Suling Pusaka Kemala Jilid 08

Jilid VIII

"AMITOHUD    ! Siapa lagi kalau bukan murid murtad A-

seng itu."

"A-seng?" Han Lin tertegun. A-seng menipunya, pura-pura bermalam akan tetapi mencuri suling pusaka kemalanya, dan ternyata di sini telah melakukan hal yang lebih hebat pula.

Amat keji perbuatannya yang dilakukan di Puncak Awan Putih. Membunuh Nelayan Gu dan Petani Lai, masih membakar pondok Cheng Hian Hwesio pula!

"Akan tetapi, mengapa dia melakukan hal ini, losuhu?"

"Pinceng yang bodoh, salah menilai orang. Disesalipun tiada gunanya, akan tetapi siapa yang tidak akan bersedih? Mereka ini tewas dengan sia-sia. Ah, gurumu Bu-beng Lo-jin yang benar, Han Lin. Pinceng seperti buta, tidak melihat harimau dalam kulit domba."

"Cheng Hian Hwesio, engkau benar. Disesalipun tidak ada gunanya lagi. Dan engkau ingat akan kata-katamu dahulu. Di sini karmamu mempermainkanmu! Karma yang bekerja dengan amat cerdiknya. Dan dua orang pembantumu yang setia ini telah bersikap setia sampai mati. Mereka telah mati, tak perlu ditangisi lagi."

Bu-beng Lo-jin muncul menghampiri Cheng Hian Hwesio. "Omitohud ! Lo-jin, pinceng masih merasa bingung dan

terpukul. Bagaimana pun juga, anak itu telah kami tolong, Ayah bundanya dan keluarganya mati terbunuh penjahat, dia hidup sebatangkara dan kami terima sebagai murid. Akan tetapi kenapa kini dia melakukan ini?" Suara kakek itu pilu penuh perasaan sedih dan sesal.

"Yang dia bunuh itu bukan keluarganya, melainkan sepuluh orang petani biasa yang tidak berdosa." kata Bu-ben Lo-jin tenang.

"Yang dia bunuh?" Han Lin berteriak "Suhu, jadi dia "

"Ya, dialah, pemuda yang mengaku bernama A-seng itu, yang membantai sepuluh orang itu. Mereka adalah petani- petani biasa dan sama sekali bukan keluarganya!"

"Omitohud ! Benarkah itu? Akan tetapi mengapa?"

"Cheng Hian Hwesio, biarpun engkau udah berpengalaman, akan tetapi agaknya engkau tidak banyak mengenal kehidupan para datuk dan tokoh jahat. Kejahatan yang dilakukan A-seng itu belum seberapa' Dan mengapa dia membunuh sepuluh orang yang diakuinya sebagai keluarganya? Agar hatimu tergerak dan suka menerimanya sebagai muridmu. Dia melakukan pembunuhan itu hanya dengan satu tujuan, yaitu menjadi muridmu. Dan ia sudah berhasil. Sangat berhasil sehingga dia dapat menimba ilmu darimu samai lima tahun! Bahkan kecurigaanku sendiri menjadi luntur karena selama lima tahun ini dia benar-benar bersikap baik seperti yang kudengar dari Han Lin. Ah, Cheng Hian Hwesio, anak itu adalah serang iblis cilik yang amat berbahaya. Dia akan menjadi tokoh yang mengerikan dalam dunia persilatan."

Cheng Hian Hwesio menghela napas panjang. "Omitohud , pantas dua tahun terakhir ini dia sengaja

mengadu ilmu yang dia pelajari dari pinceng dengan ilmu yang dipelajari Han Lin darimu! Kiranya ini suatu bujukan agar pinceng menurunkan ilmu yang lebih hebat, agar tidak kalah oleh muridmu! Sungguh menyesal sekali, aku bahkan telah mengajarkan lt-yang-ci dan Pek-in Hoat-sut kepadanya!"

Bu-beng Lo-jin juga terkejut mendengar ini. Dia tahu betapa hebatnya dua ilmu itu, terutama It-yang-ci. "Sungguh ingin sekali aku mengetahui, dia itu siapa dan dari perkumpulan sesat yang mana."

"Pinceng juga tidak tahu. Dia ditemani dua orang yang melempar bahan peledak sehingga menghalangi pinceng mencegah mereka melarikan diri."

"Asap beracun?"

"Agaknya begitu, akan tetapi pinceng sempat menjauhkan diri. Anak itu secara tidak tersangka-sangka telah menyerang pinceng dengan It-yang-ci membuat pinceng sempat menderita luka yang cukup parah. Akan tetapi pinceng sempat menggertaknya dan dia lalu melarikan diri di balik asap tebal."

"Dia bahkan hendak membunuhmu? Astaga, benar-benar iblis cilik yang tidak mengenal budi! Han Lin, kelak kalau bertemu dengan iblis itu, engkau harus berhati-hati sekali terhadap kelicikannya." kata Bu-beng Lo-jin.

"Semalampun teecu telah menjadi korban kelicikannya, suhu. Dia mengetuk jendela teecu dan mengatakan bahwa pagi ini dia harus pergi, maka dia ingin bermalam di kamar teecu untuk bercakap cakap. Tentu saja teecu tidak menolak, karena dia adalah suheng teecu. Akan tetapi ketika pagi tadi teecu terbangun, ia sudah tidak ada dan suling pusaka

kemala teecu juga hilang."

"Omitohud !" Cheng Hian Hwesio berseru keras.

"Pusaka itu dicuri dan dibawanya lari? Han Lin, engkau harus mencarinya dan engkau harus merampasnya kembali! Itu adalah satu-satunya benda pusaka yang menjadi bukti akan keadaan dirimu!" Han Lin terbelalak memandang kepada Cheng Hian Hwesio. "Jadi losuhu suda tahu ?"

"Han Lin, akulah yang memberitahu kepadanya akan keadaan dirimu. Dia adalah gurumu juga, bukan? Dia berhak untuk mengetahui siapa engkau."

"Sudahlah, Han Lin. Pinceng juga tidak akan membocorkan rahasiamu. Akan tetapi satu-satunya benda bukti bahwa engkau adalah seorang pangeran adalah suling pusaka kemala itu. Karena itu engkau harus mendapatkannya kembali," kata Cheng Hian Hwesio.

"Akan tetapi, losuhu. Setelah teecu (murid) pikir-pikir, apa gunanya suling pusaka kemala itu bagi teecu? Teecu tidak ingin menjadi pangeran. Biarpun ayah tecu seorang kaisar, akan tetapi dia telah meninggalkan kami ibu dan anak, berarti dia tidak mau mengakui kami. Kalau di sudah tidak mau mengakui, untuk apa teecu harus memaksanya untuk mengaku teecu? Teecu tidak ingin menjadi pangeran yang dipaksakan."

Cheng Hian Hwesio dan Bu-beng Lo-jin saling pandang dan keduanya tertawa senang, bahkan Bu-beng Lo-jin sampai terbahak-bahak. Kemudian Cheng Hian Hwesio memegang kedua pundak Han Lin dan berkata, "Pendirianmu itu sehat dan benar sekali, Han Lin. Akan tetapi tidaklah engkau ingin menyelidiki mengapa Kaisar Cheng Tung tidak menjemput ibumu? Dan tidak inginkah engkau mengenal ayah kandungmu? Dan untuk itu, engkau harus memegang suling pusaka kemala itu."

"Senjata itu boleh jadi tidak perlu bagimu, Han Lin," kata Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama). "Akan tetapi jelas perlu bagi pemuda yang mengaku bernama A-seng itu. Kalau tidak perlu, untuk apa dia mencuri suling pusaka kemala itu darimu? Apakah engkau telah menceritakan apa adanya suling itu dan siapa dirimu sebenarnya?" Han Lin mengangguk. "Karena dia merupakan seorang suheng yang baik, teecu sudah menceritakannya, suhu."

"Nah, pantas saja dia lalu mencuri suling pusaka kemala itu! Dia tahu bahwa suling itu merupakan satu-satunya benda bukti bahwa pemegangnya adalah Putera Kaisar Cheng Tung yang terlahir dari ibu Mongol! Dia tentu akan menggantikan kedudukanmu sebagai pangeran di kota raja dengan bukti suling itu!"

"Omitohud ! Akan hebatlah kalau begitu. Orang selicik

dia, setelah menjadi pangeran, bukan tidak boleh jadi lalu berusaha untuk menjadi putera mahkota agar kelak menggantikan kedudukan kaisar! Dan kalau kaisarnya seperti dia, celakalah negara dan bangsa'" seru Chen Hian Hwesio dan suaranya mengandung penyesalan besar sekali. "Pinceng tidak boleh tinggal diam saja!"

Han Lin tertegun. Pikirannya tidak melayang sejauh itu dan diapun terkejut melihat segala kemungkinan buruk itu Dia memang tidak ingin menjadi pangeran, akan tetapi kalau sampai A-seng yang demikian licik dan jahat menjadi pangeran dan kemudian bahkan menjadi pengganti kaisar, dia memang tidak boleh tinggal diam saja.

"Kalau begitu, menurut suhu berdua, teecu harus mencarinya dan merampas kembali suling pusaka kemala itu?" tanyanya kepada dua orang tua itu.

"Tentu saja, engkau harus menghalangi dia menjadi pangeran dan kemungkinan menjadi pengganti kaisar. Tidak salah lagi perkiraan kami. Dia mencuri suling pusaka kemala itu tentu hanya dengan tujuan itu, karena tidak ada alasan lain." kata Bu-beng Lo-jin.

"Omitohud dan pinceng telah mengajarkan semua ilmu

simpanan pinceng kepadanya'" kata Cheng Hian Hwesio dengan nada penuh penyesalan. "Lo-jin, pinceng harus mengetahui lebih dulu tingkat kepandaian Han Lin. Jangan sampai dia kalah kalau bertanding melawan A-seng itu."

"Han Lin, perlihatkan ilmu-ilmu yang pernah kau pelajari dariku kepada Cheng Hian Hwesio." kata Bu-beng Lo-jin. "Akan tetapi kasihan sekali dua orang murid ini, apakah tidak lebih baik kala kita kubur mayat mereka lebih dulu?"

"Omitohud, engkau benar, Lo-jin."

"Han Lin, galilah dua lubang untuk mengubur mereka." kata Bu-beng Lo-jin.

"Baik, suhu. Di mana teecu harus menggali lubang itu, losuhu?" tanya Han Lin kepada Cheng Hian Hwesio. Hwesio itu lalu memilihkan tempat yang baik untuk makam Nelayan Gu dan Petani Lai. Setelah mendapatkan tempat yan dianggapnya layak dan baik, Han Lin lai menggunakan cangkul menggali dua buah lubang yang cukup dalam dan lebar.

Kemudian, secara sederhana sekali dua mayat itu dikubur dan setelah lubang ditutup kembali, Cheng Hian Hwesio berdiri dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, berdiri seperti patung di depan dua makam itu. Diam-diam timbul penyesalan yang mendalam di dalam hatinya. Kalau dia tidak menerima A- seng sebagal murid, tidak menurunkan It-yang-ci kepadanya, belum tentu kedua orang murid dan pembantunya yang setia ini akan tewas di tangan pemuda iblis itu! Tanpa dirasakan, dua butir air mata bergantungan di pelupuk mata hwesio itu!

Melihat ini, Bu-beng Lo-jin menghibur. "Penyesalan tiada gunanya, semua telah terjadi menurut garis yang ditentukan. Kematian merekapun tidak perlu dibuat penasaran, karena mereka tewas dalam membela kebenaran dan menentang yang jahat. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kemudian. Semua itu merupakan rahasia. Kita hanya dapat menerima dengan penuh rasa syukur karena dalam setiap peristiwa itu terkandung hikmah yang mendalam dan penuh rahasia. Tidakkah engkau pikir demikian, Cheng Hian Hwesio?" Hwesio itu tersenyum. "Omitohud, engkau benar sekali, Lo- jin. Perasaan pinceng begini lemah dan mudah hanyut."

"Karena engkau banyak melakukan samadhi atas dasar cintakasih terhadap semua mahkluk, perasaanmu menjadi peka sekali dan mudah hanyut. Hal itu bukanlah tidak baik. Berbeda dengan aku yang selalu membuka mata dengan waspada melihat keadaan hidup ini di mana baik buruk selalu mengambil tempat dalam hati akal pikiran manusia silih berganti. Baik dan buruk itu hanya ada dalam penilaian manusia dan penilaian manusia itu palsu adanya."

"Omitohud, apa yang kau katakan itu amat mendalam artinya, namun tidak dapat disangkal kebenarannya, Lo-jin."

Han Lin juga berlutut di depan makam memberi penghormatan kepada mendiang kedua orang suhengnya yang selalu bersikap baik kepadanya, menjadi penasaran mendengar ucapan terakhir dari suhunya itu.

"Maaf, suhu. Teecu tidak mengerti apa artinya dengan ucapan suhu tadi bahwa baik dan buruk itu hanya ada dalam penilaian manusia dan penilaian manusia itu palsu adanya?"

"Ah, apakah engkau belum mengerti akan hal yang sewajar dan sesederhana itu? Pikirkan baik-baik. Yang dinamakan baik dan buruk itu tidak akan ada kekal tidak ada penilaian.

Sesuatu itu wajar wajar saja, tidak baik dan tidak buruk. Akan tetapi setelah ada penilaian dan perbandingan, barulah dinamakan ini baik dan itu buruk. Jadi yang melahirkan baik buruk adalah penilaian. Mengertikah?"

"Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi mengapa penilaian manusia suhu katakan palsu adanya?" Han Lin mengejar.

"Penilaian manusia selalu didasari rasa suka dan tidak suka, dengan perhitungan diuntungkan atau dirugikan. Kalau diuntungkan timbul rasA suka dan penilaiannya tentu baik, sebaliknya kalau dirugikan timbul rasa tidak suka dan penilaiannya tentu buruk. Orang sedunia boleh nenganggap Si A sebaik-baiknya orang, akan tetapi kalau SI A merugikan dan memusuhi kita, dapatkah kita menganggapnya sebagai orang baik? Sebaliknya, orang sedunia boleh menganggap Si B sejahat-jahatnya orang, akan tetapi kalau Si B menguntungkan kita, amat baik terhadap kita, dapatkah kita menganggap dia seorang jahat? Tentu saja tidak. Terhadap orang yang kita suka karena menguntungkan kita, tentu kita akan menilainya baik. Sebaliknya terhadap orang yang kita tidak suka karena merugikan kita, tentu kita akan menilai-nya jahat. Nah, penilaian seperti itu bukankah palsu adanya?"

"Akan tetapi, suhu. Bukankah penilaian yang sifatnya umum di mana diri kita tidak terlibat?" Han Lin terus mengejar.

"Memang ada pendapat dan penilaian umum dan itu sudah dijadikan ukuran oleh kita untuk menganggap mana yang baik dan mana yang jahat. Akan tetapi jangan lupa bahwa umum juga telah terpengaruh oleh pendapatnya masing-masing berdasarkan suka atau tidak suka, diuntungkan atau dirugikan. Karena itu, bentrokan pendapat bukan hanya terjadi kepada pribadi-pribadi, melainkan juga bentrokan pendapat dan penilaian antara kelompok, golongan, dan bangsa. Bangs Han kita semua memandang mendiang Jenghis Khan sebagai orang yang sekejam kejamnya dan sejahat-jahatnya. Akan tetapi coba bertanya kepada bangsa Mongol. Mereka semua menganggap bahwa mendiang Denghis Khan adalah orang besar, gagah perkasa, pahlawan bangsa. Mengapa demikian? Alasannya mudah saja. Bangsa Han merasa dirugikan oleh Jenghis Khan, sebaliknya bangsa Mongol merasa diuntungkan. Nah, penilaian siapa kah di antara kedua bangsa ini yang benar? Bukankah kedua-duanya mengandung ketidak- kebenaran?"

Han Lin termenung dan mengangguk-angguk perlahan. "Akan tetapi, suhu, mungkinkah kita hidup tanpa penilaian, tanpa rasa suka atau tidak suka?" "Ha-ha-ha, kita adalah manusia-manusia yang masih memiliki nafsu, tentu saja tidak mungkin. Akan tetapi kalau engkau sudah yakin bahwa penilaian itu merupakan pendapat yang miring, berat sebelah dan palsu, kita dapat berhati-hati menghadapi jalan pikiran kita sendiri. Karena itu, dalam melakukan sesuatu, sikapmu terhadap seseorang jangan sekali kali berdasarkan rasa suka atau tidak suka saja, karena itu menimbulkan penilaian yang palsu. Kalau engkau misalnya berhadapan dengan seorang yang jahat, tengoklah ke dalam hatimu apakah engkau menganggapnya jahat karena rasa tidak suka, karena dirugikan atau karena dendam. Anggapan begitu adalah tidak benar dan palsu. Akan tetapi amatilah dengan teliti keadaan orang itu sebagaimana adanya, tanpa dendam, tanpa kebencian, tanpa rasa suka atau tidak suka.

Kalau engkau biasakan bersikap seperti ini, sikap dan perbuatanmu terhadap semua orang besar kemungkinannya benar dan tepat."

Han Lin mengangguk-angguk. Selama lima tahun ini, dia sudah banyak mendapat wejangan, baik dari Bu-beng Lo-jin maupun dari Cheng Hian Hwesio. Semuai yang dikatakan Bu- beng Lo-jin tadi hanya merupakan penjelasan saja yang membuka mata batinnya menimbulkan pengertian.

"Omitohud, Lo-jin telah membuka rahasia kekuasaan nafsu atas diri manusia demikian gamblangnya sehingga pinceng yakin bahwa Han Lin tentu telah mengerti baik. Sekarang, coba perlihat-kan semua ilmu yang pernah kau pelajari agar pinceng dapat membandingkan siapa di antara engkau dan A- seng yang lebih lihai, Han Lin."

"Baik, Losuhu."

Setelah memberi hormat kepada dua orang gurunya, Han Lin lalu bersilat tangan kosong memainkan Ngo-heng Sin-kun (Silat Sakti Lima Unsur). Dia sengaja bersilat dengan secepatnya dan menggunakan sin-kang sehingga setiap gerakan tangannya mendatangkan angin yang kuat. Juga dia bergerak berdasarkan ilmu langkah yang diajarkan oleh Bu- beng Lo-jin. Dalam ilmu silat, gerak dan langkah kaki merupakan dasar pokok. Makin teratur dan kuat kedudukan kaki, makin cepat gerakannya, semakin tangguh pula ilmu silat itu. Melihat ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Sin-kun ini, Cheng Hian Hwesio menganguk-angguk. Dengan ilmu silat itu, ditambah pengetahuan Han Lin tentang Sin-liong-ciang-hoat yang diajarkannya, maka dalam pertandingan tangan kosong jelas Han Lin tidak akan kalah melawan A-seng.

"Cukup, Han Lin!" Cheng Hian Hwesio berseru dan Han Lin menghentikan gerakannya.

"Sekarang, bersiaplah. Pinceng hendal menyerangmu dengan It-yang-ci, jaga dirimu baik-baik. Lo-jin, tolong kau ikut memperhatikan sehingga kita dapat mengambil keputusan apakah dia perlu mempelajari It-yang-ci ataukah tidak."

"Aku mengerti maksudmu, Cheng Hian Hwesio. Memang hal itu baik sekali. Pergunakanlah it-yang-ci sebaiknya untuk mendesaknya. Dan kau Han Lin, berhati-hatilah menghadapi serangan Cheng Hian Hwesio karena engkau belum mengenal It-yang-ci!"

"Baik, suhu. Losuhu, teecu telah siap" kata Han Lin sambil memasang kuda-kuda dengan kokoh dan teguh sekali.

"Bagus, sambutlah!" Cheng Hian Hwesio lalu memainkan ilmu silat lt-yang-ci dan kedua tangannya, dengan telunjuT diacungkan, melakukan serangan totokan bertubi-tubi. Dari kedua telunjuknya menyambar hawa serangan yang mengeluarkan bunyi bercuitan dahsyat!

Han Lin terkejut sekali. Cepat dia mengatur langkahnya dan mengelak dengan menambah kecepatan gerakannya. Cheng Hian Hwesio menyarang terus dan Han Lin mencoba untuk menangkis. Akan tetapi ketika dia menangkis dan tangannya bertemu telunjuk, dia terhuyung ke belakang karena dari telunjuk itu menyambar kekuatan yang amat hebat. Diapun coba membalas serangan Cheng Hian Hwesio karena satu- satunya jalan untuk menahan desakan lawan dengan membalas serangan itu dengan setangan pula. Terjadilah pertandingan yang amat seru. Mereka saling serang dan saling elak dan tangkis, akan tetapi jurus tampak bahwa Han Lin mulai terdesak oleh rangkaian serangan It-yang-ci yang amat dahsyat itu setelah mereka bertanding lewat lima puluh jurus. Akhirnya, dalam pertemuan tenaga sakti, Han Lin terhuyung- huyung sampai lima langkah ke belakang.

"Omitohud, engkau akan kalah kalau A-seng mempergunakan It-yang-ci!" seru Cheng Hian Hwesio. "Sekarang masih ada semacam ilmu yang telah kuajarkan kepadanya, yaitu ilmu Pek-in Hoat-sut (Sihir Awan Putih). Coba engkau hadapi ilmu ini, Han Lin!"

"Teecu telah siap, Losuhu!" kata Hai Lin yang telah pulih kembali dan memasang kuda-kuda untuk menyambut serangan ilmu sihir itu. Dia tahu bahwa hwesio itu akan menyerangnya dengan ilmu sihir, maka dalam persiapan itu diapun telah mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) untuk menghadapinya.

Cheng Hian Hwesio melipat kedua lengan di depan dada, kemudian sambil mengeluarkan bentakan, kedua lengannya, dilepas dari lipatan dan kedua tangannya mendorong ke depan. Serangkup uap putih seperti awan menerjang ke depan dan angin keras bertiup ke arah Han Lin, membawa awan putih itu menyergap Ketika merasakan angin yang amat dingin mulai menyergapnya dan uap putih itu membuat matanya kabur dan tubuhnya juga menggigil, Han Lin terkejut sekali dan cepat dia mengerahkan ilmunya yang dipelajarinya dari Bu-beng Lo-ji yaitu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa Dari mulutnya keluar pekik melengki seperti auman singa.

"Haaauuuuummmm !" Suaranya itu mendatangkan

getaran hebat sekali dan ilmu ini menurut Bu-beng Lo-jin dapat memunahkan tenaga sihir dan serangan yang berdasarkan sin-kang yang kuat. Ilmu Sai-cu Ho-kang ini dilakukan dengan mengerahan tenaga khi-kang. Begitu auman itu menggetar, awan putih terdorong ke belakang dan akhirnya perlahan-lahan lenyap, tidak menyerang lagi.

"Omitohud bagus sekali. Sai-cu Ho-kang yang kau kuasai

telah mampu menangkis Pek-in Hoat-sut, maka tidak perlu dikhawatirkan lagi terhadap ilmu yang telah dimiliki A-seng ini. Akan tetapi, engkau masih terancam bahaya kalau dia menggunakan It-yang-ti. Karena itu, pinceng akan mengajarkan It-yang-ci kepadamu. Melihat dasarmu yang kuat dan bakatmu yang besar, dalam sebulan engkau sudah akan menguasai teorinya, tinggal kau latih saja."

"Terima kasih, Losuhu."

"Bagus kalau begitu, Cheng Hian Hwesoo Bagaimana dengan ilmunya yang lain, asalnya yang menggunakan senjata?"

"A-seng hanya mempelajari In-lion tung (Tongkat Naga Awan), akan tetapi Han Lm juga telah mempelajarinya, dan dengan Leng-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin) yang kau ajarkan kepada Han Lin, dia tidak usah khawatir kalau berhadapan dengan A-seng menggunakan senjata."

Demikianlah, sejak hari itu, Cheng Hian Hwesio diajak mengungsi ke Puncak Bambu pondok tempat tinggal Bu-beng Lo-jin karena tempat tinggal hwesio itu telah habis terbakar. Dan setiap hari selama sebulan Han Lin mempelajari ilmu It- yang-ci dari hwesio tua itu.

Benar seperti yang dikatakan Cheng Hian Hwesio, dalam satu bulan saja Han Lin telah dapat menguasai teori It-yang« ci, tinggal mematangkan dalam latihan saja.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Han Lin sudah menghadap kedua orang gurunya dan Cheng Hian Hwesio berkata "Han Lin, sekarang engkau telah menguasai sai It-yang-ci, tinggal mematangkan saja melalui latihan. Pinceng tidak khawatir lagi karena engkau tentu akan mampu mengatasi A-seng yang jahat itu."

"Han Lin, sudah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah.

Sudah tepat waktunya bagimu untuk turun gunung dan terjun ke dunia ramai, mempergunakan segala ilmu yang telah kau pelajari dari kami untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, menentang mereka yang melakukan penindasan dan perbuatan jahat dan membela mereka yang lemah tertindas."

Biarpun sudah menduga bahwa sewaktu-waktu dia tentu akan disuruh turun gunung oleh kedua orang gurunya, namun pada waktu saat itu tiba, mendengar ucapan gurunya, dia menjadi terkejut juga dan perasaannya menjadi tegang dan terharu.

Segera ia memberi hormat sambil berlutut kepada dua orang gurunya dan berkata, "Ji-wi suhu (bapa guru berdua) telah lanjut usia, siapakah yang akan melayani ji-wi kalau teecu (murid) harus pergi meninggalkan ji-wi suhu?"

Dua orang tua itu saling pandang lalu tertawa. "Omitohud, anak baik, pinceng adalah seorang perantau yang dapat menjaga diri sendiri."

"Akan tetapi Lo suhu biasanya dilayani oleh mendiang suheng Nelayan Gu dan Petani Lai, dan sekarang mereka berdua telah tiada. Biarlah teecu yang menggantikan mereka melayani Losuhu."

"Ha-ha-ha, jangan memanjakan pinceng yang sudah tua.

Pinceng dapat mengurus diri sendiri dan jangan khawatir! Hanya satu pesan pinceng. Selain engkau harus selalu ingat akan semua nasihat yang telah kaudapat dari pinceng dan Lo- jin, juga jangan sekali-kali lupa untuk mencari A-seng dan merebut kembali Suling Pusaka Kemala itu. Andaikan engkau tidak ada keinginan untuk mempergunakan pusaka itu, tidak ingin menonjolkan diri, akan tetapi engkau harus ingat bahwa pusaka itu dapat disalah-gunakan oleh A-seng!" "Baik, Losuhu. Semua petunjuk losuhu akan akan teecu ingat selalu. Akan tetapi sesungguhnya, hati teecu tidak tega untuk meninggalkan suhu berdua hidup tanpa dilayani siapapun."

"Ha ha ha, kami sudah terbiasa hidup menyendiri. Aku sendiri sudah biasa hidup sendiri, terbang di udara bebas tanpa ikatan. Ada waktunya bertemu dan berkumpul, ada pula waktunya berpisah. Han Lin, engkaupun harus bersikap demikian dalam hidup, yaitu jangan membiarkan dirimu terikat oleh apapun, karena sekali engkau terikat akan sesuatu, maka ikatan itu akan mendatangkan duka. Orang yang kehilangan hanyalah orang yang memiliki. Kalau engkau tidak memiliki apa-apa, engkau tidak akan kehilangan. Mengertikah engkau, Han Lin?"

"Teecu mengerti, suhu."

"Omitohud, bebas dari ikatan. Betap mudahnya diucapkan, namun siapaka selain engkau yang dapat melaksanakan dalam kehidupan, Bu-beng Lo-jin?"

"Ha-ha-ha-ha, Cheng Hian Hwesio, memang pengertian saja belum cukup untuk mengalahkan diri sendiri. Han Lin, masih ingatkah engkau akan pelajaran dalam kitab To-tek- keng tentang penaklukkan diri sendiri? Bagaimana bunyinya?"

Han Lin mengangguk lalu bersajak dengan suaranya yang bening dan lantang.

"Mengerti akan orang lain adalah bijaksana, mengerti diri sendiri adalah waspada.

Menaklukkan orang lain adalah berjaya, menaklukkan diri sendiri adalah kuat perkasa. Mengetahui batas kecukupan berarti kaya, tidak mengenal cukup berarti murka. Enggan meninggalkan kedudukan akan terbelenggu, mati tanpa tersesat berarti panjang usia."

"Bagus. Akan tetapi jangan hanya pandai menghafalkan saja ujar-ujar atau pelajaran itu, melainkan harus dicamkan benar dan dilaksanakan dalam kehidupanmu. Kalau kita melaksanakan dalam hidup, maka barulah tidak sia-sia Sang Bijaksana Lo-cu memberikan pelajaran itu."

"Omitohud, indah sekali wejanganmu itu, Lo-jin. Memang sesungguhnyalah, Han Lin. Menghafal selaksa kata-kata mutiara yang indah-indah tiada gunanya sama sekali, kalau hanya sekadar dihafalkan. Akan tetapi melaksanakan satu saja kata-kata mutiara itu akan membuat kita dapat melalui jalan kebenaran. Kami ber dua orang-orang tua yang sudah mulai kehilangan tenaga dan semangat, hanya dapat mengundurkan diri di tempat sunyi sambil memberi doa restu kepadamu."

"Terima kasih, ji-wi suhu."

"Sekarang berkemaslah karena hari ini juga engkau harus turun gunung." kata Bu-beng Lo-jin. "Aku hanya mempunyai sebuah pesan. Kalau engkau turun gunung dan melalui pegunungan Lu-liang-san, jangan lupa singgahlah ke sebuah puncak di Lu-liang-san di mana Sungai Fen-ho masuk ke Sungai Huang-ho. Puncak itu adalah Puncak Burung Hong, di mana terdapat sebuah guha besar yang disebut Guha Dewata. Di depan guha itu, di atas batu-batu besar, terdapat sebatang pedang yang menancap di atas batu. Pedang itu adalah sebuah pusaka langka dan ampuh sekali yang disebut Im-yang

-kiam dan sudah sejak ratusan tahun menancap di situ. Ada ukiran tulisan pada batu yang mengatakan bahwa siapa yang mampu mencabut pedang Itu berhak memilikinya, akan tetapi sampai sekarang tidak ada orang yang mampu mencabutnya. Nah, aku ingin engkau singgah di sana dan cobalah engkau mencabut pedang itu, Han Lin. Kalau engkau mampu mencabutnya, berarti engkau berhak memilikinya. Pedang itu mempunyai riwayat yang amat terhormat, sebagai pedang milik seorang gagah, pahlawan sejati yang patriotik."

"Omitohud, pinceng pernah mendengar adanya Im-yang- kiam itu, Lo-jin. Akan tetapi belum pernah mendengar riwayatnya. Dapatkah engkau menceritakan riwayat pedang aneh itu?"

"Pedang itu milik seorang panglima Kerajaan Sung yang bernama Kam Tiong. Ketika Kerajaan Sung diserbu oleh bangsa Mongol dan akhirnya dapat dikuasai bangsa Mongol, Panglima Kam Tiong merupakan seorang panglima yang gigih melakukan perlawanan. Namun, dia melihat pengkhianatan beberapa orang menteri dan panglima yang bersekutu dengan bangsa Mongol sehingga Kerajaan Sung jatuh. Dia menjadi demikian menyesal dan sakit hati. Ketika kota raja Sung jatuh, dia melarikan diri dan menjadi pertapa di Puncak Burung Hong di pegunungan Lu-liang-san. Kemudian dia menghilang, tak seorangpun tahu di mana kuburnya. Akan tetapi dia meninggalkan pedang yang ditusukkan menancap pada batu itu dan meningalkan pesan dengan tulisan berukir di batu bahwa siapa yang mampu mencabut pedang pusaka itu, dia berhak memilikinya. Tusukan pedang di batu itu merupakan pelampiasan penyesalan dan kemarahannya yang melihat bebe-rapa orang menteri dan panglima seolah "menjual" Kerajaan Sung kepada musuh. Demikianlah ceritanya."

"Menarik sekali. Kalau begitu pinceng juga menganjurkan agar engkau mencoba coba, Han Lin. Siapa tahu engkau berjodoh dengan pedang itu." kata Cheng Hian Hwesio.

"Akan tetapi, suhu. Pedang itu sudah berada di sana selama ratusan tahun. Tentu sudah didatangi banyak sekali orang gagah dari seluruh penjuru."

"Memang, banyak sekali para datuk dan tokoh kang-ouw datang ke sana untuk mencabut pedang pusaka itu, akan tetapi tiada seorangpun berhasil. Pedang itu seolah telah menjadi satu dengan batu dan tidak dapat d cabut lagi." "Kalau demikian banyaknya orang gagah yang berilmu tinggi tidak berhasil mencabut pedang itu, bagaimana pula teecu "

"Omitohud, jangan berkata demikian, Han Lin, sebelum engkau sendiri mencobanya. Di dalam kehidupan ini ada apa yang dikatakan jodoh. Kalau engkau berjodoh dengan pedang itu, bukan tidak mungkin engkau yang akan dapat mencabut dan memilikinya."

"Benar, Han Lin."

"Akan tetapi, kenapa ji-wi suhu sendiri tidak mencoba untuk mencabutnya? Dengan tingkat kepandaian ji-wi suhu, mungkin saja pedang itu dapat dicabut?"

"Omitohud, untuk apa pedang bagi pinceng? Menyembelih ayampun pinceng tidak pernah."

"Akupun bukan orang yang suka memiliki pedang, Han Lin.

Tongkat bambu ini cukup untuk mengusir setan, kalau ada yang mencoba menggangguku. Engkau cobalah, hitung-hitung mewakili kami."

"Baiklah, suhu. Akan teecu kunjungi tempat itu dan akan teecu coba. Pedang pusaka itu milik seorang pahlawan yang gagah perkasa, tentu bertuah."

"Han Lin, pinceng telah mengajarkan kepadamu bagaimana untuk memperguna-kan It-yang-ci untuk pengobatan. Pinceng akan lebih senang kalau engkau pergunakan It-yang-ci untuk pengobatan daripada untuk merobohkan orang."

"Teecu mengerti, Losuhu."

Han Lin lalu berkemas. Tidak banyak yang dibawanya.

Hanya beberapa potong pakaian yang dibungkus dengan kain kuning dan beberapa potong uang emas dalam kantung. Uang itu pemberian Bu-beng Lo-jin. Sambil memegang sebatang tongkat bambu diapun memberi hormat dengan berlutut sebagai penghormatan terakhir atau salam perpisahan. "Ji-wi suhu, teecu mohon pamit dan senantiasa mohon doa restu dari ji-wi suhu."

Dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan menggerakkan tangan kanan, Bu-beng Lo-jin tersenyum lebar dan sepa sang mata Cheng Hian Hwesio berlinang.

Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah cucu-buyut keponakannya sendiri!

0oo-dewi-oo0

Pegunungan Cin-ling-pai memanjang dari utara ke selatan. Sungai Huang-ho mengalir di sepanjang pegunungan ini dan banyak mendapat tambahan air dari sumber-sumber yang mengalir di pegunungan itu. Pegunungan yang amat panjang ini mempunyai banyak sekali bukit dan puncak-puncak yang berbahaya. Hanya beberapa bukit rendahan saja yang dihuni manusia. Di lereng-lereng dari bukit-bukit ini terdapat pedusunan sederhana dari para petani gunung. Akan tetapi banyak puncak yang sama sekali tidak dihuni manusia, bahkan jarang atau bahkan tidak pernah terinjak kaki manusia.

Satu di antara puncak-puncak yang tidak pernah didatangi manusia bahkan para pemburupun tidak berani mendaki puncak yang amat berbahaya, dengan hutan-hutan liar yang penuh binatang buas, adalah Puncak Ekor Naga. Memang dilihat dari jauh, puncak ini bentuknya seperti ekor naga.

Akan tetapi pada suatu pagi, seorang laki-laki dan seorang gadis remaja mendaki puncak itu dengan gerakan cepat. Se- tengah berlari mereka mendaki puncak dan memasuki hutan yang lebat itu. Laki laki itu sudah berusia enam puluh tahunan, bertubuh tinggi kurus dengan muka merah, dahinya lebar dan sepasang matanya sipit. Mulutnya selalu tersenyum sinis, dan mata yang sipit itu kadang mencorong liar.

Jenggotnya sudah penuh uban dan berjuntai sampai ke lehernya. Tangan kanannya memegang sebatang tongkal ular hitam. Adapun gadis remaja itu berusia kurang lebih tiga belas tahun. Wajah gadis remaja itu cantik manis, dengan mata yang lebar dan kocak. Mulutnya manis sekali dengan bibir yang selalu merah basah dan murah senyum mengejek.

Lesung pipit di pipi kanannya dan tahi lalat kecil di pipi kirinya membuat wajah itu manis sekali, apalagi kalau tersenyum.

Akan tetapi sinar mata yang kocak itu kadang-kadang mengeras dengan pandangan yang tajam menusuk. Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun sudah tampak tanda- tanda bahwa ia akan menjadi seorang, gadis yang bertubuh langsing dan padat. Gerak-geriknya lincah dan ringan sekali ketika ia mendaki puncak itu sambil setengah berlari.

Mereka itu bukan lain adalah Huang-ho Sin-liong Suma Kiang dan anak yang sudah dianggap puterinya sendiri, yaitu Suma Eng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah Suma Kiang dikalahkan Cheng Hian Hwesio di Puncak Awan Putih, dia tidak mau lagi tinggal di pegunungan Thai-san dan dia membawa Suma Eng ke Lu-liang-san untuk menghadap seorang supeknya (uwa gurunya) yang bertapa di Puncak Ekor Naga di Lu-liang-san.

"Hati-hati, Eng Eng. Tempat ini berbahaya. Aku mencium bau binatang buas!" kata Suma Kiang kepada puterinya "Hutan ini tentu dihuni banyak binatang buas yang berbahaya."

"Ayah, perlu apa kita takut terhadap binatang buas? Kalau mereka berani muncul, tentu akan kubunuh dengan pedangku!" jawab Suma Eng dengan suara tegas penuh keberanian.

"Awas, Eng Eng, di atasmu!" tiba-tiba Suma Kiang berseru. Cepat gadis remaja itu memandang ke atas dan pada saat itu, seekor ular yang ekornya melibat dahan pohon dan kepalanya bergantung ke bawah berayun dan menyambar ke arah Suma Eng! Gadis remaja itu dengan sigapnya mengelak sehingga sambaran moncong ular itu luput. Sedikitpun dara cantik itu tidak merasa ngeri atau takut. Dengan gerakan yang cepat sekali tangan kanannya sudah mencabut Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) yang bersinar hijau itu dan ia menanti dengan gagah. Ular sebesar paha orang dewasa itu agaknya tidak melihat bahaya. Dia penasaran sekali ketika sambarannya tadi luput dan kini dia sudah terayun kembali dan menyambar dengan cepat sambil uembuka moncongnya dan mengeluarkan suara mendesis! Kembali Suma Eng mengelak dengan merendahkan tubuhnya sehingga kepala ular itu menyambar lewat di atas kepalanya dan sebelum ular itu dapat membalik dan menyerang lagi, gadis remaja itu telah meloncat seperti terbang dan sinar hijau berkelebat.

"Crakkk !" Darah muncrat dan tubuh ular itu terlepas dan

dahan, jatuh ke atas tanah menyusul kepalanya yang lebih dulu terpisah dari badan dan jatuh. Tubuh ular tanpa kepala itu berkelojotan sebentar lalu diam tak bergerak. Suma Eng melihat pedangnya. Sedikitpun tidak ternoda darah, menunjukkan betapa cepatnya gerakan memenggal leher ular itu tadi.

"Bagus!" Suma Kiang memuji dengan girang dan bangga. Biarpun masih belum dewasa, Suma Eng telah memiliki ilmu pedang yang cukup tangguh. "Sekarang kita cari biruang. Di daerah sini terdapat biruang hitam yang buas. Aku ingin melihat apakah engkau berani melawan seekor biruang."

"Tentu saja aku berani, ayah!" kata Suma Eng penuh semangat sambil menyarungkan kembali pedangnya.

Mereka berjalan terus dan di tempati terbuka di depan mereka melihat seekor biruang yang cukup besar. Seekor biruang jantan yang sedang mendongkel-dongkel tanah mencari sesuatu.

"Nah itu dia! Beranikah engkau melawan biruang itu, Eng Eng?" tanya Suma Kiang. Suma Eng memandang binatang itu dai matanya bersinar- sinar penuh semangat "Tentu saja aku berani, ayah. Lihat, aku akan membunuh biruang itu!"

Dengan tabah Suma Eng lalu mempercepat langkahnya lari menghampiri biruang itu. Suma Kiang berlari di belakangnya dan datuk inipun siap untuk sewaktu waktu melindungi puterinya kalau-kalau terancam bahaya.

Biruang itu mendengar langkah kaki lalu memutar tubuhnya dan mengangkat kedua kaki depannya. Tingginya dua kali tinggi Suma Eng! Matanya mencorong dan melihat gadis remaja itu, dia memperlihatkan taringnya dan menggrreng.

Akan tetapi Suma Eng tidak menjadi takut dan ia sudah memcabut pedangnya, berindap-indap menghampiri lebih dekat, tubuhnya ringan dan gesit, matanya menatap tajam wajah biruang itu. Ketika bertemu pandang, biruang itu mengedipkan mata beberapa kali seperti silau. Semua binatang selalu silau kalau bertemu pandang dengan manusia yang tidak merasa takut. Dia sudah menoleh ke belakang seolah segan untuk berkelahi melawan manusia. Akan tetapi Suma Eng menantang.

"Hayo, biruang jelek. Lawanlah aku dan aku akan membunuhmu!" Kakinya menendang sepotong batu yang terlempar menyambar ke arah biruang itu. Akan tetapi binatang yang besar itu ternyata gesit juga.

Dengan mudah dia mengelak dari sambaran batu yang ditendang Suma Eng dari dia menjadi marah. Dia menurunkan kaki depannya, menggereng-gereng seperti menggertak.

Suma Eng tidak menjadi gentar, bahkan ia sudah menerjang ke depan, membacokkan pedangnya ke arah dada biru-ang itu. Biruang itu bangkit berdiri dan menyampok dengan kaki depan kanannya, tepat mengenai dari arah samping. Kuat bukan main sampokan itu. Saking kuatnya sehingga pedang itu terpental dan tubuh Suma Eng ikut pula terpental dan cepat gadis remaja ini bergulingan! karena pada saat itu, biruang sudah menubruknya. Kalau ia tidak bergulingan, tentu ia kena ditubruk dan celakalah ia kalau sampai empat kaki yang berkuku panjang itu dapat mencengkeramnya.

Suma Eng melompat lagi dan kini ia lebih berhati-hati. Ia tahu bahwa binatang itu bertenaga besar sekali dan kaki depannya amat kuat sehingga berani menangkis pedangnya. Kalau ia kurang hati hati pedangnya dapat tertangkis dan terpental lepas dari pegangannya. Maka, kini ia tidak menyerang lagi melainkan menunggu serangan binatang itu.

"Grrrr " Biruang itu menggereng dan tiba-tiba ia

menubruk ke depan. Suma Eng melihat betapa tubuh yang besar itu menerkam ke arahnya, namun baginya gerakan binatang itu lamban saja sehingga dengan amat mudah ia sudah mengelak dengan loncatan ke samping, Ia mengelak lagi ketika biruang itu membalik dan menubruk lagi. Suma Eng menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak terus, sengaja mempermainkan biruang itu agar menjadi marah dan lengah. Ia memaki-maki untuk memancing kemarahan biruang itu.

"Biruang jelek! Engkau seperti tikus besar, jelek dan bau!" Suma Eng memaki maki sambil berloncatan mengelilingi biruang itu.

Biruang itu berdiri di atas dua kaki belakangnya dan kini mencoba untuk menerkam dengan kedua kaki depannya. Suma Eng kembali mengelak dan ketika ia melihat biruang itu agak lengah, membuka kedua kaki depan lebar-lebar, secepat kilat pedangnya menusuk ke arah dada binatang itu.

Tusukannya selain cepat juga amat kuat karena ia mengerahkan tenaga sin-kangnya.

"Singgg..... ceppp !" pedang itu amblas ke dalam dada

biruang sampai setengahnya! Begitu menancap, Suma Eng mencabut lagi sambil melompat ke belakang sehingga ia lolos dari sambaran kaki depan biruang. Biruang itu menggereng- gereng, darah mengulir keluar dari luka di dadanya. Dia kesakitan dan agaknya menjadi jerih karena tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan lari dari situ sambil berteriak- teriak.

"Bagus, Eng Eng. Engkau telah mampu mengalahkannya!" teriak Suma Kiang dengan girang.

"Akan tetapi aku belut dapat membunuhnya, ayah!" kata Suma Eng menyesal.

"Siapa bilang? Tusukan pedangmu tadi sudah cukup dalam untuk melukai bagian dalam dadanya. Dia tentu akan mati di tempat persembunyiannya."

"Ayah, ada lagi!" Tiba-tiba Suma Eng berteriak sambil menuding ke depan dengan mata terbelalak. Suma Kiang membalikkan tubuhnya dan diapun terbelalak kaget karena di sana berdiri seekor biruang kulit putih yang besarnya luar biasa! Ada dua kali tubuhnya besar biruang itu.

"Wah, hati-hati, Eng Eng, dia berbahaya sekali!" seruanya lirih. "Mari kita pergi saja dari sini!"

"Tidak, ayah. Aku akan melawannya!" kata gadis remaja yang tidak mengenal takut Itu. Suma Kiang memandang dengan khawatir sekali dan diapun mencabut sepasang pedangnya.

Suma Eng sudah tiba di depan biruang putih itu. Tiba-tiba ia mendapat akal yang berani sekali. Sambil mengeluarkan teriakan keras, gadis itu menggulingkan tubuhnya ke depan, bergulingan cepat dan pedangnya menyerang ke arah kedua kaki belakang yang berdiri itu!

Akan tetapi ternyata biruang itu, biarpun memiliki tubuh yang amat besar, dapat bergerak lincah. Dia dapat mengelak dari sambaran pedang itu dan melompat ke atas, kemudian menurunkan kedua kaki depannya dan menubruk ke arah Suma Eng! "Awas, Eng Eng!" Suma Kiang berseru kaget. Akan tetapi Suma Eng yang masih rebah di atas tanah sudah menggulingkan tubuhnya dengan cepat bagaikan seekor binatang trenggiling dan tubrukan biruang itu pun mengenai tempat kosong! Sebelum binatang itu mampu menyerang lagi, Suma Eng sudah melompat berdiri pula dan memasang kuda- kuda, siap untuk menghindarkan diri dari serangan biruang itu. Ia hendak menggunakan siasat yang sama dengan ketika mengalah-kan biruang hitam tadi, yaitu membiarkan binatang itu menyerang terus sampai terlengah sehingga ia dapat menusukkan pedangnya ke arah perut atau dada.

Akan tetapi biruang itu kini sudah berdiri lagi di atas kedua kaki belakangnya dan kedua kaki depan yang menjadi seperti sepasang tangan itu siap untuk menyerang. Dia melangkah perlahan ke depan, kedua kaki depan siap di kanan kiri dan setelah dekat, kedua kaki itu menyambar dan kanan kiri dengan kuat dan cepat. Suma Eng mengelak mundur dan ketika tangan atau kaki depan yang kanan menyambar lagi, ia menyusup ke bawah kaki yang menyambar itu dan dari situ ia menusukkan pedangnya.

"Cessss. !" Pedangnya menusuk dada bawah lengan,

akan tetapi tidak terjadi apa-apa. Ia merasa seperti menusuk setumpuk kapas saja dan ketika pedang dicabut, tidak tampak binatang itu terluka, bahkan kaki depan kanan kembali menyambar disusul pula dengan kaki depannya yang kiri dan hampir saja kepala Suma Eng kena disambar kaki depan kiri yang lebih besar dari kepalanya! Akan tetapi gadis remaja itu memang memiliki kecepatan gerakan yang cukup hebat, maka ia masih berhasil menghindarkan diri dari kaki depan itu. Suma Eng terkejut bukan main. Pedangnya sudah jelas menusuk dada sampai hampir setengahnya, akan tetapi mengapa biruang itu tidak terluka? Seperti menusuk kapas, atau seperti menusuk bayangan saja! Dengan marah ia lalu melompat ke atas dan mengayunkan pedangnya, dengan cepat sekali sambil melompat itu ia menebas leher biruang itu. "Singgg.... wusssshhhh !" Kembali pedangnya mengenai

leher, akan tetapi biruang itu tidak apa-apa dan pedangnya seperti menembus leher tanpa merasakan apa-apa seolah leher itupun hanya bayangan saja!

"Ayah !!" Suma Eng berseru, kini terkejut dan gentar.

Kalau binatang itu tidak dapat terluka oleh pedangnya, tentu ia berada dalam bahaya besar sekali.

Sejak tadi Suma Kiang juga sudah memperhatikan perkelahian antara puterinya dan biruang itu dan melihat pula keganjilan itu. Biruang itu tidak dapat terluka oleh pedang, Kalau tidak terluka karena kebal, hal itu masil tidak mengejutkan. Akan tetapi ini bukan karena ketebalan kulit atau kekebalan karena pedang itu tembus dan seperti mengenai bayangan belaka.

"Eng Eng! Mundur kau !" Serunya. Akan tetapi biruang itu

telah menerkam ke arah Suma Eng dan gadis itupun cepat menghindarkan diri dengan lompatan ke samping.

Suma Kiang berkemak-kemik dan menudingkan telunjuknya ke arah biruang itu. Dia menggunakan sihirnya karena menduga bahwa ini tentu permainan sihir. Mendadak biruang itu terpecah menjadi dua dan muncul dua biruang yang sama besarnya! Suma Eng menjerit kecil dan cepat ia melompat mendekati ayahnya. Suma Kiang juga terbelalak. Sihirnya tidak dapat mempengaruhi biruang jadi-jadian itu bahkan kini berubah menjadi dua, menggereng dan mengancam dengan buasnya. Tiba-tiba dia teringat dan cepat Suma Kiang menjatuhkan diri berlutut.

"Supek yang mulia, maafkan teecu berdua yang datang untuk menghadap supek!"

Mendengar ini, Suma Eng terkejut sekali dan baru menyadari bahwa biruang itu adalah binatang jadi-jadian yang diciptakan oleh uwa kakeknya yang menurut ayahnya merupakan seorang yang memiliki kesaktian hebat. Ia adalah seorang anak yang cerdik sekali, maka tanpa diperintah iapun sudah menjatuhkan diri berlutut meniru perbuatan ayahnya. Sambil berlutut ia melirik ke depan, ke arah dua ekor biruang putih itu dan tiba-tiba ada asap mengepul dan dua ekor biruang itupun lenyap. Di tempat binatang-binatang itu kini berdiri seorang kakek yang sudah tua sekali. Usianya tentu lebih dari tujuh puluh tahun, jenggotnya panjang putih, matanya mencorong tajam dan tubuhnya tinggi kurus sekali seperti tengkorak. Pakaian kakek itu serba kuning potongan pakaian tosu (pendeta To) atau pertapa. Kedua ujung jubahnya amat panjang sehingga hampir menyentuh tanah kalau tangannya tergantung lepas-lepas. Rambutnya yang sudah putih itu digelung dan diikat dengan kain berwarna putih.

"Ha-ha-ha-ha! Kiranya engkau Suma Kiang! Aku tertarik sekali kepada bocah perempuan itu, maka aku sengaja ingini melihat ketabahan dan kelincahannya lalu menggodanya. Ha- ha, ternyata ia sama sekali tidak takut bahkan melawan mati matian. Siapakah anak ini, Suma Kiang? Apakah ia muridmu?"

"Bukan hanya murid, supek. Akan tetapi juga anak. Ia anak tecu, namanya Suma Eng. Hayo, Eng Eng, beri hormat kepada uwa-kakek gurumu!"

"Teecu Suma Eng menghaturkan hormat kepada su-pek- kong (uwa kakek guru)!"

"Ha-ha, bagus! Suma Eng. Kalau engkau mendapat latihan yang baik, kelak engkau bahkan lebih hebat daripada ayah mu. Ha-ha-hal"

Tentu saja ayah dan anak itu gembira sekali mendengar ini, karena memang kedatangan mereka ke tempat tinggal kakek ini adalah untuk minta digembleng ilmu-ilmu yang tinggi.

"Supek, sesungguhnya kunjungan teecu berdua ini adalah untuk minta petunjuk supek." "Mari kita bicara di pondokku. Aku-pun ingin bicara, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bicara dengan siapapun juga!" kata kakek itu gembira dan tanpa menoleh lagi dia lalu melangkah pergi dari situ mendaki puncak. Suma Kiang bergegas mengajak putennya untuk mengikuti. Agaknya kakek itu memang sengaja hendak melihat bagaimana mereka, terutama gadis remaja itu, mengejarnya, maka dia melangkah dengan cepat, tentu saja tidak terlalu cepat karena dia hanya ingin menguji Suma Eng.

Suma Kiang tentu saja dengan mudah mengikuti supeknya yang berjalan tidak terlalu cepat. Akan tetapi bagi Suma Eng, langkah uwa-kakeknya itu sudah cepat sekali sehingga ia harus mengerahkan tenaga untuk mengejarnya sehingga ia tidak sampai tertinggal jauh.

Siapakah kakek tua renta yang aneh itu? Kalau kita tahu bahwa Suma Kiang seorang datuk yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja kakek itu sebagai uwa gurunya memiliki kesaktian yang amat hebat. Kakek itu menyebut dirinya sebagai Hwa Hwa Cinjin dan puluhan tahun yang lalu dia adalah seorang datuk yang amat terkenal dengan wataknya yang aneh. Akan tetapi dia terkenal pula sebagai tokoh golongan yang tidak bersih. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan di antara saudara-saudara seperguruannya, yaitu guru Suma Kiang dan para paman-gurunya, hanya dia seorang yang masih hidup. Selama belasan tahun ini, Hwa Hwa Cinjin bertapa di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san dan tidak pernah terdengar namanya di dunia persilatan. Bahkan dunia ramai tidak mengenalnya dan tidak pernah melihatnya karena kakek ini memang menjauhkan diri dari dunia ramai dan hanya bertapa. Akan tetapi dasar seorang datuk yang tidak bersih, dia bertapa bukan untuk menebus dosa dan mencari jalan terang, melainkan untuk memperdalam ilmu- ilmu nya, yaitu ilmu silat dan ilmu sihirnya! Setelah tiba di depan pondoknya, sebuah pondok bambu dan kayu sederhana yang berada di purcak itu, Hwa Hwa Cinjin berhenti dan membalikkan tubuhnya, tertawa senang melihat Suma Eng dapat tiba pula di situ tidak tertinggal jauh walaupun mukanya kemerahan dan lehernya basah oleh keringat. Diam-diam dia menjadi semakin senang dengan anak perempuan itu.

"Supek-kong tampaknya berjalan dan melangkah biasa saja, akan tetapi bagaimana dapat demikian cepatnya melebihi orang lari?" Suma Eng bertanya kepada kakek itu setelah ia tiba di depannya.

"Itulah Ilmu Liok-te Hui-teng (Lari Terbang di Atas Bumi), kalau sudah kau-kuasai engkau dapat berlari secepat terbang. Maukah engkau mempelajarinya?"

Tiba-tiba Suma Eng menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek Hwa Hwa Cinjin. "Tentu saja teecu suka mempelajarinya!"

"Ha-ha-ha, Suma Kiang. Anakmu ini cocok dengan aku!" "Teecu merasa beruntung sekali, supek. Memang

kunjungan teecu berdua ini untuk memohon kepada supek

agar sud memberi bimbingan kepada Suma Eng."

"Eh? Kenapa engkau mempunyai pikiran begitu? Bukankah kepandaianmu sendiri sudah memadai untuk mendidik puteri mu sendiri?"

"Itulah, supek. Teecu merasa bahwa kepandaian yang teecu miliki tidak ada artinya. Berkali-kali teecu dikalahkan orang, dan teecu menginginkan agar kepandaian puteri teecu melebihi teecu, agar kelak dapat membalaskan kekalahan teecu dari orang-orang itu."

"Oho! Ada yang dapat mengalahkan-mu? Engkau yang sudah menguasai Ciu-sian Tung-hoat (Ilmu Tongkat Dewa Arak) dan Coa-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Racun Ular)? Siapa mereka yang dapat mengalahkanmu itu?"

Suma Kiang menghela napas panjang. Hatinya masih merasa penasaran sekali mengingat betapa dia kehilangan Chai Li dan Cheng Lin, karena dikalahkan orang.

"Pertama tecu kalah ketika bertanding melawan Toa Ok." "Toa Ok? Kau maksudkan Toat-beng-kui (Setan Pencabut

Nyawa) itu? Hemm, dia memang lihai, akan tetapi tidak semestinya engkau kalah oleh dia. Lalu siapa lagi yang dapat mengalahkanmu?"

"Menghadapi Toa Ok, teecu masih dapat melakukan perlawanan. Akan tetapi menghadapi hwesio tua yang bertapa di Puncak Awan Putih di Thai-san itu, sungguh teecu merasa seperti seorang anak anak yang tidak berdaya, Dalam beberapa gebrakan saja teecu telah tertotok dan tidak berdaya!"

Hwa Hwa Cinjin membelalakkan mata nya. "Hemm, begitukah? Dan siapa hwe-sioa tua yang amat sakti itu?"

"Teecu tidak tahu siapa dia, hanya dua orang pembantunya mempunyai ciri yang khas. Yang seorang adalah seorang nelayan yang membawa dayung baja dan orang kedua adalah seorang petani yang membawa cangkul sebagai senjata."

"Ahhh ! Hwesio yang mempunyai pembantu seperti

pengawal Aku dapat menduga siapa dia. Dia tentu Cheng Hian Hwesio! Tidak aneh kalau engkau, kalah menghadapi dia, karena dia adalah seorang yang menguasai ilmu sakti It-yang- ci. Aku sendiri, biarpun tidak akan kalah olehnya, setidaknya juga tidak mudah untuk mengalahkannya. Sudahlah, aku akan menurunkan semua ilmu simpananku kepada Suma Eng agar kelak ia dapat menjunjung tinggi nama kita. Tinggalkan ia di sini bersamaku selama lima tahun." "Baik, dan terima kasih, supek." Kemudian kepada puterinya dia berkata, "Eng Eng, engkau baik-baiklah belajar kepada supek. Hari ini juga aku akan meninggalkanmu di sini."

"Akan tetapi, ayah hendak pergi ke manakah? Apakah ayah tidak bisa tinggal di sini pula bersama supek-kong dan aku?"

"Tidak bisa. Supek menghendaki aku pergi dan aku hanya akan mengganggu ketekunanmu kalau aku berada di sini. Aku akan mengembara dan lima tahun kemudian aku akan menjemputmu di sini."

Mereka memang orang-orang yang memiliki watak aneh.

Murid keponakannya baru saja tiba dan sudah disuruhnya pergi lagi meninggalkan putennya di situ, demikian anehnya watak Hwa Hwa Cinjin. Suma Kiang juga tidak keberatan dan dengan mudah saja dia meninggalkan puteri yang dicintanya. Bahkan Suma Eng juga sudah menunjukkan watak yang keras dan aneh. Ia tidak tampak sedih atau terharu ditinggal ayahnya di tempat yang asing baginya itu, apalagi mereka akan berpisah selama lima tahun! Dari sini saja dapat dibayangkan betapa keras dan tabahnya hati gadis remaja ini.

Demikianlah, mulai hari itu Suma En tinggal di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san, menerima gemblengan ilmu-ilmu dari uwa-kakek gurunya. Dua ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya, yaitu Ciu-sian Tung-hoat dan Coa-tok Kiam-hoat (Ilmu Pedang Racun Ular), disempurnakan oleh Hwa Hwa Cinjin menjadi ilmu yang amat ampuh. Di samping menyempurnakan dua ilmu yang telah dikuasai Suma Eng, diapun menurunkan ilmu pukulan Pek-Lek ciang-hoat (Ilmu Silat Halilintar) dan juga ilmu sihir yang mengandalkan tenaga khi-kang. Selama lima tahun Suma Eng belajar dengan giat dan tekun sekali sehingga ia memperoleh kemajuan yang hebat.

Akan tetapi ada sesuatu kesedihan yang kadang mengganjal hati Suma Eng, yaitu kalau ia teringat akan ibunya. Seperti anak-anak biasa, sejak kecil ia merindukan ibunya. Akan tetapi setiap kali ia bertanya kepada ayahnya di mana ibunya, ayahnya selalu mengatakan bahwa ibunya telah mati. Kalau ia mendesak kepada ayahnya agar menceritakan tentang ibunya, ayahnya bahkan membentaknya dengan marah, dan ketika ia menanyakan dari mana ibunya berasal, ayahnya hanya mengatakan dengan singkat bahwa ibunya orang dari dusun Ban-Li-cung di kaki pegunungan Thai-san.

Nama dusun ini tak pernah terlupakan oleh Suma Eng dan timbul niatnya bahwa sekali waktu ia pasti akan berkunjung ke dusun itu untuk mencari keterangan tentang ibunya.

Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua renta itu agaknya senang sekali kepada Suma Eng. Melihat ketekunan dan juga kecerdikan gadis itu, yang dengan mudah mampu menerima pelajaran ilmu yang tinggi-tinggi, kakek itu lalu menurunkan semua ilmunya. Agaknya sebelum dia mati, dia ingin mewariskan ilmu-ilmunya kepada seseorang dan sekarang dia telah menemukan ahli warisnya, yaitu Suma Eng.

Dengan amat cepatnya waktu berlalu dan tahu-tahu Suma Eng sudah tinggal di Puncak Ekor Naga selama lima tahun!

Pada suatu hari, di kebun belakang pondok di Puncak Ekor Naga itu tampak seorang gadis yang sedang duduk bersila di atas sebuah batu datar. Gadis itu berusia delapan belas tahun, cantik jelita wajahnya, manis dengan tahi lalat di pipi kiri, matanya yang terpejam itu dilindungi bulu mata yang panjang lentik, tubuhnya yang duduk bersila dengan punggung tegak lurus itu ramping padat mempesona. Pakaiannya berwarna nrerah muda dan tampak ringkas. Di punggungnya tergantung sebatang pedang sehingga gadis itu tampak cantik jelita dan juga gagah sekali. Gadis itu bukan lain adalah Suma Eng yang kini telah menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun. Pagi itu dia sudah berlatih silat dan setelah lelahi berlatih silat tangan kosong, silat pedang dan silat tongkat, ia lalu duduk bersila di situ untuk menghirup hawa murni dan memulihkan tenaga menghilangkan kelelahan. Tiba-tiba telinganya yang memiliki pendengaran amat tajam dan terlatih, dapat menangkap suara yang tidak wajar yang datang dari depan pondok. Cepat ia meloncat turun dari atas batu dan dengan gerakan seperti seekor burung terbang, ia sudah lari menuju depan pondok. Ketika tiba di depan pondok, ia tertegun.

Uwa-kakek gurunya, Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua renta itu, sedang berdiri di luar pintu dan sedang mengadu tenaga sakti melawan empat orang! Hwa Hwa Cinjin berdiri dengan tubuh direndahkan dan kedua tangannya didorongkan ke depan, bertemu dengan dua tangan yang juga didorongkan menyambut tangan Hwa Hwa Cinjin. Dua tangan ini milik seorang kakek berusia tujuh puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian mewah. Di belakang kakek tinggi besar ini masih berdiri secara berbaris tiga orang lagi. Seorang berusia enam puluhan tahun yang bertubuh sedang juga mendorongkan kedua tangan ke depan menempel pada punggung laki-laki tinggi besar tadi. Di belakang laki-laki ke dua ini berdiri seorang wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun juga menempelkan kedua tangan di punggung laki-laki ke dua, dan di belakang sendiri berdiri seorang wanita pula yang berusia enam puluh tahun namun masih nampak cantik jelita dan mewah. Mereka semua mengerahkan tenaga sin-kang dan di kepala mereka mengepul uap putih.

Sekali pandang saja tahulah Suma Eng apa yang sedang terjadi. Empat orang itu sedang mengadu tenaga sin-kang melawan kakek gurunya! Mereka berempat menyatukan tenaga sin-kang dan melalui kakek terdepan mereka berusaha sekuatnya untuk mengalahkan Hwa Hwa Cinjin. Dan melihat keadaan kakek gurunya yang sudah berpeluh dan seluruh tubuhnya gemetar, mengerti pula Suma Eng bahwa kakek gurunya terdesak dan dalam bahaya besar. Tanpa membuang waktu lagi ia melompat ke belakang gurunya lalu mendorongkan kedua tangannya, ditempelkan ke punggung gurunya dan nengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Akibat bantuan Suma Eng ini hebat sekali. Empat orang yang sedang mengeroyok Hwa Hwa Cinjin itu terpental ke belakang dan roboh tunggang langgang saling tindih! Tentu saja mereka terkejut sekali dan hampir tidak percaya bahwa tenaga yang luar biasa besarnya itu datang dari seorang gadis muda belia. Mereka maklum bahwa kalau gadis itu membantu Hwa Hwa Cinjin, mereka tidak akan menang. Apalagi Hwa Hwa Cinjin yang biarpun sudah terdesak, kini masih tampak segar dan kokoh kuat.

"Pergi. !" kata kakek pertama yang paling tua dan empat

orang itu lalu melompat jauh dengan cepat sekali dan pergi meninggalkan Puncak Ekor Naga. Suma Eng yang merasa penasaran hendak mengejar, akan tetapi tidak jadi karena ia melihat betapa uwa-kakek gurunya terhuyung dan dari mulutnya keluar darah segar!

"Supek-kong (uwa kakek guru) !"

katanya khawatir. Akan tetapi kakek itu terhuyung dan roboh. Cepat Suma Eng menangkap tubuh itu dan merangkulnya sehingga tidak jatuh akan tetapi ternyata kakek itu telah pingsan! Suma Eng lalu memondong tubuh Hwa Hwa Cinjin dan membawanya memasuki pondok. Dia merebahkan tubuh kakek itu ke atas pembaringan kayu dalam kamar Hwa Hwa Cinjin dan cepat melakukan pemeriksaan. Melihat keadaan kakek itu berbahaya sekali, isi dadanya terguncang dan tampak tanda-tanda bahwa dalam dada itu penuh hawa beracun, ia lalu menotok beberapa jalan darah di pundak dan leher untuk menghentikan pendarahan. Kemudian setelah membuka baju kakek itu, ia menempelkan kedua telapak tangannya ke atas dada yang berwarna agak kehitaman itu dan mengerahkan sinkang untuk mengukir hawa beracun dan dalam dada Hwa Hwa Cinjin. Tiba-tiba Suma Eng terkejut dan melepaskan kedua telapak tangannya dari dada kakek itu. Ada hawa yang amat panas menyambut kedua tangannya. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar