Si Teratai Merah (Ang-lian Li-hiap) Jilid 10

Jilid 10

Maka naiklah Song Cu Ling ke Kong-hwa-san menemui Gwat Liang Tojin. Kebetulan sekali pada waktu tiba di situ, Gwat Liang Tojin sedang menerima seorang tamu yang bukan lain adalah Nyo Tiang Pek.

Pemuda yang rajin ini sedang mengajukan permohonan kepada Gwat Liang Tojin untuk membantunya di dalam serbuan ke Pek-lian-kauw nanti! Maka, melihat kedatangan jago wanita tua itu, Nyo Tiang Pek yang pandai bergaul dan pandai berbicara itu sekalian mohon bantuannya! Karena baik Gwat Liang Tojin maupun Song Cu Ling adalah pendekar-pendekar yang berhati budiman dan mencinta negara, mereka meluluskan permintaan Tiang Pek. Ketika mendengar dari Nyo Tiang Pek bahwa Cin Han pergi seorang diri ke sarang Pek-lian-kauw dan bahwa Lian Hwa juga pergi tanpa pamit dan mungkin menyusul pemuda itu ke sarang Pek-lian-kauw, kedua guru itu merasa khawatir sekali dan mereka lalu menyusul!

Di tengah perjalanan Song Cu Ling mengutarakan usulnya untuk menjodohkan pemuda itu dan Lian Hwa. Gwat Liang Tojin sudah banyak mendengar nama Ang Lian Lihiap sebagai pendekar wanita yang gagah dan berbudi. Tapi karena belum pernah bertemu muka, ia menunda keputusannya, sampai nanti setelah ia melihat sendiri gadis itu.

Demikianlah maka kedua pendekar tua ini bisa sampai di sarang Pek-lian-kauw pada waktu yang tepat dan berhasil menolong kedua murid mereka. Tentu saja dalam menceritakan pengalaman mereka, kedua guru itu tidak menyebut-nyebut tentang maksud mereka menjodohkan kedua murid itu.

Han Lian Hwa mendengarkan cerita gurunya sambil memeluk dan memegang-megang tangan Song Cu Ling dengan sikap kekanak-kanakan dan manja. “Bagaimana dengan adik Kong Liang dan Mei Ling, subo? Teecu sudah kangen sekali,” katanya dengan wajah berseri-seri.

Cin Han diam-diam girang mendengar bahwa Giok Lie telah menjadi murid wanita gagah itu. Mulai sekarang gadis yatim piatu itu dapat menjaga diri sendiri.

Setelah melihat dengan mata kepala sendiri betapa cantik dan menarik gadis itu dan tadi telah disaksikannya sendiri kiam-hoat Lian Hwa yang lihai hingga memang gadis itu tepat dan pantas sekali menjadi isteri muridnya, Gwat Liang Tojin diam-diam memberi isyarat kepada Song Cu Ling dengan sebuah anggukan kepala dan tersenyum tanda setuju!

Song Cu Ling mengerti isyarat ini, maka ditariknya tangan Lian Hwa keluar dari bio itu. Lian Hwa merasa heran, tapi sambil tertawa ia menurut saja. Setelah sampai di luar kelenteng, Song Cu Ling menarik muridnya duduk di atas lantai batu.

“Lian Hwa, berapakah usiamu sekarang?”

“Sembilanbelas tahun. Mengapa subo bertanya demikian?”

Song Cu Ling tertawa, “Tidak apa-apa, muridku. Hanya saja, aku dulu pada usia tujuhbelas tahun sudah dikawinkan.”

Ang Lian Lihiap terkejut sekali, ia menggigit bibirnya dan menunduk, tidak berani berkata apa-apa.

Gurunya memegang lengannya yang halus. “Lian, ada orang yang menyampaikan peimintaan kepadaku dengan maksud melamar kau.”

Lian Hwa memandang muka gurunya. Kulit mukanya merah. “Coba katakan siapa dia yang kurang ajar itu? Biar kupukul mulutnya yang lancang.”

“Sstt! Yang melamar adalah Gwat Liang Tojin dan Gan Keng Hiap, untuk Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han.” Tiba-tiba muka Lian Hwa yang sudah memerah itu menjadi makin merah sampai ke telinga- telinganya, kini bukan merah karena marah.

“Dia……? Dia……?”

Song Cu Ling memandang muridnya dengan wajah berseri-seri dan senyum menggoda. Ia merasa beruntung dan girang bahwa ternyata benar seperti dugaannya, nama pemuda itu merupakan panah asmara yang menembus jantung hati Lian Hwa.

Untuk sejenak Lian Hwa menatap wajah gurunya, kemudian tiba-tiba memeluk gurunya sambil menyembunyikan mukanya ke dada wanita itu. Song Cu Ling merasa betapa air mata yang hangat membasahi bajunya dan menembus ke kulitnya.

Ternyata Lian Hwa telah menangis, menangis tersedu-sedu dan tubuhnya bergoyang-goyang karena isak tangisnya. Song Cu Ling merasa sangat terharu dan sambil memeluk muridnya, iapun ikut menangis pula!

Sementara itu, di dalam kelenteng itupun terjadilah hal sama. Setelah guru dan murid wanita itu keluar, Gwat Liang Tojin memberitahukan muridnya bahwa ia dan Song Cu Ling, juga Gan Keng Hiap, telah bermufakat untuk menjodohkan ia dengan Lian Hwa.

Ketika Cin Han mendengar berita yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini tak tahu harus berkata apa dan bersikap bagaimana. Wajahnya memerah dan dadanya berdebar-debar. Sampai lama ia tidak dapat menjawab gurunya. Setelah tiga kali Gwat Liang Tojin bertanya, “Bagaimana pikiranmu, Han?”

Ia hanya dapat mengangguk-angguk saja!

Gwat Liang Tojin tersenyum lalu berkata, “Nah, kesinikan po-kiammu itu.”

Cin Han meloloskan sarung pedangnya dan memberikan itu kepada gurunya dengan hormat. Gwat Liang Tojin membawa pedang itu keluar di mana ia melihat Lian Hwa masih terisak-isak di dada gurunya!

Diam-diam pertapa itu menghela napas dan berbisik, “Ahh perempuan pandainya menangis saja!”

Tapi ia merasa heran dan khawatir juga melihat kedua orang itu bertangis-tangisan. Baru hatinya menjadi lega kembali ketika Song Cu Ling berpaling kepadanya dan mengangguk kepadanya sebagai tanda bahwa urusan telah beres!

Lian Hwa melihat Gwat Liang Tojin menjadi makin malu dan tidak berani memandang. Maka ketika gurunya minta Sian-liong-kiamnya ia meloloskan pedang itu dengan kedua tangan gemetar!

“Nah, kedua po-kiam telah ditukar sebagai lambang tertukarnya dua hati,” kata Song Cu Ling seperti berdoa.

“Semoga kedua po-kiam menjadi saksi dan berkah bagi pertunangan ini,” kata Gwat Liang Tojin yang betul-betul berdoa. Setelah menerima pedang Cin Han dari Gwat Liang Tojin sebagai tukaran pedang Lian Hwa, Song Cu Ling memberikan pedang Kong-hwa-kiam itu kepada Lian Hwa. Tapi Lian Hwa menunduk saja sambil ujung matanya mengerling ke arah Gwat Liang Tojin tanpa memandang mukanya. Ia malu kalau harus menerima pedang Cin Han dihadapan orang tua itu.

Gwat Liang Tojin yang berpengalaman tertawa bergelak lalu kembali memasuki bio.

Setelah Gwat Liang Tojin pergi, Lian Hwa menerima pedang itu dari tangan gurunya dan memandang ukiran burung Hong di sarung pedang dengan mesra.

Song Cu Ling tertawa gembira.

“Lian Hwa, kudoakan semoga kau kelak hidup berbahagia sampai di hari tua dengan suamimu……” dan tiba-tiba pendekar wanita tua ini memalingkan mukanya karena ia merasa air matanya hendak menetes keluar ketika ia teringat akan nasib sendiri yang ditinggal mati oleh suami di waktu muda.

“Subo, ijinkan teecu kembali lebih dulu ke Lam-hu-teng.” Dan tanpa menanti jawaban, Lian Hwa bertindak pergi.

“Anak pemalu! Baiklah, kita akan berjumpa lagi lain bulan malam kelimabelas!” jawab gurunya dengan mulut tertawa tetapi mata menangis.

Kemudian Song Cu Ling memasuki bio dan ia minta diri dari Gwat Liang Tojin untuk pulang ke rumah Gan Keng Hiap yang ditinggalkannya seminggu lebih dan berjanji hendak datang berkumpul lain bulan malam kelimabelas. Si Dewi Tanpa Bayangan yang sudah cukup berpengalaman itu dapat menangkap sinar mata Cin Han yang mencari-cari, maka ia berkata dengan senyum.

“Lian Hwa telah kembali ke Lam-hu-teng dan minta aku sampaikan maaf karena tidak sempat berpamit.”

Cin Han merasa tergoda, maka ia buru-buru mohon agar nyonya tua itu menyampaikan hormatnya kepada paman dan bibinya.

Setelah Song Cu Ling pergi, Gwat Liang Tojin berkata, “Nah, muridku, sekarang kitapun harus berpisah. Aku melihat kedudukan Pek-lian-kauw kuat sekali. Baru Bong Cu saja sudah sukar dilawan. Apalagi kalau ia berhasil membujuk sucinya turun gunung.”

“Siapakah sucinya, suhu?”

“Sucinya adalah Sin-kun Mo-li Lan Bwee Niang-niang si Iblis Perempuan Kepalan Dewa. Iblis perempuan ini lihai sekali dan ilmu-ilmu yang dahsyat dari Bong Cu didapatkan dari sucinya ini.”

Cin Han diam-diam merasa ngeri juga mendengar lawan-lawan berat ini. “Maka tidak ada jalan lain bagi kita selain minta bantuan dari orang-orang berilmu tinggi. Tiang Pek sicu sudah kuberi nasihat untuk mendatangi Kun-lun-san. Aku sendiri hendak mencari Beng San supek. Aku pergi sekarang, muridku, bertemu lagi bulan depan.”

Guru dan murid itu berpisah, Cin Han berpikir lebih baik ia kembali ke Lam-hu-teng untuk berkumpul dengan Nyo Tiang Pek. Apalagi kalau ia pikir bahwa “tunangannya” pun berada di sana. Ia merogoh ke dalam saku bajunya sebelah dalam dan mengeluarkan sebuah teratai merah. Barang ini adalah perhiasan Ang Lian Lihiap yang dulu dilempar oleh gadis itu ketika kalah bertempur olehnya.

Sejak teratai merah itu berada di tangannya, tak pernah ia lepaskan dari saku bajunya. Ia memandang teratai merah itu dan memegang-megang pedang Sian-liong-kiam yang kini tergantung di pinggangnya. Hatinya senang dan gembira sekali. Inikah kebahagiaan?

Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa yang malam itu juga meninggalkan gurunya dan pergi menuju ke Lam- hu-teng, di sepanjang jalan merasa hatinya senang luar biasa. Bulan yang mengintai di balik awan tampak lebih bercahaya dan seakan-akan tersenyum manis kepadanya. Segala apa yang terlihat di sekitarnya tampak indah menyenangkan.

Berkali-kali ia mengambil pedang Kong-hwa-kiam dan menempelkan sarung pedang indah berlukiskan burung Hong itu ke dadanya. Kemudian karena dorongan hatinya, ia mencabut pedang Cin Han itu dari sarungnya dan bersilat pedang di bawah sinar bulan purnama. Pedang Kong-hwa-kiam berkilat- kilat dan merupakan segulungan sinar putih membungkus dirinya ketika ia memainkan Sian-liong- kiam-hwatnya yang hebat.

Ketika ia tiba di kelenteng di luar kota Lam-hu-teng, kebetulan sekali Nyo Tiang Pek dan Kong Sin Ek telah berada di situ, baru saja datang kembali dari perjalanan mereka mencari bantuan. Girang sekali hati si Garuda Kuku Emas melihat gadis itu.

“Eh, Lian-moi pergi ke mana saja? Kami sampai pusing dan khawatir sekali memikirkanmu,” tegurnya.

Lian Hwa lalu menceritakan pengalamannya di sarang Pek-lian-kauw dan menceritakan pula betapa Gwat Liang Tojin dan Song Cu Ling menolong dia dan Cin Han dari bencana. Entah bagaimana tiap kali menyebut nama tunangannya, hatinya berdebar dan pipinya memerah! Nyo Tiang Pek mengerutkan jidat dengan hati cemas mendengar tentang kelihaian pihak lawan, tapi ia girang mendengar bahwa kedua orang tua itu hendak mencari bantuan.

Tiba-tiba Kong Sin Ek yang selalu bermata tajam dapat melihat pedang Cin Han tergantung di pinggang Lian Hwa.

“Eh, eh! Lihiap sudah berganti pedang? Kalau tidak salah, ini adalah pedang Hwee-thian Kim-hong? Mengapa Lihiap yang membawa dan Sian-liong-kiammu di mana?”

Nyo Tiang Pek pun merasa heran dan mengajukan pertanyaan.

Lian Hwa merasa begitu malu sehingga ia ingin bumi yang diinjaknya terbelah agar ia dapat meloncat ke dalam dan bersembunyi! Ia hanya tersenyum-senyum malu dan menundukkan kepala. Nyo Tiang Pek yang masih muda tidak segera dapat mengerti, tapi Kong Sin Ek tiba-tiba menepuk- nepuk tangannya dan tertawa senang. “Ah…… hal ini harus dirayakan dengan arak!” Dan si Dewa Arak ini lalu menenggak guci araknya. Kemudian sambil tertawa dan keringkan mulut dengan lengan bajunya, ia menjura kepada Lian Hwa, “Lihiap, kiong-hi, kiong-hi……”

Lian Hwa terpaksa balas memberi hormat kepada orang tua itu dan mukanya makin memerah.

Nyo Tiang Pek dengan heran dan girang maju memegang pundak Lian Hwa. “Adikku…… betulkah ini? Betulkah kau saling mengikat janji dengan Cin Han dan bertukar po-kiam?”

Lian Hwa, terpaksa dengan tunduk dan wajah kemerah-merahan menceritakan tentang pertunangannya dengan Cin Han yang diselenggarakan oleh kedua guru itu.

“Lian-moi, selamat…… selamat! Cin Han memang pantas menjadi calon suamimu. Aku girang sekali, adikku!”

Merasa dirinya digoda, Lian Hwa cemberut dan memandang wajah Nyo Tiang Pek dengan marah.

“Sudahlah jangan marah, Lian-moi! Mari kita rundingkan urusan yang menjadi kewajiban kita. Aku telah pergi ke Kun-lun-san, tapi ketua Kun-lun-pai hanya menyanggupi untuk menjadi pendamai saja dan, akan menyuruh Lui Siok Totiang mewakilinya. Kurasa, karena keadaan lawan demikian lihai, lebih baik kita pergi mencari bantuan lain agar kedudukan kita kuat.”

“Kau benar, Nyo-taihiap. Aku hendak pergi ke utara mencari beberapa orang kawan,” kata Ciu-hiap Kong Sin Ek.

“Ya, dan akupun hendak mencari suhu yang kabarnya berada di Lun-an. Dan kau, adikku, kalau kau belum banyak berkenalan dengan orang-orang kang-ouw, lebih baik kau menjadi penyelidik saja.”

“Penyelidik? Aku tidak mengerti maksudmu, twako.”

“Begini, kalau orang hendak pergi ke sarang Pek-lian-kauw, ia tentu akan melalui kampung Gu-lok- chung. Nah, kautinggallah di sana, lihat saja siapa yang naik ke Bukit Hong-lai-san untuk membantu Pek-lian-kauw, agar kita lebih waspada.”

“Baik, twako.”

“Tapi kau harus menyamar menjadi laki-laki agar jangan menimbulkan kecurigaan orang.”

Setelah menyiapkan pakaian dan lain-lain keperluan penyamaran, Lian Hwa merobah diri menjadi seorang kongcu yang tampan sekali, lalu berangkat ke Gu-lok-chung.

Kemudian Nyo Tiang Pek dan Kong Sin Ek berangkat untuk mencari bantuan. Mereka sejurusan dan berangkat bersama-sama. Baru saja mereka keluar dari kota Lam-hu-teng, mereka bertemu dengan Cin Han yang hendak ke kota itu. Nyo Tiang Pek segera memeluk pemuda itu. “Lauwte, kiong-hi!” katanya sambil memandang pedang Sian-liong-kiam yang kini tergantung di pinggang Cin Han.

“Eh, eh…… mengapa kau berkata begitu, twako?” tanya Cin Han yang berlagak bodoh.

“Ahh, berpura-pura lagi!” kata Tiang Pek, dan Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak sambil mengucapkan selamat pula.

Akhirnya Cin Han tidak dapat menyangkal pula dan menerima pemberian selamat mereka dengan gembira. Rasa cemburu terhadap Nyo Tiang Pek yang tadinya menggoda hatinya, kini lenyap sama sekali, bahkan tiba-tiba ia teringat sesuatu. Alangkah baiknya kalau orang she Nyo yang muda dan gagah perkasa ini dijodohkan dengan Coa Giok Lie yang cantik jelita!

Ia ingat bahwa Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan itu tinggi sekali ilmu ginkangnya hingga Ang Lian Lihiap sendiri setelah menjadi muridnya sekarang memiliki ginkang yang luar biasa. Kini Giok Lie menjadi murid Song Cu Ling, tentu gadis inipun akan memiliki ilmu kepandaian silat yang lihai, biarpun gadis itu tadinya tidak mengerti ilmu silat. Sedangkan dalam hal ilmu kesusasteraan, juga ilmu pekerjaan tangan, gadis itu boleh dikatakan seorang ahli.

Maka sambil tersenyum ia mulai menjalankan peranannya sebagai perantara, “Nyo-twako, aku baru saja bertemu dengan piauw-moiku. Ah, anak nakal dan bandel betul piauw-moiku itu. Karena memiliki kepandaian tinggi ia menjadi jumawa sekali dan ketika paman ingin mengawinkan piauw- moiku berkata bahwa ia hanya mau diperisteri oleh seorang hohan yang dapat mengalahkannya!”

“Eh, lauwte, siapakah piauw-moimu itu dan apa maksudmu menceritakan semua ini kepadaku?”

“Piauw-moiku adalah sumoi dari…… dari…… Ang Lian Lihiap,” ia sukar sekali menyebut nama Lian Hwa, “dan maksudku menceritakan kepadamu, twako, tidak lain aku akan senang sekali bila kau menjadi piauw-moi-hu ku!”

Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak. “Betul, betul! Nyo-taihiap perlu dipasangi kendali, sudah tiba waktunya!”

“Eh, ada-ada saja, apa maksudmu, Kong lo-enghiong?” tanya Tiang Pek tertawa.

“Kuda kalau tidak dipasangi kendali pada hidungnya, akan tetap binal dan liar. Maka kaupun perlu dipasangi kendali, dan agaknya baik sekali kalau yang memasang kendali itu adik Lo Cin Han taihiap sendiri, apa pula kalau itu sumoi dari Ang Lian Lihiap. Biarpun belum bertemu dengan orangnya, aku berani memastikan ia bukan orang sembarangan dan pasti tidak mengecewakan!”

Baru tahulah kini Nyo Tiang Pek akan maksud-maksud mereka itu. Ia hanya tertawa dan menggeleng- geleng kepala. Tapi diam-diam dalam hatinya timbul juga keinginan tahu yang besar. Ingin ia melihat adik misan Cin Han itu. Ingin ia mencoba kepandaian gadis jumawa itu. Ingin ia “menaklukkannya”!

Tapi sedikitpun tiada terdapat keinginan kawin, biar dengan siapa juga. Hatinya belum pernah tercuri oleh wanita. Tadinya ia sangka bahwa ia cinta kepada Lian Hwa, tapi kemudian ternyata bahwa perasaannya terhadap gadis itu hanya cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya sendiri, tak mungkin ia mencintanya sebagai seorang kekasih.

Kini adiknya itu mendapat jodoh seorang pemuda yang gagah perkasa seperti Cin Han, tentu saja ia sangat girang.

“Lauwte, kaupergilah ke Gu-lok-chung, selidiki baik-baik siapa yang naik ke Hong-lai-san membantu Pek-lian-kauw. Ada seorang kawan kita sudah menjaga di situ, tapi kukhawatir ia akan menemui celaka jika terlihat oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Aku dan lo-enghiong hendak pergi mencari bantuan.”

Karena pikirannya penuh dengan Lian Hwa, maka Cin Han tidak memperhatikan kata-kata Tiang Pek dan tidak bertanya ke mana perginya Ang Lian Lihiap, tapi ia tidak kuasa membuka mulut karena malu. Terpaksa ia pergi menuju ke Gu-lok-chung untuk melaksanakan tugasnya.

Di kampung itu ia menyewa kamar dalam rumah penginapan Chian-lok, satu-satunya rumah penginapan yang ada di kampung itu. Kamarnya berada di ujung belakang. Maka mulailah ia memasang mata dan memperhatikan para tamu. Ia dapat melihat nama-nama para tamu di buku daftar, dengan pura-pura mencari teman.

Ada dua nama yang mencurigakan hatinya. Seorang bernama Ma Kie Liang dan seorang lain bernama Siauw Han. Ia curiga karena Ma Kie Liang datang dari Kang-lam dan Siauw Han dari daerah selatan. Mengapa dua orang yang bertempat tinggal sejauh itu datang ke sini?

Malam itu Cin Han meloncat ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar Ma Kie Liang, tapi kamar itu kosong. Pada waktu itu kentongan peronda kampung berbunyi duabelas kali. Cin Han heran melihat keadaan begitu sunyi karena tadi jelas terdengar olehnya suara kaki menginjak genteng.

Suara itulah yang membuat ia meloncat ke luar dari kamarnya. Ia lalu meloncat ke atas kamar Siauw Han, tapi baru saja menginjak genteng bagian itu, dari jendela Siauw Han meloncat keluar seorang berpakaian hitam yang disusul oleh seorang berbaju putih.

Pengejar berbaju putih itu berlari sambil membentak, “Bangsat rendah jangan lari!”

Cin Han kaget mendengar suara ini, tapi berbareng ia merasa girang sekali, karena ia mengenal suara ini bukan lain adalah suara Ang Lian Lihiap! Hampir saja ia memanggil, tapi tiba-tiba ia ingat akan hubungannya dengan gadis itu dan rasa malu mencegah mulutnya yang sudah terbuka hendak memanggil namanya.

Ia melihat orang yang dikejar oleh Lian Hwa itu gerakannya cukup gesit dan larinya cepat, tapi Lian Hwa mengejar dengan secepat tenaga pula hingga sebentar saja kedua orang itu telah lenyap dari pandangan. Cin Han merasa khawatir akan keselamatan Lian Hwa, karena ternyata mereka yang berkejar-kejaran itu menuju ke Bukit Hong-lai-san, sarang Pek-lian-kauw! Maka iapun segera meloncat dan lari cepat mengejar pula. Ketika ia mengejar sampai di kaki bukit, ternyata Lian Hwa telah dapat mengejar lawannya dan mereka sedang bertempur dengan hebat. Melihat Lian Hwa dapat mengurung dan mendesak lawannya dengan sinar pedangnya, hati Cin Han agak lega.

Tapi tiba-tiba ia melihat seorang hwesio berdiri di bawah pohon menonton pertempuran itu dan melihat lawan Lian Hwa terdesak, hwesio itu memungut sebuah batu kecil lalu menyambit ke arah Lian Hwa. Tapi baru sampai di tengah jalan, batu itu tertumbuk oleh lain batu hingga menerbitkan suara dan kedua batu jatuh ke tanah. Hwesio itu cepat berpaling dan memandang kepada Cin Han dengan marah.

“Bangsat kecil, majulah!” ia menantang dan memalangkan tongkat besinya di depan dada.

Cin Han mencabut pedangnya dan meloncat ke depan hwesio itu lalu menyerang. Tangkisan tongkat menunjukkan bahwa lawannya bertenaga besar juga, tapi Cin Han terus mendesak dengan hebat.

Tiba-tiba ia mendengar Lian Hwa berteriak, “Aya!!” dan gadis itu roboh pingsan.

Cin Han menahan napas dan meloncat ke arah lawan Lian Hwa, tapi hwesio itu menghalanginya. Lawan Lian Hwa mengebut-ngebutkan saputangan yang tadi dipakai untuk membuat Lian Hwa pingsan, lalu tetawa bergelak-gelak.

“Sute, tahan bangsat kecil itu dulu, aku hendak bawa bunga ini ke atas gunung untuk dihadiahkan kepada twa-suheng.”

Cin Han terkejut sekali, karena ia maklum bahwa penjahat itu adalah anggauta Pek-lian-kauw dan sudah tahu bahwa Lian Hwa yang berpakaian sebagai laki-laki itu adalah wanita yang menyamar. Ia tahu pula maksud jahat orang itu, maka dengan kertak gigi pusatkan perhatiannya kepada pedangnya lalu percepat gerakannya.

Beberapa kali pedangnya berkelebat dan tiba-tiba lawannya menjerit keras karena tongkatnya terpotong berikut lengan kirinya. Melihat lawannya tak berdaya lagi, Cin Han segera mengejar penjahat yang memondong tubuh Lian Hwa dan sedang lari ke bukit itu.

Ternyata penjahat itu dapat lari cepat, tapi karena Cin Han sedang marah dan gemas, pula karena penjahat itu harus memondong tubuh Lian Hwa, sebentar saja Cin Han dapat mengejarnya dan hanya berada beberapa tombak di belakangnya.

Sementara itu mereka telah mendekati tempat penjagaan pertama dari Pek-lian-kauw.

Cin Han maklum bahwa jika penjahat itu sudah melewati tempat penjagaan akan sukar baginya untuk menolong Lian Hwa karena ia harus menghadapi lawan-lawan baru. Maka karena terburu-buru, ia merogoh sakunya, mengeluarkan bunga teratai merah itu dan mengayunkan lengannya. Bunga teratai itu meluncur cepat ke arah betis lawan dan dengan keras sekali menusuk betis penjahat yang memondong Lian Hwa hingga orang itu berteriak kesakitan dan jatuh tersungkur. Sementara itu, Cin Han sudah memburu ke depannya dan sekali tendang ia membikin orang itu terlempar beberapa kaki jauhnya dan tak bergerak, pingsan. Lian Hwa yang tadi dipondong dan ikut jatuh tersungkur tampak tak bergerak bagaikan mati.

Cin Han lupa akan perasaan malu. Ia menubruk gadis itu dan menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil menangis. “Lian moi…… Lian Hwa…….”

Tapi Lian Hwa tetap rebah tak bergerak dengan kedua mata tertutup. Dari tempat penjagaan turun dua orang membawa golok. Melihat kedua kawan yang terluka dan rebah merintih-rintih itu, kedua penjahat itu lalu lari ke arah Cin Han dengan golok terangkat.

Cin Han yang merasa bingung dan marah segera berdiri dan sekali berkelebat, tubuhnya telah berada di depan kedua penjaga itu. Mana kedua penjaga kasar itu dapat melawan Cin Han. Biarpun hanya bertangan kosong, Cin Han sekali gebrak saja dapat menendang seorang sehingga remuk tulang kakinya dan yang seorang pula ia ketok hingga putus sambungan tulang pundaknya.

Setelah merobohkan lawannya, Cin Han memondong tubuh Lian Hwa dan lari turun gunung. Tiap tiga langkah, ia memanggil nama Lian Hwa.

Tiba-tiba Lian Hwa bergerak perlahan-lahan. Segera Cin Han membaringkan tubuh Lian Hwa di atas rumput dan ia pergi mengambil air anak sungai yang mengalir di dekat situ. Dengan sehelai saputangan ia membasahi muka Lian Hwa.

Kini wajah Lian Hwa yang tadi tampak pucat sudah mulai merah lagi. Tiba-tiba Cin Han teringat sesuatu, dan ia berlari meninggalkan Lian Hwa menuju, ke tempat pertempuran tadi. Empat orang penjaga yang baru saja turun dari bukit dan sedang menolong kawan-kawan mereka, melihat kedatangan Cin Han segera ramai-ramai mengepung tapi Cin Han kembali mengamuk hingga dalam beberapa jurus saja, empat penjaga yang tadinya datang dengan maksud menolong orang-orang luka itu kini mereka sendiri rebah merintih-rintih dengan tulang putus dan kepala bengkak!

Setelah merobohkan semua lawannya, Cin Han mengambil perhiasan teratai merah yang masih menancap di betis penjahat yang menjatuhkan Lian Hwa tadi, karena sebenarnya hanya untuk itulah ia datang kembali. Lalu sebelum meninggalkan tempat itu, lebih dulu ia berkata kepada lawan- lawannya yang menggeletak malang melintang di atas tanah.

“Hai kalian penjahat-penjahat Pek-lian-kauw! Karena mengingat hari ini belum sampai saatnya pertempuran yang telah dijanjikan, maka aku mengampuni jiwamu sekalian. Biarlah ini menjadi pelajaran bagimu agar kalian jangan terlalu sewenang-wenang dan bersimerajalela melakukan segala kejahatan, seakan-akan dunia ini tiada orang yang akan berani melawan dan menumpasmu!” Kemudian secepat terbang ia kembali ke tempat di mana Lian Hwa berbaring.

Ia bingung sekali melihat Lian Hwa masih diam tak bergerak! Diraba-rabanya kening gadis itu dan dipegangnya pergelangannya. Tapi keningnya tidak terasa panas dan pergelangan tangannya berdetik biasa.

Cin Han merasa heran dan makin bingung. Gadis ini terang sekali telah menahan napas menghadapi pertempuran yang hebat dan mencium bau racun yang memabukkan dari saputangan penjahat itu. Bagaimana kalau sampai Lian Hwa mati karena ini? Cin Han makin bingung, belum pernah selama hidupnya ia merasa bingung seperti ini. Hampir ia menangis dan memanggil-manggil nama tunangannya.

Sebenarnya Lian Hwa telah semenjak tadi sadar dari pingsannya. Gadis ini timbul kenakalannya karena gembira. Ia sengaja diam saja untuk menggoda Cin Han dan melihat sikap pemuda itu.

Kini melihat kesedihan dan kebingungan Cin Han, ia merasa kasihan. Tiba-tiba Cin Han yang masih memegang lengan gadis itu merasa bahwa lengannya terpegang pula oleh tangan yang halus dan ia mendengar suara yang halus merdu berkata, “Koko. jangan bingung, aku tidak apa-apa……”

Cin Han memandang ke bawah dan heran melihat wajah Lian Hwa tersenyum malu-malu sambil memandangnya dengan mata setengah terkatup. Untuk sesaat Cin Han mempererat pegangan tangannya pada lengan Lian Hwa, tapi ia ingat bahwa ia sejak tadi memegangi lengan orang, maka cepat-cepat ia menarik kembali tangannya dan wajahnya terasa panas bagaikan terbakar karena malunya! Lian Hwa bangun duduk dan menundukkan kepala.

“Lian…… kau…… terkena racun penjahat itu.” “Baiknya kau cepat datang menolong, koko.”

“Ketika tadi melihat kau mengejarnya, aku sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda baju putih itu adalah engkau.”

“Bukankah dahulu pernah kau berjumpa dengan aku dalam pakaian seperti ini?”

“Dulu lain lagi, kau dulu menjadi seorang pemuda sasterawan, sedangkan sekarang. menjadi pemuda pendekar!”

Mereka mulai merasa biasa dan lenyap rasa malu dan sungkan. Hanya sewaktu-waktu bila tanpa sengaja mata mereka saling memandang, maka menjalarlah warna merah di wajah masing-masing dan selalu Lian Hwa menundukkan muka lebih dulu, tapi diam-diam ujung matanya mengerling!

Lama juga mereka duduk di atas rumput dan mereka agaknya lupa akan maksud mereka di situ, akan keadaan sunyi di sekeliling, dan lupa akan segala-galanya! Sinar bulan mulai suram karena terhalang oleh mega putih.

“Lian-moi, ini perhiasanmu. Semenjak dulu kusimpan saja, padahal aku tak berhak……” “Mengapa tidak berhak, koko? Memang dulu kutinggalkan dengan maksud……” “Dengan maksud……??”

“Supaya kau menyimpan, yaitu, kau menyimpan untukku, supaya……” “Supaya…… apa……?” “Supaya kau takkan melupakan aku.”

Dada Cin Han berdebar keras, jantungnya seakan-akan menari-nari dan berloncat-loncatan dalam rongga dadanya. Jadi kalau begitu, Lian Hwa semenjak perjumpaan pertama itu telah “ada hati” padanya?

Rasa terharu menghapus semua rasa malu-malu. Ia memegang lengan Lian Hwa dan berkata perlahan. “Dan semenjak itu, Lian-moi…… semenjak kau pergi itu, teratai merah inilah yang menjadi penawar rindu hatiku.”

“Aah, kau bohong, koko!” Dan dengan tersenyum Lian Hwa bangun berdiri, tapi Cin Han menarik lengannya hingga ia terduduk kembali. Tenaga tarikan itu membuat ia terduduk dekat sekali dan karena mesranya pegangan tangan Cin Han, ia menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu.

“Lian, bilanglah, bagaimana pendapatmu tentang…… pedangku itu? Sukakah kau kepada…… pedang itu?”

“Dan, koko, bagaimana dengan engkau? Sukakah kau kepada      teratai merah dan pedangku pula?”

Cin Han mengangguk-angguk. “Di dunia ini tak ada yang lebih kusuka daripada itu.”

Lama mereka berdiam diri tak bergerak hingga mereka dapat mendengar bunyi detik jantung masing- masing. Kemudian Lian Hwa berkata dalam bisikan,

“Koko, tahukah kau bahwa telah dua kali aku merasa...... cemburu padamu hingga aku jadi membencimu?”

Cin Han dapat menduga bahwa yang dimaksudkan tentu Giok Lie, tapi ingin mendengar kekasihnya membuat pengakuan sendiri, maka ia menggelengkan kepala.

“Pertama aku merasa cemburu padamu ketika kita ditawan oleh dua nikouw di kelenteng dulu itu. Kedua kalinya, yakni ketika ketika kau menolong anak pangeran she Coa itu.”

“Kau maksudkan Giok Lie sumoimu?”

Lian Hwa tertawa. “Ya, sekarang ia menjadi sumoiku. Aku harus minta maaf padanya.” “Dan tahukah kau, bahwa akupun pernah merasa cemburu padamu?”

Lian Hwa mengangkat kepalanya dari bahu Cin Han dan memandang pemuda itu dengan heran.

Mega penghalang bulan telah pergi dan bulan memancarkan cahaya penuh ke wajah Lian Hwa hingga tak habis kagumnya mata Cin Han mengagumi wajah yang cantik, kulit muka yang halus, mata yang bening dan lebar bagaikan mata burung Hong, dan tiada habisnya hidungnya menikmati harum yang membuatnya berdebar, yang keluar dari rambutnya yang hitam itu.

“Kau cemburu, koko? Siapa yang membuatmu cemburu?” Cin Han berdehem perlahan, ia merasa terlanjur bicara. “Aku cemburu kau dengan…… Nyo-twako!”

“Iihh! Ada-ada saja kau ini. Nyo-twako telah menjadi kakakku sendiri. Tahukah kau, aku katanya mirip dengan adik perempuannya yang telah meninggal dunia. Kau kejam sekali menuduhnya.”

“Karena itu, maka untuk menebus kedosaanku itu, aku hendak mencoba menjodohkan dengan Giok Lie.”

Kedua mata Lian Hwa memancarkan cahaya gembira. “Bagus! Baik sekali. Aku akan membantumu, koko!”

Demikianlah dengan gembira dan bahagia taruna dan remaja itu bercakap-cakap di atas rumput di bawah bulan yang tinggal separoh. Kemudian mereka berjalan menuju ke kampung Gu-lok-chung sambil bergandengan tangan.

Berhari-hari mereka melakukan penyelidikan dan pengawasan. Mereka kini bekerja dengan hati-hati sekali sehingga dapat menghindarkan segala bentrokan dengan orang Pek-lian-kauw.

Ternyata dalam beberapa hari itu, hanya ada tiga orang yang naik ke Bukit Hong-lai-san, dua orang hwesio dan seorang tosu yang, bermuka merah.

Pada hari keduabelas dari bulan yang telah ditetapkan untuk pertandingan itu, berturut-turut datang Nyo Tiang Pek, Kong Sin Ek, Hwat Khong Hwesio, Pek Siong Tosu, Lui Siok Tojin wakil dari Kun-lun-pai. Pada hari ketigabelas datanglah berturut-turut Song Cu Ling dan Gwat Liang Tojin. Mereka semua beramai-ramai berkumpul dalam kelenteng tua yang telah disiapkan oleh Nyo Tiang Pek.

Pada sore harinya datanglah bala bantuan yang diundang oleh Tiang Pek, yakni Biauw In Suthai, seorang pendeta wanita kawan baik Kam Hong Tie, dan dua orang balabantuan yang didatangkan oleh Kong Sin Ek, yaitu Sepasang Naga dari Tit-lee bernama Ong Su dan Ong Bu, dua orang hiap-kek yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan permainan tombak mereka.

Song Cu Ling tak berhasil mengundang seorang pun, dan semua orang bernapas lega ketika Gwat Liang Tojin memberitahukan bahwa ia berhasil menghadap supeknya yaitu Beng San Siansu, dan setelah menceritakan duduknya segala hal. Supek yang sudah lepas tangan dari urusan dunia itu janji bahwa beliau hendak datang melihat-lihat dan sedapat mungkin menolong mereka jika menghadapi bencana.

Demikianlah, pada malam kelimabelas, jam sembilan malam, ketika bulan purnama telah naik tinggi, semua orang tersebut berangkat beramai-ramai mendaki Hong-lai-san menuju ke sarang Pek-lian- kauw.

Malam itu sungguh terang. Tak sedikitpun awan menjadi penghalang bagi sang ratu malam membanggakan cahaya bumi. Di Bukit Hong-lai-san sedikit angin pun tiada, seakan-akan sang angin ikut prihatin melihat apa yang akan dilakukan oleh orang-orang berkepandaian tinggi di puncak bukit itu. Keadaan sunyi sepi, seekor jangkerikpun tak berani berkerik, agaknya mereka tahu bahwa sebentar lagi akan banjir darah merah menakutkan sehingga siang-siang mereka telah mengungsi ke lain daerah aman.

