Si Tangan Halilintar Jilid 21

Jilid 21

"Aku tidak peduli ! Yang jelas, Siuaw Beng ini tidak bersalah dan aku akan membelanya terhadap tuduhan siapapun juga!”.

"Nanti dulu, Ai Yin, biarkan aku yang mengambil keputusan", kata Siauw Beng lalu dia menghadapi tujuh orang itu. "Lo-cian-pwe, aku siap untuk dihadapkan di pengadilan manapun karena memang aku sama sekali tidak pernah melakukan semua kejahatan yang dituduhkan tadi. Aku tidak takut menghadapi fitnah ini”.

"Bagus, kalau begitu tugas kami menjadi ringan dan kami tidak harus mempergunakan kekerasan!” kata si jenggot panjang.

"Tidak …..!” Dengan suara melengking Ai Yin melompat ke depan Siauw Beng seolah hendak melindunginya.

"Ai Yin ……!”

Gadis itu membalik dan menghadapi Siauw Beng. Matanya mengkilat mukanya merah karena marah. "Siauw Beng, jangan bodoh! Semua yang dituduhkan padamu itu hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin hanya fitnah yang disebarkan orang-orang yang tidak suka kepadamu. Kedua, mungkin saja ada orang yang menyamar sebagai engkau dan melakukan semua kejahatan itu semata-mata untuk merusak namamu agar engkau dimusuhi semua orang! Kalau engkau menyerah, berarti engkau menyerahkan nyawa karena orang-orang yang sudah termakan fitnah seperti tujuh orang tua bodoh itu pasti akan membunuhmu. Sebaiknya kita menyelidiki sendiri siapa yang menyebar fitnah ini dan menangkap pelakunya untuk membersihkan namamu!”.

Mendengar ucapan Ai Yin yang keras ini Siauw Beng tertegun. Benar juga, pikirnya, dan ia mengangguk.

"Kurasa engkau benar, Ai Yin”. Lalu dia menghadapi tujuh orang itu. "Jit-wi Lo-cian-pwe, maafkan aku. Aku akan pergi sendiri melakukan penyelidikan dan aku akan menyerat orang yang menyebar fitnah itu ke hadapan Lo-cian-pwe!”

"Si Tangan Halilintar! Seperti yang kami katakan tadi, engkau harus ikut kepada kami untuk menghadap pengadilan. Kami tidak dapat melepas engkau begitu saja setelah engkau memperkosa dan membunuh seorang murid wanita kami! Menyerahlah, atau terpaksa kami akan menyerangmu!”

"Seranglah kalau kalian berani, kalian orang-orang tua yang mengaku pendekar akan tetapi bodoh dan ngawur!” Ai Yin berdiri menghalang seolah hendak melindungi Siauw Beng.

Tujuh orang itu mencabut pedang mereka dan dengan muka membayangkan kemarahan mereka mengepung. Ai Yin juga marah dan ia mencabut Liong-cu-kiam, melintangkan pedang itu depan dada dan siap melawan Kang-lam Jit-hiap!.

Siauw Beng memperhatikan gerakan tujuh orang yang mengepung itu dan diam-diam terkejut. Mereka itu membentuk kiam-tin (barisan pedang) dan melihat kedudukan mereka, tujuh orang pendekar pedang itu membentuk Jit-seng Kiam-tin (Barisan Pedang Tujuh Bintang)!. Agaknya Ai Yin, yang menjadi puteri tunggal Si Pedang Sakti Tanpa Tanding, juga mengenal barisan pedang yang tangguh itu, maka sambil berteriak melengking ia sudah mendahului mereka dan menerjang sambil berseru, "Lihat pedang!”.

Sinar pedang bergulung-gulung menyambar kearah tujuh orang itu. Tujuh orang itu terkejut sekali. Mereka maklum bahwa puteri Bu-tek Sin-kiam, biarpun masih begitu muda, tentu memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat, maka mereka membentuk barisan bintang dan mereka bergerak secara sambung menyambung dan saling melindungi. Ke manapun sinar pedang Ai Yin menyambar, selalu pedangnya bertemu dengan tangkisan-tangkisan tujuh buah pedang. Memang tujuh orang itu merasa betapa tangan mereka yang memegang gagang pedang tergetar hebat, akan tetapi bagaimanapun juga, sebatang pedang Ai Yin tentu saja kewalahan menghadapi pengeroyokan tujuh pedang lawan.

Tiba-tiba Siauw Beng menangkap lengan kiri Ai Yin dan menarik gadis itu untuk melarikan diri. "Ai Yin, kita pergi!” katanya sambil menerjang ke kiri. Dua orang yang berada di kiri cepat menggerakkan pedang mereka untuk mencegah larinya Siauw Beng akan tetapi dua kali kaki kiri Siauw Beng menyambar dan dua orang itu terpelanting roboh.

Kesempatan itu dipergunakan Siauw Beng untuk menarik Ai Yin lari dengan cepat meninggalkan para pengeroyok itu. Setelah berlari jauh dan tidak dapat di kejar Kang-lam Jit-hiap, Ai Yin meronta, melepaskan lengan kirinya yang dipegang tangan kanan Siauw Beng.

"Eh, Siauw Beng! Engkau ini bagaimana sih? Aku membelamu dari mereka, malah engkau memaksa dan mengajak aku lari ! Memalukan benar ! Kau kira aku takut melawan Jit-seng Kiam-tin mereka?”.

"Bukan begitu, Ai Yin. Aku bahkan yakin engkau akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi kalu kita kesalahan tangan melukai atau membunuh mereka, namaku menjadi semakin terkenal sebagai seorang penjahat yang memusuhi para pendekar!”.

"Akan tetapi mereka keras kepala, hendak menangkapmu!”.

"Untuk itu, mereka tidak dapat disalahkan, Ai Yin. Coba bayangkan, andaikata kita yang mengalami hal seperti itu, anaknya diperkosa lalu di bunuh orang, bagaimana rasanya? Tentu saja mereka menjadi mata gelap, pikirannya tidak begitu jernih lagi, adanya hanya luapan nafsu amarah dan dendam. Apalagi tanda-tandanya sudah begitu jelas ! Penjahat itu lengan kirinya buntung dan berjuluk Si Tangan Halilintar ! Keadaan dan julukan penjahat itu sama benar denganku, maka dapat dimaafkan kalau mereka menjadi marah sekali, setiap bantahan dan alasan kita dianggap bohong”.

Ai Yin mengangguk-angguk. "Setelah aku mendengar omonganmu, memang benar demikian, Siauw Beng. Mata mereka di butakan nafsu amarah, pikiran mereka di gelapkan dendam sakit hati. Akan tetapi yang terkutuk adalah penjahat itu. Bukan saja dia kejam dan jahat dengan pembunuhan-pembunuhan dan perkosaan-perkosaan itu, akan tetapi dia juga licik dan curang sekali menggunakan namamu sehingga engkau yang makan getahnya”.

Mendengar suara gadis itu penuh gelora amarah Siauw Beng berkata.

"Tenangkan hatimu dan usir kemarahan itu, Ai Yin. Dengan pikiran jernih dan hati tenang, kita dapat berpikir lebih terang. Mendengar pengakuan Kang-lam Jit-hiap tadi bahwa seorang murid perempuan mereka di perkosa dan dibunuh penjahat itu, maka jelas bahwa ini bukan sekedar fitnah bohong. Jelas memang ada orang yang menyamar sebagai aku dan melakukan semua kejahatan itu, tentu dengan maksud agar aku yang menjadi bulan- bulan kemarahan orang. Hal ini mengingatkan aku akan pengalamanku dahulu ketika aku di musuhi Ciong-yang Ngo-taihiap dan ayah angkatku sendiri, Ma Giok. Akan tetapi hal itu terjadi karena salah paham. Mereka mengira aku menjadi pengkhianat dengan membela Puteri Mancu yang mereka sangka mengerahkan pasukan membunuh kakak beradik Song yang menjadi orang pertama dan kedua dari Lima Pendekar Besar itu. Akan tetapi sekarang jelas ada orang yang agaknya teramat membenci aku dan dengan caranya yang licik itu dia hendak mencelakai aku”.

"Tapi dia juga berlengan kiri buntung. Apakah engkau tahu, siapa orang yang buntung lengan kirinya dan membencimu, Siauw Beng?”.

Siauw Beng menggeleng kepalanya. "Bahkan seorang yang berlengan kirinya buntung saja belum pernah aku melihatnya, apalagi yang mengenal dan membenciku”.

Siauw Beng, apakah ada orang yang membencimu, amat membencimu?” Tanya Ai Yin pula, alisnya berkerut dan matanya memandang tajam seperti seorang penyelidik kelas berat sedang menyelidiki sebuah kasus rumit!.

"Entahlah, mungkin saja banyak sekali walaupun, puji sukur kepada Thian, aku sendiri tidak mempunyai perasaan benci kepada siapapun”.

"Siauw Beng, jalan satu-satunya adalah menyelidiki tentang penjahat itu. Kita mencari berita tentang dirinya dan dimana ada berita penjahat itu beraksi, kita harus cepat mengejar ke sana”.

Demikianlah, Siauw Beng dan Ai Yin mulai mendengar-dengarkan dan mencari berita tentang sepak terjang penjahat yang memakai nama Si Tangan Halilintar yang buntung lengan kirinya itu. Akan tetapi sejak bertemu dengan Jit-hiap (Tujuh Pendekar) Siauw Beng terpaksa harus menyembunyikan diri dari orang banyak. Apalagi dia pernah dikejar dan di serang pasukan Pemerintah Mancu, dan sekali lagi oleh serombongan pendekar. Si Tangan Hlilintar berlengan kiri buntung yang membunuhi banyak orang, baik orang itu pembesar Mancu ataukah pendekar. Juga dimana-mana dia melakukan perkosaan dan pembunuhan terhadap wanita!.

Yang terkadang hampir tak dapat menahan rasa penasaran dan kemarahannya adalah Ai Yin. Ketika mereka berdua mendengar bahwa Si Tangan Halilintar itu melakukan perkosaan dan pembunuhan di sebuah dusun, mereka cepat masuk dusun itu. Akan tetapi begitu orang melihat Siauw Beng, mereka berduyun-duyun datang dengan segala macam senjata di tangan, di pimpin oleh kepala dusun dan beberapa orang yang tampaknya ahli silat!.

"Bunuh Si Tangan Halilintar ! Bunuh si lengan buntung!” Demikian mereka berteriak-teriak dan hendak menyerbu.

"Tahaaannnn ……….!” Tiba-tiba Ai Yin berteriak melengking, mengejutkan semua orang yang menahan langkahnya dan memandang gadis yang sudah melayang naik ke atas sebuah atap rumah bersama seorang pemuda berlengan kiri buntung yang mereka yakini sebagai penjahat yang sedang tersohor itu, yang semalam memperkosa dan membunuh seorang gadis dusun itu.

"Kalian semua dengarlah baik-baik!. Penjahat yang melakukan pembunuhan dan perkosaan, yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar itu adalah palsu ! Si Tangan Halilintar yang asli adalah pendekar ini, seorang pendekar bernama Lauw Beng yang    tidak    pernah    melakukan    kejahatan    bahkan    selalu     menentang kejahatan ! Aku, Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam, menjadi saksinya ! Aku selalu bersamanya dan tidak pernah melihat dia melakukan kejahatan. Penjahat itu adalah Si Tangan Halilintar palsu!. Akan tetapi, dengan suara penuh gemuruh penduduk itu menyatakan tidak percaya dan mereka lalu memungut batu dan menyambitkan batu-batu itu kea rah Siauw Beng dan Ai Yin !

Ai Yin jengkel sekali dan membanting kakinya, tidak ingat bahwa ia berdiri di atas genteng sehingga ada genteng yang remuk.

"Menyebalkan! Monyet-monyet bodoh itu!”.

Siauw Beng yang juga repot menangkis batu-batu itu seperti halnya Ai Yin berkata, "Percuma saja, Ai Yin. Hayo pergi dari sini!”. Dia menggandeng tangan gadis itu dan mereka melayang turun ke belakang rumah itu dan melarikan diri. Sambil berteriak-teriak penduduk mengejar dan berteriak-teriak penduduk mengejar dan mencari mereka, akan tetapi dua orang muda itu telah pergi jauh.

Setelah tiba di tempat yang jauh dari dusun itu, Ai Yin berhenti dan ia membanting-banting kaki kanannya saking jengkel. "Sialan dangkalan ! Masa kita dilempari batu dan di kejar- kejar seperti anjing!”.

"Sudahlah, Ai Yin. Bukan kesalahan mereka. Kita harus mencari penjahat itu dan mulai sekarang aku tidak akan memperlihatkan diri kepada umum sebelum penjahat itu tertangkap”.

Mereka melanjutkan perjalanan, tetap mengikuti jejak si penjahat yang berpindah-pindah dan meninggalkan jejaknya berupa pembunuhan dan perkosaan.

******

Ketika pada suatu siang Siauw Beng dan Ai Yin tiba diluar sebuah hutan, tiba-tiba bermunculan orang-orang berpakaian sebagai pendekar. Ada belasan orang jumlahnya dan dari lain jurusan muncul pula sekitar dua puluh orang pasukan pemerintah Ceng, dipimpin seorang perwira Mancu yang tinggi besar!.

"Bunuh penjahat Si Tangan Halilintar!” "Tangkap pemberontak!”

Siauw Beng dan Ai Yin terkejut sekali. Setiap kali mengejar jejak yang ditinggalkan penjahat itu, selalu saja mereka di hadang orang-orang kang-ouw atau pasukan pemerintah, seakan-akan gerakan mereka telah diketahui orang! Mereka tidak tahu bahwa memang pasukan dan para orang kang-ouw itu mendapatkan berita entah dari siapa datangnya, akan adanya Si Tangan Halilintar di suatu tempat dan ketika mereka mendatangi tempat itu, benar saja mereka bertemu Siauw Beng dan Ai Yin. Tanpa banyak cakap lagi, puluhan orang yang berteriak-teriak itu sudah menyerbu dan menyerang Siauw Beng. Siauw Beng merasa percuma saja kalau dia membela diri menyangkal. Orang– orang itu tidak mau mendengarkan dan mereka semua itu sudah yakin bahwa dialah penjahat Si Tangan Halilintar itu! Ai Yin yang membela Siauw Beng tentu saja juga ikut dikeroyok.

Siauw Beng dan Ai Yin merobohkan para pengeroyok terdekat dengan tamparan atau tendangan. Mereka mencabut pedang, akan tetapi pedang itu hanya untuk menangkis saja. Mereka merobohkan pengeroyok akan tetapi tidak mau melukai dengan senjata tajam.

"Ai Yin, lari …..!” ketika mendapat kesempatan, Siauw Beng mengajak gadis itu meloloskan diri dari kepungan dan lari. Akan tetapi, baru berlari belasan langkah, tiba-tiba mereka di hadang tiga orang. Ketika melihat bahwa satu di antara tiga orang itu adalah Can Ok, Ai Yin marah sekali. "Can-susiok (paman guru Can), berani engkau hendak menyerang aku?”. Can Ok berkata kepada seorang laki-laki Mongol yang bertubuh tinggi kurus. "Tangkap nona ini!”.

Kemudian Can Ok dan orang Mongol kedua yang bertubuh besar pendek menerjang Siauw Beng. Can Ok sudah mencabut sepasang pedangnya, sedangkan orang Mongol pendek besar itu menyerang Siauw Beng dengan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah rantai baja yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya. Rantai itu tebal dan berat, menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

"Tranggg ……!” Ketika pedang Lui-kong Sin-kiam yang tipis di tangan Siauw Beng bertemu dengan ujung rantai, bunga api berpijar dan Siauw Beng terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga sakti Orang Mongol itu kuat sekali, jauh lebih kuat daripada tenaga sakti Can Ok. Siauw Beng menghadapi pengeroyokan dua orang ini dengan memutar pedangnya sehingga tampak sinar pedang bergulung-gulung dengan dahsyatnya, membuat Can Ok dan orang Mongol itu melangkah mundur dengan kaget. Akan tetapi, para orang kangouw yang tadi di tinggal lari, sudah mengejar dan merekapun ikut mengeroyok sehingga Siauw Beng dikeroyok banyak sekali orang.

Demikian pula dengan Ai Yin. Orang Mongol tinggi kurus itu juga menyerangnya dengan senjata rantai baja yang panjang. Namun, dengan Liong-cu-kiam, pedang pusaka yang ampuh itu, Ai Yin dapat melindungi dirinya dengan baik. Ia bukan hanya dapat menangkis, akan tetapi juga dapat membalas dengan serangan pedang yang tidak kalah dahsyatnya. Akan tetapi segera pengeroyok yang amat banyak jumlahnya membuat Ai Yin terkepung rapat dan kewalahan sekali. Untung bahwa para pengeroyok itu tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hanya ingin menangkapnya tidak seperti pengeroyokan mereka terhadap Siauw Beng yang merupakan serangan maut.

Betapa pun lihainya, menghadapi pengeroyokan belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, setelah merobohkan empat orang pengeroyok akhirnya rantai baja yang panjang di tangan orang Mongol itu digerakkan sedemikian rupa sehingga melibat     tubuh     termasuk     kedua     lengan      Ai      Yin      dan      sebuah tendangan seorang pengeroyok dari belakang mengenai belakang lututnya membuat ia roboh terpelanting. Sebelum ia dapat menguasai dirinya, orang Mongol itu telah menubruk dan menotoknya sehingga tubuhnya menjadi lemas tak mampu meronta. Di lain saat orang Mongol yang tinggi kurus itu sudah memanggul tubuhnya dan membawanya lari dari situ.

Para orang kangouw yang tadi ikut mengeroyok Ai Yin tidak menghalangi dan tidak perduli melihat gadis itu dilarikan orang Mongol dan mereka kini mencurahkan perhatian mereka kepada Siauw Beng, lalu beramai-ramai ikut mengeroyok. Memang penjahat pembunuh dan pemerkosa itulah yang menjadi sasaran mereka.

Repot juga Siauw Beng menghadapi pengeroyokan puluhan orang itu. Apalagi di situ ada Can Ok dan terutama orang Mongol gemuk pendek yang amat lihai itu. Tidak ada kesempatan lagi untuk mengajak Ai Yin melarikan diri. Maka diapun mengamuk dan merobohkan sebanyak mungkin pengeroyok, tentu saja membatasi tenaganya sehingga tidak ada yang tewas. Ketika ia melihat Ai Yin roboh dan dibawa pergi orang Mongol tinggi kurus, dia terkejut dan hendak mengejar dan menolong Ai Yin. Akan tetapi, orang Mongol gemuk pendek dan Can Ok menghalanginya. Can Ok menggerakkan sepasang pedangnya.

"Trangg-tranggg ….!” Can Ok terkejut sekali karena sepasang pedangnya itu sudah terpental lepas dari pegangan tangannya. Pada saat itu, secepat kilat rantai baja di tangan orang Mongol pendek gemuk menyambar dan melibat pinggang Siauw Beng. Orang Mongol itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot agar tubuh Siauw Beng terguling roboh. Akan tetapi Siauw Beng mempertahankan dan tiba-tiba, pedang Siauw Beng berkelebat.

"Cringgg ….!” Rantai itu telah terbabat putus dank arena orang Mongol itu membetot sekuat tenaga, begitu rantai itu putus, rantai itu terbetot dan menghantam muka pemiliknya.

"Syuuttt …. Praakkkk!” Orang Mongol pendek gemuk itu roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Melihat ini, Can Ok melompat ke belakang. Siauw Beng berloncatan dan merobohkan setiap orang yang berani menghalanginya.

Akhirnya dia berhasil keluar dari kepungan dan melakukan pengejaran ke dalam hutan karena tadi dia melihat orang Mongol tinggi kurus itu membawa lari Ai Yin ke dalam hutan. Akan tetapi hutan itu lebat sekali dan Siauw Beng kehilangan jejak. Dia mencari-cari dengan hati gelisah. Satu hal menghiburnya. Gadis itu di culik dan tidak dibunuh, maka besar harapan Ai Yin tidak akan mati. Pula, ayah gadis itu adalah Bu-tek Sin-kiam, tokoh yang amat terkenal di dunia kangouw, maka kalau orang hendak mengganggu atau membunuhnya, harus berpikir dulu seratus kali ! Betapa pun juga, hatinya gelisah dan Siauw Beng melanjutkan pencariannya.

Bagaimana Can Ok dapat muncul di situ bersama dua orang jagoan Mongol yang lihai? Seperti kita ketahui, Can Ok mengadakan persekutuan dengan Cun Song, yaitu nama baru yang digunakan Song Cun. Setelah bersepakat, Can Ok lalu pergi mencari Galdan, Pangeran Mongol yang memimpin bangsa Mongol yang sudah lama runtuh. Tentu saja Galdan menyambut baik uluran tangan Can Ok yang menjanjikan bahwa dia dapat mengumpulkan banyak pejuang bangsa pribumi Han untuk bersama pasukan Mongol meruntuhkan Kerajaan Ceng, bersekutu pula dengan Pangeran Dorbai yang juga ingin merebut tahta Kerajaan.

Can Ok diterima baik dan Pangeran Galdan lalu membuat surat untuk Pangeran Dorbai, mengutus dua orang jagoannya yang paling lihai untuk pergi ke kota raja Ceng bersama Can Ok dan mewakili dia mengadakan perundingan dengan Pangeran Dorbai sambil menyerahkan suratnya.

Demikianlah, ketika tiba di tempat itu, Can Ok melihat Siauw Beng dan Ai Yin dikeroyok pasukan dan belasan orang kangouw. Karena dia amat membenci Siauw Beng maka dia lalu minta kepada dua orang jagoan Mongol itu untuk membantu mereka yang mengeroyok Siauw Beng dan Ai Yin.

Ketika Siauw Beng dapat meloloskan diri dari kepungan dan lari menghilang, Can Ok juga cepat mengejar ke arah larinya jagoan Mongol yang tinggi kurus dan yang menculik Ai Yin tadi. Dia mengenal Kabilai, jagoan tinggi kurus itu, sebagai seorang yang mata keranjang. Bagaimanapun juga, dia tidak rela kalau sampai Ai Yin, puteri suhengnya (kakak seperguruan) itu dinodai Kabilai, maka dia mengejar. Akan tetapi, seperti halnya Siauw Beng, dia kehilangan jejak orang Mongol itu dan akhirnya dia terpaksa melanjtukan perjalanannya seorang diri ke kota raja untuk menemui Pangeran Dorbai dan menyampaikan pesan Pangeran Galdan, apalagi surat dari Galdan memang ada padanya.

****

Setelah beberapa lamanya Ai Yin di panggul dan dilarikan Kabilai, jagoan Mongol itu, pengaruh totokan mulai melemah. Akhirnya gadis itu dapat menggerakkan tubuhnya. Sedikit gerakan ini terasa oleh Kabilai. Dengan kaget dia lalu melepaskan tubuh Ai Yin ke atas tanah karena gadis itu menyerangnya selagi berada di atas pundaknya, hal itu dapat membahayakan nyawanya. Ai Yin terbanting jatuh, akan tetapi hal ini menguntungkannya karena mempercepat pulihnya jalan darahnya. Cepat ia bergulingan untuk menjauhkan diri agar tidak mudah disergap orang Mongol itu sedangkan tenaganya belum pulih benar. Kemudian ia melompat bangkit dan ia melihat pula pedangnya, Liong-cu-kiam, terselip di pinggang orang itu. Bukan main marahnya Wong Ai Yin. Sebagai seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, walaupun pedangnya sudah dirampas lawan, ia tidak merasa gentar.

"He-he, manis! Engkau sudah dapat bergerak? Bagus sekali! Aku tidak suka mendapatkan seorang kekasih yang tidak mampu bergerak seperti mayat. Mari, marilah, manis, kita bersenang-senang!” kata Kabilai dengan bahasa campuran Han dan Mongol namun cukup dapat dimengerti oleh Ai Yin.

"Jahanam busuk ! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan! Aku adalah puteri Bu-tek Sin-kiam dan aku pantang menyerah! Bersiaplah untuk mampus ditanganku, orang Mongol busuk!”.

Akan tetapi Kabilai belum pernah mendengar nama Bu-tek Sin-kiam, maka tentu saja nama itu tidak ada artinya baginya. Dia tertawa semakin keras. Dia tahu bahwa gadis ini lihai sekali. Akan tetapi kini dia yakin akan dapat mengalahkannya dengan tidak terlalu sukar.

Sambil menyerengai Kabilai menghampiri Ai Yin dan kedua lengannya yang kurus panjang dengan otot melingkar-lingkar itu dikembangkan seperti orang hendak menangkap seekor ayam!.

Ai Yin tadi sudah merasakan kelihaian orang ini, maka ia berhati-hati. ia berdiri dengan sikap siap menghadapi serangan, tak bergerak namun seluruh urat syarafnya menegang, menanti datangnya serangan karena pada saat lawan menyerang itulah ia berkesempatan untuk membalas serangan secara langsung.

"Mari, mari manis, mari datang kepadaku ….!” Kabilai meloncat ke depan, menubruk seperti seekor harimau, kedua lengannya yang panjang itu menyambar dari kanan kiri.

"Wuuuttt …. Wirrr …. Desss!” dengan lincah sekali Ai Yin mengelak, menyusup dibawah lengan kanan lawan, kemudian setelah tiba dibelakang tubuh Kabilai, ia membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat yang mengenai pinggul orang Mongol itu. Kabilai menggereng dan membalik, tangannya menyambar untuk menangkap gadis itu. Namun Ai Yin sudah melompat ke belakang dan ia merasa penasaran sekali karena tendangannya tadi seolah tidak terasa oleh Kabilai yang ternyata melindungi tubuhnya dengan kekebalan. Biarpun tidak terluka oleh tendangan itu, namun Kabilai mulai merasa penasaran. Kini mulailah dia menyerang dengan pukulan, tendangan dan cengkraman, terutama sekali sambaran tangan itu untuk mencengkram karena dia menggunakan ilmu gulat yang merupakan ilmu berkelahi yang popular dan menjadi andalan rakyat Mongol. Ai Yin mengimbangi cengkraman-cengkraman itu dengan kelincahan tubuhnya mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan tamparan dan tendangan kilat. Beberapa kali tendangan atau tamparannya mengenai sasaran, akan tetapi semua itu seolah tidak dirasakan oleh orang Mongol itu.

Karena semua cengkramannya tidak pernah berhasil, Kabilai mulai marah. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang, lalu melolos senjatanya, yaitu rantai baja yang panjang itu. Mulailah dia memutar-mutar senjata itu diatas kepalanya sambil berkata.

"Nah, sekarang jawab! Engkau mau menyerah baik-baik atau ingin mampus dan pecah kepalamu oleh rantai ini?”.

Dengan gagah Ai Yin berseru, "Lebih baik mati daripada menyerah kepada seekor anjing srigala macam kamu!”. Muka anjing Mongol itu menjadi merah sekali karena marah mendengar ucapan yang menghina ini. Putaran rantai baja itu semakin cepat sehingga terdengar suara bersiutan dan rantai itu berubah menjadi gulungan sinar yang lebar.

"Kalau begitu, mampuslah!” Dia mulai menyerang dan sinar senjata rantai itu menyambar- nyambar kea rah kepala Ai Yin. Gadis ini menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) untuk mengelak. Akan tetapi karena rantai itu panjang dan sambarannya cepat sekali sehingga bertubi-tubi datangnya, Ai Yin sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mendekati lawannya dan balas menyerang. Maka iapun hanya dapat berloncatan cepat kesana sini untuk menghindarkan diri dari sambaran ujung rantai yang merupakan tangan maut itu.

Mulai terpikirlah oleh Ai Yin untuk melarikan diri karena kalau pertandingan ini dilanjutkan, ia pasti akan celaka. Kalau ia memegang pedang tentu ia akan mampu mengadakan perlawanan lebih seimbanh dan bukan mustahil ia akan mampu merobohkan lawan ini. Akan tetapi agaknya Kabilai dapat menduga akan kemungkinan ini maka dia memutar rantainya lebih cepat lagi sehingga semua jalan keluar gadis itu tertutup. Untuk menyelamatkan diri, Wong Ai Yin sudah bergerak dengan ilmu silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang membuat tubuhnya berkelebatan cepat ke segala penjuru.

Tiba-tiba, ketika rantai menyambar dahsyat dan ia bergerak ke kanan, lengan kiri Kabilai memukul dan menyambut elakan tubuh Ai Yin itu. Gadis itu terkejut dan tidak mungkin mengelak lagi. Maka ia pun cepat menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.

"Plaakkk!” Kedua lengan beradu dan tiba-tiba saja jari-jari tangan kiri Kabilai yang panjang itu telah mencengkram pergelangan tangan Ai Yin. Memang telah menjadi kebiasaan keistimewaan ilmu gulat Mongol untuk mengubah pukulan menjadi cengkraman yang cepat tak terduga lawan.

Kemudian dengan gerakan ilmu gulat, sekali tekuk, lengan Ai Yin sudah dipelintir ke belakang tubuhnya dan di lain saat kedua lengan gadis itu sudah ditangkap oleh kedua tangan Kabilai sehingga ia tidak mampu bergerak lagi.

"Ha-ha-ha, engkau mau lari kemana sekarang, manis? Engkau harus menjadi milikku sekarang!” Orang yang jangkung kurus itu menunduk dan berusaha untuk mencium Ai Yin yang meronta-ronta.

Pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan sinar hitam menyambar.

"Craakkk !! Aduuuhhh …..!” Kabilai melepaskan Ai Yin dan ia terpelanting roboh, merintih- rintih dan tangan kirinya memegang pundak kanan yang terluka parah oleh bacokan pedang sehingga darahnya bercucuran. Ai Yin yang sudah terlepas dari cengkraman Kabilai, cepat mengambil sebongkah batu sebesar kepala kerbau, lalu sekali lompat ia mendekati tubuh Kabilai dan ia menghantamkan batu itu ke kepala Kabilai sekuat tenaganya.

"Prookkk …..!” Karena Kabilai sedang tersiksa rasa nyeri pada pundaknya yang terbabat pedang sampai terluka parah itu, dia tidak sempat menghindarkan diri, bahkan tidak sempat melindungi kepalanya maka pecahlah kepala itu dan diapun tewas seketika.

Ai Yin cepat mencabut pedangnya yang terselip di pinggang Kabilai lalu dengan pedang ditangan ia memutar tubuh menghadapi orang yang telah menolongnya.

Didepannya berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang hitam, seorang pemuda yang tampan gagah, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tubuhnya tegap. Pemuda itu tersenyum memandang kepadanya. Ai Yin menghampiri dan ia menyimpan pedangnya dalam sarung pedang yang masih tergantung di punggungnya, lalu memandang pemuda didepannya yang juga sudah menyimpan pedang hitamnya.

"Kalau aku boleh bertanya, siapakah engkau, Nona, dan mengapa pula engkau berkelahi dengan orang Mongol ini?” Pemuda ini bertanya dengan sikap lembut dan senyum memikat.

Ai Yin yang berterima kasih karena merasa diselamatkan dari bahaya maut dalam tangan orang Mongol yang lihai itu, berkata dengan wajah berseri. "namaku Wong Ai Yin, anak tunggal Bu-tek Sin-kiam Wong Tat. Terima kasih atas pertolonganmu tadi, sobat. Siapakah engkau?”.

Pemuda itu kembali tersenyum. "Ah, apa yang kulakukan sudah semestinya antara kita saling bantu, apalagi menghadapi seorang Mongol yang jahat? Sudah lama aku mendengar dan menganggumi nama besar lo-cian-pwe Bu-tek Sin-kiam. Sungguh beruntung hari ini dapat bertemu dengan puterinya. Nona, namaku Cun Song dan seperti juga ayahmu, aku adalah seorang pejuang yang menentang penjajah Mancu yang menguasai tanah air  kita”. Ai Yin memandang kagum kepada pemuda itu. Tentu saja ia tidak tahu nama pemuda itu sesungguhnya Song Cun. Seperti kita ketahui, Song Cun kini menggunakan nama Cun Song. Tadi ia melihat perkelahian antara Ai Yin dan seorang Mongol yang tidak dikenalnya. Ketika mendengar Ai Yin memperkenalkan diri sebagai puteri Bu-tek Sin-kiam kepada orang Mongol itu, tentu saja dia segera turun tangan membantunya. Dia sedang mengantur   rencana

bersama Can Ok untuk bersekutu dengan Pangeran Galdan dari Mongol dan Pangeran Dorbai untuk merampas tahta Kerajaan Ceng dan untuk itu dia perlu mendapat dukungan dari pendekar yang membenci Pemerintah Mancu. Bu-tek Sin-kiam terkenal sebagai seorang bekas pejuang yang gagah perkasa. Juga, pendekar ini adalah suheng dari Can Ok, maka perlu sekali ia dekati. Apalagi, gadis itu demikian cantik jelita dan lihai pula.

"Wahh, kalau begitu kita ini masih segolongan! Aku juga ingin sekali melihat penjajah Mancu pergi meninggalkan tanah air kita!”.

"Bagus, Ai Yin-moi ( adik Ai Yin), mari kita bekerja sama membasmi orang-orang Mancu!” kata Cun Song penuh semangat. "Tak jauh disebelah selatan ini terdapat sebuah dusun dan di situ tinggal sebuah keluarga Mancu. Mari kita serbu rumahnya di dusun itu dan membunuh seluruh keluarganya!”.

Ai Yin mengerutkan alisnya. "Ah, maksudku bukan seperti itu, toako (kakak). Aku tidak setuju kalau kita membunuhi setiap orang mancu. Yang kita musuhi adalah Kerajaannya, bukan orang-orangnya. Kita musuhi semua orang yang jahat, tidak peduli dia bangsa Mancu atau bangsa Han sendiri. Akan tetapi, biarpun dia Mancu, kalau baik budinya dan tidak jahat, tidak semestinya dibunuh, bahkan kalau dia di ganggu orang jahat, wajib pula kita bela”.

"Aih, sungguh aneh pendirianmu ini, Yin-moi (adik Yin)!” seru Cun Song yang membenci segala yang "berbau” Mancu. Kalau dia setuju ketika Can Ok menyatakan hendak bersekutu dengan Pangeran Dorbai, seorang bangsawan Mancu, hal itu adalah merupakan siasat. Kalau gerakan itu berhasil, kelak dia sendiri yang akan membunuh Pangeran Dorbai yang dia anggap sebagai musuh besarnya karena pangeran itu yang datang bersama pasukan dan menyerbu rumah paman dan ayahnya, beserta isteri mereka, tewas dibantai pasukan.

"Sama sekali tidak aneh, Song-ko (kakak Song). Bukankah seperti pula pendirian setiap orang pendekar? Menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan menentang kejahatan?”. "Akan tetapi seorang patriot harus membela tanah air dan menentang mereka yang menjajah tanah air kita ", kata Cun Song penasaran.

"Benar sekali, Song-ko. Ayahku dulu juga berjuang mati-matian menentang bangsa Mancu yang datang menjajah tanah air kita. Akan tetapi perang telah usai maka ayahku lebih suka mengasingkan diri, walaupun hatinya kecewa dan bersedih sekali. Kalau sekarang terjadi perang antara bangsa kita dan penjajah Mancu, percayalah, aku akan membantu bangsa kita dengan taruhan nyawa ! Itu sudah menjadi kewajiban setiap warga Negara yang baik. Perjuangan dalam perang bukan merupakan urusan pribadi lagi, jadi tidak ada permusuhan perorangan, yang ada hanya bangsa melawan bangsa. Akan tetapi sekarang tidak ada perang lagi, maka aku tidak lagi berjuang seperti juga ayah, melainkan bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang semua kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Biarpun bangsa sendiri, kalau dia jahat, akan ku tentang dan biarpun orang Mancu atau Mongol atau suku manapun juga, kalau dia baik dan benar pasti akan kubela”.

Cun Song membelalakan matanya dan mukanya berubah kemerahan. "Aih, darimanakah engkau mendapatkan pendapat seperti itu, Yin-moi?”.

"Dari ayah, dari aku sendiri dan diperkuat ketika aku bertemu dan bersahabat dengan Siauw Beng”.

Sepasang mata pemuda itu semakin terbelalak. "Siauw Beng? Siapa dia …..?”

"Namanya Lauw Beng akan tetapi biasa disebut Siauw Beng. Dia seorang pendekar besar dengan julukan Si Tangan Halilintar”.

Cun Song tampak terkejut sekali. Tentu saja ini hanya pura-pura karena dia tentu sudah tahu ketika gadis itu menyebut nama Siauw Beng tadi.

"Si Tangan Halilintar? Akan tetapi ….. aku mendengar ….. penjahat keji dan dia di

cari   dan   dimusuhi   semua   orang   kang-ouw   !   Diakah   yang   kau   maksudkan?”. Ai Yin tersenyum tersenyum dan memandang wajah pemuda itu. "Tidak salah, twako. Memang dia orangnya yang menjadi sahabatku”.

"Akan tetapi, mengapa engkau dapat bersahabat dengan seorang …. Pemerkosa dan pembunuh yang amat jahat dan keji ?”

"Itu hanya fitnah belaka, Song-ko. Siauw Beng sama sekali bukan seorang penjahat”.

"Akan tetapi, aku mendengar bahwa selain jahat, diapun seorang pengkhianat, Yin-moi. Dia itu putera seorang pengkhianat pula ! Ayahnya pernah menjadi antek pembesar Mancu, bahkan menikah dengan puteri pembesar itu. Dan ayahnya itu dahulu membantu pemerintah Mancu, memimpin pasukan dan membantai para pejuang.

Kemudian, penjahat bernama Lauw Beng itu malah bergaul rapat dengan seorang puteri Mancu!”.

Ai Yin mengangguk-angguk. "Semua itu aku sudah tahu, Song-ko”. Ia memandang kearah mayat orang Mongol itu.

"Mari kita tinggalkan tempat ini, tidak enak bicara di dekat mayat itu”.

Mereka lalu berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. "Song-ko, Siauw Beng sudah menceritakan semua keadaannya kepadaku. Memang ayahnya pernah tertipu orang Mancu, akan tetapi akhirnya ayahnya tewas sebagai seorang patriot. Ibunya bukan keturunan Mancu, hanya menjadi anak tiri pembesar Mancu. Dan tentang pergaulannya dengan puteri Mancu itu, hemmm … menurut keterangannya, puteri itu adalah seorang gadis gagah perkasa dan berjiwa pendekar”.

"Hemmm, gadis Mancu gagah perkasa yang telah menyebabkan kematian banyak pejuang bangsa kita yang menentang pemerintah penjajah Mancu. Yin-moi, agaknya engkau percaya benar kepada Lauw Beng itu. Lalu, apakah dia juga menceritakan bagaimana lengan kirinya sampai buntung?”. Ai Yin menghela napas panjang. "Aih, memang itu gara-gara dia membela Puteri Mancu itu. Dia membela Puteri itu hendak dibunuh para pendekar pejuang karena dia merasa bahwa puteri itu tidak bersalah, dan ketika dia membelanya itulah lengan kirinya buntung, terbabat pedang”.

"Hemmm, siapa yang membuntungi lengannya?”.

"Dia tidak mengatakan siapa, mungkin seorang diantara mereka yang hendak membunuh Puteri Mancu itu. Akan tetapi aku berani menanggung dan menjadi saksi bahwa bukan Siauw Beng yang melakukan semua perkosaan dan pembunuhan itu, Song-ko. Hal ini aku yakin benar karena selama terjadi kejahatan itu, aku selalu bersama dia!”.

"Yakin benarkah engkau, Yin-moi? Bagaimana kalau dia melakukan hal itu di waktu malam? Aku yakin engkau tentu berada dikamar terpisah …..”.

"Tentu saja! "Ai Yin berseru lantang. "Akan tetapi dari sikapnya, sepak terjangnya. Aku yakin bukan dia penjahat itu. Tentu ada orang lain yang melakukan hal itu dan mempergunakan namanya untuk melempar fitnah kepada Siauw Beng”.

"Kalau begitu tentu ada seorang penjahat yang lengan kirinya juga buntung ", kata Cun Song sambil mengerutkan alisnya.

"Aku kira juga begitu. Engkau yang banyak mengenal orang kangouw, tahukah engkah apakah di dunia kangouw ada seorang lihai yang lengan kirinya buntung?”.

Setelah berpikir sejenak Cun Song berkata, Ah, aku ingat sekarang. Ada seorang perampok tunggal di daerah Kwi-cu yang lengan kirinya buntung. Diapun lihai sekali, akan tetapi ….. usianya sudah setengah tua, mungkin sekarang sudah mendekati lima puluh tahun”.

"Hemmm, mungkin saja dia! Menurut desas-desus, orang yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar seperti julukan Siauw Beng itu hanya di ketahui bahwa dia seorang laki-laki berlengan kiri buntung, tidak ada yang melihat jelas wajahnya sehingga tidak ada yang dapat mengatakan apakah dia muda atau tua, Song-ko, katakan, dimana adanya perampok itu dan siapa namanya?”.

"Dia tinggal di Kwi-cu dan namanya Tung Ci”.

"Terima kasih, Song-ko. Sekarang aku mau pergi ketempat dimana aku dan Siauw Beng tadi dikeroyok banyak orang dan kalau dapat bertemu dengannya akan kuberitahu dia.

Kami akan menemui Tung Ci itu di Kwi-cu!”.

"Aku akan membantumu, Yin-moi. Aku juga merasa penasaran sekali mendengar bahwa sahabatmu yang tidak berdosa itu difitnah orang!”.

Ai Yin menjadi girang sekali. "Terima kasih, Song-ko, aku girang sekali!”.

Mereka berdua lalu meninggalkan tempat itu dan menuju ke jalan dekat hutan dimana tadi Ai Yin dan Siauw Beng dikeroyok banyak perajurit Mancu dan orang-orang kangouw. Akan tetapi setelah mereka tiba di tempat itu, disitu sepi saja, tidak tampak ada seorangpun. Hanya di atas tanah terdapat tanda-tanda bahwa di situ baru saja di injak-injak banyak kaki orang dan ada ceceran darah di sana-sini.

"Hemmm,    agaknya    mereka     semua     telah     pergi     ",     kata     Ai     Yin. "Apakah tadi mereka mengeroyok engkau dan Lauw Beng itu di sini? Siapa saja yang mengeroyok kalian?” Tanya Cun Song.

"Ah, sungguh menyebalkan!” Ai Yin membanting kaki dengan gemas. "Ada puluhan orang. Mereka terdiri dari perajurit-perajurit Mancu, dan ada pula orang-orang kang-ouw dan yang membuat aku gemas, paman guruku Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) Can Ok juga datang bersama dua orang Mongol itu. Seorang di antaranya setelah mengeroyokku dengan banyak sekali orang dapat menangkap aku dan membawaku lari ke hutan dimana engkau datang membantuku tadi, Song-ko”.

Diam-diam Cun Song terkejut bukan main, tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Kiranya Can Ok yang muncul bersama dua orang Mongol yang lihai itu! Kalau begitu, dua orang Mongol itu tentu orang-orangnya Pangeran Galdan yang di utus bersama Can Ok mengunjungi Pangeran Dorbai di kota raja. Dan dia telah membunuh seorang diantaranya! Akan tetapi, peristiwa itu tidak diketahui siapapun kecuali dia sendiri dan Ai Yin. Can Ok tidak akan mengetahuinya dan dia tidak akan dipersalahkan.

"Lalu, kemana perginya Lauw Beng?” dia bertanya sambil memandang ke sekeliling karena bagaimanapun juga, dia khawatir kalau-kalau Lauw Beng masih berada di tempat itu. Dia sendiri tidak takut kepada Lauw Beng karena sekarang kepandaiannya telah meningkat tinggi setelah dia digembleng oleh Jit Kong Lama. Dia bahkan merasa yakin akan mampu mengalahkan dan membunuh Lauw Beng. Akan tetapi gadis ini sahabat baik Lauw Beng. Kalau mereka maju berdua mengeroyoknya, tentu akan berbahaya baginya karena juga memiliki ilmu silat tinggi.

Ai Yin lalu berteriak memanggil dengan suara melengking tinggi karena ia menggunakan tenaga saktinya.

"Siauw Beng …… ! Siauw Beng …….!!! “

Beberapa kali ia mengulang panggilannya, akan tetapi hanya gema suaranya yang menyambut. Tentu saja Siauw Beng tidak dapat mendengarnya sama sekali karena pemuda itu telah pergi amat jauh dalam usaha pemuda itu mencari jejak Ai Yin yang dilarikan orang Mongol.

"Dia tidak berada di sini, Yin-moi ", kata Cun Song dengan hati lega. "Ya, agaknya dia sudah pergi dari sini”.

"Atau mungkin dia tertangkap oleh banyak orang itu”.

"Tidak mungkin ! Tidak mungkin Siauw Beng dapat tertawan oleh mereka!”. "Lalu kemana dia pergi?”

"Mungkin dia pergi mencari aku atau melanjutkan pencariannya terhadap orang yang menyamar sebagai dia itu. Kami berdua memang sedang mencari orang itu untuk membuktikan bahwa Siauw Beng bukan pelakunya”. "Hemm, kalau begitu mari kubantu engkau, Yin-moi. Aku juga merasa penasaran sekali mendengar nama baik Si Tangan Halilintar dinodai oleh penjahat itu. Kita juga cari Lauw Beng”.

Wajah Ai Yin berseri. "Ah, engkau sungguh baik sekali, Song-ko ! Engkau telah menyelamatkan aku dan kini membantuku mencari Siauw Beng dan penjahat yang memalsukan namanya itu!”.

"Ah, bukankah kita harus saling menolong, Yin-moi?”. Kedua orang itu lalu melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari Siauw Beng dan juga mencari penjahat itu. Sikap Cun Song yang amat sopan dan baik membuat Ai Yin semakin percaya pada pemuda itu.

*****

"Braakkk ……!” Meja yang terbuat dari batu marmar tebal dan kokoh kuat itu hancur berantakan ketika Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok memukulkan tangan kanannya yang terbuka ke atasnya. Enam orang tamu laki-laki yang duduk dalam ruangan itu memandang dengan alis berkerut dan khawatir. Mereka itu adalah Ciang Hu Seng, Bhe Kam, Lee Bun dan Song Cin yang datang dari Liong-san, adapun yang dua orang lagi adalah Lu Kiat dan keponakannya Lu Siong, dua orang murid Siauw-lim-pai yang terkenal. Seperti kita ketahui, dua rombongan tamu yang kebetulan datang pada saat yang sama itu hendak melapor kepada

Si Naga Selatan Ma Giok tentang anak angkat dan juga murid pendekar itu, Lauw Beng yang berjuluk Si Tangan Halilintar.

"Sukar aku mempercayai pendengaranku!” kata Ma Giok dan wajahnya yang masih gagah walaupun usianya sudah enam puluh tujuh tahun itu merah sekali, matanya mencorong. "Harap saudara Ciang Hu Seng mewakili rombongan dari Liong-san untuk sekali lagi menceritakan apa yang telah dilakukan Lauw Beng di sana”.

Ciang Hu Seng, orang ketiga dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang pendek gemuk dan biasanya tertawa-tawa lucu itu kini berwajah tegang serius walaupun mulutnya masih membentuk senyum. "Ma-taihiap, sesungguhnya kami juga merasa tidak enak sekali melaporkan hal ini kepadamu, akan tetapi kami tidak berani bertindak lancing terhadap putera angkat dan murid taihiap itu sebelum kami melapor. Seperti taihiap ketahui, kami semua tinggal di Liong-san, mondok di rumah sute ( adik seperguruan) Lee Bun. Kurang lebih sebulan yang lalu, pada suatu malam, ada orang menggunakan asap pembius memasuki kamar Bhe Siu Cen, puteri sute Bhe Kam dan memperkosanya! Menurut Siu Cen, pelaku kejahatan itu adalah seorang yang lengan kirinya buntung. Kami tadinya baru menyangka saja bahwa pelakuknya adalah Lauw Beng, akan tetapi setelah melakukan perjalanan ke sini, kami menjadi yakin karena di sepanjang perjalanan itu kami mendengar bahwa seorang penjahat lengan kiri buntung yang berjuluk Si Tangan Halilintar melakukan banyak pembunuhan dan perkosaan. Maka kami menghadap taihiap dan mohon pertimbangan”.

Jelas tampak betapa dada pendekar tua itu terengah-engah. Agaknya dia masih dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi dia masih dapat menekan perasaannya dan kini dia memandang kepada Lu Kiat dan Lu Siong. Dia juga mengenal Lu KIat sebagai seorang murid Siauw lim yang dulu pernah berjuang bersamanya menentang penjajah Mancu. "Saudara Lu Kiat ceritakanlah apa yang engkau ketahui?”.

Lu kiat menghela napas. "Saya dan keponakan saya Lu Siong ini juga merasa tidak enak hati sekali, Lo-cianpwe. Akan tetapi kami hendak menceritakan apa adanya, apa yang sebenarnya terjadi. Pada suatu malam, kebetulan saya berkunjung ke rumah suheng Gui Liang yang tentu Lo-cian-pwe juga sudah mengenalnya ……”.

"Yang menjadi piauw-cu di Ceng-jun itu?”.

"Benar, Lo-cian-pwe. Dulu kami juga pernah berjuang dibawah pimpinan Lo-cian-pwe. Nah, malam itu terjadi malapetaka yang mengerikan menimpa keluarga Gui-suheng. Seorang penjahat memperkosa lalu membunuh Gui Cin, puteri suheng, bahkan Gui- suheng juga dibunuhnya ketika melawan. Isteri Gui-suheng juga tewas dibunuh penjahat berlengan kiri buntung itu. Saya sempat melawannya dan saya mengenal gerakan silat Lo- han-kun dari Siauw-lim ketika dia berkelahi melawan saya. Akan tetapi gerakannya itu luar biasa hebatnya sehingga saya roboh. Untung saya tidak sampai terbunuh dan dia melarikan diri karena keributan itu memancing datangnya banyak orang”.

Wajah yang tadinya agak merah itu berubah menjadi pucat. "Kau ….. kau mengenal wajahnya?”.

"Itulah sayangnya, Lo-cian-pwe. Cuaca amat gelap dan saya tidak dapat melihat wajahnya. Hanya saya tahu bahwa dia seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya dan amat lihai. Gui Cin itu adalah tunangan keponakan saya Lu Siong ini. Kami lalu pergi menghadap suheng Lauw Han Hwesio, ketua kuil Thian-li-tang di lereng Bukit Ayam dan melaporkan kejadian itu. Setelah berunding dengan suheng Lauw Han Hwesio, kami lalu membagi tugas. Suheng Lauw Han Hwesio pergi ke Sung San kepada para pimpinan Siauw-lim-pai sedangkan kami berdua pergi ke sini untuk menghadap lo-cian-pwe. Seperti juga saudara-saudara dari Liong-san ini, di sepanjang jalan kami juga mendengar tentang Si Tangan Halilintar yang membunuh dan memperkosa wanita”.

Setelah Lu Kiat berhenti bercerita, keadaan menjadi sunyi. Ma Giok mengerutkan sepasang alisnya dan memejamkan mata, lalu tanpa membuka mata dia bertanya "Apakah diantara kalian ada yang melihat sendiri peristiwa bahwa penjahat itu adalah Lauw Beng?”.

Orang-orang itu saling pandang dan Ciang Hu Seng berkata, "Di antara kami berempat tidak ada yang melihatnya, taihiap. Akan tetapi semua tanda menunjukkan bahwa dia pelaku kejahatan itu. Siapa lagi yang lengan kirinya buntung, lihai dan berjuluk Si Tangan Halilintar kalau bukan Lauw Beng. Juga kejahatannya terhadap kami ada alasannya, yaitu agaknya dia hendak membalas dendam karena kami membuat lengan kirinya buntung”.

Ma Giok masih memejamkan matanya dan mengerutkan matanya dan mengerutkan alisnya, agaknya belum puas dengan keterangan Ciang Hu Sen yang di anggapnya tidak meyakinkan itu.

"Lo-cian-pwe, dalam perjalan, kami berdua bertemu dengan Puteri Mayani dan seorang nenek  yang  mengaku  sebagai  nenek   Si   Tangan   Halilintar!”   kata   Lu   Kiat. Ma Giok membuka matanya dan memandang Lu Kiat dengan mata heran. Juga empat orang dari Liong-san memandang heran.

"Saudara Lu Kiat, harap segera ceritakan pertemuan itu!” kata Ma Giok.

"Ketika itu, kami tiba di kota Teng-cun dan mendengar kabar bahwa di situ terdapat seorang nenek yang mengaku sebagai nenek Si Tangan Halilintar. Kami segera mencarinya karena mungkin dari nenek itu kami dapat menemukan cucunya. Kami bertemu dengan nenek itu yang bersama Puteri Mayani. Mereka berdua marah mendengar berita tentang Si Tangan Halilintar dan mengatakan bahwa itu hanya fitnah. Kami berkelahi dan ternyata, baik nenek maupun puteri itu luar biasa lihainya. Terus terang saja, kami berdua sama sekali bukan lawan mereka. Bahkan pedang kami di rampas dan dipatah-patahkan. Akan tetapi kami sama sekali tidak dilukai. Puteri itu lalu menantang kami berlomba. Kami di suruh mencari bukti-bukti nyata bahwa penjahat yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar itu benar Lauw Beng orangnya, sementara mereka juga akan mencari dan menangkap orang yang menggunakan nama Si Tangan Halilintar untuk memburukkan nama Lauw Beng. Demikian ceritanya, lo-cian-pwe”.

"Sungguh aneh!” kata Bhe Kam yang pernah bertemu dan bertanding melawan Puteri Mayani. "Kami tahu bahwa puteri itu lihai, akan tetapi kalau dengan tangan kosong mampu mengalahkan ji-wi (kalian berdua) tanpa melukai dan mematah-matahkan pedang, hal ini sungguh luar biasa!”

Bhe Kam juga mengenal dua orang itu sebagai murid-murid Siauw-lim-pai yang tangguh.

"Saudara Bhe Kam, apakah engkau tidak ingat akan nenek yang menyebut Puteri Mayani sebagai Bu Kui Siang? Nenek itu adalah Nyonya Bu, ibunya mendiang Bu Kui Siang yang entah bagaimana telah menjadi seorang yang luar biasa lihainya dan juga agaknya pikirannya kacau. Tentu Puteri Mayani telah menerima pelajaran silat yang aneh darinya”.

"Sekarang bagaimana, Ma-Taihiap? Kami mohon pertimbangan taihiap tentang Si Tangan Halilintar ", kata Ciang Hu Seng. "Kami     juga     mohon     petunjuk,     lo-cian-pwe     ",     kata     pula     Lu     Kiat. Wajah pendekar tua itu menjadi merah kembali dan sejenak dia tidak mampu menjawab, agaknya mempertimbangkan dalam hatinya karena apa yang didengarnya itu betul-betul mendatangkan guncangan dan pertentangan dalam batinnya. Kemudian, dia memandang kepada semua orang itu dan berkata dengan suara tegas.

"Cu-wi (saudara sekalian), terus terang saja hatiku belum yakin benar bahwa anak angkatku itu melakukan semua perbuatan keji itu. Bukan sekali-kali aku menganggap keterangan kalian bohong. Akan tetapi karena di antara kalian tidak ada seorangpun yang menyaksikan sendiri bahwa Lauw Beng yang melakukan kejahatan itu, juga tidak ada yang dapat mengajukan bukti-bukti kuat, melainkan hanya mendengar atau melihat bayangan laki-laki buntung lengan kirinya yang mengaku Si Tangan Halilintar. Karena itu, benar      seperti      yang      dikatakan      Puteri      Mayani.       Kita       harus menangkap orang yang menggunakan namanya. Kalau kemudian ternyata bahwa benar Lauw Beng yang melakukan kejahatan itu, aku sendiri yang akan membinasakannya! Nah, sekarang kalian pergi dan carilah Lauw Beng aku sendiri akan menyelidiki peristiwa ini dan andaikata benar dugaan Puteri Mayani bahwa ada orang yang memalsukan Lauw Beng, aku akan berusaha menangkapnya”. Enam orang itu lalu berpamit dan meninggalkan Thai-san. Lu Kiat dan Lu Siong mengambil jalan sendiri, berpisah dari rombongan Ciong-yang Ngo-taihiap. Setelah para tamunya pergi dan berkemas, Ma Giok terpaksa juga turun gunung karena dia merasa bertanggung jawab kalau benar anak angkatnya itu melakukan kejahatan seperti yang dilaporkan para tamunya tadi.

Akan tetapi biarpun mereka mengambil jalan sendiri, tetap saja tujuan perjalanan mereka itu sama. Untuk mencari kepastian apakah pelaku kejahatan itu Lauw Beng atau bukan,satu-satunya cara adalah menangkap basah penjahat itu. Maka tentu saja mereka ke tempat-tempat dimana penjahat itu meninggalkan jejaknya, yaitu dimana terjadinya pembunuhan dan perkosaan itu.

Dalam perjalanannya, Ma Giok juga mendengar tentang kejahatan dan kekejian yang dilakukan penjahat yang mengaku Si Tangan Halilintar. Tentu saja hal ini membuat perasaannya terpukul sekali. Benarkah Lauw Beng yang melakukan semua ini? Sambil melangkah perlahan dia termenung mengenangkan keadaan pemuda yang telah di anggap sebagai anaknya sendiri dan yang sebetulnya amat disayangnya itu. Biarpun ayah Lauw Beng, yaitu mendiang Lauw Heng San pernah menjadi kaki tangan penjajah yang menumpas para pejuang, akan tetapi Lauw Heng San berbuat demikian karena tertipu. Dia mengira bahwa yang di tumpas itu adalah gerombolan penjahat. Akhirnya dia menyadari bahkan membunuh Pangeran Abagan yang menjadi mertua tirinya sendiri. Jelas bahwa Lauw Heng San bukan orang jahat. Juga isteri Lauw Heng San, Bu Kui Siang, adalah seorang wanita yang baik budi, wanita yang amat dicintainya. Maka, Lauw Beng bukan keturunan orang jahat. Lauw Beng pernah di tuduh menjadi pengkhianat bangsa, akan tetapi dia tahu bahwa pembelaan Lauw Beng terhadap Puteri Mancu itu bukan merupakan pengkhianatan. Dia membela karena menganggap Mayani tidak bersalah. Akan tetapi pembelaannya itu menyebabkan dia kehilangan lengan kirinya, dibuntungi oleh Song Cun. Apakah peristiwa itu kemudian membuat dia mendendam dan dalam sakit hatinya dia menjadi berubah kejam? Ma Giok hampir tidak percaya. Akan tetapi dia bertekat untuk dapat menangkap pelaku kejahatan itu, baik pelaku itu Lauw Beng atau orang lain!.

****

Cun Song dan Ai Yin melakukan perjalanan menuji Kwi-cu. Mereka hendak mencari perampok lengan kiri buntung bernama Tung Ci seperti yang diceritakan Cun Song kepada Ai Yin. Selama beberapa hari dalam perjalanan, Cun Song bersikap ramah dan sopan sehingga Ai Yin semakin percaya dan suka kepada pemuda yang di anggapnya seorang pemuda pejuang yang gagah perkasa, segolongan dengan ayahnya yang dulu juga merupakan seorang pejuang yang gigih.

Pada suatu pagi mereka tiba di sebuah daerah pertanian yang sepi. Hanya ada beberapa orang petani yang menunggu sawah mereka dari serbuan burung-burung yang mencari makan.

"Hei, Cun Song …..!” tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang mereka.

Cun Song dan Ai Yin membalikkan tubuh mereka dan Cun Song berseru girang. "Can-toako (Kakak Can) …..!”.

Ai Yin mengerutkan alisnya ketika mengenal siapa yang datang berlari kearah mereka itu. Orang itu adalah Can ok yang berjuluk Toat-beng Siang-kiam, paman gurunya!. Setelah mereka berhadapan, Can Ok juga terkejut bukan main mengenal siapa gadis yang melakukan perjalanan bersama Cun Song dan tampak akrab itu.

"Eh,….., engkau …. Ai Yin ….?”.

Ai Yin cemberut dan cepat ia mencabut pedangnya. Melihat ini, Cun Song terkejut dan memegang lengan gadis itu.

"Yin-moi, Can-toako ini sahabat baikku, bukan musuh!”. "Ai Yin, aku adalah susiok-mu (paman gurumu) kata pula Can Ok.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar