Jilid 03
"Hayo pergi, hwesio jembel!" mereka menghardik dan mulai menarik sekuat tenaga. Akan tetapi tubuh hwesio itu sama sekali tidak bergerak! Dua orang tukang pukul itu merasa heran dan mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk membetot dan menarik, akan tetapi makin kuat mereka menarik, semakin kokoh tubuh hwesio itu, seperti sebuah batu besar, sama. sekali tidak dapat digerakkan!
"Jangan! Jangan ganggu Losuhu ini Tiba-tiba Liu Cin lari dan memegai lengan
seorang di antara dua tukang pukul itu dan ditarik-tariknya agar melepaskan hwesio itu.
Melihat ini, tukang pukul ketiga menjadi marah dan sekali tangannya menampar, tubuh Liu Cin terpelanting keatas. Setelah menampar Liu Cin, tukang pukul itu yang marah melihat dua orang rekannya belum juga mampu menarik hwesio gendut itu, cepat menghampiri dan berkata.
"Biar kutendang dia menggelinding dari sini!" Dari belakang tubuh hwesio itu, kakinya menendang.
"Bukkk!" Akan tetapi kakinya seperti menendang sebuah karung penuh beras Sama sekali tubuh itu tidak bergerak sedikit pun, apalagi menggelinding seperti yang dikatakan tukang pukul itu. Dia merasa penasaran sekali dan kembali dia menendangi punggung hwesio itu bertubi-tubi.
"Bukkk-bukkk-bukkk. !"
Liu Cin yang sudah bangkit, melupakan rasa nyeri di pipinya dan dia lari menghampiri tukang pukul yang menendangi punggung hwesio itu, lalu memegang lengannya dan menarik-nariknya.
"Jangan! Jangan tendangi Losuhu ini! Kasihan, dia sudah terluka, dia sakit !!"
Tukang pukul yang menendang-nendangi punggung hwesio itu menjadi semakin marah. Dia merasa heran, penasaran dan malu sekali bahwa tendangannya yang bertubi-tubi seolah tak dirasakan sama sekali oleh hwesio itu, sebaliknya kaki-kirinya menjadi nyeri dan sepatunya pecah-pecah, kakinya bengkak-bengkak. Maka, melihat anak itu menarik-nariknya, dia mengalihkan sasaran tendangannya.
"Bocah setan, kalau dia tidak boleh ditendang, engkau yang akan kutendang1" Dan dia mengayun kakinya, dengan seayalnya menendang ke arah perut Liu Cin! Kalau tendangan itu mengenai perut anak itu, dapat menyebabkan kematiannya.
"Wuuuttt....... krekkkkk!!" Adouuww !" Si penendang itu terpelanting,
mencoba bangkit, berloncat-loncatan dengan sila kaki, jatuh lagi dan menangis mengaduh-aduh sambil memegangi kaki kanannya yang tadi menendang ke arah Lui Cin. Kiranya sebelum kaki itu mengenai perut Liu Cin, ada toya menyambar dan menyambut tulang kering kaki itu sehingga tulang kaki itu patah-patah! Lurah Ci yang tidak tahu apa yang terjadi, mengira Liu Cin mengguna batu atau apa menyerang tukang pukulnya. Dia memaki dan menangkap lengan Liu Cin.
Pada saat itu, Ceng In Hosiang telah tadi menggunakan tangan kiri yang direnggut lepas dari tukang pukul yang memeganginya dan menggerak toya untuk memukul kaki tukang pukul yang menendang Liu Cin, kini setelah lengan kirinya ditangkap lagi, cepat menggerakan kedua lengannya sehingga dua orang tukang pukul yang memegang kedua lengannya itu terbawa dan saling bertumbukan.
"Desssss !!" Dua orang itu berteriak lalu roboh pingsan setelah kepala mereka
saling beradu sehingga agaknya mereka berdua menderita gegar otak! Sementara itu, ketika Lurah Ci menagkap kedua lengan Liu Cin, anak itu ronta-ronta, akan tetapi tentu saja dia kalah kuat dan tidak mampu melepaskan keduua lengannya. Biasanya, Liu Cin tidak berani bahkan takut sekali terhadap kepala dusun ini, karena tidak pernah ada yang membelanya. Akan tetapi sekarang, melihat ada hwesio luar biasa membelanya dan merobohkan tiga orang tukang pukul, rasa takutnya seketika menghilang dan dia cepat mendekatkan mukanya dan menggigit tangan kanan Lurah Ci yang memegangnya, menggigit sekuat tenaga.
"Waduhhhhh !" Lurah Ci berteriak kesakitan sehingga terpaksa dia melepaskan
pegangannya. Melihat kulit tangannya bekas tergigit dan berdarah, dia semakin marah.
"Bocah setan !" Dia memaki dan menghampiri Liu Cin dengan muka beringas
dan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan seperti hendak mencekik anak itu.
Melihat ini Lui Cin lalu berlari memapaki dan menyeruduk ke arah perut Lurah Ci. “Bukkk.............. bresss !" Diseruduk perutnya, Lurah Ci yang sama sekali tidak
pernah mengira anak yang biasanya menurut itu berani melakukan hal itu, terjengkang roboh! Dia memaki-maki merangkak bangkit, lalu mencabut pedang yang selalu tergantung di pinggangnya, pedang yang biasanya dia pamerkan bagai pedang pusaka yang keramat! lalu menghampiri Liu Cin dengan penuh kemarahan, dengan pedang terangkat. Tentu saja anak itu merasa tidak berdaya, akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan rasa takut dan hanya berdiri memandang lurah itu dengan sepasang mata bersinar.
Pada saat Lurah Ci membacokkan pedangnya, tiba-tiba ada dua benda kecil menyambar dan tepat mengenai kedua kakinya, di bawah lutut.
"Tuk! Tuk!" Lurah Ci menjerit, pedangnya terlepas dari tangannya dan diapun roboh terguling, mengaduh-aduh dan kedua tangannya sibuk meraba kedua kakinya.
Ternyata tulang kering di bawah betisnya patah terkena sambaran dua buah batu yang tadi dilontarkan Ceng Hosiang!
Lurah Ci dan tiga orang tukang pukulnya, setelah dua orang yang geger otak tadi siuman, kini hanya mengaduh-aduh. Bahkan dua orang yang kepala diadu tadi menangis seperti anak kecil agaknya gegar otak membuat mereka bersikap aneh. Ceng In Hosiang masih duduk bersila dan kini dia saling pandang dengan Lui Cin. Karena ingin mengetahui watak anak itu, Ceng In Hosiang berkata pada Liu Cin, "Lui Cin, orang-orang ia sudah banyak menyusahkanmu, sekaran engkau boleh melakukan apa saja sesukamu terhadap mereka. Kini engkau mempunyai kesempatan untuk membalas dendam. Lakukanlah sesukamu!"
Liu Cin memandang kepada empat orang itu satu demi satu, kemudian berkata. "Loya, Lurah Kiu-cun dan kalian! bertiga Paman yang menjadi pengawalnya, sekali ini kalian mendapatkan pelajaran dari Losuhu ini. Dia masih bersikap, lunak dan mengampuni kalian berempat, akan tetapi kalau lain kali kalian masih kejam dan sewenang-wenang terhadap penduduk dusun, pasti Losuhu ini akan datang lagi dan menghancurkan kepala kalian, bukan hanya kaki kalian!"
Melihat anak itu hanya mengeluarkan peringatan ini dan sama sekali tidak membalas dendam, Ceng In Hosiang merasa kagum dan juga girang sekali.
"Liu Cin, sekarang engkau bebas dari ancaman mereka. Engkau sekarang boleh pergi sesuka hatimu." katanya.
Tiba-tiba Liu Cin berlari menghampiri hwesio itu dan menjatuhkan diri berlutut di depannya. "Losuhu, saya sudah tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai rumah, ke mana saya harus pergi? Lo-suhu, perkenankanlah saya untuk ikut dengan Losuhu saja, biar saya dapat membantu dan merawat Losuhu yang sedang sakit."
"Omitohud!" Ceng In Hosiang berseru akan tetapi di dalam hatinya dia merasa senang sekali. Dia telah berhasil mengobati luka dalam tubuhnya dan dia memang ingin sekali mengangkat bocah ini menjadi muridnya. Selama ini dia belum pernah mempunyai murid dan begitu bertemu dengan anak itu, timbul keinginannya untuk mengambilnya sebagai murid, apalagi melihat sifat-sifat yang baik dipunyai Liu Cin. Juga anak yatim piatu dan sekarang malah sudah mohon sendiri untuk menjadi muridnya.
"Anak baik, tahukah engkau bahwa menjadi muridku bukan merupakan kehidupan yang enak bagimu? Selain pinceng miskin tidak memiliki apa-apa, juga engkau akan melakukan perjalanan jauh yang amat sukar dan berat, selain itu engkau harus pula tekun berlatih dan hal ini pun amat berat dan tidak menyenangkan."
"Losuhu, betapa berat pun, saya akan melaksanakan dengan senang hati. Saya tidak mungkin dapat hidup seperti yang sudah-sudah menjadi sapi perahan di rumah kepala dusun dan menerima penghinaan setiap hari dari semua orang. Kalau Losuhu tidak sudi menerima saya sebagai murid atau pelayan, saya akan pergi ke mana saya, asalkan tidak harus hidup di dusun ini."
Ceng In Hosiang masih ingin menguji watak anak itu. "Omitohud, agaknya lebih baik kalau engkau pergi ke mana pun engkau kehendaki, Liu Cin. Pinceng helum dapat menerimamu sebagai murid."
Mendengar ini, wajah Liu Cin berubah pucat dan dia lalu bangkit berdiri dan lari sambil menahan isak tangis karena kekecewaannya. Ceng In Hosiang mengikutinya dengan pandang mata, kemudian menghela napas panjang dan dia pun bangkit berdiri. Dia memandang kepada lurah Ci yang masih merintih-rintih tidak mampu bangkit berdiri, lalu mengambil sebungkus obat dari saku jubahnya. "Kalian ini orang-orang berhati kejamdan jahat. Ancaman Liu Cin tadi bukan gertak kosong belaka. Kalau engkau sebagai lurah dan tiga orang kaki tanganmu ini tidak mengubah watak kalian dan masih bersikap kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyat dusun, pinceng pasti akan datang memberi hukuman seperti yang dikatakan anak tadi. Pakai obat luar ini dan kembalilah ke jalan benar!" Dia melemparkan bungkusan obat itu kepada Lurah Ci, kemudian sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari situ. Lurah Ci dan tiga orang tukang pukulnya terkejut dan maklum bahwa mereka tadi berhadapan dengan seorang hwesio yan amat sakti. Mereka menjadi ketakutan dan sejak hari itu, mereka benar-benar bertobat dan mulai mengubah sikap dan watak mereka.
Liu Cin berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Dia berlari terus sampai napasnya terengah-engah dan akhirnya saking lelah dan kehabisan napas, tubuhnya tidak kuat lagi bertahan dan di terguling roboh. Dia menelungkup di atas tanah berumput. Tubuhnya berdenyut-denyut, lelah bercampur lapar dan haus ditambah rasa nyeri bekas tendanga Lurah Ci dan tamparan tukang pukul tadi. Akan tetapi perasaan campur aduk itu kini terasa nyaman setelah dia menelungkup di atas tanah. Tubuhnya terasa sejuk terkena rumput-rumput yang gemuk dan basah bekas embun, dan alangkah harumnya bau tanah dan rumput. Ah, dia tak ingin bangun lagi, biarlah dialah dia rebah begini selamanya! Liu Cin memejamkan matanya, akan tetapi dia kini membayangkan wajah hwesio tua yang telah menolongnya, membayangkan penolakan hwesio itu kepalanya. Tak terasa lagi kedua matanya mencucurkan air mata karena kecewa dan kesal. Apa yang dapat dia lakukan? Ke mana dia akan pergi? Apa yang akan dimakannya untuk menghentikan rontaan dalam perutnya yang lapar? Apakah tidak lebih baik kalau dia mati saja menyusul ayah ibunya? Tiba-tiba dia teringat beberapa tahun yang lalu ketika seorang tetangga mati menggantung diri karena putus asa telah bertahun-tahun menderita sakit berat. Ayahnya dahulu berkata bahwa bunuh diri merupakan perbuatan seorang pengecut yang berdosa besar! Selagi hidup tidak boleh putus asa, harus berdaya upaya, berikhtiar untuk mengatasi semua kesulitan dalam kehidupan!
Teringat akan ini, Liu Cin bangkit duduk, memaki diri sendiri yang tadi putus asa dan ingin mati saja. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat tumbuh-tumbuhan sayur yang dapat dimakan. walaupun biasanya sayur itu dimasak dan diberi bumbu lebih dulu. Dia bangkit dan memetik daun yang muda lalu memakannya. Tidak selezat kalau dimasak dan dibumbui, akan tetapi setidaknya dapat dimakan dan mengurangi rasa perih lambungnya.
Dia berjalan lagi, tak pernah berhenti dan pada sore hari itu dia tiba di tepi sungai yang amat lebar. Sungai Ya ce! Dia pernah mendengar cerita ayah tentang sungai yang amat luas ini sekarang baru dia berhadapan dengan sungai itu. Akan tetapi dia menjadi bingung. Perjalanannya terhalang sungai yang demikian lebarnya. Akan tetapi, dia berkata kepada dirinya sendiri, andaika ada perahu penyeberangan, dia pun tidak mampu membayar biaya penyeberangan. Lagi pula, menyeberang pun dia hendak pergi ke manakah?
Berpikir demikian, Liu Cin lalu menyusuri pantai sungai itu menuju ke kiri, ke arah Barat. Akan tetapi baru beberapa li (mil) dia berjalan, kakinya sudah tidak kuat melangkah lagi dan dia pun menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon, merebahkan badan di atas rumput tebal tian tertidur saking lelahnya.
Liu Cin tertidur setengah pingsan sampai lama dan ketika akhirnya dia terbangun, dia melihat kegelapan menyelimutinya sehingga sejenak dia menjadi panik. Digosok- gosoknya kedua matanya yang tidak dapat melihat apa-apa, dengan hati takut dia mengira bahwa kedua matanya telah menjadi buta! Akan tetapi ketika dia mengarahkan pandang matanya ke atas, dia melihat bintang-bintang bertaburan di langit, maka tahulah dia bahwa hari telah menjadi malam. Hatinya merasa lega. Dia tidak buta, dan ternyata dia telah tertidur sampai malam.
Kesunyian malam yang diisi musik lembut dari bunyi jengkerik dan belalang, membuat suasana menjadi seram. Dia teringat akan dongeng tentang setan dan hantu, maka Lui Cin mulai menggigil. Kemudian dia menyadari bahwa dia menggigil bukan hanya karena rasa takut melainkan karena hawa malam yang amat dingin. Dia pun teringat akan binatang binatang malam yang buas. Siapa tahu di tempat sunyi ini terdapat binatang buas. Teringat akan ini, Liu Cin lalu memanjat pohon besar itu dan duduk di atas cabang, tinggi diatas pohon. Dia tidak boleh tidur, dia akan bergadang semalam suntuk karena kalau dia tertidur, ada bahayanya dia akan terjatuh. Dia duduk di antara ranting dan cabang, daun-daun pohon itu dan semakin larut malam hawanya semakin dingin. Rasa takut semakin mencengkeram hati Liu Cin sehingga dia menggigil dan merangkul batang yang menjulang di depannya seolah mencari perlindungan.
Teringat akan semua cerita yang pernah didengarnya tentang hantu-hantu mendatangkan perasaan ngeri dan takut dan orang yang ketakutan selalu membayangkan hal-hal menyeramkan yang belum terjadi. Pendengaran yang terpengaruh rasa takut membuat apa pun yang didengarnya menjadi seram bunyinya. Bunyi binatang malam yang tadinya terdengar merdu dan lembut, kini berubah Menjadi seperti suara iblis menjerit-jerit. suara gemersik air terdengar seperti para setan dan hantu sedang bercakap-cakap dan berbisik-bisik, membicarakan dirinya! Juga pandang mata terpengaruh, bayangan-bayangan kini membentuk gambaran-gambaran mengerikan, seperti gambaran, hantu-hantu, apalagi karena bayangan itu bergerak-gerak oleh angin, bahaya yang datang dari binatang-binatang hanya remang-remang sehingga segala sesuatu tampak
menakutkan, Bahkan erasaan badan juga terpengaruh rasa takut. Ketika ada beberapa ekor semut merayap ke kakinya, Liu Cin hampir menjerit dan menepuk- nepuk kaki itu, sama sekali tidak ingat akan semut karena dia membayangkan bahwa itu adalah jari-jari hantu yang menggerayangi kakinya.
"Losuhu !" Dia mengeluh. Dahulu, kalau dia merasa sedih dan bingung, hati dan
mulutnya selalu mengeluh dan menyebut nama ayah ibunya yang sudah tiada. Akan tetapi sekarang tiba-tiba di teringat akan hwesio yang pernah menolongnya itu dan otomatis mulutny menyebut hwesio itu.
Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi berdesir kuat dan matanya melihat bayangan putih-putih melayang dari pohon di depan ke arah pohon di mana di berada!
Bayangan putih itu kemudian hinggap di atas ujung cabang, hanya sekitar dua tombak jauhnya. Cabang itu bergoyang-goyang sehingga tubuhnya pun ikut bergoyang. Liu Cin ketakutan setengah mati dan dia merangkul kuat kuat cabang di depannya agar jangan jatuh karena pingsan. Kemudian terdengar suara dari arah bayangan putih itu.
"Liu Cin !" Suara itu memanggil dan suaranya terdengar demikian
menyeramkan, bukan seperti suara manusiai demikian parau, dalam, dan mendatangkan hawa dingin.
"Liu Cin, jadilah muridku dan engkau akan menjadi Hantu yang sakti, tidak adalagi yang mengganggumu, bahkan engkau boleh mencuri apa saja yang kau sukai, boleh membunuh dan menyiksa siapa saja yang kau benci. Engkau akan hidup senang!
Hayo, katakan bahwa engkau mau menjadi muridku, ha-ha-ha !"
Setan, dia setan, pikir Liu Cin yang hampir pingsan saking takutnya. Dia Raja setan! Akan tetapi dia tidak mau mencuri, apalagi membunuh. Dia tidak mau menjadi hantu yang menakutkan orang. dia tidak berani menjawab, hanya mengelengkan kepalanya kuat-kuat!
Dengan mata terbelalak Liu Cin melihat betapa tiba-tiba bayangan putih itu melayang dan terdengar suara tawanya yang menyeramkan. Bayangkan itu hinggap di puncak pohon dan terdengar lagi uaranya
.
"Liu Cin, besok pagi engkau turunlah dari sini, berlututlah di depan pohon ini sebagai muridku! Engkau akan kuberi banyak emas dan juga kesaktian. Kalau engkau tidak mau melakukannya, kau akan kubunuh!" Kemudian terdengar lagi suara tawa dan bayangan itu berkelebat lenyap.
Liu Cin semakin ketakutan. Apalagi mengingat bahwa kalau besok dia tidak mau berlutut pada pohon ini mengaku murid, dia akan dibunuh! Berlutut pada pohon ini? Kalau begitu, yang muncul tadi tentulah Hantu Pohon ini! Ingin sekali dia turun dari pohon dan melarikan diri, akan tetapi saking takutnya kedua kakinya terasa lumpuh dan tak dapat digerakkan.
"Losuhu............. Losuhu, tolonglah saya Liu Cin merintih perlahan. Setelah dia
beberapa kali menyebut hwesio penolongnya itu, degup jantungnya agak tenang dan dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Dengan hati-hati dan perlan-lahan seolah-olah takut kalau kalau Hantu Pohon terbangun dan melihat niatnya melarikan diri, dia mulai menuruni pohon itu. Akhirnya dia dapat turun dan berdiri di atas tanah. Lalu, tanpa menoleh lagi dia segera lari sekuatnya.
Akan tetapi baru beberapa langkai dia lari, tiba-tiba berkelebat bayangar putih yang menghadang di depannya dan suara yang menyeramkan itu memanggil. "Liu Cin !"
Saking kaget dan takutnya karena dia yakin bahwa itu tentulah Setan Penjaga Pohon yang menghadangnya, Liu Cin jatuh terjerembab di atas tanah, menelungkup, menyembunyikan mukanya di antara rumput-rumput dan tubuhnya menggigil, mulutnya tanpa disadarinya berseru, "Losuhu, tolooonggggg !" Dan dia pun
pingsan! Ceng In Hosiang yang gemuk pendek itu tertawa senang. Dia menghampiri, membungkuk lalu mengangkat tubuh Liu Cin yang pingsan, memanggulnya dan dia lari dengan cepatnya.
"Ha-ha-ha, anak baik! Muridku yang baik. !"
Sejak saat itu, Liu Cin menjadi murid Ceng In Hosiang yang semalam sengaja menguji anak itu. Ternyata Liu Cin tidak terpikat oleh harta dan kesaktian dari iblis yang harus dia gunakan untuk melakukan kejahatan. Pada dasarnya, anak itu memiliki bakat dan watak yang baik.
ooOOoo
Lima tahun cepat sekali lewat sejak Si Han Lin menjadi murid Thai Kek Siansu di Puncak Cemara, sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Cin-ling san. Waktu memang akan melesat bagaikan tatit kalau tidak diperhatikan. Juga Sang Waktu amat perkasa, segala sesu dilahapnya .sehingga akhirnya semua a' tunduk dan menyerah kalah.
Selama lima tahun, Si Han Lin y dulu berusia sepuluh tahun ketika diba Thai Kek Siansu, telah menerima pendidikan yang dipelajari dan dilatih! dengan tekun. Anak ini memang cerdas dan tahu diri, rajin sekali sehingga gurunya merasa senang. Dia mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat. Juga Thai Siansu mengajarkan ilmu sastra sehingga Han Lin bukan saja pandai membaca menulis, bahkan dia dapat membaca kitab-kitab kuno, filsafat-filsafat para arif bijaksana di jaman dahulu, bahkan pandai pula menuliskan huruf indah dan merangkai kata-kata menjadi sajak.
Setelah kini hidup terbebas dari tekanan-tekanan, muncullah watak aseli Han Lin, yaitu watak yang gembira dan suka humor, lincah jenaka. Hal ini tidak dilarang oleh Thai Kek Siansu karena kakek itu selalu mengingatkan muridnya bahwa hidup ini merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih. Anugerah itu haruslah dinikmati dan disyukuri, bukan hanya di mulut dan dalam pikiran, namun kalau orang merasa bersyukur dan bahagia, sudah tentu hal itu mendatangkan kegembiraan dan gairah hidup. Kegembiraan dan gairah hidup inilah yang membuat seseorang, terutama yang masih muda, menjadi lincah jenaka dan suka bercanda. Segala sesuatu atau segala
peristiwa diterima dengan hati yang selalu bersyukur dan memuji keagungan dan kemurahan Tuhan, dipandang dari sudut yang selalu cerah.
Setelah kini berusia lima belas tahun, mulailah Thai Kek Siansu bicara tentang kehidupan, membuka mata batin muridnya agar melihat kenyataan-kenyataan dalam hidup. Han Lin juga mulai mengajukan banyak pertanyaan akan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kepada gurunya. Karena dia sering turun gunung untuk menjual hasil tanaman rempah-rempah bahan obat yang mereka tanam di puncak, kemudian pendapatan penjualan itu dibelikan segala kebutuhan hiduf mereka, bahan makanan dan pakaian maka Han Lin mendapat banyak kesempatan untuk melihat kehidupan manusia di dusun-dusun yang terdapat di kaki Pegunungan Cin- ling-san. Pada suatu pagi, Han Lin berlatil silat tangan kosong di dalam taman di belakang pondok. Setelah dia berada di puncak sebagai murid Thai Kek Siansu anak ini membantu gurunya menanan sayur mayur dan rempah-rempah bahan obat, juga dia membuat sebuah taman bunga. Dengan gerakan yang lembut dari indah Han Lin berlatih silat. Dia hanys mengenakan celana tanpa baju. Tubuhnya yang tegap walaupun kurus tampak berkilau oleh keringat karena dia telah berlatih silat sejak fajar menyingsing tadi.
Setiap kali berlatih silat, Han Lin selalu ingat akan ucapan gurunya tentang Ilmu silat. "Ilmu silat adalah perpaduan antara keindahan dan kesehatan. Keindahan seni tari, keindahan gerak seni bela diri, kesehatan jasmani dan kesehatan rohani. Tanpa adanya empat unsur itu, Ilmu silat akan menjadi buruk, kasar dan condong mengarah perbuatan jahat dan sesat."
Han Lin selalu teringat akan ucapan mi, maka kalau dia berlatih ilmu silat, ke empat unsur itu seolah menyatu dalam dirinya. Dia selalu bergerak dengan lembut dan indah namun di balik keindahan itu terdapat pertahanan atau perlindungan diri yang kuat. Tubuhnya terasa segar dan sehat, dan jiwanya tenang tenteram penuh damai karena pikiran atau lengkapnya, hati akal pikirannya bagaikan air telaga yang dalam, diam tidak terdapat banyak keriput yang dapat menimbulkan gelombang.
Tiba-tiba terdengar bunyi pekik burung rajawali. Han Lin menghentikan latihannya dan sambil menengadah memandang burung raksasa itu melayang turun, dia berseru.
"Tiauw-ko (Kakak Rajawali)! Turunlah, mari kita berlatih sebentar!"
Burung rajawali itu menukik tu dan hinggap di depan Han Lin. Han Lin telah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun yang bertubuh tegap dan berwajah tampan dan manis. Kulitnya agak gelap karena dia banyak bekerja di ladang dan tempat terbuka setiap hari mandi cahaya matahari.
Burung rajawali itu adalah seekor burung yang langka, amat besar dan memiliki kekuatan yang hebat. Seekor harimau pun tidak berdaya melawannya. Kedua kakinya memiliki cakar yang tajam melengkung runcing seperti baja, juga paruhnya amat kuat, mampu beradu dengan senjata terbuat dari baja yang ampuh tanpa menjadi rusak. Kedua macam senjata ini masih ditambah denga kibasan kedua sayapnya yang amat kuat dan mampu meremukkan batu gunung. Selain itu, gerakannya juga amat cepat apalagi karena dia memiliki sayap yang kuat sehingga dia mampu berkelebat seperti seekor burung kecil yang gesit.
Mendengar ajakan Han Lin, rajawali itu lalu mengembangkan sepasang sayapnya, menegakkan kepalanya seolah-olah dia sudah siap memasang kuda-kuda untuk melayani Han Lin berlatih dan bertanding!
Han Lin tertawa. "Ha-ha, Tiauw-ko, engkau sekarang menjadi sombong, ya? Aku memang selalu kalah kalau latihan bertanding denganmu dan agaknya engkau mulai sombong dan memandang ringan padaku! Akan tetapi hati-hati kau sekali ni, Tiauw- ko. Aku mungkin dapat mengalahkanmu!" Rajawali itu menggelengkan kepalanya seolah tidak percaya dan dia mengeluarkan suara lirih yang nadanya seperti mentertawakan Han Lin. Memang sejak kecil Han Lin selalu bermain-main dengan rajawali itu, setelah dia mulai kuat, dia pun berlatih silat melawannya. Akan tetapi dia selalu kalah. Rajawali itu amat sayang kepadanya, maka belum pernah melukainya dan kalau mengalahkannya, hanya membuat Han Lin jatuh bangun!
Melihat sikap burung itu, kembali Han Lin tertawa. Dia sudah mulai dapat mempelajari dan mengenal cara buru itu menyerang dan menjatuhkannya. Dan mencatat semua itu dan makin lama-makin dapat memperpanjang waktu pertandingan sebelum akhirnya dia dikalakan.
"Nah, awas sambut seranganku ini!” katanya dan dia mulai menyerang dengan pukulan tangan kiri ke arah pangkal leher rajawali, disusul dorongan tangan kanan ke arah dada. Rajawali itu miringkan tubuhnya sehingga pukulan ke arah lehernya luput dan sayap kirinya menangkis dorongan tangan kanan Han Lin.
"Bukkk!" Han Lin terpental akan tetapi dengan memutar tubuh dia mematahkan tenaga dorongan tangkisan sayap yang kuat itu dan tiba-tiba kakinya menendang, susul menyusul dengan kedua kakinya. Kini rajawali itu menangkis dan mengelak sambil mundur karena serangan Han Lin datang bertubi-tubi. Burung itu mencoba untuk balas menyerang dengan totokan paruhnya dan kibasan kedua sayapnya.
Akan tetapi dengan amat gesit Han Lin melangkah berputar-putar dengan gerakan langkah Jiauw-pouw-poai sin sehingga dia selalu dapat mengelelak dan membalas dengan serangan gencar!
Pertandingan berlangsung dengan hebatnya. Makin lama, gerakan mereka semakin cepat dan kini hawa pukul atau serangan mereka mendatangkan angin yang membuat pohon-pohon dekat situ seperti dilanda angin ribut.
“Ha-ha, Tiauw-ko, sekali ini engkau kalah!" Han Lin mendesak terus. Akan tetapi tiba-tiba burung itu mengeluarkan suara lalu tubuhnya melayang ke atas dan dari atas dia mulai menyerang Han Lin!
Han Lin melawan sekuat kemampuannya. Akan tetapi sekarang keadaannya berbalik. Han Lin mulai terdesak karena kalau dia hanya menggunakan empat senjata, yaitu sepasang tangan dan sepasang kakinya, rajawali itu menggunakan lima senjata, yaitu, sepasang cakar, sepasang sayap, dan sebuah paruhnya! Repotlah Han Lin harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari atas itu dan lebih payah lagi, kini dia sama sekali tidak dapat memanfaatkan kedua kakinya untuk menyerang karena rajawali itu berada di atasnya. Terpaksa dia hanya mengelak dan menangkis saja dan akhirnya, sebuah kebutan sayap mengenai pundaknya, membuat dia terpelanting dan ter guling-guling!
"Ark! Ark! Rajawali itu bersuara di turun hinggap di dekat Han Lin, mengunakan kepalanya untuk membantu pemuda itu bangkit berdiri. Han Lin bermandikan keringatnya, akan tetapi dtt tersenyum dan merangkul leher rajawali itu.
"Baiklah, aku mengaku kalah, Tiauw-ko, akan tetapi lain kali engkau berhati-hatilah terhadapku!" Tiba-tiba rajawali itu mendekam dan mengangguk-anggukkan kepala ke suatu arah. Maklumlah Han Lin bahwa itu pertanda bahwa gurunya sudah muncul. Memang rajawali memiliki penglihatan dan pendengaran yang amat peka sehingg dapat mengetahui lebih dulu akan kedatangan Thai Kek Siansu.
Han Lin membalikkan tubuhnya lalu memberi hormat dengan berlutut. "Suhu "
"Bangkitlah.dan mari duduk di bangku itu, Han Lin." kata Thai Kek Siansu. Han lin bangkit, lalu mengenakan bajunya dan mendahului suhunya menghampiri bangku dan dibersihkannya bangku itu dengan sapu tangannya sebelum gurunya duduk. Setelah mereka duduk di sebuah bangku panjang, Thai Kek Siansu mengamati muridnya dan dia berkata lembut.
"Han Lin, apakah yang ingin kau tanyakan pagi ini?"
"Banyak, Suhu. Akan tetapi teecu (murid) mohon Suhu suka menjelaskan, mengapa sejak kecil teecu dibiasakan untuk mengajukan pertanyaan kepada Suhu setiap seminggu sekali?"
"Karena orang mempelajari kehidupan hanya dengan bertanya, Han Lin. Kita harus selalu waspada dan peka akan lingkungan kita, dan kita harus selalu mempertanyakan dan menyelidiki segala hal yang belum kita mengerti benar. Hanya dengan kewaspadaan dan pertanyaan, penyelidikan, kita akan menjadi mengerti akan makna kehidupan ini. Siapa suka bertanya, dia akan bertambah pengertian.
Yang tidak mau bertanya hanya orang yang sombong dan merasa pintar sendiri yang begitu sudah pasti tidak akan mendapatkan kemajuan dalam kewaspadaa nya. Nah, sekarang, apa yang ingin kau tanyakan? Engkau sekarang sudah mulai dewasa, tentu pertanyaanmu juga lebih dewasa lagi."
"Suhu, ketika teecu memperhatikan kehidupan orang-orang di dusun dan kota teecu melihat betapa banyaknya orang yang menderita kesengsaraan. Banyak wajah yang tampak keruh, di mana-mana orang mengeluh tentang hidupnya yang tidak bahagia. Kebanyakan orang diliputi perasaan hidupnya dan juga khawatir, bahkan ada yang takut menghadapi kehidupan. Mengapa demikian, Suhu? Teecu sudah terbiasa selalu merasa bahagia gembira seperti yang Suhu maksudkan bahwa hidup merupakan anugerah Tuhan yang patut dinikmati dan disyukuri. Maka, melihat keadaan para penduduk dusun, terutama yang di kota teecu merasa heran dan juga kasihan."
"Han Lin, segala macam perasaan itu sesungguhnya muncul dari pikiran manusia sendiri. Hati akal pikiran mencintakan aku yang sesungguhnya hanya mengaku-aku dan permainan pikiran yang dikuasai nafsu, sehingga segala sesuatu berputar di sekitar si-aku itu. Kalau pikiran mengenang apa yang telah terjadi, yang merugikan aku, muncullah luka karena merasa iba diri, merasa betapa aku yang paling sengsara. Kalau hati akal pikiran membayangkan masa depan, membayangkan sesuatu yang belum terjadi, sesuatu yang tidak enak yang mungkin akan menimpaku, maka muncullah perasaan khawatir dan takut. Takut kalau-kalau aku terganggu, dirugikan atau disakiti. Kalau orang dapat menerima apa pun yang terjadi seperti apa adanya, tanpa ada penilaian dari si-aku yang selalu menilai apakah hal itu menguntungkan atau merugikan diri sendiri, maka tidak akan ada perasaan yang dipengaruhi kepentingan si-aku yang selalu ingin benar sendiri, menang sendiri, enak sendiri."
"Lalu, bagaimana sebaiknya, Suhu?" "
“Hidup adalah saat ini, saat demi saat, yang lalu tidak perlu diingat ingat sehingga mengganggu perasaan, yang belum terjadi juga tidak ada gunanya dibayangkan. Saat inilah hidup kita, yang penting saat ini harus benar, kalau sasuai demi saat kita tidak menyimpang dan kebenaran, maka akhirnya pun pasti benar. Seperti pernah kubicarakan denganmu, Han Lin, kebenaran sejati hanya datang dengan sendirinya sebagai buah Kasih yang telah menyelimuti diri. Memikiran hal lalu dan masa mendatangi hanya memperkuat si-aku dan nafsu yang mengaku-aku itu akan merupakan lawan yang dapat menutupi Sinar Kasih."
"Kalau kita hanya menerima apa adanya, hanya pasrah kepada Tuhan, berarti kita malas dan tidak melakukan apa-apa, Suhu?"
"Tentu saja kalau ada yang berpendapat demikian, itu merupakan suatu kebodohan. Kemalasan merupakan dosa! Tuhan telah memberi semua perlengkapan, kaki tangan akal budi dan semua sarana untuk hidup, tentu saja harus dikerjakan semua itu! Tuhan telah megaruniakan tanah, air, hawa, sinar matahari, bibit padi, semua itu tidak dapat dibuat manusia dan sudah disediakan begitu saja, akan tetapi semua itu tidak akan menghasilkan makanan kalau tidak dipadukan dengan usaha kita untuk mengerjakannya. Usaha atau ikhtiar itu merupakan kewajiban kita, untuk menggunakan semua perlengkapan itu guna memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi ikhtiar tidak menjamin keberhasilan. Kita harus berikhtiar sekuat kemampuan kita, itu kewajiban hidup, namun harus pula dilandasi kepasrahan kepada Tuhan karena hanya Kekuasaan Tuhan yang menentukan dan mengatur segala sesuatu di alam maya pada ini."
Demikianlah, setelah menjadi seorang pemuda remaja, Han Lin yang oleh Thai Kek Siansu setiap minggu diharuskan mengajukan pertanyaann tentang hidup dan isi kehidupan, kini mulai mengajukan pertanyaan yang lebih berat dan berisi. Ketika masih kanak-kanak dulu, pertanyaannya pun sudah menuju kearah hal hal yang dilihatnya di dunia ini dan yang tidak dimengertinya. Misalnya tentang segala tumbuh-tumbuhan dan binatang dari mana datangnya dan siapa pembuatnya.
Tentang angin, tentang awan, siapa yang mengatur semua itu. Hal-hal seperti ini dulu sebelum dia bertemu dengan Thai Kek Siansu, tidak pernah dia pikirkan, apalagi dia bicarakan dengan orang lain. Sejak kecil itu, mulailah dia dituntun oleh Thai Kek Siansu untuk menyadari akan keagungan dan kebesaran Tuhan, akan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas. Juga akan kemampuan manusia yang amat terbatas, bahwa tanpa anugerah Tuhan, manusia sesungguhnya tidak dapat melakukan apa pun.
Tiba-tiba rajawali yang masih mendekam tak jauh dari situ sejak tadi, seolah-olah mengerti apa yang sedang dibicarakan, bangkit berdiri dan mengeluarka suara seperti berkokok. Agaknya kepekacapannya yang luar biasa membuat dia dapat merasakan adanya sesuatu yang tidak wajar. Banyak binatang yang tidak mampu mempergunakan hati akal pikiran memiliki indera lain yang dapat merasakan apabila ada hantu datang. Misalnya anjing yang melolong di malam hari tanpa sebab tertentu, atau ayam-ayam yang ribut berkokok bersahut-sahutan tanpa sebab tertentu. Mereka itu merasakan danya sesuatu yang tidak wajar, yang tidak dapat dirasakan manusia biasa.
Melihat sikap rajawali, Thai Kek Siansu terdiam dan memejamkan matanya. Dia adalah seorang manusia yang jiwanya telah terbuka, tidak lagi tertutup nafsu daya rendah sehingga kepekaan yang bagi orang lain sudah tertutup hawa nafsu, telah kembali dimilikinya. Setiap orang manusia, sejak dilahirkan telah disertai kepekaan seperti pada mahluk lain, dan ini dapat dibuktikan pada diri anak-anak kecil yang kepekaannya masih belum tertutup hawa nafsu. Anak-anak bayi dapat merasakan apabila terjadi sesuatu yang tidak wajar, tidak sebagaimana mestinya, apalagi yang membahayakannya. Bahkan dia dapat merasakan kasih sayang atau pun kebencian orang kepadanya. Akan tetapi makin besar, kepekaan itu semakin pudar dan menghilang, yang sebenarnya bukan menghilang, melainkan tertutup oleh nafsu- nafsu daya rendah yang mulai mempengaruhi dan menguasai dirinya.
Tiba-tiba ada angin bertiup menggoyang pohon-pohon dan Han Lin melihat betapa Thai Kek Siansu bangkit dari duduknya lalu berlutut menghadap ke timur sambil memberi hormat.
"Susiok (Paman Guru), selamat datang!"
Han Lin yang selalu menganggap gurunya sebagai panutan, melihat gurunya berlutut, cepat ikut berlutut pula di belakang gurunya. Dia tidak melihat adanya orang akan tetapi mendengar ucapan gurunya dia tahu bahwa tentu gurunya memberi hormat kepada seorang yang menjadi paman guru dari Thai Kek Siansu.
Angin datang bertiup semakin kuat dan tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan orang dan 'tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek yang tubuhnya dilibat-libat kain putih. Kakek itu bertubuh tinggi kurus, lebih tinggi daripada Thai Kek Siansu, pakaiannya seperti yang dipakai Thai Kek Siansu. Melihat rambut, kumis dan jenggot panjangnya semua sudah putih, dapat diduga bahwa kakek itu tentu sudah tua sekali, sedikitnya delapan puluh tahun usianya. Sinar matanya tajam, kulitnya putih halus akan tetapi pada saat itu, sinar mata itu mengandung kemarahan dan kulit di antara dua alisnya berkerut, menandakan bahwa kakek tua renta itu sedang marah.
Kakek itu memandang kepada Thai Kek Siansu, lalu kepada Han Lin.
"Thai Kek Siansu, siapakah pemuda remaja ini?" terdengar suaranya bertanya.
"Su-siok, dia adalah Si Han Lin, murid tunggal teecu." jawab Thai Kek Siansu dengan lembut dan tenang. Kemudian dia menoleh kepada Han Lin. "Han Lin, beri hormat kepada Susiok-couw (Paman Kakek Guru) Thian Beng Siansu."
Han Lin segera memberi hormat sambil berlutut. "Susiok-couw, teecu Si Han Lin menghaturkan hormat."
Akan tetapi dengan suara mengandung kemarahan kakek itu berkata. "Thai Kek, engkau tahu bahwa aku tidak pernah mempunyai murid dan tidak pernah mengakui cucu murid! Akan tetapi engkau telah melanggar sumpah mendiang Suheng (Kakak Seperguruan) Thian Gi Siansu Engkau telah mengambil murid, larangan utama yang telah kau langgar. Agaknya engkau mencontoh perbuatan mendiang gurumu yang tidak benar. Maka, sekarang engkau harus mencontoh pula pertanggungan jawabnya menebus kesalahan itu dengan membunuh diri! Aku hanya datang menjadi saksi pelaksanaan peraturan yang menjadi wasiat Keluarga Kok. Nah, lakukanlah penebusan dosa itu!"
Dengan sikap tenang Thai Kek Siansu berkata "Maafkan teecu. Susiok. terpaksa teecu tidak dapat melakukan perbuatan bunuh diri. Teecu tidak berani karena hal itu merupakan dosa besar."
"Siancai !" Kakek tua renta itu berseru. "Engkau berani mengatakan bahwa
bunuh diri itu dosa? Bukankah gurumu juga membunuh diri untuk menebus kesalahannya itu?"
"Suhu telah melakukan bunuh diri dan itu adalah suatu dosa besar, Susiok. Sayang ketika hal itu terjadi, teecu tidak berada di sana. Kalau teecu ada, sudah pasti teecu akan mencegahnya."
"Murid durhaka! Kau bilang memenuhi sumpah Keluarga Kok itu berdosa? Apakah melanggar larangan menerima murid yang menjadi peraturan Keluarga Kok itu bukan dosa yang lebih hebat lagi?"
"Maaf, Susiok. Menurut teecu, peraturan larangan menerima murid itu memang tidak tepat, maka teecu juga tidak menyalahkan bahwa mendiang Suhu telah menerima murid. Hanya teecu menyesal mengapa Suhu begitu patuh kepada peraturan yang keliru itu sehingga melakukan dosa besar dengan membunuh diri."
"Murid murtad! Berani engkau mencela peraturan Keluarga Kok yang suci?" setelah membentak demikian, kakek tua renta itu mendorong dengan tangan kirinya. Dari telapak tangannya itu mencuat sinar putih menghantam tubuh Thai Kek Siansu dan tubuh Thai Kek Siansu terlempar dan jatuh terguling-guling!
Melihat ini, Han Lin meloncat menghadang karena kakek tua renta itu melangkah dan mengejar Thai Kek Sians agaknya hendak menyerang lagi.
"Suslokcouw! Jangan pukul Suhu!!"
Melihat pemuda remaja itu menghadangnya, Thian Beng Siansu mengibaskan ujung kain pembalut tubuhnya sambil berseru.
"Minggir kau !"
Angin yang amat kuat menyambar ka arah Han Lin ketika ujung kain itu di kebutkan dan biarpun Han Lin sudah siap, mengerahkan tenaga dan bahkan mencoba untuk mengelak dengan melompat ke samping, tetap saja tubuhnya disambar angin kuat dan dia pun terlempar dan terbanting jatuh sejauh tiga tombak!
Terdengar bunyi melengking dan burung rajawali itu agaknya marah melihat Thai Kek Siansu dan Han Lin diserang kakek tua renta. Dia sudah menggerakkan sepasang sayapnya, terbang meluncur dan menyerang Thai Beng Siansu! Akan tetapi kakek tua renta itu kembali menggerakkan ujung kain putih itu dan angin yang kuat menyambar dari samping.
"Wuuuttttt.......... bresssss !" Tubuh raawali yang besar itu pun terlempar dan
terbanting jatuh!
Han Lin dan rajawali itu bangkit lagi dan siap menyerang kakek tua renta yang agaknya akan menghampiri Thai Kek Siansu.
"Tiauw-cu! Han Lin! Jangan kurang ajar, hentikan gerakan kalian!" Thai Kek Siansu yang sudah bangkit duduk bersila itu berseru, kemudian dia berkata kepada Thian Beng Siansu.
"Susiok, maafkan mereka berdua yang hanya ingin membela teecu."
"Hemmm, aku tidak mau melukai siapa pun. Akan tetapi engkau harus menebus dosa dan membunuh diri, Thai Kek!"
"Teecu tetap tidak berani melakukan itu, Susiok, karena hal itu merupakan dosa yang besar sekali terhadap Tuhan! Hidup mati teecu berada di tangan Tuhan, siapapun tidak berhak mengakhiri! hidup setiap orang yang menjadi wewenang Dia yang memberi hidup!"
‘Murid murtad, kalau engkau tidak mau membunuh diri untuk menebus dosamu, terpaksa aku akan membinasakanmu Untuk memenuhi sumpah Keluarga Kok yang besar!" Setelah berkata demikian, dia melangkah menghampiri Thai Kek Siansu yang masih duduk bersila. Thai Kek Siansu yang duduk bersila itu meundukkan muka dan memejamkan mata, pasrah sepenuhnya kepada Tuhan untuk menerima apa yang akan terjadi dengan dirinya.
Setelah berdiri dekat Thai Kek Siansu, kakek tua renta itu menggerakkan tangan kirinya, menampar ke arah kepala Thai Kek Siansu. Tangan kiri itu memancarkan cahaya kilat yang menyambar ke arah kepala yang menunduk itu.
"Syuuuttt tarrr!" Kilat itu menyambar ke arah kepala Thai Kek Siansu
yang menunduk, akan tetapi setelah tinggal kurang dari sejengkal sinar itu terpental! Thai Kek Siansu masih tetap menundukkan muka dengan mata terpejam, seolah tidak tahu bahwa dirinya diserang dengan pukulan maut tadi. Kakek tua renta itu terkejut dan matan terbelalak heran, seolah tidak percaya. Dia lalu menyembah dengan kedua tangan umtuk menghimpun tenaga dalan sepasang tangannya, kemudian dia menghantamkan kedua tangan itu dari kanan kiri ke arah kepala Thai Kek Siansu.
"Wuuuuutttt blarrrrr !" Kembali dua sinar kilat yang menyambar da kedua
telapak tangan Thian Beng Siansu ke arah kepala Thai Kek Siansu, setelah dekat sekali dengan kepala itu, terpental keras sehingga tubuh kakek tua renta itu ikut terdorong ke belakang. Dia terkejut bukan main akan tetapi sebagai seorang yang memiliki tingkat ilmu yang sudah amat tinggi, dia tahu benar bahwa dia tidak akan mampu membinasakan keponakan muridnya ini. Dia tidak perlu mencoba lagi.
Mukanya menjadi pucat lalu berubah merah sekali. "Thai Kek! Murid durhaka dan sesat! Ternyata engkau telah demikian jauh tersesat sehingga engkau telah mempelajari ilmu sesat dari Iblis!"
Thai Kek Siansu membuka kedua matanya dan dia bangkit berdiri, menjura dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat kepada Thian Beng Siansu, lalu menjawab dengan lembut. "Su-siok, ilmu sesat yang dari Iblis adalah ilmu yang digunakan untuk mencelakai orang lain. Ilmu yang bekerja untuk melindungi diri dan orang lain dari bencana dan kejahatan adalah ilmu dari Tuhan Yang Maha Kuasa."
Han Lin yang sejak tadi merasa penasaran akan sikap dan tindakan kakek tua renta yang dia anggap tidak pantas dan keterlaluan, juga kejam itu, tak dapat menahan dirinya lagi. Apalagi melihat gurunya tadi diserang.
"Lo-cian-pwe, saya tidak mau menyebutmu Susiok-couw karena engkau melarang adanya murid. Tidak ada murid berarti tidak ada guru dan tidak ada pula paman kakek guru. Saya melihat hal yang aneh sekali dalam peraturan hukum yang diadakan nenek moyang gurumu, yaitu Keluarga Kok seperti yang kau katakan tadi! Lucu, aneh dan tidak masuk diakal, juga tidak adil dan diadakan seenak perutnya sendiri!"
Thai Kek Siansu mengangkat alis mendengar ucapan muridnya itu, akan tetapi dia tahu benar bahwa Han Li bukan bicara sekedar untuk bersikap kurang ajar. Anak itu cerdik sekali, maka tentu dia mempunyai alasan yang kuat untuk berkata seperti itu. Dan dia pun yakin bahwa seorang yang memiliki tingkat kepandaian setinggi susioknya, yang melebihi tingkat para datuk, pasti malu dan tidak mau merendahkan martabat untuk membunuh seorang pemuda remaja. Maka dia pun hanya tersenyum saja.
"Huh, Thai Kek, engkau juga memungut seorang bocah jahat untuk menjadi muridmu! Anak muda tak sopan, mengapa engkau mengatakan ucapan jahat itu?"
"Saya tidak bicara sembarangan atau hendak bersikap kurang ajar dan jahat, Locian- pwe! Coba saja engkau renungkan. Keluarga Kok yang mulia dan terhormat itu melarang dan menyalahkan Suhu yang menerima murid, bahkan katanya tadi Su- kong (Kakek Guru) telah dipaksa bunuh diri ketika menerima Suhu sebagai murid.
Akan tetapi, kenapa mereka sendiri mempunyai murid? Buktinya, nah, sekarang ada Locian-pwe dan ada Suhu, bukankah kalian berdua ini juga keturunan murid Keluarga Kok? Kalau begitu, seharusnya Keluarga Kok itu membunuh diri sendiri. Ini baru adil! Karena kalau mereka tidak pernah menerima murid, tentu tidak ada pula Suhu yang menerima saya sebagai murid. Coba Lo-cian-pwe pikir baik-baik, apakah saya ini bicara ngawur dan tidak sopan?"
Mendengar ucapan pemuda remaja dengan suara lantang dan fasih itu, Thian Beng Siansu tertegun dan tidak mampu menjawab. Sejak dulu, dia hanya menaati peraturan hukum Keluarga Kok itu tanpa berpikir atau mempertimbangkan lagi, percaya dengan membuta begitu saja.
"Han Lin, diamlah dan jangan bersikap seperti itu terhadap Susiok!" kata Thai Kek Siansu dan Han Lin cepat memberi hormat kepada suhunya. "Baik, dan maafkan teecu, Suhu."
Thai Kek Siansu berkata kepada Thia Beng Siansu dengan sikap hormat dai suara lembut. "Susiok, semula teecu memang tidak pernah mempunyai pikiran menerima murid walaupun kematian mendiang Suhu karena bunuh diri itu masih membuat hati ini merasa penasaran. Kemudian mengingat bahwa teecu semakin tua, teecu pikir akan sia-sia belaka selama puluhan tahun teecu mempelajari semua ilmu kalau tidak dipergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan. Karena teecu sendiri tidak ingin mencampuri urusan., manusia di dunia yang semakin kacau, maka teecu pikir sebaiknya teecu wariskan semua yang telah teecu pelajari kepada seseorang agar murid itu kelak dapat memanfaatkan semua ilmu itu. Dengan demikian maka kelak nama Keluarga Kok juga akan terangkat karena ilmu dari mereka telah bermanfaat bagi manusia di dunia. Itulah sebabnya teecu lalu mengambil Si Han Lin ini sebagai murid tunggal."
Thian Beng Siansu maklum bahwa kalau dia bersitegang, dia hanya akan membuat dirinya mendapat malu. Menggunakan kekerasan tidak mampu melukai murid keponakannya, dan berdebat kata-kata pun agaknya dia akan kalah oleh pemuda remaja yang lincah itu. Maka dia mengebutkan ujung kain putih itu seperti orang membersihkan debu dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap.
Sampai beberapa lamanya Thai Kek Siansu dan Si Han Lin berdiri diam, masih terkesan mendalam akan kemunculan kakek tua renta itu. Bahkan rajawali itu juga mendekam di atas tanah dan diam saja.
Kemudian Han Lin yang masih merasa penasaran bertanya kepada gurunya. "Suhu, apa artinya semua peristiwa tadi? Teecu tahu benar bahwa Suhu adalah seorang yang bijaksana, maka sepantasnya kalau paman-guru lebih bijaksana lagi. Akan tetapi mengapa Su-siok-couw bersikap demikian keras bahkan tega hendak membunuh Suhu?"
"Su-siok Thian Beng Siansu adalah orang yang terlalu kukuh menaati peraturan dari perguruan tanpa mempertimbangkan benar tidaknya peraturan kuno itu. Saking taatnya, maka dia pun lupa bahwa ketaatannya itu dapat saja mendorongnya untuk bertindak kejam, sebetulnya dia bukanlah seorang yang berwatak jahat, akan tetapi dia lebih tepat dikatakan lemah sehingga tidak mempunyai pendirian dan pertimbangan sendiri, hanya mengukuhi peraturan yang ada."
"Akan tetapi mengapa Keluarga Kok yang menurunkan ilmu-ilmu yang juga diwarisi Suhu sampai teecu mengeluarkarkan peraturan yang demikian aneh? Kalau mereka sendiri mempunyai murid, mengapa mereka melarang para muridnya mengajarkan kepada orang lain dan menuntut mereka bersumpah untuk bunuh diri kalau mengambil murid?"
Thian Kek Siansu menghela napas panjang. "Peraturan itu diadakan sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi ketika aku masih belum menjadi murid Suhu Mungkin aku masih kecil. Ketika kepala keluarga dari Keluarga Kok yang mendapatkan ilmu-ilmu itu mengajarkan ilmu-munya kepada seorang murid, setelah murid itu menjadi pandai dan menguasai hampir seluruh ilmu Keluarga Kok, timbul niatnya yang jahat, yaitu hendak menjadi jago silat nomor satu di dunia. Dia menganggap bahwa dirinya hanya dapat ditandingi oleh gurunya, maka pada suatu hari dia menyerang Sang guru untuk membunuhnya. Kalau gurunya mati berarti dialah yang menjadi jagoan nomor satu! Akan tetapi dia tidak tahu bahwa gurunya masih menyimpan sebuah ilmu yang belum diajarkan kepadanya, maka ketika berkelahi, Si murid itu kalah dan tewas. Nah, sejak itulah Keluarga Kok mengadakan peraturan, melarang para murid lain untuk mengajarkan ilmu mereka kepada orang lain. Kakek gurumu tidak menyetujui peraturan itu dan diam-diam dia mengambil aku sebagai murid. Akan tetapi setelah aku tamat belajar, hal itu ketahuan sehingga Kakek Gurumu dihukum dan disuruh membunuh diri. Sekarang, Susiok-couwmu mengetahui bahwa aku mengambilmu sebagai murid, maka dia datang dengan niat untuk menghukum aku dan karena aku tidak mau membunuh diri, dia yang akan membunuhku sebagai ketaatannya kepada hukum Keluarga Kok."
"Akan tetapi tadi teecu melihat hal yang teecu tidak mengerti, Suhu. Susiok couw itu lihai bukan main sehingga bukan hanya Suhu yang tadi dibuatnya terlempar, juga teecu dan Tiauw-ko terlempar tanpa menderita luka."
"Susiokcouw-mu tidak ingin membunuh engkau dan Tiauw-cu, kalau ingin membunuh, kalian berdua tentu kini sudahi tewas."
"Akan tetapi, Suhu. Ketika dia menyerang Suhu dengan dahsyat, sehingga tangannya mengeluarkan kilat, mengapa serangannya tidak dapat mengenai tubuh Suhu dan terpental? Apakah ini berart Suhu lebih sakti daripada Susiok-couw?"
"Tidak, Han Lin. Ilmu yang dikuasa Susiok itu sudah mencapai tingkat tinggi Kalau dia menghajarku tanpa niat mem bunuh, melawan pun kiranya aku akan kalah. Akan tetapi begitu dia bermaksud" membunuhku, semua pukulannya tidak mengenai tubuhku walaupun aku sama sekali tidak melawan. Aku hanya berserah diri kepada Tuhan dan ternyata Kekuasaan Tuhan melindungiku. Kalau Kekuasaan Tuhan melindungiku dan Tuhan tidak menghendaki aku mati, jangankan hanya serangan dari Susiokcouw-mu, biarpun serangan dari seluruh alam semesta pasti tidak akan mampu membunuhku. Yang menentukan mati hidupnya seseorang adalah Tuhan sendiri."
Mulai saat itu, sejak berusia lima belas tahun, mulailah Thai Kek Siansu membimbing Han Lin untuk berserah diri kepada Kekuasaan Tuhan. Dengan penyerahan yang tulus ikhlas, lahir batin, meniadakan aku yang dibentuk oleh nafsu hati akal pikiran, maka Tuhan dengan kekuasaanNya yang tidak terbatas akan membuka semua hawa nafsu yang menutupi jiwanya sehingga jiwa itu dapat menerima Sinar Terang dari Tuhan yang membersihkan jiwa raga sehingga siap menerima kontak kembali dengan Jiwa Agung yang dari Tuhan.
ooOOoo
Si Han Lin kini telah menjadi seorang pemuda yang berusia dua puluh tahun. Selama sepuluh tahun dia tinggal di Puncak Cemara di Pegunungan Cin-ling-san bersama Thai Kek Siansu. Selama sepuluh tahun itu dia telah menimba banyak ilmu dari gurunya. Bukan hanya ilmu silat tinggi yang kini dikuasainya, melainkan juga sastra, seni musik, dan terutama sekali kewaspadaan dan penghayatannya tentang kehidupan yang benar. Bahkan dia telah menjadi seorang manusia berbahagia yang selalu menerima bimbingan Tuhan melalui jiwa raganya yang sudah peka.
Kebahagiaan ini terpancar dari wajahnya yang selalu riang, membuatnya menjadi seorang pemuda yang jenaka, lincah dan tidak pernah dipengaruhi emosi perasaan. Dalam keadaan bagaimanapun juga, dia selalu merasa berbahagia kar ena tak pernah kehilangan pegangan, tak pernah lepas hubungannya dengan Yang Maha Kuasa. Akan tetapi, bukan berarti bahwa dia menjadi seorang manusia istimewa.
Sama sekali tidak, karena sesuai dengan petunjuk gurunya, dia hidup normal dan seperti manusia biasa dengan segala macam kelemahan dan persoalannya walaupun persolan itu hanya mempengaruhi jasmaninya belaka, hanya kulit tidak menyentuh isi. Rohaninya sama sekali tidak terpengaruh.
Han Lin yang berusia dua puluh tahun itu bertubuh tinggi tegap, tampak biasa saja walaupun di balik semua yang biasa itu terdapat sesuatu yang luar biasa. Kulit tubuhnya agak gelap namun bercahaya dan bersih, membayangkan kesehatan.
Wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Matanya tajam lembut namun jenaka, mulutnya yang agak kecil itu selalu tersenyum manis. Sikapnya lincah jenaka dan dia memandang dunia dengan cerah. Pakaiannya bersih namun sederhana.
Pada pagi hari itu, Thai Kek Siansu yang kini berusia sekitar enam puluh tahun dan duduk bersila di atas batu di depan pondok, memanggilnya. Han Lin menghadap dan berlutut di depan guru nya. Di antara guru dan murid ini terdapat hubungan batin yang amat erat seperti ayah dan puteranya sendiri.
"Han Lin, aku memanggilmu karena ada sebuah tugas yang kuharap engka dapat melakukannya."
“Teecu siap melakukan semua perintah Suhu!" kata Han Lin dengan girang karena setiap perintah gurunya memberi semangat kepadanya karena itu berarti bahwa dia dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Dia tahu bahwa kalau gurunya memerintahkan sesuatu, pasti bukan untuk kepentingan gurunya, melainkan untuk kepentingan! orang lain.
"Han Lin, di negara yang luas ini terdapat banyak sekali orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Seperti juga ilmu-ilmu lain di dunia ini, sesungguhnya ilmu diberikan Tuhan kepada manusia untuk dipakai sebagai alat menyejahterakan kehidupan di bumi. Akan tetapi kebanyakan orang lupa diri dan bahkan banyak yang menggunakan ilmu untuk mencapai tujuan guna kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Ada yang dipakai melakukan kejahatan, mengandalkan kekuatan ilmunya, memaksakan kehendak memeras dan menindas orang lain, ada yang melakukan perampokan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Ada yang mempergunakan ilmu untuk mencari nama besar, untuk mengangkat diri sendiri sebagai yang terkuat atau terpandai sehingga terjadi persaingan dan permusuhan. Yang amat menyedihkan, bahkan di antara para datuk dan guru besar ilmu silat, setiap tahun mereka mengadakan pertemuan di Puncak Thaisan dan di sana mereka saling berlumba mengadu ilmu silat untuk memilih seorang yang paling tangguh untuk diberi julukan Thian-he-te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Kolong Langit)! Untuk memperebutkan gelar atau julukan ini, orang-orang itu berlumba mengadu kepandaian dan sering dalam pertandingan itu terdapat banyak yang terluka bahkan ada yang sampai tewas. Biasanya, dulu setiap tahun akan mendatangi Puncak Thaisan untuk menjadi pengamat dan mencegah terjadinya bunuh membunuh. Akan tetapi karen mereka itu sulit disadarkan dan biarpun tidak lagi setahun sekali, namun beberapa tahun sekali pasti terjadi perebutan seperti itu. Sekarang aku tidak mau lagi mencampuri, namun dalam hati aku selalu merasa menyesal mengapa orang-orang pandai bersikap seperti itu. Nah, pertemuan seperti itu akan diadakan pada permulaan musim semi dan tahun ini terjatuh sekitar satu bulan lagi. Maka, aku ingin engkau mewakili aku mengamati dan mencegah terjadinya bunuh membunuh dan menyadarkan mereka akan kosong dan bodohnya kebiasaan bersaing dan berebut gelar nomor satu itu."
"Wah, Suhu, jadi teecu harus pergi ke Puncak Thaisan sekarang, mewakili Suhu?" seru Han Lin dengan girang. Dia seringkali disuruh turun gunung untuk menjual rempah-rempah dan menukarkannya dengan bahan kebutuhan hidup mereka. Akan tetapi belum pernah dia pergi demikian jauhnya. Baru membayangkannya saja dia sudah merasa amat gembira!
"Han Lin, engkau belum pernah pergi jauh dan engkau belum tahu jalan ke Thaisan. Oleh karena itu, biarlah Tiauw-cu yang mengantarmu. Engkau tentu masih ingat akan nama para datuk besar dan ciri-ciri mereka seperti yang kugambarkan kepadamu, bukan?"
“Teecu masih ingat semua, Suhu."
"Bagus, sekarang berkemaslah. Bawa semua pakaianmu untuk bekal pengganti dalam perjalanan dan sisa uang penjualan rempah-rempah dalam almari itu bawalah. Engkau memerlukan uang dalam perjalananmu, untuk membeli makanan dan kalau perlu membayar rumah penginapan."
"Baik, Suhu!" Dengan girang dan menari-nari pemuda itu memasuki pondok dan menaati perintah gurunya. Tak lama kemudian dia keluar lagi menggendong sebuah buntalan berisi pakaian dan seKantung uang perak. Ketika dia tiba diluar, rajawali itu telah mendekam di depan Thai Kek Siansu yang bicara kepadanya.
"Tiauw-cu, engkau harus mengantar Han Lin ke Puncak Thai-san."
Rajawali itu mengeluarkan suara lirih dan mengangguk-anggukkan kepalanya.! Han Lin berlutut di depan suhunya.
"Suhu, apakah teecu harus berangkat sekarang bersama Tiauw-ko?"
"Ya, berangkatlah, Han Lin, dan bawalah ini. Kuberikan ini padamu!" Thai Kek Siansu mengambil sebuah pedang dengan sarungnya dari balik lipatan kain yang melibat tubuhnya. Han Lin memandang heran. Dia tidak pernah melihat gurunya mempunyai pedang! Bahkan ketika dia mempelajari ilmu silat pedang, gurunya dan dia menggunakan sebatang! ranting pohon. Dia memang tidak membutuhkan pedang karena ilmu silat yang diajarkan gurunya, dapat dimainkan dengan benda apa pun.
Maka, kini tiba-tiba gurunya memberi sebatang pedang kepadanya. Tentu saja dia menjadi heran sekali. "Suhu, Suhu memberi teecu sebatang pedang. Untuk apakah pedang ini, Suhu?" Dia bertanya sambil menerima pedang itu dengan kedua tangannya.
Thai Kek Siansu tersenyum. "Pedang ini bernama Pek-sim-kiam (Pedang Hati Putih), Han Lin. Pedang hanyalah alat, sebagai pembantu tangan. Tidak ada bedanya dengan anggota badanmu. Apakah engkau juga bertanya untuk apakah tanganmu, kakimu atau anggauta badanmu yang lain? Pedang ini bukan untuk mencelakai atau membunuh orang, melainkan untuk perlengkapan melindungi dirimu. Jangan dikira hanya senjata saja yang disebut jahat. Tangan pun dapat dipergunakan untuk kejahatan. Jahat tidaknya sebuah benda tergantung dari dia yang menggunakannya. Dan pedang ini masih bersih, belum pernah melukai orang. Bahkan namanya selalu mengingatkan pemegangnya agar selalu berhati putih, bersih dari niat kotor."
Han Lin ingin melihat dan perlahan-lahan mencabut pedang itu dari sarungnya. Ternyata pedang itu memang putih, putih seperti kapas, seperti kapur atau seperti salju! Bersih dan indah sekal sampai mengkilap, tidak ada cacat sedikit pun.
"Terima kasih, Suhu. Teecu akan menjaga baik-baik pedang ini."
Setelah memberi hormat dengan berlutut sekali lagi dan gurunya memberi isarat dengan tangan agar dia berangkat Han Lin lalu naik ke punggung; rajawali dan berkata.
"Tiauw-ko, mari kita pergi!" Suaranya terdengar riang gembira. Rajawali itu juga mengeluarkan suara melengking panjang lalu mengembangkan sayapnya dan terbang membubung tinggi.
ooOOoo
Agaknya sudah menjadi kelemahan manusia sejak dahulu untuk selalu merasa paling hebat. Karena itu, tiada hentinya manusia bersaing untuk saling mengungguli. Sejak anak-anak sekalipun manusia sudah mempunyai keinginan untuk menonjolkan diri berupaya agar dirinya diperhatikan dan dikagumi. Setiap orang mencari sesuatu untuk dapat membuat dirinya "lebih" daripada orang lain, baik Itu kelebihan dalam kepandaian, kekayaan, kekuasaan, keelokan rupa, bahkan kelebihan dalam apa yang mereka namakan kebajikan! Bahkan untuk dapat memperoleh sebutan "yang ter " mereka tidak segan menggunakan cara apa pun.
Penyakit batin atau kelemahan ini pun agaknya merasuk ke dalam hati dan pikiran para datuk persilatan. Karena itu, setiap tahun atau kalau yang datang tidak lengkap, diundur setiap dua atau tiga tahun sekali, para datuk persilatan dari empat penjuru datang berkumpul di Puncak Thai-san. Dahulu, pada permulaannya, pertemuan antara para datuk persilatan itu hanya merupakan pertemuan untuk mempererat persahabatan dan untuk saling menceritakan pengalaman masing-masing. Akan tetapi sejalan dengan pergolakan dalam negeri di mana timbul perebutan kekuasaan, maka hal ini menular kepada para datuk. Mereka itu masing-masing berpihak sehingga terpecah belah. Kalau dulu merupakan pertemuan yang rukun, kemudian berubah menjadi persaingan dan mulailah mereka saling mempertandingkan ilmu silat masing-masing dan akhirnya ditentukan pemilihan jagoan nomor satu dalam setiap pertemuan seperti itu di Puncak Thai-san. Pertandingan yang didorong keinginan untuk menjadi yang terlihai ini terkadang mengakibatkan jatuhnya korban yang terluka parah bahkan ada yang! tewas dalam pibu (adu ilmu silat) itu.
Kemudian, belasan tahun yang lalu, muncul Thai Kek Siansu di dalam pertemuan itu. Thai Kek Siansu melerai dan mencegah terjadinya pertandingan perebutan kedudukan jagoan nomor satu ini. Dia menasihatkan mereka, bukan hanya dengan kata-katanya yang mendalam dan mengandung kasunyatan, namun juga karena semua yang merasa dirinya paling jagoan, ternyata tidak berdaya menghadapi Thai Kek Siansu. Pengaruh Thai Kek Siansu yang disegani semua datuk ini berhasil mengubah pertemuan yang biasanya berakhir dengan pibu yang buas, menjadi pertemuan yang rukun seperti semula. Bahkan perkumpulan atau aliran silat terbesar seperti Siauwlimpai, Bu-tongpai, Kunlunpai dan Gobipai mengirim wakil mereka untuk hadir dalam pertemuan yang bersifat mempererat persahabatan dan bertukar pikiran dengan rukun itu. Akan tetapi, setelah Thai Kek Siansu mengambil Han Lin sebagai murid sepuluh tahun yang lalu, dia tidak pernah lagi menghadiri pertemuan itu. Maka, kembali terpengaruh perebutan kekuasaan di pemerintahan dan pemberontakan-pemberontakan, penyakit itu kambuh pula dalam batin para datuk dan pendekar persilatan. Terjadilah lagi persaingan dan melihat ini, para wakil atau utusan partai-partai persilatan besar mengundurkan diri dan tidak mau terlibat dalam perebutan itu.
Beberapa tahun kemudian, karena pada setiap pertemuan yang melakukan pibu yang sifatnya saling memperebutkan kedudukan sebagai yang terlihai, hanyalah para datuk tua yang itu-itu juga, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk menghentikan persaingan antara kaum tua itu. Mereka lalu mengubahi peraturan, yaitu dalam setiap pertemuanl itu, yang memperebutkan sebutan Thian-te-he Te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu Di Dunia) bukan lagi para datuk tua, melainkan murid-murid mereka, yaitu para pendekar muda yang usianya dibatasi, paling tua berusia empat puluh tahun. Semua sepakat dan tidak ada yang berani melanggar, karena yang melanggar! tentu akan dikeroyok oleh semua pihak yang sudah memutuskan hal itu.
Kemudian, berkembang keadaan yang tidak bersih lagi. Yang melakukan pej rebutan pendekar silat terlihai bukarj hanya terdiri dari para pendekar. Bahkan para tokoh sesat mulai ikut masuk. Penjahat jahat yang kejam dan ganas menganggap diri mereka sebagai "pendekar silat" pula dan ikut memperebutkan julukan itu Akhirnya, pada tahun-tahun terakhir, yang diperebutkan bukanlah "pendekar silat nomor satu" melainkan "orang lihai nomor satu" sehingga tidak ada pemisahan lagi antara para pendekar bersih dan golongan hitam atau golongan sesat. Peraturan perebutan yang terlihai itu pun diadakan dan sudah berjalan selama beberapa tahun. Peraturan itu adalah siapa yang terpilih sebagai jagoan, pada pemilihan mendatang akan diadu dengan pemenang dari semua calon baru. Semua jago yang diadu, baik laki-laki maupun perempuan, berusia tidak lebih dari empat puluh tahun, bahkan biasanya yang jagoan masih lebih muda lagi. Yang usianya lebih tua, sampai empat puluh tahun, kalau bukan kalah tenaga, juga yang merasa dirinya memiliki tingkat tinggi merasa malu kalau harus memperebutkan gelar jagoan dengan orang-orang muda. Pada pagi hari pada tahun itu, seperti biasa banyak orang-orang dunia persilatan yang mendaki Gunung Thai-san untuk menghadiri pertemuan perebutan kejuaraan silat itu. Sudah dua tahun sang juara memegang gelarnya karena tahun kemarin yang hadir hanya sedikit sehingga pemilihan dibatalkan. Tahun ini ternyata banyak yang datang sehingga sebelum hari menjadi siang, di Puncak Thaisa n sudah berkumpul hampir seratus orang dari berbagai golongan.
Para datuk tua yang hadir hanya, sebagai "botoh" saja. Mereka tidak ikuj dalam pemilihan, melainkan mengajukan murid-murid pilihan mereka. Kalau murid mereka menang, berarti nama mereka juga naik dan dihormati. Mereka yang membuka perguruan, kalau muridnya menang berarti uang banyak masuk karena tentu banyak yang ingin menjadi mul ridnya, biarpun harus membayar mahal.
Seperti biasa, dalam pertemuan seperti itu, yang seolah bertindak sebagai "tuan rumah", walaupun tanpa ada hidangan, adalah sang juara atau Thian-he Te-it Bu- hiap dengan para pendukungnya dan biasanya juga ditemani gurunya. Pihak tuan rumah ini tentu datang lebih dulu dan mereka berkumpul di pinggir tanah datar yang menonjol lebih tinggi dari sekelilingnya sehingga merupakan sebuah panggung. Di atas tanah tinggi seperti panggung inilah pertandingan silat diadakan sedangkan tamu-tamu yang menonton berdiri di sekeliling tanah tinggi itu.
Yang akan mempertahankan diri sebagai sang juara yang merebut kedudukan atau gelar juara itu dua tahun yang lalu, adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar dan kokoh. Dia sudah duduk di situ, di sebelah seorang kakek yang menjadi gurunya. Semua orang tahu bahwa laki-laki muka hitam itu juaranya, memandang kepada dua orang ini dengan penuh perhatian, karena Si Muka Hitam itulah yang akan mempertahankan gelarnya, menandingi penantangnya, yaitu yang terlihai di antara para penantang yang datang pada hari itu.
Guru sang juara itu adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar, kumis dan jenggotnya panjang, masih berwarna hitam, demikian pula rambutnya yang panjang dan digelung ke atas. Mukanya yang berbentuk persegi itu berwarna merah, sepasang mata lebar bersinar tajam mencorong, hidungnya besar dan bibirnya tebal. Wajah itu tampak menyeramka karena tampak garang dan angkuh. Pakaiannya mewah, dari sutera halus yang mahal dan di punggungnya tergantung siang-kiam (sepasang pedang). Dia adalah datuk yang amat terkenal di sepanjang pantai Laut Timur yang hanya dikenal dengan julukan Tung Hai tok (Racu Lautan Timur). Dia termasuk datuk kau sesat. Semua penjahat, dari gerombolan perampok, bajak laut, semua maling dari tukang pukul, mereka semua tunduk dari takut kepada Tung Hai-tok dan setiap bulan mereka yang berpenghasilan besar mengirimkan semacam "upeti" kepadanya. Dengan demikian, mereka tidak akan mendapat teguran atau gangguandari datuk sesat itu. Bahkan kalau mereka ada yang terganggu oleh para pendekar yang menentang kejahatan, mereka dapat lapor dan minta tolong kepadanya. Tung Hai-tok tentu akan mengirim beberapa orang muridnya untuk membela mereka menghadapi para pendekar yang berani menentang golongan sesat itu. Tung Hai-tok memiliki beberapa puluh murid, bahkan membentuk sebuah perkumpulan yang diberi nama Tung-hai-pang (Perkumpulan Lautan Timur) di mana muridnya yang paling lihai menjadi ketuanya. Dia sendiri hanya menjadi penasihat atau ketua kehormatan.
Ketua Tung-hai-pang itu adalah murid utamanya yang kini menjadi Thian-he Te-it
Bu-hiap! Murid datuk itu, yang juga menjadi Ketua Tung-hai-pang, bernama Boan Su Kok, kini berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh, mukanya hitam dan wajahnya lebih seram daripada wajah gurunya yang sudah tua. Wajah Boan Su Kok itu membayangkan keganasan dan kekejaman. Sinar matanya yang mencorong itu seperti sinar mata orang yang sedang marah. Dua tahun yang lalu, ketika dia merebut gelar jagoan nomor satu, dia bertanding sebagai penantang melawan juaranya pada waktu Itu dan dengan kejam dia telah membunuh lawannyal Semua orang yang kini menghadiri pertemuan itu telah mendengar akan kelihaian dan kekejaman Boan Su Kok yang agaknya hendak mempertahankan gelarnya dengan mati-matian. Sebetulnya, bagi orang-orang yangj tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi sehingga patut menerima gelar Thian-te-he Te-it Bu-hiap, tentu saja dapat mengatur gerakan sendiri dan dapat menahan pukulannya sehingga tidak sampai membunuh lawan. Kalau orang dengan tingkat setinggi itu dalam pi-bu membunuh lawan, hal itu memang disengaja atau ketika bertanding dia dipengaruhi nafsu amarah yang mendorongnya untuk membunuh. Karena itu, ketika para hadirin itu memandang ke arah Boan Su Kok yang duduk di atas panggung tanah di samping gurunya, ada yang memandang dengan sinar mata jerih dan takut, akan tetapi ada pula yang memandang dengan mata membenci dan marah.
Setelah matahari naik tinggi dan tidak ada lagi tamu yang datang, Tung Hai-tok yang duduk di atas bangku mengangkat tangan kanannya ke atas dan semua orang yang tadinya ribut bicara sendiri-sendiri dengan teman atau rormbongan mereka terdiam dan semua orang memandang ke arah kakek itu.
"Sobat-sobat sekalian, sekarang pertandingan dapat dimulai. Mereka yang ingin mengikuti pertandingan diharap maju dan naik ke depan kami!"
Biarpun semua ketika mendaki gunung banyak orang muda yang ingin ikut untuk memperebutkan gelar juara tahun itu, akan tetapi setelah berada di puncak dan melihat sikap Tung Hai-tok dan Si Juara, Boan Su Kok, banyak yang mengundurkan diri karena gentar. Apalagi di bawah panggung tanah tinggi itu, di belakang guru dan murid itu, berkumpul belasan orang yang pakaiannya seragam biru, pakaian para murid Tung-hai-pang. Banyak pula para tokoh kangouw melarang murid mereka yang tadinya ingin ikut bertanding karena mereka mengenal betapa lihai dan kejamnya datuk Si Racun Lautan Timur yang menjadi guru Si Juara itu.
Hanya ada empat orang muda yang berlompatan naik ke tanah tinggi itu dan berdiri tegak di depan Si Juara dan gurunya. Ketika meloncat mereka mem perlihatkan gaya masing-masing dan ternyata mereka memiliki gerakan yang cukup lincah dan ringan, menunjukkan bahwa mereka berempat telah memiliki, tingkat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup tinggi.
Melihat yang maju hanya empat orang, padahal pada tahun-tahun yang lalu sedikitnya ada sepuluh orang, Boan Su Kok bangkit berdiri dari tempat duduknya, bertolak pinggang dan berseru lantang dengan suara yang mengandung kesombongan.
"Hanya empat orang ini? Mana para pendekar yang lain? Apakah sekarang tidak ada lagi orang gagah ataukah kalian merasa takut? Kalau begitu, untuk apa kalian datang ke sini?" Dia lalu menggapai dengan tangannya dan dua orang anak buah Tung-hai- pang melompat naik ke atas panggung. Boan Su Kok lalu memerintahkan mereka untuk melakukan undian. Seperti biasa, mereka yang maju untuk ikut bertanding akan bertanding satu lawan satu dan untuk itu pasangan bertanding mereka diundi. Karena ada empat orang peserta, maka akan dilakukan pertandingan satu lawan satu. Dua orang pemenangnya akan diadu dan pemenangnyalah yang berhak untuk menjadi penantang, melawan sang juara.
Karena para partai persilatan besar tidak ada yang mau ikut, maka sebagian besar yang hadir adalah perkumpulan-perkumpulan silat kecil, itu pun kebanyakan dari golongan sesat. Para pendekar jarang mau ikut karena melihat betapa pemilihan itu kini kotor sifatnya dan menanamkan kebencian, dendam dan permusuhan. Orang memperebutkan kedudukan juara dengan pamrih agar bukan hanya namanya terkenal dan dikagumi, juga agar dia disegani dan memiliki pengaruh besar di dunia kangouw. Apalagi dalam pibu itu sudah tidak dipakai peraturan umum di dunia kangouw. Biasanya di antara para pendekar terdapat peraturan tidak tertulis yang merupakan semacam etika bahwa dalam pertandingan pi-bu (adu silat), baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata, harus menjaga serangan agar jangan sampai membunuh lawan. Bahkan melukai pun kalau mungkin dihindarkan atau hanya luka ringan saja. Akan tetapi dalam pertandingan di Puncak Thaisan itu, seolah-olah pertandingan sampai mati atau pembantaian bagi yang kalah.
Empat orang peserta itu, yang dua orang adalah murid-murid tokoh kangouw yang sesat, akan tetapi yang dua orang lagi adalah orang-orang golongan pendekar.
Ketika diadakan undian, kebetulan dua orang dari golongan sesat itu bertemu dengan dua orang muda pendekar.
Pertandingan pertama dilaksanakan dan ternyata pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang berpakaian serba kuning, murid dari Hoa-san-pai yang datang sendiri tanpa sepengetahuan para pimpinan Hoa-san-pai, dengan mudah mengalahkan lawannya. Murid Hoa-san-pai ini tidak mau melanggar etika pibu di dunia persilatan dan dia hanya mengalahkan lawannya tanpa melukai berat apalagi membunuhnya.
Demikianlah pula pertandingan ke dua, pemuda berusia dua puluh lima tahun yang datang bersama gurunya yang dikenal sebagai tokoh kangouw yang baik, setelah bertanding selama tiga puluh jurus melawan pemuda dari golongan sesat, dia dapat merobohkan lawan tanpa membunuhnya! Para penonton bersorak memuji karena dua orang pemuda yang menang itu benar-benar memiliki gerakan silat yang indah dan tangguh, dan terutama melihat mereka berdua menang tanpa membunuh atau mencederai berat lawan yang mereka kalahkan.
Kini menurut peraturan pertandingan, dua orang pemenang itu berhadapan, dan mereka akan memperebutkan'tempat sebagai penantang tunggal terhadap Boan Su Kok, Sang Juara. Murid Hoa-san-pai yang berpakaian serba kuning itu mengangkat kedua tangan depan dada sebagai salam dan dia memperkenalkan diri.