Sepuluh orang terkemuka di kalangan kang-ouw, duabelas dengan Cin Han dan Lian Hwa, berjalan dengan tenang mendaki bukit. Ketika mereka tiba di tempat penjagaan pertama, para penjaga di situ berdiri merupakan barisan di kanan kiri dengan golok dilintangkan di dada, memberi jalan kepada para tamu dengan sikap menghormat sekali. Demikianpun di tempat penjagaan kedua, ketiga dan seterusnya.

“Mereka tentu mendapat bantuan orang luar biasa hingga bernyali besar dan tidak mengganggu perjalanan kita ke sarang mereka,” Gwat Liang Tojin berbisik kepada Nyo Tiang Pek.

Cin Han mendengar ini merasa betapa seluruh urat tubuhnya menjadi tegang, belum pernah ia menghadapi pertempuran yang dapat dibayangkan betapa dahsyatnya ini. Sebenarnya, semua orang yang sedang naik ke bukit itu, kecuali Kong Sin Ek yang masih enak-enak menenggak arak sambil berjalan, diliputi ketegangan.

Ketika mereka sampai di tembok penjagaan kesembilan dan yang terakhir, di depan pintu gerbang tembok ini yang terbuka lebar, berdiri beberapa orang menyambut mereka. Pihak Pek-lian-kauw yang menyambut ini adalah Bong Cu Sianjin ketua Pek-lian-kauw, di kanannya berdiri Kim Eng si Dewi Cabul, di sebelah kirinya berdiri Khai Sin Tosu, Hong Su ketua Kwi-coa-pai yang ternyata belum mampus dan rupa-rupanya telah dapat disembuhkan luka berat di pundaknya, dua orang hwesio yakni Beng Beng Hwesio dan Beng Leng Hwesio dari cabang Tiauw-san-pai yang terkena bujukan juga, dan seorang tosu mata satu yaitu Kin Pin Tosu dari Gunung Liang-kek-san. Tosu ini mata kanannya telah buta, tapi mata tunggalnya yang sebelah kiri bersinar-sinar bagaikan bintang pagi.

Melihat di situ tidak ada Lan Bwee Niang-niang si Iblis Perempuan Kepalan Dewa, Gwat Liang Tojin bernapas lega. Sebagai orang tertua, ia menjadi pemimpin rombongannya dan sambil menjura kepada para penyambut.

“Cuwi yang terhormat, kami telah datang memenuhi undangan cuwi.”

“Selamat datang, selamat datang!” Bong Cu Sianjin berkata sambil tertawa. “Silakan masuk ke tempat kami yang buruk!”

Gwat Liang Tojin dengan kawan-kawannya memasuki sarang Pek-lian-kauw dengan berani. Di gedung yang besar dan megah itu ternyata telah dipersiapkan untuk menyambut mereka.

Beratus lilin besar menerangi ruangan mengalahkan cahaya bulan di luar gedung. Sebuah meja panjang dan lebar dipasang di tengah ruang depan dan lebih dari tigapuluh buah kursi mengitari meja itu.

“Silakan duduk saudara-saudara yang mulia!” Demikian Bong Cu Sianjin mempersilakan tamu- tamunya dengan senyum masih menghias mukanya yang seperti boneka. Tanpa ragu-ragu lagi Gwat Liang Tojin mengambil tempat duduk, diturut oleh semua kawannya. Mereka tak gentar sedikit juga walaupun mereka melihat betapa puluhan orang yang berpakaian seragam, yakni dengan gambar bunga teratai putih di dada masing-masing, mengepung gedung itu dengan senjata lengkap.

Pihak tuan rumah yang terdiri dari tujuh orang itupun mengambil tempat duduk di meja itu, menghadapi para tamu. Pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda datang berlari- larian sambil membawa tempat arak, dan segala macam masakan yang masih mengebulkan asap dan yang menghamburkan bau sedap memenuhi ruangan.

Bong Cu Sianjin berdiri dan memperkenalkan kawan-kawannya kepada para tamu. Bong Cu Sianjin lalu mempersilakan tamu-tamunya makan dan minum seadanya.

“Nanti dulu, Bong Cu to-yu! Makan dan minum adalah urusan kecil. Mari kita selesaikan urusan besar lebih dulu. Sebulan yang lalu kau undang kami datang pada malam hari ini. Nah, kami sudah datang, apakah kehendakmu?”

Bong Cu Sianjin tertawa keras. “Ah, semangatmu benar-benar masih seperti anak muda, Gwat Liang! Kau ingin tahu maksudku mengundang kalian? Selain ingin menjamu minum arak, juga hendak minta penjelasan mengapa kalian selalu mengganggu kami, dan kalau perlu kami hendak menagih hutang- hutangmu beberapa jiwa orang anggauta kami.”

“Itukah kehendakmu? Bagaimana dengan jiwa beratus rakyat yang menjadi korban para anggautamu?” tanya Gwat Liang dengan suara tenang.

Bong Cu masih tertawa. Ia menuang arak wangi dalam cawannya lalu minum itu dengan sekali tenggak.

“Kau orang tua usilan sekali, masih suka ikut campur urusan orang lain. Yang kami basmi rakyat pemberontak, rakyat yang jahat, untuk membela yang benar.”

“Hem, Bong Cu, ucapanmu yang kosong ini hanya dapat digunakan untuk membujuk para anggautamu dan membodohi mereka yang tak berpikiran saja! Semua enghiong tahu belaka bahwa kau dan kawan-kawanmu tak lain hanya penjilat-penjilat rendah yang menghianati bangsa dan negara sendiri untuk dapat mengeduk harta benda dan kemuliaan. Kalian bukan lain adalah anjing-anjing kaisar Boan yang telah melupakan asal usul leluhur dan nenek moyang sendiri.”

“Tutup mulutmu yang lancang itu!” Khai Sin Tosu membentak marah.

“Hm, kau juga menjadi kaki tangan Pek-lian-kauw? Kalau saja suhumu masih hidup, atau kalau saja suhengmu masih hidup, belum tentu kau akan tersesat seperti sekarang ini!”

“Aah…… adu mulut hanya laku perempuan, mulut diadakan untuk makan minum, bukan untuk diadu! Minum saja dulu, nanti mau berkelahi boleh saja.” Terdengar Kong Sin Ek berkata mencela dan ia sambar guci arak di atas meja terus diminum habis. Lui Siok Tojin wakil dari Kun-lun-pai berdiri dari kursinya. Ia menjura kepada semua orang dan berkata:

“Pinto datang ini atas undangan Nyo Tiang Pek taihiap yang kami kenal lama sebagai seorang pendekar muda yang banyak melakukan perbuatan baik. Maka undangan itu diterima oleh ketua kami dan pinto mewakilinya datang ke sini. Tapi bukan sekali-kali kami dari pihak Kun-lun-pai hendak mencampuri urusan kalian hanya kami mengingat bahwa kita sekalian adalah orang-orang kang-ouw yang berarti masih segolongan pula, maka kami harap sudilah kiranya cuwi memandang muka kami dan menghapuskan saja perselisihan paham yang tak berarti ini. Tak tahukah cuwi bahwa pengaruh asing sedang berusaha keras untuk mengadu dombakan para enghiong di kalangan kang-ouw?”

“Nah, itulah kata-kata yang sehat,” menyambung Gwat Liang Tojin. “Tapi agaknya Lui Siok Toyu sendiri belum tahu bahwa yang berusaha mengadu domba kita adalah kaisar Boan dan bahwa Pek- lian-kauw justru adalah kaki tangan kaisar? Bagi kami, tidak ada perlunya kami mencampuri urusan Pek-lian-kauw. Biar Pek-lian-kauw mempelajari agama dan kepercayaannya sendiri, biar andaikata mereka ini hendak menjilat-jilat kaisar asing. Tapi, bila mereka sudah mulai berani menganggu rakyat jelata, hal ini tak dapat kami biarkan saja! Asal Pek-lian-kauw suka berjanji bahwa mulai saat ini tidak akan mengganggu rakyat, dan juga asalkan Bong Cu suka mengembalikan pedang pusaka kerajaan Beng-tiauw kepada kami karena ia tidak berhak atas pedang itu, kami akan pergi dari sini dan akan menghabiskan perkara sampai di sini saja.”

Lui Siok Tojin memandang kepada Bong Cu Sianjin dengan girang. “Nah, pinto rasa permintaan Gwat Liang Toyu ini cukup pantas dan mudah dilaksanakan. Bukankah Bong Cu Kauwcu takkan keberatan untuk berjanji agar selanjutnya anggauta Pek-lian-kauw tidak menganggu rakyat jelata? Dan pinto rasa soal pedang pusaka kerajaan Beng-tiauw, tak patut diributkan dan diserahkan saja kepada Gwat Liang Toyu.”

“Hm, kau ini pendamai macam apa? Janganlah pura-pura menjadi pendamai tapi bertindak berat sebelah! Kalau kau mau membantu Gwat Liang, terus terang sajalah, kami tidak takut!”

Lui Siok Tojin menjadi marah. Ia mengangkat kursi yang didudukinya tadi dan membenturkan kursi kayu itu pada kepalanya. Terdengar suara keras dan kursi itu pecah berkeping-keping!

“Dasar aku yang bodoh, yang tak tahu diri. Pantas saja Gwat Liang Toyu dan semua hohan datang menyerbu ke sini, tak tahunya Pek-lian-kauw seperti ini isinya! Tapi ketua kami tidak memperkenankan aku ikut campur, maka biar aku yang bodoh dan tak tahu diri pergi saja!”

Pendeta tua itu segera mengangguk kepada semua orang dan sekali berkelebat tubuhnya sudah mencelat keluar dan berlari turun gunung.

“Ha-ha-ha! Orang macam itu jadi pendamai. Eh, Gwat Liang kalau pihakmu takut, lebih baik tidak usah datang ke sini. Buat apa dibawa-bawa badut seperti itu? Sebenarnya ia takut berkelahi dan mendapat kepala benjol, maka ia berlari pergi dengan seribu macam alasan. Ha-ha-ha!”

“Bong Cu! Tak perlu banyak bercakap angin. Bagaimana, bisakah kau memenuhi dua permintaanku itu? Atau, akan kita teruskan sajakah permusuhan ini?” “Eh, betul-betul kau ini orangnya tua tapi hatinya muda! Segala apa ingin buru-buru saja. Sabarlah, kawan. Kau mengajukan dua tuntutan. Tapi dengarkan dulu tuntutan kami! Kau sendiri tahu bahwa si jahat Ong Lun adalah musuh kami, bahwa ia sudah banyak hutang jiwa dan sebelum kami dapat menagihnya, ia telah keburu mampus. Sekarang muridnya, Ang Lian Lihiap si setan kecil ini, mengikuti jejak gurunya dan memusuhi kami pula dibantu oleh Hwee-thian Kim-hong. Maka kami minta supaya kamu menyerahkan dua setan itu kepada kami! Tentang yang lain-lain yang telah bentrok dengan Kwi-coa-pai dan orang-orang kami, biarlah itu kami anggap sebagai salah paham kecil saja.”

Cin Han dan Lian Hwa saling memandang dengan senyum tertahan. Tiba-tiba terdengar Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak dan melempar guci arak yang telah kosong ke atas meja.

“Aya……! Memang tuan rumah lihai sekali! Baru saja menghabiskan dua guci arak wangi yang harganya hanya beberapa tail saja, sekarang sudah minta dibayar Teratai Merah dan Burung Hong!! Di dunia ini mana ada aturan seperti itu?”

Ia berdiri dan menggerak-gerak kedua lengannya lalu membuka baju luarnya. Orang-orang di pihak Pek-lian-kauw yang telah mengenal Dewa Arak ini tahu bahwa baju luar itu adalah senjatanya yang lihai, maka mereka inipun bersiap sedia dengan tangan meraba-raba gagang senjata!

Keadaan menjadi tegang, semua memandang uap yang mengepul dari masakan di atas meja yang belum terjamah itu!

“Cuwi lo-suhu sekalian,” tiba-tiba terdengar suara Ang Lian Lihiap yang merdu dan nyaring, “Bong Cu Sianjin tadi minta kami berdua, seakan-akan kami berdua adalah barang-barang yang tidak berjiwa dan mudah diminta begitu saja!” Ia mengerling ke arah Cin Han dan pemuda itu yang mengerti maksudnya mengangguk perlahan.

“Kalau memang dia menghendaki kami berdua, biarlah dia mencoba menawan dan mengalahkan kami. Atau, barangkali Bong Cu Sianjin raja siluman Pek-lian-kauw ini gentar dan tidak berani menandingi Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, kedua musuhnya itu?”

Merah muka Bong Cu Sianjin mendengar ucapan gadis ini, tapi ia dapat menekan perasaannya dan tersenyum mengejek. Gadis yang cerdik ini pernah bertempur dengannya bersama-sama dengan Cin Han, dan pada waktu itu memang keadaan mereka berimbang, bahkan ia harus mengakui bahwa sepasang taruna remaja itu memang merupakan tandingan yang sangat berat.

Sebenarnya tak usah ia merasa jerih terhadap mereka berdua ini, tapi ia harus berlaku hati-hati karena pihak lawan bukanlah orang-orang yang lemah, terutama Gwat Liang Tojin, Song Cu Ling, Kong Sin Ek dan yang lain-lain. Bahkan Nyo Tiang Pek yang muda itupun tidak boleh dibuat gegabah karena pemuda itu adalah murid dari Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie.

“Melawan kamu berdua bukanlah pekerjaan berat,” katanya kemudian, “tapi ini adalah tidak adil. Masa aku harus memborong sendiri permainan ini? Aku harus memberi kehormatan kepada yang lain-lain dulu.” “Hayo jangan banyak mengobrol yang bukan-bukan. Bagaimana penyelesaiannya? Kau mau berdamai, boleh asal memenuhi permintaan Gwat Liang Toyu, atau kau mau menyelesaikan dengan kepalan dan senjata, hayo, jangan buang-buang waktu dengan sia-sia.” Kong Sin Ek berkata.

“Ha-ha! Tamu-tamuku sungguh orang-orang gagah dan bernafsu. Mari, mari, mari kita pergi ke tempat yang khusus untuk itu.”

Semua tamu yang tinggal sebelas orang mengikuti pihak tuan rumah yang menuju ke lian-bu-thia, yakni ruang tempat bermain silat. Ruang ini letaknya di belakang menghadapi sebuah taman yang penuh bunga dan sangat luas. Juga di ruang silat dan taman bunga itu, selain sinar bulan, ratusan lilin dipasang menerangi seluruh tempat.

Di empat sudut lian-bu-thia terdapat rak tempat senjata yang penuh dengan delapanbelas macam senjata. Di pinggir ruangan itu tersedia bangku-bangku dan semua orang menduduki bangku-bangku itu yang dipasang berjajar. Tuan rumah dan kawan-kawannya di sebelah kiri dan para tamu duduk di sebelah kanan.

“Nah, Gwat Liang. Rupa-rupanya di antara kita tidak ada persesuaian paham, maka persoalan ini harus diselesaikan secepat mungkin melalui urat dan kepalan. Baiknya diatur begini. Jika pihakmu kalah, kami hanya minta kepala Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong. Yang lain-lain, kalau belum mampus dalam pertandingan, boleh pulang.”

Gwat Liang Tojin tersenyum. “Kalau pihakmu yang kalah, kami tidak menghendaki kepala orang, hanya minta pedang pusaka kerajaan dan janjimu untuk membubarkan gerombolan penjahat yang berkedok agama Pek-lian-kauw ini.”

Bong Cu Sianjin menepuk tangan dan dari dalam keluarlah delapan orang dengan senjata lengkap. Mereka ini adalah jagoan-jagoan dari golongan muda yang dipimpin oleh Thio Lok sendiri. Kini di pihak tuan rumah terdiri dari limabelas orang jagoan, belum dihitung para penjaga yang berjumlah puluhan dan kesemuanya memiliki kepandaian yang tak dapat dikata rendah.

Setelah menenggak arak dari guci yang selalu tergantung di pinggangnya, Kong Sin Ek berseru keras dan sambil meloloskan bajunya yang diputar-putar di tangannya, ia meloncat ke tengah-tengah ruang silat sambil menantang,

“Biarlah kumulai saja. Hayo orang Pek-lian-kauw siapa yang sudah bosan hidup?”

Dari pihak Pek-lian-kauw, seorang jagoan muda bernama Boan Sai menerima tantangannya. Boan Sai bersenjata golok besar dan segera kedua orang itu mulai bertempur.

Tapi ternyata Boan Sai sekali-kali bukan, lawan Kong Sin Ek yang pun tua tapi gagah perkasa. Baju luarnya berputar mendatangkan angin menderu-deru dan menjadi keras kaku bagaikan pentungan besi, hingga golok Boan Sai setelah bertempur beberapa jurus saja kena tersapu dan terpental jauh dan ujung senjata luar biasa dari Kong Sin Ek menghantam pundak Boan Sai sehingga remuk tulangnya! Orang-orang Pek-lian-kauw menggotong pergi Boan Sai yang rebah pingsan, dan seorang tinggi besar brewokan menggantikan Boan Sai menyerang Kong Sin Ek. Si tinggi besar ini bersenjata toya kuningan dan tenaganya besar, tapi ilmu silatnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Kong Sin Ek, sehingga dalam limabelas jurus saja kembali senjata Kong Sin Ek yang hebat telah menyapu kaki si tinggi besar itu hingga terlepas sambungan lututnya. Ia digotong pergi sambil merintih-rintih.

“He, Bong Cu! Apakah tidak lebih baik kau sendiri saja yang maju? Jangan majukan orang-orang tak berguna, kasihan!” Kong Sin Ek mengejek sambil memutar-mutar baju luarnya yang ternyata merupakan senjata yang ampuh sekali itu.

Bong Cu mulai marah, tapi dari pihaknya loncat keluar Beng Beng Hwesio yang bersenjata sebuah kebutan dan pedang. Melihat gerakan Koai-liong-hoan-sin atau Siluman Naga Jumpalitan yang dilakukan dengan gesit itu, Kong Sin Ek berlaku hati-hati. Ia tadi telah diperkenalkan dan ia telah mendengar bahwa Beng Beng Hwesio adalah orang kedua dari cabang Tiauw-san-pai yang terkenal dengan ilmu silat Chian-chiu-koan-im atau Dewi Koan Im Tangan Seribu ciptaan cabang itu.

Beng Beng Hwesio maklum akan kelihaian senjata Kong Sin Ek, maka ia menggunakan kebutannya untuk menangkis dan berbareng mencoba menyabet dan memutuskan baju luar itu dengan pedangnya. Mereka berputar-putar dan bertempur lebih dari limapuluh jurus, tapi keadaan mereka berimbang.

Pada suatu saat ketika Kong Sin Ek dengan gerakan Topan Mengamuk Kilat Menyambar mengayun bajunya menghantam ke arah kepala Beng Beng Hwesio, lawannya ini menggunakan kebutan di tangan kiri membelit ujung baju. Mereka mengerahkan tenaga tapi kedua senjata itu seakan-akan menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan.

Beng Beng Hwesio tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, ia mengayun pedang di tangan kanannya menusuk leher Kong Sin Ek. Tapi si Dewa Arak tak kurang gesit, ia miringkan kepala dan ketika pedang lewat dekat kulit lehernya, ia mengulur tangan kiri dan menangkap pergelangan tangan kanan Beng Beng.

Beng Hwesio cepat menggunakan kaki kanan menendang, sedangkan saat itu Kong Sin Ek dengan tiba-tiba melepaskan baju luar dari pegangannya dan melayangkan pukulan keras dengan tangan kanan itu ke pundak lawan. Maka ia tidak keburu berkelit dari tendangan Beng Beng Hwesio.

Hampir berbareng jatuhnya tendangan dan pukulan itu. Kong Sin Ek yang tertendang iga kanannya terpental jauh dan jatuh pingsan, sedangkan Beng Beng Hwesio terkena pukulan Chian-kin-lat atau Pukulan Seribu Kati dari tangan Kong Sin Ek, jatuh terjengkang dan muntahkan darah segar.

Cin Han dan Nyo Tiang Pek, segera menolong Kong Sin Ek dan menggotongnya ke tempat Gwat Liang Tojin yang segera memeriksanya. Gwat Liang yang pandai ilmu obat-obatan, menyatakan bahwa tulang iganya patah dan paru-parunya mendapat getaran hebat, tapi tidak membahayakan jiwanya. Ia menggunakan jari tangan menotok jalan darah mengurangi rasa sakit, lalu memasukkan dua butir pil ke dalam mulut Kong Sin Ek.

Sementara itu, dari pihak Pek-lian-kauw keluar Beng Leng Hwesio, suheng dari Beng Beng Hwesio yang dijatuhkan Kong Sin Ek tadi. Berbeda dengan sutenya, Beng Leng Hwesio bersenjata tombak panjang. Dari pihak Gwat Liang Tojin keluarlah Hwat Kong Hwesio suheng dari Ang Lian Lihiap yang bersenjata tongkat.

Hwat Kong adalah murid tersayang dari Hun Beng Siansu sute dari Ong Lun, maka tentu saja kepandaiannya pun tidak lemah. Pula karena sejak puluhan tahun ia menjadi seorang pertapaan yang benar-benar membersihkan batinnya hingga untuk bertahun-tahun ia pantang membunuh, maka tenaga batinnya menjadi kuat hingga lweekangnya dengan otomatis pun naik tingkatnya.

Namun Beng Leng Hwesio jauh lebih lihai daripada sutenya dan permainan tombaknya adalah yang disebut Ngo-heng-chio-hwat atau Ilmu Tombak Lima Anasir yang mempunyai perubahan-perubahan luar biasa.

Kedua hwesio ini bertempur sampai ratusan jurus, tapi akhirnya tombak Beng Leng Hwesio dapat dibikin terpental dan terlepas dari tangannya hingga Beng Leng Hwesio yang tidak diserang terus mengerti bahwa lawannya tidak mau melukainya. Maka ia menjura sambil berkata malu,

“Hwat Khong suhu sungguh murah hati. Pinceng mengaku kalah.”

Thio Lok dengan marah meloncat ke tengah menghadapi Hwat Kong Hwesio. “Kudengar kabar bahwa kau adalah murid dari Hun Beng supek, ingin aku membuktikan sendiri. Majulah, kepala gundul!”

“Hm, murid tersesat!” kata Hwat Kong yang masih tersenyum dan tidak menjadi marah karena hinaan itu.

Tapi sebelum ia bergerak, lebih dulu Ang Lian Lihiap melesat dari tempat duduknya dan berdiri menghadapi Thio Lok. “Suheng, mengasolah, biarkan sumoimu bereskan anjing hina ini!”

Thio Lok pernah merasai kelihaian Ang Lian Lihiap, maka ia merasa serba salah. Mau mundur, malu kepada semua orang, hendak melawan merasa tidak kuat. Tapi sebagai laki-laki ia pantang mundur menghadapi lawan apa pula lawan seorang gadis muda, maka dengan nekat ia memutar pedangnya.

Lian Hwa memang benci sekali melihat Thio Lok, maka sekali pedang Kong-hwa-kiam berkelebat, Thio Lok telah terdesak mundur. Pedang pemuda itu hanya dapat menangkis saja, sedangkan Lian Hwa, makin besar semangatnya. Ia menyerang dengan tipu-tipu mematikan dan pada saat Thio Lok agak terdesak sehingga penjagaannya terbuka, Kong-hwa-kiam menyambar ke arah lambungnya!

Khai Sin Tosu berseru keras dan meloncat dengan pedang di tangan hendak menolong muridnya, tapi tiba-tiba bayangan seorang pemuda berkelebat dan menghalang di depannya.

Ternyata Cin Han dengan Sian-liong-kiam di tangan telah mencegatnya sambil berkata, “Jangan main keroyokan, satu lawan satu!”

Sementara itu pedang Lian Hwa telah berhasil merobohkan Thio Lok.

Melihat muridnya terluka, Khai Sin Tosu marah sekali. Ia menjerit sambil menerjang kepada Cin Han dengan pedangnya. Serangannya hebat dan berbahaya sekali karena ia mainkan Tat Mo Kiam-hoat dan diseling dengan Liang Gie Kiam-hoat dari cabang Bu-tong, permainan pedang campuran ini telah ia yakinkan puluhan tahun sehingga amat lihai.

Tapi Cin Han berlaku tenang dan mainkan ilmu pedang Hwie-liong-kiam-sut yang luar biasa dahsyatnya! Ilmu pedang tunggal ciptaan Beng San Siansu ini memang luar biasa. Tiap tangkisan selalu dibarengi gerakan membabat atau menusuk, pendeknya tidak ada tangkisan yang sifatnya hanya membela diri.

Tiap tangkisan itu adalah merupakan awal sebuah serangan berbahaya. Gerakan cepat lawan dimatikan dengan serangan kilat. Tusukan-tusukannya berbahaya dan kuat sekali karena selain menggunakan tenaga sendiri, juga meminjam tenaga lawan ketika menangkis serangan.

Sudah tentu Khai Sin Tosu merasa bingung dan terdesak. Terpaksa untuk kedua kalinya ia mengakui kehebatan lawan yang masih muda ini.

Pada jurus keseratus sepuluh, Cin Han mengeluarkan gerakan istimewa yang jarang ia keluarkan, yakni Hwie-liong-pok-sui atau Naga Terbang Menyambar Air. Ujung pedangnya menukik ke bawah dan bergerak-gerak ke kiri kanan membingungkan lawan.

Khai Sin tak kuasa menangkis karena gerakan Cin Han ini dibarengi tendangan kaki yang dilayangkan susul menyusul. Pendeta itu hanya menujukan seluruh perhatiannya kepada kedua kaki Cin Han dan berkelit sambil menangkis, maka ujung pedang Cin Han sudah melayang dekat sekali. Tiba-tiba terdengar suara Lian Hwa,

“Koko, awas belakang!” dan berbareng dengan suara itu Cin Han mendengar suara angin berdesir dari belakangnya.

Ia menarik kembali pedangnya yang telah mendekati dada Khai Sin Tosu, lalu menyabetkan pedang itu ke belakang tubuhnya. Tapi berbareng dengan itu, secepat kilat tangan kirinya meluncur menghantam dada Khai Sin. Gerakan ini cepat sekali dan tidak terduga, maka terdengar suara “bukk!” dan Khai Sin berdiri tegak seperti patung dan menggigit bibirnya. Kemudian ia jatuh terjengkang, rebah terjengkang dengan kaku.

Sementara itu Cin Han membalikkan tubuh dengan cepat untuk menghadapi penyerangnya yang ternyata bukan lain adalah si Dewi Cabul Kim Eng. Perempuan cantik ini memegang pedang di tangan kanan dan saputangan hijau di tangan kiri.

“Awas saputangannya, koko,” kembali Lian Hwa berteriak, tapi Cin Han hanya tersenyum saja. Sedangkan Gwat Liang Tojin berkata kepada Lian Hwa.

“Jangan kau khawatir! Cin Han sudah menyimpan sebutir pil penawar hawa beracun dalam mulutnya. Ini, kaupun harus menyimpan sebutir dalam mulutmu, karena iblis-iblis itu selalu menggunakan racun.

Lian Hwa menerima sebutir pil merah dan masukkan itu ke dalam mulut. Rasanya manis dan baunya harum dan sedap sekali. Kembali ia menengok ke arah kekasihnya yang sedang bertempur. Kim Eng bukanlah lawan Cin Han. Sebentar saja perempuan itu terdesak dan sibuk menangkis serangan-serangan Cin Han yang hebat. Tiba-tiba Cin Han mencium bau wangi tanpa merasa pusing seperti dulu.

Melihat saputangan wasiatnya tidak menjatuhkan lawan, Kim Eng terkejut sekali. Ia berseru keras dan tiba-tiba, dari ujung pedangnya yang menangkis pedang Cin Han, melayang tiga buah jarum beracun ke arah leher Cin Han!

Baiknya Cin Han berlaku awas dan pendengarannya tajam. Ia melihat jarum berkelebat lalu cepat menundukkan kepala sehingga jarum-jarum itu melayang di atas kepalanya. Cin Han marah sekali dan ia memutar pedangnya dengan gemas hingga Kim Eng hampir tidak, kuat menahan lagi.

Pada saat itu, dari pihak Pek-lian-kauw keluarlah Kik Pin Tosu si mata satu. Tosu ini begitu sampai di belakang Kim Eng, segera menggunakan kedua tangannya. Ujung baju kanan digerakkan menangkis pedang Cin Han dan tangan kirinya membetot Kim Eng ke belakang.

“Mundurlah, nona, biarkan lohu main-main dengan Hwee-thian Kim-hong sebentar.” Tapi Nyo Tiang Pek meloncat menggantikan Cin Han.

“Biarlah aku menerima pengajaran dari lo-suhu,” katanya.

Mata Kik Pin yang hanya sebelah itu memancar ke wajah Tiang Pek.

“Hm, hm! Pantas Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie mempunyai murid segagah ini! Sudah lama aku mendengar nama besar Kam Hong Tie, tapi belum pernah mendapat kehormatan mencoba kesaktiannya. Kini kau muridnya yang hendak melawanku, bagus. Majulah, anak muda.”

Cin Han terpaksa mundur ketika Nyo Tiang Pek menggantikannya tadi dan ia berdiri di pinggir. Ia melihat tosu itu menggerak-gerakkan tangan dan menggulung lengan bajunya ke atas sampai di sikunya. Cin Han yang memperhatikan lengan tosu yang kurus kecil itu, tiba-tiba terkejut melihat kedua lengan itu berwarna merah kehitam-hitaman!

Celaka, imam ini adalah ahli Ang-see-chiu atau Tangan Pasir Merah, pikirnya! Ia merasa khawatir sekali karena ia cukup maklum akan kelihaian tangan yang sudah terlatih menjadi sepasang tangan yang selain kuat bukan main, juga sangat jahat itu.

Tapi Tiang Pek kelihatan tenang saja. Cin Han tidak tahu bahwa Nyo Tiang Pek telah digembleng oleh Kam Hong Tie sehingga memiliki ilmu menguatkan urat dan kulit lengannya yang disebut Lengan Bubuk Perak. Untuk memiliki ilmu kesaktian ini, latihannya digunakan bubuk perak halus dan digosok- gosokkan di kedua lengan. Latihan ini dilakukan terus menerus sampai bertahun-tahun sehingga kalau sudah meresap betul-betul kedua lengan itu selain kuat juga berani digunakan menangkis senjata tajam ataupun senjata beracun!

Kik Pin tosu berseru, “Awas kepalan!” dan mulai membuka serangan. Tiang Pek berkelit dan membalas memukul. Lweekang dari pemuda ini sudah hampir menyamai gurunya sendiri, maka dapat dibayangkan betapa hebat pukulannya.

Kik Pin melihat pukulan Tiang Pek demikian kerasnya, segera mengerahkan tenaga Tangan Pasir Merahnya menangkis, “Plak!” dan kedua lengan mereka tergetar karena hebatnya pertemuan tenaga yang saling membentur ini. Kik Pin merasa girang karena ia menduga bahwa lengan pemuda itu pasti terkena racun tangannya.

Tiang Pek seakan-akan tidak merasa apa-apa dan terus menyerang dengan gerak tipu Siok-lui-kik-ting atau Petir Menyambar Atas Kepala.

Kik Pin berkelit ke samping dengan gerakan loh-be yaitu gerakan membalik sambil kakinya terayun memutar menjadi tendangan tan-twie! Tapi Tiang Pek meloncat ke samping dan menyambar pula dengan pukulan Sian-jin-ci-louw atau Dewa Tunjukkan jalan, dengan dua jari tangan ia menusuk leher lawan. Kik Pin menangkis tusukan dan balas memukul dada dengan tangannya yang lihai.

Tiang Pek tahu bahwa tenaga pukulan ini sedikitnya mempunyai kekuatan seribu kati, tapi ia sengaja mencoba tenaga lawan dan menyampok lengan itu sekuat tenaga. Sekali lagi dua tenaga raksasa bertemu dan kini keduanya terhuyung ke belakang.

“Bagus!” Kik Pin Tosu berseru memuji dan kini tahulah ia bahwa Tiang Pek mempunyai tangan yang “berisi” juga dan tidak takut kepada Tangan Pasir Merahnya. Maka ia memperhatikan lengan lawannya yang samar-samar mengeluarkan cahaya berkilau warna putih bagaikan perak, hingga ia terkejut dan berlaku hati-hati.

Setelah saling menyerang lagi, Kik Pin Tosu mengubah gerakan-gerakannya dan kini ia menggunakan pukulan Eng-jiauw-kang, yakni Pukulan Kuku Garuda. Ilmu silat ini dilakukan dengan sepuluh jari tangan terbuka merupakan kaki garuda hendak mencengkeram. Tenaga cengkeraman ini hebat sekali, karena biarpun kayu keras kalau tercengkeram bisa hancur berkeping-keping. Apa pula kulit daging biasa yang lunak.

Tapi Tiang Pek yang sudah banyak pengalaman dapat menghadapinya dengan sikap tenang. Ia menggunakan ilmu silat Ho-kun dan gerakan-gerakannya menjadi tenang, dan lemas bagaikan burung Ho hendak terbang. Biarpun lemas tapi ia lincah sekali dan pukulannya mengandung tenaga besar.

Berpuluh-puluh jurus mereka berkelahi tapi belum juga dapat menjatuhkan lawan. Tiang Pek merasa penasaran dan segera ia mengeluarkan kepandaian simpanannya, yakni Ilmu Silat Angin Ribut. Benar saja, kecepatan yang ia gunakan dalam melakukan serangan ini membuat Kik Pin yang hanya bermata satu menjadi pusing. Mereka berdua berputar-putar cepat dan tahu-tahu Kik Pin berteriak dan terlempar dua tombak lebih, tapi jatuhnya masih berdiri tegak.

“Aku mengaku kalah,” katanya dengan wajah pucat.

Tiang Pek menjura dan napasnya agak terengah-engah. Sebenarnya, baru saja ia berhasil menotok dada lawannya yang tidak dapat menangkis pula tapi yang mengerahkan tenaga dalam untuk membentur totokan ini, namun tetap saja pendeta itu terluka di sebelah dalam, sedangkan Tiang Pek yang terlalu banyak mengeluarkan tenaga, menjadi lelah sekali. Melihat kekalahan-kekalahan di pihaknya, para pengurus muda dari Pek-lian-kauw menjadi marah dan dengan seruan keras, lima orang maju dengan senjata di tangan. Tiang Pek biarpun sudah lelah, melihat mereka maju pedangnya dan siap menghadapi mereka. Tapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

“Nyo-taihiap, mengasolah!” Dan Biauw In memutar pedangnya. Juga Ong Su dan Ong Bu, Sepasang Naga dari Tit-lee, tak senang mereka melihat pihak Pek-lian-kauw hendak mengeroyok, segera maju dengan tangan memegang tombak. Maka bertempurlah lima orang Pek-lian-kauw itu melawan Biauw In Suthai dan kedua orang saudara Ong. Tapi biarpun jumlah mereka banyak, pengurus-pengurus Pek- lian-kauw itu tidak dapat menandingi Biauw In, Ong Su dan Ong Bu.

Lebih-lebih Biauw In Suthai, pedangnya berkelebat ke sana-sini dan sebentar saja lengan seorang lawan terbabat putus. Empat orang kawannya segera mengeluarkan senjata rahasia dan dengan berbareng mereka menyambit.

Delapan buah piauw beracun melayang ke arah Biauw In Suthai dan kedua Naga itu. Masih lebih baik kiranya kalau orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak menggunakan senjata rahasia, karena Biauw In Suthai adalah seorang ahli am-gi atau senjata rahasia yang terkenal.

Sekali ia berseru nyaring tubuhnya bergerak ke kanan kiri dan dari delapan senjata piauw itu, lima telah berada di tangannya sedangkan yang tiga telah dapat disampok jatuh oleh Kedua Naga dari Tit- lee.

“Ini, makan senjatamu sendiri,” kata Biauw In Suthai dan ia mengayunkan kedua tangannya.

Empat piauw melayang ke arah empat orang Pek-lian-kauw tadi, dan yang sebuah lagi melayang cepat ke arah Bong Cu Sianjin. Ketua Pek-lian-kauw ini dengan perlahan menggunakan kebutannya menyabet dan piauw itu terpukul jatuh. Tapi diantara empat orang, hanya dua orang yang dapat berkelit dengan bergulingan, sedangkan yang dua orang lagi tidak keburu berkelit sehingga dada masing-masing tertancap piauw sendiri. Racun piauw itu jahat sekali, karena segera tubuh mereka menjadi biru dan mereka rebah tidak berkutik lagi.

Bong Cu Sianjin marah sekali. Ia meloncat, keluar dari ruang itu ke dalam taman. “Gwat Liang kalau kau berani, ikutlah aku!”

“Mengapa tidak berani?” Gwat Liang menjawab dan meloncat mengejar.

Cin Han dan yang lain-lain merasa khawatir kalau Gwat Liang Tojin mendapat celaka oleh tipu muslihat ketua Pek-lian-kauw itu, segera berloncatan menyusul.

Di tengah-tengah taman bunga itu ternyata ada sebuah telaga kecil penuh bunga teratai. Tapi bunga- bunga yang terapung di atas air itu agaknya memang diatur karena jarak dari yang satu kepada yang lain tepat dua kaki jauhnya. Benar saja, ketika diperhatikan, ternyata di bawah tiap bunga dipasangi ujung tombak yang runcing sekali. Tapi Bong Cu Sianjin dengan gerakan Burung Kepinis Sambar Capung, meloncat ke tengah telaga dan kaki kirinya menginjak setangkai bunga.

Sebetulnya bukan bunga yang diinjaknya, tapi ujung sebuah tombak. Maka dapat dibayangkan betapa tinggi ginkangnya, karena orang dengan kepandaian yang belum tinggi mana berani meloncat dan berdiri di atas ujung tombak yang runcing.

“Aha, baru bisa begini saja kau sombong.” Dan tahu-tahu sehabis berkata begini, Song Cu Ling, sudah berada di atas sebuah ujung tombak pula.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar