Jilid XXVIII
SUMA KIANG berkata, "Harap paduka tenang dan tidak menjadi kecil hati, yang Mulia. Saya telah menyelidiki dan ternyata pemuda dan dua orang gadis itu berada dalam pondok pemburu dalam hutan. Kita dapat menggunakan akal untuk membinasakan mereka bertiga sekaligus. akan tetapi untuk ini perlu bantuan Pangeran Cheng Lin."
"Hemm, engkau mempunyai siasat? laksanakan itu, aku akan mengirim utusan mengundang Pangeran Cheng Lin." kata Pangeran Cheng Boan dan tak lama kemudian Pangeran Cheng Lin atau Ki Seng sudah datang ke istana itu. Mereka lalu mengadakan perundingan dalam ruangan belakang, yaitu Pangeran Cheng boan, Pangeran Cheng Lin palsu, Suma Kiang, Toa Ok, dan tidak ketinggalan Sian Hwa Sian-li.
Dalam pertemuan itu, Suma Kiang menceritakan tentang siasat yang direncanakan. Mendengar itu, Ki Seng mengerutkan alisnya.
"Memang baik sekali ...! tidak sukar melaksanakan siasat ini. Akan tetapi resikonya teramat berat buat saya, Paman Pangeran. Bayangkan, kalau rahasia ini bocor dan ketahui.. Celakalah aku. Paman hanya menjadi penonton saja, akan tetapi saya yang harus menanggung semua akibatnya." "Hemm, siapakah yang akan memetik buahnya kalau berhasil? Pangeran, engau tentu tahu betapa bahayanya ancaman yang datang dari Han Lin itu. Sebelum dia dapat disingkirkan, kita semua terancam bahaya. Akan tetapi kalau dia dapat disingkirkan dulu, barulah yang lain akan dapat dilaksanakan dengan amat mudah. Ingat, hasilnya adalah rahasia pribadimu akan terjamin dan kelak engkau akan menjadi satu-satunya pangeran yang akan menggantikan kedudukan kaisar!"
Ki Seng menarik napas panjang. Dia merasa seperti menunggang harimau, Kalau turun dia akan celaka, terpaksa meneruskannya. Kalau dia tidak mau bekerja sama, rahasianya berada di tangan Pangeran Cheng Boan. Kalau Pangeran Cheng Boan membuka rahasia kepada Kaisar, akan celakalah dia. Tidak ada pilihan lain. Dia harus melanjutkan dan berpegang kepada harapan cemerlang bahwa kalau semua rencana persekutuan itu berhasil, kelak dia akan menjadi kaisar. Harapan ini yang menimbulkan semangat baginya.
Dua hari kemudian baru rencana yang dirundingkan di rumah Pangeran Cheng Boan itu dapat terlaksana. Pada sore hari itu, diam-diam Pangeran Cheng Boan memberi seekor kuda yang amat baik, besar dan kuat, kepada Pangeran Cheng Lin atau Ki Seng. Ki Seng membawa kuda yang amat indah itu ke istal. Kemudian ia menemui Pangeran Cheng Bhok yang mempunyai kesukaan memelihara dan menunggang kuda.
"Adinda Pangeran, saya mempunyai hadiah untuk adinda!" kata Ki Seng dengan suara gembira dan wajahnya penuh senyum.
Pada saat itu kebetulan Pangeran Cheng Bhok berada seorang diri. Dia tersenyum. "Hadiah apakah itu, kakanda Cheng Lin?"
"5aya ingin membuat kejutan. Sebaiknya adinda melihat sendiri saja. Mari ikut dengan saya!" kata Ki Seng yang lalu menggandeng tangan Pangeran Cheng Bhok dan mengajaknya pergi ke istal, bagian belakang taman.
Mereka berhenti di depan istal di mana kuda hitam tinggi besar itu berada
"Wah, kuda siapakah ini, kakanda? Bagus sekali!" seru Pangeran Cheng Bhok sambil memandang kuda itu dengan kagum.
"Ini kuda adinda. Sengaja saya beli untuk hadiah bagi adinda." kata Ki Seng sambil tersenyum.
"Ahh...! Benarkah? Terima kasih, kakanda Cheng Lin.
Kakanda baik sekali" Pangeran Cheng Bhok mendekati kuda hitam itu dan mengelus kepala kuda.
"Kuda ini sudah terlatih baik sekali adinda. Namanya Hek- liong-ma (Kuda Naga Hitam), larinya seperti angin. Mari kita coba, adinda. Saya akan menunggangi kuda lain dan kita coba kecepatan Hek-liong-ma."
Pangeran Cheng Bhok merasa girang bukan main. Kedua orang pangeran itu itu menunggang kuda keluar dari kebun istana. Pangeran Cheng Bhok menunggang kuda hitam dan Ki Seng menunggangi kuda lain. Mereka terus membiarkan kuda mereka berlari congklang menuju ke pintu gerbang selatan. Di sepanjang jalan penduduk kota raja memandang ketika dua orang pangeran yang tampan itu menunggang kuda mereka. Betapa tampan dan gagahnya kedua orang muda bangsawan itu.
Pangeran Cheng Lin palsu atau Ki Seng melarikan kudanya keluar pintu gerbang dan setelah tiba di luar, sambil tertawa dia berkata, "Adinda Cheng Bhok, sekarang kita menguji kecepatan hek-liong-ma. Coba adinda kejar saya kalau dapat!" Dia mencambuk kudanya sehingga kuda itu melompat ke depan dan membalap. Pangeran Cheng Bhok adalah seorang penggemar kuda dan dia suka sekali berlumba kuda. Hatinya gembira mendapatkan kuda yang demikian bagus, maka tantangan itu disambutnya dengan tawa dan diapun mencambuk kuda hitam dan melesat ke depan, mengejar.
Kedua orang pangeran itu berkejaran dan kuda mereka membalap dengan amat cepatnya, makin lama makin jauh meninggalkan tembok benteng kota raja.
Sementara itu, senja mulai menggelapkan cuaca, malam hampir tiba.
Ki Seng membalapkan kudanya dengan cepat. Pangeran Cheng Bhok berusaha mengejarnya. Akan tetapi ternyata kuda hitam itu tidak sehebat namanya. Biar pun Pangeran Cheng Bhok sudah mencambukinya dan menendang-nendang dengan kakinya, namun tetap saja kuda hitam itu tidak mampu menyusul kuda yang berada di depannya, selalu tertinggal belasan meter di belakang. Hal ini membuat Pangeran Cheng Bhok menjadi penasaran sekali karena biasanya, dalam adu balap kuda, Pangeran Cheng Lin tidak pernah mampu mengalahkannya.
Cuaca sudah menjadi remang-remang ketika Ki Seng menghentikan kudanya dan pangeran Cheng Bhok tentu saja menahan kudanya dan berhenti di samping kakaknya. Mereka telah tiba di tepi hutan dan tempat itu sunyi sekali. Tidak tampak ada orang lain di sekitarnya.
"Kakanda, mengapa berhenti di sini?" tanya Pangeran Cheng Bhok dan nada suaranya tidak gembira karena hatinya memang merasa kesal melihat kenyataan bahwa kuda hitam yang ditungganginya tidak mampu mengalahkan larinya kuda yang ditunggangi Pangeran Cheng Lin.
"Malam hampir tiba, mari kita pulang saja!"
"Nanti dulu, adinda, ada sesuatu yang amat menarik di sana. Saya ingin memperlihatkannya kepadamu. Mari, ikutilah saya." Pangeran Cheng Lin palsu itu lalu menjalankan kudanya memasuki hutan. Pangeran Cheng Bhok mengerutkan alisnya, agak ragu, akan tetapi terpaksa iapun mengikuti dari belakang karena dia ingin tahu apa yang akan diperlihatkan kakaknya itu.
Sementara itu, di istana kerajaan, Pangeran Cheng Boan tergesa-gesa menemui Pangeran Cheng Hwa.
"Wah, celaka, pangeran! Kita harus cepat mengambil tindakan. Bahaya besar mengancam Pangeran Cheng Lin dan pangeran Cheng Bhok!" katanya dengan muka pucat dan tampak gelisah sekali.
"Ada apakah, paman? Apa yang terjadi?" tanya Pangeran Cheng Hwa dengan sikapnya yang tenang.
"Saya melihat tadi kedua orang pangeran itu membalapkan kuda mereka keluar pintu gerbang selatan dan ketika saya tanyakan kepada penjaga istana, saya mendapat keterangan bahwa kedua orang pangeran itu hendak berlumba menunggang kuda di luar pintu gerbang!"
"Paman, apa salahnya dengan itu? Mereka sudah biasa berlumba balap kuda seperti itu. Apa yang perlu dikhawatirkan?" tanya Pangeran Cheng Hwa sambi tersenyum.
"Aduh celaka! Kenapa anda tidak melihat bahaya besar yang mengancam?. Dahulu tidak dapat disamakan dengan sekarang! Bukankah sekarang ada penjahat Han Lin yang berkeliaran di luar kota raja? Ada penyelidik saya baru saja memberi kabar kepada saya bahwa penjahat ini mengumpulkan kawan-kawannya di hutan sebelah selatan kota raja. Tentu ia bermaksud jahat. Bagaimana kalau penjahat itu dan kawan-kawannya menghadang kedua orang pangeran itu? Kita harus cepat mengejar ke sana dan melindungi mereka! Cepatlah, pangeran!"
Biarpun dalam hatinya dia meragukan bahwa Han Lin adalah seorang jahat, akan tetapi ucapan Pangeran Cheng Boan dan sikapnya yang ketakutan itu mempengaruhi Pangeran Cheng Hwa. Cepat dia memanggil kepala pengawal dan memerintahkan dia mempersiapkan sepasukan pengawal sebanyak dua losin orang. Kemudian dia sendiri bersama Cheng Boan ikut dalam pasukan ini dan mereka membalapkan kuda keluar dari pintu gerbang selatan. Debu mengepul tinggi mengiringi derap kaki dua puluh tujuh ekor kuda itu, membuat keremangan senja menjadi tambah gelap lagi.
Sementara itu, Pangeran Cheng Lin palsu turun dari atas punggung kudanya sambil berkata, "Adinda Pangeran Cheng Bhok, turunlah. Kita tinggalkan kuda di sini dan harus berjalan kaki."
Pangeran Cheng Bhok menurut, ia lompat turun dan bertanya, "Akan tetapi ke mana kita hendak pergi dan apa yang hendak kakanda perlihatkan kepada ku?"
Pada saat itu, tangan Ki Seng bergerak cepat dan dia sudah menotok pundak Pangeran Cheng Bhok. Pangeran itu seketika terkulai lemas dan roboh.
"Kakanda Cheng Lin "
Akan tetapi kembali Ki Seng menotok dan pangeran itu tidak mampu mengeluarkan suara atau bergerak lagi, hanya matanya yang terbelalak memandang kepergian kakaknya, penuh rasa kaget, heran dan takut. Ki Seng lalu menuntun kedua ekor kuda dan menambatkan mereka di batang pohon tepi jalan. Kemudian dia kembali mendekati tubuh Pangeran Cheng Bhok yang masih rebah telentang. Dia tidak memperdulikan pandang mata Pangeran Cheng Bhok yang ditujukan kepadanya dan hanya berdiri mendengarkan. Tak lama kemudian pendengarannya yang tajam dapat menangkap derap kaki banyak kuda. Setelah banyak kuda itu terdengar berhenti di pinggir hutan, agaknya telah menemukan dua ekor kuda yang ditambatkannya tadi, Ki Seng cepat memanggul tubuh Pangeran Cheng Bhok dan dibawanya berlari memasuki hutan. Setelah dalam keremangan senja dia melihat sebuah pondok di kejauhan, dia lalu melempar tubuh Pangeran Cheng Bhok ke atas tanah.
Ki Seng mencabut pedang yang tadi diselipkan di bawah jubahnya, sebatang pedang telanjang yang berwarna dua, yang sebelah berwarna hitam dan yang sebelah lagi berwarna putih!
Pangeran Cheng Bhok yang jatuhnya terlentang itu melihat Ki Seng mencabut pedang. Wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya yang terbelalak membayangkan ketakutan, bahkan ada air mata mengalir dari kedua pelupuk matanya, sinar matanya seperti memohon-mohon agar dirinya jangan dibunuh. Akan tetapi sambil tersenyum sinis Ki Seng menggerakkan pedang itu, ditusukkan ke dada Pangeran Cheng Bhok.
"Blesss !" Pedang itu menusuk sampai tembus dan
Pangeran Cheng Bhok hanya terbelalak. Dia tewas dengan mata terbelalak, tewas seketika karena pedang itu menembus jantungnya. Ki Seng membiarkan pedang itu menancap di dada pangeran Cheng Bhok.
Dia memperhatikan dan pendengarannya menangkap suara gaduh banyak orang mendatangi tempat itu. Dia tersenym puas dan dicabutnya sebatang pedang lain, pedangnya sendiri dan dengan pedang itu dia melukai pundak kiri dan paha kanannya. Baju dan celananya robek berikut kulit dan sedikit dagingnya, akan tetapi yang mengeluarkan darah cukup banyak sehingga baju dan celana itu berlepotan darah.
Ketika Pangeran Cheng Hwa dan pangeran Cheng Boan bersama perwira yang memimpin dua losin perajurit pengawal tiba di situ, mereka melihat Pangeran Cheng Bhok rebah telentang dan tewas dengan sebatang pedang masih menancap di dadanya, sedangkan Pangeran Cheng Lin mendekam dalam keadaan terluka dan pakaiannya berlepotan darah. "Adinda Cheng Lin! Apa yang terjadi?" Pangeran Cheng Hwa berjongkok dekat Ki Seng.
Ki Seng mengeluh kesakitan. "Kami diserang saya
melawan akan tetapi terluka dan Cheng Bhok dia
terbunuh "
"Siapa yang melakukan ini?" Pangeran Cheng Boan yang turut berjongkok berkata marah.
".....dia..... Han Lin dan dua orang wanita mereka lari
meninggalkan saya ketika mendengar orang banyak datang....
mereka lari ke pondok itu " Ki Seng menuding ke arah
pondok yang tampak dari situ.
"Cepat, kejar dan serbu pondok itu!" pangeran Cheng Boan berseru dan memimpin sendiri pasukan pengawal yang berlari- larian menuju pondok.
"Mari kita bantu.... kakanda Pangeran Cheng Hwa....
penjahat-penjahat itu lihai sekali " Ki Seng berkata
kemudian bangkit dan terpincang-pincang dia bersama Cheng Hwa menuju ke pondok itu.
Sementara itu, di dalam pondok diterangi dua batang lilin menyala, mereka bertiga duduk bersila menghimpun tenaga. Han Lin duduk di atas dipan di sudut sedangkan Kiok Hwa dan Sian Eng berdua duduk di atas sebuah dipan lain. kesehatan mereka sudah pulih berkat pengobatan Kiok Hwa, bahkan tenaga mereka juga sudah kuat kembali. Mereka bertiga terkejut mendengar suara ribut ribut di luar pondok. Suara banyak sekali orang yang mengepung pondok. Kini bahkan hanya dua puluh delapan orang termasuk Ki Seng yang mengepung pondok melainkan ditambah lagi dua puluh orang perajurit yang dipimpin Toa Ok, Suma Kiang, dan Sian Hwa Sian-li. Tentu saja semua ini sudah diatur dan direncanakan oleh Pangeran Cheng Boan komplotannya!
Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa membuka pintu pondok dan keluar. Ternyata di depan pintu telah berdiri Pangeran Cheng Boan, Pangeran Cheng Hwa, dan Ki Seng yang pakaiannya berlepotan darah, dan pondok itu telah dikepung puluhan orang perajurit.
"Mereka inilah pembunuhnya!" teriak Ki Seng sambil menudingkan telunjuknya kepada tiga orang yang terkejut dan terheran itu.
"Engkau keparat busuk! Ini fitnah keji" bentak Sian Eng dengan marah dan gadis ini sudah siap untuk menerjang. Akan tetapi Han Lin memegang lengannya dan memandang kepada Pangeran Cheng Hwa.
"Pangeran, apakah artinya ini?" tanyanya.
Pangeran Cheng Hwa memandang ragu. Akan tetapi buktinya telah cukup. Pangeran Cheng Bhok tewas dan Pangeran Cheng Lin luka-luka.
"Han Lin, perbuatan kalian bertiga sudah terbukti. Kalian telah membunuh pangeran Cheng Bhok dan melukai Pangeran Cheng Lin. Karena itu, menyerahlah saja untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada Sri Baginda Kaisar."
"Membunuh? Tidak, pangeran, kami sama sekali tidak membunuh orang." kata Han Lin.
"Engkau masih berani menyangkal?" bentak Pangeran Cheng Boan yang mengangkat sebatang pedang yang berlepotan darah. "Coba lihat, pedang siapa ini?"
"Im-yang-kiam ! Itu pedang saya" kata Han Lin yang
mengenal pedang itu.
"Nah, mau menyangkal apa lagi? pangeran Cheng Hwa, pedang inilah tadi yang menancap di dada Pangeran Cheng Bhok. Pedang ini saya cabut untuk dijadikan bukti."
"Han Lin, tidak perlu menyangkal lagi. Menyerahlah untuk kami tangkap!" suara Pangeran Cheng Hwa terdengar tegas dan sepasang alisnya berkerut. Bukti pedang yang diakui sebagai milik Han Lin ini membuat dia percaya bahwa pembunuhnya memang Han Lin.
"Lin-ko, kita lawan dan kita meloloskan diri!" kata Sian Eng dan ia sudah mencabut Ceng-liong-kiam yang benpendar hijau, siap untuk mengamuk. Akan tetapi kembali Han Lin memegang lengan gadis itu. Dia berpikir bahwa kalau dia melawan, hal itu bahkan menambah kuat-dugaan bahwa dia yang melakukan pembunuhan. Dan dia tentu akan menjadi musuh kerajaan, menjadi pelarian dan orang buruan. Apalagi dia melihat Ki Seng, yang biarpun berlepotan darah namun dia yakin semua itu hanya sandiwara dan manusia berwatak iblis itu tidak apa-apa dan masih lihai sekali. Juga melihat Toa Ok, Suma Kiang, dan Sian Hwa Sian-li berada pula di situ, berbaur dengan para perajurit. Pihak lawan amat banyak dan terlalu kuat sehingga kalau mereka bertiga melawan, tentu mereka bertiga akan tewas pula. la tidak mau tewas sebagai seorang pemberontak dan penjahat!
"Simpan pedangmu, Eng-moi. Kita menyerah saja. Aku yakin bahwa Pangeran Cheng Hwa dan Sri Baginda adalah orang-orang bijaksana dan adil." katanya lembut namun mengandung wibawa sehingga Sian Eng menghela napas dan dengan wajah membayangkan penasaran ia menyarungkan kembali pedangnya.
"Tangkap dan belenggu tangan mereka!" Pangeran Cheng Boan memerintah Beberapa orang perajurit yang memang sudah mempersiapkan tali yang kuat segera dan membelenggu tangan tiga orang itu ke belakang. Pangeran Cheng Boan juga merampas pedang dari punggung Sian Eng. Kemudian mereka bertiga digiring keluar hutan dan dibawa ke kota raja. Hanya kehadiran Pangeran Cheng Hwa saja yang melindungi Han Lin, sian Eng, dan Kiok Hwa sehingga mereka bertiga tidak diganggu atau disiksa. Pangeran Mahkota ini melarang mereka menganggu dan setelah tiba di istana dia lalu menyerahkan tiga orang tawanan kepada perwira komandan pasukan pengawal istana agar dimasukkan dalam kamar tahanan dan dijaga ketat agar tidak melarikan diri.
Malam itu juga, Pangeran Cheik Boan, Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Lin menghadap Kaisar untuk melaporkan peristiwa kematian Pangeran Cheng Bhok yang terbunuh itu.
Mendengar bahwa kembali ada pangeran yang terbunuh, Sri Baginda Kaisar Cheng Tung marah sekali.
"Pangeran Cheng Bhok terbunuh?" teriaknya. "Siapa yangg membunuhnya? Tangkap pembunuh itu. Tangkap!!"
"Pembunuhnya tiga orang sudah kami tangkap, Kakanda Kaisar." Pangeran Cheng Boan melapor.
"Bagus! Hukum mati penggal kepala mereka besok pagi di lapangan dan suruh rakyat menyaksikannya!"
"Ayahanda Yang Mulia, apakah keputusan ayahanda ini tidak terlalu tergesa-gesa? Paduka belum mendengar bagaimana terjadi peristiwa itu." kata Pangeran heng Hwa. "Adinda Cheng Lin dapat menceritakannya."
Kaisar Cheng Tung memandang Pangeran Cheng Lin dan baru tampak olehnya betapa pakaian pangeran ini berlepotan darah.
"Eh, engkau kenapa, Cheng lin? Terluka?"
"Hamba nyaris tewas seperti adinda pangeran Cheng Bhok, ayahanda yang Mulia. Peristiwanya begini. Hamba memberi hadiah seekor kuda kepada adinda Cheng Bhok dan dia mengajak hamba untuk menguji larinya kuda itu. Hamba berdua lalu berlumba di luar pintu gerbang kota raja. Ketika hamba berdua tiba di tepi hutan di sebelah selatan iiu, hamba melihat bayangan tiga orang memasuki hutan. Hamba menjadi curiga karena seorang di antara mereka adalah Han Lin yang tempo hari pernah menyerang hamba dalam taman. Hamba dan adinda Cheng Bhok lalu turun dari kuda dan memasuki hutan untuk menyelidiki. Ketika hamba berdua tiba dekat sebuah pondok, tiba-tiba Han Lin dan dua orang gadis muncul dan menyerang hamba berdua, Han Lin itu amat lihai dan dua orang gadis temannya itupun lihai sekali. Hamba mempertahankan diri mati-matian sehingga luka-luka dan adinda Pangeran Cheng Bhok ditusuk dadanya oleh pedang yang dipegang penjahat Han Lin, Padi saat itu, rombongan kakanda Pangeran Cheng Hwa tiba sehingga tiga orang itu melarikan diri ke pondok, meninggalkan jenazah adinda Cheng Bhok yang masih tertusuk pedang dadanya dan hamba yang terluka parah."
"Penjahat itu telah membunuh dua orang puteraku. Dia harus dihukum pancung di depan rakyat agar menjadi contoh!" kata lagi Kaisar Cheng Tung dengan nada suara mengandung kedukaan.
"Penjahat Han Lin itu sudah mengakui bahwa pedang yang menancap di dada adinda Pangeran Cheng Bhok adalah miliknya, Kakanda Kaisar. Hukuman itu sudah lebih daripada adil!" kata Pangeran Cheng Boan.
"Maaf, Ayahanda Yang Mulia. Hamba tetap menganggap keputusan hukuman itu agak tergesa-gesa. Perlu diselidiki dulu apakah benar-benar Han Lin dan dua orang gadis itu yang menjadi pembunuh, hamba khawatir kalau kita salah tangkap dan menghukum mati orang-orang yang tidak berdosa."
"Cheng Hwa, Ada bukti pedang itu dan ada saksi dan keterangan adikmu Cheng Lin, dan engkau masih juga belum yakin? Apakah engkau tidak percaya kepada adikmu Cheng Lin?"
"Hamba mohon Ayahanda Kaisar sudi memaafkan kakanda Cheng Hwa. Dia membela Han Lin karena teringat bahwa Han Lin pernah menyelamatkannya ketika dia diserang orang jahat di dalam hutan," kata Ki Seng dengan cerdik berlagak membela Pangeran Cheng Hwa. "Kakanda Kaisar, sekarang hamba yakin benar bahwa perbuatannya menolong ananda Pangeran Cheng Hwa dahulu itu memang direncanakan agar dia dapat menyusup ke dalam istana. Tentu pembunuh Pangeran Cheng Sui dahulu itu dia juga atau teman-temannya!" kata Pangeran Cheng Boan.
Ucapan Pangeran Cheng Boan termakan betul oleh kaisar sehingga dia menjadi semakin marah. "Adinda Pangeran Cheng Boan. Laksanakan hukum pancung terhadap tiga orang pembunuh itu. Atur agar pelaksanaan hukum itu dilalukan di lapangan depan istana, disaksikan oleh rakyat dan dirikan panggung karena kami sendiri juga akan menyaksikan untuk menghibur arwah kedua orang putera kami!"
"Baik, kakanda Kaisar!" jawab Pangeran Cheng Boan dengan lantang karena dalam hatinya dia bersorak gembira. Siasat yang diaturnya bersama Ki Seng ternyata berhasil dengan baik sekali. Bukan saja dapat melenyapkan seorang pangeran lagi, akan tetapi juga dapat membasmi pangeran Cheng Lin aseli berikut Lo sian Eng, gadis yang lihai dan berbahaya itu.
Kaisar lalu meninggalkan ruangan dan mereka semua bubaran. Pangeran Cheng Boan dan Ki Seng meninggalkan ruangan itu dengan hati gembira sekali. Akan tapi walaupun tidak memperlihatkan pada wajahnya, dalam hatinya Pangeran Cheng Hwa masih merasa ragu. Dia masih sukar untuk dapat percaya bahwa seorang pemuda seperti Han Lin itu dapat melakukan perbuatan yang demikian jahat, juga dua orang teman Han Lin itu tidak pantas menjadi penjahat. Gadis cantik berpakaian merah muda itu demikian gagah sikapnya, seperti seorang pendekar wanita, sedangkan gadis berpakaian serba putih yang amat jelita itu sikapnya demikian lembut dan halus seperti seorang dewi! Bagaimana mungkin tiga orang itu menjadi sebuah komplotan pembunuh. Tapi dia tidak dapat berbuat sesuatu. Bukti pedang dan saksi Pangeran Cheng Lin sudah begitu kuat dan keputusan hukuman dijatuhkan Kaisar. Semalaman Pangeran Cheng Hwa tidur dengan gelisah. Bayangan wajah tiga orang terhukum itu selalu tampak dalam benaknya.
Pagi-pagi sekali pengumuman itu tersiar luas sehingga diketahui semua penduduk kota raja, bahkan terbawa sampai ke luar kota raja. Tiga orang penjahat yang telah membunuh Pangeran Cheng Siu dan Pangeran Cheng Bhok tertangkap dan akan dihukum pancung di lapangan depan istana. Semua orang diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menonton pelaksanaan hukuman itu. Bahkan Sri Baginda Kaisar sendiri akan ikut menyaksikan. Suatu peristiwa yang langka. Maka berbondong-bondong orang berdatangan kelapangan di depan istana. Tentu saja sebagian besar dari mereka adalah laki-laki karena kebanyakan wanita dan kanak-kanak merasa ngeri menyaksikan kepala orang dipenggal!
Tepat di depan pintu gerbang istana dibangun sebuah panggung yang akan menjadi tempat duduk Sri Baginda Kaisar dan para pengiringnya. Sejak pagi sekali panggung yang masih kosong itu sudah dijaga sepasukan perajurit pengawal. Dan Di tengah-tengah lapangan itupun dibangun sebuah panggung, yang akan menjadi tempat tiga orang terhukum itu dipenggal kepalanya. Rakyat berduyun-duyun memenuhi lapangan itu. Yang berdiri di belakang juga dapat menonton dengan enak karena panggung tempat pelaksanaan hukuman dan panggung tempat duduk Kaisar itu cukup tinggi sehingga dapat tampak jelas oleh mereka yang berdiri di belakang, mereka yang berhati tabah berdiri mengelilingi panggung tempat pelaksanaan hukuman agar dapat melihat lebih jelas, sedangkan mereka yang berhati tidak tega berdiri menonton di belakang dalam jarak jauh.
Terdengar tambur dibunyikan pertama bahwa Sri Baginda Kaisar akan keluar dari istana. Pintu gerbang istana dibuka dan muncullah rombongan Kaisar. Kaisar dengan wajah yang masih membayangkan kesedihan melangkah dengan tegak dan tenang menuju tangga yang membawanya naik ke panggung. Dia diiringkan empat orang puteranya, yaitu Pangeran Cheng Hwa, Pangeran Cheng Ki, Pangeran Cheng Tek, dan Pangeran Cheng Lin. Kemudian di belakang para pangeran berjalan para perwira pengawal dengan pasukan pengawal pribadi yang berhenti, dan berdiri berjajar di bagian belakang tempat duduk Kaisar dan para pangeran. Para pejabat tinggi yang sudah hadir terlebih dulu di kursi-kursi yang terletak di bagian bawah panggung, bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormat ketika kaisar menaiki panggung. Juga para komandan pasukan penjaga memberi hormat dan para perajurit bersikap hormat dan tegak.
Setelah Kaisar Cheng Tung duduk di atas kursi yang disediakan, dia mengangkat tangan kiri ke atas. Ini merupakan tanda bahwa pelaksanaan hukuman boleh dimulai. Terdengar bunyi tambur yang nadanya berbeda dari tadi dan dari dalam pintu gerbang istana muncullah dua losin perajurit pengawal yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Cheng Boan yang bertugas mengatur pelaksanaan hukuman itu, mengiringkan tiga orang yang kedua dengan mereka dibelenggu ke belakang tubuh. Terdengar berdengung seperti ribuan kumbang beterbangan keluar dari sarangnya ketika para penonton menyambut keluarnya tiga orang hukuman itu. Ada yang terheran-heran, ada yang merasa penasaran, ada yang marah, akan tetapi sebagian besar dari mereka merasa aneh dan kasihan. Tadinya mereka mengira bahwa tiga orang pembunuh itu tentu tiga orang laki-laki yang kelihatan bengis dan menyeramkan. Akan tetapi apa yang mereka lihat?
Seorang pemuda yang masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya, berpakaian sederhana dan sikapnya halus, wajahnya tampan, sedikitpun tidak membayangi watak kejam atau jahat! Dan dua orang "pembunuh" yang lain itu, Seorang gadis cantik, usianya paling banyak sembilan belas tahun, berpakaian serba merah muda, langkahnya tegak dan gagah, sedikit pun tidak tampak jahat, juga tidak ada tanda-tanda takut padanya, tidak menangis. Dan gadis yang ke dua, yang berpakaian serba putih, cantik jelita sepi bidadari, lembut ayu dan mulutnya selalu dihias senyum manis. Bagaimana mungkin tiga orang muda seperti itu merupakan pembunuh- pembunuh yang dikabarkan kejam dan jahat? Tiba-tiba terdengar banyak orang berseru ketika mereka mengenal Kiok Hwa sebagai gadis yang pernah menolong dan mengobati mereka.
"PeK i Yok Sian-li.....! PeK i Yok Sian-li !!" Terjadi
kegaduhan, akan tetapi para penjaga segera mendekati mereka dan mengacungkan tombak, mengancam agar mereka tidak membikin ribut. Orang-orang itu takut dan diam. akan tetapi mereka memandang kepada Kiok Hwa dengan mata terbelalak dan merasa semakin penasaran. Gadis ahli pengobatan itu mana mungkin menjadi pembunuh yang akan dihukum pancung.
Han Lin menjadi sedih, bukan soal karena dia menghadapi hukuman mati yang dijatuhkan oleh ayah kandungnya sendiri, melainkan sedih melihat betapa Sian Eng dan terutama Kiok Hwa juga menjadi korban karena dia. Akan tetapi ketika mengerling ke arah dua orang disayang berjalan di kanan kirinya itu, Dia terheran-heran melihat Sian eng berwajah tenang, sama sekali tidak tampak sedih atau takut, dan terutama kali Kiok Hwa. Gadis ini bahkan tersenyum-senyum, seolah bukan digiring ke arah maut melainkan digiring ke ruang pengantin!
"Eng-moi, engkau tidak takut?" bisiknya ke kiri di mana Sian Eng berjalan di sisinya.
"Takut? Tidak, aku bahkan merasa beruntung dapat menghadapi maut bersamamu, Lin-ko."
"Dan engkau, Hwa-moi?"
"Aku merasa bangga dan bahagia dapat mati bersama kalian!" kata gadis itu sambil tersenyum manis dan Han Lin dapat menangkap sinar mata gadis itu yang penuh dengan cinta kasih!
"Diam kalian!" bentak suara kasar dan parau di belakang mereka. Yang membentak ini adalah seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa yang memanggul sebatang golok besar, berat dan mengkilap saking tajamnya. Semua orang memandang kepada algojo ini dan goloknya dengan perasaan ngeri. Bagaimana mereka tega melihat algojo raksasa itu mengayun goloknya memenggal leher tiga orang muda yang tampan dan cantik itu!
Tiga orang hukuman itu dengan dikawal algojo raksasa, dengan langkah tebing menghampiri pangung tempat pelaksanaan hukuman dan menaiki tangga. Kini mereka tiba di atas panggung, menghadap Kaisar Cheng Tung yang duduk di kursi dan memandang kepada mereka bertiga. Timbul sedikit keraguan dalam hati Kaisar Cheng Tung melihat tiga orang muda itu. Benarkah mereka ini pembunuh? Pertanyaan ini timbul dalam hati sanubarinya karena melihat pemuda dan dua orang gadis itu, dia menjadi ragu. Akan tetapi bukti dan saksi semua jelas dan diapun sudah menjatuhkan keputusan hukuman mati.
Melihat ayah kandungnya duduk di atas kursi di panggung yang agak tertinggi dari panggung di mana dia berada, Han Lin tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun menjatuhkan dirinya berlutut dan memberi hormat kepada Kaisar Cheng Tung. Sian Eng yang tahu bahwa Han Lin adalah Pangeran Cheng Lin, putera dari kaisar itu, merasa penasaran dan tidak senang kepada kaisar yang menjatuhkan hukuman mati kepada puteranya sendiri yang tidak berdosa, maka ia tetap berdiri tegak bahkan memandang ke arah kaisar dengan mata bersinar penuh rasa penasaran. Akan tetapi, Kiok Hwa yang melihat Han Lin berlutut, dengan patuh berlutut pula dan gadis ini menarik tangan Sian Eng sehingga akhirnya, melihat mereka berdua berlutut, Sian Eng juga ikut berlutut. Melihat mereka yang dia jatuhi hukuman mati itu berlutut menghadap padanya, Kaisar Cheng Tung merasa iba dan dia khawatir kalau-kalau dia akan mengubah keputusannya, maka dia cepat mengangkat tangan kanan ke atas sebagai isarat kepada algojo untuk melaksanakan tugasnya dengan cepat.
Sang algojo yang bertubuh raksasa itu mengangkat golok yang besar dan mengkilat itu. Sebagian besar penonton tidak tahan melihatnya. Ada yang membalikkan tubuhnya, ada yang membuang muka, dan ada pula yang memejamkan kedua mata dan menutupi kedua telinganya. Sang algojo mengerahkan tenaganya dan siap mengayun golok yang sudah berada di atas kepalanya itu ke bawah, ke arah leher Han Lin.
"Omitohud.....Tahan !!" Tiba-tiba saja berkelebat
bayangan kuning dan tahu-tahu di atas panggung tempat pelaksanaan hukuman itu telah berdiri seorang hwesio berusia hampir tujuh puluh tahun. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu.
Melihat ini, algojo itu lalu mengayunkan goloknya, bukan kepada leher Han Lin, melainkan ke arah kepala hwesio itu. Algojo ini telah menerima uang sogokan dari Pangeran Cheng Boan dan dipesan agar melaksanakan hukuman itu dengan baik dan membunuh siapa saja yang berusaha untuk menghalangi pelaksanaan hukuman. Akan tetapi hwesio tua itu menggerakkan tangan kirinya. Serangan itu tertahan di udara seolah tubuh algojo itu berubah menjadi arca, kemudian sekali hwesio itu mendorongkan tangannya, tubuh algojo yang tinggi besar itu terjengkang dan terjatuh ke bawah panggung. Dia jatuh seperti sebongkah batu dan diam diatas tanah karena tidak mampu bergerak lagi. Algojo itu telah terkena totokan It-yang ci yang amat dahsyat.
Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan terbelalak melihat kejadian itu. Para perwira pasukan pengawal sudah siap untuk mengerahkan pasukan mereka untuk mengepung dan menyerbu hwesio yang mereka anggap membikin kacau itu.
Akan tetapi pada saat itu, tiga orang pejabat tinggi yang sudah tua melangkah maju mendekati panggung di mana hwesio itu berdiri, lalu ketiganya menjatuhkan diri berlutut.
"Hamba menghaturkan hormat kepada Yang Mulia Sri Baginda Kaisar Hui Ti!" seru mereka bertiga dengan suara lantang sehingga mengejutkan semua orang. Orang-orang yang usianya lima puluhan tahun ke atas dapat mengenal hwesio itu setelah tiga orang pejabat tinggi itu memberi hormat. Kiranya hwesio itu adalah Kaisar Hui Ti yang pada empat puluh tahun yang lalu terpaksa melarikan diri karena istananya diserbu oleh pasukan Pangeran Yen, pamannya sendiri yang memberontak. Selama empat puluh tahun Kaisar Hui Ti disangka orang sudah mati, akan tetapi tidak pernah ditemukan jenazahnya. Karena selama empat puluh tahun tidak pernah muncul, dia dianggap sudah hilang. Maka, kemunculannya sebagai seorang hwesio tentu saja amat mengejutkan.
Kaisar Cheng Tung juga menjadi amat terkejut ketika mendengar bahwa hwesio tua itu adalah bekas Kaisar Hui Ti. Peristiwa terbuang dan larinya Kaisar Hu Ti dari istana terjadi ketika dia masih kecil, akan tetapi sejak kecil dia sudah mendengar cerita keluarga tentang Kaisar Hui Ti itu. Ketika itu. Kaisar Hui ti yang baru berusia delapan belas tahun, diserbu oleh pamannya sendiri. Pangeran Yen yang membawa pasukan dari Peking menyerbu istana Kaisar Hui Ti di Nan king. Setelah Kaisar Hui Ti melarikan diri.
Pangeran Yen menjadi kaisar baru yang berjuluk Kaisar Yung Lo. Ketika Kaisar Yung Lo meninggal dunia dalam tahun 1425, penggantinya adalah puteranya Kaisar Hung Hsi. Akan tetapi kaisar ini sudah berpenyakitan dan meninggal dunia dalam tahun itu juga. Tahta kerajaan lalu diwariskan kepada cucu mendiang Kaisar Yung Lo, yaitu Kaisar Hsuan Tek yang menjadi kaisar hanya selama sebelas tahun. Kaisar Hsuan Tek adalah ayah Kaisar Cheng Tung. Ketika ayahanda meninggal dunia, Kaisar Cheng Tung memegang tahta dalam usia delapan tahun.
Kalau diingat bahwa mendiang Kaisar Yung Lo adalah kakek buyutnya, dan Kaisar Hui Ti adalah keponakan Kaisar Yung Lo, maka Kaisar Hui Ti masih terhitung paman kakeknya.
Kaisar Cheng Tung adalah seorang Ahli sastra, seorang yang memegang peraturan dan kebudayaan, seorang yang bijaksana. Biarpun Kaisar Hui Ti adalah orang pelarian, akan tetapi sekarang telah menjadi hwesio dan sudah tua, maka diapun lalu turun dari kursinya, berdiri menghadap ke arah hwesio itu dan merangkap kedua tangan depan dada lalu memungkuk dengan hormat,
"Saya Cheng Tung memberi hormat kepada paman kakek Hui Ti!" Suaranya lembut namun lantang dan mendengar ini, semua pejabat yang hadir di situ lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Hwesio itu dan memberi hormat.
"Omitohud ! Sribaginda Kaisar Cheng Tung yang
bijaksana dan semua pembesar kerajaan. Harap jangan memberi penghormatan secara berlebihan. Pinceng (aku) bukan lagi Kaisar Hui Ti, melainkan seorang hwesio tua pengembara bernama Cheng Hian Hwesio."
"Paman Kakek yang budiman, petunjuk apakah yang hendak kakek berikan kepada kami? Mengapa kakek menghalangi pelaksanaan hukuman terhadap orang-orang yang membunuh dua orang putera kami?"
"Omitohud! Sri Baginda Kaisar, pinceng tahu bahwa paduka adalah seorang yang amat bijaksana dan baik hati, yang kadang dapat mendatangkan kelemahan ini hingga paduka mudah diperdaya orang jahat. Ketahuilah bahwa pemuda yang memakai nama Han Lin ini adalah murid yang amat baik.
Pinceng berani menjamin, berani menanggung bahwa dia tidak mungkin membunuh kedua orang pangeran putera paduka itu."
"Akan tetapi, paman kakek yang budiman, ketahuilah bahwa ada bukti dan saksi dalam tuduhan itu dan sudah terbukti bahwa Han Lin ini yang membunuh pangeran Cheng Bhok. Tanpa bukti dan saksi, tidak mungkin kami mau menjatuhkan hukuman dengan semena-mena terhadap orang yang tidak berdosa." kata Kaisar Cheng Tung.
"Bukti dan saksi itu bohong semua!" kata Sian Eng dan begitu ia mengerahkan tenaga sin-kang, tali yang membelenggu kedua tangannya sudah putus dan kedua tangannya itu kini bebas. Ia lalu membebaskan pula belenggu kedua tangan Kiok Hwa dan melihat suhunya di situ, Han Lin juga membebaskan kedua tangannya yang terbelenggu.
Para perwira yang memimpin pasukan pengawal adalah orang-orang yang sudah tepengaruhi Pangeran Cheng Boan, maka ketika Pangeran Cheng Boan berseru,
"Tangkap mereka!" para perwira itu meemberi isarat kepada anak buahnya untuk bergerak.
"Semua diam dan tidak boleh bergerak!" tiba-tiba Kaisar Cheng Tung membentak dan semua pengawal itu tentu saja tidak berani bergerak. Bagaimanapun juaga, mereka tentu saja lebih tunduk kepada Kaisar Cheng Tung daripada kepada pangeran Cheng Boan.
"Nona, katakan mengapa engkau bilang bahwa bukti dan saksi itu bohong semua."
"Yang Mulia, lo-cian-pwe ini benar kalau mengatakan bahwa paduka terlalu lemah sehingga mudah diperdaya orang. Paduka tidak tahu bahwa ada komplotan besar yang bergerak di belakang paduka yang merencanakan semua pembunuhan atas diri para pangeran itu. Paduka tidak tahu bahwa Pangeran Cheng Lin yang berdiri di belakang paduka itu adalah seorang manusia berhati iblis yang menyamar sebagai Pangeran Cheng Lin, dan bahwa Pangeran Cheng Lin yang aseli bukan lain adalah saudara Han Lin inilah"
Tentu saja ucapan yang lantang sekali ini seperti menyambarnya halilintar dalam cuaca terang. Semua orang terkejut dan pada saat itu, sesosok bayangan meluncur dari atas panggung Kaisar dan melayang ke atas panggung di mana Sian Eng berdiri.
"Bohong! Fitnah! Perempuan busuk engkau patut mati!" Ki Seng sudah menerjang bagaikan seekor burung elang menyambar, kedua tangannya sudah memukul dan mendorong dengan pengerahan tenaga sakti ke arah Sian Eng.
Han Lin melihat serangan yang amat berbahaya itu. Diapun melompat ke depan Sian Eng menyambut serangan itu dengan kedua telapak tangannya pula.
"Blaarrr !" Dua tenaga sakti yang amat dahsyat dan kuat
itu saling bertumbukan dan akibatnya, tubuh Ki Seng terpental keluar panggung dan tubuh Han Lin juga terdorong mundur. Dua orang pemuda itu sudah siap lagi untuk saling serang, akan tetapi pada saat itu terdengar suara Kaisar Cheng Tung.
"Semua berhenti! Yang berani bergerak menyerang berarti menentang perintah kami dan akan dihukum berat!"
Mendengar perintah ini, Ki Seng tidak berani bergerak, akan tetapi dia menoleh ke arah panggung tempat kaisar berada dan dia berseru dengan lantang. "Akan tetapi, ayahanda Kaisar yang mulia! Mereka ini berani melempar fitnah dan menghina hamba, berarti mereka berani menghina paduka pula!"
"Diamlah dulu, Pangeran Cheng Lin. kami akan menyelidiki semua ini dan kalau mereka bersalah, pasti kami jatuhi hukuman. Tidak perduli siapa, kalau dia bersalah pasti tidak akan terlepas dari hukuman. Sekarang kami perintahkan engkau Cheng Lin dan juga semua pangeran, dan kalian bertiga yang didakwa sebagai pembunuh, agar menghadap kami dalam persidangan. Paman Kakek Cheng Hian Hwesio juga kami persilakan hadir dalam persidangan, demikian pula semua menteri agar hadir dan ikut menyaksikan!" Setelah berkata demikian, Kaisar Cheng Tung membungkuk terhadap Cheng Hian Hwesio dan meninggalkan panggung kembali ke dalam istana.
Dapat dibayangkan betapa panik rasa hati Pangeran Cheng Boan melihat betapa keadaan menjadi berbalik dan mengancam dirinya. Akan tetapi, hadirnya Cheng Hian Hwesio bekas kaisar Hui Ti sungguh membuat dia tidak mampu berkutik. Diapun tidak berani mengerahkan para pembantunya untuk menyerang Han Lin dan dua orang gadis itu. Han Lin saja sudah demikian lihainya, apalagi Cheng Hian Hwesio yang menjadi gurunya. Juga para pejabat tinggi kini menggiringkan Cheng Hian Hwesio dan tiga orang muda itu. Dia tidak berdaya, tidak berani bergerak dan terpaksa mengikuti mereka masuk ke istana, menuju ke ruangan persidangan di mana Kaisar Cheng Tung sudah duduk dijaga ketat oleh para perwira pengawal yang berdiri di belakang tempat duduk kaisar.
Mereka semua menghadap Kaisar. Dalam ruangan persidangan ini, para penghadap tidak berlutut seperti biasa, melainkan disediakan kursi-kursi untuk mereka, di bagian yang lebih rendah daripada tempat duduk kaisar. Kaisar Cheng Tung nenghendaki demikian karena terasa tidak enak dan tidak leluasa baginya kalau harus bersidang dengan orang- orang yang berlutut. Hui Sian Hwesio mendapatkan kursi kehormatan di sebelah kiri kaisar Cheng Tung yang menghormatinya sebagai sesepuh. Para menteri duduk di kiri kanan. Empat orang pangeran, yaitu Pangeran Cheng Hwa, Cheng Ki, Cheng Tek dan Cheng Lin palsu duduk menghadap di depan kaisar. Tak jauh dari situ, menghadap Kaisar pula, Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa berlutut di atas lantai.
Sebagai pesakitan tentu saja mereka tidak duduk di atas kursi, melainkan berlutut. Suasana dalam ruang-persidangan itu hening dan angker, dengan penjagaan yang ketat sehingga Sian Eng yang biasanya rewel itupun tidak banyak ulah, melainkan menurut saja ketika disuruh berlutut di sebelah kiri Han Lin, sedangkan Kiok Hwa berlutut di sebelah kanan pemuda itu.
Suasana hening itu membuat suara Kaisar Cheng Tung terdengar lantang dan jelas ketika dia berkata sambil memandang Cheng Hian Hwesio yang duduk di sebelah kirinya.
"Paman Kakek Cheng Hian Hwesio, kami harap kakek suka lebih dulu menceritakan tentang diri Han Lin sebagai murid paman kakek."
"Omitohud, pinceng hanya dapat menegaskan bahwa murid pinceng Han Lin adalah seorang pemuda yang baik dan pinceng berani menanggung bahwa dia tidak mungkin melakukan pembunuhan terhadap para pangeran. Adapun yang mengaku sebagai Pangeran Cheng Lin juga pinceng kenal dengan baik. karena dia dahulu menjadi murid pinceng dengan nama A-seng. Pinceng telah melatih A-seng selama bertahun-tahun, akan tapi ternyata kemudian bahwa dia adalah seorang yang berwatak jahat sekali, dia bahkan pernah berusaha untuk membunuh pinceng, dan dia telah membunuh dua orang pengikut pinceng. Karena itu, pinceng harap paduka agar berhati-hati dengan orang muda yang sesat itu." kata Theng Hian Hwesio sambil memandang ada Ki Seng.
"Ayahanda Kaisar, hwesio tua ini sejak dulu pilih kasih, tidak heran kalau dia kini membela Han Lin dan melemparkan fitnah kepada hamba." kata Ki Seng, mengambil keputusan untuk menyangkal semua tuduhan dan membela diri sekuatnya.
"Diamlah, Cheng Lin dan jangan bicara kalau tidak ditanya. Ini merupakan persidangan dan harus dipatuhi oleh siapapun juga." Kaisar Cheng Tung menegur. "Sekarang giliranmu, nona. Siapa namamu?" Kaisar memandang kepada Sian Eng dan gadis ini mengangkat muka dan menatap wajah kaisar dengan berani. Kaisar Cheng Tung tertegun. Jarang ada wanita muda berani menentang pandang matanya setabah itu.
"Nama hamba Lo Sian Eng, Sribaginda yang mulia." jawab Sian Eng.
"Coba jelaskan apa maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa ada komplotan yang merencanakan pembunuhan terhadap para pangeran."
"Kebetulan sekali hamba tinggal di rumah Pangeran Cheng Boan karena hamba dianggap sebagai puteri dari Suma Kiang, seorang jagoan yang menjadi pembantu Pangeran Cheng Boan. Kesempatan itulah hamba pergunakan untuk mendengar percakapan tentang rahasia mereka Pangeran Cheng Boan bersekongkol dengan Pangeran Cheng Lin palsu untuk membunuh semua pangeran agar kelak Pangeran Cheng Lin palsu dapat menjadi kaisar."
"Bohong besar! Harap paduka tidak mempercayai kebohongan besar gadis setan itu, yang mulia!" Pangeran Cheng boan berseru.
Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya memandang kepada Pangeran Cheng boan. "Adinda, apakah engkau tidak tahu akan peraturan dalam persidangan? Adinda tidak boleh bicara sebelum ditanya dan apakah engkau mengira kami akan mudah percaya omongan orang begitu saja? Kami akan menyelidiki dengan tuntas sehingga akan terbukti dan terlihat papa yang salah dan siapa yang benar, karena itu, jangan mengganggu kalau ada yang sedang memberi keterangan dan jangan bicara kalau tidak ditanya!"
Pangeran Cheng Boan memberi hormat dan berkata lirih, "Ampunkan hamba kakanda yang mulia." Kaisar Cheng Tung memandang kepada Sian Eng dan berkata. "Nona Lo Sian Eng, sekarang ceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi dan bagaimana engkau dapat berada dalam pondok di hutan bersama Han Lin dan nona berpakaian putih ini. Ceritakan sejujurnya dan jangan takut akan ancaman siapapun juga."
"Baik, Sri. Baginda Yang Mulia. Hamba tidak takut terhadap ancaman siapapun juga karena hamba menceritakan yang sebenarnya. Kemarin dulu, hamba melihat kakak Han Lin dan enci Tan Kiok Hwa ini sedang diserang dan hendak dibunuh oleh dua orang datuk persilatan yang sesat, yaitu Suma Kiang dan Toa Ok. Mereka berdua adalah kaki tangan Pangeran Cheng Boan. Kakak Han Lin sedang menderita luka-luka karena hukuman cambuk yang pelaksanaannya selama 2 kali dilakukan oleh dia yang menamakan dirinya Pangeran Cheng Lin itu. Hamba lalu membantu kakak Han Lin dan enci Tan Kiok Hwa sehingga dua orang pembunuh itu melarikan diri.
Hamba bertiga lalu tinggal di pondok dalam hutan untuk mengobati luka-luka. Pengobatan dilakukan oleh enci Tan Kiok Hwa yang bagi rakyat tidak asing lagi dengan sebutan PeK I Yok Sian-li karena ia sudah banyak menolong rakyat yang diserang wabah penyakit. Tiba-tiba malam tadi pondok kami diserbu pasukan dan kami dituduh telah membunuh seorang pangeran. kami ditangkap dan dihadapkan paduka. Karena pandainya mereka mengatur siasat, paduka juga tertipu dan paduka menjatuhkan hukuman kepada kami bertiga. Hamba yakin bahwa kematian pangeran itu tentu lakukan mereka lalu menjatuhkan fitnah kepada kami bertiga. Hamba mohon keadilan paduka yang bijaksana, yang mulia."
Pangeran Cheng Hwa mengerutkan alisnya. Mendengar keterangan Sian Eng itu, dia merasa bahwa dia yang dijadikan sasaran penipuan itu sehingga dia tadinya yakin bahwa Han Lin yang melakukan pembunuhan itu. Kaisar Cheng Tung memandang kepada Kiok Hwa. "Nona Tan Kiok Hwa. Kami telah mendengar tentang PeK I Yok Sian- li, kiranya engkau orangnya, Engkau terkenal sebagai seorang ahli pengobatan yang sudah banyak memberi pertolongan kepada rakyat tanpa minta imbalan. Orang seperti engkau tentu tidak suka melakukan kejahatan dan berbohong. Nah, ceritakanlah bagaimana engkau sampai terlibat dalam urusan pembunuhan terhadap Pangeran Cheng shi sehingga ikut ditawan?"
"Sri Baginda Yang Mulia, kiranya hamba tidak dapat banyak memberi keterangan lagi karena semua sudah diceritakan oleh adik Lo Sian Eng. Semua yang diceritakannya tadi benar belaka. Hamba baru pulang dari dusun yang dilanda musibah wabah. Di tengah perjalanan menuju kota raja, hamba melihat kakak Han Lin yang sudah hamba kenal dalam keadaan luka- luka yang cukup parah. Hamba lalu mengobatinya dan pada saat itu muncul Suma Kiang dan Toa Ok yang menyerang kakanda Han Lin dan hamba. Tentu hamba berdua sudah tewas di tangan mereka karena kakak Han Lin sedang terluka parah kalau saja tidak muncul adik Lo Sian Eng yang membantu sehingga dua orang itu dapat diusir. Hamba bertiga lalu pergi ke pondok dalam hutan untuk mengobati luka-luka hamba. Kemudian tiba-tiba malam itu pasukan datang menyerbu dan menangkap hamba bertiga dengan tuduhan membunuh seorang pangeran. Demikianlah keadaan yang sesungguhnya, Yang Mulia."
Kaisar Cheng Tung mengangguk-angguk sambil mengerling ke arah Pangeran Cheng Boan dan Ki Seng. Kedua orang ini tampak menundukkan muka dan mengerutkan alis. Kaisar Cheng Tung lalu berkata kepada Han Lin, suaranya lantang berwibawa terdengar oleh semua yang yang hadir dalam persidangan itu.
"Han Lin sekarang katakan dengan tegas, jujur dan terus terang. Siapakah sesungguhnya dirimu? Benarkah apa yang di katakan Nona Lo Sian Eng tadi bahwa engkau sebenarnya adalah Pangeran Cheng Lin?"
Han Lin segera memberi hormat dan menjawab dengan tenang dan tegas.
"Ampunkan hamba, Yang mulia. sesungguhnyalah, hamba bernama Cheng Lin dan menurut keterangan mendiang ibu hamba, ayah hamba adalah paduka sri Baginda Kaisar Cheng Tung."
Suasana menjadi hening di ruangan itu. pangeran Cheng Boan dan Ki Seng bersungut-sungut memprotes, namun tidak berani mengeluarkan suara. Kaisar menatap wajah Han Lin dan dia membayangkan wajah Chai Li. Ada keharuan menyelinap dalam hatinya. Akan tetapi dia masih belum yakin dan akan menyelidiki sampai jelas benar yang mana sebetulnya putera kandungnya yang terlahir dari Puteri Chai Li.
"Han Lin, kalau benar engkau Pangeran Cheng Lin seperti yang kau katakan, lalu kenapa engkau tidak mengaku demikian kepada kami, sebaliknya menggunakan nama Han Lin?"
"Hamba tidak berani, Yang Mulia, karena bukti diri hamba, yaitu Suling Pusaka Kemala yang hamba terima dari mendiang ibu hamba, telah dicuri oleh A-seng yang kini telah mengaku sebagai Pangeran Cheng Lin,"
Ki Seng menjadi gelisah duduknya, mukanya berubah sebentar merah sebentar pucat. Ingin rasanya dia menyerang Han Lin, akan tetapi dia tidak berani dan hanya memandang kepada Han Lin dengan mata melotot penuh kebencian.
"Hemm, Han Lin, tahulah engkau bahwa sedikit saja engkau bercerita bohong, kami akan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepadamu? Apakah benar semua keteranganmu tadi?" "Hamba berani bersumpah dan berani mempertanggung- jawabkan semua keterangan hamba, kalau hamba berbohong hamba siap untuk menerima hukuman apapun juga yang paduka jatuhkan kepada hamba."
"Kalau begitu, ceritakanlah riwayatmu, sejak kecil sampai sekarang. Ceritakan yang penting dan garis besarnya saja untuk membuktikan kebenaran keteranganmu tadi." kata Kaisar Cheng Tung dengan suara memerintah.
"Hamba dilahirkan di perkampungan Mongol. Ibu hamba adalah Puteri Chai Li, keponakan dari kakek Kapokai Khan. Ketika hamba terlahir, ayah kandung hamba tidak ada di sana. Ketika hamba berusia tiga tahun, datang Suma Kiang yang kemudian dengan ancaman menculik ibu Chai Li dan hamba, membawanya pergi dari perkampungan ibu hamba. Di tengah perjalanan, ibu dan hamba ditolong dan dibebaskan dari tangan Suma Kiang yang amat jahat. Suma Kiang yang hendak mengganggu ibu membuat ibu nekat menggigit lidahnya sendiri sampai putus. Untung ada Gobi Sam-sian, tiga orang pendekar budiman yang menolong kami. "
Wajah Kaisar Cheng Tung menjadi agak pucat. "Ia.....
ibumu.... putus lidahnya? Menjadi gagu ?" tanyanya lirih.
"Benar. Yang Mulia. Ibu masih dapat bicara, akan tetapi tidak jelas dan ia lebih banyak menggunakan tulisan kalau hendak menyatakan sesuatu. Ketika hamba berusia enam tahun, Gobi Sam-sian menggembleng hamba ilmu silat. Ketika hamba berusia sepuluh tahun, mendiang ibu hamba baru menceritakan tentang asal-usul hamba, siapa ayah kandung hamba yang belum pernah hamba lihat karena beliau telah meninggalkan ibu hamba sewaktu hamba berada dalam kandungan dan sejak itu tidak pernah ada kabar beritanya lagi!" Dalam ucapan Han Lin ini terkandung nada teguran yang membuat wajah Kaisar Cheng Tung menjadi kemerahan. Dia menghela napas panjang lalu berkata lirih.
"Lanjutkan ceritamu!" "Mendiang Ibu Chai Li menyerahkan sebatang suling, yaitu Suling Pusaka Kemala setelah ia meniup suling itu dan memainkan sebuah lagu. Pada saat itu, Gobi sam-sian mengajak hamba berdua dengan ibu melarikan diri dari pengejaran Suma Kiang dan Sam Ok yang hendak membunuh hamba dan ibu. Akan tetapi Suma Kiang dapat menyusul. Gobi Sam-sian roboh oleh Suma Kiang dan Sam Ok. Ibu melompat ke dalam jurang ketika hendak ditangkap Suma Kiang. Hamba lalu diperebutkan oleh Sam Ok dan Toa Ok. Kemudian muncul Suhu Bu Beng Lojin yang menolong hamba dan kemudian hamba menjadi murid beliau."
"Jadi ibumu melompat ke dalam jurang dan tewas?" Kaisar Cheng Tung bertanya, suaranya terkandung keharuan yang mendalam.
"Tadinya hamba mengira demikian, Yang Mulia. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa ibu Chai Li selamat karena tertolong oleh Ji Ok. Kemudian suhu Bu Beng Lojin membawa hamba pergi menghadap Suhu Cheng Hian Hwesio dan hamba digembleng ilmu oleh Suhu Cheng Hian Hwesio. Pada saat itulah muncul A-seng yang mengaku orang tuanya dibunuh penjahat. Dia diterima oleh Suhu Cheng Hian Hwesio dan menjadi murid beliau, jadi boleh dibilang dia itu masih saudara seperguruan hamba. Karena hubungan kami baik dan dia hamba anggap sebagal saudara seperguruan, maka hamba ceritakan asal usul hamba kepadanya. Hamba memperlihatkan Suling Pusaka Kemala kepada A-seng. Lima tahun kemudian pada suatu hari A-seng datang dan bermalam dalam kamar hamba. Ketika hamba terbangun, ternyata A-seng sudah tidak ada dan Suling Pusaka Kemala hamba hilang, dicuri oleh A- seng. Hamba mengejar ke pondok Suhu Cheng Hian Hwesio. Ternyata A-seng telah minggat bahkan telah membunuh dua orang pembantu Suhu Cheng Hian Hwesio dan membakar pondok, bahkan menyerang Suhu Cheng Hian Hwesio, kemudian karena tidak berhasil lalu melarikan diri." "Jahat sekali!" kata Kaisar Cheng Tung sambil melirik ke arah Ki Seng yang mengerutkan alis, cemberut dan menggeleng-geleng kepala seolah membantah semua cerita Han Lin. "Lalu bagaimana? Lanjutkan!"
"Hamba lalu turun gunung hendak mencari A-seng dan merampas kembali suling pusaka, juga hamba ingin pergi ke kota raja menghadap Sri Baginda Kaisar Cheng Tung untuk mengingatkan beliau bahwa ibu Chai Li hidup sengsara sampai matinya dengan selalu mengharap-harap berita yang tak kunjung tiba "
"Berani engkau bicara seperti itu terhadap ayahanda kaisar yang mulia!" bentak Ki Seng.
"Diam kau!" Kaisar Cheng Tung membentak pula dan dia memejamkan kedua matanya dan memegang kepalanya yang tiba-tiba pening. Dia merasa menyesal sekali mendengar bujukan orang-orang seperti Pangeran Cheng Boan sehingga dia melupakan Puteri Chai Li yang pernah dicintanya.
"Bagaimana dengan nasib ibumu?" tanyanya dengan lirih kepada Han Lin.
"Ibu Chai Li tewas ketika hendak melindungi hamba dari serangan Ji Ok dengan pisau terbang. Ibu yang terkena pisau dan tewas. Akan tetapi hamba telah berhasil membalaskan kematian ibu dan hamba telah membunuh Ji Ok."
"Kemudian bagaimana engkau terlibat dengan urusan pembunuhan Pangeran Cheng Bhok di hutan dekat pondok di mana engkau berada?"
"Paduka telah mengetahui. Hamba tanpa sengaja dapat menyelamatkan Pangeran Cheng Hwa dari usaha pembunuhan orang bertopeng. Hamba diterima masuk istana sebagai pengawal. Lalu hamba difitnah hendak menyerang para pangeran, padahal yang hamba serang adalah A-seng yang telah mencuri Suling Pusaka Kemala milik hamba. Hamba dijatuhi hukuman cambuk dan A-seng menggunakan kesempatan ini untuk mencambuk hamba dua kali dengan pengerahan dengan tenaga saktinya sehingga hamba menderita luka parah. Bahkan ketika adik Tan Kiok Hwa mengobati hamba yang terluka, muncul Suma Kiang dan Toa Ok Untuk membunuh hamba, untung muncul adik Lo Sian Eng yang menolong hamba. Hamba bertiga mengaso dan berobat dalam pondok, akan tetapi kembali kami difitnah, dituduh membunuh Pangeran Cheng Bhok. Hamba yakin bahwa ini tentu perbuatan A-seng atau yang kini nenyamar sebagai Pangeran Cheng Lin palsu."
"Akan tetapi kenapa Pangeran Cheng Bhok tewas oleh sebatang pedang dan engkau mengakui pedang itu sebagai milikmu?" tanya Kaisar Cheng Tung.
"Memang benar itu pedang hamba, yang Mulia. Akan tetapi pedang hamba Im Yang Pokiam itu telah diambil oleh A-seng ketika hamba dijatuhi hukuman cambuk dan belum pernah kembali ke tangan hamba."
Kaisar Cheng Tung hampir tidak dapat menahan kemarahan lagi. Dia hampir yakin akan kebenaran keterangan Han lin dan diapun memandang kepada Ki Seng dengan sinar mata penuh kemarahan. Akan tetapi dia adalah seorang yang bijaksana dan tidak mau dipengaruhi nafsu amarah. Dia harus mendapatkan bukti yang lebih meyakinkan lagi.
"Pangeran Cheng Lin, engkau sudah mendengar semua keterangan tadi. bagaimana jawaban dan pembelaan dirimu, Kami ingin mendengar." kata Kaisar Cheng Tung.
Ki Seng memandang ke arah Han Lin dengan mata melotot dan muka marah. kemudian dia memberi hormat kepada Kaisar Cheng Tung. "Ayahanada Kaisar yang mulia. Semua itu hanya fitnah belaka. Mereka memang bersekongkol untuk menjatuhkan hamba, agar penjahat pembunuh Han Lin ini dapat mengambil alih kedudukan hamba. Dia berbohong dan palsu!" "Pangeran Cheng Lin, apakah engkau masih ingat suling ini?" Kaisar Cheng Tung mengeluarkan Suling Pusaka Kemala yang sejak tadi memang sudah dipersiapkan dalam persidangan itu. Dia mengangkat suling itu untuk diperlihatkan kepada semua yang hadir.
"Tentu saja hamba ingat, Ayahanda kaisar Yang Mulia. Itu adalah Suling Pusaka Kemala yang dulu hamba terima dari mendiang Ibu Chai Li."
"Bagus kalau masih ingat. Nah, terimalah suling ini dan coba tiup dan mainkan lagu yang biasa dimainkan Puteri Chai Li dengan suling ini." Kaisar Cheng Tung menyerahkan suling. Ki Seng menerimanya dan dia menjadi bingung. Dia pernah mendengar Han Lin meniup suling itu dan dia hanya ingat sedikit-sedikit lagu itu. Dia sendiripun sudah mempelajari untuk meniup suling itu sebelumnya, untuk menjaga segala kemungkinan. Dia dapat memainkan banyak lagu dengan tiupan suling itu, akan tetapi, lagu yang di maksudkan Kaisar Cheng Tung itu dia tidak tahu, hanya pernah mendengar Han Lin memainkannya satu kali.
"Hayo cepat mainkan lagu itu, kami ingin sekali mendengarnya."
Terpaksa Ki Seng menempelkan suling pada bibirnya dan meniup suling itu, memainkan lagu yang pernah didengarnya dari Han Lin, akan tetapi karena dia hanya tahu dan ingat sepotong-sepotong saja, maka lagu itu dia campur dengan lagu lain sehingga terdengar tidak karuan dan kacau balau! Sian Eng yang sedikit banyak juga mengerti akan seni suara, tidak dapat menahan geli hatinya dan tertawa, akan tetapi cepat mendekap mulutnya dengan kedua tangan sehingga suara tawanya yang merdu hanya sempat membocor sedikit. Semua mata yang hadir kini ditujukan kepada Ki Seng yang menjadi semakin gugup sehingga dia menyudahi tiupan sulingnya.
-00d00w00-