Si Rajawali Sakti Jilid 01

Jilid 01

Zaman Lima Dinasti ( 907 - 960 ) merupakan jaman yang amat buruk di Negeri Cina. Dalam masa setengah abad itu perebutan kekuasaan terjadi, perang antara bangsa sendiri yang terpecah belah membuat negeri itu berganti-ganti dinasti sampai lima kali, berganti-ganti dinasti berarti berganti-ganti pula Kaisar dan berubah-ubah pula peraturan. Akibatnya hanyalah kebingungan, ketakutan, dan penderitaan bagi rakyat jelata. Perang adalah hasil dari mereka yang berada di atas saling memperebutkan kekuasaan. Mereka saling memperkuat kedudukan dirinya dengan cara mengupah para perajurit dan menghimpun mereka dalam pasukan-pasukan, atau ada pula yang membujuk rakyat Jelata dengan janji-janji muluk sehingga rakyat yang bodoh terbius dan mengira bahwa semua bujukan itu benar sehingga kelak mereka akan hidup makmur. Pasukan pasukan yang diberi upah dan rakyat yang terkena bujukan lalu berperang mati-matian untuk dia atau mereka yang berkuasa.

Mereka yang kalah perang akan mati bersama pemimpin mereka yang menjadi dalangnya. Bagaimana mereka yang menang perang, sisa dari mereka yang mati sia- sia? Pasukan-pasukan yang membela si pemenang tentu saja menerima hadiah agar mereka menjadi semakin setia membela sang pemimpin dan kaki tangannya.

Adapun rakyat kecil yang mengharapkan kemakmuran tetap saja seperti biasa dan semua janji muluk hanya menjadi mimpi belaka. Memang kemenangan mendatangkan kemakmuran, akan tetapi bagi siapa? Yang jelas, bagi para pemimpin yang mendapatkan kedudukan tinggi, yang ketika masih berjuang memperebutkan kekuasaan, mengatas-namakaei rakyat. Setelah menang, maka agaknya mereka sajalah yang dimaksudkan dengar rakyat itu, sedangkan rakyat kecil sudah tidak masuk hitungan lagi. Tetap saja menderita.

Tidak ada rakyat, kecuali mereka yang terbius janji-janji, yang suka berperang, apalagi berperang di antara bangsa sendiri. Yang mencetuskan perang adalah mereka yang sedang memperebutkan kekuasaan yang sesungguhnya bukan lain adalah memperebutkan harta. Kekuasaan itu sesungguhnya adalah harta .atau lebih tepat, melalui kekuasaan urang dapat memperoleh harta. Kalau kekuasaan tidak dapat mendatangkan harta yang menjadi sarana tercapainya kesenangan duniawi, pasti tidak akan ada yang memperebutkan kekuasaan!

Dinasti terakhir yang berkuasa di Cina adalah Dinasti Kerajaan Chou (951 - 960). Kaisar Chou Ong adalah seorang kaisar yang tua dan lemah lahir batinnya. Dia yang menjadi kaisar, namun kekuasaan yang berlaku adalah kekuasaan para pembesar. Mereka itu ber-lumba untuk mengumpulkan harta dunia banyaknya, dan untuk itu, mereka menghalalkan segala cara. Korupsi, sogok menyogok, penindasan, pemerasan terjadi di mana-mana. Hukum yang berlaku seolah hukum rimba, siapa kuat dia berkuasa dan menang. Terjadilah kekacauan di mana-mana dan para penjahat bermunculan merajalela. Dalam keadaan seperti ini, kembali rakyat kecil yang menderita. Gerombolan-gerombolan perampok beraksi, terutama di daerah dan kota atau dusun yang jauh dari kota raja.

Pada suatu hari di musim semi tahun 958, dusun Ki-bun sebelah selatan Hang-chou mendapat giliran tertimpa malapetaka. Pada pagi hari itu, segerombolan perampok yang terdiri dari sekitar lima puluh orang, menyerbu dusun itu. Mereka adalah laki- laki yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata bertubuh kekar dan bersikap kasar dan bengis. Gerombolan perampok ini sudah mengganas di mana-mana, bahkan sekarang berani mengganggu dusun Ki-bun yang tidak berada jauh dari kota Hang-chou. Pemimpin mereka terdiri dari tiga orang. Mereka sudah terkenal di dunia hitam dengan julukan Tiat-pi Sam wan (Tiga Lutung Bertangan Besi) yang merupakan kakak beradik seperguruan. Yang pertama adalah Yong Ti, berusia tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan dia terkenal lihai sekali dengan senjatanya berupa sebatang tombak baja. Orang ke dua bernama Oh Kun, usianya tiga puluh tujuh tahun, bertubuh tegap tinggi dengan muka penuh brewok dan dia juga lihai dan terkenal dengan senjatanya siang-to (sepasang golok). Adapun saudara seperguruan termuda bernama Joa Gu, berusia tiga puluh lima tahun, bertubuh gendut agak pendek dengan wajah bundar kekanakan. Joa Gu ini pun lihai dengan senjatanya berupa sepasang kapak.

Setengah tahun yang lalu, sekelompok kecil dari gerombolan ini yang hanya terdiri dari sembilan orang secara liar tanpa pemimpin pernah mengganggu Ki-bun. Akan tetapi mereka dibuat kocar-kacir karena ada Si Tiong An yang tinggal di dusun itu. Si Tiong An adalah seorang bekas guru silat yang mengungsi ke dusun itu dari kota raja. Sebagal seorang murid Siauw-lim-pai, Si Tiong An cukup lihai dan dialah yang menghajar sembilan orang anak buah gerombolan itu sehingga mereka luka-luka dan melarikan diri.

Hal itu akhirnya diketahui Tiat-pi Sam-wan. Tiga orang pimpinan ini menjadi marah sekali dan pada pagi hari itu mereka menyerbu dusun Ki-bun bukan hanya untuk merampok penduduk dusun, akan tetapi terutama sekali untuk membalas dendam kepada Si Tiong An.

Begitu memasuki dusun Ki Bun, lima puluh orang anak buah perampok itu mulai beraksi. Segera terdengar jerit tangis para wanita berbaur dengan suara gelak tawa para perampok. Barang-barang yang sekiranya berharga dirampok habis-habisan, para pria yang berani melakukan perlawanan dibacok roboh. Gadis-gadis dan

wanita-wanita muda tidak dapat melepaskan diri dari gangguan para perampok yang sadis dan kejam.

Tiga orang Tiat-pi Sam-wan memang membiarkan anak buah mereka berpesta ria. Mereka bertiga langsung saja menuju ke rumah Si Tiong An yang di dusun itu disebut Si Kauwsu (Guru Silat Si). Pada saat itu, Si Tiong An dan isterinya yang sedang berada di dalam rumah, mendengar suara ribut-ribut. Maklum bahwa mungkin ada bahaya mengancam penduduk karena pada masa itu bukan hal aneh kalau ada gerombolan penjahat mengacau di dusun-dusun, Si Tiong An cepat mengambil dua batang pedang mereka. Yang sebatang dia berikan kepada isterinya.

"Di mana Han Lin?" tanya Si Tiong An kepada isterinya. "Dia tadi mengantar dagangan kue ke pasar."

"Ah, mari kita cari dia dulu. Dia harus dilindungi." kata Si Tiong An kepada isterinya dan mereka berdua segera keluar dari rumah. Akan tetapi begitu muncul di depan rumah, mereka melihat di pekarangan rumah mereka terdapat tiga orang yang berdiri berjajar dengan sikap bengis. Dan mereka juga mendengar jerit tangis dan teriakan-teriakan. Dari kanan kiri, tanda bahwa gerombolan mulai mengganas dan mengganggu penduduk:!

Sementara itu, tiga orang kepala perampok tertegun ketika mereka memandang kepada isteri Si Tiong An. Tak mereka sangka di sebuah dusun kecil seperti Ki-bun ini terdapat seorang wanita yang demikian montok, denok d jelita! Memang pasangan suami isteri ini lain daripada penduduk Ki-bun. Si Tio An sendiri yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun adalah seorang laki-Iaki yang tampandan gagah, bertubuh tegap. Adapun isterinya, adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang cantik jelita, tubuhnya masih denok langsing seperti seorang gadis sembilan belas tahun.

Akan tetapi wanita yang cantik dan lembut ini pun tidak dapat dipandang ringan. Ia bukan seorang lemah karena walaupun ia hanya mendapat bimbingan dan latihan dari suaminya, ia sudah mahir membela diri dengan iimu silat pedang yang cukup lihai.

Melihat tiga orang laki-laki berdir menghadang di pelataran rumah, suami isteri itu tidak merasa gentar. Yang mereka khawatirkan adalah anak tunggal mereka, yaitu Si Han Lin. Anak itu berusia sepuluh tahun dan pagi itu dia membantu ibunya yang membuat kue, mengantarkan dagangan kue itu kepada para warung langganan di pasar. Tadinya, nyonya Si hendak mencari anaknya, akan tetapi melihat tiga orang itu yang agaknya berbeda dari para perampok biasa, ia merasa perlu untuk membantu suaminya menghadapi mereka.

Ha-ha-ha, apakah kamu ini yang brrnama Si Tiong An dan beberapa bulan yang lalu telah berani memukuli sembilan orang anak buah kami?" kata Yong yang tinggi besar bermuka hitam.

"Anak buah kalian datang merampok dan mengganggu penduduk di dusun ini, tentu saja aku menghajar mereka karena mereka jahat." kata Si Tiong An.

"Ah, begini saja!" kata Joa Cu yang gendut sambil tersenyum menyeringai memandang kepada Nyonya Si. "Kami sudahi saja urusan itu asalkan isterimu yang bahenol ini mau ikut dengan kami dan melayani kami selama sebulan. Ba gaimana?"

"Jahanam!" Nyonya Si membentak da ia sudah meloncat ke depan sambil menggerakkan pedangnya menyerang Si Gendut yang kurang ajar itu.

"Tranggg !" Pedang wanita itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan

ketika pedang itu tertangkis oleh sebatang tombak baja yang panjang dan besar.

"Biar kutangkap perempuan ini. Kalian bunuh dia!" kata Yong Ti sambil menggerakkan tombaknya mendesak Nyonya yang melawan mati-matian.

Ketika Si Tiong An hendak membantu isterinya, Oh Kun dan Joa Gu sudah menghadang dan mengeroyoknya. Si Tion An memutar pedangnya dan begitu mereka berkelahi, murid Siauw-lim-pai it maklum bahwa sekali ini dia menghadapi lawan yang berat. Baru orang tinggi tegap brewokan itu saja sudah memilik tenaga dan kecepatan yang sebanding dengan dia, apalagi dibantu oleh Si Gendut yang bersenjata sepasang kapak. Sebentar saja dia pun terdesak oleh sepasang golok dan sepasang kapak itu.

Nyonya Si sama sekali bukan lawan Yong Ti, orang pertama dari Tiat-pi Sam wan. Dia adalah orang yang terpandai di antara tiga kakak beradik seperguruan itu.

Tombaknya yang panjang dan berat itu bergerak dengan kuat dan ganas sekali. Biarpun Nyonya Si melawan dengan nekat dan mati-matian, namun baru lewat belasan jurus, pedangnya terpental lepas dari tangannya ketika beradu dengan tombak lawan. Bahkan ia terhuyung, terdorong oleh tenaga lawan yanng kuat. Sebelum ia sempat menghindarkan diri, tangan kiri Yong Ti yang besar dan panjang itu menyambar dan mencengkeram otot di pundak Nyonya Si, membuat wanita itu terkulai dan kehilangan tenaga. Di lain saat, sambil tertawa-tawa Yong Ti sudah memanggul tubuh wanita itu di atas pundak kirinya, lalu dengan tombak di tangan kanan, dia membantu dua orang sutenya (adik sepergurunnya), meluncurkan tombaknya menyamar ke arah punggung Si Tiong An.

Si Kauwsu sedang terdesak oieh dua orang lawannya. Mendengar berdesingnya tombak yang menyerang dari belakang, dia cepat memutar tubuhnya sambil menggerakkan pedangnya menangkis. "Cringgg !" Pedangnya terpental saking kuatnya tombak itu beradu dengan

pedang. Si Tiong An dapat menghindar dari serangan itu, akan tetapi melihat isterinya dipondong Yong Ti, dia terkejut sekali.

"Lepaskan isteriku!" bentaknya dan dengan nekat dia menerjang Yong Ti untuk menolong isterinya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Oh Kun dan Joa Cu untuk berbareng menyerang dari kanan kiri. Golok dan kapak menyambar dan sekali ini, karena perhatiannya tertuju kepada isterinya, kurang cepat Si Tiong An melindungi dirinya dan sebatang golok Oh Kun mengenai pahanya.

Si Tiong An terhuyung dan darah mengucur dari pahanya yang terluka. Oh Kun dan Joa Gu semakin ganas menyerangnya dan Si Tiong An terpaksa memutar pedang melindungi dirinya. Kini gerakannya kurang cepat karena paha kirinya telah terluka sehingga dia terdesak hebat.

Melihat ini, Yong Ti merasa tidak perlu membantu kedua adik seperguruannya lagi dan sambil tertawa dia lalu meninggalkan tempat itu sambil memondong tubuh Nyonya Si yang mulai dapat tergerak dan meronta-ronta. Namun, makin kuat ia meronta, semakin senang hati Yong Ti karena dia merasakan betapa tubuh yang lunak itu kini bergerak-gerak hidup, tidak seperti tadi diam saja seperti memanggul mayat. Rontaan Nyonya Si tidak ada artinya lagi kepala perampok yang bertubuh kokoh kuat itu, bahkan ketika kedua tangan wanita itu memukuli punggungnya, dia semakin senang, merasa seolah punggungnya dipijat-pijat. Ketika Yong Ti yang memondong wanita itu melewati pasar yang berada di ujung dusun, pasar yang kini menjadi sepi karena orang-orang yang berada di situ sudah berlari-larian ketakutan, seorang anak laki-laki memandangnya dengan mata terbelalak. Anak ini berusia sepuluh tahun dan dia memegang sebuah keranjang yang sudah kosong. Dia adalah Si Han Lin, putera tunggal Si Tiong An yang tadi mengantar dagangan kue buatuan ibunya kepada warung-warung di pasar. Dia mendengar akan adanya peram pok yang menyerang dusun itu dan ketik, semua orang melarikan diri meninggalkai pasar, dia pun keluar dan hendak pulang Han Lin adalah seorang anak yang tabah.

Dia percaya kepada ayah ibunya yang di tahu memiliki kepandaian silat yang tangguh, terutama ayahnya. Dia menyaksikan pula ketika beberapa bulan yang lalu ayahnya menghajar sembilan orang perampok yang mengacau dusun mereka.

Akan tetapi ketika dia berjalan hendak pulang, dia melihat Yong Ti yang memanggul ibunya. Melihat ibunya meronta-ronta dalam pondongan laki-laki tinggi besar muka hitam yang membawa tombak itu, dan mendengar ibunyi menjerit-jerit, Han Lin terkejut dan cepat dia membuang keranjang kosongnya lalu mengejar. Yong Ti melangkah dengan lebar dan cepat sehingga Han Lin harus berlari untuk dapat mengejarnya. Sambil tersenyum menyeringai karena senang Yong Ti keluar dari pintu gerbang dusun, tidak peduli lagi akan anak buahnya karena di sana sudah ada dua orang sute yang menjadi wakilnya. Dia ludah ingin sekali bersenang-senang degan tawanannya yang cantik bahenol.

Tiba-tiba Han Lin yang sudah dapat mengejarnya dan berada di belakangnya berseru. "Lepaskan Ibuku, jahanam!!" Anak itu dengan nekat lalu melompat dan menubruk dari belakang, menangkap kedua lengan ibunya dan menariknya agar terlepas dari panggulan raksasa muka hitam itu.

Yong Ti terkejut. Dia memutar tubuhnya sambil menggerakkan kaki menendang. "Bukkk. !" Tubuh anak itu terlempar sampai tiga tombak ketika terkena

tendangan kaki Yong Ti yang besar dan kuat. Kepala perampok itu marah sekali melihat bahwa yang memakinya hanyalah seorang anak laki-laki kecil. Maka dia lalu melangkah maju menghampiri dengan tombak di tangan.

"Bocah setan, mampuslah engkau makinya dan dia mengangkat tombaknya, hendak dihujamkan ke tubuh Han Lin yang masih belum bangkit karena tadi tertendang dan terbanting.

Pada saat tombak itu meluncur, tiba-tiba dengan sekuat tenaga Nyonya meronta sehingga terlepas dari panggulan dan secepatnya ia menubruk puteranya.

"Han Lin          !"

"Creppp !"

Nyonya Si menjerit sambil mendekap anaknya. Yong Ti terbelalak melihat betapa tombak yang tadinya hendak hujamkan ke tubuh anak itu ternyata menancap di punggung Nyonya Si yang menubruk anaknya!

"Ibu........, Ibu          !" Han Lin merangkul ibunya, pakaiannya kebanjiran darah

ibunya yang punggungnya tertembus tombak

"........Han Lin " Nyonya Si han dapat mengeluarkan kata-kata itu, la terkulai dan

tewas. "Ibuuu !"

Setelah terkejut melihat wanita itu oleh tombaknya, Yong Ti menjadi marah bukan main. Dicabutnya tombak-dan dengan wajah bengis dia memandang kepada Han Lin yang masih mngis dan merangkul mayat ibunya.

"Bocah setan!" Dia membentak dansekali lagi tombak itu diangkatnya untuk dihujamkan ke tubuh kecil itu.

"Siancai (damai) !'' Terdengar seruan lembut dan tiba-tiba tombak itu terus

dari tangan Yong Ti. Tentu saja kepala perampok itu terkejut bukan main. tidak melihat sesuatu dan mendengarkan orang kecuali suara tadi. Bagaimana mungkin tiba-tiba tombaknya direnggut lepas dari pegangannya? Padahal, tenaga sepuluh orang belum tentu akan mampu merenggut tombaknya terlepas dari tangannya. Dia hanya merasakan ada tenaga yang tak dapat dilawannya menarik tombak itu sehingga terlepas dari tangannya. Dia cepat memutar tubuh dan melihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus terbungkus kain putih yang milibat-libatkan, kakinya mengenakan sandal kulit kayu. Rambutnya yang panjang dan bercampur uban itu dibiarkan tergerai sampai ke punggung. Jenggot dan kumisnya rapih dan seperti rambut dan pakaiannya tampak bersih. Wajahnya yang kurus masih tampak tampan dan lembut, sepasang matanya lembut dan mulut yang berada di balik kumis itu selalu tersenyum ramah. Dia memegang tombal milik Yong Ti dan sambil menggelengkat kepalanya dia berkata halus.

"Benda pembunuh ini mendatangkan kekejaman di hati manusia, sungguh menyedihkan " Kemudian dia menggunakan jari-jari tangannya, menekuk-

nekuk tombak itu dan terdengar suara berdetakan ketika tombak itu patah-patah. Hal ini dilakukan demikian mudahnya seolalah dia mematah-matahkan sehelai lidi saja!

Setelah membuang potongan-potongan tombak itu, dia memandang ke arah Han Lin yang masih memeluk ibunya sambil menangis. Kembali kakek itu menggeleng kan kepalanya.

"Anak baik, lepaskan Ibumu.Jangan gangganggu perjalanannya kembali ke asalnya. Marilah, Nak, bangkitlah." menjulurkan tangannya memegang tangan Han Lin dan tiba-tiba saja Han Lin menurut, bangkit walaupun dia masih memandang ke arah tubuh ibunya dengan bercucuran air mata. Sementara itu, Yong Ti sudah meniatkan kesadarannya kembali. Tapi dia nya memandang bengong seperti dalam mimpi, hampir tidak percaya betapa kakek itu demikian mudahnya mematah-mematahkan tombak bajanya yang amat kuat! Kini, kemarahannya membutakan hatinya, membuat dia tidak mau menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang manusia yang amat sakti. Sambil menggereng seperti seekor beruang dia lalu menerjang dan memukul ke arah kepala kakek itu. Yang dipukul agaknya tidak tahu karena dia sedang menunduk dan memandang wajah Han Lin sambil mengelus rambut kepala anak itu.

"Jangan pukul !!" Han Lin yang melihat kakek itu dipukul cepat melompat dan

dengan kepalanya dia menumbuk ke arah perut Yong Ti!

"Bukkk!" Tubuh Han Lin terpental ketika kepalanya menumbuk perut kepala perampok itu. Yong Ti melanjutkan pukulannya ke arah kepala kakek baju putih, mengerahkan seluruh tenaganya karena dia ingin sekali pukul meremukkan kepala kakek itu.

"Wuuuttttt !" Dia memukul sekuat tenaga, akan tetapi tangannya terhenti beberapa sentimeter di atas kepala kakek itu, seolah tertahan sesuatu yang tidak tampak, yang lunak namun kuat sekali!

Yong Ti kembali terkejut, heran akan tetapi juga penasaran sekali, tidak percaya apa yang telah terjadi. Dia kini mengerahkan tenaga ke arah kedua tagannya dan dengan gencar melakukan pukulan ke arah kepala, muka, dada dan lambung kakek itu.

Kedua tangannya, bergerak cepat sekali seolah tangan itu menjadi delapan, namun semua pukulan tidak mengenai tubuh kakek yang berdiri diam dan hanya memandang sambil tersenyum. Semua pukulan itu, seperti mental, terhenti sebelum mengenai tubuh kakek itu, berhenti terhalang sesuatu yang tidak tampak namun kuat sekali!

Han Lin yang sudah bangkit lagi, melihat pula kejadian ini dan dia yang sudah mendengar banyak cerita ayahnya tentang orang-orang sakti, segera dapat menduga bahwa penolongnya itu tentulah porang yang amat sakti. Dia lalu mendekati jenazah ibunya dan berlutut sambil mengelus wajah ibunya yang seperti orang tidur namun tampak demikian cantik dan tenang.

Pada saat itu, terdengar suara hiruk pikuk dan lima puluh orang anak buah perampok, dipimpin oleh Oh Kun dan Joa, bermunculan dari pintu gerbang dusun yang baru saja mereka merampok habis-habisan. Mereka melihat Yong Ti memukuli seorang kakek yang berdiri tanpa bergerak dandua orang kepala rampok itu segera berlari menghampiri sambil mencabut senjata mereka. Melihat betapa Yong Ti memukuli namun tak sebuah pun pukulan dapat mengenai tubuh kakek berambut panjang itu, Oh Kun dan Joa Gu tanpa diperintah lagi segera menyerang dengan senjata mereka. Kun membacokkan dua buah goloknya arah kepala dan leher, sedangkan Joa Gu menyerang dengan sepasang kapaknya arah dada dan perut.

"Wuuuttttt......... ting-ting-ting-ting !!!

Empat buah senjata itu seolah bertemu dengan benda yang amat keras dan kuat sehingga terpental dan terlepas dari kedua tangan Oh Kun dan Joa Gu!

Tentu saja dua orang kepala perampok ini terkejut bukan main. Mereka menggunakan tangan untuk memukul di kaki untuk menendang seperti yang dilakukan Yong Ti, akan tetapi semua pukulan dan tendangan itu tidak pernah mengenai sasaran, tertahan sesuatu, sebelum menyentuh tubuh kakek itu seolah tubuh itu dilindungi perisai yang tidak tampak namun yang kuat sekali!

Dalam kemarahan dan penasaran, juga ketakutan yang membuat dia menjadi semakin kejam, Yong Ti berseru kepada anak buahnya.

“Keroyok dan bunuh Kakek ini!"

Ketakutan memang menimbulkan kekejaman, atau lebih tepat lagi, kekejaman timbul karena rasa takut akan keselamatan diri sendiri. Untuk menyelamatkan diri sendiri, seseorang akan tega untuk membunuh semua orang yang menjadi ancaman bagi dirinya. Hati, akal pikiran yang dikuasai nafsu daya rendah pembentuk dan membesar-besarkan sifat sehingga kalau aku-nya terancam itu terganggu, timbullah rasa takut yang berkembang menjadi kemarahan dan kekejaman.

Lima puluh orang anak buah perampok itu pun segera menyerang kakek itu seperti semut-semut hendak mengeroyok seekor kupu. Akan tetapi, senjata mereka terpentalan dan ketika kakek itu menggerakkan tangan mendorong, tubuh merek berpelantingan seperti daun-daun kering dihembus angin yang amat kuat! Tidak terkecuali, tubuh Tiat-pi Sam wan yang terkenal jagoan itu terpelanting dan terguling-guling di atas tanah. Mereka tidak terluka, akan tetapi mereka menjadi semakin ketakutan dan akhirnya, tiada yang memberi komando, mereka semua, lima puluh tiga orang itu, lari tukang pukang, bahkan mereka meninggalkan barang- barang yang tadi mereka rampok dari rumah para penduduk dusun ki-bun!

Setelah mereka semua melarikan diri, Han Lin yang teringat akan ayahnya, lalu bangkit dan berkata kepada kakek itu. Dia sudah mendapat pendidikan ayahnya tentang sopan santun di dunia persilatan, maka ia menjatuhkan diri berlutut ketika bicara. "Lo-cian-pwe, mohon pertolongan Lo-cian-pwe terhadap Ayah saya dan para penduduk Ki-bun."

"Mari kita lihat!" Kakek itu berkata lu menggandeng tangan Han Lin dan memasuki pintu gerbang dusun. Di mana-wma terdengar wanita menangis karena hilangan harta benda maupun karena tadi diganggu anggauta perampok yang kurang ajar dan melanggar kesusilaan.

Han Lin menggandeng tangan kakek itu diajak menuju ke rumahnya. Ketika tiba di depan pekarangan rumah, dia melihat beberapa orang tetangga berkumpul, mengelilingi mayat Si Tiong An. Melihat ayahnya menggeletak dengan tubuh penuh luka dan sudah tewas, Han Lin menjerit dan lari menubruk mayat itu.

"Ayaaahhh............! Ayah.............Ibu................ahhh mengapa kalian

meninggalkan aku ?” Dia menangis tersedu-sedu memeluk mayat ayahnya

sehingga pakaiannya makin banyak dilumuri darah.

Kiranya tadi Si Tiong An yang sudah luka dan terdesak oleh Oh Kun dan Joa Gu, terpaksa roboh ketika banyak anak buah perampok ikut mengeroyok, memang berhasil merobohkan beberapa orang anggauta perampok, akan tetapi dia sendiri akhirnya roboh dengan tu penuh luka dan tewas.

Sebuah tangan memegang pundak Han Lin dan tiba-tiba saja Han Lin merasa ada tenaga yang mengangkatnya berdiri.

"Anak baik, seperti juga Ibumu, Ayahmu tidak boleh kau halangi perjalanann menuju ke alam asalnya. Semua telah terjadi dan apa yang telah terjadi tidak dapat diubah lagi." Suara kakek itu dengan lembut menghibur, akan tetapi mengandung wibawa kuat yang membuat Han Lin sadar sehingga dia dapat menghentikan tangisnya Kakek itu lalu memandang kepada banyak orang yang berdatangan memenuhi pelataran rumah keluarga Si itu.

"Studara-saudara, harap kalian jangan ribut. Semua perampok telah terusir pergi dan mereka meninggalkan barang-barang kalian di luar dusun. Pergilah kaliandan ambil kembali barang-barang kalian, dan jangan lupa agar membawa jenazah Ibu anak ini ke sini untuk diurus sebagaimana mestinya."

Mendengar ini, semua penduduk yang laki-laki berbondong keluar dari dusun. Dan benar saja, mereka menemukan semua barang yang dirampok itu berada di situ, berhamburan. Mereka lalu mengmbili barang-barang itu, dibawa masuk ke dusun dan empat orang tetangga memikul jenazah Nyonya Si, dibawa pulang ke rumah Keluarga Si

.

Sementara mereka tadi pergi keluar dusun, kakek itu mengangkat jenazah Si Tiong An, membawanya masuk ke dalam rumah bersama Han Lin dan merebahkah jenazah itu ke atas dipan. Kemudian dia duduk di atas kursi dan Han Lin yang kehilangan ayah ibu itu duduk di atas lantai, di depannya.

"Anak baik, siapakah namamu dan siapa pula Ayahmu yang tewas ini?" "Lo-cian-pwe, nama saya Si Han Lin dan Ayah nama Si Tiong An. Sekarara Ayah dan Ibu telah tewas terbunuh rampok, saya .......... saya menjadi yatim piatu,

hidup seorangdiri " Han Lin menahan tangisnya dan mengusap dua titik air

mata yang turun ke atas pipanya.

"Engkau tidak mempunyai sanak keluarga lain?" Han Lin menggelengkan kepalanya.

"Siancai! Sekarang, setelah Ayah Ibumu tewas dan engkau hidup seorang diri apa yang akan kau lakukan selanjutnya?”

Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Han Lin lalu berlutut di depan kaki kakek itu dan menangis. "Lo-cian-pwe” kalau Lo-cian-pwe sudi menerimanya ingin ikut Lo- cian-pwe, biarlah saya jadi pelayan Lo-cian-pwe. Bawalah saya, Lo-cian-pwe !!"

Kakek itu membiarkan Han Lin berlutut dan menyembah-nyembah di depan kakinya. Dia menoleh untuk melihat keadaan dalam rumah itu. Agaknya orang anak itu hidup dalam keadaan yang cukup baik, pikirnya.

"Han Lin, kalau engkau ingin hidup ikut denganku, syaratnya mungkin berat bagimu."

"Katakanlah, Lo-cian-pwe, apa syaratnya? Saya pasti akan memenuhi semua permintaan Lo-cian-pwe." Han Lin sudah berhenti menangis dan mengangkat muka memandang kakek itu dengan mata merah dan bengkak karena terlalu banyak menangis.

"Syaratnya, engkau harus tahan menderita, hidup serba melarat bersamaku, dan engkau harus tinggalkan rumah dan semua isinya ini. Kalau engkau benar-benar hendak ikut denganku, rumah dan isinya ini akan kuserahkan kepada para penduduk dusun ini. Selain itu engkau harus pergi denganku sekarang juga dan menyerahkan urusan pemakaman orang tuamu kepada para penduduk."

Han Lin terkejut dan bingung. "cian-pwe, apakah saya tidak boleh menunggu sampai selesai pemakaman kedua orang tuaku?"

"Terserah kepadamu, Han Lin. Akan tetapi ketahuilah bahwa sekarang aku akan pergi meninggalkan tempat ini. Terserah kepadamu hendak ikut denganku atau tidak."

Sebelum Han Lin menjawab, empat orang tetangga yang mengangkut jenazahNyonya Si telah tiba dan jenazah itu dibaringkan di sebelah jenazah Si Tiong An.

Melihat jenazah ayah ibunya, kembali Han Lin menangis sambil berlutut depan pembaringan.

"Han Lin, bagaimana, apakah engkau hendak ikut dengan aku atau tidak? Pertanyaan yang lembut itu menyadarkan Han Lin dan dia harus mengakui kelemahannya, kembali menangisi kematian ayah ibunya yang menurut kakek hanya menghalangi kepergian mereka. Maka dia menjawab tegas. "Lo-cian-pwe, saya ikut!" Lalu dia memberi hormat dengan berlutut di depan dipan dan berkata. "Ayah dan Ibu, ampunilah anakmu yang tidak sempat mengurus jenazah Ayah dan Ibu karena anak harus ikut dengan Lo-cian-pwe " Dia menoleh

kepada kakek itu, "Maaf, Lo-Cian-pwe, siapakah nama Lo-cian Pwe? Saya akan memperkenalkan kepada ayah dan Ibu."

Kakek itu tersenyum. "Orang-orang menyebut aku Thai Kek Siansu."

"Ayah dan Ibu, anakmu harus ikut dengan Lo-cian-pwe Thai Kek Siansu. Ayah dan Ibu, pergilah dengan baik dan doakanlah anakmu agar menjadi anak yang baik." Dia memberi hormat delapan kali lalu bangkit berdiri, memandang kepada Thai Kek Siansu dengan sikap tegas.

"Lo-cian-pwe, saya sudah siap!"

Thai Kek Siansu tersenyum dan mengelus kepala anak itu. "Anak yang baik, panggillah semua orang agar berkumpuldi sini."

"Baik, Lo-cian-pwe!" Setelah berkata demikian, dengan sigap dan cepat ke keluar dari rumah dan memanggil semua orang agar datang berkumpul di pelataran rumahnya. Semua orang yang sudah mendengar akan munculnya kakek pakaian putih yang secara aneh membantu para perampok meninggalkan semua barang rampasan di luar dusun, berbondo-bondong datang berkumpul.

Setelah semua penduduk berkumpul termasuk Lurah Thio yang menjadi kepala dusun di situ, Thai Kek Siansu mengandeng tangan Han Lin, berdiri di pendapa dan berkata kepada mereka. Suaranya halus dan lirih saja, akan tetapi anehnya, semua orang sampai yang berdiri paling jauh dapat mendengar bisikan itu dengan jelas!

"Saudara-saudara penduduk Ki-Bun. Anak Si Han Lin ini telah kehilangan Ayah Ibunya dan menjadi yatim piatu tidak memiliki sanak keluarga lain."

"Kami mau memeliharanya!"

"Biarkan aku yang menjadi pengganti orang tuanya!"

Banyak orang meneriakkan kesanggupan mereka untuk menerima Han Lin. Hal ini membuktikan bahwa anak itu memang disuka oleh para penduduk yang amat menghormati ayah ibu anak itu. Tiba-tiba Han Lin berkata dengan suara lantang.

"Para Kakek, Paman dan Bibi! Terima kasih atas kebaikan hati dan penawarankalian. Akan tetapi aku sudah mengambil keputusan untuk ikut bersama Lo-cian-pwe Thai Kek Siansu ini!"

Thai Kek Siansu tersenyum lalu berkata. "Saudara-saudara sekalian telah mendengar sendiri. Han Lin ingin ikut bersamaku, maka atas namanya kami serahkan rumah dan seisinya kepada kalian. Harap Saudara Lurah mengaturnya dan juga mengadakan upacara sembahyang dan mengatur pemakaman suami isteri Si Tiong An dengan sebaiknya, Nah, kami berdua akan pergi sekarang.”

Setelah berkata demikian, semua orang menjadi berisik karena saling bicara sendiri. Akan tetapi tiba-tiba me reka semua tersentak dan berhenti bicara karena ada angin bertiup kencang dan ketika mereka memandang ke pendapa kakek dan anak itu telah lenyap!

Semua orang, dipelopori Lurah Thio menjatuhkan diri berlutut untuk menghormat kepergian kakek itu dan semenjak saat itu, nama Thai Kek Siansu menjaj pujaan penduduk dusun Ki-bun. Bukan hanya menjadi pujaan, bahkan menjadi pelindung, karena kalau ada gerombolan penjahat hendak mengganggu dusun itu dan mendengar bahwa Thai Kek Sianu menjadi pelindung dusun Ki-bun dan mendengar pula betapa gerombolann yang dipimpin oleh orang-orang sakti seper Tiat-pi Sam- wan juga dihajar sehingga lari ketakutan oleh Thai Kek Siansu mereka tidak jadi mengganggu karena takut!

oooOOooo

Si Han Lin yang baru berusia sepuluh tahun itu sejak kecil sudah diberi pelajaran dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-Pai oleh ayahnya sehingga dia memiliki tubuh yang kuat walaupun agak kurus. Dia sudah banyak mendengar cerita Ayahnya tentang kisah para pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan gurunya pernah bercerita tentang ("orang yang amat sakti seperti Tat Mo-couwsu yang nama aselinya Buddhi Dharma, yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa dan yang pertama-tama menembangkan ilmu silat di Siauw-lim-Akan tetapi ketika dia digandeng oleh Thai Kek Siansu keluar dari rumahnya, dia merasa tubuhnya seperti melayang sehingga dia merasa heran bukan main. Apalagi ketika dia melihat betapa tahu-tahu dia sudah berada di luar dusun Ki-bun! Dia masih digandeng dan biarpun berrdua kakinya melangkah namun dia tidak merasakan menginjak tanah, melainkan seperti melayang dan meluncur. Dengan cepat sekali kakek itu membawanya mendaki bukit dan setelah tiba di puncak bukit, baru kakek itu berhenti dan melepaskan tangan yang digandengnya.

Begitu dilepaskan oleh Thai Kek Siar su, Han Lin cepat menjatuhkan diri berlutut didepan kakek yang sudah duduk bersila di atas sebuah batu besar.

"Lo-cian-pwe, saya mohon kepada Lo cian-pwe agar suka menerima saya sebagai murid."

"Han Lin, kenapa engkau ingin menjadi muridku?"

"Karena Lo-cian-pwe adalah seorang yang amat sakti dan amat pandai. Saya ingin mempelajari semua ilmu yang Lo cian-pwe kuasai."

"Han Lin, ketahuilah bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini. Tidak ada orang sakti! Yang Maha Sakti dan Maha Pandai itu hanyalah Tuhan! Kalau aku manusia mengaku sakti dan pandai, itu hanya membual saja, bualan yan sombong dan kosong!"

"Akan tetapi saya melihat sendiri Lo cian-pwe tanpa bergerak sudah mampu mengusir para perampok itu. Bahkan tidak ada perampok yang dapat menyerang Lo- cian-pwe, semua serangan itu tidak dapat mengenai tubuh Lo-cian-pwe. Apakah itu tidak sakti namanya?" Thai Kek Siansu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Bukan aku yang sakti atau pandai, melainkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang membuat aku terbebas dari semua serangan adalah kekuasaan Tuhan, bukan kesaktianku.Kalau kekuasaan Tuhan bekerja melindungiku, siapakah yang akan mampu menggangguku? Biar Iblis dan Setan sekalipun tidak mungkin dapat mengganggu seseorang yang dilindungi kekuasaan Tuhan. Manusia tidak ada yang pintar. Kalau dia dapat lakukan sesuatu, itu adalah karena iluin yang menganugerahi dengan kemampuannya itu. Bagaimana orang dapat mengaku pintar kalau tidak mampu menghitung rambut di kepalanya sendiri, tidak mampu menghentikan tumbuhnya rambut dan kukunya sendiri? Yang Maha Pandai hanya Tuhan dan yang dianugerahkan kepada manusia sesungguhnya hanya sedikit dan terbatas sekali. Karena itu bukalah matamu, Han Lin. Guru Sejati adalah Tuhan sendiri dan Dia telah memberimu hati akal pikiran untuk belajar dan ilmu-ilmu itu telah diberikan Tuhan dengan berlebihan melalui segala sesuatu yang terdapat di alam maya pada ini. Hidup ini adalah belajar, sampai kita mening galkan dunia ini."

Anak berusia sepuluh tahun itu tentu saja agak sukar mengunyah dan menelan makanan batin yang mendalam itu, akan tetapi Han Lin yang cerdik mencatat dalam ingatannya.

"Lo-cian-pwe, tanpa bimbingan Lo cian-pwe bagaimana mungkin saya akan dapat mengerti semua itu? Karena itulah maka saya mohon untuk menjadi murid Lo-cian- pwe."

Kakek itu mengelus jenggotnya, tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Baiklah, Han Lin, kalau itu sudah menjadi tekadmu, aku akan membimbingmu, asalkan engkau percaya dengan penuh keyakinan akan adanya Thian yang menguasai seluruh alam semesta dan sekalian isinya, termasuk dirimu."

"Saya percaya akan adanya Tuhan, suhu." kata Han Lin dengan penuh semangat dan gembira.

"Dan engkau rela berserah diri kepada Tuhan sepenuhnya, tanpa pamrih, dan kau menerima segala sesuatu yang menempa dirimu dan di luar kekuasaanmu untuk menghindarinya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Maukah engkau berserah diri sedalam itu kepadaNya sehingga mati pun akan kau terima dengan suka rela kalau hal itu memang diKehendakiNya?"

"Saya bersedia untuk berserah diri kepada Tuhan, Suhu." kata pula anak itu dengan mantap.

Dengan wajah riang Thai Kek Siansu tertawa mendengar kesanggupan anak itu. suara tawanya lembut dan merdu, akan tetapi ketika kakek itu tertawa dan menengadahkan kepalanya, Han Lin mendengar suara seperti ada halilintar menggeluduk dari jauh dan begitu kakek itu kini henti tertawa, suara menggeluduk di diatas itu pun berhenti.

Tiba-tiba terdengar bunyi melengking di angkasa. Han Lin terkejut, apalagi suara itu disusul suara berkelepaknya sayap yang cukup keras. Dia mengangkat muka, berdongak ke atas dan mata anak itu terbelalak. Seekor burung yang luar biasa besarnya melayang dan mengelilingi puncak bukit itu. Belum pernah selama hidupnya Han Lin melihat burung sebesar itu. Dari bentuknya dia mengenal sebagai burung rajawali yang pernah dilihatnya, akan tetapi biasanya burung rajawali tidak seberapa besar, sampai besar seperti seekor ayam jantan. Akan tetapi burung yang melayang-layang besar sekali, kedua kakinya itu saja sebesar lengan orang dewasa dan kepala sebesar kepala kambing!

"Ho-ho, Tiauw-cu (Rajawali), engkau mengenal suara tawaku dan datang

.menyusulku ke sini? Ha-ha, Rajawali yang baik, turunlah dan jangan sungkan, ini adalah muridku bernama Si Han Lin.

Aneh sekali! Rajawali raksasa itu seolah mengerti akan kata-kata Thai Kek Siansu. Dia meluncur turun dan hingga di atas tanah tak jauh dan batu yang diduduki kakek itu. Setelah rajawali itu turun, baru Han Lin melihat bahwa burung itu memang besar sekali, ketika berdiri di situ, dia lebih tinggi daripada dirinya sendiri!

Melihat Han Lin memandang dengan heran, kagum dan juga takut, Thai Kek Siansu berkata sambil tersenyum. "Han Lin, ketahuilah bahwa Tiauw-liu ini adalah seekor Rajawali Sakti yang telah langka. Dahulu, induk burung ini merupakan sahabat baikku yang kujumpai di puncak Awan Biru, satu di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya. Induk Rajawali Sakti itu merupakan sahabat lamaku yang setia dan baik sekali. Akan tetapi sekarang ia telah tiada dan ini adalah anak tunggalnya yang masih muda. Burung ini amat langka, Han Lin, dahulu hanya terdapat di Pegunung Himalaya, itu pun hanya sedikit dan sekarang entah masih ada berapa ekor yang masih hidup. Tiauw-cu ini sudah lima tahun tinggal bersamaku di Puncak Cin-ling-san dan engkau lihat, ketika aku meakukan perjalanan merantau dan sudah meninggalkannya selama hampir tahun, kini dia menyusul dan berhasil menemukan aku di sini."

"Wah, dia hebat sekali, Suhu!" kata Han Lin girang dan dia pun menghampiri burung rajawali itu dan mengelus bulu halus di sayapnya. Burung itu mengerakkan kepalanya dan mengelus rambut kepala Han Lin dengan paruhnya yang runcing melengkung dan hitam mengkilat itu.

"Ha, bagus sekali! Tiauw-cu ini agaknya juga suka kepadamu, Han Lin, biasanya nalurinya tidak akan salah memilih!"

Han Lin memang kagum sekali mengamati burung rajawali itu baik-baik dari kepala sampai ke kaki. Paruh burung itu besar dan kokoh kuat, melengkung dengan ujung runcing tajam. Lehernya penuh bulu tebal dan di atas kepalan tampak jambul berwarna putih. Bulu burung itu keabu-abuan dengan sedikit titik-titik keemasan di bagian sayap dan ekornya. Tubuhnya juga kokoh dan keras dan kedua kakinya yang sebesar lengan manusia dewasa itu tampak kering dan dan seperti baja, bersisik dan jari-jarinya mekar dengan kuku-kuku yang runcing melengkung pula.

"Han Lin, engkau pulanglah lebih dulu ke Cin-ling-san bersama Tiauw-cu. Aku masih mempunyai beberapa urusan dan harus berpisah darimu. Engkau pulanglah dulu ke Cin-iing-san. Bersihkan pondok kita di sana, rawat tanaman sayur-sayuran.Tunggu aku di sana sampai aku pulang"

"Suhu, bagaimana teecu (murid) dapat pergi ke Cin-ling-san? Teecu tidak tahu mana pegunungan itu dan teecu tidak pernah melakukan perjalanan jauh. Betapa jauhnya tempat itu, Suhu?"

“Jangan khawatir, Tiauw-cu akan menemani dan mengantarmu sampai di sana."

"Baik, Suhu!" kata Han Lin penuh mangat. "Berapa harikah teecu harus berjalan kaki menuju ke sana? Teecu siap berangkat sekarang juga!"

Thai Kek Siansu mengelus jenggotnya dan tersenyum. Hatinya merasa senang melihat semangat besar dan keberanian muridnya ini yang siap mencari Cin-ling-san walaupun tidak tahu tempatnya dan tanpa memiliki sedikit pun uang bekal!

"Kalau engkau berjalan kaki, kukira dalam waktu setengah tahun engkau baru akan sampai di sana, Han Lin."

Anak itu terbelalak memandang gurunya. "Setengah tahun? Suhu maksudnya enam bulan, seratus delapan puluh hari? Wah, begitu jauhnya !"

Kembali kakek itu tertawa. "Ha-ha. engkau akan tiba tak selama itu, Han Lin. Paling lama dua hari engkau dapat tiba di pondok kita di Puncak Cemara di Pegunungan Cin-ling-san. Tiauw-cu akan mengantarmu ke sana."

"Tiauw-cu akan mengantar teecu dapat dua hari tiba di sana? Akan tetapi Tiauw-cu dapat berlari secepat itu teecu yang tidak dapat dan akan tertinggal jauh "

"Dia akan terbang, Han Lin."

"Dia dapat terbang, Suhu, akan tetapi teecu "

"Engkau duduk di atas punggurgnya Han Lin!"

"Teecu? Dibawa terbang ? Suhu, mana teecu berani? Bagaimana kalau

tertergelincir dan terjatuh?" Han Lin bergidik membayangkan dia terjatuh dari punggung burung itu setelah diterbangkan tinggi.

"Nah, lihat baik-baik dan amati dirimu sendiri, Han Lin. Mulai saat ini engkau harus membuka mata baik-baik dan terutama lebih dulu mengamati dirimu sendiri sebelum engkau mengamati apa yang berada di luar dirimu. Lihatlah, apakah rasa takut di dalam batinmu itu? Dari mana timbulnya perasaan takut dan ngeri itu? Coba rasakan dan jawab!"

Han Lin memang masih kecil namun memiliki kecerdasan dan kematangan pertimbangan yang lebih daripada anak-anak biasa berusia sekitar sepuluh tahun berdiam diri, mencoba untuk menelusuri perasaannya sendiri. Tadinya dia sama sekali tidak mempunyai perasaan takut,akan tetapi mendengar bahwa dia harus naik ke punggung rajawali yang akan membawanya terbang, dia membayangkan dirinya tergelincir dan terjatuh, maka timbullah rasa ngeri takut itu. "Suhu, kalau teecu tidak salah, rasa takut itu muncul dipikiran teecu setelah teecu membayangkan kalau teecu tergelincir dan terjatuh dari punggung Tiau-cu ketika dibawa terbang."

"Nah, berarti bahwa rasa takut muncul dari ulah pikiranmu yang membayangkan hal-hal tidak enak yang belum terjadi. Pikiran bagaimana kalau nanti ataubagaimana kalau nanti begitulah yang mendatangkan rasa takut. Dengan datangnya rasa takut maka bijaksanaan kita pun goyah dan miring. Mengapa memikirkan hal-hal yang belum terjadi, yang hanya menimbulkan rasa takut? Mengapa pula membayangkan

masa lalu yang hanya mendatangkan rasa sedih dan dendam kemarahan? Yang tidak penting adalah menghadapi saat itu, saat demi saat dengan penuh kewaspada.

Engkau harus menaati perintah guru kalau aku sudah menyuruhmu menunggang Tiauw-cu, engkau harus taat dan yang penting bagimu melakukan hal ini, sekarang ini, dengan baik dan benar. Kalau engkau melaksanakan apa pun yang terjadi dengan baik dan benar saat ini, maka sudah cukuplah itu. Selanjutnya pun yang terjadi harus kau hadapi sebagai suatu kenyataan yang wajar, waspada saat ini, saat demi saat, urusan kemudian serahkan saja kekekuasaan Tuhan yang tidak dapat dirubah oleh siapapun juga. Nah, sekarang baiklah dan jangan takut, Tiauw-cu akan mengantarmu sampai ke Puncak Cemara, Bukankah begitu, Tiauw-cu?"

Rajawali besar itu mengangguk-anggukkan kepala seolah dia mengerti dan selalu, mengeluarkan suara kwak-kwak, lalu menekuk kakinya, mendekam di dekat Han Lin!

Sebagai putera tunggal seorang guru Silat murid Siauw-lim-pai, sesungguhnya Han Lin telah dibekali dasar-dasar sebagai seorang yang jantan dan tabah, mendengar ucapan gurunya yang walau agak sukar namun dapat dia mengerrti itu, tanpa ragu lagi Han Lin lalu melompat naik ke punggung burung yang amat besar itu. Punggung itu ternyata lebar dan dia dapat duduk dengan enak.

"Cengkeram bulu lehernya. Bulu itu kuat dan kalau merasa pening, membukuklah saja dan rebah menelungkup atas punggung Tiauw-cu " kata Thai Siansu.

"Baik, Suhu. Harap Suhu doakan a teecu tidak jatuh!" kata Han Lin san memegang bulu-bulu leher dengan ketangannya.

Rajawali raksasa itu bangkit berdiri mengeluarkan suara seolah berpamit pada Thai Kek Siansu, lalu mengembangkan kedua sayapnya sambil meloncat atas dan terbanglah dia dengan indah, ke atas. Han Lin merasa seolah-olah jantungnya copot dan tinggal di bawah. Cepat dia memejamkan matanya membungkuk, menyembunyikan muka dalam bulu-bulu yang lembut dan hangat itu.

Thai Kek Siansu berdiri di atas batu sambil mengikuti terbangnya Tiauw-Cu dengan pandang matanya sampai buram.

itu menjadi sebuah titik hitam yang makin menjauh. Dia menghela napas panjang. Dia telah menerima seorang anak laki-laki sebagai murid. Hal ini berarti bahwa biarpun dia tidak pernah dan tidak akan mengikatkan batin dengan siapa atau apapun, namun harus mempertanggung jawabkan keputusan yang telah diambilnya. Dia mempunyai murid, maka dia harus membimbing murid itu agar kelak menjadi manusia yang dekat dengan Sang Sumber dan menjadi penyalur berkat Tuhan Yang Maha Kuasa, menyalurkan semua bekat itu untuk orang lain yang membutuhkah.

Kemudian kakek itu menuruni bukit dan biarpun tampaknya hanya melangkah lambat saja, namun dalam waktu sebentar saja dia telah tiba di kaki bukit.

oooOOooo

Di luar kota Lok-yang sebelah timur di tepi sungai, terdapat sebuah perbukitan memanjang dan sebuah di antara bukit-bukit itu disebut Bukit Naga Kecil karena bentuknya seperti kepala naga. Bentuk ini sebetulnya hanya batu karang, numun dilihat dari jauh tampak beberapa batu karang itu seperti mulut dan kepala naga. Bukit yang gersang karena terdiri dari batu karang sehingga tanahnya tidak subur. Jarang ada orang mendaki bukit! karena memang tidak ada apa-apanya yang berharga. Tidak ada tumbuh-tumbuh-berharga, tidak ada pula hewan buruan besar.

Akan tetapi pada suatu hari, baru saja matahari menyinarkan cahayanya yang hangat, muncul dari celah-celah dua buah bukit, tampak seorang hwesio (pendeta Buddha) memegang tongkat pendetatanya dan menggunakan tongkat itu untuk menopangnya ketika dia mendaki ke atas Bukiit. Hwesio itu seorang kakek berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi kasar dan perutnya amat gendut.

Kepalanya gundul, hanya ditumbuhi sedikit rambut. Dia mengenakan jubah hwesio, dari tetapi berbeda dengan para hwesio di negeri itu yang biasanya memakai berwarna kuning atau merah mu dilibat-libatkan di tubuh mereka secara sederhana sekali, hwesio ini mengenakan jubah longgar yang berkotak-kotak dengan hiasan bunga, dan celananya berwarna warna kuning. Kedua kakinya yang besar mengenakan sandal yang aneh bentuk! dan terbuat daripada kain tebal dengan bagian bawah dari kayu. Hwesio ini bukan orang sembarangan karena dia adai seorang pendeta Buddha yang datang-daerah Tibet dan di dunia barat, yaitu sekitar Tibet, Sin-kiang, bahkan sama ke Nepal, namanya terkenal sebagai seorang pendeta yang sakti. Dia berjuluk Thong Leng Lo-su, tidak mengguna nama para Lama di Tibet karena dia adalah berbangsa Han (Pribumi Cina). Karena merasa tidak cocok dengan pelajaran Agama Buddha aliran Tibet, memisahkan diri dan meninggalkan Tibet lalu merantau ke Timur, atau kembali Cina. Wajahnya yang tampak penuh sennyum dan ramah itu cocok benar dengan perutnya yang gendut sehingga dia mirip Patung Ji- lai-hud! Setelah tiba di atas puncak Bukit Naga Kecil yang datar, Tiong Leng Losu mencari sebuah batu sebesar perut kerbau yang banyak berseraikan di tepi sebuah jurang. Dia menguakkan tongkatnya dengan perlahan kearah batu itu.

"Ceppp!" tongkat itu menusuk batu sedemikian mudahnya seolah dia bukan menusuk batu melainkan menusuk benda yang lunak! Batu yang tertusuk tongkat itu dia bawa ke tengah dataran puncak bukit, melepaskannya dan melihat permukaan batu itu tidak rata, dia lalu menggunakan telapak tangan kiri dengan jari- jarinya yang gemuk untuk mengusap permukaan batu. Sedikit debu mengebulkan permukaan batu itu kini menjadi halus seperti dibubut! Kemudian dia meniup permukaan batu sehingga permukaan batu bersih dari debu yang terkena remukan batu, lalu duduk bersila di atas batu, meletakkan tongkatnya bersandar pada batu yang didudukinya lalu memejamkan kedua matanya, duduk bersamadhi. Tubuhnya duduk tegak lurus dan sedikit pun tidak bergerak sehingga dia tampak perti sebuah patung!

Tak lama kemudian muncul seorag bertubuh gemuk pendek dari jurusan lain mendaki bukit itu. Kakinya yang pendek-pendek itu bergerak cepat dan tubuhnya meluncur ke atas dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Tubuhnya seolah berubah menjadi bayang-bayang dan tahu-tahu dia sudah berdiri di puncak. Dia tersenyum melihat Thong Leng Losu duduk tenggelam dalam siu-lian (samadhi) dan dia pun menghampiri batu-batu besar yang berserakan dekat lereng. Dia memilih batu terbesar dan begitu mencabut pedang yang tergantung punggung, tampak sinar hijau bergulung-gulung di sekitar batu itu dan batu-batu kecil disertai debu berhamburan. Hanya sebentar saja, batu besar itu kini telah berubah menjadi sebuih kursi yang seolah dipahat halus dan bentuknya indah! Hal ini menunjukkan betapa hebatnya ilmu pedang orang pendek itu. Dia berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya yang gemuk pendek membuat dia tampak seperti serba bulat.

Pakaiannya longgar sederhana, seperti pakaian yang biasa dipakai para pertapa. Orang ini pun bukan orang sembarangan. Dia bernama Liong Gi Cin-jin dan di dunia persilatan, terutama didaerah timur, dia terkenal nama julukan Tung Kiam-ong (Raja pedang Timur). Dia seorang yang tekun mempelajari agama Khong-kauw (Confu- iism) dan bertahun-tahun dia merantau di sepanjang kota pantai Timur untuk menyebar-luaskan pelajaran Khong-hu-Im.

Baru saja dia menduduki kursinya yang diletakkan dalam jarak lima tombak dari tempat duduk Thong Leng Losu, tiba-tiba dari arah lain tampak seorang munusia seperti seekor burung melayang naik ke puncak itu. Dia bukan terbang, namun gerakannya yang cepat ditambah tubuhnya yang lebar itu mengembang seperti sayap burung membuat ia seperti melayang naik dan dengan cepat dia sudahberada di puncak bukit. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus. demikian kurusnya sehingga mukanya seperti tengkorak.

Jubahnya longgar sekali, berwarna kuning, dan sebuah kebutan berbulu putih panjang terselip di pinggangnya. Dengan tenang dia memandang ke kanan kiri, tersenyum melihat dua orang pertama yang sudah duduk atas batu. Dia pun menghampiri batu-batu di tepi jurang dan memilih batu. Melihat ada batu yang panjang, menggunakan kebutannya untuk dihantamkan ke tengah batu itu.

Bagaikan pisau tajam memotong agar-agar, kebutan itu membelah batu panjang dan bekas potongan itu demikian rata dan halus seolah batu itu dipotong dengan benda ya amat tajam. Kemudian, bulu-bulu. kebutannya itu membelit sebuah di antara potongan batu itu dan dengan gerakan lembut batu itu terangkat dan terlontar atas, ke arah tempat dua orang itu duduk! Dia lalu meluncur cepat kedepan dan ketika batu itu melayang turun, menggunakan kebutannya untuk menangkap batu dan diletakan dalam jarak lima tombak dari dua orang yang lain dan kini Mereka duduk saling berhadapan membentuk titik ujung segi tiga. Orang ketiga ini mudah diketahui bahwa dia seorang Tosu (Pendeta Agama To) dari pakaian pendetanya yang berwarna serba kuning. Dia pun terkenal di dunia persilatan sebagai seorang datuk besar dari Selatan. Julukannya di dunia kang-ouw Ialah Lam-liong (Naga Selatan). Tiga orang kakek ini biarpun amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai orang-orang sakti, namun mereka jarang mencampuri urusan dunia ramai, dan tidak pernah mempunyai murid. Mereka lebih tekun menyebarkan pelajaran agama masing- masing. Thong Leng Losu menyebarku pelajaran Agama Buddha, Tiong Gi Ki-jin menyebarkan Agama Khong-kauw, dan Louw Keng Tojin menyebarkan Agama To- kauw. Tidak seperti para tokoh agama yang menjadi pimpinan kuil agama masing- masing, tiga orang datuk ini lebih suka bekerja sendiri, merantau dan tidak pernah menetap di suatu tempat atau tinggal di sebuah kuil.

Setelah orang ke tiga itu duduk bersila di atas batu yang dipilihnya, Ti Gi Cinjin mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan ke dua orang itu lalu berkata dengan lembut.

"Selamat berjumpa, Saudara-saudara!” Betapa bahagianya bertemu dengan sahabat-sahabat lama yang datang dari jauh!

"Omitohud, Tiong Gi Cinjin! Pedangmu masih tajam, ucapanmu masih mengandung aturan kemanusiaan, tentu kau memperoleh kemajuan pesat. Pinceng (aku) merasa kagum sekali!" kata Thong Leng Losu sambil membalas penghormatan itu.

"Siancai! Apakah segala macam aturan yang dibuat manusia dapat merubah cara hidup manusia menjadi baik! Pinto (aku) tahu bahwa pribadi Tiong Cinjin memang sudah baik, akan tetapi kebaikannya bukan karena adanya aturan." kata Louw Keng Tojin sambil tersenyum.

"Saudara Thong Leng Losu dan saudara Louw Keng Tojin, aku mengenal jiwi (Anda Berdua) sebagai orang-orang baik dan selalu berusaha untuk menjadikan orang- orang menjadi baik degan ajaran-ajaran agamamu. Akan tetapi mari kita lihat, bagaimana keadaan dunia ini? Padahal, semua manusia di empat penjuru sesungguhnya adalah saudara sendiri, mengapa terjadi perang perebutan kekuasaan yang mengorbankan nyawa banyak orang? Beginilah kalau manusia tidak menaati peraturan.Kalau semua rakyat mengikuti dan menaati pelajaran agama kami dan mengutamakan bakti, anak-anak berbakti kepada orang tuanya, rakyat berbakti kepada rajanya, tentu tidak akan terjadi semua pertentangan dan keributan kekuasaan ini."

"Ha-ha-ha, Tiong Gi Cinjin, agamamu lalu menekankan agar manusia menaati peraturan. Akan tetapi apa kenyataannya, makin banyak peraturan, semakin banyak terjadi kekacauan! Peraturan dibuat oleh miusia, seperti juga senjata dibuat manusia dengan maksud baik, akan tetapi justeru senjata itu dipergunakan manusia untuk kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Peraturan juga demikian, kenyataannya, peraturan dijadikan senjata bagi manusia untuk kepentingan dan keuntungan masing-masing. Tahukah dan sadarkah engkau, Tiong Gi Cinjin, bahwa dosa dilakukan manusia justeru karena adanya peraturan? Dosa adalah pelanggaran, dan justeru peraturan itu menimbulkan pelanggaran! Kalau tidak ada peraturan, tidak akan ada pelanggaran atas dosa!"

"Omitohud! Pendapat Tiong Gi Ci dan Louw Keng Tojin itu semua baik mungkin tidak akan berhasil mengamankan dunia dan mendatangkan kedamaian kehidupan manusia! Semua usaha itu hanya mendatangkan sengsara dan duka. Saat Buddha telah menemukan cara sempurna untuk membebaskan manusia dari duka. Manusia tidak mungkin dapat terbebani dari duka selama dia belum melaksanakan apa yang disabdakan oleh Sang Buddha. Empat Kenyataan yang disadari benar bahwa terdapat adanya Duka, sebab dari Duka, menghentikan Duka, dan Jalan untuk menghentikan Duka. untuk itu Sang Buddha telah menemukan dengan Jalan Utama, Lima Petunjuk, Sepuluh Larangan, Sepuluh Jalan Kebaikan, dan lain-lain. Kalau semua manusia mentaati semua petunjuk Sang Buddha, manusia akan terbebas dari Sengsara dan duka."

Petunjuk-petunjuk dan upacara-upacara saja tidak akan menolong, Thong Leng Losu. Harus ada peraturan yang melaksanakan, harus ada hukum, yaitu hukum siapa yang melanggar peraturan. Kalau peraturan hukum dilaksanakan dengan baik dan sebagaimana mestinya, akan terdapat ketertiban." kata Tiong Gi Cinjin mempertahankan teorinya berdasarkan pelajaran dari Agama Khong-kauw yang dianutnya.

"Ha-ha-ha, kalian berdua hanya bicara tentang peraturan. Manusia tidak akan dapat membuat kehidupan menjadi baik, dengan mengadakan peraturan yang ba- imanapun. Lihatlah, matahari bulan dan Bintang tidak diatur manusia namun selalu berjalan dengan tertib. Burung-burung terbangan di udara, ikan-ikan berenang dalam air, mereka itu tidak mempunyai akal pikiran seperti manusia, namun tidak kekurangan makan, tidak mengerti sengsara karena mereka semua itu hidup sesuai dengan To. Alam mengatur segala sesuatu dengan tertib, akan tetapi aturan perbuatan manusia malah menimbulkan kekacauan. Biarkanlah Alam bekerja tanpa campur tangan manusia, karena Alam bekerja tanpa tujuan tanpa pamrih tidak seperti manusia yang mementingkan tujuannya daripada caranya." kata Lou Keng Tojin mempertahankan teori agamanya.

Tiga orang itu mulai berdebat, mula-mula mereka mempertahankan teori kebenaran agama masing-masing. Akan tetapi perdebatan itu mendatangkan suasana panas yang mempengaruhi hati akal pikiran mereka sehingga akhirnya mereka saling mencela! Yang beragama buddha dicela karena dikatakan menyembah benda mati berupa arca. Tiong Gi Cinjin yang pendeta Agama Khong-kauw dicela karena hanya mengurus soal manusia dan duniawi. Louw Keng Tojin dicela karena agamanya hanya mengurus hal-hal yang tidak nyata, mengkhayal dan seperti mimpi, sama sekali tidak mempedulikan urusan manusia hidup di dunia.

Perdebatan yang dimulai memamerkan kebaikan dan kebenaran masing-masing berlanjut kepada saling mencela sehingga akhirnya tiga orang itu turun dari atas batu, berdiri dengan muka merah mata bersinar penuh kemarahan!

"Hemmm, kalian mencela pelajar Agama Khong-kauw kami, hal itu berarti kalian menentang kami dan siapa yang menentang kami berarti musuh kami teriak Tiong Gi Cinjin yang sudah hilangan kesabarannya. Dia mencabut pedangnya dan tampak sinar hijau ber kelebat, lalu sinar itu menyambar-nyambar kearah batu yang tadi diduduki Tiong Gi Cinjin. Hanya terdengar sedikit suara, akan tetapi ketika sinar hijau itu kembali ke tangan Tiong Gi Cinjin, batu itu runtuh dan berantakan, telah terpotong-potong seperti mentimun dirajang pisau yang amat tajam! "Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak macam itu tidak ada artinya!" terdeng Louw Keng Tojin berkata. Dia lalu melempar kebutannya ke atas dan tiba-tiba bagaikan benda hidup, kebutan itu melayang turun ke arah batu yang tadi diduduki dan kebutan itu menyambar cepat. Terdengar ledakan keras dan batu itu terpukul bulu kebutan pecah berhamburan dan kebutan itu sudah "terbang" kembali ke tangan Louw Keng Tojin memang pendeta To ini selain lihai ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir.

"Omitohud, kalian telah melanggar larangan membunuh dalam agama kami. Menghancurkan batu-batu itu sama dengan membunuh. Sungguh tidak memiliki belas kasihan." kata Thong Leng Losu dan hwesio tinggi besar ini menghampiri lima buah batu yang sudah pecah berantakan itu, memungutinya dan dia menempel- nempelkan pecahan batu-batu itu sehingga melekat kembali dan menjadi utuh.

Inilah hasil tenaga sakti yang amat hebat!

Kini tiga orang yang lelah berdebat sengit tadi, berdiri saling berhadapan. Mereka semua adalah pendeta-pendeta yang sudah mempelajari agama masing-masing secara mendalam, hafal akan semua pelajaran dalam kitab-kitab suci mereka.

Mereka siap untuk membela agama masing-masing dengan mati-matian, kalau perlu berkorban nyawa! Akan tetapi mereka masih dapat menenangkan diri tidak membiarkan diri hanyut oleh nafsu amarah karena maklum bahwa itu ditentang atau dilarang oleh agama mereka masing-masing.

Karena mereka sama-sama menahan diri, tidak mau mendahului melakukan serangan, maka mereka bertiga hanya berdiri saling berhadapan dengan muka merah. Thong Leng Losu sudah siap dengan tongkatnya dari baja biru. Tiong Cinjin juga sudah memegang pedangnya dan Louw Keng Tojin memegang kebutannya. Di dalam hati mereka terjadi konflik sendiri, sebagian terdorong penasaran dan marah hendak menyerang lawan, sebagian lagi menaati pelajar agama masing-masing tidak mau melakukannya.

Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Datangnya dari bawah puncak dan suara itu terdengar tenang dan sayup-sayup, namun dapat terdengar jelas semua kata- katanya.

Intinya adalah Api Suci

yang selalu membakar dan menerangi Mengapa yang dipersoalkan asap

dan abunya

yang hanya mengaburkan pandangan mata?"

Biarpun suara nyanyian itu terdengar lebih sayup-sayup, akan tetapi tiga orang yang berilmu tinggi itu dapat merasakan getarannya yang kuat dan penuh kewibawaan lembut mengusap perasaan hati mereka, menghapus kemarahan dari hati. Tahulah mereka bertiga bahwa akan muncul seorang manusia yang luar biasa dan seperti dengan sendirinya mereka tunduk dan menanti dengan sikap hormat. Kemudian tampaklah Thai Kek Siansu melangkah ke puncak itu, memandang mereka bertiga, tersenyum lalu menghampiri, berdiri berhadapan dengan mereka sehingga mereka berempat kini menduduki titik-titik segi empat.

"Ho-ho, tiga manusia utama memperebutkan Kebenaran! Kebenaran yang dapat diperebutkan jelas bukan kebenaran lagi namanya. Kebenaran yang dapat diperebutkan adalah kebenaran yang mempunyai lawan, yaitu ketidakbenar Padahal, Kebenaran tertinggi tidak mepunyai lawan. Segala sesuatu tercakup dalamnya!"

Thai Kek Siansu lalu duduk bersila begitu saja di atas tanah berumput. Anehnya tanpa dia mengatakan sesuatu, tiga orang itu otomatis lalu duduk bersila di atas tanah seperti yang dilakukan Thai Kek Siansu! Tiga orang itu mengenai kakek itu dan mereka bertiga merangkapkan kedua tangan depan dada sambil mengucapkan salam hampir bersamaan.

"Selamat datang, Thai Kek Siansu!"

Thai Kek Siansu membalas salam mereka dengan ucapan lembut, "Selamat berjumpa, Sam-wi Suhu (Ketiga Guru) dari Sam Kauw (Tiga Agama)!"

Mereka berempat duduk bersila tiga orang pertama memandang kepada Thai Kek Siansu yang menundukkan mukanya sambil tersenyum dan kedua mukanya terpejam. Kemudian, bagaikan orang bermimpi, dia kembali menyanyikan syair yang amat terkenal di antara para tokoh agama dan para sastrawan di Zaman itu. Syair itu adalah karya Sikong Tu (837 - 908), seorang penduduk Daerah Yong-ji di Propinsi Shan-si. Dalam usia muda dia sudah lulus ujian negara. Ketika orang Chao menyerang ibukota Kerajaan Tang dia mengungsi. Dalam usia lima puluh lima tahun dia mengundurkan diri bertapa. Ketika Dinasti Tang jatuh, dia menolak pemberian pangkat oleh Kaisar Dinasti yang baru. Thai Kek Siansu menyanyikan syair itu dengan suara lembut.

"Dia tinggal dalam keheningan, dalam kesederhanaan; Ilham adalah lembut sekali, cepat menghilang.

Dia minum dari Sumber Keselarasan Agung, Terbang bersama burung bangau terpencil di atas. Lembut seperti desahan napas angin lalu

Yang semilir menyentuh baju panjangmu. Atau desir pohon-pohon bambu yang tinggi Yang keindahannya selalu engkau rindukan.

Kalau kebetulan bertemu, agaknya mudah dicapai Pada saat engkau hampir, Dia mundur,

Dan ketika engkau menjangkau merangkapnya, Dia menggelincir dari tanganmu hilang!"

Setelah Thai Kek Siansu menghentikan nyanyiannya, suasana sejenak menjadi hening, akan tetapi segera terisi oleh suara alami yang terdengar demikian menghanyutkan perasaan. Desir angin antara batu-batu air yang memancur menimpa batu, diselingi bunyi burun burung yang melayang lewat puncak. Akan tetapi semua suara dari luar di yang tidak mampu menghilangkan suara keheningan dalam diri yang tidak pernah berhcnti akan tetapi hanya dapat didengar orang yang benar-benar tidak lagi mempengaruhi kebisingan hati akal pikiran, suara itu terdengar di telinga yang paling dalam. Orang yang mendengarnya mungkin tidak sama daya penangkapnya dengan orang lain. Ada yang mengatakan seperti gemersiknya angin bergurau dengan daun-daun, atau seperti gelora air lautan yang dahsyat, atau seperti ombak berkejaran.Telinga luar tidak mempengaruhi pendengaran itu, biar telinga ditutup, tetap saja suara itu berbunyi. Suara keheningan, suara kehidupan, membahagiakan manusia yang dapat mendengarnya

Thong Leng Losu pendeta Buddha dari Tibet itu tak sabar lagi untuk tinggal diam. "Omitohud, Thai Kek Siansu, kebetulan sekali engkau datang pada saat kami bertiga sedang mengadakan pertemuan. Kami bertiga ingin membahas tentang keadaan rakyat jelata dan kerajaan yang silih berganti, selalu terjadi perebutan kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami memperbincangkan semua itu dan juga agama kami masing-masing, bagaimana kami akan dapat menanggulangi semua itu dan mendatang kedamaian dan kesejahteraan bagi manusia, khususnya bangsa kita yang terpecah belah oleh perebutan kekuasaan. Mohon petunjuk dari Siansu yang telah kami dengar akan kebijaksanaannya."

Thai Kek Siansu menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya, namun mulutnya tersenyum, senyum penuh pengertian dan kesabaran.

.

"Tiga orang sahabatku yang baik, untuk dapat mengerti tentang kehidupan mengapa kita harus mendengar petunjuk orang lain? Kita bersama adalah manusia, kehidupan ini sama-sama kita alami. Siapa yang berhak memberi petunjuk dan kepada siapa?

Kita tidak membutuhkan petunjuk orang lain, karena apa pun juga yang kita percaya dan lakukan, kalau menurut petunjuk orang lain, adalah palsu. Bagaimana kalau petunjuk itu salah. Maka, karena kita berempat sama-sama mengalami kehidupan ini, apakah tidak lebih baik kalau kita sama-sama pula mengamati dan mempelajarinya?"

Tiong Gi Cinjin berkata, "Tak dapat dibantah kebenaran ucapan Siansu Itu. Akan tetapi untuk melakukan penyelidikan kami bertiga yang tadi tidak mendapatkan kesepakatan, perlu seorang yang tidak berpihak untuk membuka jalan dan kami harap Thai Kek Siansu yang suka memulai dengan pengamatan dan penyelidikan ini, agar kami bertiga tidak saing bertumbukan."

Thong Leng Losu dan Louw Keng Cinjin mengangguk-angguk dan menyatakan setuju.

Louw Keng Tojin berkata, "Thai Kek Siansu, mari kita bicara dan menyelidiki tentang Agama lebih dulu. Tadi kami bertiga berselisih paham mengenai kebenaran dalam Agama dan karena kami Mempertahankan kebenaran dalam Agama kami masing- masing, maka terjadi salah faham. Sekarang, bagaimana kita dapat melihat kenyataannya, siapa di antara kami bertiga yang benar?"

"Sam-wi (Anda Bertiga) berdebat tentang Kebenaran? Kebenaran yang diperdebatkan bukanlah kebenaran lagi karena Dia ditinjau dengan pandangan yang dan terselubung tirai penilaian agama masing-masing. Mari kita amati tanpa tirai itu. Apakah sebenarnya Agama itu Yang dapat dibuktikan, Agama ada pelajaran untuk menuntun manusia arah jalan hidup yang baik. Bukan demikian? Semua Agama mengajar kebaikan dan tidak ada sebuah pun Agama yang mengajarkan agar umatnya melakukan tindakan jahat. Intinya ada agar manusia di waktu hidupnya berbuat kebaikan menjauhi kejahatan sampai akhir hayatnya. Akan tetapi Agama juga memiliki sejarah dan upacara-upacara masing-masing yang tentu saja diakui benarannya secara mutlak oleh umat Sayang sekali, seperti yang Sam-wi perlibatkan tadi, Sam-wi tidak melihat kesamaan intinya atau apinya, yaitu hidup dalam kebaikan, melainkan Sam-wi bersitegang membela upacaranya yang berbeda.

Mengapa Sam-wi tidak menggunakan persamaan intinya itu untuk diajarkan kepada umat masing-masing sehingga semua pemeluk agama yang berbeda itu dapat hidup berdampingan secara rukun karena sama-sama memperjuangkan kebaikan dalam kehidupan manusia di dunia

"Omitohud! Biarpun ucapan Siansu membuka mata kami untuk melihat kebenaran, akan tetapi bagaimana dengan kenyataan yang dapat disaksikan betapa umat beragama lain, misalnya ada orang beragama To tetapi menjadi seorang penipu dengan ilmu sihirnya?" kata Thong Leng Losu.

"Siancai! Enak saja Hwesio ini mencela orang lain! Pinto juga melihat banyak sekali orang beragama Khong-kauw yang menjadi penjahat!" seru Louw Keng Tojin membela agamanya.

"Bukan hanya itu, siapa yang tidak tahu berapa banyaknya orang beragama Budha yang menjadi pembunuh?"

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar