Jilid 13
"Terima kasih kepada Souw-taijin dan Souw-hujin (Nyonya Souw) berdua. Soal itu harus dibicarakan dengan Paman Ma, karena dialah yang berhak memutuskan apa yang harus saya lakukan. Hanya dialah pelindung saya dan saya akan mentaati segala petunjuknya."
Souw-taijin mengangguk-angguk. "Dia seorang pendekar sakti yang pantas kautaati. Mudah-mudahan dia dapat menyelamatkan putera dan mantu kami."
Putera pembesar Souw yang ditawan gerombolan itu bernama Souw Cln, berusia dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan sikapnya lembut, seorang yang telah lulus dalam pelajaran kesusasteraan. Baru sepekan yang lalu Sduw Cin melangsungkan pernikahannya dengan Lui In, isterinya yang baru berusia delapan belas tahun, yang kini ikut pula terculik bersamanya. Pernikahan itu menghebohkan di kalangan para pejabat bangsa Mancu, juga menggegerkan para pejuang karena Souw Cin adalah seorang bangsa Mancu aseli, sedangkan Lui In adalah seorang gadis bangsa Han aseli. Akan tetapi Souw-taijin yang bijaksana tidak memperdulikan perbedaan ras ini. Dia menyetujui pernikahan itu karena dia tahu benar bahwa perjodohan itu berdasarkan cinta kasih kedua pihak.
Akan tetapi ternyata perkawinan itu mendatangkan akibat buruk, yaitu diserangnya keluarga pembesar Souw pada hari itu, bahkan sepasang pengantin yang baru sepekan menikah itu sempat diculik dan dilarikan gerombolan. Sepasang suami isteri muda itu dilarikan naik ke sebuah bukit kecil yang permukaannya penuh dengan hutan lebat. Baik Souw Cin maupun Lui In, keduanya tidak mampu meronta atau berteriak karena mereka telah lemas oleh totokan dua orang pimpinan gerombolan yang kini memanggul mereka sambil lari bersama kawan-kawannya yang kesemuanya berjumlah tiga puluh orang. Akhirnya mereka tiba di puncak bukit, dalam sebuah hutan cemara. Di tempat terbuka, di mana pohon-pohonnya sudah. ditebang, terdapat beberapa buah rumah darurat terbuat dari kayu dan bambu.
Mereka membentuk lingkaran yang besar dan dua orang tawanan itu diturunkan di tengah- tengah lingkaran. Souw Cin diturunkan dengan kasar, setengah dibanting sehingga pemuda Mancu itu terguling. Akan tetapi Lui In diturunkan perlahan-lahan.
"Kalian berlutut, beri hormat kepada para pimpinan kami!" bentak seorang anak buah gerombolan yang tinggi besar dan brewok. Yang disebut pimpinan itu adalah orang yang memondong tawanan tadi, ditambah seorang lagi. Mereka bertiga duduk di sebuah bangku, sedangkan para anak buah berjongkok atau duduk di atas tanah. Di sebelah mereka terdapat pula tiga bangku kosong, yaitu tempat duduk tiga orang pemimpin lain yang tadi dirobohkan Ma Giok dan sekarang berada di dalam rumah untuk mengobati luka-luka mereka.
"Hayo berlutut!" bentak lagi si brewok kemuka Souw Cin dan Lui In yang duduk bersimpuh di atas tanah depan para pimpinan itu tidak segera berlutut memberi hormat.
"Kalian ingin disiksa, ya?" si brewok yang agaknya menjadi algojo Itu melangkah maju dan menampar muka Souw Cin.
"Plakk! Tubuh Souw Cin terguling dan pipi kirinya membengkak. Lui In menubruknya dan menangis. Akan tetapi mereka berdua tetap tidak mau berlutut, hanya duduk sambil berangkulan.
Tiga orang pimpinan lain yang tadi merawat luka mereka kini meloncat dari atas bangku- bangku yang kosong. Seorang di antara mereka, yang bertubuh. tinggi kurus dan mukanya kuning, melihat algojo hendak menjambak rambut panjang Lui In, cepat mengangkat tangan.
"Hentikan! Aku akan memeriksa mereka!" Algojo itu tidak jadi menyiksa dan melepaskan rambut panjang Lui In.
"Heh, kalian berdua! Tidak tahukah Kalian siapa kami? Siapa aku?" bentak pemimpin gerombolan bermuka kuning itu.
Souw Cin dan Lui In mengangkat muka memandang ke arah si muka kuning, lalu kepalanya menggeleng sebagai jawaban bahwa mereka tidak mengenal mereka.
"Hemm, orang-orang Mancu memang sombong dan bodoh! Ketahuilah engkau, heh Souw Cin orang Mancu keparat, kami adalah para pejuang, orang-orang Han yang membela kerajaan Beng dan menentang kalian para penjajah Mancu! Dan aku adalah Ui-bin-houw (Harimau Muka Kuning), satu di antara Enam Harimau yang memimpin pasukan pejuang ini!” Mendengar ucapan itu, Souw Cin menatap dengan muka berubah pucat karena dia maklum bahwa nyawanya tidak akan tertolong lagi. Dia hanya mempererat rangkulannya kepada isterinya siap untuk mati bersama isterinya. “Dan engkau, Lui In, perempuan rendah dan hina tak tahu malu! Engkau adalah seorang wanita Han, bagaimana mau merendahkan diri diperisteri seorang penjajah Mancu? Engkau pengkhianat! Kalian berdua harus dihukum dan dengarlah keputusan hukuman bagi kalian! Souw Cin, isterimu akan dlperkosa beramai-ramai di depan matamu, baru kami akan membunuhmu!"
“Tidak …. !!" Souw Cln bangkit berdiri sehingga Lui In yang didekapnya dengan erat itu terbawa berdiri pula. "Kalau kalian mau membunuhku, lakukanlah! Akan tetapi jangan mengganggu Lui In, Ia tidak bersalah apa-apa dan bukankah ia itu sebangsa dengan kalian?" Pada saat itu ternyata totokan yang membuat Souw Cin dan Lui In tidak mampu bicara telah habis pengaruhnya dan mereka mampu menggerakkan semua anggauta tubuh dan dapat mengeluarkan suara. "Ha-ha-ha!!” Kepala gerombolan nomor satu yang berjuluk Harimau Muka Kuning itu tertawa. "Justeru kami ingin engkau melihat isterimu diperkosa beramai-ramai itulah sebagian dari hukumanmu!"
"Tidak! Tidak, jangan ganggu isteriku!" Souw Cin memeluk isterinya yang mulai menangis tersedu-sedu.
Ui-bin-houw menjulurkan tangannya, menangkap lengan Lui In dan menariknya dengan kuat agar wanita itu terlepas dari rangkulan suaminya. Akan tetapi suami isteri itu berangkulan sedemikian eratnya sehingga ketika Lui In tertarik, Souw Cin juga ikut terbetot. Agaknya mereka tidak dapat dipisahkan lagi. Si Harimau Muka Kuning marah dan memerintahkan kepada algojonya yang brewok ltu.
"Pisahkan mereka!"
Sang algojo nampaknya gembira dengan perintah ini. Sambil menyeringai lebar dia menghampiri suami isteri itu. "Heh-heh, kalau perlu kupatah-patahkan semua jari tanganmu, orang Mancu, agar engkau tidak dapat lag! memegangi isterimu. Ha-ha-ha!"
Algojo yang tinggi besar dan brewok itu menggerakkan tangannya yang besar dan panjang, menangkap lengan Souw Cln dan agaknya ia hendak melaksanakan ancamannya, yaitu mematah-matahkan semua jari tang an pemuda Mancu itu.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Lepaskan tanganmu!" dan sebuah kerikil menyambar, tepat mengenai tangan algojo yang mencengkeram tangan Souw Cin.
"Takk …… aduuhh ……!" Algojo itu melepaskan pegangannya dan menyeringai kesakitan. Punggung tangannya terasa nyeri sekali dan ketika dia memandangnya, temyata punggung tangannya itu luka berdarah. Sesosok bayangan berkelebat melewati kepala anak buah gerombalan yang membuat lingkaran, tahu-tahu sudah berhadapan dengan algojo itu.
Sang algojo terkejut akan tetapi juga marah sekali. Dengan mata melotot lebar menghardik.
"Kamu yang menyambit tanganku tadi?"
Penyambit yang kini masuk ke dalam lingkaran itu adalah Ma Giok. Dia mencari dan mengejar para gerombolan dan dengan mudah dapat menemukan mereka di puncak bukit itu dan menolong Souw Cin yang terancam algojo itu.
"Benar, aku yang melakukannya!" kata Ma Giok dengan Iantang.
"Jahanam, engkau sudah bosan hidup!" teriak algojo itu yang cepat mencabut sebatang golok besar dari pinggangnya dan tanpa banyak kata lagi dia menyerang dengan sambaran goloknya ke arah leher Ma Glok. Agaknya dia akan memenggal leher Ma Giok dengan sekali sabetan. Akan tetapi dengan mudah Ma Giok menundukkan kepalanya sehingga golok itu menyambar lewat di atas kepalanya dan sebelum algojo itu tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja dia sudah diserang seperti sambaran kilat.
"Wuutt …… krekk!" Tulang lengan kanannya patah dan golok itu terlepas dan tangan kanan Ma Giok menyusul ke arah tengkuknya.
“Desss, …… !" Tubuh aIgojo yang tinggi besar itu terpelanting dan dia tidak mampu bangun kembali!.
Melihat ini, enam orang pimpinan yang disebut Enam Harimau itu sudah berloncatan bangkit. Mereka segera mengenal Ma Giok yang tadi membuat mereka melarikan diri. Enam orang pemimpin gerombolan itu menjadi marah sekali. Mereka sudah mencabut golok mereka dan menyerang sambil mengepung Ma Giok. Pendekar ini sudah pula mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan begitu dia menggerakkan pedang itu, tampak gulungan sinar berkelebatan menyambut serangan enam batang golok itu.
Terdengar suara berkerontangan berulang-ulang disusul patahnya golok dan robohnya enam orang pimpinan gerombolan, lima orang di antaranya terluka parah, hanya seorang saja yang terluka ringan pada pundaknya karena dia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat teman-temannya. Dia adalah Ui-bin-houw yang terluka pundak kanannya.
Ma Giok sudah menyarungkan pedangnya kembali dan dia bertolak pinggang, membentak dengan suara nyaring berpengaruh. "Hayo, siapa lagi yang hendak mencari kematian! Aku, Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok yang akan mengakhiri kejahatan kalian!"
"Lam-liong ……. !!??” banyak suara menyebut julukan ini dan mereka nampak gentar. Bahkan Ui-bin-houw segera berlutut, diturut oleh semua anak buahnya.
"Maafkan kami, tai-hiap. Karena tidak mengenal, maka kami berani lancang menyerang tai-hiap. Akan tetapi, kalau tai-hiap benar Lam-liong, kenapa taihiap membela jahanam Mancu ini? Dia adalah Souw Cin, putera Souw-taijin, pembesar Mancu yang sudah sepatutnya kita basmi! Bukankah tai-hiap terkenal sebagai pemimpin para pejuang? Kami juga pejuang yang menentang penjajah Mancu, tai-hiap!"
Ma Giok mengerutkan alisnya yang hitam tebal. "Hemm, pejuang macam apa kalian ini? Merampok harta, menculik wanita, semua untuk kesenangan kalian. Pejuang sejati tidak melakukan, kekejian seperti ini. Kalian hanya segerombolan perampok keji dan jahat yang menggunakan kata perjuangan sebagai kedok! Orang-orang macam kalian ini bahkan mencemarkan nama dan kehormatan para pejuang sejati. Penjahat-penjahat macam kalian sudah sepatutnya dibasmi habis!"
Semua anggauta gerombolan menjadi pucat ketakutan. Ui-bin-houw cepat berlutut dan memberi hormat. "Ampun, taihiap. Ampunkan kami yang bodoh. Mulai saat ini kami berjanji akan menjadi pejuang-pejuang yang baik!"
Ma Giok sudah terbiasa dengan janji orang-orang macam ini. Dalam perjalanannya sebagai pejuang yang sudah bertahun-tahun berjuang menentang penjajah semenjak bangsa Mancu berkuasa, dia sudah bertemu dengan banyak gerombolan yang membonceng nama perjuangan untuk melakukan kejahatan demi kesenangan mereka sendiri. Dia tersenyum mengejek dan berkata singkat,” kita sama lihat saja nanti!"
Setelah berkata demikian, dia memberi isyarat kepada Souw Cin dan Lui In yang masih saling berangkulan. "Mari, kuantar kalian pulang."
Suami isteri ini merasa lega sekali. Sama sekali mereka tidak menyangka akan dapat lolos demikian mudahnya dari ancaman maut. Mereka cepat bergandeng tangan pergi meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Ma Giok yang menjaga agar mereka tidak diganggu atau diserang. Akan tetapi gerombolan itu agaknya sudah kehilangan nyali mereka dan tidak berani mengganggu Naga Selatan yang amat lihai itu.
Tentu saja kedatangan mereka bertiga disambut dengan keharuan dan kegembiraan. Souw-taijin menyuruh puteranya dan mantunya untuk berlutut di depan Ma Giok dan menghaturkan terima kasih. Dia sendiri bersama isterinya berulang kali menjura dan mengucapkan terima kasih. Ma Giok cepat mengangkat bangun suami isteri muda itu., Lalu dia memandang kepada Kui Siang yang ikut menyambut dengan girang.
"Kui Siang, mari kita lanjutkan perjalanan." kata Ma Giok.
Kui Siang mengangguk, akan tetapi Souw-taijin dan isterinya cepat menjura kepada Ma Giok dan berkata, "Ma-taihiap, kami mengharap dengan sangat agar taihiap dan Kui Siang tinggal saja di sini. Kami akan merasa senang sekali." kata pembesar Mancu itu. Ma Giok menggeleng kepala keras-keras. Bagaimana mungkin dia tinggal di rumah seorang pembesar Mancu? Dia yang biasanya memimpin para pejuang yang menentang pemerintah Mancu!
"Tidak, Souw-taijin. Saya harus pergi melanjutkan perjalanan sekarang juga." katanya.
Tiba-tiba Nyonya Souw berkata. "Kalau tai-hiap tidak bisa, biarkanlah Kui Siang tinggal di sini, taihiap. Kami merasa kasihan kepadanya. Kandungannya besar dan perjalanan jauh akan buruk sekali terhadap kesehatannya. Setidaknya biarkan ia sampai melahirkan anaknya di sini.
Ma Giok hendak menolak, akan tetapi dia teringat akan keadaan Kui Siang. Bagaimanapun juga, dia tidak berhak memutuskan dan diapun maklum bahwa apa yang dikatakan nyonya pembesar itu benar. Kui Siang akan menderita kalau harus melakukan perjalanan jauh dengan kandungan yang telah besar. Maka, dia lalu memandang kepada Kui Siang dan bertanya.
"Bagaimana pendapatmu, Kui Siang?"
Wanita itu balas memandang dan tersenyum, senyum manis penuh kepasrahan kepada pendekar itu, lalu berkata lirih, "Aku hanya menurut dan menaati apa yang kauputuskan, paman. Terserah kepada keputusanmu.
Ma Giok menghela napas lega. Biarpun dia tidak akan menghalangi kalau Kui Siang memilih tinggal di rumah pembesar Mancu itu, namun di dalam hatinya dia akan merasa kecewa.
"Nah, Souw-taijin dan Souw-hujin, kami berdua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sekarang juga dan terima kasih atas kebaikan hati ji-wi (kalian berdua)."
Souw-taijin dan isterinya merasa kecewa sekali, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat memaksa kalau kedua orang itu memang bermaksud untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah menghela napas panjang, Souw Bu Lai berkata, "Kalau ji-wi (kalian berdua) hendak melanjutkan perjalanan, kami tidak dapat menahan. Akan tetapi, kulihat kuda tunggangan Kui Siang sudah lemah karena kelelahan. Karena itu terimalah sumbangan dua ekor kuda dari kami agar ji-wi dapat melanjutkan perjalanan dengan lancar. Kami harap jiwi tidak akan menolak pemberian kami ini karena hal itu akan membuat hati kami menderita sekali."
Karena khawatir kalau-kalau Ma Giok yang pemimpin pejuang itu akan berkeras menolak, Kui Siang mendahului. "Baiklah, kami terima pemberian tai-jin dengan rasa syukur dan terima kasih. Akan tetapi tai-jin sekeluarga harap berhati-hati karena banyak orang jahat yang dapat mengganggu tai-jin."
"Jangan khawatir, Kui Siang. Kami telah minta bala bantuan dari kota Jiangli dan sebentar lagi tentu datang sepasukan perajurit yang akan bertugas sebagai penjaga keamanan di sini."
Ma Giok tentu saja tidak dapat menolak lagi pemberian itu karena Kui Siang sudah mendahuluinya menerima. Dua ekor kuda yang besar dan kuat diberikan kepada mereka, bahkan Souw-taijin membekali dengan sekantung emas yang diselipkan di sela kuda. Setelah berpamit, berangkatlah Ma Giok dan Kul Siang, melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Gunung Thai-san.
Dua ekor kuda itu ber jalan perlahan di jalan sunyi itu. Sudah tiga hari mereka meninggalkan dusun Lian-ki-jing. Kesunyian itu membuat Kui Siang mendapat kesempatan untuk mengeluarkan gagasan yang membuat ia bingung semenjak ia meninggalkan keluarga Souw di Lian-ki-jing itu.
"Paman Ma, aku merasa heran sekali dan tidak mengerti ……” Ma Giok yang menunggang kuda di sebelah kiri Kui Siang, menoleh dan memandang wanita itu sambil tersenyum. "Apa yang kauherankan dan tidak kau mengerti itu?"
Kui Siang memandang lagi ke depan dan menjalankan kudanya perlahan-lahan. "Ketika aku masih menjadi puteri Pangeran Abagan yang. menyayangku, aku menganggap bahwa dia seorang yang baik dan para pejuang yang kuanggap sebagai penjahat dan pengacau adalah orang-orang jahat. Kemudian, setelah terjadi keributan yang mengakibatkan tewasnya suamiku, aku melakukan perjalanan bersamamu, aku sering mendengar paman bercerita tentang para pejuang yang gagah perkasa, pembela nusa bangsa yang budiman dan tentang orang-orang Mancu yang menjadi pembesar sebagai orang-orang jahat. Aku mulai merasa kagum kepada para pendekar pejuang dan mulai merasa benci kepada orang-orang Mancu. Akan tetapi apa yang kualami semenjak melarikan diri dari gedung Pangeran Abagan, aku melihat kenyataan yang sungguh amat berlawanan dengan apa yang kau ceritakan, paman. Aku menjadi bingung dan ragu. Beberapa kali aku bertemu dengan para pejuang yang merampok dan jahat, suka memperkosa wanita. Sebaliknya, bukan hanya Pangeran Abagan yang baik hati, melainkan juga Pembesar Souw Bu Lai itupun seorang Mancu yang baik hati." Wanita itu berhenti bicara dan menoleh, memandang kepada Ma Giok dengan sinar mata bertanya.
Sebelum menjawab Ma Giok menarik napas panjang. "Akupun seringkali melihat kenyataan yang memuakkan dan membuat aku marah, Kui Siang. Mereka yang jahat itu sebetulnya bukan pejuang sejati, melainkan pejuang palsu, hanya. orang-orang jahat yang berkedok perjuang untuk menutupi kejahatan mereka. Mereka itu adalah orang-orang yang mencemarkan kehormatan para pejuang sejati."
"Dan paman tentu akan menentang orang-orang jahat yang menggunakan nama pejuang itu, bukan?"
"Tentu saja! Mereka orang jahat dan sebagai seorang pendekar aku harus membela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat dan membela yang benar namun lemah tertindas!"
"Dan engkau juga menentang pembesar Mancu, walaupun pembesar itu baik hati?"
Ma Giok meragu, lalu menghela napas kembali. "Di sini kadang terjadi pertentangan batin dalam hatiku, Kui Siang. Sebagai seorang patriot pejuang pembela tanah air dan bangsa, aku harus menentang setiap orang Mancu karena mereka menjajah tanah air kita. Akan tetapi sebagai seorang pendekar, aku harus membela yang benar dan menentang setiap orang penjahat, tidak peduli bangsa dan dari golongan apa penjahat itu. Seperti Souw- taijin itu, kalau aku ingat bahwa dia seorang pembesar Mancu, seharusnya aku menentangnya. Akan tetapi di lain pihak aku melihat dia seorang yang baik hati dan diganggu oleh orang-orang jahat, maka aku harus membela dan menolongnya. Aku sendiri menjadi bingung kalau menghadapi kenyataan seperti itu."
Kui Siang mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam. Ia ikut memikirkan persoalan yang dihadapi Ma Giok. Kemudian ia berkata, "Aku mempunyai pendapat dan gagasan, paman. Akan tetapi sebelum kukatakan itu, kuharap lebih dulu agar paman suka memaafkan kelancanganku ini."
Ma Giok tersenyum. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kui Siang. Dan sama sekali tidak lancang kalau engkau mempunyai gagasan. Mungkin pendapatmu itu dapat menjadi bahan pertimbangan untuk aku. Katakanlah bagaimana pendapatmu dan apa gagasanmu itu?"
"Begini, paman. Bangsa Mancu menjatuhkan kerajaan Beng dengan perang. Kalau para pejuang hendak mengusir penjajah Mancu, tentu harus melalui pertempuran, berarti perang yang melibatkan banyak orang. Karena ltu, seyogyanya paman dapat memisahkan antara tugas patriot yang berjuang dan tugas pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Untuk berperang mengusir penjajah, paman membutuhkan pasukan yang besar dan kuat. Akan tetapi kalau paman berada seorang diri seperti sekarang ini, tidakkah lebih baik kalau paman menempatkan diri sebagai seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan? Paman dapat menentang siapa saja yang jahat, baik dia orang Han, orang Mancu, atau orang berbangsa apapun juga. Dan paman membela mereka yang benar akan tetapi lemah tertindas, juga tidak perduli orang itu dari golongan manapun. Paman sekarang menjadi pendekar. Kelak, kalau saatnya tiba dan dapat dihimpun pasukan besar untuk memerangi penjajah, baru paman sebagai pahlawan patriot. Bagaimana pendapat paman?"·
Mendengar ucapan itu, Ma Giok mengerutkan alisnya dan matanya setengah dipejamkan, dia berpikir keras dan menimbang-nimbang. Akhirnya dia membuka matanya dan mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Kui Siang dan berkata lantang bernada gembira. "Bagus! Tepat sekali pendapat dan gagasanmu itu, Kui Siang. Tadinya ada juga pikiran seperti itu menyelinap dalam benakku, akan tetapi aku masih ragu-ragu. Sekarang, mendengar pendapatmu, aku menjadi lega dan hatiku menjadi tetap. Baik, mulai saat ini aku akan berpikir dan bertindak sebagai pendekar dan kelak, kalau saatnya tiba, kalau ada pasukan besar dan kuat yang siap bertempur, baru aku akan bertindak sebagai seorang pejuang."
“Terima kasih kalau paman setuju dengan pendapatku, aku merasa girang sekali!" kata Kui Siang. Wanita itu semakin kagum kepada Ma Giok yang ternyata adalah seorang pendekar yang sakti, berwibawa, dan dapat menerima pendapat orang lain yang berarti bahwa dia memiliki kerendahan hati. Juga selama dalam perjalanan ini Ma Giok selalu bersikap ramah, sabar, penuh pengertian dan selalu menjaganya dengan penuh perhatian. Diam-diam ia merasa berhutang budi dan berterima kasih sekaIi. Kalau tidak ada perlindungan Ma Giok, tentu ia sudah celaka dan bukan mustahil kalau sekarang ia telah tewas.
Perjalanan mereka kini semakin lambat. Kandungan Kui Siang sudah tua dan hal ini menghalangi ia me!akukan perjalanan cepat. Kuda yang ditungganginya hanya berjalan perlahan saja. Ma Giok tidak memperkenankan ia membedal kudanya, karena kalau kudanya berlari congklang, tentu tubuh Kui Siang akan terguncang-guncang dan hal ini akan berbahaya sekali bagi kandungannya.
Pada suatu senja mereka tiba di sebuah hutan. Ma Giok menghentikan perjalanan, lalu melompat naik ke atas pohon yang paling tinggi, melihat ke sekelilingnya. Dia merasa girang melihat sebuah dusun tak jauh di luar hutan, maka cepat dia melompat turun kembali.
"Di luar hutan ini, tidak terlalu jauh, terdapat sebuah dusun. Aku melihat banyak atap rumah, menunjukkan bahwa dusun itu cukup besar. Sebelum gelap kita akan dapat tiba di sana. Mari kita lanjutkan perjalanan ke dusun itu, Kui Siang."
Akan tetapi, tiba-tiba dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik. Ma Giok cepat me lompat turun karena melihat kuda tunggangan Kui Siang mengangkat kedua kaki depan ke atas. Dia khawatir kalau Kui Siang terjatuh. Dengan sigap dia menangkap kendali di moncong kuda sehingga kuda itu tenang kembali. Kui Siang juga segera turun dari atas punggung kuda.
"Ada apakah dengan kuda kita?" tanya wan ita itu.
"Mereka tentu mencium bahaya, entah ada harimau atau ada orang." kata Ma Giok dan dengan penuh kewaspadaan dia berdiri tegak dalam keadaan siap menghadapi bahaya. Tak lama kemudian, telinganya mendengar jejak langkah orang-orang menghampiri tempat itu. Kemudian muncullah dua belas orang, dipimpin oleh seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat. Dia tampak gagah perkasa dan usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Di punggungnya terselip senjata siang-kiam (sepasang pedang). Ketika Ma Giok memperhatikan, tahulah dia bahwa dua belas orang itu adalah orang-orang yang pernah mengeroyoknya ketika mereka menyerbu rumah Pembesar Souw di dusun Lian-ki-jing tempo hari. Akan tetapi yang memimpin mereka ini adalah seorang. yang belum pernah dilihatnya.
Dua belas orang itu menuding ke arah Ma Giok dan berkata kepada laki-laki muka hitam yang memimpin mereka. "lnilah orangnya, Can-taihiap (pendekar Can)."
Pria muda itu bernama Can Ok dan dia terkenal sebagai seorang tokoh kangouw yang membenci dan memusuhi penjajah Mancu, walaupun ia juga dikenal sebagai seorang tokoh sesat yang tidak pantang melakukan bermacam kejahatan. Mendengar dari gerombolan itu betapa Ma Giok yang tadinya dikenal sebagai pimpinan para pejuang menentang Mancu ini, kini malah membela Pembesar Souw, seorang Mancu, dia menjadi marah dan bersama dua belas orang anggauta gerombolan itu dia mencari dan mengejar Ma Giok. Pada sore hari itu rombongan ini berhasil menemukan Ma Giok dan Kui Siang di dalam hutan itu. Can Ok melangkah maju menghadapi Ma Giok dan sejenak kedua orang itu saling pandang dengan penuh perhatian seperti dua ekor ayam jago hendak berlaga.
"Hemm, jadi inilah yang bernama Ma Giok berjuluk Lam-liong, yang tadinya terkenal sebagai seorang pejuang akan tetapi sekarang menjadi pengkhianat dan membela penjajah Mancu?" Suara Can Ok besar dan lantang, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Ma Giok dan tangan kanannya bertolak pinggang.
Ma Giok tersenyum mengejek. Orang ini memimpin para anggauta gerombolan penjahat itu, tentu bukan orang baik-baik dan hal ini kentara pula dad sikapnya yang sombong.
"Benar, aku Ma Giok Siapakah engkau, sobat dan apa maksud kalian menghadang perjalananku?"
“Pengkhianat! Ketahuilah bahwa aku Can Ok yang terkenal sebagai tokoh pejuang yang selalu menentang penjajah Mancu. Guruku adalah Hui-kiam Lo-mo (Iblis Tua Pedang Terbang) yang juga seorang pejuang kenamaan dan datuk Sungai Huang-ho! Karena engkau telah membunuh dan melukai para, pejuang, membela pembesar Mancu, maka berarti engkau. menjadi pengkhianat dan aku datang untuk membunuh pengkhianat bangsa seperti engkau, Lam-liong Ma Giok!" Setelah berkata demikian, Can Ok mencabut sepasang pedang dari punggungnya, menyilangkan sepasang pedang mengkilap itu di de pan dada, siap untuk menyerang.
Ma Giok tersenyum. "Can Ok, kalau engkau sudah tahu bahwa gerombolan yang kau pimpin sekarang ini adalah gerombolan perampok dan penculik wanita, maka berarti engkau sama saja dengan mereka, yaitu penjahat keji yang berkedok pejuang! Tidak perlu kita bicarakan tentang perjuangan karena orang-orang macam kalian tidak akan mengerti. Sekarang kalian adalah penjahat-penjahat yang berhadapan dengan aku sebagai seorang pendekar yang tugasnya menentang kejahatan dan membasmi para penjahat!"
"Keparat sombong! Mampuslah!" Can Ok mengeluarkan bentakan nyaring dan ia sudah menyerang dengan sepasang pedangnya, pedang kiri menusuk ke arah dada disusul pedang Kanan menyambar untuk memenggal leher Ma Giok. Akan tetapi pendekar ini melompat ke belakang, sehingga dua serangan itu tidak menyentuh dirinya. Ketika Can Ok mengejar ke depan, Ma Giok sudah mencabut pedangnya. Kembali Can Ok menye- rang dengansepasang pedangnya dengan jurus Siang-liong-sin-yauw (Sepasang Naga Memutar Tubuh). Pedangnya menyambar dari Kanan kiri dengan cepat dan dahsyat. Melihat gerakan ini, maklumlah Ma Giok bahwa lawannya ini cukup hebat ilmu pedangnya. Dia memang sudah lama mendengar nama guru pemuda ini, yaitu Hui-kiam Lo-mo. yang terkenal sebagai datuk Sungai Huang-ho (Sungai Kuning) dan lihai sekali ilmu pedangnya maka dijuluki lblis Tua Pedang Terbang. Dengan hati-hati namun tidak kalah cepatnya dia menggerakkan pedangnya sehingga tampak sinar pedangnya bergulung-gulung dan berkelebatan ke kanan kiri menangkis serangan lawan. "Trangg ….. cringgg …… !" Tampak bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu ditangkis dan Can Ok terkejut bukan main ketika merasa betapa kedua tangannya yang memegang pedang tergetar hebat dan terasa panas. Tahulah dia bahwa Lam-Liong Ma Giok Si Naga Selatan itu memiliki tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Akan tetapi dasar dia memiliki watak tinggi hati dan mengagulkan kepandaian sendiri, Can Ok tidak menjadi gentar dan menyerang lebih hebat lagi. Ma Giok juga mengeluarkan ilmunya dan selain mengelak dan menangkis, diapun membalas serangan dan setelah lewat belasan jurus, mulailah Can Ok terdesak hebat. Gulungan sinar pedang Ma Giok semakin melebar dan dua gulungan sinar pedang Can Ok menyempit dan terhimpit. Biarpun dia memegang dua batang pedang, tetap saja Can Ok kini hanya mampu memutar sepasang pedangnya untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Sementara itu, cuaca mulai menjadi gelap, malam menjelang datang menggantikan cuaca senja yang remang.
Karena lawannya cukup tangguh sehingga Ma Giok harus mencurahkan semua perhatiannya untuk merobohkannya dan kini sudah mampu mendesaknya, maka pendekar itu kurang memperhatikan Kui Siang yang masih berdiri di bawah pohon dan menonton dengan hati khawatir.
Tiba-tiba Ma Giok mendengar Kui Siang menjerit. Dia terkejut sekali dan cepat melompat ke belakang menjauhi Can Ok lalu menoleh ke arah Kui Siang lagi. Alangkah kagetnya melihat tempat itu kosong. Kui Siang tidak lagi berada di situ, dan dia melihat dia di antara selusln orang tadi melarikan dIri sambil memegangi kedua lengan Kui Siang. Melihat ini, Ma Giok mengeluarkan seruan nyaring melengking dan tubuhnya melesat kedepan, mengejar dua, orang yang melarikan Kui Siang itu.
Akan tetapi sepuluh orang anggauta gerombolan menghadangnya dan menye rangnya dengan golok mereka. Juga Can Ok mengejar dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Ma Giok marah bukan main. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar, sinarnya bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk. Terdengar teriakan-teriakan dan dalam waktu beberapa detik saja empat orang anggauta gerombolan sudah roboh mandi darah menjadi korban pedang di tangan Ma Giok! Kemarahan Ma Giok kini dltujukan kepada Can Ok yang dianggapnya menjadi sebab terculiknya Kui Siang, maka sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, dia menyerang Can Ok. Can Ok mencoba menangkls dengan sepasang pedangnya, akan tetapi kaki kiri Ma Giok mencuat dan Can Ok berteriak, roboh tertendang. Dengan gerakan Liong ong-lo-hai (Raja Naga Mengacau Lautan) Ma Giok kembali merobohkan dua orang pengeroyok sehingga yang lain menjadi gentar dan mundur. Ma Giok menggunakan kesempatan ini. untuk melompat dan mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) berlari cepat sekali mengejar dua orang penjahat yang melarikan Kui Siang.
Untung Kui Siang masih dapat menjerit sehingga Ma Giok dapat mengejar ke arah yang benar. Tak lama kemudian dia dapat mengejar dua orang yang sedang menyeret-nyeret Kui Siang. Agaknya mereka berduapun tahu bahwa Ma Giok mengejar dan sudah berada di belakang mereka. Seorang di antara mereka, yang,bertubuh tinggi besar dan mukanya brewok, berhenti berlari, membalikkan tubuh, menempelkan goloknya di leher Kui Siangdan membentak,
"Berhenti! Atau akan kupenggal leher wanita inil"
Melihat Kui Siang diancam seperti itu, Ma Giok tertegun dan diapun berhenti bergerak di depan mereka berdua, memandang Kui Siang yang rambutnya awut-awutan dan menangis. Tentu saja Ma Giok. tidak berani menyerang karena maklum bahwa kalau hal itu dia lakukan, biarpun dia tentu dapat membunuh dua orang itu, namun nyawa Kui· Siang tak- kan dapat tertolong lagi. Golok dua orang itu kini sudah menempel di leher Kui Siang!
"Jangan bunuh ia, jangan ganggu ia. Ia tidak bersalah apa-apa." katanya dengan khawatir sekali.
Si brewok 'itu menyeringal. Cuaca belum gelap benar sehingga dalam keremangan ltu mereka semua masih dapat melihat dengan jelas. "Kau tidak ingin kami membunuhnya? Nah, menyerahlah. Lepaskan pedangmu itu!” perintah si brewok sambil menekan goloknya pada leher Kui Siang. "Kalau engkau tidak menurut, leher mulus ini pasti akan kupenggal!"
Terpaksa Ma Giok melemparkan pedangnya ke atas tanah. llSudah kubuang pedangku. Bebaskan ia!" katanya dengan suara tenang walaupun hatinya berdebar tegang karenakhawatir akan keselamatan Kui Siang. Dalam keadaan ini, melihat keselamatan Kui Siang terancam, barulah terasa olehnya betapa besar arti dan nilai wanita itu baginya! Dia akan rela mengorbankan nyawanya sendiri untuk Kui Siang!
Si brewok yang melihat Ma Giok membuang pedangnya, dan mendengar Ma Glok minta mereka membebaskan wanita itu, tertawa bergelak, lalu menoleh kepada kawannya. "Kau tetap tempelkan golokmu di lehernya. Hati-hati, jangan sampai ia lolos, biar kubereskan dulu pengkhianat ini!" Setelah berkata demikian, dia melangkah maju dan mengangkat goloknya untuk dibacokkan ke kepala Ma Giok!
Pada saat itu orang kedua yang menodong Kui Siang dengan goloknya berteriak kesakitan karena wanita itu dengan nekat sekali menggunakan kesempatan itu untuk menggigit lengan yang memegang golok itu. Gigitannya kuat sekali karena Kui Siang telah nekat. Golok itu terlepas dari pegangannya dan pada saat itu pula
Ma Giok cepat bertindak. Ma Giok cepat sekali bergerak ke depan ketika golok di tangan si brewok itu masih terangkat ke atas dan dengan jurus Cun-lui-tong-te (Geledek Musim Semi Menggetarkan Bumi) dia memukul ke arah si muka brewok.
"Wuuuttt ….. desss……!!” si tinggi besar muka brewok itu terlempar dan roboh terjengkang, tewas seketika. Ma Giok tidak berhenti sampai di situ saja. Dia melanjutkan gerakannya, kini memukul ke arah orang ke dua yang baru saja lengannya digigit Kui Siang. Tangannya menampar ke arah kepala orang ke dua itu. Dia mempergunakan jurus Tai-pangtian-ci (Burung Garuda Pen tang Sayap).
"W uuuttt ……. prakkk …… !" Kepala anggauta gerombolan itu pecah terkena tamparan yang amat kuat itu.
Melihat dua orang yang tadi menyeretnya roboh, Kui Siang menubruk Ma Giok sambil menangis. Ma Giok merangkulnya dan mendekap kepala itu ke dadanya. Tiba-tiba Kui Siang mengeluh dan memegangi perutnya.
“Aduhh ……. paman …… aduhhh …… perutku …… !"
Ma Giok terkejut sekali. Tanpa bertanya lagi tahulah dia apa artinya itu. Agaknya Kui Siang hendak melahirkan! Pada saat itu, Kui Siang merintih lalu terkulai, pingsan dalam rangkulan Ma Giok. Ma Giok cepat memondong tubuh Kui Siang, mengambil pedangnya dari atas tanah, kemudian ia berlari cepat menuju ke dusun yang dilihatnya tadi. Dia tidak perduli lagi akan dua ekor kuda tunggangan mereka, buntalan pakaian dan uang. Yang teringat saat itu hanyalah bagaimana menyelamatkan Kui Siang. Dia harus membawa Kui Siang ke dusun itu sebelum wanita itu melahirkan!
Untung baginya bahwa malam itu bulan sepotong muncul lewat senja sehingga dia dapat melihat jalanan. Setelah berlari cepat beberapa lamanya, tampaklah sinar lampu rumah- rumah penduduk sebuah dusun. Pada rumah pertama, karena khawatir sekali akan keadaan Kui Siang, Ma Giok mengetuk pintu rumah itu.
"Siapa di luar?" terdengar suara seorang wanita tua.
"Saya, tolong bukakan pintu, saya butuh pertolongan karena keponakanku sakit!" kata Ma Giok.
Daun pintu terbuka dan seorang wanito. berusia sekitar lima puluh tahun, berpakaian petani, muncul di ambang pintu. Sinar lampu menyorot dari dalam menerangi wajah Ma Giok yang memondong tubuh Kui Siang yang masih pingsan. Wanita itu memandang kepada Kui Siang dan bertanya her an.
“Ia kenapakah?"
“Ia sakit …… eh, sebetulnya, ia ….. agaknya akan melahirkan. Tolonglah, nyonya, beri tempat dan panggilkan seorang bidan untuk menolongnya melahirkan …… "
"Ah, agaknya Thian (Tuhan) yang membimbingmu ke sini, si-cu (tuan), karena kebetulan sekali aku adalah seorang bidan. Mari, bawa ia masuk ke dalam kamar ini." Sambil membawa sebuah lampu meja, wanita itu mengajak Ma Giok yang memondong Kui Siang memasuki sebuah kamar yang tidak seberapa luas namun cukup bersih. "Rebahkan ia di pembaringan ini." kata wanita itu.
Setelah Kui Siang dibaringkan, wanita itu memandang heran. "Ia kenapa? Agaknya ia seperti tidur ……"
"Ia pingsan, tadi kesakitan di jalan. Biar kusadarkan ia." Ma Giok lalu menotok jalan darah dan mengurut tengkuk Kui Siang, mencubit otot besar dan Kui Siang mengeluh lalu membuka mata. Ia memandang kepada MaGiok dan ke kanan kiri sampai ia melihat wanita itu., "Paman, kita berada di mana ?" tanyanya.
"Tenangkan hatimu, Kui Siang. Kita ditolong oleh nyonya bidan yang baik hati ini." kata Ma Giok.
Tiba-tiba Kui Siang mengeluh dan memegangi perutnya dengan kedua tangan. "Aduhh ……perutku …… ah, nyeri sekali, paman …… "
Tentu saja Ma Giok menjadi bingung. Dia menoleh kepada pemilik rumah itu, seolah hendak menanyakan nasehatnya.
Wanita bidan itu lalu duduk di tepi pembaringan, memeriksa perut Kui Siang dan berkata, "Engkau akan melahirkan. Tenanglah, aku akan membantumu. Sicu, dapatkah engkau membantu aku dan memasak air sampai mendidih? Air, tempatnya dan perapian berada di dapur, bagian belakang rumah ini."
"Ah, tentu saja!" kata Ma Giok, lega karena dia dapat melakukan sesuatu untuk membantu. Dia lalu membawa lilin menyala dan pergi ke belakang di mana dia menemukan segala yang diperlukan untuk memasak air. Sebentar saja air itu mendidih dan dia segera membawa air itu dalam baskom ke dalam kamar tadi. Dia melihat Kui Siang masih merintih-rintih dan bidan itu mengurut perlahan bagian perutnya.
Setelah meletakkan baskom ke atas meja, Ma Giok bertanya, "Bagaimana keadaannya?"
Nenek itu mengerutkan alisnya dan. menggeleng lalu menghela napas panjang, memandang kepada Ma Giok dan memberi isarat dengan gerakan kepala dan pandang mata agar Ma Giok mendekat. Ma Giok mengerti dan mendekatkan telinganya. Wanita itu berbisik. "Tidak begitu baik," ia berbisik dekat telinga Ma Giok agar jangan terdengar oleh Kui Siang yang gelisah, memejamkan mata dan mengerang kesakitan, "letak bayinya terbalik dan keadaan tubuhnya lemah sekali ……"
Wajah Ma Giok menjadi pucat mendengar ini. "Tolonglah, nyonya yang baik, tolonglah, selamatkan nyawanya …… " ia berbisik dengan suara penuh permohonan dan kekhawatiran.
"Saya akan berusaha, si-cu, akan tetapi seberapa kepandaian manusia seperti saya yang bodoh ini?"
"Apa yang dapat saya bantu? Katakanlah, saya akan membantu sekuat tenaga untuk menyelamatkannya." kata Ma Giok.
"Oya, benar juga. Sekarang pergilah ke dalam dusun. Di dekat perempatan sana terdapat sebuah rumah tembok yang pekarangannya lebar. Di situ tinggal seorang penjual obat. Belilah sebungkus obat menambah darah dan penguat tubuh bagi seorang wanita yang melahirkan. Katakan saja bahwa Ngo-ma (ibu Ngo) yang menyuruhmu, penjual obat itu tentu akan mengerti obat apa yang kubutuhkan dan tentu akan melayanimu dengan baik."
"Baik, nyonya. Sekarang juga saya berangkat!" Ma Giok berlari keluar. Untung bahwa dia masih menyimpan uang di dalam saku bajunya. Dia dapat menemukan rumah penjual obat itu dan setelah membeli obat yang dimaksudkan, dia berlari kembali ke rumah di ujung dusun itu.