Si Teratai Emas Jilid 5

Jilid 5

“Menurut penyelidikan saya, penyakit Nyonya ini adalah akibat dari meluapnya pembuluh darah dari limpa dan peranakan membanjiri isi perut. Sebagai akibatnya, Nyonya berada dalam ayunan enam keinginan dari tujuh nafsu. Di dalam tubuh Nyonya, kekuatan Yang dan Im bertarung dan bersaing. Kadang-kadang tubuh Nyonya terlalu dingin, di saat berikutnya terlalu panas, yang menimbulkan demam dan kemurungan yang menekan jiwa. Di siang hari Nyonya merasa letih dan hanya ingin tidur, di waktu malam Nyonya gelisah dan dalam tidur penuh mimpi buruk. Hanya pengobatan yang amat manjur dapat menyelamatkan Nyonya dari penyakit paru-paru yang membawa maut. Terus terang saja, keselamatan Nyonya seolah-olah bergantung di ujung rambut.”

“Aku berterima kasih sekali kalau engkau dapat mengobati penyakitku sampai sembuh” kata Nyonya Hua, khawatir juga dengar ucapan Tabib itu.

“Ah, jangan khawatir, Nyonya. Sudah sering aku menyembuhkan orang yang menderita penyakit seperti Nyonya ini Akan kubuatkan resep untuk membeli obat. Tabib itu menerima upah lima keping perak. Nenek Bi membeli obat menurut resep Tabib itu dan Nyonya Hua minum obat yang dimasak dan merasa sehat kembali. la dapat tidur nyenyak, suka pula makan dan beberapa hari saja sudah sembuh kembali.

Dengan girang ia lalu mengundang Tabib Kiang dalam Suatu perjamuan makan untuk menghaturkan terima kasih. Tentu saja Tabib itu menerima ini dengan hati girang karena memang dia telah terpesona dan tertarik sekali kepada pasiennya yang cantik jelita itu. Apalagi ketika bertemu dengan Nyonya yang kini telah sehat kembali itu, setelah kedua pipinya menjadi halus kemerahan, sepasang matanya yang jeli bersinar-sinar dan bibirnya yang merah mengembangkan senyum, tubuhnya yang elok mengenakan gaun yang indah, Tabib Kiang menjadi kagum. Diapun digembirakan oleh hadiah tiga ons perak yang diberikan oleh Ciu Hwa pelayan Nyonya Hua atas nama majikannya. Nyonya Hua menyuguhkan Secawan arak sambil berkata,

“Berkat pertolonganmu, saya telah sembuh sama sekali dari penyakitku, Sin-she. Sebagai tanda terima kasih, terimalah secawan arak ini dariku.” “Ah, Nyonya. Aku hanya melakukan tugasku sebagai Tabib” kata Tabib Kiang. Setelah minum tiga cawan arak, Tabib Kiang menjadi agak mabuk, bukan saja mabuk arak, melainkan terutama sekali mabuk melihat lekuk lengkung tubuh muda itu. Keberaniannya timbul dan kata-katanya mulai agak terlepas.

“Bolehkah aku mengetahui berapa usiamu sekarang Nyonya?” “Dua puluh empat tahun”

“Berapa lamakah sejak suamimu meninggal dunia?”

“Dia meninggal dalam bulan sebelas setahun lalu, karena penyakit paru-paru. Sudah delapan bulan sejak kematiannya.” Janda muda itu menarik napas panjang.

“Apakah tidak kau panggilkan Tabib Nyonya?” “Pernah kupangil Tabib Hu dari Jalan Besar.”

“Ah si Hu yang dijuluki si mulut Setan itu.? Tabib dukun lepus yang tinggal di rumah seorang kebiri Liu itu? Wah, dia Itu hanya dukun lepus tukang tipu, tak pernah pelajari ilmu keTabiban. Kenapa Nyonya memanggil orang macam dia?”

“Aku mendengar tentang dia dari para tetangga, dan sejak kematian suamiku aku tidak, pernah lagi mengundangnya.”

“Apakah engkau mempunyai putra atau putri, Nyonya?” “Tidak”

“Sayang, sayang! Masih begini muda belia harus hidup menyendiri, Tidak mengherankan kalau engkau menderita batin, Nyonya. Apakah engkau tidak pernah mempuyai niat untuk menikah lagi?”

“Memang pernah, dan sudah . Kuharap saja dalam waktu dekat ini aku akan dapat rumah tanggaku yang baru.”

“ Kalau boleh aku mengetahui, siapa?”

“Tuan Shi Men, pemilk obat di dekat benteng.”

“Wah! Orang itu! Akan tetapi Nyonya yang baik, bagaimana engkau dapat memilh orang itu! Sebagai Tabib keluarganya aku mengenal benar keadaannya. Dia adalah orang yang menyuap sana-sini, yang menguasai para pejabat dengan uangnya. Di samping pembantu-pembantu dan pelayan-pelayan wanita yang banyak, dia selalu mempunyai lima atau enam orang isteri di dalam rumahnya. Dan jika seorang isteri tidak lagi menyenangkan hatinya, dia mencambuknya atau menjualnya keluar melalui perantara. Diapun pemimpin dari segerombolan pemerkosa dan penculik gadis-gadis atau isteri orang. Ada baiknya aku tidak terlambat untuk memperingatkanmu, Nyonya. Menikah dengan orang itu sama saja dengan memasukkan, kepala sendiri ke mulut harimau, anda akan menyesal sekali kemudian. Lebih dari itu, akhir-akhir ini dia terlibat dalam urusan kejahatan yang menyeret nama mertua dari puterinya. Tidak tahukah engkau bahwa kini puteri dan mantunya telah bersembunyi di dalam rumahnya? Itulah sebabnya mengapa pembangunan di rumahnya dihentikan. Kepala daerah telah menerima pemberitahuan dari Kotaraja tentang putusan hukum buang bagi semua keluarga mantunya. Siapa tahu dia sendiri akan tersangkut, dihukum dan harta bendanya akan disita? Kalau sudah begitu apa akan jadinya dengan para isterinya? Sungguh malang nasib mereka.”

Nyonya Hua tercengang dan menjadi gelisah. la teringat akan miliknya yang dititipkan kepada Shi Men. Sekarang mengertilah ia mengapa Shi Men demikian lamanya tidak menampakkan diri. Terbayanglah olehnya bahwa akan lebih menguntungkan dan menenteramkan kalau ia menikah dengan laki-laki yang ramah, baik hati dan menyenangkan seperti Tabib kiang ini. Akan tetapi tentu saja ia tidak tahu apakah Tabib ini suka untuk menjadi suaminya.

“Aku berterima kasih sekali atas nasehatmu” katanya setelah lama berdiam diri beberapa lamanya dan rasa kagetnya mereda. “Aku akan dengan senang hati menerima usul-usulmu jika engkau dapat menunjukan satu di antara teman-temanmu sebaga seorang suami yang baik dan boleh dipercaya.”

“Aku akan mencoba untuk memilihkan, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana seleramu, Nyonya, Laki- laki bagaimana yang kau sukai?”

“Keadaan lahirnya tidak begitu penting asal dalam hal lainnya dia seperti engkau.” mendengar ini, Tabib Kiang tak dapat menahan diri saking girangnya. Dia meloncat dari atas bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan janda muda yang cantik jelita itu.

“Ah, Nyonya yang mulia. Aku tidak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa di dalam rumahku tidak ada searangpun wanita yang hidup di sampingku. Hidupku seorang diri dan sebatangkara, Kalau engkau sudi menerimaku, aku akan berbahagia sekali untuk menemanimu hidup untuk selamanya.” Nyonya Hua tersenyum manis,

“Aku akan memilih hari baik untuk pernikahan kita dan selanjutnya engkau pindah saja ke dalam rumahku. Setujukah engkau?” Tabib Kiang membenturkan dahinya di atas lantai,

“Kebahagiaan memenuhi hatiku, Engkau bukan hanya akan menjadi isteriku, akan tetapi juga menjadi pujaanku seperti Ayah-Ibuku sendiri.” Demikianlah, Tabib Kiang pindah masuk ke dalam rumah Nyonya Hua setelah dilakukan upacara pernikahan yang sederhana. Nyonya Hua kemudian menyerahkan tiga ratus ons perak kepada suaminya untuk membuka sebuah toko obat baru di ruangan depan rumah mereka!, Kalau tadinya Tabib Kiang mengunjungi para pasiennya dengan jalan kaki, kini dia dapat berkunjung menunggang seekor keledai dengan sikap bangga. Dia merasa berbahagia sekali karena sebelumnya tak pernah dia bermimpi untuk dapat memperoleh seorang isteri yang cantik jelita, juga dapat memberinya modal membuka toko obat! Nasib Memang seperti roda pedati, berputar kadang- kadang di atas kadang-kadang dibawah.

Lai Pao dan Lai Wang dua oramg kepercayaan Shi Men yang diutusnya ke Kotaraja, tiba di Kotaraja dan mereka segera melakukan penyelidikan dan mencari keterangan di jalan-jalan, pasar-pasar mendengar desas-desus umum bahwa Menteri Perang Wang sudah dijatuhi hukuman buang karena dianggap sebagai penyebab utama kekalahan di garis depan, dan bahwa keputusan hukuman pada Jenderal Yang masih belum dijatuhkan. Mereka girang mendengar ini karena tau bahwa kedatangan mereka belumlah terlambat. Mereka lalu pergi mengunjungi gedung Istana Menteri Cai, bertanya dengan hormat kepada penjaga pintu gerbang apakah mereka dapat menghadap Menteri Cai. “Paduka Menteri sedang menghadap ke Istana. Ada keperluan apakah?” tanya penjaga. “Kalau begitu, kami mohon dapat bertemu dengan wakilnya, Sekretaris Besar Ti.”

“Beliaupun tidak berada di rumah.” Dua orang utusan Shi Men itu maklum, bahwa tanpa suara berkerincingnya perak, akan sukarlah mereka untuk dapat memperoleh bantuan penjaga ini, maka Lai Pao lalu mengeluarkan sepotong perak dan menyerahkannya kepada si penjaga. Begitu menerima uang ini, si penjaga lalu tidak angkuh seperti tadi lagi. Dia lalu memberitahukan bahwa untuk bertemu dengan Menteri Cai tidak mungkin karena sedang menghadap Sribaginda Kaisar, akan tetapi dapat bertemu dengan puteranya yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Sekretaris Tinggi, harus lebih dulu melalui pembantunya, komandan jaga Kao An. Penjaga pintu itu masuk dan tak lama kembali pula bersama komandan jaga Kao An. Sebelum si komandan sempat membuka mulut, Lai Pao telah menyerahkan sepuluh potong perak kepadanya.

“Kami bertugas untuk Jenderal Yang, dan kami diutus untuk menghadap Paduka menteri Cai. Dapatkah kami sekarang menghadap beliau?”

“Beliau sedang menghadap Sribaginda, akan tetapi kalian dapat menghadap puteranya yang dapat mewakili beliau. Mari ikuti saya.” Masuklah kedua orang itu di dalam gedung yang amat besar, penuh dengan prabot-prabot yang serba indah. Pembesar yang akan ditemui itu adalah Cai Yu, putera dari Menteri Cai King, dan Cai Yu ini Seperti Ayahnya, dekat dengan kaisar Hui Tiong. Selain kedudukannya yang tinggi setingkat Sekretaris Tinggi, dia juga merangkap menjadi Menteri Muda urusan pemujaan Rakyat, dan sebagai Pengawal Istana Persatuan Besar, sehingga dengan beberapa kedudukan tinggi itu dia dekat dengan Kaisar. Akhirnya, setelah melalui lorong yang serba mewah, komandan jaga Kao An mengantarkan kedua orang utusan Shi Men itu menghadap Sang Sekretaris Tinggi. Kedua orang itu menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat.

“Kalian dari mana?” tanya Sekretaris Cai Yu.

“Hamba berdua adalah petugas dari keluarga Chen Hung, Sanak dekat dari Jenderal Yang, dan hamba datang untuk mohon penjelasan kepada Paduka Yang Mulia Menteri Cai,” kata Lai Pao mengeluarkan catatan daftar barang hadiah yang dia serahkan kepada sang sekretaris. Ketika mata pembesar itu membaca tulisan “lima ratus ons emas,” dia memberri isyarat kepada Lai Pao untuk mendekat.

“Dengar baik-baik,” katanya berbisik.

“Menurut berita yang kuterima, Paduka Menteri sedang cuti untuk beberapa hari lamanya. Jika kalian ingin mendengar lebih jauh tentang perkara yang Menyangkut Jenderal Yang dan keluarganya, pergilah kepada jenderal Li. Mengenai jenderal Yang sendiri, aku hanya dapat memberitahu bahwa ada perundingan di Istana dan agaknya dia hanya akan dihukum dengan penurunan pangkat. Akan tetapi, anggauta keluarganya yang tersangkut akan menerima hukuman lebih berat. Kalian akan mendengar lebih jelas dari Jenderal Li.” Dengan terkejut dan gelisah, Lai Pao memberi hormat lagi.

“Hamba tidak mempunyai sahabat di Istana Jenderal Li. Dalam keadaan hamba yang tidak berdaya ini, dapatkah hamba mengharapkan bantuan paduka” “Akan ku tulis surat kepadanya dan beberapa, orang pengawalku akan menemanimu, tidak sukar mencari Istana dari Jenderal Li Pang Yen.” Setelah membuat surat itu dan menyerahkan kepada kedua utusan itu, sekretaris tinggi Cai laku memberi isyarat agar mereka segera keluar. Dua orang utusan itu kini ditemani oleh komandan jaga Kao An, pergi menghadap Jenderal Li. Mula-mula hanya Kao An yang diterima akan tetapi kemudian kedua orang itupun dipanggil menghadap. Kao An menghaturkan surat dari majikannya, bersama catatan daftar hadiah, sedangkan Lai Pao dan Lai Wang menaruh emas dan permata yang dibungkus sutera di depan kaki jenderal Li.

“Karena kalian diutus oleh Sekretaris Tinggi Cai ke sini, maka sesunguhnya kesungkanan ini tidak perlu,” kata Jenderal Li sambil melirik kearah emas yang berkilauan itu. “Pula, pandangan Yang Mulia Sribaginda mengenai kasus Jenderal Yang telah berubah dan kini majikan kalian telah terbebas dari bahaya. Hanya keluarga yang akan menerima hukuman berat dan dibuang karena hal ini telah ditekankan oleh para Jaksa dan pengadilan”

Jenderal itu memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengeluarkan arsip dari daftar nama para keluarga Jenderal Yang, yaitu mereka yang dianggap terlibat dan harus menerima hukuman. Ketika Jenderal Li memperlihatkan deftar nama itu untuk dilihat sendiri oleh đua orang utusan Shi Men, mereka segera membacanya dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika melihat bahwa di antara nama-nama itu terdapat selain nama Chen Hung besan majikan mereka, juga nama Shi Men! Dengan tubuh menggigil Lai Pao dan Lai Wang membentur-benturkan dahi mereka di atas lantai.

“Hamba berdua mohon maaf kepada paduka, sungguhnya hamba adalah utusan dari majikan hamba, yaitu tuan Shi Men. Sudikah paduka melimpahkan sedikit kebaikan hati untuk menyelamatkan nyawa majikan hamba?”

Kao An komandan pengawal dari Sekretaris Tinggi Cai Yu itu, juga ikut mohon kemurahan hati pembesar itu. Jenderal Li termenung. Dia ditawari jumlah sebanyak lima ratus ons emas sebagai harga dari penghapusan sebuah nama saja dari daftar anggauta keluarga Jederal Yang, yaitu mereka yang dijatuhi hukuman berat. Dengan isyarat tangannya, para pengawalnya mempersiapkan meja dan alat tulis, kemudian dengan gerakan jari-jari tangan yang cekatan, pembesar ini dapat merubah dua huruf Shi Men dengan memberi coretan dan tambahan di kanan kirinya sehingga nama itu terhapus dari daftar tanpa dapat diketahui bahwa dua huruf itu disulap menjadi tambahan kalimat yang tidak mengubah makna keseluruhan keputusan itu!

Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati kedua orang utusan itu dan setelah mereka diperbolehkan pergi, mereka segera melakukan perjalanan secepatnya pulang ke kota Ceng-Ho-Sian. Ketika mereka menceritakan hasil perjalanan mereka, Shi Men merasa seolah-olah sebongkah batu besar sekali telah disingkirkan dari dalam dadanya sehingga sambil tertawa-tawa dia menceritakan berita baik itu kepada para isterinya dengan wajah berseri dan “hidup” kembali setelah selama beberapa bulan ini wajahnya layu dan gelisah selalu. Dua hari kemudian, pembangunan rumah samping dilanjutkan dan pintu gerbang rumahnya dibuka lebar-lebar. Ketika dia mendengar dari A Thai bahwa kini Nyonya Hua telah menikah dengan orang lain, dia menjadi terkejut dan hampir tidak percaya.

“Apa? la menikah dengan orang lain? Siapa?”

“Tabib Kiang.” Dengan uring-uringan Shi Men masuk ruangan belakang. Kim Lian cepat maju untuk membuka sepatunya, akan tetapi dengan marah Shi Men mendorongnya ke samping. Bahkan dia tidak menyapa Goat Toanio, mengomeli para pelayan, kemudian merebahkan diri seorang diri untuk tidur. Sementara itu, para isterinya membicarakan sikap yang murung ini dan Goat Toanio menegur Kim Lian.

“Dia sedang mabuk. Kenapa tidak kau diamkan saja dan engkau malah tertawa-tawa dan mencoba untuk mendekatinya?

“Dia menjadi marah-marah kepada kita semua!' kata Goat Toanio. Walaupun di dalam hatinya merasa penasaran karena tadi ia didorong oleh Shi Men, namun Kim Lian tidak ingin cekcok dengan madunya yang tertua.

“Maaf, Toa-Ci (Kakak tertua ) aku tidak bermaksud buruk. Tentu ada sesuatu yang membuat dia marah- marah dan akulah yang dijadikan sasaran kemarahannya tadi.” Biarpun mulutnya mengeluarkan kata- kata yang mengalah, namun rasa penasaran, membuat hati wanita ini diracuni dendam terhadap Goat Toanio. Akan tetapi, maklum bahwa ia kalah dalam kedudukan di rumah tangga keluarga Shi Men itu, ia menyembunyikan perasaan ini. Pada suatu senja, Shi Men pulang dari kepergiannya yang biasa, yaitu bersenang senang dengan kawan-kawannya. Begitu turun dari kudanya, Shi Men pergi ke belakang untuk melihat perkembangan bangunan yang dia dikerjakan siang tadi, Kemudian dia memasuki pondok Kim Lian. Karena merasa lelah dan setengah mabuk, Shi Men langsung saja merebahkan diri di atas pembaringan dan tak lama kemudian diapun sudah mendengkur. Malam ini hawanya panas dan pengap, hawa akhir bulan Juli. Kim Llan yang sudah rebah di samping Shi Men tak dapat tidur, gelisah dan merasa tidak dibutuhkan oleh suaminya. Melihat Shi Men yang tidur nyenyak dengan selimut Tersingkap memperlihatkan tubuh bagian atas yang telanjang dan nampak tegap dan kuat itu, Kim Lian terangsang gairah yang membuatnya tidak dapat menahan diri. Dirangkulnya Shi Men.

“Setan gila! Apakah engkau tidak mau membiarkan orang mengaso? Sedang tidurpun diganggu!” Shi Men mengomel, akan tetapi ketika dia membuka matanya dan melihat kecantikan itu, diapun kalah dan Kim Lian mendapatkan apa yang diinginkannya. Belum selesai permainan cinta mereka, Shi Men merasa haus dan diapun langsung saja memanggil Cun Bwe, pelayan Kim Lian, untuk mengambilkan arak dan membawanya ke dalam kelambu pembaringan.

“Ih, apa yang kau lakukan ini? Jangan gila kau! Mau apa memanggilnya ke sini?” Kim Lian menegur. Shi Men tertawa.

“Aku mempelajarinya di rumah Nyonya Hua. Ciu Hwa, pelayannya, juga datang menbawakan arak untukku, penambah semangat.”

“Hah, jangan sebut-sebut lagi nama Nyonya Hua! Karena ia wanita yang tidak tahan uji, yang tanpa menantimu menikah lagi, engkau menjadi murung dan siapa yang menjadi korban kemarahanmu? Aku! Bukan hanya menjadi sasaran kedongkolanmu, bahkan akupun dimaki-maki oleh isterimu yang pertama.”

“Ah, kalian wanita-wanita bodoh yang tidak mengerti urusan. Sebetulnya aku tidak marah kepada kalian, melainkan kepada wanita itu. la telah memilih Tabib Kiang menjadi suaminya, bahkan memberinya modal untuk membuka rumah obat , hendak menyaingi aku, Siapa yang tidak menjadi gemas?”

“Dasar engkau sendiri yang bodoh! Kenapa engkau tidak membawanya ke rumah ini sejak dulu? aku sudah menyetujuinya? Akan tetapi engkau hanya mendengar Goat Toanio yang selalu bicara jelek tentang orang lain.” Kim Lian mulai mengeluarkan isi hatinya yang penuh rasa penasaran dan dendam kepada madunya yang pertama itu. Racun ini sudah mulai disebarkannya dan makin lama wajah Shi Men menjadi semakin merah,

“Mulai besok aku tidak sudi melihatnya atau bicara dengannya” Pernyataan ini menyenangkan hati Kim Lian yang menghujankan kemesraan kepada suaminya itu. Betapa keji dan berbahayanya Kata-kata yang beracun terhadap hubungan baik antara dua orang atau dua pihak yang semestinya amat akrabnya. Suami dan isteri, Raja dengan menterinya, Ayah dengan anaknya, antara saudara kandung, dapat menjadi pecah berantakan hubungan antara mereka itu oleh desas-desus dan fitnah yang keji melalui kata-kata yang merdu merayu.

Isteri pertama Shi Men, yaitu Goat Toanio, adalah isterinya yang paling setia, namun tetap saja kata-kata yang beracun dapat merenggangkan hubungan antara suami-isteri ini, Mulai hari itu, benar saja Shi Men bersikap tak senang terhadap Goat Toanio, tak pernah menegur atau menyapanya, tak pernah mendekatinya, seolah-olah wanita itu tidak ada di dalam rumah itu, Di lain pihak, Goat Toanio juga bersikap acuh, bahkan kalau kebetulan Shi Men memasuki kamarnya, ia berpura-pura melakukan sesuatu dan sibuk. Hubungan antara mereka menjadi dingin dan tidak seperti suami-isteri lagi. Akan tetapi sebagai seorang isteri setia dan isteri pertama, Goat Toanio tidak pernah mengeluh di depan para madunya, dan sikapnya terhadap para madunya masih tetap ramah dan baik.

Beberapa bulan kemudian selesailah sudah bangunan tambahan di sebelah rumah Shi Men, yaitu di atas tanah yang dibelinya dari mendiang Hua Ce Shu. Dengan gembira Goat Toanio, ditemani oleh puteri tirinya, satu-satunya anak Shi Men dari isteri terdahulu, dan oleh empat madunya, berjalan-jalan untuk memeriksa bangunan dan taman yang baru selesai itu. Memang bangunan berikut tanamannya itu indah sekali karena Shi Men telah menghabiskan banyak uang untuk membuatnya. Di taman yang amat luas itu terdapat bukit-bukitan, kolam ikan, danau kecil penuh teratai, pohon-pohon buah dan bunga beraneka warna.

Untuk setiap pondok dan taman diberi nama yang muluk-muluk. Ada “Ruangan Perpindahan Burung- burung Walet,” ada pula “Lembah Sungai Hutan,” masih ada lagi “Menara Bukit Hijau,” dan “Ruangan Sumber Air Tersembunyi.” Setiap bagian ditanami bunga-bunga indah yang disesuaikan dengan nama tempat masing-masing. Sungguh sebuah taman yang amat indah, tidak kalah oleh taman-taman milik para pangeran di Kotaraja. Dengan gembira Goat Toanio bersama anak tirinya dan empat orang madunya berjalan-Jalan dan akhirnya ia beristirahat di pondok yang dinamakan “Peristirahatan Awan,” mengajak isteri ke tiga dan ke empat, yaltu Mong Yu Lok dan Sun Siu Oh, untuk bermain catur. wanita lainnya naik ke menara untuk menikmati keindahan taman itu dari atas. Para pelayan sibuk melayani majikan mereka dengan suguhan minuman anggur halus, dan manisan.

“Ah, aku lupa untuk mengundang suamimu” kata Goat Taanio kepada puteri tirinya. Akan tetapi pada saat itu, kebetulan sekali Chen Ceng Ki, mantu Shi Men, memasuki taman karena diapun ingin melihat taman yang baru dibangun oleh Ayah mertuanya. Melihat mantu tirinya, Goat Toanio segera menyuruh pelayan untuk memanggilnya dan mempersilakan masuk ke dalam pondok dimana ia dan dua orang madunya bermain Catur. Chen Ceng Ki memasuki pondok itu. Melihat datangnya laki-laki muda ini, Yu Lok dan Siu Oh cepat bangkit dan hendak mengundurkan diri, akan tetapi Goat Toanlo berkata kepada mereka.

“Dia bukan orang luar. Dia masih keluarga dekat maka tidak perlu kalian bersikap sungkan.” Lalu ia memperkenalkan dua orang madunya yang menjadi isteri ke tiga dan ke empat itu kepada Chen yang cepat, memberi hormat kepada mereka. Orang muda itu lalu dipersilakan duduk. Aku melihat engkau setiap hari bekerja keras, bengun pagi sekali dan tidur sampai jauh malam. Kalau engkau bekerja terlalu keras membantu Ayah mertua engkau bisa jatuh sakit. Maka marilah temani kami minum anggur dan menghibur diri di sini.”

“Terima kasih atas keramahan ini sedikit pekerjaan yang saya lakukan tidak ada harganya untuk disebut,” kata Chen merendah. Setelah minum beberapa cawan anggur, Chen menemani mereka bermain kartu, akan tetapi dia merasa kehilangan karena sejak tadi dia tidak melihat Kim Lian, isteri ke llma dari Ayah mertuanya yang pernah mengguncangkan hatinya karena kecantikannya.

Dia lalu berpamit untuk berjalan-jalan di taman mengagumi keindahan taman itu. Isterinya tinggal bersama para isteri Ayahnya untuk melanjutkan permainan kartu. Chen merupakan seorang pria muda yang cukup ganteng, dengan pakaian Sutera halus kepalanya memakai kain kepala berwarna biru, kakinya mengenakan sandal sutera hitam. Pada saat dia berjalan-jalan itu, tiba-tiba dia melihat sesuatu yang mendebarkan jantungnya, Kim Lian, isteri ke lima Ayah mertuanya sedang bermain-main seorang diri di kaki bukit dekat danau kecil penuh bunga teratai, dan ia menggunakan kipasnya mencoba untuk menangkap kupu-kupu yang beterbangan di sekelilingnya. Tiba-tiba Kim Lian yang sedang asyik seorang diri itu mendengar suara Chen yang sudah berada di belakangnya.

“Ah, Ibu Ke Lima, engkau tidak tahu bagaimana menangkap kupu-kupu. Mari kubantu engkau.” Kim Lian membalikkan tubuh dengan kaget dan melihat Chen, ia tersenyum akan tetapi pura-pura menegurnya,

“Hemm, anak kurang ajar. Engkau mengejutkan aku saja!” Akan tetapi sambil tersenyum, Chen Ceng Ki melangkah maju, merangkul Kim Lian dan tanpa banyak cakap lagi Mencium pipi dan bibirnya. Kim Lian mencoba untuk mendorong dada orang muda itu dalam perlawanan yang lemah. Akan tetapi pada saat itu terdengar Suara Yu Lok memanggil-manggil dan mencarinya. Tentu saja kedua orang itu cepat memisahkan diri. Chen Ceng Ki cepat menyelinap pergi meninggalkan Kim Lian yang sibuk membereskan rambut dan menyapu bibir dan pipi dengan saputangannya agar tidak nampak bekas peristiwa itu. Setelah pembangunan taman dan pondok-pondok baru selesai, Shi Men mulai banyak keluar lagi.

Pada suatu hari, dia bertemu dengan dua orang tokoh sesat, yang berjuluk Ular Rumput dan Tikus Jalanan. Dua orang ini adalah tukang-tukang pukul atau pembunuh-pembunuh bayaran yang ditakuti orang karena kekejaman mereka, dan untuk beberapa tail perak saja mereka siap untuk membunuh orang tanpa berkedip. Shi Men bukan hanya terkenal di kalangan atas, berhubungan baik dengan para pejabat dan pembesar, akan tetapi diapun dikenal baik oleh para penjahat di kota Ceng-Ho dan daerahnya karena tidak jarang dia memberi bantuan uang kepada mereka, tentu saja dengan maksud untuk memperkuat kedudukannya. Ketika melihat dua orang penjahat ini, Shi Men memperoleh suatu niat dan diapun menahan kudanya.

“Aku mempunyai pekerjaan untuk kalian” Tentu saja dua orang Penjahat, itu menjadi girang dan cepat menghampiri, karena pekerjan yang diperintahkan Shi Men berarti banyak uang sebagai imbalan atas jasanya,

“Aih, Kongcu yang mulia Kami sudah seringkali menerima kehormatan dan hadiah darimu. Kongcu tahu bahwa untukmu, kami, siap memasuki lautan api, kami Siap untuk membelamu sampai mati.” Shi Men membungkuk dan dengan suara berbisik-bisik dia menceritakan tentang pernikahan Nyonya Hua dengan Tabib Kiang. “Saudara-saudara, aku akan berterima kasih sekali kalau kalían mau menghajar Tabit Kiang yang tak tahu diri itu.” Dia mengeluarkan uang lima ons perak,

“Nah, ini hadiah pertama untuk saat ini. Kalau kalian melasanakan tugas dengan baik aku akan memberi lebih banyak lagi.”

Setelah dua bulan menikah, mulailah timbul penyesalan di hati Nyonya Hua. Ia merasa tidak puas mempunyai suami Tabib itu, karena di lubuk hatinya ia telah jatuh cinta kepada Shi Men. Seringkali ia mengusir keluar Tabib Kiang dari kamar tidurnya dan suami itu tidur di dalam toko obatnya.

Siang malam kini ia menyesali nasibnya mengapa Shi Men tidak memboyongnya ke dalam rumahnya. la merasa menyesal sekali memilih Tabib yang kurus kecil itu sebagai suaminya. Tabib Kiang juga merasa tak senang, Baru satu bulan saja menjadi suami janda muda yang cantik itu, isterinya sudah tidak mau lagi melayaninya, bahkan sering kali menghina dan mengusirnya. Padahal dia telah berusaha sedapat mungkin untuk memenangkan cintanya. Pagi itu, setelah semalam gelisah tak dapat tidur karena ditolak memasuki kamar oleh isterinya, Tabib Kiang membuka toko obatnya dengan bersungut-sungut. Ketika dua orang laki-laki itu, Si Ular Rumput dan Si Tikus Jalanan memasuki tokonya, dia menyambut mereka dengan muka muram, lalu bertanya dengan kasar apa yang mereka kehendaki.

“Tabib Kiang, apakah engkau lupa kepadaku, orang yang telah meminjamkan uang tiga puluh ons perak itu? Dengan bunganya, sekarang hutangmu menjadi empat puluh delapan ons, dan aku akan kembali datang untuk minta kembali uangku,” kata Si Ular Rumput. sepasang mata Tabib itu terbelalak, ia mengamati orang itu dengan alis berkerut.

“Siapakah engkau? Aku tak pernah mengenalmu, bagaimana engkau berani menyatakan bahwa aku berhutang kepadamu?”

“Janga pura-pura tidak kenal. Aku adalah Lu Hua, kau ingat? Hayo kembalikan uangku yang kau pinjam” Hati Tabib Kiang memang sedang dongkol dan marah karena sikap isterinya. Kini ada orang mengatakan bahwa dia punyai hutang dan harus membayar, tentu saja dia menjadi semakin marah.

“ Sudahlah, bayar saja, kawan, Engkau kan sekarang sudah kaya” kata Si Tikus Jalanan menyeringai.

“Apa? Aku tidak sudi bayar! Kalian adalah bangsat-bengsat yang hendak memeras orang” bentaknya marah. Si Ular Rumput melangkah maju dan memukul muka Tabib itu sampai hidungnya mengucurkan darah. Si Tikus menarik laci almari yang penuh obat dan melemparkan laci berikut guci-guci dan botol- botol obat sehingga berserakan ke atas jalan.

“Akan kutuntut kalian, jahanam-jahanam!” Tabib Kiang berteriak marah. Sebuah pukulan kembali mengenai mukanya.

“Ha-ha ha, sepagi ini engkau sudah mabuk” Si Tikus Jalanan mengejek.

Tabib Kiang berteriak-teriak dan datanglah petugas keamanan yang sedang melakukan perondaan. Mereka bertiga dibawa ke pos keamanan. Sementara itu, Nyoya Hua yang melihat semua peristiwa itu, diam-diam merasa puas bahwa Suami yang tidak disukainya itu dipukuli orang. la lalu memerintahkan Nenek Bi untuk menutup toko, membuang papan nama. Sedangkan guci-guci dan botol-botol obat yang berserakan di jalanan telah habis dipunguti orang lewat. Segera setelah dia mendengar peristiwa itu, Shi Men mengirim utusan yang membawa surat dan bingkisan kepada Hakim Sieh, sahabat baiknya yang menangani perkara itu. Dan pada keesokan harinya, ketika pengadilan dibuka dan tiga orang yang berkelahi itu dihadapkan hakim, terjadilah peradilan yang membuat Tabib Kiang merasa terkejut, heran dan juga tak berdaya.

“Hemm, jadi kamu yang bernama Tabib Kiang Kenapa kamu tidak mau membayar hutangmu, padahal kamu mempunyai uang untuk membayarnya? Perbuatan itu sungguh tidak patut,” kata Hakim Sieh.

“Sungguh hamba tidak mengerti,” Tabib Kiang membantah. “Hamba sama sekali tidak berhutang apapun juga kepada orang itu. Ketika hamba membantah, dia dan temannya memukuli hamba dan merusak toko hamba.” Akan tetapi jawaban ini mengakibatkan si Tabib yang malang dipukul tiga puluh kali di punggungnya dengan pecut bambu oleh para algojo pengadilan. Kemudian Tabib Kiang diharuskan membayar kembali tiga puluh ons perak, kalau tidak, maka dia akan dijatuhi hukuman berat dalam penjara. Sambil meringis dan menangis, dikawal oleh dua orang petugas pengadilan, Tabib Kiang mengunjungi isterinya dan merengek minta agar uang itu dibayarkan. Nyonya Hua meludahinya.

“Tidak satu Senpun engkau membawa uang ketika engkau pindah ke sini, dan sekarang engkau malah minta aku membayar hutangmu” wanita itu memaki.

“Kalau saja aku tahu manusia macam apa adanya engkau dulu aku tidak sudi menikah denganmu, kura- kura menjemukan.” Tanpa malu-malu lagi Tabib Kiang menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nyonya Hua agar suka menolongnya. Wanita itu dengan ketus mengatakan bahwa ia akan menolongnya untuk yang terakhir kali dan sejak saat itu tidak sudi lagi melihat mukanya, dan tidak ada hubungan apapun antara mereka lagi. Si Ular Rumput dan Si Tikus Jalanan pergi dengan senyum puas sambil membawa tiga puluh ons perak, sedangkan Tabib Kiang hanya dapat menangis ketika ia harus meninggalkan rumah wanita yang pernah menjadi isterinya,

Tanpa satu sen pun dalam sakunya, hanya buntalan pakaiannya seperti ketika dia pertama kali masuki rumah itu, penuh rasa pensaran di dalam hatinya. Ribuan orang seperti Tabib Kiang boleh menangis sampai mati penasaran, namun siapa dapat menolongnya? Siapa mampu merubah jalannya persidangan di pengadilan yang sudah dicengkeram oleh kekuasaan uang suapan yang amat besar? Peristiwa seperti itu terjadi terus, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, bahkan abad demi abad! Setelah mengusir suaminya dan menutup toko obat, Nyonya Hua mengutus Nenek Bi, mengadakan kontak dengan Shi Men dan akhirnya Shi Men mengirim pesan agar semua harta benda milik janda itu dipindahkan ke rumahnya, dan dia menentukan hari baik untuk menerima janda itu sebagai isterirya yang ke enam!

Dengan jantung berdebar karena merasa tegang dan bahagia, pada hari yang ditentukan pagi-pagi sekali Nyonya Hua sudah naik joli dipikul menuju ke rumah keluarga Shi Men. Ia tidak tahu bahwa saat ini Shi Men menanti dengan hati dendam. dan dia sudah mengambil keputusan untuk menghajar istri barunya yang telah berani mendahuluinya dan memilih pria lain seperti Tabib Kiang menjadi suaminya. Ketika joli itu tiba di pintu gerbang dan diturunkan, tidak ada seorangpun yang melakukan penyambutan! Sesuai dengan peraturan adat yang berlaku, seorang pengantin wanita tidak akan keluar dari joli sebelum pihak keluarga pengantin pria datang menyambut. Karena itu, Nyonya Hua menanti di dalam jolinya berjam- jam lamanya. Akhirnya, Mong Yu Lok, isteri Shi Men yang ke tiga, merasa kasihan dan iapun pergi menemui Goat Toanio. “Toa-Ci adalah nyonya rumah, sudah menjadi kewajlbanmu untuk melakukan penyambutan. Suami kita akan marah kalau engkau tidak melakukannya, Toa-Ci” Goat Toanio mengerutkan alisnya. Ia merasa tidak senang suaminya mengambil seorang isteri baru pula dan suaminya tidak memesan apa-apa kepadanya untuk melakukan penyambutan. Namun, wataknya memang pemurah memaksa ia untuk keluar menyambut. Barulah Nyonya Hua terlepas dari siksaan ketika akhirnya tirai jolinya disingkap dan ia dipersilakan turun, lalu digandeng oleh Goat Toanio memasuki pondok yang telah disediakan untuknya di dalam perumahan besar itu.

Akar tetapi, malam itu Shi Men tak pernah muncul dan Nyonya Hua menanti dengan hati gelisah semalam suntuk. Shi Men sengaja membiarkan saja dan malam itu dia tidur di pondok Kim Lian. Baru pada keesokan harinya Shi Men memanggilnya dan secara resmi memperkenalkan Nyonya Hua sebagai isteri ke enam kepada isteri-isteri yang lain. Namun malamnya, Shi Men juga tidak datang berkunjung dan melewatkan malam itu di dalam kamar Yu Lok, isterinya yang ke tiga. Pada malam ke tiga, ketika Shi Men belum juga datang mengunjunginya, Nyonya Hua merasa demikian malu dan berduka sehingga ia menjadi mata gelap dan melakukan perbuat nekat. Ciu. Hwa, pelayannya, menjerit ketika memasuki kamar, melihat majikannya itu dalam pakaian pengantin, menggantung diri di tiang pembaringan menggunakan sabuk suteranya.

Ciu Hwa berlari ke pondok Kim Lian yang tak jauh dari situ. Kim Lian dan pelayannya, Cun Bwe, berlari- lari ke kamar Nyonya Hua. Dengan tenang Kim Lian menggunakan gunting dan memotong tali sutra yang menggantung leher wanita itu. Bersama-sama mereka menurunkan tubuh nyonya Hua dan dan merebahkannya ke atas pembaringan. Untung belum terlambat, karena wanita yang malang itu masih bernapas walaupun dalam keadaan tak sadar diri. Pada waktu itu, Shi Men sedang minum-minum ditemani isterinya yang ke tiga. Yu Lok sudah menegurnya tentang sikapnya terhadap isteri ke enam, membiarkan isteri baru itu sampai tiga malam. la akan merasa tersinggung sekali, demikian Yu Lok memperingatkan suaminya.

“Ah, Jangan ikut-ikut, biarkan aku mengendalikannya, Biar ia tahu rasa! Tanpa memberi kabar, ia telah berani menerima Tabib Kiang sebagai suaminya. la harus tau bahwa aku tak boleh disamakan dengan laki-laki macam itu, dan aku tidak perlu berlari-lari mengejarnya!” Pada saat itu, terdengar suara ribut- ribut di luar kamar dan seorang pelayan wanita melapor dengan muka pucat.

“Nyoya ke enam menggantung diri, Nyonya ke lima minta aggar Kongcu suka datang kesana sekarang juga!”

“Nah, apa kubilang Yu Lok mencela suaminya. Engkau tidak mendengarkan kata-kataku dan sekarang malapetaka datang menimpa.” lapun lari keluar kamar untuk memberi tahu kepada Goat-Toanio dan para madu yang lain. Shi Men enak enak saja melanjutkan minumnya, tanpa bangkit dari tempat duduknya. Goat Tonio dan para madunya berlarian menuju ke pondok baru dan mereka mendapatkan madu baru itu berbaring dengan muka pucat dan kelelahan, namun sudah tertolong nyawanya. Pada keesokan harinya, Shi Men berkata kepada isteri-isterinya yang lain.

“Jangan kalian tertipu olehnya. la sudah. merencanakan semua itu, hanya untuk mencari perhatian. Aku tidak percaya ia akan membunuh diri dengan sungguh-Sunngguh. Dan aku akan menghajarnya malam ini, biar kulihat ia menggantung diri di depan mataku!” Benar saja malam itu Shi Men memasuki kamar Nyonya Hua dengan sebatang cambuk disembunyikan di dalam lengan bajunya. Kim Lian dan Yu Lok diam-diam mengintai dari luar pintu kamar dan mendengarkan dengan jantung berdebar tegang. Ketika memasuki kamar, Shi Men mendapatkan Nyonya Hua menangis dan menyembunyikan mukanya ke dalam bantal.

“Kalau engkau benar-benar ingin menggantung diri, kenapa engkau memilih rumahku untuk melakukannya?” Shi Men berteriak marah.

“Engkau seharusnya melakukannya di dalam rumah suamimu yang terakhir ini, Si kura-kura gila itu! Aku ingin melihat engkau gantung diri!” Dia melempar tali yang sudah dibawanya ke tubuh Nyonya Hua. Wanita itu terkejut menjerit dan ketakutan.

“Turun dari pembaringan itu, dan tanggalkan pakaianmu! berlututlah!” Dia menbentak dengan suara penuh ancaman. Melihat wanita itu tidak segera mentaati perintahnya, Shi Men menangkap lengannya, menyeretnya turun dari pembaringan dan memukulnya tiga kali dengan cambuknya. Nyonya Hua menjerit kesakitan dan ketakutan, lalu menanggalkan pakaiannya dengan jari-jari tangan gemetar, kemudian ia berlutut di depan kaki Shi Men. Dalam keadaan telanjang bulat dan berlutut ini, Shi Men menumpahkan semua kemarahan dan sakit hatinya,mengapa wanita itu tidak sabar menantinya, bahkan menikah dengan seorang laki-laki tak berharga seperti Tabib Kiang, dan lebih lagi, membiayai orang itu untuk membuka sebuah toko untuk menjadi saingannya! Setelah habis kata-kata Shi Men dan orang ini berhenti untuk mengambi napas, Nyonya Hua berkata lirih dan halus,

“Maafkan aku, aku merasa menyesal sekali Akan tetapi, harap ingatlah betapa engkau tidak pernah memperlihatkan diri atau memberi kabar kepadaku. Siang malam aku merindukanmu, menanti dengan sia-sia, sampai aku jatuh sakit dan muncullah orang itu, sebagai Tabib untuk mengobatiku. Dia mempergunakan kesempatan melihat keadaanku yang buruk untuk, membujukku. ah, betapa menyesal aku, betapa pahit aku harus mengalami akibat dari semua itu. Maukah engkau mengerti dan mengampuniku?”

“Aku mendengar bahwa engkau membujuk Tabib gendeng itu untuk menuntut aku mengenai barang- barang yang, kau titipkan kepadaku. Benarkah?”

“Ah, itu tidak benar! Biarlah aku mati secara tidak wajar kalau aku pernah mengusulkan hal semacam itu!” Shi Men merasa puas dan kemesraannya terhadap wanita ini pulih kembali. Dia melemparkan cambuknya dan membantunya bangkit dan mengenakan pakaiannya kembali. Dengan lembut dia memeluknya.

“Sekarang semua telah baik kembali, sayang.” Semenjak hari itu, Shi Men melekat kepada isteri barunya yang kini tidak lagi dipanggil Nyonya Hua, melainkan Nyonya Ke Enam atau Nyonya Peng, nama kecilnya. Setiap malam dia tidur di pondok isteri baru ini dan hampir sama sekali tidak menpedulikan para isterinya yang lain.

Yang paling menderita adaiah Kim Lian, akan tetapi maklum bahwa suaminya sedang tergila-gila kepada isteri barunya, tidak ada lain hal yang dapat dilakukan kecuali berusaha menyebar bibit permusuhan antara Nyonya Peng dan Goat Toanio, Ia menncela Nyonya Peng, sebaliknya di depan Nyonya Peng ia mencela Goat Toanio, dan karena Nyonya Peng adalah seorang yang peka rasa dan mudah dipengaruhi, Sebentar saja ia menjadi akrab sekali dengan Kim Lian. Agaknya bintang peruntungan Shi Men memang sedang cemerlang. Masuknya Nyoya Peng manjadi isterinya, menambah jumlah kekayaan karena janda itu membawa banyak harta. Semua perusahaannya berjalan dengan Lancar dan menguntungkan Para pegawainya setia dan bekerja sungguh-sungguh dan diapun pandai mempergunakan tenaga orang- orang yang cakap.

Shi Men memang seorang pedagang dan pengusaha yang pandai dan ulet sehingga kekayaannya makin bertambah saja. Di samping perusahaan yang semakin maju, diapun tiada hentinya mengejar kesenangan. Di samping enam orang isterinya dan empat orang pelayan cantik, dia masih sering pergi mengunjungi rumah-rumah pelesir. Kini, untuk melengkapi sarana kesenangan di dalam rumahnya, dia mengundang seniman musik Li Ming, Kakak dari Bi Hwa gadis penyanyi yang menjadi kekasihnya itu, untuk melatih empat orang pelayannya bermain musik. Kini empat orang pelayan yang juga menjadi kekasih Shi Men itu mulai pandai bermain suling dan siter sehingga tanpa mengundang rombongan penyanyi, mereka dapat menghibur hati Shi Men dengan musik yang mereka mainkan sendiri.

Dengan adanya Chen Ceng Ki, mantunya, Shi Men membuka sebuah perusahaan baru, yaitu rumah gadai. Berkat kerajinan dan ketekunan Chen Ceng Ki yang mencurahkan seluruh tenaga dan perhatiannya untuk mengurus rumah gadai itu, maka perusahaan ini berjalan dengan lancar dan sebentar saja memperoleh kemajuan pesat.

“Mantuku,” kata Shi Men pada suatu hari ketika mereka makan siang bersama, “Aku puas sekali melihat kemajuanmu. Aku merasa girang bahwa dalam perusahaan, aku dapat mengandalkanmu Sepenuhnya. Ayahmu di Kai-Hong-Hu akan girang pula mendengar ini. Pepatah mengatakan bahwa kalau orang tidak mempunyai putera sendiri, dia harus mengandalkan putera mantunya. Dan andaikata aku tidak mempunyai putera, maka segala milikku kelak tentu akan kuwariskan, kepadamu dan isterimu.”

Shi Men sama sekali tidak pernah mimpi bahwa orang muda yang cerdik ini kelak akan menjadi duri dalam daging. Orang tak akan pernah puas dengan keadaannya. Beberapa bulan kemudian kelekatan Shi Men kepada isteri barunya pun mengurang dan dia mulai lagi pergi keluyuran malam ke rumah-rumah pelesiran untuk mencari gadis-gadis baru. Pada suatu malam Shi Men pulang dari rumah pelesir dan pada waktu dia lewat di depan pekarangan rumahnya, dia mellhat Siauw Giok, pelayan Goat Toanio, keluar membawa meja sembahyang kecil. Dia cepat bersembunyi dan mengintai. Tak lama kemudian keluarlah Goat Toanio dalam pakaian sembahyang menyapu tanah di depan meja sembahyang dengan sapu, lalu berlutut di atas bantalan lutut, membakar dupa dan bersembahyang. Terdengar wanita itu mengeluarkan kata-kata lirih dalam sembahyangnya.

“Saya, gadis keturunan Wu, melihat betapa suami saya, Shi Men, membiarkan dirinya tenggelam ke dalam rumah pelesir. Dari enam orang isterinya, tak seorangpun dia mendapatkan putera. Jika dia meninggal kelak, tidak ada puteranya yang akan membersihkan kuburannya dan menyembahyanginya. Siang malam hati saya gelisah. Siapa yang akan merawatnya dalam usia tuanya? Karena itu, saya mohon berkah semoga dia mau mendekati saya satu kali lagi saja agar dia bisa mendapatkan seorang anak laki- laki untuk menyambung keturunannya. Inilah permohonan saya”

Mendengar ini, Shi Men merasa terharu sekali. Bagaimana dia sampai dapat melupakan dan menyia- nyiakan wanita yang demikian mencinta dan setia kepadanya, yang, bersembahyang di malam musim salju yang dingin. untuk dirinya? Dia tak dapat menahan keharuan hatinya lagi, keluar dạri tempat sembunyinya dan merangkul isteri pertamanya ltu. Goat Toanio terkejut sekali dan mencoba untuk melepaskan diri, namun Shi Men memeluknya dengan erat,

“Isteriku, aku telah bersikap bodoh. Engkau adalah isteriku yang paling baik, Aku telah bersikap buruk dan tidak adil kepadamu dan aku merasa menyesal sekali.” “Hemm, tidak kelirukah engkau? Bukankah aku hanya seorang wanita yang tidak berharga untuk cintamu, seorang wanita yang kau benci?” Shi Men tidak menjawab, hanya menggandeng tangannya dan mengajaknya kembali ke kamarnya. Kini, di bawah sinar lampu dia seperti melihat seorang Goat Toanio yang baru. Seperti baru nampak olehnya betapa wanita ini amat anggun, seperti Kwan lm Pouwsat.

“Ah, betapa mataku seperti buta dan telingaku seperti tuli selama ini. Betapa besar dosaku kepadamu. Aku tergila-gila kepada batu-batu jalan dan menyia-nyiakan batu kemala! Maafkan aku, beribu maaf!” Melihat betapa Goat Toanio hanya menundukkan muka dan tidak memandangnya, Shi Men berlutut di depannya.

“Isteriku yang baik, maafkan aku” berkali-kali dia berbisik. Goat Toanio tetap tidak mau melihatnya.

“Ratap tangismu menyedihkan dan menjemukan. Biar kupanggil pelayan.” Ia memanggil Siauw Giok. Shi Men cepat bangkit berdiri dan berkata kepada Siauw Giok,

“Cepat bawa masuk meja sembahyang yang berada di luar itu, nanti tertutup salju!”

“Sudah sejak tadi dibawa masuk,” jawab Siauw Giok. Mendengar ini, Goat Toanio tak dapat menahan senyumnya karena merasa geli.

“Hemm, apakah engkau tidak malu berpura-pura seperti ini di depan pelayan?” Siauw Giok mengundurkan diri melihat suasana itu dan Shi Men kembali menjatuhkan diri berlutut. Sekali ini Goat Toanio merasa kasihan dan iapun membantu suaminya untuk bangkit dan mereka duduk berdampingan, disuguhi teh oleh pelayan mereka. Malam itu Shi Men tidur di dalam kamar isterinya yang pertama, hal yang sudah berbulan-bulan tak pernah terjadi. Dan dengan sepenuh hati dan perasaannya.

Lai Wang, seorang dl antara pegawai-pegawal kepercayaan Shi Men, mempunyai seorang lsteri yang muda dan cantik manis bernama Lian Cu. Usianya baru dua puluh empat tahun, wajahnya manis sekali dan bentuk tubuhnya indah menggairahkan. Lai Wang membawa isteri yang baru dikawini itu ke dalam rumah keluarga Shi Men di mana dia tinggal di bagian belakang, bagian perumahan para pegawai. Tentu saja sepasang mata Shi Men yang tajam seperti mata burung elang melihat anak ayam kalau dia melihat wanita itu tidak melewatkan kemanisan wajah dan kemontokan tubuh isteri Lai Wang itu.

Maka, berkobarlah api gairah terhadap Lian Cu dalam benak Shi Men. Pada suatu hari, Shi Men mengutus Lai Wang pergi ke Hang-Chouw untuk menyerahkan bingkisan berupa seperangkat pakaian indah untuk Jenderal Cai Ceng, seperti yang biasa dilakukannya untuk mengambil hati para pembesar. Perjalanan. jauh ini bagi Lai Wang akan memakan waktu sedikitnya empat lima bulan dan hal ini sudah diperhitungkan baik-baik oleh Shi Men. Baru beberapa hari setelah Lai Wang pergi, ketika itu Goat Toanio sedang mengunjungi tetangga dan kebetulan pada sore hari nya Shi Men pulang. Di ruangan belakang yang sunyi, ketika dia berjalan agak terhuyung karena terlalu banyak minum arak, dia berpapasan dengan Lian Cu. Melihat wanita ini, tanpa banyak cakap lagi Shi Men menangkapnya, merangkul dan mencium bibirnya.

“Kalau engkau bersikap manis kepadaku dan mau melayaniku, engkau akan kuberi pakaian sebanyak yang kau kehendaki,” katanya berbisik. Sambil tertawa lirih, Lian Cu melepaskan diri dan lari tanpa berkata apapun. Shi Men lalu menemui Siauw Giok, pelayan Goat Toanio. “Berikan, kain biru ini kepada Lian Cu untuk membuat gaun. Pakaian yang dipakainya itu tidak cocok untuknya.” Tentu saja Siauw Giok dapat menangkap apa yang terkandung dalam hati majikannya terhadap Lian Cu. la membawa kain itu kepada Lian Cu yang menerimanya dengan kedua pipi berubah merah.

“Akan tetapi apa yang harus dikatakan kalau Goat Toanio menanyakan dari mana aku memperoleh pakaian baru ini?”

“Jangan khawatir,” jawab Siauw Giok. “Majikan kita akan dapat memberi keterangan untuk itu. Dan kalau engkau mau melayaninya, engkau akan menerima hadiah lebih banyak lagi.”

“Tapi apa yang harus kulakukan? Menantinya di kamarku? Dan kapan?”

“Tidak baik kalau dia masuk ke kamarmu, akan ketahuan oleh para pelayan lainnya. Lebih baik engkau pergi ke taman, dan masuk ke pondok Musim Semi yang sunyi dan kosong. Di sana takkan ketahuan siapapun.”

Dan malam itu terjadilah pertemuan yang asyik dan panas, penuh dengan kemesraan cinta curian. Perjinaan atau cinta curian mengandung minyak bakar yang menambah berkobarnya nafsu berahi. Secara kebetulan sekali, malam itu Kim Lian yang merasa kesepian karena beberapa bulan suaminya tak pernah, datang mengunjunginya, berjalan-jalan dalam taman yang luas itu. Ketika ta berjalan dekat pondok Musim Semi, ia mendengar suara dan wanita yang mencurigakan. la lalu mendekat dan mengintai. Dapat dibayangkan betapa marah dan panas hatinya ketika ia melihat adegan yang terjadi di pondok antara suaminya dan isteri Lai Wang, pegawai terpercaya itu. la membuka pintu dan memasuki pondok. Pria dan wanita yang sedang asyik itu cepat memisahkan diri dan Lian Cu bergegas lari meninggalkan pondok sambil menjawab bahwa ia ke situ mencari bunga salju.

“Sungguh tak tahu malu kau!.” kata Kim Lian kepada Shi Men setelah wanita itu melarikan diri.

“Bermain gila di sini dengan isteri pegawaimu sendiri! Hayo katakan, berapa lama engkau berpacaran dengan wanita itu? Mengaku terus terang atau aku akan melapor kepada Goat Toanio!” Sambil menyeringai, Shi Men merangkul Kim Lian.

“Hushh, jangan keras-keras, nanti orang lain mendengarnya. Terus terang saja, baru sekali ini terjadi,

“Bohong! Awas, akan kuselidiki” Shi Men hanya tertawa dan mengaku salah. Ketika melakukan penyelidikan dan merasa yakin memang baru sekali itu suaminya berjina dengan Lian Cu, Kim Lian merasa Iega. Dengan cerdik ia menggunakan kesempatan ini untuk menekan Shi Men sehingga suaminya itu terpaksa harus bersikap baik dan manis kepadanya, menuruti keinginannya karena Kim Lian mau membantunya untuk melanjutkan hubungannya dengan isteri Lai Wang Itu. Pertemuan gelap itupun dapat dilanjutkan berkat bantuan Kim Lian.

Beberapa bulan telah lewat semenjak Shi Men menikmati hubungan gelapnya dengan Lian Cu, isteri pegawainya sendiri yang dipercaya. Hampir setiap hari dia mengadakan pertemuan penuh kehangatan dengan Lian Cu, sekali ini tidak lagi sembunyi-sembunyi seperti pada pertemuan pertama kali di pondok Musim Semi, melainkan di pondok Kim Lian! Pada suatu hari, selagi para isteri Shi Men bersenang- senang di dalam taman, ayun-ayunan, penjaga melaporkan akan kembalinya Lai Wang, pegawai yang diutus ke kota Hang-Chouw itu. Ketika Lai Wang menuju ke bagian belakang dari perumahan itu, ketika mencari isterinya, dia bertemu dengan Sun Siu Oh isteri ke empat Shi Men yang seperti biasa bertugas di dapur karena kepandaianya dalam hal memasak. Melihat pegawai yang dipercaya ini, Siu Oh menegurnya dan menyuguhkan teh.

“Apakan engkau sudah makan?”

“Belum. Saya ingin memberi hormat dan menghadap Goat Toanio, akan tetapi ia bersama para nyonya majikan lain berada di taman. Di manakah isteri saya? Kenapa ia tidak kelihatan di dapur membantumu seperti biasa?” Siu Oh mencibirkan bibirnya.

“Membantu di dapur? Huh, isterimu akan menjadi seorang nyonya besar semenjak engkau pergi. Tugas satu-satunya hanyalah untuk menemani...” Percakapan itu terhenti dengan munculnya Goat Toanio. Nyonya ini menyalam dan menanyakan berita tentang tugasnya, lalu menghadiahkan. dua guci arak. Kemudian muncul pula Lian Cu dan diiringkan isterinya, Lai Wang kembali ke kamarnya sendiri untuk bertukar pakaian dan makan.

“Wah, agaknya engkau bersenang-senang dalam perjalananmu, engkau menjadi semakin gemuk” kata Lian Cu. Pada sore harinya, Shi Men pulang dan menerima laporan yang lengkap dari Lai Wang tentang perjalanannya. Shi Men menyatakan kepuasannya dan memberinya hadiah beberapa ons perak. Pada keesokan harinya, Lai Wang dapat bertemu empat mata dengan Sun Siu Oh dan dia menuntut keterangan lebih jelas mengenai isterinya. Untuk membuka mulut isteri ke empat majikannya itu, Lai Wang memberi oleh-oleh saputangan sutera halus, bedak Hang-Chouw yang terkenal sebanyak empat dos, beberapa dos gincu dan alat-alat kecantikan. Sun Siu Oh yang merasa iri dan tidak senang kepada Lian Cu yang berjina dengan suaminya, lalu menceritakan segala hal yang telah terjadi Semenjak Lai wang pergi.

“Selama, empat bulan ini isterimu bermain gila dengan Shi Men. Pelayan Siau Giok menjadi perantaranya, dan Kim Lian bahkan memberikan kamarnya kepada mereka untuk bermain gila. hampir setiap hari, dari pagi sampai malam atau dari malam sampai pagi, isterimu melayani Shi Men di sana. la menerima banyak pakaian, perhiasan dan uang yang banyak.” Lai Wang merasa terkejut, marah dan berduka. Dia suka minurn arak, maka untuk menghibur hatinya, dia minum sampai mabuk. Malam itu, dalam keadaan mabuk, dia menggeledah tempat pakaian isterinya dan menemukan kain sutera biru yang berkembang indah.

“Dari mana kau memperoleh kain ini?” tanyanya kepada isterinya. Lian Cu tertawa menyembunyikan perasaan hatinya yang tidak enak.

“Pertanyaan bodoh! Tentu saja kudapat dari Nyonya Pertama. Lalu dari mana lagi kau kira? la memberi kepadaku untuk membuat gaun, akan tetapi, aku belum mempunyai Waktu untuk mengerjakannya.” Lai Wang menampar muka isterinya.

“Perempuan tak tahu malu! Engkau masih mencoba untuk Menyangkal dan menutup-nutupi kebusukan itu dengan kebohongan? Aku mempunyai saksi-saksi bahwa selama ini engkau telah menyerahkan dirimu kepada seekor babi hutan yang tidak berprikemanusiaan!” Lian Cu mulai menangis.

“Laki-laki jahat! Kesalahan apa yang telah kulakukan kepadamu maka engkau berani memukul dan memaki aku? Mulut-mulut jahat telah membujukmu memusuhi isterimu sendiri. Aku datang dari keluarga baik-baik, dan jika aku pernah melakukan penyelewengan selangkah saja, biar aku terkutuk dan nama kehormatanku menjadi ternoda!” Lai Wang menjadi ragu-ragu dan diapun pergi tidur karena kepalanya terasa pening oleh mabuknya. Akan tetapi, hatinya yang masih penasaran membuat Lai Wang suka bicara tidak karuan selagi dia mabuk. Hari-hari berikutnya, dalam keadaan mabuk, di ruangan para pegawai dan pelayan, di depan para pegawai lainnya, dia memaki-maki Shi Men. Pegawai lain yang bernama Lai Seng, mendengar semua ini cepat pergi melaporkan kepada Kim Lian dan Yu Lok.

“Dia memaki-maki majikan Shi Men sebagai babi hutan, bahkan menyatakan Nyonya Ke Lima sebagai racun yang jahat, dan dia bicara tentang pisau yang akan masuk dalam keadaan putih kemudian keluar dalam keadaan merah.” mendengar ini, tentu saja Kim Lian dan Yu Lok menjadi ngeri dan ketakutan. Cepat Kim Lian menemui suaminya dan dengan wajah lesu dan ketakutan, ia menceritakan tentang ancaman Lai Wang terhadap mereka.

“Ah, dari siapa dia dapat mengetahui itu?” Shi Men bertanya marah, dan dari para pelayan, akhirnya dia tahu bahwa Lai Wang mendengar tentang keserongan isterinya itu dari Sun Siu Oh, isterinya yang ke empat. Dengan marah Shi Men lalu menghukum Siu Oh dengan cambukan, kemudian menyuruh isteri ke empat itu menanggalkan baju atasnya sehingga ia tidak dapat pergi ke mana-mana kecuali di dapur bersama para pelayan wanita lainnya. Kemudian Shi Men mencari kesempatan untuk bertemu dengan Lian Cu dan membicarakan urusan itu.

“Ah, tidak perlu diperhatikan orang seperti dia itu. Kalau dia sedang mabuk, apapun diucapkannya. Dia seperti seekor anjing yang banyak menggonggong akan tetapi tidak menggigit. Hidupnya bergantung kepadamu, dia tidak begitu tolol untuk memotong putus cabang di mana dia sendiri duduk. Harap jangan perdulikan ucapan-ucapannya. Saya tanggung dia tidak akan melakukan sesuatu yang jahat!” kata Lian Cu.

“Siapa sih yang mengabarkan begitu?”

“Lai Seng yang mengatakannya kepada isteriku ke lima.”

“Ah, si Lai Seng! Tentu saja, dan aku mengerti mengapa dia menyebarkan desas-desus itu. Dia merasa iri setengah mati karena engkau agaknya lebih percaya kepada suamiku daripada dia. Akan tetapi sebaiknya kalau engkau dapat memberi suamiku sedikit modal agar dia dapat bekerja sendiri di luar rumah ini. Dengan demikian kita dapat mengadakan pertemuan setiap saat tanpa merasa terganggu.”

“Agaknya engkau benar,” kata Shi Men dan beberapa hari kemudian Shi Men memanggil Lai Wang dan memberinya enam bungkus perak.

“Ambillah enam bungkus perak ini yang isinya tiga ratus ons perak. Bukalah sebuah kedai arak di ujung jalan agar engkau dapat bekerja sendiri dan memperoleh penghasilan yang baik.” Tentu saja Lai Wang merasa girang bukan main, menghaturkan terima kadih berkali-kali kemudian membawa bungkusan- bungkusan itu dan menemui isterinya yang menyambutnya dengah gembira.

“Aih, kiranya Kongcu Shi Men amat baik kepada kita. Lihat, dia memberi tiga ratus ons perak dan dengan modal ini aku dapat membangun sebuah rumah dan berdagang sendiri.”

“Nah, lihat saja betapa salahnya dugaanmu semula. Akan tetapi mulai sekarang jangan lagi engkau berjudi dan jangan suka bermabuk-mabukkan.” Lai Wang menyanggupi dan mulai mencari tempat dan seorang pengurus yang cakap. Akan tetapi, ternyata dia pulang dalam keadaan mabuk pula. Begitu Lai Wang pulas, seorang pelayan wanita memberi isyarat kepada Lian Cu yang segera diam-diam meninggalkan kamar untuk menemui panggilan Shi Men. ia sama sekali tidak mengira bahwa Shi Men memang sengaja mengatur agar ia meninggalkan suaminya malam itu. Kurang lebih jam sembilan malam, suara Sun Siu Oh, isteri ke empat dari Shi Men, menggugah Lai Wang.

“Bangunlah, saudara Lai Wang. Bangun dan lihat isterimu menyeleweng lagi dengan laki-laki itu di da!am taman. Bagaimana engkau bisa enak saja tidur?” Lai Wang terbangun dan tidak melihat Lian Cu di sisinya. Seketika dia menjadi berang dan penuh cemburu. Dia meloncat turun dan lari memasuki taman. Akan tetapi di dalam kegelapan itu, kakinya terjegal sesuatu yang membuat dia jatuh dan pada saat itu terdengar pula benda jatuh yang mengeluarkan bunyi seperti jatuhnya sebatang pisau. Kemudian, tiba- tiba muncul lima orang laki-laki pelayan yang segera mengeroyok dan memukulinya sambil berteriak “Maling!” berkali-kali.

“Akan tetapi aku adalah Lai Wang, pagawai di sini” Lai Wang meronta untuk melepaskan diri dari pegangan mereka.

“Aku hanya mencari isteriku. Apa maksud kalian menyerangku seperti ini?” Akan tetapi lima orang pelayan itu menyeretnya ke serambi depan yang terang dan di situ Shi Men sudah duduk menanti dangan wajah menunjukkan kemarahan.

“Bawa dia ke sini!” bentaknya. Lai Wang berlutut di depan majikannya, yakin bahwa dia tidak bersalah, dan memberi penjelasan.

“Saya terbangun dari tidur, karena tidak melihat isteri saya di samping saya, saya lalu keluar untuk mencarinya. Kesalahan apakah yang saya lakukan? Mengapa saya dituduh sebagai pencuri?” Mendengar ini, musuh dan saingannya, Lai Seng, orang kepercayaan Shi Men yang ke dua, melangkah maju dan sambil tersenyum mengejek dia menyerahkan sebatang golok kepada majikannya.

“Senjata ini kami rampas darinya,” katanya.

“Aha! Kalau begitu dia benar-benar mempunyai alamat jahat untuk membunuhku!” teriak Shi Men marah. “Binatangpun takkan demikian khianat dan curang seperti manusia ini! Dengan hati murni aku hendak menolongnya, memberinya tiga ratus ons perak agar dia dapat bekerja sendiri dan hidup tenang dan berkecukupan, dan sebagai balas jasa.. Dia malah berkeliaran di malam hari hendak berniat jahat membunuhku! Kalau tidak begitu, mau apa dia membawa-bawa golok tajam?” Dia lalu memerintah kepada para pegawainya,

“Bawa dia ke dalam kamarnya untuk mengambil kembali uang tiga ratus ons yang dia terima dariku!” Sementara itu, keributan itu terdengar oleh lian Cu, isteri Lai wang yang sedang bercakap-cakap dengan pelayan lain, sama sekali tidak menyangka akan datangnya malapetaka yang menimpa diri suaminya itu. Ia cepat lari ke kamarnya dan melihat kamar itu penuh orang. Melihat betapa, suaminya menjadi orang tertuduh dan semua orang mencari tiga ratus ons perak itu, Lian Cu menjadi marah kepada suaminya.

“Inilah akibat dari kesukaanmu mabuk-mabukan!” Ia berteriak sambil menangis.

“Betapa seringnya aku memperingatkanmu, dan sekarang dalam keadaan mabuk engkau berani menyerang orang dengan golok!” Lian Cu mengeluarkan enam bungkus uang perak yang belum pernah dibuka itu dari dalam peti dan menyerahkannya kepada orang-orang yang membawa Lai Wang kembali kepada majikan mereka. Shi Men membuka bungkusan-bungkusan uang itu satu demi satu, di bawah sinar lampu dan pandang mata para pembantunya. Dan semua orang terkejut melihat bahwa hanya satu bungkus saja berisi perak, sedangkan lima bungkusan yang lain berisi tembaga yang tidak berharga

“Pembunuh dan perampok kau” bentak Shi Men dengan marah. “Di mana kau sembunyikan lima bungkusan perak itu?”

“Tapi... tapi, Kongcu” Lai Wang yang terkejut sekali melihat isi bungkusan itu, membantah. “Saya tidak pernah menukar isi bungkusan perak itu dengan apapun juga. Sungguh mati saya tidak mengerti bagaimana”

“Cukup!” Shi Men membentak. “Engkau bukan hanya hendak membunuhku, akan tetapi engkau bahkan mencoba untuk merampokku pula. Semua bukti Ini sudah cukup, dan dapat ditambah lagi oleh saksi, Lai Seng, majulah” Lai Seng melangkah maju dan berlutut, kemudian menceritakan betapa dia mendengar ucapan Lai Wang yang mabuk, yang mengeluarkan ancaman terhadap Shi Men, menyatakan tentang sebatang pisau yang ketika masuk berwarna putih dan keluarnya berwarna merah.

“Cukuplah semua bukti dan saksi itu,” kata Shi Men. “Belenggu dia dan masukkan dalam kamar tahanan. Besok akan kutuntut dia di depan pengadilan!” Lai Wang hanya dapat melihat dan mendengar semua itu dengan muka pucat, tanpa dapat membela diri dan pada saat dia diseret keluar, Lian Cu berlari me- masuki ruangan itu dengan rambut kusut dan muka pucat. la segera menjatuhkan diri di depan kaki Shi Men.

“Kongcu, kenapa dia diperlakukan sebagai seorang pencuri? Saya sendirilah yang menyimpan enam bungkusan uang Itu dan tali bungkusan itu tidak pernah putus atau tersentuh. Bagaimana mungkin ini bungkusan ditukar? Dia terkena fitnah, Kongcu! Hukumlah dia dengan cambuk, saya tidak perduli, akan tetapi kenapa Kongcu hendak mengadukannya di depan pengadilan?”

“Tenanglah hatimu,” kata Shi Men dengan halus. “Urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Bukan baru kemarin aku mengenal pegawai yang jahat ini. Golok yang terdapat padanya malam ini membuktikan niat jahatnya. Engkau tidak tahu apa-apa tentang ini.” Shi Men memberi isyarat kepada pelayannya, Lai An, untuk membawa Lian Cu ke dalam kamarnya dan membujuknya, namun wanita itu tidak mau bangkit dari tempat ia berlutut.

“Penilaianmu digelapkan oleh kebencian, Kongcu. Kongcu kehilangan keadilan dan kebijaksanaan. Tidak salah bahwa di dalam mabuknya dia mengeluarkan ucapan tidak karuan, akan tetapi sampai bagaimanapun juga, dia tidak akan dapat melakukan kejahatan-kejahatan seperti yang Kongcu tuduhkan itu!” Shi Men kehilangan kesabarannya dan dengan marah dia memerintahkan Lai An untuk memaksa wanita itu kembali ke kamarnya. Lian Cu meronta dan menangis ketika dengan paksa Lai An memondongnya dan membawanya pergi dari ruangan itu. Pada keesokan harinya, Shi Men membuat surat pengaduan. Percuma saja Goat Toanio berusaha membujuknya agar urusan itu diselesaikan saja di rumah dan tidak perlu diajukan ke pengadilan. Namun Shi Men membentaknya sehingga nyonya ini mengundurkan diri dengan muka merah karena malu.

“Hemm, segala sesuatu di sini kacau balau,” kata Isteri tertua itu kepada para madunya yang kesemuanya, kecuali Pang Kim Lian, hadir di ruangan itu “Rumah ini penuh dengan hawa siluman musang berekor sembilan. Tentu ada mulut busuk dan jahat yang membisikkan semua racun itu kepada suami kita. Sungguh penasaran sekali memperlakukan seorang pegawai yang baik dan setia sebagai seorang penjahat tanpa ada, sebab yang kuat. Bukti-bukti itu palsu. Aih, dia telah kehilangan akalnya, dia telah keracuhan hawa racun jahat!” Tentu saja ucapannya ini ditujukan kepada Kim Lian, dan memang sesungguhnya demikianlah. Si Teratai Emas Kim Lian itulah yang mengatur semua siasat untuk menjatuhkan Lai Wang, seperti yang disindirkan oleh Goat Toanio tadi.

“Engkau. tenanglah,” ia menghibur Lian Cu yang menangis di depan kakinya. “Pengadilan tentu akan melihat kebersihan suamimu dan dia tentu akan dibebaskan.” Akan tetapi Goat Toanio tidak menduga bahwa suaminya sudah bener-benar berada dalam cengkeraman kekuasaan Kim Lian yang tidak mau berbuat setengah-setengah dan sudah membujuk Shi Men untuk melanjutkan usahanya menjatuhkan Lai Wang.

Tidak percuma Shi Men mengirim hadiah-hadiah berharga kepada Jaksa dan Hakim yang memeriksa perkara Lai Wang sehingga keputusan sidang pengadilan jauh berlawanan dengan yang diharapkan dan diperkirakan oleh Goat Toanio. Apa gunanya semua pembelaan yang diteriakkan oieh Lai Wang di sidang pengadilan itu tentang penyelewengan isterinya dengan Shi Men, dan betapa semua ini adalah tipu muslihat yang diatur oleh Shi Men untuk memfitnahnya? Apa gunanya semua teriakannya bahwa dia menderita penasaran? Hakim dan para pembantunya bersikap seperti mendengar teriakan orang yang miring otaknya.

“Inikah caramu membalas budi terhadap majikanmu yang demikian baik hati kepadamu, manusia tak tahu diri?” Hakim Cia membentak marah.

“Dia telah melimpahkan budi kebaikan kepadamu, memberi engkau dan isterimu hidup berkecukupan di rumahnya dan memberi pula modal kepadamu untuk dapat berdagang sendiri, akan tetapi engkau membalasnya dengan kejahatan!” Akan tetapi, siksaan yang bagaimanapun tidak mampu memaksa Lai Wang untuk mengakui tuduhan itu sehingga akhirnya dia dijebloskan ke dalam kamar tahanan. Shi Men merasa puas dengan jalannya persidangan itu dan dia memesan kepada para pelayannya agar jangan mengirim makanan apapun kepada Lai Wang, dan agar jangan menyampaikan jalannya persidangan pengadilan itu kepada Lian Cu.

Dia menyuruh seorang pelayan terkasih untuk menghibur dan membujuk Lian Cu agar jangan berduka dan mengatakan bahwa suaminya tentu akan segera dibebaskan. Namun janji ini tidak diperdulikan oleh Lian Cu yang sejak suaminya ditahan tidak mau makan atau minum. Wajahnya pucat, pakaiannya kusut dan tak pernah menyisir rambutnya. Kepercayaannya terhadap Shi Men mulai meluntur. Barulah ia mau percaya setelah Lai An, pelayan Shi Men, memberitahukan bahwa suaminya benar-benar diperlakukan dengan baik dan pembebasannya hanya menanti beberapa hari lagi saja. Dan iapun mau menyisir rambut, berganti pakaian dan menerima kunjungan Shi Men.

“Bagaimana keadaan suamiku?” tanyanya kepada Shi Men ketika majikannya ini menjenguknya di dalam kamarnya.

“Sayangku, demi engkau dan nama baikmu, aku telah mengirim permohonan ampun kepada hakim,” Shi Men membohong.

“Aku minta agar dia tidak disiksa dan segera dibebaskan. Dan setelah dia keluar, aku akan tetap membantunya agar dia dapat berdagang. Dan semua itu kulakukan demi engkau.” Tentu saja Lian Cu menjadi girang bukan main dan sambil menangis merangkul Shi Men. “Saya berterima kasih sekaii. Asal dia dapat keluar selanjutnya terserah kepadamu. Dan aku akan memesan agar dia tidak mabuk-mabukan lagi. Dia boleh mencari wanita lain untuk menjadi isterinya. bagaimanapun juga aku tidak dapat menjadi miliknya untuk selamanya.”

“Bagus sekali, manisku. Dan aku akan membeli sebuah rumah yang mungil untukmu, pondok itu akan menjadi tempat kita berkasih sayang. Nah, janganlah bersedih, sayangku, kalau engkau berduka akan mengurangi kecantikanmu.” Dengan bujuk rayu dan kebohongan ini Shi Men mendapatkan pelayanan manis dari Lian Cu yang berterima kasih dan yang mengira bahwa majikannya itu benar seorang laki-laki yang menyayang dan baik budi. Sikap Shi Men ini mendatangkan kepercayaan dalam hati Lian Cu yang tentu saja menyatakan kegembiraannya dengan memberitahukan kepada para pelayan lain. Dan desas- desus ini sampai pula ke dalam telinga Mong Yu Lok, isteri ke tiga dari Shi Men yang segera mencari Kim Lian untuk menyampaikan berita itu.

“Coba saja bayangkan,” kata isteri ke tiga itu kepada Kim Lian,

“Dia terkena bujuk rayu Lian Cu dan akan, menolong agar suaminya segera dibebaskan, dan dia akan memberi hadiah kepada wanita tak tahu malu itu sebuah rumah baru dengan tiga buah kamar, membeli seorang budak untuknya, dan menghadiahkan perhiasan lengkap, pendeknya, dia agaknya akan mengangkat Lian Cu sehingga sederajat dengan kita!” Tentu saja berita yang disampaikan oleh Mong Yu Lok kepada Kim Lian ini sudah membengkak melebihi keadaan sebenarnya.

“Hemm, begitukah?” Kim Lian dengan Senyum mengejek dingin. “Biarlah perempuan itu percaya dan menyangka demikian. Akan tetapi, jangan panggil aku Pang Kim Lian lagi kalau aku tidak dapat mencegah dia mengambilnya sebagai isteri ke tujuh!” Malam itu, ketika Shi Men sedang duduk di dalam pondok tempat dia bekerja tulis-menulis, di taman yang luas itu, menulis surat permohonan keringanan bagi Lai Wang yang akan dikirimkan kepada ketua pengadilan, muncullah Kim Lian dengan tiba-tiba. Sambil menjenguk isi surat itu dari atas pundaknya, merangkul lehernya dari belakang dengan sikap manja, ia bertanya,

“Apakah yang sedang kau tulis itu?” Shi Men terkejut melihat kedatangan isteri ke lima itu secara tiba- tiba. Karena sudah terlihat, apa boleh buat dia menceritakan tentang maksudnya menulis surat permohonan kepada ketua pengadilan agar Lai Wang dapat diampuni dan dibebaskan. Mendengar ini, Kim Lian cepat duduk di depan suaminya dan dengan sikap serius iapun bicara penuh semangat.

“Engkau sungguh tidak patut disebut laki-laki sejati! Setiap hembusan angin dapat membuat goyah dan dapat mengubah pendirianmu dengan cepat. Sekali lagi engkau membiarkan dirimu dibujuk dan ditipu oleh budak itu! Apakah engkau tidak melihat betapa ia masih mencinta dan melekat kepada suaminya itu, walaupun engkau setiap hari melimpahkan gula dan madu kepadanya? Apakah engkau sudah mempertimbangkan baik-baik dan apakah engkau tidak melihat betapa suami itu hanya akan menjadi penghalang besar setelah dibebaskan, apabila engkau ingin bersenang-senang dengan isterinya? Kalau dia bebas, engkau tidak bebas lagi mendekati isterinya, dan engkau hanya akan menjadi orang yang mengilar kelaparan, menjadi bahan tertawaan dan cemooh para pelayan.

Engkau sungguh keliru! Kalau engkau ingin memiliki wanita itu tanpa rasa takut dan tanpa gangguan, engkau harus lebih dulu menyingkirkan suaminya.” Kata-kata yang keluar dari mulut Kim Lian ini rnendatangkan kesan mendalam di batin Shi Men yang seolah-olah mendapatkan kembali kecerdikannya. Dia melihat kebenaran dalam ucapan isterinya ke lima ini. Mengapa dia harus bersusah payah menolong Lai Wang kalau akhirnya orang itu hanya akan menjadi pengganggu kesenangannya? Dan kalau Lian Cu benar cinta kepadanya, seharusnya wanita itu merasa lebih suka kalau Lai Wang dapat tersingkir selamanya agar tidak menjadi pengganggu hubungan antara mereka. Shi Men lalu merobek- robek surat permohonan yang belum selesai ditulisnya tadi, mengambil kertas baru dan menulis sebuah permohonan baru yang isinya berlainan bahkan berlawanan dengan yang ditulisnya pertama.

Dalam surat permohonan ini dia minta kepada pengadilan agar menghukum Lai Wang seberatnya dan melaksanakan hukuman itu secepatnya, paling lambat dalam waktu tiga hari mendatang. Surat permohonan Shi Men mendatangkan sedikit keributan di kantor pengadilan. Siapakah di antara para petugas di situ yang belum pernah mengenal manisnya gula dan mengkilapnya perak yang dilimpahkan oleh Shi Men kepada mereka? Siapa pula yang berani menentang dan tidak memenuhi permintaannya? Untung bagi Lai Wang bahwa sekretaris Yin yang menjadi pembantu utama dari kepala hakim Cia, adalah seorang yang berperikemanusiaan dan dialah yang menyatakan tidak setuju kalau Lai Wang yang belum terbukti kesalahannya ltu menerima siksaan dan hukuman berat seperti yang dikehendaki oleh Shi Men, Hakim Cia merasa serba salah.

Menolak permintaan Shi Men dia tidak berani, juga mengabaikan protes sekretaris Yin dia merasa tidak enak. Karena itu, kim Cia lalu mengambil jalan tengah. Dia memerintahkan agar Lai Wang diberi empat puluh kali cambukan lagi, kemudian dia dibuang ke tempat kelahirannya, yaitu di Se-Couw. Pada hari pemberangkatannya, Lai Wang dikeluarkan dari dalam sel tahanan. Tubuhnya masih luka-luka bekas cambukan, pakaiannya compang-camping dan tubuhnya terasa lemah dan lemas. Lehernya dikalungi sebuah kang (papan kayu yang mengalungi leher). Dengan pengawalan dua orang perajurit penjara, berangkatlah dia menuju ke tempat yang amat jauh itu, dengan hati berat oleh duka dan penasaran. Tidak sesenpun berada dalam saku bajunya yang robek-robek, dan dia menghadapi perjalanan sedemikian sukar dan jauhnya.

“Saudara-saudara, kasihanilah aku yang bernasib malang ini,” dia membujuk dua orang pengawalnya.

“Lebih dulu bawalah aku ke rumah majikanku, di mana isteriku tinggal. Aku akan minta kepada isteriku untuk membekali pakaian dan uang, agar kita tidak sampai kekurangan makanan di dalam perjalanan kita yang jauh.”

“Apakah engkau sudah menjadl gila?” para pengawal itu menjawab. “Apa kau kira majikanmu itu, yang telah mengadukanmu ke pengadilan, akan suka mengijinkan isterimu untuk membukakan pintu dan memberi uang kepadamu? Apakah engkau tidak mempunyai keluarga lain?”

“Saudara, setidaknya berilah kesempatan kepadaku untuk berdiri menunggu sebentar di depan pintu gerbang rumah majikan Shi Men. Mungkin akan ada pengunjung atau pelayan yang melihatku dan membantuku memanggilkan isteriku dan membujuk bekas majikanku agar mengasihani aku.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar