Jilid 05
Dari puncak sebatang pohon besar Han Lin melihat dan mendengar apa yang terjadi di bawah itu. Dia mengerutkan alisnya dan biarpun dia belum memiliki banyak pengalaman dan tidak pernah melihat kejahatan macam itu, namun nalurinya mengisaratkan kepadanya bahwa tentu terjadi hal yang tidak beres di bawah itu dan bahwa gadis yang kelihatan pingsan atau tidur dan sedang dipindahkan itu agaknya membutuhkan pertolongan.
Akan tetapi karena orang-orang yang berada di bawah itu belum melakuka sesuatu yang jahat dan dia belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi, siapa berada di pihak benar ataupun salah maka Han Lin menahan diri dan hanya menonton dengan penuh kewaspadaan.
Sementara itu, hawa racun pembius itu mulai menguap dan meninggalkan Hui Lan. Ia mulai sadar dan sejenak ia bingung. Akan tetapi gadis yang cerdik ini segera teringat bahwa semalam ia minum anggur lalu terserang rasa kantuk, kini tahu-tahu ia digotong orang dalam keadaan kaki tangan terbelenggu. Maka tabulah ia bahwa ia menjadi korban kejahatan. Melihat banyaknya orang disekitar tempat itu, Hui Lan berhati-hati dan pura-pura masih pingsan. Ia membuka sedikit matanya dan mengamati mereka yang dekat dengannya. Dilihatnya bahwa pedangnya kini tergantung di pinggang seorang laki-laki tinggi kurus yang mempunyai golok tergantung di punggung, itu orang inilah yang menangkapnya selagi ia tidur dan merampas pedangnya. Pada saat itu, seorang laki-laki gendut muka bopeng berusia sekitar lima puluh tahun mendekatinya, lalu meraba pipinya dan berkata.
"Ha, engkau akan menjadi selirku terbaru dan tersayang, Manis !"
Hui Lan tidak dapat menahan kesabarannya lebih lama lagi. Akan tetapi ia cerdik dan memaklumi bahwa ia terjatuh ke tangan orang-orang jahat yang mempunyai anak buah puluhan orang dan agaknya di antara mereka banyak pula yang memiliki ilmu silat tangguh. Maka ia tid ak mau sembarangan mengeluarkan kata kata. Ia harus memperhitungkan keadaannya. Ketika dua orang yang menggotongnya itu, yang agaknya memiliki tenaga kuat, memasukkan dan meletakkan tubuhnya dalam kereta kemudian Si Gendut Muka Bopeng itu juga masuk dan duduk di dekat tempat ia direbahkan telentang, mulailah Hui Lan menghimpun tenaga saktinya, perlahan- lahan membiarkan tenaga saktinya bergerak menyusup ke seluruh tubuhnya, kemudian mengumpulkannya ke dalam kedua pergelangan tangan dan kakinya.
Pada saat itu, agaknya Tong Koci pembesar gendut bopeng itu melihat ia mulai bergerak. Pembesar Tong membungkuk dan mendekatkan mukanya pada muka Hui Lan, hendak menciumnya dari berkata.
"Manisku, engkau sudah sadar? Mari ikut aku pulang dan bersenang-senang "
Tiba-tiba Hui Lan mengeluarkan suara pekik melengking yang amat nyaring dan belenggu kaki tangannya putus! Tangannya mendorong dan Tong Koo berteriak karena tubuhnya terlempar keluar dari tandu lalu terbanting jatuh ke atas tanah. Hanya terdengar bunyi "ngekkk!" dan pembesar itu tak bergerak lagi karena jatuh pingsan!
Tentu saja keadaan di situ menjadi gempar! Orang-orang tidak tahu apa yang telah terjadi dan mengapa tahu-tahu Pembesar Tong itu terlempar keluar dari Kereta.
Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan keluar dari kereta dan bayangan itu bukan lain adalah Hui Lan. Begitu keluar dari kereta, gadis perkasa ini langsung saja melompat dan menerjang ke arah Sin-to Hui-houw, tangan kirinya dengan dua jari meluncur ke arah pasang mata kepala perampok tinggi kurus itu. Gerakan Hui Lan amat cepat dan tidak terduga sehingga Sin-to Hui-Houw yang banyak pengalaman itu pun terkejut bukan main dan cepat menarik tubuhnya kebelakang dan kedua tangannya bergerak melindungi matanya yang terancam buta! Akan tetapi pada saa itu, tangan Hui Lan telah bergerak cepat ke arah pinggang kepala perampok itu dan tahu-tahu pedang Ceng-hwa-kiam milik gadis itu yang tadi dirampas oleh Sin-to Hui- houw kini telah kembali tangan Hui Lan!
"Keparat! Tangkap gadis liar ini!" Sin to Hui-houw berseru sambil mencabut goloknya. Lima belas orang anak buahnya juga mencabut golok dan mengepung Hui Lan. Bahkan juga lima belas orang per jurit pengawal Pembesar Tong sudah mencabut pedang dan ikut pula mengepung. Mereka marah melihat majikan atau atasan mereka dilempar keluar kereta. Hanya tiga bersaudara Sun Hente saja yang berdiri diam dan ragu. Ketika diangkat menjadi pengawal Tong Taijin, mereka sudah mengatakan kepada majikan mereka itu bahwa mereka tidak maudiperintah melakukan kejahatan dan pekerjaan mereka hanyalah melindungi Pembesar Tong. Tadi mereka terpaksa tidak dapat mencegah majikan mereka dilempar keluar karena hal itu sungguh terjadi tanpa ada yang menyangkanya, tadi, begitu melihat Tong Taijin terlempar keluar, mereka bertiga cepat Menghampiri dan memeriksa.
Ternyata Tong Taijin tidak menderita luka parah, Hanya terkejut dan terbanting sehingga jatuh pingsan. Mereka mengangkat tubuh pembesar itu dan merebahkannya di dalam kereta, dan kini mereka bertiga lalunya menonton karena sebagai murid-murid Thian-san-pai mereka merasa malu kalau harus mengeroyok seorang gadis remaja bersama lima belas orang anggauta perampok yang dipimpin Sin-to Hui-houw yang lihai, ditambah pula dengan lima belas orang perajurit pengawal pembesar kerajaan!
Sementara itu, Hui Lan berdiri tegak, alisnya berkerut, mulutnya membayangkan kemarahan, sepasang mata yang Indah Itu mencorong, dan pedangnya telah dihunus dan melintang depan dada, mengkilat kehijauan.
"Gadis Liar, menyerahlah engkau sebelum kami menggunakan kekerasan!" bentak Sin-to Hui-houw dengan na kemenangan karena dia telah mengepu gadis itu dengan tiga puluh orang anak buahnya dan perajurit.
"Manusia-manusia busuk, penge hinai" Kalian menangkap aku dengan cara yang curang dan kotor, menggunakan pembius! Hai, manusia-manusia rendah budi, sebelum aku memberi hajaran ke kepada kalian, katakan, mengapa kali melakukan kejahatan ini kepadaku!" Pertanyaan ini tidak ada yang menjawabnya karena Sin-to Hui-houw sendiri tidak mempunyai alasan yang kuat. Dia melakukan penangkapan atas diri Hui Lan hanya atas perintah Tong pembesar yang mata keranjang dan yang tergila-gila kepada gadis itu. Keadaan menjadi sunyi karena pertanyaan gadis itu tidak terjawab. Sin-to Hui-houw yang melihat tiga orang Sun Heng-te diam saja, bahkan tidak mau ikut mengepung padahal mereka adalah pengawal-pengawal Tong Taijin, segera berseru.
"Sam-wi Sun Heng-te, kenapa kalian diam saja? Jawablah pertanyaan gadis ini, mewakili Tong Taijin!"
Seorang di antara tiga bersaudara itu, yang tertua, menggelengkan kepala dan mennjawab lirih. "Kami juga tidak tahu karena kami hanya menjadi pengawal, tidak tahu betul akan urusan Tong Taijin ngan kalian atau dengan Nona ini."
Tiba-tiba Tong Taijin yang gendut itu Menjulurkan kepalanya keluar dari kereta. "Sun Heng-te, kenapa kalian diam saja? Tangkap gadis itu! la adalah seorang mata-mata pemberontak! Ketahuilah kalian semua bahwa ia adalah Ong Hui Lian, puteri dari Ong Su bekas Kepala kebudayaan Kerajaan Chou dan masih anggauta keluarga istana Chou. Nah, gadis ini sebagai keturunan keluarga Kerajaan Chou tentu menjadi mata-mata sisa orang-orang Chou yang memberontak!Karena itulah aku menangkapnya!" Dia berhenti sebentar untuk menenangkan pernapasannya yang terengah-engah. "Hayo kalian semua bergerak, tangkap mata-mata itu, hidup atau mati!"
Mendengar ini, semua orang bergerak menyerang Hui Lan yang berada dalam kepungan. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan gadis itu berkelebatan, didahului si pedang yang hijau bergulung-gulung dan terdengar teriakan-teriakan kesakitan senjata para pengeroyok beterbangan beberapa orang pengeroyok roboh dengan lengan terluka goresan pedang atau roboh terkena tamparan tangan kiri atau tendangan kedua kaki mungil Hui Lan Kehebatan gerakan gadis ini sungguh mengejutkan semua orang. Dalam waktu singkat saja sepuluh orang di antara tiga puluh orang anak buah yang mengeroyok itu telah roboh! Sisanya menjadi jera dan menjaga jarak.
Kini tiga orang kakak beradik Sung Heng-te setelah mendengar ucapan Tong Taijin lalu mencabut pedang dan maju menghadapi Hui Lan Sin-to Hui-houw juga menggunakan goloknya menyerang sehingga Hui Lan kini dikeroyok empat orang yang memiliki ilmu silat cukup tangguh. Akan tetapi para anak buah kini hanya mengepung dari jauh dan merasa jerih untuk ikut maju menyerang setelah sepuluh orang rekan mereka roboh.
Han Lin yang mengintai dari puncak pohon bersama rajawalinya, kagum bukan main.
Kini dia tahu bahwa gadis itu ditangkap dengan obat bius dan dituduh menjadi
mata-mata, kini dikeroyok. Akan tetapi gadis itu lihai sekali sehingga Han Lin menjadi kagum dan tahu bahwa dia harus membantu dan melindungi gadis Itu. Mudah diketahui siapa yang jahat dalam peristiwa itu. Puluhan orang laki-laki mengeroyok seorang gadis! Hal ini saja sudah memudahkan Han Lin siapa yang harus dibelanya.
Akan tetapi melihat sepak terjang gadis itu, dia hanya menonton dengan kagum dan bersiap untuk menolong kalau gadis itu terancam bahaya. Perkelahian itu memang seru dan hebat sekali. Kini Hui Lan menghadapi lawan- lawan yang cukup tangguh. Empat orang pengeroyoknya tidak dapat disamakan dengan puluhan anak buah yang tadi mengeroyoknya. Ilmu pedang tiga orang bersaudara Sun Heng-te amat lihai, karena Thian-san-pai memang terkenal dengan ilmu pedangnya. Adapun Sin-to Hui houw tentu saja ahli bermain golok sehingga dia mendapat julukan Si Golok Sakti (Sin-to).
Gadis itu ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat. Ini pun tidak aneh Ong Hui Lan adalah murid tunggal dari Tiong Gi Cinjin yang berjuluk Tu Kiam-ong (Raja Pedang dari Timur) dan sudah mewarisi ilmu pedang dengan baik ditambah lagi ia bersilat dengan Ceng hwa-kiam yang bersinar hijau. Tubuhnya berubah menjadi bayangan yang dilindungi gulungan sinar hijau sebagai perisai. Bukan saja ia mampu menghalau empat senjata lawan dengan sambaran sinar hijau yang menangkis, bahkan ia pun mampu membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya.
Berulang-ulang terdengar bunyi berdentang dan tampak bunga api berpijar ketika sinar hijau itu bertemu dengan senjata empat orang pengeroyok.
Han Lin yang menonton dari atas pohon, harus mengakui bahwa ilmu pedang gadis itu sudah mencapai tingkat yang tinggi dan permainan pedangnya sungguh indah, mengandung kelembutan, namun memiliki daya tahan yang amat kuat. Karena melihat betapa gadis itu dapat mengimbangi pengeroyokan empat orong itu, Han Lin tidak mau turun tangan membantu.
Tiba-tiba terdengar Sin-to Hul-houw berseru nyaring. "Suhu...........! Bantulah aku !!"
Akan tetapi tidak terdengar jawaban. Si Golok Sakti berseru mengulangi perkataannya sampai tiga kali, barulah terdengar jawaban dari dalam pondok.
"Murid tolol! Bersama tiga orang mengeroyok seorang gadis muda masih tidak mampu mengalahkannya, betapa memalukan!" Suara itu terdengar parau dan dari dalam pondok muncullah seorang kakek yang usianya sekitar tujuh puluh tahun, mukanya penuh keriput dan tubuhnya kurus sekali, pakaiannya serba hitam dan dia memegang sebatang tongkat hitam yang mirip Ular.
Begitu tiba di depan pondok dia langsung saja menyerang Hui Lan yang sudah dikeroyok empat orang itu dengan tongkat ularnya. Dari atas Han Lin melihat betapa serangan kakek bongkok ini dahsy sekali. Walaupun tubuhnya kurus dan bon kok, namun ketika menyerang, gerakann mengandung tenaga dahsyat dan dari ujung tongkat ularnya itu tampak sinar menghitam. Han Lin terkejut, apalagi melihat gadis itu melompat ke belakang dengan kaget dan segera terdesak oleh empat orang yang mengeroyoknya. Baru satu kali serangan saja kakek itu telah dapat membuat Hui Lan terkejut mundur dan didesak para pengeroyoknya. Han Lin maklum bahwa kini keadaaan gadis itu terancam bahaya, maka dia pun segera melayang turun diikuti rajawali yang mengeluarkan pekik dahsyat.
Semua orang yang berada di bawah terkejut. Pada saat itu, Hui Lan terdesak dan kakek kurus bongkok yang lihai itu, yang bukan lain adalah guru Sin-to Hui-houw berjuluk Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) sudah mendorongkan tangan kirinya ke arah Hui Lan yang sedang memutar pedang melindungi dirinya dari sambaran empat batang senjata pengeroyoknya. Uap hitam menyambar keluar dari telapak tangan kiri kakek itu.
"Syuuttt........... blarrr !" Uap hitam terdorong dan terpental kembali ke tangan
Ban tok Mo-ko yang menjadi terkejut sekali sekali dan dia sudah melompat ke belakang dan mengeluarkan seruan melengking.
"Tahan semua !!" Seruannya membuat muridnya, Sin-to Hui-houw, dan tiga
Sun Heng-te menahan senjata mereka dan berlompatan ke belakang dekat kain bongkok itu.
Hui Lan memandang kepada pemuda yang berdiri di dekatnya. Alisnya berperut. Ia tahu bahwa pemuda yang tidak dikenalnya itu telah membantunya dan hal ini membuat ia tidak senang. Ia tidak membutuhkan bantuan dan merasa masih sanggup melawan semua pengeroyoknyal Mendengar kelepak sayap burung, semua orang memandang ke atas dan burung rajawali itu kini menyambar turun dan hinggap di atas cabang pohon yang tumbuh dekat tempat Han Lin berdiri.
Kini Ban-to Mo-ko sambil menatap tajam wajah pemuda itu, berkata, "Ho-ho, bocah lancang! Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami" Dia mengangkat tongkat ularnya dan menudingkan tongkat ke muka Han Lin "Apakah engkau sudah bosan hidup, berani menentang aku Ban-tok Mo-ko?"
Han Lin pernah mendengar nama ini sebut gurunya sebagai seorang di antara datuk- datuk sesat. "Lo-cian-pwe," katanya hormat. "Saya tidak ingin menentang siapa pun tanpa sebab. Akan tetapi tadi saya melihat Nona ini dikeroyok puluhan orang laki- laki gagah, kemudian malah Lo-cian pwe sebagai seorang datuk ikut mengeroyok.
Hal ini sungguh berlawanan dengan keadilan di dunia persilatan, maka terpaksa saya datang untuk melerai menghentikan pengeroyokan yang tidak adil dan curang ini."
Mendengar ini, Ban-tok Mo-ko tampak malu dan rikuh sekali sehingga dia tidak dapat segera menjawab, hanya berani ah-uh-uh saja seperti orang bingung.
"Heh, orang muda*" tiba-tiba terdengar suara dari dalam kereta. Tong Koo yang bicara dengan keren. "Engkau gegabah, berani mencampuri urusan negara!
Ketahuilah, gadis ini adalah seorang mata-mata pemberontak, ia keturunan keluarga Kerajaan Chou. Maka kami hendak menangkapnya. Kalau engkau membelanya, berarti engkau ingin menjadi pemberontak pula!"
Diam-diam Han Lin terkejut. Kalau benar apa yang dikatakan orang gendut muka bopeng yang melihat pakaiannya seperti seorang pembesar itu, keadaannya menjadi gawat! Satu di antara nasihat-nasihat gurunya adalah bahwa dia sebaiknya tidak membantu para pemberontak yang hanya menimbulkan kekacauan dan perang yang akibatnya pasti menyengsarakan rakyat yang tidak tahu-menahu tentang perebutan kekuasaan antara orang-orang yang haus akan kedudukan dan kekuasaan.
"Maaf, Nona. Benarkah engkau seorang pemberontak?" Han Lin memandang gadis itu dan bertanya .
Hui Lan cemberut. "Jahanam gendut bopeng itu bicara bohong! Aku memang masih ada hubungan kekeluargaan dengan para bangsawan Kerajaan Chou, akan tetapi aku bukan pemberontak dan tidak Ingin memberontak. Kalau memberontak terhadap jahanam Itu, memang benar. Dia telah menyuruh kaki tangannya menangkapku dengan obat bius dengan niat kotor dan hina. Orang macam dia hanya mengotorkan dunia saja patut dihukum. Setelah berkata demikian, dengan gerakan cepat sekali seperti seekor bur ung tubuhnya sudah melompat dan meluncur ke arah kereta.
Empat orang perajurlt yang berada dekat kereta cepat mengangkat pedang menyambut Hui Lan, akan tetapi begitu sinar hijau berkelebatan, empat orang itu terpelanting roboh dengan lengan teri dan pedang mereka terlempar.
"Tolonggg.............. tolooonggggg " Tong Koo menjerit-jerit sambil berusaha
melarikan diri setelah turun dari kereta akan tetapi sebuah tendangan membuat dia terjungkal dan ketika sinar hijau pedang di tangan Hui Lan menyambar pembesar itu berkaok-kaok dengan suara sengau dan menutupi mukanya yang sudah tidak memiliki bukit hidung. Hidungnya telah dibabat putus oleh pedang Hui Lan sehingga mengeluarkan banyak darah. Sejak saat itu Si Hidung gelang Tong Koo harus diubah julukannya menjadi Si Hidung Buntung!
Melihat ini, ributlah para pengawal dan anak buah perampok. Sin-to Hui-houw, tiga orang Sun Heng-te, dan juga Ban-tok Mo-ko berlompatan hendak menyerang Hui Lan. Bahkan anak buah mereka yang masih ada sekitar dua puluh orang itu sudah menggerakkan senjata untuk mengeroyok.
Akan tetapi Han Lin berkata kepada burung rajawali yang bertengger di atas pohon. "Tiauw-ko, lindungi gadis itu!" Dia sendiri lalu melompat dan berada dekat Hui Lan. Ketika Ban-tok Mo-ko menyerang dengan tongkat ularnya, Han Lin cepat menangkis dengan Pek-sim-kian. yang telah dicabutnya.
"Trakkkkk. !!" Tongkat ular itu terpental dan Ban-tok Mo-ko menjadi semakin
marah. Kini dia menujukan serangan-serangannya kepada Han Lin. Dia bukan hanya menyerang dengan tongkat, akan tetapi juga dengan pukulan tangan kiri yang mengandung racun dan tendangan kakinya. Namun, semua serangannya itu dapat digagalkan oleh Han Lin dengan tangkisan dan elakan. Yang membuat kakek bongkok itu terkejut adalah ketika dia mendapat kenyataan betapa pemuda itu berani menangkis tangan beracunnya dengan tangan pula dan agaknya sedikit pun hawa beracun tangannya tidak mempengaruhi pemuda itu! Bahkon setiap kali beradu senjata atau tangan dia terdorong ke belakang sampai terhuyung, tanda bahwa dia kalah banyak dalam kekuatan tenaga sakti.
Melihat gurunya agaknya kewalaha Sin-to Hui-houw segera datang membantunya. Han Lin dikeroyok dua, akan tetapi pemuda itu bersikap tenang pengeroyokan itu sama sekali tidak membuat dia sibuk, bahkan dia masih dapat membagi perhatiannya untuk mengamati keadaan gadis itu. Hui Lan kini dikeroyok tiga bersaudara Sun. Tadi, ketika dikeroyok empat orang saja, ia mampu mengimbangi mereka, maka kini setelah Sin-to Hui-houw meninggalkannya untuk mengeroyok pemuda itu tentu saja ia yang hanya dikeroyok tiga orang berada di pihak yang lebih unggul". Ketika dua kelompok perajurit dan anak buah perampok itu, sebanyak dua puluh orang, mulai maju mengeroyok Hui Lan, tiba-tiba rajawali itu menyambar dari .atas. Tadi ketika Han Lin menyuruh rajawali itu melindungi gadis itu, burung itu terbang tinggi dan kini dia menyambar dan menyerang dua puluh orang yang sudah mengurung dan hendak [mengeroyok Hui Lan. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan biar mereka berusaha untuk melawan dan menyerang rajawali yang mengamuk itu, namun usaha mereka sia-sia belaka karena pedang dan golok mereka terpental dan tubuh mereka berpelantingan, terkena pukulan sepasang sayap, sepasang cakar dan serangan paruh burung itu. Mereka menjadi jerih dan tidak berani melawan lagi, bahkan mereka lalu lari meninggalkan tempat itu.
Pembesar Tong Koo masih merintih-rintih sambil menutupi hidungnya dengan dua tangan yang sudah berlepotan darah. Tidak ada seorang pun yang melolongnya karena semua anak buahnya lari ketakutan. Sementara itu, Sin-to Hui-Houw sibuk sendiri membantu gurunya mengeroyok Han Lin dan mereka berdua juga mulai bingung karena semua serangan mereka sama sekali tidak pernah meryentuh tubuh pemuda itu. Tiga orang saudara Sun yang mengeroyok Hui Lan juga terdesak hebat. Akhirnya, seorang dari mereka terpelanting oleh tendangan kaki kanan Hui Lan, sedangkan orang kedua terguling dengan luka sabetan ujung pedang di pahanya.
Orang ke tiga terpaksa menjauhkan diri, merasa tidak kuat melawan seorang diri.
Melihat keadaan mereka yang jelas menderita kekalahan, Ban-tok Mo-ko yang licik maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia sendiri akan sulit untuk dapat menyelamatkan diri dari pemuda yang amat lihai itu. Maka ketika dia mendapat kesempatan, dia berseru kepada muridnya.
"Mari kita pergi!" Dia melompat belakang diikuti Sin-to Hui-houw. Tiba-tiba kakek bongkok itu melemparkan sesuatu ke arah Han Lin dan Hui Lan.
"Nona, lari!" seru Han Lin dan cepat dia meluncur dan menyambar lengan Hui Lan, dibawanya melompat jauh meninggalkan tempat itu.
Terdengar ledakan dan tampak hitam mengebul memenuhi tempat itu sehingga menjadi gelap dan tercium bau yang amat keras dan busuk. Dari tempat yang agak jauh pun Hui Lan masih dapat mencium bau busuk itu dan cepat menahan napas dan semakin menjauh, telah yakin betul bahwa asap itu memang mengandung racun yang amat jahat, Han Lin lalu menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke depan Ada angin pukulan yang menyambar ke depan dan meniup gumpalan asap hita itu. Melihat ini Hui Lan membantunya dengan pukulan jarak jauh sehingga asap itu membuyar dan tertiup angin pukul dua orang muda perkasa itu. Kemudia angin datang membantu dari samping dan ternyata burung rajawali itu pun mengkibas-ngibaskan kedua sayapnya, menimbulkan angin dan gumpalan asap itu segera tertiup pergi dan membubung ke atas. Setelah asap hitam beracun yang dilepas Ban-tok Mo-ko melalui bahan peledak itu menghilang dan tempat itu menjadi terang kembali, Hui Lan dan Han Lin melihat bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang tadi mengeroyok tinggal. Agaknya semua orang sudah melarikan diri ketika terdapat tabir asap hitam menutupi pandangan main tadi.
Karena sudah jelas bahwa pihak musuhtidak ada lagi, kini Hui Lan mengalihkan perhatiannya kepada pemuda yang telah membantunya dan burung rajawali besar itu. Ia merasa kagum melihat burung itu yang tadi membantunya dengan gagah, membuat para anak buah yang mengeroyoknya berpelantingan. Juga diam-diam ia merasa kagum kepada pemuda yang tampan, lembut dan tampak Masa seperti orang yang tidak memiliki kepandaian silat, namun yang ia tahu memiliki ilmu yang lihai sekali seringga mampu mengalahkan kakek bongkok kepala perampok tadi.
Setelah kini saling berhadapan dan perhatiannya tidak terbagi, Han Lin mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki kecantikan yang lembut, dan sinar matanya menunjukkan ketegaran hati dan keberanian luar biasa. Han Lin teringat akan gadis cantik dan lihai yang muncul dalam pertandingan perebutan gelar di Puncak Thai- san. Dia merasa heran betapa dalam waktu yang tidak lama, berturut-turut dia bertemu dengan dua orang, gadis muda belia yang demikian lihai. Gadis pertama di Puncak Thai-san itu pun cantik jelita, lincah jenaka dan agak liar, akan tetapi ilmu silat juga hebat. Sayang dia tidak tahu si nama gadis itu dan dari aliran perguruan mana. Kini, dia bertemu lagi dengan seorang gadis muda belia yang cantik dan juga lihai. Dibandingkan dengan gadis pertama, sikap gadis ini jauh berbeda. Kalau yang pertama lincah jenaka,liar, gadis ke dua ini pendiam dan lembut, namun memiliki wibawa yang kuat. Keduanya juga memiliki keberanian mengagumkan. Dia tidak ingin melihat gadis Ini pergi tanpa berkenalan lebih dulu, maka Han Lin lalu mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan dan berkata lembut, sambil tersenyum ramah.
"Maafkan aku, Nona. Setelah kita saling berjumpa dalam keadaan luar biasa ini dan bersama-sama melawan orang-orang tadi, ingin aku memperkenalkan diri. Namaku Si Han Lin dan kalau boleh, aku ingin mengenal namamu yang terhormat."
Hui Lan adalah murid Tiong Gi Cin-jin, seorang pertapa penganut Agama Khong-hu- cu yang mengutamakan sikap susila dan sopan santun, cepat membalas penghormatan itu. Akan tetapi. suaranya tidak begitu ramah karena ia masih curiga apakah pemuda ini benar-benar me miliki Iktikad baik karena selama ini yang ia temui adalah kenyataan betapa sebagian besar laki-laki berniat kurang ajar terhadap wanita dan kalau ada ya bersikap sopan / lemah lembut, sikap ini pun hanya merupakan cara mereka untuk merayu!
"Aku tidak ingin berkenalan dan tadi pun aku tidak minta bantuanmu untuk melawan mereka, maka aku tidak merasa berhutang budi kepadamu. Akan tetapi karena engkau sudah memperkenalkan nama, kalau engkau ingin mengetahui namaku, aku adalah Ong Hui Lan."
Han Lin tersenyum. Gadis ini benar-benar bersikap tegas, akan tetapi juga angkuh! "Terima kasih, Nona Ong. Aku tinggal di Puncak Cemara di Cin-ling-san, dan engkau tinggal di manakah, Nona?"
Hui Lan mengerutkan alisnya. Baru saja bertemu, sudah bertanya nama dan setelah diberitahu, kini tanya alamat lagi. Apa sih maunya pemuda ini? Aka tetapi mendengar pemuda itu tinggal di Puncak Cemara, di Cin-ling-san, ia ter ingat akan pemberitahuan gurunya bahwa ada seorang sakti bernama Thai Kek Siansu yang tinggal di sana dan orang sakti itu memiliki sebuah burung rajawali raksasa, la mengerling ke arah rajawali Itu, lalu menjawab sambil lalu.
"Aku Tinggal di Nan-king."
"Nona Ong, apa yang sesungguhnya terjadi tadi? Mengapa engkau ditawan oleh mereka dan siapakah mereka itu?"
Sambil mengerutkan alisnya Hui Lan menjawab. "Sudahlah, mau apa sih bertanya- tanya? Aku harus mengejar mereka untuk memberi hajaran keras agar mereka menjadi jera dan bertaubat untuk melakukan perbuatan curang dan jahat!"
Melihat gadis itu hendak pergi, Han Lin cepat berkata. "Nona Ong, lawan yang sudah melarikan diri tidak perlu dikejar lagi. Memberi maaf adalah jauh lebih baik daripada membalas dendam."
Hui Lan yang tadinya sudah memutar tubuh, kini menghadapi lagi pemuda Itu, alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Kebaikan harus dibalas kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan hukuman yang setimpal agar si jahat menjadi jera. Kalau semua orang seperti engkau, mudah memaafkan para penjahat, dunia akan semakin kacau karena para penjahat berpesta pora, tidak takut berbuat jahat karena pasti akan dimaafkan oleh orang-orang seperti engkau Setelah berkata demikian, Hui Lan melompat jauh dan berlari cepat rneninggalkan Han Lin yang berdiri tertegun. Akan tetapi dia lalu tersenyum geli. Bukan main Ong Hui Lan itu! Begitu yakin bahwa kekerasan akan dapat menertibkan mereka yang tersesat dan suka berbuat jahat.
Dia teringat akan pengertian yang ditanamkan gurunya ke dalam sanubarinya, pengertian yang telah membuka mata batinnya untuk melihat kenyataan dalam kehidupan ini. Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari, dilatih, apalagi dipaksakan dengan kekerasan. Kebaikan yang direkayasa seperti itu hanya akan melahirkan orang-orang munafik yang melakukan apa yang dinamakan kebaikan karena merasa takut, atau karena ingin mendapatkan "sesuatu" sebagai imbalan jasa kebaikan yang dia lakukan. Sesuatu itu dapat berupa pujian, kebanggaan nama besar, balas jasa, baik dari manusia atau pun dari Tuhan. Dengan demikian, apa yang dia lakukan sebagai kebaikan hanya merupakan cara untuk mendapatkan sesuatu yang baginya bernilai lebih, terutama lebih menyenangkan atau lebih menguntungkan, sebagai tujuan akhirnya! Kebaikan bukanlah kebaikan lagi kalau menjadi tujuan.
Kalau ada Kasih dalam diri, maka apa pun yang dilakukannya, sudah pasti baik bagi orang lain, tanpa dia menganggap bahwa apa yang dia lakukan adalah perbuatan baik. Kalau ada seorang ibu menimang-nimang anaknya, ia sama kali tidak merasa melakukan perbuatan baik. Kalau ada orang melihat orang lain dalam kesusahan lalu timbul perasaan iba dan segera menolongnya, dia pun tidak menyadari bahwa dia melakukan perbuatan baik. Perbuatan spontan seperti ini, demi kepentingan orang lain, muncul dari dalam sebagai bunga dan buah dari pohon kasih.
Sebatang pohon mengeluarkan bunga dan buah di mana saja dia berada, tanpa maksud untuk melakukan suatu kebaikan juga tidak ditujukan kepada siapa pun juga. Keharuman bunga dan buahnya tersiar ke mana-mana, dapat dinikmati siapa saja, juga tidak apa-apa andai tidak ada yang menikmatinya. Demikianlah Kasih yang terdapat dalam sebuah benda di alam maya pada. Sinar matahari pun bersinar memberi kehangatan dan kehidupan kepada siapa saja tanpa bermaksud untuk memberi kebaikan, maka sekali tidak mempunyai tujuan bagi orang lain maupun bagi dirinya diri. Keadaan dirinya, seperti apa nya, itulah apa yang disebut kebenaran atau kebaikan, keharumannya bukan sengaja diharum-harumkan, karena mereka sudah harum. Dirinyalah keharuman sendiri, apa adanya, wajar.
"Kuek-kuek-kuek. !" Rajawali berbunyi dan Han Lin tersenyum.
"Maaf, Tiauw-ko, aku tenggelam dalam lamunan sampai lupa padamu." lalu menghampiri rajawali itu yang mendekam dan setelah Han Lin lompat ke atas punggungnya, rajawali itu mengeluarkan seruan girang lalu dia pun terbang.
ooOOoo
Pada suatu hari, di tanah datar yang rada di puncak di mana perkumpulan Hong-san- pai berada, tampak seorang muda sedang berlatih silat seorang diri. Tanah datar itu terletak di bagian bekang perkampungan Hong-san-pai yang berada di Puncak Hong- san. Hawa udara pagi itu dingin sekali, akan tetapi pemuda yang berlatih silat tangan kosong itu hanya memakai celana panjang tanpa baju sehingga tubuhhya dari pinggang ke atas telanjang. Tampak tubuh yang kokoh, kuat, dengan otot-otot tersembul dan tubuh itu penuh keringat karena sudah sejak pagi sekali dia berlatih silat. Pemuda itu selain bertubuh kokoh kuat dan tegap, Juga berwajah tampan gagah. Rambutnya hitam dan panjang, digelung keatas dan diikat sutera merah.
Mukanya terbentuk persegi sehingga tampak jantan. Sepasang matanya tajam mencorong dan terkadang tampak bengis namun bola mata yang bergerak-gerak cepat itu membayangkan kecerdikan. Mulutnya selalu dihias senyum sinis seperti orang mengejek dan memandang rendah apa saja yang dilihatnya.
Tiba-tiba dia menghentikan latihan lalu menghapus keringatnya dengan sehelai kain. Pemuda itu adalah puteraPangeran Chou Ban Heng, yaitu Chou Kian Ki. seperti telah kita ketahui, Chou Kian Ki dilatih ilmu silat oleh tokek gurunya sendiri, yaitu Hong- san Siansu yang menjadi gurunya. Kemudian dia menerima gemblengan dari tokoh- tokoh atau datuk yang mendukung gerakan ayahnya, yaitu selain digembleng kakek gurunya Hong-san Siansu, pun dilatih oleh K wan In Su yangberjuluk Kanglam Sin- kiam dan Im Yang Tosu yang selain ilmu silat, juga memiliki ilmu sihir. Kini, usia Chou Kian Ki sudah dua puluh lima tahun dan dia amat tekun mempelajari ilmu silat tinggi sehingga tingkat kepandaiannya sudah dapat mengimbangi tingkat guru-gurunya!
Dia bahkan dapat menggabungkan ilmu silat dari Hong-san Siansu, Kwan In Su, dan Im Yang Tosu. Chou Kian Ki memanggil para anggauta Hong-san-pai yang kebetulan berada tak jauh dari situ. Sepuluh orang murid Hong-san-pai menghampirinya.
"Pergunakan senjata kalian dan keroyoklah aku. Aku sedang melatih gabungan Tiga Silat Sakti. Jangan ragu, seranglah dengan sungguh dan. kerahkan seluruh tenaga kalian!"
Sepuluh orang murid itu sudah tahu akan kelihaian Chou Kian Ki dan sudah seringkali mereka mengeroyok dan dibuat jatuh bangun oleh pemuda itu. Merek-ragu bukan takut melukai Kian Ki, sebaliknya ragu karena tidak ingin terluka
"Hayo cepat lakukan! Mengapa kalian diam saja?" bentak Kian Ki.
"Chou Kongcu (Tuan Muda Chou), kasihanilah kami. Kami takut terpukul dan tewas dalam latihan ini." kata seorang di antara mereka.
"Bodoh kalian! Biarpun dengan mudah aku akan mampu membunuh kalian, akan tetapi mengapa aku harus membunuh Kalian, adalah anggauta Hong-san-pai anak buah sendiri. Aku tidak akan membunuh kalian. Hayo cepat serang aku!"
Para anggauta itu takut kepada Kia K i karena kalau putera pangeran ini melapor kepada Hong-san Pang-cu, ketua mereka, yaitu Hong-san Sian-su, merek tentu akan mendapat marah besar. Mereka saling pandang dan terpaksa mengeluarkan senjata masing-masing. Ada yang memegang toya (tongkat), ada yang memegang golok dan ada pula yang mencabut pedang.
"Kongcu, kasihanilah kami dan jangan memukul terlampau keras!" kata seorang dari mereka dan sepuluh orang itu lalu mengepung dan mulai menyerang Kian Ki dengan senjata mereka. Dari pengalaman mereka maklum bahwa mereka harus menyerang dengan sungguh-sungguh karena biasanya, yang main-main dan tidak bersungguh- sungguh akan menerima pukulan paling keras.
Setelah sepuluh orang itu serentak menyerang, Kian Ki bergerak dengan cepat dan kuat. Tubuhnya bergeser kesana sini, menangkis dan mengelak sambil memainkan jurus-jurus campuran tiga macam ilmu silat yang telah dia gabungkan. Akibatnya hebat. Golok dan Pedang yang tajam dia sambut dengan lengan begitu saja dan senjata-senjata Para pengeroyok itu ada yang patah dan sebagian pula terlempar, disusul terpentalnya sepuluh orang itu seolah-olah disambar oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak.
"Bagus! Engkau telah rr»emperoleh banyak kemajuan dalam ilmu silat gabungan yang kau rangkai itu, Kian Ki!”
Chou Kian Ki cepat memutar tubuhnya dan tiga orang gurunya itu sudah berdiri di situ. Hong-san Siansu Kwee Cin Lok yang juga menjadi Hong-san-pangcu, Kanglam Sin-kiam Kw'an In Su, dan Im Yang tosu. Segera dia memberi hormat dan berkata kepada Hong-san Siansu yang sesungguhnya merupakan kakek gurunya.
"Berkat bimbingan Sukong (Kakek Guru) dan Jiwi Suhu (Guru Bertiga)!" "Bersiaplah, dan pertahankan diri baik-baik! Kami bertiga akan mengeroyokmu!" kata Hongsan Siansu dan be sama Kwan In Su dan Im-yang Tosu dia lalu maju dan tiga orang guru itu Ialu menyerang dan mengeroyok murid mereka.
Kian Ki yang maklum bahwa biarpun tiga orang tua itu hanya mengujinya namun mereka menyerang dengan sun guh-sungguh sambil mengerahkan tenaga mereka sehingga biarpun seandainya di terkena serangan tidak sampai tewas setidaknya dia akan menderita luka yang cukup nyeri. Maka dia pun mengerahka seluruh tenaga dan mainkan ilmu silai gabungan itu, melakukan perlawanan mati-matian! Dia bukan hanya mempertahankan diri, akan tetapi juga membala dengan serangan-serangan yang cukup berbahaya.
Tiga orang tua Itu merasa gembira sekali dan mereka menyerang dengan sungguh- sungguh . karena mereka sudah sepakat bahwa ujian ini merupakan ujian terakhir. Tidak ada yang dapat mereka ajarkan lagi kepada Kian Ki. Mereka sudah bersepakat tadi bahwa kalau pun mereka itu dapat bertahan sampai lima puluh jurus terhadap serangan mereka bertiga, maka dianggap lulus.
Dan ternyata Chou Kian Ki memang hebat sekali. Dia bukan saja mampu bertahan, bahkan dia dapat membalas dan sempat beberapa kali membuat Kwan In Su atau Im-yang Tosu terdesak mundur! Setelah lewat lima puluh jurus Hongsan Siansu berseru, "Cukup!" Dan dia bersama dua orang guru lain lompat ke belakang.
Dengan tubuh penuh keringat akan tetapi pernapasannya tidak terengah-engah Chou Kian Ki berdiri menghadap tiga orang gurunya dan bertanya kepada kakek gurunya.
"Bagaimana, Su-kong. Apakah masih banyak kekurangan teecu?"
"Hebat, Kian Ki, engkau telah lulus ujian terakhir! Kini tidak ada lagi yang dapat kami ajarkan kepadamu!" kata Hongsan Siansu dengan gembira sekali.
"Siancai! Pinto sendiri kiranya tidak akan mampu mengalahkanmu, Kian Ki!" kata Im- yang Tosu.
"Kami benar-benar bangga kepadamu, muridku! Tidak sia-sia kami mengemblengmu dengan tekun. Engkau tidak mengecewakan, bahkan membuat kami merasa bangga sekali. Kalau masih ada perebutan gelar Thian-te Te-it Bu-hiap, kami yakin engkau akan keluar sebagai juaranya." kata Kwan In Su. "Bahkan tanpa mengujimu pun aku tahu benar bahwa ilmu pedangmu sudah mencapai frngkat tertinggi sehingga kelak engkau berhak memakai gelar Kiam-ong (Raja ledang)!"
Mendengar ucapan tiga orang gurunya Itu, Kian Ki yang memang memiliki dasar watak tinggi hati dan angkuh, tersenyum dan wajahnya yang tampan dan jantan itu berseri-seri, sepasang matanya bersinar dan dia mengangkat dadanya yang bidang dengan perasaan puas dan yakin bahwa tidak ada orang mura lain di dunia ini yang akan mampu menandinginya!
"Sukong dan Jiwi Suhu, teecu tidak ingin memperebutkan gelar yang tidak ada artinya itu. Teecu akan membantu perjuangan Ayah dan melanjutkan sampai tercapai cita-cita Ayah, yaitu menumbangkan pemerintahan Sung dan membangun kembali Kerajaan Chou. Ayah atau teecu yang kemudian menjadi kaisar Kerajaan Crìoul!"
Ucapan itu terdengar nyaring penuh wibawa sehingga tiga orang itupun tertegun kagum, seolah mendengar murid mereka itu mengucapkan sumpah.
Tiba-tiba terdengar suara tawa dan empat orang itu terkejut bukan Bahkan belasan orang murid Hong-san-pai yang berada di situ semua terpelanting dan menutupi telinga mereka dengan kedua tangan karena suara tawa yang aneh itu mengandung getaran yang amat hebat. Seolah-olah ada jarum-jarum runcing memasuki telinga mereka!
ChouKianKi dan tiga orang gurunya cepat mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi telinga dan jantung mereka sehingga tidak sangat tersiksa oleh getaran suara tawa Itu. Suara tawa itu seolah terdengar dari atas mereka!
"Ha-ha-ha, manusia-manusia sombong dan picik! Baru dapat memiliki kepandaian. seperti itu saja sudah bercita-cita menumbangkan Kerajaan Sung? Ha –ha-ha bodoh dan sombong! Suara itu pun terdengar dari atas. Akan tetapi tidak ada orang di dekat situ, juga di atas tidak tampak ada mahluk hidup.
Chou Kian K i yang tadi merasa paling hebat, tentu saja kini merasa terhina dan direndahkan. Dia marah sekali dan sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang, dia berseru.
"Hei, engkau setan ataukah manusia? kalau manusia keluarlah dan jangan bersembunyi seperti seorang pengecut Hadapilah dan lawan aku kalau memang kau memiliki kepandaian, jangan hanya menjual omong kosong sambil ber sembunyi!!"
Hongsan Siansu dan dua orang kawannya merasa menyesal atas kesombongan murid mereka karena mereka bertiga yang lebih berpengalaman dapat menduga bahwa yang bersuara itu adalah seorang yang memiliki sin-kang amat kuat.
"Huh, bocah sombong. Engkau ini siapakah telah membuka mulut lebar hendak menumbangkan Kerajaan Sung dan hendak menjadi kaisar kerajaan Chou yang sudah runtuh?"
"Aku Chou Kian K i, keluarga istana Kerajaan Chou. Ayahku adalah Pangeran Chou Ban Heng, keturunan mendiang Kaisar Chou Ong yang berhak menjadi Kaisar Kerajaan Chou! Hayo, perlihatka dirimu kalau engkau berani!"
Tiba-tiba bertiup angin dan dari jauh tampak sesosok bayangan melayang datang! Ternyata orang ini tadi bicara dari tempat jauh dan ini saja membuktikan kehebatannya. Setelah tiba di depan mereka, kakek itu berdiri sambil memandang mereka satu demi satu dan mulutnya tersenyum mengejek.
Empat orang dan para anggauta Hong-san-pai memandang kepada kakek yang baru datang itu dengan mata terbelalak Dia sudah tua sekali, rambut, jenggot, dan kumisnya sudah putih semua, mengkilap seperti benang-benang sutera putih. Pakaiannya juga dari kain putih yang dilibat-libatkan pada tubuhnya. Usia kakek Ini tentu sudah mendekati seratus tahun, sedikitnya sembilan puluh lima tahun!
Melihat kakek itu sudah demikian tua dan kemunculannya demikian aneh, timbul juga perasaan segan di hati Chou Kian Ki sehingga dia diam saja, hanya memandang dengan heran. Adapun Hong-san Siansu dan dua orang rekannya yang sudah memiliki banyak pengalaman, walaupun tidak mengenal siapa adanya kakek tua renta itu, mereka dapat menduga bahwa yang datang adalah seorang datuk yang sakti.
Hongsan Siansu lalu merangkap kedua tangan depan dada, memberi hormat dan berkata lembut. "Saudara tua, selamat datang di Hong-san-pai dan perkenankan kami memperkenalkan diri. Aku adalah ketua Hong-san-pai berjuluk Hong-san Siansu. Ini adalah dua orang rekanku, Kanglam Sin-kiam Kwan In Su, dan lm Yang Tosu. Pemuda ini adalah putera Pangeran Chou Ban Heng, bernama Chou Kian Ki dan dia menerima pelajaran dan kami bertiga. Kaiau boleh kami mengatahui, siapakah nama Saudara tua yang mulia dan terhormat?"
Melihat sikap Hongsan Siansu yangbaik, kakek itu mengangguk-angguk. "Memakai nama apa pun juga, aku tetap saja begini. Akan tetapi kalau kalian ingin tahu, sebut saja aku Thian Beng Siansu."
Tiga orang datuk itu mengingat-ingat akan tetapi rasanya belum pernah mereka mendengar akan nama ini.
"Terimalah hormat kami, Siansu yang mulia. Kalau Siansu hendak memberi petunjuk kepada murid kami, silakan dan kami akan berterima kasih sekali." kati pula Hongsan Siansu dengan sikap hormat
"Aku tadi lewat dan kebetulan melihat dan mendengar apa yang terjadi sini. Aku tertarik mendengar bahwa pemuda ini demikian bersemangat hendak membangun kembali Kerajaan Chou dan menumbangkan Kerajaan Sung. Aku kagum akan semangatnyang yang besar. Akan tetapi setelah aku melihat kepandaiannya, aku kecewa. Dengan kepandaian serendah itu, bagaimana mungkin dia akan membangun kembali Kerajaan Chou? Hmmm, dia akan jatuh sebelum dia mulai!"
Mendengar ucapan yang sangat memandang rendah ini, Hongsan Siansu dan tiga orang rekannya menjadi penasaran juga. Apalagi Chou Kian Ki. Dia mengerutkan alisnya dan kemarahannya bangkit kembali. Akan tetapi melihat sikap guru-gurunya amat hormat kepada kakek tua renta itu, dia pun memaksa dirinya bersikap hormat.
"Locianpwe, mungkin Locianpwe adalah seorang yang memiliki kesaktian yang amat tinggi, akan tetapi Locianpwe terlalu memandang rendah kepada saya dan guru-guru saya."
"Tidak ada yang memandang rendah karena memang kepandaianmu masih rendah, belum cukup untuk dipakai bekal merampas mahkota kerajaan."
"Locianpwe, Sukong Hongsan Siansu, Suhu Kanglam Sin-kiam dan Suhu Im yang Tosu tadi telah maju bersama mengeroyok saya dan mereka menyatakan bahwa saya telah lulus ujian, dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Sekarang Locianpwe mengatakan bahwa kepandaian saya masih rendah, apakah Locianpwe dapat membuktikan hal ini?"
"Ho-ho, tentu saja! Sekarang aku ak mengujimu, kalau engkau mampu bertahan terhadap seranganku sampai lebih dari lima jurus, berarti penilaianku tidak salah. Bagaimana?"
Kian Ki menjadi penasaran dan marah sekali. Kakek ini terlalu memandang rendah kepadanya. Tiga orang gurunya saja, secara berbareng menyerangn sampai lima puluh jurus, dia masih mampu bertahan. Sekarang kakek itu akan mengalahkannya sebelum lima jurus Tidak mungkin!
"Baik, Locianpwe. Saya sudah siap seranglah!" tantang Kian Ki sambil memasang kuda-kuda yang kokohdan gagah.
Tiga orang datuk itu pun tertawa sekali. Mereka juga merasa yakin bahwa Kian Ki pasti mampu bertahan sampai lima jurus. Apa sih kepandaian kakek tua itu maka dia sesombong itu? Mana mungkin mampu mengalahkan Kian Ki sebelum lima jurus?
"Bagusi Sekarang sambutlah serangan pertama ini!" kata Thian Beng Siansu dan legitu tangan kirinya bergerak, ujung kain pembalut tubuhnya meluncur, menjadi sinar putih menyambar kearah KianK i. Pemuda itu sudah siap siaga. Dengan. amat waspada dia melihat datangnya serangan pertama itu dan cepat dia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil menggerakkan tangan kanan menangkis sinar putih itu.
"Wuuuttttt......... desssss !!" Kilatan putih itu menyambar lambat saja, akan
tetapi ketika ditangkis lengan Kian Ki, pemuda itu merasa seolah dia menangkis benda keras yang kuat sekali sehingga tubuhnya terpental dan terbanting roboh sampai dua tombak! Akan tetapi dia merasa penasaran dan cepat dia sudah melompat berdiri dan kini dialah yang balas menyerang karena serangan dahsyat merupakan pertahanan yang baik pula. Kalau dia yang menyerang terus, maka tentu kakek itu tidak sempat menyerang dan dengan demikian dia dapat lolos dari lima jurus serangan!
"Haiiiiittttt !" Hebat sekali serangan Kian Ki. Dia menggunakan jurus terampuh
dan mengerahkan seluruh tenaganya. Tubuhnya menerjang dengan lompatan ke atas dan meluncur ke arah kakek itu dengan kedua lengannya bergerak menyerang. Tangan kanan menghantam dari atas ke arah kepala lawan sedangkan tangan kiri menotok ke arah dada Dua serangan beruntun kedua tangannya ini meluncur cepat sekali dan dilakuka dengan tenaga dahsyat sehingga mendatangkan angin pukulan dahsyat.
Hongsan Siansu terkejut. Dia tah bahwa serangan yang dilalukan Kian Ki itu merupakan serangan maut yang amat berbahaya. Bagaimanapun juga, dia tidak menghendaki cucu muridnya membunuh kakek aneh ini. Akan tetapi, untuk mencegahnya sudah tidak ada kesempatan lagi maka dia bersama dua orang rekannya memandang dengan hati tegang. "Plakkkk ............ tukkkkk............... desss !” Pukulan tangan kanan Kian Ki
tepat mngenai kepala kakek itu, juga totokan jari tangan kirinya mengenai dada, akan tapi kakek itu seolah tidak merasakannya dan sebaliknya, tangan kirinya mengebut dan ujung kain itu membuat tubuh Kian Ki kembali terpental lebih jauh lagi.
Tiga orang datuk itu terkejut bukan main. Kini mereka yakin bahwa kakek tua itu memang memiliki kesaktian tinggi.
"Kian Ki, engkau telah kalah!" seru Hogsan Siansu kepada cucu muridnya.
Akan tetapi bagaimana mungkin Kian Ki yang memiliki watak tinggi hati itu mau menyerah? Dia merasa penasaran sekali dan cepat dia meloncat bangun, menggoyang kepala beberapa kali untuk mengusir kepeningannya. Dia tahu bahwa menyerang bahkan lebih berbahaya, maka dia cepat berseru.
"Locianpwe, saya belum mengaku kalahl Baru dua jurus berjalan dan saya masih mampu bertahan. Silakan Locianpwe menyerang tiga jurus lagi, akan saya pertahankan!" tantangnya.
"Ho-ho, semangatmu memang boleh akan tetapi kebodohannya bertambah! Nah, ini seranganku ke tiga, sambutlah!” Setelah berkata demikian, Thian Beng Siansu bergerak maju. Sungguh hebat kedua kakinya sama sekali tidak tampak bergerak akan tetapi tubuhnya meluncur ke depan seolah-olah dia berdiri di atas roda yang didorong ke depan! Kini kedua tangan kakek itu yang bergerak ke depan, sama sekali tidak menggunakan ujung kain. Ada angin menyambar dahsyat dari kedua tangan itu.
Kian Ki cepat mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa sulit untuk menghindarkan serangan itu dengan mengelak. Dia menggunakan kedua tangannya menangkis sambil siap mencengkeram dan menangkap lengan kakek itu. Dipikirnya kalau dia dapat menangkap lengan kakek itu, tentu dia akan dapat membuat kakek itu tidak berdaya karena berapa sih kekuatan otot seorang tua renta seperti itu?
Akan tetapi betapa kagetnya ketika kedua tangannya bertemu lengan yang lembek seperti ular dan licin pula sehingga tangkisan dan cengkeramannya meleset, lalu tiba-tiba saja dia tidak mampu bergerak karena sudah tertotok. Dia jatuh terduduk dan tidak mampu bergerak karena tubuhnya terasa lemas dan lumpuh!
Thian Beng Siansu tertawa, kemudian menghampiri Kian Ki dan tangan kanannya lalu memukul ke arah dada pemuda itu. Dia setengah berjongkok dan tangan kanannya itu dengan jari-jari terbuka menempel pada dada Kian Ki. Wajah pemuda itu berubah merah sekali dan dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap!
Melihat ini, tiga orang datuk itu terkejut. "Jangan bunuh murid kami!" teriak Kang- lam Sin-kiam Kwan In Su sambil menjulurkan tangan hendak menangkap pundak kiri Thian Beng Siansu. Akan tetapi kakek tua renta itu cepat menggerakkan tangan kirinya dan menangkis tangan Kwan In Su. Pedang Sakti Kanglam ini terkejut karena merasa betapa tangannya menempel pada tangan kakek itu dan betapapun dia berusaha menarik tetap saja tidak dapat terlepas dan lebih kaget lagi dia ketika merasa betapa tenaga saktinya yang dia kerahkan meluncur keluar dari tangannya seperti sedot."
Im Yang Tosu yang melihat betapa Kwan In Su tampak kaget, dapat menduga bahwa rekannya itu kalah tenaga maka dia pun cepat menempelkan tangannya pada punggung Kwan In Su untuk membantunya dengan tenaga saktinya. Akan tetapi dia pun terkejut sekal karena tenaga sakti yang dia salurkan lewat tangannya itu bagaikan besi menempei pada semberani, melekat dan dia merasa betapa tenaga saktinya tersedot keluar! Dia. mencoba untuk menarik tangannya atau menahan tenaganya, namun sia-sia sehingga dia terkejut sekali, mukanya berubah pucat.
"Hongsan Siansu, bantu kami !" tanya sambil mencoba untuk menarik
membanjirnya tenaga saktinya keluar seperti tersedot oleh kekuatan yang amat hebat.
Hongsan Siansu menempelkan tangannya di punggung Kanglam Sin-kiam Kwun In Su, di sebelah tangan Im Yang Tosu sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. Akan tetapi, lagi-lagi tangan ketua Hong-tan-pai ini melekat dan tenaga saktinya membanjir keluar tanpa dapat ditahannya lagi!
Tubuh Chou Kian K i yang menerima tenaga sakti dari empat orang itu kini berkelojotan dan mukanya semakin merah, uap yang mengepul dari ubun-ubun kepalanya semakin tebal. Dia seperti sedang sekarat akan tetapi tetap dalam keadaan duduk karena seolah-olah dadanya melekat pada tangan Thian Beng Siansu sehingga tertahan dan tidak dapat terguling. Tubuhnya berkelojotan dan tersentak- sentak seperti dimasuki aliran listrik!
Tiga orang datuk itu merasa tubuhnya lemas. Dengan gelisah mereka merasakan betapa tenaga sinkang mereka yang dihimpun selama bertahun-tahun itu membanjir keluar tanpa dapat mereka cegah. Kalau hal ini berlangsung lama, mereka akan kehabisan tenaga dan menjadi orang-orang tua yang loyo tanpa tenaga!
Tak lama kemudian setelah tenaga sakti mereka sudah lebih dari setengahnya tersedot, tiba-tiba Kian Ki yang masih berkeiojotan itu mengeluarkan bentakan nyaring seperti suara seekor binatang buas dan kedua tangannya didorong ke arah tubuh empat orang kakek tua.
"Aaarrggghhhhh ............ blarrr !" Tubuh empat orang kakek itu terpental
dan terlempar sampai tiga empat tombak jauhnya. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, biarpun tubuh mereka terasa lemah kehabisan tenaga, mereka dapat mengatur keseimbangan tubuh mereka sehingga mereka jatuh terduduk, tidak sampai terbanting.
Biarpun tubuh mereka lemas karena sebagian besar tenaga sakti mereka hilang, tiga orang kakek itu bangkit di mengeluarkan senjata mereka masing-masing. Kwan In Su mencabut pedangnya, Im Yang Tosu melolos sabuk kulit ularnya, dan Kwee Cin Lok atau Hongsan siansu juga mencabut pedangnya. Mereka bertiga menghampiri dan mengepung kakek tua renta yang kini setelah tadi terlempar, juga duduk bersila itu. "Orang jahat, apa yang telah kau lakukan???" bentak Hongsan Siansu sambil mengancam dengan pedangnya. Dua orang rekannya juga sudah mengancam dengan senjata mereka. Thian Beng Siansu membuka mata, senyum mengejek lalu berkata, "Orang-orang tolol, aku telah menyempurnakan dan membantu kalian membentuk seorang murid yang kelak akan dapat kalian banggakan, dan kalian bertiga hendak membunuh aku? Hmrnmm, apa kalian kira dengan sisa tenaga kalian itu kalian akan mampu membunuhku? Bodoh, tanpa ada yang membunuh pun, setelah selesai apa yang hendak kulakukan, aku akan mengakhiri hidupku sendiri.
Aku masih harus menyempurnakan gerakan ilmu silatnya agar tenaga yang sudah terhimpun dalam dirinya dapat dipergunakan sebaiknya."
Mendengar ini, baru tiga orang Itu menyadari apa yang telah terjadi. Mereka bertiga segera menoleh dan memandang ke arah murid mereka. Kini Kian Ki tidak berkelojotan lagi, melainkan duduk bersila dengan tegak seperti sebuah arca dan wajahnya tampak tenang dan berseri, sama. sekali tidak memperl lihatkan tanda kesakitan. Kini mereka maklum bahwa kakek tua renta Ini tadi bukan berniat membunuh KianKi melainkan menyalurkan tenaga saktinya untuk dipindahkan ke tubuh murid itu. Ketika mereka bertiga hendak mencegah otomatis tenaga sakti mereka yang di kerahkan untuk menarik lengan kakek itu ikut tersedot. Hal ini berarti bahwa Kiai Ki telah menerima tenaga sakti dar imereka berempat! Kalau mereka masmg-masing merasa kehilangan sebagian besar tenaga sakti mereka, dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga sakti yang di pindahkan ke dalam diri Kian Ki! Pantai saja tadi, dalam keadaan tidak sadar karena seperti "mabuk" atau sekarat dibanjiri tenaga sakti demikian banyaknya, sekali dorong dia dapat membuat mereka berempat terpental!
Kalau begitu, engkau hendak menurunkan ilmumu kepada murid kamu Chou Kian Ki? Akan tetapi mengapa, Thian Beng Siansu? Mengapa engkau lang sama sekali tidak kami kenal, juga jidak dikenal Chou Kian Ki, tiba-tiba tidak mengajarkan ilmumu kepadanya, bahkan telah memindahkan tenaga saktimu dan tenaga sakti kami kepadanya?"
Kakek tua itu menghela napas panjang, kambil memejamkan matanya, dia bicara berlahan seperti kepada dirinya sendiri.
"Aku telah berdosa melanggar larangan dan sumpah. Aku adalah pewaris ilmu Keluarga Kok karena itu aku harus mati. Akan tetapi sebelum itu, aku harus melengkapi dulu dosaku, yaitu mengajarkan ilmu Keluarga Kok kepada muridku, yaitu pemuda yang menjadi murid kalian itu. Biar aku mati untuk dia karena hanya dia yang akan mampu kelak memenuhi hukum Keluarga Kok."
Thian Beng Siansu berhenti sebentar untuk menghela napas panjang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Hong Siansu yang tadi bersama rekan-rekan merasa terkejut bukan main, untuk kata dengan hormat.
"Ah, kiranya Locianpwe adalah waris ilmu Keluarga Kok yang terkenal sebagai ilmu dewa itu!" kata Hong Siansu yang kini menyebut locianpwe kepada Thian Beng Siansu, sebutan untuk menghormat orang yang memiliki tingkat dan kedudukan lebih tua dan tinggi dalam dunia persilatan. "Akan tetapi artinya melanggar sumpah dan dosa kami menerima murid, dan mengapa pula cianpwe seolah sengaja melakukan langgaran itu?"
"Ada seorang murid pewaris ilmu keluarga Kok yang melanggar larangan itu dan aku tidak berhasil membunuhn Karena itu aku sengaja mengambilmu dan mengorbankan nyawa karena melanggar sumpah, agar murid itu kelak menyempurnakan tugasku, yaitu membunuh murid yang melanggar sumpah itu."
Pada saat itu, Kian Ki telah berhasil mengendalikan tenaga sin-kang yang amat kuat yang tadi memenuhi tubuhnya. Dia berhasil menghimpun tenaga itu ke dalam tiantan (pusat di perut bawah) sehingga kesadarannya kembali dan dia sempat mendengar ucapan Thian Beng Siansu. Hatinya merasa girang bukan main. Kakek sakti itu mampu mengalahkannya dalam waktu beberapa gebrakan saja dan hal ini saja sudah cukup baginya untuk merasa tunduk dan kagum, juga mendorong keinginannya untuk berguru kepada kakek sakti itu. Apalagi setelah dia menyadari bahwa kakek itu telah menyalurkan dan memindahkan sinkangnya kepadanya, bahkan telah menyedot dan memindahkan pula sebagian besar tenaga sakti ketiga orang gurunya. Maka kini cepat dia menghampiri dan berlutut di depan Thian Beng Siansu.
"Teecu Chou Kian Ki mohon petunjuk agar kelak teecu pantas menjadi murid Suhu Thian Beng Siansu dan dapat meraih cita-cita teecu'."
Thian Beng Siansu tersenyum lemah Sebagian besar tenaganya sudah hilang dipindahkan ke dalam tubuh Kian Ki dan karena usianya sudah hampir seratus tahun, maka kehilangan sebagian besar sin-kangnya itu membuat tubuhnya menjadi lemah dan lemas.
"Chou Kian Ki, tenaga sakti yang besar dalam tubuhmu itu tidak akan banyak gunanya apabila tidak disertai penguasaan ilmu silat yang tinggi dan yang sesuai dengan penggunaan tenaga sin-kang yang besar. Aku dapat mengajarkan ilmu silat itu kepadamu, ilmu. silat pusaka Keluarga Kok, akan tetapi dengan dua syarat yang harus kau pegang teguhdengan janji sumpah."
"Teecu sanggup dan bersedia, Suhu Harap Suhu menjelaskan apakah dua syarat yang Suhu perintahkan itu!" katai Kian Ki dengan tegas.
"Pertama, engkau tidak boleh mengajarkan ilmu pusaka Keluarga Kok kepada siapapun dan kalau engkau melanggar larangan ini, engkau harus membunuh diri seperti yang kulakukan. Ke dua, telah menguasai ilmu pusaka Keluarga Kok, engkau harus mencari dan menghukum mati pewaris ilmu Keluarga Kok yang telah melakukan pelanggaran, yaitu Thai Kek Siansu dan murid-muridnya! Nah, berjanjilah dengan sumpah!"
Dengan suara lantang dan tegas Kian Ki bersumpah. "Aku Chou Kian Ki, bertumpah di depan Suhu Thian Beng Siansu bahwa setelah mempelajari ilmu pusaka Keluarga Kok, kelak aku tidak akan mengajarkan ilmu itu kepada seorang murid. Dan kedua, aku bersumpah akan mencari dan menghukum mati Thai Kek Siansu dan murid- muridnya karena dia telah bersalah melanggar sumpah Keluarga Kok." Thian Beng Siamu mengangguk-angguk senang. Akan tetapi Hongsan Siansu yang merasa khawatir bukan main mendengar Kian Ki bersumpah untuk membunuh Thai Kek Siansu, kakek yang amat sakti itu, lalu bertanya.
"Locianpwe, apakah Thai Kek Siansu itu juga pewaris ilmu Keluarga Kok?"
"Dia adalah keponakan muridku. "Dia melanggar hukum telah mempunyai murid, maka harus dibunuh. Karena aku sudah tua dan tidak dapat melaksanakan hukuman itu, maka aku tugaskan Kian untuk membunuhnya dan untuk itu, aku rela berkorban nyawa."
Sejak saat itu, Thian Beng Sian tidak mau membuka mulut untuk bicara lagi. Semua pertanyaan tidak dijawabnya dan dia hanya tekun menurunkan ilmu silat warisan leluhur Keluarga Kok kepada Chou Kian Ki. Selama enam bulan dia melatih dengan tekun sampai Kian benar-benar dapat menguasai ilmu silat yang dapat dimainkan dengan tanga kosong maupun dengan senjata.
Pada suatu pagi mereka mendapatkan Thian Beng Siansu telah mati dalam kamarnya, mati dalam keadaan tubuh bersila. Cepat Hongsan Siansu memeriksa tubuhnya dan mendapat kenyataan bahwa kakek itu sama sekali tidak terluka dia mati karena kehabisan napas dan melihat betapa dadanya mengembung besar maka dia dapat menduga bahwa kakek itu mati karena bunuh diri dengan menahan napas sampai putus! Kini mengertilah mereka semua mengapa Thian Beng Siansu mengatakan bahwa dia rela berkorban nyawa. Dia sengaja melanggar sumpah Kelurga Kok, sengaja mengambil Kian Ki sebagai murid, kemudian dia melakukan bunuh diri. Hal ini dia lakukan agar ada yang lain yang mewakilinya untuk menghukum Thai Kek Siansu dan murid-muridnya yang dianggap melanggar sumpah keluarga Kok! Setelah menerima pemindahan tenaga sakti dari empat orang kakek sakti, kemudian menguasai ilmu silat pusaka leluhur Keluarga Kok, tentu saja tingkat kepandaian Kian Ki naik tinggi sekali! jauh lebih tinggi daripada tingkat semua gurunya. Sayang sekali bahwa ketinggian hati dan kesombongannya juga naik tingkatnya menjadi tinggi sekali!
Pada waktu itu, Pangeran Chou Ban 'eng sudah kembali ke kota raja. Me ului bekas kerabat Kerajaan Chou yang lasih tinggal di kota raja dan bukan saja tidak diganggu Kaisar Sung Thai Cu bahkan mereka diperlakukan dengan diberi kebebasan bekerja, berdagang ataupun menerima jabatan, akhirnya Pangeran Chou Ban Heng dapat diterima oleh kaisar Sung Thai Cu dan diampuni setelah berjanji bahwa dia.tidak akan mengadakan pemberontakan dan tidak lagi ingin mendirikan kembali Kerajaan Chou.
Karena Pangeran Chou Ban Heng dahulunya adalah seorang panglima daerah Selatan, maka oleh Kaisar Sung Thai Cu dia diberi pangkat sebagai penasihat Angkatan Perang Kerajaan Sung. Sunguhpun pangkat ini membuat dia tidak aktip dalam ketentaraan, hanya duduk kantor, namun setidaknya membuat terpandang sebagai orang yang berpengalaman di bidang ketentaraan dan ia dipercaya oleh Kaisar Sung Thai Cu. Tentu saja Pangeran Chou Ban Heng tidak pernah menghilangkan cita-cita untuk membangun kembali Kerajaan Chou agar dia dapat menjadi kaisar baru kerajaan Chou. Akan tetapi karena rasanya akan sukar untuk melakukan pemberontakan melalui perang, berhubung sulitnya menghimpun pasukan yang besar dan kuat, maka dia mengambil jalan atau menggunakan cara lain. Dia mencari kedudukan dan pengaruh dengan memegang kedudukan yang lumayan tingginya, Dia akan menghimpun kekuatan dari dalam, kalau mungkin menyalakan api pemberontakan dari dalam, yaitu dari kotaraja dengan dukungan para pejabat tinggi, Dan terutama sekali mencari kesempatan untuk dapat membunuh Kaisar atau menggantikan Kaisar Sung Thai Cu dengan cara lain yang dapat dia pengaruhi, Demikianlah, dengan tekun Pangeran Chou Ban Heng membuat persiapan rahasia,bagaikan seekor laba- laba merajut jaring untuk menangkap dan menjebak korbannya.
ooOOoo
Hutan itu lebat sekali. Hutan-hutan di daerah Pegunungan Ceng-lim-san memang terkenal lebat dan di situ terdapat banyak binatang hutan. Karena itu, banyak pemburu yang berdatangan untuk berburu binatang. Saking luasnya hutan-hutan di situ, maka selalu tampak bunyi dan seorang pemburu jarang bertemu dengan orang, apalagi dengan pemburu lain. Yang paling disukai para pemburu adalah banyaknya binatang kijang di hutan-hutan itu.
Pada suatu pagi, dua orang laki-laki muda berjalan di dalam hutan. Masing-masing memanggul seekor kijang yang merupakan hasil buruan mereka. Mereka membawa busur dan anak panah, juga dipinggang mereka bergantung golok, pakaian mereka dari kulit menunjuki bahwa mereka adalah pemburu. Seorang dari mereka bertubuh tinggi besar seperti raksasa, tubuhnya berotot melinglingkar dibawah kulit, kepalanya juga besar dengan mata melotot dan tampak gagah walaupun wajah itu tidak dapat dibilang tampan.Usianya tentu sekitar empat puluh tahun. Orang kedua masih muda, usianya sekitar dua puluh tahun wajahnya tampan dan kulitnya putih.
"Paman, aku sudah lelah sekali. Sekali.Semalam hampir tidak tidur dan kita sudah berrjalan jauh." keluh yang muda.
Pamannya, yang bertubuh tinggi besar Menjawab. "Ah, Dusun Kui-cu tak jauh lagi, paling banyak tinggal lima mil lagi. lebih baik cepat-cepat sampai ke sana, kita dapat makan, mandi, dan mengaso, kita boleh tidur sepuasnya, A Cin!"
Tiba-tiba terdengar suara wanita, merdu namun mengandung penuh teguran. Alhhh, kalau sudah lelah dan mengantuk, jangan dipaksa. Kasihan Si Tampan ini!"
Dua orang itu terkejut dan cepat membalikkan tubuh ke kanan. Mereka terbelalak dan merasa bulu tengkuk mereka berdiri meremang. Yang berdiri di lepan mereka adalah seorang wanita muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya dan mengenakan pakaian mewah.Wanita itu cantik sekali,kecantikan yang amat menonjol karena ditambah dengan polesan bedak dan gincu, sesungguhnya wajah itu memang sudah cantik manis. Namun ia pesolek sekali, bukan saja rambutnya yang diminyaki dandigelung rapi dihias bunga-bunga berwarna merah,wajahnya yang berbentuk bulat telur itu, yang pada dasarnya sudah putih bersih ditambah lagi dengan bedak dan pipinya diberi yanci tipis sehingg kemerahan, bibirnya yang bentuknya indah dan seolah menantang itu semakin merah oleh gincu, juga pakaiannya dari sutera berkembang yang mewah, tubuhnya yang langsing itu masih mengenaka perhiasan dari emas permata! Pantasnya wanita ini adalah seorang puteri istana Karena itu, paman dan keponakan itu merasa ngeri. Mana mungkin ada puteri istana tiba-tiba saja muncul di dalam hutan lebat seperti ini? Gadis cantik itu pasti bukan manusia, melainkan siluman Pada masa itu, hampir semua orang percaya akan adanya siluman-siluman, yaitu setan berujud hewan seperti serigal rase, anjing, babi, dan sebagainya yang dapat berganti wujud menjadi wanita cantik yang suka menggoda pria untuk kemudian dijadikan korbannya!
Akan tetapi hanya sebentar saja dua orang pemburu itu merasa seram. Mereka adalah pemburu-pemburu yang sudah biasa berkeliaran dalam hutan-hutan lebat, sudah sering menghadapi ancaman bahaya dari binatang-binatang buas. Mereka bukan orarg-orang lemah, maka setelah dapat mengatasi kekagetan mereka, laki- laki bertubuh tinggi besar yang menjadi paman itu membentak sambil mencabut goloknya.
"Siluman jahat! Jangan ganggu kami!" Karena merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan siluman, dia mengancam dengan goloknya agar siluman itu menjadi takut dan meninggalkan mereka. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak kelihatan takut bahkan tersenyum manis sekali. Karena menganggap bahwa wanita itu tentu siluman, senyum yang amat manis ini bagi laki-laki tinggi besar itu bahkan tampak menyeramkan sekali, Akan tetapi si keponakan yang muda, yang namanya disebut A cin tadi, memandang dengan kagum dan terpesona. Belum pernah dia melihat seorang gadis secantik itu!
"Hi-hik," Gadis itu terkekeh sehingga mulutnya agak terbuka, memperlihatkan rongga mulut dan ujung lidah yang kemerahan dan deretan gigi putih berkilauan. "Kalau aku siluman dan mengganggumu, engkau mau apa?"
Merasa ditantang, laki-laki tinggi besar itu menjadi marah. "Aku akan mengirim kau ke neraka!" bentaknya da dia sudah menyerang dengan goloknya Serangannya cukup dahsyat karena dia adalah seorang pemburu yang terbiasa hidup keras menghadapi banyak tantangan. Tenaganya besar dan gerakannya tangkas ditambah nyali yang besar. Ketika dia menyerang, gerakan goloknya yang menyambar kuat menimbulkan suara bersiutan.
Akan tetapi gadis cantik itu dengan tenang menghadapi serangan pemburu itu. Hanya dengan sedikit gerakan ringan saja ia sudah dapat mengelak dari serangkaian serangan terdiri dari tiga kali bacokan dan dua kali tendangan.
"Cukup! Berhentilah menyerang atau engkau akan mati!" wanita itu berseru sambil menyentuh satu di antara tiga tangkai bunga penghias rambutnya.
Akan tetapi pemburu yang merasa sasaran dan mengira bahwa dengan jurus mengelak berarti "siluman" itu takut kepadanya, menyerang lagi dengan lebih ganas. "Mampuslah!" bentak wanita itu dan Ungan kirinya yang mencabut setangkai bunga merah dari rambutnya bergerak. Nampak sinar merah menyambar dan pemburu itu menjerit, goloknya terlepas ban tubuhnya roboh terjengkang dan tewas seketika.
Keponakannya memandang dan melihat betapa di dahi pamannya, tepat di antara sepasang alisnya, menancap bunga merah yang agaknya disambikan wanita itu.
Acin, pemburu muda itu, memandang kepada Si Wanita dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya sama sekali untuk melawan. Dia sendiri belajar silat dari pamannya. Pamannya yang jauh lebih tangguh darinya dia saja begitu muda roboh dan tewas di tangan siluman ini, apa lagi dia!
"Jangan............. jangan bunuh aku !" katanya sambil melangkah mundur.
Wanita itu melangkah maju mengha pirinya. "Jangan takut, pemuda tampan Siapa yang akan membunuhmu? Saya kalau engkau dibunuh.Kalau engkau memenuhi keinginanku dan mencintaku, engkau akan kubebaskan dan kuberi hadiah emas.
Akan tetapi kalau engkau menolak berarti engkau menghinaku dan engkau akan mati seperti Pamanmu itu Sudah ada dua orang pemuda yang terpaksa kubunuh karena menolak dan menghinaku, jangan engkau menjadi yang tiga. Mari kita pergi bersenang-senang.. Wanita itu lalu menggandeng tangan Acin yang tidak berani menolak. Dia merasakan telapak tangan yang hangat halus, mencium bau harum yang keluar dari tubuh wanita itu dan membiarkan dirinya dirangkul dan diajak pergi meninggalkan tempat itu.
"Tapi......... tapi ........ jenazah Pamanku “ Acin menoleh, memandang mayat
pamannya dengan gelisah.
"Mayat itu? Biar saja, nanti tentu ada binatang yang memakannya. Atau engkau lebih senang mati disini?”
"Tidak, tidak! Aku "
"Hayolah dan jangan banyak menolak membuat aku marah." Wanita itu merangkul pinggang pemuda itu dengan mesra dan menariknya pergi dari situ. Sambil merangkul ketat dengan mesra wanita itu menggandeng Acin keluar dari hutan.
Setelah keluar dari hutan dan tiba jalan umum yang sepi, di sana terdapat sebuah kereta kecil dengan dua berkuda. Dua ekor kuda itu dilepas ditambatkan pada batang pohon dimana mereka sedang makan rumput.
"Mari, Sayang. Bantu aku memasang kuda-kuda itu." kata wanita cantik sambil melepaskan rangkulannya setelah untuk kesekian kalinya ia mencium pemuda itu. Acin adalah seorang pria yang normal dan sehat, akan tetapi dirangkul, dicium dengan sikap mesra oleh seorang wanita muda yang demikian cantik, dia sama sekali tidak merasa terangsang. Bagaimana mungkin kalau ia mengingat betapa wanita itu telah membunuh pamannya? Sampai sekarang ia masih menganggap bahwa wanita itu adalah siluman dan menurut dongeng yang sering Dia dengar, siluman yang berujud wanitu cantik suka mempermainkan pria muda dan menghisap darah mereka sampai kering. Dia akan mati kehabisan darah! Tentu saja dia sama sekali tidak terangsang, betapapun hangat, lembut dan harum tubuh wanita itu. Dengan jantung berdebar dan tangan gemetar, terpaksa Acin membantu wanita Itu memasang kuda di depan kereta. Kemudian wanita itu naik ke atas kereta, duduk di depan memegang kendali.
"Hayo, naiklah dan duduk di sebelahku sini" Wanita itu berkata. "Saya......... saya......... tinggal di sini saja " Acin berkata ketakutan.
"Apa? Engkau membantah?" Tiba-tiba wanita itu menggerakkan cambuk kudanya. "Tarrrrr !" Ujung cambuk itu melecut ke arah Acin.
"Aduhhhhh !" Acin berteriak dan meraba lehernya. Lecutan itu mengiris kulit
lehernya sehingga mengeluarkan sedikit darah! Terasa perih dan membuat Acin semakin ketakutan.
"Maaf, saya .............. saya tidak membantah "
"Hayo naik, cepat!" bentak wanita itu.
Acin tidak berani membantah lagi. Dengan tubuh gemetar dia naik ke atas kereta dan duduk di sebelah wanita itu seperti yang diisaratkannya. Wanita itu menjalankan dua ekor kuda itu dan menoleh kepada Acin sambil tersenyum.
"Kasihan engkau............ ! Sakitkah ?" Acin tidak berani bersuara, hanya
mengangguk.
Wanita itu lalu mendekatkan mukanya dan mencium leher Acin yang lecet sehingga ada sedikit darah membas bibirnya, la menjilat darah di bibirnya itu dan tampak senang.
"Selanjutnya turutilah semua perintahku dan cintailah aku maka engkau akan senang. Maukah engkau?"
Acin hanya dapat mengangguk-angguk merasa ngeri melihat wanita itu menjilati darah yang berada di bibirnya, ia mencium lehernya tadi. la Siluman, pasti siluman yang suka minum darah, demikian pikirnya dan dia menggigil.
Karena wanita itu duduk rapat sehingga tubuh mereka berdempetan maka ia dapa merasakan ketika tubuh pemuda Itu menggigil.
"Engkau kedinginan?"
Acin menggelengkan kepalanya.
"Kekasihku yang tampan, kenapa engkau diam saja? Hayo jawab, siapa namamu?" "Saya............ saya Liong Cin "
"Nama yang gagah, segagah dan sekaligus orangnya. Namaku Lai Cu Yin, orang- orang menyebutku Ang-hwa Niocu (Nona Bunga Merah), tapi engkau boleh memanggil aku Yin-moi (Dinda Yin) he-heh!" Gadis itu tersenyum lebar,
memperlihatkan lidahnya yang ujungnya meruncing dan merah. "Aku senang engkau menurut dan mau mencintaku. Dua orang pemuda dusun yang berani menolakku telah kubunuh, kalau engkau, yang bersikap baik dan mencinta, seperti para pemuda lain sudah-sudah tentu akan kubebaskan kuberi hadiah."