Si Teratai Emas Jilid 7

Jilid 7

Rungan ini lebar dan lantainya dari marmer mengkilap, dindingnya penuh dengan lukisan-lukisan dan sajak-sajak berpasangan yang serba indah dan nyeni. Ti-Ciangkun memasuki ruangan ini dulu, di ikuti oleh Shi Men berusaha menutupi rasa rendah dirinya dengan langkah yang tegap dan gagah. Di tengah ruangan terdapat sebuah kursi besar tertutup kulit harimau, menghadap pintu masuk. Di atas kursi itu duduk Sang Perdana Menteri, memakai pakaian kebesaran berwarna merah dengan sulaman ular-ular hijau dan biru dengan dasar kuning emas. Di belakangnya nampak tirai halus yang tembus pandang sehingga kelihatanlah tirai itu kurang lebih tiga puluh orang wanita cantik seperti sekelompok bidadari di antara awan putih, mengipasi diri mereka dengan kipas atau sapu-tangan sutera, dengan penuh perhatian menonton apa yang sedang terjadi di dalam ruangan itu.

Ti-Ciangkun melangkah minggir dan membiarkan Shi Men berhadapan dengan Perdana Menteri Cai, Shi Men berlutut dan memberi hormat dengan, bersoja empat kali. Perdana Menteri Cai bangkit berdiri dan mengangguk sediklt, sebagai tanda pembalasan penghormatan ltu. Ti-Ciangkun lalu melangkah, mendekati kursi dan berbisik di dekat telinga atasannya..., Shi Men tahu bahwa bisikan itu berhubungan dengan keinginannya untuk rnenjadi “anak angkat” pembesar tinggi itu. Ketika Ti-Ciangkun mundur kembali, Shi Men memberi hormat lagi dengan empat kali soja (merangkap kedua tangan di depan dada), dan sekali ini Sang Perdana Menteri tetap duduk saja. Hal ini menandakan bahwa pembesar itu menerimanya sebagai anak angkat, dan sebagai ayah angkat tentu saja tidak perlu membalas penghormatan puteranya. Shi Men lalu berkata dengan penuh hormat.

“Ayahanda yang mulia, untuk merayakan hari bahagia ini puteranda datang membawa beberapa barang yang tidak berharga untuk dihaturkan di bawah kaki Ayahanda, sekedar tanda bahwa puteranda selalu menghormat Ayahanda dari jauh.” Sang Perdana Menteri memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk mengambilkan sebuah kursi dan memberi isyarat kepada Shi Men untuk duduk.

Ketika kepada Shi Men dihidangkan air teh, Ti-Ciangkun lalu menghampiri pintu masuk dan membuka daun pintu. Maka berbondong-bondong masuklah para tamu yang hendak manghaturkan selamat berikut barang-barang hadiah yang mereka bawa dan semua barang yang serba indah ltu ditumpuk di atas lantai di depan kaki Perdana Menteri yang melihat dengan wajah berseri sambil membaca daftar barang sumbangan itu, memerintahkan pengawal untuk membawa barang-barang itu ke dalam, mengucapkan kata-kata terima kasih dan menyuruh orang-orangnya menyuguhkan arak kepada semua tamu. Shi Men yang sudah diterima sebagai “anak angkat” itu merasa tidak pantas kalau tinggal terlalu lama di situ karena Sang Perdana Menteri masih harus menerima tamu, maka setelah mencicipi arak dia lalu berpamit.

“Malam ini kuharapkan engkau menjadi tamuku,” kata Perdana Menteri dengan ramah, bahkan dia mengantarkan Shi Men sampai beberapa langkah ke arah pintu depan. Setelah tiba di gedung Ti- Ciangkun, Shi Men menanggalkan pakaian kebesarannya, lalu merebahkan diri beristirahat.

Pada sore harinya, dengan mengenakan pakaian kebesaran lagi, Shi Men untuk ke dua kalinya mengunjungi Istana Perdana Menteri. Undangan untuk makan malam bersama sang Perdana Memteri ini merupakan kehormatan besar sekali bagi Shi Men. Semua ini berkat sikapnya dan terutama sekali keroyalannya dalam memberikan hadiah. Tidak ada di antara tamu yang menyerahkan hadiah sebanyak yang diberikan Shi Men dan hal ini amat berkenan dihati Sang Perdana Menteri. Selain itu, juga pujian- pujian yang diberikan oleh Kepala Pengawal Ti-Ciangkun kepada atasannya itu membuat pembesar tinggi itu merasa lebih suka kepada Shi Men. Memang Shi Men pandai sekali mengambil hati. Hatinya sendiri merasa gembira sekali dan menganggap bahwa usahanya telah berhasil baik.

Ketika malam itu dia diterima oleh Sang Perdana Menteri dengan penuh keramahan, diajak makan malam berdua dihibur oleh dua puluh empat orang gadis cantik yang menari, bernyanyi dan bermain musik, dia merasa seolah-olah dia telah menjadi keluarga Perdana Menteri! Pembesar itu bahkan menyuguhkan secawan arak kepada Shi Men dengan tangannya sendiri. Shi Men mula-mula tidak berani menerimanya, akan tetapi atas desakan Sang Perdana Menteri, dia meminum habis arak itu sambil berdiri. Kemudian dia memberi isyarat kepada Shu Tung, seorang kacungnya, yang mengeluarkan sebuah cawan terbuat dari emas berukir dalam bentuk bunga, cawan yang sengaja dibawanya dari rumah. Dengan cawan emas ini terisi penuh arak, sambil berlutut Shi Men menyuguhkannya kepada Sang Perdana Menteri sambil berkata,

“Ananda mohon Ayahanda minum arak ini, semoga Ayahanda diberi panjang usia sampai ribuan tahun!” Sang Perdana Menteri menerima suguhan itu dengan terharu menyaksikan kebaktian anak angkatnya yang baru itu, dan diapun menerimanya sambil berkata,

“Bangkitlah, puteraku” kemudian dia minum habis arak itu. Tehtu saja cawan emas yang amat indah itu dimaksudkan untuk hadiah pula kepada sang pembesar tinggi. Setelah makan minum sepuasnya, Shi Men yang tahu diri maklum bahwa sudah waktunya untuk mengundurkan diri.

Tidak lupa dia membagi-bagikan uang kepada semua gadis penghibur, kepada para pelayan secara royal sekali dan dengan penuh penghormatan sebagai seorang “anak angkat” yang baik dan berbakti, dia berlutut dan berpamit dari Ayahnya dan kembali ke gedung Ti-Ciangkun untuk beristirahat. Delapan hari lamanya Shi Men berada di Kotaraja, dan kesempatan ini dipergunakannya untuk mengunjungi pembesar-pembesar dengan membawa sekedar hadiah sehingga namanya semakin dikenal di kalangan pembesar Kotaraja dan hubungannya menjadi semakin baik. Akhirnya diapun berpamit dari Ti-Ciangkun dan pulang ke kotanya secepatnya, karena dia sudah merasa rindu sekali dengan para isterinya. Kedatangan Shi Men ini disambut oleh para isterinya di depan pintu gerbang dan kesibukanpun terjadilah di rumah itu, karena puiangnya Shi Men disambut dengan pesta oleh keluarganya. “Bagaimana keadaan puteraku? Apakah engkau sudah sembuh dan mlnum obat dari Tabib Yen secara teratur?” pertanyaan ini yang pertama keluar dari mulutnya, ditujukan kepada isterinya yang ke enam, Nyonya Peng. .

“Anak kita sehat saja, dan aku sendiri merasa agak mendingan setelah minum obat,” Nyonya Peng menjawab. Kim Lian memelihara seekor kucing dalam pondoknya. Kucing Itu besar dan memiliki bulu yang indah, tebal halus berwarna putih seluruhnya, kecuali sedikit warna hitam di tengah kepalanya. Karena bulunya itu maka Kim Lian memberinya nama Salju.

Kucing inilah yang menjadi sahabat baik Kim Lian, bahkan di waktu Shi Men tidak datang mengunjunginya dan tidak tidur di kamarnya, ia membawa Salju ke tempat tidurnya. Kucing itu bersih dan agaknya setia dan penurut terhadap Kim Lian yang menyanyangnya. Sekali panggil saja, kucing yang sudah mengenal benar suara, majikannya, akan berlari datang, dan sekali menggerakkan tangannya, Kim Lian dapat menyuruhnya, pergi. Kim Lian bahkan melatihnya untuk mengambilkan kipas dan saputangan. Sebagai upahnya, ia memberinya daging segar setiap hari, baik dipanggang atau dimasak. Tldak mengherankan kalau Salju menjadi semakin gemuk, bulunya makin tebal dan indah. Baru-baru ini Kim Lian memberi permainan baru untuk Salju. Ia mengajarnya untuk mencari daging makanannya sendirl yang dlsembunyikannya dan dibungkus dengan kain merah.

Akhirnya kucing itu menjadi pandai sekali menemukan dan mengambll daging Itu betapapun dibungkus kain merah. Tanpa setahu orang lain, Kim Lian kini memberinya daging mentah Pada suatu hari, Nyonya Peng meninggalkan puteranya yang masih bayi itu, dalam pakaian serba merah yang indah, di atas sebuah dipan di beranda terbuka dari pondoknya, dijaga oleh Ciu Hwa. Nyonya Peng sendiri pergi ke rumah induk untuk membantu Goat Toanio, dan wanita pengasuh Yu sedang makan di kamar sebelah. Karena anak itu tertidur nyenyak, Ciu Hwa menjadi agak lengah dan ia bercakap-cakap dengan pengasuh Yu I sambil berdiri di pintu kamar yang dekat itu. Mereka berdua tidak melihat betapa pada saat Itu, dengan loncatan ringan, kucing putih Salju meloncat ke atas dipan dan melihat Bayi dalam bungkusan pakaian merah,

Mungkin dia mengira bahwa ltu adalah segumpal daging besar untuknya. Dia menerkam dan menggunakan kedua cakar depannya untuk mencengkeram dan mencakar berusaha mengambil daging itu dari bungkusannya, juga menggigiti Dua orang wanita ltu terkejut bukan main mendengar jerit tangis anak itu. Mereka lari menghampiri dan terbelalak ngeri melihat betapa anak majikan mereka dicengkeram dan dicakari seekor kucing putih besar yang bukan lain adalah Si Salju Mereka cepat menubruk dan Yu I memondong anak itu, sedangkan Ciu Hwa mengejar kucing yang segera melarikan diri ketakutan. Anak itu berlumuran darah, tidak menangis lagi. Pakaiannya robek-robek, demikian juga kulit tubuhnya. Dia pingsan dan berkelojotan, matanya terbalik hanya nampak putihnya saja.

Mereka segera menjerit-jerit minta tolong. Gegerlah keadaan di rumah tangga Shi Men. Nyonya Peng berlarian dengan muka pucat mendengar bahwa puteranya tertimpa kecelakaan. Hatinya seperti ditusuk-tusuk, penuh kengerian, kedukaan dan kekhawatiran ketika ia melihat keadaan puteranya yang masih mendelik dan berkelojotan itu. Didekapnya puteranya sambil mendengarkan cerita Ciu Hwa dan Yu I yang menceritakan kejadian itu sambil menangis. Goat Toanio datang dan mendengar apa yang terjadi, ia segera menyuruh pelayan memanggil Kim Lian. Yu I dan Ciu Hwa menerangkan dengan pasti bahwa kucing putih milik Nyonya ke lima itulah yang menyerang Kwan Ko, anak bayi itu. Ketika Kim Lian ditanya, ia bersikap tenang dan berbalik tanya. “Siapakah yang mengatakan bahwa Si Salju yang melakukannya?” Goat Toanio menunjuk kepada pengasuh dan pelayan itu.

“Merekalah yang menjadi saksi?”

“Hemm, mereka adalah dua orang pembohong besar!” kata Kim Lian dengan sikap dingin.

“Pada waktu itu kucingku sedang tidur tenang di atas pembaringanku.” Goat Toanio kehabisan akal. “Bagaimanakah kucing itu dapat masuk ke sini?” ia bertanya kepada dua orang saksi itu.

“Sebelum ini ia memang sering meloncat masuk ke sini,” kata Ciu Hwa.

“Kalau begitu, kenapa ia tidak pernah mengganggu anak itu sebelumnya? Nah, jelaslah bahwa itu hanya fitnah belaka.” kata Kim Lian, merasa menang, dan dengan sikap marah ia lalu kembali ke pondoknya. Tentu saja sikap ini hanya permainan sandiwara saja bagi Kim Lian. Telah lama ia merencanakan ini. Dengan hati penuh cemburu dan iri ia melihat suaminya kini semakin dekat dengan Isteri ke Enam dan anaknya. Ia tahu bahwa ia kalah dalam memperebutkan perhatian Shi Men hanya karena adanya anak bayi itu. Oleh karena itu, demiklan ia mengambil keputusan, bayi itu harus disingkirkan! Tabib Liu yang diundang segera memeriksa keadaan bayi itu. Alisnya berkerut ketika dia berkata,

“Anak ini menderita guncangan batin yang hebat. Kalau saja dia dapat mengatasi ini secepatnya.” Segera tabib itu membuatkan ramuan jamu yang dimasak dan setelah dingin, dicekokkan ke dalam mulut anak itu. Tabib Liu masih belum puas dengan pengobatannya dan dia berkata,

“Cara terbaik untuk menolongnya adalah pembakaran di beberapa bagian tubuhnya menggunakan bara kayu cacing.”

“Akan tetapi hal itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Ayahnya, kalau tidak dia akan marah.” Goat Toanio rnenyatakan keberatannya. Akan tetapi Nyonya Peng yang amat mengkhawatirkan keadaan puteranya, berkata, “Ini adalah urusan mati hidup. Kalau kita menanti sampai Ayahnya pulang. jangan- jangan akan terlambat. Biarlah, aku yang bertanggung jawab kalau dia marah.”

“Kalau begitu, terserah dia adalah anakmu,” kata Goat Toanio. Tabib Liu lalu membakar ujung kayu cacing, dan dengan bara api itu dia membakar lima tempat, diantara alis mata, di bawah tenggorokan, di belakang kedua tangan, dan di pusar. Setelah dilakukan pengobatan ini, bayi itu tertidur nyenyak.

Ketika malam itu Shi Men pulang, Goat Toanio memberi uang kepada tabib itu dan cepat menyuruhnya pergi. Ia menceritakan kepada suaminya bahwa anak itu menderita sakit sawan dan sekarang belum begitu sembuh. Akan tetapi agaknya Shi Men merasa tidak enak hatinya, apalagi melihat betapa kedua mata isterinya yang ke enam merah bekas tangis, dan kecurigaannya timbul karena pengasuh dan para pelayan nampak diam saja dan tidak ada yang berani bercerita kepadanya ketika ditanya. Dia lalu memasuki kamar Goat Toanio dan dengan serius memaksa isteri pertamanya membuat pengakuan. Karena maklum bahwa hal itu tidak dapat disembunyikan lagi, Goat Toanio lalu menceritakan bahwa anak itu dikejutkan oleh kucing putih Si Salju sehingga terkena sawan dan diobati oleh Tabib Liu dengan bara kayu cacing. “Ibunya menghendaki agar anak itu segera diobati karena ia khawatir akan keselamatannya sehingga tidak menunggu engkau pulang. Tabib Liu membakarnya di lima tempat dan anak itu kini dapat tidur dengan nyenyak.” Shi Men terkejut dan marah bukan main. Sambil mengeluarkan suara kutukan dia meloncat dan lari ke pondok Kim Lian. Dia melihat kucing berbulu putih itu tiduran. Disambarnya kucing itu, dipegangnya kedua kaki belakangnya dan dibawa ke pekarangan, lalu diayunnya tubuh kucing dan dihantamkan ke dinding sehingga kepala kucing itu pecah, otak dan darah berhamburan, semua giginya rontok dan mati seketika. Dengan alis berkerut, duduk tak bergerak di atas dipan, Kim Lian melihat semua itu.

“Hemm, betapa kejamnya. Apa salahnya kucing yang malang itu maka dibunuh secara kejam dan penasaran?” Shi Men diam saja. Setelah membunuh kucing itu, dengan hati gelisah diapun memasuki pondok Nyonya Peng.

“Bagaimana engkau membiarkan tabib itu melakukan pengobatan seperti itu kepada anak kita?” Shi Men menegur isterinya yang ke enam. Kalau pengobatan itu berhasil baik, sudahlah. Akan tetapi kalau sebaliknya, aku akan membawa tabib itu ke pengadilan dan akan menghukumnya dengan siksaan.”

“Ah, sudahlah! Dia bermaksud baik, berusaha rnenyelamatkan anak kita.” Nyonya Peng membelanya. Akan tetapi harapannya untuk melihat puteranya Sembuh makin menipis. Malam itu, anaknya terserang demam panas dan pingsan, dan pada keesokan harinya, bayi itu tidak mau menyusu lagi.

Segala usaha dilakukan, bahkan seorang dukun peramal di undang untuk menolong. Segala macam pengobatan pedukunan dipergunakan, namun anak itu tidak dapat ditolong lagi Pada malam harinya, tepat ketika Shi Men datang, anak itu menghembuskan napas terakhir. Nyonya Peng tak dapat menahan ksedihannya. Seperti kemasukan setan nyonya ini menangis, bergulung-guJung di lantai, mencakari pipinya sendiri sampai berdarah, menjambaki rambutnya seadiri dan memukul-mukulkan kepalanya di atas lantai sampai pingsan. Setelah siuman, ia memondong mayat anaknya dan menangis terus tiada hentinya. Setelah berkabung selama dua puluh tujuh hari, akhirnya peti kecil yang terbuat dari kayu tebal dan dirias bagus itu diangkatlah oleh empat orang menuju ke pintu gerbang.

Di depan peti berjalan orang-orang yang membawa bendera merah tanda kematian, kipas-kipas bulu, dupa mengepul dan segala macam alat perlengkapan penguburan. Dua belas orang pendeta To dari Kuil Raja Kemala barjalan di kanan kiri peti, membunyikan musik kematian dan berdoa di sapanjang jalan. Setelah masa perkabungan selesai, kehidupan yang meriah dan gembira kembali nampak dalam rumah tangga keluarga Shi Men. Pesta meriah diadakan ketika Shi Men membuka sebuah toko cita yang baru. Lai Pao dan Han Tao Kok telah kembali dari perjalanan mereka ke Yang-Couw untuk urusan garam dan mereka kembali membawa ijin monopoli penjualan garam yang mendatangkan keuntungan besar. Kemudian kedua orang pegawai ini diutus lagi, yang seorang ke Nang-Kouw, seorang ke Nan-King, untuk membeli sutera seharga sepuluh ribu ons untuk mengisi tokonya yang baru.

Toko sutera besar ini dibuka oleh Shi Men dengan berkongsi. Kongsinya adalah keluarga Kiao, tetangga mereka yang kaya raya itu. Dan pesta pembukaan toko itu dirayakan dengan meriah, dihadiri oleh Shi Men dan Kiao, semua pegawai dan sahabat baik. Tentu saja Lai Pao dan Han Tao Kok yang diutus untuk mengurus pembelian sutera itu, selain memperoleh hadiah, juga diam-diam mereka dapat menyisihkan keuntungan untuk mereka sendiri di tempat pembelian. Maka, ketika Han Tao Kok pulang, dia memperlihatkan uang dua ratus ons kepada isterinya. Itulah uang keuntungan yang diperolehnya di tempat pembelian sutera, dan suami-isteri ini menjadi gembira sekali karena mereka diam-diam telah dapat mengumpulkan sejumlah modal uang yang tidak kecil untuk persiapan modal. Nyonya Peng tak pernah dapat sembuh kembali dari guncangan batin yang amat hebat sejak anaknya meninggal dunia. Semua usaha pengobatan dari tabib yang diundang, sia-sia belaka. Wajahnya menjadi pucat sekali, tubuhnya semakin kurus sehingga kecantikannya memudar. Pada suatu malam, ia tidur dengan gelisah sekali, ia tersiksa oleh sebuah mimpi. la seperti mendengar ada orang mengetuk-ngetuk daun jendela kamarnya. Tergesa-gesa ia bangkit, mengenakan sandal dan pakaian, lalu memanggil pelayan dan pengasuh. Akan tetapi tidak ada jawaban karena mereka itu tidur pulas. Karena itu, ia sendiri lalu keluar dari pintu untuk melihat siapa orangnya yang mengetuk daun jendela itu. Dan di bawah sinar bulan ia melihat suaminya yang dulu, yaitu Hua Ce Shu yang telah mati, kini berdiri di depannya.

Hua Ce Shu memondong anaknya yang, telah mati di dalam rangkulannya, dan memberi isyarat kepadanya untuk ikut. “Rumah baru untuk kita bertiga telah jadi. Mari ikut bersamaku!” Dia berbisik. Nyonya Peng menggigil. Ia tidak ingin meninggalkan Shi Men, namun ia ingin sekali berada bersama anaknya. la berusaha untuk merampas anak itu dari pondongan suaminya yang pertama. Akan tetapi dia mendorongnya dengan keras sehingga ia terhuyung ke belakang dan diapun lenyap bersama anak itu. Dengan kaget dan mengeluarkan keringat dingin, Nyonya Peng kembali ke tempat tidurnya. la telah bermimpi. Hidup memang seperti mimpi saja. Suka dan duka datang silih berganti. Tiada yang kekal di dunia ini. Yang pasti, kesenangan hanya selewatan saja seperti tiupan angin, lalu berganti dengan yang agaknya lebih berkuasa, lebih sering mengisi kehidupan manusia.

Ciu Hwa terbangun dengan kaget, seperti ada yang menggugahnya. Lampu perak di atas meja masih menyala. la bangkit dan menghampiri tempat tidur majikannya, membungkuk dan mengamati wajah majikannya yang disangkanya masih tidur pulas. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pelayan itu. Wajah nyonya majikannya demikian pucat, dan tidak ada pernapasan keluar dari hidung dan mulutnya! Ia meraba, mendengarkan, dan akhirnya menjerit dan menangis sehingga mengejutkan seluruh anggauta keluarga yang segera lari berdatangan. Seorang wanita muda yang cantik jelita telah meninggal dunia dalam usia yang Muda sekali! Dan kembali Kim Lian memperoleh kemenangan untuk ke sekian kalinya! Akan tetapi benarkah bahwa kejahatan selalu memperoleh kemenangan atas kebaikan?

Benarkah orang-orang yang curang dan jahat dapat hidup makmur penuh kemenangan, sebaliknya orang-orang yang jujur dan baik hidup serba kekurangan? Benarkah bahwa yang jahat selalu menang dan sebaliknya yang baik selalu kalah? Memang demikian nampaknya, karena memang di dunia ini penuh dengan kepalsuan manusia. Kekuasaan setan kelihatan menang di dunia ini, sehingga kebenaran dan keadilan nampaknya terinjak-injak, teriakan penasaran menjulang tinggi ke langit. Namun, yang jahat tapi menang dan yang baik tapi kalah tidak boleh melupakan bahwa bagaimanapun juga, terdapat HUKUM KARMA di dunia ini. Hukum Karma adalah bukti Keadilan Tuhan. Siapa menanam, dia menuai. Cepat atau lambat, Hukum Karma akan menyusul dan menangkapnya, dan akan menjatuhkan imbalan yang setimpal dengan segala perbuatannya.

Di dalam kehidupan ini, yang ada hanyalah dua hal yang tersembunyi dalam setiap peristiwa dan perbuatan, yaitu menanam atau menuai. Asal saja kita ingat untuk menanam yang baik-baik saja dalam perbuatan kita! Asal saja kita ingat bahwa segala peristiwa yang menimpa kita hanyalah buah yang kita tuai dari bibit yang kita tanam sendiri! Tuhan Maha Adil, dan jalan keadilan yang diambil Tuhan memang sukar dimengerti oleh otak kita yang terbatas kemampuannya, namun keadilan itu PASTI datang. Karena itu, dalam lembaran-lembaran berikutnya, kita akan melihat betapa hukum karma akan mengejar dan menangkap semua tokoh dalam cerita ini, menjatuhkan hukuman atau memberi ganjaran sesuai dengan amal perbuatan mereka masing-masing. HUKUM KARMA tak dapat dielakkan!

Ada tiga peristiwa dalam hidup yang amat penting bagi setiap orang manusia, di mana dia menjadi pusat perhatian orang-orang lain, yaitu di waktu dia lahir, kemudian di waktu dia menikah dan yang terakhir, di waktu dia meninggal yang pertama dan terakhir merupakan peristiwa yang bertolak belakang, dengan sambutan-sambutan yang saling bertolak belakang pula. Setiap orang manusia terlahir dengan menangis dan gaduh akan tetapi disambut oleh orang-orang lain dengan tertawa gembira, kemudian ketika mati dia tersenyum atau setidaknya wajahnya tenang, namun disambut oleh orang-orang lain dengan tangis sedih!

Dan waktu antara lahir dan mati demikian singkatnya! Berbahagialah orang yang dapat mengisi waktu sesingkat itu dengan suatu perbuatan yang bermanfaat, bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. Rumah tangga keluarga Shi Men berkabung. Kematian Nyonya Peng, isteri ke enam dari Shi Men, mendatangkan kedukaan dan kehilangan besar, terutama bagi Shi Men setelah baru saja dia kehilangan anak laki-laki tunggalnya, yaitu putera Nyonya Peng. Pagi itu Shi Men sedang duduk menghadapi sarapan pagi bersama beberapa orang temannya yang berlayat, ditambah pula mantunya, Chen Ceng Ki, pengawal baru Han Tao Kok, dua orang Kakak dari Goat Toanio yang datang berlayat, ketika pelukis Han yang diundang Lai Pao datang ditemani Lai Pao.

Shi Men menyambut pelukis kenamaan ini lalu mengantarnya ke ruangan di mana jenazah Nyonya Peng diletakkan. Pelukis itu menyingkap tirai “Seribu Musim Gugur” yang menutupi muka jenazah, dan untuk beberapa lamanya dia mengamati wajah itu. Biarpun telah mati, wanita itu masih memiliki kecantikan yang mengagumkan. Kecuali amat pucat sehingga tidak wajar, wajah itu masih memperlihatkan kecantikan yang membuat Shi Men kembali menitikkan air matanya melihat wajah isteri tercinta itu. Pelukis Han segera mulai bekerja, melukis wajah wanita itu di atas kain sutera yang dipegangi oleh Lai Pao dan Kiu Tung. Orang-orang lain merubung dan menonton gerakan tangan yang dan mantap dari si pelukis.

“Wajah yang anda lihat ini adalah wajah orang yang telah menderita sakit. Sebelum itu wajah ini lebih gemuk dan lebih cantik,” kata Ying Po Kui.

“Saya tahu,” jawab si pelukis. “Kalau saya tidak salah ingat, saya pernah melihatnya, yaitu pada tanggal satu bulan Iima ketika ia mengunjungi Kuil Lima Gunung Suci untuk bersembahyang.”

“Benar,” kata Shi Men. “Ketika itu ia masih kuat dan sehat, Pergunakanlah seluruh kepandaianmu untuk melukisnya. Saya menghendaki dua lukisan darinya, sebuah setengah badan dan sebuah lagi seluruh badan. Saya akan memberimu sepuluh ons perak dan segulung kain sutera.”

“Baiklah, jangan khawatir, saya akan membuat sebagus mungkin,” jawab pelukis Han dan diapun mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ketika dia menyelesaikan lukisan pertama, semua orang memujinya. Shi Men merasa senang sekali dengan hasil lukisan itu dan dia segera menyuruh Tai A untuk membawa lukisan itu ke dalam, memperlihatkannya kepada Goat Toanio dan isteri-isteri yang Iain.

“Majikan minta pendapat nyonya-nyonya mengenai lukisan ini,” kata kacung itu.

“Kalau ada kekurang miripan, harap memberi tahu agar dapat dirubah oleh pelukisnya.” “Waah, terlalu berlebihan!” kata Kim Lian dengan suara tidak setuju. “Boleh jadi ia kelihatan seperti ini di waktu masih gadis muda, akan tetapi tidak, sesudah menjadi isterinya. Terlalu muda dan terlalu cantik! Akan tetapi aku ingin sekali tahu apakah kitapun akan dibuat gambar kita kalau kita mati? Kitapun berhak!”

“Memang agak terlalu cantik,” kata isteri ke dua dan ke tiga, “bibirnya terIalu penuh.”

“Dan alisnya seharusnya lebih melengkung,” kata Goat Toanio. “Betapapun juga, gambar ini mirip sekali.”

“Pelukis itu pernah rnelihalnya di Kuil Lima Gunung Suci ketika sedang bersembahyang. Dia mengingat wajahnya seperti ketika dilihatnya dahulu,” kata A Tai menerangkan. Ketika gambar itu dibawa kembali, A Tai memberi tahu kepadanya.

“Menurut pendapat para nyonya, bibirnya agak lebih tipis sepasang alisnya lebih melengkung.”

“Ah, itu mudah saja,” kata si pelukis dan dengan beberapa goresan saja dia telah membereskan kekurangan itu. Tetangga Kian juga kongsi Shi Men yang datang menjenguk, juga berseru kagum melihat lukisan itu,

“Sungguh bagus sekali, seperti hidup saja!” Dengan girang Shi Men lalu menjamu pelukis itu dan memesan gambar setengah badan itu cepat di selesaikan. untuk digantung di atas meja sembahyang si mati. Adapun gambar yang sepenuh badan boleh dikerjakan di rumah, karena, gambar itu kelak akan dibawa di depan peti mati pada saat penguburannya. Perkabungan itu berlangsung empat minggu dan selama itu, Shi Men setiap malam tidur di atas dipan sederhana bertilamkan tikar, dekat dengan peti mati Nyonya Peng, hanya tertutup tirai,

Setiap malam dia tidur di situ, dan pada keesokan harinya baru dia memasuki kamar Goat Toanio untuk mencuci badan dan membereskan rambutnya, Dia tidur ditemani kacungnya, Shu Tung dan pagi harinya, setelah dia bangun, dipan di mana dia tidur itu dibereskan oleh Siauw Giok, pelayan manis itu, Karena setiap pagi bertemu maka terjadilah keakraban antara Shu Tung dan Siauw Giok. Mereka seringkali menggunakan kesempatan bertemu di pagi hari ini untuk mengobrol dan bersendau gurau. Hubungan antara pria dan wanita memang mengandurng bahaya, seperti kalau minyak bakar dan api didekatkan. Mudah terbakar! Terdapat daya tarik satu sama lain antara pria dan wanita, maka kalau keduanya didekatkan, mudah terbakar.

Terdapat daya tarik satu sama lain antara pria dan wanita, maka kalau keduanya di dekatkan munculah selalu bahaya kebakaran itu. Demikian pula dengan Shu Tung dan Siauw Giok. Pada suatu hari dalam minggu ke dua, Shi Men bangun pagi sekali. meninggalkan dipannya dan pada waktu itu semua isi rumah masih tidur, Shu Tung dan Siauw Giok mempergunakan kesempatan ini untuk pergi berdua ke pondok perpustakan di dalam taman dan di sana mereka berdua tenggelam ke dalam kemesraan cinta mereka. Pada saat itu, Kim Lian juga bangun pagi-pagi, dan segera mengunjungi Shi Men. Ketika ia tidak melihat suaminya, juga tidak melihat para pelayan, ia lalu mencari Shi Men ke dalam taman. Dan ketika ia tiba di dekat pondok perpustakaan, iapun mendengar suara-suara orang bermesraan. la membuka pintu dan menerjang masuk, dan mendapatkan kedua orang pelayan itu bersatu dalam pelukan. “Hemm, bagus sekali, ya?” bentak Kim Lian. Kedua orang itu terkejut, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kim Lian yang berdiri memandang mereka dengan senyum mengejek.

“Shu Tung, ambilkan sutera putih dan kain putih untukku,” perintahnya dengan suara ketus. Shu Tung cepat lari ke gudang untuk mengambilkan barang yang diminta. Kim Lian sedikitpun tidak memperdulikan Siauw Giok yang masih berlutut, bahkan iapun diam saja ketika gadis itu mengikutinya dari belakang dengan sikap takut-takut. Ketika mereka tiba di pondok, Siauw Giok menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan suara pilu mohon kepada Kim Lian agar jangan dilaporkan kepada Shi Men apa yang telah terjadi di dalam pondok perpustakaan tadi.

“Mengakulah sejujurnya, perempuan tak tahu malu!” Kim Lian memakinya. “Sudah beberapa kali engkau bermain gila dengan Shu Tung?” Dengan suara gemetar Siauw Giok mengaku bahwa baru pertama kali itulah ia mengadakan pertemuan rahasia dengan pelayan itu dan betapa hubungan antara mereka menjadi akrab semenjak Shi Men tidur di ruangan itu sehingga mereka berdua dapat saling bertemu di pagi hari.

“Kau ingin agar aku mengampunimu dan tidak melaporkanmu. Nah, aku akan memenuhi permintaanmu, akan tetapi hanya dengan tiga syarat.”

“Baiklah, nyonya, katakan tiga syarat itu dan saya pasti akan melaksanakan perintah itu.”

“Pertama, di masa depan engkau harus menceritakan kepadaku segala yang terjadi di dalam kamar nyonya majikanmu, Goat Toanio. Kalau engkau merahasiakan sesuatu aku akan melaporkanmu. Ke dua, segala perintahku haruslah kau taati. Dan ke tiga, ceritakan bagaimana majikanmu dapat hamil kembali setelah bertahun-tahun mandul.” Siauw Giok yang sudah tersudut oleh Kim Lian, tak dapat menolak untuk membuka semua rahasia tentang obat kesuburan dari Pi Nikouw yang berhasil membuat Goat Toanio mengandung. Diam-diam Kim Lian mencatat semua itu di dalam hatinya. lapun membiarkan gadis pelayan itu bebas. Akan tetapi Shu Tung sudah menjadi ketakutan. Membayangkan hukuman berat yang akan diterimanya, dan ancaman dalam pandangan mata yang dingin dari nyonya majikan kelima. dia lalu pergi meninggalkan pekerjaannya sebagai pelayan keluarga Shi Men.

Tibalah hari ke dua belas bulan sepuluh, hari pemakaman yang dinanti-nanti itu. Untuk keperluan ini, dari para sahabatnya yang menduduki jabatan tinggi, Shi Men menerima bantuan berupa lima puluh orang perajurit untuk melakukan pengawalan dan penjagaan ketika peti jenazah diusung ke pemakaman. Sejak pagi sekali di depan rumah Shi Men telah terjadi kesibukan yang luar biasa, suara ringkik kuda dan kegaduhan kereta para pejabat yang berdatangan dari dalam dan luar kota untuk ikut melayat.

Lebih dari seratus joli besar kecil berbaris di situ, diduduki keluarga wanita dari rumah Shi Men dan para tamu. anggauta keluarga wanita dalam rumah tangga Shi Men ikut dalam pawai pemakaman itu, kecuali isteri ke empat Sun Siu Oh yang tinggal menjaga rumah ditemani oleh Wang Nikouw dan Pi Nikouw, sedangkan pelayan Ping An ditemani sepuluh orang perajurit, berjaga di pintu gerbang. Tepat jam delapan pagi, pemimpin pawai meniup peluitnya dan tiga puluh empat pemikul peti mati yang amat berat itupun bersiap siaga. Dan mulailah pawai pemakaman yang mewah itu. Di depan sekali berjalan mereka yang membawa bendera dan umbul-umbul kehormatan, dan banyak patung-patung kertas dan uang kertas perak yang nanti akan dibakar sebagai “bekal” untuk si mati. Di depan peti berjalan pasukan yang membunyikan musik pemakaman. Tepat di belakang peti mati yang dipikul oleh banyak orang itu adalah joli yang ditumpangi Goat Toanio dan para isteri Shi Men yang lain, disusul joli para wanita tamu yang merupakan barisan panjang. Chen Ceng Ki, mantu Shi Men yang semenjak perkabungan itu bertindak selaku wakil putera keluarga itu, berjalan di dekat peti dengan satu tangan memegang pikulan, seolah-olah dia sedang membantu pengusungan peti mati, seperti yang selayaknya dilakukan seorang putera yang berbakti. Pagi itu cerah sekali. Di sepanjang jalan yang dilalui pawai pemakaman penuh dengan penonton dan mereka semua mengagumi kemewahan yang berlebihan dalam pawai pemakaman ini, seperti pesta saja, dan sudah lama sekali mereka tidak pernah menyaksikan pemakaman yang demikian indahnya.

Ketika keluar dari Jalan Kedelapan, pawai itu berhenti atas isyarat pemimpin pawai. Bu Tosu, ketua Kuil Giok-Ong-Bio yang mengenakan pakaian resmi sebagai seorang Pendeta, di luar jubah Pendeta kemerahan itu dia memakai mantel dari bulu bangau lima warna, di atas kepalanya sebuah mahkota susun sembilan melambangkan guntur dan kilat, dan kakinya memakai sepatu baru, dan tangannya memegang meja kecil dari gading. Diapun dipikul di atas tandu oleh empat orang pemikul dan kini Bu Tosu, atas isyarat dari Shi Men, tiba-tiba membuka gulungan gambar lengkap dari si mati yang telah dilukis oleh pelukis Han. Chen, mewakili putera keluarga, segera berlutut di depan gambar itu, di atas jalan berdebu dan dengan suara yang lantang Bu Tosu mengucapkan kata-kata berkabung dan pemujaan terhadap si mati.

“Biarpun arwahnya telah memasuki Sorga dan tubuhnya kembali ke bumi, namun di dalam gambar ini, ia akan terus hidup dalam generasi ini dan generasi mendatang.” Demikianlah dia rnelanjutkan kata-kata pujian sambil mengibarkan gambar itu di atas kepala para pengikut. Kemudian dia turun dari tandu dan kembali lagi, diiringi bunyi musik, dan pada, saat itu, dari para pelayat membubung tangis dan ratap yang bergema sampai ke awan dan mengguncang bumi.

Dan pawai itupun bergerak maju lagi. Dari Pintu Gerbang Selatan, Shi Men dan para pelayat lainnya yang tadi berjalan kaki, kini menunggang kuda atau kereta. Hanya Chen saja, sebagai wakil putera keluarga, harus melanjutkan dengan jalan kaki, dengan tangan di pikulan, sampai akhir perjalanan itu. Ketika pawai tiba di pintu gerbang tanah kuburan, di situ telah menanti dua ratus pasukan yang menyambut dengan gambar dan canang sebagai penghormatan. Pada tengah hari itu, setelah diadakan persembahyangan kepada Ibu Bumi, peti mati ltu perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah dan pemakamanpun berlangsung. dengan penuh kehormatan, dengan upacara-upacara yang mengikutinya, pembakaran segala macam patung kertas sebagai bekal.

Keadaan di situpun menjadi bising, pengap dan panas. Setelah pemakaman selesai dan semua orang kembali ke rumah keluarga Shi Men, meja sembahyang yang tadinya ditaruh di ruangan itu kini dipindahkan ke dalam kamar si mati yang telah dibersihkan, dan ditempatkan di sudut yang terhormat. Tidak lupa diadakan upacara pengorbanan kepada para dewa penjaga rumah tangga, dan membersihkan rumah itu dari pengaruh-pengaruh setan jahat, menyapu lantai di luar pintu dan segala macam tradisi dan kepercayaan tahyul yang berlaku. Berakhirlah upacara yang berlangsung selama empat minggu itu, semenjak kematian sampai ke pemakaman dan tentu saja upacara itu menghabiskan uang yang tidak sedikit jumlahnya.

Pada malam harinya, setelah semua pelayat pulang dan rumah itu menjadi tenang kembali, Shi Men terdorong oleh keinginan besar untuk mengunjungi pondok isterinya yang telah mati. Dia ingin bermalam di kamar itu, di dekat meja sembahyang dekat jendela kamar. Di meja sembahyang itu terpasang gambar setengah badan dari si mati, dan dinding tergantung gambar yang seluruh badan. Kamar itu diatur presis seperti ketika penghuninya masih hidup, tempat tidurnya baru saja dibereskan, dengan tilam dan bantal yang serupa seperti biasanya. Di sandaran kursi tergantung pakaian yang biasa dipakai si mati, di atas meja rias terdapat segala macam alat rias yang biasa ia pergunakan, juga nampak sepasang sandal yang biasa menyembunyikan kakinya yang kecil mungil.

Tempat bunga segar, dan di meja kecil dekat tempat tidur terdapat tempat buah yang terisi buah, manisan dan kue, dan juga dua buah cawan yang sering ia pergunakan minum sedikit anggur sebelum tidur. Melihat semua benda yang tidak asing ini mengingatkan Shi Men akan isterinya yang telah meninggal dan air matanya jatuh bercucuran. Sambil menghela napas panjang diapun merebahkan diri di atas tempat tidur sambil memandang ke arah gambar isterinya tercinta itu. Akhirnya, kelelahan membuat dia tertidur nyenyak. Pada keesokan harinya, ketika makan pagi dihidangkan, dia meletakkan piring ke dua untuk isterinya yang tidak nampak, seperti yang biasa mereka lakukan kalau sarapan berdua, menaruhkan sedikit masakan di atas piring kosong itu dan berbisik,

“Mari kita makan, sayang,” seolah-olah isterinya itu benar-benar duduk disampingnya. Dengan perasaan iba, perawat Yu I dan pelayan Ciu Hwa melihat kelakuan aneh dari majikan mereka itu. Demikianlah keadaan Shi Men selama tiga hari tiga malam, tak pernah meninggalkan kamar. Pada hari ke tiga, dia menerima tamu-tamu di sore hari dan malam itu dia merebahkan diri dengan tubuh yang terasa lesu dan lelah, juga dia merasa haus sekali, ingin minum semangkuk air teh yang segar.

Akan tetapi malam itu telah larut dan Ciu Hwa telah tidur, dan tidak mendengar panggilannya. Karena yang mendengar permintaannya itu adalah pengasuh muda Yu I, maka ialah yang bangkit dan membawakan air teh seperti yang diminta majikannya. Ketika Yu I berlutut di samping tempat tidur, menyuguhkan air teh, tiba-tiba saja bangkit gairah nafsu berahi Shi Men dan tanpa banyak cakap lagi, setelah minum air teh itu, dia merangkul Yu I dan menciuminya. Pelayan ini sedikitpun tidak meronta, bahkan membalas rangkulan Shi Men dan melayani segala keinginan hati Shi Men dengan senang hati. Dan malam itu Shi Men berhasil memiliki Yu I yang kebetulan muncul pada saat berahi membakar dirinya, setelah selama masa perkabungan dia menahan diri dan menjauhi kesenangannya itu.

Pada keesokan harinya, Shi Men berjanji untuk tidak melupakan Yu I dan pengasuh muda ini diberinya empat penjepit rambut dari emas yang dahulu menjadi milik nyonya majikannya. Rahasia ini segera diketahui oleh Ciu Hwa, melihat dari sikap Yu I yang sama sekali berubah, dan iapun menerima hal ini sebagai suatu kenyataan bahwa kini Yu I setidaknya memiliki kedudukan yang tidak berada di sebelah bawahnya. Asap tak dapat ditutup, dan tak lama kemudian, dari sikap Yu I sendiri, hampir semua penghuni rumah tangga dari keluarga itu dapat menduga apa yang telah terjadi antara majikan dan Yu I. Dan tentu saja Kim Lian segera dapat mengetahui akan hal itu. Dengan marah ia mendatangi Goat Toanio untuk melaporkan akan hubungan antara suami mereka dan Yu I.

“Hal ini tidak boleh dilanjutkan, Toaci, engkau harus turun tangan! Sungguh memalukan sekali cara dia bermain gila dengan pengasuh itu di belakang kita. Hal itu terjadi sama seperti dengan isteri pegawai dahulu itu, si Lian Cu. Apakah kita harus membiarkan peristiwa memalukan itu terulang kembali sekarang? Kalau babu momong itu kelak melahirkan anak darinya, bagaimana kita dapat berhadapan dengannya? Wah, ia tentu akan mentertawakan kita!” Akan tetapi Goat Toanio tidak memperdulikan semua bisikannya. la teringat akan pesan terakhir dari nyonya yang ke enam sebelum meninggal dunia agar ia berhati-hati terhadap Kim Lian.

“Aku tidak mau campuri urusan Ini” katanya dengan sikap đingin, “Engkau selalu minta agar aku menjadi pembicaranya, dan apabila keributan tiba, kalian semua menyelamatkán diri dan bersembunyi, sedangkan aku sendiri yang harus menghadapinya. Sekarang aku telah berpengalaman, dan jika engkau tidak menyukai peristiwa itu, engkau sendirilah yang harus bicara kepada, suami kita” mendengar Ini, Kim Lian mundur tanpa berkata apapun.

Pada kesempatan lain, ketika Pi Nikouw datang berkunjung kepada keluarga itu, diam-diam ia mengundangnya ke dalam pondoknya, memberinya satu ons uang perak, dan minta kepada Nikouw itu agar memberi obat ajaib seperti yang penah điberikannya kepada Goat Toanio agar ia dapat mengandung. Semenjak kematian isterinya, yang ke enam satu-satunya Wanita di antara semua isterinya yang dicintanya secara mendalam, yang merupakan satu-satunya wanita yang dapat membuat dia betah tinggal di rumah, kini penyakit lama Shi Men kumat kembali dan mulailah dia hampir setiap malam keluyuran ke luar rumah, mengunjungi tempat-tempat pelesiran.

Cumbuan yang canggung dari seorang pengasuh seperti Yu I yang tidak berpengalaman, tentu saja tidak dapat memuaskan hatinya. Pada suatu hari, dia menerima undangan seorang sahabat dagangnya bernama Huang Se, untuk makan minum dalam rumah pelesiran Bibi Chong, dihadiri pula oleh dua orang sahabat baiknya, Ying Po Kui dan Cia Si Ta. Mereka dilayani oleh dua orang “anak” dari bibi Cong, yang bernama Siang Hwa dan Siauw Goat, Shi Men amat tertarik dan suka kepada Siauw Goat yang mungil. Empat orang gadis penyanyi ikut memeriahkan pesta itu, dan Siauw Gin, seorang gadis dari rumah pelesiran tetangga, datang pula memenuhi undangan. Setelah puas minum. Shi Men menggandeng Siauw Goat, diajaknya berjalan-jalan dan masuk ke dalam kamar yang terpencil.

“Manis, kalau engkau mau bersikap manis kepadaku dan tidak melayani pria lain, aku akan memberimu uang belanja setiap bulan.”

“Untuk dua puluh atau tiga puluh ons sebulan, saya mau melayanimu seorang,” jawab gadis itu.

“Baiklah, akan kuberikan engkau tiga puluh ons.” Shi men mendapatkan seorang kekasih baru yang cukup menarik hatinya sehingga dia berjanji akan sering datang berkunjung. Pada hari ke sepuluh bulan sebelas, datanglah surat perintah dari Ibukota Timur, yang memanggil semua pejabat tinggi untuk datang berkumpul ke kota Kai Hong Hu, menghadiri rapat di mana akan diadakan upacara kenaikan pangkat bagi mereka yang telah dianggap berjasa.

Shi Men termasuk seorang diantara mereka yang dianggap “berjasa.” dan Mendapat kenaikan pangkat, yaitu menjadi Hakim Pertama distrik Ceng-Ho-Sian menggantikan kedudukan rekannya, Hsia. Adapun Hakim Hsia kini dinaikkan pangkatnya sebagai Komandan Pengawal Istana. Sedangkan seorang keponakan dari Thaikam Hou memperoleh jabatan yang tadinya dipegang Shi Men. Menerima surat perintah ini, Shi Men cepat berkemas dan pada tanggal dua belas bulan itu Shi Men berangkat bersama rekannya, Hakim Hsia, dengan pengawalan dua puluh orang, menuju ke Ibukota Timur. Selama kepergian Shi Men yang akan memakan waktu kurang lebih dua minggu itu, Goat Toanio melakukan penjagaan ketat untuk ketertiban rumah tangganya.

Penjaga pintu gerbang Pang An dipesan untuk membuka pintu hanya kalau ada keperluan mendesak dan hanya atas ijin darinya. Pintu masuk ke bagian tempat tinggal para wanita, dikunci dari sore sampai pagi hari berikutnya. Goat Toanio sendiri melakukan pengawasan ketat pada siang harinya, bahkan ia melarang seorang anggauta keluarga seperti Chen Ceng Ki, mantu suaminya, untuk masuk ke rumah tanpa alasan yang penting, dan kalau keperluan mengharuskannya masuk, dia selalu didampingi seorang pelayan. Karena itu, sekali ini Kim Lian, sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk berbuat semaunya, melainkan seperti para isteri lainnya, duduk dengan tenang di dalam pondoknya, melakukan pekerjaan rumah atau menghibur diri dengan para pelayan. Namun ia masih sempat memuaskan hatinya dengan sering mengomeli Yu I, kekasih suaminya yang baru.

Pada akhir bulan sebelas itu tibalah Shi Men kemball ke rumahnya dan hal pertama yang dilakukannya, setelah dia mencuci diri dan berganti pakaian bersih, adalah melakukan sembahyang di pekarangan dan dengan berpuasa dia berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Bumi dan Langit karena dia rnemperoleh anugerah kenaikan pangkat dan keselamatan dalam perjalanan itu. Dia tergesa-gesa pulang untuk dapat ikut merayakah hari ulang tahun isterinya yang ke tiga, yaitu Mong Lok. Pesta ulang tahun itu diadakan dengan meriah dan di antara para tamu yang berdatangan, terdapat Pi Nikouw dan Wang Nikouw yang bermalam di situ. Pi Nikouw memenuhl janjinya dan membawakan obat yang dipesan oleh Kim Lian. Dengan cerdik Pendeta wanita itu berhasil menyelinap keluar dari pondok Goat Toanio dan mengunjungi Kim Lian secara diam-diam.

“Inilah obat yang saya janjikan itu,” katanya sambil memberikan botol yang terisi obat itu kepada Kim Lian.

“Pada hari tujuh kali tujuh dari dua bulan, obat ini harus dicampur dengan sedikit anggur, dan diminum dengan perut kosong. Jika malam harinya engkau tidur dengan suamimu, tentu engkau akan mengandung seorang anak laki-laki. Nyonya majikan yang tinggal di bangunan induk telah mengandung setelah minom obat ini. Dan sebagai tambahan saya berikan bubuk merah ini kepadamu, asal dipergunakan menurut ajaran saya, sudah dapat dipastikan engkau akan mengandung seorang calon putera.” Dengan girang sekali Kim Lian menerima dua macam obat itu dan menyembunyikannya di dalam laci. la lalu membuka kalender dan melihat bahwa hari ke empat puluh sembilan dari dua bulan jatuh pada tanggal dua puluh sembilan bulan itu. la lalu mengambil sejumlah uang dan menyerahkannya kepada Pi Nikouw sambil berkata,

“Terimalah sedikit hadiah lni, kalau kelak aku benar dapat mengandung, saya akan menghadiahkan kain untuk membuat pakaian.”

“Harap nyonya jangan memikirkan tentang hadiah. Saya tidaklah begitu haus akan hadiah seperti halnya Wang Nikouw. Bayangkan saja betapa ia telah mengomel panjang pendek karena mendapat bayaran sedikit ketika menyembahyangi nyonya yang meninggal dunia baru-baru ini, Saya melakukan semua ini tanpa pamrih, untuk diri sendiri melainkan karena saya Suka melakukan kebaikan kepada orang lain.”

Ketika Kim Lian melihat betapa Shi Men memberi tanda-tanda hendak pergi tidur, iapun cepat meninggalkan ruangan keluarga itu dan menanti di ruangan luar, mengharapkan suminya akan segera muncul dan nenemaninya kembali ke pondoknya. Malam ini ia harus dapat menarik suaminya ke tempat tidurnya, karena malam ini adalah malam yang ditentukan sebagai syarat pengobatan agar ia memperoleh keturunan, yaitu malam ke empat puluh sembilan dari dua bulan. Namun sia-sia saja ia menanti. Shi Men tidak muncul. Akhirnya ia kehabisan kesabaran. la membuka pintu tembusan ruangan itu dan berkata dengan suara nyaring kepada suaminya,

“Saya tidak bisa menunggu lebih lama. Saya pergi dulu.”

“Pergilah dulu! Aku akan menghabiskan minumku kemudian menyusulmu!” teriak Shi Men dengan ramah dan Kim Lian lalu melangkah pergi. “Aku tidak setuju kalau engkau pergi kepadanya malam ini!” tiba-tiba Goat Toanio berkata dengan alis berkerut. “untuk sekali ini aku harus bicara dengan sungguh-sungguh padamu. Aku tahu betapa engkau amat sayang kepadanya. Akan tetapi, bagaimanapun juga sungguh merupakan suatu cara yang tidak patut kalau ia memaksa dan mengajakmu keluar dari kamarku. Ia bersikap di sini seolah-olah engkaulah yang menjadi isterinya, yang harus mentaati perintahnya, dan kami semua ini seolah-olah tidak ada saja. Semenjak kembalimu kami semua hampir tak pernah dapat melihatmu karena ia menguasai dirimu sepenuhnya, dan tidak semalampun engkau tinggal dengan seorang di antara kami. Hal itu tentu saja tidak mengapa bagi diriku sendiri, akan tetapi aku tahu ada seorang yang menderita karena ulahmu ini, walaupun ia tidak berkata sesuatu. Adik Mong Yu Lok yang berulang tahun hampir tidak dapat makan atau minum karena tekanan batinnya. Malam ini adalah ulang tahunnya, dan engkau seolah-olah tidak perdulikan padanya sama sekali. Sepatutnya engkau malam ini pergi kepadanya dan menanyakan kesehatannya.”

Shi Men dapat disadarkan dan pergilah ia ke pondok isterinya yang ke tiga itu. Mong Yu Lok telah menanggalkan pakalan luarnya dan melepaskan hiasan rambutnya. Ia rebah menelungkup di atas tempat tidurnya dan muntah-muntah ke dalam tempolong. Melihat ini, Shi Men terkejut sekali dan cepat duduk di tepi pembaringan.

“Sayangku, engkau kenapakah? Katakan, aku akan memanggil tabib besok pagi-pagi.” Mong Yu Lok tidak menjawab dan muntah lagi. Shi Men membantunya duduk dan merangkulnya.

“Perutku mual,” katanya sambil memegangi perutnya. “Akan tetapi kenapa engkau bertanya? Apa gunanya? Pergilah dan bersenang-senanglah!”

“Sayangku, aku tidak tahu bahwa engkau sakit. Aku baru saja rnendengarnya.”

“Hemm, itu saja membuktikan bahwa bagimu aku ini seperti tidak ada saja! Pergilah, pergilah kepada kekasihmu sana!” Shi Men memeluk dan menciumnya, lalu dia memanggil Siang Bwee, pelayan isterinya ke tiga itu.

“Cepat, ambil air teh pahit!” “Saya baru saja membuatnya.”

“Berikan padaku dan bawa pergi tempolong itu!” Shi Men menerima mangkok air teh yang pahit dan panas itu dan dengan hati-hati mendekatkannya pada bibir isterinya yang ke tiga.

“Biarlah kuminum sendiri,” kata Mong Yu Lok sambil menerima mangkok air teh itu. “Kenapa engkau bersusah payah untukku? Melihat engkau datang ke sini sama dengan melihat matahari terbit dari barat. Aku tahu bahwa tentu Goat Toanio yang membujukmu datang ke sini. Aku tidak mengharapkan kunjunganmu.”

“Sungguh aku tidak dapat datang lebih pagi karena aku sibuk sepanjang hari,” kata Shi Men dengan suara minta maaf.

“Aku tahu bahwa harimu sibuk setiap hari.”

“Engkau tentu lapar,” Shi Men mengalihkan percakapan. “Akupun lapar, mari kita makan.” “Tidak, terima kasih. Engkau sudah makan kenyang, dan akupun tidak ada nafsu makan.”

“Kalau begitu akupun tidak makan. Besok aku akan memanggil Tabib Yen, dan marilah kita tidur.” “Tidak usah repot memanggil Tabib.”

“Oya, aku akan mengobatimu sendiri. Seorang kenalanku baru-baru ini memberiku sepuluh butir pel empedu Kwan Tung yang terbaik. Obat yang manjur sekali untuk penyakit perut. Siang Bwee, pergilah engkau kepada Goat Toanio dan mintakan dua butir pel itu, di dalam botol yang kutaruh dalam laci meja riasnya. Dan bawakan seguci arak panas sekalian.”

“Aku ingin sekali tahu Tabib macam apa engkau ini!” kata Mong Yu Lok yang mulai mencair hatinya.

“Kalau perlu arak, di sinipun ada.” Tak lama kemudian Siang Bwee datang membawa dua butir pel yang diminta. Shi Men membuka buntalan malam dari obat itu dan mencairkannya dalam secawan anggur panas. Setelah isterinya meminum obat itu, Shi Men minta kepada Siang Bwee untuk membawakan seguci arak untuk dirinya sendiri.

“Akupun akan minum obat,” katanya. Mong Yu Lok tahu obat apa yang ingin diminum suaminya.

“Huh, apakah tidak lebih baik kalau engkau pergi ketempat lain tempat untuk itu? Kurasa di sini bukan tempatnya untuk mempergunakan obat semacam itu!”

“Ah, baiklah, aku tidak akan meminumnya,” kata Shi Men dan diapun merangkul Mong Yu Lok yang kini sudah, merasa enak perutnya karena sesungguhnya bukan perutnya yang sakit, melainkan hatinya yang menderita kerinduan.

“Bagaimana rasanya perutmu sekarang?” tanya Shi Men sambil mencumbunya. “Sudah enakan.”

“Syukurlah. Oya, tahukah engkau bahwa sehari penuh aku sibuk merencanakan susunan hidangan yang akan dikeluarkan dalam pesta penghormatan terhadap Sung-Taijin yang akan kuadakan besok lusa? Sehari penuh aku sibuk merundingkannya dengan Lai Seng. Pesta itu akan makan biaya sekitar lima puluh tail. Kemudian aku harus pergi ke Kuil di mana aku bersembahyang untuk membayar kaul. Lalu aku harus menghadiri undangan seorang teman untuk makan siang. Belum lagi tugas-tugas kantor yang memakan banyak waktuku sehingga aku kekurangan waktu untuk urusan rumah tangga.”

Dengan pandainya, dengan kata-kata lembut, dengan cumbu rayunya, akhirnya Shi Men dapat melenyapkan sama sekali perasaan mendongkol dari hati isterinya yang ke tiga dan tak lama kemudian Mong Yu Lok telah melayaninya dengan penuh perasaan, seolah-olah hendak menumpahkan semua kerinduan hatinya selama ini di malam itu. Dan Kim Lian malam itu harus rebah sendirian di atas pembaringannya dengan hati mengkal karena harapannya untuk menguji kemanjuran obat Pi Nikouw ternyata telah gagal.

Hati Shi Men mulai gelisah. Butiran-butiran pel obat kuat pemberian pendeta itu makin menipis dan semenjak dia mempergunakan obat itu, nafsu berahinya menjadi semakin berkobar dan tidak pernah dapat dia merasa puas. Bahkan pada saat tidur dengan seorang kekasihnya, hatinya merindukan kekasih lain dan biarpun dia telah memiliki banyak sekali wanita cantik yang menjadi isterinya, selirnya, peliharaan dan langganannya di rumah-rumah pelesir, namun tetap saja dia selalu merindukan seorang gadis baru.

Dia telah menjadi hamba dari nafsu berahinya sendiri dan kadang-kadang dia ingin sekali tubuhnya dapat menjadi dua agar dia dapat lebih sering menuruti desakan nafsu berahinya yang tak kunjung puas itu. Di antara semua wanita yang setiap saat siap melayaninya itu, tidak ada yang dapat mengikatnya, walaupun hanya untuk sementara waktu, seperti yang pernah dirasakannya terhadap mendiang Nyonya Peng, isterinya yang ke enam itu. Pelayan pengasuh Yu I sudah lama digantikan kedudukannya oleh isteri dari pegawai barunya, Lai Kwe, dan wanita ini sepuluh tahun lebih rnuda dari pada Yu I.

Pelayanan yang pernah memabukkannya dan Wang Liok Hwa yang berpengalaman, kini tidak lagi begitu memabukkan semenjak Shi Men berhasil main gila dengan isteri pengurus dagangannya, ya itu Pen Se. Bahkan setiap kali mendengar cerita orang tentang seorang wanita cantik, dia sudah mengilar dan timbul seleranya. Ketika pegawainya yang baru kembali dari Yang-Chouw bercerita tentang kecantikan gadis berusia enam belas tahun di sana, ingin rasanya Shi Men dapat terbang seketika ke Yang-Chouw untuk mengunjungi gadis itu. Dan ketika Goat Toanio dalam kejujurannya, setelah pulang dari kunjungannya kepada Hakim Pembantu Hou, bercerita tentang kecantikan isteri rekannya itu,

Seorang wanita berusia delapan belas tahun yang menurut Goat Toanio cantik jelita seperti bidadari, masih keponakan dari Thaikam Lan, Shi Men berjanji dalam hatinya bahwa dia harus dapat memenangkan wanita ini! Kini Shi Men dengan penuh gairah menanti datangnya tanggal dua belas bulan itu. Pada hari itu, malam Pesta Lentera, di rumahnya akan diadakan pesta besar. Di bagian depan dia akan menjamu teman-teman baiknya, dan di bagian belakang rumahnya, para isterinya akan berpesta dengan mengundang beberapa orang isteri dari pejabat tinggi dan kenalan mereka. Dan dalam kesempatan itulah Shi Men ingin sekali dapat melihat wanita-wanita cantik yang akan menjadi tamu isteri-isterinya, terutama sekali isteri dari rekannya, Hou, seperti yang diceritakan oleh Goat Toanio kepadanya.

Hari yang dinanti-nantikan itupun tibalah. Pagi hari itu Shi Men tidak pergi ke kantornya. Pagi-pagi dia sudah bangun karena dia ingin mengawasi sendiri persiapan yang diadakan untuk pesta di rumahnya. Setelah hari naik tinggi mulailah tamu-tamu wanita berdatangan, hanya isteri rekannya Hakim Pembantu Hou belum juga muncul. Shi men merasa gelisah dan sudah tiga kali dia mengutus pelayannya untuk mengulangi undangannya ke rumah keluarga Hou. Akhirnya muncullah orang yang dinanti- nantikannya itu. Shi Men mengintai dari balik tirai kamar barat dan jantungnya berdebar keras, tubuhnya gemetar penuh gairah, ketika dia melihat tamu ini turun dari joli dan disambut oleh Goat Toanio. Usianya paling banyak delapan belas tahun.

Pakaiannya serba indah dan mewah, dan tubuhnya yang tinggi semampai dan padat itu nampak langsing sekali dengan adanya sabuk kemala dan emas yang mencekik pinggangnya. Wanita muda ini sungguh cantik jelita, bahkan penggambaran Goat Toanio itu masih jauh daripada kenyataannya. Betapa cantik jelita, dan anak rambutnya yang melingkar-lingkar di pelipisnya itu seperti menantang. Sepasang mata itu Begitu jernih dan jeli, dengan kerling yang tajam memikat, dan mulut ltu! Sepasang bibir yang kecil tapi penuh dan menantang, merah membasah. Pinggang itu agaknya diciptakan untuk dipeluk, dan suaranya! Seperti hembusan suling perlahan di malam terang bulan musim semi. Sepasang kakinya begitu kecil mungil dan ringan, seolah-olah tubuhnya tidak melangkah melainkan melayang-layang seperti seorang bidadari. Dia lebih indah dari bunga, lebih indah dari permata. Menyaksikan keindahan ini, mendengar suaranya yang lembut, Shi Men terpesona dan keharuan menyusup sampai ke tulang sumsum. Dia seperti mabuk dan sukmanya melayang-layang. Baru dia sadar ketika dia diundang oleh Goat Toanio untuk diperkenalkan kepada tamu ini. Ketika dia membungkuk dengan hormat di depan bidadari itu, jantungnya melompat-lompat seperti gila, dan matanya menjadi silau. Hanya tata susila dan kesopanan yang memaksanya untuk segera mundur setelah perkenalan itu dan bagaikan seorang yang kehilangan semangat dia duduk di antara teman-temannya, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata. Sering kali dia menyelinap keluar, dari ruangan pesta kaum Pria itu untuk mengintai dari balik tirai, melahap kecantikan isteri rekannya itu.

“Engkau kenapakah, Toako?” Ying Po Kui bertanya. “Apakah engkau merasa tidak enak badan?”

“Aku kurang tidur selama beberapa malam ini dan aku merasa agak lelah, jawabnya dan berpura-pura, menguap. Pembaca yang mulia, purnama tidak selamanya penuh, warna awan tidak bertahan selamanya. Apabila nasib baik sudah mencapai puncak tertinggi, sudah menjadi hukum alam bahwa nasib buruk akan mulai muncul, dan demikian sebaliknya.

Shi Men selama ini mengira bahwa nama dan kedudukannya merupakan jaminan terlaksananya semua gairah nafsunya. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa iblis telah lama mengintai untuk menghadapkannya kepada pembayaran hutang-hutangnya pada saat dia mencapai puncak kesenangan dan kemewahan. Ketika para tamu wanita hendak meninggalkan rumah itu pada sore harinya, pelayannya yang terpercaya, A Thai, memberi isyarat dan cepat Shi Men meninggalkan meja pesta, mengintai lagi dari tempat sembunyinya di kamar barat. Bagaikan seorang kelaparan melahap. hidangan yang nikmat, shi Men seperti hendak menelan wanita cantik yang menjadi isteri rekannya itu ketika nyonya muda itu meninggalkan ruangan dan menaiki jolinya untuk diangkut pergi.

Dengan lemas dan berulang kali menghela napas panjang Shi Men kembali ke tempat teman-temannya berpesta. Ketika dalam cuaca yang mulai gelap itu dia kembali ke tempat para tamunya yang sudah mulai mabuk, hampir saja dia bertabrakan dengan Hui Yen, isteri yang masih muda dari pelayan Lai Kwe dan peristiwa ini terjadi tepat diluar kamar wanita itu. la baru saja kembali dari ruangan tamu wanita di mana ia membantu melayani mereka. Melihat wanita ini, makin berkobarlah gairah yang sudah membakar hati Shi Men karena dia tergila-gila kepada isteri rekannya tadi. Tidak ada orang di situ dan suami wanita inipun sedang sibuk, entah dimana. Tanpa banyak cakap lagi Shi Men memondongnya ke dalam kamar itu,

“Kalau batin sudah dicengkeram nafsu... Segala yang lain sudah tidak berlaku... sasaran tujuan hanyalah satu... memuaskan nafsu...!”

Pada keesokan harinya, Shi Men merasa lelah dan lesu, dan diapun tidak pergi ke kantornya, mengambil keputusan uhtuk santai hari itu. Dia mencoba memasuki perpustakaan dan membaca, namun otaknya juga terlalu lesu untuk dapat membaca, maka diapun hanya merebahkan diri dan menyuruh kacungnya yang bernama Wang Ceng untuk memijati kakinya. Selesai kacung itu memijatinya, masuklah Siauw Giok si pelayan membawa setengah botol air susu dari dada Yu I sendiri. Hal ini saja menyatakan betapa Yu I amat memperhatikan kesehatannya. Dia menyuruh kacung Wang Ceng pergi dan minum air susu itu, kemudian memberi dua buah penjepit rambut emas kepada Siauw Giok. Hadiah ini bukan karena air susu Yu I, melainkan untuk diberikan kepada kekasihnya yang baru Hui Yen. Melihat ini, Siauw Giok melihat suatu keuntungan bagi dirinya sendiri karena ia mempunyai suatu berita yang amat menarik untuk disampaikan kepada Nyonya Ke Lima Kim Lian. Sementara itu, kacung Wang Ceng yang melihat majikannya tinggal seorang diri, segera mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan berkata,

“Cici saya mengirim ini kepada tuan dan mengharapkan kunjungan secepat mungkin,” katanya lirih. Wang Ceng adalah adik dari Wang Liok Hwa, kekasih Shi Men, Shi Men membuka bungkusan itu dan dengan hati terharu dia melihat segumpal. rambut wanita yang halus dan hitam berbau harum, yang diikat dengan benang dari lima warna, dan dua helai pita sutera. Ini merupakan pernyataan cinta dan rindu dari kekasihnya itu! Dia cepat menyembunyikan benda itu ke dalam lengan bajunya ketika tiba- tiba muncul Goat Toanio dari balik tirai.

“Aih, ke mana saja engkau? Aku telah menyediakan sup yang akan menguatkanmu. Apakah engkau masih merasa tidak enak badan?”

“Kedua kakiku terasa pegal-pegal,”

“Mungkin engkau masuk angin. Marilah, sup yang kusediakan akan menyehatkan tubuhmu.” Shi Men bangkit dan mengikuti isteri pertamanya ke dalam ruangan dalam dan memakan sup yang telah disediakan itu.

“Pesta-pesta Tahun Baru ini agaknya terlalu melelahkan dirimu,” kata Goat Toanio. “Engkau harus lebih banyak beristirahat dan tidak membiarkan teman-temanmu untuk membujukmu terlalu banyak minum arak.”

“Engkau memang benar sekali istriku. Aku seharusnya agak menjauhi tempat minum arak itu. Akan tetapi bagaimapun juga, tidak mungkin dapat menghindarkan undangan makan resmi. Hari ini, siang nanti, aku harus mengunjungi pesta ulang tahun saudara ipar Hua. Malam harinya aku akan berjalan- jalan melalui Pasar Lentera, dan aku akan mampir dan melihat keadaan toko kita di Jalan Singa, di mana aku dapat makan malam secara sederhana tanpa arak bersama dua orang pengurus, tokoku.”

Akan tetapi, biarpun mulutnya bicara demikian, tentu saja pikirannya melayang kepada rumah yang berlainan di Jalan Singa itu. Setelah dia berkunjung kepada saudara iparnya Hua, kemudian menonton keramaian Pasar Lentera dan menikmati suasana pesta di situ, dia lalu singgah di tokonya di jalan Singa. Dia mendengarkan laporan pekerjaan dari Pen Se dan adik ipar Wu yang untuk sementara menggantikan kedudukan Han Tao Kok yang sedang melakukan pekerjaan dan ke luar kota, kemudian Shi Men makan bersama mereka.

Sebagai seorang isteri yang amat memperhatikan keperluan suaminya, Goat Toanio telah mengirimkan makanan dan anggur ke toko itu. Setelah makan malam, bersama dua orang pengurus tokonya Shi Men untuk beberapa lamanya menikmati suasana pesta di Pasar Lentera yang menjadi semakin meriah setelah malam tiba karena lentera-lentera itu menjadi seribu satu macam cahaya. Kemudian Shi Men meninggalkan tokonya, bukan untuk pulang, melainkan untuk mengunjungi kekasihnya, Wang Liok Hwa, isteri dari pegawainya, Han Tao Kok, yang tinggal tidak begitu jauh dari tokonya. Wanita  ini telah mendengar akan kunjungan majikan yang juga menjadi kekasihnya ini, maka iapun sudah mempersiapkan diri, bersolek secantiknya.

“Hemm, kenapa sudah lama engkau tidak datang berkunjung ke rumah? Goat Toanio sudah dua kali mengundangmu,” tanya Shi Men setelah mereka berdua duduk bersanding.

“Akhir-akhir Ini saya merasa malas dan tidak bersemangat untuk pergi ke luar rumah.” “Wah, agaknya rindu kepada suamimu, ya?”

“Sama sekali tldak! Akan tetapi, kunjunganmu ke sini semakin jarang saja sehingga saya berpendapat bahwa agaknya Kongcu mulai bosan denganku. Apakah barangkali ada yang baru ?”

“Huah, omong kosong! Kesibukan Tahun Baru ini membuat aku repot dan kehabisan waktu.” “Kemarin adalah hari pesta besar di rumahmu, bukan?”

“Ya, Goat Toanio harus mengadakan pesta untuk membalas undangan yang banyak itu. Bukan pesta besar, hanya untuk pemantas saja.” Wang Liok Hwa dengan sikap manja, ingin mengetahui segala tentang pesta itu, kemudian menghela napas panjang dan berkata,

“Aih, tentu saja hanya tamu-tamu dari kalangan bangsawan saja yang diundang ke pesta di rumahmu. Orang-orang macam kami ini tentu tidak masuk hitungan.”

“Bukan begitu. Pada tanggal enam belas nanti tibalah giliran pesta untuk para pengurus perusahaanku dan isteri-isteri mereka, dan engkau tentu akan diundang pula,” kata Shi Men menghibur. Mereka lalu duduk menghadapi meja makan yang sudah dipersiapkan oleh pelayan dan tak lama kemudian mereka berdua minum arak yang menghangatkan hati mereka dan suasana menjadi semakin mesra.

“Apakah engkau telah menerima kirimanku, Kongcu?” tanya Wang Liok Hwa dengan kerling tajam memikat dan senyum manja.

“Sukakah engkau akan benda itu? Saya telah mengorbankan segumpal rambut saya untukmu “

“Wah, indah sekali barang kirimanmu itu. Terima kasih!” Setelah tubuh dan hati menjadi panas, Shi Men lalu menelan sebutir pel kuat pemberian pendeta Fan itu, kemudian mengajak kekasihnya pindah ke tempat tidur. Akan tetapi, biarpun Shi Men telah meminum pel dan Wang Liok Hwa telah mengeluarkan semua keahliannya untuk menyenangkan hati kekasihnya, tetap saja Shi Men tidak kelihatan bergembira seperti biasa. Pikirannya masih melayang-layang kepada Nyonya Hou yang telah membuatnya tergila- gila.

“Apakah engkau masih sungguh-sungguh mencintaku?” tanya Shi Men sambil lalu untuk menghibur pikirannya yang terus membayangkan wanita lain itu.

“Perlukah engkau bertanya lagi kepada saya, Kongcu? Aih, saya mencintamu dengan sepenuh jiwa dan ragaku, Kongcu, tanpa Kongcu, hidupku akan menjadi kosong tiada artinya bagiku. Saya selalu merasa gelisah kalau membayangkan kembalinya suamiku dari perjalanannya. Saya membencinya, bahkan untuk bicara saja dengannya saya merasa muak.” Senanglah hati Shi Men mendengar ini, percaya sepenuhnya bahwa kekasihnya bicara sesungguhnya.

“Bagaimana kalau sepulangnya nanti aku akan memberi seorang isteri lain kepadanya?”

“Ya, Kongcu, carikanlah seorang isteri lain untuknya!” kata Wang Liok Hwa yang kelihatan gembira. “Kalau sudah begitu, terserah Kongcu apakah, saya akan tinggal sendirian ataukah akan Kongcu boyong ke dalam rumah keluarga Kongcu.” Ia merangkul manja. “Sekarang tubuh dan nyawaku adalah milikmu seorang.” Shi Meh mengeluarkan selembar uang kertas.

“Ambillah ini, dan engkau boleh mengambil sebuah pakaian baru, sesukamu, di toko suteraku yang ke dua itu!” Wang Liok Hwa mengucapkan terima kasih dengan pencurahan kasih sayang yang semakin mesra. Ia membayangkan bahwa ia akan diboyong ke dalam keluarga Shi Men sebagai pengganti isteri Ke Enam, maka iapun mencurahkan seluruh perasaannya untuk melayani dan memuaskan hati Shi Men malam itu.

Setelah tengah malam, Shi Men naik ke atas pelana kudanya dan berangkat pulang. Perlahan-lahan dia menjalankan kudanya melalui Jalan Singa menuju ke barat. Jalan itu kini telah menjadi sunyi sekali, diterangi oleh sinar bulan yang dikurung awan. Shi Men berada dalam ke adaan mabuk dan juga lelah sekali, mengantuk. Dua orang kacungnya, A Tai dan Kiu Tung, berjalan di kanan kiri kudanya, berjaga- jaga kalau-kalau majikan mereka itu akan terjatuh dari kudanya setelah tadi mereka membantunya naik, sedangkan kacung ke tiga, Wang Ceng, membawa lentera berjalan di depan untuk menerangi jalan. Ketika mereka tiba di ujung jalan Singa, di dekat jembatan marmar yang menyeberangi kanal, tiba-tiba Shi Men melihat bayangan aneh yang kabur, berwarna abu-abu melayang-layang keluar dari bawah jembatan dan terbang dekat sekali di depannya.

Kudanya agaknya juga melihat ini karena kuda itu meringkik kaget, mengangkat kedua kaki depan kemudian dengan ketakutan kuda itu meloncat dan lari secepatnya seperti. di terbangkan angin dan baru setelah tiba di depan pintu gerbang rumah Shi Men, kuda itu berhenti secara mendadak dengan mulut berbuih dan tubuh gemetar. Ketika kuda tadi kabur, Shi Men menelungkup dengan takut sekali, dan berhasil mencengkeram bulu kuda sehingga tidak terlempar jatuh, dan kini, telah kehabisan tenaga, dia melorot turun dibantu oleh penjaga pintu gerbang. yang cepat berlari menyambutnya. Tiga orang kacung datang dan ketakutan karena mereka tahu bahwa tadi telah bertemu dengan Malaikat Elmaut dan Ini menandakan bahwa dalam waktu dekat akan terdapat kematian. Dalam keadaan lelah dan masih ketakutan, Shi Men dibantu oleh kacung-kacungnya, minta diantar ke pondok Kim Lian.

Kim Lian memang sedang menunggunya, dan belum tidur. Ia membantu Shi Men membuka sepatu dan pakaian, membawanya langsung ke tempat tidur. Begitu tubuhnya menyentuh kasur, Shi Men segera tertidur. Dia demikian lelah dan mabuk, dan kini Kim Lian hanya dapat mendengar dengkurnya saja. Hati wanita ini mendongkol. Sejak tadi dia menanti dengan hati penuh kerinduan, dengan gairah yang ditekan-tekan dan ditahan-tahannya. Sekarang, setelah yang ditunggu-tunggu datang, ternyata laki-laki ini hanya datang untuk tidur mendengkur! Ia lalu mulai mencumbu suaminya itu. Akan tetapi Shi Men tetap saja tidur. Karena tidak sabar lagi, Kim Lian menguncang-guncang tubuhnya sampai dia terbangun.

“Di mana engkau menyimpan pel kuat dari Pendeta Fan itu?” tanyanya, berbisik di dekat telinga suaminya.

“Aahh, biarkan aku tidur. Jangan ganggu aku, aku lelah sekali. Malam ini, aku tldak ingin apa-apa lagi kecuali tidur,” Shi Men menggumam setengah sadar.

“Tapi, di mana pel itu kau simpan, Koko?” Kim Lian mendesak. Karena tidak ingin diganggu, Shi Men menjawab dengan mata masih terpejam.

“Di dalam saku bajuku, dalam peti emas kecil” Kim Lian cepat mencari peti kecil itu dan hatinya merasa gembira menemukan benda yang dicarinya. Ketika tutup peti dibukanya,di situ tinggal empat butir pel. Dia amat lelah dan tidak bergairah, kalau hanya minum sebutir sepertl biasa, mungkin kurang kuat pikirnya. Maka iapun memasukkan empat butir pel itu ke dalam arak, lalu mengangkat leher Shi Men.

“Minumlah, koko, biar engkau tidak lemas lagi” la membujuk. Dalam keadaan lelah dan mengantuk, juga amat haus, Shi Men dalam keadaan setengah sadar minum semua arak dalam cawan itu tanpa membuka matanya.

Begitu arak yang mengandung cairan empat butir pel kuat Itu memasuki perutnya, nampaklah akibatnya yang amat menyenangkan hati Kim Lian. Shi Men menjadi buas, menerkam Kim Lian seperti seekor singa kelaparan. Dan Kim Lian mendapatkan apa yang diinginkannya sejak tadi, secara yang sangat memuaskan, lebih daripada yang diharapkan. Akan tetapi, kegembiraannya tidak berlangsung lama. Di tengah pergumulan ltu, tiba-tiba Shi Men menjadi lemas dan tidak bergerak lagi. Dia telah jatuh pingsan! Tentu saja Kim Lian menjadi terkejut dan panik. Diguncang-guncangnya tubuh Shi Men, dipanggil- panggilnya dan dibasahinya dahi suaminya itu dengan air dingin. Baru setelah agak lama Shi Men siuman kembali, dalam keadaan yang amat lemah.

“Koko, bagaimana perasaanmu. Apanya yang terasa sakit?” tanya Kim Lian dengan penuh kekhawatlran.

“Aku... aku merasa pening” Shi Men berkata lirih dan lemah. Tentu saja Kim Lian tidak mengatakan bahwa ia telah memberi minum suaminya empat butir pel kuat, bukan hanya sebutir seperti biasanya.

Tiada sesuatu di dunia ini yang dapat bertahan selamanya, kekuatan apapun di permukaan bumi ini akhirnya akan rontok. Apabila minyaknya habis, lampunya akan padam dan apabila sumsumnya habis dari tulang punggungnya, seorang laki-laki akan mati. Pada keesokan harinya, berkali-kali Shi Men jatuh pingsan dan setelah siuman, dia hanya dapat duduk seperti seorang Kakek tua renta di atas kursi, sama sekali tidak mampu berbuat apapun. Berdiripun dia tidak kuat lagi. Tentu saja hal ini segera diketahui oleh para pelayan dan tak lama kemudian Goat Toanio yang mendengar akan berita itu, lari memasuki pondok Kim Lian. Di situ, ia menemukan suaminya duduk di atas kursi, hampir tidak mampu bergerak, Pandang matanya kosong dan kedua lengannya tergantung seperti mati di kanan kiri kursi.

“Aih, ke mana saja malam tadi engkau pergi?” tanya Goat Toanio, belum tahu bahwa keadaan suaminya amat parah.

“Tentu engkau telah minum terlalu banyak lagi.” Shi Men tidak menjawab. “Bagaimana perasaanmu” tanya pula Goat Toanio, kini agak Cemas.

“Aku tak tahu... aku merasa kepalaku kosong dan segalanya berputar di depan mataku” “Tentu engkau tidak dapat ke kantor sekarang.” “Tak rnungkin aku tidak kuat, melangkahpun kakiku berat, mantuku harus menulis beberapa kartu undangan untuk pesta malam ke lima belas.”

“Sudahlah jangan memikirkan hal-hal itu. Engkau harus minum susu untuk menguatkan dirimu.” Cun Bwe, pelayan Kim Lian disuruh cepat lari mencari Yu I untuk minta sebotol air susu dari padanya. Dengan patuh Shi Men minum susu itu, yang sudah dlcampuri obat penguat tubuh oleh Goat Toanio. Kemudian, dipapah oleh isteri dan pelayannya, dia tertatih-tatih pergi ke kamar perpustakaan. Akan tetapi baru beberapa langkah saja, dia harus kembali lagi karena tidak kuat.

“Engkau harus sedlkitnya beristirahat selama dua hari,” kata Goat Toanio, dan jangan memikirkan tentang undangan dan urusan-urusan lain...” Isteri pertama ini lalu membujuknya untuk merebahkan diri di atas pembaringan dan tidur kembali. Harapan Shi Men untuk dapat bangun kembali setelah mengaso beberapa jam di pembaringan, ternyata sia-sia. Bahkan pada keesokan harinya, lambungnya terasa panas dan dia mendapat kesukaran kalau ingin kencing. Bahkan dia sama sekali tidak dapat bangun kembali. Tabib Yen segera dipanggil.

Ketika tabib ini memeriksa keadaan Shi Men, wajahnya berkerut dan menjadi muram. Dia menggumam tentang penggunaan tenaga yang berlebihan, keletihan, kekosongan pada otak, dan dia memberi resep obat yang dapat mengurangi perasaan nyeri dan tersiksa dari si sakit, namun tidak mengurangi penyakitnya. Dalam kebingungannya, Goat Toanio lalu mengundang Tabib Hou, Tabib tertua dari kota itu yang berusia delapan puluh dua tahun. Tabib ini memeriksa dan menyatakan bahwa keadaan si sakit amat parah, kehabisan daya tahan tubuh karena tenaga yang terlalu dihamburkan dengan bersenang- senang dan menuruti nafsu birahi. Obatnyapun tidak menolong banyak dan keadaan Shi makin hari semakin payah. Hampir semua tabib di kota itu dan kota-kota yang berdekatan telah diundang untuk menolong, namun semua usaha yang dilakukan Goat Toanlo sia-sia belaka.

“Suamiku, apakah engkau hendak mengatakan sesuatu kepadaku?” Akhlrnya Goat Toanio bertanya sambil menangis ketika keadaan Shi Men sudah payah sekali dan seluruh keluarganya sudah berkumpul di sekitar pembaringannya. Beberapa lamanya Shi Men hanya memandangi mereka satu demi satu, kemudian dia menjawab lirih,

“Ya, aku ingin meninggalkan beberapa pesan terakhir. Apabila setelah aku mati engkau melahirkan anak laki-laki, aku ingin agar semua isteriku tetap tinggal bersama seperti saudara dan bersama-sama menjaga dan merawat anak itu. Dan Kim Lian, harus dapat melupakan semua perbuatannya yang telah lalu” Goat Toanio tak dapat menahan tangisnya mendengar ini, diikuti oleh para isteri yang lain. Setelah kebisingan itu mereda, dan setelah napasnya agak longgar, Shi Men melanjutkan, ditujukan kepada Chen Ceng Ki, mantunya.

“Mantuku, karena aku tidak mempunyai putera, engkaulah yang harus mengubur jenazahku sebagai pengganti putera dan selanjutnya, engkaulah yang harus menjadi tulang punggung keluarga kita, melindungi isteri-isteriku. Kuharap saja engkau cukup berharga untuk melaksanakan tugas itu.” Dia berhenti lagi untuk bernapas, karena napasnya sudah terengah-engah.

“Mantuku, setelah aku tiada semua toko harus dihentikan. Toko sutera perkongsianku dengan Saudara Kiao berharga lima puluh ribu ons, jual dan kembalikan modal Saudara Kiao berikut separuh dari keuntungannya. Juga dua tokoku yang lain harus di hentikan dan uangnya disimpan untuk keperluan kehidupan keluarga ini. Yang boleh dilanjutkan hanyalah toko obat yang berharga lima ribu ons, dan pegadaian yang berharga dua puluh ribu ons. Ada pula para piutang yang harus ditagih menurut daftar. Uruslah semua itu.”

“Ayah mertua, saya akan mentaati semua perintahmu dengan patuh,” jawab Chen Ceng Ki dengan suara parau oleh keharuan. Kemudian Shi Men menyuruh panggil semua kuasa dari toko-tokonya, juga pegawai-pegawai terpenting. Kepada mereka dia mengulangi permintaannya tadi dan mereka semua berjanji akan mentaati.

Sesudah itu, Shi Men hanya bertahan hidup satu hari lagi saja. Teman-temannya berdatangan untuk menjenguknya di ranjang kematiannya, dan pada keesokan harinya, setelah mengalami sekarat sampai berjam-jam lamanya dengan sengsara, menderita kenyerian yang hebat, diapun meninggal dunia dalam usia yang tidak lebih dari empat puluh empat tahun. Seluruh keluarganya menangisi kematian Shi Men. Akan tetapi Goat Toanio, yang memiliki watak tenang, tidak mau tenggelam dalam kedukaan. Ia segera menyuruh adik laki-lakinya dan seorang pegawai untuk cepat memesan peti mati yang patut, dan mengambilkan uang untuk keperluan itu. Akan tetapi baru saja hal ini selesai ia lakukan, tiba-tiba ia merasa perutnya nyeri dan iapun segera dipapah oleh para pelayat dalam keadaan kesakitan ke dalam kamarnya.

Dan pada saat di dalam kamar kematian orang masih menangisi kematian Shi Men, di lain kamar terdengar pula jeritan yang nyaring dari seorang anak laki-laki yang baru saja dilahirkan oleh Goat Toanio. Pada jam yang sama, Goat Toanio telah menjadi janda dan juga menjadi Ibu. Tentu saja karena baru saja melahirkan, Goat Toanio tidak dapat ikut berkabung di dekat peti jenazah suaminya. Banyak tamu berdatangan untuk menyatakan ikut berbelasungkawa, melayat. Nampak pula Bi Hwa, gadis penyanyi yang menjadi kekasih Shi Men datang melayat dan ia disambut oleh Bibinya, yaitu Li Kiao yang menjadi isteri ke dua dari Shi Men. Dalam kesempatan ini, Bi Hwa menyampaikan pesan Ibunya kepada Bibinya bahwa setelah Shi Men meninggal dunia, Bibi Li Kiao itu telah bebas dan diharapkan kembali ke rumah pelesiran.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar