Si Walet Hitam (Ouw-yan-cu) Jilid 02

Jilid 02

“Mengapa ia berani melamarku?”

“Ing-ji, jangan kau bersikap begitu. Apa salahnya orang meminang? Diterima atau tidak, itu tergantung yang dipinang. Peminang bukan orang jahat yang memaksa, jangan kau persalahkan kepadanya.”

“Bagaimanapun juga, dialah yang menjadi biang keladi hingga ayah marah kepadaku,” kata Lee Ing sambil merengut.

Ibunya tersenyum dan menganggap bahwa anaknya ini terlalu manja dan bahwa kemarahan terhadap Lui Tik Kong ini hanya gertak sambal belaka. Maka ia lalu menghibur hati Lee Ing hingga tak lama kemudian timbul kembali sinar gembira pada wajah dara itu.

Giok Lie sama sekali tidak pernah menyangka bahwa bentakan-bentakan Tiang Pek siang tadi telah menggores dan melukai hati Lee Ing, karena pada dasarnya gadis ini memiliki perasaan halus yang mudah tersinggung. Rasa marahnya kepada Lui Tik Kong juga tidak mudah dihilangkan dengan hiburan demikian saja, maka biarpun di depan ibunya ia memperlihatkan muka gembira, namun di dalam hatinya ia telah mengambil keputusan untuk menyerbu dan memberi hajaran kepada perwira muda itu.

Malam hari itu, bulan memancarkan sinarnya dengan penuh hingga keadaan menjadi terang dan indah. Diantara cahaya bulan sesosok bayangan yang gesit sekali gerakannya berkelebat di bawah pohon-pohon dan berlari cepat sekali. Bayangan ini adalah seorang gadis bertubuh kecil langsing dan berpakaian ringkas. Pedang tergantung di pinggang dan rambutnya yang hitam tebal itu diikat dengan serangkai mutiara putih di atas kepala dan ujungnya berjuntai ke belakang dan bergerak-gerak di punggungnya dengan lucu. Gadis ini adalah Lee Ing yang diam-diam meninggalkan rumahnya dan menuju ke benteng yang menjadi markas tentara kerajaan di bawah pimpinan Lui Tik Kong.

Benteng itu dilingkungi tembok yang tebal dan tinggi, akan tetapi dengan gerakan yang ringan cepat bagaikan seekor burung murai terbang. Lee Ing menggenjot tubuhnya ke atas tembok sambil menghunus pedangnya untuk bersiap sedia. Dara muda ini biarpun telah mewarisi kepandaian yang tinggi, ia belum mempunyai pengalaman apa-apa, hingga ia berlaku sembrono dan tidak hati-hati.

Ketika ia melompat ke atas tembok, tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa orang di dalam markas. Ia lalu berjongkok di atas tembok itu sambil memegang pedangnya erat-erat di tangan kanan. Matanya tajam memandang ke arah bayangan orang-orang yang berdiri dan bercakap-cakap di pintu benteng itu.

Mereka ini adalah anggauta-anggauta tentara yang bermalam dan karena tiada sesuatu yang dikerjakan mereka lalu mengobrol di pintu benteng.

Biarpun belum berpengalaman, namun Lee Ing mempunyai kecerdikan dan ketabahan. Pula ia berhati keras hingga tidak suka akan segala hal yang dilakukan dengan sembunyi, maka ia lalu berdiri lagi di atas tembok sambil berteriak nyaring.

“Hai, para penjaga yang doyan mengobrol!”

Lima orang penjaga itu terkejut sekali dan mereka menengok. Untuk sesaat mereka mencari-cari dengan mata mereka karena tidak menyangka bahwa orang yang berseru itu berdiri di atas tembok yang tinggi itu.

Kemudian seorang di antara mereka melihat Lee Ing yang berdiri di atas tembok dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan melintangkan pedang di depan dadanya. Ia lalu berseru sambil menuding dan semua kawannya kini melihat gadis itu. Mereka lalu beramai mencabut senjata dan lari menghampiri ke arah tembok.

“Hai, iblis wanita dari mana dan apa maksudmu maka berani datang ke benteng kami?” tegur mereka.

“Jangan banyak cakap yang tak berguna!” Lee Ing menjawab. “Lekas beritahukan kepada perwira gadungan Lui Tik Kong untuk segera keluar dan naik ke sini, kalau benar-benar ia seorang laki-laki gagah!”

“Eh, bocah galak! Kau turunlah dan kami cukup jantan untuk melayanimu!” berkata seorang di antara kelima penjaga itu yang telah melihat kecantikan Lee Ing di bawah sinar bulan purnama. Kata-katanya ini diucapkan sambil tertawa-tawa, maka bukan main marahnya Lee Ing.

“Bangsat rendah, kalian mencari penyakit sendiri!” Sambil berkata, tubuhnya yang langsing itu menyambar turun dengan cepatnya bagaikan menyambarnya burung rajawali ke arah orang itu. Bukan main kagetnya lima orang penjaga itu. Mereka lalu angkat senjata untuk mengeroyok Lee Ing, akan tetapi tubuh Lee Ing yang menyambar turun dengan gerakan Naga Hitam Terjun ke Laut ini bagaikan kilat menyambar mereka dan tiba-tiba saja mereka berlima merasa betapa pedang gadis itu menyambar tanpa dapat dikelit atau ditangkis lagi.

Untungnya bahwa Lee Ing tidak berhati kejam dan sengaja pegang pedangnya dengan dibalikkan hingga bukan tajam pedang yang membabat, akan tetapi muka pedang yang datar dan licin digunakan untuk menampar. Namun, karena pedang itu terbuat daripada baja keras dan tenaga Lee Ing sangat besar, lima orang penjaga yang kena tampar kepala, tangan, dan pipi mereka itu, berkaok-kaok kesakitan dan lari tunggang-langgang bagaikan orang takut diserang setan.

Lee Ing tertawa geli dan kembali mencelat naik ke atas tembok dan berdiri menanti seperti tadi.

Lima orang penjaga itu cepat berlari ke dalam benteng dan sebentar saja puluhan orang perajurit berlari keluar, mengiringkan seorang perwira muda yang memegang pedang. Perwira muda ini bukan lain adalah Lui Tik Kong sendiri yang mengira bahwa to-kouw yang mengganggunya dulu itu telah datang menyerbu. Maka alangkah heran dan terkejutnya ketika melihat bahwa yang berdiri di tembok dengan sikap tenang dan gagah itu bukan lain ialah Lee Ing, nona cantik jelita yang menjadi gadis impiannya dan yang telah dipinangnya.

Ia segera menjura dari bawah tembok. “Ah, tidak tahunya Nyo-siocia yang malam-malam datang berkunjung. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali. Silakan turun, nona, dan marilah kita bicara dengan baik di ruangan tamu kalau nona mempunyai urusan dengan kami.”

“Cis! Siapa mempunyai urusan dengan kau untuk dibicarakan pada malam hari! Kau telah berlaku lancang sekali, kaukira kau ini orang macam apakah? Kalau memang kau berkepandaian, kau naiklah ke tembok ini!”

Lui Tik Kong masih belum mengerti mengapa nona manis itu datang-datang telah begitu marah, akan tetapi karena ia dihina di depan anak buahnya ia merasa malu sekali.

“Jadi kau hendak bicara di atas tembok ini saja, Nyo-siocia? Baiklah! Agaknya tembok ini belum begitu tinggi untukku!”

Sambil berkata demikian, Lui Tik Kong lalu menggerakkan tubuhnya dan melompat ke atas dengan gerakan Burung Hong Naik Sorga. Gerakannya cukup indah dan ringan hingga anak buahnya bersorak memuji. Akan tetapi Lee Ing tersenyum mengejek.

“Baru memiliki kepandaian sebegitu saja, kau telah anggap cukup untuk berani menghinaku?”

Mereka kini berdiri berhadapan di atas tembok yang lebarnya hanya satu setengah kaki. Kembali Lui Tik Kong menjura dan memainkan senyum manis di bibirnya.

“Maafkan aku, siocia. Sungguh mati aku tidak mengerti maksudmu. Kekurangajaran apakah yang telah kulakukan maka siocia marah-marah kepadaku?” “Apa yang telah kaulakukan siang tadi? Kau telah berani sekali mengutus orang untuk…… untuk melamarku!”

Lui Tik Kong tercengang.

“Eh…… urusan ini…… eh, mengapa nona menjadi marah-marah? Apakah utusanku mengeluarkan kata-kata kurang ajar dan menyinggung hatimu? Nona, aku meminangmu karena…… aku cinta padamu.”

“Bangsat kurang ajar!” Wajah Lee Ing memerah, karena biarpun ucapan Lui Tik Kong itu takkan terdengar oleh para tentara yang berdiri agak jauh di bawah tembok, namun selama hidupnya belum pernah ia mendengar seorang pemuda menyatakan cinta hatinya terhadap dia, maka rasa malu dan jengah membuatnya menjadi marah sekali.

“Apa salahku maka kau marah-marah, nona?” tanya Tik Kong.

“Cabutlah pedangmu dan coba lawanlah pedangku kalau kau memang orang gagah dan jangan banyak cakap!”

Lui Tik Kong merasa penasaran sekali. Ia sendiri memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka tentu saja ia tidak akan takut kepada Lee Ing yang belum pernah dilihat kepandaiannya.

Pula, ia dapat meraba maksud gadis ini. Agaknya karena menerima pinangannya, gadis ini sengaja hendak mencoba kepandaiannya. Ia tahu bahwa banyak gadis kang-ouw yang selalu ingin mengukur kepandaian calon suaminya. Maka sambil tersenyum ia lalu mencabut pedangnya.

“Aku hanya taat pada permintaanmu dan bersedia mengiringi kehendakmu, nona,” katanya.

“Hah! siapa mau mengobrol denganmu? Lihat senjata!” Lee Ing lalu mengirim serangan dan ketika Lui Tik Kong menangkis, pemuda ini menjadi pucat karena pedangnya terpental dan hampir saja terlepas dari pegangan!

Kini maklumlah ia bahwa tenaga lweekang dari dara muda ini hebat sekali dan gerakan pedangnya pun demikian cepatnya. Diam-diam ia menjadi jerih, maka segera melepaskan ikat pinggangnya dari kain tebal dan memegang ikat pinggang ini di tangan kiri.

Inilah keistimewaan Lui Tik Kong, ia dapat memainkan pedang di tangan kanan dan ikat pinggang dari kain di tangan kiri. Ikat pinggang ini, walaupun hanya terbuat daripada kain, akan tetapi berbahaya sekali. Kepandaian ini ia dapatkan dari Kong Sin Ek si Dewa arak yang amat terkenal namanya oleh karena senjatanya berupa baju luar yang terbuat dari kain kasar pula!

Setelah mengeluarkan ikat pinggangnya, barulah Lui Tik Kong dapat mengimbangi serangan Lee Ing. Akan tetapi bertempur di atas tembok itu jauh bedanya dengan bertempur di atas tanah, oleh karena mereka tidak dapat bergerak dengan leluasa, sedangkan dalam hal ginkang, pemuda itu masih jauh di bawah Lee Ing tingkatnya! Maka Tik Kong lalu melompat turun sambil berseru.

“Nyo-siocia, di atas tembok kurang leluasa, silakan turun dan kita bermain-main di atas tanah.” “Kaukira aku takut?” kata Lee Ing yang menyambar turun pula dan sebelum kakinya menginjak tanah, pedangnya telah diputar dan menyerang ke arah leher Tik Kong dengan gerak tipu Han-ya-pok-cui atau Burung Gagak Menyambar Air.

Tik Kong cepat mengebut dengan kain di tangan kirinya dan membalas menyerang dengan hebat. Pemuda ini ketika melihat betapa serangan-serangan Lee Ing bukan dilakukan secara main-main, akan tetapi dengan sengit dan bersungguh-sungguh, menjadi terkejut dan penasaran. Iapun menjadi sengit dan menyerang sama hebatnya!

Di dalam hatinya, Lee Ing memuji kepandaian perwira muda ini yang memang cukup tinggi, akan tetapi entah mengapa, ia tidak suka kepada Tik Kong yang bersikap sopan-santun dan lemah lembut itu. Maka sekarang ketika melihat betapa pemuda itu belum juga dapat dikalahkannya, ia merasa malu dan penasaran maka ia lalu menggerakkan pedangnya lebih cepat pula dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Pada suatu saat, ketika Lee Ing menyerang dengan sebuah tusukan ke arah dada, Tik Kong mengelak ke samping dan menggerakkan kain di tangan kirinya. Kain ini tiba-tiba menjadi lemas dan membelit pedang gadis itu dengan erat.

Lee Ing terkejut sekali dan sebelum Tik Kong sempat menusuk dengan pedang, baru saja pemuda itu mengangkat tangan kanan untuk mengirim serangan balasan sambil menahan pedang lawan dengan kainnya, tiba-tiba Lee Ing menggerakkan tangan kiri memukul ke depan sambil berseru nyaring. Ternyata bahwa dalam marahnya, gadis ini telah menggunakan pukulan Gin-san-ciang dengan tangan kiri ke arah pundak kanan Tik Kong yang tak menyangka sama sekali.

02.05. Dua Musuh Orang Tua

Hal ini tidak mengherankan oleh karena jarak antara kepalan Lee Ing dan pundaknya masih jauh, maka tanpa mengelak pun kepalan gadis itu takkan sampai ke pundaknya. Tidak tahunya kelihaian pukulan Gin-san-ciang justeru kalau kepalan tangan yang memukul itu tidak mengenai sasaran, oleh karena pukulan ini dikerahkan dengan sinkang istimewa hingga angin pukulan itulah yang menyerang hebat.

Tik Kong tiba-tiba merasa pundaknya sakit sekali dan sambil berteriak keras ia melepaskan pedangnya sambil melompat mundur dan terhuyung-huyung dengan wajah pucat. Lee Ing baru ingat bahwa ia telah kesalahan tangan melukai pemuda itu.

Tadinya ia hanya ingin mengetok kepala pemuda itu untuk memberi malu dan memberi hajaran, tidak ia sangka bahwa Tik Kong benar-benar lihai hingga terpaksa ia menggunakan Gin-san-ciang untuk merobohkannya. Lee Ing maklum bahwa hal ini tentu akan terdengar oleh ayahnya dan ia pasti akan mendapat marah, maka ia lalu melompat ke atas tembok dan menghilang keluar, akan tetapi bahkan terus lari turun gunung.

Sambil berlari ia berpikir. Ke mana ia akan pergi? Mau pulang takut dimarahi ayahnya, tidak pulang, pergi kemanakah? Tiba-tiba ia teringat kepada Ang Lian Lihiap di Tit-lee. Lebih baik ia pergi ke sana untuk melihat keadaan mereka dan untuk mencoba kepandaian suami isteri pendekar yang amat tersohor dan sering dipuji-puji ayahnya itu.

Lee Ing tak perlu kuatir akan biaya perjalanan, oleh karena selain memakai perhiasan daripada emas di dadanya, juga gadis ini mempunyai pengikat rambut dari mutiara putih yang mahal harganya. Ia menjual perhiasannya dan dengan uang hasil penjualan itu ia dapat membiayai penginapan dan makan. Bahkan ia membeli beberapa stel pakaian untuk pengganti dan pakaian itu dibungkusnya merupakan buntalan besar yang diikat pada punggungnya.

Pada masa itu, biarpun pada umumnya kaum wanita jarang keluar pintu, akan tetapi banyak juga wanita-wanita gagah melakukan perjalanan seorang diri atau berkawan, yang umumnya disebut wanita-wanita kang-ouw atau banyak juga pendeta-pendeta wanita yang disebut to-kouw. Akan tetapi, jarang sekali ada wanita kang-ouw yang semuda dan secantik Lee Ing hingga tentu saja ia menimbulkan perhatian dan keheranan di tiap kampung dan kota yang dilewatinya.

Beberapa hari kemudian, ia tiba di sebuah dusun yang hanya terpisah sejauh sehari perjalanan dari Tit-lee, dan oleh karena hari telah mulai gelap ketika ia memasuki dusun itu, ia lalu mencari tempat penginapan. Akan tetapi, di dusun yang kecil dan jarang kedatangan orang luar dusun itu, tentu saja ia tidak berhasil mendapatkan sebuah rumah penginapan.

Akhirnya Lee Ing melihat sebuah kuil pendeta wanita di luar kampung, maka ia segera mengetuk pintu kuil yang tertutup. Seorang nikouw (pendeta wanita yang berkepala gundul) muda menyambutnya dan menanyakan maksud kedatangannya.

Lee Ing mengangkat tangan memberi hormat.

“Aku yang muda mohon diberi kesempatan bermalam untuk malam ini di sini, dan tentu saja aku bersedia mengganti kerugian.”

Nikouw itu tersenyum dan wajahnya yang berkepala gundul itu terbayang kemanisan seorang wanita cantik, hingga Lee Ing dapat menduga bahwa kalau kepala yang gundul itu ada rambutnya yang hitam dan panjang tentu nikouw itu menjadi seorang wanita yang cantik.

“Li-enghiong janganlah berlaku sungkan. Silakan masuk dan pinni kebetulan masih mempunyai sebuah kamar kosong di belakang.”

Lee Ing menghaturkan terima kasih dan setelah menjura kepada meja sembahyang di depan sebuah patung Dewi Kwan Im yang berada di ruang depan, ia lalu mengikuti nikouw itu ke belakang dan ternyata bahwa kamar itu cukup bersih, walaupun sangat sederhana.

Malam itu Lee Ing tidur nyenyak karena sehari penuh ia telah berjalan kaki tanpa berhenti. Sebelum ia jatuh pulas, lapat-lapat ia mendengar suara seorang laki-laki tertawa hingga ia menjadi heran sekali mengapa dalam sebuah kuil wanita terdapat suara laki-laki.

Akan tetapi ia terlampau letih untuk memperhatikan hal ini dan ia menduga bahwa suara itu tentu suara seorang nikouw wanita yang memiliki suara parau dan besar seperti laki-laki. Oleh karena ini, tanpa curiga ia tidur pulas. Akan tetapi, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia bangun dan hendak melanjutkan perjalanannya di kala fajar baru saja menyingsing karena bermaksud supaya bisa, sampai di Tit-lee sebelum gelap, ia melihat bayangan seorang laki-laki berkelebat keluar dari kamar besar tengah kuil.

Lee Ing menjadi marah sekali dan menyangka bahwa laki-laki itu tentu seorang pencuri. Dengan sekali lompatan saja ia telah melampaui laki-laki itu dan mengirim tendangan ke arah lutut orang itu.

Laki-laki ini ternyata seorang yang masih muda dan berwajah tampan juga. Karena tendangan Lee Ing yang cepat mengenai lututnya, ia berteriak kesakitan dan roboh tidak dapat bangun kembali, hanya memegang-megang kakinya sambil mengaduh-aduh dan memanggil.

“Aduh, tolong…… toanio……, tolonglah……!”

Tiba-tiba kamar besar dari mana laki-laki tadi keluar, terbuka pintunya dan seorang wanita yang berpakaian sebagai seorang to-kouw (pendeta wanita pemeluk Agama To) yang rambutnya riap- riapan ke belakang keluar dengan tindakan cepat. Wanita ini berusia tigapuluh tahun lebih akan tetapi wajahnya masih tampak cantik, sedangkan sepasang matanya galak dan genit.

Melihat betapa laki-laki kekasihnya itu dilukai orang, ia menjadi marah dan menuding kepada Lee Ing sambil memaki.

“Perempuan rendah dari manakah berani menghina orang?”

Lee Ing yang tadinya sudah marah karena menyangka bahwa laki-laki itu seorang pencuri, kini menjadi makin marah sekali oleh karena mendapat kenyataan bahwa ternyata laki-laki itu bukan seorang pencuri, akan tetapi seorang buaya darat yang mencemarkan kesucian kuil itu dengan menjadi kekasih seorang to-kouw yang tentunya hanya seorang tamu di kuil itu, karena kuil itu adalah tempat para nikouw pemuja Dewi Kwan Im. Maka sepasang mata dara ini bersinar-sinar karena marahnya.

“Hm, tak kusangka di dunia ini ada seorang to-kouw semacam ini! Kau sendiri perempuan rendah, masih berani memaki orang lain?” katanya.

To-kouw ini bukan lain adalah Bi Mo-li atau Iblis Cantik yang menjadi murid Hek Li Suthai. Bi Mo-li inilah yang dulu pernah melukai Lui Tik Kong dengan Ang-see-ciang. Nama Hek Li Suthai sangat terkenal dan juga nama Bi Mo-li si Iblis Cantik ini tidak kalah tersohornya, maka tentu saja ia menjadi marah mendengar makian Lee Ing.

“Kau harus mampus!” teriaknya dan bagaikan seekor iblis wanita yang mengerikan. Bi Mo-li bergerak dan tubuhnya melayang ke arah Lee Ing dengan tangan kanan diulur serta penuh mengandung tenaga Ang-see-ciang.

Melihat cahaya merah yang bersinar dari tangan itu, Lee Ing terkejut karena ia tahu bahwa ini tentu tangan yang mengandung Ang-see-ciang. Ia lalu kumpulkan napasnya dan keluarkan ilmu dan tenaga Gin-san-ciang yang telah dipelajarinya dengan sempurna. Ketika hawa tenaga Ang-see-ciang menghantam ke arah Lee Ing, maka gadis ini lalu menggerakkan lengannya menangkis. Bi Mo-li menjerit keras dan terpental mundur oleh tenaganya sendiri.

Untung sekali bahwa latihan Gin-san-ciang dari Lee Ing belum begitu lama hingga kekuatannya masih kurang hebat. Kalau Tiang Pek yang melakukan tangkisan ini, mungkin Bi Mo-li akan mendapat luka dalam yang hebat sekali! Namun tangkisan Lee Ing ini cukup membuat ia terpental ke belakang dan jatuh!

Bagaikan kemasukan setan Bi Moli melompat berdiri dan dengan marah sekali ia lalu mencabut pedang dan hud-tim (kebutan pertapa) kemudian langsung menyerang Lee Ing bagaikan kerbau gila mengamuk! Lee Ing berlaku tenang karena maklum banwa to-kouw ini bukanlah lawan yang lunak. Ia menghunus keluar pedangnya dan melayani dengan hati-hati.

Ternyata ilmu kepandaian Bi Mo-li cukup tangguh dan tinggi hingga kalau saja Lee Ing tidak menerima gemblengan yang keras dan sungguh-sungguh dari ayahnya, tentu ia takkan kuat bertahan. Akan tetapi, ilmu pedang Lee Ing yang menjadi warisan dari sukongnya atau kakek gurunya, yakni Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie yang pernah disebut sebagai jago nomor satu di darat, benar-benar hebat dan dengan pedangnya itu ia dapat mendesak Bi Mo-li! Sayang bahwa Lee Ing kalah pengalaman bertempur, kalau tidak tentu ia akan berhasil mengalahkan Iblis Wanita Cantik itu dalam waktu pendek.

Pada saat Lee Ing mendesak lawannya, tiba-tiba menyambar hawa dingin dan tahu-tahu pedang Lee Ing telah terampas orang!

Juga Bi Mo-li melompat mundur dan menjura kepada orang yang baru tiba. Ketika Lee Ing memandang, ternyata yang merampas pedang itu adalah seorang to-kouw tua yang berkulit muka putih halus akan tetapi kedua tangan to-kouw itu hitam. Inilah Hek Li Suthai dan kepandaiannya dapat diukur tingginya dengan kenyataan tadi bahwa dalam segebrakan saja ia berhasil merampas pedang Lee Ing!

“Nona, kali ini aku masih memberi ampun kepadamu, karena kau masih muda dan pinni sayang akan kepandaianmu. Kalau kau masih berusia panjang dan lain kali dapat bertemu lagi. Sebelum kau berlutut dan mengangguk delapan kali, kau takkan dapat kuampunkan!” Sambil berkata demikian Hek Li Suthai mengangsurkan kembali pedang Lee Ing.

Gadis ini menerima kembali pedangnya, akan tetapi ia sama sekali tidak merasa takut. Bahkan ia memandang marah sekali hingga mukanya serasa dibakar karena merasa telah dihina orang. Akan tetapi, apa dayanya? Sudah terang bahwa to-kouw tua ini lihai bukan main dan ia bukanlah lawan seimbang maka ia menahan nafsu marahnya dan bertanya.

“Siapakah namamu, agar lain kali aku yang muda takkan lupa lagi.”

To-kouw tua itu tertawa haha-hihi dan suara ketawanya menyeramkan sekali, “Kau benar-benar bernyali besar! Kalau kau sekarang berlutut minta ampun, dengan sekali kebut saja hud-tim ku ini tentu akan menghancurkan batok kepalamu yang bagus. Tapi kau pemberani dan pinni suka kepada orang yang berani. Dengarlah, hai anak cantik. Pinni adalah Hek Li Suthai dari Hoa-mo-san.'“ Lee Ing makin mendongkol karena tahu bahwa inilah musuh yang hendak mencari ayahnya. Maka tanpa berkata sesuatu, ia lalu balikkan tubuhnya dan berlari keluar dengan cepat dan dengan hati gemas dan mendongkol.

Belum berapa lama keluar dari pintu, sekarang telah bertemu lawan tangguh dan kena dikalahkan bahkan menerima hinaan. Hampir saja Lee Ing mengalirkan air mata dari kedua matanya karena gemas dan mendongkolnya.

Hari itu juga, menjelang senja hari, ia telah tiba di Tit-lee! Dengan mudah ia dapat mencari gedung keluarga Lo, akan tetapi Lee Ing tidak berani dan malu untuk datang di waktu sore. Ia mengambil keputusan untuk menyelidiki di waktu malam nanti dan kalau mungkin ia hendak mencoba kepandaian Ang Lian Lihiap atau Hwee-thian Kim-hong!

Gadis ini benar berhati tabah dan kekalahannya pagi tadi tidak membuatnya kapok. Setelah mengetahui keadaan gedung keluarga Lo, ia lalu mencari kamar di sebuah rumah penginapan dan menanti datangnya malam dengan hati tidak sabar.

Malam hari itu, biarpun bulan muncul sedikit akan tetapi sinarnya masih cukup terang untuk mengusir kehitaman malam. Lee Ing mengenakan pakaian yang singset dan indah karena ia tidak mau kelihatan kurang rapi. Dengan hati tabah dan gerakan cepat, ia melompati tembok rendah yang mengelilingi gedung keluarga Lo di bagian belakang.

Ia masuk ke dalam kebun di belakang gedung itu dan dengan berani menghampiri gedung dari belakang. Ia merasa heran mengapa gedung itu sunyi sekali, apalagi setelah ia berhasil masuk ke dalam gedung, yakni di bagian belakangnya, ia makin heran karena tak seorangpun pelayan nampak di situ.

Tentu saja ia tidak tahu bahwa pada malam hari itu Han Lian Hwa dan Lo Cin Han, sepasang suami isteri pendekar ini sengaja menyuruh semua pelayan keluar dari gedung itu oleh karena mereka berdua tengah menanti kedatangan tamu-tamu istimewa yang siang tadi telah mengirim kartu nama bergambarkan tangan hitam dan tengkorak. Juga Lo Sin tidak nampak karena pemuda ini belum kembali dari perjalanannya menuju ke tempat kediaman Kong Sin Ek si Dewa Arak.

Lee Ing dengan hati-hati sekali menuju ke ruang tengah, lalu bersembunyi di balik sebuah pintu belakang dan mengintai ke ruang tengah. Ternyata ruang itu luas sekali dan dipasangi lampu teng yang amat terang.

Di sudut terdapat sebuah meja bundar besar dan di belakang meja itu duduk dua orang berdampingan, seorang wanita yang sangat cantik dan seorang laki-laki yang gagah sekali. Mereka berdua duduk tanpa mengeluarkan suara sedikitpun dan mereka memandang ke arah pintu depan yang terbuka lebar, seakan-akan mereka siap menanti datangnya tamu-tamu agung.

Lee Ing melihat bahwa wanita dan laki-laki itu usianya sebaya dengan ayah ibunya, dan melihat kecantikan wanita itu dan kegagahan yang pria, mudah saja baginya untuk menduga bahwa mereka ini tentulah Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa dan Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han. Lee Ing memandang kagum sekali dan seketika itu juga lenyaplah niatnya hendak mencoba kepandaian mereka. Wajah dan sikap kedua orang itu sudah cukup untuk menundukkan wataknya yang keras hati dan ingin mencoba setiap orang. Diam-diam ia memandang dengan penuh segan dan hormat, dadanya berdebar girang, akan tetapi ia tidak berani keluar oleh karena jika ia keluar secara tiba-tiba tentu mereka ini akan menganggapnya kurang ajar.

Tiba-tiba Lee Ing menjadi takut kalau sampai ketahuan kedatangannya. Ia merasa betapa ia telah berlaku lancang sekali, berani datang ke tempat Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong seperti seorang maling.

Bagaimana kalau mereka berdua ini mengetahui bahwa ia adalah puteri Nyo Tiang Pek, sahabat baik mereka? Ah, mereka tentu akan mencelanya dan ia akan membikin malu nama orang tuanya.

Memikir demikian, Lee Ing cepat mengeluarkan sebuah saputangan yang lebar dan menggunakan saputangan lebar ini untuk mengikat rambut kepalanya dan menutup sebagian mukanya sebelah bawah agar jangan sampai terlihat dan dikenal mukanya, kalau sampai terjadi mereka tahu akan kedatangannya.

Akan tetapi, melihat betapa kedua orang itu sama sekali tidak bergerak dan hanya mencurahkan perhatian ke pintu depan, Lee Ing menjadi heran sekali. Ia lalu mengambil keputusan hendak meninggalkan tempat itu secara diam-diam, akan tetapi pada saat itu terdengar suara Cin Han berkata dengan halus kepada isterinya.

“Nah, mereka akhirnya datang juga.”

Lee Ing terkejut dan mengintai kembali ke ruang itu. Tiba-tiba dari pintu depan berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang to-kouw yang bukan lain adalah Hek Li Suthai dan muridnya, Bi Mo-li yang dijumpainya di kuil pagi tadi.

Lee Ing menjadi tertarik sekali karena ia segera dapat mengerti bahwa to-kouw yang lihai itu sengaja datang mencari musuh-musuhnya dan suami isteri pendekar itu telah siap menanti kedatangannya.

“Selamat malam, Hek Li Suthai,” kata Ang Lian Lihiap kepada tamunya dengan suara yang merdu dan terdengar gagah.

Hek Li Suthai tertawa haha-hihi dan suara ketawa itu bergema memenuhi ruangan itu, Lee Ing terkejut sekali karena suara ketawa ini mengandung getaran yang mendebarkan dadanya. Ia maklum bahwa to-kouw itu hendak memamerkan khikangnya dan sengaja mendemonstrasikan ketawanya itu, maka buru-buru Lee Ing mengatur napasnya untuk menolak getaran itu.

“Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong. Alangkah lamanya pinni menunggu-nunggu datangnya saat pertemuan ini.”

“Hek Li Suthai, sudah sempurna benarkah kini pelajaranmu dari Sin-kun Moli Lan Bwee Niang-niang?” terdengar Cin Han berkata dengan suaranya yang sabar tapi berpengaruh itu.

“Tentu saja, mengapa tidak?” jawab Hek Li Suthai dengan senyum sindir. “Kalian tentu telah maklum akan maksud kedatangan pinni, bukan?” Ang Lian Lihiap bangun berdiri dan Lee Ing melihat bahwa potongan tubuh pendekar wanita itu hampir sama dengan ibunya, akan tetapi sikap Ang Lian Lihiap ini lebih gagah oleh karena ibunya mempunyai sikap lemah lembut dan halus gerak-geriknya.

“Hek Li Suthai, siapa yang tidak ketahui maksudmu yang buruk? Semenjak dulu, gurumu yang selalu mencari permusuhan dan agaknya kini kaulah yang melanjutkan usaha buruk itu. Akan tetapi, ketahuilah bahwa kami selamanya takkan takut menghadapi kalian, oleh karena kami yakin bahwa kami berada di pihak benar. Sekarang kau sudah tiba di sini dan aku sebagai tuan rumah akan menyambutmu sepantasnya. Katakanlah, apa kehendakmu?”

Lee Ing merasa kagum sekali mendengar kata-kata ini dan melihat sikap Ang Lian Lihiap. Benar patut disebut pendekar wanita yang gagah perkasa! Ia memandang dengan dada makin merasa tegang dan tertarik.

“Hm, kau masih sombong dan keras seperti dulu,” kata Hek Li Suthai. Kemudian ia berpaling kepada Bi Mo-li dan berkata. “Kaulawanlah dia!”

Bi Mo-li mencabut keluar pedang dan kebutannya, akan tetapi karena ia maklum bahwa ia berhadapan dengan Ang Lian Lihiap yang tersohor akan kelihaiannya, ia tidak berani berlaku sombong, bahkan lalu menjura dengan hormat dan berkata. “Lihiap, mohon pengajaran sedikit.”

Ang Lian Lihiap tersenyum. “Kau tenangkanlah hatimu dan majulah, aku telah siap.”

Akan tetapi pendekar wanita ini sama sekali tidak mengeluarkan pedangnya yang terkenal, yakni Kong-hwa-kiam, pedang pemberian suaminya ketika mereka masih bertunangan dulu. Bahkan pakaian pendekar wanita ini tidak leluasa sekali karena jubahnya yang berwarna putih itu panjang sekali dan juga lengan bajunya panjang sampai menutupi kedua tangannya.

“Lihiap, harap suka keluarkan senjatamu!” kata Bi Mo-li yang masih berlaku sungkan karena jerih.

Sekali lagi Ang Lian Lihiap tersenyum dan tampak oleh Lee Ing betapa manisnya wajah pendekar wanita itu jika tersenyum. “Gurumu sengaja menyombong dan menyuruh kau maju melawanku, maka kalau aku mempergunakan senjata berarti aku kurang hormat dan tidak suka menerima maksud baiknya itu.”

Kata-kata ini walaupun diucapkan dengan halus, akan tetapi merupakan sindiran tajam kepada Hek Li Suthai.

“Bi-niang (si Cantik), jangan banyak tingkah. Seranglah dia!” kata Hek Li Suthai sambil memandang ke sana ke mari agaknya mencari tempat duduk di ruang yang luas itu.

Cin Han dapat menduga maksud tamunya. Ia lalu menyambar sebuah bangku yang berada di dekatnya, lalu mengayunkan bangku itu ke arah Hek Li Suthai sambil berkata. “Hek Li Suthai, kau duduklah!” Bangku itu berkaki tiga dan dilempar perlahan oleh Cin Han, yakni nampaknya saja perlahan, karena sesungguhnya bangku itu meluncur cepat ke arah to-kouw tua itu dengan ketiga kakinya di depan dan ketiga kaki itu dengan cepat sekali menyerang merupakan totokan berbahaya, karena sekaligus kaki yang segitiga kedudukannya itu menyerang jalan darah di ulu hati dan kedua pundak.

Akan tetapi, dengan tenang sambil berkata, “Terima kasih!” Hek Li Suthai menggunakan sebuah jari telunjuknya menyentil kaki bangku yang menyerangnya itu hingga bangku itu terlempar sambil berputar-putar ke atas, kemudian jatuh ke bawah dan diterima dengan sebelah tangan, lalu diduduki oleh to-kouw itu, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu!

Melihat pertunjukkan yang hebat dari kedua ahli itu, Lee Ing di tempat persembunyiannya menahan napas saking kagumnya!

03.06. Untung ……. Tidak Tertangkap.

Sementara itu, mendengar perintah gurunya, Bi Mo-li lalu bergerak dan menyerang hebat dengan gerakan berbareng, yakni dengan pedang di tangan kanan menyabet leher dan kebutan di tangan kiri menotok iga! Tapi, dengan sedikit gerakan tubuh Ang Lian berhasil menghindarkan diri dari serangan ini.

Bi Mo-li maju menyerang lagi dan kini mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dan menggunakan tipu- tipu yang paling dahsyat dalam ilmu silatnya.

Akan tetapi, tiba-tiba sambil berseru nyaring, tubuh Ang Lian Lihiap lenyap dan tahu-tahu berada di belakang Bi Moli. Ang Lian Lihiap menggerakkan kedua tangan menyentuh pundak kanan kiri lawannya dari belakang dan tiba-tiba kedua senjata Bi Moli terlepas dari pegangan dan jatuh di atas lantai.

Bi Mo-li tak kuasa memegang kedua senjatanya lagi karena sentuhan pada kedua pundaknya itu membuat kedua lengannya menjadi kaku dan terasa lumpuh! Segera, ia melompat mundur dengan wajah pucat dan menjura kepada Ang Lian Lihiap sambil berkata.

“Pengajaran lihiap telah kuterima dan terima kasih!” Ia lalu maju dan memungut kedua senjatanya dengan wajah berubah merah.

Hek Li Suthai menjadi merah mukanya karena malu. “Dungu!” ia memaki muridnya. “Mudah saja diperdayakan dengan pertunjukan gin-kang sebegitu saja!”

Muridnya tidak berani membantah dan hanya mundur berdiri di pinggir dengan kepala tunduk.

“Ang Lian Lihiap, keluarkanlah senjatamu dan jatuhkanlah pinni!” katanya sambil melangkah maju dan mengeluarkan siang-kiam (sepasang pedang) yang berkilauan dan kedua pedang ini mengeluarkan sinar yang berlainan. Pedang kiri mengeluarkan cahaya hijau dan pedang kanan mengeluarkan cahaya hitam. Inilah sepasang pedang ular hijau dan hitam yang ampuh!

Tiba-tiba Cin Han tertawa dan berkata kepada isterinya, “Kau beristirahatlah dan biarkan aku mencoba kehebatan Hek Li Suthai!” Ang Lian Lihiap tersenyum dan berkata. “Suamiku ini memang selalu ingin merasai lebih dulu jika ada sesuatu yang baru dan aneh datang kepada kami. Kau hadapi dia baik-baik Hek Li Suthai!” Lalu ia pergi duduk di tempatnya tadi, menonton suaminya yang kini telah maju ke muka menghadapi Hek Li Suthai.

“Pedangmu sungguh hebat,” kata Cin Han dan tangan kanannya bergerak.

Hampir tak dapat diikuti oleh mata Lee Ing gerakan tangan Hwee-thian Kim-hong ini, dan tahu-tahu Cin Han telah mencabut pedangnya yang mengeluarkan cahaya putih berkilauan, karena yang dipegangnya ini adalah Sian-liong-kiam.

“Sian-liong-kiam di tanganmu juga pedang bagus. Mari, kaumajulah!” Kata Hek Li Suthai, akan tetapi sambil berkata demikian ia mendahului lawannya menyerang dengan ganas.

Cin Han maklum akan kelihaian lawannya, maka iapun tidak mau berlaku lambat atau sungkan lagi, dan mengeluarkan kepandaiannya. Ia mainkan pedangnya dalam ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam- sut atau gabungan dari ilmu pedang isterinya seperti yang diciptakan oleh suhunya.

Pertempuran ini bukan main hebatnya hingga Lee Ing merasa pandangan matanya kabur dan kepalanya menjadi pening. Ia melihat betapa gerakan kedua pedang di tangan Hek Li Suthai luar biasa sekali dan amat sukar diduga perubahannya, juga to-kouw tua itu memiliki gin-kang yang tinggi hingga tubuhnya berkelebat ke sana ke mari bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar dari setiap jurusan.

Akan tetapi, gerakan Cin Han tenang dan bertenaga. Agaknya pendekar itu tak banyak bergerak, berdiri di tengah-tengah dengan kedua kaki tetap dan setiap gerakannya mengeluarkan tenaga besar hingga anginnya sampai terasa oleh Lee Ing di tempat persembunyiannya.

Kalau Hek Li Suthai boleh diumpamakan sebagai seekor garuda sakti yang menyambar-nyambar dari segala jurusan dengan cepat sekali. Cin Han adalah sebagai seekor ular naga sakti yang melingkar di tengah dan menjaga diri dari serangan garuda itu sambil mengebut-gebutkan ekor dan membalas menyerang dengan kepalanya.

Pertarungan yang sengit dan mati-matian ini tak dapat diketahui oleh Lee Ing siapa yang menang dan siapa yang terdesak, hanya dapat dirasai oleh kedua orang yang sedang bertempur itu, dah tentu saja dapat dilihat dan diketahui oleh Ang Lian Lihiap. Setelah bertempur limapuluh jurus, tahulah Hek Li Suthai bahwa ilmu pedang Cin Han benar-benar, merupakan tembok baja yang tidak mungkin ditembus, dan terutama karena tenaga Cin Han yang luar biasa, membuat ia tidak berdaya sama sekali.

Makin lama ia makin merasa dingin karena gerakan pedang Cin Han mendatangkan hawa dingin yang luar biasa dan Lee Ing juga merasa akan serangan hawa dingin ini hingga bibirnya menggigil.

Memang ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut mempunyai dua bagian, yakni bagian menyerang dan mempertahankan. Bagian menyerang disebut gerakan Naga Sakti Mandi di Api dan jika dimainkan, maka gerakan pedang ini mengeluarkan hawa panas akan tetapi kehebatannya juga luar biasa sekali. Sebaliknya bagian kedua adalah gerakan Naga Sakti Mandi di Air dan digunakan untuk bertahan, dan apabila gerakan ini dimainkan, maka keluarlah hawa dingin dari gerakan pedang itu. Inilah kemujijatan Hwie-sian-liong-kiam-sut.

Cin Han memang sengaja mendemonstrasikan bagian mempertahankan diri, yakni Naga Sakti Mandi di Air, maka percuma saja bagi Hek Li Suthai walaupun ia kini telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, karena sedikitpun ia tidak dapat menembus benteng pertahanan Cin Han yang luar biasa itu. Akhirnya ia tidak tahan pula, maka ia lalu melompat mundur sambil berkata.

“Cukup! Pinni telah merasakan kelihaian Hwee-thian Kim-hong dan memang kepandaianmu luar biasa. Akan tetapi, oleh karena pinni telah sampai di sini, akan sia-sialah perjalananku apabila belum mencoba kepandaian Ang Lian Lihiap.”

Ang Lian Lihiap mendongkol sekali, sungguhpun bibirnya tersenyum. To-kouw ini perlu diberi pelajaran, pikirnya. Ia lalu berdiri dan menghampiri Hek Li Suthai, menggantikan Cin Han yang sudah mundur dan duduk kembali di bangkunya.

“Hek Li Suthai, kau sungguh tak mengenal kemurahan hati suamiku. Jangan kau menyesal kalau pedangku tak bermata!” Sambil berkata demikian, pendekar wanita itu mencabut pedangnya dari punggung dan kembali terlihat sinar berkelebat ketika pedang Kong-hwa-kiam dicabut!

“Nah, kau bersiaplah dan rasai seranganku!”

Setelah berkata demikian tubuh Ang Lian Lihiap berkelebat dan lenyap terbungkus sinar pedangnya yang dimainkan dalam gerakan Naga Sakti Mandi di Api! Hek Li Suthai terkejut sekali dan iapun memperlihatkan ginkangnya yang tidak rendah, maka kedua wanita yang bertempur itu lenyap dari pandangan mata dan yang tampak hanyalah sinar pedang mereka.

Kalau tadi Lee Ing merasa pening melihat pertempuran antara Hwee-thian Kim-hong dan Hek Li Suthai, kali ini matanya menjadi berkunang dan terpaksa ia meramkan mata beberapa kali agar sinar pedang jangan terlalu menggelapkan pandangannya.

Betapapun tinggi ilmu gin-kang Hek Li Suthai namun menghadapi Ang Lian Lihiap yang sudah mendapat latihan ginkang dari Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan, ia kalah jauh. Apalagi karena Ang Lian Lihiap memainkan Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian menyerang, maka baru bertempur tigapuluh jurus saja, Hek Li Suthai telah merasa bingung sekali. Muka menjadi pucat dan keringat memenuhi kulit tubuhnya karena panasnya hawa yang keluar dari gerakan pedang Ang Lian Lihiap.

Bukan main rasa kagum di hati Lee Ing melihat permainan pedang Ang Lian Lihiap, dan ia terpaksa membuka sapu tangan yang tadi digunakan untuk menutupi mukanya karena iapun merasa panas.

“Sudah puaskah kau, Hek Li Suthai?” tiba-tiba terdengar suara Ang Lian Lihiap yang merdu dan tiba- tiba sebatang pedang di tangan kanan Hek Li Suthai terlempar dan jatuh di atas lantai menerbitkan suara nyaring sedangkan lengan tangan to-kouw itu mengalirkan banyak sekali darah merah oleh karena Kong-hwa-kiam telah digunakan oleh Ang Lian Lihiap untuk menggurat luka di kulit lengan itu dari siku sampai ke pergelangan tangan. Luka yang sengaja dibuat hanya untuk memberi hajaran ini dirasakan lebih perih daripada bacokan pedang pada lehernya, maka dengan muka pucat sekali karena menahan marah. Hek Li Suthai memungut pedangnya tanpa memperdulikan darah yang mengalir dari luka di kulit lengannya dan yang menetes-netes di atas lantai.

“Ang Lian Lihiap, Hwee-thian Kim-hong, terima kasih atas kebaikanmu dan kelak kita tentu bertemu pula!” Ia lalu memberi tanda kepada muridnya dan keduanya lalu melompat dari situ.

Lee Ing juga hendak pergi dari tempat itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Cin Han berkata. “Orang yang bersembunyi di balik pintu, kau keluarlah!”

Kalau pada saat itu ada petir menyambar kepalanya, belum tentu Lee Ing akan merasa sekaget itu. Ia cepat menggunakan saputangannya menutupi mukanya lagi dan melompat pergi secepat mungkin.

“Hai, kau hendak lari ke mana?” terdengar Cin Han membentak, dan Lee Ing dengan takut dan gugup sekali mempercepat larinya, keluar dari gedung itu dan lari ke kebun belakang.

Ketika ia tiba di bawah sebuah lentera yang dipasang di pojok kebun, tiba-tiba ada angin menyambar dari belakang dan tahu-tahu Cin Han telah berdiri di depannya dengan pedang Sian-liong-kiam di tangan. Bukan main terkejutnya Lee Ing, dan dengan gugup ia mengangkat pedangnya membacok.

Juga Cin Han merasa tercengang ketika melihat bahwa orang yang tadi mengintai di balik pintu ternyata adalah seorang gadis muda yang menutupi kepala dan mukanya di bagian bawah dengan saputangan, sedangkan sepasang mata yang bening seperti mata burung Hong itu memandang dengan gugup dan terkejut. Maka ia tidak mau menangkis dengan pedangnya, hanya berkelit ke samping saja, akan tetapi kembali Lee Ing melanjutkan serangannya dengan mengayun pedang dari samping.

Melihat gerakan ini, terkejutlah Cin Han, karena ini adalah ilmu pedang yang bukan sembarangan. Tadi ketika duduk menantikan Hek Li Suthai dengan isterinya, mereka berdua sudah tahu akan kedatangannya Lee Ing, akan tetapi oleh karena menghadapi urusan yang lebih besar, mereka mendiamkan saja tamu yang tak diundang itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa yang datang adalah gadis muda yang berusaha menyembunyikan dirinya.

Akan tetapi pada saat Lee Ing mengayunkan pedang, Cin Han melihat titik merah sebanyak dua buah di pergelangan gadis itu, hingga ia terkesiap.

“Baiklah kalau kau tidak mau memperlihatkan diri, akan tetapi biar kuobati lukamu yang berbahaya itu,” katanya.

Akan tetapi Lee Ing yang merasa malu dan gugup sekali, sudah meloncati tembok pekarangan itu dan berlari keluar. Cin Han mengejar dari belakang sambil berteriak-teriak,

“He, nona muda! Kau telah mendapat luka dengan Ang-jouw-ciam (Jarum Rumput Merah) dan kalau tidak segera diobati dalam tiga hari, jarum itu akan menjalar ke jantung dan kau akan mati.” Mendengar ucapan ini, Lee Ing terkejut sekali, akan tetapi ia tidak berani berhenti. Yang sangat ditakutinya ialah kalau-kalau Cin Han akan tahu bahwa ia adalah puteri Nyo Tiang Pek dan hal ini tentu saja akan membuat ibu dan ayahnya merasa malu sekali.

Ia memegang pedang di tangan kanan dan menggunakan tangan kiri untuk menjaga agar saputangan penutup mukanya jangan sampai terlepas, lalu berpaling sebentar. Ketika melihat bahwa Cin Han masih tetap mengejar dengan pedang di tangan, gadis itu berlari makin cepat lagi.

“Baiklah, baiklah! Aku takkan mengejarmu! Terimalah bungkusan ini, makanlah obat bubuknya dengan air, lalu urut-urutlah dengan keras urat di lengan tanganmu agar jarum itu dapat didesak keluar.”

Kembali Lee Ing berpaling dan ia melihat sebuah benda kecil putih menyambarnya. Ia hendak berkelit, akan tetapi mendengar kata-kata tadi ia ulurkan tangan kiri menyambuti dan benar saja, benda itu adalah bungkusan kertas kecil dan ia melihat bahwa Cin Han tidak mengejar. Lee Ing berlari terus sambil menggenggam bungkusan kertas itu.

Setelah jauh dan tiba di luar kota Tit-lee, ia berhenti sambil terengah-engah. Ia merasa malu sekali akan tetapi hatinya lega karena Cin Han tidak mendesaknya, karena kalau Hwee-thian Kim-hong sengaja hendak menangkapnya, biarpun ia dapat terbang ke langit tentu ia akan dapat dikejar. Ia teringat akan ucapan pendekar itu yang membingungkannya. Ia menderita luka?

Di bawah sinar bulan yang kadang-kadang tertutup mendung hitam tebal, ia memeriksa lengan kanannya dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa di pergelangan tangannya benar-benar terdapat dua bintik merah yang ketika dirabanya terasa sakit.

Ia lalu duduk di bawah sebatang pohon dan mengingat-ingat. Maka teringatlah ia akan ucapan Hek Li Suthai yang berkata bahwa jika usianya panjang maka ia akan dapat bertemu dengan to-kouw itu. Ah, tentu to-kouw siluman itu yang diam-diam melukainya dengan Ang-jouw-ciam ketika to-kouw itu merampas pedangnya di kuil itu dulu.

Ia segera menggulung lengan bajunya dan sambil meraba-raba ia dapat merasa bahwa jarum yang halus dan lihai itu telah menjalar sampai di bawah sikunya. Cepat ia membuka bungkusan obat pemberian Cin Han, dan pada saat itu terdengar petir menyambar-nyambar dan mendung yang hitam bergulung-gulung tadi kini berkumpul menjadi satu. Dengan mengeluarkan suara keras, angin besar datang bertiup dibarengi dengan hujan yang besar-besar.

Lee Ing lalu berteduh di bawah sebatang pohon dan mengambil air hujan dengan sehelai daun. Dicampurnya obat itu dengan air hujan lalu diminumnya sampai habis. Terasa hawa panas memasuki seluruh tubuhnya. Ia lalu duduk menanti redanya hujan di bawah pohon yang gelap itu sambil mengurut-urut lengannya.

Hujan turun makin deras dan kini bahkan datang angin badai yang keras hingga daun-daun pohon yang telah tua tertiup rontok menerbitkan suara berisik. Pakaian dan rambut Lee Ing basah kuyup, akan tetapi biarpun angin meniup kencang dan hawa udara menjadi dingin sekali, berkat obat bubuk pemberian Cin Han yang telah ditelannya, Lee Ing tidak merasakan dingin, bahkan hawa hangat di seluruh tubuhnya menjalar makin keras. Lengan di mana jarum rumput merah itu mengeram telah mulai terasa sakit ketika ia berhasil mengurut jarum itu dan mendorongnya mundur dan kembali ke luka di pergelangan tangannya. Jarum-jarum rumput yang melukainya ada dua buah dan dengan tekanan dua buah jari telunjuk dan jari tengah, perlahan-lahan ia dapat mendorong dua benda itu keluar.

Jidat gadis itu sampai berpeluh karena menahan sakit dan peluhnya bercampuran dengan air hujan turun membasahi mukanya. Akhirnya nampak ujung jarum yang warnanya merah itu tersembul keluar dari lubang kecil di pergelangan tangannya.

Lee Ing merasa girang bercampur gemas dan menggunakan kukunya untuk mencabut keluar jarum- jarum itu. Dengan hati-hati sekali ia membungkus kedua batang jarum rumput merah itu dengan sehelai saputangan dan menyimpannya. Kemudian turunkan kembali lengan bajunya yang tadi digulung ke atas.

Pada saat itu terdengar suara kaki kuda mendatangi dari jauh. Lee Ing cepat bersembunyi di balik batang pohon. Di dalam gelap ia melihat seorang penunggang kuda datang cepat sekali. Dan tiba-tiba dari jurusan lain datang pula dua orang penunggang kuda lain.

Terkejutlah Lee Ing ketika melihat bahwa penunggang kuda yang dua orang ini bukan lain ialah Hek Li Suthai dan muridnya, Bi Mo-li! Hati Lee Ing berdebar, penuh rasa kuatir dan gemas, akan tetapi ia tidak berani memperlihatkan diri dan hanya mengintai di antara daun-daun pohon.

Juga kedua to-kouw itu melihat kedatangan penunggang kuda yang melarikan kudanya cepat sekali itu. Mereka menahan kuda mereka dan menanti di tengah jalan.

Ketika penunggang itu telah datang dekat, Lee Ing melihat bahwa ia adalah seorang pemuda berpakaian hitam yang gagah sekali. Pemuda ini juga merasa heran melihat dua orang to-kouw yang naik kuda dan menghadang di tengah jalan itu maka dari jauh ia memperlambat larinya kuda dan segera menegur,

“Jiwi suthai diharap suka minggir!”

Hek Li Suthai waktu itu sedang marah dan mendongkol sekali karena kekalahan yang dideritanya dari suami isteri pendekar yang baru saja dikunjunginya, maka melihat pemuda ini ia bermaksud hendak mengganggunya untuk melampiaskan rasa mendongkolnya.

Sebaliknya Bi Mo-li ketika melihat wajah pemuda yang tampan sekali dan tubuhnya yang gagah, timbul pula keinginannya untuk mempermainkan. Akan tetapi ketika dua to-kouw itu melihat perhiasan kepala pemuda itu, mereka menjadi terkejut berbareng girang. Hek Li Suthai lalu bertanya.

“Pemuda di depan bukankah Ouw-yan-cu si Walet Hitam dan putera Ang Lian Lihiap?”

Pemuda ini memang benar Lo Sin yang baru saja kembali dari perjalanannya mencari Kong Sin Ek dan telah tertimpa hujan badai di jalan hingga ingin buru-buru sampai ke rumah. Mendengar pertanyaan ini, ia memandang dengan lebih teliti. Ketika melihat sikap kedua to-kouw ini dan melihat bahwa to-kouw yang tua mempunyai tai lalat di ujung hidungnya, hatinya bercekat.

“Apakah siauwte berhadapan dengan Hek Li Suthai?” tanyanya.

“Ha-ha-ha! Kebetulan sekali, agaknya Thian (Tuhan) telah membantu kami hingga kebetulan sekali pinni bertemu dengan kau! Ha-ha! Ouw-yan-cu, bersedialah untuk mati di tangan pinni!” Sambil berkata demikian, to-kouw tua itu meloloskan pedang dan kebutannya, juga Bi Mo-li mencabut pedangnya!

Lee Ing ketika mendengar bahwa pemuda ini adalah putera Ang Lian Lihiap, memandang dengan penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali. Jadi inikah putera mereka itu? Kelihatannya memang gagah perkasa! Akan tetapi dapatkah pemuda itu melawan Hek Li Suthai yang lihai?

Diam-diam ia merasa kuatir sekali akan keselamatan pemuda itu, akan tetapi apa dayanya? Kalau ia keluar membantu, itu berarti hanya akan mencari bencana saja, maka ia hanya menonton dan tak terasa lagi keluar dari balik pohon.

Lo Sin maklum bahwa musuh orang tuanya ini tentu takkan memberi ampun, maka iapun cepat mencabut pedang yang tergantung di punggungnya, lalu berkata dengan gagah.

“Hek Li Suthai, kaukira aku yang muda takut kepadamu?”

Hek Li Suthai didahului oleh muridnya oleh karena Bi Mo-li hendak membalas kekalahannya terhadap Ang Lian Lihiap tadi dan ia kira bahwa betapapun juga pemuda ini tak mungkin memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi ia salah duga karena ketika ia memajukan kudanya menyerang, terdengar Ouw- yan-cu berseru keras dan tahu-tahu tubuh pemuda itu telah melayang dari atas kudanya dan siap sedia menghadapi pertempuran mati-matian!

Melihat gerakan pemuda ini, Hek Li Suthai maklum bahwa muridnya bukanlah lawan pemuda itu yang memiliki kegesitan dan gin-kang seperti ibunya, maka to-kouw tua itupun lalu melompat turun diikuti oleh Bi Mo-li.

03.07. Gadis Kehujanan di Bawah Pohon

Sekali lagi Bi Moli menerjang dengan pedangnya, akan tetapi sekali memutar pedang menangkis, Bi Mo-li merasa telapak tangannya sakit sekali dan hampir saja pedangnya terlepas! Ia terkejut dan jerih, lalu mundur membiarkan gurunya menghadapi pemuda yang gagah perkasa itu.

Hek Li Suthai tidak tahu bahwa Lo Sin telah mewarisi kepandaian kedua orang tuanya hingga kepandaian pemuda ini lihai sekali, oleh karena dari ayah dan ibunya ia mendapat gemblengan secara bergantian hingga ia memiliki tenaga besar dan ketenangan ilmu silat ayahnya dan memiliki kelincahan dan gin-kang dari ibunya. Bahkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut telah ia pelajari dengan sempurna, hingga kalau hendak dibandingkan dengan kepandaian ayah atau ibunya, mungkin ia takkan berada di bawah tingkat mereka. Hal ini tentu saja sama sekali tak pernah disangka oleh Hek Li Suthai, dan setelah ia menyerang dan bentrok dengan pemuda itu, barulah ia mengeluh di dalam hati karena ternyata bahwa gerakan pemuda ini gesit luar biasa dan tenaga lweekangnya amat dahsyat.

Mereka berdua bertempur dengan sengit dan ramainya di dalam hujan badai itu dan perlahan-lahan Lo Sin dapat mendesak lawannya dan mengurung to-kouw tua itu dengan ilmu pedangnya. Diam- diam pemuda ini berpikir bahwa to-kouw ini tentu telah bertemu dengan orang tuanya dan telah dikalahkan, kalau tidak, tentu ia takkan meninggalkan Tit-lee. Kalau orang tuanya melepaskan to- kouw ini tanpa melukainya, maka iapun tidak mau menurunkan tangan jahat.

Setelah berpikir demikian, ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Naga Sakti Mandi di Api, yakni ilmu pedang yang tadi telah digunakan oleh Ang Lian Lihiap dan yang membuat Hek Li Suthai merasa pusing dan bingung. Kini menghadapi pemuda yang menjalankan ilmu pedang itu sama baiknya dengan permainan Ang Lian Lihiap, untuk kedua kalinya Hek Li Suthai dibikin pusing dan bingung hingga gerakannya menjadi lemah dan ilmu pedangnya kalang kabut.

Pada saat yang tepat, Lo Sin mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan kanan to-kouw itu hingga pedang yang dipegangnya terlempar ke atas tanah. Hek Li Suthai memang tidak mempergunakan sepasang pedangnya, oleh karena tadinya ia memandang ringan kepada Lo Sin.

“Hek Li Suthai, pungutlah pedangmu dan jangan mengganggu aku lebih jauh. Kau mempunyai urusan dengan kedua orang tuaku, kalau kau memang berani, mari ikut aku dan bertemu dengan mereka!” kata Lo Sin sambil melompat ke atas kudanya pula.

Hek Li Suthai tidak menjawab, dan dengan hati panas terbakar ia menyuruh muridnya mengambil pedangnya yang terlempar itu, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu melompat ke atas kudanya, diturut oleh muridnya dan kedua pendeta wanita itu mengaburkan kuda cepat-cepat dari tempat itu. Hati dan perasaan mereka pada saat itu hanya setan yang tahu!

Lo Sin tertawa bergelak, lalu memajukan kudanya hendak melanjutkan perjalanan pulang. Akan tetapi, tiba-tiba ia melihat Lee Ing yang masih berdiri di bawah pohon. Melihat seorang gadis muda yang cantik berdiri dengan pakaian basah, kuyup di bawah pohon, Lo Sin merasa heran dan menghentikan kudanya lalu maju mendekati.

“Eh, nona kau sedang bekerja apa di situ?” tegurnya karena mengira bahwa gadis itu tentu gadis kampung di dekat situ.

Akan tetapi setelah datang dekat Lo Sin tercengang melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya dengan pakaian yang indah pula, sayang bahwa pakaian dan rambutnya basah kuyup, walaupun hal ini tidak mengurangi kecantikannya.

“Aku…… sedang berteduh dari hujan,” jawab Lee Ing gagap karena tak menyangka akan terlihat dan akan ditanya.

Lo Sin merasa kasihan. “Kalau kau suka, mari kuantar pulang, nona.” Ucapan ini sebenarnya adalah sewajarnya, timbul dari hati yang mengandung iba dan kuatir kalau- kalau gadis itu yang berada seorang diri di situ akan bertemu dengan orang jahat dan akan terserang penyakit karena kehujanan dan kedinginan.

Akan tetapi, bagi Lee Ing ucapan ini terdengar kurang ajar sekali, dan berubahlah pandangannya terhadap Lo Sin. Pemuda ini memang gagah perkasa dan pantas menjadi putera Ang Lian Lihiap, akan tetapi mengapa sikapnya begini ceriwis? Apalagi kalau diingat bahwa dia sudah beristeri!

Marahlah hati Lee Ing dan ia menjawab dengan ketus.

“Apakah kau hendak menggunakan kegagahanmu untuk menghina seorang gadis?”

Melihat kegalakan gadis ini, Lo Sin tersenyum dan ia bahkan melompat turun dari kudanya karena merasa penasaran.

“Eh, eh, mengapa menjadi marah? Kau siapakah, nona?” Kini ia melihat makin jelas wajah gadis itu, biarpun keadaan di situ gelap.

“Perlu apa kau tahu siapa aku? Akupun tidak perduli seujung rambut siapa adanya kau! Pergilah dan jangan mengganggu aku!”

Lo Sin makin merasa penasaran, bahkan agak marah karena melihat sikap permusuhan yang tiada alasan dari gadis itu, Maka tertarik hatinya untuk mengetahui siapa adanya orang ini.

“Nona, aku hanya bermaksud menolongmu. Kau kedinginan dan pakaianmu basah kuyup, mari kuantar pulang agar kau tidak menderita sakit. Pulanglah dan berganti pakaian kering.”

Melihat desakan Lo Sin, makin teballah sangkaan Lee Ing bahwa pemuda ini benar-benar ceriwis dan mata keranjang. Hatinya makin gemas dan marah, bercampur kecewa yang entah disebabkan oleh apa, dia sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba hatinya menjadi tidak karuan dan ingin marah kepada putera Ang Lian Lihiap yang tampan, gagah, dan berkepandaian tinggi ini.

“Keadaanku mempunyai sangkut-paut apakah dengan kau? Biar aku mati kedinginan di sini, kau tak perlu ikut campur!” Setelah berkata demikian, Lee Ing lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi.

Lo Sin tiba-tiba merasa terkejut karena baru sekarang ia melihat sebatang pedang tergantung di pinggang nona itu. Ia hendak mengejar dan belajar kenal karena menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang gagah, akan tetapi Lee Ing telah melompat dan berlari cepat sekali di dalam gelap!

Lo Sin menghela napas. Ia merasa sayang sekali tak dapat berkenalan dengan dara jelita itu yang secara aneh sekali telah dapat menarik perhatiannya.

Padahal biasanya ia tidak mengacuhkan gadis cantik, bahkan kalau orang tuanya membicarakan tentang gadis-gadis cantik untuk dipilih sebagai isterinya, ia merasa sebal dan marah. Kini, gadis yang berdiri seorang diri di bawah pohon dan yang muncul secara aneh sekali, telah berhasil menarik hatinya. Ia lalu melompat ke atas kudanya dan berlari pulang. Lian Hwa dan Cin Han, kedua suami isteri pendekar itu menyambutnya dengan girang dan ketika mendengar penuturan Lo Sin tentang Hek Li Suthai, Cin Han menghela napas.

“Hm, to-kouw itu tentu akan melatih diri lebih hebat lagi. Siapa tahu, ia akan bersekutu dengan orang-orang pandai yang berhati jahat untuk mencari permusuhan dengan kita.”

“Biar dia mendatangkan bala bantuan, asal kita berada di pihak benar, mengapa harus takuti dia?” kata Ang Lian Lihiap dengan penuh semangat, hingga Lo Sin memandang kepada ibunya dengan kagum.

“Lo Sin, bagaimana dengan keadaan si Dewa Arak?” Cin Han bertanya setelah Lo Sin mengganti pakaiannya dengan pakaian kering.

Lo Sin lalu menceritakan pengalaman dan perjalanannya. Agar supaya lebih jelas, baiklah kita ikuti sendiri perjalanan Lo Sin ketika mengunjungi Kong Sin Ek si Dewa Arak di Bukit Pek-ma-san di daerah utara.

Ketika menerima surat dari Nyo Tiang Pek yang mengabarkan bahwa Kong Sin Ek telah meninggal dunia karena sesuatu penyakit, hati Lo Sin berkuatir sekali. Ia belum mau mempercayai berita ini dan hatinya yang amat sayang kepada orang tua itu membuat ia tak dapat menahan diri lagi dan atas perkenan orang tuanya, pada keesokan harinya ia lalu berangkat ke utara.

Lo Sin mempunyai seekor kuda yang berbulu putih dan bagus sekali, akan tetapi juga tinggi besar dan kuat hingga dapat berlari cepat tanpa berhenti untuk setengah hari lamanya. Kuda ini adalah pemberian ayahnya dan diberi nama Pek-liong atau Naga Putih.

Lo Sin menunggang kudanya ini dalam perjalanannya menuju ke utara, kalau ia melarikan kudanya terus tanpa ada aral melintang, paling lama tiga hari saja ia sudah bisa sampai di Pek-ma-san tempat tinggal Si Dewa Arak. Akan tetapi, terjadi sebuah peristiwa di tengah jalan yang memperlambat perjalanannya.

Ketika pada keesokan harinya ia tiba di kota Long-men di waktu senja, Lo Sin yang melarikan kudanya cepat sekali, hampir saja bertabrakan, di sebuah tikungan dengan tiga orang penunggang kuda lain.

Pertemuan antara kudanya dan kuda orang yang berada di tengah, terjadi demikian tiba-tiba dan tabrakan hampir tak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi Pek-liong adalah seekor kuda yang tangkas dan kuat. Tiba-tiba saja karena kedutan kendali yang dilakukan oleh lo Sin, kuda itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya sambil meringkik keras.

Kuda yang menubruk dari depan tidak mampu menahan kelajuan larinya dan terus menyeruduk ke depan, akan tetapi Lo Sin telah membungkuk dan mengulurkan tangan kanannya dan dengan tangkas dan cepat ia berhasil mendorong dada kuda yang hendak menubruk itu.

Dorongan ini kuat dan hebat sekali hingga kuda yang menubruk itu seakan-akan menabrak palang besi hingga terguling ke kiri. Penumpangnya, seorang laki-laki berusia kurang-lebih empatpuluh tahun, ternyata pun bukan orang sembarangan. Dengan gerak tipu Burung Hong Terbang Melayang, ia dapat melompat turun dari kudanya dan berdiri di atas tanah dengan selamat, akan tetapi wajahnya menjadi pucat, oleh karena kalau ia sampai ikut terbanting di atas kudanya, tentu setidaknya ia akan mendapat luka.

Lo Sin cepat melompat turun dari kudanya dan dengan hormat ia menjura kepada tiga orang itu yang kesemuanya juga sudah melompat turun dari atas kuda.

“Sam-wi twako, harap maafkan padaku yang tidak sengaja telah mengagetkan sam-wi (tuan bertiga).”

Tiga orang itu berpakaian sebagai piauwsu (tukang pengawal barang berharga yang dikirimkan). Orang yang hampir terbanting dari kudanya itu dengan muka merah memandang kepada Lo Sin yang berpakaian seperti anak sekolah.

Lo Sin memang memakai sebuah pakaian yang panjang dan lebar seperti yang biasa dipakai oleh para pelajar. Hanya pakaian pelajar dan pakaian ringkas warna hitam yang disukai dan sering dipakai oleh Lo Sin. Di waktu siang, apabila tak sedang mengurus sesuatu yang memerlukan tenaganya, ia lebih suka berpakaian sebagai seorang siucai (pelajar).

Orang itu menuding dengan marah. “Siucai! Kalau aku tadi sampai terbanting dan mendapat luka, kau harus mengganti dengan jiwamu!”

Lo Sin tersenyum dan menjura kepada orang itu “Twako, harap kau memberi maaf karena aku tidak sengaja.”

Orang itu masih marah dan hendak membuka mulut pula, akan tetapi orang pertama dari ketiga piauwsu itu yang berusia kurang lebih limapuluh tahun dan berwajah sabar, mengangkat tangan dan berkata.

“Sun-te (adik Sun), bersabarlah.” Kemudian ia membalas pemberian hormat Lo Sin dan berkata, “Harap kau sama-sama memaafkan kami, kongcu (tuan muda). Sebetulnya kami juga bersalah karena jalan kecil ini penuh oleh kuda kami yang lari berendeng. Baiknya kau lihai sekali dan gerakanmu It- chiu-pai-san (Dengan Satu tangan Mendorong Bukit) tadi sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali.”

Lo Sin terkejut. Tidak tahunya piauwsu tua ini bermata tajam dan dapat melihat gerakan tangannya yang mendorong dada kuda itu.

“Lopeh, aku adalah seorang siucai yang lemah, mana aku mengerti tentang segala gerakan mendorong bukit.”

Piauwsu tua itu tersenyum dan ketika melihat perhiasan di kepala Lo Sin yang berupa burung walet hitam, wajahnya menjadi terheran dan jelas kelihatan bahwa ia terkejut. Dengan sangsi ia lalu berkata,

“Kongcu, kalau mataku yang sudah tua ini tidak salah melihat, bukankah kau ini Ouw-yan-cu si Walet Hitam yang termashur?” Lo Sin makin tercengang, akan tetapi ia lalu teringat akan perhiasan di atas kepalanya, maka dengan hati sebal ia lalu mencabut perhiasan itu dan dimasukan ke dalam saku bajunya yang lebar!

Piauwsu tua itu tertawa bergelak lalu menjura dengan hormat sekali.

“Tai-hiap, terhadap kami, kau tak perlu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya! Bolehkah bertanya, taihiap hendak pergi kemanakah?”

“Lo-enghiong, tak kusangka bahwa kau memiliki pandangan mata yang luar biasa tajamnya. Memang benar, aku adalah Lo Sin yang disebut orang Ouw-yan-cu, dan aku hendak pergi ke Pek-ma-san mengunjungi seorang sahabat tua.”

“Taihiap bukankah kau hendak mengunjungi si Dewa Arak?”

“Eh, bagaimana lo-enghiong dapat mengetahui? Memang benar, aku hendak menengok orang tua itu. Kenalkah kau kepadanya?”

Piauwsu tua itu menghela napas. “Taihiap, perkenalkanlah kami adalah tiga piauwsu dari Long-men dan aku sendiri adalah ketuanya. Perusahaanku adalah Sam-eng Piauwkiok dan kami bertiga dikenal sebagai Long-men Sam-eng (Tiga Pendekar dari Long-men). Aku kenal baik pada Kong-cianpwe (Orang Tua Gagah she Kong), bukan kenal saja bahkan sehingga kini aku dapat memimpin perusahaanku adalah berkat pertolongan Kong-cianpwe yang berkali-kali.”

“Tiap kali aku mendapat kesukaran di jalan, selalu Kong-cianpwe yang membantuku. Kali inipun kami bertiga mengharapkan bantuannya dan baru saja kami kembali dari Pek-ma-san, akan tetapi celaka, orang tua itu tak dapat membantu.”

Piauwsu tua itu menghela napas dan wajahnya menjadi berduka sekali. “Kali ini, aku Lie Kwan, dan kedua adikku ini, Lie Sun dan Lie Tiong, terpaksa mengerahkan tenaga sendiri untuk menjaga nama piauwkiok kami.”.

Lo Sin terkejut sekali mendengar ini dan ia tidak pedulikan urusan mereka bertiga karena perhatiannya dicurahkan kepada keadaan Kong Sin Ek. “Dia kenapakah? Bagaimana keadaannya?” tanyanya dengan penuh kuatir.

Lie Kwan kembali menghela napas. “Entahlah, taihiap ketika kami datang di sana, kami melihat Kong- cianpwe duduk di dalam guanya sambil bersamadhi. Tubuhnya Kurus kering, pakaiannya tak karuan macamnya, compang-camping wajahnya pucat sekali. Kami bertanya mengapa keadaannya demikian rupa, akan tetapi ia hanya menggelengkan kepala saja.

“Ketika kami menawarkan bantuan untuk memanggil ahli obat, iapun menggelengkan kepala. Akhirnya kami menyatakan tentang kesukaran kami, dan dia membuka matanya dan berkata bahwa menyesal sekali dia tidak dapat menolong kami dan selanjutnya menyuruh kami segera pergi.”

Mendengar ini teringatlah Lo Sin bahwa ketiga piauwsu yang menjadi kenalan baik Kong Sin Ek ini sedang menghadapi kesukaran, maka bertanyalah dia. “Sam-wi kesukaran apakah yang kalian hadapi? Mungkin aku dapat mewakili Kong-lopek untuk menolongmu.”

Biarpun kedua adiknya masih memperlihatkan muka sangsi dan ragu-ragu karena mereka belum percaya akan kelihaian Lo Sin, namun Lie Kwan nampak gembira sekali dan sebelum menceritakan kesukarannya, berkali-kali ia menjura dan mengangguk-anggukkan kepala menyatakan terima kasihnya.

“Apalagi kesukaran yang timbul bagi seorang piauwsu?” akhirnya ia mulai menuturkan dengan singkat. “Seperti biasa, kali inipun barang antaran yang dipercayakan kepada kami telah dirampas orang jahat. Yang mengawal adalah adikku Lie Tiong ini. Akan tetapi kali ini yang merampas bukanlah orang sembarangan, karena dia adalah perampok wanita tunggal yang berjuluk Kim-gan-eng (Garuda Bermata Emas) dan bernama Coa Bwee Hwa.”

Lo Sin mengangguk-angguk. “Sudah lama aku mendengar nama ini, akan tetapi selanjutnya bagaimana?”

“Celakanya bahwa perampok wanita ini bukan sengaja menginginkan harta benda yang kami kirimkan, akan tetapi sengaja mengganggu kami oleh karena seorang sahabatnya, yakni kepala perampok yang bernama Giam Cong pada sebulan yang lalu pernah merampok kami dan dapat kami lukai. Dia sengaja datang hendak membalaskan sakit hati kawannya itu.

“Kami pernah bertemu dengan Kim-gan-eng dan pernah menyaksikan kelihaiannya, maka kami tahu bahwa kami bertiga takkan dapat menangkan dia. Dia tidak mengganggu adikku, hanya memesan bahwa apabila kami menghendaki kembalinya barang-barang itu kami harus datang bertiga mengambilnya sendiri dalam hutan di selatan itu.

“Kami hendak minta pertolongan Kong-cianpwe, akan tetapi karena orang tua itu tak dapat membantu, terpaksa kami memberanikan diri dan pergi sendiri. Maka kalau taihiap sudi mencapaikan diri membantu kami, alangkah girangnya hati kami dan budi ini tentu takkan kami lupakan oleh karena barang berharga itu adalah milik seorang pembesar dan kalau tidak dapat dirampas kembali, akan berarti hancurnya perusahaan kami bahkan kami tentu ditangkap dan dijatuhi hukuman!”

“Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga,” kata Lo Sin.

Mereka berempat lalu menuju ke selatan, hingga Lo Sin kembali ke jalan yang dilalui tadi. Setelah melalui kurang lebih tigapuluh lie mereka membelok ke kanan dan memasuki sebuah hutan yang liar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar