Si Teratai Emas Jilid 3

Jilid 3

Tidaklah mengherankan kalau Kim Lian tidak kebagian karena selama sebulan Itu Shi Men asyik dengan dua orang kekasihnya yang baru telah ditariknya menjadi anggauta keluarga di dalam rumahnya. Di suatu pagi dalam permulaan musim panas, ketika udara sedang panas-panasnya, Kim Lian memerintahkan Bu Ying untuk mempersiapkan mandi air hangat. Kim Lian menanti sambil duduk di atas bangku, hanya mengenakan pakaian dalam yang serba ringkas dan tipis. Siapa tahu hari ini dia akan datang, pikirnya penuh harap dan penuh kerinduan. la setiap hari telah mempersiapkan diri untuk menerima kunjungkan Shi Men, bahkan juga telah menyediakan masakan yang dimasak oleh kedua tangannya sendiri.

“Laki-laki tak mengenal budi!” berkali-kali ia bersungut-sungut, Karena tidak ada sesuatu yang dikerjakan, Kim Lian melamun sampai ia merasa mengantuk, maka iapun melempar diri ke atas pembaringan dan jatuh pulas. Dua jam kemudian Kim Lian bangun dengan uring-uringan. Bu Ying datang memberitahukan kepada ibu tirinya yang sudah bangun bahwa air hangat untuk mandi telah dipersiapkan.

“Coba bawa ke sini bakso goreng yang kubikin tadi,” katanya. Kalau Shi Men tidak datang, lebih baik ia makan sendiri saja masakan daging yang enak itu. Bu Ying cepat mengambilkan masakan yang diminta ibu tirinya dan dengan jari tangannya yang kecil mungil Kim Lian menghitung kue daging yang bulat- bulat itu.

“Eh? Aku menggoreng tiga puluh biji, kenapa tinggal dua puluh sembilan? Mana yang sebiji lagi?” la membentak Bu Ying dengan alis berkerut. Kesepian dan kekecewaan karena Shi Men tak pernah muncul membuat gairahnya tak tersalurkan dan sebagai gantinya ia menjadi pemarah sekali.

“Saya tidak tahu, barangkali engkau salah hitung?”

“Tidak mungkin! Aku telah menghitungnya dua tiga kali. Bakso ini kubikin untuk tuan muda Shi Men, bagaimana engkau begini kurang ajar untuk berani mencurinya sebiji? Engkau budak hina tak mengenal budi, engkau tak mengenal kenyang. Awas, kuhajar kau!” Dengań kemarahan meluap Kim Lian membuka baju Bu Ying sehingga nampaklah punggung anak itu yang kurus. Kim Lian lalu melecuti punggung telanjang itu dengan cambuknya sampai tiga puluh kali, yang membuat anak itu meraung- raung dan menggeliat-geliat.

“Hayo mau mengaku atau tidak? Kalau tidak mengaku akan kupukul lagi sampai seratus kali!”

“Ya..., ya...” di antara lolong jeritnya kesakitan Bu Ying berteriak. “Hentikan cambukan itu... aku mengambil sebuah karena aku... lapar sekali.”

“Aku tahu engkau mencurinya dan engkau berani menuduh aku menghitung tidak. benar? Engkau pencuri hina-dina dan tak kenal budi! Pantas karena selama ayahmu yang tolol itu masih hidup engkau tídak dididik baik-baik. Sekarang dia sudah mampus dan engkau berani main-main di dalam rumahku? Huh, sepatutnya kucabik-cabik kau, maling tak tahu malu” Ia melecut sekali lagi keras-keras sehingga pipi Bu Ying, yang terkena lecutan menjadi bergurat merah, lalu melemparkan cambuknya dan memerintahkan Bu Ying untuk berdiri di dekatnya dan mengipasi tubuhnya yang terasa gerah setelah melakucan pencambukan itu. Setelah Bu Ying mengipasinya beberapa lamanya, Kim Lian yang masih belum reda marahnya itu berkata.

“Menghadap ke sini, aku ingin memberi pelajaran agar engkau tidak lupa lagi dan berani main-main di rumahku. Biarpun ketakutan, Bu Ying manghadapkan mukanya dan dengan kedua tangannya, Kim Lian mencakar kedua pipi Bu Ying dengan kukunya yang panjang meruncing sehingga kedua pipi itu bertambah guratan berdarah. Barulah Kim Lian merasa puas dan ia mengusir Bu Ying keluar dari dalam kamarnya. la lalu mandi berias maka, membereskan rambutnya dan mengambil tempat di tempatnya yang biasa, yaitu di bawah tenda di luar pintu rumahnya. Pada saat ia keluar, ia melihat si kacung A Thai menunggang seekor kuda membawa sebuah tas. “Heii, A Thai, mau ke mana engkau?” teriak Kim Lian. A Thai bukan seorang anak bodoh dan seringkali dia diajak majikannya berkunjung ke rumah ini dan sudah sering pula telapak tangannya menerima pemberian hadiah-hadiah kecil dari Kim Lian, maka diapun segera turun dari atas kudanya menghampiri wanita itu sampai ke depan pintu.

“Saya diutus pergi ke rumah Komandan Militer untuk menghaturkan beberapa hadiah.”

“Eh, A Thai, apa saja yang dikerjakan majikanmu. di rumahnya?” Kim Lian mengajak anak itu masuk ke dalam rumahnya.

“Mengapa dia menghilang dan aku tak pernah melihat bayangannya? Apakah dia telah mendapatkan seorang kekasih baru?”

“Saya kira tidak. Pekerjaan yang repot membuat dia belum sempat datang mengunjungimu.”

“Ah, pekerjaan! Bukankah alasan untuk menelantarkan aku selama satu bulan penuh, tanpa kabar sedikitpun? Pekerjaan apa sih?” Pemuda remaja itu menyeringai.

“Katakan, pekerjaan macam apa?”

“Yah, pekerjaan macam-macam. Kuberi tahu engkau juga tidak akan mengerti” A Thai menjawab dengan lagak menjual mahal.

“Ih, anak bengal! Aku akan membencimu sampai aku mati kalau engkau tidak mau mengatakan sebenarnya!”

“Baiklah, baiklah, enci yang baik. Akan tetapi, berjanjilah agar engkau tidak akan memberitahukan majikanku.”

“Aku berjanji.”

“Nah, majikanku, baru saja mengawini nyonya Mong Yu Lok...” Anak itu lalu menceritakan tentang peristiwa itu, betapa majikannya tergila-gila kepada Mong Yu Lok, bahkan mengambilnya sebagai isteri ke tiga pengganti isteri ke tiga yang meninggal. Mendengar penuturan itu, Kim Lian tak dapat menahan air matanya yang jatuh berderai di kedua pipinya.

“Sudahlah, jangan menangis,” anak, itu mencoba menghiburnya. “Hari ulang tahun majikanku akan tiba tak lama lagi dan dia pasti akan datang ke sini. Sebaiknya kau tulis beberapa baris kata-kata, dan aku akan mengantarkan suratmu itu kepadanya.”

“Ah, itu baik sekali! Aku akan menghadiahkan sepasang sepatu baru dan indah untukmu, yang dibuat oleh kedua tanganku sendiri. Dan aku mengharapkan kedatangannya pada hari kelahirannya. Akan tetapi awaslah engkau, anak bengal, jika dia tidak datang!” Kim Lian memerintahkan Bu Ying untuk menghidangkan teh dan kue kering. Kemudian ia sendiri pergi ke kamarnya untuk menuliskan sepucuk surat dengan kertas berkembang dan sebentar saja ia telah membuat serangkaian sajak yang diberi judul : “Pesan Sang Bunga” Pesan dari setangkai kembang kepada dia sang kumbang lupakah sudah anda

akan pertemuan pertama ketika anda dengan dalih cinta

menghisap manisnya madu bunga?

kenapa membiarkan kembang menanti rindu akan datangnya sang kumbang

yang pandai merayu

tenggelam dalam air mata dan duka membiarkannya layu merana?

Tulisannya halus dan indah. Surat itu dilipatnya hati-hati, dimasukkan sampul dan diberinya kepada A Thai untuk disampaikan kepada Shi Men. Dan keesokan harinya, sehari suntuk Kim Lian duduk menunggu jawaban suratnya. Namun tidak ada berita secuilpun, seolah-olah ia telah melemparkan sebuah batu ke dalam lautan yang tanpa dasar. Pada malam hari ulang tahun Shi Men, dengan hilang sabar Kim Lian mengutus Bu Ying untuk mengundang janda Wang. Setelah Nenek itu datang, Kim Lian menyuguhi makanan dan minuman, kemudian menghadiahkan hiasan rambut terbuat dari perak dan emas, yang diambilnya dari rambutnya sendiri dan menyerahkannya kepada Nenek Wang. la tahu benar bahwa Nenek ini tak mungkin dapat diharapkan bantuan tanpa adanya imbalan.

“Bibi Wang, tolonglah aku dan, bawalah Kongcu Shi Men ke sini.” Kim Lian memohon.

“Saya kira hari ini dia tidak mungkin datang, karena dia tentu berpesta pora di rumahnya sendiri dengan keluarganya. Akan tetapi besok pagi-pagi saya akan pergi ke sana.” Setelah kenyang makan dan mukanya menjadi kemerahan karena banyak minum arak Nenek itu pulang, dan malam itu Kim Lian tidak dapat tidur. Ia gelisah di atas pembaringannya yang lunak, di antara bantal dan selimut yang disulam melukiskan sepasang bebek yang tengah berkasih-kasihan.

la rebah dengan gelisah, penuh kerinduan. Cinta asmara selalu mendatangkan kebalikan-kebalikan. Mendatangkan kepuasan akan tetapi juga kekecewaan, kesenangan dan kesusahan, suka dan duka, cinta dan benci. Kalau sedang mendatangkan kepuasan, tidak ada apapun di dunia ini yang melebihi puas dan nikmatnya, sebaliknya kalau mendatangkan kekecewaan, dunia dan kehidupannya seolah-olah kiamat! Kalau sedang mendatangkan suka, membuat orang bernyanyi, menciptakan lagu-lagu terindah, namun kalau sedang mendatangkan duka, banyak sudah orang membunuh diri karena kegagalan cinta! Kim Lian merasa nelangsa sekali. Entah berapa puluh atau ratus kali la menarik napas panjang, mengeluh dan mengusap matanya yang menjadi basah.

Rambutnya menjadi kusut, pakaiannya lusuh, matanya sayu, wajahnya layu dan erangan lirih keluar dari dada melalui kerongkongan seperti orang merintih-rintih. Pada keesokan harinya, ketika ia terbangun dari tidur yang sama sekali tidak nyenyak, yang pertama kali dilakukan oleh Kim Lian adalah mengutus Bu Ying keluar untuk menyelidiki apakah benar-benar Nenek Wang pergi memenuhi janjinya untuk berkunjung ke rumah Shi Men. Dan Bu Ying kembali dengan keterangan yang melegakan sedikit hati Kim Lian bahwa Nenek itu memang pagi-pagi sekali telah berangkat pergi meninggalkan rumahnya. Memang janda Wang pergi berkunjung ke rumah Shi Men. Ketika melihat seorang pegawai Shi Men yang bernama Hok, la cepat menghampirinya dan bertanya apakah majikan orang itu berada di rumah. “Ah, seharusnya engkau datang lebih pagi, Bibi Wang,” kata Hok kepadanya. Dia berada di rumah kemarin, dan banyak tamu berdatangan merayakan hari ulang tahunnya. Semalam dia pergi bersama- sama teman-temannya untuk pelesir dan belam pulang. Dia tentu berada di suatu rumah pelesir, kalau Bibi Wang ingin bertemu, harus mencarinya sendiri.” Bibl Wang segera pergi menuju ke kompleks rumah-rumah pelesir, tak jauh dari benteng. Dan benar saja, ia melihat Shi Men menunggang kuda, diikuti oleh beberapa orang pelayan laki-laki. Wajahnya memperlihatkan kelelahan karena terlalu banyak pelesir dan mabuk-mabuk semalam, sepasang matanya masih kemerahan.

“Hayaaa, Kongcu yang baik, seyogianya Kongcu tidak minum arak terlalu banyak, tidak baik untuk kesehatan Kongcu!” teriak Nenek Wang sambil menghentikan kuda tunggangan Shi Men.

“Ah, kiranya engkau, Bibi Wang.” Shi Men berkata menyeringai.

“Karena adik Kim Lian tentu mengutusmu keluar mencari aku, ya? Ha-ha-ha” Sambil berbisik Bibi Wang mengatakan betapa Kim Lian merindukannya setengah mati.

“Baiklah, aku sudah tahu. A Thai sudah memberitahu. Aku tahu ia marah kepadaku, dan memang aku sengaja membuatnya setengah mati kerinduan sehingga sikapnya “akan semakin mesra”, ha-ha... Sekarangpun aku akan mengunjunginya.” Sambil bercakap-cakap, Shi Men dan Nenek Wang melanjutkan perjalanan menuju Jalan Batu Ungu. Setelah dekat tempat tujuan, Nenek Wang mendahului Shi Men dan bergegas memasuki rumah Kim Lian.

“Selamat, selamat, nona Kim Lian dan engkau harus berterima kasih kepadaku. Belum juga satu jam dan saya berhasil membawa dia kepadamu” Kim Lian menjadi demikian terkejut dan girang dan Jantungnya berdebar kencang ketika ia melihat Shi Men memasuki rumahnya, masih dalam keadaan setengah mabuk, dan mengebut-ngebutkan kipasnya.

“Suatu kehormatan yang luar biasa!” Kim Lian menyambutnya dengan bersungut-sungut.

“Kukira engkau audah lupa sama sekall kapada hambamu yang malang Ini, Kongcu, karena sekian lamanya aku tidak pernah melihat bayanganmu. Akan tetapi tentu saja, kalau melekat kepada Isteri baru seperti sepasang sumpit mana ada waktu tersisa untuk hambamu yang malang Ini?”

“Ahh... kuharap engkau tidak mendengarkan celoteh orang pengangguran.”

“Isteri baru? Huh..! Aku harus membuat banyak persiapan untuk pernikahan puteriku, karena itulah maka sekian lamanya aku tidak sempat datang.”

“Jangan Kongcu mengira aku bodoh dan dapat membohongiku.” Kim Lian berkata sambil mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam melengkung.

“Bersumpahlah bahwa Kongcu benar-benar setia kepadaku dan tidak jatuh cinta kepada seorang isteri baru”

“Aku bersumpah, dan jika aku berbohong, biarlah aku dihinggapi penyakit borok sebesar piring, diserang penyakit kuning selama lima tahun, dan biarlah pinggulku digigit kutu busuk sebesar caping!” “Hemm, engkau perayu dan pembohong. Di manakah bros yang kuberikan kepadamu?” tanya Kim Lian yang tidak melihat hiasan bros yang setelah ia berikan kepada kekasihnya ini biasanya dipakai oleh Shi Men.

“Ah, baru-baru ini aku kehilangan bros Itu. Ketika aku mabuk dan terjatuh dari kudaku. Topiku menggelinding ke lumpur, kuncirku terlepas dan tentu bros itu telah terlempar dan hilang.” Kim Lian menggerakkan jari tangannya di depan mukanya,

“Engkau tidak bisa membohongi seorang anak kecilpun dengan alasan itu” Sampai di sini Nenek Wang cepat maju melerai.

“Nona, cukuplah teguran-teguran Itu. Apakah engkau tidak melihat betapa Kongcu Shi Men menderita dan nampaknya tidak sehat? Seyogianya engkau menghiburnya, bukan mencacinya.” Shi Men menarik napas panjang.

“Apakah engkau juga Ingin menekan aku, adik Kim Lian yang manis?” Bu Ying muncul membawa mangkok-mangkok teh. Atas perintah Kim Lian, anak Itu memberi hormat kepada Shi Men dan Nenek Wang merasa bahwa waktunya tiba baginya untuk mengundurkan diri. Sebelum pergi, ia masih berseru.

“Masa perasaan rindu harus dipuaskan dengar saling tegur dan percekcokan?” Bu Ying mengatur meja dan Kim Lian lalu mengeluarkan hadiah-hadiah ulang tahun yang sudah dipersiapkannya untuk kekasihnya dan menaruh hadiah-hadiah itu di atas meja di depan Shi Men. Sepasang sandal sutera hitam, sepasang kantung harum untuk dipakai dengan tali, pelindung lutut sepasang terbuat dari sutera merah dengan pinus, bambu, dan daun acanthus, tiga obat pelindung dingin di musim salju, baju dalam yang hijau dari sutera halus sekali, ikat pinggang, tusuk rambut dengan hiasan ukiran bunga. Melihat hadiah-hadiah ini, Shi Men merasa terharu sekali. Dia mendekap kekasihnya dan menghadiahkan sebuah ciuman yang lama dan mesra. Sehari semalam Shi Men berada di rumah Kim Lian dan kedua orang ini dengan bebas menumpahkan seluruh kerinduan mereka dan berpesta pora dalam nafsu berahi mereka.

Susah dan senang merupakan dua saudera kembar yang tak terpisahkan, Kalau kita bersenang di waktu pagi, jangan heran kalau bertemu dengan susah di sore harinya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum dua orang yang berkasih-kasihan itu bangun dari tidur, seorang penunggang kuda berhenti di depan rumah mendiang Bu Toa. Ternyata orang itu adalah utusan dari komandan Bu Siong. Kiranya Bu Siong telah selesai melaksanakan tugasnya, menyerahkan barang-barang berharga yang merupakan penyuapan yang dilakukan oleh Kepala Daerah kepada Komandan Istana yang bernama Cu. Setelah menyampaikan barang sumbangan yang berharga itu, Bu Siong menuju pulang dengan membawa surat penerimaan, dan balasan dari pembesar istana itu. Musim panas telah lewat dan musim gugur sudah menjelang tiba ketika dia melakukan perjalanan pulang ke kota Ceng-Ho-Sian.

Perjalanan yang amat jauh dan terhalang hawa udara yang buruk membuat pekerjaan itu memakan waktu seluruhnya tiga bulan. Selama dalam perjalanan Itu, baik selagi tidur maupun terjaga, pendekar Ini merasakan sesuatu yang tidak enak di dalam hatinya, terutama sekali kalau dia mengingat akan kakaknya Bu Toa. Karena itulah, dia mengirim utusan agar melakukan perjalanan terlebih dulu pulang dan segera menyampaikan suratnya kepada kakaknya. Dan kini pesuruh itu telah tiba di depan rumah Kim Lian. Dia melihat betapa pintu rumah itu tertutup dan ketika dia hendak mengetuk pintu. dia melihat Nenek Wang yang merupakan tetangga terdekat berdiri di luar rumah, dan Nenek Wang bertanya apa yang dikehendaki penunggang kuda Itu. “Saya membawa sepucuk surat dari Kapten Keamanan, Komandan Bu Siong, untuk diserahkan kepada kakaknya.”

“Dia tidak ada di rumah, seluruh isi rumah berada di kuburan. Berikan saja surat itu kepada saya, dan saya dapat menyerahkannya kalau dia pulang, percayalah saja kepada saya.” Utusan itu menyerahkan surat, memberi hormat sambil berterima kasih, lalu pergi. Nenek Wang cepat membawa surat itu ke rumah sebelah melalui pintu belakang dan mengetuk daun pintu kamar di mana sepasang kekasih itu masih tidur berpelukan.

“Bangun! Bangunlah kalian berdua!” teriak Nenek Wang dan ketika dua orang itu terbangun dan membuka pintu, Nenek itu melanjutkan... “Seorang utusan datang membawa surat dari Bu Siong. Dia sendiri akan segera datang di sini. Surat dari Bu Siong itu ditujukan untuk Bu Toa. Aku telah minta surat itu dan meryuruhnya pergi. Sekarang kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi, harus cepat bertindak kalau ingin selamat.”

Andaikan Shi Men diceritakan tentang hal lain, mungkin dia takkan mau memperdulikannya karena dia masih mabuk oleh kemesraan yang dinikmatinya dari pelayanan Kim Lian. Akan tetapi begitu mendengar disebutnya nama Bu Siong, dia terkejut seperti disambar petir dan seketika dia tergugah benar-benar, tidak ada kantuk sedikitpun tinggal di kepalanya. Tergesa-gesa sepasang kekasih ini mengenakan pakaian mereka dan segera membaca surat dari Bu Siong itu bersama-sama. Bu Siong menulis bahwa dia akan tiba beberapa hari lagi dan tentu saja sepasang kekasih itu menjadi ketakutan. Dengan tubuh gemetar mereka lalu minta nasihat Nenek Wang yang banyak akalnya itu.

“Ah, masalah ini sederhaha sekali,” kata Nenek Wang menghibur mereka.

“Seperti pernah saya katakan, pernikahan pertama untuk menyenangkan orang tua, pernikahan ke dua untuk memyenangkan diri sendiri. Selain dari itu, hukum melarang seorang laki-laki tinggal serumah dengan ipar perempuannya. Perkabungan seratus hari dari Bu Toa sudah hampir lewat. Sekarang yang perlu dilakukan nona Kim Lian adalah untuk mengundang beberapa orang Hwesio untuk melaksanakan upacara doa seratus hari meninggalnya suaminya, kemudian, sebelum Bu Siong pulang Kongcu Shi Men harus memboyongnya ke rumahnya, di dalam joli sebagai pengantinnya. dan, Bu Siong akan berhadapan dengan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi karena bukankah bekas kakak iparnya telah menjadi isteri orang lain secara sah? Nah, bagaimana ji-wi (anda berdua) pikir? Baik tidak usulku itu?”

“Hebat Dan semua itu akan kami lakukan, Bibi Wang!” kata Shi Men dengan girang karena dia memperoleh jalan untuk menyelamatkan diri dari Bu Siong. Rencana siasat itu mereka rayakan sambil makan pagi bersama, dan lenyaplah semua kekhawatiran dari hati sepasang kekasih itu. Enam orang Hwesio (Pendeta Buddhis) diundang untuk melaksanakan upacara sembahyang bagi arwah Bu Toa yang telah meninggal dunia seratus hari yang lalu. Hwesio kepala sejak pagi sekali telah berada di rurnah Kim Lian dan dia sibuk bersama Nenek Wang membuat persiapan masakan yang akan dipergunakan untuk sembahyangan itu. Sementara itu, tanpa memperdulikan segalanya, selagi para Hwesio sibuk, Shi Men tidur di dalam kamar bersama Kim Lian.

Setelah semua persiapan selesai, segera dimulailah sembahyangan itu dengan segala macam upacaranya. Terdengar para Hwesio itu membaca doa, dibarengi suara kelenengan dan tambur, dan nyanyian pujian. Sementara itu, Kim Lian yang sedikitpun tidak menaruh hormat kepada arwah suaminya, sedang bermesraan dengan Shi Men di dalam kamarnya. Biar pagi telah berganti siang dan matahari sudah naik tinggi, dua orang kekasih itu merasa malas untuk berpisah dan meninggalkan tempat tidur. Bagaimanapun juga, upacara sembahyang itu mengharuskan isteri si mati untuk membakar dupa, menanda-tangani formula sembahyang. bersembahyang dan sebagainya lagi. Dengan terpaksa sekali Kim Lian bangun dari tempat tidurnya, meninggalkan kekasihnya, mencuci muka, berganti pakaian dan membereskan rambutnya.

lapun keluar dan dengan gerakan anggun sekali ia membungkuk dengan hormatnya di depan arca Sang Buddha. Ketika enam orang Pendeta Hwesio itu untuk pertama kalinya melihat nyonya rumah, janda yang demikian muda dan cantik jelitanya, bergolaklah hati yang terbungkus pakaian Pendeta itu, dan dari kepala mereka yang dicukur gundul itu membumbung uap yang penuh dengan gairah berahi. Seketika mereka merasa betapa panasnya hawa udara dan suara nyanyian dan doa mereka mulai menjadi kacau balau.! Demikianlah keheningan yang didapatkan dengan cara penekanan. Memang, tak dapat disangkal bahwa dengan cara penekanan, memaksa diri, latihan dan sebagainya, batin dapat dibuat menjadi hening dan pikiran menjadi hening. Namun, hasil yang didapatkan karena penekanan ini hanya merupakan kelumpuhan sementara belaka.

Sekali datang rangsangan yang kuat, maka keheningan menjadi kebisingan dan kebeningan menjadi kekeruhan. Setelah Kim Lian melaksanakan semua tugas sebagai isteri si mati, iapun cepat kembali ke kamarnya di mana sudah menanti Shi Men yang sudah kehilangan kesabarannya karena kemesraan yang sedang berlangsung tadi terganggu oleh upacara sembahyang itu. Sebelam menutupkan kembali daun pintu kamar, Shi Men memesan kepada Nenek Wang agar para Pendeta itu tidak lagi mengganggu Kim Lian. Ketika tengah hari tiba, para Pendeta itu berhenti sebentar, Upacara itu di hentikan karena mereka harus kembali ke kuil dulu untuk makan siang. Ketika makan siang selesai, seorang di antara mereka lebih dahulu kembali ke rumah Kim Lian. Dia masih selalu membayangkan janda yang tadi menjadi bahan percakapan kawan-kawannya ketika mereka makan siang.

Tanpa disengaja, ketika Hwesio yang masih muda itu hendak mencuci. tangan di belakang, dan lewat di depan kamar Kim Lian, dari jendela kamar itu dia mendengar suara-suara mencurigakan, bisikan dan desahan, jelas suara orang yang sedang bercintaan di dalam kamar itu! Tentu saja hal ini amat mengejutkan dan mengherankan sang Hwesio. Janda yang cantik dan muda itu baru saja ditinggal mati suaminya, bahkan hari ini diadakan upacara sembahyang ke seratus Harinya, akan tetapi tak dapat disangkal lagi, janda cantik itu kini sedang bermain gila dengan seorang pria di dalam kamarnya itu! Hwesio itu sengaja memperlambat pekerjaannya mencuci tangan, dengan jantung berdebar penuh gairah dia mendengarkan dengan penuh perhatian dan akhirnya dia mendengar suara si janda cantik, suaranya terputus-putus dan terengah-engah.

“Aih... sudahlah koko (kanda)... mereka sudah akan kembali... kalau ada yang mendengar kita... ah sudahlah!” Lalu dia mendengar suara laki-laki,

“Jangan takut! Sekali lagi saja, sayang...” Ah, kalau saja Shi Men dan Kim Lian tahu bahwa kata-kata mereka itu ada orang mendengarkan.! Setelah hwwesio yang tadi kebetulan mendengar kata-kata yang penuh arti itu, membisikkan semua yang didengarnya kepada kawan-kawannya. Hal ini menambah, berkobarnya gairah birahi dari mereka berenam dan semakin tidak karuanlah jalannya upacara. Nyanyian, pujian menjadi sumbang, doa-doanya tersendat-sendat dan banyak yang, keliru, bahkan pemukul tambur, canang dan kelenengan kehilangan iramanya.

Menjelang senja, selesailah upacara sembahyang itu. Hadiah-hadiah rumah gedung, uang dan harta benda dunia lainnya dalam ujud kertas kini dibawa keluar dan dibakar. Menurut kepercayaan kuno, mereka yang masih hidup dapat mengirimkan benda-benda duniawi yang serba indah kepada si mati dalam bentuk duplikat dari kertas, membakar semua itu dan di “sana” roh si mati akan menerimanya dalam bentuk yang nyata! Lebih menggelikan lagi, ada yang mengirim dari kertas untuk si mati, berupa semangka ke “sana” karena semangka ini amat diperlukan oleh roh yang mati. Untuk apa? Apakah roh si mati gemar makan semangka seperti ketika hidupnya? Tidak, bukan untuk itu melainkan untuk maksud yang jauh lebih penting lagi, yaitu untuk... menyogok para dewa maut agar roh itu di “sananya” dapat memperoleh tempat yang baik dan perlakuan yang pantas.

Agaknya mirip dengan orang-orang memberi imbalan jasa atau istilah kasarnya sogokan kepada para penjaga penjara agar keluarganya yang menjadi orang hukuman di situ mendapat perlakuan yang baik dari para sipir penjara yang dapat mereka sogok! Karena sudah lepas masa perkabungan, kini Kim Lian membereskan rambutnya, disisir rapi, mukanya dibedaki dan Bibirnya ditambah merah dengan gincu, mengenakan pakaian berkembang yang baru, dan mengintai dari balik jendela bersama Shi Men. la menyandarkan kepalanya di pundak kekasihnya itu, tidak tahu bahwa bayangan mereka nampak. dari balik tirai jendela oleh para pendeta yang sedang menyelesaikan bagian-bagian terakhir dari upacara itu. Penglihatan ini membuat mereka membayangkan apa yang tadi terjadi di dalam kamar seperti yang dibisikkan oleh seorang kawan mereka dan tingkah mereka menjadi semakin kacau balau.

Mereka masih terus memukul tambur dan kelenengan, demikian penuh semangat dan ketika topi penutup kepala dari Hwesio kepala terjatuh ke atas tanah, tak. seorangpun di antara mereka memperdulikannya. Sungguh menggelikan sekali tingkah laku mereka itu. Hal ini dapat dimengerti. Selama bertahun-tahun para Hwesio itu mengekang segala macam nafsu mereka, hidup, terasing di dalam kuil, tak pernah berdekatan dengan wanita. Agaknya secara lahiriah saja demikian, namun batin mereka tak pernah lowong dari bayangan wanita sehingga sekarang, setelah mereka melihat janda muda cantik itu bermain cinta dengan seorang kekasih pada saat sembahyang roh suaminya dilakukan, mereka semua itu tak mampu lagi membendung peluapan nafsu berahi mereka!

“Suhu sekalian,” Nenek Wang berkata kepada mereka dengan heran. “Semua barang telah terbakar habis menjadi abu, upacara telah selesai, akan tetapi mengapa suhu sekalian masih saja membunyikan kelenengan dan memukul tambur itu?”

“Biarlah, sekali lagi saja” jawab mereka. Mendengar ini, Shi Men mengerti bahwa ulahnya bersama Kim Lian di dalam kamar tadi diketahui orang. Dia lalu memberi sejumlah uang kepada para Hwesio dan minta agar mereka itu segera pulang ke kuil mereka. Para Hwesio minta kepada Nenek Wang agar nyonya rumah suka keluar untuk menerima ucapan terima kasih mereka. Namun, Kim Lian yang tadi juga mendengar sindiran mereka, tidak, berani keluar akhirnya para Hwesio itu dapat dibujuk oleh Nenek Wang untuk pergi. Pada keesokan harinya, Kim Lian mengunjungi Nenek Wang untuk berpamit, dan ia menitipkan Bu Ying kepada Nenek Wang agar dipelihara dan anak itu dapat pula membantu Nenek Wang. Di situ telah hadir Shi Men yang bermaksud memboyong kekasihnya ke rumahnya.

“Bagaimana kalau sampai Bu Siong tahu bahwa bekas iparnya telah menjadi isteriku?” kata Shi Men khawatir.

“Ah, serahkan saja kepada saya, Kongcu. Biarlah saya yang akan menghadapinya kalau dia datang ke sini,” jawab Nenek Wang yang membuat hati kedua kekasih itu menjadi tenang.

Tentu saja Shi Men tidak lupa untuk memberi hadiah uang secukupnya kepada Nenek yang sudah banyak berjasa dalam hubungannya dengan kim Lian itu. Pada keesokan harinya, tanggal delapan bulan delapan yang dipilih sebagai hari baik setelah diperhitungkannya dengan teliti, Shi Men menyambut pengantinnya dengan joli. Janda Wang, Siauw Thai si kacung, dan empat orang pembawa lentera seperti lajimnya pengantin wanita yang diboyong ke rumah pengantin pria, mengawal joli yang dipikul empat orang itu, di mana Kim Lian duduk sebagai pengantin dengan hati yang amat gembira. Akhirnya berhasillah apa yang diinginkan dan diidamkannya selama ini, menjadi seorang isteri Shi Men dan tinggal di rumah gedung kekasihnya itu.

Tentu saja, para tetangga yang tinggal di Jalan Batu Ungu dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Kim Lian dan Bu Toa dan Shi Men, namun karena mereka semua merasa segan terhadap Shi Men, merekapun tidak mau mencampuri urusan yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka itu. Banyak tetangga yang diam-diam mencibirkan Bibir mereka. Mereka maklum bahwa sebelum Bu Toa meninggal, Kim Lian telah berjina dengan Shi Men. Dan kini, biarpun nampaknya dijemput seperti seorang mempelai, namun tak seorangpun keluarga Kim Lian yang mengantar, kecuali Nenek Wang, seorang perantara atau calo manusia. Ini tiada bedanya dengan pelacuran! Shi Men sudah mempersiapkan segalanya untuk menyambut isteri barunya. Untuk Kim Lian, dia sudah menyediakan sebuah bangunan mungil yang berloteng di sudut yang sunyi dah indah dari tamannya yang luas.

Bangunan kecil mungil itu diperbaiki, dicat baru, diisi dengan perabot-perabot baru yang serba menyenangkan. Terutama sekali kamar tidurnya. Sebuah tempat tidur yang besar dan baru berdiri di kamar ini, dengan kelambu sutera merah yang disulam indah, tiang kelambunya diukir dengan cat emas, dan di depan tempat tidur itบ terdapat meja ukiran yang indah pula dengan kursi-kursi yang dihias beludru. Inilah tempat yang disediakan untuk Kim Lian. Goat Toanio, isteri pertama Shi Men mempunyai dua orang dayang, yaitu pelayan wanita yang masih muda remaja. Dua orang perawan ini manis-manis dan namanya adalah Cun Bwe dan Siauw Giok. Mereka adalah pelayan-pelayan pribadi Goat Toanio. Oleh Shi Men, Cun Bwe dimintai untuk diangkat sebagai pelayan dari Kim Lian.

Cun Bwe harus melayani segala. keperluan Kim Lian dan menyebut Toanio (nyonya besar). Shi Men juga membeli seorang budak perempuan untuk bekerja di dapur dan budak ini bernama Ling Siok kemudian seorang budak perempuan lain untuk Goat Toanio sebagai pengganti Cun Bwe yang bernama Siauw Si. Setelah kini Kim Lian menjadi anggauta keluarga, wanita ini menjadi isteri ke lima. Urutannya adalah, isteri pertama Goat Toanio, ke dua Li Kiao, ke tiga Mong Yu Lok, ke empat Sun Siu Oh, dan ke lima Pang Kim Lian. Pada hari pertama Kim Lian memasuki rumah tangga Shi Men, dengan pakaian baru dan rambut digelung secara rapi, Kim Lian menghadap Goat Toanio untuk memperkenalkan diri kepada semua anggauta keluarga yang sudah berkumpul di ruangan besar rumah gedung itu.

Goat Toanio yang duduk di kursi kehormatan, memandang madunya yang baru penuh selidik dan diam- diam mengagumi kecantikan Kim Lian yang penuh gairah itu. Kim Lian menjatuhkan diri berlutut di dekat kaki Goat Toanio, memberi soja empat kali, dan dihadiahi sendal sebagai ucapan selamat datang yang sudah merupakan kelajiman. Setelah memberi hormat kepada Goat Toanio, lalu ia memberi hormat kepada para madunya yang lain sesuai dengan nomor kedudukan mereka, yaitu Li Kiao, Mang Yu Lok, dan Sun Siu Oh. Setelah memberi hormat kepada empat orang madunya, Kim Lian lalu melangkah minggir, Goat Toanio menyuruh pelayan mengambilkan kursi untuk Kim Lian dan memberi tahu kepada para pelayan untuk menyebut Kim Lian sebagai Nyonya Ke Lima.

Tanpa menoleh, hanya mempergunakan lirikan matanya yang tajam, dari tempat duduknya Kim Lian mengamati empat orang madunya itu. Pertama-tama, la memperhatikan Goat Toanio yang ia tafsir berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Wajahnya halus dan putih bersih, matanya bundar dan bening, gerakannya lembut dan lemas, sikapnya anggun dan tutur sapanya sopan. Yang ke dua adalah Li Kiao bekas penyanyi dari rumah pelesiran, tubuhnya agak mohtok dan wajahnya cantik, mungkin bekas pelacur kelas tinggi, namun dibandingkan dengan Kim Lian, masih kalah jauh dalam soal asmara. Isteri ke tiga, Mong Yu Lok berusia tiga puluh tahun, tubuhnya ramping dan penuh gairah, wajahnya berbentuk bulat seperti semangka, dan di sana sini terdapat tahi lalat kecil yang menambah kemanisan wajahnya, kedua kakinya sekecil kaki Kim Lian. Kemudian yang ke empat, Sun Siu Oh, si bekas pelayan.

Tubuhnya leblih ramping daripada isteri ke tiga, agak pendek, akan tetapi ia seorang ahli masak dan pandai pula menari. Diam-diam Kim Lian memperhatikan dan mencatat semua tanda-tanda tentang keadaan dan watak mereka. Semenjak tinggal di situ, Kim Lian membiasakan diri untuk bangun pagi-pagi sekali dan pergi menghadap Goat Toanio, mengoper semua pekerjaan menjahit dan lain-lain. Kim Lian sangat penuh perhatian dan selalu sibuk mengerjakan urusan rumah tangga tanpa diperintah lagi oleh Goat Toanio. Cekatan, cepat dan hasil pekerjaannya selalu mengagumkan. Juga ia selalu bersikap penuh hormat kepada isteri pertama itu sehingga dengan mudah ia dapat merebut rasa sayang dari madunya yang nomor satu. Hal ini tentu saja tidak begitu menyenangkan hati isteri-isteri yang lain dan diam-diam mereka bertiga sering membicarakan Kim Lian dengan hati penuh iri.

“Ia datang belakangan akan tetapi selalu diterima dengan manis budi oleh Goat Toanio. Sungguh bikin kita penasaran!” Semenjak Kim Lian menjadi isterinya yang ke lima, mendadak saja Shi Men kini betah tinggal di rumah. Tentu saja setiap malam tidur di kamar Kim Lian dan hal ini tentu saja menambah rasa cemburu dan iri di hati tiga isteri muda yang lain.

Bu Siong tiba di kota Ceng-Ho-Sian. Segera dia menghadap Kepala Daerah untuk melaporkan tugasnya yang telah dilaksanakan dengan baik dan menyerahkan surat balasan dari Komandan Istana Cu. Kepala Daerah merasa girang sekali dan memberi hadiah kepadanya. Setelah selesai menghadap Kepala Daerah, Bu Siong segera menuju ke markasnya, berganti pakaian dan bergegas pergi mengunjungi rumah Kakaknya. Rumah itu tertutup dan diam-diam Bu Siong merasa girang. Kakaknya itu agaknya, mentaati pesan dan nasihatnya.

“Toako...” Dia berteriak memanggil sambil mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. “So-so (Kakak Ipar)...” Ia memanggil dan mengetuk pintu. Tiada jawaban walaupun dia sudah memanggil berulang kali sambil mengetuk daun pintu semakin keras. Pada saat itu, Nenek Wang kebetulan melihatnya. Nenek ini menekan perasaan takutnya dan cepat menghampiri.

“Bibi, di manakah Kakakku dan di mana pula Kakak iparku?” tanya Bu Siong.

“Duduklah dulu, aku akan menceritakan segala sesuatunya dengan jelas,” kata Nenek itu. “Tidak perlu duduk, kalau ada persoalan ceritakanlah saja, Bibi.”

“Kakakmu Bu Toa telah terserang penyakit berat dalam bulan empat, tidak lama setelah engkau berangkat dan dia meninggal karena penyakitnya itu.” Tentu saja Bu Siong merasa terkejut bukan main mendengar akan kematian Kakaknya itu. Dia menuntut keterangan dari Nenek Wang kapan meninggalnya Kakaknya itu, dan apa penyakitnya, diberi obat apa pula. Dengan cepat otak tua yang cerdik itu sudah merangkai karangan yang sesuai.

“Pada tanggal dua puluh bulan empat, dia terserang penyakit perut yang parah. Dia rebah sakit tak dapat turun dari pembaringan selama delapan atau sembilan hari. Dia telah minum bermacam obat, namun segala usaha untuk menyembuhkannya sia-sia belaka. Akhirnya dia meninggal, kasihan sekali Bu Toa.”

“Bagaimana dia sampai terkena penyakit perut ini? Sebelumnya, tidak pernah dia menderita sakit perut. Aku tidak mengerti.”

“Ciangkun (sebutan perwira), sekarang pertanyaanmu terlalu sukar bagiku untuk menjawab. Nasib yang ditentukan oleh Tuhan tak mungkin dapat dimengerti manusia.”

“Dan di mana adanya Kakak iparku?”

“Nona Kim Lian? Ah, ia hanya seorang wanita lemah yang tiba-tiba kehilangan tempat ia bersandar, maka, setelah berkabung selama seratus hari, ia mentaati nasihat Ibunya. la menikah lagi dengan seorang laki-laki terhormat dari Kotaraja. la membawa semua miliknya, kecuali perawan cilik itu yang ia serahkan kepadaku untuk dipelihara. Aku hanya menanti kedatanganmu Ciangkun untuk menyerahkan anak itu kepadamu dan dengan demikian selesailah sudah tugasku.”

Bu Siong menarik napas panjang, hatinya penuh duka. Dia meninggalkan wanita tua itu tanpa sepatah katapun, dan kembali ke markasnya. Dia mengenakan pakaian terburuk, membeli pula kain putih untuk dibuat menjadi pakaian berkabung, kemudian menyuruh anak buahnya membeli alat-alat untuk sembahyang seperti buah-buahan, manis-manisan, dupa lidi, gambar-gambar dan uang-uangan kertas. Kemudiaภ dia membawa semua perabot sembahyang ini ke rumah Kakaknya. Di rumah itu dia mengatur sebuah meja sembahyang, dan melakukan upacara berkabung. Pada malam harinya, dia bersembahyang dengan penuh kekhusukan, kemudian mengucapkan kata-kata yang ditujukan kepada arwah Kakaknya,

“Toako, jiwamu tentu tak jauh dari sini. Di dalam hidupmu, engkau lemah dan selalu mengalah. Aku masih belum mengerti bagaimana engkau sampai meninggal dunia. Adakah suatu penasaran yang kau derita?” Bu Siong menghidangkan minuman, membakar gambar-gambar dan uang kertas, lalu dia berlutut dan menangis. Sampai tengah malam, Bu Siong masih berada di situ, gelisah tak dapat tidur walaupun tubuhnya terasa lelah. Dia lalu bangkit duduk.

“Toako begitu lemah dan mengalah ketika masih hidup, aku curiga bahwa kematiannya tidaklah wajar” Matahari mulai membakar langit di ufuk timur, Bu Siong mandi dan membersihkan mulut, kemudian keluar. Mulailah dia bertanya-tanya dan melakukan penyelidikan kepada para tetangga Kakaknya. Dia ingin menyelidiki sebab kematian Kakaknya dan dengan siapa Kakak iparnya menikah lagi. Para tetangga tahu akan persoalannya, namun mereka semua takut kepada Shi Men, maka mereka lebih suka menutup mulut sehingga gagalah usaha Bu Siong untuk memperoleh keterangan yang sebenarnya.

“Tanyalah saja kepada, Nenek Wang, atau tanya kepada pedagang buah A Goan, atau kepada pejabat pemeriksa kematian, Hu Kiu. Mereka itu akan dapat menceritakan segalanya kepadamu, Bu-Ciangkun.” kata mereka semua. Mendengar ini, makin besar perasaan curiga mengaduk hati Bu Siong. Tentu ada suatu rahasia karena kalau tidak, para tetangga itu tidak akan bersikap seperti itu. Pergilah dia mencari si kecil A Goan penjual buah dan tidak sukar mencari anak yang bengal ini.

“Selamat siang, adik A Goan.” Bu Siong memberi salam. Senang hati A Goan disapa begitu hormat dan ramahnya oleh si pembunuh harimau yang terkenal ini. “Ciangkun, sayang engkau datang agak terlambat.” Anak ini segera dapat menduga mengapa pendekar itu mencarinya.

“Sayang bahwa saya tidak dapat berbuat seperti yang selayaknya. Saya harus merawat seorang Ayah yang sudah tua, maka saya tidak mungkin dapat menjadi saksi kalau anda menuntut ke pengadilan.”

“Adik yang baik, marilah ikut dengan aku.” Bu Siong mengajaknya masuk ke dalam sebuah restoran dan memesan makanan yang cukup. Setelah mengajak anak itu makan-makan, Bu Siong lalu berkata dengan suara ramah.

“Ternyata engkau yang masih amat muda ini berbakti kepada orang tua. Itu baik sekali, A Goan. Aku hanya dapat membantu sedikit, inilah...” Dia mengeluarkan lima tail perak kepada anak itu. “Ini sedikit bantuan untuk Ayahmu yang tersayang. Kalau urusan ini sudah selesai aku akan memberimu sepuluh tail lagi agar engkau memperoleh modal untuk berdagang kecil-kecilan. Sekarang ceritakan,! Apakah Kakakku pernah berkelahi dengan orang lain? Siapakah orangnya yang mungkin menghendaki kematiannya? Dan dengan siapakah Kakak iparku menikah? Nah, ceritakan dan jangan sembunyikan dariku!” A Goan menyimpan pemberian itu.

“Ayah dapat hidup selama lima bulan dengan uang ini, maka biarlah saya siap untuk menjadi saksi.” Kemudian A Goan menceritakan sejelas-jelasnya apa yang telah terjadi di rumah Nenek Wang, menceritakan perkelahiannya dengan Nenek Wang, dan betapa Bu Toa yang hendak menangkap basah isterinya dan Shi Men yang melakukan pertemuan gelap di dalam rumah Nenek Wang, telah menerima tendangan yang keras pada perutnya oleh Shi Men, dan betapa beberapa hari kemudian Bu Toa meninggal dunia secara tiba-tiba.

“Dan dengan siapakah Kakak iparku menikah?” tanya Bu Siong walaupun dia sudah dapat menduga siapa laki-laki itu.

“Siapa lagi kalau bukan tuan muda Shi Men!”

“Hemm, si jahanam keparat! Sudah kuduga. Begini, adik A Goan. Besok pagi sekali engkau harus sudah siap di kantor pengadilan. Aku membutuhkan engkau sebagai saksi. Sekarang, di manakah tinggalnya si Hu Kiu pemeriksa mayat itu?”

“Engkau terlambat, Ciangkun. Tiga hari yang lalu, ketika mendengar bahwa engkau akan tiba, dia pergi, tak seorang pun tahu ke mana.” Mereka berpisah dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Bu Siong menyuruh seorang ahli tulis untuk membuatkan sebuah surat pengaduan resmi. Dengan surat ini di tangan, Bu Siong pergi ke kantor pengadilan di mana A Goan telah menantinya. Bu Siong memasuki ruang pengadilan dan dia berlutut di ruangan itu sambil berseru dengan suara nyaring,

“Penasaran...!” Muncullah Jaksa yang segera minta dia menyerahkan surat pengaduannya, Bu Siong menyerahkan surat pengaduan dan dengan lantang dia menuduh Hu Kiu yang melarikan diri itu sebagai pejabat pemeriksa mayat telah menerima sogokan dan menyembunyikan fakta tentang rahasia kematiah Bu Toa.

Diapun menuduh Nenek Wang yang merencanakan pembunuhan terhadap Bu Toa dan akhirnya dia menuduh Shi Men yang melakukan perjinaan terhadap isteri Bu Toa, kemudian juga ikut membunuh Bu Toa dengan menendang perutnya. Untuk semua tuduhan itu, dia membawa saksi, yaitu A Goan yang menyaksikan semua yang dituduhkannya itu, Jaksa menjadi bingung dan khawatir karena dia dan bawahannya mempunyai hubungan yang amat akrab dengan Shi Men, jaksa dan para pembantunya lalu mengundurkan diri ke dalam kamar mereka untuk mengadakan perundingan. Semua orang yang bekerja di kantor pengadilan itu telah banyak menerima “budi” dari Shi Men, maka mereka semua sepakat untuk mencegah agar Shi Men tidak dituntut. Dengan keputusan ini, jaksa keluar menemui Bu Siong.

“Bu Siong, sebagai seorang Kapten Keamanan yang diangkat, engkau seharusnya lebih mengerti tentang peraturan. Tidak boleh menuduh perjinaan apabila seorang di antara suami-isteri itu telah tiada. Juga tidak boleh menuduh pembunuhan tanpa adanya pemeriksaan yang resmi atas tubuh korban. Pengaduanmu semata-mata berdasarkan kesaksian orang muda ini, dan hal ini belumlah cukup Kalau aku membuka persidangan pengadilan dan menuntut seperti pengaduanmu itu, aku akan disangka berat sebelah dan tidak bertanggung jawab. Engkau agak tergesa-gesa dalam pengaduanmu, Bu Siong. Pertimbangkanlah lagi pengaduanmu itu baik-baik.”

Tentu saja Bu Siong merasa tidak puas dengan jawaban ini. Dia menuntut agar Shi Men, Kim Lian dan Nenek Wang segera ditangkap dan dihadapkan pengadilan. Jika tuduhannya kemudian, terbukti palsu, dia bersedia untuk menerima hukuman sebagaimana mestinya.

“Ah, hal ini tidak mungkin dapat kami putuskan begitu saja,” jaksa menjawab untuk mengelak. “Harus kami rundingkan dulu masak-masak sebelum melakukan penangkapan tanpa bukti. Kami akan mempertimbangkan hal itu. Sementara ini, berdirilah dan urusan disudahi sampai di sini saja.”

Dengan hati penuh rasa penasaran Bu Siong kembali ke markasnya sambil mengajak A Goan. Dia tidak ingin kehilangan saksi utamanya ini, maka sebaiknya kalau selalu bersamanya. Dapat dibayangkan betapa takut rasa hati Shi Men ketika dia mendengar akan usaha Bu Siong menyelidiki kematian Kakaknya dan mengadukan dia ke pengadilan. Dia tahu bahwa dia harus segera bertindak secepatnya. Segera dikeluarkan sejumlah besar uang dari gudang uangnya dan pada malam itu juga dia telah berhasil membeli seluruh petugas di kejaksaan dan pengadilan, dari pemimpinnya sampai pegawai terendah! Pada keesokan harinya, Bu Siong merasa terkejut karena dia dipanggil ke kantor pengadilan dan menerima kembali surat pengaduannya. Pejabat itu dengan halus bahkan memberi nasihat,

“Sebaiknya anda jangan terlalu percaya kepada desas-desus tanpa bukti. Sungguh tidak bijaksana untuk membuat seorang seperti Shi Men menjadi musuh. Anda sama sekali tidak boleh tergesa-gesa dan sembrono. Tanpa bukti yang nyata, hanya dengan kekuatan saksi seorang yang belum dewasa, sungguh kami tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak berani melakukan penangkapan. Kalau pengaduan itu ternyata palsu, bukan hanya anda yang bertanggung jawab. Tuan, muda Shi Men dapat pula mengadukan kami ke Kotaraja dan kami semua akan celaka!” Dengan alis berkerut Bu Siong berkata,

“Kalau begltu, menurut pendapat paduka, penasaran yang diderita oleh mendiang Kakak saya tidak boleh dituntut? Saya tanggung bahwa pengaduan saya tidak palsu” Karena merasa tidak ada gunanya membujuk pejabat yang agaknya sudah dipengaruhi Shi Men, Bu Siong mengambil surat pengaduannya dan meninggalkan kantor pengadilan, juga dia menyuruh pulang A Goan yang tidak diperlukan lagi. Rasa penasaran membuat mukanya yang gagah menjadi kemerahan dan tentu saja dia sama sekali tidak akan mundur selangkahpun. Sambil mengepal tinju dan mengatupkan gigi dia berkata kepada diri sendiri,

“Pelacur busuk itu! Aku akan menjadi manusia macam apa kalau harus menelan semua penghinaan ini?” Dengan langkah lebar Bu Siong menuju ke toko obat milik Shi Men. Dia memasuki toko itu dan menghampiri Hok, pemimpin toko dan berkata dengan suara lantang. “Apakah majikanmu berada di sini?” Sambil menahan rasa takut, Hok menjawab.

“Tidak ada di sini. Ada keperluan apakah, Ciangkun?” Bu Siong menangkap leher baju Hok, mencengkeramnya dan menarik tubuh laki-laki itu mendekat, lalu berkata dengan suara mengandung nada ancaman,

“Apa engkau ingin mampus?” Dengan tubuh gemetar dan muka pucat Hok menjawab.

“Ciangkun ampunkan saya... kenapa Ciangkun marah-marah kepada saya? Kesalahan apakah yang telah saya lakukan terhadap Ciangkun?”

“Jawab dengan benar kalau engkau sayang nyawamu. Di mana adanya si anjing Shi Men? Dan sejak kapan dia memboyong bekas Kakak iparku ke rumahnya? Jawab atau...”

“Ciangkun, ampunkan saya dan jangan pukul saya. Saya hanyalah seorang pegawai Kongcu Shi Men yang tidak tahu apa-apa. Saya hanya mengurus toko, bagaimana saya bisa tahu tentang urusan rumah tangganya? Yang saya ketahui hanya bahwa dia baru saja pergi untuk minum arak bersama teman- temannya di kedai arak besar di Jalan Singa. Hanya itulah yang saya ketahui dan saya tidak membohongimu.” Bu Siong melepaskan cengkeramannya. Ketika Hok masih berdiri di situ, terlalu takut untuk menggerakkan kaki selangkah, Bu Siong telah pergi dengan langkah lebar menuju ke Jalan Singa.

Pada saat itu, Shi Men sedang duduk minum arak bersama Li, sekretaris dari kantor distrik kota. Li ini terkenal sebagai orang yang suka menghubungkan mereka yang membutuhkan bantuan dengan para pejabat, juga menjadi perantara dalam hal sogok menyogok sehingga orang-orang memberi julukan Calo Li kepadanya. Ketika jaksa mengembalikan dan menolak surat pengaduan Bu Siong maka Li yang cepat mengabarkan kepada Shi Men. Saking girang mendengar berita ini, Shi Men memberi hadiah lima tail perak kepada Li dan mengundangnya untuk minum-minum bersama. selagi mereka bersenang-senang minuh arak. kebetulan Shi Men menjenguk jendela dan dia melihat Bu Siong yang berlari-lari memasuki Jalan Singa dan telah tiba di atas jembetan.

Melihat pendekar ini, Shi Men menjadi ketakutan setengah mati dan diapun cepat lari bersembunyi di bagian belakang loteng itu. Calo Li tidak melarikan diri, tidak sempat lagi dan pula, dia tidak merasa takut. Dia tidak mempunyai urusan dengan Bu Siong, kesapa mesti lari, pikirnya dan dia melanjutkan minum arak seenaknya. Bu Siong berlari naik ke loteng dan dia melihat seorang laki-laki duduk minum arak ditemani dua orang gadis penyanyl. Tidak nampak Shi Men di situ. Bu Siong mengenal si Calo Li, maka diapun mengerti apa yang telah terjadi. Tak perlu diragukan lagi, orang inl datang membawa kabar kepada Shi Men bahwa pengaduannya ditolak. Bukan main marahnya. Dia menghampiri Li dan membentak,

“Orang she Li, di mana kau sembunyikan Shi Men? Hayo katakan, atau engkau akan merasakan pukulan tanganku” Li tak mampu bicara saking takutnya. Dia hanya bangkit berdiri dan menggigil seperti orang terserang penyakit demam tanpa mangeluarkon sepatahpun kata. Kediamannya membuat Bu Siong menjadi semakin marah Dengan sebuah tendangan Bu Siong menjungkirbalikkan meja di depan Li. Piring, mangkok dan cawan terbanting ke atas lantai dengan suara hiruk pikuk. Dua orang gadis penyanyi yang berbedak tebal itu jatuh pingsan saking takutnya. Si Calo Li yang sadar akan keadaannya yang terancam bahaya, berusaha untuk melarikan diri. Akan tetapi sekali saja tangan kiri Bu Siong menangkap Li dan menyambar, dia sudah mencengkeram, “Jahanam, mau lari ke mana kau? Kamu tidak mau bicara, ya? Baiklah, rasakan tanganku!” Tangan Bu Siong menampar.

“Plakk!!” Li merasa betapa mukanya seperti hancur dan diapun mengeluh kesakitan.

“Shi Men baru saja lari dari sini. Biarkan aku pergi, aku tidak ada sangkut pautnya dengan urusanmu.” Bu Slong sudah marah sekall. Dia membuka daun jendela dan tubuh Li telah tergantung dari loteng, diluar jendela.

“Engkau ingin pergi, bukan? Nah, pergilah!” Bu Siong melemparkan tubuh calo Li dan ketika tubuh itu meluncur ke bawah dan menimpa jalan, kepalanya retak dan diapun tewas. Namun Bu Siong tidak perduli dan dia sudah meloncat untuk mengejar dan mencari shi Men. Akan tetapi dari tempat persembunyiannya, tadi Shi Men mendengar segala yang terjadi. Dengan hati terbang melayang ketakutan, Shi Men cepat melanjutkan pelariannya, melompati tembok memasuki taman rumah sebelah dan terus berlari pergi seperti dikejar setan. Ketika Bu Siong tak dapat menemukan Shi Men dan melihat tubuh Li menggeletak di jalan, dia menendang tubuh yang sudah tak bernyawa itu.

“Ah, itu adalah sekretaris Li,” kata para penonton kepada Bu Siong.

“Apa yang telah dia lakukan kepadamu sampai engkau membunuhnya, Bu-Ciangkun?”

“Yang ingin kubunuh adalah Shi Men. Dia ini menyembunyikan Shi Men, maka dia kubunuh!” jawab Bu Siong Karena terjadi pembunuhan, maka para petugas keamanan segera berdatangan ke tempat itu.

Akan tetapi, tak seorangpun dari mereka berani menangkap Bu Siong. Mereka hanya mengepung sehingga Bu Siong tak dapat pergi dari situ. Kemudian mereka membujuk Bu Siong untuk menyerah untuk dibawa kepada yang berwajib. Bu Siong melihat kesalahannya. Dia merasa menyesal sekali mengapa harus membunuh Li dalam kemarahannya, padahal yang dicari adalah Shi Men. Namun, segala telah terjadi dan dia kemudian menyerah, dibawa ke pengadilan bersama para saksi dan dua orang gadis penyanyi, ditahan sebagai seorang pembunuh. Peristiwa di Jalan singa ini menggemparkan seluruh kota dan seperti biasa terjadi dengan kabar angin, segera ditambah-tambahlah berita tentan peristiwa itu, bahkan ada Yang mengabarkan bahwa yang terbunuh adalah Shi Men.

Segala sesuatu yang terdapat di dalam dunia ini mengalami perubahan. Tiada sesuatu yang abadi di dunia ini. Musim pun telah berganti menguasai permukaan bumi. Ada terang ada gelap, ada panas ada hujan, seperti juga kehidupan manusia yang selalu jatuh bangun, ada kalanya orang hidup penuh dengan kesenangan, akan tetapi segera terganti oleh kesusahan yang melanda. Kita condong untuk mengejar- ngejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Mengapa kita tidak mau menyelami kesusahan, mempelajari dengan secermat-cermatnya apakah sebenarnya yang kita namakan duka itu?

Mengapa kita hanya membiarkan diri menikmati kesenangan belaka dan tidak mau tengok ke dalam apa yang dinamakan duka dengan sadar sepenuhnya, dengan kewaspadaan sehingga kita mengenal benar apa itu yang dinamakan duka? Kita biasanya melarikan diri dari duka, dengan cara menghibur diri, melupakannya melalui miuman, tontonan dan hiburan lain. Akan tetapi dengan demikian berarti kita belum mengenal benar apa itu duka dan tidak dapat menyembuhkan penyakit atau sebab dari timbulnya penyakit duka itu. Ketika dalam pelariannya yang penuh rasa takut itu Shi Men memasuki pekarangan rumah di sebelah restoran, seorang pelayan perempuan yang kebetulan berada di kebun itu berteriak kaget,

“Maling! Maling..!” Lo Fu, Tabib yang memiliki rumah itu datang berlari dan ketika dia melihat Shi Men, dia tersenyum.

“Ah, kiranya anda, Shi-Kongcu. Untunglah bahwa Bu Siong tidak menangkapmu dan sebaliknya dia malah membunuh temanmu. Sekarang mereka membawanya. ke kantor pengadilan. Pembunuhan itu tentu akan, membuat dia dihukum berat, mungkin hukuman mati. Anda tak perlu takut dan kini dapat pulang dengan aman, Shi Kongcu” Bakan main rasa girang dan lega di hati Shi Men mendengar berita yang amat baik, ini. Diapun berpamit, melangkah keluar dengan gaya seolah olah dia baru saja datang berkunjung sebagai tamu keluarga Tabib itu. Lupalah dia sudah betapa tadi dia lari tunggang-langgang seperti seekor tikus dikejar kucing.

Begitu tiba di rumah, segera Shi Men menceritakan seluruh peristiwa itu kepada Kim Lian. Mereka bersorak gembira bahwa Bu Siong telah ditangkap karena membunuh Li sehingga mereka berdua bebas dari ancaman bahaya. Menuruti nasihat Kim Lian, Shi Men lalu mengirim lagi hadiah kepada kantor pengadilan. Kepala jaksa disogoknya dengan lima puluh tail perak murni dan satu stel tempat minum arak terbuat dari perak terukir indah. Juga semua pengawal di kantor itu kebagian hadiah dan tak seorangpun di antara mereka ada yang menolak. Hasil penyuapan itu segera nampak ketika pada keesokan harinya Bu Siong dibawa menghadap Kepala Jaksa. Sikap pembesar ini sama sekal berubah di banding dengan sikapnya ketika Bu Siong mengajukan surat pengaduan. Dia mengerutkan alisnya, memandang bengis dan suaranya kaku.

“Engkau kemarin mengajukan tuduhan palsu terhadap orang-orang terhormat dan baik-baik dan kami menerimamu dengan baik, bahkan menasihatimu. Akan tetapi sebaliknya engkau kini malah memperkosa hukum dengan membunuh orang yang tak berdosa di siang hari.”

“Saya harus membalas dendam kepada Shi Men dan malangnya, orang itu menghalangi saya. Dia menyembunyikan Shi Men yang saya kejar dan tidak mau menceritakan kepada saya di mana adanya Shi Men. Karena marah saya lupa diri dan membunuhnya. Saya siap mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Akan tetapi saya harap kepada paduka agar juga menangkap Shi Men sehingga ketidak adilan yang dilakukan orang terhadap mendiang Kakak saya dapat dibalas dan dihukum!”

“Omong kosong! Engkau ingin mengajari aku dalam tugasku! Pembunuhan yang kau lakukan atas diri Sekretaris Li merupakan persoalan yang lain sama sekali dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Shi Men. Engkau memutar balik kenyataan dan takkan mengaku sebelum dicambuk!”

Pembesar itu memberi isyarat dan empat orang algojo segera menubruk Bu Siong, memaksanya berlutut dan menghujankan cambukan dengan batang bambu pada punggungnya, Setelah menerima dua puluh kali pukulan, Bu Siong mencoba untuk mengingatkan pembesar itu bahwa dia sebagai komandan Pasukan Keamanan yang telah banyak berjasa untuk pemerintah. Namun sia-sia, jasa seseorang untuk pemerintah nampaknya tidak ada artinya dan tidak meninggalkan kesan di hati seorang pembesar tinggi, tidak seperti perak mengkilap yang dihadiahkan Shi Men kepadanya. Lima puluh pukulan lagi diterima Bu Siong. Kemudian pendekar yang bernasib sial ini dikalungi kayu penjepit leher dan dibawa kembali ke Penjara. Perwira penjara adalah sahabat Bu Siong dan mereka merasa kagum dan suka kepada orang gagah ini, menganggap dia seorang pendekar besar yang patut dihormati. Betapapun ingin hati mereka menolong Bu Siong, mereka tak dapat membuka mulut karena bibir mereka berlepotan madu suapan yang dilimpahkan oleh Shi Men sampai ke penjara. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, setelah setiap hari mereka mendengar teriakan-teriakan penasaran dari Bu Siong, para petugas penjara itu lalu membuat surat pernyataan yang ditujukan kepada jaksa tinggi Chen di kota Tung-Ping-Fu. Jaksa tinggi Chen merupakan jaksa atasan dari para pegawai pengadilan di Ceng Sian. Maka dihadapkanlah Bu Siong sebagai pesakitan kepada jaksa tinggi Chen di kota Tung-Ping-Fu itu, bersama pemilik rumah makan Wang Luan dan dua orang gadis penyanyi yang dianggap sebagai saksi. Jaksa tinggi Chen terkenal sebagai seorang petugas yang jujur dan adil.

“Apa sebabnya engkau membunuh sekreteris Li?” tanyanya kepada Ba Siong ketika pemeriksaan dimulai. Dengan suara lantang Bu Siong menceritakan segala peristiwa yang terjadi, menceritakan tentang kematian Kakak kandungnya, tentang penyelewengan Kakak iparnya dan tentang keyakinannya bahwa Kakaknya mati dibunuh, dan pembunuhnya adalah Shi Men bersama Kakak iparnya.

“Karena saya tidak bisa memperoleh keadilan dari kantor pengadilan distrik, maka saya memutuskan untuk membalas dendam sendiri kepada Shi Men. Akan tetapi malang, karena kemarahan saya sebaliknya membunuh Li. Saya rela berkorban nyawa demi membalas dendam Kakak saya.” Dengan teliti jaksa tinggi Chen memeriksa para saksi. Dia lalu menerima pengakuan para petugas penjara dan menandatangani surat itu sambil berkata kepada bawahannya.

“Bu Siong membunuh Li tanpa sengaja, dalam usahanya balas dendam kematian Kakaknya. Dia seorang yang jujur dan pandai, dan tidak semestinya diperlakukan seperti pembunuh dan penjahat biasa.” Atas perintahnya, kayu penjepit leher yang besar dan berat itu lalu dilepas dari leher Bu Siong, diganti dengan kayu yang lebih kecil dan ringan, sebagai tanda bahwa dia dianggap sebagai pesakitan ringan. Peristiwa ini tentu saja dilaporkan, oleh seorang mata-mata kepada Shi Men yang menggigil ketakutan. Dia maklum bahwa menyuap atau menyogok jaksa tinggi Chen merupakan suatu hal yang tidak mungkin sama sekali. Urusan ini, harus ditangani dengan cara yang lain. Shi Men cepat menjalankan siasatnya. Dia tahu benar apa yang harus dilakukannya.

Cepat dia mengirim surat permohonan disertai hadiah yang amat berharga kepada Jenderal Yang di Ibukota sebelah timur. Jenderal Yang adalah sahabat baiknya den dia mohon kepada Jenderal ini untuk membujuk pembesar Cai yang menjadi guru dari pangeran Istana. Karena Cai-Taijin (pembesar Cai) merupakan seorang sahabat baik dari Jenderal Yang, maka tentu bujukan Jenderal itu akan diperhatikannya benar. Bujukan itu adalah, agar Cai-Taijin mengirim surat kepada jaksa tinggi Chen, minta kepada jaksa tinggi itu agar tidak lagi menangani urusan Bu Siong dengan lunak, melainkan menjatuhi hukuman kepada bekas perwira keamanan itu. Jaksa tinggi Chen memang jujur dan adil, akan tetapi dia berhutang budi kepada Cai-Taijin karena pembesar inilah yang berjasa sehingga dia menduduki jabatannya yang sekarang. Maka, begitu menerima surat dari Cai-Taijin, dia tidak berdaya.

Tiada yang dapat dilakukan lagi kecuali memenuhi permintaan penolongnya itu. Biarpun hatinya merasa kecewa, namun terpaksa pada keesokan harinya, dia menyatakan bahwa Bu Siong sudah jelas kesalahannya sebagai pembunuh orang yang tak berdosa, Karena itu dia memutuskan agar Bu Siong dihukum berat, bukan hukuman mati melainkan hukum cambuk empat puluh kali di punggungnya, dicap, kemudian dibuang di front depan, dua ribu mil jauhnya. Bu Siong terpaksa menerima hukuman itu walaupuh dengan hati penasaran Setelah dicambuk empat puluh kali, mukanya dicap dengan beberapa huruf peringatan bahwa dia seorang pembunuh berbahaya. Setelah itu, di bawah pengawasan dan pengawalan ketat, Bu Siong harus menjalani hukuman di tempat jauh itu. Akan tetapi dia diperbolehkan membereskan urusan rumah tangganya dikota Ceng-Ho-Sian sebelum berangkat. Bu Siong memberikan semua harta miliknya yang berada di rumah tempat tinggalnya kepada keponakannya, Bu Ying dengan menunjuk seorang sahabat Kakaknya yang boleh dipercaya. Sisa uangnya dia berikan kepada dua orang pengawal yang akan membawanya ke tempat hukuman, sebagai biaya dalam perjalanan mereka yang jauh itu. Banyak orang merasa kasihan kepada pembunuh harimau yang gagah perkasa ini. Mereka menyerahkan sumbangan berupa uang, bahan makanan dan arak sebagai bekal perjalanan pendekar yang bernasib malang itu. Akhirnya, berangkatlah Bu Siong, dikawal dua orang perajurit, meninggalkan Ceng-Ho-Sian, menuju ke tempat pembuangannya, jauh di utara, di dekat Tembok Besar!

Kepergian Bu Siong yang menjalani hukumannya merupakan suatu hal yang amat membahagiakan hati Shi Men. Dia merasa seolah-olah ada batu besar yang tadinya menghimpit hatinya kini disingkirkan. Saking gembiranya, Shi Men mengadakan pesta besar di rumahnya. Pondok Teratai Air yang berada di belakang rumah, di dalam tamannya yang luas, dihias dengan indah dan dibersihkan. Tirai-tirai sutera baru beraneka warna bergantungan mendatangkan suasana meriah dan gembira. Serombongan pemusik, penari dan penyanyi didatangkan untuk memeriahkan pesta itu. Seluruh isteri dan penghuni rumah tangga keluarga Shi itu hadir dengan pakaian mereka yang terindah dan terbaru. Semua orang bergembira ria. Selagi mereka makan minum, berpesta gembira, Siauw Thai si kacung itu mengirimkan dua orang anak-anak manis, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, memasuki tempat pesta... Mereka masing-masing membawa sebuah bungkusan.

“Kami diutus keluarga majikan Hua untuk mengirimkan bunga-bunga yang dipersembahkan kepada para nyonya yang terhormat.” Dua orang Anak itu memberi hormat dan menyerahkan bungkusan yang besar. Sebuah bungkusan berisi kue besar yang nampak indah dan lezat, kue pesta seperti yang biasa dimakan di dalam Istana dan berharga mahal, Bungkusan ke dua berisi bunga-bunga mawar yang amat segar dan indah, agaknya baru saja dipetik dan seperti juga kue besar itu, tentu mahal harganya. Goat Toanio menjadi gembira sekali menerima kiriman ini.

“Aihh, majikan kalian sungguh merepotkan diri untuk kami, kata Goat Toanio dan ia menyuruh pelayan mengambil manis-manisan untuk disuguhkan kepada dua remaja itu. la juga menghadiahkan sehelai saputangan sutera untuk anak perempuan itu, dan seratus uang tembaga kepada anak laki-laki. Setelah menanyakan nama mereka sebagai tanda keramahan, Goat Toanio lalu menyuruh mereka pulang.

“Sampaikan hormat dan terima kasihku kepada nyonya kalian,” kata Goat Toanio. Kepada suaminya, Goat Toanio berkata setelah anak-anak itu pergi.

“Nyonya Hua sungguh terlalu baik hati. la telah seringkali mengirim tanda-tanda penghormatan kepada kita. Sungguh menyesal bahwa aku belum. dapat membalasnya”

“Sahabatku Hua mengawininya hampir dua tahun yang lalu,” Shi Men memberi tahu isteri pertamanya itu.

“Dia selalu memuji perangai isterinya yang baik. Dan ternyata memang pantas nyonya Itu dipuji. Kalau tidak baik, tidak mungkin mau memasukkan dua orang pelayan yang demikian muda yang elok ke dalam rumah tangganya.” “Aku hanya pernah bertemu sekali dengannya, pada penguburan pembesar Thaikam (orang kebiri) Hua yang tua itu Kalau aku tidak salah ingat, la agak pendek, wajahnya agak bulat cantik alisnya indah bentuknya. Agaknya ia berusia paling banyak dua puluh lima tahun.”

“Tahukah engkau, la tadinya menjadi selir dari Kepala Sekretaris Istana yang bernama Liang dari Ta- Beng-Hok. Ia membawa kekayaan yang cukup besar ketika menikah dengan Hua.”

“Ah, kita harus membalas kebaikannya pada kesempatan mendatang.” Suami isteri itu bercakap-cakap membicarakan tetangga mereka yang mendatangkan kesan baik dengan pengiriman-pengiriman kecil itu. Nyonya Hua yang menjadi bahan percakapan Shi Men dan Goat Toanio itu sebenarnya bernama Li Peng Nio. la menjadi selir Kepala Sekretaris Istana Liang mantu Jenderal Cai dari Ibu kota sebelah timur. Isteri Liang amat pencemburu sudah banyaklah pelayan den selir muda yang cantik diam-diam disuruhnya bunuh dan dikubur di sudut taman yang sepi. Maka, ketika Li Peng Nio menjadi selirnya, Liang menyembunyikan selir tercinta ini di sebuah pondok indah, dikawal seorang pelayan yang dapat dipercaya.

Pada waktu terjadi peristiwa yang menggemparkan itu, yaitu ketika Pembesar Liang bersama seluruh keluarganya dibunuh pada suatu malam. Li Perg Nio dan pelayannya dapat menyelamatkan diri karena ia tinggal di luar. la melarikan diri dan berhasil membawa banyak perhiasan yang amat mahal harganya. Beberapa lama kemudian, atas kebaikan pembesar Thaikam Hua, ia dijadikan isteri pertama keponakan pembesar itu, yaitu Hua Ce Shu. Setelah pembesar kebiri Hua itu pensiun dan kembali ke kampung halamannya, yaitu Ceng-Ho-Sian, mengajak keponakan dan isterinya itu dan setelah pembesar yang sudah tua ini meninggal dunia, seluruh harta kekayaannya diwariskan kepada keponakannya. Seperti kita ketahui, Hua Ce Shu adalah seorang di antara sembilan laki-laki pengejar kesenangan yang dikepalai oleh Shi Men itu.

Karena Hua Ce Shu kaya raya maka dia mendapatkan tempat terhormat di dalem kelompok ini. Setelah pesta di antara keluarganya selesai, dalam keadaan setengah mabuk Shi Men malam itu terhuyung mengunjungi kamar Kim Lian. Dengan gembira Kim Lian menyambut suaminya dan siap melayaninya sebaik mungkin. Akan tetapi, dalam keadaan setengah mabuk itu, Shi Men kurang bersemangat walaupun Kim Lian sudah berusaha membuat dirinya semenarik mungkin. Shi Men membuka kelambu dan, memanggil Cun Bwe, pelayan Kim Lian yang masih gadis berusia lima belas tahun itu. Ketika Cun Bwe memasuki kamar membawa cangkir berisi teh yang diminta Shi Men dalam teriakannya tadi, Kim Lian cepat menutupkan kelambu tempat tidurnya. Shi Men tersenyum,

“Kenapa engkau malu-malu terhadap pelayanmu sendiri? Nyonya Peng, tetangga sebelah, sama sekali tidak ribut-ribut ketika suaminya bersenang-senang dengan seorang di antara dua pelayan perempuannya. Pelayannya yang tua sebaya dengan Cun Bwe kita ini, dan yang tadi datang membawa bunga adalah pelayannya yang ke dua. Anak-anak cantik mereka itu. Aih, si Hua itu memang beruntung, dapat memetik semua kembang dalam, tamannya sendiri tanpa di larang isterinya yang baik hati.” Kim Lian merengut, memandang kepada suaminya dengan mata lebar.

“Engkau memang mata keranjang Aku tahu maksudmu. Ketika kau bicara, pikiranmu penuh dengan Cun Bwe, bukan? Baiklah, kalau engkau menghendaki Cun Bwe, ambilah. Kenapa mesti bicara dengan berputar-putar dan mengambil tetangga sebagai contoh? Besok akan kuusahakan agar engkau dapat memenuhi hasratmu kepadanya.” Tentu saja Shi Men girang bukan main. “Isteriku yang manis, engkau sungguh bijaksana dan baik sekali untuk menyenangkan hatiku. Sungguh orang sepertimu ini patut mendapat cintaku.”

Dan diapun mendekapi Kim Lian karena membayangkan betapa pelayan remaja itu akan menjadi mangsanya pada besok pagi membuat berahi berkobar di dalam dirinya. Dan pada keesokan harinya, Kim Lian memegang janjinya. la sengaja meninggalkan tempat kediamannya itu dengan berkunjung kepada Goat Toanio sehari penuh, memberi kesempatan kepada Shi Men untuk menyenangkan diri sepuasnya dengan Cun Bwe, pelayan remaja itu. Demikianlah nasib kaum wanita di jaman itu. Menjadi budak yang tidak memiliki kekuasaan apapun atas dirinya sendiri, bahkan nyawanya berada di tangan majikannya! Apapun yang dikehendaki majikannya harus ia serahkan. Sungguh nasib wanita seperti Cun Bwe ini tidak lebih baik daripada seekor anjing atau kucing peliharaan belaka.

Mulai hari itu, Cun Bwe naik pangkat. Memang ia masih menjadi pelayan Kim Lian, namun ia tidak lagi melakukan pekerjaan berat. Pekerjaannya hanya membersihkan tempat tidur dan kamar, dan menghidangkan teh. Juga ia diberi pakaian dan perhiasan oleh Kim Lian, bahkan mengajarkannya untuk mengikat kedua kakinya agar kecil. Cun Bwe memiliki wajah manis dan cerah, suka bergembira, berbeda dari Siauw Giok yang canggung. Dengan masuknya Cun Bwe menjadi selir Shi Men, maka kini telah ada lima orang wanita cantik di dalam rumahnya, yang setiap saat Siap untuk melayani kehendak dan nafsunya. Namun, sudah puaskah hati Shi Men? Nafsu berahi, seperti nafsu lain, takkan pernah merasa puas. Makin dituruti, semakin loba dan tamaklah dia seperti akan dapat kita lihat dalam perjalanan hidup Shi Men.

Beberapa hari kemudian, tibalah giliran Hua Ce Shu untuk mengundang kawan-kawannya berpesta ria. Setelah tiba saatnya, berkumpullah sembilan orang itu dengan lengkap di rumah Hua Ce Shu. Mereka berpesta pora, digembirakan oleh dua orang gadis penyanyi yang selain memiliki kecantikan yang mempesonakan, juga mereka masih muda dengan tubuh yang menggiurkan. Suara mereka merdu, jari- jari tangan mereka yang mungil pandai memainkan siter dan ketika mereka bergiliran menari, tubuh mereka demikian lemas dan lembut bagaikan batang pohon yang-liu tertiup angin, begitu lemah gemulai dan penuh daya rangsang. Pemegang siter besar adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun yang sudah masak.

Sedangkan kawannya yang memegang siter kecil, adalah gadis remaja berusia lima belas tahun yang bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar, Kepada gadis remaja Inilah Shi Men mencurahkan perhatiannya dengan hati amat tertarik, bagaikan seekor srigala kelaparan melihat seekor domba muda yang berdaging empuk dan segar. Setelah memperlihatkan keahliannya bermain siter, bernyanyi dan menari, dua orang gadis penyanyi itu lalu melepaskan siter mereka, bangkit berdiri dan dengan langkah- langkah gontai mereka menghampiri meja di mana sembilan orang itu duduk makan minum, dan menjura dengan hormat. Shi Men demikian terpesona sehingga dalam kegembiraannya dia memerintahkan kacungnya, A Thai yang selalu mengawalnya, untuk memberi hadiah tiga ringgit perak kepada masing-masing gadis itu.

“Siapakah dua orang gadis ini sesungguhnya?” tanyanya kepada tuan rumah. “Mereka itu pandai sekali.” Sebelum Hua sempat menjawab, Ying-Tai (Pengemis Ying) mendahului.

“Aih, apakah engkau demikian pelupa, Shi-Toako? Pemegang siter besar itu bemama Gin Nio, kekasih saudara Hua yang berada di rumah pelesir ,sedangkan pemegang siter kecil ini bukan lain adalah Bi Hwa yang sering kuceritakan kepadamu. Ia adalah keponakan dari isterimu ke dua, masa engkau tidak mengenalnya? “Ah, jadi inikah keponakan itu? Sudah tiga tahun tidak melihatnya, kiranya sekarang telah menjadi seorang remaja yang jelita dan pandai. Bi Hwa, bagaimana keadaan encimu (kakakmu) dan Ibumu?” Bi Hwa menjura dan dengan suara merdu menghaturkan terima kasih. Ketika Bi Hwa dengan sikap malu- malu dan jinak-jinak merpati, mendekat untuk mengisi lagi cawan arak Shi Men, dia berbisik,

“Bi Hwa bagaimaha kalau nanti aku, bersama, dua orang kawan, mengantarmu pulang?”

“Aih, Kongcu, harap jangan bergurau. Mana mungkin kakimu yang terhormat itu mau menginjak ambang pintu rumahku yarg hina!”

“Aku tidak bergurau.” Dan Shi Men mengeluarkan sehelai saputangan sutera yang indah dan sebungkus manisan, di berikan kepada Bi Hwa. Gadis remaja ini merasa girang sekali, menghaturkan terima kasih lagi dan berbisik.

“Kapan kita akan pergi? Lebih baik saya suruh teman saya pulang lebih dulu untuk memberitahukan agar Ibuku dapat membuat persiapan untuk menyambutmu.”

“Kita pergi setelah pesta ini bubar.” Setelah pesta bubar, Shi Men ditemani oleh Ying Po Kui dan Cia Ta, menunggang kuda mereka mengantar Bi Hwa yang duduk di dalam jolinya menuju ke perkampungan rumah-rumah pelesir di pinggir kota.

Jebakan dan perangkap yang mengerikan di dalam guha-guha yang mempesonakan menanti mangsa untuk diterkam! Seperti timbunan daging di rumah jagal di sini daging manusia diperjual-belikan martabat wanita diinjak-injak kehormatan dihargai seperti barang dagangan! Di dalam kamarnya sang mucikari tersenyum menghitung pemasukan uangnya hasil perasan darah dan peluh bunga-bunga yang menjelang layu. Rombongan itu tiba di rumah mucikari yang bernama Bibi Li. Joli yang dinaiki Bi Hwa menyambut kunjungan, tiga orang tamu terhormat itu dan mempersilakan mereka memasuki ruang tamu. Bibi Li segera keluar dan dengan susah payah berusaha menekuk punggungnya yang kaku karena encok sebagai penghormatan,

“Ya Tuhan! Angin baik apakah yang meniup datang suami yang terhormat dari saudaraku?”

“Jangan marah Kepadaku, bibi Li, akan tetapi kesibukan pekerjaan membuat aku tidak sempat berkunjung ke sini,” kata Shi Men. Tak lama kemudian tiga orang tamu itu minum arak dilayani oleh Bi Hwa yang sudah berganti pakaian lebih indah, Bersama encinya yang juga menjadi seorang gadis penghibur, di tempat itu. Mereka berdua melayani tamu-tamu itu minum sambil memainkan musik, Shi Men yang sudah bernafsu sekali, terhadap Bi Hwa berkata,

“Kaml ingin sekali mendengar nyanyian merdu dari Bi Hwa. sukalah untuk menyanyikan sebuah lagu merdu untuk kami. Bibi Li dan dua orang gadis itu tentu saja maklum bahwa sesungguhnya Shi Men telah timbul berahinya terhadap Bi Hwa, dan mereka itu tanpa berunding telah sepakat bahwa untuk menyerahkan seorang perawan semanis Bi Hwa tidak seharusnya dijual murah. maka enci Bi Hwa berkata, “Adik saya ini telah terdidik dengan hati hati sekali, seorang gadis yang merupakan simpanan dan sopan tentu tidak sembarangan saja bernyanyi untuk setiap orang.” Tentu saja Shi Men Mengerti Dia lalu mengeluarkan lima ons Perak, meletakannya diatas meja. “Sedikit perak ini untuk membeli bedak, kelak aku akan membeli pakaian sutra yang disulam benang emas untuknya.” Bi Hwa bangkit dan menerima hadiah itu dengan ucapan terima kasih, dia lalu menyerahkan perak itu kepada bibi Li untuk disimpan. Kemudian, dengan gerak dan gaya memikat, memegangi pinggiran sehelai saputangan sutera merah, iapun bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Bi Hwa hafal akan banyak lagu daerah, dan untuk Shi Men, ia menyanyikan sebuah lagu tentang seorang gadis yang merindukan kehadiran seorang pahlawan yang selalu di impikannya. Shi Men menjadi semakih tergila-gila dan segera dia mengutus A Thai untuk membeli pakaian-pakaian Indah dan barang- barang hadiah lain untuk Bi Hwa.

Juga memberi uang kepada bibi Li untuk membuat pesta untuk merayakan penyerahan diri Bi Hwa, kepadanya! Banyak uang dihamburkan untuk keperluan ini dan Shi Men mengeluarkan uang seperti orang membuang pasir saja. Apapun akan dia lakukan untuk mencapai keinginannya yaitu memiliki tubuh perawan Bi Hwa yang membuatnya begitu tergila-gila. Sampai dua minggu lamanya Shi Men tidak pernah meninggalkan rumah pelesir itu, memuaskan dirinya bersama Bi Hwa yang menjadi kekasih barunya. Berulang kali Goat Toanio mengirim utusan untuk memanggilnya pulang, namun Bi Hwa, dibantu bibi Li, berhasil menahannya, bahkan bibi Li tidak ragu-ragu untuk menyembunyikan pakaian Shi Men agar orang itu tidak dapat pulang. tentu saja semua isteri yang berada di rumah menjadi gelisah, juga merasa penasaran dan malu. Terutama sekali Kim Lian.

la adalah seorang wanita yang masih muda dan berdarah panas. Ditinggal pria yang dicintainya, yang dibutuhkannya selama belasan hari, hampir ia tidak tahan lagi. Bukan hanya marah dan gelisah, akan tetapi juga tersiksa sekali oleh rindu, haus akan belaian dan kasih sayang. Hampir setiap malam ia keluar ke taman dan termenung sambil berjalan-jalan, membayangkan saat-saat bahagia penuh romantika bersama Shi Men. Karena hari ulang tahun Shi Men sudah dekat, Goat Toanio mengutus A Thai untuk minta kepada Shi Men agar mau pulang dulu. Kesempatan ini di pergunakan oleh Kim Lian untuk mengirim sebuah pesan tertulis kepada Shi Men dan memesan kepada A Thai agar menyerahkan kain sutera berisi tulisannya itu kepada Shi Men sendiri. Shi Men sedang minum arak ditemani oleh beberapa orang kawannya sambil memangku Bi Hwa ketika A Thai muncul.

“Mau apa kau datang ke sini? Apakah terjadi sesuatu di rumah?” tanya Shi Men kepada kacungnya itu.

“Tidak ada sesuatu, hanya saya diutus oleh Toanio untuk melihat keadaan Kongcu dan minta agar Kongcu suka pulang dulu sebentar. Dan saya membawa surat dari Nyonya ke lima untuk Kongcu !”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar