Suling Pusaka Kemala Jilid 12

Jilid XII

KIOK HWA yang masih muda itu ternyata juga mempunyai pandangan tajam dan pengetahuan yang luas. Melihat kakek ini, ia sudah dapat menduga siapa orangnya dan ia terkejut bukan main kakek ini, ia sudah dapat menduga siapa orangnya dan ia terkejut bukan main karena ia sudah mendengar bahwa Toa Ok yang berjuluk Toat-beng Kwi-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa) adalah seorang datuk sesat yang amat ditakuti di dunia kang-ouw bersama dua rekannya, yaitu Ji Ok (si Jahat ke Dua) dan Sam Ok (si Jahat ke Tiga).

"Dia Toa Ok !" bisik Kiok Hwa kepada Han Lin. Namun

Han Lin bersikap tenang dan tidak menjadi kaget karena dia memang sudah tahu siapa kakek itu. Bagaimanapun juga, dia berhadapan dengan seorang yang sudah tua sekali, maka dia bersikap cukup hormat ketika berkata.

"Toat-beng Kwi-ong Toa Ok, apa maksudmu mengejarku?" "Ha-ha-ha, kalian ini dua orang muda ternyata awas juga.

Bagus kalau kalian tahu bahwa aku adalah Toat-beng Kwi ong

Toa Ok. Biasanya kalau aku hendak mengambil sesuatu dari seseorang, aku akan bunuh orang itu dan mengambil barangnya, habis perkara. Akan tetapi melihat kalian masih muda, biarlah sekali ini aku mengampuni kalian dan membiarkan kalian pergi setelah kalian menyerahkan Im- yang-kiam kepadaku."

Han Lin mengerutkan alisnya dan Kiok Hwa mengundurkan diri menjauh, agaknya tidak ingin mencampuri urusan mereka. "Toa Ok, apa alasanmu minta Im-yang-kiam dariku?" tanyanya, diam diam mencatat bahwa datuk sesat ini dalam usia tuanya ternyata masih juga jahat sehingga pantas dia tentang.

"Alasannya? Ha-ha-ha, aku sudah mendengar bahwa engkau berhasil mencabut Im-yang-kiam, dan kalau engkau tidak memberikannya kepadaku dengan baik-baik, tentu engkau akan kubunuh dan Im-yang-kiam dalam buntalanmu itu akan kuambil juga, ha-ha-ha!" Toa Ok mengelus jenggotnya yang jarang sambil tertawa dan memandang kepada pemuda itu dengan meremehkan sekali.

Han Lin melepaskan buntalannya dan menaruhnya di atas tanah. Dia berdiri tegak di depan kakek itu dan berkata. "Boleh saja engkau merampas Im-yang-kiam kalau engkau mampu merebutnya dari tanganku!"

Toa Ok membelalakkan matanya saking kaget dan herannya. "Apa katamu? Engkau, bocah kemarin sore ini, berani menantangku? Ha-ha-ha-ha-ha!"

"Bukan menantang, Toa Ok. Engkaulah yang mencari perkara dan permusuhan, bukan aku!"

"Aku bukan hanya ingin merampas Im-yang-kiam, akan tetapi juga untuk mencabut nyawamu. Ingat julukanku adalah Toat-beng Kwi-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa)!"

"Pencabut nyawa atau pencabut rumput aku tidak perduli. Aku akan membela diri sekuat kemampuanku!" kata Han Lin, sederhana namun tegas dan mengandung ejekan akan nama julukan kakek itu.

Sepasang mata kakek itu mencorong karena marah. "Akan kuremukkan kepalamu, akan kupecah dadamu!" Berkata demikian, tiba-tiba Toa Ok menubruk dengan pukulan yang amat dahsyat. Si Jahat Nomor Satu ini begitu menyerang sudah tidak segan-segan untuk mempergunakan ilmu pukulannya yang keji dan mengerikan, yaitu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun)! Akan tetapi Han Lin yang sudah mengenal kelihaian orang, sudah cepat mengelak, mengandalkan kegesitan tubuhnya dan ketika kakek itu hendak menyambar buntalannya yang berada di atas tanah, diapun cepat menyerang dengan tamparan ke arah ubun-ubun kepala kakek itu.

"Wuuuutttt !!" Sambaran angin yang dahsyat itu

membuat Toa Ok terperanjat dan cepat dia menggerakkan lengannya untuk menangkis tamparan itu.

"Plakkk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya Toa Ok terhuyung ke belakang, akan tetapi Han Lin juga melangkah dua tindak ke belakang. Toa Ok menjadi semakin terheran- heran. Dia menatap wajah Han Lin seperti orang melihat setan di siang hari. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga mampu menandingi tenaga Ban-tok-ciang yang mengandung hawa beracun itu. Apakah dia yang sudah menjadi terlalu tua?

"Orang muda siapakah engkau?" dia bertanya, kini tidak berani memandang rendah.

Han Lin tersenyum. "Toa Ok, lupakah engkau kepadaku?

Engkau pernah memperebutkan diriku dengan Sam Ok, bahkan hendak membunuhku, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu."

Toa Ok mengerutkan alisnya dan diapun teringat. "Ah, engkaukah bocah itu? Bagus, kalau dulu aku tidak sempat membunuhmu, sekarang engkau tidak akan dapat lolos lagi!"

Diapun menyerang lagi dengan Ban-tok-ciang, kini mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi kembali pukulannya mengenai tempat kosong dan Han Lin juga membalas dengan serangan ilmu silat tangan kosong Ngo- heng Sin-kun. Ilmu silat ini jauh bedanya dengan Ngo-heng Klam-tin yang dipergunakan oleh lima orang tosu Im-yang-pai, karena kalau para tosu itu mempergunakan pedang untuk memainkan barisan itu, Ngo-heng Sin-kun (Silat Sakti Lima Unsur) menggunakan tangan kosong yang berubah-ubah lima macam sehingga membingungkan lawan. Kadang ganas dan liar seperti api, kadang bergelombang seperti air, kadang tenang keras seperti logam.

Terjadilah perkelahian yang amat seru. Akan tetapi, Toa Ok merasa memperoleh tanding yang amat kuat. Kalau dia mengerahkan pukulan Ban-tok-ciang yang mengeluarkan bunyi mencicit dan mengandung hawa beracun, Han Lin mengimbanginya dengan It-yang-ci, serangan dengan satu jari yang juga mengeluarkan suara mencicit dan memiliki daya serang yang amat berbahaya. Pukulan Ban-tok-ciang terpental kalau bertemu dengan It-yang-ci, menunjukkan bahwa ilmu Ban-tok-ciang itu kalah kuat dalam hal tenaga sakti. "Bocah keparat, awan racun hitam akan menelan dirimu!" tiba-tiba Toa Ok membentak dan tiba-tiba dari kedua tangannya keluar asap hitam yang amat tebal bergerak ke arah Han Lin. Pemuda ini maklum bahwa itu adalah kekuatan sihir yang dikerahkan oleh Toa Ok, maka diapun mengerahkan kekuatan batinnya dan mengeluarkan auman seperti singa dengan ilmu Sai-cu Ho-kang.

"Hauuuungggg !" Suara itu demikian kuat, mengandung

getaran hebat dan asap tebal hitam itu yang tadinya menyerang ke arah Han Lin tiba-tiba membalik seperti tertiup angin yang kuat dan Toa Ok yang tadinya tidak tampak tersembunyi di dalam asap hitam itu kini tampak kembali. Dia menjadi semakin penasaran. Bocah itu malah dapat memunahkan sihirnya!

Tiba-tiba Toa Ok berseru dengan suara yang penuh wibawa, "Orang muda, marilah ikut aku tertawa! Tidak ada yang dapat menahan engkau tertawa. Tertawalah sepuasmu. Hayo tertawa. Ha ha-ha-ha-ha!" Toa Ok tertawa bergelak sampai tubuhnya bergoyang-goyang. Han Lin merasa betapa ada dorongan yang kuat sekali memaksanya untuk tertawa, akan tetapi dia maklum pula bahwa ini-pun pengaruh ilmu sihir, maka dia menahan napas dan mengerahkan sin-kangnya untuk menolak pengaruh itu.

"Hauuungggg , engkaulah yang tertawa sepuasmu, Toa

Ok!" katanya setelah mengeluarkan suara auman singa. Dan Toa Ok terus tertawa, sampai terguncang-guncang dia tertawa. Dia merasa terkejut sendiri dan cepat tangan kirinya- menotok tiga kali ke dadanya. Baru suara tawanya berhenti dan dia menarik napas panjang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian lihainya. Kenyataan ini membuat dia menjadi marah. Demikianlah watak datuk sesat itu. Dia tidak dapat menerima kenyataan bahwa ada orang yang dapat mengalahkannya!! Apalagi seorang yang masih demikian muda. Karena itulah, melihat kenyataan yang menjadi kebalikan dari keinginannya itu dia menjadi marah dan otaknya yang cerdik dan curang itupun bekerja keras. Dia membentak dan mengirim serangan, kini bukan dengan tangan melainkan dengan pedang. Demikian cepat dia mencabut pedang dan menyerang sehingga yang nampak hanyalah sinar emas yang menyambar panjang ke arah tubuh Han Lin. Itulah pedang milik Toa Ok yang disebut Kim-liong- kiam (Pedang Naga Emas). Pedang itu terbuat dari baja akan tetapi dibalut emas sehingga tampaknya seperti pedang emas. Pedang itu menyambar dengan dahsyatnya sehingga Han Lin cepat melompat ke belakang. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Toa Ok juga melompat ke dekat Kiok Hwa dan sekali sambar dia telah memegang lengan gadis itu dan menempelkan pedangnya di leher Kiok Hwa!

"Toa Ok!" seru Han Lin kaget. "Apa yang kau lakukan itu?" "Ha-ha-ha-ha, orang muda. Engkau tinggal pilih. Serahkan

Im-yang-kiam kepadaku dan gadis ini kubebaskan atau engkau lebih suka melihat gadis ini mampus di depan hidungmu?"

"Kakek curang!" bentak Han Lin akan tetapi dia merasa tidak berdaya. Dia melihat betapa Kiok Hwa tampak tenang- tenang saja walaupun lehernya telah ditodong pedang dan gadis ini memandangnya dengan mata bersinar-sinar penuh selidik. Dia tidak tahu mengapa dalam keadaan terancam nyawanya, gadis itu masih tetap tenang dan memandangnya seperti itu. Dia menoleh ke kiri, memandang kepada sepotong bambu yang menggeletak di atas tanah.

"Hayo cepat serahkan Im-yang-kiam, itu kepadaku atau akan kupenggal kepala gadis ini!" Ancam Toa Ok dan Han Lin tidak ragu lagi bahwa kakek itu bukan hanya menggertak kosong belaka. Bukan Toa Ok julukannya kalau dia tidak kejam dan curang jahat.

"Baiklah, akan tetapi engkau harus berjanji untuk membebaskan gadis itu setelah menerima Im-yang-kiam." Toa Ok tidak bodoh. Dia berpikir sejenak. Kalau Im-yang- kiam dan Kim liong-kiam berada di tangannya, bocah itu dapat berbuat apakah? Memang dalam ilmu tangan kosong pemuda itu mampu mengimbanginya, akan tetapi kalau kedua pedang pusaka itu berada di tangannya, pemuda itu tentu tidak akan mampu menandinginya. Pula, kalau pedang sudah diberikan kepadanya, diapun tidak akan melepaskan mereka begitu saja! Mereka berdua itu harus dibunuh agar di kemudian hari tidak mendatangkan kerepotan kepadanya. Demikianlah jalan pikirannya, maka tanpa ragu dia menjawab dengan suara lantang.

"Aku berjanji akan membebaskan gadis ini setelah Im- yang-kiam kauserahkan kepadaku!"

Han Lin lalu mjengambil buntalan pakaiannya yang terletak di atas tanah, membukanya dan mengeluarkan Im-yang-kiam dari dalamnya. Sambil lalu dia melirik ke arah potongan bambu itu dan dengan girang mendapat kenyataan bambu itu masih utuh dan baik, dan panjangnya tepat untuk dia pakai sebagai senjata tongkat. Dia bangkit berdiri dan menjulurkan tangannya menyerahkan pedang Im-yang-kiam kepada Toa Ok sambil berkata dengan tenang.

"Inilah Im-yang-kiam, boleh kau terima. Akan tetapi bebaskan Nona Tan dengan segera." katanya.

Toa Ok melepaskan tangannya yang menangkap lengan Kiok Hwa dan menggunakan tangan kiri itu untuk menerima Im-yang-kiam sambil tertawa. Akan tetapi tiba-tiba dia berseru, "Mampuslah!" Dan pedangnya dengan cepat sekali telah menyerang Kiok Hwa yang baru saja dilepas lengannya. Pedang menyambar ke arah leher gadis itu. Akan tetapi tiba- tiba dengan cepatnya Kiok Hwa dapat mengelak sambil menggeser kakinya.

"Ehhh ?" Toa Ok menjadi heran dan terkejut. Pedangnya

menyambar lagi berturut-turut, akan tetapi sampai tiga kali pedangnya menyerang, tetap saja Kiok Hwa dapat mengelakkan diri dengan cepatnya.

"Tua bangka curang!" Han Lin membentak dan dia sudah menyambar tongkat bambu tadi. Dengan tongkat itu dia menyerang ke arah Toa Ok sehingga kakek itu terpaksa meninggalkan Kiok Hwa dan menghadapi Han Lin dengan dua pedang di tangan!

Han Lin segera mainkan Sin-kek -tung (Tongkat Bambu Sakti) dan tongkatnya bergerak seperti seekor naga bermain di antara gelombang yang menekan lawan. Toa Ok terkejut dan cepat memainkan sepasang pedangnya. Akan tetapi karena dia tidak biasa memainkan sepasang pedangnya, permainannya agak kaku dan pedang di tangan kiri itu hanya membantu saja, sedangkan yang benar-benar melakukan penyerangan adalah pedang di tangan kanan, yaitu pedang Kim-liong-kiam.

Terjadi perkelahian yang amat hebat. Kini Han Lin mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan kepandaiannya. Bukan hanya tongkatnya yang bergelombang dimainkan dengan ilmu tongkat Sin-tek-tung, akan tetapi juga kadang kalau ada kesempatan, tangan kirinya melepaskan tongkat dan melakukan penyerangan dengan It-yang-ci yang ampuh. Diserang seperti ini, Toa Ok menjadi repot. Ilmu tongkat lawannya yang masih muda itu sudah membingungkannya, apalagi ditambah lagi dengan penyerangan It-yang-ci yang membuat dia gentar karena ilmu totok itu benar-benar dahsyat sekali dan amat berbahaya baginya. Dia merasa kecelik sekali. Tadinya dia mengira bahwa kalau pedang Im-yang-kiam sudah berada di tangannya, dia akan dengan mudah dapat membunuh Han Lin dan gadis itu. Sekarang ternyata bahwa pemuda itu menemukan sebuah senjata sederhana, sebatang tongkat bambu yang dapat di-mainkannya sedemikian hebatnya sehingga dia mulai terdesak. Jangankan membunuh kedua orang muda itu, mendesak Han Lin pun dia tidak mampu!

Setelah lewat lima puluh jurus, Toa Ok menjadi benar- benar repot dan terdesak hebat. Pedangnya seolah bertemu dengan dinding baja, ke manapun pedangnya menyerang selalu bertemu dengan gulungan sinar tongkat bambu yang demikian kuatnya. Sebaliknya, ujung tongkat bambu itu beberapa kali mengancam jalan darahnya. Tiba-tiba Han Lin memutar tongkatnya secara aneh dan tahu-tahu tongkat itu sudah menyambar ke arah tenggorokan Toa Ok. Kakek ini terkejut sekali, cepat menarik tubuh atasnya ke belakang dan menggerakkan pedangnya menangkis. Pada saat itu, tangan kiri Han Lin menyerang dengan totokan It-yang-ci ke arah lengan kirinya.

"Cusss !" Siku lengan kiri Toa Ok terlanggar totokan dan

seketika lengannya lumpuh dan pedang Im-yang-kiam terlepas dari pegangannya. Sebelum dia hilang kagetnya, pedang pusaka itu telah berpindah ke tangan kiri Han Lin!

Biarpun dia kaget dan marah sekali, namun kakek yang licik ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka, maka sambil mengeluarkan suara melengking panjang, tubuhnya melayang jauh ke depan dan dia melarikan diri, lenyap di antara pohon-pohon. Han Lin yang sudah berhasil merampas kembali Im-yang-kiam, tidak melakukan pengejaran. Dia tersenyum senang dan memutar tubuhnya untuk menghadapi Kiok Hwa. Akan tetapi gadis itu tidak berada ditempat di mana ia tadi berdiri. Han Lin celingukan mencari-cari dengan pandang matanya akan tetapi tetap saja tidak dapat menemukan gadis itu. Akhirnya dia melihat coret-coretan di atas tanah di mana Kiok Hwa tadi berdiri.

Cepat dihampirinya tempat itu dan tak lama kemudian dia sudah berjongkok membaca tulisan yang ditinggalkan Kiok Hwa di atas tanah itu. "Aku pergi karena tidak ingin terlibat ke dalam perkelahian- perkelahian dan permusuhan yang tiada habisnya."

Han Lin tertegun, merasa betapa hatinya kosong dan kesepian. Dia merasa kehilangan sekali dengan kepergian gadis itu dan merasa ngelangsa. Kenyataan ini membuat dia merasa heran sendiri. Meng apa dia merasa begitu bersedih ditinggal pergi Kiok Hwa? Merasa kesepian dan keadaan sekelilingnya terasa tidak menarik lagi?

Tiba-tiba dia teringat. Tadi, ketika ditawan Toa Ok, gadis itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar dan aneh, kemudian dia teringat pula betapa gadis itu diserang beberapa kali oleh pedang Toa Ok namun selalu dapat menghindarkan diri. Kenapa ketika ditangkap Kiok Hwa tidak menghindarkan diri? Dan pandang mata itu Han Lin termangu-mangu.

Agaknya baru sekarang dia dapat memahami apa artinya pandang mata gadis itu. Kiok Hwa ingin mengujinya! Kiok Hwa ingin melihat apakah dia mau menukar pedang Im-yang-kiam untuk membebaskan dirinya. Kiok Hwa sengaja membiarkan dirinya ditawan untuk melihat sampai di mana pembelaannya terhadap gadis itu! Dan dia merasa girang sekali bahwa dia telah mengambil keputusan yang tepat, yaitu menyerahkan pedang untuk ditukar dengan kebebasan Kiok Hwa. Hal ini saja sedikitnya sudah menunjukkan bahwa dia memberatkan keselamatan gadis itu dari pada pedang Im-yang-kiam. Akan tetapi setelah mengetahui perasaannya terhadap dirinya, kenapa gadis itu meninggalkannya?

Dalam waktu singkat itu, terbayanglah semua yang terjadi ketika gadis itu masih melakukan perjalanan bersamanya, ketika gadis itu masih dekat dengannya.

Dan dalam bayangan ini, terasa olehnya betapa segala gerak-gerik gadis itu, setiap tutur katanya, setiap pandang matanya, selalu amat menyenangkan hatinya. Biarpun Han Lin belum pernah selamanya jatuh cinta kepada seorang wanita, namun dia merasakan betapa dia rindu terhadap Kiok Hwa, betapa di dalam hatinya hanya ada rasa suka dan selalu ingin berdekatan dengan gadis itu. Maka diam-diam diapun harus mengakui bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis ahli pengobatan itu. Bukan hanya tertarik karena wajahnya yang cantik jelita, akan tetapi terutama sekali karena tertarik oleh wataknya yang amat bijaksana dan berbudi mulia.

"Kiok-moi. !" Dia mengeluh lalu menggendong

buntalannya dan melanjutkan perjalanan dengan hati terasa hampa. Terasa benar himpitan cinta di dalam, hatinya pada saat itu. Dengan penuh kewaspadaan dia meneliti perasaannya sendiri dan dapat merasakan bahwa cinta asmara membuat dia rindu kepada wanita yang dicintanya. Rindu, ingin bertemu, ingin berkumpul, ingin mendekati, ingin menyenangkan, ingin menghibur dan ingin melindungi.

"Kiok-moi. !" kembali dia mengeluh dan mempercepat

langkahnya untuk mengusir pikiran yang mengganggu itu, akan tetapi juga dengan harapan mudah-mudahan dia akan dapat mengejar dan menyusul gadis itu!

Senja telah tiba dan Han Lin belum juga bertemu dengan dusun. Dia berjalan menyusuri Sungai Huang-ho. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya membuat garis merah memanjang di permukaan sungai. Burung-burung yang sehari sibuk mencari makan sudah berbondong-bondong terbang pulang ke sarang. Cuaca mulai gelap. Han Lin mengeluh.

Agaknya tidak terdapat dusun di dekat situ. Tidak tampak sebuahpun perahu, dan tidak ada pula penggembala ternak yang menggiring ternak mereka pulang kandang. Agaknya terpaksa dia harus melewatkan malam di alam terbuka.

Baginya sudah terbiasa melewatkan malam di tempat terbuka, akan tetapi entah mengapa. Setelah ditinggalkan Kiok Hwa, dia merindukan kehadiran orang-orang lain dan dia akan merasa senang dan terhibur kalau dapat bermalam di rumah keluarga dusun. Akan tetapi agaknya dia harus melewatkan malam di tepi sungai seorang diri. Tidak akan ada makanan dan minuman hangat seperti kalau dia bermalam di rumah seorang dusun dengan keluarganya yang ramah. Padahal perutnya terasa lapar sekali. Terakhir kali perutnya terisi adalah ketika pergi tadi dia sarapan di sungai bersama Kiok Hwa. Gadis itu masih membawa bekal roti kering dan dia menangkap ikan besar yang banyak berkeliaran di tepi sungai, kemudian ikan itu dibumbui oleh Kiok Hwa dan dipanggang.

Betapa lezatnya makan roti kering dengan panggang ikan! Apalagi makan bersama Kiok Hwa. Dan semenjak pagi tadi dia belum makan apa-apa, maka sekarang perutnya terasa lapar sekali.

Dia harus cepat mencari makanan, sebelum malam tiba, pikirnya. Dia melepaskan buntalan pakaiannya dan meletakkan di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi sungai. Lalu dia mendekat ke tepi sungai, membawa sepotong bambu yang tadi dia pakai melawan Toa Ok. Maksudnya hendak mencari kalau-kalau ada ikan berenang di tepi, akan ditangkapnya dengan tongkat bambu itu. Akan tetapi hatinya kecewa karena di tepi sungai itu tidak ada ikan yang berenang. Untuk mencari ke tengah tentu saja dia tidak mampu karena tidak ada perahunya. Maka dia lalu meninggalkan tepi sungai dan mencari-cari di antara semak belukar. Akhirnya dia melihat apa yang dicarinya. Seekor kelenci bergerak hendak lari dari semak-semak. Cepat Han Lin melemparkan tongkat bambunya dan tepat tongkat bam bu itu mengenai kelenci dan tewaslah binatang itu. Han Lin cepat mengambilnya.

Kalau ada Kiok Hwa, gadis itu mempunyai persediaan yang lengkap. Pisau dan bumbu-bumbu. Akan tetapi dia sama sekali tidak mempunyai perlengkapan. Pisaupun tidak punya.

Terpaksa dia menggunakan Im-yang-kiam, bagian mata pedang yang putih, untuk menguliti kelenci itu!

Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi, Suaranya merdu dan Han Lin mengira bahwa yang bernyanyi itu seorang wanita, akan tetapi ternyata penyanyi itu seorang pemuda yang mendayung perahu ke tepi, dekat tempat dia duduk menguliti kelenci. Dia memandang dan melihat seorang pemuda remaja yang pakaiannya seperti seorang petani, wajahnya tampan dan tersenyum-senyum, mata nya bersinar- sinar nakal.

"Aihh, menguliti kelenci menggunakan pedang! Ha-ha, betapa lucu dan canggung nya!" pemuda itu berkata sambil tertawa ketika menarik perahunya ke pinggir dan mengikat tali perahunya pada pohon di bawah mana Han Lin duduk. Han Lin memperhatikan pemuda remaja itu. Seorang pemuda biasa saja, pemuda dusun, agaknya nelayan atau petani. Tampan dan gembira sikapnya.

"Terpaksa, kawan. Aku tidak mempunyai pisau, maka terpaksa menggunakan pedang." jawab Han Lin sambil tersenyum juga.

"Pedang yang begitu indah lagi. Sayang dipergunakan untuk menguliti kelenci. Aku mempunyai pisau kalau engkau membutuhkannya." kata pemuda itu dan dia mengambil sebuah pisau dari dalam perahunya, menyerahkannya kepada Han Lin.

Han Lin tersenyum senang. "Engkau baik sekali, sobat. Terima kasih. Maukah engkau menemani aku memanggang kelen ci ini dan makan bersamaku?" Dia menawarkan.

Pemuda remaja itu mengernyitkan hidungnya, seperti memandang rendah. "Panggang kelenci? Pakai bumbu apa?"

Han Lin menjadi rikuh. "Aku tidak mempunyai bumbu, jadi dipanggang begitu saja."

"Ih, mana bisa dimakan? Daging apapun tidak enak rasanya tanpa bumbu. Aku tidak suka makan panggang daging tanpa bumbu, tentu rasanya hambar dan tidak enak. Kulitilah sampai bersih, buang isi perutnya. Nanti akan kuberi bumbu dan baru dipanggang." "Engkau mempunyai bumbunya?"

"Jangan khawatir. Aku mempunyai persediaan lengkap." kata pemuda remaja itu. "Bahkan aku mempunyai sepuluh buah bakpau yang masih baru, dan tadi aku menangkap enam ekor udang besar. Biarkan aku yang memanggang daging kelenci dan udang itu, ditanggung lezat!"

Han Lin merasa girang sekali. Harus diakui bahwa dia tidak begitu pandai memanggang daging, apalagi tanpa bumbu.

Rasanya memang tidak enak dan tidak karuan, hambar seperti dikatakan pemuda remaja itu.

"Terima kasih. Engkau baik sekali. Aku sungguh beruntung dapat bertemu dan berkawan denganmu. Kenalkan, nama ku Han Lin. Engkau siapa?"

"Aku Eng-ji." kawab pemuda remaja itu dengan singkat dan dia mengeluarkan sebuah buntalan dari dalam perahunya, juga enam ekor udang besar yang masih hidup. Dibukanya buntalan itu dan ternyata dia membawa perlengkapan masak yang lebih lengkap dibanding perlengkapan yang dibawa Kiok Hwa. Bahkan terdapat pula panci, mangkok dan sumpit!

"Sudah selesai membersihkan kelenci itu? Ke sinikan dagingnya dan buatkanlah api unggun yang besar." kata Eng- ji dengan suara memerintah. Han Lin tidak membantah atau menjawab, melainkan memberikan daging kelenci dan pisaunya, mencuci tangannya lalu mencari dan mengumpulkan daun dan kayu kering untuk membuat api unggun.

Dengan cekatan dan trampil sekali Eng-ji memotong begini kelenci, memilih dagingnya dan membuang tulangnya, kemudian menusuk daging-daging itu dengan dua potong kayu. Setelah itu, dia menyayat enam ekor udang itu, memberinya bumbu seperti juga daging kelenci tadi, bumbunya sederhana saja, garam, mrica dan bawang, lalu dia membungkus udang itu dengan tanah liat! Han Lin memandang dengan heran dan tak dapat menahan dirinya untuk tidak bertanya.

"Kenapa udang-udang itu dibungkus dengan tanah liat seperti itu? Apakah tidak menjadi kotor dan bagaimana memanggangnya?"

Eng-ji memandang kepadanya, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum. Han Lin melihat betapa manisnya pemuda remaja itu kalau tersenyum. Giginya putih kecil-kecil dan rata.

"Engkau belum pernah makan udang panggang bungkus tanah liat? Hem kau lihat dan coba saja nanti. Tidak ada masakan udang yang lebih lezat daripada di panggang dalam tanah liat begini."

Mulailah Eng-ji memanggang dua tu-suk daging kelenci dan enam ekor udang yang dibungkus tanah liat itu. Sibuk dia bekerja, dan ketika Han Lin hendak membantunya, ditolaknya dengan keras.

"Memanggang begini memerlukan ke-ahlian dan perhitungan yang tepat. Kalau tidak, dapat hangus dan berbau sangit. Biarkan aku yang memanggangnya. Lebih baik engkau mencari air jernih di panci untuk dimasak dan untuk membuat air teh nanti."

"Air teh?"

"Habis kita mau minum apa? Aku ada membawa teh harum."

Han Lin terheran-heran. Pemuda remaja ini sungguh luar biasa! Akan tetapi hatinya menjadi senang sekali. Dia mendapatkan seorang kenalan yang cekatan dan pandai masak. Dia lalu mencari air jernih dalam panci, lalu membuat api unggun lagi untuk memasak air dalam panci.

Setelah airnya mendidih, Eng-ji menyuruh Han Lin mengambil bungkusan teh dari dalam buntalannya. Nadanya memerintah, akan tetapi Han Lin menaati perintah itu dan jadilah air teh yang berbau harum! Daging kelenci sudah masak pula.

"Nah, daging ini sudah masak! Nih, untuk kau setusuk. Ini bakpaunya. Bakpau dimakan dengan daging kelenci ini tentu enak." kata Eng-ji sambil mengambil buntalan bakpau yang sepuluh buah banyaknya itu. Bakpau itu masih baru dan lunak

Mereka mulai makan bakpau dan daging kelenci yang rasanya amat gurih.

"Dan udangnya?" tanya Han Lin sambil memandang kepada enam ekor udang bungkus tanah liat yang masih dipanggang itu.

"Belum matang. Dan memang sebaiknya kita makan daging kelenci lebih dulu, karena kalau kita makan udangnya dulu, nanti daging kelencinya akan terasa kurang enak."

"Kenapa begitu?"

"Karena udangnya luar biasa lezatnya sih!" kata Eng-ji sambil menggigit daging kelenci dengan giginya yang putih berkilau.

Sementara itu, malam telah tiba dan cuaca mulai gelap. Nyamuk mulai berdatangan. Akan tetapi mereka aman dari gangguan nyamuk dan hawa udara yang mulai dingin karena adanya api unggun yang mengusir nyamuk dan hawa dingin,

Agaknya Eng-ji juga lapar benar seperti halnya Han Lin.

Akan tetapi dia tidak dapat menghabiskan lima buah bakpau. Setelah habis empat buah, dia memberikan yang sebuah lagi untuk Han Lin.

"Nih, satu lagi untukmu. Aku sudah kenyang. Apalagi nanti masih harus makan tiga ekor udang panggang!" kata Eng-ji. Han Lin juga tidak sungkan-sungkan dan menerima tambahan sebuah bakpau itu. Dia merasa berterima kasih sekali kepada sahabat barunya yang demikian ramah dan baik. Akhirnya semua bakpau dan daging kelenci itu habis. Han Lin harus diam-diam memuji pemuda remaja itu. Masakan nya daging kelenci walaupun hanya dipanggang, demikian lezat.

Daging kelenci gemuk itu lemaknya terasa gurih bukan main dan memanggangnya pun pas sekali, bagian luarnya agak kering dan bagian dalamnya lunak. Rasa asinnya tepat dan merica serta bawangnya mendatangkan aroma amat sedap. Han Lin menjilat-jilati bibirnya dan merasa puas.

"Enakkah panggang kelenci tadi?" tanya Eng-ji sambil tersenyum lebar melihat Han Lin menjilat bibir sendiri.

"Luar biasa sekali! Biarpun aku sering makan daging kelenci panggang, namun selamanya belum pernah makan yang selezat tadi. Engkau benar-benar hebat dan pandai sekali masak, Eng-ji. Kalau engkau membuka warung makan, tentu akan laku sekali."

"Itu belum seberapa. Coba rasakan sekarang udang ini!" Dia mengambil seekor udang dari api, lalu menggunakan pisau untuk memukul tanah liat yang sudah menjadi kering. Tanah liat itu pecah dan ternyata kulit udang besar itu ikut pula terbuka bersama tanah liat, meninggalkan dagingnya yang tampak kemerahan sebesar ibu jari kaki! Eng-ji mengambil daging yang sudah terkelupas kulitnya itu dengan sepasang sumpit.

"Nah, terimalah ini dengan sumpit dan coba makan bagaimana rasanya!" kata Eng-ji dengan suara gembira.

Han Lin mengambil sepasang sumpit dan menerima daging udang itu. Baru melihatnya saja sudah menimbulkan selera.

Daging putih kemerahan yang menghamburkan aroma yang khas udang. Sedap dan gurih. Dia meniup daging itu agar jangan terlalu panas, lalu mencoba menggigitnya. Hebat!

Bukan main enaknya. Gurih, manis dan sedap! Han Lin sampai terbelalak saking heran dan kagum, lalu makan daging udang itu tergesa-gesa sampai mulutnya kepanasan dan melihat ini Eng-ji tertawa geli. Diapun memecahkan lagi seekor udang lalu memakannya, sedikit demi sedikit tidak seperti Han Lin.

"Kalau menggigitnya sedikit demi sedikit, dikunyah lembut, tentu akan lebih lezat." katanya.

Tanpa ditawari lagi, setelah udang pertama habis, Han Lin mengambil udang kedua dan memecah tanah liatnya dengan pisau, lalu mengambil daging udangnya dengan sumpit. Dia menurut nasehat Eng ji, menggigit dan makan sedikit-sedikit dan memang makin terasa benar lezatnya!

Air teh dituang dalam mangkok dan makan udang panggang sambil minum air, teh harum sungguh merupakan kenikmatan yang belum pernah dialami Han Lin. Seperti juga tadi ketika makan bakpau, Eng-ji hanya makan dua ekor udang, yang satu dia berikan kepada Han Lin sehingga pemuda ini makan empat ekor. Han Lin menerima dengan senang hati karena memang udang itu lezat sekali dan orang memberinya dengan ikhlas.

Setelah kenyang mereka mencuci tangan dan mulut. Han Lin melihat betapa Eng-ji teliti sekali dalam membersihkan tangan dan mulut, bahkan pemuda remaja itu berkumur dan menggosok gigi.

"Sehabis makan malam orang harus membersihkan gigi dan mulut sampai bersih benar agar jangan mudah terkena penyakit." demikian pemuda remaja itu berkata dan Han Lin teringat akan nasihat Kiok Hwa yang sama benar. Diapun mencontoh perbuatan Eng-ji dan membersihkan mulutnya.

Kemudian mereka duduk dekat api unggun dan bercakap- cakap.

"Engkau datang dari manakah, twako (kakak besar)?" tanya Lng-ji sambil meng amati wajah Han Lin yang tertimpa cahaya api unggun. Sepasang mata pemuda remaja itu berkilauan terkena cahaya api. "Aku seorang perantau, datang dari tempat jauh sekali di utara." jawab Han Lin. "Dan engkau sendiri, datang dari manakah, Eng-ji?"

"Aku juga seorang perantau, datang dari Cin-ling-san.

Engkau dari mana?" "Dari Thai-san."

"Wah, kita ini sama-sama perantau, sama-sama datang dari gunung yang jauh. Kita sama-sama pemuda gunung!" kata Eng-ji gembira.

"Engkau ini masih kecil bagaimana merantau seorang diri? Di manakah orang tuamu?" tanya Han Lin dengan perasaan iba. "Di dunia yang begini luas dan berbahaya, banyak orang jahat, tentu penghidupanmu akan terancam sekali."

"Ayahku meninggalkan aku, dan ibuku sudah tidak ada.

Engkau mengatakan aku masih kecil? Apa kaukira engkau ini sudah tua renta? Kalau aku masih kecil, engkaupun masih kecil, sobat!"

"Hemm, aku sudah hampir dua puluh satu tahun! Aku sudah dewasa dan aku dapat menjaga diriku sendiri dari bahaya."

"Huh! Hanya dua tahun lebih tua dari ku dan engkau berlagak seperti orang tua renta!"

"Benarkah?" kata Han Lin sambil mengamati wajah yang tampan itu. "Tadi nya kukira engkau baru berusia empat belas atau lima belas tahun! Akan tetapi biarpun usia kita tidak terpaut banyak, aku pandai menjaga diri dari bahaya!"

"Hemm, akupun manusia hidup dan sehat kuat. Apa kau kira hanya engkau saja yang mampu menjaga diri? Akupun mampu, buktinya sampai sekarang semenjak aku meninggalkan Cin-ling-san, aku berada dalam keadaan selamat!" Berkata demikian, ia mencoba untuk menutup bungkusan pakaiannya, akan tetapi terlambat karena Han Lin sudah dapat melihat sebatang pedang dengan sarungnya yang indah tersembul keluar.

"Ah, kiranya selain pandai memasak, agaknya engkau pandai bermain pedang pula, Eng-ji!" katanya kagum.

Eng-ji tersenyum. "Siapa yang bermain pedang? Aku hanya dapat menjaga diri, seperti juga engkau. Sudahlah, aku lelah dan mengantuk. Aku mau mandi dulu lalu terus tidur."

"Mandi? Sudah malam begini?"

"Apa salahnya? Aku tidak akan dapat tidur kalau belum membersihkan badan dan berganti pakaian. Di sana ada air sumber yang jernih, aku mau mandi dulu. Tolong jagakan buntalan pakaianku, ya?"

Tanpa menanti jawaban, Eng-ji sudah pergi membawa satu pasang pakaian pengganti dan menghilang di dalam kegelapan.

Han Lin membesarkan api unggun, duduk melamun dan teringat akan sahabat barunya itu. Seorang yang lebih muda darinya dan hidupnya tampak demikian gembira. Juga seorang perantau dan seorang yang terpisah dari ayahnya, sudah kehilangan ibunya pula. Seperti dirinya! Akan tetapi pemuda remaja itu tampaknya selalu gembira dan besar hati, pandai membawa dan menyesuaikan diri. Ingin sekali dia melihat sampai di mana tingkat kepandaian pemuda remaja itu.

Agaknya tidak mungkin ilmu kepandaiannya cukup tinggi melihat dia masih begitu muda. Dia masih berpendapat bahwa usia pemuda itu tidak akan lebih dari lima belas tahun. Akan tetapi kalau ilmu silatnya rendah, bagaimana dia berani merantau sampai demikian jauhnya? Sungguh seorang pemuda yang menarik hati dan mengandung rahasia. Akan tetapi bukan seorang sahabat yang tidak menyenangkan.

Sebaliknya, sikapnya menyenangkan sekali. Begitu ramah dan sebentar saja jika dia sudah merasa akrab. "Lin-ko, engkau tidak mandi?" tiba-tiba dia mendengar suara dan ketika dia menengok, dia melihat Eng-ji sudah mandi dan wajahnya tampak segar, rambutnya basah digelung ke atas dan diikat dengan sehelai kain hitam.

"Aku hanya akan mencuci muka saja." kata Han Lin. "Harap engkau ganti berjaga di sini, aku hendak pergi ke sumber air itu." Dia lalu bangkit dan berjalan pergi. Dia merasa heran kepada dirinya sendiri. Kenapa dia begitu percaya kepada pemuda remaja itu? Dalam buntalan-nya terdapat Im-yang- kiam! Bagaimana kalau pemuda itu mengambil Im-yang-kiam dan membawanya lari? Dia menjadi ragu dan hatinya agak was-was. Akan tetapi untuk kembali dan mengambil pedangnya itu dia merasa tidak enak, bukankah pemuda tadi juga meninggalkan semua isi buntalannya ketika pergi mandi? Dia melanjutkan langkahnya menuju ke sumber air. Sambil meraba-raba, diterangi sinar api unggun yang masih dapat mencapai tempat itu, dia membasuh muka, kaki dan lengannya. Kemudian kembali ke tempat semula. Hatinya lega melihat Eng-ji masih duduk mengeringkan rambut dekat api unggun dan buntalannya masih berada di tempat semula, tidak terusik. Dia merasa malu kepada diri sen diri yang tadi telah meragukan kejujuran pemuda remaja itu!

"Aku mau tidur. Tadi makan terlalu kenyang sehingga sekarang amat mengantuk." kata Eng-ji dan dia lalu bangkit berdiri, menghampiri perahunya yang sudah ditarik ke pinggir, memasuki perahu lalu merebahkan diri membujur di dalam perahunya, berbantalkan buntalan pakaian nya, tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Han Lin masih duduk di dekat api unggun dan beberapa kali dia menengok, memandang ke arah Eng-ji, akan tetapi agaknya pemuda itu telah tertidur karena sama sekali tidak bergerak atau bersuara. Karena ingin tahu, Han Lin bangkit berdiri dan menghampiri ke dalam perahu. Dia melihat pemuda itu tidur miring dengan menarik kedua kakinya ke dada, tanda bahwa dia kedinginan. Memang hawa malam itu amat dingin dan pemuda itu tidurnya agak jauh dari api unggun. Han Lin merasa kasihan juga. Dia mengambil sehelai baju luarnya dan mempergunakan baju luar itu untuk menyelimuti Eng-ji. Yang diselimutinya tidak bergerak, agaknya memang sudah tidur nyenyak.

Han Lin tidak tidur. Dia berjaga di dekat api unggun sambil menjaga agar api unggun tidak padam, bahkan dia menggeser api unggun itu agar lebih mendekati perahu yang berada di tepi sungai agar Eng-ji mendapatkan kehangatannya. Dia tidak berani tidur karena selain harus menjaga keselamatan mereka berdua, dia juga harus menjaga agar pedang mereka tidak diambil oleh orang. Dia duduk sambil melamun. Ketika dia melamun dengan pikiran kosong itu, mendadak muncul Kiok Hwa dalam lamunannya. Dia tetap merindukan gadis itu dan mengharapkan akan dapat bertemu. Akan tetapi kini tidak ada rasa kesepian tadi.

Bagaimanapun juga, dia sudah memperoleh seorang teman yang baik untuk menerima pembagian perhatiannya.

Tengah malam telah lewat dan Han Lin masih duduk melamun di dekat api unggun sambil memandang nyala api yang bergoyang-goyang ditiup angin.

"Lin-ko. !"

Dia cepat menengok dan melihat Eng-ji sudah berdiri di situ, memegangi baju luar yang tadi diselimutkannya. "Eh, kenapa terbangun Eng ji? Tidurlah."

"Tidak, aku sudah cukup lama tidur. Sekarang giliranmu beristirahat, twako. Biar aku yang berjaga di sini mengganti- kanmu. Ini bajumu, terima kasih bahwa engkau telah menyelimutiku. Pakailah agar engkau tidak kedinginan."

Dalam suara Eng-ji terdapat ketegasan yang memerintah sehingga Han Lin tidak dapat membantah lagi. Dan dia merasa aneh. Pemuda remaja itu memang luar biasa, kadang dalam suaranya dan sikapnya seperti orang yang suka memimpin! "Baiklah, Eng-ji." katanya dan dia menerima bajunya lalu memasuki perahu itu dan merebahkan diri membujur di dalam perahu. Karena dia memang perlu beristirahat untuk memulihkan tenaganya, maka tak lama kemudian diapun tertidur nyenyak.

Ketika ayam hutan jantan mulai berkokok dan burung- burung berkicau, Han Lin terbangun. Malam baru saja bersiap- siap untuk meninggalkan bumi dan cuaca masih remang- remang ketika dia keluar dari dalam perahu yang menjadi tempat tidurnya itu. Api unggun telah padam dan dia mendapatkan Eng-ji tertidur melengut sambil duduk di bawah pohon. Pagi itu dingin sekali. Han Lin menanggalkan baju luarnya yang semalam dia pakai untuk menyelimuti dirinya dan menyelimutkannya pada tubuh Eng-ji. Lalu dia menyalakan lagi api unggun. Dilihatnya Eng-ji tertidur nyenyak dan wajah pemuda remaja itu seperti wajah seorang kanak- kanak. Dia tersenyum. Memang dia masih kanak-kanak, pikirnya. Akan tetapi seorang anak yang luar biasa!

Nyala api unggun itu agaknya membangunkan Eng-ji. Dia terbangun dan menggosok-gosok matanya, melihat baju luar yang menyelimutinya dan diapun mengambil baju itu dan memandang kepada Han Lin yang duduk di dekat api unggun.

"Ah, celaka! Apakah aku tertidur? Wah, membikin engkau repot saja, Lin-ko. Nih bajumu, terima kasih."

"Kalau masih mengantuk, tidurlah, Eng-ji. Hari masih terlalu pagi."

"Apa? Tidur lagi? Tidak, aku sudah kenyang tidur, aku hendak mandi!" Dan diapun bangkit berdiri, membawa kain penyeka badan lalu setengah berlari menuju ke sumber air yang berada tak berapa jauh dari situ dan terhalang batu besar.

Han Lin tersenyum. Anak itu demikian suka mandi! Lalu teringatlah dia akan nasihat Kiok Hwa yang juga menganjur- kan agar orang sering mandi karena hal itu akan mendatangkan kesehatan. Tal lama kemudian Eng-ji sudah selesai mandi dan Han Lin juga segera mandi untuk membersihkan diri. Dia merasa sejuk dan segar sekali. Ketika dia kembali ke tempat tadi, dia melihat Eng-ji sudah memegang dua batang pedang, yaitu pedangnya sendiri dan pedang Im-yang-kiam, dan pemuda remaja itu kelihatan tegang.

"Eh, Eng-ji, ada apakah?" tanyanya! Akan tetapi Eng-ji sudah melemparkan Im-yang-kiam yang telanjang itu kepadanya. Han Lin menerimanya dan pemudi itu berkata lirih.

"Ada orang datang! Kita harus berhati hati." katanya menuding ke arah sungai! Han Lin menengok dan benar saja. Dari tengah sungai tampak sebuah perahu meluncur ke pinggir, ke tempat mereka dan perahu itu ditumpangi dua orang. Masih terlalu jauh untuk dapat melihat siapa adanya dua orang itu. Hati Han Lin menjadi tegang karena dia melihat sikap Eng-ji yang juga tegang dan penuh kekhawatiran.

Setelah perahu itu datang dekat. Han Lin terbelalak kaget bukan main karena dia mengenal dua orang itu.

"Hati-hati, Lin-ko. Mereka itu adalah Toa Ok dan Sam Ok, dua orang datuk yang amat lihai dan jahat!" terdengar Eng-ji berkata kepadanya dan Han Lin terkejut bukan main.

Bagaimana pemuda remaja ini dapat mengenal dua orang datuk sesat itu? Dia menjadi semakin heran saja melihat Eng ji, apalagi melihat betapa Eng-ji sama sekali tidak kelihatan takut walaupun Lelah mengenal siapa ada nya dua orang itu.

"Mereka itu tentu datang untuk merampas pedangku ini," kata Han Lin.

"Jangan khawatir. Lin-ko. Serahkan saja mereka kepadaku!" kata Eng-ji sambil mencabut pedangnya. Han Lin melihat sinar kehijauan dari pedang yang terhunus itu dan dia menjadi semakin kagum. Kiranya pemuda remaja itupun memiliki sebatang pedang yang ampuh. Akan tetapi ketenangannya dan keberaniannya yang membuat dia terheran-heran. Hanya orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi saja yang dapat bersikap demikian berani dan tenang menghadapi ancaman orang berbahaya seperti Toa Ok dan Sam Ok!

Toa Ok dan Sam Ok telah tiba di sungai dan mereka segera menarik perahu ke pinggir dan setelah mengikatkan perahu, mereka berdua berloncatan ke depan dua orang pemuda yang telah berdiri menanti dengan pedang di tangan itu! Toa Ok telah bertemu dengan Sam Ok dan dia mengajak rekannya itu untuk mengejar Han Lin. Dengan ditemani Sam Ok dia yakin bahwa dia tentu akan dapat mengalahkan Han Lin dan merampas Im-yang-kiam. Dia terheran-heran melihat Han Lin sudah menantinya dengan Im-yang-kiam di tangan dan di sampingnya berdiri seorang pemuda remaja lain yang juga memegang sebatang pedang yang sinarnya kehijauan dan pemuda ini memandang kepadanya dengan mata bersinar- sinar penuh kemarahan!

"Wah, engkau benar, Toa Ok. Dia adalah pemuda yang dulu itu. Kini telah menjadi seorang pemuda yang amat ganteng! Pedangnya boleh untukmu, akan tetapi pemudanya berikan kepadaku, Toa Ok!" terdengar Sam Ok berkata. Han Lin melihat betapa wanita itu masih tampak cantik saja seperti dulu, cantik dan genit pesolek, padahal usianya tentu telah mendekati enam puluh tahun!

"Sam Ok, cepat engkau bunuh pemuda yang lain itu agar kita dapat sama-sama menghadapi dia dan merampas Im- yang-kiam!" kata Toa Ok.

Sam Ok memandang kepada Eng-ji. "Wah, yang ini juga ganteng sekali! Pedangnya juga merupakan pusaka yang baik. Orang muda, marilah engkau menyerah saja kepadaku, anak manis!" Sambil berkata demikian, Sum Ok mencoba untuk menangkap lengan tangan Eng-ji. Akan tetapi Eng-ji sudah mengelebatkan pedangnya yang bersinar hijau untuk membacok lengan tangan Sam Ok sehingga Sam Ok terkejut setengah mati dan cepat menarik kembali tangannya.

"Sam Ok, perempuan tua bangka yang tidak tahu malu! Kematianmu sudah di depan mata dan engkau masih berani banyak berlagak? Hari ini engkau akan mampus di tanganku!" bentak Eng-ji dengan garang dan Han Lin menjadi semakin terkejut. Pemuda remaja itu berani mengeluarkan ucapan sesombong itu! Terhadap seorang datuk sesat seperti Sam Ok yang amat lihai lagi!

Sam Ok marah sekali mendengar penghinaan itu. "Bocah lancang mulut. Aku akan membuat engkau merangkak- rangkak minta ampun dan menjilati kakiku!" katanya dan iapun sudah menerjang maju sambil menggunakan jari-jarinya untuk mencengkeram dan menotok. Itulah Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun) yang amat berbahaya sehingga Han Lin menjadi khawatir dan hendak maju melindungi Eng-ji. Akan tetapi Eng-ji bergerak cepat sekali dan sudah memutar pedangnya sehingga bukan Sam Ok yang mengancam, bahkan jari-jari tangannya kini terancam oleh sinar pedang kehijauan! Han Lin bernapas lega melihat betapa Eng-ji benar- benar mampu menjaga diri sendiri, maka perhatiannya kini tertuju kepada Toa Ok.

Toa Ok merasa terkejut juga melihat betapa pemuda remaja itu mampu menandingi Sam Ok, bahkan kini mereka sudah bertanding hebat karena Sam Ok juga sudah mencabut pedangnya, yaitu Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam) yang beracun. Kalau Sam Ok menggunakan pedang, hal itu berarti bahwa lawannya tentu tangguh sekali. Toa Ok merasa kecelik sekali. Tadinya dia membawa Sam Ok untuk membantunya mengeroyok Han Lin, tidak tahunya di situ ada seorang pemuda remaja yang demikian tangguhnya, mampu menandingi Sam Ok!

Karena sudah kepalang dan diapun ingin sekali dapat memiliki Im-yang-kiam, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas) miliknya dan menyerang Han Lin yang sudah memegang Im-yang- kiam. Han Lin menangkis dan membalas menyerang. Terjadi perkelahian yang amat seru.

Yang mengagumkan adalah Eng-ji. Biarpun masih amat muda, namun ternyata ilmu pedangnya amat hebat gerakannya. Hal ini sebetulnya tidak mengherankan karena Eng-ji sebetulnya adalah Suma Eng! Dengan ilmu pedang Coa- tok Sin-kiam-sut (Ilmu Pedang Sakti Racun Ular) ia dapat mengimbangi permainan pedang Sam Ok. Bahkan pedangnya yang bergerak dengan lenggang-lenggok seperti seekor ular itu membuat Sam Ok kewalahan!

Dengan penasaran sekali Sam Ok membantu pedang di tangan kanannya dengan tangan kiri yang menyerang dengan Ban-tok-ci. Akan tetapi hal ini bahkan merugikannya karena Eng-ji kini juga membantu pedangnya dengan pukulan tangan kiri yang amat ampuh. Tangan kiri itu mendorong dengan telapak tangan dan serangkum hawa panas sekali menyambar Sam Ok. Itulah pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa), sebuah pukulan jarak jauh yang mengandung racun panas yang ampuh sekali. Sam Ok terhuyung dan ia terdesak terus.

Keadaan Toa Ok tidak lebih baik dari pada Sam Ok. Diapun terdesak hebat oleh pedang Im-yang-kiam di tangan Han Lin. Toa Ok kecewa sekali. Dia memang sudah tahu bahwa ilmu kepandaian pemuda ini hebat sekali dan dia tidak mampu menandinginya. Akan tetapi Sam Ok sama sekali tidak dapat membantunya bahkan ketika dia melirik ke arah rekannya itu, Sam Ok juga terdesak hebat oleh lawannya.

Melihat ini Sam Ok lalu mengambil sesuatu dari saku jubahnya dan membantingnya ke atas tanah. Terdengar ledakan dan asap hitam tebal mengepul tinggi.

"Awas, mundur!" Seru Han Lin dan Eng-ji juga melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau asap hitam itu beracun. Setelah asap hitam membuyar dan menipis, ternyata dua orang itu telah lenyap bersama perahu mereka.

"Kita kejar mereka!" kata Eng-ji sam bil menghampiri perahunya siap untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi Han Lin mencegahnya.

"Tidak baik kita mengejar. Mereka itu licik dan curang sekali, amat berbahaya mengejar mereka. Apalagi di atas air di mana kita tidak berdaya. Kecuali kalau engkau mahir bermain di air, Eng-ji."

Eng-ji bergidik, dan menggeleng kepalanya. Dia teringat akan pengalamannya dengan para bajak sungai. "Tidak, aku tidak pandai renang."

"Kalau begitu, jangan kejar. Eng-ji, aku kagum sekali kepadamu. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau akan mampu menandingi orang yang demikian lihai dan berbahaya seperti Sam Ok!" kata Han Lin sambil memandang kagum.

Eng-ji tersenyum. "Akupun kagum dan heran melihatmu. Engkau Bahkan dapat menandingi Toa Ok, raja datuk sesat yang sakti itu! Kepandaianmu hebat sekali, Lin-ko!"

"Engkau juga sudah mengenal mereka, Eng-ji. Bagaimana engkau dapat mengenal orang-orang macam itu?"

"Mereka adalah musuh besarku. Masih ada seorang lagi, yaitu Ji Ok. Mereka bertiga merupakan Thian-te Sam-ok yang menjadi musuh besarku karena mereka telah melukai guruku dan menyebab kan kematian guruku."

"Ah, begitukah? Melihat kelihaianmu, gurumu tentu seorang yang sakti. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah gurumu itu, Eng-ji?"

"Guruku seorang pertapa di Cin-ling-san, julukannya adalah Hwa Hwa Cinjin. Pada suatu hari dia didatangi Thian-te Sam- ok dan dikeroyok. Suhu mampu mengusir mereka akan tetapi dia terluka dan akhirnya tewas." "Hemm, Thian-te Sam-ok itu jahat sekali. Dulu di waktu aku masih kecil merekapun sudah berusaha untuk membunuhku.

Sekarang selelah aku dewasa, mereka masih mencoba untuk merampas Im-yang-kiam dan membunuhku."

"Baru sekarang aku menyadari bahwa kiranya engkau yang telah berhasil memiliki Im-yang-kiam, Lin-ko. Ayahku pernah bercerita tentang Im-yang-kiam itu, bahkan ayah sendiri tidak berhasil mencabutnya. Kiranya engkau yang berhasil mencabutnya. Tidak heran kalau Toa Ok datang hendak merampasnya. Kabarnya Im-yang-kiam itu merupakan pedang pusaka yang amat ampuh sekali."

"Eng-ji, melihat kepandaianmu, aku yakin bahwa ayahmu juga tentu seorang gagah yang berilmu tinggi. Boleh aku mengetahui siapa ayahmu?"

Eng-ji menghela napas panjang. "Ayahku juga seorang perantau. Dia berjuluk Huang-ho Sin-liong bernama Suma Kiang."

Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati Han Lin mendengar ini. Suma Kiang adalah musuh besarnya yang mengakibatkan tewasnya ibunya! Suma Kiang yang berusaha untuk membunuhnya di waktu dia masih kecil, yang menculik dia dan ibunya dari perkampungan Mongol! Ternyata pemuda remaja ini, yang dalam waktu semalam telah menjadi sahabat baiknya, bahkan yang telah membantunya dalam menghadapi Toa Ok dan Sam Ok, adalah putera Suma Kiang, musuh besarnya! Biarpun Han Lin dapat menekan perasaannya dan tidak memperlihatkan sesuatu pada wajahnya, namun dia tertegun dan memandang Eng-ji dengan diam tak berkedip.

"Engkau kenapakah, Lin-ko? Engkau memandangku seperti orang merasa heran. Mengapa?"

Bocah ini memiliki pandang mata yang tajam dan amat cerdik, pikir Han Lin. Dia sadar dan pandang matanya men jadi biasa lagi. "Ah, aku hanya terheran-heran melihat engkau yang masih begini muda ternyata telah memiliki ilmu kepan daian tinggi sekali. Mengagumkan dan mengherankan, Eng-ji!"

"Hemm, kepandaianmu lebih tinggi lagi, Lin-ko. Aku dapat menandingi Sam Ok, akan tetapi kalau aku harus menandingi Toa Ok, agaknya sukar bagiku untuk mencapai kemenangan. Engkau sudah mengetahui nama guruku. Aku yakin bahwa gurumu tentu juga .seorang yang sakti seperti guruku.

Siapakah gurumu, Lin-ko?"

Karena pemuda itu sudah berterus terang kepadanya, walaupun dia putera musuh besarnya, Han Lin merasa tidak enak kalau tidak berterus terang pula. Akan tetapi mengingat bahwa Go-bi Sam sian, tiga orang gurunya yang pertama, pernah bentrok dengan Suma Kiang, dia tidak menyebut tiga orang gurunya itu, melainkan dua orang gurunya yang terakhir.

"Guruku ada dua orang. Yang pertama bernama Cheng Hian Hwesio dan yang ke dua berjuluk Bu-beng Lo-jin."

"Ah, mereka tentu orang-orang sakti." kata Eng-ji. "Sekarang engkau hendak melanjutkan perjalanan ke manakah, Lin-ko?"

"Aku hendak melanjutkan perjalanan ke selatan, ke kota raja untuk mencari pengalaman dan menambah pengetahuan. Dan engkau sendiri, Eng-te (adik laki-laki Eng)?"

"Aku juga hendak merantau ke selatan. Kebetulan aku sendiri juga ingin sekali berkunjung ke kota raja untuk melihat kebesaran kota raja dan keramaiannya, maka kuharap engkau tidak keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama, Lin- ko!"

Tentu saja Han Lin tidak merasa keberatan walaupun hatinya ragu mengingat bahwa pemuda ini adalah putera Suma Kiang. Bagaimana kalau dalam perjalanan mereka berjumpa dengan Suma Kiang? Dia tentu akan menentang datuk itu! Dia merasa tidak enak sendiri. "Aku tidak keberatan, Eng-ji. Akan tetapi bukankah engkau katakan hendak mencari ayahmu? Di manakah ayahmu itu sekarang?"

"Aku tidak tahu. Dia meninggalkan aku pada mendiang suhu dan tidak mem-beritahu ke mana akan pergi. Katanya dia akan menjemput di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san. Akan tetapi sampai suhu meninggal dunia dia tidak muncul. Terpaksa aku meninggalkan tempat itu. A-kan tetapi aku pernah mendengar ayahku menyatakan bahwa dia ingin sekali pergi ke kota raja. Karena itu, kebetulan sekali kita pergi ke sana, siapa tahu aku akan bertemu dengan ayahku di sana."

"Akan tetapi untuk melakukan perjalanan ke selatan sebaiknya kita melakukan perjalanan darat. Terpaksa kita harus meninggalkan perahumu."

Eng-ji tertawa. "Tentu saja! Untuk apa perahu macam itu?

Aku sendiri juga sudah bosan berperahu, pula, aku tidak berani mendayung perahu ke tengah, selalu jalan di tepi."

"Kenapa?"

"Aku mengalami hal yang pahit sekali dan hampir membuat aku mati tenggelam. Aku bertemu bajak sungai. Kami berkelahi dan aku mengamuk dengan berloncatan dari satu perahu ke perahu yang lain. Akan tetapi bajak-bajak sungai yang curang itu menenggelamkan perahu sehingga aku tercebur ke dalam air dan nyaris tenggelam!"

"Ah, lalu bagaimana?" Han Lin terkejut juga mendengar cerita pemuda itu.

"Untung muncul seorang pendekar dari Kun-lun-pai yang pandai renang. Dialah yang menyelamatkan aku dari mati tenggelam. Namanya Gui Song Cin dan orang nya baik sekali."

"Untung muncul seorang pendekar yang baik hati. Aku sendiripun tidak pandai renang. Itulah sebabnya aku mencegahmu ketika engkau hendak melakukan pengejaran terhadap Toa Ok dan Sam Ok yang melarikan diri dengan perahu mereka."

"Aku dapat memahami maksud baikmu, Lin-ko. Karena itu akupun tidak berkeras untuk mengejar mereka. Akan tetapi kalau saja perahu ini dapat kita jual, tentu akan dapat untuk menambah uang biaya perjalanan kita." Dia berhenti sebentar lalu menoleh kepada Han Lin. "Engkau membawa bekal uang untuk biaya, Lin-ko?"

Han Lin menggeleng kepalanya. Dia memang sudah tidak mempunyai uang.

"Jangan khawatir, Lin-ko. Aku masih mempunyai sisa uang cukup banyak. Lihat ini!" Eng-ji memperlihatkan sisa uang nya dan memang cukup banyak. "Lagi Pula, kalau kita kehabisan, apa sukarnya? Kita dapat mengambil uang dari para hartawan atau bangsawan yang kelebihan uang yang mereka dapatkan dengan tidak halal."

"Mencuri?" tanya Han Lin kaget.

"Apa salahnya? Kita mengambil uang mereka bukan untuk bersenang-senang, mengambil secukupnya saja untuk keperluan hidup dalam perjalanan kita. Atau kalau engkau tidak tega mengambil uang mereka, kita mengambil uang dari para perampok dan penjahat!" kata pula Eng-ji dengan suara gembira. Han Lin terpaksa hanya tersenyum saja karena diapun tidak melihat cara lain untuk mendapatkan uang bekal perjalanan.

"Mari kita lanjutkan perjalanan, Eng-te." katanya dan kedua orang muda itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Han Lin merasa tetap tidak enak melakukan perjalanan bersama putera musuh besarnya, akan tetapi dia tidak mempunyai alasan untuk memisahkan diri. Pula, ayahnya jadi boleh jahat,. menyebabkan ibunya hidup menderita, tidak dapat bicara bahkan akhirnya menyebabkan kematian ibunya. Ayahnya memang jahat sekali, akan tetapi hal itu apa hubungannya dengan anaknya? Kalau anaknya tidak jahat, tidak semestinya dia menentangnya. Dia hendak melihat saja nanti bagaimana perangai Eng-ji yang sebenarnya. Dia belum dapat menilai watak pemuda remaja itu yang baru dikenalnya semalam. Melihat dia menentang orang-orang macam Thian- te Sam-ok saja sudah menimbulkan kesan baik di hatinya.

Ternyata kemudian oleh Han Lin bahwa Eng-ji bersikap amat ramah dan baik kepadanya. Bahkan terlalu baik. Kalau mereka kemalaman di hutan, Eng-ji selalu sibuk melayani segala keperluan Han Lin. Membuatkan masakan dan ternyata pemuda itu pandai sekali masak. Walaupun alat masak dan bumbunya sederhana, namun dia dapat membuatkan masakan yang enak-enak. Bahkan ketika dia mencuci pakaian kotornya, dia minta pakaian Han Lin yang kotor untuk dicucikan sekalian.

Kalau mereka tiba di sebuah dusun atau kota, Eng-ji menggunakan uangnya untuk berbelanja dan selalu berusaha untuk menyenangkan hati Han Lin. Han Lin sampai merasa canggung dan rikuh sekali melihat pelayanan Eng-ji. Seolah- olah Eng-ji menganggap dia sebagai majikannya. Karena sikap ini, Han Lin merasa semakin suka kepada pemuda putera musuh besarnya itu. Akan tetapi ada kalanya Eng-ji bersikap seperti seorang anak yang nakal dan bandel.

Pada suatu hari ketika mereka memasuki sebuah rumah makan di sebuah kota, Han Lin melihat sebuah keluarga duduk menghadapi meja makan dan di antara mereka terdapat dua orang gadisnya yang cantik. Dia hanya memandang biasa saja, akan tetapi Eng-ji menggodanya ketika mereka duduk menghadapi meja. Godaan yang lebih bersifat tuduhan.

"Lin-ko, ternyata engkau seorang pemuda yang mata keranjang!" demikian katanya. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar