Jilid XIV
PARA PENGHUNI kamar losmen yang lain bubaran setelah ternyata tidak terjadi apa-apa, meninggalkan Han lin dan Eng- ji yang masih berada di kamar itu.
"Ke mana perginya Kiok-moi?" tanya Han Lin kepada diri sendiri dan dia memeriksa keadaan kamar itu dengan teliti. Buntalan pakaian Kiok Hwa masih berada di kamar itu. Akan tetapi dia melihat bangku yang pecah menjadi dua potong bekas terbabat pedang dan dia memeriksa bangku itu.
"Agaknya terjadi penyerangan di sini." katanya dan Eng-ji diam saja karena bangku itu tadi dia yang membacoknya sehingga menjadi pecah.
"Jangan-jangan enci Kiok Hwa telah berlari keluar melalui jendela." katanya penuh harap. "Ah, lihatlah ini!" Han Lin menghampiri dinding di mana tertancap sebatang belati. dan terdapat sehelai kertas berisi tulisan di pisau itu. Han Lin mencabut pisau itu dan melemparkan pisau ke atas meja setelah mengambil suratnya. Kertas itu mengandung tulisan yang singkat.
"Kalau ingin gadis itu dibebaskan, antarkan Im-yang-kiam ke Bukit Perahu."
"Jahanam!" Han Lin mengepal tinjunya. "Thian-te Sam-ok keparat!"
Eng-ji mengambil surat itu dari tangan Han Lin dan membacanya.
"Hemm, tentu Sam Ok yang telah menawan enci Kiok Hwa dan membawanya ke sarang Pek-lian-kauw. Sayang tadi keadaannya gelap sekali sehingga aku tidak dapat melihat apa-apa. Akan tetapi aku telah berhasil memukul roboh seorang di antara mereka. Pukulanku itui keras sekali, aku yakin orang yang kupukul tentu akan mampus!"
"Keparat Toa Ok!" kembali Han Lin memaki. "Agaknya dia masih belum mau berhenti sebelum mendapatkan Im-yang- kiam. Berkali-kali dia mengajak teman-temannya untuk menyerangku dan merampas Im-yang-kiam dan sekarang dia menggunakan cara yang amat curang, menculik Kiok-moi."
"Sekarang apa yang akan kaulakukan, Lin-ko?"
"Tentu saja menyusul ke Bukit Perahu! Bukan hanya untuk membebaskan Kiok-moi, akan tetapi juga untuk membebaskan ibuku."
"Akan tetapi sekarang mereka telah mengetahui bahwa kita akan datang. Tentu mereka telah bersiap-siap dan keadaan itu berbahaya sekali, Lin-ko. Mereka itu kuat sekali, apalagi ditambah dengan para tosu Pek-lian-kauw."
"Aku tidak takut!" kata Han Lin. "Aku juga tidak takut. Akan tetapi yang penting adalah bagaimana membebaskan enci Kiok Hwa -dan ibumu agar tidak sampai gagal."
"Toa Ok menghendaki Im-yang-kiam. Kalau perlu aku akan menukar Im-yang-kiam dengan pembebasan Kiok-moi dan ibuku."
"Aku masih khawatir, Lin-ko. Mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang curang dan licik. Aku khawatir mereka akan menggunakan kecurangan untuk menjebak kita."
"Aku harus berani menghadapi resika itu, Eng-ji. Kalau engkau khawatir, sudalah jangan engkau ikut. Biar aku sendiri yang menghadapi bahaya. Aku merasa tidak enak sekali kalau engkau sampai tertimpa bahaya karena membantuku membebaskan Kiok-moi dan ibuku." kata Han Lin dengan suara bersungguh-sungguh.
Eng-ji marah sekali. "Begitukah pendapatmu, Lin-ko?
Engkau sama sekali tidak menghargai bantuan dan kesungguhan hatiku membantumu! Apa engkau hanya dapat menghargai enci Kiok Hwa saja?"
Han Lin terkejut dan memandang tajam kepada Eng-ji. Dia tadi sudah menyalakan lilin di atas meja sehingga dapat menentang pandang mata Eng-ji dengatl jelas. Mata pemuda remaja itu tampak berapi-api, penuh kemarahan.
"Apa apa maksudmu, Eng-ji?"
Eng-ji membanting kaki kanannya keatas lantai. "Sudahlah, kalau engkau tidak suka melakukan perjalanan bersama-ku, biar aku seorang diri pergi ke Bukit Perahu untuk membebaskan enci Kiok Hwa!" Setelah berkata demikian Eng- ji memutar tubuhnya dan bergegas kembali ke dalam kamarnya.
Tak lama kemudian Han Lin menyusul memasuki kamar. Dia melihat Eng-ji sudah rebah miring menghadap ke dinding di atas pembaringan dan dia merasa menyesal sekali telah membuat marah sahabat baiknya yang selama ini ramah baik dan setia kepadanya itu. Dia duduk di tepi pembaringan dan menghela napas panjang.
"Adik Eng-ji, aku minta maaf kepadamu. Bukan aku tidak menghargai bantuan mu, sama sekali tidak. Aku hanya mengkhawatirkan kalau akan terjadi apa-apa denganmu.
Maafkan aku dan biarlah kita melakukan perjalanan bersama ke Bukit Perahu. Kalau mereka tidak mau membebaskan Kiok- moi dan ibuku, kita berdua akan mengobrak-abrik sarang mereka dan akan membasmi mereka!"
Eng-ji membalikkan tubuhnya dan Han Lin merasa heran sekali melihat mata dan pipi pemuda remaja itu basah. Eng ji menangis! Sungguh sulit dia membayangkan hal ini. Pemuda yang demikian penuh keberanian, Jenaka cekatan nakal, Menangis!
"Aku hanya ingin membantu, Lin-ko." katanya dengan suara parau.
Han Lin merasa terharu. Pemuda remaja ini sungguh amat baik terhadap dirinya. Biarpun dia putera Suma Kiang yang dibencinya dan merupakan musuh besar ibunya, namun Eng-ji ternyata seorang pemuda yang baik hati dan gagah. Sungguh jauh bedanya dibandingkan ayahnya yang seperti manusia iblis itu.
"Aku terima bantuanmu, adik Eng ji dan aku akan selalu berterima kasih dan bersukur atas bantuanmu yang amat berharga itu."
Malam itu Han Lin tidak tidur melainkan duduk bersila dan bersamadhi di atas pembaringannya sendiri. Dia mencoba untuk menenteramkan hatinya yang penuh kegelisahan.
Memikirkan ibunya saja dia sudah gelisah, kini ditambah lagi memikirkan keadaan Kiok Hwa yang menjadi tawanan Sam Ok yang amat jahat. Apa yang terjadi dengan Kiok Hwa? Ketika benda itu meledak di dalam kamarnya dan mengeluarkan asap hitam yang amat tebal sehingga ia tidak dapat melihat apa-apa, tiba- tiba saja ada angin nenyambar dari sampingnya. Kiok Hwa mencoba untuk mengelak, akan tetapi dari lain sisi menyambar pula jari tangan yang menotoknya. Ia terkena totokan dan tidak mampu bergerak lagi. Tubuhnya menjadi lemas dan ia tidak berdaya ketika tubuhnya dipondong orang dibawa meloncat keluar jendela. Selanjutnya ia dibawa lari dan di bawah sinar bulan ia melihat bahwa yang melarikannya ada tiga orang dan ternyata mereka adalah Thian-te Sam-ok! Yang menotok dan membawanya lari itu adalah Toa Ok sendiri. Ia dipanggul dalam keadaan lemas dan tidak mampu bergerak.
Tanpa diberitahu Kiok Hwa maklum bahwa ia dilarikan ke Bukit Perahu, ke sarang Pek-lian-kauw yang mempunyai cabang di tempat itu. Mereka tiba pagi pagi sekali di perkampungan Pek-lian kauw di puncak Bukit Perahu. Kiok Hwa yang dipanggul itu memperhatikan saja tadi ia melihat betapa Sam Ok berada dalam keadaan terluka dalam. Wanita itu agak terhuyung dan mukanya pucat sekali
Setelah tiba di pintu gerbang perkampungan itu, Toa Ok membebaskan Kiok Hwa dan membiarkan gadis itu berjalan sendiri. Kiok Hwa memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Perkampungan Pek-lian kauw itu dikelilingi dinding yang cukup tinggi dan memiliki pintu gerbang yan cukup besar. Di pintu gerbang terdapat belasan orang anggauta Pek-Iian-kau yang kepalanya diikat kain putih dan baju di dada mereka terdapat gambar bunga teratai putih. Juga tampak beberapa orang tosu berjubah lebar dengan baju dalamnya juga digambari teratai putih. Para penghuni perkampungan itu berbondong keluar dan Kiok Hwa menaksir bahwa jumlah para anggauta dan para tosu itu tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya. Kedudukan mereka kuat juga, pikir Kiok Hwa dan ia mengkhawatirkan Han Lin. Ia tahu bahwa Han Lin tidak akan tinggal diam dan pasti akan menyusul ke tempat ini untuk membebaskannya dirinya juga membebaskan ibunya. Tiba-tiba ia melihat wanita itu! Wanita yang diaku sebagai ibu oleh Han Lin. Kiok Hwa memandang dengan penuh perhatian. Wanita tu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan wajahnya masih cantik, walaupun agak pucat dan kurang semangat. Pandang matanya kurang bergairah dan sinarnya aneh, kadang bersinar keras dan ganas.
Mulutnya yang bentuknya manis dan ramah itu tidak pernah tersenyum. Kiok Hwa merasa kasihan sekali. Sebagai seorang ahli pengobatan yang pandai ia dapat menduga bahwa wanita itu tidak sehat keadaannya. Sebatang pedang beronce merah tergantung di punggung wanita. itu. Ia berjalan datang dan memandang kepada Kiok Hwa dengan tak acuh dan sambil lalu saja. Kemudian ia mendekati Ji Ok yang segera memegang tangan wanita itu. Dan Kiok Hwa melihat sesuatu yang amat luar biasa. Ia melihat betapa Ji Ok memandang wanita itu dengan sinar mata penuh kasih sayang dan semnyumnya kepada wanita itupun membayangkan kasih sayang! Melihat pandang mata dan sikapnya saja Kiok Hwa hampB merasa yakin bahwa Ji Ok amat mencinta wanita itu.
Ia diajak masuk ke dalam sebuam bangunan yang besar. Tiga orang Sam Ok, wanita ibu Han Lin itu, dan dua orang tosu Pek-lian-kauw yang melihat sikap dan jubah mereka tentulah merupakan tokoh atau pimpinan di situ.
Setelah tiba di dalam, Toa Ok berkata kepada Kiok Hwa. "Nona, engkau tahukah mengapa engkau kami tawan dan bawa ke sini?"
"Aku selalu dibutuhkan di mana terdapat orang sakit yang terancam maut untuk mengobatinya." kata Kiok Hwa dengan sikap tenang, seolah-olah ia tidak sedang berada di sarang musuh yang berbahaya.
Sam-ok saling pandang, demikian pula dua orang tosu yang menjadi ketua dan wakil ketua cabang Pek-lian-kauw. Ketua cabang Pek-lian-kauw di Bukit Perahu itu adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi kurus dan berjuluk Lian Hoat Tosu. Adapun wakilnya, yang sedikit lebih muda darinya dan bertubuh pendek gendut, adalah Lian Bok Tosu. Ilmu kepandaian silat mereka cukup tinggi. Juga mereka berdua adalah ahli-ahli sihir dan memiliki senjata bahan peledak yang mengeluarkan asap tebal, bahkan ada peledak yang mengandung asap beracun sehingga berbahaya sekali. Anak buah mereka yang berjumlah lima puluh orang juga rata-rata memiliki ilmu silat aliran Pek-lian- kauw.
Toa Ok tertawa mendengar ucapan Kiok Hwa itu. "Ha-ha- ha, engkau terlalu membanggakan ilmumu mengobati orang, nona. Akan tetapi sekali ini engkau menjadi tawanan kami, menjadi sandera untuk memaksa pemuda itu datang menyerahkan Im-yang-kiam kepada kami. Kami tidak membutuhkan pengobatanmu karena tidak ada orang yang sakit di sini."
Kiok Hwa dengan tenangnya tersenyum lalu menoleh kepada Sam Ok.
"Sam Ok, apakah engkau merasa sehat-sehat saja?"
Sam Ok terkejut dan mengerutkan alisnya. "Tentu saja aku sehat."
"Aih, sungguh kasihan. Nyawa sudarara terancam maut masih merasa sehat. Coba engkau tekan Tiong-cu-hiat (jalan darah di belakang leher) perlahan saja kemudian tekan Kin- ceng-hiat (jalan darah di pundak kiri), dan engkau akan tahu bagaimana rasanya."
Biarpun meragu dan alisnya berkerut tanda tak senang hati, namun tangan wanita itu lalu menekan jalan darah di belakang leher lalu di pundak kirinya. Dan ia menjerit lalu terpelanting roboh, mukanya pucat dan tubuhnya gemetaran menahan rasa nyeri. "Engkau menggunakan sihir!" bentak Toa Ok marah.
Kiok Hwa tersenyum. "Siapa menggunakan sihir? Aku menggunakan ilmu pengobatanku dan aku tahu bahwa nyawa Sam Ok terancam bahaya maut karena ia telah mendapatkan pukulan beracun yang amat berbahaya."
Sam Ok bangkit berdiri sambil menyeringai menahan nyeri. "Aku memang menerima pukulan di dalam kegelapan kamar yang penuh asap itu, dan aku sempat jatuh. Akan tetapi pukulan itu tidak keras dan kemudian tidak terasa apa-apa." Ia membantah.
"Begitukah? Coba buka bajumu bagian pundak dan lihat pundak kirimu." kata Kiok Hwa.
Sam Ok menyingkap bajunya dan semua orang melihat betapa pundak kiri yang berkulit putih itu kini telah menghitam dan ada tanda tiga buah jari tangan di pundak itu.
"Pukulan beracun tiga jari tangan!" Kiok Hwa berseru. "Kalau aku tidak keliru, itulah pukulan beracun yang dinamakan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)! Memang tidak terasa dan tidak keras, namun hawa beracun berbahaya sudah masuk ke tubuh melalui bagian yang terpukul dan kalau sudah menjalar sampai ke jantung biar dewa sekalipun tidak akan dapat menolong. Kalau tidak percaya coba tekan tengah-tengah luka itu."
Sam Ok menekan tengah-tengah tanda tiga jari tangan itu dengan ibu jarinya. Ia menjerit dan roboh pingsan!
Toa Ok memandang Kiok Hwa dan berkata dengan suara mengandung ancaman. "Nona, cepat sembuhkan Sam Ok!"
Kiok Hwa tersenyum. Sikapnya tenang sekali. "Toa Ok, selama aku mengobati orang sakit, tidak ada yang memaksaku dan tidak ada yang mengancamku. Akan tetapi tanpa diminta sekalipun aku akan mencoba untuk menolong orang yang sakit. Apakah engkau masih menganggap aku sebagai seorang tawanan?"
Toa Ok sejenak menatap wajah gadis itu, kemudian wajahnya yang gagah dan tampan itu berseri, ia tersenyum dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. "Nona, aku hampir lupa bahwa engkau adalah Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat Baju Putih) yang dihormati oleh semua orang kang-ouw. Tidak, Sian-li, kami tidak berani menganggap engkau sebagai tawananku. Kami harap engkau suka menaruh kasihan kepada Sam Ok dan suka menolong keselamatan nyawanya."
Kiok Hwa tersenyum manis. "Toa Ok, guruku mengajarkan kepadaku bahwa untuk mengobati orang, aku tidak harus melihat apakah orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dan baik atau jahat. Juga aku harus mengobatinya tanpa pamrih. Soal dapat sembuh atau tidak itu idalah berada dalam kekuasaan Thian. Kalau Thian menghendaki, tentu si sakit akan menjadi sembuh, akan tetapi sebaliknya kalau Thian menghendaki lain, biar dewa sekalipun tidak akan mampu menolongnya. Aku harus melihat dulu apakah keadaan Sam Ok sudah terlambat atau belum. Harap bawa ia ke dalam kamar dan rebahkan ke atas pembaringan. Kemudian, sediakan air mendidih untuk mencuci jarum-jarumku ah,
betul sekali. Jarum-jarumku berada di dalam buntalan pakaianku, berada di dalam kamarku di rumah penginapan itu. Dapat-kah engkau mencarikan pinjaman jarum-jarum emas dan perak dari tabib-tabib dari Tai-goan?"
Toa Ok lalu menoleh kepada Lian Hoat Tosu. "Totiang, dapatkah engkau menolong? Barangkali totiang lebih tahu tentang para tabib di kota Taigoan yang kiranya memiliki jarum-jarum emas dan perak."
"Kami akan mencobanya. Kami dengar ada seorang tabib yang suka menggunakan jarum-jarum untuk pengobatan.
Kami akan mencoba meminjam darinya." kata ketua itu yang lalu mengutus anak buahnya untuk mencari jarum yang dibutuhkan ke kota Taigoan.
Sementara itu, Sam-ok lalu digotong ke dalam kamar dan dibaringkan. Kiok Hwa cepat menanggalkan baju wanita itu dan memeriksa keadaan luka di pundak. ia tahu bahwa yang melakukan pemukulan itu tentu Eng-ji, karena di dalam kamar hanya ada dia dan Eng-ji. Dan ia tidak merasa heran kalau Eng-ji memiliki ilmu pukulan sekeji itu, karena melihat sifat dan wataknya, sangat boleh jadi Eng-ji adalah murid seorang datuk sesat yang sakti.
Setelah melakukan pemeriksaan, ternyata bahwa berkat tubuhnya yang terlatih dan kuat serta tenaga sin-kangnya yang juga kuat, Sam Ok dapat mempertahankan diri dan hawa beracun dari pukulan Toat-beng Tok-ciang itu belum menjalar ke jantungnya. Melihat ini Kiok Hwa menjadi girang dan ia merasa yakin bahwa nyawa Sam Ok dapat tertolong. Ia lalu menggunakan ilmunya untuk menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah beracun mengalir lebih jauh lagi, kemudian mengurut-urut di sekeliling tanda tiga jari tangan menghitam itu sampai warna hitamnya berkumpul di tengah- tengah dan bagian itu membengkak. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki di belakangnya. Ia menoleh dan melihat wanita yang dianggap ibu oleh Han Lin sudah berdiri di situ dengan tangan memegang pedang.
"Bibi, tolong pinjamkan pedangmu itu kepadaku," katanya lembut.
"Untuk apa pinjam pedang?" suara itu kaku dan tidak jelas seperti suara kanak kanak. "Engkau tidak boleh membunuh."
"Tidak ada yang membunuh," jawab Kiok Hwa sambil tersenyum ramah dan halus, "aku meminjam pedang untuk merobek sedikit kulit di pundaknya untuk mengeluarkan darah yang beracun." menunjuk ke arah pundak Sam Ok. Wanita itu tampak ragu lalu berkata dengan suara pelo. "Lakukanlah, akan tetapi kalau engkau membunuh Sam Ok aku akan membunuhmu." Ia menyerahkah pedangnya. Kiok Hwa menerima pedang itu dan menahan diri untuk bicara. ia tahu bahwa wanita itu masih belum menyadari keadaan dirinya, masih dikuasai pengaruh sihir dan racun perampas ingatan. Biarpun ia bicara juga tidak ada gunanya. Dalam keadaan seperti itu ia sendiripun tidak berdaya. Semua obat penting yang selalu dibawanya berada dalam buntalan pakaiannya yang tertinggal kamar penginapan. Ah, kalau saja ada jarum-jarum emas. Tiba-tiba ia teringat. Dengan jarum emas ia dapat membuka jalan darah tertentu untuk membuat wanita itu terbuka pula ingatannya, walaupun hanya untuk sebentar atau untuk sementara waktu. Kalau saja ia mendapat kesempatan untuk mempergunakan jarum-jarum yang diusahakan oleh pihak tuan rumah untuk dipinjamkan itu!
Akan tetapi bagaimana caranya untuk mempergunakan jarum- jarum itu terhadap wanita ini?
Pada saat itu Toa Ok memasuki kamar itu dengan wajah riang. Akan tetapi ketika dia melihat Kiok Hwa berdiri di dekat pembaringan sambil memegang sebatang pedang, dia terkejut dan memandang kepada wanita itu, lalu membentak Kiok Hwa.
"Apa yang akan kau lakukan dengan pedang itu?" Dia bersiap-siap untuk menyerang.
"Tenanglah, Toa Ok "
Toa Ok membentak ke arah wanita itu. "Bukankah itu pedangmu? Hayo ambil kembali!"
Mendengar kata-kata itu, wanita itu tiba-tiba menyerang Kiok Hwa dengan cengkeraman ke arah dada. Kiok Hwa terkejut dan cepat mengelak dan cengkeraman itu berubah arah lalu merampas pedang yang dipegang Kiok Hwa. Karena Kiok Hwa tidak ingin berkelahi, maka ia melepaskan pedang itu dirampas oleh pemiliknya. "Hem m, Toa Ok. Apakah engkau tidak menghendaki kesembuhan Sam Ok? Apakah engkau ingin melihat ia mati?"
"Apa maksudmu?" tanya Toa Ok.
"Lihat pundak Sam Ok itu. Aku telah mengumpulkan darah beracun di tengah tengah bekas tapak jari dan aku meminjam pedang untuk menoreh dan membuka kulit itu agar darah yang beracun dapat keluar."
"Ah, begitukah? Maafkan aku, Sian li. Akan tetapi pedang itu beracun. Ini jarum-jarum emas dan peraknya sudah berhasil kami dapatkan. Apakah engkau tidak dapat mempergunakan jarum-jarum ini untuk mengeluarkan darah itu?"
"Bagus. Dengan jarum aku juga dapat menoreh kulit pundak ini. Tolong minta-kan air mendidih, aku harus merendam dulu jarum-jarum itu ke dalam air mendidih." kata Kiok Hwa sambil menerima untaian kain putih berisi jarum- jarum itu. Sementara wanita itu yang telah merampas pedangnya kembali, kini berdiri seperti patung dan hanya memandang kepada Kiok Hwa. Ia seperti seorang anak kecil yang tidak tahu urusan dan bodoh.
Pada saat itu, anggauta Pek-lian-kauw yang memasak air datang membawa sepanci air mendidih.
"Letakkan di situ!" lata Toa Ok sambil menuding ke atas meja. Sepanci air panas itu lalu ditaruh di atas meja dan Kiok Hwa berkata kepada Toa Ok. "Toa Ok, aku akan segera melakukan pengobatan atas diri Sam Ok, harap engkau suka keluar dari kamar ini. tidak pantas kalau seorang pria menonton pengobatan ini."
Toa Ok tertawa lalu berkata kepada wanita yang diaku sebagai ibu oleh Hai Lin itu. "Engkau berjaga di sini, jaga jangan sampai nona ini membunuh Sam Ok." "Baik," jawab wanita itu dengan singkat dan iapun lalu duduk di atas bangku di sudut berjaga-jaga dengan pedang di tangan.
Kiok Hwa merendam tiga batang jarum emas dan tiga batang jarum perak di dalam air mendidih beberapa lamanya! Kemudian ia mengambil sebatang jarum emas dan menggunakan jarum itu untul menoreh kulit pundak sehingga kulit dan sebagian dagingnya terobek. Darah hitam mengalir keluar dari torehan kulit pundak itu. Kiok Hwa tanpa rasa jijik lalu mencuci pundak itu dengan kain dan air panas. Ia
memijit-mijit sehingga banyak darah hitam keluar dari luka itu.
"Bibi, aku hendak menulis resep untuk membeli obat luka, harap bibi menyuruh orang mengambil kertas dan alat tulis." kata Kiok Hwa kepada wanita itu dengan suara lembut dan pandang mata ramah.
Wanita itu mengerutkan alis dan memandang ragu, akan tetapi ia melangkah juga keluar dari kamar dan muncul kembali bersama Toa Ok. Kiranya datuk itu tidak pergi jauh dari kamar itu!
"Apalagi yang kau butuhkan, Sian-li?"
"Toa Ok, semua darah beracun telah dapat kukeluarkan. Bahaya telah lewat, akan tetapi aku harus mengobati luka Ini dan juga aku harus mengusir semua hawa beracun dari tubuhnya dengan tusukan jarum. Aku butuh kertas dan alat tulis untuk membuat resep agar dibelikan obatnya."
Toa Ok pergi dan kembali membawa kertas dan alat tulis. Agaknya dia masih curiga kepada Kiok Hwa sehingga semua kebutuhannya dia yang melayani, bahkan dia ikut berjaga tidak jauh dari kamar itu!
Setelah menuliskan resep obat luka, Kiok Hwa lalu mulai melakukan pengobat dengann tusuk jarum ke bagian-bagian tubuh yang penting. Setelah membiarkan jarum-jarum itu menancap di bagian tubuhnya yang penting, Kiok Hwa hanya mempergunakan dua jarum emas dan dua jarum perak, menyisakan dua macam jarum itu masing-masing sebatang. Kemudian ia menoleh kepada wanita yang masih berjaga dengan pedang di tangan itu dari menghampirinya.
"Pengobatan telah selesai dan Sam Ok telah sembuh, hanya tinggal menanti ia siuman kembali," katanya sambil tersenyum. Wanita itu menggerakkan bibirnya yang manis seperti hendak tersenyum pula, akan tetapi senyum itu urung, akan tetapi cukup membuat wajah itu tampak manis sekali.
"Engkau pandai mengobati," demikian komentarnya dengan kata-kata yang tidak begitu jelas.
Tiba-tiba Kiok Hwa mendekatinya dan berseru, "Heii, engkau juga dalam keadaan tidak sehat, bibi!"
Wanita itu tampak kaget, akan tetapi ia menggeleng kepala. "Tidak, aku tidak sakit."
"Kalau tidak percaya coba tekan ke dua pelipismu dengan kedua tangan, tentu akan terasa pening dan nyeri." kata Kiok Hwa dan suaranya mengandung kekuatan karena diam-diam ia mengerahkan khi-kang dalam suaranya.
Wanita itu tampak ragu, akan tetapi lalu menyarungkan pedangnya di punggung dan ia menggunakan dua buah jari tangan kanan kiri untuk menekan kedua jelipisnya. Pada saat itu, dengan kecepatan kilat dan gerakan ringan sekali, tubuh Kiok Hwa berkelebat dan ia sudah berhasil menotok jalan darah thian-hu-liat di tubuh wanita itu. Tanpa dapat berteriak wanita itu roboh dengan lemas. Kiok Hwa menyambut tubuhnya dan merebahkan wanita itu telentang di atas lantai. Kemudian dengan cepat ia menggunakan sebatang jarum emas dan sebatang jarum perak untuk menusuk dahi dan ubun-ubun kepala wanita itu. Ia memutar-mutar dua batang jarum itu dan melihat wanita itu memejamkan kedua matanya dan alisnya berkerut-kerut. "Bibi, engkau dicari puteramu yang bernama Han Lin," berulang-ulang Kiok Hwa membisikkan kata-kata ini di dekat telinga wanita itu.
Setelah beberapa kali memutar-mutar dua batang jarum itu dan membisikkal kata-kata ini, wanita itu membuka matanya dan ia memandang kepada Kiok Hwa dengan sinar mata penuh pertanyaan. Kiok Hwa yang melihat betapa sinar mata itu telah normal, cepat berkata.
"Bibi yang baik, Han Lin mencari-carimu." Ia lalu mencabut kedua batang jarum itu. Wanita itu bangkit duduk.
"Han Lin..... Han Lin..... di mana Han Lin puteraku ?
Han Lin !" Ia menjerit memanggil-manggil Han Lin. Ia
bangkit berdiri dan mencari-cari dengan pandang matanya ke kanan kiri.
Dua sosok bayangan berkelebat masu dan mereka adalah Toa Ok dan Ji Ok. Ji Ok segera menghampiri wanita itu, dan wanita itupun memegang lengannya. "Suamiku, di mana Han Lin ?" ia bertanya dan Ji Ok merangkulnya dengan mesra,
"Tenanglah, isteriku. Jangan khawatir aku akan mencarikan untukmu. Marilah !" Dia merangkul dan mengajak wanita
itu keluar dari kamar.
Sementara itu, Toa Ok sudah mencabut pedangnya dan menodongkan pedang itu ke depan dada Kiok Hwa. Dia menghardik, "Sian-li, apa yang kaulakukan terhadap wanita itu?"
Kiok Hwa menggerakkan kedua pundaknya. "Apa yang kulakukan? Bukankah pertanyaan itu terbalik? Sepatutnya aku yang bertanya kepada kalian, apa yang kalian lakukan terhadap wanita itu! Aku hanya berusaha mengobatinya, karena ia berada dalam keadaan terbius racun perampas ingatan." "Awas kau! Jangan mencampuri urusan kami. Wanita itu adalah isteri Ji Ok. Engkau tidak berhak mencampuri urusan uami isteri itu! Engkau di sini adalah eorang tawanan, tidak boleh berbuat semaumu sendiri!" Pedang itu masih menodong dada, akan tetapi dengan tersenyum Kiok Hwa menggunakan tangannya untuk mendorong pedang itu ke samping.
"Begini sikap seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang berjuluk Toat-beng Kui-ong Toa Ok? Baru saja terlepas dari mulutmu bahwa engkau tidak menganggap aku sebagai tawanan. Akan tetapi setelah aku mengobati Sam Ok sampai berhasil sembuh, engkau menjilat kembali kata-kata yang telah keluar dari mulutmu. Tidakkah engkau khawatir namamu akan jatuh menjadi rendah karena sikapmu ini?" Setelah berkata demikian Kiok Hwa menghampiri Sam Ok dan memeriksa keadaannya. Pernapasan datuk wanita itu sudah normal kembali, maka ia lalu mecabuti empat batang jarum dan mengurut tengkuk Sam Ok. Diurut tengkuknya, Sam Ok membuka matanya dan menghela napas panjang. Ketika ia melihat Kiofk Hwa berdiri di tepi pembaringan dan merasakan betapa tubuhnya tidak nyeri lagi ia segera menyadari bahwa Kiok Hwa telah menyembuhkannya. Iapun cepat bangkit dan melihat Toa Ok masih memegang pedang mengancam gadis itu. Sam Ok berdiri dan memandang kepada Toa Ok dengan alis berkerut.
"Toa Ok, apa yang kaulakukan itu? Bukankah gadis ini telah mengobati dan menyembuhkan aku? Aku tidak ingin engkau bersikap kasar kepadanya!"
"Hemm, Sam Ok berpikirlah yang sehat!" Balas Toa Ok dengan bentakan!
"Memang benar Pek I Yok Sian-li ini telah menyembuhkanmu, akan tetapi tetap saja ia masih menjadi sandera kita dan ia merupakan satu-satunya jalan untuk mendatangkan Im-yang-kiam." Sam Ok memandang kepada Kiok Hwa dengan sinar mata penuh selidik. "Jadi Engkaukah Pek I Yok Sian-li yang terkenal itu? Apakah benar pemuda itu akan datang menukarkan Im- yang-kiam untuk membeli kebebasanmu?"
Kiok Hwa maklum bahwa ia berhadapan dengan orang- orang yang tidak segan melakukan kecurangan dan kejahatan apapun juga dan ia tidak dapat mengharapkan orang macam Sam Ok untuk mengenal budi pertolongan orang. Maka iapun menjawab seenaknya. "Kuharap saja tidak begitu bodoh untuk menyerahkan Im-yang-kiam kepadamu. Aku tidak peduli apa yang akan kalian lakukan kepada ku. Aku tidak takut mati."
Mendengar ucapan ini, Sam Ok yang baru saja diselamatkan nyawanya oleh gadis itu malah tertawa geli. "Hi- hi-hi-hi , orang yang amat berguna seperti engkau ini sayang kalau mati begitu saja. Dengan adanya engkau di sisiku, aku tidak takut akan serangan musuh yang bagaimanapun juga.
Engkau selalu akan dapat mengobatiku, hi-hi-hik! Toa Ok, gadis ini tidak seharusnya ditodong pedang! Ia harus dijaga sebaiknya agar jangan sampai lolos, akan tetapi juga jangan dibunuh. Kita membutuhkan tenaga ahli seperti gadis ini!"
"Ha-ha-ha, engkau benar sekali, Sam ok. Akan tetapi kita harus memancing bocah itu datang menyerahkan Im-yang- kiam. Dengan begitu kita akan mendapatkan kedua-duanya. Kalau pedang Im-yang-kiam berada bersama kita dan Pek I Yok Sianli selalu menemani kita, kita tidak takut apa-apa lagi."
Kiok Hwa sengaja tertawa mengejek "Bicara memang mudah, Toa Ok dan Sam Ok. Kalian boleh merencanakan apa saja. Akan tetapi Han Lin adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Kalian semua akan kalah olehnya. Apalagi dia dibantu oleh Eng-ji yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Lihat saja pukulan Toat-beng Tok-ciang yang dipergunakan Eng-ji terhadap Sam Ok. Sekali pukul saja Sam Ok hampir mati!" Mendengar ini, Sam Ok mengepal kedua tangannya dan ia berseru, "Kiranya bocah remaja keparat itu yang telah memukulku. Aku akan membalasnya dan kalau dia berani datang ke sini, aku akan membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri!" Berkata demikian ia mengamangkan tinjunya dan karena mengerahkan tenaga ini, lukanya mengeluarkan darah.
"Sam Ok, lukamu masih belum tertutup, menanti obat yang sedang dibelikan." kata Kiok Hwa dan pada saat seperti itu kembali ia menjadi seorang ahli pengobatan yang memperhatikan si-sakit yang dirawatnya. Pada saat itu, anak buah Pek-lian-kauw yang membeli obat datang dan masuk, menyerahkan bungkusan obat kepada Toa Ok. Toa Ok menerimanya dan memberikan kepada Kiok Hwa.
"Ini obatnya. Pergunakanlah untuk mengobati luka di pundak Sam Ok."
Kiok Hwa menerima obat itu sambil tersenyum. Ia bersikap tenang sekali sehingga Toa Ok dan Sam Ok diam-diaw merasa tidak enak juga. Dua orang ini sudah terbiasa melakukan kejahatan dari terbiasa pula melihat korban mereka ketakutan setengah mati. Kini melihat korban mereka bersikap demikian tenang, bahkan mengobati Sam Ok dengan ketelitian yang sama sekali tidak memperlihatkan permusuhan, mereka berdua merasa aneh dan tidak enak sekali. Kalau Kiok Hwa menangis dan mohon ampun mereka tentu akan merasa gembira bukan main. Akan tetapi melihat kini Kiok Hwa membubuhkan obat pada luka di pundak Sam Ok, mereka berdua merasa seolah-olah dipandang rendah dan ditertawakan oleh gadis itu.
Kiok Hwa mencurahkan perhatiannya kepada pundak Sam Ok dan sebentar saja ia sudah menutup luka torehan jarum tadi dengan obat bubuk yang dibeli menurut resepnya.
"Nah, sekarang tinggal menunggu luka itu kering. Darah dan hawa beracun sudah bersih, lukanyapun tidak seberapa dalam, dalam waktu satu dua hari akan kering dan sembuh." kata Kiok Hwa sambil membungkus lagi sisa obat dan enam batang jarum pinjaman itu. Setelah membungkusnya, ia menaruhnya di atas meja.
Sam Ok dan Toa Ok saling pandang, merasa tidak enak sekali. Kalau orang lain melihat sikap dan kata-kata Kiok Hwa tentu akan menjadi rikuh sekali. Akan tetapi bagi dua orang datuk sesat ini, sudah lama rasa rikuh dan tenggang rasa sudah mati dalam batin mereka. Mereka hanya merasa tidak enak.
Dari perasaan tidak enak dan merasa tidak dipandang sebelah mata oleh Kiok hwa yang kelihatan meremehkan keganasan dan kejahatan mereka, Toa Ok menjadi marah. Orang yang tidak memandang Kepada kekuasannya sama dengan menghinanya!
"Gadis ini berbahaya, harus dikurung dan dijaga ketat agar tidak meloloskan diri!" katanya kepada Sam Ok. Kemudian kepada Kiok Hwa dia berkata. "Hayo Sianli, keluar dari kamar ini dan ikut aku!"
Kiok Hwa tidak membantah. Ia melangkah keluar digiring oleh Toa Ok menuju ke bagian belakang dari rumah besar itu. Ternyata ia dibawa ke sebuah kamar yang agaknya memang dibuat untuk mengeram orang yang dianggap berbahaya.
Kamar itu sederhana sekali tetapi cukup lengkap dengan pembaringan meja dan kursi. Akan tetapi pintu dan jendelanya terbuat dari jeruji besi yang kokoh kuat.
"Masuklah, engkau akan dilayani sebagai tamu kami di kamar ini. Asalkan engkau tidak mencoba untuk meloloskan diri, kami tidak akan mengganggumu" Setelah berkata demikian, Toa Ok meninggalkan kamar itu, menutup dan mengunci pintunya, menyerahkan kunci kepada penjaga dan kamar itu dijaga oleh lima orang anak buah Pek-lian-kauw.
00-dewi-00 Malam itu Kiok Hwa duduk bersila diatas pembaringan dalam kamar tahanan itu. Sedikitpun ia tidak merasa khawatir akan dirinya sendiri. Ia tidak pernah mempunyai musuh dan tidak ada alasan bagi siapapun juga untuk memusuhinya, Ia selalu mengulurkan tangan untuk menolong orang, bukan untuk mengganggu orang atau memusuhinya. Dalam membela diri sekalipun ia tidak ingin melukai orang lain. Ia hanya memikirkan Han Lin. Ia yakin bahwa Han Lin tidak akan tinggal diam dan tentu akan mencarinya, untuk membebaskannya dan sekalian membebaskan ibunya. Ia merasa yakin kini bahwa wanita itu memang benar ibu Han Lin. Tadi ketika ia berhasil menyadarkannya barang sebentar, wanita itu teringat kepada Han Lin dan memanggil-manggil- nya.
Ia maklum bahwa Han Lin seorang ang tinggi ilmunya dan memiliki kebijaksanaan, juga cukup cerdik maka tidak perlu ia mengkhawatirkan keselamatannya. Akan tetapi dengan adanya ia dan ibunya yang seolah menjadi sandera di situ, ia khawatir kalau-kalau Han Lin akan menjadi lemah dan terjatuh ke dalam perangkap musuh. Ia tahu pula bahwa Eng-ji tentu akan membantu Han Lin dan Eng ji juga memiliki ilmu yang tinggi. Akan tetapi Sam Ok amat lihai dan mereka berada di sarang Pek-lian-kauw yang anak buahnya amat banyak.
Bagaimana Han Lin berdua Eng-ji akan mampu membebaskan ia dan ibu Han Lin tanpa menempuh bahaya besar? Teringat akan semua ini, tiba-tiba ia teringat kepada Eng-ji. Gadis yang menyamar pria itu amat mencinta Han Lin. Demikian hebat cintanya sehingga hampir-hampir saja gadis itu nekat membunuhnya karena cemburu!
Teringat akan kenyataan ini, sejenak hati Kiok Hwa diliputi kesedihan. Ia tahu bahwa ia amat mencinta Han Lin dan ia pun tahu bahwa Han Lin juga mencintai-nya. Akan tetapi, di sana ada Eng-ji yang cintanya mengebu-ngebu terhadap Han Lin. Gadis itupun telah memperlihatkan kesetiaannya kepada Han Lin, walaupun Han Lin belum tahu bahwa Eng-Ji adalah seorang wanita. Ia tahu bahwa kalau ia berkeras mempertahankan hubungannya dengan Han Lin, menjadikan Han Lin kelak sebagai suaminya, hal itu akan menghancurkan kebahagiaan dan mungkin kehidupan Eng-ji Dan ia tidak mau melakukan hal yang membuat hancur hati seseorang. Tidak, ia harus mengalah! Ia harus membiarkan Han Lin nenjadi jodoh Eng-ji, bukan jodohnya. Ia rela berkorban. Pula, belum tentu ia akan dapat hidup berbahagia di samping Han Lin. Ia tidak menyukai kekerasan. Ia tidak suka melihat orang saling melukai, apalagi saling membunuh. Dan Han Lin dalah seorang pendekar yang selalu memusuhi para penjahat.
Banyak musuh-nya, padahal ia tidak ingin mempunyai seorang pun musuh. Eng-ji lebih cocok menjadi isteri Han Lin.
Keduanya sama-sama pendekar, keduanya sama-sama me- musuhi dunia penjahat.
Malam telah larut. Lima orang pengawal di luar kamar tahanan telah diganti oleh lima orang lain, kunci diserah terima.
Kiok Hwa masih duduk bersila di atas pembaringan dan lima orang penjaga itu hanya menengok dan memandang padanya. Biarpun tawanan itu seorang gadis yang cantik jelita, tidak seperti biasanya, lima orang anak-anak buah Pek-lian- kauw tidak berani mengganggunya karena mereka tahu bahwa tawanan ini adalah tawanan istimewa, seorang ahli pengobatan yang dijadikan tawanan juga tamu yang diperlakukan dengan baik dan hormat. Bicarapun mereka berbisik bisik seolah-olah tidak mau mengganggu gadis yang sedang duduk bersila dan mejamkan kedua matanya seperti orang tertidur pulas itu.
Sementara itu, di luar, di bawah sinar bulan, dua sosok bayangan berkelebat dengan cepat sekali sehingga tidak dapat dilihat bayangan mereka. Mereka menyelinap dari bawah pohon yang satu ke pohon yang lain mendekati perkampungan Pek-lian-kauw. Mereka itu bukan lain adalah Han Lin dan Eng-ji. Han Lin bergerak di depan dan Eng-ji mengikuti dari belakang. Ini adalah kehendak Han Lin yang menduga bahwa sarang Pek-lian kauw tentu mengandung perangkap dan jebakan yang berbahaya. Maka dia bergerak di depan dengan hati-hati dan dia menyuruh Eng-ji mengikutinya dari belakang.
Setelah tiba di luar tembok yang mengelilingi perkampungan itu, Han Lin berhenti dan memberi isarat kepada Eng-ji untuk berhenti bergerak pula. Dia menuding ke atas tembok, memberi isarat bahwa dia akan menyelidiki medan terlebih dulu. Eng-ji mengerti dan dia mengangguk.
Setelah memperhitungkan dengan hati-hati, Han Lin lalu membuat gerakan melompat. Dia hinggap di atas pagar tembok itu dan berjongkok, memeriksa ke dalam. Sunyi saja di situ dan di sebelah dalam pagar tembok itu adalah sebuah kebun. Tidak ada yang berjaga di situ dan agaknya yang dijaga hanya di gapura pagar tembok itu, di mana terdapat lima orang penjaga. Melihat ini dia menjadi girang dan cepat memberi isarat kepada Eng-ji yang menunggu di bawah untuk melompat naik.
Eng-ji melompat dan berjongkok di samping Han Lin. Di bawah sinar bulan, dua orang itu tampak seperti dua ekor burung besar yang hinggap di atas pagar tembok itu.
"Mari kita ke bangunan besar yang dikelilingi bangunan kecil di sana itu," Han Lin berbisik sambil menuding ke depan. Di bawah sinar bulan mereka dapat melihat sebuah bangunan besar yang dikelilingi setengah lingkaran oleh bangunan kecil sedangkan di belakang bangunan besar itu terdapat sebuah bukit besar. "Akan tetapi hati-hati, ikuti jejakku. Kalau aku terjebak engkau dapat menolongku, jangan sampai kita keduanya terjebak musuh."
Eng-ji mengangguk. Ia cukup cerdik untuk dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh Han Lin. Iapun dapat menduga bahwa sarang perkumpulan sesat seperti Pek-lian-kauw tentu dilindungi oleh perangkap-perangkap atau jebakan-jebakan yang berbahaya.
Han Lin melompat turun ke sebelah dalam pagar.
Kemudian dia dan Eng-ji menyusup-nyusup di antara pohon- pohon dan semak di kebun itu mendekati bangunan-bangunan di perkampungan itu. Tidak terjadi sesuatu, tidak ada jebakan! menghalangi mereka sampai mereka menyelinap di antara bangunan-bangunan kecil yang mengelilingi bangunan besar. Mereka mendengar suara orang-orang di dalam bangunan- bangunan kecil, suara para anggauta Pek-lian-kauw. Akan tetapi tidak banyak di antara mereka yang berada di luar sehingga Han Lin dan Eng-ji tidak dapat menemui kesulitan untuk menghampiri bangunan besar.
Mereka melihat betapa di depan bangunan besar itu terdapat sebuah gardu penjaga dan terdapat belasan orang penjaga di situ. Tidak salah lagi, mereka menduga, bangunan ini tentu menjadi pusat dan tempat tinggal para pimpinan.
Sam Ok tentu berada di situ pula, bersama Kiok Hwa dan juga ibu Han Lin. Maka, Han Lin mengambil jalan memutar ke belakang bangunan besar dan meloncat ke atas wuwungan rumah. Eng-ji mengikutinya dari belakang. Dari atas wuwungan mereka mengintai ke bawah dan melihat bahwa keadaan di bawah remang-remang. Agaknya para penghuninya sudah masuk kamar atau tertidur, dan lampu- lampu besar telah dipadamkan, hanya tinggal beberapa lampu gantung saja yang menerangi ruangan tengah itu. Bangunan itu besar dan di bagian tengah ada ruangan terbuka, semacam taman.
Tiba-tiba mereka melihat dua orang sedang meronda, membawa sebuah lampu di tangan kiri dan sebatang golok di tangan kanan. Melihat mereka, Han Lin berbisik.
"Kita robohkah mereka tanpa suara"
Eng-ji mengangguk dan mereka berdua segera melayang turun. Dua orang peronda itu terkejut sekali ketika tiba-tiba ada dua orang berada di depan mereka. Sebelum mereka dapat bersuara atau bergerak, cepat sekali Han Lin dan Eng ji menyerang dengan totokan dan dua orang itu roboh dengan lemas. Han Lin dan Eng-ji merampas lampu yang mereka bawa.
Han Lin mengambil sebatang dari golok mereka dan menodongkan golok itu di leher seorang di antara dua peronda yang sudah tidak mampu bergerak atau bersuara itu.
"Hayo tunjukkan kepadaku di mana gadis berbaju putih itu dikeram!" bisiknya kepada peronda itu sambil membebaskan totokannya sehingga orang itu dapat bergerak kembali akan tetapi membiarkan totokan yang membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara. Orang itu bangkit berdiri dan mengangguk-angguk sambil menuding ke arah belakang rumah. Han Lin lalu menyeret orang ke dua, disembunyikan di dalam kegelapan, kemudian Ia menodong peronda yang ditawannya untuk menjadi petunjuk jalan. Eng-ji mengikutinya dari belakang dengan sikap waspada kalau-kalau mereka diserang orang dari belakang. Melihat mereka berhasil sedemikian mudahnya, hati kedua orang muda itu bahkan merasa tidak enak sekali. Mengapa sarang Pek-lian-Kiuw ini begitu lemah penjagaannya? Akan tetapi karena mereka sudah menangkap seorang peronda yang menjadi penunjuk jalan, merekapun melanjutkan usaha mereka untuk membebaskan ibu lian Lin dan Kiok Hwa.
Dalam keadaan tidak mampu mengeluarkan suara dan ditodong, peronda itu tidak berdaya. Dia berjalan di depan Han Lin, leher bajunya dicengkeram tangan kiri Han Lin dan punggungnya ditodong golok. Dia membawa Han Lin ke belakang bangunan itu, melalui lorong sempit dan akhirnya dia berhenti, menunjuk ke depan di mana terdapat sebuah kamar dan di depan kamar itu terdapat lima orang penjaga.
Melihat peronda datang bersama Han Lin dan Eng-ji, lima orang penjaga itu menjadi terheran-heran, akan tetapi Han Lin sudah menotok roboh penunjuk jalan kemudian bersama Eng- ji dia menerjang maju. Dua orang itu mengamuk, dengan mudah merobohkan lima orang itu dengam totokan-totokan. Han Lin mempergunakan It-yang-ci sehingga tiga kali menggerahkan tangan dia telah merobohkan tiga orang, sedangkan Eng-ji mempergunakan Pek-lek-ciang-hoat (Ilmu Pukulan Halilintar) yang membuat dua orang roboh pingsan dalam waktu singkat.
Han Lin lalu menggeledah dan dalam saku seorang di antara mereka dia menemukan kunci pintu kamar tahanan. Cepat dia membuka pintu itu dan masuk, diikuti oleh Eng-ji. Dalam kamar mereka melihat Kiok Hwa duduk bersila di atas pembaringan. Ketika mendengar pintu terbuka, Kiok Hwa membuka matanya dan melihat Han Lin dan Eng-ji ia tidak menjadi terkejut karena memang sudah menduganya sejak semula. Akan tetapi ia menjadi khawatir sekali.
"Hati-hati, cepat keluar!" katanya. akan tetapi terlambat! Terdengar suara ledakan-ledakan keras dan beberapa buah benda dilempar ke dalam kamar, juga pintu kamar itu telah tertutup dari luar dan dirantai kokoh kuat! Ledakan itu diikuti oleh asap kebiruan yang memenuhi kamar itu.
"Asap beracun! Tahan napas!" teriak Ciok Hwa. Mendengar ini, Han Lin dan Eng-ji menahan napas mereka. Akan tetapi, Han Lin berpikir bahwa tidak mungkin mereka menahan napas terlalu lama. maka diapun berkata dengan nyaring.
"Eng-ji! Kiok-moi! Mari satukan tenaga dan dorong pintu agar jebol!" Setelah berkata demikian, dia mengerahkan separuh tenaga sinkangnya mendorong ke arah pintu, dibantu oleh Eng-ji dan Kiok Hwi Tenaga sinkang tiga orang itu dikerahkan dan disatukan.
"Brolll !" Pintu yang terbuat dari besi beruji itupun
ambrol, terlepas dari tembok dan jatuh bergedubrakan diluar kamar tahanan. Tiga orang itu lalu berloncatan keluar. Han Lin memegang Im yang-kiam, Eng-ji memegang Ceng-hong kiam dan Kiok Hwa yang tadinya bertangan kosong diberi golok rampasan oleh Han Lin. Mereka bertiga melompat keluar dan disambut oleh Sam Ok bertiga yang dibantu oleh dua orang pimpinan Pek-lian-kauw dan belasan orang anak buahnya!
"Ha-ha-ha-ha!" Terdengar Toa Ok tertawa. "Kalian seperti tikus-tikus yang sudah masuk perangkap!"
Akan tetapi Han Lin dan Eng-ji sama sekali bukan tikus- tikus yang tidak berdaya. Sama sekali bukan. Mereka mengamuk dan membuka jalan keluar! Han Lin sengaja membiarkan Kiok Hwa di tengah, Eng-ji yang berada di depan dan dia dibelakang. Dengan amukan mereka berdua, dibantu oleh Kiok Hwa yang ternyata mampu memainkan golok dengan indahnya melindungi dirinya dari serangan banyak orang, mereka mampu menerobos keluar dari kepungan dan melarikan diri keluar dari lorong itu. Akan tetapi karena dihadang, mereka tidak dapat mengambil jalan semula, melainkan terdesak dan terpaksa mengambil jalan belakang yang membawa mereka tiba di bagian belakang gedung itu.
Mereka lalu melarikan diri di belakang gedung yang merupakan sebuah kebun dan jalan mendaki karena di belakang gedung itu terdapat sekuah bukit.
"Eng-ji, lari terus naik ke bukit itu!" Han Lin berseru sambil memutar pedang- menahan para pengejar dan pengeroyok . Dia harus menghadapi Thian-te Sam Ok yang dibantu oleh ketua dan wakil ketua cabang Pek-lian-kauw yang cukup lihai sehingga Han Lin harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya tutuk menahan mereka sehingga Eng-ji dan Kiok Hwa sempat melarikan diri ke arah bukit. Dengan It- yang-ci yang dikerahkan dengan tenaga sakti Jit-goat Sin-kang (Tenaga Sakti Matahari dan Bulan) dia memaksa lima orang pengeroyoknya untuk mundur dan dia lalu melompat dan mengejar Eng-ji dan Kiok Hwa yang sudah berlari lebih dahulu. Akan tetapi Thian-te Sam-ok dan para anggauta Pek lian-kauw melakukan pengejaran dan di antara mereka ada yang membawa obor.
Han Lin dapat menyusul Eng-ji dai Kiok Hwa. Mereka berlari terus mendaki bukit yang berbatu-batu itu. Ketika melihat sebuah gua besar, Han Lin berseru "Mari kita masuk dan sembunyi dalam gua itu agar terhindar dari pengepungan dan pengeroyokan!" Mereka bertiga lalu berlari menuju guha.
Kalau berada di guha, mereka tidak dapat dikepung dari dapat melakukan perlawanan lebih baik karena jumlah pengeroyoknya tidak dapat banyak. mengingat guha itu terlalu sempit untuk mereka yang hendak mengeroyok!
Mulut guha itu ada dua meter lebarnya, akan tetapi sebelah dalamnya ternyata luas. Akan tetapi sinar bulan tidak hanyak memasuki guha sehingga keadaan di dalam guha itu gelap sekali.
"Kita bersembunyi di dalam!" kata Han Lin sambil bergerak di depan, meraba-raba mencari jalan. Sementara itu, para pengejar juga sudah tiba di depan Guha.
"Ha-ha-ha-ha, kalian benar-benar seperti tikus-tikus dalam kurungan!" terdengar suara Toa Ok tertawa dan terdengarlah suara gemuruh. Tiga orang pe-larian itu cepat menengok dan di bawah sinar banyak obor mereka melihat betapa ada pintu baja yang berat dan kuat sekali tiba-tiba telah menutup mulut guha dari atas!
"Mari kita menerjang keluar!" ajak Eng-ji. Dengan nekat ia telah memutar tubuhnya dan dengan pedang di tangan ia hendak menerjang dan membobol pintu haja. Akan tetapi dari luar tiba-tiba meluncur banyak sekali senjata rahasia seperti pisau terbang, paku, jarum dan anak panah.
"Awas, Eng-ji. Cepat kembali masuk!" seru Han Lin yang melompat ke depan dan memutar Im-yang-kiam untuk menangkis semua senjata rahasia itu bersama Eng-ji. Mereka lalu berlompat lagi masuk ke dalam guha. Di situ mereka aman dari serangan senjata rahasia karena terowongan dalam guha itu membelok ke kanan dan mereka terlindung.
"Kita berlindung di sini. Mereka tidak akan mampu menyerang kita," kata Han Lin.
"Akan tetapi, Lin-ko. Berapa lama kita akan mampu bertahan di sini? Jika tidak mampu keluar dan kita tentu akan mati kelaparan di tempat ini." kata Kiok Hwa dengan suara lembut dan sikap tenang.
"Kita tunggu sampai terang tanah baru mencari jalan untuk dapat keluar dari sini," kata Han Lin.
Mereka bertiga tidak dapat berbuat lain kecuali menanti lewatnya malam yang gelap dalam guha itu. Mereka bertiga duduk bersila dan menghimpun tenaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Diam-diam Han Lin merasa lega juga melihat sikap kedua orang itu. Kiok Hwa tampak tenang sekali, sedangkan Eng-ji yang kelihatan marah kepada musuh juga sama sekali tidak kelihatan takut. Bahkan Eng-ji bersikap seolah hendak menghibur dan membesarkan hati kedua orang kawannya.
"Kalian tunggu saja. Kalau mereka berani memasuki guha ini, mereka akan kubunuh semua! Jangan takut selama masih ada aku di sini." katanya kepada Han Lin dan Kiok Hwa. Kiok Hwa tersenyum melihat lagak Eng-ji.
"Masih baik kalau mereka memasuki guha dan mencoba menyerang kita, karena kita mendapat kesempatan untuk lolos. Akan tetapi kalau mereka hanya berjaga di luar dengan senjata rahasia mereka dan mencegah kita keluar dari sini, bagaimana?" tanya Kiok Hwa.
"Kita coba lagi untuk menerjang keluar!" kata Eng-ji penuh semangat. "Kita tunggu sampai besok baru kita mencari jalan kejuar.
Sekarang lebih baik kita beristirahat sambil menghimpun tenaga untuk menghadapi besok." kata Han Lin.
"Wah, mana mungkin aku dapat tidur? Dalam keadaan terperangkap, terkepung dan tidak berdaya begini? Lebih baik kita mengobrol dan menceritakan riwayat kita masing-masing. Kita sekarang sudah senasib sepenanggungan, sudah sewajarnya kalau kita lebih mengenal satu sama ain. Kalau kita sudah pernah bercerita tentang riwayat hidup kita, sekarang toleh diulang lagi dengan jelas. Giliran-ku lebih dulu, enci Kiok Hwa. Ceritakanlah siapa orang tuamu, siapa gurumu dan dari mana engkau berasal?"
Kiok Hwa menghela napas panjang. Beringat akan keadaan dirinya yang sebatang kara dan tidak mempunyai keluarga lagi, ia menjadi sedih juga. Ditelannya kesedihannya dan sambil mengembangkan senyum di wajahnya ia menjawab. "Tidak ada yang menarik dalam riwayatku. Aku dilahirkan di sebuah dusun kecil yang tidak berarti. Ayahku seorang ahli sastra yang gagal menjadi sarjana dan hidup miskin bersama ibu dan aku di dusun, hidup sebagai petani penggarap karena tidak mempunyai tanah sendiri. Ilmu kesusasteraan yang dikuasainya sama sekali tidak ada harga dan gunanya di dusun yang kecil terpencil itu. Pada suatu waktu, dusun kami dilanda wabah penyakit yang amat ganas. Kami sekeluarga diserang penyakit. Pada waktu itu muncullah seorang ahli pengobatan yang merantau. Dia adalah Thian-beng Yok sian. Dia turun tangan mengobati penduduk dusun yang terserang penyakit. Dia juga mengobati kami, akan tetapi hanya aku yang dapat diselamatkan. Ayah dan ibuku sudah terlampau berat penyakitnya dan meninggal dunia, meninggalkan aku seorang diri di dunia ini. Aku lalu diambil murid oleh Thian- beng Yok-sian dan ikut suhu merantau sambil mempelajari ilmu silat dan ilmu pengobatan. Akan tetapi aku lebih tekun mendalami ilmu pengobatan karena setelah ayah dan ibu meninggal karena penyakit, aku mengambil keputusan untuk memerangi penyakit dan menyembuhkan orang-orang yang terserang penyakit tanpa membedakan kaya miskin, pintar bodoh atau baik maupun jahat."
Eng-ji mengerutkan alisnya. "Hemm, sekarang mengertilah aku mengapa aku melihat Sam Ok masih segar bugar, pada hal ia telah terkena pukulan Toat-beng lok-ciang dariku. Tentu engkau yang telah mengobati dan menyembuhkannya, enci Kiok Hwa."
"Benar, Eng-ji. Aku melihat ia terluka keracunan lalu aku mengobatinya."
Eng-ji menghela napas. "Boleh saja engkau tidak membedakan antara kaya miskin atau pandai dan bodoh. Akan tetapi kalau engkau menolong dan mengobati yang jahat, itu berarti mencari penyakit sendiri! Lihat buktinya, walau pun engkau telah menolong Sam Ok, tetap saja ia memusuhimu."
"Aku mengobati tanpa pamrih, tidak menuntut balas jasa, maka terserah apa yang akan ia lakukan, Eng-ji. Akan te-tapi kalau ia hendak membunuhku atau mencelakakan aku, tentu aku akan membela diri sedapat mungkin."
"Enci Kiok Hwa, apa artinya membela diri kalau engkau tidak mau melukai atau membunuh orang?" Eng-ji menegur Melihat betapa Eng-ji seperti mendesak Kiok Hwa, Han Lin lalu berkata "Eng-ji, sekarang tiba giliranmu untuk menceritakan riwayatmu. Aku pernah mendengar ceritamu, akan tetapi belum jelas benar."
"Benar, Eng-ji. Akupun ingin mendengar riwayatmu." kata Kiok Hwa.
Eng-ji menghela napas panjang. "Riwayatku tidak lebih baik daripada riwayatmu, enci Kiok Hwa. Akupun ditinggal mati ibuku dan ayahku juga meninggalkah aku, biarpun ketika itu dia masih hidup, Aku tidak tahu jelas di mana dia sekarang.
Ayahku adalah seorang yang terkenal di dunia kang-ouw, bernama Suma Kiang dan berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Huangho). Adapun ibuku, menurut ayahku, hanya seorang wanita dusun belaka, dari dusun Cia-ling bun di lereng Tai-hang-san. Akan tetapi ibuku telah meninggal dunia ketika aku masih kecil dan ayah tidak memberitahukan mengapa ibuku meninggal dunia. Dia bahkan marah kalau aku minta penjelasan. Dia hanya mengatakan ibuku telah mati di dusun itu dan sejak itu aku hidup berdua bersama ayah, setelah untuk sepuluh lahun lamanya ayahku menitipkan aku kepada Bibi Cia, seorang janda yang baik gati. Dalam usia tiga belas tahun aku Ikut ayah merantau dan mempelajari Ilmu silat. Kemudian ayah membawaku ke Puncak Ekor Naga di Cin ling-san dan uku berguru kepada suhu Hwa Hwa Cin-jin, mempelajari ilmu sampai lima tahun. Akan tetapi pada suatu hari muncul Thian-te Sam-ok bersama wanita yang diaku Ibu oleh Lin-ko itu. Mereka mengeroyok dan biarpun suhu Hwa Hwa Cinjin berhasil memukul mundur dan mengusir mereka, akan tetapi dia terluka parah dan meninggal dunia. Dia memesan agar aku membakar jenazahnya dan menaburkan abu jenazahnya di Sungai Huang-ho, dan agar aku mencari ayah dan membalas dendam kepada Thian-te Sam-ok. Nah, ternyata sebelum aku berhasil membalas dendam kepada mereka, aku malah masuk dalam perangkap mereka!" Eng-ji mengepal tinju dengan gemas.
"Ketika aku melihat engkau bertanding, aku melihat engkau mempergunakan pukulan dengan jari dan gerakanmu itu mirip sekali dengan ilmu It-yang-ci. Apakah engkau pernah mempelajari ilmu it Yang-ci?"
"Ilmu itu adalah Toat-beng Tok-cian. Menyerangnya dengan menggunakan tiga jari. Memang pada dasarnya ilmu itu adalah ilmu It-yang-ci yang oleh ayahku telah diubah menjadi Toat-beng Tok-cian yang mengandung hawa beracun. Ayah menguasai ilmu It-yang-ci, walaupun tidak sepenuhnya. Katanya pernah dia mempelajarinya dari seorang hwesio Siaw lim-pai." Tentu saja Eng-ji tidak mengerti bahwa setelah mempelajari It-yang-Ci dari hwesio tua itu, Suma Kiang bahkan membunuh hwesio itu!
Han Lin mengangguk-angguk, diami diam mencatat dalam hatinya bahwa musuh besarnya itu, Suma Kiang, ternyata paham pula ilmu It-yang-ci. Dia harus bersikap hati-hati kalau bertemu dan terpaksa bertanding dengan musuh besarnya
"Guruku pernah bercerita bahwa Huang-ko Sin-liong adalah seorang tokoh di sepanjang Lembah Huang-ho yang terkenal sekali, Eng-ji." kata Kiok Hwa. "Menurut suhu, belasan tahun yang lalu Huang-ho Sin-liong amat ditakuti di daerah itu,"
Eng-ji tersenyum bangga. "Memang, menurut ayahku sendiri, belasan tahun yang lalu dia menjadi rajanya di Lembah huang-ho, semua perampok dan bajak sungai tunduk dan takluk belaka kepadanya!"
Kiok Hwa dan Han Lin saling pandang penuh arti. Mereka merasa heran melihat kebandelan Eng-ji yang merasa bangga karena ayahnya adalah seorang datuk sesat yang menundukkan semua perampok dan bajak sungai! Akan tetapi karena Eng-ji sendiri memperlihatkan sikap yang gagah dan baik, tidak seperti penjahat bahkan lebih cocok menjadi pendekar, keduanya hanya merasa heran saja.
Kiok Hwa memandang Han Lin. "Kalau saja Lin-ko tidak keberatan, sekarang tiba gilirannya untuk menceritakan riwayatnya yang pasti menarik sekali."
Han Lin menunduk dan berpikir. bagaimana dia dapat menceritakan riwayatnya yang sesungguhnya? Satu kali ia pernah menceritakan riwayat yang sesungguhnya, yaitu kepada A-seng dan akibatnya, A-seng mencuri Suling Pusaka Kemala miliknya! Tidak, dia harus menyembunyikan identitasnya sebagai seorang pangeran! Kalau hal itu diceritakan, maka hanya akan menimbulkan banyak urusaan saja. "Lin-ko, kenapa diam saja? Bagaimana riwayatmu? Aku ingin sekali mendengar yang sejelasnya. Apalagi dengan keadaan ibumu di sini, sungguh membuat aku tertarik sekali untuk mengetahui sejelasnya duduk perkaranya." kata Eng-ji.
"Riwayatku juga tidak menarik dan hanya penuh dengan kesedihan belaka Aku tinggal di utara bersama ibuku. Aku adalah seorang Puteri Mongol, keponakan seorang kepala suku Mongol di sana."
"Ahhh !" Eng-ji berseru dan memandang kagum.
"Pantas wajah Lin-ko seperti agak asing dan menarik!"
Kiok Hwa tersenyum saja dan tidak mengeluarkan komentar.
"Akan tetapi ibuku bernasib malang, bahkan sampai sekarang juga " Han Lin menghela napas panjang.
Kemudian Ia dapat menekan perasaannya. "Aku tidak pernah mengenal ayahku. Ayah telah meninggalkan ibu sejak aku berada dalam kandungan."
"Ahh!" Kembali Eng-ji berseru. "Siapakah nama ayahmu, Lin-ko?"
"Ayahku seorang Han, kebetulan she Han juga, bernama Tung. Menurut ibuku, ayahku seorang laki-laki yang gagah perkasa dan bijaksana. Dia meninggalkan ibuku untuk merantau ke selatan, akan tetapi tidak pernah ada berita darinya sampai aku lahir dan berusia tiga tahun."
"Aneh sekali. Tentu telah terjadi apa-apa dengan ayahmu, Lin-ko." kata Kiok Hwa.
"Ibu juga mengira demikian. Menurut ibu, ayah seorang bijaksana, tidak mungkin melupakan ibu. Akan tetapi malapetaka menimpa diri kami ketika aku berusia tiga tahun. Seorang penjahat besar datang mengacau perkampungan kami dan menculik ibu dan aku. Dia lihai sekali sehingga penduduk perkampungan Mongol tidak berdaya. Kami dilarikan ke selatan oleh penjahat itu."
"Siapa penjahat terkutuk itu, Lin ko?"
Han Lin memandang kepada Eng-Ji dan tersenyum, menggeleng kepalanya "Aku tidak tahu namanya."