Si Walet Hitam (Ouw-yan-cu) Jilid 11 (Tamat)

Jilid 11 (Tamat)

“Sin-ko, permintaan Ong-taijin ini pantas dan kurasa tiada buruknya kalau kita tinggal dua atau tiga hari lagi di sini,” kata Lee Ing sehingga terpaksa Lo Sin menghela napas dan tidak dapat menolak lagi! Keluarga Ong menjadi girang sekali, bahkan Lan Im memeluk Lee Ing dengan girang dan menarik gadis itu untuk bermalam di kamarnya bersama dia!

Sikap keluarga Ong amat baiknya sehingga diam-diam Lo Sin dan Lee Ing merasa girang dan berterima kasih, dan mereka merasa kerasan tinggal di rumah gedung yang besar dan indah itu. Lan Im menjadi kawan baik mereka dan tidak jarang gadis ini bersama Lo Sin dan Lee Ing bercakap-cakap di dalam taman, bahkan kadang-kadang Lan Im bermain yang-kim mengiringi suara suling Lo Sin!

Pada suatu senja, ketika mereka bertiga berada di dalam taman, Lo Sin mainkan suling dan Lan Im mainkan yang-kim, tiba-tiba datang Ong-hujin yang mengajak pergi Lee Ing karena ada sesuatu yang penting hendak dibicarakan. Lo Sin yang merasa sungkan dan malu berada berdua saja dengan Lan Im yang sinar matanya menyatakan perasaan hatinya yang mesra, lalu mengundurkan diri ke dalam kamarnya.

Ketika tidak lama kemudian Lee Ing keluar dari gedung dan menuju ke taman, ia mendapatkan Lan Im duduk seorang diri sambil melamun. Mereka bercakap-cakap sebentar dan kemudian Lee Ing dengan muka merah dan mata berapi-api lalu mencari Lo Sin di dalam kamarnya.

Ia menjenguk ke dalam dan melihat Lo Sin yang berpakaian seperti seorang pelajar sedang duduk membaca buku yang banyak terdapat di gedung itu.

“Hm, memang kau pantas betul tinggal di gedung ini. Biarlah, aku besok pergi seorang diri. Selamat tinggal!” kata Lee Ing.

Lo Sin terkejut sehingga buku yang dipegangnya jatuh dari tangannya.

“Ing-moi!” katanya, tetapi Lee Ing pergi dengan cepat. Ia lalu melompat dan mengejar Lee Ing yang sudah masuk ke dalam kamar sendiri.

“Ing-moi, tunggu dulu!” katanya, akan tetapi dengan muka merengut dan marah sekali, Lee Ing berdiri membelakanginya.

“Eh, eh, Ing-moi! Apakah yang telah terjadi? Tiada hujan tiada angin kau mengamuk dan marah- marah!”

Akan tetapi Lee Ing tidak menjawab, tangan kanan menggerakkan ujung jari mengusap sebutir air mata yang menitik turun di atas pipinya dan tangan kiri dikepal untuk menyatakan kegemasannya. “Ing-moi, ibuku juga seringkali marah-marah tidak karuan, akan tetapi selalu ia mengatakan segala urusan dengan terang-terangan hingga apa saja dapat diurus dengan baik. Kalau kau diam saja, bagaimana aku bisa tahu apa yang mengganggu pikiranmu?”

Lee Ing cepat membalikkan tubuh dan memandang wajah Lo Sin dengan mulut yang masih cemberut. Pemuda itu nampak cakap sekali dalam pakaian pelajar hingga sebagian besar nafsu marah di hati Lee Ing melenyap!

Kemudian, ia menuturkan bahwa tadi ia dipanggil oleh Ong-hujin yang menyatakan bahwa keluarga Ong itu bermaksud mengambil Lo Sin menjadi mantunya dan dijodohkan dengan Lan Im. Hal ini saja sudah membuat Lee Ing merasa tidak enak hati, akan tetapi ketika ia menuju ke taman dan bertemu dengan Lan Im gadis cantik itu tanpa malu-malu mengatakan bahwa ia mencintai Lo Sin!

Lan Im menganggap bahwa Lee Ing adalah adik Lo Sin, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menyatakan perasaan hatinya ini! Tentu saja Lee Ing tidak dapat marah-marah kepada gadis yang tidak tahu apa- apa itu, dan semua kemendongkolan dan kemarahannya ditumpahkan kepada Lo Sin seorang!

Pemuda ini terkejut sekali mendengar penuturan Lee Ing, kemudian ia menghela napas. “Ing-moi, ingatkah kau mengapa aku kemarin dulu mengatakan keberatan untuk tinggal di sini? Aku telah dapat menduga hal ini dari sinar mata Ong-siocia.”

“Bukankah senang sekali dicintai oleh seorang seperti Lan Im? Cantik jelita, pandai main yang-kim, kaya raya, mau apalagi? Sin-ko, kau terima sajalah pinangan mereka dan biar aku merantau seorang diri!”

Lo Sin tersenyum. Ia maklum bahwa hati Lee Ing, berkata lain, maka ia lalu memegang kedua tangan gadis itu dan berkata. “Ing-moi, tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kau! Kita minggat saja malam ini agar jangan sampai menghadapi kesulitan terlebih jauh!”

Dan pada keesokan harinya, ketika pelayan datang hendak menyediakan air dan makan pagi, ternyata kedua orang muda itu telah pergi dari situ dan hanya meninggalkan sepotong kertas yang ditulisi dengan dua huruf berbunyi:

“Terima kasih!”

Tentu saja hal ini membuat keluarga Ong menjadi kecewa sekali, terutama nona Lan Im.

Kurang lebih dua bulan kemudian, pada suatu pagi yang cerah, delapan orang dengan ilmu berjalan cepat mendaki Bukit Hoa-mo-san. Mereka ini bersikap gagah sekali dan kalau orang mengenal mereka, maka ia tentu takkan merasa heran mengapa orang-orang ini nampak demikian gagah dan ilmu lari cepat mereka demikian tinggi sehingga melalui jalan yang demikian sukar, berbatu-batu, di sana-sini menghalang batu karang dan banyak jurang-jurang yang dalam akan tetapi mereka berlari bagaikan berjalan di atas jalan rata yang enak saja!

Yang berjalan terdepan adalah sepasang suami isteri berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Yang wanita berpakaian serba putih, akan tetapi pada rambutnya yang masih nampak gemuk dan indah halus itu terhias setangkai bunga teratai merah, pedang yang gagangnya dironce benang emas nampak tergantung pada punggungnya, langkahnya tetap dan kuat akan tetapi ringan sekali, sepasang matanya membayangkan keberanian dan kegembiraan yang luar biasa.

Inilah Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa, si Teratai Merah yang namanya amat terkenal di kalangan kang- ouw, dihormati kawan disegani lawan! Di sisinya berjalan suaminya yang masih nampak cakap dan gagah, dengan kumis dan jenggot teratur rapi dan terawat, tubuhnya tegap berisi dan sinar matanya tajam tapi bibirnya membayangkan kelembutan hati. Juga pada punggungnya tersembul gagang pedang. Laki-laki gagah perkasa ini adalah Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han si Burung Hong Terbang yang kegagahannya bahkan mengatasi isterinya sendiri!

Di belakang mereka nampak sepasang suami isteri lain yang usianya sebaya, juga nampak gagah perkasa. Yang wanita sungguhpun telah berusia hampir empatpuluh tahun, akan tetapi sikapnya masih lemah-lembut dan tubuhnya langsing sekali, dengan kulit mukanya yang putih halus dan sikapnya yang agung itu orang akan mengira bahwa ia baru berusia duapuluh tahun ke atas.

Akan tetapi langkah kakinya mengagumkan orang karena ginkangnya ternyata telah amat tinggi sehingga rumput yang diinjaknya seakan-akan tidak rebah! Pada pinggangnya sebelah kiri tergantung sebatang pedang pendek dengan ronce-ronce hijau.

Inilah Coa Giok Lie yang masih sumoi (adik seperguruan) dari Ang Lian Lihiap. Di sebelahnya berjalan suaminya, yakni Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas, tokoh persilatan yang menggemparkan kalangan kang-ouw belasan tahun yang lalu! Sungguhpun Nyo Tiang Pek nampaknya lebih tua dari Lo Cin Han raut mukanya seakan-akan dibayangi kedukaan, namun pendekar ini masih nampak gagah perkasa.

Di belakang dua pasang suami isteri yang lihai ini, masih nampak empat orang lain yang tidak kalah gagahnya. Mereka ini adalah Song Kong Liang yang cakap dan Song Mei Ling adiknya yang cantik jelita itu, sepasang saudara yang berkepandaian tinggi, cucu dan murid pendekar wanita tua Song Cu Ling! Nampak juga Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan si Pendekar Aneh Tangan Delapan yang bermuka lucu dan aneh itu, bersama muridnya yang cantik manis, yakni Kim-gan-eng si Garuda Bermata Emas!

Kalau ada orang yang mengenal mereka dan melihat mereka mendaki Bukit Hoa-mo-san, tentu orang itu akan berdiri bengong saking kagumnya melihat betapa orang-orang gagah itu mendaki bukit dengan demikian cepat dan mudahnya.

Delapan orang pendekar tua muda ini mendaki Hoa-mo-san untuk memenuhi perjanjian Ang Lian Lihiap dengan Lan Bwee Niang-niang yang hendak mengadakan pertandingan pi-bu (adu kepandaian) di puncak Hoa-mo-san seperti yang pernah terjadi pada duapuluh tahun yang lalu!

Ketika rombongan orang gagah ini tiba di puncak Bukit Hoa-mo-san, dari jauh mereka melihat sebuah pertempuran hebat sedang berlangsung di depan kuil tempat tinggal Lan Bwee Niang-niang. Seorang pemuda dan seorang dara sedang dikeroyok hebat oleh empat orang.

Melihat gerakan pedang pemuda itu, tanpa ragu-ragu lagi Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong berseru berbareng.

“Sin-ji……!” Juga Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie berseru terkejut dan girang. “Lee Ing……!!”

Mereka berempat melompat ke depan dan berlari cepat ke arah tempat itu sehingga sebentar saja mereka telah mendahului kawan-kawan lain.

Memang yang sedang bertempur itu adalah Lo Sin yang dikeroyok dua oleh Bong Cu Sianjin dan Hek Li Su-thai. Dan dara yang dikeroyok dua pula adalah Lee Ing yang bertempur menghadapi Lui Tik Kong dan Bi Mo-li murid Hek Li Su-thai yang cantik dan cabul.

Bagaimanakah mereka berdua ini dapat sampai di puncak Bukit Hoa-mo-san dan bertempur dengan hebat melawan Bong Cu Sianjin dan kawan-kawannya? Marilah kita mengikuti sebentar pengalaman- pengalaman Lee Ing dan Lo Sin yang membawa mereka sampai ke tempat itu.

Sebagaimana telah diketahui, setelah hampir saja dipungut mantu oleh keluarga Ong yang baik hati, Lo Sin dan Lee Ing “melarikan diri” dari gedung itu dan melanjutkan perjalanan mereka. Tujuan perjalanan mereka hanya satu, yakni mencari dan menemukan Lui Tik Kong.

Mereka mendengar dari orang-orang kang-ouw betapa terdapat permusuhan antara orang-orang Kun-lun-pai dengan Nyo Tiang Pek yang dituduh membunuh seorang murid Kun-lun-pai dengan pedang Ceng-lun-kiam. Bukan main terkejutnya hati Lee Ing mendengar ini, akan tetapi Lo Sin menghiburnya.

“Aku tidak percaya bahwa ayahmu melakukan perbuatan ini. Karena, menurut cerita orang-orang kang-ouw, pembunuhan itu dilakukan di tengah malam dan ayahmu tidak menampakkan diri, hanya meninggalkan pedang yang masih menancap di dada murid Kun-lun-pai itu. Biarpun aku belum mengenal betul keadaan ayahmu, akan tetapi melihat kau saja, aku yakin bahwa ayahmu takkan berlaku pengecut seperti itu. Pasti bukan dia pembunuhnya.”

“Akupun merasa sangsi,” kata Lee Ing. “Tidak biasanya ayah demikian kejam untuk membunuh orang dengan serampangan saja. Pula, untuk menghadapi seorang anak murid Kun-lun-pai, agaknya tidak perlu ayah harus mencabut Ceng-lun-kiam. Dan andaikata benar telah dicabutnya, tidak mungkin pula ayah akan meninggalkan pedang pusaka itu di dada orang yang dibunuhnya, dan seperti pendapatmu tadi, lebih tidak mungkin kalau ayah harus melarikan diri hanya karena peristiwa itu saja!”

“Ini tentu perbuatan Tik Kong!” tiba-tiba Lo Sin berkata dengan suara tetap. “Ayahmu telah kena terjebak oleh kelicinan dan kepalsuan pemuda keparat itu. Kalau bukan Tik Kong, siapa lagi yang dapat menerima atau mengambil pedang Ceng-lun-kiam dari ayahmu?”

Tiba-tiba Lee Ing yang berdiri di dekatnya menepuk bahu pemuda itu dengan keras sehingga Lo Sin melompat kaget dan merasa pundaknya pedas.

“Eh, eh, apa kau tiba-tiba menjadi mabuk?” tanyanya dengan mata terbelalak. “Maaf, koko. Saking gemasku sampai aku lupa bahwa yang kutepuk bukan si buaya Tik Kong, akan tetapi kau!” jawab Lee Ing sambil tersenyum sehingga Lo Sin juga tertawa bergelak karena geli.

“Lain kali lihat-lihat dulu kalau mau turun tangan kalau kau menggunakan Gin-san-ciang, apakah kau tidak kecewa melihat aku mati karena pukulanmu? Sebetulnya apakah yang mengganggu pikiranmu tadi sehingga tiada hujan tiada angin kau menjadi gemas?”

“Ucapanmu tadi yang membuat aku merasa gemas sekali kepada pemuda she Lui yang palsu itu. Memang benar sekarang aku yakin bahwa pembunuhan itu pasti dilakukan olehnya. Celaka, ayah telah kena ditipu sehingga pedang Ceng-lun-kiam diberikan kepadanya……” Lee Ing menarik napas panjang dengan sedih.

“Jangankan baru pedangnya, bahkan puteri tunggalnyapun akan diberikan,” kata Lo Sin. “Ing-moi, tidak perlu kau bersedih. Ayahmu melakukan kesalahan-kesalahan bukan karena dorongan watak jahat, akan tetapi oleh karena ayahmu masih merasa yakin bahwa Tik Kong adalah seorang pemuda baik-baik yang berada di pihak benar. Coba saja kau bayangkan, menurut dugaan ayahmu, aku adalah seorang suami yang curang dan tidak setia, seorang hidung belang yang sengaja memikatmu dan membawa kau kabur. Bukankah itu perbuatan yang amat hina? Tentu saja ayahmu marah sekali kepadaku atau kepadamu. Sudahlah, sekarang yang paling penting kita harus berusaha untuk menemukan pemuda jahat itu, baru semua perhitungan dapat dibayar lunas dan segala kesalahpahaman di pihak ayahmu akan menjadi terang.”

Di sepanjang jalan, Lo Sin pandai sekali menghibur hati Lee Ing sehingga gadis itu timbul kembali sifatnya yang periang dan jenaka.

Pada suatu hari mereka tiba di kota Man-sang-koan, dan ketika sedang berjalan di dalam kota, tiba- tiba mereka melihat Tik Kong. Lee Ing menjadi marah sekali dan hendak segera menerjang, akan tetapi Lo Sin menarik lengannya dan mengajaknya bersembunyi.

“Sabar dulu, Ing-moi!” bisik Lo Sin. “Kulihat hwesio yang berjalan bersama dia, kalau tidak salah adalah Ciang Ham Hosiang dari Go-bi-pai. Apakah kehendak bangsat itu mendekati ketua Go-bi-pai ini?”

Memang benar, yang berjalan bersama Tik Kong adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan bermata genit, yakni Bi Mo-li murid Hek Li Su-thai, dan seorang hwesio gemuk pendek yang bermata tajam. Mereka berjalan dan keluar dari kota itu, terus diikuti dari jauh oleh Lo Sin dan Lee Ing.

Tiba-tiba Lo Sin dan Lee Ing makin terheran ketika melihat bahwa dari lain jurusan terdapat dua orang tosu tua lain, yang juga sedang mengikuti rombongan Tik Kong itu. Dan ketika Tik Kong dan kawan- kawannya tiba di sebuah kelenting tua di luar kota Man-sang-koan dan hendak masuk, tiba-tiba dua orang tosu itu melompat dengan gerakan yang mengagumkan hati Lo Sin dan Lee Ing.

“Lui Tik Kong pembunuh keji, kau menyerahlah kepada kami untuk dibawa ke Kun-lun-san!” Teriak seorang diantara mereka yang segera menyerang dengan gerakan cepat hendak menyambar tangan Tik Kong. Lui Tik Kong terkejut sekali dan segera mengelak sambil melompat ke samping, akan tetapi tosu dari Kun-lun-pai itu dengan luar biasa cepatnya telah melanjutkan serangannya dengan cengkeraman Eng- jiauw-kang ke arah pundaknya.

Hwesio pendek gemuk tadi lalu berseru. “Omitohud!” dan sekali ia menggerakkan ujung lengan bajunya mengebut, maka ia berhasil menangkis cengkeraman ke arah pundak Tik Kong itu sehingga pemuda itu terlepas dari bahaya.

“Bukankah sahabat ini Ciang Ham Hosiang dari Go-bi-pai?” tanya tosu penyerang tadi dengan penasaran. “Jangan kau ikut campur urusan kami!” katanya pula tidak senang.

Ciang Ham Hosiang tawa bergelak. “Ha-ha-ha, toyu (sahabat) tahanlah nafsumu. Pinceng (aku) paling suka mencampuri urusan penasaran. Kalau toyu hendak mencelakakan orang, terpaksa pinceng turun tangan.”

Tosu itu menjadi marah sekali dan segera menyerang dengan kepalannya yang ditangkis oleh Ciang Ham Hosiang sehingga mereka saling serang dengan hebat, sedangkan tosu yang seorang lagi lalu menyerang Tik Kong. Serangan ini hebat sekali datangnya sehingga Tik Kong dan Bi Mo-li terkejut. Mereka maklum bahwa orang-orang Kun-lun-pai ini tentu takkan mau mengampuni Tik Kong, maka mereka berdua lalu mengeroyok tosu itu yang segera mencabut pedang dan mendesak dengan hebatnya.

Lo Sin yang melihat betapa Tik Kong berada dalam bahaya, merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu terbunuh oleh tosu itu, karena ia ingin menangkap musuh besarnya itu hidup-hidup untuk dipaksa membuat pengakuan atas segala dosa-dosanya agar ia dapat menyakinkan kepada Nyo Tiang Pek akan perbuatan-perbuatan rendah dari pemuda itu. Maka ia lalu melompat keluar dan pedangnya menahan pedang tosu itu.

“Tahan dulu, totiang! Bangsat muda ini adalah orang tangkapanku!”

Tosu itu menjadi marah sekali karena menyangka bahwa seperti juga hwesio dari Go-bi-pai itu, pemuda inipun bermain-main dan menghalanginya membalas dendam kepada Tik Kong, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang Lo Sin dengan pedangnya!

Sementara itu, Tik Kong yang melihat kedatangan Lo Sin, merasa seakan-akan semangatnya terbang meninggalkan raganya, maka ia segera memberi tanda kepada Bi Mo-li dan kabur dari tempat itu secepatnya! Lee Ing juga mengejar ke tempat itu dan melihat Lo Sin bertempur melawan tosu itu, ia menjadi marah dan berkata. “Harimau-harimau berkelahi memperebutkan kelinci, tak tahunya kelinci diam-diam telah lari pergi!”

Teringatlah semua orang kepada Tik Kong dan ketika mereka memandang, pemuda itu ternyata telah pergi entah ke mana.

Kini mereka saling pandang dan Ciang Ham Hosiang lalu menegur dengan senyum melebar. “Eh, eh, tidak tahunya Ouw-yan-cu yang terbang ke sini!”

Lo Sin menjura dengan hormat. “Apakah Ciang Ham Lo-suhu banyak baik?” Kedua orang tosu itu memandang kepada Lo Sin dengan kagum, “Ah, kiranya inikah yang disebut si Walet Hitam? Telah lama pinto mendengar namamu yang besar, akan tetapi mengapa sicu datang- datang menempur kami?” tanya seorang di antara yang bertempur melawan Lo Sin tadi.

“Sesungguhnya bukan siauwte membela bangsat itu, karena siauwte memang justru mencari-carinya untuk menawannya, maka siauwte khawatir kalau-kalau orang lain mendahului siauwte. Siauwte dapat menduga bahwa ji-wi totiang (bapak pendeta berdua) tentu hendak menangkapnya karena peristiwa pembunuhan seorang anak murid Kun-lun-pai yang menggunakan pedang Nyo lo-enghiong itu?”

Kedua orang tosu yang menjadi tokoh-tokoh dari Kun-lun-pai itu mengangguk. “Dan mengapa pula sicu mencari dan hendak menangkapnya?”

Lo Sin lalu menuturkan semua kejahatan Tik Kong, semenjak pemuda itu membunuh Kong Sin Ek sampai tentang kejahatan Tik Kong menipu Nyo Tiang Pek sehingga terjadi salah paham yang besar dan mengacaukan, pula tentang kejahatan Tik Kong yang hendak mencelakakan banyak orang gagah.

Kedua orang tosu itu menarik napas.

“Kalau begitu, kau lebih berhak menangkapnya. Kami serahkan saja kepadamu sicu, dan kalau sudah berhasil harap memberi kabar. Kami takkan merasa puas sebelum mendengar tentang terhukumnya penjahat itu!” Kemudian kedua orang tosu itu menghadapi Ciang Ham Hosiang yang mendengarkan semua percakapan ini dengan mata terbelalak dan muka berubah merah.

“Ciang Ham Hosiang, kalau pinto berdua boleh bertanya, mengapa pula lo-suhu sampai suka membantu seorang yang demikian jahatnya?”

Hwesio itu menjadi bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ia merasa malu sekali dan akhirnya menjawab juga setelah menarik napas panjang beberapa kali.

“Ah, tidak kusangka bahwa pemuda yang begitu tampan dan sopan bisa sejahat itu! Ia mengarang cerita bohong, menjelek-jelekkan nama Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong dan mengajukan permohonan agar supaya pinceng membantunya dalam pi-bu yang hendak diadakan di puncak Hoa- mo-san!”

Setelah berkata demikian, Ciang Ham Hosiang berkali-kali minta maaf kepada kedua tosu dan juga kepada Lo Sin. Mereka lalu berpisahan dan Lo Sin bersama Lee Ing lalu cepat melakukan pengejaran.

Ternyata bahwa Tik Kong dan Bi Mo-li terus melarikan diri dengan cepat, dan akhirnya mereka sampai di Hoa-mo-san. Akan tetapi Lo Sin dan Lee Ing mengejar terus dan biarpun maklum bahwa kedua orang itu berada dalam sarang mereka sendiri, namun Lo Sin dan Lee Ing tidak menjadi gentar dan terus mengejar ke atas!

Kebetulan sekali, Bong Cu Sianjin dan Hek Li Su-thai juga sudah kembali ke puncak Hoa-mo-san, mempersiapkan diri untuk pi-bu, maka alangkah marah mereka ketika mendengar dari Bi Mo-li dan Tik Kong betapa kedua orang yang dulu memisahkan diri dari mereka untuk mencari bantuan di jurusan itu, dikejar-kejar oleh Lo Sin dan Lee Ing. Mereka berdua dengan diikuti oleh Tik Kong dan Bi Mo-li lalu keluar dan menyambut kedatangan Lo Sin dan Lee Ing dengan senjata di tangan. Maka terjadilah pertempuran hebat. Lo Sin yang lihai dikeroyok dua oleh Bong Cu Sianjin dan Hek Li Su-thai, sedangkan Lee Ing dengan gagah berani menghadapi Tik Kong dan Bi Mo-li.

Pada saat Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya tiba di situ, dari dalam kuil itupun keluarlah Hek- siauw-mo Khu Mo In dan Lan Bwee Niang-niang. Baik Lo Sin dan Lee Ing maupun Bong Cu Sianjin, Hek Li Su-thai dan Tik Kong, menahan senjata masing-masing dan melompat mundur.

Lan Bwee Niang-niang merangkapkan kedua tangan dan melangkah maju.

Sementara itu Lee Ing berlari dan menubruk ibunya dengan suara tangisnya yang mengharukan, Ialu berlutut di depan ayahnya. Lo Sin juga berlari dan berlutut di depan ayah ibunya yang mengangkatnya bangun dengan kata-kata menghibur.

Sebaliknya Nyo Tiang Pek lalu memeluk puterinya dan berbisik, “Anakku, kau maafkanlah ayahmu yang gelap pikiran.”

“Ayah......” Lee Ing membalas bisikan ayahnya sambil memandang dengan air mata mengucur dan mulut tersenyum.

“Hwee-thian Kim-hong dan Ang Lian Lihiap, dan juga kau Kim-jiauw-eng! Selamat datang di tempatku yang buruk ini. Apakah benar bahwa kalian ini masih berdarah panas dan hendak memamerkan kepandaian di tempat pinni?” kata Lan Bwee Niang-niang setelah menjura memberi hormat.

“Lan Bwee Niang-niang, harap diingat bahwa bukan kami yang menantang,” kata Lian Hwa. “Dan bukan kami pula yang selalu mencari permusuhan!” kata Cin Han.

“Ha, ha, juga bukan pihak kami yang selalu melakukan kejahatan!” Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan ikut bicara.

“Hem, agaknya Pat-chiu Koai-hiap juga ingin menjual kepandaian di sini,” kata Lan Bwee Niang-niang dengan suara dingin. “Sebetulnya saja, untuk apakah kita bersama harus saling bermusuhan? Pinni telah lama mencuci tangan dan tidak menghiraukan urusan dunia, akan tetapi hari ini kalian sengaja datang untuk mengadu tenaga dengan pinni yang sudah amat tua dan yang tinggal menanti maut datang mencabut nyawa pinni saja. Apakah kalian tak dapat menghormati orang yang sudah tua?”

“Lan Bwee Niang-niang,” kata Nyo Tiang Pek, “kami bukan sekali-kali mencari permusuhan. Adalah anak muridmu yang selalu mencari kami dan menimbulkan kerusuhan. Apakah kau tidak tahu bahwa Hek Li Su-thai dan Bong Cu Sianjin selalu mencari-cari kami dan mengganggu anak-anak kami? Apakah kau tidak tahu bahwa murid-murid dan adikmu itu bahkan telah membela seorang bangsat serendah- rendahnya yang bernama Lui Tik Kong? Kalau memang hendak mencuci tangan dari segala urusan dunia, kauserahkan pemuda bangsat itu kepadaku, dan aku akan pergi dari sini tanpa mengganggumu lagi!” Setelah berkata demikian, Nyo Tiang Pek menunjukkan pandangan matanya kepada Lui Tik Kong dan pandangan matanya ini mengeluarkan cahaya kemarahan sedemikian hebat sehingga semua orang merasa ngeri karena mata pendekar tua itu membayangkan ancaman maut yang hebat, mengandung perasaan benci dan marah yang sudah melewati takaran.

Lan Bwee Niang-niang juga terkejut melihat pandangan mata ini, maka sambil mengerling ke arah Tik Kong, ia berkata,

“Kim-jiauw-eng, pinni tidak mengenal pada dia ini dan hanya tahu bahwa dia adalah kawan-kawan Bong Cu dan Ceng Hwa yang hendak memperkuat pihak kami. Tidak tahu kesalahan apakah yang telah dilakukannya?”

“Kesalahan apa? Hm, entah kebiadaban apa saja yang telah dilakukan oleh manusia itu! Yang kuketahui saja sudah banyak.

“Pertama ia telah membujuk Kong Sin Ek si Dewa Arak hingga ia dapat dijadikan muridnya dan kemudian ia menganiaya gurunya sendiri itu hingga binasa! Kedua ia telah membunuh seorang pesuruhku hanya untuk merampas surat Ang Lian Lihiap dan kemudian mengubah isi surat.

“Ketiga ia telah menipuku dan memikat dengan jalan curang hingga selain ia dapat menipuku yang menganggapnya sebagai seorang pemuda baik-baik, juga ia telah berhasil mengadu-domba aku dengan Ang Lian Lihiap. Keempat ia telah bersekutu dengan orang-orang jahat dan pernah mencoba menawan puteriku dan bahkan hendak menawan Kim-gan-eng dan Mei Ling dengan pertolongan Bong Cu! Hal-hal ini saja sudah cukup untuk menjadi alasan bagiku untuk menjatuhkan hukuman mati empat kali kepadanya!”

Mendengar semua ini, Lan Bwee Niang-niang tak terasa pula lalu berpaling ke arah Tik Kong dan bertanya dengan suara keren.

“Benarkah semua tuduhan ini?”

Tik Kong tidak berani menjawab hanya menundukkan kepalanya. “Benarkah?” tanya lagi Lan Bwee Niang-niang.

Tiba-tiba Bong Cu Sianjin tertawa bergelak. “Ha, ha, ha, ha! Nyo Tiang Pek berlaku pengecut dan hanya berani mendesak anak muda yang tidak mau dijadikan mantunya! Ha, ha!”

Terdengar seruan keras sekali dan tahu-tahu Nyo Tiang Pek telah melompat maju ke arah Tik Kong dan mengirim pukulan Gin-san-ciang yang luar biasa.

“Mampuslah kau jahanam!” teriaknya.

Tik Kong terkejut dan tak kuasa mengelak. Bong Cu Sianjin mencoba untuk menangkis dengan sebuah tendangan kilat, akan tetapi dengan tangan kanannya Nyo Tiang Pek menyampok tendangan itu ke samping dan tangan kirinya masih melanjutkan serangannya ke arah Tik Kong. Pemuda ini mencoba untuk menahan dengan kedua tangannya, akan tetapi ia menjerit keras dan terlempar sampai empat kaki lebih ke belakang lalu roboh dengan mulut mengalirkan darah merah! Pemuda itu berkelojotan beberapa kali. kemudian mengeluh dan nyawanya melayang ke neraka!

Melihat kematian Tik Kong, tiba-tiba Bi Mo-li menjerit dan ia menerjang kepada Nyo Tiang Pek dari belakang! Hek Li Su-thai hendak menghalangi muridnya akan tetapi Bi Mo-li yang sudah menjadi mata gelap itu, tidak memperdulikan cegahan gurunya, lalu menusuk punggung Nyo Tiang Pek dengan pedang sedangkan kebutannya menyambar ke arah leher pendekar itu!

Nyo Tiang Pek hanya membuat dua gerakan, yakni memutar kakinya sehingga tubuhnya ikut memutar dan mengerahkan kedua tangan ke depan sambil berseru. “Pergilah!”

Ternyata ia telah mempergunakan Gin-san-ciang yang hebat sehingga tidak saja pedang dan kebutan Bi Mo-li terlepas dari pegangan, bahkan tubuh wanita itupun terpental dan jatuh bergulingan dalam keadaan pingsan! Akan tetapi Nyo Tiang Pek hanya mempergunakan tenaga untuk melemparkannya saja dan tidak melukainya, karena kalau ia bermaksud kejam tentu wanita itupun telah mati seperti halnya Tik Kong!

“Tiang Pek manusia kejam!” teriak Bong Cu Sianjin dengan marah sekali dan hendak menyerang, sedangkan Nyo Tiang Pek telah bersiap sedia dan menantang, “Bong Cu si buntung! Kau kenal arti kejam? Ha, ha, kau majulah!”

Akan tetapi Lan Bwee Niang-niang mencegah Bong Cu dan berkata.

“Sute, jangan! Kematian Tik Kong adalah sudah wajar karena dia telah melakukan banyak dosa. Dia bukan anak murid kita, untuk apa kita pusingkan kepala untuknya? Marilah kita mengadakan pembicaraan dengan kepala dingin.” Kemudian ia berkata kepada Ang Lian Lihiap.

“Ang Lian Lihiap, pinni tidak suka kalau terjadi pertumpahan darah seperti dulu. Kematian pemuda ini biarlah kuanggap bukan urusanku dan kalian boleh membawa pergi mayatnya! Akan tetapi, jangan kalian anggap bahwa pinni jerih untuk mengadu tenaga. Sekarang begini saja, biarlah sekali lagi diadakan pi-bu yang berdasarkan mengadu kepandaian semata. Tiap orang di pihakku maju satu kali, demikianpun pihakmu! Dan orang-orang yang kepandaiannya masih rendah janganlah ikut-ikut maju mencari celaka! Bagaimana pendapatmu tentang usulku ini?”

Ang Lian Lihiap tersenyum. “Kami selalu siap sedia mengiringi kehendakmu.”

Dari pihak Lan Bwee Niang-niang lalu melompat maju Hek Li Su-thai yang sudah marah sekali melihat kematian Tik Kong. Nyo Tiang Pek yang dipandang dengan mata benci oleh Hek Li Su-thai sudah bersiap menghadapinya akan tetapi Lan Bwee Niang-niang berkata, “Kim-jiauw-eng telah turun tangan membinasakan seorang lawan, masih belum puaskah?”

Pendeta wanita ini masih melihat api kebencian bersinar di dalam mata Nyo Tiang Pek dan melihat pula sinar mata yang timbul dari dendam hebat di mata muridnya, maka ia sengaja mencegah Nyo Tiang Pek turun tangan karena ia ragu-ragu apakah muridnya itu akan kuat menghadapi si Garuda Kuku Emas yang lihai. Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dan Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan melompat maju menghadapi Hek Li Su-thai. “Biarlah kita main-main lagi sebentar untuk menyambung permainan kita dulu yang tidak dilanjutkan,” katanya.

Hek Li Su-thai maklum akan kelihaian Oei Gan, maka dia lalu mencabut keluar sepasang pedangnya yang bercahaya hitam dan hijau. Oei Gan tertawa geli dan berkata, “Hek Li Su-thai, biarlah aku merasai ketajaman kedua pedangmu!” Sambil berkata demikian, Oei Gan dengan tangan kosong menghadapi Hek Li Su-thai dengan sikap memandang rendah sekali.

Hek Li Su-thai marah dan segera berseru sambil menyerang hebat. Oei Gan memperlihatkan ketangkasannya dan pendekar tua yang berpakaian sederhana ini lalu mempergunakan ujung lengan bajunya untuk dipergunakan sebagai senjata. Sampokan ujung lengan bajunya ini lihai sekali karena tiap kali pedang di tangan Hek Li Su-thai kena disampok, maka Hek Li Su-thai merasa betapa telapak tangannya tergetar hebat.

Pertempuran berjalan ramai sekali dan akhirnya dengan ujung lengan bajunya Oei Gan berhasil membelit sebuah pedang di tangan kanan Hek Li Su-thai. Hek Li Su-thai mencoba untuk membetot pedangnya akan tetapi ternyata pedangnya seakan-akan lengket dengan ujung baju Oei Gan. Hek Li Su-thai lalu menusuk dengan pedang kirinya ke arah perut lawan hingga Oei Gan berseru.

“Kejam!” lalu ia menggunakan tangan kirinya secepat kilat mengetuk pergelangan tangan Hek Li Su- thai hingga terdengar suara “krek!” dan Hek Li Su-thai menjerit keras terus terhuyung ke belakang dengan muka pucat karena menahan rasa sakit. Ternyata bahwa tulang lengannya telah patah oleh ketukan hebat itu.

Bong Cu Sianjin marah sekali dan setelah melompat ke depan ia lalu berseru, “Ang Lian Lihiap majulah dan mari kita menentukan kepandaian siapa yang lebih tinggi!”

Ang Lian Lihiap lalu menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu ia telah berdiri di depan Bong Cu Sianjin sambil tersenyum.

“Cabutlah pedangmu!” seru Bong Cu Sianjin marah.

“Bong Cu! Untuk melayani lawan bertangan kosong saja aku tak sudi mempergunakan pedang, apalagi melayani kau, mana aku ada muka untuk melayanimu dengan pedang di tangan?”

Bong Cu Sianjin marah sekali karena dulu, duapuluh tahun yang lalu, ketika ia masih belum buntung dan masih mainkan senjatanya yang lihai, setelah mengeroyok dengan Nyo Tiang Pek dan Cin Han, barulah Ang Lian Lihiap dapat mendesaknya. Maka kini biarpun ia tak berlengan lagi, ia menganggap bahwa apabila pendekar wanita ini bertangan kosong, ia takkan kalah. Sambil berseru nyaring ia lalu menerjang dengan tendangan kakinya yang dahsyat.

Ang Lian Lihiap berlaku hati-hati sekali karena ia maklum akan kehebatan lawan. Ia mempergunakan kelincahan tubuhnya dan seperti ketika Lo Sin menghadapi Bong Cu dulu dengan gin-kangnya yang tinggi ia dapat mempermainkan lawannya. Ia berkelit ke sana ke mari dan kadang-kadang mengirim serangan yang tak kalah hebatnya, hingga Bong Cu Sianjin merasa terkejut sekali karena tak disangkanya bahwa pendekar wanita ini kepandaiannya telah maju demikian hebatnya sehingga jangankan sekarang, biarpun andaikata ia tidak buntung, belum tentu ia dapat menangkan pendekar wanita itu.

Setelah bertempur dengan hebat sekali lebih dari limapuluh jurus, tiba-tiba Ang Lian Lihiap berseru keras dan tubuhnya berkelebat sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu tubuhnya telah berada di belakang lawan! Ketika Bong Cu Sianjin cepat membalikkan tubuh, tahu-tahu Ang Lian Lihiap telah melompat pula ke sebelah kanannya.

Ketika Bong Cu mengirim tendangan menyamping Ang Lian Lihiap lalu memperlihatkan ketangkasannya. Ia hanya sedikit miringkan tubuh dan ketika kaki itu menyambar, secepat kilat ia mendorong kaki itu ke atas dan mengirim tendangan balasan ke arah lutut Bong Cu Sianjin yang sebelah lagi!

Bong Cu terkejut dan mengerahkan lweekangnya. Ia berhasil menahan tendangan Ang Lian Lihiap sehingga tidak sampai terluka, akan tetapi kerasnya tendangan ini membuat tubuhnya terpental dan jatuh bergulingan beberapa kali! Dengan wajah merah Bong Cu Sianjin berdiri dan hendak maju menyerang lagi, akan tetapi Lan Bwee Niang-niang mencegahnya. “Kau sudah kalah, Bong Cu!” katanya.

“Bagus, bagus! Kepandaian Ang Lian Lihiap lihai sekali!” tiba-tiba Hek-siauw-mo Khu Mo In, saudara seperguruan Bong Cu Sianjin berkata dan melompat ke depan. “Biarlah aku ikut bermain-main untuk melatih kaki tangan!”

Cin Han dan Lian Hwa maklum akan kelihaian orang ini, maka ketika Kong Liang hendak melompat maju Cin Han mencegahnya dan berkata. “Kong Liang, orang gagah ini bukanlah lawanmu! Biarkan aku menghadapinya!”

Hek-siauw-mo Khu Mo In adalah seprang ahli lweekeh yang berkepandaian cukup tinggi, maka andaikata Kong Liang yang maju, dalam beberapa puluh jurus saja, tentu Kong Liang akan dapat dirobohkannya. Maka kini dalam menghadapi Cin Han, ia tidak berlaku sungkan lagi karena iapun telah mendengar dari Bong Cu bahwa kepandaian Hwee-thian Kim-hong ini luar biasa tangguhnya!

Ia mendengar pula bahwa kehebatan Cin Han terletak dalam ilmu pedangnya Hwie-sian-liong-kiam- sut, maka telah direncanakan lebih dulu untuk menghadapi Cin Han atau Lian Hwa dengan tangan kosong hingga mereka ini tiada kesempatan lagi untuk mempergunakan ilmu pedang.

Khu Mo In lalu menyerang dengan pukulan-pukulan berat karena semua tenaga pukulannya adalah tenaga khikang yang tinggi. Anginnya saja ketika menyambar pakaian Cin Han membuat pakaian itu berkibar bagaikan tertiup angin maka dapat diduga kehebatannya kalau pukulan itu mengenai tubuh. Akan tetapi Cin Han bukanlah seorang lemah dan ia sudah mempunyai pengalaman bertempur puluhan tahun hingga ia dapat menghadapi lawan ini dengan tabah dan tenang.

Ternyata bahwa kepandaian mereka berimbang, sama tangguh dan kuat! Hanya Cin Han yang telah memperdalam ilmu gin-kangnya dari isterinya, dalam hal kecepatan tubuh masih menang sedikit. Hal ini merupakan keuntungan baginya dan ia yang mengerti akan hal ini tidak mau menyia-nyiakan keuntungan ini dan menyerang dengan secepat kilat. Seratus jurus lebih telah lewat dan ke duanya masih dalam keadaan berimbang. Pada saat pukulan Khu Mo In melayang ke arah pundak kanannya, Cin Han lalu cepat membalas dengan pukulan Garuda Sakti Menyambar Hati memukul ke dada lawan!

Dan pukulan Cin Han datang lebih cepat hingga ketika keduanya terkena pukulan, Cin Han hanya terhuyung mundur dengan napas berat dan muka pucat, akan tetapi Khu Mo In terpelanting ke belakang dan roboh. Sampai beberapa lama baru ia dapat merayap bangun dengan muka pucat dan luka di dalam dada, ia lalu menjura kepada Cin Han dan berkata,

“Hwee-thian Kim-hong sungguh gagah! Aku mengaku kalah!” Cin Han juga membalas dengan menjura memuji lawannya.

Melihat betapa pihaknya telah kalah, Bong Cu Sianjin marah sekali dan ia segera berseru. “Hai, Bun Gai! Kau di manakah. ?”

Memang semenjak tadi ia tidak melihat pemuda muridnya yang diandalkannya itu. Harus diketahui bahwa Yap Bun Gai telah mewarisi seluruh kepandaian suhunya dan karena ia masih muda dan kuat, maka boleh dibilang ia malah lebih lihai daripada Bong Cu Sianjin sendiri!

Setelah sekali Bong Cu Sianjin memanggil dengan suara berteriak, terdengar suara Bun Gai menjawab dan tak lama kemudian datanglah pemuda itu, dengan pakaian masih berlumuran lumpur dan di pundaknya terpanggul sebatang cangkul. Ternyata bahwa pemuda ini agaknya baru pulang dari bekerja di sawah.

“Bun Gai, muridku. Kita kedatangan tamu-tamu agung, kau majulah mengadakan penyambutan!” kata Bong Cu Sianjin kepada muridnya.

Pemuda itu melempar cangkulnya dan menghadapi Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya dengan muka sedih dan memandang penuh keraguan.

“Nah, muridku telah maju, siapa dari pihakmu yang hendak melayani?” teriak Bong Cu Sianjin kepada Ang Lian Lihiap.

Tiba-tiba Mei Ling tanpa berkata sesuatu lalu melompat maju di depan Bun Gai sambil memandang tajam dan bertanya, “Kau…… kau benar-benar mengajukan diri?”

Kedua mata Bun Gai memandang dengan sayu dan mukanya pucat ketika ia mengeraskan hati menjawab. “Kebaktian murid terhadap guru.”

“Baik, akulah lawanmu!” teriak Mei Ling dengan isak tertahan dan gadis ini lalu mencabut pedang dan menyerang hebat.

“Mei Ling……!” Kong Liang juga berseru untuk mencegah adiknya, akan tetapi Mei Ling tidak memperdulikan itu semua dan menyerang terus dengan ganas.

Bun Gai tidak mau melawan dan seperti dulu, ia hanya mengelak saja. Dia terus diserang dan didesak oleh pedang Mei Ling akan tetapi Bun Gai benar-benar hebat kepandaiannya. Biarpun ginkang Mei Ling sudah tinggi, namun serangan-serangannya yang berbahaya itu dapat dihindarkan Bun Gai dengan mudah. Sampai seratus jurus lebih Mei Ling mendesak.

“Bun Gai, balaslah……!” teriak Bong Cu Sianjin dengan gemas melihat keadaan muridnya. Ia tadinya telah merasa girang oleh karena kali ini pihaknya pasti akan menang. Tidak tahunya, muridnya ini sama sekali tidak mau membalas.

Mendengar perintah gurunya, Bun Gai berkelahi sambil menjawab. “Suhu, teecu tidak dapat melukainya.”

“Bodoh! Serang dia, itukan lawanmu!”

“Tak mungkin, suhu. Teecu.     tidak mau melukainya.”

Tiba-tiba terdengar Bong Cu menggeram keras. “Bangsat besar! Kau...... kau…… mencinta musuh?”

Bun Gai tidak menjawab dan Bong Cu Sianjin lalu melompat dan mengirim tendangan kepada muridnya itu. Pemuda itu terpental dan jatuh berguliran, akan tetapi sedikitpun tidak menderita luka. Ia bahkan menjatuhkan diri berlutut.

“Bangsat tak kenal budi! Jadi kau cinta kepada nona pihak musuh ini? Hm, tahulah aku sekarang, kau seorang rendah tidak setia.”

“Susiok, dulupun aku pernah memberi tahu padamu. Yang menolong dan melepaskan kedua nona tawanan itu tentulah bangsat ini!” kata Hek Li Su-thai.

“Bangsat betul!” kembali Bong Cu memaki dan mengangkat kakinya mengirim tendangan lagi ke arah tubuh Bun Gai yang sedang berlutut. Pemuda itu mengerahkan lweekangnya dan menutup jalan darah sehingga ketika tendangan tiba dan mengenai tubuhnya, maka tubuhnya hanya terpental sampai bergulingan, akan tetapi tidak menderita luka berat.

Bong Cu Sianjin memburu dan hendak mengirim tendangan lagi, kini ditujukan ke arah lambung muridnya, akan tetapi pada saat itu, Mei Ling maju menerjang Bong Cu sambil berseru. “Jangan kau bunuh dia!”

Bong Cu makin marah dan menendang ke arah Mei Ling, akan tetapi tiba-tiba Bun Gai melompat dan menggunakan tangan kanan menangkis tendangan ini hingga Bong Cu terhuyung ke belakang. “Kau…… kau membela dia dan berani melawan aku?” teriaknya.

“Suhu, tak seorangpun boleh mengganggu dia!”

Bong Cu Sianjin marah sekali dan hendak menyerang lagi, akan tetapi Lan Bwee Niang-niang lalu mencegah dari berkata. “Sute, jangan kau turun tangan terhadap murid sendiri! Muridmu ini berbakat baik, juga memiliki pribudi tinggi. Kalau kau menuruti nasihatku, Bong Cu, kaurangkaplah jodoh muridmu dengan nona ini karena pinni lihat keduanya memang sudah berjodoh. Lebih baik permusuhan ini diakhiri dengan persahabatan dan kekeluargaan.” “Aku harus bunuh dia!” Bong Cu berkeras dan melompat maju lagi untuk menyerang Bun Gai dan Mei Ling. Akan tetapi Lan Bwee Niang-niang bergerak cepat dan tahu-tahu ia telah menghadang di depan sutenya.

“Jangan, sute! Pinni yang melarang kau berbuat demikian!”

“Kau, suci……? Kau juga memusuhiku?” Kedua mata Bong Cu Sianjin terbelalak dan terputar-putar karena marah dan kecewanya. Kemudian ia menerkam dan menyerang Lan Bwee Niang-niang dengan tendangan kilat!

Lan Bwee Niang-niang mengebutkan lengan bajunya dan ketika ujung lengan baju itu menyampok kaki Bong Cu yang menendang, tubuh pendeta buntung itu terlempar jauh! Dapat diukur betapa hebat dan tingginya kepandaian pendeta ini sehingga Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya yang melihat ini menjadi kagum sekali.

Sebaliknya Bong Cu yang merasa tak mungkin dapat memenangkan sucinya, karena kecewa dan menyesal, lalu berteriak-teriak seperti orang gila, kemudian ia lari dan melempar dirinya ke dalam jurang yang curam!

Lan Bwee Niang-niang menghela napas. “Biarlah pinni yang banyak dosa dan yang sudah tua ini melakukan perbuatan terakhir yang baik. Bun Gai, bagaimana kalau sekarang juga pinni melamar nona ini untukmu?”

Bun Gai berlutut di depan Lan Bwee Riang-niang dan menjawab perlahan. “Teecu hanya menurut perintah Niang-niang.”

Lan Bwee Niang-niang lalu berkata kepada Ang Lian Lihiap, “Ang Lian Lihiap sekalian, dengan tewasnya adikku Bong Cu, maka pinni menyatakan bahwa semua pertikaian yang pernah ada dianggap habis dan jangan sampai terulang lagi. Pinni akan mendidik anak muridku agar menjadi orang-orang baik. Cuwi telah menyaksikan sendiri peristiwa tadi, maka dengan jalan ini pinni sekalian hendak mengajukan usul agar supaya Bun Gai dijodohkan dengan nona yang gagah ini. Bagaimana pikiran cuwi?”

Ang Lian Lihiap menjura dan tersenyum. “Niang-niang, memang semenjak dulu aku telah mempunyai niat untuk menjodohkan mereka, maka dengan adanya pinangan resmi dari Niang-niang, tentu saja kami menyatakan syukur dan terima kasih.”

“Bagus, bagus. Mulai sekarang takkan ada permusuhan yang menjemukan lagi,” kata Hwee-thian Kim- hong yang kemudian berkata kepada Nyo Tiang Pek. “Dan kesempatan inipun kugunakan untuk mengulangi lamaranku terhadap puterimu, Nyo-twako! Aku meminang Lee Ing untuk Lo Sin!”

Tiang Pek tertawa bergelak dan berkata. “Bangsat rendah Tik Kong telah mampus di tanganku hingga hatiku puas sekali. Soal pinanganmu itu, semenjak dulupun tentu aku terima dengan senang kalau tidak ada kecurangan yang dilakukan Tik Kong. Baiklah pinangan itu kuterima dan terima kasih kepada kau suami isteri yang berbudi!” Ang Lian Lihiap tersenyum girang. “Akupun masih hendak melakukan sebuah hal yang baik lagi. Semua orang telah menjadi perantara yang beruntung, maka sekarang aku tujukan kepada Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan untuk meresmikan ikatan jodoh antara adikku Kong Liang dengan muridnya Bwee Hwa!”

“Mereka telah bertukar pedang, masih kurang resmi apa lagi?” kata Oei Gan sambil tertawa.

Semua orang bergembira, hanya keenam anak muda yang bersangkutan tak berani memperlihatkan kegembiraan mereka, dan hanya terdiam dengan kepala tunduk dan muka merah!

Beberapa bulan kemudian, di rumah Ang Lian Lihiap, dilangsungkan upacara pernikahan tiga pasang mempelai itu dengan perayaan yang cukup meriah dan bergembira ria. Ratusan orang tamu dari berbagai tempat datang untuk memberi selamat kepada tiga pasang mempelai yang bahagia itu dan dengan pesta pernikahan yang meriah itu berakhirlah sudah cerita “Ouw-yan-cu” ini yang sesungguhnya merupakan rangkaian cerita Ang Lian Liehiap dan Si Walet Hitam.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar