Suling Pusaka Kemala Jilid 21

Jilid XXI

CIN BU merasa penasaran sekali ketika tubuhnya terpental, seolah dia bertemu dengan dinding yang amat kuat. Dia segera menyerang lagi dan tangannya yang membentuk paruh burung itu menotok ke arah bagian tubuh yang berbahaya karena sekali ini dia hendak menebus kekalahan adiknya agar nama besar Hek-tiauw Bu-koan terangkat lagi.

Akan tetapi, ke manapun dia menyerang, dia selalu memukul angin kosong belaka atau pukulannya itu ditangkis dan selalu tangannya terpental dan seluruh lengannya tergetar hebat. Setelah belasan jurus dia menyerang tanpa hasil dan lawan hanya mengelak atau menangkis saja tanpa balas menyerang dia merasa dipandang rendah sekali.

"Balaslah menyerang kalau engkau mampu!" tantangnya. "Hi-hik, sayang kalau sampai melukaimu, pemuda gagah!"

Sam Ok tertawa dan tiba-tiba secepat kilat tangannya menyambar dan telapak tangan yang halus dan hangat itu mengelus pipi Cin Bu. Pemuda ini terkejut sekali karena kalau wanita itu menghendaki, tentu saja pipinya bukan hanya dielus, melainkan dipukul atau ditampar.

Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi kini Cin Bu merasa menjadi permainan wanita itu. Pipinya dielus, dagunya diusap, bahkan kadang pahanya dicubit dan pinggulnya ditepuk.

Wajahnya berubah merah sekali karena dia belum dapat menyentuh tubuh lawan dengan semua serangannya, sebaliknya kalau lawannya itu menghendaki, tentu sejak tadi dia sudah roboh, terluka berat bahkan mungkin sekali tewas!

Dia merasa penasaran sekali dan sambil menggigit bibir sendiri dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu silatnya, bahkan menyerang dengan membabi buta. Anehnya, semua serangannya yang dahsyat itu tidak pernah dapat menyentuh tubuh lawan. Tiba-tiba Sam Ok mengeluarkan suara tawa kecil dan begitu jari-jari tangannya menyambar, Cin Bu merasa betapa semua tenaganya lenyap, tubuhnya lemas dan dia tidak kuat berdiri lagi dan ambruk berlutut di depan lawannya itu! Secara cepat sekali sehingga sukar diikuti pandangan mata, ternyata Sam Ok telah berhasil mempergunakan tiam-hiat-to (menotok jalan darah) membuat tubuh pemuda itu lumpuh dan lemas. Melihat Cin Bu berlutut di depannya, sambil tersenyum lebar Sam Ok membungkuk dan kedua tangannya memegang kedua pundak pemuda itu sambil berkata lembut namun nyaring sehingga terdengar semua orang yang hadir di situ.

"Ah, pemuda gagah, tidak perlu menghormatiku dengan berlutut seperti ini!"

Jari-jari tangan yang mungil itu menyentuh pundak dan seketika Cin Bu bergerak lagi. Dia segera bangkit berdiri. Mukanya menjadi merah sekali dan sambil menundukkan mukanya dia melangkah kembali ke tempat duduknya. Semua orang melihat betapa dia sudah jatuh berlutut. Dia sudah kalah, hal ini harus ia sadari dan akui. Wanita itu terlalu kuat, terlalu tangguh baginya. Dia tahu benar bahwa kalau wanita itu menghendaki, dia dapat tewas dalam perkelahian tadi.

Dia dapat menduga bahwa dia jatuh berlutut tadi karena totokan yang ampuh sekali. Dia dan adiknya telah dikalahkan dengan mudah oleh wanita itu dan hal ini benar-benar merupakan pukulan hebat bagi hatinya yang penuh kecongkakan, yang biasanya terlalu memandang tinggi kepada diri dan kemampuannya sendiri.

Lo Kang yang menyaksikan betapa kedua orang anaknya itu kalah dengan amat mudahnya oleh tamu wanita itu, menjadi merah sekali mukanya. Dari kekalahan kedua orang anaknya tadi diapun sudah dapat mengukur kepandaian wanita bernama Ciu Leng Ci itu. Dari kekalahan dua orang anaknya yang amat mudah itu tadi saja diapun sudah maklum bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi wanita itu. Dia teringat ketika wanita tadi memperkenalkan diri. Namanya Ciu Leng Ci dan katanya ia bukan tamu undangan, melainkan datang ikut bersama Phoa Li Seng.

Dia mengenal Phoa Li Seng sebagai Ji Ok, datuk yang amat lihai. Tiba-tiba dia teringat. Jangan-jangan wanita ini adalah Sam Ok, rekan dari Ji Ok yang juga amat terkenal memiliki ilmu silat yang amat hebat! Dengan memberanikan diri Lo Kang bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi dia tidak menghampiri wanita itu, melainkan menegur dari bagian atas di mana dia duduk dan menghadap ke arah Sam Ok yang berdiri di atas panggung.

"Ciu-toanio (Nyonya Besar Ciu), engkau datang bersama Phoa-locianpwe yang berjuluk Ji Ok. Apakah engkau yang berjuluk Sam Ok?"

Sam Ok tersenyum, senyum yang mengandung ejekan. "Lo-busu (guru silat Lo), aku tidak ingin menggunakan nama julukanku untuk menakut-nakuti orang. Dua orang anakmu sudah membuktikan bahwa ilmu silat mereka masih amat rendah, tepat seperti yang kukatakan tadi. Kalau engkau

setuju dengan penilaianku tadi, akuilah akan kerendahan mutu Ilmu silat dari Hek-tiauw Bu-koan. Akan tetapi kalau engkau menyangkal, engkau dapat mempertahankan kehebatan ilmu silatmu itu dariku!"

Lo Kang menjadi penasaran sekali, hiarpun dia sudah dapat memaklumi bahwa dia tidak akan mampu menandingi wanita itu, namun kalau dia membiarkan orang meremehkan ilmu silat dari perguruannya, namanya akan jatuh dan takkan ada lagi orang mau berguru kepadanya. Karena itu dia menjadi nekad dan dia melangkah maju hendak menghampiri Sam Ok dengan alis berkerut dan sinar mata memancarkan api kemarahan.

Akan tetapi sebelum dia tiba di tengah panggung, tiba-tiba tampak bayangan merah muda berkelebat dan Sian Eng sudah melompat dari bagian bawah ke tengah panggung, menghadang Lo Kang.

"Toapek, harap toapek jangan turun tangan sendiri memberi hajaran kepada wanita sombong itu. Toapek adalah tuan rumah yang sedang mengadakan pesta perayaan.

Sebaiknya aku sajalah yang akan maju mewakili toapek menghadapi perempuan sombong ini!" Lo Kang terkejut dan memandang kepada keponakan yang baru saja ditemuinya itu dengan alis berkerut. "Lawan itu lihai sekali. Engkau hanya anak dari mendiang Lo Kiat, adikku yang sasterawan lemah itu. Apa yang akan dapat kaulakukan untuk menandinginya?"

Cin Bu dan Siang Kui juga sudah bangkit dari tempat duduk mereka dan menghampiri Sian Eng. "Hei, engkau ini anak kecil hendak ikut-ikutan! Lancang benar hendak mewakili ayah kami!" bentak Lo Siang Kui.

"Adik kecil, mundurlah dan jangan mencari perkara. Kalau engkau maju melawannya dan terpukul mati, engkau hanya membikin malu kami dan merepotkan saja!"

Sian Eng yang pada dasarnya berwatak keras, tersenyum mengejek dan berkata kepada mereka bertiga, "Hemm, kalian lihat saja nanti!" Setelah berkata demikian, tanpa memperdulikan mereka bertiga ia sudah melompat ke depan Sam Ok. Ia menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah hidung wanita itu dan membentak dengan . suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

"Heii, Sam Ok iblis betina yang jahat dan busuk! Aku Lo Sian Eng menantangmu bertanding, beranikah engkau melawan aku?"

Tantangan yang sekaligus memaki dan meremehkannya ini tentu saja membuat Sam Ok marah sekali. Wajahnya menjadi merah, sepasang matanya menyinarkan api. Ia tadi sudah mendengar cegahan Lo Kang dan dua anaknya terhadap gadis yang menantangnya ini.

"Bocah gila! Engkau tidak tahu disayang keluargamu dan nekat hendak melawanku. Apakah engkau sudah bosan hidup? Kalau sudah bosan, biarlah aku akan mengantar nyawamu ke alam baka!" "Sam Ok, bukan aku yang akan mati, melainkan engkau yang akan mampus di tanganku untuk menebus semua dosamu yang bertumpuk-tumpuk!" kata Sian Eng.

Sam Ok tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Bocah setan, mampuslah!" teriaknya dan ia sudah menerjang maju, sekali ini tidak seperti ketika ia melawan Siang Kui dan Cin Bu. Kalau tadi ia hanya ingin mengalahkan mereka tanpa membunuh, bahkan setelah memukul Siang Kui juga langsung memberi obat penawar, akan tetapi sekarang, begitu ia menyerang, ia telah mengerahkan tenaga sin-kangnya yang beracun dari jari telunjuk tangan kirinya meluncur untuk mengirim totokan maut dengan ilmu Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun). Hebat bukan main totokannya itu karena kalau mengenai sasaran, pasti lawan akan tewas seketika!

Sian Eng yang pernah bertanding melawan Sam Ok, mengenal serangan ini dan iapun tidak mau mengalah atau memperlihatkan kelemahannya. Ia tidak mengelak, melainkan maju dan menyambut serangan totokan jari itu dengan ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)! Ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun ini tidak kalah dahsyatnya dibandingkan Ban-tok-ci yang dipergunakan Sam Ok.

"Dukkk!!" Dua lengan itu bertemu di udara dan akibatnya tubuh Sam Ok terdorong mundur sampai lima langkah, sedangkan Sian Eng hanya mundur dua langkah.

Bukan main kagetnya Sam Ok ketika merasa betapa lengan lawan yang menangkisnya itu sedemikian kuatnya dan mengandung hawa yang tidak kalah panasnya dengan hawa pukulannya sendiri! Ia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa gadis muda yang cantik jelita ini bukan lain adalah pemuda tampan bernama Eng-ji yang pernah menjadi lawan ketiga Sam-ok menemani Han Lin dan Pek I Yok Sian-li Tan Kiok Hwa! Ia menjadi penasaran dan semakin marah. Sambil berteriak nyaring ia sudah menerjang lagi dan menghujankan serangan maut.

Siang Eng memperlihatkan kegesitan-nya. Ia mengelak atau menangkis lalu membalas dengan tidak kalah dahsyatnya sehingga kedua orang wanita itu sudah terlibat dalam perkelahian yang amat dahsyat dan mati-matian. Bahkan orang-orang di sekitar panggung itu dapat merasakan hawa pukulan panas yang menyambar-nyambar!

Melihat jalannya pertandingan ini, Lo Kang terkejut dan heran, juga girang dan timbul harapan dalam hatinya agar keponakannya itu dapat memenangkan pertandingan dan mengembalikan kehormatan dan nama besar Hek-tiauw Bu- koan. Saking tegang dan gembiranya, Lo Kang bangkit berdiri dari kursinya dan menonton sambil berdiri.

Lo Cin Bu dan Lo Siang Kui juga bangkit berdiri dan menonton dengan kedua mata terbelalak. Mereka berdua juga merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang lebih dari itu, mereka merasa malu sekali mengingat betapa tadi mereka bersikap angkuh dan memandang rendah kepada adik sepupu yang baru saja datang itu. Wajah mereka menjadi merah sekali, akan tetapi merekapun menonton dengan hati tegang dan penuh harapan agar saudara sepupu itu dapat membalaskan kekalahan mereka.

Tiga puluh jurus telah lewat dan pertandingan itu semakin dahsyat dan seru. Sudah beberapa kali tubuh Sam Ok terpental dan terhuyung ketika lengan mereka saling beradu. Tiba-tiba Sian Eng mengubah gerakannya dan kini ia bersilat dengan ilmu Pek-lek Ciang-hoat (Silat tangan Kosong Halilintar)! Sam Ok terkejut sekali. dan sebelum ia dapat menghindarkan diri, pundaknya terkena dorong in tangan kiri Sian Eng.

"Plakk!" Tubuh Sam Ok terpelanting dan terguling-guling di atas papan panggung. Wanita itu melompat bangun, pundak kanannya terasa nyeri, akan tetapi ia memaksakan diri untuk mencabut pedang Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam) dari punggungnya. Akan tetapi sebelum pedang tercabut, sesosok bayangan berkelebat di dekatnya.

"Sam Ok, mundurlah. Aku akan melawan gadis ini!" Ternyata orang itu adalah Ji Ok. Sam Ok yang merasa pundak kanannya nyeri sehingga lengan kanannya juga kurang leluasa untuk bermain pedang, maklum bahwa kalau melawan terus ia pasti kalah. Maka melihat kemunculan Ji Ok, hatinya merasa girang dan diapun cepat melompat turun dari atas panggung, tidak lagi duduk di bagian atas melainkan mencari tempat kosong di bagian bawah panggung.

Sian Eng menghadapi Ji Ok dengan hati panas. Tentu saja ia mengenal baik datuk ini, orang yang amat dibencinya karena Ji Ok inilah orangnya yang pernah menguasai dan mempengaruhi ibu Han Lin dengan sihir, kemudian bahkan pisau terbang iblis ini pula yang telah menewaskan ibu Han Lin.

Sejak tadi Ji Ok memperhatikan gadis yang bertanding melawan Sam Ok ini dan dia merasa kagum bukein main. Bukan hanya kagum oleh kecantikan Sian Eng, akan tetapi juga amat kagum melihat betapa lihainya gadis itu sehingga mampu mendesak dan mengalahkan Sam Ok!

Dia telah kehilangan Chai Li dan kalau ada penggantinya, agaknya gadis inilah yang pantas menjadi pengganti Chai Li, untuk menjadi pembantu dan juga kekasih atau isterinya!

Kalau gadis ini dapat menjadi isterinya, keadaannya akan menjadi kuat sekali dan dia bahkan tidak takut terhadap Toa Ok atau musuh yang manapun! Maka, begitu berhadapan dengan Sian Eng, Ji Ok diam-diam mengerahkan daya sihirnya untuk mempengaruhi gadis itu.

Sama sekali dia tidak menduga bahwa gadis itu amat benci kepadanya. Sian Eng memang sedang berusaha untuk menekan perasaannya yang dilanda kebencian yang amat sangat. Bukan saja karena Ji Ok telah membunuh ibu Han Lin, walaupun tidak sengaja, melainkan juga karena dara ini teringat betapa Thian-te Sam-ok adalah pembunuh-pembunuh dari kakek-uwa gurunya yang juga menjadi gurunya yang ke dua, yaitu mendiang Hwa Hwa Cinjin.

"Lo Sian Eng, engkau masih begini muda namun sudah memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Engkau pantas kalau menjadi seorang sahabat baikku, dan aku akan mengajarkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepadamu. Untuk itu, aku perintahkan kamu untuk berlutut memberi hormat kepadaku!" Ji Ok mengerahkan daya sihirnya dan mulutnya berkemak- kemik membaca mantera. Dia sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu telah mempelajari ilmu sihir dari mendiang Hwa Hwa Cinjin sehingga begitu ada kekuatan sihir menyerangnya, Sian Eng segera mengetahuinya! Cepat gadis inipun mengerahkan kekuatan sihirnya dan sepasang matanya yang tajam menatap wajah Ji Ok, dipusatkan di antara kedua alis laki-laki itu dan sinar matanya seolah menembus daerah itu dan mulutnya mengeluarkan seruan yang menggetar.

"Siapa yang berlutut? Engkau atau aku? Engkaulah yang berlutut, Ji Ok!"

Ji Ok sama sekali tidak mengira akan mendapat serangan yang membuat daya sihirnya membalik dan menghantam dirinya sendiri. Tanpa dapat dicegah lagi ke dua kakinya bertekuk lutut! Setelah berlutut barulah dia menyadari keadaannya dan dengan pengerahan sin-kang dia dapat memulihkan kesadarannya dan dia sudah melompat berdiri. Wajahnya menjadi merah sekali, merah karena malu dan juga marah. Kini dia mengamati wajah gadis itu dengan tajam penuh selidik dan tiba-tiba teringat olehnya bahwa dia pernah bertemu dengan gadis ini! Gadis ini pandai ilmu sihir pula!

Benar, dia ingat sekarang. Gadis ini adalah gadis yang dulu membantu Hwa Hwa Cinjin ketika dia dan dua orang rekannya, yaitu Toa Ok dan Sam Ok, menyerang kakek sakti itu! "Kau..... kau murid Hwa Hwa Cinjin!" serunya marah,

akan tetapi dia tidak berani memandang rendah lagi dan cepat dia melolos senjatanya yang ampuh, yaitu sehelai sabuk sutera putih.

Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat dan Han Lin sudah berdiri di samping Sian Eng. "Eng-moi, mundurlah dan biarkan aku sendiri yang menghadapi jahanam busuk ini!"

Sian Eng tersenyum dan melompat turun dari atas panggung. Ketika Ji Ok melihat Han Lin, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat sekali. Dia tahu betapa lihainya pemuda ini tahu pula bahwa putera Chai Li pasti tidak akan mau melepaskannya, dan akan membunuhnya untuk membalaskan ibunya. Maka, menggunakan kesempatan selagi Han Lin belum siap, dia langsung saja menggerakkan sabuk sutera putihnya yang meluncur dan ujungnya menyambar ke arah leher Han Lin dalam serangan maut yang amat berbahaya! Han Lin maklum akan datangnya bahaya maut.

Dia menggerakkan tubuhnya, melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan sabuk sutera putih itu. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Ji Ok untuk melompat jauh turun dari atas panggung dan melarikan diri, mengejar Sam Ok yang sudah melarikan diri terlebih dahulu ketika wanita itu melihat munculnya Han Lin di situ!

"Lin-ko, mari kita kejar!" Sian Eng berseru dan gadis ini lalu berlari cepat keluar dari tempat itu untuk mengejar Sam Ok dan Ji Ok. Han Lin juga mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk mengejar.

Keadaan di tempat pesta menjadi gempar. Akan tetapi Lo Kang dapat menenangkan suasana dan pesta dilanjutkan.

Semua orang membicarakan tentang gadis dan pemuda itu yang dapat membuat dua orang datuk besar seperti Sam Ok dan Ji Ok melarikan diri ketakutan! Sementara itu, Lo Kang dan dua orang anaknya, Lo Cin Bu dan Lo Siang Kui, juga membicarakan Sian Eng yang diluar dugaan mereka sama sekali ternyata merupakan seorang gadis yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Cheng Kun, putera Pangeran Cheng Boan yang menjadi tunangan Siang Kui, juga menyatakan kekagumannya, bahkan dia berkata dengan sungguh-sungguh kepada Siang Kui.

"Kalau aku melaporkan kepandaian adik sepupumu Lo Sian Eng itu kepada ayahku, tentu ayah mau memanfaatkan kepandaiannya dan mau mengangkatnya menjadi pengawal atau penjaga keselamatan keluarga kami."

Mendengar ini, Siang Kui cemberut dan mengerling manja. "Engkau yang akan kesenangan mendapatkan seorang pengawal yang cantik!"

Putera pangeran itu tertawa sehingga matanya yang sipit itu menjadi semakin sipit sehingga nyaris terpejam. "Ha-ha- ha, agaknya engkau cemburu, kasihku?"

Akan tetapi Sian Kui hanya cemberut dan matanya mengerling marah.

"Baiklah, kalau begitu aku berjanji tidak akan melaporkan kepada ayahku. Nah, aku sudah berjanji, engkau puas, bukan? Senyumlah agar wajahmu menjadi tambah manis." Ucapan bernada rayuan itu dikeluarkan oleh putera pangeran itu begitu saja di depan calon ayah ibu mertuanya dan di depan banyak orang tanpa sungkan-sungkan. Mendengar ini, Siang Kui mengerling lagi, akan tetapi kini mulutnya yang berbentuk manis itu tidak cemberut lagi, melainkan tersenyum.

Pesta dilanjutkan dan suasana menjadi gembira lagi.

Sekarang para tamu kehormatan yang duduk di bagian atas menghujani Lo Kang dengan pertanyaan tentang keponakan perempuan yang amat lihai itu.

"Ah, ia adalah Lo Siang Eng, keponakanku." kata Lo Kang dengan nada bangga. "Ayahnya bernama Lo Kiat dan dia itu adikku yang menjadi seorang sasterawan. Akan tetapi kini adikku itu dan isterinya telah meninggal dunia sehingga Sian Eng menjadi yatim piatu dan tentu saja ia akan ikut dengan kami."

Pesta dilanjutkan dan diam-diam, dalam hati mereka, keluarga Lo itu bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan Sian Eng dan Han Lin yang tadi melakukan pengejaran terhadap Sam Ok dan Ji Ok.

Sam Ok harus mengerahkan seluruh tenaganya agar ia tidak tertinggal oleh Ji Ok. Wanita itu masih merasa pundaknya agak sakit dan hal ini membuat larinya agak terganggu. Setelah mereka berlari cepat sampai di lereng sebuah bukit yang sunyi, Ji Ok tidak sabar lagi.

"Sam Ok, terpaksa aku akan meninggalkan engkau di sini.

Kita berpisah saja dan mengambil jalan masing-masing."

"Akan tetapi, Ji Ok. Bagaimana kalau pemuda setan itu melakukan pengejaran? Kalau kita berdua tentu akan lebih kuat untuk melawannya." bantak Sam Ok.

"Justeru karena ada kemungkinan dia melakukan pengejaran, maka kita harus berpisah. Kalau kita berpisah, tentu seorang di antara kita akan lolos dari pengejarannya. Kuharapkan saja aku yang akan lolos itu!" kata Ji Ok yang sudah akan meninggalkan rekannya itu. Akan tetapi tiba-tiba dua orang datuk sesat itu terkejut setengah mati ketika terdengar suara orang di belakang mereka.

"Kalian berdua tidak akan dapat lolos dari tangan kami!" Mereka berdua memutar tubuh dan melihat Han Lin dan

Sian Eng sudah berdiri di situ. Melarikan diri agaknya tidak

mungkin lagi karena mereka tentu akan dikejar dan tersusul. Mereka berdua terpaksa menghadapi dua orang lawan muda yang mereka takuti itu.

"Lo Sian Eng, di antara kita tidak ada permusuhan apapun. Kenapa engkau mendesak aku?" tanya Sam Ok dengan suara mengandung penasaran. Sian Eng tersenyum mengejek. "Sam Ok, engkau katakan tidak ada permusuhan apapun antara kita? Hemm, kesalahanmu kepadaku sudah bertumpuk-tumpuk, dan sebesar Gunung Thai-san! Pertama, engkau dan dua orang rekanmu, telah menyerang guruku Hwa Hwa Cinjin dan mengakibatkan kematiannya. Ke dua, kalian bertiga pernah menawan aku bersama kakak Han Lin dan enci Tan Kiok Hwa, nyaris membunuh kami. Dan kau bilang tidak ada urusan di antara kita? baru mengingat akan kejahatanmu yang amat keji itu saja sudah cukup bagiku untuk memusuhimu dan membunuhmu!"

"Menawanmu? Ketika kami menawan Han Lin dan Kiok Hwa, engkau tidak ikut kami tawan. Yang ada hanya seorang pemuda yang ahh, kiranya engkaukah pemuda bernama

Eng-ji itu?" seru Sam Ok yang ingat akan persamaan wajah antara Sian Eng dan pemuda bernama Eng-ji itu.

Sian Eng tersenyum. "Engkau sudah tahu sekarang dan bersiaplah untuk memasuki neraka!" Sian Eng menggerakkan tangan kanannya ke pundak dan sebatang pedang bersinar hijau telah berada di tangannya. Itu adalah Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) pemberian ayahnya! yang kini menjadi musuh besarnya, yaitu Suma Kiang.

Melihat ini, biarpun hatinya merasai gentar, Sam Ok juga mencabut Hek-kong kiam (Pedang Sinar Hitam), melintangkan pedang bersinar hitam itu di depan dada dan berseru, "Engkaulah yang akani mampus di ujung pedangku, bocah sombong!"

"Sambut seranganku!" Sian Eng berteriak lantang dan sinar hijau menyambar dahsyat ke arah dada Sam Ok. Datuk wanita inipun menggerakkan pedangnya menangkis.

"Tranggg   !!" Tampak bunga api berpijar dan kedua

orang wanjta itu melangkah ke belakang untuk memeriksa pedang masing-masing. Pedang mereka tidak rusak dan Sian Eng sudah menerjang lagi, mengirim serangan bertubi-tubi. Sam Ok mengelak dan menangkis, juga membalas setiap terdapat kesempatan sehingga kedua orang wanita ini sudah bertanding dengan serunya. Pedang di tangan mereka lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar hijau dan sinar hitam yang bergulung-gulung bagaikan dua ekor naga yang berlaga di angkasa.

Sementara itu, Ji Ok yang merasa gentar terhadap Han Lin, mencoba untuk meloloskan diri dengan membujuk pemuda itu. "Han Lin, ingatlah bahwa aku dan ibumu saling mencinta. Aku mencinta ibumu dengan segenap jiwa ragaku. Apakah engkau tidak dapat membiarkan aku pergi?"

Sinar mata Han Lin mencorong ketika dia memandang kepada laki-laki berusia enam puluh tahun yang masih tampan dan gagah itu. Teringat akan nasib dan kematian ibunya,- sinar matanya mengandung api kemarahan. "Ji Ok, ibuku tidak pernah mencintaimu. Akan tetapi engkau telah menguasainya dengan sihir! Bahkan pisau-pisaumulah yang telah merenggut nyawanya! Kau masih berani menyangkal kenyataan itu?"

"Tapi aku tidak sengaja. Dan ingat, aku pernah menyelamatkan ibumu dari bahaya maut ketika ia terjungkal ke dalam jurang! Ia berhutang nyawa kepadaku dan kami saling mencinta!"

"Ji Ok, tidak perlu engkau membujuk aku! Sebagai anggauta Thian-te Sam-ok, kejahatanmu sudah melewati takaran. Aku tidak mungkin dapat melepaskanmu.

Sambutlah!" Han Lin sudah menerjang dengan Im-yang-kiam karena sekali ini dia memang sudah mengambil keputusan untuk menewaskan datuk yang amat jahat ini.

Ji Ok juga melolos sabuk suteranya, mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat antara kedua orang ini dan untuk membela diri dan mempertahankan nyawanya, Ji Ok mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya untuk melawan Han Lin. Pertandingan antara Sian Eng dan Sam Ok juga berlangsung amat seru dan mati-matian. Sian Eng yang sekali ini tidak mau membiarkan lawannya lolos, sudah memainkan pedang hijaunya dengan Coa-tok Sin-kiam-sut (Ilmu Pedang Sakti Racun Ular) dan selain serangan pedang di tangan kanan yang amat berbahaya, juga tangan kirinya menyelingi serangan pedang dengan pukulan Toat-beng Tok-lung yang tidak kalah ampuhnya! Diserang dengan pedang dan pukulan beracun yang ampuh itu, Sam Ok menjadi kewalahan.

Memang iapun menyambut serangan itu dengan pedangnya di tangan kanan dan tangan kirinya juga menyerang dengan

Ban-tok-ci yang merupakan totokan jari telunjuk yang dapat mematikan, namun ia kalah cepat dan segera terdesak hebat dan lebih banyak mengelak dan menangkis dan menyerang.

"Hyaaaatt !!" Pedang itu berubah menjadi sinar hijau

yang meluncur cepat sekali, menusuk ke arah muka Sam Ok, di antara kedua matanya. Datuk sesat ini terkejut sekali karena sinar hijau itu cepat bukan main, seperti kilat menyambar. Ia miringkan kepalanya ke kiri sambil melangkah mundur, akan tetapi sinar pedang hijau itu mendadak sudah membalik dan mengejarnya dengan sabetan ke arah pinggang. Sabetan pedang ini dilakukan Sian Eng dengan pengerahan tenaga sin-kang sepenuhnya. Sam Ok menangkis dengan pedang hitamnya.

"Tranggg !" Bunga api berpijar dan sekali ini Sam Ok

merasa betapa beratnya menangkis pedang hijau itu sehingga ia terhuyung. Dalam keadaan terhuyung itu, Sian Eng sudah melangkah maju dan mengirim pukulan tangan kirinya dengan Toat-beng Tok-ciang ( Tangan Beracun Pencabut Nyawa).

Sam Ok tidak sempat mengelak dan terpaksa ia menyambut pukulan telapak tangan itu dengan tangan kiri pula sambil mengerahkan ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun). "Plakk !!" Tubuh Sam Ok terpelanting. Sebelum ia sempat

bangkit, sinar pedang hijau menyambar dan meluncur masuk, menusuk lambungnya.

"Capp !" pedang itu menusuk sampai dalam dan cepat

dicabut kembali oleh Sian Eng. Tubuh Sam Ok terguling dua kali lalu rebah menelungkup, tak bergerak lagi. Darah mengucur dari luka di lambungnya.

Sian Eng menghampiri tubuh Sam Ok yang sudah tidak bergerak itu untuk memeriksa apakah benar lawannya telah tewas. Pada saat ia membungkuk untuk memeriksa keadaan tubuh lawan, tiba-tiba saja pedang sinar hitam mencuat dan meluncur ke arah dadanya! Serangan ini tiba-tiba sekali. Akan tetapi baiknya Sian Eng sudah waspada.

Ia memang masih sangsi apakah lawannya benar-benar sudah tewas maka ia bersikap hati-hati sekali ketika menghampiri dan membungkuk tadi. Ia sudah siap siaga dengan pedang di tangan, maka ketika tiba-tiba ada sinar hitam menyambar ke arah dadanya, Sian Eng cepat menggerakkan pedangnya menangkis.

"Tranggg !!" Bunga cipi berpijar lagi dan Sian Eng cepat

mengayun tangan kirinya menampar ke arah kepala Sam Ok yang kini sudah membalik dan menengadah.

"Plakkkk!" Pelipis Sam Ok kena ditampar tangan kiri Sian Eng. Kepala itu terkulai dan muka itu berubah menjadi hitam. Sam Ok benar-benar tewas sekali ini. Andaikata tidak disusul tamparan dengan ilmu Toat-beng Tok-ciang sekalipun, ia pasti akan tewas karena pedang Ceng-liong-kiam tadi telah menembus lumbungnya.

Dengan pedang masih di tangan dan namun kewaspadaan Sian Eng kini berdiri dari jauh mayat Sam Ok dan menonton ke arah pertandingan antara Han Lin dan Ji Ok. Ia tidak mau mengeroyok karena selain hal ini dapat merendahkan kekasihnya itu, juga ia yakin bahwa Han Lin tidak akan kalah. Ia hanya waspada untuk berjaga-jaga, kalau-kalau muncul Toa nk, orang pertama Thian-te Sam-ok itu.

Ji Ok yang sudah jerih itu selain terdesak oleh Han Lin. Akan tetapi karena tahu bahwa pemuda itu tidak akan tnau mengampuninya dan nyawanya terancam maut, maka Ji Ok melawan sekuat tenaga. Sabuk sutera putihnya berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung, merupakan perisai yang amat kokoh kuat dan ketat melindungi dirinya dari sambaran sinar pedang di tangan Han Lin.

Ketika kembali pedang Im-yang Pek-liong-kiam menyambar dengan dahsyatnya, Ji Ok tidak berani menangkis dengan sabuknya karena ujung sabuk itu sudah dua kali putus terbabat pedang. Dia melempar diri ke belakang dan bergulingan. Ketika bergulingan inilah dia melihat Sam Ok yang sudah tewas. Hatinya menjadi semakin ketakutan.

Sambil bergulingan dia mencabut pisau-pisau terbangnya dan melemparkan ketiga batang pisau itu berturut-turut ke arah Han Lin.

Melihat sinar-sinar menyambar ke arahnya itu, Han Lin menangkis dua kali dengan pedangnya sehingga dua batang pisau terbang itu terpukul runtuh, akan tetapi pisau ke tiga disambar oleh tangan kiri Han Lin. Ji Ok mempergunakan kesempatan itu untuk melompat berdiri dan melarikan diri secepatnya. Akan tetapi, Han Lin yang sudah mempunyai niat ketika menangkap pisau ke tiga tadi untuk membunuh Ji Ok seperti ketika ibunya tewas oleh pisau Ji Ok, cepat menyambitkan pisau itu ke arah tubuh lawan yang mencoba untuk melarikan diri itu. Dia mengarahkan sambitannya ke leher Ji Ok.

"Wuuuutt..... ceppp I!" Pisau itu dengan tepat sekali

mengenai tengkuk Ji Ok sampai tembus ke leher! Ji Ok Phoa Li Seng tidak mampu mengeluarkan teriakan lagi dan tubuhnya roboh, berkelojotan sejenak lalu diam, pisau masih menancap di lehernya yang mengucurkan darah! Melihat lawannya sudah tewas, Han Lin masih berdiri seperti patung. Dia teringat akan ibunya dan semua penderitaan ibunya. Masih ada dua orang lagi yang harus dia mintai pertanggunganjawanan atas kesengsaraan ibunya.

Pertama adalah Suma Kiang yang membuat ibunya hidup penuh kesengsaraan. Dia harus membunuh Suma Kiang! Dan kedua adalah Kaisar Cheng Tung, ayah kandungnya sendiri. Dia harus bertemu dengan ayah kandungnya itu dan menegurnya dengan keras karena ayah kandungnya telah me- nyia-nyiakan ibunya dan dia, meninggalkan ibunya dalam keadaan mengandung dan sama sekali tidak memperdulikannya lagi! Teringat kepada ibunya, Han Lin berdiri menundukkan mukanya dengan hati yang sedih sekali. Dia membayangkan keadaan ibunya yang penuh kesengsaraan itu. Lalu dia memandang kepada mayat Ji Ok.

Dia tahu bahwa Ji Ok mencinta ibunya. Kalau saja ibunya ketika itu mencinta Ji Ok dengan wajar, tentu dia tidak akan membunuh Ji Ok yang pernah menyelamatkan ibunya dari kematian ketika terjatuh ke dalam jurang. Akan tetapi ibunya tidak mencinta Ji Ok, melainkan berada dalam pengaruh sihir sehingga ibunya mirip boneka hidup yang menuruti segala perintah Ji Ok! Kemudian, pisau Ji Ok yang membunuh ibunya, walaupun hal itu dilakukan tidak dengan sengaja. Hatinya puas telah dapat membunuh Ji Ok, karena bagaimanapun juga, Ji Ok adalah seorang datuk sesat yang amat jahat dan sudah sepatutnya kalau disingkirkan dari dunia di mana dia hanya akan menyusahkan orang-orang lain dengan perbuatannya yang jahat.

Dia dapat menduga bahwa tentu sudah tak terhitung banyaknya orang-orang tak berdosa yang tewas di tangan Ji Ok, maka sebagai seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, sudah sepatutnya dia membunuh datuk sesat itu.

"Lin-ko....! Engkau kenapakah ?" Sian Eng bertanya sambil memegang lengan pemuda itu dan mengguncangnya. Han Lin mengangkat muka memandang gadis itu lalu menghela napas panjang.

"Aku tidak apa-apa, Eng-moi. Kulihat engkau telah berhasil menewaskan Sam Ok. Sukurlah."

"Kita telah berhasil menewaskan Ji Ok dan Sam Ok. Hatiku puas, Lin-ko. Sekarang kita tinggal mencari Toa Ok dan Suma Kiang. Dua orang jahanam busuk itu harus dapat kita musnahkan!" kata gadis itu penuh semangat. "Sekarang mari kita kembali ke rumah toa-pek (Uwa) Lo Kang, karena mereka tentu sedang menanti-nanti kita."

"Nanti dulu, Eng-moi." kata Han Lin sambil menunjuk ke arah mayat Ji Ok dan Sam Ok.

"Hemm, apakah engkau hendak mengambil pedang hitam itu?" tanya Siang Eng sambil mengerutkan alisnya.

"Tidak, Eng-moi. Aku hendak mengubur dua jenazah itu lebih dulu."

"Ah, untuk apa? Untuk apa mengubur jenazah dua orang iblis jahat itu?" cela Sian Eng.

Han Lin menatap wajah dara itu dengan pandang mata tajam dan suaranya terdengar tegas ketika dia berkata, "Eng- moi, engkau tidak boleh berkata demikian. Ketika mereka masih hidup, mereka memang Ji Ok dan Sam Ok, dua orang yang amat jahat dan sudah selayaknya kalau kita menentang mereka. Akan tetapi sekarang mereka bukan orang-orang jahat lagi, melainkan dua sosok jenazah yang tidak berdaya. 5udah sepatutnya kita menghormatinya dan mengurus sebagaimana mestinya. Sebagai manusia-manusia yang berakal sehat kita tidak mungkin meninggalkan dua jenazah itu terkapar di sini lalu membusuk dan mengotori udara di sekitarnya. Aku harus mengubur dulu kedua jenazah itu, Eng- moi. Kalau engkau hendak kembali dulu ke rumah keluarga Lo, silakan. Aku akan menyusul nanti." "Heii, engkau marah, Lin-ko? Kalau itu kehendak dan keputusanmu, tentu saja akupun suka membantumu mengubur dua jenazah itu!" kata Sian Eng.

Han Lin dapat tersenyum lagi melihat betapa Sian Eng dengan penuh semangat membantunya menggali lubang, menggunakan pisau-pisau yang tadi disambitkan Ji Ok kepada Han Lin namun dapat ditangkisnya. Tentu amat sulit menggali lubang untuk mengubur jenazah hanya menggunakan pisau- pisau. Akan tetapi karena dua orang itu memiliki tenaga sin- kang yang kuat, akhirnya mereka dapat juga menggali sebuah lubang yang cukup besar. Mereka lalu mengangkat dan merebahkan dua jenazah itu berjajar dalam satu lubang, kemudian menimbuni lubang itu dengan tanah sampai menjadi segunduk tanah.

Setelah selesai, matahari telah naik tinggi dan mereka berdua lalu membersih kan kedua tangan di sebuah anak sungai, kemudian mereka pergi kembali ke kota raja dan langsung menuju ke rumah keluarga Lo.

Ketika mereka berdua tiba di rumah Lo Kang, ternyata pesta itu telah bubaran. Semua tamu telah meninggalkan tempat itu. Akan tetapi Lo Kang, isterinya, dan dua orang anaknya menyambut kedatangan Sian Eng dengan gembira sekali!

"Silakan kalian berdua masuk dan mari kita duduk dan bicara di dalam!" kata Lo Kang.

"Adik Sian Eng, engkau ternyata hebat sekali! Engkau harus mengajarkan ilmu silat tinggi kepadaku!" kata Siang Kui sambil menggandeng tangan Sian Eng dengan akrabnya. Sikap keluarga itu berubah sepenuhnya sekarang. Mereka sama sekali tidak angkuh lagi terhadap dua orang muda itu, bahkan ramah dan memuji-muji.

Begitu mereka memasuki ruangan dalam dan duduk mengitari sebuah meja bundar, pelayan berdatangan membawa hidangan. Lo Kang sendiri yang menyuguhkan arak secawan kepada Sian Eng dan Han Lin.

"Mari kita minum sebagai ucapan selamat datang kepada keponakanku Lo Sian Eng dan ananda Han Lin yang menjadi sahabat baiknya!" katanya dan semua orang minum secawan arak. Kemudian, dengan ramahnya Lo Kang dan isterinya lalu menawarkan hidangan itu kepada Sian Eng dan Han Lin. Dua orang mud inipun makan minum bersama keluarga Lo.

"Bagaimana hasil kalian mengejar Ji Ok dan Sam Ok tadi, Sian Eng?" tanya Lo Kang kepada keponakannya sambil memandang wajah gadis itu dengan senyum penuh kagum.

"Kami telah berhasil membunuh dua orang datuk sesat yang jahat itu, toapek. kami lalu menguburkan dua jenazah itu lebih dulu, maka kami agak terlambat datang."

Keluarga itu menjadi terkejut sekali mendengar ini, "Kalian telah membunuh Ji Ok dan Sam Ok? Ahhh !" kata Lo Kang

sambil membelalakkan matanya memandang kepada dua orang itu. Dia terkejut sekali dan juga heran. Terkejut bahwa keponakannya dan sahabatnya itu telah membunuh dua orang datuk besar dan hal ini pasti akan menggegerkan dunia kang- ouw. Dan dia heran bagaimana keponakannya yang masih amat muda dan wanita pula itu bersama sahabatnya yang juga masih muda, mampu membunuh dua orang datuk sesat yang sakti itu.

"Kenapa, toa-pek?" tanya Sian Eng ambil menatap tajam wajah uwanya.

"Ah, tidak apa-apa, aku hanya heran dan terkejut.

Bagaimana kalian dapat membunuh dua orang datuk besar yang sakti itu? Dan kalau hal ini terdengar oleh kawan-kawan mereka, apakah tidak akan membahayakan kalian berdua?"

"Aku sama sekali tidak takut, toapek! Kalau ada yang menuntut balas atas kematian Ji Ok dan Sam Ok, dia akan kuhadapi dan akan kubasmi semua orang jahat yang mengotorkan dunia! Sam Ok dan Ji Ok itu jahat sekali, dan kalau Toa Ok sebagai orang pertama dari Thi-an-te Sam-ok itu datang, akan kuhadapi dia!" kata Sian Eng dengan sikap gagah. Lo Kang dan dua orang anaknya saling pandang.

Mereka merasa amat kagum, akan tetapi juga khawatir.

"Sian Eng, aku sungguh merasa heran sekali dan tidak mengerti bagaimana engkau dapat memiliki ilmu silat setinggi itu. Padahal ayahmu, setahuku adalah seorang kutu buku, seorang sastrawar yang lemah, bahkan sekarang sudah meninggal dunia dalam usia muda, juga ibumu. Bagaimana engkau dapat memilik kepandaian seperti ini? Siapa gurumu?"

Sian Eng masih ingat akan sikap angkuh keluarga ayahnya ini, maka ia tidak ingin menceritakan tentang kematian ayah dan ibunya yang mengenaskan "Ayah dan ibu meninggal dunia selagi aku masih kecil, berusia tiga tahun. Semenjak itu, aku dipungut oleh guruku yang mengajarkan semua ilmu silat ini kepadaku."

"Ah, gurumu tentu seorang yang amat sakti. Siapakah dia, Sian Eng?" tanya Lo kang dengan ingin tahu sekali.

Sian Eng tidak mau mengakui Suma Kiang sebagai gurunya lagi, maka ia menjawab tanpa menyebut nama gurunya yang pertama dan yang merupakan orang yang memeliharanya sejak kecil itu. "Guru saya adalah mendiang Hwa Hwa Cin-jin yang tinggal di puncak Ekor Naga di pergunungan Cin-ling- san."

"Hwa Hwa Cinjin? Belum pernah aku mendengar nama itu.

Dia telah meninggal dunia?"

"Benar, toapek, meninggal dalam usia tua dan karena sakit sebagai akibat pengeroyokan Thian-te Sam-ok. Karena itulah maka aku dan Lin-ko ini membunuh Ji Ok dan Sam Ok!"

Lo Kang mengangguk-angguk. "Engkau hebat, Sian Eng. Kami senang sekali dapat menerima sebagai keluarga dekat kami. Engkau masih semarga dengan kami, puteri adik kandungku sendiri. Karena engkau sekarang sudah yatim piatu, maka sudah sepantasnyalah kalau engkau tinggal bersama kami. Engkau akan kami anggap sebagai anakku sendiri dan engkau dapat membimbing kedua kakakmu Cin Bu dan Siang Kui untuk memperdalam ilmu-ilmu silat mereka."

"Eng-moi (adik Eng), tinggallah di sini bersama kami." kata Cin Bu dengan senyum ramah.

"Tentu saja! Engkau harus tinggal bersama kami, Eng-moi!

Engkau adalah adikku sendiri, kita dapat berlatih bersama. Oya, aku sudah bertunangan, Eng moi dan tak lama lagi akan menikah. Engkau sudah melihat tunanganku, bukan?" kata Siang Kui.

"Benar, Siang Eng. Akupun akan senang sekali kalau engkau suka menjadi anggauta keluarga kami dan tinggal di sini." kata pula Nyonya Lo Kang.

Melihat keramahan mereka, hati Sia Eng merasa terhibur juga. Agaknya ia salah kira. Mereka itu ternyata tidak seangkuh yang ia sangka. Ia memandang Siang Kui sambil tersenyum.

"Aku sudah melihat tunanganmu, enci Siang Kui. Bukankah dia putera pangeran itu?" katanya.

"Benar dia! Bagaimana pendapatmu tentang dia? Cukup baik dan cocok untuk menjadi suamiku, bukan?" tanya pula Siang Kui dengan sikap terbuka sekali.

Sian Eng tersenyum lebar, timbul kegembiraannya melihat sikap yang terbuka dan polos dari Siang Kui itu. "Hemm, menurut penglihatanku, dia cukup gagah dan berwibawa, cukup cocok untuk menjadi jodohmu, enci Kui."

Semua orang tertawa gembira mendengar jawaban ini dan Siang Kui lalu mendekati Sian Eng dan merangkulnya. "Terima kasih, adik Eng. Dan bagaimana dengan engkau sendiri?

Apakah engkau sudah mendapatkan jodoh?" Sambil berkata demikian, Siang Kui mengerling ke arah Han Lin yang hanya menundukkan muka

"Ah, belum !" kata Sian Eng lirih.

"Tunangan juga belum?"

Sian Eng menggeleng kepalanya, menahan senyum. "Akan tetapi tentu sudah memiliki pilihan hati, bukan?

Kulihat saudara Han Lin ini. "

Han Lin terkejut dan cepat dia bangkit berdiri sambil memberi hormat.

"Saya dan nona Lo Sian Eng adalah sahabat-sahabat baik yang sudah melebihi saudara sendiri. Eng-moi, engkau telah dapat bertemu dengan keluargamu dan diterima dengan baik. Oleh karena itu, perkenankan aku pergi melanjutkan perjalananku."

"Akan tetapi bukankah tujuan perjalananmu ke kota raja, Lin-ko? Dan sekarang kita sudah tiba di kota raja!" bantah Sian Eng yang sebetulnya tidak ingin berpisah dari pemuda itu.

"Benar, Eng-moi. Akupun tidak akan pergi dari kota raja karena tujuanku memang ke sini. Akan tetapi banyak hal yang harus kukerjakan. Karena itu, biarlah engkau tinggal di sini bersama keluargamu dan aku akan menyelesaikan urusanku."

"Akan tetapi, kalau engkau dapat bertemu dengan Toa Ok atau Suma Kiang, harap kau kabarkan kepadaku, Lin-ko. Aku akan selalu merasa penasaran kalau tidak dapat merobohkan mereka dengan tanganku sendiri. Engkaupun membutuhkan bantuanku, Lin-ko. Mereka adalah orang-orang berbahaya."

Untuk melegakan hati Sian Eng, Han Lin berkata, "Baiklah, Eng-moi. Aku akan mengabarkan kepadamu kalau aku bertemu dengan mereka." Dia lalu bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Lo Kang. "Paman Lo Kang, terima kasih atas penerimaan keluarga paman kepada saya dengan ramah sekali. Mudah-mudahan sahabat baik saya adik Lo Sian Eng akan dapat hidup berbahagia dengan paman kalian di sini. Selamat tinggal!"

"Jaga dirimu baik-baik, Lin-ko!" kata Sian Eng dan suaranya terdengar agak menggetar.

"Engkau juga, jaga dirimu baik-baik, Eng-moi." kata Han Lin dengan setulus hatinya. Dia sungguh amat menyayang gadis itu dan dia tahu betapa besar cinta kasih gadis itu kepadanya. Dia tahu bahwa kalau di sana tidak ada Tan Kiok Hwa yang telah menjatuhkan hatinya, kiranya akan mudah sekali baginya untuk jatuh cinta kepada Lo Sian Eng.

Sekeluarga itu mengantar Han Lin sampai keluar pekarangan rumah itu. Setelah Han Lin pergi dan lenyap di sebuah tikungan jalan, Sian Eng masih berdiri termenung di situ, merasa kehilangan sekali, seolah semangatnya ikut terbang mendampingi Han Lin.

Siang Kui merangkul pundaknya. "Mari kita kembali ke dalam, Eng-moi."

Sian Eng menghela napas panjang dan menyadari keadaannya, lalu ia ikut masuk bersama keluarga itu.

Sepasang orang muda yang memasuki pintu gerbang kota raja sebelah selatan itu tampak serasi. Pemudanya berusia kurang lebih dua puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya tampan, sepasang matanya yang tajam itu membayangkan kecerdikan, senyumnya sinis seolah selalu mengejek apa yang dilihatnya. Gadis pasangannya itu lebih menarik hati. Melihat wajah dan bentuk badan nya, iapun kelihatan masih muda sekali, tidak lebih dari dua puluh tahun. Wajahnya cantik jelita, mata dan mulutnya indah menggairahkan, akan tetapi pada mata dan mulut itu tampak kegenitan, terutama matanya dengan kerling-kerling yang tajam memikat. Bibirnya juga selalu tersenyum menantang. Pakaiannya indah dan mewah, dan gadis ini membawa sebuah payung yang digambari beraneka warna dengan dasar warna merah sehingga ketika payung itu melindungi wajahnya dari sinar matahari, timbul warna kemerahan yang membuat wajahnya tampak semakin menarik.

Mereka itu bukan lain adalah Ouw Ki Seng dan Sian Hwa Sian-li. Seperti telah kita ketahui, kedua orang ini melakukan perjalanan bersama ke kota raja. Ouw Ki Seng pergi ke kota raja dengan niat hendak memperkenalkan diri kepada Kaisar Cheng Tung sebagai Cheng Lin, putera kaisar itu. Sian Hwa Sian-li. yang sudah menjadi sahabat baik, juga kekasihnya itu menemaninya sehingga perjalanan itu seolah merupakan perjalanan bulan madu bagi mereka berdua. Hubungan mereka semakin lekat dan mesra.

"Sianli, kita telah tiba di kota raja. Ah, betapa indah dan megahnya bangunan bangunan itu!" kata Ki Seng sambil memandang ke kanan kiri dengan kagum.

Belum pernah dia datang ke kota raja sebelumnya dan dia amat kagum akai kemegahan kota raja.

Sian Hwa Sian-li yang sudah pernah beberapa kali berkunjung ke kota raja tersenyum melihat kekaguman Ki Seng "Tunggu sampai engkau melibat istana kaisar, tentu engkau akan menjadi semakin kagum." katanya.

"Sebaiknya kita lebih dulu mencari sebuah kamar di rumah penginapan, dan kita berunding apa yang harus kulakukan selanjutnya, Eh alangkah cantik jelitanya gadis itu..,.!" Ki

Seng memandang ke arah kiri dari mana datang seorang gadis. Memang sungguh luar biasa cantik jelita dan menariknya gadis yang melenggang dengan tenang itu. Usianya kurang lebih sembilan belas tahun. Wajahnya cantik jelita dan manis sekali. Kulit muka, leher, dan tangannya tampak putih dan agak kemerahan tanda sehat. Pakaiannya terbuat dari sutera putih yang bersih sekali. Sepatunya berwarna hitam, Ki Seng seperti terpesona memandangnya. Sepasang mata gadis itu mengingatkan dia akan mata burung Hong dalam gambar, hidungnya kecil mancung dan mulutnya amat indah dengan bibir yang merah basah dan selalu tersenyum ramah, sinar matanya juga lembut sekali dan penuh pengertian. Gadis itu membawa sebuah buntalan kuning di punggungnya. Seorang gadis yang luar biasa cantiknya, mengingatkan Ki Seng akan patung Kwan Im Posat yang pernah dilihatnya dalam sebuah kuil!

Sian Hwa Sian-li juga sudah melihat gadis berpakaian putih itu dan iapun harus mengakui bahwa gadis itu memang cantik bukan main.

"Hemm, engkau tergila-gila kepadanya?" tanyanya lirih, tanpa rasa cemburu. Kedua orang ini memang sudah bersepakat bahwa hubungan mereka tidak ada ikatan apapun dan masing-masing bebas untuk bersenang-senang dengan pasangan lain. Itu pula sebabnya maka Sian Hwa Sian-li tidak cemburu kepada Ciang Mei Ling, bahkan membantu Ki Seng mendapatkan gadis itu.

"Ah, ia manis sekali. Sian-li, tolonglah aku mendapatkannya. Aku akan merasa berbahagia sekali dan berterima kasih sekali kepadamu kalau aku bisa mendapatkan gadis itu!" kata Ki Seng penuh gairah.

Mereka melihat betapa gadis berpakaian putih itu memasuki sebuah toko obat besar.

"Kita cari kamar dulu. Itu ada sebuah rumah penginapan. Mari kita mencari kamar di sana, baru kita atur bagaimana untuk mendapatkan gadis itu. Jangat khawatir, aku akan membantumu sampai berhasil." Mereka berdua lalu pergi ke rumah penginapan An Lok yang berdiri di seberang jalan, tak jauh dari rumah obat itu. Cepat mereka memesan sebuah kamar pada pengurus rumah penginapan dan mendapatkan sebuah kamar nomor sebelas. Setelah mendapatkan kamar, mereka berdua lalu keluar lagi dan menuju ke rumah obat.

"Kau tunggu saja di luar, biar aku yang akan menyelidiki keadaannya." kata Sian Hwa Sian-li. Ki Seng mengangguk dan dia menanti di luar, membiarkan Sian Hwa Sian-li masuk sendiri ke rumah obat yang besar itu.

Gadis berpakaian putih yang cantik jelita itu adalah Tan Kiok Hwa yang berjuluk Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat berbaju Putih). Karena ia kehabisan beberapa macam obat penting yang selalu dibawanya sebagai bekal untuk menolong orang kalau sewaktu-waktu dibutuhkan, maka melihat toko obat besar itu, ia lalu masuk melihat-lihat.

Ketika Sian Hwa Sian-li memasuki toko obat itu, ia pura- pura melihat-lihat dan mendekati Kiok Hwa yang sedang memesan beberapa macam obat kepada pelayan toko. Kiok Hwa menyebutkan beberapa macam obat dengan lancar dan bahkan memberi keterangan obat macam apa yang ia perlukan. Pelayan toko obat Itu memandang heran.

"Wah, nona begitu hafal dan lancar menyebutkan obat-obat yang langka dan jarang dikenal orang. Bagaimana nona dapat mengenal semua nama obat-obat itu?" tanya pelayan toko obat sambil sibuk mengambilkan obat-obat yang dipesan Kiok Hwa.

Kiok Hwa tersenyum, manis sekali "Aku memang biasa mengobati orang orang yang sakit, maka aku mengenal banyak macam obat."

"Aih, kiranya nona seorang tabib yang pandai?" pelayan itu berseru penuh kagum. Orang masih begini muda, wanita lagi, ternyata seorang tabib yang pandai.

"Ah, bukan tabib pandai, akan tetap kalau ada orang sakit yang membutuhkan pertolongan, setiap saat aku siap sedia untuk mencoba mengobatinya." kata Kiok Hwa. Mendengar percakapan itu, cepat Sia Hwa Sian-li keluar dari toko obat.

"Ki Seng, ternyata ia seorang ahli pengobatan. Cepat engkau kembali ke kamar kita di rumah penginapan. Aku akan memancingnya ke sana untuk mengobatimu. Engkau boleh berpura-pura sakit berat."

"Hemm, aku memang sakit berat,Sian-li. Sakit rindu "

"Hushh, sudahlah, cepat sana. Aku akan membujuknya agar mau mengobatimu."

Ki Seng bergegas menuju ke rumah penginapan An Lok, memasuki kamarnya dan menunggu di situ dengan hati berdebar penuh harapan. Dia sudah membayangkan betapa akan senangnya dapat memeluk gadis berpakaian putih yang amat cantik jelita itu.

Sian Hwa Sian-li masuk kembali ke dalam toko obat dan begitu memasuki toko obat, ia menangis terisak-isak, air matanya bercucuran dan diusapnya dengan tangannya.

Melihat seorang wanita cantik masuk sambil menangis, hal ini tentu saja menarik perhatian pelayan toko obat. Segera dia menghampiri wanita yang menangis itu dan bertanya.

"Nona, engkau kenapakah? .Mengapa rngkau menangis di sini?"

Sambil terisak Sian Hwa Sian-li berkata, berdirinya dekat gadis berpakaian putih tadi. "Aku aku bingung sekali.

Adikku terserang penyakit keras, entah mengapa dia

pingsan..... badannya panas. aku ingin membeli obat, akan

tetapi tidak tahu obat apa yang harus kubeli " Ia menangis

lagi.

"Wah, kebetulan sekali. Nona ini adalah seorang tabib pandai, engkau dapat minta tolong kepadanya!" kata pelayan toko itu sambil menuding ke arah Kiok Hwa. Mendengar ini, Sian Hwa Sian-li lalu maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kiok Hwa. "Tolonglah, tolong-lah adikku yang sakit berat!" katanya memohon.

Kiok Hwa memegang kedua pundak Sian Hwa Sian-li dan menariknya bangkit.

"Bangunlah, enci, tidak perlu engkau berlutut seperti ini. Aku pasti akan suka menolong adikmu yang sakit. Di mana dia?"

"Kami adalah pendatang dari luar kota dan kini kami tinggal di rumah penginapan, tak jauh dari sini." kata Sian Hwa Sian- li.

Kiok Hwa lalu membayar harga obat-obat yang dibelinya, memasukkan bungkusan obat-obat ke dalam buntalan di gendongannya, kemudian ia keluar dari toko obat mengikuti Sian Hwa Sian-li.

Setibanya di luar kamar di mana Ki Seng menanti, Sian-li bicara cukup lantang kepada Kiok Hwa. "Mendadak saja wajahnya menjadi pucat, tubuhnya panas dan jatuh pingsan. Aku khawatir sekali dia terserang penyakit yang berbahaya, nona. Tolonglah sembuhkan dia!"

Ki Seng yang berada dalam kamar itu tentu saja mendengar ucapan ini yang memang dilakukan Sian Hwa Sian-li agar terdengar olehnya. Ki Seng cepat merebahkan diri terlentang di atas pembaringan.

"Tenanglah, enci. Setelah memeriksanya dan menentukan bagaimana keadaannya dan apa penyakitnya, mudah- mudahan aku dapat mengobati dan menyembuhkannya." kata Kiok Hwa sambil mengikuti Sian Hwa Sian-li yang membuka pintu dan memasuki kamar itu.

"Nah, itu dia, nona. Lihat, dia begitu pucat dan napasnya memburu. Dia masih pingsan...... ahhh !" kata Sian Hwa Sian-li, dalam hatinya merasa geli melihat Ki Seng yang berpura-pura pingsan.

Kiok Hwa menarik sebuah kursi didekatkan dengan pembaringan. Ia melihat seorang pemuda tampan gagah telentang di atas pembaringan, wajahnya pucat sekali, napasnya terengah dan sepert orang tidur atau tak sadar. Ia lalu duduk di atas kursi dekat pembaringan, kemudian memegang pergelangan tangan kiri Ki Seng untuk merasakan denyut nadinya Ia mengerutkan alisnya, meraba leher dan dahi, kemudian tersenyum, wajahnya keheranan. Ia tahu benar bahwa pemuda itu hanya pura-pura saja pingsan.

Wajah pucat, napas memburu dan tubuh panas itu hanya buatan, dilakukan dengan pengerahan sin-kang. Ia tahu bahwa pemuda ini seorang ahli sin-kang (tenaga sakti) yang sedang mempermainkannya.

Kiok Hwa bangkit berdiri dan menghampiri buntalannya yang tadi ia turunkan dari punggung dan ia letakkan di atas meja. "Enci, adikmu ini tidak sakit apa-apa, jangan kau khawatir. Dia akan sembuh dengan sendirinya tanpa obat."

Sian Hwa Sian-li dan Ki Seng terkejut dan kagum mendengar ucapan itu. Tahulah mereka bahwa gadis cantik jelita berpakaian putih ini benar-benar seorang yang ahli dalam pengobatan. Sian Hwa Sian-li pura-pura heran.

"Akan tetapi dia pingsan "

"Jangan khawatir, mungkin dia lelah atau bermain-main saja." kata pula Kiok Hwa. "Dia tidak memerlukan bantuanku."

Sian Hwa Sian-li cepat menghampiri meja dan menuangkan air teh dari poci ke dalam cangkir yang memang sudah dipersiapkan Ki Seng sejak tadi.

"Nona, sebelum engkau pergi, terimalah suguhanku ini.

Hanya inilah yang dapat kami berikan sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan hatimu!" Ia memberikan cangkir yang diisi setengahnya dengan air teh itu kepada Kiok Hwa. Kiok Hwa tersenyum dan ia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari dalam buntalan pakaiannya, membuka bungkusan itu, barulah ia menerima secangkir air teh. Dituangkannya sedikit bubuk putih dari bungkusan itu dalam air teh.

"Terima kasih." katanya lalu diminumnya air teh itu sampai habis.

Setelah minum air teh dan meletakkan cangkir kosong itu ke atas meja Kiok Hwa memejamkan matanya dan agak terhuyung ia duduk di atas kursinya kembali, matanya tetap terpejam dan ia duduk tegak di atas kursi. Melihat ini, Sian Hwa Sian-li dan Ki Seng menjadi girang. Obat perangsang milik Sian Hwa Sian-li yang dicampurkan dalam air teh itu biasanya manjur sekali dan mereka menduga bahwa Kiok Hwa tentu mulai terpengaruh.

Sambil tersenyum kepada Ki Seng yang sudah membuka kedua matanya, Sian Hwa Sian-li mengangguk lalui bangkit berdiri dan keluar dari kamar itu, menutupkan kembali daun pintu kamar dari luar. Ia hendak memberi kesempatan kepada Ki Seng untuk berdua saja dengan calon korban itu.

Melihat dia sudah tinggal berdua saja dengan gadis jelita itu Ki Seng lalu bangkit duduk dan memandang kepada Kiok Hwa. Gadis ini masih duduk di atas kursi, kedua tangannya diletakkan di atas meja di depannya dan kedua matanya masih terpejam, sepasang pipinya kemerahan.

Ki Seng menduga bahwa tentu gadis itu sudah mulai terpengaruh obat perangsang. Karena ketika dia mempergunakannya untuk menundukkan Ciang Mei Ling, gadis itupun segera saja terpengaruh dan terangsang. Dia lalu turun dari pembaringan, duduk di atas kursi dekat Kiok Hwa dan tangannya bergerak hendak memegang tangan Kiok Hwa yang berada di atas meja.

Akan tetapi pegangannya itu luput. Dengan cepat sekali Kiok Hwa sudah menarik kedua tangannya dari atas meja ketika hendak ditangkap. Ketika Ki Seng memandang, ternyata Kiok Hwa sudah membuka kedua matanya dan memandang kepadanya dengan sinar mata tajam.

"Sobat, engkau sama sekali tidak sakit. Jangan mencoba- coba untuk mempermainkan aku. Engkau hanya berpura- pura." kata Kiok Hwa dengan suara mengandung nada teguran.

Ki Seng yang mengira gadis itu sudah terpengaruh obat perangsang, tersenyum. "Nona yang cantik, aku memang sakit, benar-benar sakit. Aku menderita sakit rindu kepadamu, aku tergila-gila kepada mu, begitu melihatmu, aku langsung jatuh cinta! Marilah, manisku, engkaupu cinta padaku, bukan?" Ki Seng meraih dengan tangannya untuk merangkul, akan tetapi gadis itu telah bangkit dan mengelak mundur sehingga tangan itu meraih tempat kosong. Kiok Hwa menggendong lagi buntalannya di belakang punggung.

"Tidak, aku tidak cinta padamu. Kita baru saja bertemu, aku tidak mengenalmu. Sungguh tidak sopan bicara tentang cinta!"

-00dw00kz00-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar