Suling Pusaka Kemala Jilid 27

Jilid XXVII

SAMA sekali Han Lin tidak tahu bahwa sebelum empat orang pemuda itu keluar, A Seng telah lebih dulu menyatakan kecurigaannya terhadap Han Lin kepada tiga orang pangeran itu.

"Kita harus berhati-hati. Pembunuhan terhadap dinda Cheng Siu dan penyerangan terhadap kakanda Cheng Hwa menunjukkan bahwa para pembunuh mengancam kita para pangeran. Dan aku amat mencurigai pemuda bernama Han Lin itu. besar sekali kemungkinannya dia adalah seorang di antara para pembunuh yang berpura-pura menolong Cheng Hwa agar dapat menyusup ke dalam istana sehingga dia akan mempunyai banyak kesempatan untuk menyerang kita."

Tiga orang pangeran itu saling pandang dan tampak terkejut sekali. Tentu saja timbul kecurigaan besar terhadap Han Lin dan mereka juga merasa takut.

"Akan tetapi itu hanya dugaan." kata Pangeran Cheng Ki. "Kita tidak mempunyai bukti apapun."

"Benar, karena itu kita harus mencai buktinya," kata A Seng atau Ki Seng "Serahkan saja kepadaku. Aku akan mencari buktinya dan akan menangkap penjahat itu. Mari kita keluar dan pergi ke pondok Teratai untuk memancingnya. Jangan khawatir, aku telah mempersiapkan semua pengawal untuk melindungi kita kalau terjadi sesuatu."

Pondok Teratai yang dimaksudkan Ki Seng adalah sebuah pondok indah yang berada di dekat kolan teratai di tengah taman bunga istana yang luas itu. Tiga orang pangeran itu menurut dan pergilah empat orang pemuda itu ke taman. Dan ketika mereka keluar dari pintu samping, Han Lin melihat mereka dan ketika mereka berjalan memasuki taman menuju ke pondok dekat kolam teratai, Han Lin membayanginya. Tiga orang pangeran yang lain tidak mengetahui, akan tetapi Ki Seng yang memiliki panca indera yang tajam tentunya sudah mengetahui bahwa ada orang membayangi mereka dan dia dapat menduga bahwa orang itu tentu Han Lin. Ketika empat orang itu memasuki pondok, Han Lin segera menghampiri jendela. Dia ingin mendengar percakapan mereka. Ketika akhirnya dia berhasil mendekati jendela pondok itu, memilih bagian yang gelap lalu mengintai ke dalam, dia merasa heran karena yang dilihatnya hanya ada tiga orang pangeran . A Seng sama sekali tidak tampak ada di dalam ruangan pondok itu. selagi dia merasa heran dan menduga-duga tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang datang dari arah belakangnya. "Penjahat! Tangkap penjahat!" teriakan itu disusul menyambarnya sebuah pukulan yang amat dahsyat ke arah punggungnya. Han Lin maklum bahwa itu merupakan serangan yang amat berbahaya. Dia cepat melompat ke samping untuk mengelak dan dia melihat bahwa penyerangnya bukan lain adalah Pangeran Cheng Lin palsu atau A Seng!

"A Seng, iblis kau! Kembalikan sulingku!" bentak Han Lin marah.

"Penjahat! Pembunuh! Tangkap pembunuh !!" Ki Seng

berteriak dan dia sudah menyerang lagi dengan ilmu silat Sin- liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti). Melihat gerakan lawan yang amat cepat dan mengandung tenaga kuat sekali itu Han Lin lalu memainkan ilmu silat Ngo-heng Sin-kun (Silat Sakti Lima unsur). Ternyata ketika lengan mereka saling beradu, tenaga mereka seimbang. Perkelahian tangan kosong terjadi dengan serunya di luar Pondok Teratai itu, di bawah sinar lampu yang cukup terang.Tapi diam-diam Ki Seng keluar dari dalam pondok dan mengambil jalan melingkar melalui pintu belakang sehingga Han Lin tidak melihat dan tahu-tahu dia muncul di belakang pemuda yang melakukan pengintaian itu.

Teriakan-teriakan Ki Seng tadi memancing datangnya banyak perajurit pengawal yang dipimpin oleh para komandan pasukan pengawal yang memang telah dipersiapkan oleh Ki Seng lebih dulu. Para perwira ini sudah terpengaruh oleh kata- kata Ki Seng. Ketika mereka melihat betapa Pangeran Cheng Lin bertanding melawan Han Lin, otomatis mereka mengira bahwa Han Lin hendak membunuh Pangeran Cheng Lin seperti telah dikatakan oleh Ki Seng. Maka dengan sendirinya mereka lalu mencabut senjata dan tanpa dikomando lagi mereka lalu mengepung dan mengeroyok Han Lin!

Han Lin terkejut bukan main. Melihat dirinya dikepung dan dikeroyok para perajurit pengawal dan perwira pimpinan mereka, sadarlah dia bahwa dia telah terjebak ke dalam perangkap yang agaknya sudah diatur Ki Seng! Dia dianggap sebagai pengacau, penjahat yang hendak membunuh Pangeran Cheng Lin!

"Tahan! Aku bukan pembunuh!" Dia mengerahkan ilmu kekebalannya Tiat-pouw-sin (Kekebalan Baju Besi) untuk menjaga diri dan menggerakkan kedua tangannya untuk menangkis dan berloncatan kekanan kiri menghindarkan semua serangan yang datang bertubi-tubi menghujani dirinya.

"Dia penjahat! Dia hendak membunuh kami para pangeran!" teriak Ki Seng sehingga tentu saja para komandan pengawal itu tidak menghiraukan kata-kata Han Lin dan lebih percaya kepada pangeran Cheng Lin.

Han Lin menjadi bingung juga. ia dikeroyok belasan orang pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan tangguh karena beberapa orang antara mereka adalah perwira-perwira. Apalagi di situ ada A Seng yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian silat yang sudah mencapai tingkat tinggi berkat gemblengan Cheng Hian Hwesio. Tingkat kepandaian A Seng sebanding dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Dan dia tentu saja tidak ingin membunuh para pengawal yang mengeroyoknya. Akan tetapi dia harus membela diri agar jangan sampai mati konyol.

Han Lin mulai mempercepat gerakannya dan dia mulai merobohkan para pengeroyok dengan menggunakan totokan It-yang-ci. Melihat ini, Ki Seng menjadi terkejut dan juga heran. Dia sendiri mengandalkan ilmunya It-yang-ci untuk mengalahkan Han Lin dan sekarang ternyata Han Lin mampu mempergunakan ilmu itu. empat orang pengeroyok sudah roboh terguling dan tak berdaya walau tidak terluka dan yang lain menjadi gentar. gerakan Han Lin demikian cepat sehingga mereka tidak dapat melihat bagaimana caranya Han Lin merobohkan empat orang rekan mereka itu. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Hei, ada apa ini?

Kalian semua, hentikan perkelahian ini! Aku perintahkan, hentikan perkelahian!"

Semua orang yang mendengar perintah yang keluar dari mulut Pangeran Mahkoka Cheng Hwa menahan gerakan masing-masing dan melompat ke belakang. Bahkan Ki Seng sendiri tidak berani membangkang karena dia tahu akan kekuasaan putera Mahkota ini.

"Apa yang terjadi di sini? Kenapa Han Lin dikeroyok? Kalian semua tahu bahwa dia telah kami angkat sebagai pengawal pribadi keluarga, kenapa malam ini kalian mengeroyoknya?" Pangeran Cheng Hwa menegur Ki Seng dan para komandan pengawal yang mengeroyok Han Lin.

"Kakanda Pangeran, kakanda telah tertipu! Han Lin ini bukan orang baik baik! Mungkin dia malah bersekongkol dengan para pembunuh di hutan itu! ia tadi mengintai ketika kami para pangeran sedang bercakap-cakap dalam Pondok Teratai dan dia menyerang dan hendak membunuhku.

Kakanda, berhati-hatilah dia telah menipu kita semua dan berhasil menyelundup ke dalam istana untuk membunuh kita semua para pangeran!" kata Ki Seng.

Cheng Hwa mengerutkan alisnya memandang penuh perhatian kepada Han Lin. "Han Lin, benarkah engkau melakukan pengintaian terhadap empat orang adikku ini?" tanya Pangeran Cheng Hwa sambil menunjuk ke arah Ki Seng dan tiga orang pangeran lain yang kini sudah berani muncul keluar.

"Be benar, Pangeran." jawab Han Lin yang menjadi

gugup dan tidak tahu harus berkata apa kecuali mengaku sejujurnya.

"Dan benarkah engkau hendak membunuh adikku Pangeran Cheng Lin?"

"Benar, Pangeran, akan tetapi dia " "Sudah cukup, kakanda. Penjahat ini harus ditangkap dan dihadapkan Ayahanda kaisar agar dapat diputuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan kepadanya!" setelah berkata demikian, Ki Seng memberi perintah kepada para komandan pengawal,

"Tangkap dan belenggu kedua tangannya!"

Para perwira itu maju dan menelikung kedua tangan Han Lin lalu mengikatnya, Han Lin tidak melawan karena dia tahu bahwa melawan akan semakin memberatkan dirinya. Di depan Pangeran Cheng Hwa dia tidak berani melakukan kekerasan.

Diapun tidak mungkin mengaku dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin tanpa bukti apapun. Ki Seng seolah sudah mencengkeramnya dan dia tidak berdaya sama sekali.

"Baik, mari hadapkan dia kepada Ayahanda Kaisar, biar beliau yang akan memutuskan." kata Pangeran Cheng Hwa yang menjadi ragu terhadap Han Lin.

Han Lin lalu digiring oleh Ki Seng dan empat orang pangeran, dikawal pula oleh para perwira pengawal memasuki bangunan induk. Kepada para thaikam pengawal pribadi Kaisar, Pangeran Cheng Hwa minta agar dilaporkan kepada kaisar bahwa dia mohon menghadap karena ada urusan yang teramat penting dan tidak dapat ditunda lagi. Dia mohon menghadap bersama empat orang pangeran yang lain, juga akan menghadapkan Han Lin dan dikawal oleh para perwira pasukan pengawal.

Mendengar laporan bahwa puteranya yang paling disayang dan dipercaya mohon menghadap bersama para pangeran yang lain, Kaisar Cheng Tung segera mengijinkan mereka masuk. Mereka semua diterima di dalam ruangan pustaka di mana kaisar sedang duduk bersantai. Kaisar merasa heran melihat Han lin dibawa rombongan itu dengan tangan terborgol. Semua orang memberi hormat dengan berlutut. "Pangeran Cheng Hwa, apakah yang telah terjadi? Kenapa pemuda yang kau terima menjadi pengawal istana ini malah menjadi tangkapan?" tanya kaisar dengan heran.

"Ampunkan kalau hamba mengganggu paduka yang sedang bersantai. Telah terjadi peristiwa penting dan hamba semua menanti keputusan paduka dalam peristiwa ini."

"Peristiwa apakah itu?"

"Han Lin dituduh sebagai penjahat dan pembunuh oleh adinda Cheng Lin. karena hamba tidak ingin ada yang main hakim sendiri, maka hamba mengajak mereka semua untuk menghadap paduka memohon pengadilan paduka."

"Hemmm, benarkah itu, Cheng Lin? Engkau menuduh Han Lin sebagai penjahat dan pembunuh? Bukankah dia malah telah menyelamatkan kakakmu Cheng Hwa? Apa alasan dan bukti tuduhanmu. " tanya Sri Baginda Kaisar kepada Ki Seng.

"Ampunkan hamba, ayahanda yang mulia. Sesungguhnya, sejak terjadinya pembunuhan atas diri Cheng Siu dan penyerangan atas diri kakanda Cheng Hwa, lalu dibawanya Han Lin ke istana sebagai penyelamat kakanda Cheng Hwa, hamba telah menaruh kecurigaan besar kepada pemuda ini. Ketika hamba melakukan penyelidikan ke hutan, dari jejak kaki dan bekas perkelahian, hamba berpendapat bahwa pembunuhnya bukan hanya satu dua orang, melainkan paling sedikit tiga orang. Hamba mempunyai dugaan bahwa Han Lin ini seorang di antara para pembunuh itu yang kemudian pura- pura menjadi penolong kakanda Cheng Hwa."

"Nanti dulu," Kaisar memotong. "Apa alasanmu menduga seperti itu?"

"Kecurigaan hamba ini mempunyai alasan yang kuat. Pertama, kemunculan Han Lin di hutan itu amat aneh. Seorang pemuda petani berada seorang diri di hutan terlarang, dan tepat pada saat kakanda Pangeran Cheng Hwa diserang penjahat. Dan kedua, mana mungkin seorang pemuda petani memiliki ilmu silat yang tinggi dan mengapa pula dia yang memiliki ilmu silat tinggi itu membiarkan kedua orang bertopeng itu melarikan diri? Bukankah seharusnya ditangkap agar dapat diketahui siapa mereka?"

Kaisar Cheng Tung mengangguk-anguk dan memandang kepada Han Lin dengan alis berkerut. Kemudian dia menoleh lagi kepada Ki Seng.

"Akan tetapi, kalau memang benar dugaanmu bahwa dia itu seorang diantara para pembunuh, mengapa pula malah menyelamatkan Pangeran Cheng Hwa?" tanya Kaisar ragu.

"Itu hanya merupakan siasatnya yang licik, Ayahanda Yang Mulia. Dia sengaja melakukan itu agar mendapat kesempatan memasuki istana, agar dia akan dapat membunuh para pangeran dengan mudah dan siapa tahu, mungkin pula dia akan membunuh paduka. Buktinya, tadi dia lakukan pengintaian ketika hamba bersama para pangeran lain sedang berada Pondok Teratai. Ketika hamba keluar memergokinya, dia menyerang hamba hendak membunuh hamba."

Keadaan menjadi hening setelah Ki Seng berhenti bicara. Kaisar kini memandang kepada Han Lin dengan alis berkerut dan pandang mata marah.

"Han Lin, benarkah semua yang dituduhkan Pangeran Cheng Lin kepadamu itu?"

"Ampun, Yang Mulia. Semua itu fitnah belaka." jawab Han Lin dengan suara tegas.

"Hemm, kalau begitu, apa jawabanmu terhadap semua tuduhan itu?"

"Hamba berada di hutan karena melihat rombongan dua orang pangeran, hamba seorang pendatang baru dan merasa tertarik sekali, ingin tahu bagaimana caranya para pangeran berburu. Hamba sama sekali tidak tahu bahwa itu adalah hutan terlarang bagi orang biasa. Kemudian hamba melihat betapa Pangeran Cheng Hwa diserang orang bertopeng. Hamba cepat turun tangan membela pangeran akan tetapi terlambat menolong lima orang pengawal yang dibantai, hamba berhasil memukul penyerang itu, akan tetapi muncul orang bertopeng kedua yang memiliki ilmu silat tinggi melarikan orang pertama. Hamba tidak melakukan pengejaran karena hamba khawatir kalau hamba meninggalkan Pangeran Cheng Hwa seorang diri, akan muncul penjahat lain yang akan menyerangnya. Kemudian Pangeran Cheng Hwa mengajak hamba ke istana dan hamba menuruti perintahnya."

"Semua pernyataan yang diucapkan Han Lin itu benar dan hamba menjadi saksinya, Ayahanda Yang Mulia." Pangeran Cheng Hwa yang bagaimanapun juga masih merasa berhutang budi kepada Han Lin dan karenanya ingin membela Han Lin.

Kaisar Cheng Tung tetap mengerutkan alisnya dan mendengar pembelaan putra mahkota itu dia mengangguk- angguk sambil mengelus jenggotnya sambil memandang kepada Han Lin.

"Han Lin, bagaimana jawabanmu terhadap tuduhan bahwa engkau telah mengintai para pangeran yang berada di Pondok Teratai kemudian ketika Pangeran Cheng Lin memergokimu, engkau menyerangnya dan hendak membunuhnya. Benarkah semua itu?"

"Hamba akui bahwa hal itu memang benar, Yang Mulia.

Hamba telah mendapat tugas untuk melindungi keselamatan keluarga paduka, dan karena hamba khawatir kalau-kalau para penjahat akan datang untuk membunuh para pangeran, maka ketika para pangeran memasuki pondok Teratai, hamba sengaja memdatangi dan menjaga. Kemudian Pangeran Cheng Lin keluar dan meneriaki hamba sebagai penjahat dan pembunuh, kemudian hamba berkelahi dengannya "

"Kenapa engkau melawannya dan hendak membunuhnya?" Kaisar mendesak, mulai marah karena semua yang dituduhkan Pangeran Cheng Lin itu diakui oleh Han Lin. "Karena...... karena..... dia dan hamba memang

bermusuhan sejak dia belum menjadi pangeran." Terpaksa Han Lin mengaku demikian karena dia tahu bahwa kalau dia mengatakan yang sesungguhnya tentang diri pangeran palsu itu, tentu dia tidak akan dipercaya bahkan membuat dia makin kelihatan jelek dan bersalah, disangka melakukan fitnah karena kata-katanya tidak mungkin dibuktikan.

"Ayahanda Yang Mulia, jelas pemuda ini berdosa besar. Mungkin dia pula yang telah membunuh adinda Cheng Siu. oleh karena itu hamba berpendapat bahwa ia adalah seorang yang amat berbahaya bagi keselamatan keluarga istana dan patut dijatuhi hukuman mati!" kata Ki Seng.

Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya dan memandang Putera Mahkota Cheng Hwa. "Pangeran Cheng Hwa, bagaimana pendapatmu?"

Pangeran Cheng Hwa memberi hormat lalu berkata dengan sikap tenang dan suaranya tegas. "Ayahanda Yang Mulia menurut pendapat dan pandangan hamba semua yang dikemukakan adinda Cheng Lin itu baru merupakan dugaan belaka. Tidak ada buktinya bahwa Han Lin adalah seorang di antara para pembunuh. Hanya satu yang sudah terbukti dia bersalah, yaitu bahwa dia melawan dan menyerang adinda Cheng Lin, akan tetapi hal itupun dilakukan karena dia mempunyai permusuhan dengan adinda Cheng Lin, permusuhan pribadi. Karena itu, dia belum pantas dikenakan hukuman karena kedosaannya belum terbukti."

Kaisar Cheng Tung mengangguk-anguk kemudian berkata. "Baiklah, kami akan mengambil keputusan tengah-tengah dengan seadilnya. Han Lin belum terbukti menjadi pembunuh, akan tetapi dia tetap bersalah karena berani menyerang Pangeran Cheng Lin. Karena itu, dia harus dihukum cambuk dua puluh kali dan diusir keluar dari kota raja!"

Ki Seng merasa kecewa, akan tetapi karena hal itu telah menjadi keputusan. dan tak seorangpun boleh atau berani membantah. "Menaati perintah Yang Mulia Kaisar, hayo seret dia keluar istana, laksanakan hukumannya sekarang juga" Kata Ki Seng kepada para pengawal.

Kaisar menyuruh mereka semua mengundurkan diri. Ki Seng memimpin para pengawal membawa Han Lin keluar dari istana. Pangeran Cheng Hwa tidak ikut, akan tetapi dia berkata kepada adiknya "Adinda Cheng Lin, ingat, engkau tidak boleh lancang melanggar perintah Yang Mulia. Han Lin tidak boleh dibunuh lalu setelah dihukum cambuk dua puluh kali harus dibebaskan."

"Baik, kakanda. Tentu saja saya tidak berani melanggar perintah." kata Ki Seng dengan sikap patuh.

Dengan disaksikan empat orang pangeran itu, Han Lin dibawa keluar istana dan di alun-alun depan istana, hukuman cambuk dilaksanakan oleh seorang pengawal bertubuh tinggi besar yang menjadi algojonya. Hukuman itu dilaksanakan di bawah pohon besar yang tumbuh di alun alun itu. Han Lin dibelenggu kedua tangannya ke belakang tubuhnya dan dia di suruh berlutut. Bajunya ditanggalkan. Sebuah lampu gantung besar di pohon menerangi dan tampak algojo yang tinggi besar dengan kedua lengan berotot kekar itu sudah siap dengan sebatang cambuk terbuat dari pada rotan. Lima orang pangeran, Cheng Hwa, Cheng Ki, Cheng Tek, Cheng Lin dan Cheng Bhok sudah duduk di atas kursi, tidak jauh dari situ.

Dua losin perajurit berdiri melakukan penjagaan.

"Laksanakan hukuman sekarang juga" teriak Pangeran Cheng Lin. Mendengar ini, Pangeran Cheng Hwa mengerutkan alisnya. Lancang benar, pikirnya. Dia berada di situ dan sepatutnya dialah yang mengeluarkan perintah, bukan Pangeran Cheng Lin. Akan tetapi karena perintah sudah dikeluarkan, dia diam saja. Biarpun demikian, mendengar perintah yang keluar dari mulut Ki Seng itu, Algojo itu menoleh dan memandang kepada Pangeran Mahkota Cheng Hwa dengan pandang mata menanti perintah. Algojo itu tahu benar bahwa di antara semua pangeran yang hadir di situ, Pangeran Cheng Hwa yang memiliki kekuasaan tertinggi. Melihat ini, Pangeran Cheng Hwa mengangguk. Diapun ingin melihat pelaksanaan hukuman cambuk itu cepat diselesaikan agar Han Lin dapat segera bebas.

Algojo segera melaksanakan tugasnya setelah melihat anggukan Pangeran Cheng Hwa. Dia mengangkat cambuknya ke atas dan mengayun cambuk menimpa punggung Han Lin yang telanjang.

"Tarr..... tarrr.... tarrr !!" Cambuk melecut-lecut ke atas

kulit punggung Han Lin. Algojo menghitung sebelum Cambuknya melecut. Kalau bukan punggung Han Lin yang tertimpa lecutan cambuk rotan seperti itu yang digerakkan oleh tenaga yang kuat, tentu kulit punggungnya akan pecah- pecah. Akan tetapi Han Lin melindungi tubuhnya dengan ilmu kebal Tiat-pouw-san (Baju Besi) sehingga cambuk itu seolah melecut papan yang amat kuat dan tidak mendatangkan luka apapun kecuali sedikit memar dan bilur-bilur!

"Sebelas.... tarrr! Dua belas. tarr!!" hitungan dan

cambukan itu berlangsung bertubi-tubi, namun sedikitpun tidak ada rintihan keluar dari mulut Han Lin dan tubuhnya sedikitpun tidak bergerak. Pangeran Cheng Hwa diam-diam kagum dan senang. Dia dapat menduga bahwa pemuda penolongnya itu tentu melindungi tubuhnya dengan kekebalan sehingga cambukan itu tidak melukainya.

".....tujuh belas.... tarr! Delapan belas. ". .tarrr!!"

"Tahan!!" tiba-tiba Ki Seng bangkit berdiri dan mengangkat tangannya menghentikan cambukan itu. Sang algojo menahan cambukan berikutnya dan menoleh kepadanya.

"Ada apakah, Yang Mulia Pangeran?" tanyanya. "Hentikan dulu cambukan itu. Engkau tidak memukul

dengan sungguh-sungguh. Lecetpun tidak kulit punggung

yang kau cambuk itu. Ini bukan hukuman namanya. Kakanda Pangeran, perkenankan hamba melakukan cambukan yang tinggal dua kali lagi itu. Saya harus ikut menghukum orang yang tadi hendak membunuhku!"

Pangeran Cheng Hwa tersenyum mengejek. Dia sama sekali tidak tahu bahwa Ki Seng yang disangkanya benar adik tirinya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dipikirnya hanya memillki ilmu silat biasa saja dan belum tentu tenaganya lebih kuat dibandingkan algojo raksasa itu. Apa artinya dua kali cambukan yang dilakukan Pangeran Cheng Lin dibandingkan dengan delapan belas kali cambukan yang telah dilakukan oleh algojo raksasa itu. Dia tersenyum dan mengangguk.

"Silakan, adinda pangeran. Tapi ingat engkau hanya boleh mencambuk punggungnya, jangan mencambuk tengkuk atau kepala, apalagi sampai mematikannya!" ulang suaranya yang lembut terdapat wibawa yang tegas. Diam-diam Ki Seng merasa mendongkol juga. Tadinya dia memang ingin melakukan sisa dua kali cambukan untuk membunuh Han Lin. kalau dia mencambuk tengkuk atau kepala, pasti Han Lin akan tewas. Akan tetapi angeran Mahkota Cheng Hwa sudah mendahuluinya dan melarangnya. Dia terpaksa harus menaati karena kalau melanggar, dia menempatkan diri dalam posisi yang amat berbahaya.

"Tentu saja, kakanda. Terima kasih."

Ki Seng lalu menghampiri tempat pelakuan hukuman itu, mengambil cambuk dari tangan sang algojo.

Han Lin terkejut sekali ketika melihat cambuk itu kini diambil oleh Ki seng. Mengertilah dia bahwa dirinya terancam bahaya maut. Akan tetapi dalam keadaan menjadi terhukum, dia tidak dapat berbuat sesuatu. Tidak mungkin dia membantah. Hanya ada satu hal yang menyelamatkannya, yaitu ucapan Pangeran Cheng Hwa kepada Ki Seng. Pangeran Mahkota itu melarang "adiknya" untuk mencambuk tengkuk atau kepala. Hal inilah yang menyelamatkannya, kalau hanya dicambuk di bagian punggung dia tidak akan tewas, walaupun kemungkinan besar dia menderita luka dan Kekebalan ilmu Tiat-pouw-san saja tidak akan mampu menahan kehebatan pukulan cambuk yang dilakukan oleh Ki Seng yang lihai sekali. Tentu Ki Seng akan memilih bagian jalan darah yang paling lemah. Han Lin lalu mengheningkan seluruh batinnya, mempersatukan semua kekuatan dalam tubuhnya dan menyalur kekuatan itu untuk melindungi jalan darah di kedua pundaknya.

Ki Seng menghitung dengan selantang lalu mencambuk dan seperti sudah diperhitungkan Han Lin, dia mengerahkan seluruh tenaganya pada dua cambukan itu.

"Sembilan belas! Syuuuuuttt...... darr !!" Han Lin merasa

pundaknya seperti disambar petir dan dia merasa pula betapa dari perutnya keluar darah melalui mulutnya. Namun dia masih tetap menghimpun dan mengerahkan tenaganya untuk menerima pukulan ke dua.

"Dua puluh! Syuuuuttt..., darrr !!" tubuh Han Lin

terguling dan dari mulutnya muntah darah segar!

Ki Seng memandang kepada Han Lin yang rebah miring sambil tersenyum puas.

"Mampus kau!" desisnya lirih dan lalu mengembalikan cambuk kepada algojo dan menghampiri saudara-saudaranya.

Pangeran Cheng Hwa bangkit dari kursinya dan lari menghampiri Han Lin. Han Lin sudah bangkit perlahan, masih berlutut. Dadanya terasa sesak dan kepalanya pening sekali.

"Han Lin, engkau tidak apa-apakah?" tanya Pangeran Cheng Hwa khawatir.

Han Lin menggeleng kepalanya. "Tii, tidak apa-apa, terima kasih Pangeran." "Sekarang engkau boleh pergi dengan bebas," kata pula Pangeran Cheng Hwa, lalu berkata kepada kepala pasukan yang memimpin dua losin perajurit yang berjan di situ. "Antar dan kawal dia sampai keluar dari pintu gerbang selatan. Awas, jaga baik-baik jangan sampai ada orang mengganggunya.

Kalian yang bertanggung jawab atas keselamatannya sampai keluar pintu gerbang!"

Perintah ini dilaksanakan dengan baik oleh perwira yang memimpin dua losin perajurit pengawal itu. Dalam keadaan lunglai Han Lin dikawal sampai ke pintu gerbang selatan kemudian dilepaskan. Ketika itu malam sudah larut dan Han Lin melangkah terhuyung-huyung dalam kegelapan malam yang hanya diterangi oleh bintang-bintang yang bertaburan di angkasa.

Menjelang fajar dia sudah jauh meninggalkan pintu gerbang kota raja dan dia merasa betapa tenaganya sudah hampir habis. Kedua kakinya gemetar dan akhirnya dia jatuh terkulai di bawah sebatang pohon yang berdiri di tepi jalan raya.

Seorang gadis berpakaian putih cepat menghampirinya. "Sobat, engkau kenapakah? Engkau sakit?" tanya gadis itu dengan suara lembut sambil menghampiri Han Lin dan cepat meraba pergelangan tangan kiri Han Lin untuk merasakan denyut nadinya. Han Lin bangkit duduk dan mereka saling pandang.

"Adik Tan Kiok Hwa !" seru Han Lin dengan girang sekali

sehingga sejenak ia melupakan rasa sesak dan nyeri didadanya.

"Kakak Han Lin ! Engkaukah ini? diamlah saja, jangan

bergerak, engkau terluka. Duduklah bersila, akan kucoba mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu!" Karena maklum akan kelihaian gadis yang tak pernah dia lupakan itu dalam ilmu pengobatan, Han Lin menurut. ia duduk bersila dan mengendurkan seluruh urat syarafnya.

Setelah memeriksa detak nadi dan pernapasan Han Lin, Kiok Hwa lalu menotok beberapa jalan darah di kedua pundak dan punggung. Setelah itu ia mengeluarkan jarum emas dan jarum peraknya dan mulai mengobati Han Lin dengan tusuk- jarum di sekitar punggungnya, setelah Han Lin melepaskan bajunya.

Fajar menyingsing. Sinar matahari mulai mengusir kabut pagi dengan sinarnya yang lembut. Han Lin merasa betapa sesak dan nyeri di dadanya sudah menghilang. Kiok Hwa mencabuti jarum-jarumnya dan berkata dengan nada lega.

"Bahaya sudah lewat, Lin-ko. sekarang tinggal mengobati luka di kedua pundakmu." Ia mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dan menaburkan obat kepada luka-luka di pundak Han Lin. Terasa dingin dan nyaman sekali oleh Han Lin.

"Terima kasih, Hwa-moi, aku sudah sembuh kembali.

Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul menolongku."

"Jangan bicara dulu, Lin-ko. Walaupun engkau sudah sembuh, akan tetapi engkau kehabisan tenaga. Himpunlah dulu tenaga murni untuk memulihkan kekuatanmu. Dalam keadaan seperti sekarang ini engkau harus selalu siap siaga, dalam keadaan sehat dan memiliki tenaga sepenuhnya."

Han Lin mengangguk, lalu diapun memejamkan mata dan menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaganya, Kiok Hwa duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah, memandang dan menjaga pemuda itu dengan pandang mata penuh kasih sayang. Terbayanglah semua pengalamannya dengan Han Lin. Tanpa melalui banyak pengakuan kata-kata, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia mencinta Han Lin dan pemuda itupun mencintanya. Akan tetapi karena ia tahu betapa gadis yang dikenalnya sebagai Suma Eng itu mati-matian mencintai Han Lin. Ia tidak tega untuk merebut pemuda itu dari gadis yang sudah lama mencinta pemuda itu. Ia mengalah dan meninggalkan mereka. Ia lalu memasuki kota raja dan mendapat pengalaman tidak enak ketika ia hendak dijebak orang jahat yang berpura-pura sakit di sebuah kamar losmen. Akan tetapi tidak lama ia berada di kota raja karena mendengar bahwa di daerah Lam- teng yang berada sebelah selatan kota raja berjangkit penyakit demam panas yang sudah makan banyak korban. Ia bergegas pergi ke daerah itu untuk menolong orang-orang yang kejangkitan penyakit itu. la sudah berhasil menolong dan menyelamatkan banyak orang sehingga namanya sebagai Pek I Yok Sian-li semakin terkenal. Untuk keperluan itu, Kiok Hwa harus mondar mandir ke kota raja untuk membeli obat obatan dari rumah obat. Ketika ia datang pergi ke kota raja membeli obat, bertemu dengan Souw Tek dan Su Te Ek yang terluka dalam pi-bu (adu silat di Hek-tiauw Bu-koan. Juga pada hari ini ia sedang hendak pergi ke kota raja untuk membeli obat ketika ia melihat pemuda terhuyung-huyung lalu roboh di bawah pohon yang kemudian ternyata adalah Han Lin.

Kiok Hwa menghela napas panjang, sudah mengalah terhadap Suma Eng dan berusaha menjauhkan diri dari Han Lin, Akan tetapi nasib rupanya menghendaki lain dan secara tidak terduga sama sekali kini ia bertemu lagi dengan Han Lin bahkan harus mengobatinya karena pemuda itu menderita luka yang cukup parah. Dan pertemuan itu menambah goresan yang memperdalam perasaan cinta kasih-kepada Han Lin. Baru memandang kearah pemuda itu yang bersamadhi memejamkan mata saja, ada daya tarik yang luar biasa yang mencengkeram perasaan hatinya. Pada saat itu tahu benarlah Kiok Hwa bahwa tanpa adanya pemuda itu di sampingnya, hidup selangjutnya akan terasa hampa dan tidak menarik!

Matahari makin cerah. Cahayanya yang tadinya kuning kemerahan mulai memutih dan panas mulai menyengat, Kiok Hwa merasa senang melihat betapa kedua pipi Han Lin mulai memerah, menunjukkan bahwa pemuda itu sudah sehat betul dan selain kesehatannya sudah pulih, juga tenaganya sudah utuh kembali.

Han lin menggerakkan pelupuk matanya kemudian membuka kedua matanya, lalu menoleh ke arah Kiok Hwa. Keduanya tersenyum.

"Hwa-moi, kembali engkau telah menolongku. Entah berapa kali sudah kau menolong dan menyelamatkan aku akan tetapi mengapa engkau selalu menjauhkan diri dariku, Hwa-moi?"

Ada tuntutan terkandung dalam ucapan itu dan Kiok Hwa merasa terharu.

"Sudahlah, jangan bicarakan hal itu Lin-ko. Sekarang ceritakan, bagaimana engkau sampai menderita seperti ini. Engkau terkena pukulan pada kedua jalan darah di pundakmu, dan pukulan itu mengandung hawa beracun yang jahat. dan punggungmu penuh bilur-bilur seperti bekas cambukan. Apa yang terjadi?"

Han Lin menghela napas panjang, ia tidak ingin menceritakan tentang sebenarnya bahwa dia seorang pangeran, Ia khawatir kalau hal itu diketahui Kiok Hwa, akan mengubah sikap gadis itu terhadap dirinya. Tidak, dia ingin dikenal Kiok Hwa sebagai Han Lin, pemuda biasa. Bahkan kepada Sian Engpun dia tidak membuka rahasia ini. Sekali saja membuka rahasia sudah cukup menyengsarakannya, yaitu ketika dia membuka rahasianya itu kepada A Seng.

Mendengar pertanyaan itu, otomatis Han Lin meraba punggungnya dan baru menyadari bahwa dia telah kehilangan pedangnya. Im-yang-kiam telah hilang, Ia mengingat-ingat.

Ketika dia ditangkap oleh para perajurit, pedangnya diambil oleh Ki Seng! "Ada apakah, Lin-ko? Engkau seperti mencari sesuatu!" tegur Kiok Hwa.

"Pedangku....., pedangku diambil orang !" kata Han Lin

dan teringat akan semua perbuatan Ki Seng yang kini menjadi Pangeran Cheng Lin dia merasa gemas sekali.

"Im-yang-kiam? Ah, siapa yang telah mengambilnya, Lin- ko?" tanya Kiok Hwa yang ikut merasa menyesal bahwa pedang pusaka yang langka itu diambil orang.

Kan Lin menghela napas panjang.

"Panjang ceritanya, Hwa-moi. Aku telah menyelamatkan Pangeran Mahkota Cheng Hwa yang akan dibunuh orang jahat dekat hutan. Beliau lalu membawaku ke istana dan aku diberi pekerjaan sebagai seorang pengawal di istana. Akan tetapi malam tadi, aku difitnah. Aku dituduh hendak membunuh para pangeran. Kiasar marah sekali dan aku tentu sudah dijatuhi hukuman mati kalau saja Pangeran Mahkota Cheng Hwa tidak membela. Karena pembelaan beliau maka hukuman ku diperingan, yaitu menerima hukuman dua puluh kali cambukan."

"Hemm, engkau yang memiliki sinkang amat kuat dan memiliki kekebalan, mengapa sampai menjadi begini ketika dicambuk? Kukira jangankan hanya dua puluh kali, biar seratus kalipun engkau tentu tidak akan terluka kalau engkau mengerahkan sin-kang melindungi tubuhmu." kata Kiok Hwa heran.

"Algojo hanya mencambuk sampai delapan belas kali saja, lalu cambuknya di minta Pangeran Cheng Lin dan dia yang mencambuk aku dua kali sehingga aku menderita luka parah."

"Hemm, jadi Pangeran Cheng Lin itu seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi?"

"Benar, dan dia jahat seperti iblis." "Ah, kalau begitu dia pula yang menjatuhkan fitnah atas dirimu?"

"Benar."

"Dan dia pula yang mengambil im yang-kiam darimu?" "Memang benar, Hwa-moi."

"Hemm. Tidak akan ada asap kalau dak ada apinya. Tidak akan turun hujan kalau tidak ada awalnya. Tidak ada akibat tanpa sebabnya. Lin-ko, mengapa seorang pangeran dapat begitu membencimu? Padahal engkau telah menyelamatkan Pangeran Mahkota? Katakan, mengapa Pangeran Cheng Lin itu demikian membencimu, Lin-ko?"

Han Lin merasa terdesak, namun dia bertekad untuk mempertahankan rahasianya. Setelah berpikir sesaat, dia menjawab, "Dia baru saja diterima sebagai pangeran, Hwa- moi. Aku sudah mengenalnya dengan baik sebelum dia menjadi pangeran, yaitu ketika dia masih menjadi murid Cheng Hian Hwesio, Bahkan boleh dibilang dia itu masih saudara seperguruanku karena akupun dilatih ilmu silat oleh Cheng Hian Hwesio. Ketika itu, dia melakukan perbuatan menyeleweng dan minggat meninggalkan kami. Kemudian menjadi pangeran dan melihat aku berada di istana, mungkin dia khawatir aku aku membeberkan kejahatannya dan mungkin dia menganggap aku sebagai saingan."

Tiba-tiba Han Lin memegang lengan Kiok Hwa dan matanya memandang ke depan. Kiok Hwa menengok dan gadis inipun melihat bayangan dua orang berlari cepat menuju ke tempat itu. Setelah dua orang itu tiba dekat, dengan kaget Han Lin dan Kiok Hwa melihat bahwa mereka itu bukan lain adalah Toa Ok dan Suma Kiang!

"Itu dia!" seru Toa Ok.

"Bunuh dia!!" kata pula Suma Kiang. Dua orang datuk ini memang diutus oleh Pangeran Cheng Boan yang sudah mendengar akan peristiwa yang terjadi di istana malam itu. Mendengar bahwa Han Lin atau Pangeran Cheng Lin yang aseli itu hanya dihukum cambuk dan dilukai oleh Ki Seng akan tetapi tidak dapat di bunuh karena dibela Pangeran Mahkota Cheng Hwa, dia cepat mengutus dua orang jagoannya itu.

"Cepat kejar dan bunuh dia selagi terluka parah" demikian perintahnya. Demikianlah, dua orang itu keluar dari kota raja dan melakukan pengejaran. Mereka mengira bahwa Han Lin masih menderita luka parah maka segera mereka menerjang maju untuk membunuhnya. Toa Ok sudah menggunakan Kim- liong-kiam (Pedang Sinar Emas) yang berubah menjadi gulungan sinar emas yang dahsyat. Suma Kiang juga sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan langsung saja menyerang dengan cepat dan kuatnya.

Pada saat itu, Han Lin memang sudah sembuh sama sekali dari luka dalam di tubuhnya. Akan tetapi walaupun dia sudah menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaganya dan tenaga sin-kang-sudah kembali, namun dia masih sedikit lemah dari pada biasanya.

Menghadapi serangan tiga batang pedang yang digerakkan tangan-tangan yang amat kuat itu, Han Lin segera mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya bergerak cepat dan lincah searti seekor burung walet, mengelak ke sana-sini sehingga tubuhnya berubah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di antara sinar tiga batang pedang itu. Dia bersilat dengan Ngo-heng Sin-kun (Ilmu Sakti Lima Unsur) dan kadang membalas dengan totokan It-yang-ci.

Namun, kondisinya yang masih lemah dan kepalanya yang masih terasa sedikit pening itu membuat Han Lin desak hebat. Tiga batang pedang di tangan kedua orang lawannya benar- benar amat berbahaya dan biarpun Han Lin sudah mengelak sedapatnya, tetap saja ujung pedang Toa Ok melukai pangkal lengan kirinya dan ujung pedang Suma Kiang juga melukai paha kanannya. Pangkal lengan kiri dan paha kanan Han Lin terluka mengucurkan darah dan dari rasa panas di kedua bagian tubuh yang terluka itu tahulah dia bahwa lukanya itu mengandung racun. Pedang-pedang kedua orang datuk sesat itu tentu telah direndam racun. Karena dua luka di tubuhnya itu, gerakan Han Lin menjadi semakin kendur dan lambat.

Melihat ini, Kiok Hwa dengan nekad menerjang untuk membela Han Lin.

"Kalian jahat dan tidak tahu malu mengeroyok seorang yang tidak membawa senjata!" Kiok Hwa berkelebat dan berusaha merampas pedang di tangan Toa Ok dengan jalan memukul siku kanannya agar pedang itu terlepas dari tangannya. Gerakan Kiok Hwa itu cepat bukan main sehingga Toa Ok tidak dapat menghindar.

"Plakk!" Siku kanannya terpukul dan seketika tangannya menjadi tergetar lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangannya. Tangan kirinya menyambar dan menyambar bawah pundak kanan Kiok Hwa.

"Desss !" tubuh Kiok Hwa terpental dan terbanting roboh

di bawah pohon.

"Hwa-moi. !" Han Lin berseru dan cepat dia menyerang

Toa Ok dengan tiga buah totokan secara bertubi. Toa Ok terkejut dan melompat ke belakang. Akan tetapi Han Lin tidak sempat menghampiri Kiok Hwa karena Suma Kiang sudah menyerangnya lagi dengan sepasang pedangnya.

"Lin-ko, sambut !" Kiok Hwa yang telah terluka bawah

pundak kanannya itu menemukan sebatang kayu ranting sebesar lengannya di bawah pohon itu. Dengan tangan kirinya ia melontarkan ranting itu ketika Han Lin melompat belakang dan menoleh kepadanya, han Lin menyambar tongkat itu dengan tangannya. Pada saat itu, Toa Ok dan Suma Kiang sudah menyerang lagi. Han Lin memutar tongkat ranting itu dan segera memainkan ilmu silat Sin-tek-tung (Tongkat Bambu Sakti). Gulungan sinar kuning yang aneh melingkar- lingkar dan mencuat ke sana-sini tampak dan ternyata gulungan sinar permainan tongkatnya mampu membendung gelombang serangan ketiga pedang. Namun, dalam keadaan terluka dan mengeluarkan banyak darah, Han Lin menjadi semakin lemah sehingga tongkatnya itu hanya dapat dipergunakan untuk melindungi dirinya saja tanpa mendapat kesempatan untuk balas menyerang.

Kiok Hwa melihat bahaya ini, akan tetapi ketika ia bangkit untuk nekat menolong lagi, tubuhnya terkulai lemah dan ia roboh kembali. Ternyata pukulan tangan kiri Toa Ok yang mengenai dadanya tadi membuat terluka di sebelah dadanya yang cukup parah.

Keadaan Han Lin gawat. Agaknya tak lama lagi ia akan roboh dan tewas, dan kalau hal ini terjadi, tentu keselamatan kiok Hwa juga terancam maut.

Mendadak berkelebat bayangan merah muda dan terdengar bentakan nyaring, "Toa Ok dan Suma Kiang dua manusia iblis yang hina dan jahat!" Sinar pedang berwarna hijau menyambar ganas ke arah leher Suma Kiang. Datuk ini terkejut dan cepat menangkis dengan pedang kanannya.

"Cringgg !!" Bunga api berpijar ketika kedua pedang

bertemu dan Suma Kiang melihat bahwa yang menyerangnya bukan lain adalah Lo Sian Eng, atau yang diakuinya sebagai Suma Eng, anak- yang dahulu amat disayangnya!

"Suma Eng, mundurlah, aku tidak ingin membunuhmu!" kata Suma Kiang yang bagaimanapun juga masih mempunyai perasaan sayang kepada gadis yang semenjak kecil dianggap sebagai anak kandungnya sendiri, bahkan semua ilmunya sudah dia turunkan kepada gadis itu. "Aku Lo Sian Eng, bukan Suma Eng. Engkau tidak ingin membunuhku, akan tetapi aku ingin membunuhmu seratus kali untuk membalaskan dendam ayah dan ibu kandungku!" bentak Sian Eng dan iapun sudah menyerang dengan hebat. Suma Kiang terpaksa menangkis dan membalas menyerang untuk membela diri.

Sementara itu, Toa Ok masih bertanding melawan Han Lin.

Karena kini Han Lin tidak dikeroyok lagi, maka lawannya menjadi agak ringan baginya. Akan tetapi sebaliknya, darah banyak keluar dari tubuhnya dan dia mulai lemas. Dengan demikian, kekuatan mereka berdua seimbang dan pertandingan itu berlangsung seru dan mati-matian.

Kiok Hwa yang bersandar di batang pohon menjadi agak lega melihat munculnya Sian Eng. Diam-diam ia menghela napas panjang. Mereka bertiga selalu bertemu. Mengapa begitu kebetulan?

Sian Eng yang penuh dendam itu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga Suma Kiang menjadi kewalahan. Datuk ini segera terdesak hebat oleh pedang

Ceng-liong- kiam (Pedang Naga Hijau) di tangan gadis perkasa itu. Suma Kiang melindungi dirinya sekuat mungkin, namun akhirnya sebuah sambaran pedang Sian Eng mengenai lengan kirinya sehingga lengan itu terluka menganga di atas siku.

Suma Kiang melompat belakang.

Sian Eng hendak mendesak untuk nembunuh ayah angkatnya itu, akan tetapi pada saat itu terdengar Kiok Hwa berseru, "Eng-moi (Adik Eng), bantulah Lin-ko !"

Sian Eng menoleh dan melihat betapa Han Lin dengan wajah pucat didesak Toa Ok yang bergerak semakin ganas. Khawatir akan keadaan Han Lin, Sian Eng melompat ke dekat dua orang yang sedang bertanding mati-matian itu.

Pedangnya meluncur dan menusuk ke arah punggung Toa Ok dari belakang. "Singgg !!" Sinar hijau menyambar ke arah dada Toa Ok.

Datuk yang lihai ini mendengar suara pedang dari arah belakangnya. Dia memutar tubuh ke kiri untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pedang itu menyerempet iga kiri di bawah lengan. Toa Ok menggerakkan tangan kirinya memukul.

"Crakk......desss !" Pedang itu mengenai dada kiri Toa

Ok, akan tetapi pukulan tangan kiri yang mengandung ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) itupun mengenai pundak Sian Eng. Dara perkasa itu terdorong ke belakang akan tetapi tidak sampai jatuh. Toa Ok yang melihat betapa Suma Kiang sudah melarikan diri dan dia sudah terluka, tidak ada semangat lagi untuk melanjutkan perkelahian karena maklum bahwa hal akan sangat membahayakan dirinya. ia lalu melompat jauh dan melarikan diri dengan luka berdarah pada dada kirinya

Sian Eng melihat Han Lin berdarah darah pada pangkal lengan dan pahanya dan pemuda itu berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti hendak roboh. Ia melihat pula Kiok Hwa menghampiri Han Lin dan gadis berpakaian putih itupun terhuyung-huyung, agaknya terluka pula. Sian Eng merasa betapa dadanya sesak dan sukar bernapas, namun ia menguatkan dirinya dan menghampiri mereka.

"Lin-ko, bagaimana luka-lukamu?" tanyanya khawatir sambil memegang lengan pemuda itu. Lengan kanan pemuda itu sudah dipegang oleh Kiok Hwa.

Han Lin memandangnya dan tersenyum. "Aku tidak apa- apa, Eng-moi. Hanya luka-luka daging saja dan lemas. "

"Dia kehilangan banyak darah, adik Eng." kata Kiok Hwa.

Sian Eng merasa lega dan tiba-tiba ia merasa kepalanya pening sekali. Segala tampak berpusing.

"Sukur..... sukurlah " katanya dan ia lalu roboh terkulai,

pingsan! "Eng-moi. !" Seru Han Lin.

"Adik Eng! Engkau kenapa?" seru Kiok Hwa dan mereka berdua berjongkok dekat tubuh Sian Eng yang rebah telentang dengan muka pucat sekali. Kiok Hwa cepat memeriksa keadaan Sian Eng. tak lama kemudian ia berdiri dan mengerutkan alisnya.

"Bagaimana, Hwa-moi? Bagaimana keadaannya?" Kiok Hwa menghela napas panjang.

"Keji sekali Toa Ok. Adik Eng terkena pukulan Ban-tok- ciang pada pundaknya. Masih untung bahwa ia memiliki tubuh yang sehat dan tenaga sin-kang yang kuat. Dan lebih menguntungkan lagi agaknya ia dahulu telah banyak minum obat anti racun ketika ia mempelajari pukulan-pukulan beracun. Kurasa hawa beracun Ban-tok-ciang tidak akan menjalar kejantungnya dan aku masih sanggup mengobati dan menyembuhkannya."

"Ah, sukur sekali kalau begitu, Hwa moi." kata Han Lin dan diapun mengeluh karena tubuhnya terasa lemah sekali, ia lalu duduk bersila dekat Sian Eng yang masih pingsan.

"Lin-ko, aku tadi sudah menotok jalan darahmu untuk menghentikan keluarnya darah dari kedua luka di pangkal lengan dan pahamu. Akan tetapi engkau sudah mengeluarkan banyak darah dan engkau harus beristirahat dan makan obat kuat yang akan kubuatkan untukmu."

"Hwa-moi, aku lihat engkau sendiri juga terluka. Engkau tadi juga terkena pukulan tangan Toa Ok yang berbahaya!" Han Lin memandang wajah Kiok Hwa yang pucat.

Kiok Hwa menggeleng kepalanya. "Aku memang terluka, akan tetapi aku dapat mengatasinya. Jangan mengkhawatirkan aku. Lebih baik sekarang mari kita bawa adik Eng. Aku tadi melihat sebuah pondok bambu di hutan sana itu, pondok bambu kosong yang agaknya ditinggalkan para pemburu. Kita beristirahat di sana."

Han Lin mengerahkan tenaganya dan bangkit berdiri. Kiok Hwa menotok beberapa jalan darah di tubuh Sian Eng dan gadis itu mengeluh lirih lalu membuka matanya.

"Bagaimana keadaanmu, Eng-moi?" Han Lin bertanya. "Dadaku...... nyeri panas dan napasku sesak " keluh

Sian Eng.

"Adik Eng, mari kita masuk hutan di sana itu, ada sebuah pondok bambu di sana, kita dapat beristirahat dan mengobati luka kita. Lin-ko dan akupun terluka dan lemah, maka tidak dapat memondongmu. Mari kami bantu engkau berjalan ke sana."

Kiok Hwa lalu membantu Sian Eng bangkit dan gadis perkasa ini menggigit bibir mengerahkan sisa tenaganya untuk melangkah dan ia dipapah oleh Han Lin dan Kiok Hwa. Tiga orang muda yang terluka itu terhuyung-huyung memasuki hutan dan benar saja, tidak jauh dari situ terdapat sebuah pondok bambu, bahkan ada empat buah dipan bambu di dalam pondok. Tempat ini biasanya menjadi tempat pondokan para pemburu kalau kemalaman di dalam hutan.

Setelah membaringkan Sian Eng di atas sebuah dipan, Kiok Hwa lalu mulai mengobati Sian Eng dan juga Han Lin. Iapun minum obat untuk menyembuhkan lukanya sendiri.

Pengobatan dari Kiok Hwa itu manjur bukan main sehingga menjelang malam hari, mereka semua telah dapat terhindar dari bahaya dan telah sembuh. Akan tetapi mereka, terutama Han Lin, harus istirahat selama beberapa hari untuk memulihkan tenaganya. Kebetulan sekali dalam pondok itu terdapat banyak lilin yang ditinggalkan para pemburu sehingga mereka tidak sampai kegelapan. Pada keesokan pagi-pagi, Kiok Hwa yang keadaannya paling baik di antara mereka, meninggalkan pondok dalam hutan itu untuk pergi membeli bahan makan. Ia membeli bahan makanan yang sekiranya cukup untuk mereka makan beberapa hari lamanya.

Lo Sian Eng dan Han Lin duduk bersila di atas dipan bambu. Mereka duduk berhadapan, Sian Eng di atas dipan yang satu, Han Lin di atas dipan yang lain. mereka melatih pernapasan untuk menghimpun dan memulihkan tenaga mereka.

Sejak tadi Sian Eng mengamati Han Lin yang duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya. Gadis itu memandang kagum. Bukan main pemuda yang telah merampas hatinya ini. Seorang pangeran tulen. Betapa kuatnya menyimpan rahasia dirinya, bersikap seperti seorang pemuda sederhana. Biarpun pertanyaan tentang kepangeranannya itu sudah ada di ujung lidahnya, namun Sian Eng menekan dan menahannya, tidak ingin membuka rahasia pemuda itu. Dia harus menghormati rahasia itu. Ia hanya memandang penuh kagum.

Pandang mata yang terdorong oleh perasaan hati memiliki daya yang kuat sekali. Han Lin yang tadinya memejamkan matanya itu, tidak dapat menahan lebih lama lagi. Ada sesuatu yang seseorang mendorongnya untuk membuka kedua matanya. Ketika dia membuka kedua matanya, pandang matanya tepat bertemu dengan sepasang mata jeli yang menatapnya. Dua pasang matanya bertemu pandang, bertaut, melekat. Sian Eng tersenyum memecahkan pesona yang membius mereka.

"Lin-ko, mengapa engkau memandangku seperti itu?" tanyanya, malu-malu.

"Kenapa ? Ah, aku ingin sekali tahu bagaimana engkau

tiba-tiba dapat berada di sana menolongku ketika kami terancam bahaya maut itu, Eng-moi?"

Sian Eng tidak tersipu lagi. Ia merasa bersukur karena ucapan Han Lin itu mengusir rasa canggung dan rikuh yang timbul oleh bertemunya pandang mata mereka. "Panjang ceritanya, Lin-ko. Sebaiknya engkau yang bercerita lebih dulu mengapa engkau terluka dan berkelahi melawan Toa Ok dan Suma Kiang kemarin?"

Han Lin tersenyum. Gadis ini masih seperti dulu. Tak pernah mau mengalah, bahkan dalam menceritakan pengalaman sekalipun.

"Setelah meninggalkan Hek-tiauw Bu koan, aku melakukan penyelidikan dan mendengar banyak tentang keluarga istana." Baru mendengar ini saja Sian Eng telah tersenyum dalam hatinya. Tidak aneh kalau dia menyelidiki tentang keluarga istana karena dia sendiri adalah seorang pangeran, pikirnya. "Pada suatu hari aku mendengar pula bahwa Suma Kiang dan Toa Ok bekerja pada Pangeran cheng Boan. Ketika melihat Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Siu keluar pintu gerbang bersama sepasukan pengawal, aku menjadi tertarik dan membayangi dari belakang. Kiranya rombongan itu pergi ke hutan untuk berburu dan di dalam hutan itu aku melihat mereka berpencar, kedua orang pangeran itu berpisah dan mengambil jalan masing-masing untuk berburu. Aku melihat Pangeran mahkota Cheng Hwa diserang orang bertopeng, maka aku segera melindunginya. Penyerang itu dapat melarikan diri bersama temannya yang juga bertopeng, Pangeran Cheng Hwa membawaku ke istana dan mengangkat aku sebagai pengawal".

Sian Eng merasa heran sekali. Sungguh aneh, pikirnya. Dia sendiri seorang pangeran dan Pangeran Mahkota itu tentu masih saudaranya, mengapa dia telah menyembunyikan diri? Lalu ia teringat, Tentu karena Ki Seng telah mencuri Suling Pusaka Kemala dan orang jahat itu kini menyamar sebagai Pangeran Cheng Lin. Karena Han Lin tidak memegang bukti diri, yaitu Suling Pusaka Kemala maka dia belum dapat menyatakan dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin yang sejati! Sian Eng yang cerdik itu segera dapat menduga akan tetapi ia diam saja. "Lalu bagaimana, Lin-ko?" Ketika menyebut Lin-ko kali ini, lidahnya terlalu kaku karena ia menyadari sepenuhnya bahwa yang dipanggilnya itu adalah seorang pangeran.

"Kemarin malam terjadinya malapetaka itu di taman istana.

Aku dituduh berniat jahat terhadap para pangeran, bahkan Pangeran Cheng Lin menyerang dan menuduh aku hendak membunuh pargeran-pangeran di istana. Aku ditangkap dan hendak dibunuh, akan tetapi aku dibela oleh Pangeran Mahkota Cheng Hwa sehingga oleh Sri Baginda Kaisar aku dijatuhi hukuman dua puluh kali cambukan, oleh algojo aku dicambuk dan tentu saja aku dapat melindungi tubuhku dengan kekebalan. Akan tetapi baru delapan belas kali, cambuk itu diminta oleh Pangeran cheng Lin dan aku dicambuk dua kali olehnya. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tenaga sin-kangnya besar sehingga cambukan dua kali itu membuat aku terluka berat. Aku lalu diusir dari istana bahkan diharuskan keluar kota raja."

"Betapa kejam dan jahatnya dia !!" Sian Eng berseru

marah sekali terhadap Ki Seng. "Hemm, kalau aku bertemu lagi dengan dia, pasti akan kuhancurkan kepalanya!"

"Siapa yang kau maksudkan, Eng-moi?" "Pangeran Cheng Lin, siapa lagi?"

"Hemm, dia itu lihai bukan main Eng-moi." "Lalu bagaimana? Lanjutkan ceritara Lin-ko."

"Keluar dari pintu gerbang dalam keadaan terluka parah aku bertemu dengan adik Tan Kiok Hwa."

"Hemm, sungguh kebetulan sekali" kata Sian Eng, suaranya terdengar aneh

"Memang kebetulan sekali, Eng-moi, Agaknya Tuhan memang menghendaki agar aku tetap hidup. Hwa-moi mengobatiku sehingga lukaku agak mendingan, Akan tetapi muncul dua orang itu, Toa Ok dan Suma Kiang. Entah bagaimana mereka dapat mengejarku dan hendak membunuhku. Hwa-moi dan aku terdesak hebat dan kami berdua tentu mati kalau engkau tidak muncul dan menolong kami. Nah, begitulah ceritaku, Eng-moi. Sekarang ceritakanlah bagaimana engkau secara kebetulan dapat muncul menolongku".

"Ceritaku juga panjang, Lin-ko. Aku tinggal di rumah Paman Lo Kang. Engkau lihat Cheng Kun, putera Pangeran Cheng Boan yang menjadi tunangan enci Lo Siang Kui itu, bukan? Nah, telah lama Cheng Kun tidak datang berkunjung sehingga enci Siang Kui menjadi gelisah.

kemudian ia pergi berkunjung ke istana pangeran Cheng Boan, menemui Cheng Kun. Dan apa yang ia dapatkan dan alami di sana sungguh hebat, Lin-ko. Ternyata di rumah Pangeran Cheng Boan itu terdapat Suma Kiang, Toa Ok, dan Sian Hwa Sian-Ii yang menjadi pengawal-pengawal pribadi. Juga Pangeran Cheng Lin yang jahat itu agaknya menjadi komplotan mereka yang berkumpul di rumah pangeran Cheng Boan. Dan kau tahu apa yang dialami enci Siang Kui di sana? Ia dijebak oleh Cheng Kun yang dibantu Sian Hwa Sian-li, diberi minum anggur yang sudah diberi racun sehingga ia terjatuh ke tangan Cheng Kun dan dinodai tunangannya sendiri."

"Hemm, sudah kuduga bahwa dia bukan manusia baik-baik. Jadi engkau sudah bertemu pula dengan Pangeran Cheng Lin yang menjatuhkan fitnah kepadaku itu Eng-moi?"

"Bukan saja bertemu, Lin-ko. Bahkan pernah dia ikut mengeroyokku."

"Bagaimana terjadinya itu?" Han Lil berseru kaget. "Dengar sajalah, jangan tergesa-gesa, Nanti juga ceritaku

akan sampai ke bagian itu. Sampai di mana ceritaku tadi? Oya, enci Kui telah menjadi korban kebiadapan Cheng Kun. Ia pulang dan menceritakan kepadaku apa yang terjadi. Cheng Kun yang berjanji akan datang dalam waktu seminggu, sampai sepuluh hari tak kunjung datang untuk menentukan hari pernikahan. Enci Siang Kui gelisah dan aku marah sekali.

Malam itu aku diam-diam mendatangi istana Pangeran Cheng Boan!"

"Aku dapat membayangkan itu. Engkau tentu marah sekali, Eng-moi."

"Ya, aku dapat temukan Cheng Kui dan aku mengancamnya, memaksanya untuk segera menikahi enci Siang Kui. akan tetapi tiba-tiba muncul Sian Hwa Sian Li dan kami bertanding. Aku dapat mendesaknya akan tetapi lalu muncul Toa Ok, Suma Kiang dan juga Pangeran cheng Lin yang merobohkan aku dengan tendangan. Toa Ok hendak membunuhku, akan tetapi Suma Kiang mencegah karena mengenal gerakanku dan merenggut topeng yang kupakai. Karena maklum pada saat itu aku tidak berdaya, maka aku pura-pura gembira bertemu dengan dia, kusebut dia ayah. Aku dimaafkan dan Cheng Kun berjanji akan menikahi Siang Kui sebagai selirnya. Akan tetapi sebelum hal itu terjadi, Cheng Kun dibunuh seorang gadis yang juga menjadi korbannya. Gadis itu kemudian dibunuh oleh pangeran Cheng Lin yang kebetulan malam itu berada di sana. Malam itu juga sebetulnya aku hendak membunuh Suma Kiang, akan tetapi gagal karena yang lain datang mengeroyok. Aku masih dapat meloloskan diri dari sana dan melarikan diri keluar dari kota raja. Karena aku tahu bahwa aku tentu menjadi orang buruan mereka dan akan tidak aman berada di kota raja. maka aku lalu berkeliaran di luar kota raja sampai aku melihat engkau dikeroyok oleh Suma Kiang dan Toa Ok tadi. Nah, begitulah pengalamanku, Lin-ko." Sian Eng sengaja tidak mau bercerita bahwa ia telah mendengar akan persekutuan Pangeran Cheng Boan dengan Pangeran Cheng Lin palsu dan bahwa ia tahu pula siapa Han Lin sebenarnya, yaitu Pangeran Cheng Lin yang aseli. Pada saat itu Kiok Hwa pulang dari berbelanja. Melihat dua orang itu bercakap-cakap, Kiok Hwa menegur. "Lin ko engkau tidak boleh banyak bicara, engkau perlu beristirahat untuk memulihkan tenagamu. Kita masih belum terbebas dari ancaman bahaya. Bagaimana kalau orang orang jahat datang dan tenagamu masih belum pulih? Dan engkau, adik Eng, Jangan mengajak Lin-ko banyak bicara!"

Sian Eng tertawa, apalagi melihat Han Lin segera duduk bersila dan memejamkan kedua matanya kembali, begitu patuh kepada Kiok Hwa.

"Habis, aku rindu sekali padanya, enci Kiok Hwa!" Lalu ia turun dan memeriksa barang belanjaan Kiok Hwa.

"Uhh! kenapa hanya ikan asin dan daging kering saja yang kau beli, enci Hwa? Kenapa tidak membeli beberapa ekor ayam? bosan dong setiap hari makan ikan asin dan daging kering melulu!"

"Ain, Eng-moi. Memangnya kita ini sedang pesiar? Yang enak-enak saja yang kau bayangkan!"

"Habis, kalau tidak membayangkan yang enak-enak, apakah hidup yang sekali saja harus membayangkan yang tidak enak melulu?"

"Ih, engkau memang nakal!" kata Kiok hwa yang mau tidak mau harus tersenyum juga. Senyum yang menutupi perasaan dalam hatinya. Ia merasakan benar dalam tatapan Sian Eng tadi betapa besar rasa kasih dalam hati gadis itu terhadap Han Lin. Ia harus mengalah. Demi kebahagiaan mereka. Mereka memang cocok. Sama para pendekar yang gagah perkasa.

ooo00d0w00ooo

Ketika Toa Ok dan Suma Kiang melapor kepada Pangeran Cheng Boan tentang kegagalan mereka membunuh Han Lin karena dihalangi oleh Sian Eng, pangeran Cheng Boan menjadi marah sekali. "Semua ini gara-gara engkau, Suma Sicu! Kalau engkau tidak melindungi gadis liar itu, tentu sekarang kita telah dapat membunuh Pangeran Cheng Lin yang aseli."

Pangeran Cheng Boan berjalan hilir mudik dalam ruangan itu, wajahnya muram dan pandang matanya penuh kekecewaan dan kemarahan. "Sekarang, bagaimana baiknya? Selama dia masih berkeliaran, semua rencana kita terancam menjadi berantakan!"

^od0wo^
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar