Si Rajawali Sakti Jilid 04

Jilid 04

“Sobat, sebelum kita menguji kemampuan kita, perkenalkan, aku bernama The Lun, seorang murid Hoa-san-pai yang mengikuti pertandingan ini untuk mencari pengalaman."

Lawannya juga membalas salam itu sambil tersenyum senang. Dia tadi juga melihat betapa lawannya yang menang dalam pertandingan pertama, tidak bertindak kejam terhadap lawannya.

"Sobat The Lun yang gagah, aku bernama Lai Ceng Gun dan seperti jua engkau, aku menaati perintah guruku untuk menguji kemampuan sendiri dan mencari pengalaman di sini." The Lun memandang kepada seorang laki-laki setengah tua, berusia sekitar lima puluh tahun yang tadi duduk bersama lawannya Laki-laki itu adalah guru dari Lai Ceng Gun, di dunia kangouw terkenal sebagai Ciong Kauwsu (Guru Silat Ciong) yang memiliki ilmu silat tinggi. Ciong Hoat, guru itu, tersenyum pula dan mengangguk anggukkan kepalanya ketika melihat calon lawan muridnya memandang kepadanya.

"Hei, kalian datang ke sini bukan untuk mengobrol, melainkan untuk pi-bu.. Hayo, mulailah bertanding!" tiba-tiba Boan Su Kok bangkit berdiri dan membentak dengan alis berkerut dan mata mencorong.

Mendengar ini, dua orang muda yang saling berhadapan itu menoleh dan memandang kepada sang juara itu. Diam-diam mereka merasa tidak suka melihat sikap Boan Su Kok yang demikian angkuh dan galak.

"Sobat Lai, mari kita mulai!" kata The Lun yang memasang kuda-kuda. Lai Ceng Gun mengangguk dan mereka lalu mulai saling serang dengan seru. Ternyata dua orang pemuda ini memang lihai dan gerakan mereka gesit dan cepat sehingga sebentar saja tubuh mereka sudah berubah menjadi bayangan yang berkelebatan. Ilmu silat tangan kosong Hoasanpai memang indah dipandang dan mengandung tenaga yang terselubung gerakan lembut. Sebaliknya, ilmu silat yang dimainkan Lai Ceng Gun adalah ilmu silat keturunan keluarga Ciong yang merupakan ilmu silat yang bersumber dari aliran campuran antara Siauwlimpai dan silat dari daerah Hunam yang sifatnya keras. Maka terjadilah pertandingan yang amat seru. Namun setelah lewat tiga puluh jurus, tampaklah bahwa ting kat kepandaian Lai Ceng Gun masih lebih tinggi sedikit dibandingkan lawannya. The Lun mulai terdesak oleh serangan Lai Ceng Gun yang dilakukan dengan gencar. Dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas Terutama serangan kedua kaki Lai Cen Gun yang amat berbahaya karena tendangan seperti itu merupakan andalan Siauwlimpai Utara. The Lun hanya mampu mengelak atau menangkis dan mengandalkan kelincahannya untuk menghindarkan diri.

Akan tetapi, setelah tahu benar bahwa kalau dilanjutkan pun dia pasti akari kalah, The Lun lalu melompat jauh ke belakang, mengangkat tangan depan dada lalu berkata. "Sobat Lai Ceng Gun, aku mengaku kalah!" Setelah berkata demikian murid! Hoasanpai ini lalu melompat turun dari atas tanah tinggi.

Sementara itu, Lai Ceng Gun dengan ramah berkata, "Sobat The Lun, terima kasih, engkau telah mengalah." Dia pun turun dan menghampiri gurunya, ingin melepaskan lelah lebih dulu karena dia sudah dua kali berturut-turut bertanding.

Akan tetapi Boan Su Kok sudah melompat dari bangkunya ke tengah panggung tanah tinggi. Agaknya untuk memamerkan tubuhnya yang kokoh, dia membusungkan dadanya, memandang ke arah Lai Ceng Gun dan berteriak.

"Orang she Lai! Engkau yang menjadi penantang tunggal dan harus bertanding melawan aku untuk menentukan siapa yang pantas menjadi Thian-he Te-it-Bu-hiap tahun ini. Hayo naiklah dan tandingi aku!"

Dari tempatnya di bawah, Ciong Kauwsu berseru dengan suaranya yang lantang bergema. "Muridku Lai Ceng Gun baru saja bertanding berturut-turut dua kali, sudah sepantasnya kalau dia beristirahat sejenakl"

"Ho-ho, kalau sudah berani datang ke sini, kenapa takut lelah? Ataukah takut melawanku? Kalau takut, pergi saja dari.sini!" kata Boan Su Kok dengan nada sombong.

Mendengar ucapan yang sombong itu Ciong Kauwsu menjadi merah mukanya Akan tetapi sebelum dia mengeluarkar ucapan marah, muridnya berkata, "Sudah lah, Suhu, biar teecu melawannya dan hendak teecu lihat bagaimana kelihaian Si Sombong itu." Setelah berkata demikian, tubuhnya melompat dan malayang ke atas tanah tinggi, berhadapan dengari Boan Su Kok.

"Boan Su Kok, aku telah siap menandingimu!" kata Lai Ceng Cun.

Boan Su Kok mencabut siangkiam (sepasang pedang) yang tergantung di punggungnya, memegang dengan kedua tangannya lalu memainkan sepasang pedang itu sehingga tampak dua sinar menyambar-nyambar dan menari-nari di depannya.

"Lai Ceng Gun, hayo cabut senjatamu dan tandingilah siangkiamku ini!" tantang Boan Su Kok.

Lai Ceng Gun menggelengkan kepalanya. "Boan Su Kok, aku datang ke sini untuk menguji ilmu silat, bukan untuk berkelahi. Aku tidak mau menggunakan senjata."

"Ha-ha-ha! Pendekar macam apakah ini yang tidak berani melihat darah mengalir? Orang she Lai, kita bukan anak kecil yang hanya main-main. Mari bertanding sungguh-sungguh dan kita buktikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam pertandingan ini. Siapa yang patut mendapatkan gelar Jagoan Nomor Satu!" Boan Su Kok kembali mempermainkan sepasang pedangnya sehingga terdengar bunyi berdesing.

"Aku tetap tidak mau menggunakan senjata. Aku hanya mau bertanding menggunakan kaki tanganku saja." kata Lai Ceng Gun kukuh. "Ha-ha-ha! .Saudara-saudara para pendekar gagah perkasa! Lihat penantangku ini takut menghadapi senjataku!"

"Boan Su Kok, aku sama sekali tidak takut. Aku tetap akan menghadapimu dengan tangan kosong. Kalau engkau begitu pengecut untuk melawan aku yang bertangan kosong dengan senjata, silakan.

Aku tidak takut!"

Sepasang mata sang juara itu melotot dan sinarnya mencorong.

"Keparat kurang ajar! Kau bilang aku pengecut? Lihat, aku akan meremukkan kepalamu dengan kedua tanganku!" Dia melemparkan sepasang pedangnya ke arah belakangnya. Sepasang pedang itu meluncur cepat ke arah Tung Hai-tok, guru Si Juara itu. Dengan tenang, sambil terkekeh, Tung Hai-tok menyambut sepasang pedang muridnya itu dengan kedua tangan lalu meletakkannya di depannya.

Demonstrasi yang dilakukan guru dan murid ini saja sudah memperlihatkan betapa lihainya mereka berdua itu.

Boan Su Kok sudah memasang kuda-kuda dengan sikap dibuat-buat agar tampak gagah, lalu dia membentak, "Bocah she Lai, bersiaplah untuk mampus!"

Secara tiba-tiba dia telah menyerang dengan gerakan dahsyat. Agaknya Boan Su Kok hendak memperlihatkan ketangguhannya dengan merobohkan lawan secepatnya, maka begitu menyerang dia telah menggunakan pukulan ampuh sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Lai Ceng Gun yang bertubuh sedang itu adalah seorang pemuda yang tabah dan tenang. Dia telah mengusai ilmu yang diajarkan gurunya dan karena dia membantu gurunya sebagai pelatih utama para murid gurunya, maka latihan setiap hari itu membuat gerakannya menjadi matang. Dengan cepat dan tangkas dia mengelak sambil membalas dengan tendangan kaki dari samping. Melihat betapa lawannya bukan saja dapat mengelak akan tetapi secara kontan dengan langsung membalas serangannya, Boan Su Kok tidak berani memandang rendah. Dia pun melompat ke samping lalu cepat dia mendorongkan tangan kanan untuk mencengkeram leher lawan. Juga cengkeraman ini merupakan serangan maut. Lai Ceng Gun dengan gesit miringkan tubuhnya. Akan teapi Boan Su Kok yang haus kemenangan itu, .dengan semangat menggebu telah menyusul dengan serangan pukulan tangan dari atas ke arah kepala lawan!

Lai Ceng Gun maklum akan kehebatan pukulan ini. Kalau dia mengelak, terdapat bahaya tangan yang meluncur dari atas itu akan mengejar kepalanya, maka cepat dia mengerahkan tenaga pada lengan kanannya untuk menangkis tangan, kiri lawan yang menghantam kepalanya dari atas.

"Wuuuuttttt dukkk!!" Dua lengan bertemu dan keduanya tergetar sampai

merasa betapa lengan mereka terpental dan nyeri. Akan tetapi Boan Su Kok yang menjadi marah kini mendorongkan; tangan kanannya ke arah dada lawan!

Lai Ceng Gun cepat menyambut dengan dorongan tangannya pula. Dua telapak tangan kanan dan kiri bertemu. "Desss !" Akibatnya, tubuh Lai Ceng Gun mundur dua langkah, akan tetapi

tubuh Boan Su Kok yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang sampai empat langkah! Hal ini menunjukkan bahwa Lai Ceng Gun memiliki sin-kang yang lebih kuat. Bukan main marahnya Boan Su Kok. Kekalahannya dalam adu tenaga tadi tidak dapat disembunyikan dan semua yang menonton pasti tahu bahwa dia kalah kuat!

Maka dengan marah dia lalu menerjang maju sambil mengeluarkan teriakan melengking. Lai Ceng Gun menyambutnya dengan sikap tenang.

Kembali mereka bertanding, saling serang dengan seru sehingga para penonton merasa tegang. Tingkat kepandaian silat mereka memang tidak berselisih banyak. Kalau Lai Ceng Gun menang kuat tenaga saktinya, ilmu silatnya tidak seganas yang dimainkan Boan Su Kok sehingga kedua kelebihan pada diri masing-masing ini membuat pertandingan itu ramai dan seru bukan main.

Lima puluh jurus telah lewat dan belum tampak ada yang menang dalam pibu itu. Boan Su Kok yang tahu bahwa kalau mengadu tenaga sakti secara langsung dia yang akan rugi, kini tidak mau mengadu tenaga secara langsung. Sepak terjangnya ganas dan buas, bagaikan seekor singa terluka yang marah. Akan tetapi Lai Ceng Gun tarrpak tenang dan gerakannya mantap, pertahanannya kokoh bagaikan bagaikan batu karang.

"Remuk kepalamu!" Boan Su Kok membentak dan kepalan tangannya yang sebesar kepala manusia itu mendorong dan menyambar ke arah kepala Lai Ceng Gun. Murid Ciang Kauwsu atau yang di Hunam terkenal dengan sebutan Hunam Taihiap (Pendekar Dari Hunam) itu cepat mengerahkan tenaga untuk menyambut yang berarti hendak mengadu tenaga. Boan Su Kok sudah merasa gentar untuk mengadu tenaga, maka cepat dia menarik kembali tangannya yang memukul. Kesempatan itu dipergunakan Lai Ceng Gun untuk menggunakan tangan yang terbuka menampar pundak lawan.

“Wuuuttttt plakkk!!” Tubuh Boan Su Kok terhuyung ke belakang dan mukanya

berubah semakin hitam. Orang ini memang tidak tahu diri. Kalau dia tidak dibuat mata gelap oleh kemarahan, tentu dia tahu bahwa Lai Ceng Gun memang sengaja tidak mau mencelakainya. Kalau pukulan atau tamparan tangan tadi mengenai leher atau dadanya, tentu keselamatannya terancam maut. Baru tenaga tamparan itu saja sudah dibatasi, kalau dikerahkan semua, tentu tulang pundaknya sudah remuk. Akan tetapi Lai Ceng Gun membatasi tenaganya sehingga tamparan pada pundak tadi hanya membuat Boan Su Kok terhuyung-huyung dan tidak terluka sama sekali.

Boan Su Kok marah sekali dan bagaikan seekor binatang buas, dia menggereng dan sudah menerjang dengan tubrukan nekat. PukulanBoan Su Kok kearah dadanya dihindarkannya dengan menari tubuhnya ke belakang sehingga pukulan itu tidak sampai. Akan tetapi tiba-tiba saja ada benda kecil mencuat dari bawah lengan Boan Su Kok.

"Wuuuttt........ crattt !!" Tangan Boan Su Kok memang tidak mencapai

sasaran, akan tetapi dari bawah lengannya, tersembunyi di dalam lengan bajunya, tiba-tiba mencuat sebatang pisau dan pisau ini mengenai dada Lai Ceng Gun! Biarpun tidak terlalu dalam, namun pisau itu telah melukainya sehingga tubuh Lai Ceng Gun terhuyung ke belakang.

"Heiii........... curang !" Hunan Taihiap melompat ke atas panggung tanah

tinggi.

"Jangan mencampuri!" Tiba-tiba Tung Hai-tok juga melayang ke tempat itu dan begitu tangannya didorongkan ke arah Ciong Kauwsu, angin pukulan yang dahsyat menyambar. Ciong Hoat, Pendekar Hunan itu cepat menyambut dengan dorongan tangannya. Dua tenaga sakti jarak jauh saling bertemu.

"Wuuuttt............ desss !" Tubuh guru silat Ciong terdorong ke belakang. Dia

terkejut dan cepat turun kembali karena tidak ingin bermusuhan dengan Tung Hai- tok yang amat lihai. Tadi pun dia sama sekali tidak bermaksud untuk mencampuri atau mengeroyok. Dia hanya ingin protes karena Boan Su Kok bermain curang, menggunakan senjata rahasia dalam pertandingan. Sambil tertawa Tung Hai-tok juga melompat kembali ke tempat duduknya.

Boan Su Kok yang melihat lawannya sudah terluka, kini tanpa banyak cakap lagi sudah menerjang dengan pukulan mautnya setelah pisau itu otomatis masuk dan bersembunyi kembali ke dalam lengan baju.

"Remuk kepalamu!" bentaknya sambil menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala Lai Ceng Gun yang masih sempoyongan dan tangannya mendekap dada yang luka mengucurkan darah.

"Wuuush........... plakkk! Ahhhhh !" Boan Su Kok melangkah ke belakang

dengan kaget dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya karena tangan kanannya terasa panas sekali. Dia terkejut dan heran, akan tetapi terutama sekail marah bukan main melihat bahwa yang menangkis pukulannya tadi adalah seorang gadis cantik yang berdiri sambil tersenyum-senyum mengejek kepadanya.

Lai Ceng Gun yang baru saja diselamatkan oleh gadis yang tiba-tiba muncul dan menangkis pukulan Boan Su Kok tadi, menoleh kepada gurunya dan Ciong Kauwsu memberi isarat dengan tangan agar dia turun. Pemuda itu lalu melompat turun dan gurunya segera memeriksa luka di dadanya, lalu mengajaknya pergi dari situ.

Setelah mengamati gadis itu, Boan Su Kok hampir tidak percaya bahwa gadis itu yang tadi menangkis pukulannya. Gadis itu bertubuh sedang, ramping dengan pinggang kecil namun tubuhnya sintal dan padat dengan lekuk lengkung yang menggairahkan. Rambutnya hitam panjang dikuncir ke belakang dan diikat pita merah. Di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut melingkar-lingkar.

Wajahnya berbentuk bulat telur, dagunya runcng. Sepasang matanya yang kedua ujungnya meruncing ke atas itu bersinar-sinar seperti bintang. Mulutnya selalu membayangkan senyum sinis, dengan bibir yang selalu merah basah tanpa gincu, hidungnya kecil mancung lucu. Pakaiarnnya serba hitam sehingga kulit lengan, Juga lehernya, tampak semakin putih mulus. Setelah kini melihat gadis itu ternyata amat cantik, apalagi mulut yang mungil itu tersenyum-senyum kepadanya, Boan Su Kok merasa semangatnya seperti melayang meninggalkan tubuhnya. Dia bukanlah seorang yang mata keranjang, akan tetapi melihat gadis secantik ini, seperti seorang dewi, laki-laki mana yang tidak akan terpesona? Akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya dan dia pun melangkah maju sambil tersenyum menyeringai sehingga mukanya makin menyeramkan. Giginya tampak mengkilap berada di tengah wajahnya yang berkulit hitam arang itu.

"Nona, apakah engkau hendak mengikuti pi-bu? Menurut peraturannya, untuk menjadi penantangku engkau harus mengikuti pertandingan awal, mengalahkan para peserta lainnya lebih dulu. Kalau engkau keluar sebagai pemenangnya, barulah engkau berhak menjadi penantangku"

"Gadis itu bertolak pinggang. "Aku tidak ingin' mengikuti pibu, aku hanya ingin menantang siapa yang berani mengaku sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap di sini! Karena aku baru datang, maka aku tidak tahu siapa yang menjadi juara yang akan mempertahankan gelarnya."

"Akulah juaranya, Nona. Aku, Boan Su Kok, dua tahun yang lalu merebut gelar Jagoan Nomor Satu dan sampai sekarang belum terkalahkan. Akulah sang juara!" Suara Boan Su Kok terdengar penuh kebanggaan dan dia membusungkan dadanya yang bidang dan kokoh.

Tiba-tiba gadis itu tertawa. Tertawa bebas lepas, tidak seperti para gadis lain di jaman itu kalau tertawa, tanpa suara dan menutupi mulut dengan tangan. Gadis ini tertawa terbahak seperti seorang laki-laki, bertolak pinggang, menengadahkan muka dan membuka mulut lebar-lebar, tubuhnya terguncang ketika tertawa.

"Ha-ha-ha-heh-heh-heh !!"

Boan Su Kok terpesona memandang mulut yang terbuka itu. Kalau sepasang bibir yang tipis dan penuh itu berwarna merah, ketika mulut itu terbuka, tampak rongga mulut yang lebih merah lagi dan ujung lidah yang runcing dan merah muda. Mulut yang menggairahkan dan suara tawa itu pun merdu seperti suara nyanyian.

Boan Su Kok merasa penasaran juga mendengar ada suara tawa pula menyambut tawa gadis itu dari mereka yang hadir. Suara tawa gadis itu demikian bebas dan jelas disebabkan oleh perasaan yang geli dan merasa lucu sehingga suara tawa seperti itu mudah menular, membuat orang-orang lain ikut tertawa walaupun mereka tidak tahu apa gerangan yang ditertawakan gadis itu!

"Nona, kenapa engkau tertawa? Apa yang kau tertawakan?" tanya Boan Su Kok penasaran.

Mendengar pertanyaan ini, tawa gadis itu semakin menjadi. Kemudian, diselingi mara tawa geli, ia memandang ke empat juru dan berkata kepada mereka yang menonton di situ.

"Haiii kalian semua mendengar itu? Monyet Muka Hitam ini menjadi

Pendekar Silat Nomor Satu Di Dunia?

Ohhh tidak. , heh-he-heh!" la menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Boan

Su Kok dan terkekeh lagi. Boan Su Kok tadi terpesona oleh kecantikan gadis itu, biarpun, sekarang marah, dia masih dapat menahan kemarahannya bahkan kini dia membalas penghinaan itu dengan bujukan. "Nona, aku merasa kasihan dan sayang sekali kalau sampai engkau mati atau terluka dalam pertandingan, maka jauh lebih baik engkau yang cantik ini menjadi isteriku saja karena aku juga belum bensteri!"

Gadis itu tidak menghentikan senyumnya yang kini tampak mengejek. "Boan Su Kok, Monyet Muka Hitam, jadi engkau belum mempunyai isteri? Kebetulan sekali, aku mempunyai peliharaan seekor lutung hitam, kiranya akan sepadan sekali kalau menjadi isterirnu!"

Kembali terdengar orang tertawa walaupun dengan hati merasa khawatir akan keberanian gadis rnuda belia itu. Gadis itu baru mulai dewasa, paling banyak delapan belas tahun usianya, akan tetapi berani sekali menghina dan mempermainkan seorang yang amat tangguh dan kuat seperti Boan Su Kok!

Boan Su Kok yang memang pada dasarnya bukan seorang mata keranjang, kini tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Rasa kagum dan berahinya seketika lenyap, terganti kemarahan yang mendatangkan nafsu membunuh. Mukanya kini berwarna hitam sekali, matanya mencorong seperti api membara dan hidungnya mendengus- dengus seolah hidung seekor sapi yang marah dan mengeluarkan uap!

"Gadis kurang ajar! Kau tidak tahu orang mengalah dan bersikap baik kepadamu! Engkau memang patut dihajar dan jangan bersambat kalau aku merusak kecantikanmu dan membuat engkau berubah menjadi buruk rupa. Hiaaaaahhh !"

Boan Su Kok sudah menerjang dengan ganasnya, bagaikan seekor harimau menubruk kelinci, dia menerkam dengan kedua tangannya membentuk cakar harimau untuk menangkap dan mencabik-cabik kulit putih mulut itu.

"Aih, Monyet Muka Hitam menjadi gila dan ngamuk!" Gadis itu mengejek dan dengan gerakan yang ringan luar biasa bagaikan seekor burung terbang taja dara itu sudah mengelak sehingga tubrukan Boan Su Kok mengenai tempat kosong. Dengan gerakan cepat dan mulutnya mengeluarkan gerengan buas Boan Su Kok sudah membalikkan tubuh dan menyerang bertubi-tubi dengan cengkeraman, pukulan, diseling tendangan kakinya yang panjang.

"Haiiit, luput!. Hemmm, gerakanmu lamban sekali, Monyet Hitam! Apakah engkau belum makan?" Gadis itu dengan lincahnya mengelak dan tubuhnya seolah berubah menjadi bayangan yang berkelebatan cepat sehingga sukar diikuti pandang mata.

Semua serangan yang dilakukan oleh Boan Su Kok dengan gencar dan bertubi-tubi itu sama sekal tidak pernah dapat menyentuh ujung baj gadis itu sehingga Boan Su Kok menja semakin marah dan penasaran!

Setelah serangan gencar itu berlangsung dua puluh jurus lebih, tiba-tiba gadis yang masih selalu mengelak disertai suara tawa dan ejekan yang memanaskan hati, berseru.

"Monyet hitam rasakan ini!" Ia kini dengan gerakan yang luar biasa cepatnya membalas, tangan kanannya meluncur dan dua jari tangan kanan itu menyambar dan menusuk ke arah mata lawan. Boan Su Kok terkejut dan tentu saja dia tidak ingin matanya ditusuk jari sehingga buta Maka cepat dia mengangkat kedua tangan untuk menyambut tusukan itu sambil miringkan tubuh ke kanan.

"Wuuuttttt plakkk!" Tubuh Boan Su Kok terputar saking kerasnya tamparan

yang mendarat di pipi kanannya. Kiranya serangan tusukan ke arah mata tadi hanya pancingan belaka karena begitu Boan Su Kok menangkis dan memiringkan tubuh ke kanan, tangan kiri gadis itu dengan jari-jari terbuka menampar dan menghantam pipi kanan Si Muka Hitam.

Demikian kuatnya tamparan itu sehingga Boan Su Kok merasa seperti, diumbar halilintar dan tubuhnya terputar hampir terpelanting. Ketika dia dapat berdiri tegak kembali, tangan kanannya meraba pipinya yang menjadi bengkak dan giginya sebelah kanan ada yang tanggal. Juga ujung bibir sebelah kanan pecah berdarah.

Jagoan itu menggereng. Matanya mencorong buas dan kemarahannya sudah memuncak.

"Jahanam, kubunuh kau !!" geramnya.

"Hi-hik, monyet hitam tolol seperti ini menjadi Pendekar Silat Nomor Satu? Kamu menari saja di pasar tentu mendapatkan uang!" ejek gadis itu dan begitu Boan Su Kok menubruk, tubuhnya menghindar ke kiri dan kaki kanannya mencuat dengan kecepatan kilat.

"Ngekkk!" Kaki yang kecil itu menendang ulu hati lawan dan Boan Su Kok terengah- engah. Napasnya menjadi sesak dan lambungnya terasa pedih dan nyeri. Akan tetapi dia tidak mempedulikan rasa nyeri itu dan menyerang lagi men babi buta..

Akan tetapi kini gadis Itulah yangj menyerangnya bertubi-tubi dan gerakannya sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali tamparan dan tendangannya mengenai sasarann dengan tepat.

"Plak-plak-bukkk.           !" Beberapa kali tubuh Boan Su Kok dihajar sehingga kini

pipi kirinya juga bengkak dan perutnya mulas terkena tendangan kaki mungil itu!

"Keparat, mampus kau!" Boan Su Kok masih dapat memaki dengan suara pelo (pelat) sehingga terdengar lucu. Banyak penonton yang sejak tadi tertawa melihat betapa Boan Su Kok dihajar beri kali-kali dan dipermainkan oleh gadis yang amat lincah dan lihai itu. Akan tetapi kini mereka memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang karena Boan Su Kok menyerang lagi dengan lebih nekat dan buas. Ketika dia memukul dengan tangan kanan ke arah dada, gadis itu menarik tubuhnya ke belakang, akan tetapi tiba-tiba tampak benda berkilat mencuat dari bawah lengan kaitan yang memukul itu. Boan Su Kok telah menggunakan lagi senjata rahasia, pisau yang disembunyikan di dalam lengan baju di bawah lengan. Dengan menggunakan per (pegas) pisau itu dapat digerakkan mencuat keluar atau ditarik kembali.

Agaknya ini yang dinanti-nanti oleh gadis itu. la tadi sudah melihat sendiri betapa Boan Su Kok merobohkan penantangnya secara curang, dengan menggunakan senjata rahasia itu. Maka kalau tadi ia hanya memberi tamparan dan tendangan, yang dilakukan dengan tenaga terbatas, ia memang menanti agar lawannya menggunakan senjata rahasianya itu. Begitu pisau itu mencuat mengancam dadanya, ia cepat mengelak ke kanan. Boan Su Kok menyambutnya dengan pukulan tangan kiri yang juga mengeluarkan senjata rahasia itu.

Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan seruan melengking, kedua tangannya bergerak secepat kilat menotok kedua pundak lawan. Seketika Boan Su Kok merasa kedua lengannya lumpuh dan sebelum dia dapat mencegahnya, dua tangan gadis itu telah menyambar ke arah pergelangan kedua tangannya.

"Krek-krekkk!" Dua buah pisau itu telah dicabut dan kini berada di tangan gadis itu.

"Manusia curangi" Gadis itu memaki, kini suaranya tidak main-main lagi dan begitu ia menggerakkan kedua tangannya, dua buah pisau itu meluncur dan menancap di kedua pundak Boan Su Kok! Jagoan bermuka hitam ini mengaduh, akan tetapi sebuah tendangan menyambar ke arah dadanya.

"Bukkk!" Tubuh tinggi besar itu terpental dan jatuh tepat di depan kaki gurunya, yaitu Tung Hai-tok!

Semua orang terkejut sekali, juga kagum. Mereka yang memang tidak suka kepada Boan Su Kok, bertepuk tangan riuh rendah. Akan tetapi pada saat itu, Tung Hai-tok mengeluarkan gerengan dan suara yang menggetarkan jantung para pendengarnya dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah melayang ke depan gadis itu. Sementara itu, para anggautaTung-hai-pang menolong Boan Su Kok yang pundaknya tertusuk sepasang pisaunya sendiri.

Gadis remaja itu agaknya merupakan seorang tokoh baru yang bagaikan seekor burung muda baru belajar terbang menjelajahi dunia persilatan. Maka agaknya ia belum mengenal datuk Lautan Timur ini dan memandangnya dengan senyum ampuh. Sikapnya yang lincah, pemberani dengan mukanya yang cantik itu membuat mimik yang lucu sungguh menarik hati para penonton. Ia memandang Tung Hai-tok dengan sepasang mata bintangnya disipitkan, senyumnya manis sekali dan ia berkata lantang.

"Wah, ini ada Cukong (Boss) kaya raya datang! Kalau engkau akan memberi hadiah besar atas kemenanganku, ketahuilah bahwa aku tidak menginginkan uangmu.

Kalau hendak mengumumkan aku sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap, aku pun tidak butuh gelar itu. Aku datang hanya ingin nonton dan tadi melihat sang juara begitu sombong dan curang, maka aku naik dan menantangnya!"

Tung Hai-tok adalah seorang datuk besar. Ribuan orang kangouv, terutama golongan sesat, di sepanjang pantai Laut Timur merasa segan dan takut kepadanya. Maka, tentu saja menghadapi seorang gadis muda belia seperti ini, dia merasa akan merendahkan nama besarnya kalau dia menggunakan kekerasan menghajarnya walaupun dia marah sekali melihat murid utamanya tadi dirobohkan dan dilukai.

Derjgan menahan sabar Tung Hai-tok yang berdiri tegak berkata kepada gadis itu. Suaranya lantang dan menggelegar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar dan mukanya yang persegi merah dan tampak bengis menyeramkan. "Heh, bocah perempuan yang kurang ajar! Engkau berani melukai muridku dan bersikap sombong mengejek aku! Hayo katakan siapa namamu dan siapa pula nama gurumu!!"

Gadis itu tersenyum manis, agaknya sedikitpun tidak gentar menghadapi kakek yang gagah perkasa, menyeramkan dan penuh wibawa itu. Dengan lagak seperti orang berkenalan biasa, gadis itu berkata, suaranya nyaring merdu dan senyumnya ramah.

"Perkenalkan, namaku Song Kui Lin, adapun nama guruku tidak perlu kusebutkan karena beliau tidak mempunyai urusan dengan siapapun di sini. Dan engkau sendiri siapakah, Wan-gwe (Orang Kaya)?" Ucapannya begitu ramah dan wajar, sama sekali tidak bernada menggoda atau mengejek.

Tung Hai-tok mengerutkan alisnya. Bagaimana mungkin dia memperlihatkan kemarahannya kepada gadis yang masih kekanak-kanakan ini? Dia ingin menggertak gadis muda belia itu dengan memperkenalkan namanya yang amat terkenal, terutama di daerah timur.

"Dengar baik-baik, Nona Muda! Aku adalah Tung Hai-tok (Racun Laut Timur)!"

Diam-diam gadis itu terkejut karena gurunya pernah menceritakan dan memperkenalkan nama para datuk dan tokoh besar dunia kangouw. Akan tetapi dasar ia seperti burung muda baru pertama kali terbang menjelajahi keluar sarang, ia seakan tidak tahu tingginya gunung dan luasnya samudera.

"Ah, kiranya Paman ini adalah Si Racun Laut Timur yang terkenal itu? Wah, senang sekali aku dapat berkenalan denganmu, Paman Racun!" Lagaknya seperti bicara dengan seorang kawan lama saja dan hal ini memang bukan dibuat-buat karena gadis ini memiliki watak yang lincah, terbuka dan bebas. Akan tetapi tentu saja datuk itu merasa dilecehkan.

"Bocah lancang! Kalau engkau tidak bermaksud merebut gelar, jangan membikin kacau di sini. Hayo cepat kau turun dan pergi dari sini!"

Gadis yang bernama Song Kui Lin itu mengerutkan sepasang alisnya. "Aih-aih, kenapa engkau mengusir aku? Apakah puncak ini rumahmu? Apakah Gunung Thaisan ini milikmu? Sang Dewa Penjaga Gunung saja tidak pernah mengusirku, bagaimana engkau dapat mengusirku, Paman Racun?"

Betapapun sabarnya hati Tung H i tok, karena kesabarannya itu hanya paksaan, akhirnya dia marah juga.

"Bocah setan, kalau engkau tidak segera turun, aku akan mendorongmu pergi dari sini!"

Gadis itu membelalakkan matanya yang indah dan bertolak pinggang. Satu di antara watak Song Kui Lin adalah bahwa ia akan berbalik bersikap keras kalau orang main paksa padanya.

"Aih-aih, lihat itu Si Cukong! Mau main paksa, ya? Bagaimana kalau aku tidak mau turun?" "Kalau begitu, pergilah!" Tung Hai-tok mendorongkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menghadap ke arah Kui Lin. Gadis itu memang telah siap, maka begitu kakek itu mendorongkan tangan kirinya, ia. menyambut dengan kedua tangannya yang ia dorongkan ke depan.

"Wuuussshhhhh desss!!" Tubuh Kui Lin terdorong mundur sampai ia

terhuyung beberapa langkah. "Pergilah!" kata Tung Hai-tok.

Akan tetapi Kui Lin dengan keras kepala menjawab. "Aku tidak mau pergi!"

"Hemmm, agaknya engkau sudah bosan hidup!" Setelah berkata demikian, Tung Hai-tok mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghimpun tenaga karena dia hendak melakukan pukulan jarak jauh yang lebih dahsyat lagi.

Tiba-tiba terdengar suara lembut namun berwibawa. "Tahan !" Dan terdengar

kelepak sayap burung Seekor burung rajawali raksasa meluncur turun dan hinggap di atas tanah tinggi itu, tepat di antara Tung Hai-tok dan Song Kui Lin.

Si Han Lin yang berada di punggung burung itu cepat melompat turun. Dialah yang tadi berseru melihat dari atas betapa kakek itu hendak melakukan serangan.

Beberapa orang yang hadir, begitu melihat burung itu, berseru. "Rajawali Sakti !"

"Benar, Sin-tiauw muncul, berarti Thai Kek Siansu datang!"

Ketika Song Kui Lin melihat burung rajawali, ia cepat menghampiri dan mengamati burung itu dari depan, belakang, kiri dan kanan. Ia tampak terheran-heran dan kagum bukan main. Ia sama sekali tidak memperhatikan Si Han Lin yang berdiri menentang pandang mata Tung Hai-tok yang marah.

"Aih, hebat sekali rajawali ini!" serunya, lalu gadis itu menghampiri Han Lin dan bertanya. "Hei, sobat, apakah engkau hendak menjual rajawali ini? Berapa harganya? Kalau boleh aku ingin membelinya!"

Han Lm yang tadinya memperhatikan Tung Hai-tok, kini perhatiannya beralih dan melihat gadis itu dan mendengar pertanyaannya, dia tersenyum geli. Bukan main gadis ini, pikirnya. Baru saja terbebas dari ancaman maut di tangan kakek muka merah itu, kini sudah lupa lagi dan ingin membeli rajawalinya, seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang mengancam nyawanya!

"Adik yang baik "

"Ihhh! Siapa adikmu? Aku bukan adik mu dan engkau bukan kakakku! Kalau engkau kakakku, rajawali ini tidak perlu kubeli, cukup kuminta saja!" gadis itu memotong, galak.

Han Lin tertawa. Ha-ha, baiklah Nona. Rajawali ini tidak kujual, mana ada orang menjual sahabat baiknya? Dia itu sahabat baikku yang setia dan kami saling menyayang. Biar dibeli segunung emas pun tidak akan kujual." "Hemmm, menarik sekali! Dia bisa membawaku terbang, ya? Bolehkah aku mencoba menungganginya agar aku dibawa terbang?"

"Boleh saja kalau dia mau." kata Han Lin sambil tersenyum. Dia maklum bahwa kecuali dia dan Thai Kek Siansu, tidak ada orang lain yang dapat menunggangi punggung Tiauw-ko (Kakak Rajawali) karena burung itu pasti tidak mau. Biarlah gadis liar ini membuktikannya sendiri karena kalau dia menolak, bukan tidak mungkin gadis itu akan marah dan membuat ulah.

“Terima kasih, engkau baik sekali!" Kui Lin berseru girang lalu dengan gayanya yang lincah ia melompat. Gerakannya ringan sekali dan ia sudah melompat ke atas punggung rajawali yang cukup tinggi karena burung itu tidak mendekam seperti kalau hendak ditunggangi Han Lin.

"Rajawali, terbanglah! Bawa aku terbang!" Kui Lin berseru setelah ia duduk di punggung burung raksasa itu. Akan tetapi rajawali itu diam saja.

Gadis yang liar itu memang memiliki niat bahwa kalau ia sudah dibawa terbang, ia akan membawa minggat burung itu. Kalau tidak boleh dibeli, ya dibawa kabur saja, pikirnya. Akan tetapi burung itu tidak mau terbang.

"Hayo terbang! Kalau engkau tidak mau terbang, kucabuti bulumu!" Kui Lin menggertak dan ketika burung itu tetap diam saja ia mulai mencabut beberapa helai bulu di leher burung itu. Tiba-tiba rajawali itu terbang ke atas. Kui Lin bersorak girang, akan tetapi setelah burung itu terbang setinggi pohon dia lalu jungkir balik!

Tentu saja Kui Lin terkejut bukan main dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya jatuh ke bawah. Karena tidak menyangka dan terkejut, gadis it sama sekali tidak siap maka ia terjatu tanpa dapat mengatur keselmbangannya sehingga terjatuh dengan kacau, kaki tangannya bergerak-gerak sehingga ia ketakutan dan menjerit.

Agaknya rajawali sengaja melemparkan Kui Lin ke arah tempat berdirinya tadi dan tubuh gadis yang melayang turun dengan kacau itu agaknya akan menimpa Han Lin!

Dengan tenang sambil tertawa Han Lin bergerak dan kedua lengannya dapat menyambut tubuh Kui Lin sehingga gadis itu terjatuh ke dalam pondongannyai tidak sampai terbanting ke atas tanah.

Kui Lin segera meronta dan turun, lalu membalik dan melihat rajawali telah berdiri lagi di situ dengan sikap tenang dan dari bawah terdengar orang-orang tertawa menyaksikan penstiw a lucu ketika gadis itu jatuh tadi, ia membanting-banting kaki kanannya dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak marah.

"Kamu jahat!" bentaknya dan ia lalu melompat jauh, turun dari panggung tanah tinggi itu dan melarikan diri. Han Lin menghela napas panjang, merasa iba karena dia tahu bahwa gadis itu agaknya merasa malu ditertawakan banyak orang.

Sementara itu, Tung Hai-tok yang sejak tadi hanya melihat dan marah karena merasa dirinya tidak dipedulikan, setelah gadis itu pergi, dia membentak pemuda itu. "Orang muda lancang! Siapa engkau berani mencampuri urusanku dan berani menghalangi aku membunuh gadis liar tadi?"

Han Lin mengangkat kedua tangan depan dada sebagai salam penghormatan, bukan hanya kepada Tung Hai-tok, akan tetapi juga kepada semua orang karena dia memberi hormat sambil menghadap ke empat penjuru.

"Lo-cian-pwe dan Saudara sekalian yang berkumpul di sini. Saya datang memenuhi perintah Suhu Thai Kek Siansu yang tidak sempat datang sendiri. Suhu ingin saya menyampaikan kepada Saudara sekalian penyesalan beliau bahwa kini pemilihan gelar Thian-he Te-it Bu-hiap bukan lagi pertemuan persahabatan untuk memperluas pengalaman, melainkan menjadi ajang permusuhan. Pi-bu yang di Adakan menjadi tempat perkelahian yang menjatuhkan korban. Hal ini amat tidak baik sehingga para pimpinan aliran persilatan besar semua mengundurkan diri. Maka Suhu minta agar pertandingan seperti ini dibubarkan dan ditiadakan saja, demi menjaga kerukunan antara para tokoh kang-ouw."

Mendengar ini, Tung Hai-tok tertawa rgelak. Suara tawanya itu jelas dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti sehingga mendatangkan gelombang suara yang menggetarkan jantung mereka yang berada di puncak itu. Demikian kuatnya suara itu menggetarkan jantung sehingga hanya mereka yang memiliki tingkat tinggi saja yang kuat bertahan dengan mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi jantung mereka. Akan tetapi mereka yang kurang kuat tenaga dalamnya, cepat menutupi kedua telinga dengan tangan lalu duduk bersila dan memejamkan mata. Bahkan ada yang tergulin roboh, biarpun sudah menutupi kedut telinga dan dari celah-celah jari tangai yang menutupi telinga menetes darah yang keluar dari telinga mereka!

Han Lin juga merasakan getaran itu, akan tetapi dia mengerahkan tenaga sakti dan berkata. "Lo-cian-pwe, jangar melukai orang-orang yang tidak bersalah apa-apa."

Tiba-tiba terdengar bunyi pskik melengking. Itu adalah suara burung rajawali yang melengking sambil mendongak ke atas. Suara lengkingan panjang itu menutup suara tawa kakek itu. Tung hal-tok menghentikan tawanya dan ber kata kepada Han Lin.

"Bocah sombong, engkau anak kecil kemarin sore bicara seolah-olah engkau menjadi seorang datuk yang berkedudukai tinggi! Engkau mewakili gurumu, Thai Kek Siansu? Huh, ada urusan apakah Thai Kek Siansu dengan kami? Kalau dulu tidak mau ikut pesta pemilihan ini, tida perlu banyak cakap. Aku Tung Hai-tol sama sekali tidak takut kepada Thai Kek Siansu, apalagi kepada muridnya. Dia atau engkau tidak berhak mengatur kami. Hayo engkau dan burungmu itu cepat pergi dari sini, kalau tidak aku akan menghajarmu dan membunuh burungmu!"

Han Lin memandang kakek itu dan dia teringat akan nama ini yang pernah disebut oleh gurunya sebagai seorang datuk sesat di daerah timur. Tadi di atas punggung rajawali dia melihat betapa kakek ini dengan pukulannya yang amat dahsyat mengancam keselamatan gadis muda belia itu, maka tahulah dia bahwa kakek ini amat lihai akan tetapi juga kejam.

"Ah, kiranya Locianpwe adalah datuk timur yang terkenal itu. Terimalah hormat saya dan salam dari Suhu karena Suhu memesan agar saya menyampaikan salamnya kepada semua orang gagah yang berkumpul di sini. Locianpwe memang tidak semestinya takut kepada Suhu karena Suhu tidak ingin ditakuti. Suhu hanya menginginkan agar semua pihak di dunia persilatan hidup dengan akur dan mempergunakan kepandaian mereka untuk membela nusa dan bangsa menegakkan kebenaran dan keadilan sehingga kehidupan manusia di dunia in sejahtera dan berbahagia. Suhu hanya ingin agar saya melerai dan menghenti kan semua pertikaian yang terjadi di sini dan mulai sekarang tidak ada lagi perebutan gelar yang hanya membawa perpecahan dan perebutan, menimbulkan dendam dan permusuhan."

Ucapan itu membuat semua orang terdiam dan ada yang mengangguk-anggukkan kepala. Sebagian besar dari mereka mengetahui siapa adanya Thai Ke Siansu yang mereka anggap sebagai seorang dewa yang amat sakti. Merek merasa segan dan tidak berani karen maklum bahwa selama ini mereka belum pernah mendengar ada datuk atau tokoh kang-ouw yang mampu menandingi kesaktian Thai Kek Siansu.

Agaknya Tung Hai-tok tahu akan hal ini dan dia menjadi semakin penasaran dan marah.

"Si sombong Thai Kek Siansu sungguh tidak memandang muka orang! Disangkanya aku ini siapa? Begitu berani dia memandang rendah aku, mengirim seorang anak kemarin sore untuk memberi wejangan kepadaku! Hai orang muda sombong, sekali lagi aku peringatkan, cepat engkaudan burungmu pergi dari sini atau aku akan turun tangan membinasakan kalian!"

"Locianpwe Tung Hai-tok, Suhuku selalu bilang bahwa yang berhak mencabut kehidupan seseorang adalah yang memberi kehidupan, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Engkau tidak pernah memberi kehidupan kepada saya dan Tiauw-ko, bagaimana mungkin engkau hendak mencabut kehidupan kami dan membinasakan kami?"

"Bocah sombong1. Kaukira aku tidak mampu membunuh kalian berdua! Nah, terimalah kematianmu!!" Tiba-tiba Tung Hai-tok melompat ke depan dan mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke arah Han Lin. Angin pukulan yang dahsyat sekali menyambar ke arah Han Lin. Pemuda ini telah menerima ilmu yang paling dalam yang dapat dimiliki manusia, yaitu penyerahan diri kepada Yang Maha Sakti. Akan tetapi Thai Kek Siansu memesani kepadanya bahwa kalau segala usaha dan ikhtiar sendiri tidak mampu menang gulangi keadaan, tidak mampu melindungi diri maka dasar dari semua keadaan dirinya yang sudah mengandung penyerahan diri sepenuh iman itu yang akan bekerja. Penyerahan diri sepenuhnya membuat dirinya seolah tidak ada, yang ada hanya Kekuasaan Tuhan yang melindunginya sehingga tidak ada apa pun mampu mengganggunya kecuali kalau Tuhan menghendaki demikian. Dia tidak boleh hanya pasrah begitu saja tanpa berusaha.. Karena itu, walaupun pada dasarnya dia selalu berserah diri kepada Kekuasaan!

Tuhan, namun melihat Tung Hai-tok menyerangnya, dia pun menggunakan llmu- ilmu yang telah dipelajarinya dari Thai Kek Siansu. Dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangannya.

"Syuuuuuttt.......... blarrrrr !" Dua tenaga sakti tingkat tinggi bertemu di udara

dan seluruh keadaan sekeliling tempat itu tergetar hebat. Tung Hai mengeluarkan seruan kaget dan dia rpaksa melangkah mundur tiga kali. wajahnya yang merah menjadi semakin merah, matanya mencorong penuh perasaan marah dan penasaran. Dia merasa malu bahwa serangannya yang dia lakukan sepenuh tenaga tadi, yang memang dilakukan untuk membunuh Si Han Lin, dapat ditolak mundur oleh orang muda yang pantas menjadi cucunya itu! Karena tadi ketika menyerang dia sudah menggunakan tenaga sepenuhnya dan ternyata pemuda itu dapat menandinginya, dia tidak mau mengulangi lagi serangan dengan pukulan jarak jauh. Tiba-tiba dia mencabut sepasang pedangnya yang berada di punggung dan sekali melontarkan Siang-kiam (sepasang pedang) itu, tampak dua sinar meluncur ke arah Han Lin. Ternyata sepasang pedang itu merupakan Hui-siang-kiam (sepasang pedang terbang) yang bukan hanya dapat dilontarkan dan digunakan menyerang lawan dari jauh, akan tetapi juga dikendalikan oleh kekuatan sihir sehingga sepasang pedang itu seolah hidup dimainkan sepasang tangan yang tidak tampak!

Semua orang yang melihat permainan sihir yang berbahaya itu memandang dengan hati tegang. Akan tetapi Han Linmemandang dengan sikap tenang saja, Ketika sepasang pedang yang menjadi sinar itu menyambar dekat, tangannya bergerak dan tampak sinar terang ketika! pedang Pek-sim-kiam telah berada di tangannya. Pedang itu biasanya memang dia simpan di balik jubahnya sehingga! tidak tampak dari luar.

Terjadilah pertandingan yang aneh dan menarik. Bagaikan benda-benda hidup! dua batang pedang itu menyerang dengari gerakan cepat dan bertùbi-tubi ke arah bagian tubuh Han Lin yang berbahaya. Namun, pemuda itu dengan amat tenangnya menggerakkan pedangnya menangkisi semua serangan itu. Gerakannya juga cepat sehingga pedangnya berubah menjadi sinar terang yang bergulung-gulung menyelimuti dirinya dan menghalau semua sambaran sepasang pedang lawan itu. Terdengar bunyi berkerontangan berulang-ulang dan tampak bunga api berhamburan merupakan penglihatan yang amat indah menank.

Pada saat itu, Boan Su Kok yang telah sadar betul, walaupun luka-luka di pundaknya membuat dia tidak dapat melakukan kekerasan, memberi isarat kepada para anak buah Tung-hai-pang untuk maju mengeroyok Han Lin yang agaknya masih kuat melindungi dirinya terhadap serangan sepasang pedang terbang gurunya. Mendapat perintah ini, sedikitnya dua puluh orang anggauta Tung-hai-pang dengan pedang di tangan. menyerbu naik panggung.

Akan tetapi sebelum mereka sempat mengeroyok Han Lin, tiba-tiba terdengar teriakan rajawali dan burung itu sudah terbang dan menyambar mereka yang hendak mengeroyok Han Lin. Para anak buah Tung-hai-pang terkejut dan mereka mencoba untuk melawan dan menyerang rajawali itu dengan pedang mereka. Akan tetapi hal ini membuat rajawali itu semakin marah. Paruhnya yang kokoh kuat Itu mematuk-matuk, sepasang kakinya mencakar dan sepasang sayapnya menampar. Dua puluh lebih anak buah Tung dai-pang itu berpelantingan dan tidak ada sebatang pedang pun yang mampu melukai burung rajawali itu!

Sementara itu, Han Lin mulai mengerahkan tenaganya dan begitu dia menangkis, dua batang pedang-terbang itu terpental jauh! Melihat ini, Tung Hai tok terkejut dan cepat menarik kembali sepasang pedangnya yang segera terbang ke arah dirinya.

Dia menangkap pedangnya dan menyimpan kembali. Melihat betapa anak buah Tung-hai-pang dibuat kocar-kacir oleh burung rajawali sedangkan serangannya sendiri terhadap pemuda itu agaknya menemui kegagalan karena ternyata pemuda itu tangguh sekali, Tung Hai-tok yang tidak ingin kehilangan muka karena dikalahkan, lalu berkata lantang.

"Orang muda, katakan kepada Thai Kek Siansu bahwa lain waktu kami akan membuat perhitungan dengannya!" Setelah berkata demikian, kakek itu melompat turun dari tanah tinggi dan pergi, diikuti Boan Su Kok dan para anak anggauta Tung- hai-pang.

Rajawali melayang turun dan hingga di depan Han Lin lalu mendekam. Han Lin melompat ke atas punggungnya dan ketika burung itu terbang, dia berseru kepada mereka semua yang memandan kagum. "Harap Cu-wi (Anda sekalian) bubar dan jangan mengadakan perebut gelar kosong ini lagi, yang hanya mendatangkan permusuhan dan kekaccuan!"

Tungguuuuul" terdengar seorang berseru. "Siauw-eng-hiong (Pendekat Muda), katakan kepada kami, siapa namamu?"

Si Han Lin tidak menjawab karena dia tidak ingin memperkenalkan namanya. Akan tetapi, entah mengapa, tiba-tiba burung rajawali itu yang berbunyi dengan suaranya yang nyaring melengking seolah menjawab pertanyaan itu. Kemudian dia terbang tinggi dan melayang pergi.

Mendengar ini, orang-orang itu berbisik-bisik, "Sin-tiauw, Sm-tiauw (Rajawali Sakti) !” Mulai saat itu, mereka memberi julukan kepada pemuda penunggang

rajawali yang tidak mereka ketahui namanya itu sebagai Sin-tiauw Eng-hiong (Pendekar Rajawali Sakti)! Dan sejak itu, tidak ada lagi pertandingan di Puncak Thaisan untuk memperebutkan gelar Jagoan Nomor Satu.

ooOOoo

Kakek bertubuh pendek gemuk yang mengenakan jubah seperti pendeta itu duduk bersila di depan pondoknya yang sederhana. Pondok itu berada di puncak bukit di Lembah Sungai Yangce. Usianya sekitar enam puluh tahun, namun wajahnya masih tampak sehat belum banyak hiasan keriput. Kakek ini adalah Tiong Gi Cinjin, seorang pertapa penganut Agama Khong-hu-cu (Confucianism). Dalam bagian depan kisah ini kita sudah bertemu dengan Tiong Gi Cinjin, seorang di antara tiga pendeta yang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Naga Kecil, kemudian muncul pula Thai Kek Siansu menemui mereka bertiga, berbincang-bincang tentang agama dan kehidupan.

Kemudian, melihat Thai Kek Siansu memiliki seorang murid, tiga orang pendeta itu pun mengambil keputusan untuk masing-masing mengambil seorang murid sebagai pewaris ilmu-ilmu yang mereka kuasai.

Ketika Tiong Gi Cinjin bertemu dengan. Ong Su, masih termasuk keluarga Kerajaan Chou yang sudah jatuh, dan melihat puterinya, hatinya tertarik untuk mengambil anak perempuan berusia sepuluh tahun itu sebagai muridnya. Ong Su yang masih berdarah bangsawan karena ayahnya dahulu adalah seorang pangeran Kerajaan Chou, tadinya menjabat sebagai Pejabat Tinggi Kebudayaan. Dia seorang sastrawan dan penganut Agama Khonghucu, maka dia mengenal baik Tiong Gi Cinjin. Bahkan antara mereka terdapat hubungan yan akrab. Ketika Kerajaan Chou jatuh di ganti Kerajaan Sung yang baru, biarpun Sung Thai Cu memperlakukan keluarga Kerajaan Chou dengan baik, namun On Sun pergi dari kota raja dan tinggal kota Nan-king.

Ong Su hanya memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Ong Hui Lan. Ketika anak perempuan itu berusia sembilan tahun dan Tiong Gj Cinjin yang mencari murid datang berkunjung ke rumah Ong Su dan melihat anak itu, hatinya tertarik.

Dia melihat betapa Ong hui Lan yang berusia sembilan tahun itu memiliki tulang dan bakat yang baik sekali, juga anaknya sopan dan pendiam. Maka dia lalu minta kepada sahabatnya agar menyerahkan Ong Hui Lan menjadi murid tunggalnya.

Karena keluarga itu percaya sepenuhnya kepada Tiong Gi Cinjin, maka ayah dan ibu Ong Hui Lan tidak merasa keberatan. Anak itu lalu dibawa Tiong Gi Cinjin ke tempat tinggalnya, yaitu di puncak sebuah bukit tanpa nama di Lembah Yangce. Selama sepuluh tahun Hui Lan digembleng gurunya, diberi pelajaran silat, sastra, dan pelajaran agama Khong-hu-cu. Setiap tahun sekali anak itu diberi kesempatan pulang ke Nan-king menjenguk orang tuanya.

Demikianlah, setelah menjadi mur id Tiong Gi Cinjin selama sepuluh tahu Ong Hui Lan kini menguasai ilmu-ilmu yang tinggi. Pada pagi hari itu, Tiong Cinjin duduk di depan pondoknya dan tak lama kemudian Ong Hui Lan keluar dari pondok.

Gadis berusia sembilan belas tahun itu tampak segar bagaikan setangkai bunga mawar tersiram embun, la baru saja mandi dan bertukar pakaian setelah fajar menyingsing tadi, seperti kebiasa annya sehari-hari, berlatih silat di kebun belakang. Ong Hui Lan telah menguasai banyak ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali ia memiliki ilmu pedang yang hebat. Gurunya, Tiong Gi Cinjin terkenal dengan julukan Tung Kiam-ong (Raja Pedang Timur), maka tentu saja ia memperoleh pelajaran ilmu pedang yang hebat.

Biarpun sejak berusia sembilan tahun Hui Lan tinggal bersama Tiong Gi Cinji dan menganggap guru itu seperti ayahnya sendiri, namun tetap saja Hui Lan amat menghormati gurunya. Ini adalah berkat pelajaran dalam Agama Khonghucu yang menekankan hauw (bakti) kepada orang Tua dan guru. Ada empat macam Hauw yang diajarkan Tiong Gi Cinjin kepada muridnya. Pertama adalah bakti kepada Tuhan berupa ibadat kepadaNya. Kedua ialah bakti kepada orang tua dan guru berupa kelakuan yang baik dalam kehidupan agar menjunjung tinggi dan mengharumkan nama mereka. Ke tiga adalah bakti kepada negara dengan jalan menaati semua ketentuan hukum negara, dan ke empat bakti kepada sesama manusia baik dengan cara menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang jahat.

Melihat gurunya duduk di atas bangku didepan pondok, Hui Lan segera maju dan berlutut memberi hormat. Akan tetapi Tiong Gi Cinjin memegang lengannya dan ditariknya bangkit sambil berkata. "Duduklah di bangku, Hui Lan, aku ingin bicara." Hui Lan bangkit dari duduk. Gadis ini memiliki kecantikan yang lembut. Wajahnya bulat dan cemerlang seperti bulan purnama, gerak-geriknya lembut dan tegas.

Wataknya pendiam, matanya lembut namun tajam. Kulitnya putih mulus dan tubuhnya ramping. Pakaiannya sederhana namun bersih. Dengan gerakan lembut dan sopan ia lalu duduk berhadapan dengan gurunya, siap mendengarkan yang akan dibicarakan gurunya. Ia rasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam sikap gurunya.

"Hui Lan, tahukah engkau sudah berapa lamanya engkau ikut deng diriku mempelajari ilmu di sini?"

"Suhu, yang selalu mencatat hal itu adalah Ibu, dan ketika teecu baru pulang setahun yang lalu, Ibu mengatakan bahwa teecu sudah sembilan tahun belajar ilmu di sini. Maka, teecu kira sekarang teecu sudah sepuluh tahun belalajar di sini."

Tiong Gi Cinjin mengangguk-anggukan kepalanya dan tersenyum. "Ibu betul, Hui Lan. Sudah sepuluh tahun engkau belajar ilmu. Usiamu sekarang sudah sembilan belas tahun. Engkau bukan anak-kanak lagi, sudah dewasa dan kukira sekarang sudah tiba saatnya bagimu untuk memanfaatkan semua ilmu yang telah kau pelajari dengan tekun dan penuh semangat. Nah, berkemaslah, Hui Lan. Engkau boleh meninggalkan bukit ini dan sekali ini, aku tidak mengantarmu pulang ke Nan-king karena aku sendiri akan merantau setelah selama sepuluh tahun berdiam di sini.

Pergunakanlah semua Ilmu itu sebaik-baiknya seperti yang telah berulang-ulang aku nasihatkan kepadamu."

Terharu juga hati gadis itu mendengar bahwa ia harus berpisah dari gurunya yang disayangnya seperti kepada ayahnya sendiri.

"Suhu sekarang sudah semakin tua. Teecu anjurkan agar Suhu sudi tinggal saja bersama kami sekeluarga sehingga teecu dapat melayani Suhu."

Tiong Gi Cinjin tersenyum lebar, sinar matanya membayangkan kesukaan hatinya mendengar ucapan muridnya itu. "Terima kasih, Hui Lan. Akan tetapi, sudah jenuh aku tinggal mengeram diri dalam rumah. Aku ingin bebas lepas seperti burung di udara, ingin merantau ke manapun hati dan kaki membawaku. Kalau sudah kenyang berkelana, mungkin aku akan mengunjungi rumah orang tuamu. Sampaikan saja salamku kepada ayah bundamu."

"Kalau begitu, Suhu, perkenankan teecu menghaturkan terima kasih atas semua budi kebaikan Suhu yang telah Suhu limpahkan kepada teecu selama ini!" Hui Lan menjatuhkan diri berlutut .dan memberi hormat kepada gjrunya. Tiong Gi Cinjin membiarkan muridnya memberi hormat menyatakan terima kasihnya. Kemudian dia berkata lembut. “

"Hui Lan, sekarang berkemas dan berangkatlah. Ceng-hwa-kiam (Pedang Bunga Hijau) itu kuberikan padamu. Pergunakanlah sebaik mungkin."

Hui Lan memasuki pondok berkemas, membawa pedang milik suhunya yang biasa ia pakai berlatih silat pedang. Ketika ia keluar lagi, gurunya sudah tidak ada. "Suhu !" Ia memanggil dan dari jauh di bawah puncak terdengar jawaban suara

gurunya.

"Hui Lan, pulanglah ke Nan-king!” Selamat berpisah, muridku yang baik!"

Hui Lan terharu dan sambil mengerahkan tenaga khikang ia berseru ke arah datangnya suara gurunya itu. "Suhu, harap menjaga diri Suhu baik-baik!"

Setelah merenung sejenak, memandangi sekeliling puncak yang telah menjadi tempat tinggalnya selama sepuluh tahun, Hui Lan lalu turun bukit itu, hendak melakukan perjalanan kembali ke rumah orang tuanya di Nan-king.

Biasanya, setiap satu dua tahun sekali, kalau ia pergi ke Nan-king menjenguk orang tuanya, ia selalu ditemani gurunya dan selama itu, ia tidak pernah menemui halangan atau gangguan apa pun dalam perjalanan. Akan tetapi sekali ini lain. Ia melakukan perjalanan seorang diri dan pada jaman itu, seorang wanita, apalagi kalau dia seorang gadis muda dan cantik pula, melakukan perjalanan seorang diri mengandung ancaman bahaya besar. Seorang wanita seorang diri tentu akan diincar para perampok, dan gadis muda yang cantik tentu membangkitkan nafsu jahat seorang laki-laki mata keranjang.

Tentu saja Hui Lan sama sekali tidak merasa gentar. Ia bukan seorang gadis yang lemah dan pendidikan yang diterimanya selama sepuluh tahun oleh Tiong Cinjin membuat ia menjadi seorang gadis perkasa yang tidak takut menghadapi ancaman apa pun dan dari siapa pun juga.

Setelah turun dari bukit itu, ia m lakukan perjalanan menyusuri Sung Yangce menuju ke timur. Selama dala perjalanan ini, ia tidak mengalami ganguan walaupun setiap bertemu orang- orang, terutama para pria, ia tentu men jadi pusat perhatian.

Agaknya sikapnya yang pendiam, garis mulutnya yang keras dan matanya yang lurus memandang ke depan tidak pernah lirak-lirik ke sana sini, terutama sekali karena ada pedang tergantung di punggungnya, membuat orang-orang tidak berani bersikap sembarangan untuk menggoda Hui Lan.

Seperti pada tahun-tahun yang lalu kalau ia melakukan perjalanan ke Nanking bersama suhunya, sore itu Hui Lan juga berhenti di kota Kiang-jung untuk melewatkan malam. Ia pun menyewa sebuah kamar di rumah penginapan Lokan yang sudah menjadi langganannya. Tahun lalu bersama gurunya ia pun bermalam di rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Ia memperoleh kamar di loteng.

Pelayan yang sudah mengenalnya segera menyambutnya dan laki-laki setengah tua yang pandai bersikap manis terhadap para tamunya, segera melayaninya dengan ramah.

Setelah mandi dan bertukar pakaian, Hui Lan turun dari loteng dan memasuki rumah makan yang berada di lantai bawah dan di depan. Pelayan rumah makan yang juga sudah mengenalnya, segera mempersilakan gadis itu duduk di meja yang masih kosong. Ketika Hui Lan menanti datangnya makanan yang dipesannya, seorang laki- laki berusia sekitar empat puluh tahun menghampirinya dan membungkuk dengan hormat sambil menegur dengan ramah. "Selamat datang, Nona. Apakah Nona sekali ini tidak bersama Lo-cian-pwe Tiong Gi Cinjin? Biasanya, Nona datang bersama guru Nona, mengapa sekarang Nona datang sendiri saja?"

Ong Hui Lan memandang laki-laki itu dan alisnya berkerut. Laki-laki setertgal tua itu bermuka seperti tikus, matanya yang sipit itu saling berpisah jauh sehingga dia tampak licik sekali. Baru melihat mukanya itu saja, Hui Lan mempunyai perasaan tidak suka kepada orang ini. Wajah seorang penjilat yang licik dari curang, pikirnya. Akan tetapi karena orang itu bersikap hormat, ia menjawa juga.

"Aku datang sendiri. Engkau siapa?"

"Aih, Nona agaknya lupa kepada saya. Saya A Gun, pengurus rumah penginapai merangkap rumah makan Lok-an ini Nona dan guru Nona adalah langganan kami yang baik.”

Pelayan yang menyiapkan makanan yang dipesan Hui Lan, datang menghidangkan makanan itu di atas meja. Melihat itu, A Gun berseru, "Ah, kenapa engkau hanya menghidangkan minuman biasa? Tunggu, Nona, kami harus menghormati Nona sebagai langganan kami yang baik. Akan saya ambilkan minuman anggur simpanan kami!" Setelah berkata demiikian, A Gun pergi dengan langkah cepat sehingga Hui Lan tidak keburu mencegah atau menolak.

Gadis itu mulai makan nasi dan lauk yang dipesannya. Selagi ia makan, pengurus muka tikus itu datang lagi membawa sebuah guci kecil dan dua cawan kosong.

“Nona, ijinkan saya atas nama perusahaan kami menyuiangi Nona sebagai fK'nghormatan dan selamat datang!" Dia menuangkan anggur yang berbau harum ke dalam dua buah cawan itu dan menyerahkan secawan minuman itu kepada Hui Lan dengan sikap hormat.

Karena orang bersikap hormat, Hui Lan merasa tidak enak untuk menolak. Ia menerima cawan itu dan berkata, "Terima kasih. Aku menerima penghormatan secawan minuman ini, akan tetapi selelah kuminum, harap tinggalkan aku dan jangan menggangguku lagi!"

"Ah, baik, Nona. Silakan minum dan maafkan saya!" A Gun mengangkat cawannya dan mengajak gadis itu minum. Agar orang itu tidak mengganggu lag Hui Lan juga minum anggur manis dari cawannya. Minuman itu tidak terlalu keras dan selain berbau harum, juga manis. Setelah minum, ia mengembalikan cawan itu kepada A Gun.

"Terima kasih, Nona baik sekali! kata A Gun sambil membawa pergi guci arak dan dua buah cawan itu.

Hui Lan melanjutkan makannya, kemudian ia membayar harga makanan da setelah membersihkan mulutnya, ia langsung duduk bersila di atas pembaringan Dua jam kemudian gadis itu sudah tidur pulas. Gadis perkasa itu walaupun berilmu tinggi namun masih miskin pengalaman. Ia bahkan tidak curiga ketika malam tadi sehabis makan ia merasa mengantuk dan lemas sekali. Ia hanya mengira bahwa perjalanan sehari tadi membuat ia merasa lelah dan perasaan lemas itu mungkin karena perpisahannya dengan gurunya memang mendatangkan keharuan dan agak merasa kehilangan. Maka ia sama sekali tidak mencurigai sesuatu.

Lewat tengah malam, keadaan sunyi karena semua orang sudah tidur nyenyak hingga tidak ada orang mendengar ketika ada sebuah kereta memasuki pekarangan rumah penginapan Lok-an. Di belakang kereta itu berjalan lima belas orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis. Seorang laki-laki tinggi kurus, demikian kurusnya sehingga mukanya seperti tengkorak, turun dari kereta itu yang dihentikan oleh saisnya.

Seorang laki-laki keluar dari rumah penginapan itu menyambut Si Kurus. Orang itu adalah A Gun yang menjadi pengurus rumah penginapan berikut rumah makan itu, yang tadi malam menemui Hui Lan dan memberi minum secawan anggur kepada gadis itu. A Gun memberi hormat kepada laki-laki kurus Itu.

"Bagaimana, A Gun? Arak dariku sudah diminumnya?" tanya orang itu.

"Sudah, Thaiya (Tuan Besar) , sudah diminum akan tetapi hanya secawan

saya tidak dapat membujuknya untuk minum lebih."

"Secawan, sudah cukup untuk membuat ia tidur pulas. Hayo bawa kami ke kamarnya!" Orang itu menoleh dan memberi isarat kepada tiga orang anak buahnya untuk ikut. Mereka berempat la mengikuti A Gun menuju ke loteng d setelah tiba di depan kamar Hui Lan, Gun lalu mengeluarkan sebuah kunci dan membuka daun pintu kamar itu.

Lampu dalam kamar itu masih bernyala karena agaknya Hui Lan tid sempat memadamkannya saking kuatnya kantuk menguasainya semalam. Dengan hati-hati orang kurus itu masuk kamar diikuti tiga orang anak buahnya yang memegang sebatang golok terhunus. A Gun sendiri tidak berani masuk, dan mengintai dari luar pintu dengan hati tegang dan. takut-takut.

Setelah tiba di tepi pembaringan yang kelambunya juga tidak ditutup, mereka melihat Hui Lan masih tidur nyenyak, tertelentang dengan pakaian dan sepatu masih lengkap. Agaknya ia tidak sempat pula melepaskan sepatu dan berganti pakaian ketika akan tidur. Laki-laki kurus itu tersenyum menyeringai dan mencoba untuk menggoyangkan pundak Hui Lan, sedangkan tiga orang anak buahnya sudah siap menyerang kalau gadis itu terbangun. Namun, Hui Lan tidak terbangun seolah berada dalam keadaan pingsan. Ternyata obat bius yang terdapat dalam secawan arak yang diminumnya semalam amat kuat.

"Aduh cantiknya "

"Tubuhnya indah "

"Kulitnya putih mulus " Laki-laki kurus Itu menoleh dan memandang kepada tiga orang anak buahnya dengan merah. "Tutup mulut kalian dan jangan bicara atau berbuat kurang ajar kepada gadis ini. Ia akan kuserahkan kepada Tong Taijin (Pembesar Tong) yang tentu akan suka menukarnya dengan puluhan tail uang emas!"

Mendengar ini, tiga orang itu terdiam. Mereka pun girang mendengar kemungkinan menerima hadiah uang perak dari Pembesar Tong yang terkenal royal kalau melihat gadis cantik.

Laki-laki kurus itu adalah seorang kepala perampok berjuluk Sin-to Hui-Houw (Macan Terbang Golok Sakti) yang terkenal di sekitar daerah kota Kian-jung, terutama di sepanjang Sungai Yance seberang selatan. Dia memiliki sekit tiga puluh orang anak buah dan setiap pedagang, baik yang lewat sungai maupun darat, melewati daerah itu, harus membayar semacam pajak kepadanya kalau tidak ingin diganggu. Sin-to Hui-houw tidak pernah mendapat tentangan pasukan penjaga keamanan karena mempunyai hubungan erat dengan pembesar di kota itu. Boleh dibilang semua pembesar di situ telah menerima "upeti" dari kepala perampok ini.

Selain merampok dan menggar siapa yang tidak mau membayar sumbangan paksaan atau pajak berupa uang gerombolan ini juga tidak segan-segan mengganggu wanita-wanita muda. Sin-to Hui-Houw menjadi "pemasok" gadis-gadis mulia dan cantik bagi para pembesar yang memiliki kesenangan menambah isi "harta" mereka.

Maka, tidaklah mengherankan apabila kehadiran Ong Hui Lan di kota Kiang-jung menarik perhatian kepala perampok itu. Akan tetapi ketika melihat bahwa gadis itu yang setiap tahun datang kesitu ditemani Tiong Gi Cinjin, kepala perampok itu menjadi jerih. Dia sudah mendengar akan kesaktian Tiong Gi Cin-Jin, maka biarpun Pembesar Tong yang perrnah melihat Hui Lan dan tergila-gila menyuruh dia mendapatkan gadis itu untuknya,'kepala perampok kurus itu belum juga berani mengganggu Hui Lan. Akan tetapi diam-diam dia memesan kepada A Gun, pengurus rumah penginapan Lok-an yang juga menjadi kaki tangannya untuk memberitahu apabila gadis itu muncul di hotelnya.

Demikianlah, ketika mendengar laporan A Gun bahwa Hui Lan datang dan sekali ini datang seorang diri, cepat kepala perampok itu memberinya sebuah guci arak berisi anggur yang sudah di campuri obat bius kuat, untuk mengusahakan agar Hui Lan dapat terbius Sin-to Hui-houw memang memiliki seorang guru yang ahli racun dan ilmu silatnya cukup tinggi.

Merasa yakin bahwa Hui Lan benar benar terbius dan seperti orang pingsan! Si Colok Sakti itu mengeluarkan tali hitam terbuat dari sutera yang amal kuat, lalu mengikat kedua pergelangan tangan dan kaki gadis itu. Kemudian dua orang anak buahnya mengangkat tubuh Hui Lan yang pingsan, dibawa keluar dani dimasukkan ke dalam kereta. Kepala perampok itu masuk pula ke dalam kereta yang lalu dijalankan oleh kusir ke eta dan di belakang kereta berjalan lima belas orang anak buah perampok untuk mengawal kereta. Peristiwa itu berlangsung cepat dan tak seorang pun tamu hotel itu tahu, bahkan ketika kereta itu berjalan keluar kota, tidak menarik perhatian. Apalagi pada saat it semua penghuni kota Kiang-jung sudah tidur. Obat bius yang membuat Hui Lan tertidur pulas itu memang kuat sekali. sampai pagi Hui Lan belum juga terbangun dari tidurnya yang tidak wajar.

Sementara itu, Sin-to Hui-kouw menahan kereta itu di depan pondoknya di lengah hutan di tepi sungai dan segera mengirimutusan kepada Pembesar Tong yang bertempat tinggal di kota Hun-Iam, sebelah timur kota Kiang-jung di mana dia bekerja sebagai seorang kepala keamanan. Markas pasukannya berada di Kiang- jung, akan tetapi dia sendiri tinggal di Hun-lam, di mana dia memiliki sebuah gedung indah yang juga menjadi tempat peristirahatan atau tempat bersenang-senang karena isteri dan anak-anaknya tetap tinggal di sebuah rumahnya yang merangkap kantornya di kota Kiang-jung. Di Hun-lam inilah Tong Tai-jin menyimpan selir- selirnya di mana dia sering mengadakan pesta pora bersama teman-temannya yang sebagian besar merupakan rekan-rekannya atau sahabatnya, baik dari kalangan para hartawan atau pun para tokoh persilatan yang mendukungnya. Hidupnya seperti seorang raja saja dan memang pada waktu itu, setiap pembesar daerah yang berkuasa, merupakan raja kecil yang memiliki pemerintahan dan hukum sendiri, bahkan memiliki pasukan sendiri yang mendukungnya dan melaksanakan "hukum" yang diadakan untuk membela kepentingannya

Mendengar berita bahwa Si Golok Sakti telahberhasil menawan Ong Hui Lan, gadis yang membuatnya tergila-gila itu, Pembesar Tong menjadi girang bukan main. Dia sudah melakukan penyelidikan tentang Ong Hui Lan dan menyuruh orang membayangi ketika tahun lalu gadis itu pergi ke Nan-king. Dia tahu bahwa gadis itu adalah puteri dari Ong Su, bangsawan Kerajaan Chou, bekas Kepala Kebudayaan Pemerintah Chou yang telah jatuh. Maka dia semakin berbesar hati. Tentu mudah saja menghadapi Keluarga Ong itu kalau mereka berani menentangnya. Mereka itu dapat ia tuduh sebagai kaki tangan Kerajaan Chou yang sudah jatuh, yang menjadi pemberontak! Kalau sampai sekarang Tong Taijin belum bisa mendapatkan gadis itu adalah karena semua jagoannya mundur teratur ketika melihat Tiong Cinjin bersama gadis itu. Akan tetapi sekarang gadis itu sendirian dan sudah tertawan oleh Si Golok Sakti yang kini mempersilakan dia datang sendiri untuk menjemput kekasihnya yang baru itu. Bagaikan seekor srigala mencium darah dari daging yang lunak, Tong Koo, yaitu nama Pembesar Tong, menjilati bibirnya sendiri.. Kemudian dia lalu mengumpulk lima belas orang perajurit pengawal dan mengajak jagoan-jagoan andalannya, yaitu tiga orang yang dikenal sebagai Sun Hen-te (Tiga kakak beradik Sun) yang merupakan tiga orang laki-laki gagah berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan terkenal memiliki ilmu pedang yang amat tangguh.

Sebetulnya mereka ini bukan penjahat dan pernah menjadi murid-murid Thian-san- pai. Mereka menjadi pengawal-pengawal bayaran dari Tong Koo karena pembesar itu memberi mereka upah yang tinggi dan selalu royal dengan hadiah-hadiah.

Bahkan mereka bertiga mendapatkan hadiah sebuah rumah yang cukup besar dan mewah.

Demikianlah, pagi itu Pembesar Tong dikawal oleh lima belas orang perajurit dipimpin tiga Sun Heng-te naik kereta menuju ke hutan di mana Sin-to Hui-Houw menanti dengan tawanannya yang masih rebah pulas di dalam keretanya. Pada saat itu, jauh di udara, burung rajawali yang ditunggangi Sin Han L in melayang dan mengikuti rombongan Pembesar Tong itu.

Seperti kita ketahui, Han Lin dan rajawali itu meninggalkan Thai-san. Karena pemuda itu ingin menggunakan kesempatan itu untuk berlalang-buana sebelum kembali ke Puncak Cemara di Cin-ling-san, maka dia menyuruh rajawali itu mengambil jalan memutar ke selatan.

Mula-mula dia tertarik melihat rombongan kereta yang dikawal pasukan kecil yang melihat pakaiannya adalah para perajurit kerajaan. Akan tetapi tiga orang yang berpakaian preman dan duduk dengan tegak dan gagah di atas kuda masing-masing, jelas bukan perajurit. Han Lin tertarik sekali dan dia menyuruh Rajawali membayangi dari atas. Ketika rombongan memasuki hutan di tepi sungai Yang-ce, sebuah hutan yang lebat Han Lin menyuruh rajawali terbang rendah dan tetap membayangi mereka dari pohon ke pohon.

Sementara itu, rombongan Tong Tai jin kini telah tiba di depan pondok, disambut dengan muka tersenyum-senyum oleh Sin-to Hui-houw.

"Kiong-hi (selamat), Taijin! Taijin akan mendapatkan apa yang telah lama Taijin idam-idamkan!" kata Sin-to H houw.

"Bagus, mana gadis itu?" tanya Tong Taijin yang berperut gendut dan bermuka bopeng (burik cacar).

"la masih tidur pulas dalam kereta saya, Taijin. Boleh Taijin ambil dan pindahkan ke kereta Taijin sekarang."

"Apa apa ia tidak berbahaya? Bukankah katamu ia murid seorang datuk yang

lihai?"

"Jangan khawatir, Taijin. Sekarang ia telah terbius dan apabila ia sadar, kaki tangannya terbelenggu kuat. la tidak akan mampu melawan dan tidak berdaya lagi." kata Sin-to Hui-houw sambil tertawa. "Mari lihatlah sendiri, Taijin."

Tong Koo, pembesar gendut bopeng itu, mengikuti kepala perampok menghampiri kereta di mana Hui Lan rebah tak berdaya. Setelah tirai kereta disingkap dan melihat gadis itu telentang dan tidur pulas, air liur memenuhi mulut Tong Taijin. Dia menoleh kepada tiga saudara Sun Hengte yang mengikutinya Untuk menjaga keselamatan majikan itu.

"Angkat ia ke keretaku!" katanya.

Tiga orang Saudara Sun itu bukanlah orang-orang jahat. Mereka hanya beringas mengawal dan menjaga keselamatan Tong Koo dan mereka belum pernah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kegagahan mereka. Murid-murid Thian-san-pai ini menjadi pengawal Tong Koo hanya karena tertarik akan upah dan hadiah yang banyak. Maka mendengar majikan mereka menyuruh mengangkat seorang gadis yang agaknya pingsan itu dan memindahkannya ke kereta majikan mereka, ketiganya saling pandang dengan ragu. Akan tetapi karena memindahk seorang gadis pingsan bukan perbuat jahat, mereka akhirnya melakukannya. Dua orang dari mereka menggotong tubuh Hui Lan ke kereta Tong Taijin.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar