Si Rajawali Sakti Jilid 10

Jilid 10

"Lalu bagaimana kalau aku ingin menungganginya, Lin-ko? Suruh dia menerbangkan aku, sebentar saja, aku ingin merasakan menunggang seekor rajawali terbang."

"Aku tidak bisa menyuruh dia menerbangkan orang lain, Lin-moi. Akan tetapi kalau engkau sendiri yang meminta, ngan sik,ap dan ucapan yang manis, kira dia tidak begitu pelit untuk nolak. Mintalah kepada Tiauw-ko, kal dia setuju, dia akan mendekam sehingjjV engkau dapat naik ke punggungnya. KaUg| dia tidak mau mendekam, itu tandanjj dia tidak mau."

Kui Lin lalu menghampiri burung dan berdiri di depannya. Kemudian menjura, mengepalkan kedua tangan pan dada dan memberi hormat samt berkata dengan suara merdu dan mar penuh rayuan.

"Tiauw-ko yang baik, Tiauw-ko yar gagah perkasa, maafkan aku atas k< salahanku dahulu. Sekarang aku mol kepadamu, sukalah engkau membawa ah terbang sebentar saja. Maukah engkai Tiauw-ko? Mau, ya. Kakak Rajawali yar baik?" Han Lin diam-diam merasa gel melihat ulah gadis itu yang bersikap bicara sambil- merayu- rayu. Kalau sudar bersikap seperti itu, Kui Lin benar-benar memiliki daya tarik yang luar biasa, tiap orang pria agaknya pasti jatuh bertekuk lutut menghadapi rayuannya. Entah kalau rajawali itu.

Akan tetapi, dengan girang dia m lihat betapa kepala rajawali itu men angguk- angguk, lalu kedua kakinya ber jongkok, tubuhnya merendah! Kui L' bersorak gembira.

"Terima kasih, Tiauw-ko yang baik! Nah, aku akan meloncat ke atas punggungmu, bawa aku terbang ke langit, ya? Aku ingin melancong ke bulan dan bintang-bintang!" kata Kui Lin dan ia pu~ lalu melompat dengan hati-hati sehingga dapat duduk di atas punggung rajawali itu dengan lunak.

Rajawali itu memandang kepada Han Lin dan pemuda ini pun mengangguk. "Bawa ia terbang sebentar, Tiauw-ko. Ia adalah Lin Lin, adikku." Dia memperkenalkan dan menyebut Kui Lin dengan sebutan Lin Lin yang dianggapnya lebih manis dan menyenangkan Rajawali mengeluarkan bunyi melengking, kemudian mengembangkan sayapnya, mengenjotkan kakinya sehingga tubuhnya meloncat ke atas lalu sayapnya mulai bergerak dengan kuatnya. Tubuhnya melayang dengan cepatnya ke atas. Lin Lin bersorak gembira sehingga Han Lin ikut pula merasa senang. Gadis itu benar-benar seperti seorang anak kecil saja. Akan tetapi kalau teringat akan keganasannya membunuhi penjahat, dia bergidik. Justeru karena itulah maka dia ingin menemani Kui Lin ke kota raja. Selain dia memang ingin melihat keadaan di kota raja, dia juga ingin membimbing Kui Lin ke arah jalan yang benar. Dia merasa sayang kalau gadis itu kelak menjadi seorang yang kejam dan sadis tak mengenal kasihan.

Sekitar seperempat jam rajawali terbang tinggi kemudian menukik turun dan hinggap di atas tanah dekat Han Lin.

"Wah, kenapa turun? Tiauw-ko yang baik, aku masih belum puas. Aku ingin terbang lebih lama Jas»' Aku tidak mau turun!" Ia menendang-nendangkan kakinya seperti anak kecil mengambek (merajuk).

"Turunlah, Lin Lin! Nanti Tiauw-ko marah dan melemparkan kau dari punggungnya!" kata Han Lin. Mendengar ini, Kui Lin cepat melompat turun denga takut.

"Lin-ko, kau panggil namaku apa t di?" "Lin Lin."

"Wah, aku ingat dulu guruku jug suka memanggil aku Lin Lin!" "Kau suka kupanggil Lin Lin?"

Gadis itu mengangguk. "Kalau ka yang panggil, boleh."

Han Lin lalu mengambil sesampu surat yang memang telah dipersiapkan sebelumnya, menghampiri rajawali dan berkata, "Tiauw-ko, engkau pulanglah ke Puncak Yangliu (Cemara) di Cinlingsa dan berikan surat ini kepada Suhu. Ak akan melakukan perjalanan bersama Lin Lin." Setelah berkata demikian, Han Lin mengikatkan sampul surat itu kepada bulu di bawah sayap rajawali. Rajawali mengangguk, mengeluarkan pekik lalu melayang dengan cepatnya ke udara.

"Lin-ko, apakah engkau yakin dia akan dapat sampai ke tempat gurumu dan memberikan surat itu kepadanya?" "Aku merasa yakin, Lin-moi. Tiauwko adalah seekor burung yang sudah terlatih dengan baik. Suhu yang memeliha-anya sejak kecil, sejak baru menetas, nenyelamatkannya dari serangan ular dan erawatnya sehingga besar. Dia dapat mengerti ucapan yang sederhana, bahkan dapat merasakan getaran perasaan orang, dan lebih lagi, dia pun menguasai gerakan silat sehingga dia dapat menjadi lawan yang cukup tangguh."

Kui Lin menjadi kagum bukan main. Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja di Utara.

ooOOoo

Sepekan kemudian, Han Lin dan Kui Lin memasuki kota Kan-peng yang tidak begitu besar namun c.'kup ramai da/i mereka menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan. Karena mereka telah melakukan perjalanan selama dua hari dua malam melalui jalan yang sukar dan sunyi tanpa pernah melewati dusun atau pun kota sehingga terpa bermalam di hutan dan makan seadany seperti buah-buahan yang mereka dapat kan di hutan atau daging binatang hutan maka keduanya merasa amat lelah. S' telah mandi dan makan dari rumah m kan yang menjadi bagian penginapan itu keduanya lalu memasuki kamar masing masing dan tidur. Kui Lin segera menja pulas, dan Han Lin biarpun tidur nyenya pula, namun tetap saja dia memilik kepekaan yang luar biasa.

Sedikit suara di atas genteng suda cukup untuk membangunkannya dari tidur. Cepat dia melompat turun, mengenaka sepatunya dan keluar dari kamarnya me nuju ke kamar Kui Lin. Ketika itu tela tengah malam dan penginapan itu sudah sepi, semua tamu sudah tidur pulas. Han Lin cepat menangkap bayangan hitam di jendela kamar Kui LinC Daun jendela itu telah terbuka, maka cepat dia menegur. "Heiii! Siapa itu?" Bayangan hitam itu terkejut. Tiba-tiba tangannya bergerak dan ada benda hitam . panjang meluncur bagaikan anak panah menuju ke arah dada Han Lin. Karena khawatir kalau-kalau senjata yang lisambitkan itu beracun, Han Lin tidak menangkapnya melainkan memukulnya dari samping dengan hawa pukulan yang amat kuat. Senjata itu terdorong angin pukulan, membelok dan menancap pada daun pintu kamar Kui Lin.

"Capp " Dari suaranya dapat diketahui bahwa itu adalah sebuah senjata runcing yang menancap dalam sekali pada daun pintu, tanda bahwa pelontarnya menggunakan tenaga sakti yang amat kuat. Han Lin cepat melompat ke arah jendela, akan tetapi bayangan hitam itu sudah melompat jauh ke atas genteng dan lenyap dalam kegelapan malam. Han Lin masih dapat melihat bahwa bayangan hitam itu adalah Cui-beng Lokui, guru dari Tiat-pi Sam-wan. Agaknya kakek itu merasa sakit hati karena ketiga orang muridnya semua tewas di tangan Kui Lin maka dia datang untuk membalas dendam. Agaknya sejak Kui Lin meninggalkan Cin-an, kakek itu diam-diam telah membayanginya, akan tetapi karena Han Lin berada di dekatnya, maka dia tidak berani turun tangan. Baru malam hari ini dia berusaha untuk membunuh Kui Lin yang tidur seorang diri dalam kamarnya.!

Han Lin tidak mengejar kakek itu karena dia amat mengkhawatirkan kol selamatan Kui Lin. Daun jendela itu telah terbuka, siapa tahu apa yang telan dilakukan kakek itu terhadap Kui Lin yang agaknya saking lelahnya tidur bel gitu pulasnya sehingga tidak dapat men dengar ketika daun jendelanya dibuk orang. Tanpa pikir panjang lagi karen khawatir akan keselamatan gadis itu Han Lin melompat masuk.

Kamar itu gelap. Agaknya lampi meja telah dipadamkan. Dengan jantun berdebar tegang Han Lin meraba-rab; dan dapat meraba pembaringan. Cepa dia menyingkapkan kelambunya dan kedua tangannya meraba-raba. Kebetulan jari-jari tangannya meraba betis kaki Kui Lir yang tersembul keluar dari selimut. Har Lin yang tidak dapat melihat, ketiks merasa bahwa kedua tangannya memegang bagian tubuh yang panjang, berkulit halus, lunak dan hangat, mengira bahw dia memegang lengan Kui Lin. Maka dipegangnya erat-erat betis itu dan diguncangnya.

"Lin Lin! Lin Lin. I"

Kui Lin terbangun dan ketika merasa ada yang bergerak-gerak di sekitar betisnya, ia meloncat turun sambil menjerit geli dan ngeri.

"Ular , ular ! Ada ular !"

“Hush, Lin-moi. Ini aku, Han Lin!"

"Lin-ko? Aeh, apa-apaan engkau berada di kamarku?" Cepat gadis itu menyalakan lampu dan setelah kamar itu menjadi terang, ia cepat menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang. Matanya bersinar marah sekali, apalagi melihat jendela kamarnya terbuka. Jelas pemuda ini memasuki kamarnya dari jendela dan meraba-raba kakinya! "Kurang ajar! Beginikah watakmu, Han Lin? Ternyata engkau seorang laki-laki kurang ajar, tidak sopan! Laki-laki cabuli"

"Lin-moi, tenanglah "

"Jaihwacat (Pemetik Bunga, Penjahat Pemerkosa Wanita)! Kau kau pergi dari sini atau kubunuh kau!"

"Lin-moi!" Han Lin membentak, juga marah karena dia dimaki-maki dan dituduh yang bukan-bukan. "Cui-beng Lokuj tadi sudah membuka daun jendelamu! untung aku keburu datang dan mengusiri nya. Lihat saja apa yang menancap di daun pintu kamarmu!" Setelah berkata demikian, sekali bergerak Han Lin sudan meloncat keluar dari kamar melalui jen-1 dela . dan kembali ke kamarnya sendiriJ - Dia duduk bersila dan menenangkan hati! nya yang terguncang nafsu amarah ka-| rena tadi disangka yang bukan-bukan dani dimaki-maki gadis itu.

Setelah Han Lin pergi, cepat Kui Lin menutupkan daun jendela dan ia pun segera mengenakan pakaian luarnya, memakai sepatunya dan membuka daun pintu. Ketika ia tiba di luar dan meman dang, ia menjadi terkejut dan bengong melihat sebatang pedang menancap di daun pintu kamarnya, menancap sampa

etengahnya dan menembus papan daun pintu ke dalam. Inilah semacam hui-kiam 'dang terbang), yaitu pedang yang dapat disambitkan sebagai senjata rahasia 1an ia teringat bahwa yang menggunakan ui-kiam adalah Cui-beng Lokui, guru lari Tiat-pi Sam-wan yang telah dibunuh- ya semua! Ia menoleh ke arah kamar Han Lin yang tertutup daun pintu dan endelanya. Teringat ia betapa tadi ia memaki-maki dan menuduh Han Lin ku-

ang ajar, bahkan memakinya sebagai lai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pekerjaannya memperkosa wanita! Wajahnya terasa panas dan jantungnya berdebar, tubuhnya terasa lemas penuh penyesalan.

Dengan tangan gemetar, ia mengetuk daun pintu kamar Han Lin. "Tok-tok-tok "

Tidak ada jawaban.

Diketuknya lebih gencar dan lebih kuat lagi. "Tok-tok-tok-tok-tok !!"

Tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar.

"Lin-ko! Lin-ko, bukalah !"

Masih saja tidak ada jawaban. Kui Lin termenung. Apakah Han Lin tidak berada dalam kamarnya? Atau memang marah dan tidak membuka pintunya, tidak mau menemuinya?

"Lin-ko, bukalah, Lin-ko, ini aku! Bukalah pintunya, Lin-ko!" ia berkata dengan suara memohon dan agak parau karena ia sudah hampir menangis.

Karena tetap tidak ada jawaban, Kui Lin lalu menghampiri daun jendela dan' dengan tenagandalamnya ia mendorong! daun pintu sehingga terbuka. Di dalam kamar itu ia melihat Han Lin duduk bersila di atas pembaringan dan lampu meja masih bernyala terang, la segera melompat masuk dengan ringannya dan menghampiri Han Lin.

"Lin-ko, aku datang untuk minta maaf kepadamu " katanya hrih membujuk.

Tanpa membuka kedua matanya Han Lin berkata. "Jangan dekati aku, aku < laki-laki kurang ajar, tidak sopan, cabul, aku seorang Jaihwacat. Pergilah, jangan dekati aku!"

Mendengar ini, Kui Lin lalu menjatuhkan dirinya berlutut menghadap pemuda tu.

"Lin-ko, aku mohon ampunkan aku........ aku bersalah padamu Lin-ko, jangan

membenciku " Gadis itu mena-gis sesenggukan.

"Hemmm, engkau masih menganggap aku laki-laki serendah itu?" "Tidak, tidak ! Maafkan aku, Lin-ko. Aku bodoh sekali. Engkau kembali

menyelamatkan nyawaku yang terancam oleh Cui-beng Lokui dan aku malah memaki-makimu! Maafkan, aku tidak sengaja, habis aku kaget, aku terbangun, gelap dan ada ular-ular merayap di betisku " Gadis itu bergidik ngeri.

Mau tidak mau Han Lin tertawa. Ha-ha-ha, aku tidak menyalahkan kalau engkau terkejut. Akan tetapi lain kali jangan memaki aku seperti itu! Masa ada adik memaki- maki kakaknya begitu rendah? Yang merayap di betismu itu bukan ular, bodoh, tapi jari-jari tanganku. Maafkan aku, habis gelap dan aku ingin melihat apakah engkau tidak celaka oleh kakek itu. Sudahlah, kembali ke kamarmu, tidak enak kalau ada orang mendengarkan kita. Besok saja kita bicaraka hal ini. Selamat tidur, Lin Lin."

Kui Lin tidak menangis lagi, kini malah tertawa. "Selamat tidur, Lin-ko, dan terima kasih." Ia melompat keluar dari jendela, menutupkan daun jendelanya dan kembali ke dalam kamarnya. Ia kini menyiapkan pedangnya di bawah bantal.

"Datanglah lagi kau, kakek jahanam Cui-beng Lokui, akan kucincang tubuhmu yang tua itu?" katanya gemas sebelum ia jatuh pulas lagi.

Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Han Lin menasehat-kan Kui Lin agar mulai sekarang berhati-hati karena sudah jelas bahwa Cui-beng Lokui mendendam kepadanya karena ia telah membunuh tiga orang muridnya. "Engkau hadapi ini, Lin-moi. Inilah yang kumaksudkan dengan f rantai karma. Semua perbuatan kita pasti mendatangkan akibat. Akibat buruk menyusul perbuatan buruk dan akibat baik menyusul perbuatan baik, cepat atau pun lambat. Karena itu kita harus selalu waspada akan perbuatan kita sendiri dan berusaha agar perbuatan kita selalu baik, menjauhi perbuatan buruk."

Kini Kui Lin sudah mendapat pelajaran pahit semalam dan ia mulai berhati-hati dengan sikap, ucapan, atau perbuatannya. Ia mulai melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan Han Lin.

"Kalau begitu, perbuatanku membunuh orang-orang jahat itu buruk?"

"Lihat saja sendiri, Lin-moi. Baru membunuh Tiat-pi Sam-wan saja, kini akibatnya engkau dikejar-kejar guru mereka yang mendendam dan hendak membunuhmu. Kalau kau lanjutkan keganasan-mu suka membunuh orang-orang, bayangkan saja bagaimana nanti hidupmu? Ratusan, bahkan ribuan orang akan selalu mengejarmu dan berniat untuk membalas dendam dan membunuhmu!"

Kui Lin terdiam, agaknya merasa menyesal juga. Melihat wajah manis yang biasa cerah, liar dan gembira itu kini memanjang karena menyesal dan risau, Han Lin merasa tidak tega.

'Tenangkan hatimu, Lin Lin. Yang sudah lalu, biarkan berlalu. Hanya saja, mulai sekarang seyogianya engkau mengubah watakmu, jangan terlalu menuruti gelora perasaan emosimu. Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, akan tetapi bukan berarti kita lalu menjadi hakimi hakim yang menjatuhkan keputusan hukuman sendiri, tidak boleh kita lalu men-P jadi Giam-lo-ong (Raja Maut). Kita tentang perbuatan jahat akan tetapi tanpa membenci manusianya. Kita tentang yang jahat, kalau dapat kita sadarkan mereka, kalau mereka tidak tunduk, terpaksa kita pergunakan kekuatan untuk mengalahkan] mereka dan membiarkan mereka dihukumi oleh yang berwajib, yaitu alat pemerintah yang berwenang untuk mengadili mereka.J Hukuman itu pun suatu usaha untuk me-l nyadarkan mereka. Ingat, Lin Lin, tidak I ada manusia yang sempurna di dunia ini. Orang yang melakukan kejahatan berarti] dia sedang sakit, bukan badannya yang] sakit, melainkan jiwanya. Nasehat atau] hukuman dapat saja mengobatinya sampai] sembuh. Kalau jiwanya sudah sembuh j

tidak sakit lagi, tentu wataknya berubah menjadi baik. Sebaliknya, jiwa yang tadinya sehat, bisa saja sewaktu-waktu menjadi sakit karena manusia itu lemah dan nafsu- nafsunya yang amat kuat setiap saat siap untuk menggoda dan menyeretnya melakukan perbuatan sesat demi mencapai keinginan yang didorong oleh nafsunya. Maka, tidaklah bijaksana bagi seorang yang sedang baik wataknya memandang rendah orang lain yang sedang tersesat, seperti tidak bijaksananya seorang yang sedang sehat memandang rendah seorang yang sedang sakit. Harus selaiu diingat bahwa yang sakit dapat sembuh, sebaliknya yang sehat dapat juga sakit. Membunuh mereka yang jahat jelas bukan cara terbaik, seperti menanam bibit pohon buah yang tidak baik."

"Lin-ko, aku akan selalu ingat nase-hatmu ini akan tetapi bimbinglah aku karena terkadang kalau sedang marah menyaksikan kejahatan dilakukan orang, aku menjadi lupa segala dan ingin membasmi si jahat itu."

Demikianlah, mereka berdua melanjutkan perjalanan ke kota raja dan di panjang perjalanan Kui Lin menerima banyak petunjuk dan nasehat dari Han Lin yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri atau juga gurunya.

w

Bukit Tengkorak itu sebetulnya tidaklah berapa besar, tingginya juga hanya sekitar lima ratus meter. Mengapa disebut Bukit Tengkorak, mudah diketahui karena bukit kapur itu dari jauh memang sudah tampak mirip tengkorak manusia. Tidak ada orang mau tinggal di bukit karena bukit kapur itu tanahnya sama sekali tidak subur. Orang-orang lebih suka tinggal di bawah bukit yang berada di lembah Sungai Luan di mana tentu saja tanahnya lebih subur.

Semua orang mengetahui bahwa sudah bertahun-tahun di puncak Bukit Tengkorak itu tinggal seorang pertapa wanita dalam sebuah gua besar. Semua orang di dusun- dusun sekitar Bukit Tengkorak mengenal pertapa yang bernama Thian Te Siankouw itu karena setiap ada yang menderita sakit berat mereka membawanya naik dan menghadap Thian Te Siankouw yang selalu mengobati si sakit dengan suka-rela.

Banyak sudah orang yang dapat sembuh setelah diobati Thian Te Siankouw. Maka, para penduduk dusun-dusun yang merasa hutang bud,i kepada pertapa itu, membalasnya dengan menyediakan semua keperluan hidupnya yang tidak banyak. Hanya sekedar untuk makan sewaktu lapar dan beberapa helai pakaian pengganti. Beberapa orang tokoh kang-ouw yang kebetulan lewat di daerah itu dan tertarik lalu mengunjungi Thian Te Siankouw mendapat kenyataan bahwa pertapa wanita itu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Akan tetapi a irir»ya, tidak pernah ia mau menerima murid walaupun banyak orang-orang muda bersujut kepadanya dan mohon menjadi muridnya. Hal ini terkadang membuat orang-orang kangouw itu menjadi marah dan sengaja menguji kepandaian Thian Te Siankouw, namun tak seorang pun mampu membuat per-tapa itu bangkit dari duduknya. Hanya dengan duduk bersila saja n mampu mengalahkan dan mengusir semua pengganggunya.

Pada suatu pagi, seorang pemuda berpakaian serba kuning yang gagah dan seorang gadis muda yang cantik, lembut namun tampak gagah pula, tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Tengkorak. Mereka adalah Liu Cin dan Ong Hui Lan. Seperti kita ketahui, sepasang orang muda ini mendapat petunjuk dari Si Han Lin bahwa kalau mereka, atau lebih tepat Hui Lan, ingin memperdalam ilmu dan mencari guru, dia mendengar dari gurunya bahwa di Puncak Bukit Tengkorak di tepi Sungai Luan itu terdapat seorang pertapa wanita bernama Thian Te Siankouw yang sakti. Maka Hui Lan lalu mencarinya, ditemani oleh Liu Cin yang diam-diam mencinta gadis itu.

Para penduduk dusun itu tentu saja memandang sepasang orang muda itu dengan heran. Maklum daerah itu jarang

-kali menerima kunjungan orang luar. alau ada yang kebetulan datang juga ereka adalah orang-orang kangouw yang asar. Ketika Liu Cin bertanya kepada tereka tentang Bukit Tengkorak dan Thian Te Siankouw, para penduduk dusun itu dengan gembira menunjuk ke arah Nukit Tengkorak yang tampak dari situ. "Kongcu (Tuan Muda) dan Kouwnio Nona) tentu hendak minta obat dari Siankouw, bukan? Karena kalau Ji-wi Kalian berdua) minta hal lain, pasti , kan ditolaknya.

"Ya benar, kami mau minta obat," awab Hui Lan yang tidak ingin men-apat banyak pertanyaan kalau ia bilang ngin mencari guru.

"Kami mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, Thian Te Siankouw juga nerupakan seorang sakti. Benarkah itu?" tanya Liu Cin.

"Thian Te Siankouw adalah seorang ewi, bukan manusia biasa, tentu saja beliau sangat sakti! Karena itu, harap Ji-wi tidak main-main kalau berada di sana menghadap beliau." kata seorang kakek

dengan suara sungguh-sungguh.

"Apakah beliau mempunyai mur i tanya Hui Lan.

"Murid? Siankouw tidak pernah ma menerima murid, hanya mau mengobai orang sakit. Itu saja!"

Mendengar ini, tentu saja hati Hu Lan menjadi gelisah. Jangan-jangan se telah melakukan perjalanan yang ama sukar, mendaki pegunungan menur u jurang-jurang dan tebing terjal, setela bertemu dengan orang yang dicarinya, i akan ditolak menjadi murid! Ia tida boleh ragu. Segala harus dicoba dulu!

"Mari, Liu Cin, kita pergi menghadap Siankouw!" katanya dan mereka mengucapkan terima kasih kepada para penduduk dusun lalu berangkat mendaki bukit kapur itu. Di lereng bukit itu mereka bertemu dengan beberapa orang dusun yang pulang setelah mengantarkan orang yang sedang menderita sakit dan minta obat, ada pula yang pulang dari mengirim bahan-bahan makanan kepada Siankouw. Dari mereka inilah Liu Cin dan Hui Lan mendapat

>etunjuk di mana adanya gua besar tempat tinggal pertapa wanita itu.

Akhirnya mereka berdiri di depan gua tu. Karena gua itu menghadap ke timur dan saat itu matahari masih berada con-ong di timur walaupun sudah agak tinggi, maka sinar matahari memenuhi gua. Mereka melihat seorang wanita duduk bersila di atas sebuah batu besar di depan gua, sikapnya seperti seorang dewi dan memang pantas kalau ia disebut dewi. Wanita itu usianya sekitar lima puluh lima tahun, namun masih tampak cantik, rambutnya yang panjang masih hitam dan wajahnya yang lembut itu masih cerah dan halus tanpa keriput. Di dalam gua, di belakang wanita itu terdapat buah-buah dan bahan-bahan makanan yang agaknya baru saja dikirimkan ke situ oleh para penduduk dusun.

Hui Lan dan Liu Cin tertegun. Inikah calon guru yang mereka cari, guru yang ditunjuk oleh Si Han Lin? Wanita itu mengenakan pakaian kuning dan putih dari kain yang kasar, namun bersih dengan potongan sederhana, mungkin buatan para wanita dusun. Dua orang muda 1 saling pandang, lalu Hui Lan mengangg dan mereka berdua maju lalu menjatul kan diri berlutut di depan batu besar it "Siankouw, mohon maaf kalau k datangan kami mengganggu ketenanga Siankouw yang terhormat." kata Hui L karena Liu Cin tidak tahu harus berka apa. Yang memiliki kepentingan adai Hui Lan, dan dia hanya mengantarkann saja.

Thian Te Siankouw membuka ked matanya dan memandang kepada d orang muda itu bergantian, lalu terd ngar ia berkata, suaranya lembut.

"Kulihat kalian sehat saja, kenap kalian datang ke sini? Apa yang kalia kehendaki?" Biarpun suara itu lembut, namun d dalamnya mengandung getaran yang pe nuh wibawa sehingga Hui Lan meras betapa jantungnya berdebar tegang. Ia pikir, kalau ia langsung minta agar di terima menjadi murid, ia khwatir kalau kalau nenek itu menolak, maka sambi memberi hormat ia berkata.

"Siankouw yang mulia, saya mohon belas kasihan Siankouw agar sudi me- olong saya "

"Hemmm, kulihat engkau sehat, tidak akit "

"Badan saya memang tidak sakit, Siankouw, akan tetapi batin saya sakit, sakit parah sekali, rasanya ingin mati aja."

Thian Te Siankouw mengerutkan alisnya dan menatap wajah Hui Lan penuh perhatian. Sinar matanya yang tajam itu seolah akan menembus dan menjenguk ke dalam hati gadis itu. Agaknya ia tertarik

dan berkata.

"Engkau menderita sakit hati? Sakit hati apakah yang membuatmu ingin mati saja?" Tentu saja Hui Lan tidak ingin menceritakan bahwa dirinya telah diperkosa oleh Chou Kian Ti, apalagi di depan Liu Cin. Malapetaka itu akan ia rahasiakan untuk dirinya sendiri, tidak akan diceritakannya kepada siapapun juga, kecuali mungkin, kalau terpaksa, kepada ayah ibunya.

"Siankouw, saya merasa sakit hati sekali karena telah ditipu. Ayah ibu saya telah menerima lamaran Jenderal Chou yang hendak menjodohkan saya dengan puteranya. Saya menerimanya karena saya harus berbakti kepada orang tua saya. Akan tetapi ternyata Jenderal Chou itu melamar saya untuk puteranya I bukan karena puteranya ingin menikah dengan saya, melainkan karena keluarga Chou itu hendak memanfaatkan tenaga saya untuk membantu rencana pemberontakan mereka. Saya menolak dan mereka menghina dan memaki saya. Saya melawan akan tetapi kalah, maka saya mohon Siankouw sudi mengajarkan ilmu silat tinggi kepada saya agar saya dapat membalas perlakuan mereka dan terutama sekali agar saya mampu menantang mereka yang hendak memberontak kepada Sribaginda Kaisar." Thian Te Siankouw menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa mengajarkan ilmu silat, kalau engkau mau belajar ilmu pengobatan, boleh saja."

"Tolong, Siankouw. Saya melakukan itu bukan sekadar membalas dendam, melainkan terutama sekali untuk menentang dan menghalangi niat mereka untuk membunuhi para pejabat tinggi yang setia kepada Sribaginda Kaisar."

Kembali Thian Te Siankouw menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mempunyai urusan dengan dendam atau pun pemberontakan. Biar mereka yang berkepentingan saja yang mengurusnya."

"Siankouw yang mulia, tolonglah saya saya tidak akan bangkit ber-

diri lagi sebelum Siankouw mengabulkan permohonan saya dan menerima saya sebagai murid

" Hui Lan tidak dapat menahan kesedihan hatinya dan mulailah ia menangis teringat akan dendamnya kepada Kian Ki yang tidak mungkin dapat terbalas kalau ia tidak memperoleh bimbingan seorang g.ru yang sakti.

Mendengar ini, nenek itu mengerutkan alisnya lagi, akan tetapi ia tetap menggeleng- gelengkan kepalanya, bahkan ia lalu memejamkan kedua matanya lagi, tidak mempedulikan dua orang mu yang berlutut di depannya itu.

Liu Cin merasa iba sekali kepada Hu Lan. Dia dapat merasakan b tapa besa kekecewaan hati gadis itu yang ditola mentah-mentah oleh Thian Te Siankouw. Apalagi kini melihat gadis yang dicinta nya itu menangis sedih sedangkan nenc" yang dimintai tolong sama sekali tida mempedulikan malah memejamkan mata nya kembali. Perutnya terasa panas!

"Sudahlah, Hui Lan!" katanya denga nyaring. "Tidak ada gunanya lagi minta minta kepadanya. Seorang yang telah menggunakan julukan Siankouw biasanya berhati penuh belas kasihan kepada orang, akan tetapi mungkin yang satu ini merupakan kekecualian. Lebih baik engkau menghadap gurumu, Locianpwe Tiong Gi Cinjin, dan minta betiau melatihmu lagi untuk memperdalam ilmu silatmu."

"Siapa ??" Pertanyaan yang merupakan teriakan ini mengejutkan Liu Cin dan Hui Lan. Mereka memandang dan melihat nenek itu sudah membuka matanya dan kini memandang tajam kepada Hui Lan. "Siapa nama gurumu, Nona?"

"Suhu bernama Tiong Gi Cinjin," kata Hui Lan sambil mengusap air matanya dan berhenti menangis.

"Dia mempunyai tahi lalat di dagu kanannya dan tubuhnya agak pendek?" Nenek itu bertanya cepat.

"Benar, Siankouw, Suhu Tiong Gi Cinjin mempunyai tahi lalat di dagu kanannya dan beliau agak pendek dan gemuk."

"Ahhh, dulu dia tidak gemuk " Nenek itu berdiam diri, memandang ke atas seperti orang melamun.

"Siankouw mengenal Suhu?" tanya Hui Lan, harapannya timbul kembali. "Hemmm berapa lamanya engkau

belajar silat dari Tiong Gi Cinjin?" "Sekitar sepuluh tahun, Siankouw." "Hemmm,

sepuluh tahun? Kalau begitu, tingkat kepandaianrnu sudah cukup kuat. Apalagi yang d<»pat kuajarkan kalau Tiong Gi Cinjin sudah melatihmu selama sepuluh tahun? Dan engkau, orang muda, apakah engkau juga ingin belajar silat?"

Sebetulnya, Liu Cin hanya ingin mengantar dan menemani Hui Lan sa akan tetapi untuk mendukung gadis it dia pun berkata dengan tegas. 'Benar Siankouw, saya ingin memperdalam aj yang pernah saya pelajari."

"Siapa gurumu? Apakah Tiong Gi Cin-jin juga?"

"Bukan, guru saya adalah Ceng Iri Hosiang dari Siauwlimpai."

"Hemmm, murid Siauwlimpai? Mengapa masih harus memperdalam ilmu silat! mu?"

"Agar saya memiliki kemampuan yanl lebih besar untuk menentang kejahatan, dan menegakkan kebenaran dan keadilan] Siankouw."

Kembali Thian Te Siankouw mengamati wajah kedua orang muda itu beri gantian. Kemudian ia menghela napas panjang dan bertanya;

"Siapa nama kalian?"

"Saya bernama Ong Hui Lan, Sianl kouw." "Saya bernama Liu Cin."

"Liu Cin, engkau mencinta Hui Lan, bukan?" tiba-tiba nenek itu bertanya dari pertanyaan tiba-tiba ini tentu saja membuat Liu Cin terkejut dan dia menjawab Kagap.

"Apa maksud Siankouw? Ini hal ini saya "

"Seorang gagah harus berani berkata sejujurnya. Jawabanmu penting sekali bagiku untuk memutuskan apakah aku dapat mengajarkan sesuatu kepada kalian ataukah tidak. Hayo jawab sejujurnya, apakah engkau mencinta Hui Lan?"

Pada dasarnya memang Liu Cin memiliki watak yang terbuka dan jujur, maka dia menjawab dengan tegas. "Benar, Siankouw, saya mencinta Hui Lan!"

"Dan engkau, Hui Lan, apakah engkau mencinta Liu Cin?" kini nenek itu bertanya kepada Hui Lan.

Gadis itu menundukkan mukanya yang berubah merah sekali. Bukan hanya merah karena merasa malu, akan tetapi juga karena diam-diam tanpa suara ia menangis karena terharu. Mendengar Liu Cin mengatakan bahwa dia cinta padanya dengan begitu tegas, ia merasa terharu sekali. Memang ia dapat melihat dari sinar mata, gerak-gerik, suara dan jug sikap Liu Cin yang selama ini serial membelanya, bahwa pemuda itu mencintanya. Akan tetapi mendengar Liu Cin demikian tegas menyatakan cintanya, i"* merasa terharu. Liu Cin terlalu baik baginya, sedangkan ia sendiri, ia sama sekali tidak berharga untuk menerima cinta kasih Liu Cin. Ia seorang gadis yang telah ternoda!

"Hayo, Hui Lan, engkau harus menjawab agar aku dapat menentukan apakah aku dapat membantu kalian mempelajari sesuatu ataukah tidak!" kata Thian Te Siankouw mendesak.

Hui Lan tidak berani berbohong. Dalam keadaan menderita kepedihan batin seperti ini, bagaimana mungkin ia memikirkan tentang cinta? Akan tetapi tentu saja ia kagum,.dan suka kepada Liu Cin.

"Siankouw, saya merasa suka dan

kagum kepada Liu Cin." akhirnya ia menjawab.

"Bagus! Itu sudah cukup sebagai awal cinta! Untuk mempelajari ilmu ini ter- apat tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama mempelajari ilmu ini harus di-atih

oleh sepasang pria dan wanita. Kedua, mereka haruslah pria dan wanita yang saling mencinta. Dan ke tiga, me-eka harus memiliki tenaga sakti yang ukup kuat untuk dapat mempelajari ilmu mi. Nah, syarat pertama dan ke dua telah kalian miliki, yaitu kalian adalah sepasang pemuda dan gadis yang saling mencinta, sekarang syarat ke tiga dan al ini haruslah aku yang mengujinya. Kalian bangkitlah dan saling mengunci ari-jari sebelah tangan satu kepada yang lain dan berdiri di hadapanku lalu memasang kuda-kuda sambil mengerahkan seluruh tenaga sinkang kalian. Aku akan mendorong kalian dengan kedua tanganku, kalian sambut dengan sebelah tangan kalian dan pertahankan dirimu, jangan sampai kalian terdorong jatuh. Kalau kalian sampai terjatuh, berarti tenaga sinkang masih kurang kuat untuk mempelajari ilmu itu. Akan tetapi kalau dapat bertahan sehingga tidak sampai jatuh, berarti kalian boleh mempelajarinya. Nah, bersiaplah!" Karena ingin sekali mempelajari ilmu silat tinggi, Hui Lan dengan penuh semangat sudah berdiri di sebelah kanan Liu Cin. la dan pemuda itu menyatukan jari-jari sebelah tangan mereka, lalu dengan tubuh sedikit merendah mereka memasang kuda-kuda dan menyatukan tenaga sinkang mereka kemudian Hui Lan menjulurkan tangan kanannya ke depan sedangkan Liu Cin menjulurkan tangan kirinya ke depan, siap menyambut serangan dorongan nenek yang hendak menguji mereka itu.

Dengan masih duduk bersila di atas batu, Thian Te Siankouw berkata, "Majulah lagi agar tangan kalian dapat bertemu kedua tanganku."

Dua orang itu melangkah dekat dan kini berdiri dekat sehingga kedua telapak tangan Thian Te Siankouw yang dijulurkan ke depan itu dapat bertemu dengan dua telapak tangan mereka.

"Kalian sudah siap?"

Dua orang muda itu mengangguk. Tiba-tiba mereka merasa betapa dari te^ lapak tangan nenek itu ada hawa yang panas dan kuat sekali mendorong mereka. Mereka segera mengerahkan dan menyatukan tenaga melalui kedua tangan mereka menahan dorongan itu sekuatnya. Tak lama kemudian, kedua tangan nenek yang amat panas itu seketika berubah dingin seperti es! Dua orang muda itu terkejut, akan tetapi dengan penuh semangat mereka tetap bertahan walaupun perubahan hawa dari amat panas menjadi amat dingin itu menyusup ke dalam tubuh dan membuat tubuh mereka terasa ngilu. Mereka tetap bertahan walaupun Thian Te Siankouw mengubah-ubah hawa sin-kangnya.

"Pertahankan ini!" Nenek itu membentak dan tiba-tiba ia mendorongkan-kedua telapak tangannya itu sepenuh tenaganya. Bagaikan disambar badai, sepasang muda mudi i»u terdorong mundur, akan tetapi kaki mereka tetap menginjak tanah, tak pernah diangkat walaupun mereka terdorong mundur sampai hampir dua tombak jauhnya! Dan mereka tidak sampai roboh!

Thian Te Siankouw bangkit berdi I lu melompat turun dari atas batu. T buhnya ternyata tampak ramping ketik ia turun dan berdiri. Wajahnya berse memandang dua orang muda itu.

"Bagus, kalian berdua memenuhi tig syarat, agaknya kalian memang berjodo dengan Ilmu Thian-te Im-yang Sin-ku yang luar biasa itu."

Hui Lan melangkah maju dan berlutu di depan kaki nenek itu, diikuti oleh Li Cin. "Subo (Ibu guru) !" mereka berdu

memberi hormat. "Eiiittt eittttt ! Jangan, a'

bukan gurumu, bangkitlah, aku bukan! gurun u dan jangan sekali-kali menyebut Subo kepadaku. Duduklah di atas batu-batu di luar itu dan tunggu aku sebentar."

Liu Cm dan Hui Lan saling pandang, akan tetapi biarpun, jmerasa heran mereka tidak berani membantah. Mereka bangkit dan menghampiri batu-batu di luar gua dan duduk di situ. Sementara itu, Thian Te Siankouw memasuki gua besar itu dan tak lama kemudian ia sudah keluar lagi membawa sebuah buntalan kain kuning. Ia lalu duduk bersila di atas batu yang berhadapan dengan dua orang muda itu dan setelah menatap wajah mereka berdua, ia menghela napas panjang lalu berkata.

"Ketika muda, aku bertemu dengan seorang nenek tua renta yang sudah mendekati ajalnya. Ia meninggalkan sebuah kitab kepadaku, yaitu kitab pelajaran ilmu silat yang disebut Thian-te Im-yang Sin-kun dengan pesan bahwa isi kitab itu harus dipelajari sepasang pria dan wanita yang saling mencinta dan yang sudah memiliki dasar tenaga dalam yang kuat. la mengatakan pula bahwa kalau dipelajari seorang saja, baik pria maupun wanita, dapat membahayakan orang itu sendiri. Pada waktu itu aku mempunyai seorang sahabat baik, yaitu Lo Tiong Gi yang kini menjadi Tiong Gi Cinjin gurumu itu, Hui Lan. Aku r..cnawarkan untuk mempelajari dan melatih ilmu dalam

kitab itu bersama, akan tetapi dia menolak menganggap aku sebagai

sahabat baik, tidak lebih! Kami saling berpisah dengan perasaan tidak en Aku sendiri tersiksa dan memilih hid sebagai pertapa. Aku sudah menco untuk memperdalam ilmuku dan suda pernah aku memberanikan diri beriati seorang diri menurut isi kitab ini. Aka tetapi hampir saja aku menjadi gila at mungkin mati tersiksa sebagai akibatny Untung aku tidak terlambat menghen kannya. Nah, sekarang, mendengar bah engkau murid Lu Tiong Gi dan engk ingin sekali mempelajari ilmu silat ya tinggi, aku berikan kitab ini kepada dan engkau dapat mempelajari dan r latihnya bersama Liu Cin. Akan tetap aku tidak mau kalian anggap sebao guru karena gurumu adalah penulis kita ini yang tidak kuketahui siapa orangny Bahkan nenek yang dulu memberik kitab ini kepadaku juga tidak semp. kukenal namanya."

Dengan girang Hui Lan menerima k' tab itu. Sambil berlutut ia mengucapk terima kasih, diturut oleh Liu Cin.

"Banyak terima kasih kami ucapk" Siankouw. Biarpun kami tidak boleh m yebutmu sebagai guru, namun di dalam hati kami akan selalu menganggapmu sebagai guru."

"Hemmm, sekarang kuanjurkan kalian ergi ke sebelah selatan bukit ini. Di ana ada sebuah bukit yang oleh para ^nduduk vdusun disebut Bukit Siluman. Terdapat sebuah gua besar di puncaknya dan tak seorang pun penduduk berani mendaki puncak itu karena mereka beranggapan bahwa di sana merupakan tempat tinggal' siluman. Kalian dapat melatih diri dengan *tenang. Inti pelajaran kitab ini ditekankan kepada latihan ilmu sinkang. Gerakan silatnya hanya ada tujuh jurus, maka kalau memang kalian tekun dan berbakat, dalamvwaktu sebulan saja kalian sudah dapat merampungkan latihan kalian. Nah, pergi dan carilah Bukit Siluman itu."

Hui Lan dan Liu Cin kembali mengucapkan terima kasih, lalu mereka pergi mencari bukit itu. Setelah menemukannya dan memasuki gua besar di puncaknya, mereka berdua mulai mempelajari isi kitab Thian-te Im-yang Sin-kun. Ternyata benar seperti yang dikatakan Thian T Siankouw, inti pelajarannya adalah ber-samadhi, mengatur pernapasan dan menghimpun tenaga sakti yang dilakukan berdua! Mereka harus duduk bersila berhadapan, terkadang mempertemukan kedua telapak tangan mereka satu sama lain dan mempersatukan tenaga sakti lalu mengendalikan tenaga itu bersama-sama.

Ada kalanya mereka melatih gerakan silat yang hanya tujuh jurus itu. Namun tujuh jurus yang luar biasa dan dilakukan secara berpasangan pula! Setelah kurang lebih satu bulan, mereka berdua dapat menguasai ilmu Thian-te Im-yang Sin-kun dan mendapat kenyataan bahwa biarpun masing-masing memperoleh kemajuan besar sehingga tenaga sakti mereka bertambah kuat sekali, namun kepandaian dan kekuatan yang mereka dapatkan itu haru mencapai puncak kehebatannya kalau mereka melakukan berdua untuk menghadapi lawan yang tangguh Ilmu itu adalah ilmu berpasangan antara unsur Im (positive) dan Yang (negative) Kedua unsur yang saling berlawanan ini, seperti tenaga Bulan dan Matahari, atau Wanita dan Pria, kalau dipersatukan memang akan menghasilkan kekuatan yang amat dahsyat.

Setelah merasa telah menamatkan pelajaran ituf Hui Lan dan Liu Cm kai luar dari gua di puncak Bukit Silumai dan hendak menuruti Bukit Siluman. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan adi angin yang kuat sekali mengguncang pohon-pohon di depan mereka. Mereka ter kejut dan cepat memandang ke depai dan siap siaga. Tak lama kemudian muncullah makhluk yang menyeramkan. Sepasang orang muda itu maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang maenjadi manusia, namun keadaan manusia itu sungguh menyeramkan. Tubuhnya tinggi besai sekitar tujuh kaki sehingga tinggi Liu Cin hanya sampai pundak raksasa ituj Tubuh dengan pakaian pertapa yang sudah banyak robek itu juga amal kekar, dengan otot-otot seperti kawat besar melibat-libat lengan, dan dadanya, tonjolan-tonjolan otot yang membayangkan tenaga yang mengerikan. Mukanya seperti muka singa, penuh fercwok, sepasang matanya yang lebar itu mencorong.

Liu Cin dan Hui Lan saling pandang Baiknya inilah yang membuat buku itu disebut Bukit Siluman. Tentu mahluk ini yang dianggap siluman oleh penduduk, wkar menaksir usianya, akan tetapi tentu sudah setengah abad lebih. Liu Cin yang berhati- hati segera maju dan mengikat kedua tangan depan dada sebagai i-nghormatan dan dia berkata.

"Maaf, Sobat. Kami hanya ingin lewat mu menuruni bukit ini, harap engkau ifduk menghalangi kami."

Akan tetapi orang atau makhluk itu ihinya menggereng-gereng seperti orang sambil menuding-nuding ke arah yang berlawanan, seolah mengusir mereka iigcir kembali dan mengambil jalan lain.

"Kami tidak mencari permusuhan, rtkan tetapi minggirlah dan biarkan kami Irwat!" bentak Liu Cin dan dia lalu mendorongkan tangannya untuk membuat makhluk itu minggir. Akan tetapi orang 11.1 r itu dapa t mengelak c epa t dan lengannya yang besar bergerak, idiigunnya menampar ke arah pundak Liu Cin! Me-betapa tamparan Itu mendatangkan «gin pukulan yang amat dahsyat, Liu C i n menge i ak dan dia ba 1 a s memukul* Lawannya memapak i dengan telapak t a* ngan.

"Desssss !!" Demikian kuatnya tenaga dorongan makhluk itu sehingga tu buh Liu

Cin terjengkang dan dia tenti akan roboh kalau saja tidak cepat membuat poksai (salto) ke belakang sampai tiga kali sehingga terhindar- dari bantingan. .

Hui Lan marah melihat Liu Cin terdorong mundur.

"Hainttttt    r" ia maju menyerang dan memukul ke arah dada raksasa itu. Kembali

makhluk itu menyambut dengan telapak tangannya yang lebar.

"Desssss I11 Tubuh Hui Lan juga

terlempar ke belakang. Seperti yang dilakukan Liu Cm ia pun berjungkir balik beberapa kali sehingga tidak sampai ter-bant ing roboh. Se te iah la ti han se lama satu bulan menurut petunjuk kitab Thian-te Im yang Sin-kun, bukan hanya tenaga sinkangnya saja yang maju, melainkan juga gin-kangnya* (ilmu meringankan tubuhnya) mendapat kemajuan pesat. Hany.i W angnya, sin-kangnya yang dimilikinya 11 baru dapat sepenuhnya dikerahkan [kilau ia menggabungkan tenaganya de-Ingan tenaga Liu Cin yang menjadi pa-Humgannya berlatih.

Kini makhluk yang memiliki tenaga at besar itu sudah lari lagi mendekati eka. Hui Lan dan Liu Cin tahu apa yang harus mereka lakukan.

"im-yang Sin-kang." keduanya berseru dan tangan kanan Liu Cin kini bersatu dengan tangan kiri Hui Lan. Ketika makhluk itu menyerang dengan kedua tela-k tangan yang dipukulkan ke depan, reka menyambut dengan kedua tangan e reka.

"Blarrr »" Tubuh makhluk liar Itu

terlempar dan roboh. Akan tetapi dia memang tangguh sekali. Begitu terbanting jatuh, dia bergulingan lalu melompat gun dan melarikan diri sambil menge-uarkan teriakan-teriakan liar, agaknya ari ketakutan'

Hui Lan dan Liu Cin merasa girang kaii. Mereka kini dapat memperoleh ukli kehebatan ilmu yang mereka latih a sebulan di gua puncaV Bukit Sirna n itu. Mereka kini mendaki Bukit Tengkorak. Dalam perjalanan menuruni Bukit Siluman lalu mendaki Bukit Tengkorak ini pun ereka merasa betapa mereka dapat berlari lebih cepat daripada sebelum melatih ilmu dari kitab pemberian Thian T* Siankouw. Thian Te Siankouw duduk di atas batu depan guanya seperti biasa ketika dua orang muda itu datang menghadapnya, Hul Lan dan Liu Cin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pertapa wanita itu karena hati mereka merasa girang dan berterima kasih sekali kepadanya. Mereka melaporkan bahwa mereka telah melatih diri menurut kitab itu dan memperoleh kemajuan yang nyata. Hui Lan juga mengembalikan kitab Thion-te Im-yang Si kun itu kepada Thian Te Siankouw sambil mengucapkan terima kasih. Kemudian ia menceritakan tentang makhluk liar yang menghadang mereka dan yang dapat mereka kalahkan.

"Siancal..,..! Dia bertemu dengan kaIian dan dengan Thian-te I m-yang Si kun kaitan dapat mengaJ abkan n ya? Kala begitu kailan benar-benar telah berhasil!

"Akan tetapi siapakah makhluk iia itu, Siankouw? Dia itu manusia atauka siluman?" tanya Liu Cin.

Thian Te Siankouw menghela napa panjang. "Kasihan sekail dia» Liu Cl" Dia itu seorang manusia yang lihai fk dahulu dia seorang Saikong (s* bang pendeta To). Agaknya dia mer seorang yang menjadi korban cinta tidak mendapat sambutan sehingga wataknya menjadi aneh. Dia bertapa dan tidak pernah meninggalkan Bukit Siluman» makan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang hutan di bukit itu. Dan semenjak dia tinggal di situ, maka bukit itu disebut Bukit Siluman oleh penduduk dusun. Saikong itulah yang dianggap silumannya. Akan tetapi dia tidak pernah mengganggu orang, aaa! dia tidak diganggu. Tadi kukira dia mengira bahwa kalian akan mengganggunya, maka dia menjadi marah."

Hul Lan merasa terpukul perasaannya mendengar ucapan per tapa itu. "Siankouw, apakah selalu cinta itu mendatangkan deri t a bat i n kepada manusia?" Ia la r ngat akan keadaannya sendiri.

Thian Te Siankouw tersenyum. "Ada dua macam cinta, Hui Lan, Cinta yang ucl murni tidak mementingkan diri sendiri dan cinta ini mendatangkan kobaha-K an Yang seringkah mendatangkan derita adalah cinta nafsu yang selalu 'taus akan kesenangan bagi dirinya sendiri i lingga seringkah menimbulkan kekecewaan dan duka."

Setelah menerima nasehat dari Thian Te Siankouw agar mereka berdua tetap menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan membela orang- orang lemah yang tertindas, Hui Lan dan u Cin lalu turun dari Bukit Tengkorak dan melanjutkan perjalanan mereka menuju ke kota raja! Perjalanan ke kota raja sekali Ini bagi Hui Lan bukan sekadar ingin membalas dendamnya kepada hou Klan KI, akan tetapi terutama sekail karena la ingin membela Kaisar *vng Thai Cu dan menentang Keluarga Jenderal Chou yang merencanakan pei berentakan dengan membunuhi para p jabat tinggi yang setia kepada Kaisar!

Di antara anggauta keluarga KaiU Sung Thai Cu yang dulunya berna Chou Kuang Yin, yang paling dekat ngan Sr baginda Kaisar adalah Chou Ki T n, adik Chou Kuang Yin yang . setelah kakaknya menjadi kaisar lal memperoleh sebutan Sung Thai Cung.

Pangeran Sung Thai Cung ini berusia kitar empat puluh lima tahun. S mudanya dulu, seperti juga kakaknya, -menjadi tentara dan sudah memperoleh kedudukan cukup tinggi dalam angkatan] perang sebagai seorang perwira tinggi Setelah kakaknya menjadi kaisar, Kuang Tian atau Pangeran Sung Cung tidak memegang jabatan tertentu akan tetapi dia dekat dengan kakak nyi yang menjadi kaisar dan terkadang ber

4*k sebagai pena senat kaisar dan me-H»Mb«n pengawasan terhadap para pe bal t nggi kota raja.

[ Pangeran Chou Kuang Tian atau Sung Pwi Cung bertubuh tinggi tegap dan kfrft* . Sebagai bekas perwira tinggi yang Knih berpengalaman tentu saja dia sepi tl juga kakaknya, ahli dalam ilmu prang dan memiliki iimu silat yang Jpjup tangguh. Dia seorang ahli panah pandai dan ilmu tombaknya juga t. Selain gagah, pangeran ini juga at setia dan patuh kepada kakaknya g kini menjadi Kaisar Sung Thai Cuv tar pertama pendiri Kerajaan Sung. Selain menjadi pena sehat kakaknya tinggal pula di dalam istana, di bahagian timur bersama keluarga-Pangeran Sung Thai Cung ini pun r tugas untuk mendidik dan melin-igi keponakannya» yaitu Pangeran Thian i, putera Kaisar Sung Thai Cu yang ka itu berusia lima tahun. Biarpun *agai putera Kaisar yang dapat juga sebut Putera Mahkota karena Pangeran ilan Cu merupakan putera ftrmaisuri, Pangeran Thian Cu memiliki pasu pengawai khusus yang menjaganya, na tetap saja Kaisar minta bantuan adi untuk mengamati dan menjaga kese matan puteranya. Juga biarpun di i*" terdapat banyak ahli sastra dan ah tatanegara yang dapat rnencOdlk Pange ra Thai Cu, Tetap saja Kaisar SunjJ tha C minta kepada Chou K uang Tfah, abikny itu, untuk mendidik puteranya soal W

i teran dan mengawasi penoifJiVan sa> tra dan tatanegara yang diberikan o* guru- guru yang pandai. Oleh karena i Pangeran Thian Cu yang masih kecil i lebih banyak tinggal di bagian ista sebelah Timur yang menjadi tempat tin gal Pangeran Chou K uang Tan.

Pada suatu sore. Pangeran Tryan Ci bermain-main di taman bunga yang berada di samping bangunan tempat tinggi Pangeran Chou K uang Tian, bersama d» orang putera Pangeran Chou Kuang T m yang usianya tujuh dan sembilan tahun.

Yang mengawasi dan menjaga Pan ran Thian Cu saat itu adalah tiga or pengawal dari pasukan pengawal kh d perbantukan kepada Chou Kuang n untuk menjaga keselamatan Pange-Mahkota Thian Cu. Mereka bertiga wk dengan santai di atas bangku sam-menonton tiga orang anak bangsawan bermain-main. _ Tiba-tiba datang dua orang berpakai-m* perajurit pengawal memasuki taman Hk Tiga orang perajurit yang menjaga fcarlamatan PanjreraW Mahkota Thian Cu iMmantlang dengan heran. Mereka tidak ftatigenai dua orang perajurit pengawal m i padahal tentu saja mereka mengenai fcmua (perajurit yang bertugas di situ. -m* orang pengawal itu menjadi curiga )mrt cepat mereka berlari, mengejar arena dua orang perajurit yang tidak p»reka kenal itu mendekati anak-anak bang sedang bermain-main.

f" *Heir kailan berdua, berhentilah!" Bfttak mereka,.

Tiba-tiba dua pera)urit tak dikenai itu pwtcabut pedang. Setelah t iga orang iHoS8 'tu dekat, langsung saja mereka Krrfua menyerang dengan pedang mereka, orang perajurit sudah mencabut

golok dan melawan.

Seorang di antara dua perajurit pai itu berkata kepada kawannya. "Cep* laksanakan tugas, biar aku yang menahi tiga ekor anjing ini!"

Pangeran Mahkota Thlan Cu dan du orang saudara sepupunya melihat per kelahian itu dan melihat pula betapa M orang di antara dua orang perajurit menj hampir i mereka dengan pedang di tangaf Pangeran Thian Cu yang baru berusi lima tahun itu sama sekali tidak metal takut, bahkan dia berdiri tegak, bertoli pinggang dan membentak perajurit paM yang menghampirinya dengan sikap meng ancam.

"Siapa engkau dan mau apa engkau?*1 Pembunuh yang menyamar sebaga perajurit itu tiba-tiba tersentak dan ter> cengang karena dalam bentakan anal kecil itu terkandung wibawa yang a besar. Sejenak dia berdiri diam seperi patung dan hal ini menyelamatkan nyawa; pangeran kecil itu karena pada saat itu muncul Pangeran Chou Kuang Tian Dh melihat perajurit itu menggerakkan pe-l

g ya akan menyerang Pangeran Thian 11- u*

"Jahanam!" Chou 'Kuang Tian me-Mmpat dan kakinya menendang. Pem I .nun itu terpaksa mengelak dan tidak ttadi membacok Pangeran Thian Cu. * hot/ Kuang Tian sudah menerjangnya lengan pedang 4an mereka berdua segera berkelahi dengan seru. Akan tetapi, pembunuh itu tidak mampu menandingi kelihaian Chou Kuang Tian dan setelah ewat belasan jurus, pedang di tangan Chou Kuang Tian atau Pangeran bung Thai Cung itu telah menembus dadanya dan dia pun terkulai roboh dan tewas.

Sementara itu, pembunuh ke dua masih dikeroyok tiga orang perajurit pengawal dan dia bahkan telah merobohkan seorang perajurit dan perajurit yang dua orang lagi sudah terdesak, tidak mampu mengimbangi kelihaian penjahat itu* Me-ihat ini, Chou Kuang Tian meiompat dan menyerang dengan pedangnya. Pembunuh itu hanya mampu bertahan sepuluh jurus. Tiba-tiba lengan kirinya terbabat pedang dan putus sebatas pergelangan tangannya.

Pedangnya terlepas dan sebelum dia dapat melarikan diri, kaki Chou KuaraJ Tian menendang lututnya dan dia pul roboh.

Chou K uang Tian menodongkan pedangnya ke leher orang itu dan menghardik» "Hayo cepat katakan siapa yan^ mengutusmu membunuh Pangeran Mahkota Kaiau tidak mau mengaku, akan kupotong potong sedikit demi sedikit bagian tubuhmu " Pembunuh itu agaknya hendak bunuh diri dengan menelan sesuatu karena tangan kirinya mengeluarkan sebuah pil dari saku bajunya.

"Crakkk1" Putuslah tangan ku inya terbabat pedang Chou Kuang Tian* "Cepat katakan atau aku mulai memotong telinga dan hidungmu!"

Diancam demikian, pembunuh itu ketakutan. Kalau dibunuh mati dia tidak takut, akan tetapi disiksat dipotong sedikit-sedikit, sungguh amat nyeri dan tersiksa setengah mati.

"..... ampunkah hamba...» yang mengutus..... ada tiga orang mereka meti di luar

tembok gerbang sebelah rtan "

Gedang di tangan Chou Kuang Tian ktrtoctebat dan pembunuh itu pun tewas, ipabrrapa orang pera juri t pengawal ber l«i i lari ke dalam taman.

"Lindungi Pangeran dan bawa ke da m gedung. Urus mayat-mayat ini!" katanya dan cepat Pangeran Sung Thai f ung lari ke istal lalu tak lama kemudian kudanya sudah membalap keluar dan kta raja melalui pintu gerbang selatan.

Setelah tiba di luar tembok kota raja, di jalan umum yang sudah sepi di tepi Larsawahan, dia melihat tiga orang ber iflri di tepi jalan. Dia segera menahan kudanya dan setelah kuda Itu berhenti tak jauh dan mereka, Chou Kuang Tian dapat melihat mereka dengan jelas. Saat Itu sudah menjelang senja, namun sinar matahari sore masih cukup terang. Dia mel Ihat seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus berpakaian seperti tosu akan tetapi pakaiannya dari sutera halus dan mewah, berpedang di punggungnya, dan orang ke dua Juga seorang laki-laki berusia seki enam puluh tabun, tinggi besar berkuli kehitaman wajahnya brewok menyerar kan dan pinggangnya digantungi sebala golok besar dan di punggungnya tampa sebatang gendewa dan tempat anak pa nah. Orang in] dari pakaiannya dapa diketahui bahwa <tia bpkan Pribumi Ha melainkan dari Suku Khitan, suku ya: terkenal £agan berani, pandai menung gang kwb o$n panoat pula memptrguna kan anak panah.

Orang ke tiga membuat Chou Kuang Tian merasa heran karena ia adalah seorang gadis muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Gadis itu cantik manis, senyum dan gerakan matanya mengandung daya tart)c yang amat kuat. Pakaiannya Indah dan di rambutnya terdapat tiga batang bunga merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Pinggangnya ramping -sekail dan biarpun la berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang lembut seperti pohon yang-liu tertiup angin sepoi- sepoi.

Chou Kian Tian merasa sangsi. Inikah

p-orang yang mengirim dua orang mjahat untuk membunuh Pangeran Mah Ha tadi? Akan tetapi siapa mereka dan tigapa mereka menyuruh orang mem-üuh Pangeran Mahkota? Satu-satunya Ing mungkin melakukannya adalah orang mt pakaian Khitan itu. Tidak terlalu «gherankan kalau bangsa Khitan hen-K membunuh Pangcra Mahkota karena reka memang selalu merupakan pihak ng ingin menguasai Cina.

Tiba-tiba -m Kuang Tian teringat. Kakek tinggi rus itul Dia cepat melompat turun dan (as punggung kudanya, lalu menghampiri *a orang yang memandangnya dengan map tak acuh.

Chou Kuang Tian langsung saja mengidapi kakek tinggi kurus berpakaian l»rrt tosu itu. "Maaf, kalau tidak saiah »ng (Bapak pendeta) adalah pembantu ri Jenderal Chou Ban Heng, dan ber-k Hong-san Siansu, benarkah7*1 Kakek itu memang Hongsan Siansu wee Cln Lok adanya, dua orang témanla adalah Kailon tokoh Khitan dan Ang-»a Niocu Lai Cu Yin yang menjadi

pembantu-pembantu atau sekutu-sek erxte a Chou Ban Heng. Jenderal C Ban Heng memang cerdik. Dia mu dengan rencananya,- yaitu antara membunuh Putera Mahkota Thian akan tetapi dia tidak begitu bodoh _ turun tangan sendiri menyurdh perrrtw melakukan pembunuhan itu. Maka mengutus tiga orang tokoh sakti itu tuk melaksanakan pembunuhan ti Putera Mahkota Thian Cu di tfopga-I Pangeran Chou K uang Tlan kompleks istana. Hong San Siaftso mengutus dua orang anggaota Hong pang yang sudah memiliki tingkat silat cukup tinggi untuk melakukan r bunuhan itu dengan menyamar seba pera juri t sehingga dengan mudah r masuki kompleks istana. Hong San S a memesan kepada mereka berdua bah kalau tugas mereka berhasil, mere akan memperoleh hadiah besar. Kal gagal agar mereka membunuh diri den pil yang diberikan kepada mereka. A tetapi kalau mereka terpaksa menga agar membuat pengakuan bahwa ya

ruh adalah tiga orang yang me-»1 di luar kota raja. Hal ini dilakukan luk memancing Chou Kuan Tlan yang m jjga, keamanan keponakannya itu agar mmw dari kota raja* Kini, melihat Chou Kuang Tian beril di depan mereka seorang diri, Hong a Soansu tertawa dan seperti sudah Mur sebelumnya, yang menjawab perayaan Chou Kuang Ttan adalah Kailon, mh Khitan yang t nggl besar dan bre-»i itu.

"Huh, engkau Chou Kuang Tian, pang u Kerajaan Chou yang berkhianat, m berontak dan kini menjadi adik Kai-

Supg, bukan? Kebetulan, kita adalah nuti lama. Ingat aku. Kation panglima

gsa Khitan? Terimalah kematianmu!!" ilon segera menerjang maju dan merang dengan goloknya. Chou Kuang m cepat mengelak ke kiri dan balas

y erang dengan tombaknya, menusuk arah lambung kanan lawan.

"Singgg..... tranggg, l|w Tombak Pa-rran Chou Kuang Tlan bertemu perisai *g

berada di tangan kiri Kailon. Mereka

*^«5£™ trangK W Tombak

ch~ku*ns Tian bertemu perisai berada di tangan kiri Kailon.

k segera berkelahi mati-matian. Setela pwat belasan jurus. Hong San Siansu nun tangan membantu Ka ton yang j»* terdesak walaupun belum tentu piKiu Kuang Tian akan dapat menga a nnya karena tingkat kepandaian mereka mbang. Begitu Hong San Siansu yang t lihai itu ma mengeroyok, tentu a Pangeran Chou Kuang Tian menjadi rpot dan terdesak hebat. Melawan Hong *Wi Siansu saja dia tidak mungkin dapat iacnang» apalagi dikeroyok dua!

Sementara itu, Ang-bwa Niocu Lai Cu Yin yang juga berada di situ, hanya berdiri dan menonton saja. Ia tidak membantu dua orang rekannya dan yang menjadi penyebabnya mudah diduga* Gadis ini sudah tertarik sekali dan timbul gairahnya melihat Pangeran Chou Kuang Tian yang gagah perkasa itu* Belum pernah ia bercinta dengan seorang pangeran tulen, maka kini pandang matanya terhadap Chou 'Kuang Tian seperti mata seekor kucing melihat ikan! Akan tetapi, baga anapun juga tentu saja ia tidak be a untuk membela pangeran itu dan menentang dua orang rekannya yang lihai.

Keadaan Pangeran Chou K uang T benar-benar gawat dan dia sudah rrr ke r ingat karena kini tombaknya yang masih dapat dia pergunakan untuk m hyerang Ka ion» kini hanya dapat putar menjadi perisai melindung diri dari hujan serangan pedang dan go kedua orang pengeroyoknya. Dia sekail tidak dapat balas menyerang agaknya dia tidak akan mampu ber lebih lama lagi.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyar "Hanya pengecut yang suka main kero an!M Dan tampak barangan hitam kelebat. Ternyata y«qg datang ada/ Song Ku* Lini.

Mendengar bentakan ini. Hong Siansu sebagai seorang <btuk besar ten saja merasa meJu dan-tidak «nak, ma' dia menghentikan serangannya. Kai juga menahan goloknya karena dia rasa agak jerih kalau maju sendiri, lihat yang datang seorang gadis rem berusia sekitar delapan belas tahun, ' Hwa Niocu Lai Cu Yin tertarik dan mandang penuh selidik. Ia melihat i» muda yang cantik jelita, wajahnya lat telur, sepasang matanya bersinar h dan mulutnya yang kecil mungil .. manis itu dihias senyum simpul melindung ejekan. Tubuhnya sintal padat hgan pinggang kecil ramping. Pakaian a serba hitam dengan ikat pinggang _jrah. Ikat pinggang ini sebenarnya edani sarung pedangnya yang dapat di beli t-pn sebagai ikat pinggang saking tipis mau lemasnya. Rambutnya panjang dl-*j<*nc r ke belakang.

"Hei, engkau anak kecil jangan men-§*mpurl urusan orang tua. Siapa engkau, bacang sekali mulutmu. Hayo pergi kaku tidak ingin kuhajar!" bentak Ang Hwa * ocu galak karena seperti biasa ia me-§a Iri kalau melihat seorang gadis yang rb h muda dan tampak begitu cantik rllta, membuat ia merasa kalah menarik Kui Lan memandang Ang Hwa Niocu M Cu Yin dari kaki yang bersepa t u tam sampai ke rambut kepala yang d -iloi tiga bunga merah Itu, lalu tertawa kal.

"Hl-hik, aku memang anak kecili A tetapi engkau ini nenek-nenek tua ke masih begini genit, pakai tiga tang bunga merah di rambut segala7 A: sungguh tampak semakin jelek mengge kan dan engkau tidak malu, nenek tua!1'

Mendengar ucapan Itu, Cu Yin men isi kepalanya seperti dibakar. Sepasa matanya mendelik seperti mengeluark api dan tangan kanannya bergerak.

"Singgg 1" la telah mencabut dangnya dan menudingkan telunjuk kir nya ke arah

muka Kui Lin.

"Bocah keparat bosan hidupi Kata dulu siapa namamu agar engkau ti mati tanpa nama1** bentaknya. "Hari nonamu Ang Hwa Niocu akan membunu mu!"

"Mau tahu aku siapa? Jangan geme ketakutan kalau engkau tahu julukan Aku adalah Hek L- Lihiap yang su terkenal di seluruh dunia sebagai tuk membunuh nenek-nenek jelek dan jahat"

"Jahanam busuuuuuukkk!" Ang H Nlocu yang biasanya pandai bicara i sekail ini mati kutu karena ia s

terbakar isi hati dan kepalanya* ingga tidak mampu membalas ucapan : yang amat menghina itu. Ia sudah a g dengan pedangnya, menusuk arah dada yang mulai membusung itu. Tiiitttttl Nenek-nenek ini galak juga!" t» Kul Lin yang diam-diam terkejut «I melihat serangan yang demikian :» dan cepat, la melompat ke belati/ dan cepat menghunus pedangnya m\ dipakai sebagai sabuk. Dua orang tt(a yang sama- sama cantik ini segera ii g serang dan gerakan mereka yang roh dan ringan membuat tubuh mereka ubah menjadi bayang-bayang yang »ci muti dua gulungan sinar pedang h saling menekan dan saling menolak. Melihat Ang Hwa Niocu sudah saling ang dengan gadis remaja yang datang ^pnaki-maki tadi, Hong San Siansu berjala kepada Pangeran Chou Kuang Tian. Bnli» sekarang bersiaplah untuk mampus, hto Kuang Tlanl" Setelah berkata de-flan, Hong San Siansu menyerang lagi, Hbiiti oleh Kailon sehingga terpaksa ftwii Kuang Tian memutar tombaknya sambil mundur.

Akan tetapi tampak bayangan putih kelebat dan ade angin menyambar syat ke arah dua orang itu. Hong Siansu terkejut sekali karena samban angin itu membuat dia tertahan d tidak dapat maju. bahkan Kation samo terhuyung ke belakang! Ternyata di si telah berdiri seorang pemuda berpeki putih yang bukan lain .adalah Sn Eng- hiong Si Han Lin!

Hong San Siansu yang berpengalai tidak memandang rendah pemuda karena dari dorongannya yangrnendat kan aAgin dahsyat Itu saja membuat menyadari bahwa pemuda itu Materi orang yang amat tangguh. Dia tidak berpandang kata lagi karena kalbu gagal membunuh Pangeran Mahkota gagal pula membunuh Pangeran Kuang Tian, tentu dia akan mei teguran keras dari Pangeran C Heng yang kini berpangkat Jendei Maka dia segera menyerang Han dengan pedangnya yang dia lontarkan atas dan menggunakan kekuatan sit

|a» ik mengendalikan pedang rUi. Pedang U terbang dan berubah menjadi sinar Nrg menyambar ke arah leher Han Ht, Pemuda ini juga ptakium akan da laNun a serangan seorang lawan berat, «kik cepat bagaikan kilat tangannya BlWt mencabut Pek-ein-fcfam. Cahaya k.i berkelebat ketika dia menggunakan A-sin-kiam untuk cnembacok ke arah pn."K terbang itu sambil mengerahkan naga saktinya.

[ "Hyaaattttt.^.!" Dia berseru dan si mt putih padan?»?* menyambar ke arah ^wk kuning dari cedong terbang lawan.

fTra»dduw.P Pedang t«beng Mu pa-ea* aseajmdi dua dan jatuh ke atas tanah. pn.niB.Tg rnata Hbb% San Siansu terbela > - Pedangnya patah oleh pedang pemuda mil Hampir dia tidak dapat percaya dan dia

lihat betapa ^pemuda itu dengan tebangnya rocnyarutia)ian kembali pedang-iya. Gerakan ini memanaskan perutnya, las bahwa pemuda itu memandang |m dah dirinya. Setelah pedangnya di-Mn paten, pemuda itu agaknya merasa ♦ lak perlu menggunakan senjata iagj untuk melawan dia yang senjatanya s patah! Tentu saja sebagai seorang t besar dunia kangouw yang juga be dudukan sebagai Ketua Hong- sa p Hongsan Siansu Kwee Cin Lok r penasaran dan marah sekali. Masa tidak mampu menandingi seorang yang usianya baru dua puluh tahun dan yang pantas menjadi cucunya? A tetapi, dia juga ingin sekali menge siapa adanya pemuda ini.

"Bocah sombong, siapa e gka be melawan-aku Hongsan Siansu ketua san-pang?1 "Hongsan Siansu, namaku SI Han L Pergilah dan jak dua xang temj itu. Tidak pantas rasanya seorang y berjuluk Siansu sepertlmu menge o dan hendak membunuh orang!" kata ! Lin dengan tenang. Dia* memang t d tahu mengapa ada perk elahian di stt akan tetap! melihat ' jrang dlkero tentu saja dia dan Ku Lin turun ta membantu pihak yang e'lkeroyok kar mereka berdua melihat betapa para ngeroyok itu berusaha sungguh sungg

k membunuh orang yang dikeroyok. Lin tidak ingin membuat permusuh-ka dia mengalah dan hanya me-ruh mereka pergi.

Akan tetapi Hongsan Siansu sudah dapat mengendalikan dirinya lagi dikuasai oleh kemarahan karena asa dipandang remeh oleh pemuda san Itu.

'H iiiittt.MMr Dia berteriak lantang dengan kedua tangannya secara ber t an dia memukul dengan pukulan jauh Thai-tek-jiu Sebelum memu-lk n kedua telapak tangannya, dia tadi ggosok-gosok kedua telapak tangannya ifaiitngga tampak asap pengepul dan ter vMigar suara berkeritikan o susui m |At ya bunga apil Itulah ilmu pukular t»»-, lek-jiu (Pukulan Halilintar yang mhM ampuh.

| Han Lin memang sudah siap sejak kll. Dia maklum bahwa dia berhadapan K»igun seorang lawan tangguh, maka dia sikap hati-hati dan waspa a. Begit f\* hat kakek itu menggosok-gosok kedua [pak tangannya yang engelua kar bara api dan asap, dia pun mengetah* bahwa Hongsan Siansu memiliki pukulan yang berhawa panas melebihi dan kalau pukulan Itu mengenai tut yang tidak memiliki kekebalan yang kuat, kulit tubuh dapat hancur terki seperti terkena air mendidih. Dia cepat menyambut ttengei» kedua tangi nya didorongkan ke depan sambil hkan sin-kang yang berhawa dingin, Wuuuttttt.— wessssshhhhb.»..!** itu berkepanjangan seperti ba/a dlm< kan ke dalam air dan tampak dari kti tangan Hongsan Siansu mengebulkan nyak asap. Tadinya Hongsan Siansu yar ngm membuat ia wan roboh, menyerat sambil menerjang maju sehingga k< tangannya bertemu dengan kedua ti Han Lln. Akan tetapi akibatnya memt dia kaget setengah mati karena hai panas dari kedua telapak tangannya perti api yang disiram afr. Seluruh t« buhnya menggigil dan ketika Han i melepaskan tenaganya, barulah Hongsajj Siansu dapat menarik kembali k< tangannya yang tadi seolah melekat

Ulnpak tangan pemuda Itu. Dia terhu-Bto ke belakang dan segera melompat Nlindung di balik asap putih tebal.

[ Kini Han Lin yang tidak mempeduJi-mi< lawannya, cepat mengibaskan tangan ffc* ke arah Ang Hwa Niocu dan Kailon « membuat Kul Lln dan Pangeran ~ i K uang Tian terdesak. Sambaran u yang keluar dari kibasan tangannya pun terasa berat bagi Ang Hwa Niocu » Kailon sehingga mereka terdorong ke _ nkang. Mereka terkejut, apalagi met betapa Hongsan Siansu sudah melari-dlrl. Mereka juga segera berlompatan I mengejar ketua Hong-san-pang Itu. ngeran Chou Kuang Tian kini ber-Upan dengan Han Lin dan Kui Lin. memandang kagum sekali dan amat ukur karena dia tahu bahwa tanpa ya dua orang muda itu dia pasjr : akan mampu meloloskan diri dari man maut di tangan tiga orapg^yang alan tinggi itu. Majjaf biarpun seorang pangeran adik Kaisar, namun ran Chou Kuang Tian mendahului beri hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada dan menjura*

"Terima kasih atas pertolongan wl (Anda berdua) yang menyelamat) saya dari tangan orang-orang jahat tad*

"Ah, tidak perlu berterima kasih pada kami, Sobat. Sudah menjadi wajiban kami untuk membantu oran4 orang yang terancam oleh orang-oraa? lahat. Akan tetapi mengapa engkau keroyok oleh dua orang sakti itu. 5iai kah engkau?" tanya Han Lin sambil mer amati wajah yang gagah dan pak yang terbuat dan sutera halus itu.

Tanpa ada nada membanggakan di Pangeran Chou K riang Tian menjawa' "Saya adalah Pangeran Chou K uang Tian.

Tentu saja Han Lin dan Kui Lin ter kejut bukan main. Bahkan Kui Lin cepat, berlutut di depan pangeran itu. "Aih, ampunkan saya, Pangeran, saya tidak nengenal Paduka sehingga bersikap kurang hormat."

"Pangeran? Sungguh» mengejutkan dapat berjumpa dengan Paduka di tempat ini." kata Han Lin sambil memberi hor mat dan membungkuk.

geran Chou Kuang Tian tertawa. , jangan bersikap berlebihan. Nona. utan seperti ini kita tidak perlu nakan banyak upacara peradatan.

siapakah kalian dua orang pen-muda yang lihai?"

mgeran, saya bernama Si Han Lm i adalah Song Kui Lin. Kebetulan kami dapat bertemu dengan Pa-sini karena sesungguhnya kami 'i ia juga sedang dalam perjalanan jfu ke kota raja dan hendak meng-Paduka."

Ah, benarkah? Kalian berdua hendak

ulku di kota raja?" "Benar, Pangeran. Sebetulnya, Adik ig Kui Lin inilah yang hendak meng-p Paduka dan saya hanya mengantar-ft-.i la membawa surat dari ayah tirinya Btuk disampaikan kepada Paduka." i "Ah, benarkah itu, Nona Song? Siapa-ih ayahmu dan di mana dia tinggal?"

"Ayah tiri saya bernama Kwa Siong w*\ dia menjadi perwira kepala keaman-n kota Cin-an, Pangeran."

Perwira Kwa Siong, kepala keamanan

01 Cln-an? Ahhh, ya, aku ingat dia engkau ini anaknya, Nona?"

HAnak tirinya. Pangeran. Per* ta K Siong seorang duda, ibuku seorang ja maka.— mereka eh» kini Pe Kwa menjadi ayah tiri saya.-Ini surat untuk Paduka."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar