Jilid 02
Kemenangan yang amat mudah melawan kerbau gila itu, yang roboh dan pecah kepalanya hanya dengan sekali pukul saja, membuat Heng San semakin giat belajar. Kini bahkan dia tidak mau lagi membaca kitab-kitab yang berisi filsafat dan tuntunan budi pekerti itu yang disodorkan ayahnya. Dia manganggap ilmu silat jauh lebih bermanfaat dan menyenangkan. Kini dia berani menolak dan mengabaikan petunjuk ayah dan ibunya, tidak lagi penurut seperti dulu sebelum menjadi murid Pat-jiu Sin-kai.
Lima tahun lewat dengan cepatnya Sang waktu memang aneh. Kalau tidak diperhatikan, ia melaju secepat cahaya sehingga bertahun-tahun lewat rasanya baru beberapa hari saja. Akan tetapi kalau diperhatikan, sang waktu merayap amat lambatnya sehingga kalau ada orang menanti sesuatu, penantian sehari rasanya seperti setahun! Selama lima tahun terakhir, Heng San setiap harinya berlatih silat dan Pat-jiu Sin-kai mengajarkan semua ilmu silat yang dikuasainya dan semua digubah menjadi silat tangan kosong yang tangguh. Kini Heng San telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh dua tahun yang bertubuh kokoh dan kuat sekali. Kepandaianya silatnya bahkan sudah setingkat dengan Pat-jiu Sin-kai, bahkan kalau mau dibuat perbandingan, mungkin Heng San lebih tangguh daripada gurunya karena dia memiliki tenaga yang jauh lebih kuat. Hanya tentu saja Heng San masih kalah dalam hal pengalaman bertanding. Dalam latihan bersama yang mereka lakukan bersama yang mereka lakukan. Pat-jiu Sin-kai merasa betapa beratnya dia menangkis pukulan muridnya, sebaliknya Heng San kadang merasa berat menghadapi perkembangan gerakan suhunya yang lebih rumit. Namun, sekiranya mereka berkelahi sungguh-sungguh untuk dapat mengalahkan Heng San.
Akan tetapi Lauw Cin dan isterinya tidak merasa senang melihat perkembangan mereka itu. Mereka melihat betama bersama meningkatnya kepadaian Heng San yang menjadi seorang pemuda yang gagah perkasan dan tinggi ilmu silatnya, muncul pula sikat tinggi hati dan sombong dalam diri anak mereka. Mereka cemas melihat betapa Pat-jiu Sin-kai hanya dapat melatih ilmu silat saja dan sama sekali tidak mendidik pengetahuan batin dan budi pekerti sehingga orang tua itu merasa khawatir kalau-kalau anak mereka menjadi seorang sombong dan sewenang-wenang yng mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya.
Apa yang dikhawatirkan Lauw Cin dan isterinya terjadi beberapa pekan kemudian. Kalau Heng San menguasai ilmu pengobatan, tentu tindakannya akan mendatangkan kebahagiaan, baik bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Akan tetapi ternyata ilmu silatnya hanya mendatangkan urusan dan permusuhan saja.
Pada suatu hari, Heng San lewat sebuah rumah besar. Diluar pintu depan yang besar itu tergantung sebuah papan bertuliskan huruf-huruf yang indah, berbunyi : HUI HOUW BUKOAN (Perguruan Silat Harimau Terbang). Heng San tahu bahwa rumah perguruan itu dihuni oleh Ciang Kauwsu (Guru Silat Ciang) yang bertubuh tinggi besar dan kokoh. Rumah perguruan silat itu merupakan satu-satunya di kota Lin-han-kwan dan telah dibuka kurang lebih tujuh tahun yang lalu, Heng San tahu pula bahwa banyak pemuda diantaranya ada beberapa orang tetangga dan teman-temannya, menjadi murid di Hui How Bukoan dengan membayar iuran setiap bulan. Beberapa orang teman itu pernah mengajaknya untuk berguru silat disitu, akan tetapi Heng San selalu menolak karena secara diam-diam tanpa diketahui orang lain kecuali ayah ibunya, dia sudah mempunyai guru, yaitu Pat-jiu Sin-kai yang ingin agar namanya dirahasiakan.
Ketika dia lewat depan rumah itu dia melihat daun pintu depan yang lebar itu terbuka dan dari dalam terdengar teriakan-teriakan mereka yang berlatih silat. Dia menjadi tertarik dan melangkah menghampiri. Setelah dia berdiri diambang pintu, dia melihat sekitar tiga puluh orang laki-laki, pemuda dan bahkan orang tua, sedang berdiri berjajar berlapis-lapis melakukan gerakan silat menurut aba-aba yang dikeluarkan seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat. Heng San pernah melihat Ciang Kauwsu, orang yang memberi aba-aba itu. Karena guru silat itu berdiri membelakanginya, maka dia tidak melihat munculnya Heng San di ambang pintu. Akan tetapi para muridnya tentu saja melihatnya karena mereka semua menghadap keluar. Mereka yang mengenal Heng San, terutama teman-teman dan tetangganya, otomatis menghentikan gerakan silat mereka dan berseru gembira.
”Itu dia Heng San si Pembunuh Kerbau!”
Teriakan ini bermacam-macam nadanya. Ada yang bernada kagum, akan tetapi ada pula yang bernada mengejek. Para murid ini hanya mendengar beritanya saja tentang Heng San memukul kerbau gila, tidak menyaksikan sendiri.
Melihat keributan dan banyak muridnya menghentikan latihan, Ciang Kauwsu mengerutkan alis dan diapun membalikkan tubuh menghadap ke arah Heng San yang berdiri dan tersipu-sipu oleh julukan itu. Memang diapun mendengar bahwa yang menyebutnya Heng San di Pembunuh Kerbau, entah memuji atau mengejek dia tidak perduli.
Ciang Kauwsu melangkah maju menghampiri Heng San. Langkahnya perlahan dan melenggang santai, seperti langkah harimau! Guru Silat satu-satunya di Lin-han-kwan ini juga sudah mendengar akan peristiwa mengherankan itu, dimana katanya seorang remaja membunuh seekor kerbau gila hanya dengan sekali pukul, pada hal anak itu tidak pernah belajar silat. Tentu saja dia tidak percaya akan cerita itu dan menganggapnya dongeng orang-orang bodoh yang berlebihan. Akan tetapi sekarang dia berhadapan dengan anak ajaib yang dikabarkan membuhuh kerbau gila itu. Timbul sebuah gagasan yang menguntungkan dalam benaknya. Kalau pemuda yang terkenal ini mengaku bahwa dia murid perguruan Hui Houw Bukoan, tentu banyak pemuda akan tetarik untuk belajar di perguruan silatnya. Bahkan orang-orang dari kota lain akan berdatangan untuk berguru kepadanya yang telah menghasilkan murid yang ajaib.!. Kini Ciang Kauwsu sudah berhadapan dengan Heng San, dalam jarak dua meter. Biarpun Pat-jiu Sin-kai tidak pernah mengajarkan sopan-santun kepadanya, namun sejak kecil Heng San sudah dijejali budi pekerti baik oleh kedua orang tuanya, maka kini tanpa disengaja lagi secara otomatis deapun menjura dan memberi hormat.
”Maafkan saya kalau saya mengganggu. Saya hanya kebetulan lewat dan ingin menonton saja, Ciang Kauwsu.”katanya hormat.
”Engkaukah yang terkenal dengan julukan Heng San si Pembunuh Kerbau itu?” tanya Ciang Kauwsu yang nama lengkapnya Ciang Hok.
”Nama saya Lauw Heng San.”
”Hem, aku sudah mendengar bahwa engkau putera si tukang obat Lauw Cin. Benarkah lima tahun yang lalu, ketika engkau masih remaja, engkau telah membunuh seekor kerbau gila dengan sekali pukul? Ahh! Aku tidak percaya itu. Tentu kabar itu kosong dan dilebih- lebihkan saja!” kata Ciang Kauwsu.
”Suhu mungkin sebelumnya kepala kerbau itu telah retak!” seru seorang murid dan ucapan yang mengejek itu disambut gelak tawa.
Hati Heng San menjadi panas. ”terserah kepada kalian mau percaya atau tidak, aku tidak peduli. Yang penting kenyataannya, melihat kerbau gila mengamuk, aku khawatir kalau kerbau gila itu mencelakai orang, maka kupukul dia dan mati!”
Melihat pemuda itu tampak marah, Ciang Kauwsu lalu berkata, ”Heng San agar kami dapat percaya, engkau harus membuktikan bahwa engkau memiliki kemampuan itu.”
”Hem, Ciang Kauwsu. Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu. Bagaimana aku dapat membuktikannya?” tanya Heng San dengan hati masih panas karena dia tidak dipercaya, bahkan dijadikan bahan olok-olok.
”Begini, Heng San, engkau harus membuktikan bahwa engkau memang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga mampu membunuh seekor kerbau gila. Untuk menguji kemampuanmu itu. Engkau harus bertanding melawan aku. Biarpun engkau tidak mungkin bisa menang melawan aku, akan tetapi aku tidak akan mencelakaimu. Kalau engkau kalahpun, setidaknya aku sudah mengetahui bahwa engkau memang berkepandaian dan setelah engkau kalah, engkau harus menjadi murid perguruanku dan mengaku kepada siapa saja bahwa engkau murid Hui Houw Bukoan dan engkau menggunakan ilmu yang kau pelajari dari kami untuk membunuh kerbau itu. Kalau engkau tidak berani menguji kepandaian melawan aku dalam sebuah pi-bu yang adil, tanpa senjata, maka kami semua akan menganggap engkau pembohong dan semua berita tentang membunuh kerbau gila itu hanya bohong belaka.
Heng San mengerutkan alisnya, Guru silat ini sombong sekali, pikirnya dan para muridnya itupun sombong.
”Suhu, mana dia berani melawan suhu?” seorang murid mentertawakan.
”Suhu, kalau melawan Suhu, dalam waktu satu jurus saja tentu dia sudah terjungkal. Lebih ramai kalau dia melawan teecu (murid) saja!” kata seorang murid yang merupakan murid kepala karena sudah lima tahun belajar silat disitu.
Pada sat itu, darah sudah naik ke kepala Heng San. ”Baik, aku terima tantanganmu, Ciang Kauwsu. Kalau aku kalah, aku akan menjadi murid Hui Houw Bukoan, akan tetapi kalau engkau yang kalah melawan aku?”
Ledakan suara tawa menyambut pertanyaan Heng San. Terdengar kata-kata ejekan, bahkan seorang pemuda berkata, ”Heng San, pikirlah dulu kalau bicara! Masa suhu kalah olehmu! Mana mungkin?” Ciang Kauwsu juga tertawa akan tetapi dia lalu membalik kepada para muridnya dan mengangkat kedua tangan memberi isarat agar para murid tidak membuat gaduh. Setelah suasana menjadi tenang, guru silat itu menghadapi Heng San kembali, ”Heng San kalalu engkau kalah, aku mengharuskan engkau pai-kui (berlutut menyembah) kepadaku sebanyak sepuluh kali dan engkau menjadi murid Hui Houw Bukoan sepeti kukatakan tadi. Karena itu kalau aku yang kalah... heh-heh, engkau boleh mengajukan sarat, apa yang harus kulakukan.”
”Baik, sekarang dengar baik-baik saratku, Ciang Kauwsu. Kalau engkau yang kalah, engkau tidak usah pai-kui kepadaku, akan jelas engkau tidak pantas menjadi guru silat di kota Lin-han-kwan ini, Karena itu, engkau harus menurunkan papan nama perguruanmu, menutup perguruan silat dan tinggalkan kota ini.”
Para murid terbelalak, betapa beraninya pemuda itu! Ciang Kauwsu mengerutkan alis, kumisnya yang tebal seperti berdiri semua, mukanya merah.
”Heng San, berani sekali engkau jangan salahkan aku kalau nanti engkau kalah dan mengalami babak belur, benjol, memar dan tulang patah!” bentaknya.
”Sudah menjadi resiko orang yang berani pi-bu (adu silat) mengalami luka-luka!” Jawab Heng San.
”Bagus, hayo ke tengah ruangan silat,” katanya sambil membalik dan melangkah ke dalam, berseru kepada para murid, ”kalian semua mundur membuat lingkaran lebar, beri kami tempat yang leluasa dan lihatlah betapa guru kalian menghajar pemuda yang sombong ini!”
Heng San mengikuti guru silat itu ke tengah ruangan. Para murid membuat lingkaran yang cukup lebar dan semua memandang dengan wajah penuh ketegangan. Yang suka kepada Heng San menjadi cemas, akan yang tidak suka menjadi gembira karena mereka semua yakin bahwa Ciang Kauwsu tentu akan memberi hajaran keras kepada Heng San yang berani mengajukan saran yang dianggap merendahkan dan menghina itu.
Kini kedua orang itu sudah saling berhadapan dan sling beradu pandang seperti dua ekor ayam jago hendak berlaga. Heng San sudah dewasa benar. Tingginya tidak kalah dibandingkan Ciang Hok, walaupun tubuhnya tidak sebesar guru silat itu. Biarpun selamanya dia belum pernah bertanding ilmu silat, namun hatinya sama sekali tidak merasa gentar. Gurunya sendiri sudah mengatakan bahwa dia tidak akan kalah bertanding dengan siapapun juga di kota ini. Dan walaupun dia belum pernah bertanding dalam arti yang sesungguhnya berkelahi, namun sering sekali dia bertanding silat melawan gurunya dan sewaktu latihan bertanding ini, Pat-jiu Sin-kai tidak main-main melainkan menyerang sungguh-sungguh. Perasaan takut berarti kalah sebelum bertanding, demikian nasehat gurunya.
Ciang Hok sudah memasang kuda-kuda dengan ilmu andalannya yang juga dipergunakan sebagai nama perguruannya, yaitu Hui Houw Bukoen. (Ilmu Silat Harimau Terbang). Pasangan kuda-kuda itupun tampak gagah sekali, dengan kedua kaki sedikit terpentang dan lutut ditekuk, kemudian kemudian kedua tangan bersilang dengan jari-jari itu membentuk cakar harimau, kelihatan jari-jari itu mengandung tenaga kuat dan otot-ototnya menonjol, menyeramkan.
”Heng San, hayo maju seranglah. Hendak kulihat bagaimana engkau dapat memukul roboh kerbau gila itu dengan sekali pukul!?” kata guru silat Ciang sambil menyeringai dan memandang rendah.
Heng San juga memasang kuda-kuda tetapi sikapnya biasa saja, kaki kiri didepan dan kaki kanan di belakang kedua lutut ditekuk dan kedua tangan berada dibawah kanan kiri pinggang. ”Ciang Kauwsu, engkaulah yang menantang pertandingan dan engkau lebih tua daripada aku, maka engkau yang sepantasnya mulai lebih dahulu. Nah mulailah, aku sudah siap!” kata Heng San tanpa maksud memandang rendah, melainkan hanya ingat akan akan keharusan bersikap sopan dan mengalah terhadap orang yang lebih tua seperti yang diajarkan ayah ibunya. Pada hal, melihat guru silat itu dari dekat, Heng San dapat melihat ciri-ciri seorang yang mengandalkan tenaga otot dan kerasnya tulang sehingga dia merasa lebih yakin bahwa yang dia hadapi bukanlah lawan berat, walaupun dia tidak mau memandang ringan.
Mendengar ucapan Heng San, guru silat Ciang ini mengerutkan alisnya karena dia menganggap ucapan yang sopan itu mengandung tantangan yang memandang rendah kepadanya. Timbul niatnya untuk menghajar bocah sombong itu.
”Awas! Sambut seranganku ini!” bentaknya dan bentakan ini disambung suara auman mirip auman seekor harimau. Agaknya memang auman ini sengaja dikeluarkan untuk menambah wibawa dan sesuai pula dengan nama ilmu silat dan perguruannya, yaitu Harimau terbang. Tubuhnya sudah melompat dan menerjang ke depan, tangan kiri memancing dengan cakaran ke arah muka Heng San sedangkan serangan intinya adalah sebuah tonjokan dengan kepalan tangan kanan ke arah dada Heng San. Beberapa batang tulang iga pemuda itu dapat dipastikan akan patah-patah kalau pukulan itu mengenai sasaran.
Heng San dapat melihat datangnya serangan pancingan dan serangan inti ini dengan jelas. Dia melangkah mundur membiarkan cengkeraman itu lewat. Ketika lawan melangkah maju dan kepalan tangan kanan menyambar ke arah dadanya, dia sengaja mendiamkan saja dan diam-diam dia menyalurkan sin-kang (tenaga sakti) ke arah dadanya yang akan menerima pukulan, mengerahkan ilmu Tiat-pouw-san (ilmu kebal Baju Besi).
”Wuutt... dukkk!” kepalan tangan kanan Ciang Hok bertemu dada dan dia mental ke belakang. Tangan kanannya terasa nyeri bukan main seolah bertemu dengan dinding baja! Selagi dia terhuyung ke belakang kaki kiri Heng San mencuat dan menyambar ke arah dadanya.
”Wuuuttt... desss!” tubuh Ciang Hok terlempar dan jatuh terjengkang. Para murid Hui- houwbukoen terbelalak kaget. Mereka merasa seperti sedang mimpin. Guru mereka yang mereka bangga-banggakan itu roboh hanya dalam segebrakkan saja! Tidak mungkin! Ini tentu hanya kebetulan saja.
Jangankan para murid yang hanya menjadi penonton, bahkan Ciang Hok sendiri yang mengalami hal itu merasa seperti dalam mimpi. Diapun tidak percaya bahwa dalam segebrakan saja dia telah roboh oleh pemuda itu. Sebetulnya hal itu tidaklah aneh, Biarpun Ciang Hok telah menjadi guru silat, namun ilmu silatnya hanya matang diluarnya saja. Dia hanya dapat menguasai kulitnya saja, tidak pernah mendapatkan isinya dan tenaganyapun hanya tenaga kasar, tenaga otot yang disebut gwa-kang (tenaga luar). Sebaliknya Heng San selama sepuluh tahun dididik oleh seorang pendekar sakti dan dia telah menguasai inti ilmu silat sehingga setiap gerakkannya tidak dikendalikan pikiran lagi. Setiap gerakkannya sudah merupakan jurus baru yang disesuaikan dengan keadaan saat itu, dan pemuda inipun sudah menguasai tenaga sakti. Setiap dia bergerak untuk bertanding silat, maka tenaga dalamnya sudah tersalur dan dapat dikendalikan, digerakkan ke manapun.
Guru silat Ciang yang penasaran sekali belum mau mengaku kalah. Dia melompat bangun lagi, mukanya merah dan matanya berapi-api.
”Sambut ini!” bentaknya dan sambil menggereng seperti harimau terluka diapun melompat dan menerkam ke arah Heng San. Kini kedua tangannya membentuk cakar dan mencekeram kearah leher dan perut, seperti harimau menerkam domba. Serangan ini berbahaya sekali dan kalau leher dan perut Heng San terkena cengkeraman jari-jari tangan yang kuat seperti cakar harimau itu, tentu leher dan perutnya akan robek dan dia dapat tewas seketika.
Menghadapi sertangan yang ganas ini Heng San menjadi marah. Orang ini bukan hendak menguji kepandaian lagi pikirnya, melainkan menyerang untuk membunuh. Dia lalu cepat menggerakkan kedua tangannya, bagaikan dua ekor ular menyambar, tahu-tahu dia telah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan lawan. Cepat sekali dia membuat gerakan memuntir dan sekali menyentakkan kedua tangan dengan pengerahan tenaga dalam, tubuh Ciang Hok telah terangkat dan Heng San melontarkan tubuh itu lewat atas kepalanya ke belakang.
”Wuuutt..... brukkk!!” tubuh Ciang Hok terbanting keras sekali ke atas lantai dan dia mencoba bangkit, namun terkulai kembali karena kaki kirinya terasa nyeri dan lengan tangannya juga terkilir!. Beberapa muridnya segera datang membantu dan memapahnya bangkit berdiri.
Dengan muka pucat Ciang Hok memandang kepada Heng San, lalu menunddukkan mukanya dan berkata, ”sudahlah! Aku memang tidak pantas menjadi guru silat di kota ini...”
”Bagus Kalau kau menyadari hal itu. Lebih baik lagi kalau engkau segera menutup perguruan ini dan meninggalkan Lin-han-kwan.” Setelah berkata demikian, Heng San membalikkan tubuhnya keluar dari rumah perguruan itu. Para murid mengikutinya dan ketika tiba di luar Heng San mendongak memandang ke arah papan lebar yang ditulisi perguruan itu.
”Papan ini harus diturunkan!” Katanya dan tiba-tiba dia mendorongkan telapak tangannya ke arah papan itu sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti).
”wuuuttt... brakkk!” papan itu pecah menjadi dua potong dn jatuh dari gantungannya. Para murid Hiu-Houw-bukuon terbelalak. Papan itu amat tebal namun pecah dan jatuh terkena hawa pukulan jarak jauh Heng San. Mereka menjadi jerih dan segera masuk kembali ke dalam rumah perguruan itu.
”Pada hari itu juga. Perguruan Silat Harimau Terbang ditutup dan Ciang Hok membawa barang-barangnya meninggalkan kota Lin-han-kwan, entah pindah kemana tidak ada yang tahu. Ketika Law Cin mendengar akan peristiwa itu, dia memarahi Heng San didepan Pat- jiu Sin-kai.
”Hengsan! Engkau telah berubah menjadi seorang tukang pukul yang jahat! Kenapa engkau mengganggu Guru Silat Ciang Hok yang tidak bersalah? Dia membuka perguruan silat di kota ini, apa hubungannya denganmu? Kenapa engkau berkelahi dengan dia dan mengalahkannya, sehingga dia merasa malu dan menutup perguruannya lalu pergi meninggalkan Lin-han-kwan.?”
Heng San diam saja. Akan tetapi Pat-jiu Sin-kai yang berada disitu tertawa bergelak. ”Ha ha ha, In-kong dan Lauw Toanio! Apa yang dilakukan Heng San itu adalah hal yang lumrah saja terjadi di dunia persilatan. Pertandingan itu bukan perkelahian, melainkan pi- bu (pertandingan silat) untuk menguji ilmu silat masing-masing. Kalau Ciang Hok kalah lalu merasa malu dan menutup perguruannya dan meninggalkan Lin-han-kwan, hal itu adalah biasa saja dan tidak perlu dipersoalkan. Heng San sama sekali tidak bersalah!”
Melihat ayah dan ibunya masih marah, Heng San lalu berkata. ”Ayah dan Ibu, percayalah bukan aku yang menantang pertandingan. Ketika itu aku mampir nonton latihan mereka. Tahu-tahu dia menghina dan mengejekku, dan guru silat Ciang itu menantangku dan mengatakan bahwa kalau kami bertanding dan aku kalah, aku harus mengakuinya sebagai guruku. Sebaliknya kalau dia yang kalah, dia akan menutup perguruan dan pergi dari kota ini. Karena sikapnya yang sombong dan menghina, maka aku menerima tantangannya dan akibatnya dia kalah dan pergi dari kota ini. Aku tidak bersalah, Ayah.”
Karena merasa sungkan kepada Pat-jiu Sin-kai, Lauw Cin dan isterinya tidak berkata apa- apa lagi, namun di dalam hati mereka, kedua orang tua ini sangat kecewa sekali. Mereka membayangkan dalam usianya yang dua puluh dua tahun seperti sekarang ini, kalau saja Heng San tidak menjadi murid Pengemis tua itu tentu dia kini sudah dikenal diseluruh kota sebagai seorang ahli obat muda yang sudah banyak menolong dan menyembuhkan orang sakit sehingga nama keluarga mereka menjadi semakin harum. Akan tetapi sekarang mereka mempunyai anak tunggal yang menjadi tukang pukul.
****
Peristiwa itu sebulan kemudian disusul dengan peristiwa lain yang lebih menggegerkan pula. Pada suatu pagi, Heng San yang melihat ayah dan ibunya selalu berwajah muram, mulut mereka cemberut dan alis mereka berkerut setiap kali memandangnya sehingga dia maklum bahwa mereka masih marah sekali kepadanya, lalu meninggalkan rumah untuk mencari hawa segar dan menghibur hatinya yang menjadi kesal dan murung. Dia berjalan- jalan tanpa tujuan dan kedua kakinya membawanya memasuki sebuah taman umum yang berada di sudut kota, di dekat pintu gerbang sebelah barat kota Lin-han-kwan.
Hatinya yang murung menjadi gembira, ketika melihat keadaan taman umum, ketika dia melihat keadaan taman umum itu yang indah karena pada saat itu musim bunga telah tiba dan tanaman itu semua sudah mulai berbunga. Karena itu, banyak orang, terutama orang- orang muda yang pada pagi hari yang cerah itu, mengunjungan taman. Suasana dalam taman itu sungguh menyenangkan.
Ketika Heng San tiba disebuah kolam ikan emas yang berada di sudut taman, dia melihat tiga orang gadis mida yang sedang bermain-main di tepi kolam, melemparkan makanan ke arah ikan-ikan yang berada dalam kolam. Suara tawa mereka yang tertahan-tahan dan merdu itu membuat suasan menjadi semakin segar dan nyawam bagi Heng San. Dia melihat bahwa seorang di antara tiga orang gadis itu cantik sekali, berpakaian merah muda dan biarpun dandanannya tidak mewah, namun pakaiannya cukup rapi dan bersih. Adapun dua orang gadis lainnya agaknya merupakan teman atau juga pengikutnya, karena pakaian mereka seperti pakaian pelayan yang lebih sederhana. Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun dan dua orang temannya itu lebih muda, sekitar lima belas tahun usia mereka.
Pada waktu itu, pemerintah kerajaan yang baru, yaitu kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Manchu yang berhasil menduduki dan menjajah cina, mengadakan peraturan- peraturan yang harus ditaati seluruh rakyat bangsa Han, yaitu bangsa aseli Cina. Semua laki-laki diharuskan memelihara rambut seperti halnya para laki-laki bangsa Manchu. Karena rambut yang panjang itu berabe sekali, maka menurut kebiasaan waktu itu, rambut itu dikuncir, menjadi kuncir panjang yang digantung di belakang punggung. Heng San dan para pria yang berada dalam taman juga mempunyai kuncir seperti itu. Rambut Heng San yang subur dan hitam itu dijadikan sebuat kuncih yang besar dan ujungnya diikat kain kain sutera hitam. Kuncirnya panjang sampai di pinggang dan kadang kuncirnya itu dilibatkan di lehernya sehingga dia tampak gagah sekali.
Heng San mengerutkan alisnya ketika serombongan laki-laki menghampiri tiga orang gadis yang sedang bermain-main memberi makan ikan di empang itu. Mereka terdiri dari belasan orang yang mengenakan pakaian seragam penjaga keamanan kota, membawa sebatang golok tergantung di pinggang masing-masing. Hanya petugas-petugas pemerintah dan para pembesar machu saja, dan beberapa orang Han yang menjadi antek penjajah dan menjadi pembesar-pembesar kecil, yang diperbolehkan membawa senjata tajam. Rakyat jelata dilarang membawa senjata tajam. Siapa berani melanggar akan ditangkap dengan tuduhan memberontak!. Dua belas orang prajurit penjaga keamanan kota itu mengikuti seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun lebih dan melihat pakaiannya mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bangsawan Manchu, atau putera seorang pembesar tinggi. Heng San segera mengatahui siapa orang itu. Biarpun dia tidak mengenalnya karena putera seorang pembesar Manchu mana yang mau bersahabat dengan seorang pemuda biasa. Dia tahu bahwa bangsawan Manchu muda itu adalah Bauw Mauw, putera Jaksa Bauw seorang pembesar yang berkuasa di kota Lin-han-kwan. Dia melihat betapa Bauw Mauw mendekati gadis-gadis itu dan bicara dengan gadis cantik berpakaian merah muda. Gadis itu tampak takut dan malu-malu, sedangkan Bauw Mauw tersenyum-senyum dan kelihatan seperti menggoda dan merayu. Karena merasa curiga, Heng San berjalan mendekati, padahal orang-orang lain yang berada di taman itu pergi menyingkir dan kelihatan takut kepada Bauw Mauw dan para pengawalnya. Setelah dekat, Heng San mendengar percakapan mereka dan agaknya gadis berpakaian merah muda itu kini berbantahan dengan Bauw Mauw.
”Tidak, Koncu (tuan muda), saya tidak mau...!” gadis itu berkata dan nada suaranya marah akan tetapi juga takut.
”Engkau harus mau mengikuti aku karena saat ini kalian bertiga kami tangkap!” Bauw mauw lalu memberi isarat dengan tangan kepada dua belas orang pengawalnya yang segera maju mengepung tiga orang gadis yang tampak ketakutan itu. Apalagi dua orang gadis pembantu rumah tangga itu tampak takut sekali dan mereka mulai menangis.
”Ditangkap? Kongcu, apakah kesalahan kami maka ditangkap?” gadis itu membantah, walaupun wajahnya berubah pucat.
”Nanti kalian akan tahu kalau sudah diperiksa dikantor ayahku! Ingat, ayah adalah jaksa di kota ini dan kami berhak menangkap siapa saja yang kami curigai. Hayo Jalan!” tiga orang gadis itu didorong-dorong para pengawal dan sambil menangis terpaksa melangkah maju. Orang-orang yang melihat peristiwa itu dari jarak jauh tidak ada yang berani mencampuri. Akan tetapi Heng San yang menjadi penasaran sekali. Dia segera membayangi rombongan yang menawan tidak orang gadis itu.
Tentu saja dia menjadi terheran-heran melihat bahwa rombongan itu tidak menuju ke kantor kejaksaan seperti yang diduganya, melainkan malah keluar dari pintu gerbang barat kota itu!. Dia terus membayangi tanpa diketahui oleh rombongan itu dan tak seorangpun penduduk yang begitu tolol untuk berani mencampuri urusan putera jaksa itu. Heng San mengikuti terus dan melihat bahwa rombongan itu membawa tiga orang tawanannya ke sebuah rumah mungil. Itulah rumah peristirahatan yang dibuat Jaksa Bauw, sebuah rumah mungil di lereng bukit, di tempat yang sunyi dan berhawa sejuk. Tempat yang memang nyaman sekali untuik beristirahat, menjauhi keramaian kota.
Setelah mereka semua memasuki rumah itu Heng San cepat menyusup di antara pohon- pohon dan semak-semak mendekati tumah itu. Tiba-tiba dia mendengar jerit wanita keluar dari sebuah jendela kamar yang tertutup. Heng San cepat menghampiri jendela itu dan tanpa ragu lagi dia mendorong daun jendela sehingga terbuka. Matanya terbelalak melihat pemuda Manchu putera jaksa itu sedang bergumul dengan gadis berpakaian merah muda. Mereka bergumul di atas pembaringan, Bauw kongcu berusaha merenggut lepas pakaian gadis itu sedangkan gadis itu sekuat tenaga berusaha mencegahnya.
Mereka tidak tahu bahwa jendela kamar sudah dibuka Hengsan dari luar, Bauw Koncu yang sudah menggila oleh gairah nafsu itu sudah tidak melihat atau mendengat apa-apa lagi. Heng San tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali menggerakkan tubuh, dia sudah melompat ke dalam kamar. Sekali tangan kirinya mencengkeram dan merenggut, tubuh itu dan terpelanting ke atas lantai. Tangan kanan Heng San menyambar ” dess...!” pemuda bangsawan manchu itu terkapar, giginya rontok, mulutnya bredarah dan dia pingsan seketika. Heng San mendengar jerintan-jeritan wanita diluar kamar. Cepat dibukanya ruangan depan, kemarahan membuat mukanya berubah merah sekali ketika dia melihat betapa dua orang gadis pembantu tadi dijadikan rebutan dua belas orang pegawal Bauw koncu.
”Jahanam-jahanam busuk!” dia berseru dan tubuhnya berkelebatan di antara dua belas orang itu. Beberapa orang diantara mereka mencabut golok untuk melawan pemuda yang mengamuk itu, namun perlawanan mereka tidak ada artinya bagi Heng San. Sorang demi seorang roboh pingsan oleh pukulan atau tendangannya.
Tak lama kemudian tanpa banyak cakap, Heng San mengiringkan tiga orang gadis itu untuk kembali ke kota Lin-han-kwan dan memesan agar untuk sementara waktu mereka jangan keluar rumah dulu. Setelah itu, barulah dia pulang ke rumahnya.
Sebentar saja, kota Lin-han-kwan menjadi gempar. Begitu ada yang mengetahui Heng San si pembunuh kerbau gila menghajar Bauw kongcu bersama sekelompok pengawalnya, semua orang membicarakannya. Sebagian besar membicarakan peristiwa itu dengan hati riang gembira karena bauw koncu terkenal mata keranjang dan suka mengganggu anak bini orang dan Bauw taijin terkenal pula sebagai pemeras dan penindas mengandalkan kekuasaannya dan suka bertindak sewenang-wenang.