Si Tangan Halilintar Jilid 18

Jilid 18

Dia menjadi gugup dan bingung, lalu dia melepas baju luarnya sendiri dan mengenakan bajunya itu pada tubuh atas gadis itu dia harus merangkul dan memasukkan lengan gadis dengan mengangkat tubuh itu dan mendudukannya lalu menyangganya. Bajunya terlalu besar, akan tetapi dapat menutup dan menyembunyikan dada yang setengah telanjang itu. hatinya merasa lega dan dia lalu memondong tubuh gadis itu, membawanya keluar dari rumah.

Setelah tiba di pintu gapura, A Siong melihat bahwa perkelahian telah berakhir. Siauw Beng dan Ai Yin pada saat itu keluar dari rumah, memasuki perkampungan itu.

“Suheng, siapa yang kau pondong itu?” Tanya Siauw Beng, heran melihat A Siong memondong tubuh seorang gadis. Mereka berhenti di depan sebuah rumah dimana tergantung lampu penerangan sehingga birapun remang-remang, Siauw Beng dan Ai Yin dapat melihat bahwa gadis itu seperti orang tertidur.

Jantung A Siong berdebar dan dia merasa malu sekali. “Ia ….. ia …… adalah puteri kepala dusun yang kemarin di culik. Ia gadis yang tabah dan gagah berani mempertahankan kehormatannya. Ketika ia hendak di paksa pergi oleh Hek-how Mo-ko, aku datang dan aku berhasil menewaskan kepala gerombolan itu. Gadis ini jatuh pingsan dan kubawa keluar”.

Pada saat itu, gadis itu bergerak dalam pondongan A Siong sehingga pemuda ini cepat menurunkannya dengan hati-hati seketika ia teringat akan peristiwa tadi dan kembali ia menjatuhkan      diri      berlutut       merangkul       kedua       kaki       A       Siong. “In-kong telah menyelamatkan saya dari malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut. Tidak ada yang dapat saya lakukan untuk membalas budi kebaikan in-kong (tuang penolong) kecuali menyerahkan jiwa raga saya kepada in-kong”.

“Eh, apa …… apa maksudmu, Nona? Nanti ….. atau besok pagi kami akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu“.

“Tidak, in-kong …. Tidak … saya tidak mau pulang ….. “gadis itu kini menangis lirih.

“Sudahlah, A Siong, soal ini kita bicarakan nanti, perlahan-lahan kita bujuk. Sekarang yang penting kita perlu memeriksa keadaan dalam kampung untuk mengumpulkan barang- barang yang mereka rampas dari penduduk dan menemukan kembali para gadis lain”.

“Benar, suheng. Kau temani saja nona ini, aku dan Ai Yin akan memeriksa keadaan dalam perkampungan“, kata Siauw Beng.

“Baik, sute”. Setelah Siauw Beng dan Ai Yin mulai memeriksa ke dalam rumah-rumah di perkampungan gerombolan itu, A Siong mengajak gadis itu keluar pintu gerbang karena dia tidak mau menganggur di situ. “Mau apa kita keluar, in-kong?”.

“Kita lihat keadaan para penjahat itu. Aku harus mengerahkan tenaga mereka untuk membantu mengangkut kembali barang-barang dan ternak yang di rampok oleh gerombolan. Enak saja kalau dia dibiarkan pergi tanpa harus bertanggung jawab atas semua perbuatan mereka yang jahat. Mari …. Eh, siapakah namamu, Nona?”.

“Nama saya Lu Bi Hwa, anak tunggal puteri lurah dusun Ki-Cun di kaki bukit ini sebelah utara”.

Mereka tiba di luar pintu gerbang atau gapura perkampungan itu dan di sana masih ada belasan orang yang mengeluh dan saling menolong. Yang lain mungkin telah pergi sambil membawa mayat kawan-kawan mereka yang tewas. Ketika tujuh belas orang itu melihat A Siong muncul bersama Bi Hwa, mereka terkejut dan nampak ketakutan, bahkan ada yang siap melarikan diri. Bulan telah muncul sejak senja tadi, bulan sepotong yang masih redup sinarnya namun lumayan dapat memberi sedikit penerangan sehingga keadaan di situ remang-remang.

“Jangan ada yang berani melarikan diri. Aku akan membunuh mereka yang mencoba untuk melarikan diri!” A Siong membentak.

Belasan orang itu semakin ketakutan. Mereka tadi sudah melihat kehebatan sepak terjang pemuda tinggi besar ini, yang dengan tangan kosong dapat merobohkan banyak orang yang bersenjata sepasang cakar harimau. Mereka serentak berlutut menghadap A Siong dan berseru, “Ampunkan kami, taihiap (Pendekar besar)“.

“Hayo kalian semua masuk ke perkampungan dan berkumpul di rumah besar tempat tinggal ketua kalian. Urus dan kuburkan mayat ketua kalian yang berada di sana dan tunggulah perintah kami selanjutnya. “Hayo jalan!” Semua orang itu sudah mati kutu.

Mereka takut kalau melarikan diri akan benar-benar di bunuh pendekar tinggi besar itu. Maka mereka semua lalu memasuki perkampungan itu, di iringkan A Siong dan Bi Hwa. Diam-diam Bi Hwa merasa kagum bukan main melihat sepak terjang penolongnya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang yang demikian gagah perkasa, tegar dan berwibawa. sampai berusia dua puluh tahun Bi Hwa ini belum menikah karena ia selalu menolak pinangan para pemuda dari dusunnya atau dusun-dusun lain karena ia merasa tidak cocok dengan mereka. Sudah banyak ia melihat gadis yang menikah lalu hidup bagaikan bujang bagi suaminya. Melayani semua kebutuhan suami, mengurus anak-anak, mencuci, masak, membersihkan rumah dan pekarangan, masih di tambah membantu pekerjaan di sawah lading kalau sang suami terlalu sibuk. Pendeknya, tenaga wanita diperas habis-habisan. Kawan-kawannya sedusun yang sudah menikah, rata-rata bertubuh kurus dan wajahnya cepat tua!

Ketika ia berada dalam ancaman malapetaka yang hebat, akan di paksa menjadi isteri kepala gerombolan dan akan di perkosa, ketika ia sudah putus asa dan pasti akan membunuh diri kalau di perkosa, tiba-tiba muncul pemuda gagah perkasa ini yang menyelamatkannya! Maka ia sudah mengambil keputusan bulat dalam hatinya. Ia akan menjadi isteri pemuda ini, akan menyerahkan jiwa raganya. Ia akan sanggup bekerja keras seperti para isteri lain. Ia akan melakukan semua itu dengan senang hati, tidak seperti kawan-kawannya, karena ia melakukannya untuk membalas budi kebaikan pemuda itu.

Setelah mereka tiba di rumah kepala gerombolan, ternyata Siauw Beng dan Ai Yin juga sudah selesai memeriksa semua rumah di perkampungan itu. Mereka menemukan barang-barang rampasan, juga hewan ternak yang di kumpulkan di belakang perumahan. Selain itu, mereka juga menemukan lima orang gadis dusun yang keadaanya amat menyedihkan. Wajah mereka pucat, sikap mereka ketakutan dan tubuh mereka kurus. Lima orang gadis itu adalah korban penculikan yang sudah berbulan-bulan berada di situ dan menjadi korban keganasan kepala gerombolan dan anak buahnya.

Mereka berlima itu menangis sedih, mengingat nasib mereka walaupun mereka kini telah terbebas dari cengkraman para penjahat. Mereka melihat batapa suramnya masa depan mereka. Akan sukar mendapatkan pria yang mau memperistri gadis yang pernah menjadi permainan para penjahat keji itu.

Lu Bi Hwa segera menghampiri lima orang gadis itu dan ia menghibur mereka sehingga akhirnya mereka berhenti menangis. Para anak buah gerombolan itu lalu mengubur jenazah Hek-houw Mo-ko dan malam itu mereka di haruskan berkumpul di ruangan depan rumah besar itu. Siauw Beng dan Ai Yin mengambil keputusan bahwa besok pagi para anggota gerombolan itu di haruskan mengangkat barang-barang rampokan itu kembali ke dusun. Mereka bertiga akan mengawal para gadis kembali ke rumah orang tua masing- masing.

“Ai Yin, engkau malam ini mengaso dan tidurlah. Biar aku dan suheng yang melakukan penjagaan agar mereka tidak melarikan diri dan untuk berjaga-jaga kalau ada teman- teman mereka yang berani masuk perkampungan ini “, kata Siauw Beng setelah mereka semua makan hidangan yang dimasak oleh Lui Bi Hwa dan lima orang gadis itu. Di rumah kepala gerombolan itu tersedia bahan makanan yang cukup banyak.

Malam itu Ai Yin tidur di senuah kamar rumah besar itu. Kamar yang bersih dan Ai Yin yang sudah kecapaian itu dengan mudah tertidur pulas. Siauw Beng duduk di serambi depan, bersila di atas lantai yang di gelari tikar tebal. Para gadis juga tidur di sebuah kamar besar. Mereka berlima baru malam ini dapat tidur nyenyak dengan hati tentram. Akan tetapi Bi Hwa tidak mau tidur dan ia duduk menemani A Siong yang juga duduk di serambi depan bersama Siauw Beng.

Di serambi ini, A Siong membuat api unggun, bukan untuk mendapatkan penerangan karena di situ juga ada sebuah lampu gantung, akan tetapi untuk mengusir nyamuk yang terdapat banyak di tempat itu. Dari serambi mereka dapat melihat ke luar. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan cahayanya mulai agak tering sehingga cuaca di luar rumah itu remang-remang namun masih dapat di tembus pandang mata.

Siauw Beng memejamkan matanya seperti orang tidur. Sebetulnya dia hanya duduk diam seperti sedang siu-lian (samadhi), akan tetapi dia menyadari keadaan di luar dirinya sehingga dia dapat mendengar ketika Bi Hwa dan A Siong bercakap-cakap.

“In-kong, saya sudah mengambil keputusan tetap. Saya tidak akan kembali ke rumah orang tua saya. Saya akan ikut denganmu ke manapun engkau pergi, In-kong”.

“Akan tetapi aku seorang perantau miskin, bahkan rumah tinggalpun tidak punya!”.

“Tidak mengapa, In-kong. Saya sanggup hidup bagaimanapun juga bersamamu. Saya akan melayanimu, mengerjakan semua keperluanmu, mencuci, memasak dan engkau suruh apapun akan saya lakukan dengan senang hati dan rela”.

A Siong menghela napas panjang lalu menengok kea rah Siauw Beng. Kemudian dia berkata lirih. “Mari kita bicara di sana saja”.

Dia menambahkan kayu kepada api unggun, lalu bangkit mengajak Bi Hwa pergi ke pekarangan agar dapat bicara dengan leluasa tanpa di dengar orang lain. Setelah cukup jauh mereka duduk di atas dua buah batu besar, berhadapan. Bahkan A Siong sendiri tidak tahu bahwa Siauw Beng membayangi mereka, lalu bersembunyi di balik batu-batu bukit dan mendengarkan percakapan mereka.

“Bi Hwa, keputusanmu itu keliru. Tidak mungkin engkau ikut bersamaku terus. Engkau akan hidup serba kekurangan, sengsara dan terkadang di ancam bahaya. Aku adalah seorang petualang yang tidak memiliki apa-apa, tiada keluarga, tiada rumah tinggal, tiada harta benda. Aku tidak dapat menerima engkau ikut bersamaku, Bi Hwa”.

Gadis itu menundukkan mukanya menangis perlahan. “Inkong, apakah engkau tidak kasihan kepadaku?” tanyanya di sela isaknya.

“Tentu saja aku kasihan padamu, Bi Hwa. Engkau seorang gadis yang baik, tabah, teguh mempertahankan kehormatanmu, engkau pantas di hormati. Aku kagum kepadamu, Bi Hwa”.

“Kalau begitu, mengapa engkau tidak mau menerima saya, In-kong?” tanyanya dengan suara memelas.

“Sudah ku katakan bahwa aku seorang perantau miskin. Engkau akan hidup serba kekurangan dan sengsara, sekali waktu mungkin sehari tidak dapat makan”.

“Aku rela, in-kong. Biar hidup sebagai pengemis gelandangan sekalipun, saya rela. Saya rela menjadi pelayanmu, in-kong”.

Hening sejenak, hanya terdengar beberapa kali A Siong menghela napas panjang, berulang-ulang. Kemudian dia berkata dengan suara sedih. “Percayalah Bi Hwa seandainya aku ini seorang pemuda biasa yang memiliki tempat tinggal, memiliki kebebasan dan harapan masa depan, sungguh mati aku akan menerima permintaan mu ini dengan senang hati. Akan tetapi, dalam keadaanku seperti sekarang ini, hal itu tidak mungkin ku lakukan. Aku harus membantu sute Siauw Beng, aku sudah berjanji kepada guruku untuk menemani sute, untuk membantunya, bahkan untuk melayaninya. Tidak mungkin aku menerimamu, Bi Hwa”.

“Apakah …. Apakah …. Tidak ada jalan keluarnya … in-kong …?”.

A Siong menghela napas berat, lalu terdengar suaranya lirih. “maaf, Bi Hwa, ku rasa tidak ada ….”

Isak tangis itu semakin kuat dan tiba-tiba Bi Hwa melompat turun dari atas batu. Ia terguling roboh, akan tetapi bangkit lagi dan berlari sambil menangis ke arah jurang yang berada tak jauh dari situ. Perkampungan itu berada di lereng dekat puncak bukit Menjangan, maka terdapat banyak jurang di sekitar perkampungan. Dengan nekat Bi Hwa setelah tiba di tepi jurang, hendak meloncat ke dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dua buah lengan yang kuat merangkul pinggalnya. Ia meronta-ronta, namun tidak dapat terlepas dari rangkulan A Siong.

“Bi Hwa, apa yang hendak kau lakukan ini?” A Siong memaksa, mearik tubuh gadis itu menjauhi jurang.

“Lepaskan, In-kong, lepaskan. Biarkan saya mati saja! Tiada gunanya hidup lebih lama kalau in-kong tidak mau menerima saya ……. “Gadis itu menangis sesunggukan.

“Akan tetapi mengapa, Bi Hwa? Mengapa engkau menjadi nekat begini? Engkau masih mempunyai keluarga, bahkan ayahmu adalah seorang kepala dusun yang hidupnya serba kecukupan!” bujuk A Siong tanpa melepaskan rangkulannya karena gadis itu masih meronta, berusaha melepaskan dekapan A Siong.

“Tidak, tidak! Nama saya sudah tercemar, semua orang akan membicarakan saya, semua orang akan mencemooh dan memandang hina! Bahkan orang tuaku juga akan menderita karena aib. Biarkan saya mati, In-kong!”.

“Husshhh! Mengapa engkau berkata demikian? Aku mendengar sendiri ketika engkau bicara dengan kepala perampok itu. Engkau belum ternoda atau ….. sudahkah tercemar maka sekarang menjadi putus asa?”. “Tidak, In-kong! Kalau saya sudah ternoda, tentu saya sudah tidak hidup lagi. Tentu saya sudah membunuh diri”.

“Kalau begitu, mengapa engkau merasa namamu tercemar?”.

In-kong tidak tahu, semua gadis yang sudah di culik oelh iblis itu telah ternoda. Siapa yang akan percaya bahwa saya belum tersentuh? Tidak akan ada yang percaya dan orang sekampung akan mencemooh”. Ia berhenti sebentar sambil terisak. “Bahkan ayah ibuku tidak akan percaya kalau saya mengatakan bahwa saya belum ternoda. Ah, malu sekali, In-kong. Mati jauh lebih baik daripada hidup menghadapi itu semua!”.

“Bi Hwa, biarlah aku yang akan bicara dengan orang tuamu.Aku yang akan menyakinkan mereka bahwa engkau masih bersih, belum ternoda. dan kalau ada orang di dusunmu yang tidak percaya dan mengejekmu, dia akan ku hajar!”.

“Saya tidak menginginkan itu, In-kong. Saya hanya menginginkan agar diperbolehkan ikut dengan mu, kemana pun In-kong pergi”.

“Akan tetapi aku tidak mungkin dapat menerimamu, betapa pun berat rasa hatiku. Aku tidak enak kepada sute, kepada suhu dan “

“Engkau keliru, suheng!” tiba-tiba ucapan A Siong itu terputus oleh suara ini dan muncullah Siauw Beng bersama Ai Yin di tempat itu. Ternyata tadi ketika Siauw Beng mendengarkan percakapan A Siong dan Bi Hwa sambil bersembunyi di belakang batu besar, datang Ai Yin menyusulnya dan gadis inipun ikut mendengarkan.

“Sute ….! Ai Yin …..! Kalian … kalian di sini ….? “A Siong bertanya gagap sehingga dia lupa bahwa kedua lengannya masih mendekap pinggang ramping Bi Hwa! Adapun gadis itu yang melepaskan rangkulan lengan A Siong dengan kedua tangannya. Baru A Siong menyadari dan cepat dia melepaskan rangkulannya dan mundur dua langkah.

"Suheng, Bi Hwa, Mari kita bicara di serambi“, kata Siauw Beng dengan suara serius. Mereka berempat lalu pergi ke rumah besar itu. Api unggun di serambi itu masih menyala dan Siauw Beng segera menambahkan kayu sehingga api unggunnya bernya semakin besar, mengusir hawa dingin dan nyamuk. Mereka duduk dekat api unggun, A Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah, sedangkan Bi Hwa mengambil tempat duduk di atas lantai dekat pemuda itu, memandang kepada Siauw Beng dan Ai Yin dengan harap-harap cemas.

“Maaf, suheng. Tadi aku telah melihat dan mendengar semua tentang keadaan kalian berdua. Engkau keliru kalau merasa tidak enak kepadaku dan kepada ayahku. Suheng, engkau berhak menentukkan jalan hidupmu sendiri. Apalagi mengenai perjodohan. Ayah tentu akan menyetujui dan merestui kalau engkau berjodoh dengan nona ini. Aku juga rela sepenuhnya, suheng. Hanya engkau yang dapat menolong Bi Hwa dan kalau kalian sudah saling mencinta, mengapa mesti ragu-ragu lagi?”.

“Siauw Beng berkata benar, A Siong. Tidak ada aib menimpa dari Bi Hwa dan keluarganya kalau ia menikah denganmu. Biarlah aku yang akan membicarakan dengan orang tua Bi Hwa, melamarnya untukmu agar kalian berdua dapat menikah dengan sah”.

“Tepat sekali, suheng. Jangan pikirkan tentang diriku. Aku bukan anak kecil lagi yang perlu kau bantu dan lincungi terus menerus. Engkau dapat menjadi suami Bi Hwa dan tinggal di sini, membantu usaha kepala dusun agar menyejahterakan kehidupan rakyat”.

Di hujan desakan Siauw Beng dan Ai Yin itu, A Siong tak mampu berkata apa-apa lagi dan tiba-tiba Bi Hwa berlutut menyembah kepada Siauw Beng dan Ai Yin.

“Ih, jangan begitu, Bi Hwa!” kata Ai Yin dan cepat ia memegang kedua pundak Bi Hwa untuk di paksa bangkit dan duduk kembali. Setelah Siauw Beng menyakinkan hati A Siong bahwa dia tidak keberatan bahkan girang kalau A Siong berjodoh dengan Lu Bi Hwa dan tinggal di dusun tempat tinggal gadis itu, dan menyakinkannya pula bahwa Ma Giok, ayah angkatnya, juga guru mereka pasti tidak akan merasa keberatan atau marah, akhirnya A Siong menerima juga.

Memang hatinya sudah tertarik kepada Bi Hwa. Dia merasa kasihan dan juga jatuh cinta karena selain dalam penglihatannya tidak ada wanita yang lebih cantik menarik daripada Bi Hwa, juga dia merasa kagum akan watak gadis itu.

Pada keesokan harinya, tiga orang pendekar itu, sambil mengajak Bi Hwa, mengiringkan lima orang gadis korban para penjahat dan memerintahkan belasan orang anggota Hek- houw-pang untuk mengakut semua barang rampokan dan menggiringkan beberapa ekor kerbau dan kambing, menuruni bukit itu menuju ke dusun Ki-cung. Rombongan ini di sambut oleh seluruh penduduk dusun yang sudah mendengar akan turunnya rombongan ini dari Bukit Menjangan. Para gadis itu di sambut dengan tangisan oleh keluarga mereka. Kepala dusun Lu dan keluarganya juga menyambut Bi Hwa dengan girang. Ketika penduduk melihat bahwa yang mengangkut barang rampokan dan menggiring ternak adalah para anggota gerombolan, mereka menjadi marah dan tentu belasan orang anggota perampok itu akan di keroyok dan di bunuh kalau saja A Siong, Siauw Beng dan Ai Yin tidak melarang mereka.

Semua penduduk bergembira ria mendengar bahwa gerombolan perampok itu telah terbasmi dan pemimpin mereka yang di takuti telah tewas. Setelah semua barang rampokan dan ternak di terima oleh penduduk dan di kembalikan kepada pemilik masing- masing, belasan orang bekas anggota Hek-houw-pang itu lalu diperkenankan pergi setelah diberi ancaman keras oleh Siauw Beng. Mereka mengucapkan terima kasih dan meninggalkan dusun itu. Mereka inilah yang menyebarkan berita tentang munculnya seorang pendekar baru berjuluk si Tangan Halilintar, pendekar yang buntung lengan kirinya akan tetapi amat lihai.

Sebentar saja julukan itu tersebar sampai luas. Siauw Beng, A Siong dan Ai Yin di jamu pesta makan oleh Lurah Lu, kepala dusun ayah Lu Bi Hwa beserta beberapa orang yang di anggap sebagai tua-tua dusun Ki-cung. Mereka makan minum dengan gembira dan dalam kesempatan ini, Ai Yin berkata kepada Lurah Lu dan isterinya.

“Paman dan bibi berdua, kami tadi telah menceritakan tentang puteri kalian Bi Hwa yang nyaris celaka akan tetapi dapat di selamatkan oleh A Siong. Sekarang kami akan memperkenalkan keadaan A Siong kepada paman berdua sekeluarga. Ketahuilah bahwa A Siong ini telah yatim piatu dan tidak mempunyai keluarga lain kecuali kami berdua sebagai sahabat baiknya dan gurunya yang tinggal jauh di Thai-san. A Siong sahabat kami ini adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan bijaksana, usianya sekarang sudah …. Eh, berapa usiamu, A Siong?”.

Dengan kedua pipi kemerahan A Siong menjawab sambil menundukkan mukanya. “Tiga puluh tiga tahun”.

“Ya, tiga puluh tiga tahun. Akan tetapi dia masih perjaka tulen, belum pernah menikah, belum pernah berpacaran. Setelah dia menyelamatkan kehormatan dan bahkan nyawa Bi Hwa, maka terdapat hubungan kasih di antara mereka berdua. Karena A Siong tidak mempunyai keluarga, maka kami berdua sebagai sahabat baiknya menjadi wakil keluarganya untuk meminang puteri kalian Lu Bi Hwa untuk menjadi jodoh A Siong! Bagaimana pendapat Paman berdua dan keluarga?”.

Siauw Beng mendengarkan dengan kagum. Bukan main gadis ini. Dapat bicara tentang pinangan sedemikian lancarnya. Padahal kalau dia di suruh mewakili dan mengajukan pinangan seperti itu, dia pasti tidak akan mampu bicara!. A Siong menundukkan mukanya. Dia merasa malu dan juga hatinya berdebar tegang. Mungkinkah kepala dusun dan keluarganya dapat menerima dia yang tidak mempunyai apa-apa itu sebagai jodoh Lu Bi Hwa? Sambil tunduk dia melirik kea rah Bi Hwa yang juga duduk di situ, di sebelah ibunya dan dia melihat gadis itu juga menundukkan muka. Mendengar ucapan Ai Yin, Lurah Lu dan isterinya saling pandang. Sungguh pinangan itu sama sekali tidak mereka sangka-sangka! Puteri mereka yang telah di culik perampok, kini di lamar seorang di antara tiga pendekar yang telah menyelamatkan, bukan saja puteri mereka, bahkan seluruh penduduk dusun itu dari gangguan gerombolan perampok? Hampir mereka tidak dapat percaya!.

“Bi Hwa, bagaimana pendapatmu?” Tanya ayah dan ibu itu kepada puteri mereka hamper berbareng.

Bi Hwa yang tadinya menunduk malu, kini mengangkat muka dan pandang matanya penuh keberanian dan kepastian, “Ayah dan ibu, In-kong A Siong telah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku. Aku sudah mengambil keputusan bulat untuk ikut dengannya dan menjadi pelayannya. Kalau hal itu tidak dapat terlaksana, aku akan bunuh diri saya karena hidup hanya akan mendatangkan aib bagiku”.

Lurah Lu dan isterinya tertegun mendengar ucapan putrinya itu. Telah banyak pinangan di ajukan orang terhadap Bi Hwa, namun gadis mereka itu selalu menolak keras dan sekarang Bi Hwa telah begitu pasrah kepada penolongnya, A Siong yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu.

Terdengar suara tawa dari seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Kakek ini adalah paman dari Lurah Lu.

“Ha-ha-ha, kalian ini termangu-mangu mempertimbangkan apa lagi?” katanya kepada Lurah Lu dan istrinya. “Bi Hwa sudah berusia dua puluh tahun dan selama ini selalu menolak pinangan yang datang sehingga meresahkan hati keluarga kita. Sekarang dia menemukan jodoh yang begini baik! Mereka sudah saling cocok dan dengan adanya pendekar … A Siong, eh siapakah nama keluarganya …..?”

Siauw Beng menjawab, “Nama keluarga suheng adalah Tan, akan tetapi dia sudah terbiasa di sebut A Siong”. “Ya, dengan adanya Pendekar Tan Siong sebagai cucu mantuku di sini, bukan saja keluarga kita akan terjamin keselamatannya, bahkan keselamatan seluruh dusun dapat di lindungi. Dimana lagi Bi Hwa bisa mendapatkan seorang suami seperti dia?”.

Lurah Lu dan istrinya tertawa dan mereka memandang kakek yangmenjadi paman mereka itu. “Aih, Paman, siapa yang termangu-mangu dan ragu? Kami hanya terheran-heran mendengar pinangan itu! Bagaimana mungkin seorang pendekar besar seperti Taihiap ini sudi jodoh dengan anak kami …..?”

A Siong yang memang berwatak jujur dan terbuka, merasa lega melihat gelagat keluarga Bi Hwa menyetujui ikatan perjodohan itu sehingga kini dia berani mengangkat muka dan dia berkata dengan suara lantang. “Ah, harap paman jangan berkata begitu. Saya yang merasa takut, kalau-kalau di tolak karena saya hanyalah seorang yatim piatu yang miskin“.

“Hai, A Siong! Mengapa engkau menyebut paman kepada calon ayah mertuamu?” Ai Yin menegur sehingga kembali A Siong tersipu dan semua orang tertawa. Bi Hwa merasa begitu girang sehingga ia merangkul ibunya yang duduk di sebelahnya, mencium pipi ibunya lalu saking malunya ia berlari ke belakang meninggalkan ruangan itu dimana mereka berpesta tadi. Kembali semua orang tertawa.

“A Siong, sebaiknya engkau kejar Bi Hwa, ia pasti berada di taman belakang dan kalian rundingkan berdua kapan perayaan pernikahan akan di langsungkan “, kata Lurah Lu.

“Sebaiknya secepat mungkin, suheng!” kata Siauw Beng. Dengan muka kemerahan A Siong bangkit lalu mengejar Bi Hwa ke belakang, di ikuti suara tawa gembira semua orang yang berada dalam ruangan itu.

Demikianlah, karena Siauw Beng dan Ai Yin akan melangsungkan pernikahan antara A Siong dan Lu Bi Hwa di langsungkan dua hari kemudian. Pernikahan itu berlangsung meriah, di hadiri oleh seluruh penduduk dusun Ki-Cung dan para lurah dan sesepuh dusun tetangga yang semua merasa gembira mendengar gerombolan jahat di Bukit Menjangan itu telah di basmi oleh Pendekar Si Tangan Halilintar bersama dua orang temannya. Lebih gembira lagi ketika mereka mendengar bahwa puteri Lurah Lu di Ki-cung kini menjadi suami istri seorang di antara para pendekar itu sehingga semua orang di sekitar daerah itu akan merasa tentram.

Setelah perayaan pernikahan selesai, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siauw Beng dan Ai Yin berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja. A Siong dan istrinya mengantar Siauw Beng dan Ai Yin menuju ke Sungai Huang-Ho, meninggalkan para penduduk yang mengantar sampai ke pintu gerbang dusun.

Setelah tiba di pantai dimana Siauw Beng meninggalkan perahu kecilnya, A Siong memegang kedua tangan sutenya dan berkata dengan suara parau karena terharu. “Sute, tolong sampaikan kepada suhu tentang keadaanku di sini dan sampaikan permohonan maafku”.

“Tentu saja, suheng. Jangan khawatir akan hal itu “, kata Siauw Beng yang merasa terharu pula. Selama ini, sejak kecil sampai sekarang, dia tidak pernah berpisah dari A Siong. Berlatih, bermain, makan dan tidur selalu berdua dan kini mereka harus berpisah!.

“Sute, yakinkah engkau bahwa aku tidak harus menemami perjalanmu?” Tanya A Siong dengan suara gemetar.

Siauw Beng merasa terharu dan dia mempererat pegangan tangannya,lalu menggeleng kepala, tidak berani bicara karena dia tahu bahwa suaranya pasti terdengar gemetar pula. Apalagi ketika dia mengangkat muka memandang wajah suhengnya yang merah dan sepasang mata A Siong basah dan berlinang air mata.

Siauw Beng tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun menundukkan mukanya agar tidak nampak bahwa kedua matanya juga basah, bahkan kini ada air mata menetes dari pelupuk mata mereka.

“Hai – hai! Apa – apaan ini? Kalian ini pendekar-pendekar gagah perkasa kini bertangisan seperti nenek-nenek cengeng saja!” terdengar Ai Yin berseru dengan suara mencela.

Dua orang pemuda itu cepat-cepat mengusap dua titik air mata dan mereka tersenyum. Untung ada Ai Yin di situ, kalau tidak ada, tentu mereka akan hanyut oleh keharuan yang akan membuat perpisahan itu menjadi terlalu berat bagi mereka. Keduanya memaksa senyum dan saling melepaskan tangan. Siauw Beng dan Ai Yin lalu mendorong perahu ke air setelah talinya di lepas dari batang pohon oleh A Siong. Dua orang laki-laki itu tidak bicara lagi sampai Siauw Beng dan Ai Yin masuk ke dalam perahu.

“Sute, jaga dirimu baik-baik “, kata Asiong.

“Engkau juga, suheng. Berbahagialah engkau bersama isterimu. Selamat tinggal, suheng, aku akan selalu mengenangmu”.

“Aku juga, sute. Selamat jalan”.

Perahu meluncur menurut arus air. Siauw Beng yang duduk di perahu menoleh memandang suhengnya sambil melambaikan tangan. A Siong juga mengikuti kepergian sutenya dan melambaikan tangannya sampai perahu itu lenyap di sebuah tikungan. Baru dia berhenti melambai dan kembali beberapa tetes air mata keluar dari mata dan membasahi pipi. Tiba-tiba Lu Bi Hwa berlutut dan merangkul kedua kakinya. “Aduh, ampunkan aku suamiku, akulah yang telah membuat engkau terpaksa berpisah dari sutemu itu ……”. Lu Bi Hwa meratap sambil menangis terharu.

A Siong membungkuk, memegang kedua pundak istrinya, mengangkatnya bangkit berdiri. Mereka berpandangan, keduanya dengan mata basah, lalu A Siong mendekap Bi Hwa ke dadanya, menekan kepala istrinya itu ke dadanya.

“Bi Hwa, istriku. Engkau tidak bersalah, akulah yang lemah. Marilah, istriku, mari kita pulang. Kita songsong kehidupan baru bersama”.

Dia mencium isterinya dan mereka berjalan pulang sambil saling rangkul. Suami itu merangkul pundak istrinya dan si isteri merangkul pinggang suaminya.

****

“Siauw Beng, engkau menyesal membujuk suhengmu menikah sehingga sekarang terpaksa engkau berpisah darinya?” Tanya Ai Yin ketika ia melihat pemuda itu termenung di kepala perahu sehingga pemuda itu lupa bahwa sejak tadi ia yang mendayung perahu itu.

Mendengar pertanyaan ini, barulah Siauw Beng seolah terseret kembali ke dunia nyata. Cepat dia berkata,” Ah, maaf Ai Yin. Sini biar aku yang mendayung perahu ini”.

“Biarlah, Siauw Beng. Biar aku dulu yang mendayung, nanti kau gantikan kalau aku sudah lelah. Kau duduklah dan tenangkan dulu hatimu, aku tahu betapa berat hatimu harus berpisah dengan A Siong. Akan tetapi engkau harus ingat bahwa kini A Siong telah menemukan jodoh dan rumah tinggal keluarga baik-baik. Bi Hwa amat mencintainya dan dia juga menyayang gadis itu. Mereka akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia. Tentu keadaannya jauh lebih baik daripada kalau dia selalu mengikutimu sebagai seorang kelana yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai keluarga”.

Siauw Beng menarik napas panjang. “Engkau benar Ai Yin. Aku berharap dan bahkan yakin bahwa dia tentu akan hidup berbahagia. Aku juga ikut merasa senang kalau suheng hidup bahagia. Akan tetapi engkau tentu dapat mengerti, Ai Yin. Hubunganku dengan suheng A Siong bukanlah hubungan kakak dan adik seperguruan belaka. Jauh daripada sekedar saudara seperguruan! Sejak aku kecil dan mulai dapat berpikir, dialah orang yang selalu menemaniku. Bahkan dia yang mengasuhku, mengajak aku bermain, menghiburku kalau aku menangis, menggendongku. Kemudian setelah aku mulai belajar silat, dia pula yang selalu menemaniku berlatih. Dia itu seolah segala-galanya bagiku, satu-satunya orang yang paling dekat dengan aku, latihan bersama, makan bersama, tidur bersama. dan ini terjadi selama hidupku sampai sekarang”.

Ai Yin mengangguk. “Aku mengerti betapa beratnya berpisah Dari orang yang paling kau sayang. Akan tetapi aku pernah mendengar ayahku berkata bahwa kehidupan di dunia ini tidak ada yang abadi. Ada pertemuan dan hidup bersama, pasti akan di susul dengan perpisahan karena itu jangan ada kemelekatan karena kemelekatan itulah yang mendatangkan rasa sakit kalau harus berpisah”.

Mendengar ucapan gadis itu, Siauw Beng tersenyum. Lucu rasanya mendengar gadis ugal-ugalan itu mengucapkan kata-kata yang biasanya di ucapkan seorang pendeta atau setidaknya seorang guru yang sudah tua. Diapun pernah mendengar ucapan itu dari mendiang Pek In San-jin.

“Akan tetapi, Ai Yin. Segala macam pelajaran seperti itu amat mudah di dengar dan dimengerti, akan tetapi untuk melaksanakannya, teramat sukar. Manusia manakah yang mampu membebaskan diri dari kemelekatan? Seluruh anggota tubuh kita ini, berikut hati akal pikiran kita, dapat mendatangkan kesenangan dan justru kesenangan itulah yang melahirkan kemelekatan”. “Tepat sekali, Siauw Beng. Memang kesenangan itulah yang menyebabkan adanya kemelekatan, dan tidak mungkin manusia selagi hidup di dunia ini menghindarkan diri dan menolak segala hal yang mendatangkan kesenangan. Pelajaran itu hanya boleh di ajarkan kepada orang yang tidak suka hidup lagi atau orang yang hendak mengasingkan dirinya dari dunia ramai untuk menjadi pertapa atau pendeta, tidak hidup sebagai manusia biasa. Aku pun sudah membantah hal ini kepada ayahku, akan tetapi dia hanya menertawakan aku saja”.

Siauw Beng mengerutkan alisnya mendengar ucapan gadis itu. Kiranya gadis itu belum mengerti benar akan pelajaran yang mendalam tentang kehidupan dan kebijaksanaan yang tadi di tiru dari ayahnya hanya di kenal kulitnya saja tanpa mengenal benar artinya atau isinya.

“Ai Yin, ayahmu benar sekali dan engkau perlu mengetahui bahwa apa yang dimaksudkan dengan semua ajaran tentang kebajikan dan kehidupan. Segala macam tentang hidup itu tentu saja tidak mungkin di taati secara sempurna karena hal itu tidak mungkin bagi manusia selagi dia masih hidup di dunia ini.

Akan tetapi pelajaran itu sedikitnya membuat kita mengerti akan sebab akbibat, mengerti pula dengan jelas apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang patut kita lakukan dan apa yang semestinya tidak kita lakukan. Pengertian ini yang membedakan kita dari mahluk lain, membedakan kita dari binatang. Kita mengerti bahwa duka akibat perpisahan itu timbul karena adanya kemelekatan yang lahir pula dari kesenangan. Akan tetapi untuk kesenangan dalam kehidupan kita adalah tidak mungkin selama kita masih ingin hidup lumrah sebagaimana manusia biasa. Akan tetapi, pengertian tentang timbulnya duka karena kesenangan itu sedikitnya membuat kita sadar sehingga tidak terlalu larut atau tidak sampai mabuk dalam kesenangan. Membuat kita waspada sehingga andaikata ada kemelekatan pun tidaklah terlalu kuat.”

Ai Yin tertawa. “he-he-he, aku melihat engkaupun sudah dapat tersenyum. Itu tandanya bahwa kedukaanmu karena harus berpisah dari orang yang kau kasihi itu tidaklah terlalu mendalam. Aku sendiri tidak mungkin bebas dari senang susah, gembira sedih, puas kecewa, cinta benci dan sebagainya karena aku masih hanyut oleh perasaanku dan aku belum mau menjadi pertapa atau pendeta!”.

Siauw Beng tersenyum. Senang hatinya bicara dengan gadis ini yang ternyata selain lihai ilmu silatnya, pemberani, gagah, cerdik dan di tambah lagi jujur mengakui kelemahannya dan agaknya dapat mengerti percakapan mengenai kehidupan.

“Hemmm, biar seorang pertapa atau pendeta sekalipun selagi masih hidup mereka tidak mungkin terbebas sama sekali dari kesenangan. Mata mereka masih suka memandang apa yang menyenangkan, juga telinga mereka suka mendengarkan suara yang menyenangkan, hidung mereka suka mencium bau yang menyenangkan dan segala anggota tubuh mereka suka akan sesuatu yang menyenangkan. Ini sudah merupakan sesuatu yang alami, yang terbawa sejak lahir. Biarpun mereka itu sudah lebih kuat dari orang biasa yang mengalami kesenangan tanpa kesan mendalam, namun tetap saja mereka masih dapat terpengaruh segala yang menyenangkan. Bahkan tujuan dan harapan mereka juga ingin mencapai hasil yang menyenangkan bagi mereka, walaupun hasil itu tidak sama dengan kesenangan lahir bagi manusia biasa”.

“Akan tetapi, Siauw Beng, aku menjadi bingung. Bukan kah para pertapa dan pendeta itu sudah tidak lagi memperdulikan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan surga atau nirwana atau yang di sebut mencapai dan bersatu kembali dengan Sang Sumber atau Thian (Tuhan)?”.

“Benar, Ai Yin. Akan tetapi kalau mereka mau bicara sejujurnya, apa yang dinamakan surga atau nirwana atau persatuan dengan Thian itu pun merupakan hal yang mereka anggap menyenangkan! Kesenangan yang terselubung kehalusan, seolah berbeda dengan kesenangan badani atau duniawi. Mereka katakan keindahan, kedamaian, ketentraman dan sebagainya. Akan tetapi bukankah semua itu juga menyenangkan? Kembali kepada rasa senang juga dan dimana ada rasa senang, di situ pasti ada rasa kemelekatan tadi, hanya kadarnya saja yang berbeda, tebal dan tipis”.

“Wah, wah! Aku menjadi pusing, Siauw Beng. Engkau bicara seperti kakek- kakek dan aku yang mendengarkan dan memikirkan merasa seperti nenek-nenek. Otakku menjadi puyeng!” kata Ai Yin sambil tertawa. Cantiknya gadis itu kalau tertawa!.

“Sudahlah, Ai Yin tidak perlu berpusing-pusing memikirkan tentang filsafat. Filsafat itu hanya permainan kata-kata tingkat tinggi. Kembali saja kepada keadaan kita sendiri. Kita ini hidup ada Yang Menghidupkan, mati ada Yang Mematikan. Segala macam perasaan inipun bukan buatan kita, melainkan ada Yang Memberi kepada kita. Kita berhak mempergunakan semua bagian tubuh dan hati akal pikiran kita, asal saja tidak menyimpang dari kebenaran”.

“Nah, sulit lagi! Kebenaran itu apa dan bagaimana? “

“Bukan lagi kebenaran kalau diperebutkan atau diperdebatkan. Kebenaran sudah di ajarkan oleh semua agama. Kebenaran sudah di ajarkan oleh semua orang tua dan guru yang tidak sesat.

Kebenaran sudah dikenal oleh setiap orang manusia di bagian dunia masing-masing sejak dia mampu mengerti kata-kata. Semua orang yang melakukan kejahatan di dunia ini tahu bahwa perbuatan mereka itu tidak benar. Jadi kebenaran tidak perlu di perbincangkan lagi. Pendeknya kebenaran itu membangun, memelihara, tidak merusak, kebenaran itu juga dapat dinamakan Kasih”.

“Ya, sudahlah, kalau kau lanjutkan aku bisa jatuh pulas karena otakku lelah memikirkan itu semua. Sekarang engkau hendak langsung ke kota raja?”.

“Tidak, Ai Yin. Aku ingin pergi ke Kota Keng-koan dulu yang letaknya tidak jauh dari kota raja. Aku ingin mencari dan mengunjungi Makam ayah kandungku”.

“Ah, aku senang dapat melakukan perjalanan ini, Siauw Beng. Aku juga ingin sekali melihat Kota Raja yang kabarnya amat ramai dan indah”.

“Engkau juga belum pernah ke sana?”

“belum. Ketika aku meninggalkan ayah di pegunungan Beng-san, aku langsung saja mencari susiok Can Ok di lembah sungai Huangho. Siauw Beng engkau belum pernah cerita tentang mendiang orang tuamu. Ceritakanlah, Siauw Beng, aku ingin sekali mengetahui segala tentang dirimu”.

Siauw Beng menghela napas panjang. “Sudah ku katakan bahwa aku terlahir dan tak pernah mengenal ayah ibuku. Aku hanya mengetahui tentang mereka dari ayah angkatku, Lam-liong Ma Giok. Ceritanya tentang ayah dan ibuku amat menyedihkan Ai Yin”.

“Nah, nah! Bukankah orang bijaksana tidak boleh terlalu terpengaruh kesenangan dan kesusahan? Ceritakanlah, Siauw Beng. Biar aku yang mendayung terus dan engkau yang bercerita. “Jangan seperti ayahku, Siauw Beng”.

“Kenapa ayahmu?”.

“Pendiam dan pelit sekali kalau di minta bercerita tentang mendiang ibuku, tentang masa mudanya dan sebagainya. Karena pelit bercerita itu aku sampai tidak menduga sama sekali bahwa susiok Can Ok ternyata seorang yang jahat! Nah, berceritalah tentang ayah ibumu”.

“Di waktu mudanya, ayah bernama Lauw Heng San dan sejak muda dia bertindak sebagai seorang pendekar, menolong siapa saja tanpa membedakan orang karena dia tidak terpengaruh oleh gerakan para pendekar yang berjuang menentang pemerintah Kerajaan Mancu.

Siapa saja yang perlu di tolong, dia tolong dan siapa saja yang melakukan kejahatan dia tentang”.

“Wah, itu benar sekali. Aku pun dalam dua tiga bulan ini sering menentang susiok kalau dia merampok rombongan orang Mancu dan hendak membunuh mereka yang tidak berdosa”.

“Karena sama sekali tidak tahu akan perjuangan menentang Kerajaan Mancu, ayah terbujuk seorang pembesar Mancu, yang di serang gerombolan. Pembesar Mancu itu memakai nama pribumi Thio Ci Gan, padahal sebenarnya dia seorang pangeran Kerajaan Mancu. Thio-ciangkun ( panglima Thio) bersikap baik kepada ayah dan memberi kedudukan sebagai seorang perwira, bahkan ayah di ambil sebagai mantu, di nikahkan dengan puteri tiri Thio-ciangkun atau Pangeran Mancu itu. Kemudian ayah mendapat tugas untuk membasmi gerombolan-gerombolan penjahat yang sebetulnya adalah para pejuang yang menentang Kerajaan Mancu. Ayah tidak tahu akan hal itu sehingga banyak pendekar yang tewas di tangannya!”. Siauw Beng berhenti dan menghela napas, menyesal dan kasihan kepada ayah yang tidak pernah dilihatnya itu.

“ayahmu tidak bersalah. Pangeran Mancu itulah yang jahat …… eh, maaf, bukankah mendiang ibumu itu puteri dari pangeran itu?”.

“Ya, akan tetapi hanya anak tiri. Kakek ku bermarga Bu dan sudah meninggal dalam perjuangan ketika tentara Mancu menyerbu ke selatan. Nenekku, Nyonya Bu, menjadi istri Thio-ciangkun dan membawa seorang anak, yaitu ibuku yang bernama Bu Kui Siang. Ketika ibuku mengandung aku, ayahku bertemu gurunya dan baru menyadari bahwa dia telah tertipu dan membunuh banyak pendekar patriot yang berjuang menentang pemerintah penjajah Mancu. Ayah menjadi marah sekali lalu memberontak, terjadi pertempuran hebat dan ayahku di keroyok para jagoan Thio-ciangkun itu. Akhirnya, ayah dapat membunuh Thio-ciangkun akan tetapi dia juga tewas”.

“Ah, sungguh sayang. dan bagaimana dengan ibumu?”.

“Ah, ketika aku ingat akan cerita ayah angkatku tentang ibu kandungku, aku menjadi sedih sekali, Ai Yin. Ketika ayah kandungku memberontak sehingga terjadi perkelahian hebat, ayahku di bantu oleh para pendekar pejuang termasuk Lam-liong Ma Giok, ibuku melarikan diri, di tolong ayah angkatku itu. Ketika ibu di ajak lari oleh Lam-liong Ma Giok, ia dalam keadaan hamil. Mereka berdua melakukan perjalanan ke Thai-san. Perjalanan itu amat jauh dan ibu dalam keadaan mengandung sehingga perjalanan lambat sekali. Berbulan-bulan mereka melakukan perjalanan.

Sebelum tiba di Thai-san mereka melihat pengantin baru di culik gerombolan penjahat. Pengantin prianya putera seorang penjahat Mancu, dan yang wanita seorang wanita Han. lam-liong Ma Giok menolong mereka lalu melanjutkan perjalanan. Ketika itu kandungan ibuku sudah sembilan bulan. Kemudian muncul ………. Toat-beng Siang-kiam Can Ok dan anak buahnya menghadang dan menuduh ayah angkatku sebagai pengkhianat dan membela orang Mancu. Mereka bertanding dan Can Ok melarikan diri”.

“Hemmm, kiranya sejak mudanya susion Can Ok sudah menjadi kepala gerombolan penjahat!” kata Ai Yin penasaran dan ia merasa malu mempunyai paman guru seperti itu.

“Can Ok dan anak buahnya dapat di usir, akan tetapi ibuku di culik dua orang anak buah Can Ok. Lam-liong Ma Giok melakukan pengejaran dan berhasil membunuh dua orang penculik dan menyelamatkan ibu. Perjalanan di lanjutkan dan sudah tiba saatnya ibu melahirkan. Di sebuah dusun ibu di tolong seorang bidan. Akan tetapi ketika ibu sedang berjuang hendak melahirkan aku, muncul Can Ok yang di bantu oleh Hui-kiam Lo-mo menyerang!”. “Wahhh, memalukan sekali! Susiok dan sukong (kakek guru) jahat sekali!” teriak Ai Yin. “Lalu bagaimana, Siauw Beng?”.

“Lam-liong Ma Giok melawan mati-matian di luar kamar sedangkan di dalam kamar, di bantu bidan yang ketakutan, ibu kandungku juga berjuang mati-matian. Tubuhnya yang lemah karena perjalanan jauh dan kedukaan membuat kelahiranku itu sukar sekali. Akhirnya ayah angkatku berhasil mengusir Can Ok dan Hui-kiam Lo-mo, akan tetapi pada saat dia bertanding itu, ibuku telah melahirkan aku. Aku di lahirkan selamat, akan tetapi ibuku …… “, suara Siauw Beng tersendat.

“Ibumu bagaimana? Bagaimana, Siauw Beng?” Ai Yin memegang lengan Siauw Beng dengan kuat sehingga dia lupa mengemudikan perahu dengan dayung sehingga perahu melintang.

“Ibu … meninggal dunia ……”.

“Keparat! Busuk sekali mereka! Aku akan melaporkan kepada ayah tentang kejahatan Can Ok!” teriak Ai Yin marah. Akan tetapi melihat perahu melintang ia lalu menggerakkan dayungnya sehingga perahu itu meluncur kembali. “Siauw Beng, kenapa engkau tidak membunuh Can Ok ketika mendapat kesempatan bertanding dengan dia?”.

Siauw Beng menggeleng kepalanya. “Tidak, Ai Yin. Suhu Pek-in San-jin, juga ayah angkatku melarang aku melakukan pembunuhan dengan semena-mena. Biarpun Can Ok menyerang ayah angkatku, namun dia menyerang dengan tuduhan bahwa Ma Giok menjadi pengkhianat. Dia tidak langsung membunuh ibuku, walaupun mungkin penyerangan itu yang menyebabkan ibuku mati ketika melahirkan”.

“Hemm, aku tidak setuju dengan pendapat itu, Kalau aku menjadi engkau tentu sudah ku bunuh Can Ok itu! Lalu bagaimana ceritamu selanjutnya, Siauw Beng?”.

“Sejak lahir aku di pelihara oleh ayah angkatku itu. Dapat engkau bayangkan betapa sukarnya bagi seorang laki-laki untuk merawat dan memelihara seorang bayi yang baru lahir, padahal dia sedang melakukan perjalanan ke Thai-san. Setelah dia tiba di Thai-san, ayah angkatku itu tinggal di sana dan memelihara aku sampai aku berusia sepuluh tahun, baru aku di serahkan kepada suhu Pek In San-jin untuk di latih lebih lanjut. Dan sejak kecil aku selalu di temani suheng A Siong yang baik dan setia. Demikianlah riwayatku, Ai Yin sampai aku dan suheng di suruh turun gunung”.

“Wah, sungguh amat bijaksana Lam-liong Ma Giok. Akan tetapi engkau belum bercerita tentang nenekmu, nyonya Bu yang menjadi isteri Pangeran Mancu itu. Bagaimana dengan ia?”

“Entah, ayah angkatku tidak tahu tentang nenekku. Karena itu, di Keng-koan nanti aku akan mencari keterangan tentang nenekku itu”.

“Sebuah pertanyaan lagi, Siauw Beng. Akan tetapi janji dulu, engkau tidak akan marah oleh pertanyaanku ini”.

“Siuaw Beng tersenyum. Bagaimana mungkin dia bisa marah terhadap gadis yang lincah, jujur dan terbuka ini?.

“Aku tidak akan marah. Bertanyalah, Ai Yin”.

Gadis itu memandang kea rah lengan kiri Siauw Beng yang buntung. “Apa yang terjadi dengan lengan kirimu? Aku tidak percaya kalau lengan kirimu buntung sejak engkau lahir“. Siauw Beng menghela napas panjang. Dia sudah khawatir akan di Tanya tentang lengan kirinya yang buntung. Kepada orang lain mungkin dia tidak akan menceritakan tentang ini, akan tetapi dia merasa bahwa terhadap Ai Yin dia tidak dapat merahasiakannya. Kalau dia tidak mau menceritakan, tentu Ai Yin akan menganggap dia tidak percaya kepadanya. Padahal gadis itu juga sudah bercerita tentang dirinya tanpa ada yang di rahasiakan, bahkan mengaku terus terang bahwa Can Ok yang jahat adalah paman gurunya.

“Ini semua terjadi karena kesalahpahaman belaka, Ai Yin. Aku pernah menolong seorang wanita Mancu dan hal ini di anggap sebagai pengkhianatan terhadap para pejuang. Bahkan ayah angkatku, Lam-liong Ma Giok sendiri terkena hasutan itu dan percaya bahwa aku berkhianat. Aku di serang dan ……….. ketika menangkis bacokan pedang, lengan kiriku buntung ”.

“Apa? “Ai Yin membelalakkan matanya. “Ayah angkatmu Lam-liong Ma Giok itu, yang aku kagumi karena kebijaksanaannya, dia sendiri yang membuntungi lengan kirimu?”.

Siauw Beng menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kalau dia teringat akan peristiwa itu, bukan dibuntungi lengannya yang menyakitkan hatinya benar, melainkan sikap Lam-liong Ma Giok yang membencinya karena ayah angkatnya itu percaya akan tuduhan yang di lontarkan kepadanya oleh Song Cun.

“Bukan, karena ayah angkatku yang membuntungi, Ai Yin. Orang lain yang melakukan. Akan tetapi aku merasa sedih sekali, bukan kerena buntungnya lengan kiriku, melainkan karena ayah angkatku juga percaya bahwa aku telah berkhianat dan menjadi pembela orang Mancu”.

“Hemmm, wanita Mancu yang kau tolong itu, mengapa engkau menolongnya? Apa yang terjadi dengannya?”.

“Ia hendak di bunuh tanpa dosa, maka aku mencegah pembunuhan itu”. Siauw Beng tidak mau menceritakan tentang perkosaan terhadap Puteri Mayani itu.

“Dua orang pendekar Song, orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap telah di serbu pasukan Manchu dan terbunuh. Wanita Manchu itu di tuduh menjadi penggerak dari penyerbuan itu, padahal dia bukan. Para pendekar pejuang menangkapnya dan hendak di bunuh. Aku yang tahu betul bahwa dia bukan penggerak penyerbuan, lalu menolongnya. Akibatnya aku di tuduh pengkhianat”.

Gadis itu mengangguk-angguk, sampai lama mereka tidak bicara. Ai Yin termenung dan alisnya berkerut.

“Siauw Beng!”.

Pemuda itu terkejut karena dia pun sedang melamun ketika gadis itu memanggilnya secara tiba-tiba.

“Ada apa, Ai Yin?”.

“Wanita Manchu itu sudah tuakah ia atau masih muda?”. “Masih muda, seorang gadis sebaya dengan engkau”. “Cantik?”.

“ Yaahhh, sama dengan engkau”.

Sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu berkerut dan sepasang mata itu mengamati wajah Siauw Beng penuh selidik. “Cantik tidak, tanyaku tadi!”.

“Hemmm, cantik sekali “, kata Siauw Beng jujur.

Wajah Ai Yin berubah kemerahan. Hatinya merasa senang, akan tetapi juga iri. Senang karena gadis itu cantik sekali dan sama dengannya, berarti pemuda itu juga mengatakan bahwa ia cantik sekali! Dan ia pun iri mendengar Siauw Beng memuji gadis Mancu itu dan menolongnya dengan pengorbanan lengan kirinya sebagai  akibat  pertolongan  itu. “Siapa namanya?”. “Nama Siapa?”

“Nama gadis Manchu itu tentu saja!”. “Ooo, namanya Puteri Mayani”. “Puteri?”.

“Ya, dia puteri seorang pangeran Mancu, ibunya wanita Han“. “Hemmm …… Mayani …..”.

“Eh, Ai Yin, mengapa engkau tertarik tentang Puteri Mayani?”.

“Aku ingin melihat seperti apa gadis Mancu itu sehingga engkau rela mengorbankan lengan kirimu untuknya”.

“Aih, aku tidak mengorbankan lenganku untuknya! Aku hanya menolong ia karena ia hendak di bunuh Song Cun ….. “

Siauw Beng tiba-tiba menahan bicaranya karena dia tidak ingin bicara tentang peristiwa itu.

“Song Cun? Siapa dia?”

“Ah, dia itu putera pendekar ke dua dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang terbunuh oleh pasukan Manchu. Karena menuduh Puteri Mayani sebagai penggerak penyerbuan itu, maka untuk membalas dendam kematian ayahnya dia hendak membunuh gadis itu”.

Ai Yin mengangguk-angguk. “Hemmm, dan engkau mencegah pembunuhan itu maka engkau lalu di anggap sebagai pengkhianat dan pembela gadis Manchu?”.

“Sudahlah, Ai Yin. Tidak ada gunanya kita membicarakan soal itu yang sudah terjadi lebih dari setahun yang lalu. Aku tidak ingin lagi mengenang peristiwa yang pahit itu”.

Melihat Ai Yin masih mengerutkan alis seperti orang berpikir dia berkata, “Mari ku gantikan mendayung!”.

Tanpa menjawab Ai Yin menyerahkan dayung dan mereka bertukar tempat. Siauw Beng duduk di tengah mendayung atau lebih tepat mengemudikan perahu karena perahu itu meluncur terbawa arus sungai yang mulai kuat, dan Ai Yin duduk di depannya. Gadis itu duduk membelakanginya seperti menikmati pemandangan yang cukup indah di sepanjang sungai. Setelah lama bersunyi diri, tiba-tiba Ai Yin tanpa menoleh bertanya, “Siauw Beng engkau ingin pergi ke kota raja untuk menemui Puteri Mayani?”.

“Ah, tidak. Sudah ku katakan, aku ingin melihat-lihat kota raja”.

Ai Yin diam sampai lama. Akan tetapi akhirnya kegembiraannya muncul kembali dan ia bersikap lincah dan ramah kepada Siauw Beng sehingga pemuda itu....

hal 59 -62 hilang.

Sehingga kami terpaksa melarikan diri dan banyak anak buahku yang roboh. Anak buahku cerai-berai dan aku terpaksa membentuk kelompok baru yang sekarang baru ada belasan orang”.

“Si Tangan Halilintar? Siapakah dia itu?”.

“Orangnya masih muda dan tampaknya lemah, bahkan lengan kirinya juga buntung tinggal sepotong sebatas siku. Akan tetapi dia lihai bukan main. Kawannya pemuda tinggi besar itu juga amat lihai, namanya A Siong”.

Cun Song mengangguk-angguk. Dia dapat menduga siapa yang dimaksudkan Can Ok. Tentu Siauw Beng yang kini agaknya melanjutkan julukan ayahnya dahulu, yaitu si Tangan Halilintar. Dan A Siong itu tentu murid Lam-liong Ma Giok yang selalu menemani Siauw Beng.

“Aku mengenal mereka, twako. Akan tetapi siapakah keponakan muridmu itu?”. “Ia Wong Ai Yin, puteri suheng Bu-tek Sin-kiam”.

“Ah, seorang gadis?”.

“Ya, seorang gadis cantik. Akan tetapi iapun lihai bukan main. Ketahuilah suheng Bu-tek Sin-kiam itu memiliki tingkat kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada tingkat mendiang suhu Hui-kiam Lo-mo”.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar