anaknya membuatnya serbasalah, dan sebagai tanggapan terhadap gunjingan orang-orang, ia langsung mencela Hiyoshi, seakan-akan kenakalan Hiyoshi tak bisa diatasi lagi. "Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan," ia sering berkata. "Dia benci bertani, dan dia tidak mau tinggal di rumah."
Di musim semi, di usianya yang keempat belas, Hiyoshi dinasihati oleh ibunya, "Kali ini kau harus bertahan. Kalau kejadian yang sama terulang kembali, adik perempuanku takkan berani menatap wajah Tuan Kato, dan semua orang bakal tertawa dan berkata, 'Lagi?' Ingat, kalau kau gagal kali ini, aku takkan pernah memaafkanmu."
Keesokan harinya bibinya membawanya ke Shinkawa untuk diwawancarai. Rumah besar dan megah yang mereka datangi milik Sutejiro, si saudagar tembikar. Ofuku kini telah menjadi remaja pucat berusia enam belas tahun.
Dengan membantu ayah angkatnya, ia telah mempelajari seluk-beluk bisnis tembikar.
Di toko tembikar, pembedaan antara atasan dan bawahan ditegakkan dengan ketat. Pada wawancaranya yang pertama, Hiyoshi berlutut penuh hormat di serambi kayu, sementara Ofuku duduk di dalam, mengunyah kue, dan berbincang-bincang dengan orangtuanya.
"Hmm, rupanya si Monyet anak Yaemon. Ayahmu meninggal, dan Chikuami dari desa menjadi ayah tirimu. Dan sekarang kau mau mengabdi di rumah ini? Kau harus bekerja keras." Kata-kata itu diucapkan dengan nada begitu congkak, sehingga tak seorang pun yang sempat mengenal Ofuku kecil akan percaya bahwa yang mengucapkannya adalah orang yang sama.
"Ya, Juragan," balas Hiyoshi.
Ia dibawa ke tempat para pelayan. Dari sana ia bisa mendengar suara tawa keluarga majikannya di ruang duduk. Ia semakin kesepian, karena temannya sama sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat.
"Hei, Monyet!" Ofuku tidak memilih-milih katakatanya. "Besok kau harus bangun pagi-pagi dan pergi ke Kiyosu. Karena kau akan mengantarkan barang untuk seorang pejabat, naikkan semua paket ke gerobak biasa. Dan sebelum pulang, kau harus mampir di tempat agen kapal untuk menanyakan, apakah barang-barang tembikar dari Hizen sudah datang. Kalau kau terlambat pulang, seperti waktu itu, kau tidak boleh masuk."
Jawaban Hiyoshi tidak berupa "ya" atau "tidak". Seperti para pegawai yang sudah jauh lebih lama bekerja di toko itu, ia berkata, "Tentu, Juragan, dan dengan segala hormat, Juragan." Hiyoshi sering disuruh ke Nagoya dan Kiyosu. Pada hari itu ia memperhatikan dinding-dinding putih dan tembok-tembok pertahanan yang tinggi di Benteng Kiyosu dan bertanya-tanya dalam hati, orang-orang macam apa yang tinggal di dalam? Bagaimana caranya supaya aku bisa tinggal di sana?
Ia merasa kecil dan tak berdaya, seperti seekor cacing. Ketika menyusuri jalan-jalan di kota, sambil mendorong gerobak yang penuh barang tembikar terbungkus jerami, ia mendengar kata-kata yang kini telah akrab di telinganya,
"Hei, lihat! Ada Monyet!" "Monyet mendorong gerobak!"
Pelacur-pelacur bercadar, perempuan-perempuan kota berpakaian bagus, dan istri-istri muda berwajah cantik dari keluarga baik-baik, semuanya berbisik-bisik, menuding, dan melotot ketika Hiyoshi lewat. Hiyoshi sendiri sudah pandai mengenali yang paling cantik. Yang paling mengganggunya adalah tatapan orangorang, seakan-akan ia merupakan tontonan aneh.
Penguasa Benteng Kiyosu bernama Shiba Yoshimune, dan salah satu pembantu utamanya adalah Oda Nobutomo. Di tempat parit yang mengelilingi benteng bertemu dengan Sungai Gojo, kemegahan Keshogunan Ashikaga yang kini sudah mulai memudar masih terasa, dan kemakmuran yang masih tersisa, biarpun di tengah-tengah kekacauan yang melanda dunia, menegakkan reputasi Kiyosu sebagai kota paling memesona di semua provinsi.
Untuk sake, pergilah ke toko sake. Untuk teh yang nikmat, pergilah ke kedai teh.
Tapi untuk pelacur, Sugaguchi di Kiyosu-lah tempatnya.
Di pusat hiburan Sugaguchi, bordil-bordil dan kedai-kedai teh berderet-deret di sepanjang jalan. Pada siang hari, gadis-gadis muda yang bekerja di bordilbordil bernyanyi sambil bermain. Hiyoshi mendorong gerobaknya di antara mereka. Pikirannya menerawang, "Bagaimana aku bisa jadi orang besar?" Ia terus merenung, tanpa menemukan jawabannya. Suatu hari... suatu hari... Sambil berjalan ia melamun tanpa henti. Kota itu penuh dengan hal-hal yang berada di luar jangkauannya: makanan lezat, rumah mewah, perlengkapan militer yang mencolok, pakaian bagus, dan batu mulia.
Sambil teringat kakak perempuannya yang kurus dan berwajah pucat di Nakamura, ia mengamati uap yang keluar dari pengukus kue apel di sebuah toko kue, dan berharap ia bisa membelikan beberapa potong untuk kakaknya. Ketika melewati sebuah toko obat, ia menatap kantong-kantong berisi ramuan obat, dan berkata pada dirinya sendiri, "Ibu, kalau saja aku bisa memberimu obat seperti itu, aku yakin kau akan sehat dalam sekejap."
Keinginan untuk memperbaiki kehidupan Otsumi dan ibunya selalu hadir dalam angan-angannya. Satusatunya orang yang tak pernah ia pikirkan adalah Chikuami.
Pada waktu ia mendekati kota itu, benaknya dipenuhi angan-angan. Suatu hari... suatu hari... tapi bagaimana? Hanya itu yang terus dipikirkannya. "Dungu!"
Ketika melewati persimpangan jalan yang ramai, ia tiba-tiba berada di tengah-tengah kerumunan orang yang berisik. Gerobaknya telah menabrak seorang samurai berkuda yang diikuti oleh sepuluh pembantu yang membawa tombak dan menuntun seekor kuda. Mangkuk-mangkuk dan piring-piring yang terbungkus jerami jatuh ke jalan dan pecah berantakan. Hiyoshi memandang pecahan-pecahan itu dengan perasaan galau.
"Apa kau buta?" "Dasar tolol!"
Sambil memaki-maki Hiyoshi, para pembantu samurai itu menginjak-injak barang-barang bawaannya. Tak seorang pun dari orang-orang yang lewat menawarkan bantuan. Hiyoshi memunguti semua pecahan, melemparkan semuanya ke dalam gerobak, lalu kembali mendorong. Darahnya mendidih karena penghinaan yang diterimanya di depan umum. Di tengah angan-angannya yang kekanak-kanakan, sebuah pikiran serius menyembul,
"Bagaimana caranya agar aku bisa membuat orangorang seperti itu tak berdaya di hadapanku?"
Beberapa saat kemudian, ia memikirkan kemurkaan yang menunggunya pada saat ia kembali ke rumah majikannya, dan wajah Ofuku yang dingin terus terbayang-bayang. Impian besarnya lenyap ditelan kecemasan, seakan-akan terselubung oleh awan benih pohon opium.
Malam pun tiba. Hiyoshi telah menyimpan gerobak di gudang, dan sedang mencuci kaki di sumur. Kediaman Sutejiro, yang dinamai Wisma Tembikar, menyerupai tempat tinggal sebuah marga samurai. Rumah induk yang megah berhubungan dengan sejumlah bangunan tambahan, dan beberapa gudang berderet di dekatnya.
"Monyet Kecil! Monyet Kecil!"
Ofuku menghampirinya, dan Hiyoshi berdiri. "Apa?"
Ofuku memukul bahu Hiyoshi dengan tongkat bambu yang selalu dibawanya jika ia memeriksa tempat para pegawai atau memberi perintah kepada para kuli di gudang. Ini bukan pertama kalinya ia memukul Hiyoshi. Hiyoshi tersandung, dan langsung berlepotan lumpur lagi.
"Kalau berbicara dengan majikanmu, pantaskah kau bilang 'apa'? Biar sudah diperingatkan berulang kali, sikapmu tidak bertambah baik. Ini bukan rumah petani!"
Hiyoshi tidak menjawab.
"Kenapa kau diam saja? Kau tidak mengerti? Bilang, Ya, Juragan.'"
Karena takut dipukul lagi, Hiyoshi berkata, "Ya, Juragan."
"Kapan kau kembali dari Kiyosu?" "Baru saja."
"Bohong. Aku tanya orang-orang di dapur, dan mereka bilang kau sudah makan."
"Kepala hamba pusing. Hamba takut jatuh pingsan." "Kenapa?"
"Karena hamba lapar setelah berjalan begitu jauh." "Lapar! Waktu kau kembali, kenapa kau tidak
menemui Tuan Besar dan langsung memberi laporan?" "Hamba ingin cuci kaki dulu."
"Alasan, alasan! Orang-orang di dapur bilang, sebagian besar barang yang seharusnya kauantar ke Kiyosu pecah di jalan. Betul itu?"
"Ya."
"Kelihatannya kau tidak merasa bersalah karena tidak langsung minta maaf padaku. Kaupikir kau bisa membohongiku, menganggapnya sebagai kejadian biasa, atau minta orang-orang di dapur untuk menutup-nutupi kesalahanmu. Kali ini aku takkan tinggal diam." Ofuku meraih telinga Hiyoshi dan menariknya. "Ayo, jangan diam saja."
"Hamba mohon dimaafkan."
"Ini mulai jadi kebiasaan. Ini harus diusut sampai tuntas. Ayo, kita menghadap ayahku."
"Maafkan hamba." Suara Hiyoshi mirip teriakan seekor monyet. Ofuku tidak mengendurkan cengkeramannya. Ia berjalan mengelilingi rumah. Jalan setapak yang menghubungkan gudang dengan gerbang pekarangan dilindungi oleh rumpun-rumpun bambu Cina.
Secara mendadak, Hiyoshi menghentikan langkahnya. "Dengar," katanya sambil memelototi Ofuku dan menepiskan tangannya, "ada yang ingin kukatakan padamu."
"Apa maumu? Ingat, aku yang berkuasa di sini," ujar Ofuku. Wajahnya pucat, dan tubuhnya mulai gemetaran.
"Itu sebabnya aku selalu menurut, tapi ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Ofuku, kau sudah lupa masa kecil kita? Dulu kau dan aku berteman, bukan?"
"Masa itu sudah berlalu."
"Baiklah, masa itu memang sudah berlalu, tapi seharusnya kau tidak boleh melupakannya. Waktu mereka mengejekmu dan memanggilmu 'si Anak Cina, ingatkah kau siapa yang selalu membelamu?"
"Aku ingat."
"Kau tidak merasa berutang padaku?" tanya Hiyoshi sambil cemberut. Ia jauh lebih kecil dari Ofuku, tapi sikapnya begitu berwibawa, sehingga tak mungkin untuk menentukan siapa yang lebih tua. "Para pekerja yang lain juga mengeluh," Hiyoshi melanjutkan. "Mereka bilang Tuan Besar sangat baik, tapi Tuan Muda terlalu angkuh dan tidak punya perasaan. Anak seperti kau, yang tidak pernah melarat maupun susah, mestinya mencoba bekerja di rumah orang. Kalau kau masih terus mengganggu aku atau para pegawai yang lain, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan. Tapi ingat, aku punya saudara ronin di Mikuriya. Dia punya lebih dari seribu anak buah. Kalau dia datang ke sini atas permintaanku, dia bisa menghancurkan rumah seperti ini dalam satu malam saja." Ancaman Hiyoshi yang asal bunyi, serta sorot matanya yang menyala-nyala, membuat Ofuku ngeri.
"Tuan Ofuku!"
"Tuan Ofuku! Di mana Tuan Ofuku?"
Para pelayan dari rumah induk telah mencari Ofuku untuk beberapa saat. Ofuku, tercekam oleh tatapan Hiyoshi, tidak berani menyahut.
"Mereka memanggilmu," Hiyoshi bergumam. Dan dengan nada memerintah ia menambahkan, "Kau boleh pergi sekarang, tapi jangan lupa apa yang kukatakan padamu." Ia berbalik dan berjalan menuju pintu belakang rumah. Belakangan, dengan jantung berdebar-debar, ia bertanya-tanya apakah mereka akan menghukumnya. Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa.
Peristiwa itu terlupakan bagitu saja.
***
Penghujung tahun sudah dekat. Di kalangan petani dan penduduk kota, ulang tahun kelima belas seorang anak laki-laki dirayakan dengan upacara akil balig. Tapi dalam kasus Hiyoshi tak ada yang memberinya satu kipas upacara pun, apalagi sebuah pesta. Berhubung Tahun Baru, ia duduk di salah satu pojok serambi kayu bersama pegawai-pegawai lainnya, mengendus-endus dan menikmati kue beras yang dikukus dengan sayur-mayur—suatu kemewahan yang jarang diperolehnya. Dalam hati ia bertanya-tanya, "Apakah ibuku dan Otsumi bisa menikmati kue beras Tahun Baru ini?" Walau berasal dari keluarga petani, Hiyoshi ingat banyak perayaan Tahun Baru mereka lalui tanpa kuekue. Orang-orang di sekelilingnya pun menggerutu.
"Nanti malam Tuan Besar bakal terima tamu, jadi kita harus duduk tegak dan mendengarkan ceritaceritanya."
"Aku akan berlagak sakit perut dan berbaring di tempat tidur."
"Aku benci itu. Terutama di Tahun Baru."
Setiap tahun ada dua atau tiga kesempatan serupa, pada waktu Tahun Baru dan pada waktu Festival Dewa Kemakmuran. Apa pun perayaannya,
Sutejiro selalu mengundang banyak tamu: para pembuat tembikar dari Seto, keluarga para pelanggan istimewa di Nagoya dan Kiyosu, anggota-anggota marga samurai, dan bahkan kenalan-kenalan sanak saudaranya.
Mulai malam itu, rumahnya akan penuh orang. Hari itu Sutejiro tampak lebih gembira daripada biasa. Sambil membungkuk rendah-rendah, ia sendiri menyambut para tamu, sekaligus minta maaf atas segala kelalaiannya selama tahun yang baru berlalu. Di ruang minum teh, yang dihiasi sekuntum bunga sangat indah yang dipilih dengan saksama, istri Sutejiro yang cantik menghidangkan teh untuk tamutamunya.
Perlengkapan yang digunakannya termasuk barang langka dan bernilai tinggi.
Shogun Ashikaga Yoshimasa-lah yang menjelang akhir abad lalu pertama-tama memperkenalkan upacara minum teh sebagai cara mengasah cita rasa.
Kebiasaan itu menyebar ke kalangan rakyat biasa, dan dalam waktu singkat, tanpa ada yang menyadarinya, minum teh telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Di dalam ruang minum teh yang kecil, ditemani sekuntum bunga dan secawan teh, orang bisa melupakan kekacauan dunia dan penderitaan manusia. Di tengah-tengah dunia yang penuh borok pun upacara minum teh tetap merupakan latihan mengolah jiwa.
"Apakah aku mendapat kehormatan berhadapan dengan istri tuan rumah?" tanya seorang samurai berbadan kekar yang datang bersama tamu-tamu lainnya. "Namaku Watanabe Tenzo. Aku teman saudara tuan rumah, Shichirobei. Dia berjanji untuk mengajakku, tapi sayangnya dia jatuh sakit, sehingga aku datang seorang diri." Ia membungkuk sopan. Sikapnya lemah lembut, dan meski penampilannya seperti samurai pedesaan, ia minta secawan teh. Istri Sutejiro menghidangkannya dalam cawan Seto berwarna kuning.
"Aku tidak terbiasa dengan tata cara upacara minum teh," Tenzo mengakui.
Ia menatap berkeliling sambil menghirup tehnya dengan puas. "Perlengkapan yang digunakan di rumah ini sungguh indah. Sebenarnya tak pantas aku bertanya, tapi bukankah kendi porselen yang dipakai itu termasuk barang akae?"
"Tuan mengetahuinya?"
"Ya." Tenzo menatap kendi itu sambil terkagumkagum. "Kalau kendi itu jatuh ke tangan pedagang Sakai, aku berani jamin harganya akan mencapai seribu keping emas. Terlepas dari nilainya, benda ini indah sekali."
Ketika sedang asyik mengobrol, mereka dipanggil ke dalam untuk makan malam. Istri Sutejiro berjalan di depan, dan bersama-sama mereka masuk ke hall. Tempat duduk telah diatur dalam bentuk lingkaran yang mengelilingi ruangan. Sebagai man rumah, Sutejiro duduk di tengah-tengah dan menyambut tamu-tamunya. Setelah istri dan para pelayannya selesai menghidangkan sake, ia mengambil tempat di salah satu meja. Ia mengangkat cawannya dan mulai menceritakan kisah-kisah di Negeri Ming, tempat ia pernah tinggal selama beberapa tahun. Ia sengaja mengundang tamu-tamunya agar mendapat kesempatan untuk bercerita mengenai petualangan di Negeri Cina, sebuah negeri yang dikenalnya dengan baik, tapi masih mengandung banyak rahasia bagi orang-orang Jepang pada umumnya.
"Wah, pesta ini sungguh menyenangkan. Dan
malam ini kami beruntung karena mendengar banyak cerita menarik," ujar salah seorang tamu.
"Kami puas sekali. Tapi malam sudah larut. Rasanya kami tak bisa lama-lama lagi," kata tamu lain. "Kami juga. Sudah waktunya kembali ke rumah."
Para tamu pulang satu per satu, dan pesta pun berakhir.
"Ah, selesai!" ujar seorang pelayan. "Kisah-kisah ini mungkin menarik untuk para tamu, tapi kita sepanjang tahun mendengar cerita mengenai orang Cina."
Tanpa berusaha menyembunyikan rasa kantuk, para pelayan, termasuk Hiyoshi, cepat-cepat membereskan semuanya. Lampu-lampu di dapur yang besar, di hall, dan di kamar Sutejiro serta Ofuku akhirnya dipadamkan, dan palang kayu di gerbang tembok yang terbuat dari tanah pun dipasang.
Kediaman para samurai, dan juga rumah para saudagar—kalau pemiliknya tergolong berada—selalu dibatasi tembok yang terbuat dari tanah atau dikelilingi parit yang diperkuat dengan dua atau tiga lapis kubu pertahanan.
Pada malam hari, orang-orang di kota-kota maupun di pedesaan tak pernah merasa tenang. Keadaan ini telah berlangsung sejak perang saudara pada abad sebelumnya, dan kini tak ada lagi yang menganggapnya ganjil.
Begitu matahari tenggelam, orang-orang beranjak ke tempat tidur. Satu-satunya kesenangan bagi para pekerja adalah tidur, dan kalau mereka sudah naik ke ranjang, mereka tidur seperti kerbau. Berselimutkan sehelai tikar jerami tipis, Hiyoshi meringkuk di salah satu sudut ruang pelayan laki-laki, kepalanya terganjal bantal kayu. Bersama pelayan-pelayan yang lain, ia mendengarkan kisah majikannya mengenai Negeri Ming yang tersohor.
Namun berbeda dengan mereka, ia mendengarkan cerita-cerita itu dengan penuh rasa ingin tahu. Dan karena imajinasinya begitu hebat, ia terlalu sibuk berkhayal hingga tak bisa tidur, hampir seperti orang menderita demam.
Apa itu? Ia terheran-heran, lalu duduk. Ia pasang telinga. Ia yakin bahwa ia baru saja mendengar bunyi ranting patah, dan persis sebelumnya, suara langkah. Ia berdiri, melintasi dapur, dan diam-diam mengintip ke luar. Di malam dingin dan cerah ini, air di gentong besar telah menjadi es, dan untaian tetes air yang membeku tergantung seperti pedang pada teritisan atap. Ketika mengangkat kepala, ia melihat seorang laki-laki memanjat pohon besar di belakang. Hiyoshi menyimpulkan bahwa bunyi yang ia dengar sebelumnya adalah bunyi ranting patah yang terinjak oleh laki-laki itu. Ia mengamati tindak-tanduk aneh dari sosok di atas pohon. Laki-laki itu mengayunayunkan sebuah lampu yang tidak lebih besar dari kunang-kunang.
Tali sumbu? Hiyoshi bertanya-tanya dalam hati. Garis merah itu memercikkan bunga api yang segera terbawa angin. Sepertinya laki-laki itu sedang memberi isyarat pada seseorang di luar tembok.
Dia turun, pikir Hiyoshi sambil bersembunyi di keremangan bayang-bayang. Laki-laki itu merosot ke bawah, kemudian berjalan dengan langkah-langkah panjang ke bagian belakang pekarangan. Hiyoshi membiarkannya lewat, lalu mengikutinya.
"Ah! Dia salah satu tamu yang hadir tadi," Hiyoshi bergumam seakan tak percaya. Orang itulah yang memperkenalkan diri sebagai Watanabe Tenzo, lakilaki yang dilayani sendiri oleh istri majikannya, yang mendengarkan cerita-cerita Sutejiro dengan sungguhsungguh dari awal sampai akhir.
Semua tamu lain sudah pulang, jadi ke manakah Tenzo menghilang dari tadi? Dan kenapa? Ia sudah berganti pakaian. Kakinya terbungkus sandal jerami, keliman celananya yang gombrong digulung dan diikat ke belakang, dan di pinggangnya ada sebilah pedang besar. Matanya mengamati sekeliling dengan liar, persis seekor elang. Setiap orang yang melihatnya langsung tahu bahwa ia menginginkan darah seseorang.
Tenzo menghampiri gerbang, dan pada saat yang sama, orang-orang yang menunggu di luar berusaha mendobraknya.
"Tunggu! Biar kubuka dulu palangnya. Jangan ribut!"
Serangan penjahat! Ternyata pemimpin mereka memang memberi isyarat kepada para anak buahnya untuk menjarah rumah ini seperti kawanan belalang. Di tempat persembunyiannya, Hiyoshi menyadari: mereka perampok! Seketika darahnya menggelora, dan ia lupa diri. Ia tidak berpikir panjang, tidak lagi memedulikan keselamatannya sendiri. Yang dipikirkannya hanyalah rumah majikannya. Namun tindakannya berikutnya hanya dapat disebut membabi buta.
"Hei, kau!" ia berseru. Langsung saja ia keluar dari bayang-bayang. Entah apa yang terlintas di kepalanya. Ia berdiri di belakang Tenzo yang baru hendak membuka gerbang. Laki-laki itu tersentak kaget. Bagaimana ia bisa tahu bahwa ia ditegur oleh pemuda berusia lima belas tahun yang bekerja di toko tembikar? Apa yang dilihatnya ketika ia menoleh membuatnya terbengong-bengong. Seorang pemuda bertampang mirip monyet menatapnya dengan pandangan aneh. Sejenak Tenzo membalas tatapannya dengan tajam.
"Siapa kau?" ia lalu bertanya, bingung.
Hiyoshi sama sekali lupa pada bahaya yang mengancamnya. Air mukanya keras. "Hei, kau, ada apa ini?" ia balik bertanya.
"Apa?" ujar Tenzo. Kini ia betul-betul bingung. Gilakah anak itu? ia bertanya-tanya dalam hati. Ekspresi Hiyoshi yang tak kenal ampun dan berbeda sekali dengan ekspresi anak-anak, membuatnya kewalahan. Ia seakan-akan terpaksa beradu mata dengan pemuda itu.
"Kami ronin dari Mikuriya. Kalau kau bersuara, akan kutebas lehermu. Kedatangan kami bukan untuk mencabut nyawa anak kecil. Ayo, pergi dari sini. Masuk ke gudang kayu bakar." Sambil berharap Hiyoshi bisa digertak, ia menepuk pangkal pedangnya. Hiyoshi tersenyum, memperlihatkan giginya yang putih.
"Jadi kau perampok, heh? Kalau kau perampok, kau tentu mau pergi dari sini dengan membawa barang yang kauincar, bukan begitu?"
"Jangan macam-macam. Pergi!"
"Aku akan pergi. Tapi kalau kau membuka gerbang itu, tak seorang pun dari gerombolanmu akan meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup."
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak tahu, kan? Tak ada yang tahu selain aku." "Kau agak sinting, ya?"
"Jangan sembarangan. Kaulah yang kurang waras— berani-beranian merampok rumah seperti ini."
Anak buah Tenzo, bosan menunggu, menggedorgedor gerbang dan memanggil, "Ada apa?"
"Tunggu sebentar," ujar Tenzo. Kemudian ia berkata pada Hiyoshi,
"Kaubilang kalau kami masuk ke rumah ini, kami takkan pulang dalam keadaan hidup. Kenapa aku harus percaya padamu?"
"Karena memang begitu."
"Awas, kalau kau ternyata cuma main-main, kupenggal kepalamu."
"Aku takkan membuka rahasia tanpa imbalan. Kau harus memberikan sesuatu sebagai gantinya."
"Hah?" Tenzo merasa curiga pada pemuda tanggung di hadapannya. Di atas mereka, langit malam mulai bertambah cerah, tapi rumah Sutejiro, dikelilingi tembok, masih diselimuti kegelapan total.
"Apa yang kauminta?" Tenzo bertanya dengan hatihati.
"Aku tidak minta apa-apa. Aku cuma mau bergabung dalam kelompokmu."
"Kau mau bergabung dengan kami?" "Ya, betul."
"Kau mau jadi pencuri?" "Ya."
"Berapa umurmu?" "Lima belas."
"Kenapa kau mau jadi pencuri?"
"Tuan Besar memaksaku bekerja seperti kuda. Orang-orang di sini selalu mengejekku. Mereka terus memanggilku 'monyet'. Karena itu aku mau jadi pencuri, supaya aku bisa membalas mereka."
"Baiklah, kau boleh bergabung dengan kami, tapi baru setelah kau membuktikan kemampuanmu. Nah, sekarang jelaskan apa maksudmu."
"Bahwa kalian semua akan mati?" "Ya."
"Rencanamu takkan berhasil. Tadi kau menyamar sebagai tamu dan berbaur dengan orang-orang lain."
"Ya."
"Ada yang mengenalimu." "Tak mungkin."
"Terserah, tapi nyatanya majikanku tahu siapa kau sebenarnya. Jadi, sebelum ini, atas perintah dia, aku berlari ke rumah Kato di Yabuyama dan memberitahunya bahwa kami akan diserang perampok di tengah malam, dan bahwa kami memerlukan bantuannya."
"Kato di Yabuyama... itu pasti Kato Danjo, si pengikut Oda."
"Karena Danjo dan majikanku bersaudara, dia mengumpulkan selusin samurai yang tinggal di sekitar sini, dan mereka semua datang dengan menyamar sebagai tamu. Sekarang ini mereka sedang menunggumu di dalam, dan aku tidak bohong."
Dari wajahnya yang pucat, Hiyoshi langsung tahu bahwa Tenzo mempercayainya.
"Betul itu?" ia bertanya. "Di mana mereka? Apa yang sedang mereka kerjakan?"
"Tadinya mereka duduk melingkar sambil minum sake dan menunggu. Kemudian mereka memutuskan bahwa kau takkan menyerang selarut ini, sehingga mereka pergi tidur. Akulah yang disuruh berjaga di luar."
Tenzo menarik Hiyoshi dan mengancam, "Nyawamu akan melayang kalau kau berteriak." Ia menutup mulut Hiyoshi dengan telapak tangannya yang besar.
Sambil meronta-ronta, Hiyoshi berhasil berkata, "Hei, ini tidak sesuai dengan janjimu tadi. Aku takkan ribut." Ia mencakar tangan perampok itu dengan kukunya. Tenzo menggelengkan kepala.
"Percuma. Bagaimanapun, kau berhadapan dengan Watanabe Tenzo dari Mikuriya. Kau ingin meyakinkan aku bahwa penghuni rumah ini sudah bersiap-siap. Kalaupun itu benar, aku takkan bisa menghadapi anak buahku kalau aku keluar dengan tangan kosong."
"Tapi..."
"Apa yang bisa kaulakukan?"
"Aku akan membawa keluar apa saja yang kauminta."
"Kau akan membawanya keluar?"
"Ya. Itu yang paling baik. Dengan cara itu, kau bisa menyelesaikan urusan ini tanpa perlu membantai orang. Dan kau sendiri juga takkan mati di ujung pedang."
"Kaujamin itu?" Cengkeraman Tenzo pada leher Hiyoshi semakin keras.
Gerbang masih tertutup rapat. Ketakutan dan penuh curiga, anak-anak buahnya terus memanggilmanggil dengan setengah berbisik sambil mendorongdorong gerbang.
"Hei, Bos, kau di dalam?" "Ada apa?"
"Kenapa gerbangnya belum dibuka?"
Tenzo membuka palang itu sedikit dan berbisik lewat celah pintu, "Ada yang tidak beres, jadi jangan ribut. Dan jangan bergerombol. Ayo berpencar dan cari tempat sembunyi." Untuk memenuhi permintaan Tenzo, tanpa bersuara Hiyoshi merayap dari pintu masuk ke tempat pelayan laki-laki menuju rumah induk. Begitu sampai, ia melihat sebuah lampu menyala di kamar Sutejiro.
"Tuan?" Hiyoshi memanggil sambil duduk penuh hormat di serambi. Tak ada jawaban, tapi ia merasa bahwa Sutejiro dan istrinya terjaga.
"Nyonya?"
"Siapa itu?" tanya istri Sutejiro. Suaranya bergetar. Entah ia atau suaminya yang bangun lebih dulu, lalu membangunkan yang lain, sebab baru saja terdengar bunyi gemeresik dan orang berbisik-bisik. Karena menduga bahwa mereka diserang perampok, keduaduanya memejamkan mata dengan ngeri.
Hiyoshi membuka pintu geser dan maju sambil tetap berlutut. Baik Sutejiro maupun istrinya membuka mata lebar-lebar.
"Di luar ada perampok. Banyak sekali," ujar Hiyoshi.
Suami-istri itu menelah ludah, namun tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya mereka tak sanggup bersuara.
"Mengerikan sekali kalau mereka sampai masuk. Mereka akan mengikat Tuan dan Nyonya, dan pasti ada lima atau enam orang yang mati atau cedera. Hamba menyusun sebuah rencana, dan sekarang pemimpin mereka sedang menunggu jawaban."
Hiyoshi melaporkan percakapannya dengan Tenzo, dan mengakhirinya dengan berkata, "Tuan, biarkan para perampok membawa apa saja yang mereka inginkan. Hamba akan menyerahkannya pada Tenzo, dan setelah itu dia akan pergi."
Sesaat suasana hening. Kemudian si saudagar berkata, "Hiyoshi, apa yang diinginkannya?"
"Dia bilang dia datang untuk mengambil kendi
akae."
"Apa?"
"Dia bilang, dia akan pergi segera setelah hamba menyerahkan kendi itu. Nilainya tidak seberapa, jadi kenapa Tuan tidak memberikannya saja? Ini semua ide hamba," Hiyoshi menjelaskan dengan bangga. "Hamba pura-pura akan mencurikan barang itu untuknya." Keputusasaan dan ketakutan tampak jelas di wajah Sutejiro dan istrinya.
"Kendi akae diambil dari gudang untuk upacara minum teh tadi, bukan? Orang itu bodoh sekali karena minta hamba mengambil barang yang begitu tak berharga!" ujar Hiyoshi. Raut wajahnya menunjukkan seakan-akan seluruh kejadian ini menggelikan.
Istri Sutejiro diam, seolah-olah telah berubah menjadi batu. Sambil mendesah panjang, Sutejiro berkata, "Celakalah kita." Pandangannya menerawang jauh, dan ia pun membisu.
"Tuan, kenapa Tuan begitu gundah? Satu kendi saja bisa menyelesaikan ini tanpa perlu terjadi pertumpahan darah."
"Kendi itu bukan barang tembikar biasa. Di Negeri Ming pun hanya sedikit karya serupa. Aku membawanya pulang dari Cina dengan penderitaan yang tidak kecil. Lagi pula, kendi itu merupakan kenangkenangan dari Tuan Shonzui."
"Di toko-toko tembikar di Sakai," ujar istrinya, "kendi itu bisa dijual seharga lebih dari seribu keping emas."
Tapi para perampok lebih menakutkan. Kalau mereka menolak, pasti terjadi pembantaian, dan sudah sering ada rumah yang dibakar sampai rata dengan tanah. Kejadian semacam itu bukan hal aneh di masa yang tidak tenang.
Dalam situasi seperti itu, tak banyak waktu untuk mengambil keputusan.
Sesaat Sutejiro seakan-akan tak sanggup membebaskan diri dari keterikatannya dengan kendi itu. Tapi akhirnya ia berkata, "Apa boleh buat." Ia merasa agak lebih enak setelah itu. Ia mengambil kunci gudang dari sebuah laci kecil.
"Berikan padanya." Ia melemparkan kunci itu ke hadapan Hiyoshi.
Karena terbayang-bayang akan kehilangan kendinya yang amat berharga, Sutejiro tidak menemukan kata pujian untuk Hiyoshi, meski dalam hati ia mengakui bahwa rencana itu cukup lihai untuk anak seusianya.
Hiyoshi pergi seorang diri ke gudang. Ia keluar sambil menggotong kotak kayu. Ketika mengembalikan kunci pada majikannya, ia berkata,
"Sebaiknya Tuan padamkan lampu dan tidur lagi.
Tuan tidak perlu cemas." Pada waktu ia membawa kotak itu ke hadapan Tenzo, si bandit yang masih agak curiga langsung membukanya dan memeriksa isinya dengan saksama. "Hmm, memang ini yang kucari," ujarnya. Garis-garis wajahnya tampak mengendur.
"Sebaiknya kau dan anak buahmu cepat menyingkir dari sini. Waktu aku mencari barang ini di gudang, aku menyalakan sebatang lilin. Sebentar lagi Kato dan para samurainya akan bangun, dan setelah itu mereka akan segera berpatroli."
Terburu-buru Tenzo menghampiri gerbang. "Kau boleh mendatangi aku di Mikuriya kapan saja. Kau diterima sebagai anggota." Dan kemudian ia menghilang dalam kegelapan malam.
Malam yang mencemaskan telah berlalu.
Besok adalah hari pertama di Tahun Baru, dan iring-iringan tamu yang tak terputus, berdua atau bertiga, mendatangi rumah saudagar kaya itu.
Meski demikian, suasana di toko tembikar terasa tegang. Sutejiro tampak murung dan cemberut, dan istrinya, yang biasanya ceria, malah tidak kelihatan sama sekali.
Perlahan-lahan Ofuku pergi ke kamar ibunya, lalu duduk di tepi ranjang.
Ibunya belum pulih betul dari mimpi buruk di malam sebelumnya, dan masih berbaring di tempat tidur. Wajahnya pucat seperti orang sakit.
"Ibu, aku baru saja bicara dengan Ayah. Semuanya akan beres."
"O ya? Apa yang dikatakannya?"
"Mula-mula Ayah memang sangsi, tapi waktu aku bercerita mengenai sikap Hiyoshi dan bagaimana dia menangkapku di belakang rumah dan mengancamku, Ayah terkejut dan kelihatan berpikir lagi."
"Apakah ayahmu bilang bahwa dia akan segera dikeluarkan?"
"Tidak. Dia bilang, dia tetap menganggap bahwa Hiyoshi menjanjikan sesuatu, jadi aku tanya, apakah Ayah mau mengurus kaki tangan pencuri."
"Dari pertama Ibu sudah tidak suka sorot mata anak itu."
"Aku juga menyinggung itu, dan akhirnya Ayah bilang bahwa kalau tak ada yang bisa cocok dengannya, tak ada pilihan lain selain mengeluarkannya. Ayah pikir lebih baik kalau Ayah sendiri yang menanganinya, agar bisa mencari alasan yang tidak menyakitkan untuk memulangkan Hiyoshi."
"Bagus. Ibu sudah tidak tahan kalau anak bermuka monyet itu masih bekerja di sini, biarpun hanya untuk setengah hari lagi. Sedang apa dia sekarang?"
"Dia sedang membungkus barang di gudang. Perlu kuberitahu dia bahwa Ibu memanggilnya?"
"Jangan. Ibu tidak sudi melihat dia. Nah, karena ayahmu sudah setuju, bukankah sama saja kalau kau yang memberitahunya bahwa dia dipecat mulai hari ini, lalu menyuruhnya pulang?"
"Baiklah," kata Ofuku, tapi dalam hati ia agak ngeri. "Bagaimana dengan upahnya?"
"Dari awal kita tidak terikat oleh janji untuk mengupahnya. Dan walaupun dia bukan pekerja yang giat, kita sudah memberinya makan dan pakaian. Itu saja sudah lebih dari yang pantas diterimanya. Ya sudah, biarkan dia membawa pakaian yang dia kenakan, dan tambahkan dua takar garam."
Ofuku terlalu takut untuk menyampaikan semuanya itu seorang diri pada Hiyoshi, sehingga ia mengajak orang lain untuk menemaninya ke gudang. Ia mengintip ke dalam dan melihat Hiyoshi sedang bekerja sendirian, tertutup jerami dari kepala sampai kaki.
"Ya? Ada apa?" suara Hiyoshi terdengar lebih bersemangat daripada biasa. Ia langsung menghampiri Ofuku. Karena menganggap bahwa bercerita mengenai kejadian semalam tidaklah bijaksana, ia tidak memberitahu siapa-siapa, tapi dalam hati ia merasa sangat bangga—begitu bangga, sehingga diamdiam ia mengharapkan pujian majikannya.
Ofuku, ditemani oleh pegawai yang paling kuat dan paling ditakuti Hiyoshi, berkata, "Monyet, kau boleh pergi hari ini."
"Pergi ke mana?" Hiyoshi bertanya dengan heran. "Pulang. Kau masih punya rumah, bukan?" "Masih, tapi..."
"Mulai hari ini kau diberhentikan. Kau boleh membawa pakaianmu."
"Pemberian ini atas kebaikan Nyonya," ujar si pegawai. Ia menyodorkan dua takar garam serta pakaian Hiyoshi. "Kau tidak perlu berpamitan, kau boleh pergi sekarang juga."
Terkejut, Hiyoshi merasa darahnya naik ke kepala. Kemarahan di matanya seakan-akan menerkam Ofuku. Sambil melangkah mundur, Ofuku mengambil garam dan pakaian dari tangan si pegawai, meletakkan semuanya di lantai, lalu berbalik dan menjauh terburu-buru. Melihat sorot mata Hiyoshi, anak itu seperti hendak mengejar Ofuku, tapi sebenarnya ia tak bisa melihat apa-apa, pandangannya terhalang oleh air mata. Ia teringat wajah ibunya yang berurai air mata ketika mengingatkannya bahwa ia akan malu menghadapi orang-orang, dan bahwa adik iparnya akan kehilangan muka jika Hiyoshi dipulangkan sekali lagi. Bayangan wajah dan tubuh ibunya, kurus kering karena melarat dan melahirkan, membuatnya terisak-isak menahan tangis. Ingusnya berhenti mengalir, tapi untuk sesaat ia berdiri tak bergerak, tak tahu apa yang harus ia perbuat selanjutnya. Darahnya serasa mendidih.
"Monyet!" salah seorang pekerja memanggil. "Ada apa? Kau bikin masalah lagi, ya? Dia menyuruhmu pulang, ya? Kau sudah lima belas tahun, dan ke mana pun kau pergi, kau pasti akan diberi makan. Jadi, bersiaplah seperti laki-laki, dan jangan merengek."
Tanpa berhenti bekerja, pegawai-pegawai yang lain mencemoohkannya.
Tawa dan sorak-sorai mereka terngiang-ngiang di telinganya, dan ia memutuskan untuk tidak menangis di hadapan mereka. Ia malah berbalik untuk menghadapi orang-orang itu, sambil memperlihatkan giginya yang putih.
"Siapa yang merengek? Aku memang sudah muak bekerja di tempat membosankan ini. Kali ini aku akan bekerja untuk seorang samurai!"
Sambil menyandang buntalan pakaiannya, ia mengikat kantong garamnya pada sepotong bambu, lalu memikulnya penuh gaya.
"Bekerja untuk samurai!" seru seorang pegawai. "Cara baru untuk mengatakan selamat tinggal!" Semuanya tertawa.
Tak ada yang membenci Hiyoshi, tapi tak seorang pun merasa kasihan padanya. Hiyoshi sendiri tidak terlalu ambil pusing. Begitu melangkah melewati tembok tanah, hatinya menyerap langit yang biru cerah. Ia merasa seperti dibebaskan.
***
Kato Danjo ikut berlaga dalam pertempuran di Azukizaka pada musim gugur tahun sebelumnya. Tak sabar untuk mengukir prestasi, ia menyerbu ke tengahtengah pasukan Imagawa dan mengalami cedera begitu parah, sehingga ia terpaksa pulang untuk selama-lamanya. Sekarang ia selalu tidur di rumahnya di Yabuyama. Ketika hari-hari semakin dingin menjelang akhir tahun, luka tombak di perutnya terasa sangat menyiksa. Ia selalu mengerang kesakitan. Oetsu merawatnya dengan telaten, dan hari itu ia sedang mencuci pakaian dalam suaminya yang berlumuran nanah di sungai kecil yang membelah pekarangan mereka. Ia mendengar seseorang bernyanyi riang, dan bertanya-tanya siapa gerangan orang itu. Merasa terganggu, ia berdiri dan melihat berkeliling. Meski rumah mereka bukan di puncak Bukit Komyoji, dari balik tembok tanah ia bisa melihat jalan di kaki bukit, dan di belakangnya tanah ladang di Nakamura, Sungai Shonai, dan Dataran
Owari yang luas.
Suara si penyanyi terdengar lantang, seakan-akan tidak mengenal kekerasan dunia maupun penderitaan. Lagu yang disenandungkannya adalah sebuah tembang yang populer pada akhir abad lalu, tetapi di Owari, anak-anak perempuan para petani telah mengubahnya menjadi lagu pengiring untuk menenun.
Wah, jangan-jangan itu Hiyoshi? Ia bertanya-tanya sendiri ketika sosok itu mencapai kaki bukit. Orang itu menyandang buntalan baju di punggungnya, dan sebuah kantong tergantung pada tongkat bambu yang ia pikul.
Oetsu terkejut ketika menyadari betapa Hiyoshi telah bertambah besar dalam waktu singkat, dan meski tubuhnya tumbuh pesat, sikapnya masih saja seperti orang yang tak pernah susah.
"Bibi! Kenapa Bibi berdiri di luar?" Hiyoshi mengangguk dengan hormat. Lagunya membuat langkahnya berirama, dan suaranya sama sekali bebas dari kesan sok, memberi nada menggelikan pada ucapannya. Raut wajah bibinya tampak muram, seperti orang yang telah lupa cara tertawa.
"Kenapa kau datang ke sini? Kau membawa pesan untuk para biksu di Komyoji?"
Terdesak untuk menjawab, Hiyoshi menggarukgaruk kepala.
"Aku diberhentikan dari toko tembikar. Aku datang ke sini karena merasa Paman perlu diberitahu."
"Apa? Lagi?" balas Oetsu. Keningnya berkerut. "Kau datang ke sini setelah diusir lagi?"
Hiyoshi mempertimbangkan untuk menceritakan alasannya, tapi entah kenapa ia merasa tak ada gunanya. Dengan nada lebih manis ia bertanya,
"Pamanku ada di rumah? Kalau Paman di rumah, bolehkah aku bicara dengannya?"
"Sama sekali tidak! Suamiku terluka parah dalam pertempuran. Kami tidak tahu apakah hari ini atau besok merupakan harinya yang terakhir. Kau tidak boleh dekat-dekat dia." Ia bicara terus terang, nadanya ketus.
"Aku kasihan pada kakakku karena punya anak seperti kau."
Mendengar berita buruk itu, Hiyoshi langsung patah arang. "Hmm, sebenarnya aku ingin minta tolong pada Paman, tapi kelihatannya percuma saja."
"Kau mau apa?" "Karena dia seorang samurai, kupikir dia bisa mencarikan tempat di rumah samurai untukku."
"Astaga! Berapa umurmu sekarang?" "Lima belas."
"Anak berumur lima belas tahun seharusnya sudah tahu sedikit mengenai dunia."
"Justru karena itu aku tidak mau lagi bekerja di sembarang tempat. Bibi, mungkinkah ada lowongan untukku di suatu tempat?"
"Mana aku tahu?" Oetsu memelototi Hiyoshi, sorot matanya menyalahkan anak itu. "Rumah tangga samurai tidak menerima orang yang tidak cocok dengan tradisi keluarga. Apa untungnya mereka menerima bocah liar dan tidak bertanggung jawab seperti kau?"
Tiba-tiba seorang pelayan perempuan menghampiri mereka dan berkata,
"Nyonya, cepat kembali. Suami Nyonya kesakitan lagi."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Oetsu berlari ke rumahnya. Ditinggalkan seorang diri, Hiyoshi menatap langit mendung di atas Owari dan Mino.
Setelah beberapa saat, ia melewati gerbang dan menunggu di sekitar dapur.
Yang paling diinginkannya adalah pulang ke Nakamura untuk menjenguk ibunya, tapi ia ditahan oleh bayangan ayah tirinya, yang membuatnya merasa seakan-akan pagar di sekeliling rumah mereka terbuat dari onak duri. Ia memutuskan bahwa tugas yang paling mendesak adalah mencari majikan baru. Ia datang ke Yabuyama karena menganggap sudah sepatutnya orang yang pernah menolongnya diberitahu, tapi menghadapi kondisi Danjo yang serius, ia tidak tahu harus berbuat apa—selain itu, ia pun lapar.
Ketika ia memikirkan di mana akan tidur mulai malam ini, sesuatu yang empuk bergesekan dengan kakinya yang dingin. Ia menundukkan kepala dan melihat seekor anak kucing. Hiyoshi mengangkatnya, lalu duduk di samping pintu dapur. Matahari yang semakin rendah membanjiri mereka dengan cahaya dingin.
"Perutmu kosong juga?" ia bertanya. Kucing itu gemetar ketika ia mendekapnya di dada. Setelah merasakan kehangatan tubuh Hiyoshi, binatang kecil itu mulai menjilat-jilat wajahnya.
"Sana, sana," katanya sambil memalingkan wajah. Ia tidak terlalu menyukai kucing, tapi hari itu anak kucing itulah satu-satunya makhluk hidup yang menunjukkan kasih sayang padanya.
Tiba-tiba Hiyoshi tersentak. Kedua mata kucing di pangkuannya pun tampak melebar karena terkejut. Pekik melengking orang kesakitan terdengar dari sebuah ruangan yang berdekatan dengan serambi. Oetsu muncul di dapur. Matanya sembap karena menangis, dan ia menyeka air matanya dengan baju sambil mengaduk-aduk ramuan obat dalam panci di atas kompor. "Bibi," Hiyoshi berkata dengan hati-hati. Tangannya mengelus-elus punggung si anak kucing, "Perut anak kucing ini kosong dan dia kedinginan. Kalau tidak diberi makan, dia akan mati." Ia sengaja tidak menyinggung keadaan perutnya sendiri. Oetsu tidak menanggapi komentarnya.
"Kau masih di sini? Sebentar lagi sudah gelap, dan aku takkan mengizinkanmu tinggal di rumah ini."
Oetsu menyembunyikan air matanya dengan lengan baju. Kecantikan istri samurai ini, yang tampak begitu bahagia dua atau tiga tahun yang lalu, telah lenyap seperti keindahan sekuntum bunga yang diterpa hujan.
Hiyoshi, sambil tetap memangku anak kucing, memikirkan rasa lapar yang menyiksanya, serta tempat tidur yang berada di luar jangkauan. Ketika menatap bibinya, ia tiba-tiba menyadari bahwa penampilannya agak berbeda.
"Bibi! Perutmu membesar. Bibi hamil?"
Oetsu mengangkat kepala, seolah-olah pipinya baru saja kena tampar.
Pertanyaan tak terduga itu betul-betul tidak pada tempatnya.
"Persis seperti anak kecil!" katanya. "Seharusnya kau tidak bertanya seperti itu. Kau memuakkan!" Dengan gusar ia menambahkan, "Cepat pulang, mumpung masih terang. Pergi ke Nakamura atau ke mana pun kau suka! Sekarang ini aku tidak peduli apa yang akan kaulakukan." Sambil mendongkol, ia menghilang ke dalam rumah.
"Aku akan pergi," Hiyoshi bergumam. Ia berdiri dan hendak berangkat, tapi anak kucing tadi tidak bersedia mengorbankan kehangatan dadanya.
Pada saat yang sama, seorang pelayan perempuan membawa mangkuk kecil berisi nasi dingin dan sup tahu, memperlihatkannya pada si kucing, dan memanggilnya keluar. Seketika kucing itu meninggalkan Hiyoshi untuk menikmati makanannya. Hiyoshi memperhatikan kucing dan mangkuk di hadapannya dengan penuh selera, namun kelihatannya tidak ada yang akan menawarkan makanan untuknya. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah.
Tapi ketika sampai di pintu pekarangan, ia dipanggil oleh seseorang yang memiliki pendengaran tajam.
"Siapa di luar?" sebuah suara bertanya dari kamar sakit.
Sambil berdiri seperti patung, Hiyoshi tahu bahwa suara itu milik Danjo, dan ia langsung menjawab. Kemudian, setelah menganggap saat yang tepat sudah tiba, ia memberitahu Danjo bahwa ia diberhentikan dari toko tembikar.
"Oetsu, buka pintu!"
Oetsu berusaha mempengaruhi suaminya dengan berdalih bahwa angin malam akan membuatnya kedinginan, sehingga lukanya nyeri lagi. Ia tidak beranjak untuk membuka pintu geser, sampai Danjo kehilangan kesabaran. "Bodoh!" Danjo berseru. "Apa bedanya kalau aku hidup sepuluh atau dua puluh hari lagi. Buka pintu!"
Sambil menangis, Oetsu menuruti perintah suaminya dan berkata pada Hiyoshi, "Kau akan membuat keadaannya bertambah parah. Jenguk dia sebentar, lalu segera pergi."
Hiyoshi berdiri menghadap kamar sakit dan membungkuk. Danjo bersandar pada tumpukan bantal.
"Hiyoshi, kau diberhentikan dari toko tembikar?" "Ya."
"Hmm. Tidak apa-apa."
"Apa?" ujar Hiyoshi. la tampak bingung.
"Kau tidak perlu malu karena diberhentikan, asal bukan karena kau tidak patuh atau tidak jujur."
"Aku mengerti."
"Dulu rumahmu juga rumah samurai. Samurai, Hiyoshi."
"Ya."
"Seorang samurai tidak bekerja sekadar untuk mengisi perut. Dia bukan budak makanan. Dia hidup untuk memenuhi panggilannya, untuk kewajiban dan pengabdian. Makanan hanyalah tambahan, sebuah berkah dari surga.
Jangan menjadi laki-laki yang, karena terlalu sibuk mencari makan, menghabiskan hidupnya dalam kebimbangan."
*** Malam telah larut.
Kochiku, yang sering sakit-sakitan, sedang menderita penyakit kanak-kanak dan menangis hampir tanpa henti. la dibaringkan di tempat tidur jerami, dan akhirnya berhenti menyusu.
"Kalau Ibu bangun, Ibu akan mati beku, udaranya terlalu dingin,"
Otsumi berkata pada ibunya. "Lebih baik Ibu tidur saja."
"Bagaimana Ibu bisa tidur kalau ayahmu belum pulang?"
Onaka bangun, kemudian ia dan Otsumi duduk di depan perapian dan menyelesaikan pekerjaanpekerjaan yang belum rampung.
"Sedang apa dia? Apa dia tidak pulang lagi malam ini?"
"Ya, sekarang Tahun Baru."
"Tapi tak seorang pun di rumah ini—terutama Ibu— sempat merayakan nya, biar hanya dengan sepotong kue beras. Dan sepanjang waktu kita harus bekerja sambil kedinginan seperti ini."
"Hmm, laki-laki punya hiburan tersendiri."
"Dia tidak pernah bekerja. Dia hanya minum sake. Dan kalau dia pulang, dia terus bersikap kasar pada Ibu. Aku dongkol sekali."
Gadis seusia Otsumi biasanya sudah memikirkan pernikahan, tapi ia tidak mau meninggalkan ibunya. Ia mengetahui masalah keuangan mereka, dan dalam mimpi pun ia tak pernah membayangkan gincu maupun pupur—apalagi baju Tahun Baru.
"Jangan bicara seperti itu," ujar Onaka. Matanya berkaca-kaca. "Ayahmu memang tak bisa diandalkan, tapi Hiyoshi akan menjadi orang terhormat suatu hari nanti. Kita akan mendapatkan suami yang baik untukmu, walaupun ibumu sendiri kurang beruntung dalam memilih suami."
"Ibu, aku tidak mau menikah. Aku ingin tinggal bersama Ibu selamanya."
"Tidak baik bagi perempuan untuk hidup seperti itu. Chikuami tidak tahu ini, tapi waktu Yaemon terluka, kami menyisihkan setali uang yang kami terima dari majikannya, untuk membiayai pernikahanmu. Dan aku mengumpulkan lebih dari tujuh bal sutra sisa untuk menenun kimono untukmu."
"Ibu, sepertinya ada yang datang." "Ayahmu?"
Otsumi menjulurkan leher untuk melihat siapa orangnya. "Bukan."
"Kalau begitu, siapa?"
"Aku tidak tahu. Jangan bersuara." Otsumi menelan ludah, tiba-tiba merasa gelisah.
"Ibu, Ibu di rumah?" Hiyoshi bertanya dari kegelapan. Ia berdiri tanpa bergerak.
"Hiyoshi?" "He-eh."
"Malam-malam begini?"
"Aku diberhentikan dari toko tembikar." "Diberhentikan?"
"Maafkan aku. Ibu, maafkan aku," Hiyoshi tersedusedu.
Onaka dan Otsumi nyaris tersandung kaki sendiri karena terburu-buru ingin menyambut Hiyoshi.
"Apa yang akan kaulakukan sekarang?" tanya Onaka. "Jangan berdiri seperti patung, cepat masuk." Ia meraih tangan Hiyoshi, tapi anaknya itu menggelengkan kepala.
"Tidak, aku harus segera pergi lagi. Kalau aku sempat tidur di rumah ini, biar hanya untuk satu malam, aku takkan tega meninggalkan Ibu."
Meski Onaka tidak menginginkan Hiyoshi kembali ke rumah mereka yang terus dilanda kemiskinan, ia pun tak sampai hati membiarkannya langsung kembali ke kegelapan malam. Matanya membuka lebar. "Kau mau ke mana?" ia ingin tahu.
"Entahlah, tapi kali ini aku akan bekerja untuk seorang samurai. Dengan demikian, kalian berdua tak perlu cemas memikirkanku."
"Bekerja untuk samurai?" bisik Onaka.
"Ibu bilang Ibu tak ingin aku menjadi samurai, tapi itulah cita-citaku. Pamanku di Yabuyama juga bilang begitu. Menurut dia, sekaranglah waktunya."
"Wah, kau harus bicarakan ini dengan ayah tirimu." "Aku tidak sudi bertemu dengannya," balas Hiyoshi
sambil menggeleng.
"Sebaiknya Ibu melupakan aku untuk sepuluh tahun mendatang. Kak, tidak baik kalau Kakak tidak menikah. Tapi jangan terburu-buru, ya? Kalau aku sudah menjadi orang besar, aku akan membelikan pakaian sutra untuk ibu kita, dan untuk pernikahanmu aku akan menyediakan selempang kain satin."
Kedua perempuan itu menangis karena Hiyoshi sudah cukup dewasa untuk mengucapkan hal-hal seperti itu. Hati mereka menyerupai danau air mata yang siap menenggelamkan tubuh mereka.
"Ibu, ini dua takar garam yang kuterima sebagai upah di toko tembikar. Aku mendapatkannya dengan bekerja selama dua tahun. Kak, tolong bawakan ke dapur." Hiyoshi meletakkan kantong garamnya.
"Terima kasih," ujar ibunya sambil membungkuk ke arah kantong itu.
"Garam ini kauperoleh dengan merantau untuk pertama kali."
Hiyoshi merasa puas. Ketika menatap wajah ibunya yang bahagia, ia pun merasa seakan berada di awangawang. Ia bersumpah bahwa di masa mendatang ia akan membuat ibunya lebih bahagia lagi. Jadi, itu kuncinya!
Garam ini milik keluargaku, pikir Hiyoshi. Bukan, bukan hanya milik keluargaku, tapi milik seluruh desa. Bukan, garam ini milik seluruh dunia.
"Kurasa masih lama lagi aku baru akan kembali ke
sini," kata Hiyoshi sambil mundur ke pintu keluar, namun pandangannya tidak terlepas dari Onaka dan Otsumi. Satu kakinya sudah berada di ambang pintu ketika Otsumi tiba-tiba membungkuk ke depan dan berseru, "Tunggu, Hiyoshi! Tunggu." Kemudian ia berpaling pada ibunya. "Uang yang Ibu ceritakan tadi. Aku tidak membutuhkannya. Aku tidak mau menikah, jadi lebih baik diberikan saja pada Hiyoshi."
Sambil berusaha menahan tangis, Onaka mengambil uang itu dan menyerahkannya kepada Hiyoshi yang menatap mereka dan berkata, "Tidak, aku tidak memerlukan uang ini." Ia menyodorkan keping-keping itu ke hadapan ibunya.
Otsumi, dengan keprihatinan seorang kakak, bertanya, "Apa yang akan kaulakukan di dunia luar tanpa uang?"
"Ibu, daripada ini, maukah Ibu memberikan pedang yang dulu dipakai Ayah, pedang yang dipesan oleh Kakek?"
Ibunya bereaksi seakan-akan dadanya ditusuk. Ia berkata, "Dengan uang, kau bisa menyambung hidup. Tolong jangan tanyakan lagi pedang itu."
"Pedang itu sudah tidak ada?" tanya Hiyoshi.
"Ah... tidak." Dengan getir ibunya mengakui bahwa pedang itu sudah lama dijual untuk membayar utang Chikuami di kedai sake.
"Hmm, tidak apa-apa. Pedang berkarat di gudang masih ada, bukan?"
"Ya... kalau kau memang menginginkannya."
"Ibu tidak keberatan aku membawa pedang itu?" Meski berusaha menjaga perasaan ibunya, Hiyoshi tetap berkeras. la masih ingat betapa ia menginginkan pedang itu ketika ia berusia enam tahun, dan bagaimana ia membuat ibunya menangis. Kini ia telah bertekad untuk menjadi apa yang ingin dicegah oleh ibunya—seorang samurai.
"Oh, baiklah, bawa saja. Tapi, Hiyoshi, jangan sekali-kali kaucabut pedang itu dari sarungnya kalau menghadapi orang lain. Otsumi, tolong ambilkan."
"Biar aku saja yang mengambilnya."
Hiyoshi berlari ke gudang. Ia menurunkan pedang dari balok kayu tempat senjata itu tergantung. Ketika memasangnya di pinggang, ia teringat bocah berusia enam tahun yang berurai air mata, bertahun-tahun lalu. Pada detik ini, ia merasa dirinya telah dewasa.
"Hiyoshi, Ibu mencarimu," kata Otsumi sambil mengintip ke dalam gudang.
Onaka telah memasang sebatang lilin di altar kecil di atas rak. Ia meletakkan beberapa butir beras dan segenggam garam yang dibawa Hiyoshi ke dalam piring kayu kecil. Kemudian ia merapatkan tangannya untuk berdoa.
Hiyoshi masuk, dan Onaka menyuruhnya duduk. Ia mengambil pisau cukur dari altar. Hiyoshi membelalakkan mata. "Apa yang akan kita lakukan?" tanyanya.
"Kita akan melaksanakan upacara akil balig. Meski tak sanggup melakukannya secara resmi, kita tetap akan merayakan keberangkatanmu ke dunia luar.
Ia mengerik bagian depan kepala Hiyoshi. Kemudian ia merendam beberapa batang jerami di dalam air dan mengikat rambut anaknya ke belakang. Hiyoshi tak pernah melupakan pengalaman ini. Dan walaupun kekasaran kulit tangan ibunya ketika mengusap pipi dan telinganya membuatnya sedih, ada perasaan lain yang timbul di hatinya. Kini aku sama seperti semua orang, ia berkata dalam hati. Dewasa.
Ia mendengar gonggongan anjing tersesat. Pada malam hari, di sebuah negeri yang dilanda perang saudara, satu-satunya yang bertambah keras adalah gonggongan anjing. Hiyoshi melangkah keluar.
"Baiklah, aku berangkat." Ia tak sanggup berkata apa-apa lagi, biarpun sekadar, "Jaga diri baik-baik"— tenggorokannya bagai tersumbat.
Ibunya membungkuk dalam-dalam di depan altar. Otsumi, dengan Kochiku yang sedang menangis dalam pelukannya, berlari menyusul adiknya.
"Selamat tinggal," ujar Hiyoshi. Ia tidak menoleh ke belakang. Sosoknya semakin kecil, sampai akhirnya lenyap dari pandangan. Mungkin karena teramat dingin, malam itu cerah sekali. SENAPAN KOROKU
BEBERAPA mil dari Kiyosu, kurang dari sepuluh mil di sebelah barat Nagoya, terletak Desa Hachisuka. Begitu memasuki desa itu, sebuah bukit berbentuk topi terlihat dari hampir semua arah. Pada siang hari hanya suara jangkrik yang terdengar di hutan kecil yang lebat; pada malam hari, bayangan kelelawarkelelawar besar melintas di depan bulan.
"Yo!"
"Yo!" terdengar sahutannya, seperti gema, dari dalam hutan.
Parit yang mengambil airnya dari Sungai Kanie melewati tebing-tebing dan pohon-pohon besar di atas bukit. Kalau tidak diamati dengan cermat, takkan ada yang memperhatikan bahwa airnya penuh ganggang biru yang sering ditemukan dalam kolam alami. Ganggang-ganggang melekat pada benteng batu dan tembok tanah yang telah melindungi kawasan itu selama seratus tahun, sekaligus melindungi keturunan para penguasa daerah itu, berikut kekuasaan dan mata pencaharian mereka.
Dari luar, hampir mustahil untuk menebak berapa ribu atau bahkan puluh ribu ekar tanah pemukiman yang berada di atas bukit. Rumah besar itu milik sebuah marga yang amat berkuasa dari Desa Hachisuka, dan para pemimpinnya telah menggunakan nama kanak-kanak Koroku selama beberapa generasi. Pemimpin yang sedang memegang kekuasaan dijuluki Hachisuka Koroku.
"Yo! Buka gerbang!" Suara empat atau lima laki-laki terdengar dari seberang parit. Salah satunya Koroku.
Sebenarnya, baik Koroku maupun para leluhurnya tidak mempunyai asal-usul yang mereka banggakan, dan mereka juga tidak berhak atas tanah yang mereka duduki. Mereka marga pedesaan yang kuat, tak lebih dari itu.
Meskipun Koroku dikenal sebagai bangsawan, dan orang-orang yang menyertainya merupakan pengikutnya, rumah tangganya berkesan kasar. Sampai tingkat tertentu, wajar saja kalau terjalin keakraban antara seorang kepala rumah tangga dan para pembantunya, tapi hubungan antara Koroku dan orang-orang itu lebih menyerupai hubungan antara kepala geng dan anak buahnya.
"Sedang apa dia?" Koroku bergumam.
"Penjaga gerbang, kenapa kau begitu lama?" seru salah seorang pengikutnya, bukan untuk pertama kali.
"Yooo!"
Kali ini mereka mendengar tanggapan si penjaga gerbang, dan gerbang kayu itu membuka, diiringi bunyi gedebuk.
"Siapa itu?" Mereka dicegat dari kiri-kanan oleh orang-orang yang membawa lentera mirip lonceng, yang dipasang di ujung sebuah tongkat.
Lentera-lentera seperti itu bisa dibawa ke medan pertempuran atau pada waktu hujan.
"Aku Koroku!" ia menjawab, bermandikan cahaya lampu.
"Selamat datang di rumah."
Orang-orang yang lain menyebutkan nama masingmasing ketika melewati gerbang.
"Inada Oinosuke." "Aoyama Shinshichi." "Nagai Hannojo." "Matsubara Takumi."
Dengan langkah berat mereka menyusuri koridor lebar dan gelap, lalu masuk ke dalam rumah. Sepanjang koridor, wajah-wajah para pelayan, kaum perempuan, para istri dan anak—orang-orang yang membentuk keluarga besar itu—menyambut si pemimpin marga yang kembali dari dunia luar. Koroku membalas sambutan mereka, menatap semuanya, walau hanya sekejap, dan setelah tiba di ruang utama, ia duduk di sebuah tikar jerami bundar. Cahaya dari sebuah lampu kecil menerangi garis-garis wajahnya. Apakah dia sedang kesal? Para perempuan bertanya-tanya dengan cemas ketika mereka membawakan air, teh, dan kue kacang hitam.
"Oinosuke," ujar Koroku setelah beberapa saat, sambil berpaling pada pengikutnya yang duduk paling berjauhan. "Malam ini kita semua dipermalukan, bukan begitu?"
"Betul," Oinosuke sependapat.
Keempat laki-laki yang duduk bersama Koroku tampak geram. Koroku sendiri seakan-akan tak dapat melampiaskan kekesalannya. "Takumi, Hannojo. Apa pendapat kalian?"
"Mengenai apa?"
"Mengenai aib yang kita terima malam ini! Bukankah nama marga Hachisuka telah tercemar secara memalukan?"
Keempat laki-laki itu kembali membisu. Udara malam terasa gerah, tanpa angin sama sekali. Asap obat nyamuk membuat pedih mata mereka.
Sebelumnya, Koroku telah menerima undangan dari seorang pembantu utama Oda, untuk menghadiri upacara minum teh. Ia tak pernah menyukai acara seperti itu, tapi tamu-tamu yang lain semuanya orang terkemuka di Owari, dan ini kesempatan baik untuk bertemu dengan mereka. Kalau ia menolak undangan itu, ia akan menjadi bahan tertawaan. Orang-orang akan bergunjing, "Sombong sekali mereka, bertingkah seperti itu. Padahal dia tak lebih dari pemimpin gerombolan ronin. Paling-paling dia takut kebodohannya terbongkar dalam upacara minum teh." Koroku dan empat pengikutnya menghadiri acara itu sambil bersikap penuh wibawa. Dalam upacara minum teh, sebuah kendi akae menarik perhatian salah seorang tamu, dan ketika mengobrol, secara tak
sengaja sebuah komentar terlontar olehnya.
"Aneh sekali," katanya. "Aku yakin pernah melihat kendi ini di rumah Sutejiro, si saudagar tembikar. Bukankah ini kendi akae terkenal yang dirampas oleh gerombolan penjahat?"
Sang tuan rumah, yang sangat menyukai kendi itu, tentu saja terkejut.
"Tidak masuk akal! Belum lama ini kami membelinya di sebuah toko di Sakai, dengan harga hampir seribu keping emas." Ia bahkan menunjukkan tanda terimanya.
Namun tamu tadi tetap bersikeras, "Rupanya para pencuri menjualnya pada seorang pedagang di Sakai, dan setelah pindah tangan beberapa kali, kendi itu akhirnya sampai di sini. Orang yang mencurinya dari rumah si saudagar tembikar adalah Watanabe Tenzo dari Mikuriya."
Para undangan tiba-tiba terdiam. Jelas bahwa orang yang berbicara begitu lantang itu tidak tahu apa-apa mengenai silsilah keluarga seseorang yang juga hadir, Hachisuka Koroku. Namun si tuan rumah dan beberapa tamu lainnya menyadari bahwa Watanabe Tenzo adalah keponakan Koroku dan salah satu sekutu utamanya. Sebelum pergi, Koroku bersumpah untuk menyelidiki kejadian itu sampai tuntas. Kehormatannya bagai diinjak-injak, dan ia kembali ke rumahnya dengan memendam perasaan marah dan malu.
Tak seorang pun sanak saudaranya dapat mengusulkan sesuatu. Seandainya masalah itu menimpa keluarga mereka sendiri atau keluarga salah seorang pengikut, mereka pasti sanggup mengatasinya, tapi persoalan ini menyangkut Tenzo, keponakan Koroku. Rumah tangga Tenzo di Mikuriya merupakan pecahan dari rumah tangga di Hachisuka, dan ia selalu menampung dua puluh sampai tiga puluh ronin.
Koroku semakin gusar, karena ia bersaudara dengan Tenzo. "Ini keterlaluan," ia menggeram sambil menyumpahi kebusukan Tenzo. "Aku telah bertindak bodoh dengan tidak memperhatikan kelakuan Tenzo akhir-akhir ini. Dia mulai gemar berpakaian mewah, dan selalu dikelilingi sejumlah perempuan. Dia merusak nama baik keluarga. Kita harus menyingkirkannya. Kalau begini terus, marga Hachisuka akan dianggap kawanan pencuri atau gerombolan ronin yang tak tahu malu. Ini amat menyedihkan bagi sebuah keluarga yang sejak dulu dipandang sebagai salah satu marga terkemuka di pedesaan. Bahkan aku sendiri, Hachisuka Koroku, acap kali mendengar bisikan-bisikan di tempat umum bahwa aku pemimpin bandit."
Hannojo dan Oinosuke menundukkan kepala. Mereka malu karena tiba-tiba melihat air mata kesedihan di mata Koroku.
"Dengar semua!" Koroku menatap anak buahnya. "Genting-genting rumah ini menampilkan lambang salib manji. Walau sekarang tertutup lumut, lambang itu diwariskan turun-temurun dari leluhurku, Minamoto Yorimasa, yang memperolehnya dari Pangeran Takakura atas jasanya mengerahkan pasukan yang setia pada sang pangeran. Dulu keluarga kita mengabdi pada para shogun, tapi sejak masa Hachisuka Taro, kita kehilangan pengaruh. Jadi, sekarang kita tak lebih dari sebuah marga pedesaan biasa. Tentu saja kita tak mungkin hidup merana terus tanpa melakukan apa-apa. Tidak, aku, Hachisuka Koroku, telah bersumpah bahwa waktunya sudah tiba! Sudah lama kutunggu kesempatan untuk memulihkan nama besar keluarga kita, sekaligus memberi pelajaran pada dunia."
"Dari dulu selalu itu yang kami dengar."
"Aku sudah sering mengatakan bahwa kita harus berpikir sebelum bertindak, dan melindungi yang lemah. Watak keponakanku tidak bertambah baik. Dia menyusup ke rumah seorang saudagar dan melakukan pekerjaan pencuri di malam hari." Sambil menggigit-gigit bibir, Koroku menyadari bahwa urusan itu harus diselesaikan. "Oinosuke, Shinshichi. Malam ini juga kalian berdua berangkat ke Mikuriya. Bawa Tenzo ke sini, tapi jangan beritahukan alasannya. Dia selalu ditemani sejumlah orang bersenjata. Dia bukan orang yang bisa ditangkap dengan mudah."
Fajar berikutnya tiba dengan diiringi kicauan burung di bukit-bukit berhutan. Satu rumah di dekat tembok pertahanan lebih dulu terkena sinar matahari.
"Matsu, Matsu!"
"Matsunami, istri Koroku, mengintip ke kamar tidur. Koroku sudah terjaga, berbaring miring di bawah kelambu.
"Orang-orang yang kukirim ke Mikuriya, mereka sudah kembali?" "Belum."
"Hmm," Koroku menggerutu. Wajahnya tampak cemas. Meskipun keponakannya bajingan yang hanya berbuat jahat, ia memiliki naluri tajam.
Dalam keadaan genting, apakah ia akan mencium bahaya yang mengancamnya,
lalu berusaha melarikan diri? Mereka agak terlambat, Koroko kembali berkata dalam hati.
Istrinya menyibakkan kelambu. Anak mereka, Kameichi, yang sedang bermain di pinggir jaring, belum genap berusia dua tahun.
"Hei! Ke sinilah." Koroku memeluk putranya, lalu memegangnya agak jauh. Gendut seperti anak-anak dalam lukisan Cina, anak itu terasa berat, bahkan di tangan ayahnya.
"Ada apa? Kelopak matamu merah dan bengkak." Koroku menjilat mata Kameichi. Anak itu menjadi gelisah dan menarik-narik serta mencakar wajah ayahnya.
"Mungkin dia digigit nyamuk," ujar ibunya.
"Kalau hanya nyamuk, tak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Dia selalu resah, walaupun sedang tidur. Setiap kali dia menyelinap keluar dari kelambu."
"Jangan biarkan dia kedinginan kalau tidur." "Tentu saja tidak."
"Dan hati-hati terhadap cacar." "Jangan singgung-singgung soal itu." "Dia anak pertama kita. Bisa dibilang, dia buah usaha kita yang pertama."
Koroku muda dan kekar. Ia melepaskan kebahagiaan saat itu dan melangkah ke luar ruangan, seperti orang yang ingin mencapai tujuan besar. Ia bukan orang yang bisa duduk-duduk di dalam sambil menghirup teh dengan santai. Setelah berganti pakaian dan mencuci muka, ia pergi ke pekarangan. Dengan langkah panjang ia menuju ke arah suara palu.
Di salah satu sisi sebuah jalan setapak sempit terdapat dua bengkel pandai besi yang didirikan di bekas tempat pohon-pohon besar pernah berdiri. Daerah itu berada di tengah-tengah hutan, di mana sampai sekarang pohon-pohon tak tersentuh kapak sejak masa para leluhur Koroku.
Si pembuat senjata, Kuniyoshi, yang diam-diam didatangkan dari kota Sakai oleh Koroku, sedang bekerja bersama para pembantunya.
"Bagaimana kemajuannya?" tanya Koroku.
Kuniyoshi dan anak-anak buahnya terduduk letih di lantai tanah.
"Belum beruntung, heh? Kalian belum berhasil meniru senjata api yang kalian gunakan sebagai contoh?"
"Kami telah mencoba ini dan itu. Kami bekerja tanpa makan dan tidur, tapi..."
Koroku mengangguk. Tiba-tiba seorang bawahannya menghampirinya dan berkata, "Tuanku, kedua orang yang tuanku kirim ke Mikuriya baru saja kembali." "Mereka sudah kembali?"
"Ya, tuanku."
"Apakah mereka membawa Tenzo?" "Ya, tuanku."
"Bagus." Koroku mengangguk-angguk. "Suruh dia menunggu."
"Di dalam?"
"Ya, aku akan segera ke sana."
Koroku merupakan penyusun strategi yang cukup andal—seluruh marga tergantung pada kemampuannya itu—tapi ada sisi lain dalam wataknya: ia cenderung bersikap terlalu lembek. Ia bisa tegas, tapi ia pun mudah dipengaruhi air mata, terutama jika darah dagingnya sendiri ikut terlibat.
Namun kali ini ia telah membulatkan tekad. Ia harus menyingkirkan keponakannya pagi ini. Tapi kelihatannya ia masih ragu-ragu, dan ia menghabiskan beberapa waktu dengan mengamati Kuniyoshi bekerja. "Ini tidak aneh," katanya. "Bagaimanapun, senjata api baru tiba di sini tujuh atau delapan tahun lalu. Sejak itu, para samurai dan marga-marga berkuasa telah berlomba-lomba menghasilkan senapan, atau membelinya dari kapal orang-orang barbar dari Eropa. Di sini, di Owari, kita mempunyai keuntungan taktis. Banyak samurai pedesaan di utara dan barat belum pernah melihat senjata api. Kau pun belum pernah merakit senjata seperti itu, jadi jangan terburu-buru dan bekerjalah dengan teliti. Kalau kau sanggup membuat satu, kau sanggup membuat seratus, dan kita bisa menggunakannya di kemudian hari."
"Tuanku!" Pembantu tadi kembali dan berlutut di tanah yang dibasahi embun. "Mereka menunggu tuanku."
Koroku berpaling ke arahnya. "Sebentar lagi aku ke sana. Biar mereka menunggu sedikit lebih lama."
Meski Koroku telah bertekad menghukum keponakannya demi keadilan, ia juga terombangambing antara apa yang ia anggap benar dan perasaannya sendiri. Ketika hendak beranjak, ia berkata pada Kuniyoshi, "Dalam tahun ini kau sanggup membuat sepuluh atau dua puluh senjata yang siap pakai, bukan?"
"Ya," ujar si pembuat senjata yang menyadari tanggung jawabnya, mimiknya serius. "Kalau hamba bisa membuat satu yang hamba rasa memenuhi syarat, hamba bisa membuat empat puluh atau bahkan seratus."
"Yang pertamalah yang paling sulit, ya?"
"Tuanku sudah menghabiskan banyak uang untuk hamba."
"Jangan pikirkan itu." "Terima kasih, tuanku."
"Kelihatannya perang belum akan berakhir tahun depan, tahun berikut, atau tahun-tahun setelahnya....
Kalau rumput di tanah ini menjadi layu dan pucukpucuk mulai keluar lagi... hmm, lakukanlah yang terbaik, agar pekerjaanmu selesai secepatnya." "Hamba akan mengerahkan segala daya." "Ingat, rahasia ini tak boleh bocor."
"Ya, tuanku."
"Bunyi palumu agak terlalu keras. Bisakah kau bekerja tanpa terdengar dari seberang parit?"
"Hamba akan berhati-hati."
Ketika meninggalkan bengkel, Koroku melihat sepucuk senapan tersandar di samping embusan. "Dan itu?" ia bertanya sambil menunjuk. "Apakah itu contohnya, atau buatanmu?"
"Senapan itu baru selesai hamba kerjakan." "Hmm, coba kulihat dulu."
"Hamba rasa senapan itu belum siap untuk diperiksa oleh tuanku."
"Jangan khawatir. Aku punya sasaran yang cocok.
Apakah sudah bisa ditembakkan?"
"Bola besinya melesat keluar, tapi entah kenapa, hamba belum sanggup meniru mekanisme pengokang yang asli. Hamba akan berusaha lebih keras lagi untuk mencari jalan keluar."
"Pengujian juga penting. Biar kubawa dulu."
Setelah mengambilnya dari tangan Kuniyoshi, Koroku meletakkan laras senapan pada lengannya yang ditekukkan, lalu berpura-pura membidik sebuah sasaran. Pada saat itu, Inada Oinosuke muncul di pintu bengkel.
"Oh, rupanya belum selesai."
Koroku berpaling pada Oinosuke dengan gagang senapan menempel di tulang iga. "Bagaimana?"
"Rasanya kita harus segera ke sana. Kami berhasil membujuk Tenzo untuk ikut dengan kami, tapi kelihatannya dia curiga, dan mulai gelisah. Bisa-bisa dia bertindak seperti harimau yang berusaha mendobrak kerangkengnya."
"Baiklah, aku segera datang."
Ia mengembalikan senapan pada Oinosuke, lalu menyusuri jalan setapak dengan langkah-langkah panjang.
Watanabe Tenzo sedang duduk di depan ruang baca, sambil memikirkan ada apa sebenarnya. Kenapa ia dibawa ke sini? Aoyama Shinshichi, Nagai Hannojo, Matsubara Takumi, dan Inada Oinosuke—para pembantu kepercayaan marga Hachisuka—duduk di sekitarnya. Mereka mengamati setiap gerakannya dengan saksama. Begitu tiba, Tenzo langsung merasa gelisah. Ia sedang mencari-cari alasan untuk pergi, ketika ia melihat Koroku di pekarangan.
"Ah, Paman." Sapaan Tenzo diiringi senyum terpaksa.
Koroku menatap keponakannya dengan tenang. Oinosuke meletakkan gagang senapan di lantai. "Tenzo, coba ke pekarangan," ujar Koroku. Penampilannya tidak berbeda dari biasanya. Kecemasan Tenzo agak berkurang.
"Mereka menyuruhku segera kemari, mereka bilang ada urusan penting yang harus diselesaikan." "Betul." "Urusan apa?"
"Hmm, ke sini dulu."
Tenzo memakai sandal jeraminya dan keluar ke pekarangan. Hannojo dan Takumi mengikutinya.
"Berdiri di sana," Koroku memerintah sambil duduk di atas batu besar dan mengangkat senapan. Tenzo langsung menyadari bahwa dirinya akan dijadikan sasaran oleh pamannya, tapi tak ada yang dapat ia perbuat. Yang lain berdiri di sekelilingnya, tak bergerak seperti batu di atas papan go. Si pemimpin para bandit dari Mikuriya telah tertangkap. Wajahnya menjadi pucat kelabu. Kemarahan yang amat sangat terpancar dari wajah Koroku.
Ekspresi wajahnya memberitahu Tenzo bahwa katakata takkan berguna.
"Tenzo!"
"Ya?"
"Tentu kau belum melupakan pesan-pesan yang telah berulang kali kusampaikan padamu?"
"Aku masih ingat semuanya."
"Kau dilahirkan sebagai manusia di dunia yang kacau. Hal-hal yang paling memalukan adalah kesombongan dalam berpakaian, kesombongan dalam memilih makanan, dan menindas rakyat jelata yang cinta damai. Marga-marga pedesaan yang katanya tersohor melakukan hal-hal seperti itu, begitu juga para ronin. Keluarga Hachisuka Koroku tidak seperti mereka, dan kurasa aku sudah memperingatkanmu mengenai ini."
"Ya, Paman sudah memperingatkanku."
"Hanya keluarga kita yang berikrar untuk menyimpan harapan besar dan untuk memenuhi harapan itu. Kita telah bersumpah tidak akan menindas para petani, tidak bertindak seperti pencuri, dan jika kita menjadi penguasa provinsi, kita akan memastikan semua orang bisa merasakan kemakmuran."
"Ya, itulah janji kita."
"Siapa yang melanggar ikrar itu?" tanya Koroku. Tenzo membisu.
"Tenzo! Kau telah menyalahgunakan kekuatan militer yang kupercayakan padamu. Kau memanfaatkannya untuk tujuan busuk, melakukan pekerjaan pencuri di malam hari. Kaulah yang menyusup ke toko tembikar di Shinkawa dan mencuri kendi akae itu, bukan?"
Tenzo tampak seolah-olah siap melarikan diri. Koroku berdiri, suaranya menggelegar, "Babi kau!
Duduk! Kau mau kabur?"
"Aku... aku takkan lari." Suara Tenzo gemetar. Ia merosot ke rumput dan duduk seakan-akan terpaku di tanah.
"Ikat dia!" Koroku berseru kepada para pembantunya. Seketika Matsubara Takumi dan Aoyama Shinshichi menerjang Tenzo. Mereka menarik tangannya ke belakang, lalu mengikatnya dengan tali penahan pedangnya sendiri. Ketika Tenzo menyadari bahwa kejahatannya telah terbongkar dan bahwa ia terancam bahaya, raut wajahnya yang pucat menjadi agak lebih tegas dan menantang.
"Pa... Paman, apa yang akan Paman lakukan terhadapku? Aku tahu aku berhadapan dengan pamanku, tapi ini tidak masuk akal."
"Diam!"
"Siapa yang menceritakan itu pada Paman?" "Kau mau diam atau tidak?"
"Paman... Paman adalah pamanku, kan? Kalau memang ada gunjingan seperti itu, bukankah Paman bisa menanyakannya dulu padaku?"
"Jangan cari-cari alasan."
"Tapi pemimpin sebuah marga besar yang bertindak berdasarkan gunjingan tanpa menyelidiki..."
Tak perlu dijelaskan, segala rengekan itu tak mempan terhadap Koroku.
Ia mengangkat senapan dan menahannya dengan lekuk siku.
"Bajingan! Kaulah sasaran hidup yang kuperlukan untuk mencoba senjata baru yang dibuat Kuniyoshi untukku. Kalian berdua, bawa dia ke pagar dan ikat ke pohon."
Shinshichi dan Takumi mendorong Tenzo dan mencengkeram tengkuknya. Mereka menggiringnya sampai ke ujung pekarangan yang jauh, cukup jauh sehingga panah yang dilepaskan seorang pemanah yang tidak mahir takkan dapat menempuh seluruh jaraknya. "Paman! Ada yang perlu kukatakan. Dengarkan aku, kali ini saja!" Tenzo berseru. Suaranya, serta keputusasaan yang terkandung di dalamnya, terdengar jelas oleh semua yang hadir.
Koroku tak peduli. Oinosuke telah membawa sumbu. Koroku mengambilnya, dan setelah memasukkan bola besi ke dalam senapan, membidik keponakannya yang berteriak-teriak ketakutan.
"Aku bersalah! Semuanya kuakui! Tolong dengarkan aku!"
Sama tak terkesan seperti majikan mereka, para pengikut Koroku berdiri membisu sambil memperhatikan adegan yang sedang berlangsung di depan mata mereka. Setelah beberapa menit, Tenzo terdiam. Kepalanya tertunduk.
Barangkali ia merenungkan kematiannya yang telah berada di depan mata. Atau mungkin juga ia sudah putus asa.
"Percuma saja!" Koroku bergumam. Ia melepaskan matanya dari sasaran.
"Biarpun aku menarik picu, bola besinya tidak mau keluar. Oinosuke, lari ke bengkel dan panggil Kuniyoshi."
Pada waktu si pandai besi muncul, Koroku menyodorkan senapannya dan berkata, "Aku mencoba menembak, tapi gagal. Betulkan sekarang juga."
Kuniyoshi memeriksa senjata api itu. "Kerusakannya tidak mudah diperbaiki."
"Berapa lama yang kauperlukan?" "Mungkin hamba selesai menjelang malam nanti." "Tidak bisa lebih cepat dari itu? Sasaran hidup yang
kupakai sebagai batu uji masih menunggu."
Baru sekarang si pandai besi menyadari bahwa Tenzo-lah yang dijadikan sasaran. "Keponakan... keponakan tuanku?"
Koroku tidak menanggapi komentar itu. "Kau sudah jadi pembuat senapan sekarang. Ada baiknya kalau kaucurahkan tenagamu untuk membuat senapan. Kalau kau bisa menyelesaikan satu hari lebih cepat dari yang direncanakan, itu bagus sekali. Tenzo orang jahat, tapi dia juga saudara, dan daripada mati seperti anjing, lebih baik dia digunakan sebagai sasaran untuk menguji senapan ini. Sekarang lanjutkan pekerjaanmu."
"Ya, tuanku."
"Apa lagi yang kautunggu?" Mata Koroku menyerupai api isyarat. Tanpa mengangkat kepala pun Kuniyoshi dapat merasakan panasnya. Ia mengambil senapan itu dan bergegas ke bengkelnya.
"Takumi, beri sedikit air pada sasaran hidup kita," Koroku memberi perintah. "Dan pastikan dia dijaga paling tidak tiga orang, sampai senapannya diperbaiki." Kemudian ia kembali ke rumah induk untuk sarapan.
Takumi, Oinosuke, dan Shinshichi juga meninggalkan pekarangan. Nagai Hannojo akan pulang ke rumahnya sendiri hari itu, dan ia segera mohon diri. Kira-kira pada waktu yang sama, Matsubara Takumi pergi untuk menjalankan sebuah tugas, jadi tinggal Inada Oinosuke dan Aoyama Shinshichi yang masih berada di rumah di atas bukit.
Matahari semakin tinggi. Udara bertambah gerah. Jangkrik-jangkrik berdengung, dan makhluk hidup yang bergerak dalam panas menyengat itu hanyalah semut-semut yang merayap di batu-batu injak di pekarangan.
Berkali-kali bunyi palu terdengar seperti letusan dari bengkel pandai besi. Entah bagaimana bunyi itu terdengar di telinga Tenzo.
"Senapan itu belum siap juga?" Setiap kali suara keras itu terdengar dari kamar Koroku, Aoyama Shinshichi berlari ke bengkel, menembus panas yang membakar. Setiap kali ia kembali ke serambi sambil berkata, "Sebentar lagi," lalu melaporkan perkembangannya.
Koroku tidur siang dengan resah, lengan dan kakinya terjulur. Shinshichi pun lelah akibat ketegangan pada hari sebelumnya, dan akhirnya tertidur.
Mereka terjaga karena suara salah seorang penjaga yang berseru, "Dia kabur!"
"Tuan Shinshichi! Dia kabur! Cepat datang!" Bertelanjang kaki Shinshichi berlari ke pekarangan. "Keponakan tuanku Koroku membunuh dua
penjaga dan melarikan diri!" Warna wajah orang itu persis seperti tanah liat.
Shinshichi berlari mengikuti si penjaga, sambil berseru ke belakang,
"Tenzo membunuh dua penjaga dan melarikan diri!"
"Apa?" seru Koroku, tiba-tiba terbangun dari tidur siangnya. Dengungan jangkrik terus berlanjut. Dengan satu gerakan ia melompat berdiri dan mengenakan pedang yang selalu berada di sisinya ketika ia tidur. Setelah melompat dari serambi, ia segera menyusul Shinshichi dan si penjaga.
Ketika mereka sampai di pohon tadi, Tenzo tidak kelihatan lagi. Di kaki pohon tergeletak sepotong tali rami. Kira-kira sepuluh langkah dari sana, sesosok mayat tergeletak telungkup. Mereka menemukan penjaga satunya bersandar pada kaki tembok, kepalanya terbelah seperti buah delima yang telah matang. Kedua mayat itu bermandikan darah, seakanakan ada yang menyiramkannya ke atas mereka. Panasnya udara membuat darah di rumput segera mengering, mengubah warnanya menjadi hitam, baunya mengundang kawanan lalat.
"Penjaga!"
"Ya, tuanku." Orang itu melemparkan dirinya ke depan kaki Koroku.
"Kedua tangan Tenzo diikat, dan dia diikat ke pohon dengan tali rami. Bagaimana cara dia membebaskan diri? Kelihatannya tali itu tidak dipotong."
"Ya, ehm... kami melepaskan ikatannya." "Siapa?" "Salah satu penjaga yang mati."
"Kenapa ikatannya dibuka? Dan siapa yang mengizinkannya?"
"Mula-mula kami tidak mendengarkan dia, tapi keponakan tuanku bilang dia ingin buang air. Dia bilang dia tidak tahan lagi, dan..."
"Dungu!" Koroku membentak si penjaga. Ia harus memaksakan diri untuk tidak mengentakkan kaki ke tanah. "Bagaimana kalian bisa terkecoh oleh tipuan kuno itu? Dasar tolol!"
"Tuanku, ampunilah hamba. Keponakan tuanku bilang tuanku berhati emas, dan bertanya apakah kami betul-betul percaya bahwa tuanku akan membunuh keponakan sendiri. Dia bilang dia dihukum sekadar untuk memberi contoh, dan karena tuanku akan melancarkan penyelidikan menyeluruh, dia akan diampuni menjelang malam. Lalu dia mengancam, kalau kami tidak mendengarkannya, kami akan menerima ganjaran karena membuatnya begitu menderita. Akhirnya salah satu dari mereka melepaskan ikatannya dan mengawalnya bersama penjaga yang satu lagi, supaya dia bisa buang air di bawah pohon-pohon di sebelah sana."
"Lalu?"
"Kemudian hamba mendengar teriakan. Dia membunuh kedua-duanya, dan hamba berlari ke rumah untuk memberitahu tuanku apa yang terjadi."
"Ke arah mana dia kabur?"
"Terakhir kali hamba melihat dia, tangannya sedang memegang ujung tombak, jadi hamba pikir dia memanjatnya. Rasanya hamba mendengar sesuatu jatuh ke air di parit."
"Shinshichi, kejar dia. Tempatkan beberapa penjaga di jalan menuju desa malam ini." Setelah memberikan perintah itu, Koroku sendiri bergegas ke arah gerbang depan.
Kuniyoshi, bermandikan keringat, tak menyadari apa yang telah terjadi dan tidak memperhatikan waktu. Tak ada yang menyita perhatiannya selain senapan yang sedang ia kerjakan. Bunga api dari tempaan besi beterbangan di sekitarnya. Akhirnya ia berhasil membuat bagian-bagian yang diperlukannya dari serbuk besi. Lega karena tugasnya telah selesai, ia memeluk senapan itu dengan kedua tangannya. Tapi ia belum yakin sepenuhnya bahwa peluru akan melesat dari laras. Ia membidikkan senapan yang tak terisi ke tombak dan mencobanya. Ketika menarik picu, ia mendengar bunyi klik.
Ah, semuanya beres, ia berkata dalam hati. Tapi akan memalukan sekali jika ia menyerahkannya pada Koroku, dan kemudian Koroku menemukan kerusakan lain. Ia memasukkan bubuk mesiu ke dalam laras, mengisi peluru, membidikkan senapan ke lantai, lalu menembak. Diiringi bunyi keras, bola besi itu menghasilkan lubang kecil di lantai.
Aku berhasil!
Teringat Koroku, ia kembali mengisi senapan, lalu bergegas keluar dari pondok dan menyusuri jalan setapak yang membelah pepohonan lebat dan menuju pekarangan.
"Hei!" seru seorang laki-laki yang setengah bersembunyi di bayang-bayang sebatang pohon.
Kuniyoshi berhenti. "Siapa itu?" ia bertanya. "Aku."
"Siapa?" "Watanabe Tenzo."
"Hah? Keponakan Tuan Koroku?"
"Jangan kaget begitu, meski aku mengerti sebabnya. Tadi pagi aku diikat ke sebatang pohon, siap digunakan sebagai sasaran untuk mencoba sepucuk senapan. Dan sekarang aku berdiri di sini."
"Apa yang terjadi?"
"Bukan urusanmu. Itu masalah antara paman dan keponakan. Aku dimarahi habis-habisan."
"Begitu?"
"Dengar, beberapa petani dan sejumlah samurai dari sekitar sedang bertengkar di kolam Shirahata di desa. Pamanku, Oinosuke, Shinshichi, dan anak buah mereka pergi ke sana. Aku disuruh segera menyusul. Kau sudah selesai memperbaiki senapan itu?"
"Ya."
"Berikan padaku."
"Apakah ini perintah dari Tuan Koroku?"
"Ya. Cepat serahkan padaku. Kalau musuh sampai lolos, kita kehilangan kesempatan untuk mencobanya."
Tenzo merebut senapan itu dari tangan Kuniyoshi dan menghilang di hutan.
"Ini aneh," pikir si pandai besi. Ia mulai mengejar Tenzo yang sedang menyusup di antara pohon-pohon di sepanjang tembok luar. Ia melihatnya memanjat tembok dan melompat, hampir mencapai sisi seberang parit.
Terendam sampai ke dada, Tenzo tidak membuangbuang waktu dan membelah air bagaikan hewan liar.
"Ah! Dia lari! Tolong! Di sini!" Kuniyoshi berteriak sekuat tenaga dari atas tembok.
Tenzo merangkak keluar dari air. Ia tampak seperti tikus got. Ia berbalik ke arah Kuniyoshi, membidikkan senapan, dan menarik picu.
Senapan itu mengeluarkan bunyi mengerikan. Tubuh Kuniyoshi jatuh terguling-guling. Tenzo berlari melintasi ladang, melompat-lompat bagaikan macan kumbang.
***
"Berkumpul!"
Pemberitahuan itu diedarkan dengan tanda tangan sang Pemimpin Marga, Hachisuka Koroku. Menjelang malam, rumahnya dipenuhi samurai, baik di dalam maupun di luar gerbang.
"Ada pertempuran?"
"Menurutmu apa yang telah terjadi?" mereka bertanya, menggebu-gebu karena ada kemungkinan bertempur. Meskipun mereka biasanya membajak ladang, menjual kepompong ulat sutra, beternak kuda, dan pergi ke pasar seperti petani dan pedagang biasa, pada dasarnya mereka sangat berbeda dari orang-orang itu. Mereka bangga akan darah prajurit mereka dan tidak puas dengan nasib mereka. Kalau ada kesempatan, mereka tidak ragu-ragu mengangkat senjata untuk menantang takdir dan menciptakan badai. Orang-orang seperti itu telah menjadi pendukung marga selama beberapa generasi.
Oinosuke dan Shinshichi berdiri di luar tembok, memberi pengarahan.
"Pergi ke pekarangan." "Jangan terlalu ribut."
"Lewati gerbang utama." Semua orang itu mem=ersenjatai diri dengan pedang panjang, namun sebagai anggota marga pedesaan, mereka tidak mengenakan baju tempur lengkap, melainkan hanya memakai sarung tangan dan pelindung tulang kering.
"Kita akan maju ke medan laga," salah seorang menebak.
Batas-batas daerah kekuasaan Hachisuka tidak ditetapkan secara jelas. Orang-orang itu bukan penghuni benteng tertentu, dan mereka tak pernah mengucapkan sumpah setia pada penguasa mana pun. Mereka tidak memiliki sekutu maupun musuh yang pasti. Tapi sekali-sekali mereka akan turut berperang jika tanah marga diserbu, atau jika marga bersekutu dengan adipati setempat, atau jika marga menyewakan orang-orang sebagai tentara bayaran atau penghasut kepada para pengusaha di provinsi-provinsi yang jauh. Beberapa pemimpin marga mengerahkan pasukan masing-masing demi uang, tapi Koroku tak pernah tergoda oleh keuntungan pribadi.
Marga Oda, yang bertetangga dengannya, menyadari hal tersebut, begitu juga marga Tokugawa dari Mikawa dan marga Imagawa dari Suruga. Marga Hachisuka hanya salah satu di antara beberapa marga pedesaan yang kuat, tapi cukup disegani, sehingga tanahnya tidak terancam oleh marga lain.
Pemberitahuan sudah diedarkan, dan seluruh marga langsung muncul.
Berkumpul di pekarangan luas, mereka menatap pemimpin mereka. Ia berdiri di atas bukit buatan, membisu seperti patung batu, di bawah bulan yang tergantung di langit senja. Baju tempumya terbuat dari kulit berwarna hitam, dan sebilah pedang panjang tergantung di pinggangnya. Meski perlengkapannya tampak ringan, tak ada yang meragukan wibawanya sebagai pemimpin marga prajurit.
Kepada hampir dua ratus orang yang telah berkumpul, Koroku mengumumkan bahwa mulai hari itu Watanabe Tenzo tidak lagi menjadi anggota marga mereka. Setelah menjelaskan alasannya, ia mohon maaf atas ketidakmampuannya. "Kesulitan yang kita alami sekarang adalah akibat dari kelalaianku. Karena melarikan diri, Tenzo harus dihukum dengan kematian.
Kita tak boleh tinggal diam. Kalau kita membiarkannya tetap hidup, marga Hachisuka akan dicap sebagai pencuri selama seratus tahun. Demi kehormatan kita, demi leluhur dan keturunan kita, kita harus mengejar Tenzo. Jangan pandang dia sebagai keponakanku. Dia pengkhianat!"
Ketika Koroku mengakhiri pidatonya, seorang pengintai kembali dengan berlari sekuat tenaga. "Tenzo dan anak buahnya ada di Mikuriya," ia melaporkan. "Mereka bersiap-siap diserang dan sedang memperkuat pertahanan desa."
Saat mengetahui bahwa musuh mereka ternyata Watanabe Tenzo, orang-orang agak kehilangan semangat, tapi setelah mendengar alasan yang dikemukakan Koroku, mereka bersatu untuk mengembalikan kehormatan marga. Dengan langkah pasti mereka menuju gudang senjata yang menyimpan aneka macam perlengkapan tempur. Di masa lampau, senjata dan baju perang sering kali ditinggalkan di medan laga seusai pertempuran.
Kini, berhubung tak ada tanda-tanda bahwa perang saudara akan berakhir, dan karena seluruh negeri diliputi kegelapan dan ketidakstabilan, senjata-senjata telah menjadi milik berharga. Senjata bisa ditemukan di rumah setiap petani, dan, hanya dikalahkan oleh bahan pangan, sebuah tombak atau sebilah pedang bisa dijual untuk memperoleh uang tunai.
Sejak marga Hachisuka didirikan, gudang senjatanya selalu cukup lengkap, dan jumlah senjata semakin bertambah di masa Koroku, tapi sampai sekarang belum ada senjata api. Kenyataan bahwa Tenzo membawa lari satu-satunya senapan yang mereka miliki membuat Koroku begitu geram, sehingga hanya tindakan yang bisa meredakan amarahnya. Koroku menganggap keponakannya sebagai binatang—dicincang pun masih terlalu baik untuknya. Ia bersumpah tidak akan melepaskan baju tempur ataupun memejamkan mata sebelum memperoleh kepala Tenzo.
Koroku memimpin pasukannya ke Mikuriya. Ketika mereka mendekati tujuan, barisan itu berhenti. Seorang pengintai diutus. Ia kembali dan melaporkan bahwa cahaya merah di langit malam disebabkan oleh kebakaran akibat ulah Tenzo dan anak buahnya yang sedang menjarah desa. Pada waktu mereka maju lagi, mereka berpapasan dengan para warga desa yang lari menyelamatkan diri sambil menggendong anak, orang sakit, dan barang-barang rumah tangga, serta menuntun hewan piaraan. Begitu melihat orang-orang Hachisuka, mereka semakin ketakutan.
Aoyama Shinshichi menenangkan mereka. "Kami tidak datang untuk menjarah," katanya. "Kami datang untuk menghukum Watanabe Tenzo dan para bajingan yang ikut bersamanya."
Kecemasan para penduduk desa mereda, dan mereka melepaskan kemarahan mereka terhadap kekejian Tenzo. Kejahatannya tidak berhenti dengan mencuri kendi dari Sutejiro. Di samping menagih pajak tanah tahunan untuk sang penguasa provinsi, ia juga membuat aturan sendiri dan memungut pajak tambahan yang disebutnya "uang keamanan" untuk sawah dan ladang. Ia mengambil alih dam-dam di danau-danau dan sungai-sungai, lalu menuntut yang disebutnya "uang air". Kalau ada yang berani menyuarakan ketidakpuasannya, Tenzo mengirim orang-orang untuk memorak-porandakan sawah dan ladang orang yang bersangkutan. Selain itu, dengan mengancam untuk membinasakan seluruh keluarga mereka, ia bisa mencegah orang-orang yang berniat mengadukannya diam-diam pada penguasa provinsi. Lagi pula sang penguasa terlalu disibukkan oleh urusan militer, sehingga tak sempat memikirkan masalah-masalah sepele seperti keamanan dan ketertiban.
Tenzo dan sekutu-sekutunya bertindak sesuka hati. Mereka berjudi, memotong dan makan sapi dan ayam di pekarangan tempat suci, main perempuan, dan mengubah tempat suci jadi gudang senjata.
"Apa yang dikerjakan gerombolan Tenzo malam ini?" tanya Shinshichi.
Para penduduk desa serempak angkat bicara. Ternyata pengacau-pengacau itu mula-mula meng-ambil lembing dari tempat suci. Mereka sedang minum sake dan berteriak-teriak mengenai bertempur sampai mati, lalu tiba-tiba mulai menjarah dan membakar rumahrumah. Akhirnya mereka ber-kumpul kembali, lalu kabur sambil membawa senjata, makanan, apa saja yang berharga. Kelihatannya mereka berharap bisa menggertak para pengejar mereka dengan ribut-ribut tentang pertempuran sampai titik darah penghabisan.
Apakah aku disiasati? pikir Koroku. Ia mengentakkan kaki di tanah dan memerintahkan para penduduk desa untuk kembali. Anak buahnya menyusul, dan bahu-membahu mereka berusaha menguasai api. Koroku memperbaiki tempat suci yang telah dinodai, dan menjelang subuh, membungkuk rendah-rendah untuk berdoa.
"Walaupun Tenzo hanya mewakili salah satu cabang keluarga kita, perbuatan busuknya telah menjadi kejahatan seluruh marga Hachisuka. Aku mohon ampun, dan aku bersumpah bahwa dia akan membayar dengan nyawanya, bahwa penduduk-penduduk desa ini akan ditenteramkan, dan bahwa aku akan memberikan persembahan pada dewa-dewa di tempat suci ini."
Sementara ia berdoa, pasukannya berdiri tak bersuara di kedua sisi.
"Mungkinkah ini pemimpin gerombolan bandit?" para penduduk desa saling bertanya. Mereka bingung dan curiga, dan kebingungan serta kecurigaan ini sangat beralasan, sebab Watanabe Tenzo telah melakukan banyak kejahatan atas nama marga Hachisuka. Karena ia keponakan Koroku, mereka menganggap Koroku, sebagai pimpinan Tenzo, sama saja dengan bajingan itu. Sebaliknya, Koroku sadar bahwa jika dewa-dewa dan rakyat tidak berada di pihaknya, ia pasti gagal. Akhirnya orang-orang yang disuruh mengikuti Tenzo kembali. "Kekuatan pasukan Tenzo sekitar tujuh puluh orang," mereka melaporkan. "Jejak mereka menunjukkan bahwa mereka pergi ke gununggunung di Higashi Kasugai, dan berusaha mencapai jalan Mino."
Koroku segera mengeluarkan perintah, "Setengah dari kalian kembali untuk menjaga Hachisuka. Setengah dari yang tersisa tinggal di sini untuk membantu penduduk dan menjaga ketertiban umum. Selebihnya ikut denganku."
Akibat membagi-bagi pasukannya, ia hanya memiliki empat puluh atau lima puluh orang untuk memburu Tenzo. Setelah melewati Komaki dan Kuboshiki, mereka berhasil mengejar sebagian gerombolan bandit. Tenzo menempatkan pengintaipengintai di beberapa jalan, dan ketika mereka mengetahui bahwa mereka diikuti, anak buahnya segera mengambil jalan memutar. Beberapa laporan mengatakan bahwa mereka menuruni puncak Seto, ke arah Desa Asuke.
Menjelang siang pada hari keempat setelah pembakaran Mikuriya. Udara terasa panas. Mereka melalui jalan-jalan yang curam, dan anak buah Tenzo harus terus memakai baju tempur. Kelihatan jelas bahwa gerombolan itu sudah lelah melarikan diri. Sepanjang jalan mereka meninggalkan barang dan kuda, berangsur-angsur meringankan beban yang harus mereka pikul, dan pada saat mencapai jurang Sungai Dozuki, mereka lapar sekali, letih, dan bermandikan keringat. Ketika mereka sedang memuaskan dahaga, pasukan Koroku menuruni kedua tepi jurang untuk melakukan serangan menjepit. Batu kecil dan besar menghujani para buronan, dan dalam sekejap air sungai berubah menjadi merah karena darah. Beberapa orang dihabisi dengan pedang, beberapa dipukul sampai mati, beberapa dilempar ke dalam sungai. Orang-orang itu biasanya mempunyai hubungan baik satu sama lain, dan garis pertalian darah—paman dan keponakan, sepupu dan sepupu— tidak membedakan kawan maupun lawan. Serangan itu merupakan serangan marga terhadap dirinya sendiri, tapi memang tak terelakkan.
Sebenarnya mereka merupakan satu kesatuan, dan karena itu akar-akar kejahatan harus diberantas.
Koroku, dengan keberaniannya yang tanpa tanding, bermandikan darah kerabatnya yang baru terbunuh. Ia memanggil-manggil Tenzo agar memperlihatkan diri, namun sia-sia. Sepuluh anak buahnya gugur, tapi pihak lawan nyaris terbantai habis. Namun Tenzo tidak ditemukan di antara mereka yang mati. Sepertinya ia meninggalkan para pengikutnya, dan berhasil lolos dengan menyusuri jalan-jalan setapak di gunung.
Babi! pikir Koroku sambil mengertakkan gigi. Ia menuju Kai.
Koroku sedang berdiri di atas salah satu puncak ketika entah dari mana terdengar letusan senapan, yang kemudian memantul dan menggema dari gunung ke gunung. Letusan senapan itu seakan-akan mengejek Koroku. Air mata membasahi pipinya. Pada saat itu ia teringat bahwa bagaimanapun, ia dan keponakannya— yang tak lebih dari jelmaan kebusukan—masih sedarah.
Air matanya merupakan air mata penyesalan atas ketidakmampuannya.
Getir dan patah semangat, ia berusaha merenungkan masalahnya dan menyadari bahwa masih sangat jauh harapannya untuk bisa beranjak dari kedudukannya sebagai pemimpin marga menjadi penguasa provinsi. Ia terpaksa mengakui bahwa ia tak sanggup. Kalau mengawasi sanak saudara sendiri pun aku tak mampu... Kekuatan saja belum cukup, tanpa peraturan atau disiplin keras. Di luar dugaan, seulas senyum getir menembus air matanya. Bajingan itu ternyata memberi pelajaran padaku, katanya dalam hati. Lalu ia memberi perintah untuk mundur.
Pasukannya, yang kini hanya berjumlah sekitar tiga puluh orang, membentuk barisan dan turun dari jurang Dozuki ke Koromo. Mereka berkemah di luar batas kota, dan keesokan harinya mengirim kurir ke kota benteng Okazaki. Mereka mendapat izin melintas, tapi karena hari sudah sore ketika mereka berangkat, mereka baru mencapai Okazaki menjelang tengah malam.
Di sepanjang jalan raya menuju rumah terdapat benteng-benteng dan tembok pertahanan yang saling berdekatan. Juga ada pos-pos pemeriksaan di lokasi strategis yang tak bisa dilewati barisan bersenjata. Perjalanan lewat darat akan menghabiskan waktu berhari-hari, sehingga mereka memutuskan untuk naik perahu menyusuri Sungai Yahagi, kemudian dari Ohama ke Handa. Dari Tokoname, sekali lagi mereka naik perahu melintasi perairan terbuka, lalu menyusuri Sungai Kanie sampai ke Hachisuka.
Tengah malam mereka tiba di tepi Sungai Yahagi, dan tak satu perahu pun terlihat. Arusnya deras dan sungainya lebar. Dengan kesal Koroku dan anak buahnya berhenti di bawah pepohonan. Beberapa orang mengemukakan pendapat masing-masing,
"Kalau tidak ada perahu, kita bisa naik perahu tambang dan menyusuri tepi sebelah sana."
"Sudah terlalu malam. Lebih baik tunggu sampai pagi, nanti pasti ada perahu."
Yang paling mengganggu pikiran Koroku adalah bahwa agar bisa berkemah di sini, mereka harus kembali ke Benteng Okazaki untuk minta izin.
"Cari perahu tambang," ia memerintah. "Kalau kita bisa menemukan satu saja untuk menyeberangi sungai ini, subuh nanti kita sudah menempuh jarak yang sama dengan yang bisa kita tempuh jika kita berlayar."
"Tapi, tuanku, di sekitar sini tidak ada perahu tambang."
"Dungu! Pasti ada perahu di sekitar sini, paling tidak satu. Bagaimana lagi orang bisa menyeberang sungai selebar ini pada siang hari? Lagi pula, mestinya ada perahu pengintai bersembunyi di tengah alangalang. Atau perahu yang dipakai pada waktu ada pertempuran. Buka mata lebar-lebar dan carilah!"
Orang-orang dibagi menjadi dua kelompok, satu mencari ke arah hulu, satu lagi ke arah hilir.
"Ah! Di sini ada satu!" salah seorang berseru dari arah hulu.
Di sebuah titik di tepi sungai, tempat tanah terkikis akibat banjir, pohon-pohon dengan akar tersingkap tampak membungkuk rendah di atas permukaan air. Airnya tenang dan gelap, seperti kolam yang dalam. Sebuah perahu tertambat dalam bayang-bayang di bawah pepohonan.
"Dan bisa dipakai!"
Orang itu meloncat turun, dengan niat untuk membawa perahu itu ke arah hilir. Ia menjangkau ke bawah untuk melepaskan tali yang melingkar pada akar pohon. Tapi lalu tangannya terhenti dan ia menatap tajam ke dalam perahu tersebut. Perahu itu kecil dan biasa digunakan untuk membawa barang. Benda itu sudah nyaris pecah, lembap karena lumut, dan miring sekali. Meski demikian, perahu itu bisa digunakan untuk menyeberang.
Yang menarik perhatian si prajurit adalah seorang laki-laki yang tertidur nyenyak sambil mendengkur di bawah tikar usang. Pakaiannya ganjil. Baik lengan baju maupun kaki celananya pendek, dan di bawah bajunya yang putih kusam ia memakai pembalut kaki dan tangan. Kakinya yang telanjang dilindungi sandal jerami. Tampaknya ia bukan lagi anak kecil, tapi juga belum dewasa benar. Ia tidur telentang di bawah langit terbuka, embun malam menempel pada alis dan bulu matanya. Tidurnya tampak begitu damai.
"Hei, kau!" Si prajurit berusaha membangunkannya, namun karena orang itu tidak bereaksi sama sekali, ia kembali menegur dan mendorong dada orang itu dengan gagang tombak.
"Hei, kau, bangun!"
Hiyoshi membuka mata, menggenggam gagang tombak itu sambil melepaskan seruan tertahan, dan membalas tatapan si prajurit.
Air yang berputar-putar di sekeliling perahu hampir bisa dianggap sebagai cerminan kehidupan Hiyoshi saat itu. Pada malam dingin di bulan pertama tahun sebelumnya, ketika ia meninggalkan ibu dan kakaknya, ia berpesan pada mereka bahwa ia akan kembali setelah menjadi orang besar.
Ia tidak berminat untuk berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan berikutnya, magang di tempat saudagar dan pengrajin seperti yang dilakukannya selama ini. Yang paling diinginkannya adalah mengabdi pada seorang samurai. Tapi penampilannya tidak mendukung, dan ia tidak memiliki bukti mengenai kelahiran maupun garis keturunan.
Kiyosu, Nagoya, Sumpu, Odawara—semuanya sudah ia kunjungi. Kadang-kadang ia mengerahkan segenap keberaniannya dan berdiri di depan pintu kediaman seorang samurai, tapi setiap kali permohonannya ditampik dengan tawa dan cemooh. Suatu kali ia bahkan diusir dengan sapu. Persediaan uangnya menipis dengan cepat, dan ia menyadari bahwa dunia ternyata persis seperti yang digambarkan bibinya di Yabuyama. Meski demikian, ia menolak untuk melepaskan impiannya, dan tetap percaya bahwa citacitanya masuk akal. Ia tidak malu untuk menceritakan ambisinya pada siapa pun, walau harus bermalam di tempat terbuka, di rumput, atau, seperti malam ini, dengan air sebagai alas tidur. Bagaimana membuat ibunya, yang ia anggap orang paling tidak bahagia di dunia, menjadi orang vang paling bahagia—itulah yang mendorong semangatnya. Dan bagaimana ia dapat melakukan sesuatu untuk kakaknya yang malang, yang berpendapat bahwa ia takkan pernah bisa menikah?
Ia sendiri juga menyimpan berbagai keinginan. Perutnya tak pernah terasa penuh, tak peduli seberapa banyak ia makan. Melihat rumah-rumah besar, ia ingin hidup di tempat-tempat seperti itu, dan setiap samurai gagah yang dilihatnya membuatnya tersadar akan penampilannya sendiri; melihat wanita-wanita cantik, ia terpesona oleh minyak wangi mereka. Sebenarnya prioritasnya belum berubah. Kebahagiaan ibunya tetap menduduki urutan teratas. Kepentingannya sendiri bisa diselesaikan belakangan. Untuk sementara ia cukup gembira dengan berkelana dari satu tempat ke tempat lain, tak memedulikan rasa lapar, dan terus mempelajari hal-hal baru—mengenai perputaran dunia, nafsu manusia, adat kebiasaan di berbagai daerah. Ia berusaha memahami peristiwaperistiwa yang terjadi di sekitarnya, membandingkan kekuatan militer berbagai provinsi, dan mengamati cara hidup para petani dan penduduk kota.
Sejak permulaan perang saudara menjelang akhir abad lalu, banyak orang telah berlatih ilmu bela diri. Ini berarti hidup penuh penderitaan, dan selama satu setengah tahun Hiyoshi mengikuti cara hidup para pendekar.
Tapi ia tidak membawa-bawa pedang panjang untuk menyempurnakan kemampuan bela diri. Dengan sisa uangnya, ia malah membeli jarum-jarum dari seorang grosir dan menjadi pedagang keliling. Ia berjalan jauh sampai ke Kai dan Hokuetsu, selalu siap menawarkan dagangannya. "Butuh jarum? Belilah jarum jahit dari Kyoto. Kalau tidak beli, rugi sendiri. Jarum untuk katun, jarum untuk sutra. Jarum jahit dari Kyoto." Penghasilannya amat kecil, hanya cukup untuk menyambung hidup seadanya. Namun pikirannya tidak menjadi picik, berbeda dengan para pedagang pada umumnya, yang memandang dunia hanya dari sudut barang dagangan mereka.
Marga Hojo di Odawara, marga Takeda di Kai, marga Imagawa di Suruga. Ketika mengunjungi kotakota benteng di utara, ia merasakan bahwa dunia sedang bergejolak, mengalami perubahan besar. Ia menarik kesimpulan bahwa kejadian-kejadian di masa mendatang akan berbeda dari penempuran-pertempuran kecil yang sampai sekarang menjadi ciri perselisihan dalam negeri. Bakal terjadi perang besar yang akan mengobati seluruh luka yang diderita negeri ini. Dan kalau memang begitu, ia berkata dalam hati sambil menjajakan dagangannya, aku pun... Dunia sudah mulai jemu dengan rezim Ashikaga yang jompo. Di mana-mana terjadi kekacauan, dan dunia sedang menunggu kita yang masih muda.
Selama menempuh perjalanan dari provinsiprovinsi di utara ke Kyoto dan Omi, ia telah belajar sedikit mengenai kehidupan. Ia melintas ke Owari dan tiba di Okazaki, karena mendengar bahwa saudara ayahnya tinggal di kota benteng itu. Ia tidak biasa mendatangi sanak saudara atau kenalan untuk minta makanan dan pakaian, tapi di awal musim panas itu badannya menjadi lemah, dan ia menderita keracunan makanan yang cukup parah. Ia juga ingin mendengar kabar mengenai keadaan di rumahnya.
Selama dua hari ia berjalan di bawah terik matahari, tapi belum berhasil menemukan orang yang dicarinya. Setelah makan mentimun mentah dan minum air dari sebuah sumur, ia merasakan nyeri yang menusuknusuk di lambung. Pada malam harinya ia menyusuri tepi Sungai Yahagi, sampai menemukan sebuah perahu. Perutnya keroncongan dan terasa sakit. Mungkin karena menderita demam ringan, mulutnya kering dan serasa penuh duri.
Dalam keadaan seperti ini pun ia teringat ibunya, dan ibunya muncul dalam mimpinya. Kemudian ia tertidur pulas, dan segala sesuatu—baik ibunya, nyeri di lambungnya, maupun langit dan bumi—seakan-akan lenyap.
Sampai kemudian si prajurit mulai mendorongdorong dadanya dengan tombak.
Seruan Hiyoshi saat terjaga tidak sebanding dengan ukuran tubuhnya.
Secara naluri ia meraih gagang tombak. Di masa itu, dada seseorang dianggap sebagai tempat jiwanya, dan seolah-olah merupakan tempat suci di dalam tubuh.
"Hei, kerdil, bangun!"
Si prajurit berusaha menarik tombaknya. Hiyoshi tetap menggenggamnya, lalu duduk tegak.
"Bangun? Aku sudah bangun."
Si prajurit, setelah merasakan kekuatan genggaman Hiyoshi, melotot dan berkata, "Keluar dari perahu!"
"Keluar?"
"Ya, sekarang juga! Kami butuh perahu itu, jadi menyingkirlah. Pergi dari sini!"
Dengan kesal Hiyoshi duduk lagi. "Bagaimana kalau aku tidak mau?"
"Apa?"
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" "Apa maksudmu?"
"Aku tidak mau keluar dari perahu." "Bajingan cilik!"
"Siapa sebenarnya yang bajingan? Membangunkan orang yang sedang tidur lelap dengan gagang tombak, lalu menyuruhnya keluar dan pergi?"
"Kurang ajar! Jaga mulutmu. Kaupikir aku siapa?" "Seorang laki-laki." "Itu sudah jelas."
"Kau sendiri yang tanya."
"Hei, kerdil, lancang betul mulutmu! Tapi sedetik lagi mulutmu mungkin mengkerut. Kami orang-orang Hachisuka. Pemimpin kami Hachisuka Koroku. Kami tiba di sini tengah malam, dan kami butuh perahu untuk menyeberangi sungai."
"Kau melihat perahu, tapi tidak melihat orang di dalamnya. Lagi pula, aku sedang memakai perahu ini!" "Aku melihatmu dan membangunkanmu. Sekarang
keluar dan pergi dari sini."
"Kau memang menjengkelkan." "Coba ulangi?"
"Terserah kau sajalah. Aku tidak mau keluar. Aku takkan menyerahkan perahu ini."
Si prajurit menyentakkan tombaknya agar Hiyoshi tertarik ke tepi.
Memilih saat yang tepat, Hiyoshi melepaskan genggamannya. Tombak itu membabat daun-daun pepohonan, dan si prajurit terhuyung-huyung ke belakang. Ia membalikkan tombak dan melemparkannya ke arah Hiyoshi.
Papan-papan kayu lapuk, sebuah ember, serta tikar alang-alang beterbangan.
"Dungu!" Hiyoshi mengejek. Prajurit-prajurit lain berdatangan.
"Berhenti! Ada apa ini?" ujar salah satu dari mereka. "Siapa itu?" tanya yang lain.
Mereka berkerumun, ribut-ribut, dan tak lama kemudian Koroku dan sisa anak buahnya muncul. "Kalian berhasil menemukan perahu?" Koroku
bertanya.
"Di sini ada perahu, tapi..."
Tanpa berkata apa-apa, Koroku melangkah maju. Hiyoshi segera sadar bahwa orang ini pemimpin para prajurit. Ia duduk sedikit lebih tegak dan menatap wajah Koroku. Pandangan Koroku terpaku pada Hiyoshi. Keduaduanya tidak berbicara. Koroku tak sempat memperhatikan penampilan Hiyoshi yang aneh. Ia terlalu terkesan oleh cara Hiyoshi memandang tepat ke matanya. Dia lebih berani dari yang kuduga, pikir Koroku.
Semakin lama mereka saling memandang, mata Hiyoshi semakin menyerupai mata binatang malam, bercahaya dalam gelap. Akhirnya Koroku memalingkan wajah.
"Cuma anak kecil," ia berkata dengan tenang.
Hiyoshi tidak menjawab. Matanya yang tajam masih tetap terarah pada wajah Koroku.
"Dia cuma anak kecil," Koroku berkata lagi.
"Kau bicara tentang aku?" tanya Hiyoshi sambil merengut.
"Tentu saja. Memangnya ada orang selain kau di bawah sana?"
Hiyoshi membidangkan bahunya sedikit. "Aku bukan anak kecil. Aku sudah melewati upacara akil balig."
"Oh, begitu?" Kedua bahu Koroku terguncangguncang karena tertawa.
"Kalau kau sudah dewasa, aku akan memperlakukanmu seperti orang dewasa."
"Setelah berhasil mengepungku—yang cuma sendirian—dengan sekelompok orang, apa yang akan kaulakukan terhadapku? Kurasa kalian ronin."
"Kau lucu sekali."
"Sama sekali tidak. Aku sedang tidur lelap tadi. Lagi pula perutku sakit. Dan aku tak peduli siapa kalian. Aku takkan pindah."
"Hmm, perutmu sakit?" "Ya."
"Ada apa rupanya?"
"Keracunan makanan, mungkin, atau sengatan matahari."
"Dari mana kau berasal?" "Nakamura di Owari."
"Nakamura? Hmm, hmm. Siapa nama keluargamu?" "Aku takkan memberitahukan nama keluargaku padamu, tapi aku diberi nama Hiyoshi. Tapi tunggu dulu, apa-apaan ini, membangunkan orang dari tidur lalu bertanya tentang orangtua? Asalmu dari mana,
dan bagaimana garis keturunanmu?"
"Seperti kau, aku pun berasal dari Owari, dari Desa Hachisuka. Namaku Hachisuka Koroku. Aku tidak tahu ada orang seperti kau di dekat desa kami. Apa pekerjaanmu?"
Hiyoshi bukannya menjawab, malah berkata, "Ah, kau dari daerah Kaito? Itu tidak jauh dari desaku." Tiba-tiba sikapnya lebih bersahabat.
Inilah kesempatan untuk menanyakan berita mengenai Nakamura. "Hmm, karena kita berasal dari daerah yang sama, aku berubah pikiran. Kau boleh ambil perahu ini."
Ia meraih buntalan barang dagangan yang digunakannya sebagai bantal, menyandangnya ke bahu, dan naik ke tepian. Tanpa berkata apa-apa, Koroku mengamati setiap gerakannya. Yang pertama menarik perhatiannya adalah lagak pedagang jalanan yang ditampilkan Hiyoshi, serta jawaban-jawaban spontannya sebagai remaja yang berkelana ke sana kemari seorang diri. Hiyoshi menerima nasibnya, mendesah, dan dengan berat hati mulai melangkahkan kaki.
"Tunggu, Hiyoshi. Hendak ke mana kau sekarang?" "Perahuku sudah diambil alih, jadi aku tak punya
tempat untuk tidur. Kalau aku tidur di rumput, aku akan basah karena embun, dan perutku semakin sakit. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku akan berputarputar sampai subuh."
"Kalau mau, kau bisa ikut denganku." "Ke mana?"
"Hachisuka. Tinggallah di tempatku. Kami akan memberimu makan dan merawatmu sampai sembuh."
"Terima kasih." Hiyoshi membungkuk perlahan. Sambil menatap kakinya, ia memikirkan langkah selanjutnya. "Apakah itu berarti aku boleh tinggal di sana dan bekerja untukmu?" "Aku suka pembawaanmu. Kau punya masa depan. Kalau kau mau bekerja untukku, aku akan menerimamu."
"Aku tidak mau." Ia mengucapkannya dengan regas, dengan kepala terangkat tinggi. "Cita-ciraku adalah mengabdi pada seorang samurai, dan aku telah membanding-bandingkan para samurai dan penguasa provinsi di banyak provinsi. Aku sampai pada kesimpulan bahwa jika ingin mengabdi pada seorang samurai, yang paling penting adalah memilih samurai yang tepat. Kita tidak boleh sembarangan memilih majikan."
"Ha... ha! Ini semakin menarik saja. Apakah aku, Koroku, kurang pantas menjadi majikanmu?"
"Aku takkan tahu sampai aku mulai bekerja untukmu, tapi nama marga Hachisuka tidak terlalu harum di desaku. Dan pemilik rumah tempat aku bekerja sebelum ini dirampok oleh seseorang yang kabarnya anggota marga Hachisuka. Ibuku akan sakit hati kalau aku bekerja untuk pencuri, jadi aku tak bisa pergi ke rumah orang seperti itu dan mengabdi padanya."
"Hmm, kutebak kau sempat bekerja untuk si saudagar tembikar, Sutejiro."
"Dari mana kau tahu itu?"
"Tadinya Watanabe Tenzo memang anggota marga Hachisuka. Tapi aku sendiri telah mencoret bajingan itu dari antara kerabat kami. Dia lolos, tapi kami mengalahkan gerombolannya, dan kini kami dalam perjalanan pulang. Apakah fitnah mengenai nama Hachisuka juga sudah sampai ke telingamu?"
"Hmm. Kelihatannya kau tidak seperti dia." Hiyoshi mengatakannya dengan terus terang, sambil menatap wajah Koroku. Kemudian, seakan-akan baru teringat sesuatu, ia berkata, "Apa aku boleh ikut sampai ke Hachisuka, tanpa ikatan, tentunya? Aku ingin mengunjungi saudaraku di Futatsudera."
"Futatsudera terletak persis di sebelah Hachisuka.
Siapa yang kaukenal di sana?
"Si pembuat kandang ayam Shinzaemon merupakan saudara dari pihak ibuku."
"Shinzaemon berdarah samurai. Hmm, kalau begitu ibumu juga keturunan samurai."
"Sekarang ini aku memang pedagang, tapi ayahku samurai."
Orang-orang telah menaiki perahu dan memasang tongkat, dan kini menunggu Koroku menyusul. Koroku merangkul bahu Hiyoshi dan berdua mereka naik ke perahu.
"Hiyoshi, kalau kau mau pergi ke Futatsudera, pergilah ke Futatsudera. Kalau kau mau tinggal di Hachisuka, itu pun boleh saja."
Karena tubuhnya kecil, Hiyoshi tersembunyi di tengah orang-orang dan tombak-tombak mereka yang rapat bagaikan hutan. Perahu itu menyeberangi sungai yang lebar dan berarus deras, sehingga penyeberangan itu makan waktu. Hiyoshi mulai bosan. Tiba-tiba ia melihat kunang-kunang di punggung salah seorang prajurit Koroku. Sambil melengkungkan telapak tangan, ia menangkapnya dan mengamatinya berkedap-kedip.