Suling Pusaka Kemala Jilid 05

Jilid V

DIHAMPIRINYA wanita yang sedang mandi bersama anaknya itu. Anak dan ibu tampak gembira sekali, sama sekali tidak tahu bahwa ada seorang laki-laki datang menghampiri mereka.

"Nyonya manis, tampaknya segar dan senang sekali engkau mandi di sini." Suma Kiang duduk di atas batu di tepi sungai dan menegur dengan suara lembut dan pandang matanya seolah hendak menelan bulat-bulat tubuh yang berkulit putih kuning mulus itu.

Wanita itu terkejut dan memandang ke arah suara. Ia terbelalak lalu cepat merendam tubuhnya sampai ke leher.

"Siapa kau? Pergilah, dan jangan ganggu orang yang sedang mandi!" tegurnya dengan alis berkerut.

Suma Kiang tertawa. "Jangan takut, manis. Keluarlah dari air dan ke sinilah, aku ingin bicara denganmu."

"Tidak, tidak!!" Wanita itu menggeleng kepalanya dan memandang ke kanan kiri untuk melihat kalau-kalau ada orang yang dapat dimintai tolong. "Pergilah dan jangan ganggu aku!"

Suma Kiang mengerutkan alisnya dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah menyambar anak itu dan memegangnya dengan tangan kirinya. Anak itu terkejut dan menangis. "Kembalikan anakku.....! Jangan ganggu anakku !"

Wanita itu berteriak dan karena khawatirnya, ia sampai lupa diri dan bangkit berdiri tidak perduli betapa tubuhnya tampak jelas membayang di balik pakaian dalam yang tipis dan basah.

"Boleh, ambillah ke sini." kata Suma Kiang sambil melompat dari atas batu ke tepi sungai.

Khawatir akan keadaan anaknya, wanita itu tersaruk-saruk keluar dari sungai dan menghampiri Suma Kiang sambil menjulurkan kedua tangannya.

"Kembalikan anakku !"

Anak perempuan itu ketakutan dan menangis makin keras. "Ibu....! Ibu !"

"Sini...., berikan anakku kepadaku !" Ibu itu mengejar.

"Baik, aku bebaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menuruti kehendakku," kata Suma Kiang dan ia menurunkan anak itu ke atas tanah, melepaskan tongkat ularnya dan tiba- tiba saja ia sudah menangkap lengan wanita itu, menarik dan mendekapnya.

"Tidak...., tidak...., jangan !!" Wanita Itu meronta-ronta.

Akan tetapi apa dayanya seorang wanita seperti dia dalam tangan seorang jagoan seperti Suma Kiang? la tidak dapat meronta lagi dan banya dapat menangis tersedu-sedu ketika dirinya digagahi Suma Kiang yang tidak mengenal kasihan sedikitpun. Tangis ibu dan anak itu memecah kesunyian, dan menarik perhatian empat orang laki-laki yang kebetulan lewat di dekat sungai itu.

"Hei, apa yang terjadi?" Empat orang itu berseru. Rada saat itu, Suma Kiang telah selesai memperkosa wanita itu dan dia bangkit berdiri, membereskan pakaian nya. Melihat ada empat orang laki-laki dusun berlari mendatangi, dia menyeringai, menyambar tongkatnya dan begitu empat orang itu tiba dekat, dia melompat dan menyambut mereka dengan serangan tongkat ular hitamnya.

Kasihan empat orang itu. Mereka adalah orang-orang dusun. Bagaimana mungkin mereka dapat bertahan diserang oleh Suma Kiang dengan tongkatnya. Merekapun mengaduh dan roboh satu demi satu.

Tiba-tiba terdengar jeritan mengerikan dan ibu muda yang baru saja diperkosa itu, dalam keadaan setengah telanjang telah lari dan menubrukkan dirinya kepada batu besar.

Kepalanya beradu dengan kerasnya menghantam batu besar dan kepala itu pecah dan ia tewas seketika!

Melihat wanita itu telah tewas dan empat orang laki-laki itupun sudah dibunuhnya, Suma Kiang tersenyum. Dia mendengar tangis anak itu dan dengan beringas dia memutar tubuh laiu menghampirinya. Pandang matanya sudah bengis sekali karena timbul niat di hatinya untuk sekalian membunuh anak itu.

Akan tetapi terjadilah keanehan. Hati Suma Kiang yang biasanya keras seperti baja dan tidak pernah mengenal kasihan Itu, tiba-tiba saja mencair ketika dia melihat wajah anak yang menangis itu. Entah dari mana dan bagaimana, timbul rasa sayang dan kasihan dalam hatinya terhadap anak itu. Dijulurkan tangannya lalu dipondongnya anak perempuan yang baru berusia tiga tahun itu.

"Sayang, diamlah sayang. Mari ikut dengan aku, ikut ayah pergi." kata Suma Kiang dengan lembut. Dan sungguh aneh. Anak itu berhenti menangis setelah dipondong oleh Suma Kiang. Tanpa menoleh lagi kepada lima orang yang menggeletak sebagai mayat itu, Suma Kiang lalu melompat pergi sambil memondong anak tu. Dia tidak tahu bahwa seorang diantara empat orang laki-laki tadi, tidak sampai tewas oleh tongkatnya, melainkan hanya terluka parah pundaknya dan dia pura pura mati. Laki-laki itu melihat semua apa yang terjadi dan setelah lama Suma Kiang pergi membawa anak perempuan itu, barulah dia bangkit, terhuyung-huyung memasuki dusun dan minta pertolongan waiga dusun.

Sementara itu, Suma Kiang membawa anak itu sampai amat jauh meninggalkan dusun itu. Anak ituptin tidak menangis.

"Anak baik, siapa namamu?"

"Eng Eng..... Eng Eng I" kata anak itu.

"Bagus" Namamu Suma Eng!" Suma Kiang tertawa bergelak dan anak itu pun tertawa. Agaknya sikap Suma Kiang menyenangkan hati anak yang belum tahu apa-apa ini.

Setelah tiba di sebuah dusun yang besar, Suma Kiang menemukan seorang janda berusia empat puluhan tahun tanpa anak. Dia menyerahkan Suma Eng kepada janda itu.

"Ibu anak ini sudah meninggal dunia dan aku sebagai ayahnya tidak dapat memeliharanya karena aku mempunyai tugas yang amat penting dan makan waktu lama. Kau peliharalah anak ini dan ini uang boleh kaupakai secukupnya. Beberapa tahun lagi mungkin, setelah tugasku selesai, aku akan mengambil anak ini."

Janda Cia menerima tawaran Ini dengan senang hati karena Suma Kiang memberinya uang emas yang cukup banyak, arpun harus merawat anak itu selama bertahun tahun, uang itu cukup, bahkan berleblhan. Setelah memesan dengan disertai ancaman agar Bibi Cia memelihara Suma Eng dengan baik-baik, Suma Kiang alu meninggalkan dusun itu dan melanjutkan perjalanannya ke perkampungan Mongol di utara.

Demikianlah, selama lima tahun dia meninggalkan anak itu untuk mengurus tugasnya untuk membunuh keturunan Kaisar Cheng Tung di Mongol. Akan tetapi tugasnya itu ternyata gagal, bahkan Chai Li tewas dalam jurang dan Han Lin, puteranya itu terjatuh ke tangan Toa Ok dan Sam Ok. Setelah Itu, dia teringat kepada Suma Eng dan dijemputnya anak itu dari dusun.

Suma Eng telah menjadi seorang anak perempuan yang mungil berusia delapan tahun ketika Suma Kiang menjemputnya.

Oleh Bibi Cia, Suma Kiang diperkenalkan sebagai ayahnya. Suma Eng menyambut ayahnya dengan gembira, walaupun agak malu-malu. Akan tetapi karena Suma Kiang bersikap ramah dan lemah-lembut kepadanya, sebentar saja hubungan mereka menjadi akrab.

Ternyata Bibi Cia tidak menyia-nyia-kan tugas yang dipikulnya. Bukan saja ia memelihara Suma Eng dengan baik, bahkan anak itu diikutkan belajar membaca dan menulis dari guru di dusun itu dan ternyata Suma Eng adalah seorang anak yang cerdik dan pintar.

Dengan hati penuh kebanggaan dan kegirangan Suma Kiang mengajak "puteri-nya" itu pergi dan membawanya tinggal di sebuah puncak dari Pegunungan Thai-san di mana dia menggembleng gadis cilik itu dengan ilmu silat. Suma Eng juga menganggapnya sebagai ayah kandung dan gadis itu ternyata amat sayang kepadanya. Hal ini mendatangkan rasa kasih sayang yang besar sekali dalam hati Suma Kiang. Dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengajarkan ilmu silat kepada Suma Eng sehingga lima tahun kemudian, dalam usia tiga belas tahun, Suma Eng telah menjadi seorang gadis remaja yang pandai sekali dalam ilmu silat.

Selain berbakat dan pandai sekali, juga Suma Eng menyukai pelajaran silat dan ia rajin sekali. Setiap pagi ia berlatih seorang diri di bawah pohon besar itu dan ilmu pedangnya telah mencapai tingkat yang lumayan tingginya. Kalau hanya jago pedang yang biasa saja jangan harap akan mampu menandinginya! Setelah selesai memainkan ilmu pedangnya, Suma Eng mengaso di bawah pohon. Ia menyeka keringat yang membasahi lehernya. Ia seorang gadis remaja yang cantik manis. Rambutnya hitam panjang dikuncir dua dan pada ujung kuncirnya diikat dengan tali sutera merah.

Yang paling kuat daya tariknya adalah sepasang matanya dan mulutnya. Sepasang matanya cemerlang dan bentuknya indah, dengan kedua ujung agak menjungat ke atas dan kerlingnya seperti pedang pusaka tajamnya. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya memiliki sepasang bibir yang selalu merah segar. Seorang gadis remaja yang telah memiliki daya pikat yang kuat sekali, bagaikan setangkai bunga yang sedang berkuncup namun sudah semerbak wangi. Biarpun tubuh itu masih kekanak-kanakan karena sedang bertumbuh, namun sudah tampak betapa pinggang itu ramping sekali dan kulit tubuhnya putih mulus kekuningan. Sepasang pipinya yang jarang bertemu bedak itu selalu putih halus dan kemerahan seperti diberi yanci (pemerah pipi).

Selagi Suma Eng duduk beristirahat setelah latihan pedang tadi, ia tiba-tiba melihat tiga orang berjalan mendaki puncak di depan. Puncak itu letaknya tidak berapa jauh dari puncak di mana ia berada, maka ia dapat melihat dengan jelas tiga orang itu. Yang berjalan di depan adalah seorang hwesio tua berjubah kuning dan berkepala gundul, memegang sebatang tongkat bambu. Sedangkan yang berjalan di belakang hwesio itu adalah seorang laki-laki tinggi besar dan seorang lagi tinggi kurus. Yang tinggi besar membawa sebatang tongkat seperti liyung bentuknya dan yang tinggi kurus memanggul sebatang cangkul bergagang panjang.

Peristiwa ini merupakan hal yang umat menarik hati Suma Eng. Selama lima tahun ia tinggal di puncak itu bersama ayahnya, tidak pernah ada orang berani naik ke puncak di mana ia berada maupun di puncak sebelah depan itu. Ia berhubungan dengan orang lain hanya kalau ia turun dari puncak ke lereng-lereng bagian bawah di mana terdapat dusun-dusun para petani. Siapakah mereka? Ia tahu bahwa peristiwa ini akan merupakan berita menarik bagi ayahnya. Ayahnya pernah berkata kepadanya bahwa kalau ia melihat ada orang naik ke puncak, agar cepat memberitahu kepadanya.

"Kita berdua sedang menyepi di sini, sedangkan engkau sedang mempelajari Ilmu silat. Tidak boleh ada orang lain melihat kita." Demikian kata ayahnya.

Suma Eng menyimpan kembali pedang nya di sarung pedang yang berada dipunggungnya dan iapun berlari mendak puncak menuju ke pondok di mana ayah nya berada.

Ketika ia tiba di pondok, ayahnya sedang duduk di depan pondok dan tersenyum ketika memandangiya. Suma Kian amat mencinta puterinya ini dan di selalu memandang puterinya dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kasih sayang. Dia bahkan lupa bahwa Suma Rng buka anaknya, dia menganggapnya sebagi anak kandungnya sendiri. Naluri yan membangkitkan cinta kasih seorang ayah terhadap anaknya telah menggerakkai hatinya dan dia sungguh mencinta gadis itu seperti mencinta puterinya sendiri.

"Engkau sudah berlatih pedang denga baik-baik, anakku?" "Ayah, ada berita penting sekali. Aku melihat ada tiga

orang mendaki puncak Awan Putih di depan sana."

Suma Kiang terbelalak. "Tiga orang?? Benarkah yang kaukatakan Itu?"

Otomatis Suma Kiang teringat kepada Gobi Sam sian dan juga kepada Thian-te Sam Ok (Tiga Jahat Langit dan Bumi). Entah yang mana dari kedua kelompok itu yang mendaki puncak dan keduanya merupakan musuh-musuhnya. "Bagaimana macam mereka?" "Yang pertama berpakaian seperti seorang hwesio berjubah kuning dan memegang sebatang tongkat. Orang kedua bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang tombak seperti dayung, sedangkan orang ketiga tinggi kurus dan memanggul sebatang cangkul gagang panjang."

Suma Kiang bernapas lega. Ternyata bukan dua kelompok yang diduganya itu. Dia tersenyum dan berkata, "Kalau begitu aku harus mengunjungi mereka untuk menanyakan keperluan mereka datang ke wilayah kita ini. Aku tidak mau tempat kita diganggu orang-orang iseng." Suma Kiang bangkit berdiri.

"Ayah, aku ikut!"

Suma Kiang tersenyum memandang puterinya. Biarpun baru berusia tiga belas tahun, anaknya ini telah memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup memadai untuk melindungi diri sendiri.

"Mau apa engkau ikut?" tanyanya ingin menjenguk isi hati anaknya.

"Aku ingin melihat bagaimana ayah akan mengusir mereka.

Kalau perlu aku ingin membantu!" kata Sumn Eng penuh semangat dan ia membusungkan dadanya yang masih agak kerempeng.

Suma Kiang tertawa bergelak. Hatinya senang sekali.

Anaknya ini bukan hanya mewarisi ilmunya, akan tetapi juga mewarisi keberaniannya. "Ha-ha-ha, boleh-boleh. Engkau boieh ikut dan lihat betapa ayahmu mengusir tiga orang yang mengganggu ketenangan hidup kita itu!"

Mereka berdua meninggalkan pondok dan menuruni puncak itu untuk pergi ke puncak di depan menyusul ketiga orang yang tadi tampak oleh Suma Eng. Perjalanan itu tidak mudah. Pendakian yang terjal. Namun agaknya Sumo Eng telah terlatih dengan baik karena ia dapat mendaki puncak dengan cepat mengikuti ayahnya yang sengaja bergerak cepat untuk menguji kepandaian anaknya. Diam-diam dia semakin bangga. Dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari cepat anaknyapun tidak mengecewakan!

Setelah melakukan pendakian yang melelahkan itu, tibalah mereka di puncak. ternyata puncak itu tidak kalah indahnya dengan puncak di mana mereka tinggal. di puncak itu juga terdapat lapangan yang rata dan di tengah-tengah lapangan Itu tampak seorang hwesio berusia sekitar enam puluh tahun duduk bersila di atas ratu besar. Dia tampaknya sedang bersamadhi, meletakkan kedua tangan di atas paha yang duduk bersila dan kedua matanya terpejam. Terdengar suara ketuk-ini-ketukan dan ketika mereka melihat kesebelah kiri, di sana terdapat dua orang yang sedang bekerja membuat rangka pondok dari kayu.

"Kalian tidak boleh membuat pondok di sini!" Suma Kiang berseru dan dua orang itu berhenti bekerja. Ketika mereka melihat Suma Kiang dan Suma Eng berdiri di situ, mereka lalu meninggalkan pekerjaan mereka dan menghampiri Suma Kiang dan puterinya. Seorang diantara mereka, yang bertubuh tinggi besar, membawa sebuah dayung baja dan orang yang tinggi kurus membawa sebatang cangku bergagang panjang. Si pembawa dayung berpakaian seperti seorang nelayan dan 3 pembawa cangkul berpakaian sepert seorang petani.

Mereka menghampiri dan memandang kepada Suma Kiang dengan penuh perhatian, kemudian si Nelayan berkata dengan suaranya yang lantang.

"Siapakah engkau dan ada hak apakah engkau melarang kami mendirikan pondok di sini?" Biarpun dia berpakaian sebaga seorang nelayan sederhana, namun kata katanya teratur dan tegas.

"Ha-ha-ha, kuberitahupun engkau tidak akan mengenal siapa aku. Aku disebut orang Huang-ho Sin-liong din bernama Suma Kiang. Dan siapakah kalian yang berani hendak mendirikan pondok di sini Ketahuilah bahwa semua puncak di Pegunungan Thai - san merupakan wilayahku dan tidak seorangpun boleh tinggal di satu puncak tanpa seijinku!" Suma Kiang berkata dengan garang sambil menggerakkan tongkat ular hitamnya.

"Aku she (bermarga) Gu akan tetap boleh disebut Si Nelayan atau Nelayan Gu," jawab yang tinggi besar. "Dan ini adalah si Petani atau Petani Lai. Kami berdua sedang mendirikan sebuah pondok untuk suhu kami yang mulia.

Harap engkau tidak mengganggu kami."

"Ha-ha-ha, siapa yang mengganggu, lupa? Kalianlah yang datang mengganggu ketenangan kami. Hayo cepat pergi dari sini kalau kalian tidak ingin aku mempergunakan kekerasan untuk mengusir kalian!"

Dua orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu saling pandang, kemudian Petani Lai yang tinggi kurus itu berkata dengan suaranya yang lembut. "Hemm, nama Huang- ho Sin-liong sudah lama kami dengar. Kalau engkau hendak menguasai sekitar lembah Huang-ho, hal Itu masih pantas mengingat bahwa engkau adalah datuk lembah sungai itu.

Akan tetapi kalau engkau menganggap Thai-San ini wilayahmu, sungguh lucu sekali. Apakah lembah sungai itu sudah kekurangan makan maka engkau mengungsi ke pergunungan?"

Suma Kiang mengerutkan alisnya.

"Tidak perlu banyak cakap. Kalian tinggal memilih ingin hidup atau ingin mat Kalau ingin hidup, cepat pergi dan aja hwesio itu meninggalkan tempat ini sekarang juga!"

"Hemm, kita berada di alam terbuka bukan milik siapa- siapa. Kami tidak akan pergi dari sini!" kata Nelayan Gu, suaranya keras dan tegas.

Tiba-tiba Suma Eng meloncat ke depan, dan ia sudah mencabut pedangnya. Pedang itu adalah sebatang pedang yang ampuh pemberian ayahnya, yaitu Ceng-liong kiam (Pedang Naga Hijau) yang mengeluarkan sinar kehijauan. Sambil menudingkan pedangnya ke arah muka Nelayan Gu ia berkata, "Ayahku sudah menyuruh kalian pergi, mengapa kalian tidak lekas pergi melainkan banyak membantah. Jangan salahkan aku kalau pedangku yang bicara!"

Gadis cilik itu memandang dengan mata menantang kepada Nelayan Gu.

Melihat lagak anak perempuan itu danmendengar suaranya, Nelayan Gu tersenyum. Dia tidak merasa heran. Kalau ayahnya seperti Huang-ho Sin-liong, tentu anaknya berlagak jagoan pula!

"Anak yang baik, lebih baik engkau pulanglah kepada ibumu dan belajar menyulam memainkan jarum daripada memegang pedang. Tidak baik seorang anak perempuan bermain pedang, salah-salah luka menggores tanganmu sendiri!" Nelayan Gu mengeluarkan kata-kata itu sama sekali bukan untuk mengejek, melainkan benar-benar memberi nasihat. Akan tetapi Suma Eng menjadi marah.

"Jangan banyak cakap! Sambut permainan pedangku kalau engkau memang rnampu!" Dan iapun menerjang dengan pedangnya. Begitu menerjang, iapun menusukkan pedangnya ke arah lambung Nelayan Gu dan gerakannya amat cepat dan bertenaga.

"Wutttt...... singggg !" Nelayan Gu terkejut juga melihat

serangan yang hebat itu. Cukup hebat serangan itu maka dia- pun tidak berani memandang rendah dan cepat mengelak, kemudian dia memutar dayungnya untuk menyambut serangan lanjutan.

Suma Eng memutar pergelangan tangannya, pedangnya yang tadi luput menusuk membuat gerakan balik yang cepat sekali dan kini menyambar ke arah pinggang orang dengan bacokan yang kuat

"Bagus. 1" Nelayan Gu memuji dan diapun

menggetarkan dayungnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga, karena dia ingin membuat pedang itu terlepas dari pegangan Suma Eng. Akan tetapi Suma Eng lincah sekali. Agaknya gadis cilik inipun maklum bahwa kalau mengadu tenaga, mungkin ia kalah kuat, maka cepat ia menarik kembali pedangnya dan sambil melangkah maju, pedang itu kini menusuk ke arah ulu hati lawan!

Sekali ini Nelayan Gu benar-benar terkejut. Ternyata bocah itu telah memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan gerakannya juga gesit sekali. Dia memalangkan dayungnya dan sekali ini dapat menangkis pedang.

"Trangggg !" Biarpun tangan Suma Eng terpental,

namun pedang itu tidak terlepas dari pegangannya. Pedangpun terpental, akan tetapi cepat sekali pedang itu meluncur lagi dan kini menyerampang kearah kedua kaki Nelayan Gu! Begitu cepat gerakan itu sehingga yang tampak hanya sinar kehijauan menyambar kearah kaki.

"Hebat !" Nelayan Gu memuji dan terpaksa melompat ke

atas. Pedang itu menyambar lewat bawah kakinya. Melihat bahwa kalau dia membiarkan dirinya maka gadis cilik itu akan terus menyerangnya, kini Nelayan Gu lalu balas menyerang dengan dayung bajanya. Dayung itu menyambar dahsyat dan mendatangkan angin yang kuat. Namun, Suma Eng lebih cepat dan iapun sudah mengelak, gerakannya bagaikan seekor burung walet. Dayung baja itu terus menyerang bertubi-tubi dan Suma Eng hanya mampu menghindarkan diri dengan loncatan-loncatan ringan. Melihat puterinya terdesak dan tidak mampu membalas serangan lawan, Suma Kiang melompat ke depan sambil menggarukkan tongkatnya dan berseru kepada puterinya.

"Eng Eng, mundur kau!"

"Tranggg !" Dayung baja itu bertemu dengan tongkat ular

hitam yang menangkisnya dan Nelayan Gu terhuyung ke belakang. Demikian kuatnya tongkat itu menangkis dayungnya. Ketika melawan Suma Eng tadi, jelas bahwa Nelayan Gu banyak mengalah dan tidak berniat mencelakai atau melukai gadis cilik itu. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia bukan seorang yang berwatak kejam dan tidak berniat melukai seorang anak-anak. Serangannya tadi seperti gertakan saja.

Akan tetapi Suma Kiang tidak mau tahu akan kenyataan ini.

Begitu dia maju dia mulai menyerang dengan tongkat ular hitamnya dan serangannya dahsyat sekali. Nelayan Gu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka diapun memutar dayung bajanya dengan hati hati melindungi diri sendiri.

"Mampuslah!" bentak Suma Kiang dan tongkat ular hitamnya menyambar dari atas ke bawah memukul ke arah kepala Nelayan Gu. Orang yang diserang ini memegangi dayungnya dengan kedua tangan dan memalangkannya di atas kepala untuk menangkis.

"Tranggg !" Nelayan Gu harus mengerahkan seluruh

tenaganya karena tongkat ular hitam itu menghantamnya dengan tenaga yang dahsyat. Setelah berhasil menangkis tongkat, dayung itu diputar turun kini sebelah ujungnya menyambar ke arah iga kiri Suma Kiang. Namun, datuk sesat ini sudah memutar tongkatnya lagi menyambut.

Terdengar suara tang-tung tang-tung- berapa kali ketika tongkat bertemu dayung dan akibatnya, Nelayan Gu terhuyung mundur. Ternyata dalam hal tenaga lakti, Nelayan Gu masih kalah kuat setingkat dibandingkan lawannya. Akan tetapi, dengan seluruh tenaga yang dimilikinya, dia mengadakan perlawanan dengan gigih sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru.

Biarpun dia menang dalam hal tenaga sin kang, namun ilmu tongkat dayung Nelayan Gu sungguh hebat sehingga Suma Kiang mengalami kesukaran untuk merobohkan lawan ini. Diam-diam dia terkejut. Kalau orang yang memegang cangkul dan disebut Petani Lai itu maju mengeroyoknya, tentu dia menjadi repot. Apalagi kalau hwesio itu yang maju pula mengeroyok, mungkin akan sukar baginya untuk menang. Oleh karena itu, dia berseru nyaring dan tongkatnya kini menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Ternyata dia telah mainkan Ciu-sian-tung-hoat (Ilmu Tongkat Dewa Arak) yang kalau dimainkan, yang memainkannya seperti orang mabok, akan tetapi gerakan tongkat itu sukar diikuti lawan.

"BukkkM" Karena bingung melihat perubahan ilmu tongkat lawan, akhirnya punggung Nelayan Gu terkena hantaman tongkat. Dia terhuyung dan melompat ke belakang. Namun tongkat itu mengejarnya dan menyambar ke aral kepalanya.

"Trakkk!" Cangkul bergagang panjang itu menangkis dan selamatlah Nelayan Gu. Dia melompat ke pinggir dan kini Petani Lai yang bertanding hebat melawan Suma Kiang.

Melihat betapa Petani Lai melawan Suma Kiang seorang diri, dan Nelayan Gu tidak ikut mengeroyok, dapat pula diketahui watak gagah kedua orang itu Mereka tidak mau main keroyok walaupun lawan amat tangguhnya. Ini menunjukkan watak pendekar.

Petani Lai juga amat lihai memainkan cangkul gagang panjangnya. Namun, setelah lewat lima puluh jurus dalam perkelahian yang seru, akhirnya harus mengakui keunggulan lawan. Dalam pertemui antara dua senjata mereka, gagang cangkul itu patah dan terpaksa Petani Lui. harus melompat ke belakang karena keadaannya berbahaya sekali. Akan tetapi Suma Kiang yang merasa penasaran karena belum dapat merobohkan seorang diantara mereka, melompat dan mengejar dengan pukulan tongkatnya yang menyambar ke arah punggung Petani Lai dengan totokan maut. Kalau ujung tongkat itu mengenai punggung, maka Petani Lai akan tertotok tewas! Demikian kejamnya hati Suma Kiang.

"Wuuuuttt plakk!" Suma Kiang terpental ke belakang

dan dia terpaksa membuat pok-sai (jungkir balik) di udara sampai tiga kali barulah dia dapat turun ke atas tanah dengan baik. Dia terkejut Bukan main karena tadi hanya melihat bayangan kuning berkelebat menangkis tongkatnya. Kiranya hwesio berkepala gundul berjubah kuning itu kini telah berdiri di depannya sambil merangkap kedua tangan di depan dada.

"Omitohud ! Hwesio itu berdoa.

"Mengapa begitu kejam untuk membunuh lawan yang sudah kalah? Sicu (tuan yang gagah), membunuh merupakan dosa yang amat besar!"

Suma Kiang mengerutkan alisnya. "Hwesioo , siapakah nama julukanmu?"

Dia bertanya secara tidak menghormat sama sekali. "Orang menyebut pinceng (saya) Cheng Hian Hwesio."

jawab hwesio itu dengan sikap tetap sopan.

"Kenapa tidak kembali saja ke kuilmu dan berkeliaran di sini?"

"Omitohud! Pinceng tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, tidak mempunyai kuil. Kuil pinceng adalah tubuh ini dan tempat tinggal pinceng adalah alam ini, atapnya langit dan dindingnya gunung-gunung."

"Pergilah dari sini, hwesio, karena di sini merupakan wilayahku. Jangan ganggu ketenangan hidupku di sini. Pergilah!"

"Omitohud! Tidak ada manusia yang memiliki gunung- gunung. Melihat tempat ini tidak dihuni orang maka pinceng menetapkan untuk tinggal di sjni. Pinceng dan dua orang murid tidak mengganggu siapa-siapa. Sebaliknya, siculah yang mengganggu kami yang sedang membuat pondok."

"Hwesio, kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" bentak Suma Kiang sambil menggerakkan tongkat ulat hitamnya. "Omitohud, yang menggunakan kekerasan akan menjadi korban kekerasan itu sendiri." kata hwesio itu sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.

"Mampuslah!" bentak Suma Kiang dan dia langsung saja menerjang maju, menggerakkan tongkatnya untuk menusuk ke arah ulu hati hwesio itu.

Hwesio yang mengaku bernama Cheng Hian Hwesio itu tidak mengelak, melainkan membuka kedua tangan yang dirangkap di depan dada dan menyambut ujung tongkat itu yang segera terjepit oleh kedua tangannya. Suma Kiang terkejut dan mencoba untuk menarik tongkatnya, namun tidak dapat tongkat itu ditarik, seolah-olah telah melekat pada kedua telapak tangan itu. Suma Kiang mengerahkan seluruh sin-kangnya untuk melepaskan tongkatnya, namun tetap saja dia tidak mampu. Selagi dia bersitegang hendak melepaskan tongkatnya, tiba-tiba Cheng Hian Hwesio melepaskan tongkat itu sambil mendorong dan tubuh Suma Kiang terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung!

Suma Kiang bukan hanya terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Dia masih belum dapat menerima kenyataan dan tidak mau percaya bahwa ada orang mampu mengalahkannya dalam segebrakan saja! Ditancapkannya tongkatnya di atas tanah dan sekali kedua tangannya bergerak ke punggung dia telah mencabut sepasang pedangnya. Tampak dua sinar hitam menyambar ketika dia mencabut Tok-coa Siang kian (Sepasang Pedang Racun Ular) yang ampuh itu.

"Omitohud, pinceng tidak ingin berkelahi, Suma sicu!" Hwesio itu berseru. Akan tetapi sia-sia saja ucapannya in karena Suma Kiang sudah bergerak maju, sepasang pedangnya diputar cepat dan dia sudah menyerang dengan dahsyat sekali. Sepasang pedang itu menyambar dari arah yang berlawanan, yang kanan menyambar ke arah leher dan yang kiri menyambar ke arah pinggang. Suatu serangan berganda yang amat berbahaya karena pedang itu selain tajam dan kuat, juga mengandung racun yang kalau menggores kulit lawan, dapat mematikan seketika!

"Omitohud    !" Cheng Hian Hwesiio berkata lagi dan dia

menggerakkan tubuhnya mengelak sambil mengebutkan kedua ujung lengan bajunya untuk menangkis sepasang pedang itu.

Suma Kiang merasa betapa kuatnya ujung lengan baju itu membentur pedangnya sehingga kedua tangannya tergetar hebat, akan tetapi datuk yang keras kepala dan selalu memandang rendah orang lain ini terus menyerang dengan hebatnya, mengirim serangan - serangan hebat.

Cheng Hian Hwesio bergerak mengelak yang tampaknya lambat, namun semua serangan itu dapat dielakkan dan yang tidak terelakkan dia tangkis dengan ujung lengan baju.

Betapapun saktinya Cheng Hian Hwesio, kalau dia hanya mengelak dan menangkis saja dan membiarkan Suma Kiang terus menghujaninya dengan erangan, akhirnya dia terdesak juga.

"Omitohud ! Terpaksa pinceng melawan!" Setelah

berkata demikian, tubuhnya bergerak lebih cepat dan kedua ujung bajunya juga menyambar-nyambar dengan tmat cepatnya. Belum sampai tiga puluh jurus kakek ini bergerak cepat, tiba-tiba saja sepasang lengan bajunya telah menotok secara istimewa sekali dan menyentuh kedua pundak Suma Kiang. Seketika Suma Kiang tidak mampu menggerakkan tubuhnya dan berdiri seperti patung!

"Sudah cukup, Suma sicu!" kata Cheng Hian Hwesio dan secepat kilat jari tangannya bergerak dua kali ke arah pundak Suma Kiang dan datuk Lembah Sunga Huang-ho ini sudah mampu bergerak kembali!

Akan tetapi dasar orang jahat yang berkepala batu, begitu dapat bergerak dia sudah menubruk ke depan dan menyerang dengan sepasang pedangnya Serangan itu tiba-tiba datangnya dan amat cepat. Akan tetapi tiba-tiba dia kehilangan kakek itu. Ternyata, dalam keadaan gawat itu Cheng Hian Hwesio sudah mencelat ke atas dan kini tubuhnya turun dengan jungkir balik, tangan kanannya lurus dengan jari telunjuk menyerang ke bawah.

Suma Kiang coba menghindar, namun serangan dengan satu jari itu bukan main hebatnya. Hawa serangan itu saja sudah membuat Suma Kiang tertegun dan sebelum dia sempat mengelak, jari telunjuk kakek itu sudah menyentuh pundak kirinya dan seketika tubuhnya menjadi lemas dan dia terkulai roboh! Masih untung baginya bahwa kakek itu menotok pundaknya, kalau jari itu menyentuh ubun-ubun kepalanya, tentu dia akan tewas seketika. Dia tidak tahu bahwa itulah ilmu totok It-yang-ci (Totok Satu Jari) yang amat ampuh dari Siauw-lim-pai!

"Omitohud, pinceng harap engkau tidak akan menggunakan kekerasan lagi, Suma sicu!" kata Cheng Hian Hwesio setelah dia turun ke atas tanah.

"Berani engkau membunuh ayahku!" Tiba-tiba Suma Eng berseru dan ia menerjang maju menyerang Cheng Hian Hwesio dengan pedang Ceng-liong-kiam yang bersinar hijau.

Cheng Hian Hwesio menyambut serangan ini dengan menyentil pedang itu menggunakan jari tangannya.

"Tringgg !" Tubuh Suma Eng terbawa pedang itu

terputar-putar mundur!

"Omitohud, ayahmu tidak mati, anak yang u-hauw (berbakti)!" kata Cheng Hian Hwesio dan sekali tangannya bergerak menotok, Suma Kiang dapat bergerak kembali. Sekali ini, biarpun hatinya masih penuh dengan penasaran dan marah, Suma Kiang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang sakti dan memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya. Maka diapun lalu menyimpan sepasang pedangnya di punggung, mencabut tongkat ular hitamnya dan menggandeng tangan Suma Eng sambil berkata, suaranya penuh dengan kekecewaan dan kemurungan.

"Mari kita pergi dari sini, Eng Eng!"

Suma Eng mengerutkan alisnya dan ia merasa penasaran dan kecewa sekali! Ayahnya yang dianggapnya orang paling jagoan di dunia ini, sama sekali tidak berdaya melawan seorang hwesio tua yang lemah! Hampir ia tidak dapat percaya kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri!

Setelah mulai mendaki puncak mereka sendiri, Suma Eng tidak tahan lagi untuk berdiam diri. "Ayah, kenapa ayah kalah oleh hwesio tua yang lemah itu?"

Suma Kiang menghela napas panjangi sebelum menjawab. "Eng Eng, engkau tidak tahu. Hwesio itu sama sekali tidak lemah. Dia adalah seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dua orang muridnya itupun lihai, akan tetapi dibandingkan guru mereka, sangat jauh selisihnya. Sama sekali aku tidak pernah mimpi akan bertemu dengan serang yang demikian lihainya. Ini berarti kita tidak dapat lebih lama tinggal di tempat ini, Eng Eng."

"Akan tetapi kenapa, ayah?"

"Orang telah mengalahkan aku dan tinggal di puncak sebelah, bagaimana mungkin aku lebih lama tinggal di sini? Tentu dia akan datang menggangguku. Pula, melihat ada orang yang lebih lihai dariku, engkau harus mendapat pendidikan dari seorang sakti, karena itu engkau akan kubawa menghadap supek-ku (uwa guruku) yang bertapa di puncak Cin-ling-an."

Mendengar ini wajah yang manis itu menjadi berseri. "Ah, apakah kepandaian supek-kong (kakek uwa guru) itu hebat sekali, ayah? Bagaimana kalau dibandingkan dengan hwesio tadi?" "Kalau bertanding melawan supek, Hwesio tadi pasti kalah.

Di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandingi kesaktian supek!" Suma Kiang menyombong dan puterinya tersenyum puas.

"Kalau begitu aku ingin sekali belajar ilmu silat darinya."

Setelah tiba di pondok mereka di puncak, mereka berkemas dan hari itu juga mereka berangkat meninggalkan Thai-san.

Melihat Suma Kiang dan Suma Eng sudah pergi jauh turun dari puncak Awan Putih, Nelayan Cu dan Petani Lai lalu menghadap Cheng Hian Hwesio dan mereka menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu yang masih berdiri tegak memandang ke arah perginya Suma Kiang.

"Mohon paduka memberi ampun kepada hamba berdua yang tidak mampu mengusir datuk sesat itu." kata Nelayan Gu dengan sikap hormat sekali.

"Sudahlah, jangan pikirkan itu. Dia memang lihai sekali, dan kalian hentikan sikap kalian ini. Ingat, telah puluhan tahun aku menjadi Cheng Hian Hwesio yang juga menjadi guru kalian. Pinceng lebih suka disebut suhu daripada sebutan muluk lainnya. Ingatlah, hanya orang bodoh yang suka berenang di lautan masa lalu. Masa lalu sudah lewat, sudah mati, saat inilah yang penting. Karena itu, rubahlah sikapmu agar jangan sampai orang lain mengetahui masa lalu pinceng."

"Harap suhu sudi memaafkan kami." kata kedua orang itu hampir berbareng.

"Sekarang lanjutkanlah membuat pondok untuk kita." Hwesio itu kembali duduk di atas batu besar dan melanjutkan samadhinya yang tadi terganggu dan dua orang pembantunya itupun melanjutkan pekerjaan mereka membuat pondok bambu yang sederhana. Siapakah hwesio yang sakti itu? Dan mengapa kedua orang murrdnya itu bersikap seolah berhadapan dengan seorang yang tinggi kedudukannya?

Hwesio yang mengaku bernama Cheng Hian Hwesio itu bukan lain adalah Kaisar Hui Ti yang telah dinyatakan hilang ketika kota raja Nan-king diserbu oleh pamannya, yaitu Pangeran Yen yang kemudian menjadi Kaisar Yung Lo. Dia melarikan diri dan dinyatakan hilang tak tentu rimbanya.

Peristiwa itu terjadi kurang lebih empat puluh tahun yang lalu. Ketika itu pendiri Kerajaan Beng, Kaisar Hong Bi atau lebih terkenal dengan nama Goan Ciang, meninggal dunia. Karena puteranya telah lebih dulu meninggal dunia karena sakit, maka yang menggantikan menjadi kaisar adalah cucunya yang bernama Hui Ti. Kaisar Hui Ti memerintah dalam usia muda, baru kurang lebih dua puluh tahun. Hal ini mendatangkan kemarahan kepada Pangeran Yen, putera Cu Goan Ciang yang lain dan yang menjadi panglima besar berkedudukan di Peking. Pangeran Yen menganggap bahwa setelah kakaknya meninggal dunia, sudah sepatutnya kalau dia yang menggantikan menjadi kaisar, bukan keponakannya, Hui Ti. Karena kemarahan ini dia lalu menggerakkan pasukannya, dari Peking menyerbu ke selatan. Dalam perang saudara ini pasukan Nan-king kalah dan pasukan Pangeran Yen menyerbu ke istana. Istana Kaisar Hui Ti terbakar sehingga ketika orang tidak menemukan Kaisar Hui Ti, dikabarkan bahwa kaisar muda Itu mati terbakar di dalam- istana.

Padahal, sebetulnya Kaisar Hui Ti yang muda itu tidak mati terbakar dalam istananya, melainkan berhasil lolos bersama para pengawalnya yang setia. Kaisar Hui Ti menggunduli kepalanya dan menyamar sebagai seorang hwesio perantau dan melakukan perjalanan di seluruh Tiongkok. Akhirnya dia benar-benar menjadi hwesio yang mendalami pelajaran agama. Bahkan dia bertemu dengan serang hwesio perantau yang sakti, kemudian mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari hwesio itu.

Setelah dia menjadi tua, yang mengikutinya hanya tinggal dua orang yang sejak muda menjadi pengawalnya dan juga menjadi sahabat-sahabatnya. Dua orang pengawal itupun memiliki ilmu alat yang tinggi dan akhirnya belajar dari Cheng Hian Hwesio yang telah menjadi seorang hwesio sakti. Mereka menyamar sebagai seorang nelayan dan seorang petani, kemudian disebut Nelayan Gu dan Petani Lai.

Demikianlah mengapa dua orang itu bersikap seperti itu, menghormati Cheng Hian Hwesio sebagai seorang kaisar! Mereka tidak pernah melupakan bahwa hwesio itu adalah Kaisar Hui Ti. Kini dalam hati Cheng Hian Hwesio sudah bersih dari pamrih untuk kembali ke kota raja. Biarpun Kaisar Yung Lo sudah lama meninggal dunia dan dia tidak dikejar-kejar lagi, namun dia memilih menjadi hwesio yang hidup tenang dan penuh damai, mengajarkan keagamaan kepada para hwesio muda di kuil-kuil dan memilih tempat-tempat indah dan sunyi di puncak gunung gunung.

Ketika melihat puncak Awan Putih d Thai-san, dia merasa suka sekali dan mengambil keputusan untuk membuat pondok di situ dan untuk sebentar? menikmati keindahan alam yang berada di tempat itu. Sama sekali tidak pernah tersangka oleh Cheng Hian Hwesio bahwa di tempat itu dia akan diganggu oleh, Huang-ho Sin-liong Suma Kiang. Akan tetapi dia telah berhasil membuat datuk sesat itu menjadi jerih dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi.

Sebulan kemudian, pondok yang dibuat oleh dua orang pengawal itu telah rampung. Sebuah pondok yang cukup besar dan kokoh walaupun bentuknya sederhana.

Cheng Hian Hwesio sudah duduk di atas batu besar depan rumah, dan dua orang pembantunya duduk di atas batu-batu yang lebih kecil, di kanan kiri hwesio itu. Mereka tidak bicara, namun mereka bertiga sadar sepenuhnya dan waspada akan keadaan sekeliling mereka. Betapa indahnya saat itu tidak dapat mereka gambarkan. Mereka merasa seolah-olah berada di alam lain. Awan putih seperti domba berarak di atas, ber gerak perlahan seperti sekumpulan domba yang taat dan jinak digembala oleh Sang Gembala yang tidak nampak. Sinar matahari pagi menembus awan-awan putih yang tipis, mendatangkan kehangatan di permukaan puncak Awan Putih, mengusir kabut yang masih enggan meninggalkan tanah, memaksa kabut membubung ke atas bercampur dengan awan. Permukaan puncak tampak terang dan segala yang berada di situ mulai hidup menyambut cahaya matahari pemberi kehidupan Burung-burung berkicau riang menyambut sinar matahari pagi, siap untuk mulai dengan pekerjaan mereka sehari-har mencari makan. Kuncup-kuncup bunga mulai mekar tersentuh kehangatan matahari dan ujung-ujung daun pohon masih menahan embun yang bergantungan bagaikan mutiara. Angin pagi yang sejuk segar bersilir ringan, dan tiga orang itu seperti tenggelam dalam keadaan itu.

Mereka merasa menjadi bagian dari keheninga dan keindahan itu.

Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan terasa sekali dalam keadaan seperti itu dan hidup merupakan kebahagiaan, terlepas dari kesenangan dan kesusahan. Alam menjadi satu dengan kita, dan perasaan si-aku yang membuat kita hidup terpisah dari segala sesuatu, juga terikat dengan segala sesuatu, tidak terasa lagi pada saat itu. Memandang awan berarak di atas, memandang rumput-rumput hijau segar, bunga-bunga aneka warna yang indah, daun-daun pohon yang dihias mutiara embun, sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Bahkan menghirup udara yang bersih sejuk memenuhi rongga dada dan perut merupakan kebahagiaan tersendiri pula.

Nafsu-nafsu yang biasanya meliar, dalam keadaan seperti itu menjadi jinak, tidak mengejar-ngejar, tidak menguasai diri, tidak merajalela. Nafsu yang biasanya meniadakan kebahagiaan, karena nafsu hanya mengejar kesenangan, selalu ingin mendapatkan yang lebih daripada apa adanya. Akan tetapi kita tidak mungkin hidup tanpa nafsu karena nafsu yang membuat kita mencukupi semua kebutuhan hidup. Akan tetapi kalau nafsu menguasai kita, nafsu pula yang menyeret kita ke dalam duka dan perbuatan dosa.

"Suhu, mengapa hanya dalam keadaan seperti sekarang ini saja teecu (murid) merasakan suatu keadaan yang amat hahagia? Mengapa perasaan seperti ini tidak dapat terus tinggal di dalam hati tecu?" tanya Petani Lai kepada hweaio itu.

Cheng Hian Hwesio tersenyum. "Omitohud! Segala macam perasaan yang meniadakan kebahagiaan adalah kalau hati akal pikiran mulai bekerja. Hati aku pikiran kita sudah bergelimang nafsu karena itu begitu hati akal pikiran mulai bekerja, yang dicarinya hanya kesenangan. Pikiran mulai membanding-bandingkan antara senang dan tidak senang, antara indah dan buruk dan selalu merindukan yang baik-baik, yang Indah-indah, yang menyenangkan saja. Sebaliknya, dalam keadaan seperti yang kau katakan itu, hati akal pikiran tidak bekerja dan apa pun yang ada diterima dengan apa ada nya dan sewajarnya, tanpa baik buruk tanpa menyenangkan atau menyusahkan dan itulah menimbulkan kebahagiaan sejati."

"Kalau begitu, suhu. Apakah kita tidak boleh mempergunakan hati akal pikiran dan menyerahkan segala sesuatu, kepada keadaan saja, menerima sebulatnya?" tanya Nelayan Gu.

"Omitohud, sama sekali tidak demikian. Sejak lahir kita sudah disertai akal pikiran, sudah disertai nafsu, akan tetapi semua peserta ini harus menjadi alat, jangan sampai memperalat kita. Kita berkewajiban untuk mempergunakan hati akal pikiran dan nafsu, demi kelangsungan hidup kita. Kalau matahari bersinar terlampau terik, kita dapat berusaha untuk mencari tempat teduh, sebaliknya kalau hawa udara terlampau dingin, kita wajib berusaha untuk mencari kehangatan melawan dingin. Akan tetapi kita harus menerima segala sesuatu seperti apa adanya dan bertindak sesuai dengan ke-adaan itu, tanpa mengeluh, tanpa merasa berduka, tanpa dipengaruhi untung rugi dan baik buruk. Itulah yang dinamakan hidup sesuai dengan kodrat alam."

"Akan tetapi, suhu. Kalau yang mendatangkan duka itu nafsu adanya, mengapa kita tidak mematikan nafsu itu saja agar terbebas daripada duka?"

"Omitohud! Tidak mungkin manusia mematikan nafsunya, karena mematikan nafsu berarti mematikan dirinya. Yang mungkin adalah mengendalikan nafsu se-hingga nafsu-nafsu kita menjadi seperti beberapa ekor kuda yang jinak dan taat agar dapat menarik kereta kita dengan benar. Kereta itu diibaratkan kehidupan kita. Kalau kita dapat mengendalika nafsu, maka nafsu akan menjadi seperti kuda yang jinak dan penurut, sebaliknya kalau kita tidak mampu mengendalikan nafsu, maka nafsu akan menjadi kuda kuda liar dan akan membawa kabur kereta dengan kemungkinan masuk ke jurang dan menghancurkan kereta itu."

"Akan tetapi bagaimana caranya mengendalikan nafsu yang sudah menggelimangi hati akal pikiran kita, suhu?" tanya pula Petani Lai.

"Dengan menyerahkan diri kepada Yang Maha Kuasa, seikhlas-ikhlasnya mohon bimbingan dari Yang Maha Kuasa agar kita dapat terbebas dari pengaruh nafsu dan mampu mengendalikannya. Namun hal ini tidaklah mudah, perlu latihan terus menerus selama hidup kita."

"Akan tetapi, suhu " Petani Lai hendak bertanya lagi,

akan tetapi Chen Hian Hwesio mengangkat tangan kirinya, ke atas dan berkata lembut, "Sudahlah,jangan bicara lagi.

Tengoklah ke sekelilingmu, buka mata batinmu dan pandanglah mata pelajaran tentang hidup yang diberikan alam. Pelajaran rahasia yang tidak dapat diterima hati akal pikiran, karena kalau sudah diterima pikiran tentu diselewengkan, melainkan terimalah dengan hati dan sanubarimu. Kalau sudah begitu, segala macam pembicaraan tidak ada gunanya lapi. Sekarang, sambutlah datangnya tamu yang mendaki puncak. Tidak ada kebahagiaan yang lebih mendalam laripada menerima seorang sahabat dari jauh yang sudah lama tidak bertemu."

Dua orang murid itu mengangkat muka memandang ke bawah puncak dan mereka kini melihat pula dua orang yang sedang mendaki puncak itu. Seorang kakek bertubuh pendek katai dengan rambut, sampai di pinggang dan jenggot sampai ke dada, bersama seorang pemuda remaja berusia sekitar lima belas tahun. Pemuda itu bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan dan anggur, pandang matanya mencorong seperti mata seekor naga! Dua orang bekas pengawal itu lalu bangkit berdiri dan cepat menyambut kakek pendek dan pemuda remaja itu. Keduanya tidak menghendaki kalau ada orang mengganggu ketenteraman guru dan junjungan mereka. Dan biarpun Cheng Hian Hwesio tadi mengatakan kedatangan sahabat, akan tetapi mereka tahu bahwa guru mereka itu menganggap semua orang sahabat. Mereka sendiri harus berhati-hati. Siapa tahu kakek yang datang itu seorang jahat seperti halnya Huang-ho Sin-liong Suma Kiang!

Akan tetapi melihat kakek itu sudah tua, tidak kurang dari tujuh puluh tahun usianya, Nelayan Gu dan petani Lai segera mengangkat kedua tangan depan dada.

"Selamat datang di Puncak Awan Putih, locianpwe (orang tua yang gagah). Siapakah locianpwe dan ada keperluan apakah locianpwe mendatangi tempat kami ini?"

Kakek itu bukan lain adalah Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama). Dan anak remaja itu adalah Han Lin. Seperti kita ketahui, ketika Bu-beng Lo-jin berhasil mengusir Toa Ok dan Sam Ok dan menolong Han Lin, kakek itu membawa Han Lin kepada Gobi Sam-sian, tiga orang murid keponakannya itu. Dia minta agar Gobi Sam-sian menggembleng Han Lin selama lima tahun. Baru setelah lewat lima tahun, tiga orang tokoh itu diminta mengantarkan Han Lin kepadanya di puncak Thai-san. Baru beberapa hari yang lalu, Gobi Sam-sian mengantarkan Han Lin kepada supek mereka. di sebuah diantara puncak- puncak di Thai-san. Setelah menyerahkan Han Lin yang telah mereka gembleng selama lima tahun itu kepada Bu-beng Lo- jin, Gobi Sam-sian lalu meninggalkan Han Lin dan supek mereka.

Han Lin kini telah menjadi seorang pemuda berusia lima belas tahun yang gagah. Dia telah menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan ketiga orang gurunya. bukan hanya ilmu silat tinggi yang dipelajarinya dari Gobi Sam-sian, melainkan juga ilmu sastera dan filsafat. Dia telah menjadi seorang pemuda remaja yang pendiam, cerdik dan pandai membawa diri.

Setelah Gobi Sam-sian meninggalkan puncak di mana Bu- beng Lo-jin bertapa, kakek ini lalu berkata kepada Han Lin "Han Lin, sebelum aku mulai dengan mengajarkan ilmu kepadamu, terlebih dulu aku akan membawamu menghadap seorang sahabat baikku yang baru saja datang di Puncak Awan Putih dan agaknya hendak menetap di sana. Engkau perlu kuperkenalkan karena dari orang itu engkau akan dapat mempelajari berbagai ilmu kesaktian yang tinggi."

Demikianlah, pada keesokan harinya!

Han Lin berkunjung ke puncak di sebelah yaitu Puncak Awan Putih yang menjadi tempat tinggal Cheng Hian Hwesio. Dalam perjalanan yang sukar ini, diapun menguji ilmu meringankan tubuh dari pemuda itu dan melihat bahwa apa yang diajarkan ketiga Gobi Sam-sian ternyata tidak mengecewakan.

Ketika Nelayan Gu menyambutnya dengan pertanyaan siapa dia dan ada keperluan apa datang ke tempat itu, Bu Beng Lo-jin memandang kepada dua orang Itu dan tertawa. "Ha-ha-ha, kalian berpakaian sebagai Nelayan dan petani, memegang dayung dan cangkul, akan tetapi sikap kalian seperti pengawal-pengawal yang setia kepada junjungannya! Aku adalah Kakek tanpa Nama dan aku datang hendak bertemu dengan sahabat baikku, Cheng hian Hwesio."

Nelayan Gu dan Petani Lai saling pandang dan mengerutkan alisnya. Mereka merasa belum pernah bertemu dengan kakek ini, akan tetapi kakek ini telah pagi-pagi sekali Bu-beng Lo-jin mengejek dan menyindir mereka sebagai pengawal-pengawal!

"Suhu sedang beristirahat dan tidak mau diganggu.

Katakan dulu apa keperluanmu sebelum menghadap suhu." kata Nelayan Gu.

"Ha-ha, aku tidak mempunyai keperluan apapun. Akan tetapi melihat Cheng Hian Hwesio memilih tempat tinggal di puncak Awan Putih, tidak dapat tidak ku harus mengunjunginya."

"Bagaimana kalau kami berdua melarangmu?" tanya pula Nelayan Gu mencoba dan hendak melihat bagaimana sikap tamu aneh ini.

Bu-beng Lo-jin tersenyum. "Ji-Ciangkun (Panglima Berdua), aku tahu benar siapa kalian dan aku tahu pula siapa junjungan kalian. Bukankah kenyataan ini sudah merupakan tanda persahabatan yang akrab? Apakah kalian masih tidak percaya kepadaku?"

Terdengar suara dari atas puncak "Nelayan Gu dan Petani Lai, harap jangan memakai banyak peraturan dan persilahkan sahabat pinceng itu naik ke sini!"

Dua orang murid itu menjawab, "Baik suhu. Silakan, locianpwe." "Mari, Han Lin, kita temui orang yang paling aneh dan paling baik di dunia ini." ajak si kakek katai itu dan Han Lin berjalan di belakangnya dengan sikap hormat.

Bu-beng Lo-jin melangkah cepat menghampiri batu besar di mana Cheng Hian Hwesio sudah duduk menanti sambil tersenyum lebar.

"Sobat, bagaimana engkau tahu bahwa pinceng berada di sini?" tanya Cheng Hian Hwesio sambil tersenyum dan kemudian sepasang matanya yang lembut memandang ke arah Han Lin dan mata itu mengeluarkan sinar kagum.

"Heh-heh, sudah hampir lima tahun aku tinggal di puncak sebelah selat itu. Tentu saja aku tahu semua yang terjadi di Puncak Awan Putih. Termasuk ketika engkau mengusir Huang- ho Sin liong Suma Kiang dari sini." kata Bu beng Lo-jin sambil tertawa.

"Omitohud! Pinceng sama sekali tidak mengusirnya." bantah Cheng Hian Hwesio.

"Aku tahu! Seorang suci seperti engkau yang membunuh seekor semut pun tidak mau, bagaimana tega hati untuk mengusir seorang manusia walaupun manusia itu sejahat Suma Kiang? Akan tetapi dia telah pergi sendiri dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Puterinya itu seorang vang memiliki bakat baik sekali, sayang seorang yang seperti itu dididik seorang datuk macam Suma Kiang."

"Omitohud, hal itu tidak bergantung kepada pendidikan seseorang, melainkan atas karma anak itu sendiri. Mudah mudahan saja ia berkarma baik dan tidak akan mewarisi watak yang jahat dari pendidiknya."

"Ha-ha-ha, selamanya engkau berpengharapan baik, Cheng Hian Hwesio."

"Tentu saja. Tanpa harapan-harapan haik dalam kehidupan, lalu apa isinya? Tidak mungkin hanya diisi dengan keluh kesah belaka. Akan tetapi siapakah anak yang datang bersamamu, Lo-jin?"

Bu-beng Lo-jin menoleh kepada Han lin dan berkata, "Dia adalah muridku."

"Bagus, pinceng ikut gembira melihat engkau memiliki seorang murid yang baik, Lo-jin."

"Aku membawanya menghadapmu agar engkau sudi menjulurkan tangan menolongnya dengan membimbingnya dan mengajarnya satu dua macam ilmu yang kau kuasai, Cheng Hian Hwesio."

"Omitohud ! Setelah mempunyai guru seperti engkau,

ilmu apa lagi yang dapat diajarkan orang lain kepada muridmu?"

"Aku bicara sungguh-sungguh, hwesio tua! Aku menginginkan agar engkau mengajarkan ilmumu kepada anak ini. Sebaiknya kalau dua orang muridmu itu menguji dulu sampai di mana tingkat kepandaian anak ini sehingga kelak mudah bagimu untuk mengajarnya. Nelayan Gu Petani Lai, ajaklah muridku ke belakang dan ujilah sampai di mana tingkat kemampuannya!"

Dua orang itu hendak membantah akan tetapi Cheng Hian Hwesio menggerakkan tangan kepada mereka sambil berkata. "Lakukanlah apa yang mintanya. Kalian tidak akan mampu membantah kemauannya!" Dan hwesio itu tertawa lembut.

Nelayan Gu dan Petani Lai saling pandang, lalu dengan sikap apa boleh buat mereka mengajak Han Lin. "Anak muda, marilah engkau ikut dengan kami ke belakang pondok!"

Han Lin adalah seorang anak yang cerdik. Tanpa dijelaskanpun dia sudah maklum akan apa yang dimaksudkan oleh dua orang tua itu, maka diapun bangkit berdiri dan mengikuti dua orang itu tanpa bertanya apalagi membantah. Setelah Han Lin pergi bersama dua orang itu, Cheng Hian Hwesio berkata kepada Bu-beng Lo-jin sambil tersenyum. "Lo- jin, engkau agaknya hendak bicara padaku tanpa didengar anak itu. Nah, katakanlah, apa yang hendak kaubicara-kan itu?"

"Ha-ha-ha, siapa yang akan dapat membohongimu?

Agaknya engkau dapat membaca isi hati dan pikiran orang! Memang sesungguhnya aku ingin bicara denganmu mengenai anak itu dan kalau aku sudah bicara, aku tanggung engkau tidak akan ragu lagi untuk menurunkan ilmu-ilmu mu kepadanya."

"Katakanlah, tidak baik menyimpan rahasia."

"Ceng Hian Hwesio, engkau tentu mengetahui siapa adanya Kaisar Cheng Tung, bukan?"

Hwesio itu tersenyum. "Apakah engkau hendak menggoda pinceng, Lo-jin? Tentu saja pinceng tahu siapa adanya Kaisar Cheng Tung, karena dia masih terhitung cucu-keponakan pinceng sendiri."

"Dan tahukah engkau bahwa Kaisar Cheng Tung pernah ditawan selama hampir dua tahun oleh seorang kepala suku Mongol?"

"Kekalahan pasukan Beng di Hu lai itu? Suatu perbuatan yang bodoh sekali dari Kaisar Cheng Tung'" kata Cheng Hian Hwesio.

"Akan tetapi akhirnya dia dibebask dan ini merupakan suatu kebijaksanaa dari kaisar itu sehingga dia tidak dibunuh bahkan di sana dia telah menikah dengan seorang Puteri Mongol!"

"Ah, benarkah itu?"

"Dan anak yang dilahirkan Puteri Mongol itu seorang anak laki-laki, bernama Cheng Lin yang kemudian disebut Han Lin agar jangan diketahui orang bahwa dia keturunan Kaisar Cheng Tung. Dan pangeran berdarah Mongol itu adalah anak yang menjadi muridku itu."

"Omitohud ' Cheng Hian Hwesi tertegun lalu

termenung.

"Ya, dia adalah putera Kaisar Cheng Tung dan kalau kaisar itu masih terhitung cucu-keponakanmu sendiri, berarti Han Lin adalah cucu-buyut-keponakanmu."

"Omitohud! Bagaimana bisa begini kebetulan? Bagaimana dia dapat menjadi muridmu dan di manakah ibunya?"

"Panjang ceritanya," kata Bu-beng Lo-jin sambil menarik napas panjang. "Setelah melahirkan, tiga tahun lamanya Puteri Mongol itu menanti-nanti penjemputan dari Kaisar Cheng Tung, namun tidak kunjung tiba jemputan itu.

Kemudian, muncul datuk sesat Huang-ho Sin-liong Suma Kiang yang menculik ibu dan anak itu dan membawa mereka keluar dari perkampungan Mongol. Agaknya Suma Kiang itu merupakan utusan dari kota raja, mungkin dari para pangeran lain untuk membunuh ibu dan anak itu. Kebetulan sekali murid keponakanku, Gobi Sam-sian, melihatnya dan mereka bertiga menolong dan menyelamatkan ibu dan sejak itu, membawanya mengungsi ke selatan. Akan tetapi tujuh tahun kemudian, Suma Kiang muncul lagi bersama Sam Ok dan mereka berhasil merampas anak Itu. Sedangkan ibunya terpukul oleh Suma Kiang dan jatuh ke dalam jurang yang amat dalam. Ketika aku datang, anak itu diperebutkan antara Sam Ok dan Toa Ok maka aku turun tangan menyelamatkannya. Kemudian aku membawanya menyusul Gobi Sam-sian. Kiranya mereka tek luka-luka oleh Suma Kiang dan Sam Ok bahkan It-kiam-sian buntung lengan kanannya oleh Sam Ok. Setelah mengobati mereka aku lalu menyerahkan Han Lin kepada mereka untuk digembleng lagi selama lima tahun. Setelah lewat lima tahun beberapa hari yang lalu mereka mengantarkan Han Lin kepadaku untuk menjadi muridku. Aku lalu teringat bahwa engkau berada di Puncak Awan Putih ini, maka aku membawanya ke sini agar engkau membantu aku menggemblengnya dengan ilmu-ilmu yang kau kuasai."

"Omitohud Kasihan sekali anak itu. Baiklah, Lo-jin.

Setelah pinceng memilih tinggal di sini, pinceng akan mendidik anak itu bersamamu."

Sementara itu, Han Lin mengiringi Nelayan Gu dan Petani Lai menuju belakang pondok di mana terdapat sebuah taman yang baru dibuat sehingga tumbuh-tumbuhannya belum banyak. Dua orang itu berhenti di petak rumput bawah pohon lalu Nelayan Gu berkata kepada Han Lin.

"Anak muda, engkau mendengar sendiri tadi betapa gurumu menyuruh kami untuk menguji kepandaianmu. Karena itu, keluarkan senjatamu dan cobalah engkau melawan aku selama beberapa jurus, hadapi tongkat dayungku ini!"

Han Lin memandang dengan sinar mata tajam, kemudian dia berkata dengan sikap hormat. "Locianpwe "

"Jangan sebut aku locianpwe. Cukup sebut aku Paman Nelayan dan dia itu Paman Petani." kata Nelayan Gu.

"Baiklah, paman. Karena saya tidak memiliki senjata, bolehkah kalau saya mengambil dari pohon ini?" Dia menuding ke atas, ke arah pohon besar yang tumbuh di situ.

"Tentu saja boleh!" jawab Nelayan

Han Lin segera mengangkat mukanya, matanya mencari- cari kemudian sekali dia menggerakkan tubuhnya, dia telah meloncat ke atas dan menghilang ke dahan pohon yang daunnya lebat itu. Tak lama kemudian terdengar suara kayu patah dan dia sudah melompat turun lagi sambil membawa sebatang cabang pohon sebesar lengan dan panjangnya satu meter lebih Dia membuangi ranting dan daun pada cabang itu dan jadilah sebatang tongkal kayu yang akan dipergunakan sebagai senjata! 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar