Sepasang Pendekar Kembar Jilid 5

Jilid V

WAJAH Lie Eng yang sudah pucat kini berobah merah mendengar betapa pemuda jujur ini dengan terus terang menyatakan rahasia hatinya. Ia merasa terharu sekali. Tapi, ia teringat akan Ouwyang Bun, kesedihan besar membuat ia tak kuat menahan air matanya mengalir karena pemuda idaman hatinya itu telah pergi. Tapi ini, belum seberapa bila dibandingkan dengan kehancuran hatinya bila mengingat bahwa Ouwyang Bun hendak menyeberang dan membantu pemberontak. Inilah yang meremukkan hatinya benar.

Ia menutup mukanya dan menangis terisak-isak. Ouwyang Bu menyangka bahwa gadis itu menangis karena terharu dan menyangka pula bahwa Lie Eng diam-diam membalas perasaan hatinya, maka ia lalu memegang tangan, gadis itu dan berkata dengan suara mesra,

"Sumoi, jangan bersedih. Bun-ko tersesat, biarlah karena aku yakin ia akan kembali ke jalan benar. Aku tahu bahwa sebenarnya Bun-ko adalah seorang perwira yang berhati mulia. Memang harus disesalkan bahwa ia meninggalkan kita, tapi bukankah masih ada aku di sampingmu? Percayalah, sumoi, selama aku masih ada di dunia ini aku pasti akan membelamu samr pai napasku terakhir. Aku akan membantu perjuangan ayahmu dengan setia."

Kemudian, dengan kata-kata keras mereka menegur dan menasihati Lai-wangwe supaya tidak berlaku sewenang- wenang mengandalkan kekayaannya dan memeras rakyat kampung yang miskin.

Setelah itu, keduanya melanjutkan perjalanan, kini langsung menuju ke kota raja.

0o-dw-o0 Ouwyang Bun meninggalkan adik dan sumoinya dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya pada dasar hatinya ia merasa bahagia dan girang sekali karena tindakannya itu membuat   ia   merasa seakan-akan seekor burung yang terlepas dari kurungan, seakan-akan kini ia terbang ke angkasa dengan bebas lepas dan dengan tujuan yang lebih luas. Ia merasa seakan-akan terlepas dari sebuah tugas yang sangat menyiksa hatinya, tugas pekerjaan yang dipaksakan padanya dan yang berlawanan dengan kehendak hatinya. Ia kini boleh pergi ke mana saja yang ia sukai, boleh berbuat menurutkan suara hatin.

Tapi bila ia teringat akan adiknya, ia merasa sedih sekali. Ia tahu bahwa Ouwyang Bu beradat keras dan tidak mudah dirobah pikirannya. Juga ia maklum betapa adiknya itu sangat mencintai Lie Eng hingga andaikata adiknya akan sadar juga bahwa pihak pemberontak tak seharusnya dimusuhi, masih akan sukar juga bagi Ouwyang Bu untuk meninggalkan Lie Eng, apalagi untuk menjadi lawan atau musuh gadis itu.

Dalam perjalanannya seorang diri kali ini, Ouwyang Bun mencurahkan perhatiannya kepada keadaan orang-orang kampung umumnya. Dan apa yang ia saksikan mempertebal keyakinannya bahwa memang raja yang memegang tampuk pemerintahan saat itu perlu diganti. Hampir di tiap kota atau kampung, tak pernah ia melihat seorang pembesar yang benar-benar patut disebut pemimpin rakyat. Para pembesar itu menjalankan pemerasan, penggelapan, kecurangan-kecurangan yang kesemuanya dibebankan kepada rakyat jelata. Hanya orang-orang kaya saja yang hidup senang bahkan berlebih-lebihan, karena dengan mengandalkan pengaruh uang sogokan kepada para pejabat pemerintah, mereka ini hidup terlindung. Jelas tampak di mana-mana bahwa pada hakekat-nya yang berkuasa ada lah harta kekayaan. Seorang yang ada uang tak usah takut sesuatu. Ingin mengawini belasan atau puluhan , gadis cantik? Ingin menang dalam perkara biarpun berada di pihak salah? Ingin naik pangkat secara mudah? Ingin menjadi raja kecil yang mempunyai kekuasaan sendiri, mempunyai "posisi" sendiri? Mudah, asal   orang mempunyai banyak emas dan perak.

Melihat keadaan ini semua, diam-diam Ouwyang Bun merasa heran sekali mengapa suhunya dapat berdiri di pihak raja dan tidak suka kepada perjuangan para patriot bangsa yang dicap "pemberontak" itu. Ia kini dapat menangkap arti. dari kata-kata Ciu Pek In, orang tua perwira yang aneh itu. Baru terbuka matanya dan diam- diam ia mengagumi orang tua yang dianggap seorang locianpwe yang berpemandangan luas sekali. Ia merasa kagum betapa dalam keadaan bertentangan   dan bermusuhan, Ciu Pek In masih memuji-muji sikap Cin Cun Ong. Ternyata bahwa orang tua she Ciu, guru dari nona Cui Sian yang. cantik dan perwira itu, telah dapat menundukkan perasaan perseorangan hingga pertimbangannya adil dan tepat, sama sekali bebas dari rasa sentimen. Rasa kagumnya membuat ia ingin sekali dapat bertemu lagi dengan orang tua itu. Dan diam-diam iapun merasa rindu kepada Cui Sian, gadis yang tampaknya pendiam tapi yang kalau sudah berkata-kata ternyata menyatakan pikirannya yang luas dan cerdik.

Beberapa hari kemudian, ia tiba di sebuah kota, yakni kota Lee-sarr yang cukup ramai. Toko-toko dan rumah- rumah makan berderet-deret di sepanjang jalan hingga menambah kemegahan kota itu. Ia memilih sebuah kamar di penginapan yang berada di jalan sebelah barat. Sebetulnya hari masih belum gelap benar dan iapun belum lelah, tapi melihat bahwa udara gelap dan agaknya akan turun hujan, ia tunda perjalanannya dan bermaksud menginap semalam di kota ini.

Ketika membuka bungkusan pakaian, baru ia ingat bahwa bekal uangnya telah habis sama sekali. Ouwyang Bun lalu mengambil keputusan untuk meniru pekerjaan suhunya ketika masih muda dulu, yakni menjadi maling. Gurunya, Si Iblis Tua Tangan Delapan, pernah berkata bahwa mengambil sedikit harta seorang kaya untuk sekedar bekal perjalanan, bukanlah hal yang patut dibuat malu bagi seorang kang-ouw, asal saja uang yang diambil itu bukan digunakan untuk hidup royal dan bersenang-senang. Apalagi kalau telah diketahui bahwa hartawan yang dimalingi itu adalah seorang yang bertabiat kikir dan yang menjadi kaya karena menghisap tenaga rakyat kecil.

Dengan hati tetap, ketika malam telah gelap benar, Ouwyang Bun keluar dari kamarnya melalui jendela dan langsung naik ke atas genteng. Keadaan benar-benar gelap karena udara diliputi mendung hitam hingga langit tak berbintang sama sekali. Biarpun matanya telah terlatih untuk dapat menangkap bayang-bayang benda di tempat gelap, namun untuk berloncat-loncatan di atas genteng pada saat segelap itu, bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, ia sangat berhati-hati dan tidak berani lari terlalu kencang.

Ketika ia telah berada jauh dari penginapannya, tiba-tiba ia melihat lima bayangan hitam bergerak turun dari atas wuwungan rumah. Ia cepat meloncat ke arah tempat itu dan memandang ke bawah. Dengan bantuan sinar lampu yang menyorot keluar dari lubang rumah, ia melihat lima orang tua berpakaian sebagai petani sedang berjalan di atas tanah dengan langkah cepat sekali. Ia lalu meloncat turun mengejar pula, karena ia merasa curiga dan tertarik sekali hatinya hendak melihat siapakah mereka itu dan apa yang hendak mereka lakukan pada waktu segelap ini.

Ternyata lima orang itu menuju ke gedung besar yang dapat diduga rumah tinggal seorang pembesar. Memang, yang tinggal di situ adalah seorang tihu kota itu. Seperti biasanya rumah pembesar, keadaan di luar dan sekitar gedung terang sekali, karena di seluruh sudut dipasang teng.

Ouwyang Bun makin tertarik karena kelima orang itu ternyata  bersikap sangat  mencurigakan.  Mereka menghampiri gedung itu dari belakang dan berkumpul di suatu sudut sambil berbisik-bisik seakan-akan merundingkan    sesuatu. Dan   pada saat   itu  teringatlah Ouwyang Bun bahwa ia pernah bertemu dengan lima orang tua berpakaian petani yang seragam ini. Ia mengingat-ingat dan akhirnya ia tahu bahwa kelima orang itu adalah Kilok Ngo-koai atau Lima Setan Dari Kilok, yang dulu juga datang menghadiri pesta perjamuan di rumah  Gak Liong Ek di Liok-hui.

Hatinya menjadi girang dan tiba-tiba Ouwyang Bun muncul dari tempat pengintaiannya dan menegur,

"Eh, ngo-wi (tuan berlima) bukankah kelima enghiong (orang gagah) dari Kilok?"

Bukan main terkejutnya kelima orang itu. Mereka segera memutar tubuh dan ketika melihat bahwa yang datang adalah Ouwyang Bun segera berkata perlahan, "Ouwyang- hengte."

Serentak mereka berlima mencabut pedang dan menyerang dengan gerakan hebat. Ouwyang Bun terkejut sekali dan mengelak sambil meloncat jauh.

"Eh, tahan dulu. Kenapa ngo-wi menyerang aku?" tanyanya. Tapi, tanpa menjawab, kelima orang tua itu maju lagi menyerang makin hebat hingga terpaksa Ouwyang Bun mencabut pedangnya untuk mempertahankan dan menjaga diri, karena ilmu pedang kelima kakek itu tak boleh dipandang remeh.

"Ngo-wi, mengapa kalian memusuhiku?" lagi-lagi ia bertanya, tapi Kilok Ngo-koai itu sama sekali tidak mau menjawab, hanya menyerang makin keras dan nekat hingga sekarang Ouwyang Bun juga merasa marah dan gemas. Ia putar pedangnya sedemikian rupa hingga dapat mengimbangi serangan kelima orang lawannya. Mereka bertempur ramai sekali.

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan dari dalam gedung tihu itu keluarlah beberapa orang penjaga yang bersenjata tombak dan golok.

"Bangsat pengacau dari mana berani datang membikin ribut," mereka berteriak dan hendak mengurung. Melihat datangnya para penjaga ini, kelima petani dari Kilok itu segera meloncat dan melarikan diri. Ouwyang Bun sebenarnya merasa gemas dan ingin sekali bertanya kepada mereka mengapa mereka memusuhinya, tapi menghadapi para penjaga tihu yang banyak itu iapun tidak ada napsu untuk melayaninya, lalu meloncat terus ke dalam taman gedung tihu yang gelap. Dari taman itu ia langsung masuk ke dalam gedung dari belakang. Seorang pelayan yang bangun dan kaget karena ribut-ribut di luar kebetulan keluar dari kamarnya dan melihat Ouwyang Bun yang lari masuk sambil membawa pedang terhunus, merasa kaget sekali.

Tapi sebelum ia sempat berteriak, Ouwyang Bun telah mendahuluinya dan menotok jalan   darahnya   yang membuat pelayan itu menjadi gagu. "Jangan banyak ribut kalau kau menyayangi jiwamu," Ouwyang Bun mengancam. "Tunjukkan aku ke kamar majikanmu." Biarpun Ouwyang Bun bicara bisik-bisik dan ia tenang-tenangkan hatinya, namun tidak urung suaranya terdengar gemetar karena sesungguhnya selama hidupnya belum pernah ia mencuri harta orang lain seperti kelakuan seorang perampok.

Karena ketakutan, pelayan itu lalu menunjuk ke arah sebuah kamar besar di tengah ruang gedung. Ouwyang Bun lalu me-notok roboh pelayan itu dan cepat menghampiri pintu kamar. Sekali dorong saja terbukalah daun pintu. Ternyata tihu telah bangun karena iapun mendengar suara ribut-ribut di luar gedung. Tihu ini, she Lie, pernah pula mempelajari silat. Melihat seorang pemuda asing memasuki kamarnya, cepat ia menyambar pedangnya yang tergantung di tembok dan meloncat menyerang. Tapi sekali tangkis saja pedang ditangan tihu itu jadi terpental. Ouwyang Bun lalu menendang lutut lawan itu hingga jatuh berlutut.

"Jangan banyak tingkah, aku tak hendak

membunuhmu," kata Ouwyang Bun. "Aku hanya

membutuhkan sedikit uang bekal."

Besar dan girang hati tihu itu yang tadinya menyangka bahwa yang datang ini adalah seorang anggauta pemberontak yang mengingini jiwanya. Berulang-ulang ia mengangkat tangan memberi hormat dan berkata,

"Tai-ong (raja = sebutan kepala rampok), jangan khawatir, saya akan memberi bekal secukupnya."

"Diam. Tak usah banyak mulut dan jangan sebut kepala rampok," Ouwyang Bun membentak marah. "Keluarkan peti uangmu."

Dengan tubuh masih menggigil tihu itu membuka lemarinya dan Ouwyang Bun melihat uang emas dan perak berkantun g-kantung dan berjajar di dalam lemari itu. Timbul pula gemasnya karena ia dapat menduga bahwa uang itu adalah hasil perasan dan sogokan, karena kalau tidak, dari mana tihu ini dapat mengumpulkan uang sebanyak itu? Ia lalu mengambil tiga kantung uang emas, kemudian menghadapi tihu itu ia mengancam.

"Kau tentu seorang pembesar busuk juga. Ingat, kali ini aku kebetulan lewat di sini dan hanya mengambil uang sebagai peringatan. Lain kali kalau aku masih mendengar bahwa kau adalah seorang pembesar yang menindas rakyat, jangan kaget kalau aku bukan mengambil uang, tapi mengambil kepalamu, mengerti?" Pedang di tangan kanannya bergerak cepat dan tihu itu hilang semangatnya karena melihat sinar pedang menyambar kepalanya. Ia segera berlutut dengan kaki lemas dan mulutnya tiada hentinya meminta ampun.

Tapi ketika ia mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ dan ia melihat rambutnya yang dikucir panjang dan tebal telah menggeletak di dekatnya, kena sabetan pedang tadi. Ia kaget sekali dan dengan tubuh gemetar dan panas dingin ia memekik memanggil penjaga. Ketika beberapa orang penjaga menyerbu masuk, tihu itu jatuh pingsan karena takutnya. Para penjaga, segera menolongnya dan mengangkatnya ke pembaringan.

Malam itu Ouwyang Bun mengelilingi kota itu dari atas genteng dan menjelang fajar baru ia kembali ke kamar hotelnya lewat jendela. Dan pada keesokan harinya, pagi- pagi sekali, banyak orang-orang miskin yang berumah gubuk, tiba-tiba menemukan segumpal emas di dalam rumahnya, hingga mereka merasa sangat kaget dan senang, lalu diam-diam memasang hio untuk menyatakan terima kasihnya kepada penolong yang tak dikenal itu. Ternyata ketika mengelilingi kota, Ouwyang Bun diam-diam membagi-bagi emas kepada penduduk miskin hingga habis dua kantung lebih. Sisanya ia simpan untuk bekal sendiri.

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah Ouwyang Bun bangun dari tidur. Ia segera membersihkan tubuh dan setelah makan   pagi, meninggalkan hotel untuk melanjutkan perjalanannya. Karena ketika meninggalkan adik dan su-moinya ia juga meninggalkan kudanya, maka sebelum meninggalkan kota itu ia membeli seekor kuda yang cukup baik.

Tukang kuda adalah seorang she Tan yang doyan sekali mengobrol. Ia sedang gembira karena. dari penjualan kuda kepada Ouwyang Bun, ia memperoleh keuntungan yang lumayan besarnya dan melihat bahwa pemuda itu adalah seorang asing ia lalu berkata,

"Kongcu tentu seorang yang pandai ilmu silat," katanya sambil tersenyum memuji.

Ouwyang Bun kaget. Ia memandang tajam ketika bertanya, "Bagaimana sebabnya maka kau menduga demikian?"

Pedagang kuda itu tertawa. "Mudah saja, kongcu. Kau seorang diri berani melakukan perjalanan jauh, membawa- bawa banyak emas dan juga menyandang pedang. Kalau tidak pandai menjaga diri, mana kau bisa melakukan perjalanan dengan selamat? Pada waktu ini keadaan tidak aman, pemberontak dan perampok berkeliaran di mana- mana. Untungnya barisan Cin-ciangkun yang   gagah perkasa telah mulai bertindak. Kemarin banyak sekali anggauta pemberontak tertawan oleh Cin-ciangkun."

Ouwyang Bun merasa terkejut dan heran mendengar ini, ia tenangkan hatinya dan bertanya secara sambil lalu, "Di manakah ada pemberontak tertangkap?" "Di sebelah timur kota ini, kongcu. Kudengar jumlahnya banyak, karena hampir penduduk seluruh kampung Beng- lok-chun menjadi anggauta pemberontak."

"Aku pernah mendengar tentang Cin-ciangkun yang kau sebut tadi. Apakah dia sendiri yang melakukan penangkapan?" Ouwyang Bun tahu bahwa paman gurunya itu tak mungkin di sini, maka ia sengaja bertanya demikian untuk memancing dan mengetahui apakah orang she Tan ini membohong atau tidak.

"Ha, kau tampaknya takut-takut, kongcu. Jangan takut pemberontak, selama masih ada barisan-barisan Cin- ciangkun, mereka tidak akan mampu bergerak. Tentu saja bukan Cin-ciangkun sendiri yang memimpin, tapi barisan Cin-ciangkun telah tersebar di mana-mana."

"Mereka apakan anggauta-anggauta pemberontak yang tertawan itu?" Ouwyang Bun bertanya.

"Ha-ha, diapakan? Tentu saja digiring ke kota raja untuk menanti hukuman gantung. Digiring seperti babi-babi dibawa ke pejagalan." orang she Tan itu tertawa girang sekali.

Ouwyang Bun memandang tajam. "Kau agaknya membenci sekali kepada pemberontak, mengapakah?"

Orang she Tan itu memperlihatkan luka yang telah mengering di lehernya sebelah belakang. "Kau lihat ini, kongcu? Nah, inilah yang mereka lakukan padaku. Hampir saja aku mereka bunuh."

"Mengapa?"

"Mengapa? Entah, karena..... karena aku pedagang kuda."

"Tak mungkin orang akan membunuh tanpa alasan," "Alasannya hanya karena aku didakwa membeli kuda curian."

Tiba-tiba Ouwyang Bun teringat bahwa di daerah itu memang sering terjadi pencurian kuda, maka diam-diam ia lirik kuda yang baru saja dibelinya. Jangan-jangan inipun kuda curian. Para pemberontak itu tentu mempunyai alasan kuat hingga menuduh orang ini pencuri kuda.

"Barangkali kau memang tukang membeli kuda curian," katanya sambil naiki kuda itu dan pergi, meninggalkan si pedagang kuda yang memandangnya dengan heran.

Ouwyang Bun melarikan kudanya menuju ke timur karena ia hendak melihat sendiri keadaan para pemberontak yang tertawan itu. Siapakah yang menawan mereka? Apakah barangkali ia mengenal pemimpin barisan Cin- ciangkun ini?

Ketika ia tiba di luar kota, tiba-tiba ia melihat debu mengepul dari timur tanda bahwa di atas jalan yang berdebu itu sedang berjalan banyak kuda dan rombongan orang. Ia segera menghampiri, dan benar saja, seregu tentara terdiri dari kira-kira tigapuluh orang sedang menyeret-nyeret dan menggiring tawanan kurang lebih tigapuluh orang. Tawanan itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian sebagai petani miskin, bahkan di antara mereka terdapat pula beberapa orang wanita. Tawanan-tawanan itu memperlihatkan sikap macam-macam, ada yang berjalan tunduk dan bersedih, ada yang mengangkat dada dan kepala dengan gagah, ada pula yang menangis sepanjang jalan. Kedua tangan mereka semuanya terbelenggu.

Ouwyang Bun mencari-cari dengan pandangan matanya dan melihat bahwa tiga orang perwira yang berkuda dan memimpin barisan itu tak dikenalnya. Sebaliknya tiga orang perwira itu memandang kepada Ouwyang Bun dengan pandangan curiga dan mereka berbisik-bisik.

Melihat keadaan para tawanan itu Ouwyang Bun merasa kasihan dan sedih. Ia maklum bahwa tak mungkin anggauta-ang-gauta pemberontak selemah itu, membiarkan dirinya begitu saja ditawan sedangkan jumlah mereka lebih besar. Mungkin mereka adalah orang-orang kampung yang kena fitnah oleh hartawan-hartawan yang menghendaki tanah mereka. Memikir demikian, timbullah marahnya. Ia majukan kudanya dan menghadang di depan barisan itu. Tiga orang perwira itu segera mencabut pedang masing- masing.

Ouwyang Bun sengaja mengangkat tangan kanannya memberi tanda berhenti kepada barisan itu. Ia menghadapi tiga orang perwira tadi dan menegur,

"Sam-wi ciangkun, orang-orang kampung ini hendak kalian bawa ke mana?"

"Orang tidak tahu diri." seorang di antara ketiga perwira itu menegur. "Siapa kau maka berani-berani mencegat kami? Apakah kau sudah bosan hidup?"

Ouwyang Bun tersenyum. "Hm, kalau Cin-ciangkun melihat lagakmu yang sombong ini, tentu akan turun pangkat." sindirnya.

Melihat sikap pemuda itu, perwira yang tertua berlaku hati-hati, dan bertanya sambil mengangkat kedua tangan,

"Siapa dan dari mana enghiong yang telah kenal dengan Cin-ciangkun kami, dan ada keperluan apa maka mencegat barisan kami?"

Ouwyang Bun balas memberi hormat dari atas kudanya. "Siauwte Ouwyang Bun dan tentu saja kenal dengan Cin- ciangkun karena beliau adalah susiok dan siauwte pernah menjadi pembantunya."

Terkejutlah ketiga perwira itu dan buru-buru perwira yang tadi berlaku kasar segera memberi hormat, biarpun ia masih meragukan kebenaran kata-kata anak muda ini.

"Maaf kalau kami tidak mengenal kepada taihiap. Orang- orang ini adalah tawanan kami, mereka adalah anggauta- anggauta pemberontak dan kini sedang kami giring ke markas besar Cin-ciangkun."

"Kalian salah tangkap, kawan-kawan. Mereka itu bukanlah pemberontak. Kurasa kalian takkan semudah ini menangkap mereka kalau   mereka   benar-benar pemberontak. Orang-orang kampung ini hanya menjadi korban fitnahan belaka. Lepaskan mereka."

Ketiga perwira itu terkejut. "Taihiap mengapa berkata begitu? Bukanlah hak kami untuk memutuskan apakah mereka itu pemberontak atau bukan. Kewajiban kami hanya menangkap orang-orang yang dicurigai dan membawanya ke markas besar. Dan selain Cin-ciangkun sendiri atau atasan lain, tidak ada orang yang berhak melepaskan orang-orang tawanan kami ini."

""Begitukah? Tapi aku tetap minta kalian melepaskan mereka."

Marahlah perwira termuda yang tadi mengeluarkan kata- kata kasar.

"Ji-wi twako, kukira orang ini mengaku-aku saja menjadi keponakan Cin-ciangkun. Jangan-jangan ia ini juga anggauta pemberontak."

Ouwyang Bun tertawa bergelak-gelak. "Baik, kau percaya atau tidak, aku tetap hendak membela orang-orang kampung ini yang menderita karena kekejaman kalian." "Bagus, kawan-kawan, tangkap orang ini." teriak ketiga perwira itu dan anak buah mereka lalu mengurung dengan senjata di tangan.

Ouwyang Bun tertawa keras dan sambil mengangkat kepala ia berkata,

"Cin-susiok, maafkan kalau teecu terpaksa menghajar anak buahmu yang kurang ajar ini." tiba-tiba saja tubuhnya lepas dari punggung kuda dan menyambar ke sana ke mari di antara keroyokan para tentara itu. Dan di mana saja ia sampai, tentu terdengar pekik kesakitan dan seorang pengeroyok roboh. Sebentar saja beberapa orang anak buah rombongan itu jatuh terguling terpukul atau tertendang hingga keadaan menjadi kacau. Tapi kepungan makin tebal, bahkan ketiga perwira itupun mulai mengambil bagian. Ternyata kepandaian mereka cukup baik.

Menghadapi serangan dan kepungan yang   dilakukan oleh lebih dari duapuluh orang bersenjata tajam itu, Ouwyang Bun terpaksa menggunakan pedangnya untuk melawan. Ia tidak berlaku setengah-setengah lagi dan memainkan pedangnya dengan hebat hingga banyaklah korban luka oleh u-jung pedangnya.

Tiba-tiba dari jurusan timur datang barisan yang lebih besar lagi, dan barisan i-ni dipimpin oleh dua orang perwira yang telah lanjut usianya. Barisan ini adalah barisan pengawal istimewa dari kota raja dan dipimpin oleh dua orang perwira yang berkepandaian tinggi karena ini adalah anggauta Pengawal Sayap Garuda, terlihat dari topi mereka yang berbentuk sayap burung garuda.

Melihat kedatangan barisan baru itu, terkejutlah Ouwyang Bun, karena hanya seorang diri saja tak mungkin ia melawan orang sebanyak itu. Ia lalu memutar pedangnya lebih cepat dan melukai beberapa orang lagi, lalu ia cepat meloncat keluar dari kalangan pertempuran. Ia bingung bagaimana harus menolong tawanan-tawanan sebanyak itu, sedangkan untuk melawan para anggauta barisan itu saja sudah payah baginya. Tiba-tiba dari barisan yang baru datang itu berkilat bayangan hijau dan seorang perwira Sayap Garuda melintangkan golok besarnya dan membentak,

"Pemberontak hina, hendak lari ke mana kau?" suara orang itu parau dan biarpun tubuhnya tinggi besar, tapi gerakannya ketika meloncat menghadang Ouwyang Bun tadi sangat gesit hingga Ouwyang Bun maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang "berisi".

Maka tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Bun menggerakkan pedangnya mengirim serangan kilat, tapi perwira itu menangkis dengan golok besarnya. Tangkisan itu saja cukup memperingatkan kepada Ouwyang Bun supaya berlaku hati-hati, karena ternyata perwira itu bertenaga kuat dan gerakan goloknyapun gesit. Mereka berdua bertempur dengan seru, dan tak lama kemudian kembali Ouwyang Bun kena terkurung, kini lebih rapat dan hebat daripada tadi karena gerakan golok perwira itu betul- betul hebat. Diam-diam Ouwyang Bun mengeluh karena kini keadaannya berbahaya sekali. Jangan kata hendak menolong puluhan tawanan itu, sedangkan untuk menolong diri sendiripun ia harus mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, dan inipun masih belum tentu berhasil. Ia lalu berseru nyaring dan mengeluarkan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti) yang dilakukan dengan cepat dan hebat sekali. Melihat permainan pedang ini, terkejutlah perwira ini, yang meloncat mundur sambil berseru,

"Tahan. Dari mana kau peroleh Sin-eng Kiam-hoat ini?

Apa hubunganmu dengan Cin-ciangkun?" Ouwyang Bun memandang tajam dan ia tertawa menyindir ketika menjawab, "Cin-ciangkun   adalah susiokku. Kau mau apa?"

Perwira itu makin terkejut. "Kalau begitu, mengapa kau memusuhi kami? Kenapa kau bertempur dengan anak buah Cin-ciangkun sendiri?" tanyanya heran.

"Kami berselisih paham,"-jawab Ouwyang Bun dengan suara dingin, "kalau kalian bertempur melawan pemberontak, Itu bukan urusanku, tapi kalau kalian menangkapi orang-orang kampung yang tidak berdaya, aku tak dapat membiarkannya."

"Habis, apa kehendakmu?" perwira Sayap Garuda itu bertanya.

"Lepaskan mereka ini."

"Aah, tak mungkin. Sungguh-sungguh a-neh permintaanmu ini, apalagi kalau diingat bahwa kau adalah murid keponakan Cin-ciangkun sendiri. Seharusnya kau tahu akan peraturan ini."

"Betapapun juga, kalian harus melepaskan orang-orang kampung yang tidak berdosa dan tidak berdaya itu." Ouwyang Bun berkata sengit dan menggerak-gerakkan pedangnya dengan sikap menantang.

"Kalau begitu, kau termasuk pengkhianat yang harus dibinasakan." perwira itu berseru marah dan kembali mereka bertarung sengit, dan kali ini perwira yang seorang lagi dan yang bersenjata sebatang tombak ikut menyerbu. Maka repot juga Ouwyang Bun menahan serangan mereka yang ternyata berkepandaian tinggi hingga ia terpaksa harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri.

Dalam saat ia berada dalam keadaan terdesak itu, tiba- tiba para pengepungnya menjadi panik dan kepungannya mengend ur. Ketika Ouwyang Bun meloncat keluar dari kepungan yang sudah menipis itu, ia melihat keadaan yang mendebarkan jantungnya. Ia melihat Kilok Ngo-koai atau Lima  Setan   Dari Kilok   yang malam  tadi  bertempur dengannya, telah datang menyerang pihak tentara dengan pedang mereka, sedangkan selain kelima setan dari Kilok ini, tampak juga..... Cui Sian, nona yang dirindukannya itu, juga Siauw  Leng   gadis   lincah  yang pernah   menguji kepandaian dengan  Ouwyang Bu dulu, serta tidak ketinggalan Lui Kok Pauw, penyelidik kaum pemberontak yang   telah    dikenalnya dulu.   Dan  kini   terjadilah pertempuran hebat antara -kurang lebih empatbelas orang pemberontak yang berkepandaian tinggi dengan puluhan tentara negeri yang mengeroyok mereka.

Ouwyang Bun berada dalam keadaan serba salah Apakah ia harus membantu tentara? Ah, hal itu tak mungkin ia lakukan, karena berlawanan dengan keyakinannya. Pula, pemberontak-pemberontak   itu menyerbu tentu untuk menolong orang-orang kampung yang menjadi tawanan itu, jadi berarti cocok dengan maksud hatinya sendiri. Kalau begitu, apakah ia harus membantu pihak pemberontak? Ini juga tak mungkin ia lakukan, karena ia masih merasa ragu-ragu dan malu untuk mengkhianati paman gurunya sendiri.

Karena merasa bingung, Ouwyang Bun lalu teringat akan para tawanan itu. Ah, kewajibannya hanyalah membebaskan para tawanan itu. Cepat ia lari ke tempat di mana para tawanan itu berada. Tapi ia dicegat oleh lima orang anggauta tentara yang menjaga para tawanan itu. Terpaksa Ouwyang Bun lalu menggunakan pedangnya untuk memutuskan semua tali belenggu yang mengikat tangan para tawanan itu. Dan aneh, begitu terlepas dari belenggu, sebagian besar para tawanan laki-laki, yakni yang tadi mengangkat tegak kepala mereka, lalu ikut menyerbu dan melawan tentara setelah memungut senjata-senjata para korban yang terlempar ke atas tanah. Mereka ikut mengamuk seakan-akan hendak membalas sakit hati kepada para anggauta tentara yang tadi telah menghina dan menyakiti mereka.

Setelah melepaskan belenggu semua tawanan, Ouwyang Bun lalu berdiri menganggur dan hanya menjaga para bekas tawanan yang tidak ikut bertempur.

Ternyata amukan para pemberontak dan para bekas tawanan itu membuat anggauta-anggauta tentara itu kewalahan dan tak lama kemudian mereka terdesak mundur. Terutama pedang di tangan Cui Sian yang sangat hebat itu membuat kedua perwira Sayap Garuda merasa bahwa pihak mereka takkan menang, maka segera mereka memberi isyarat mundur.

Setelah semua anggauta tentara lari, Cui Sian memberi perintah kepada Kilok Ngo-koai yang ternyata juga pemimpin-pemimpin pemberontak, untuk membawa orang- orang kampung itu lekas pergi bersembunyi, karena tak lama lagi tentu akan datang bala bantuan tentara yang lebih besar jumlahnya Untuk mengadakan "pembersihan"

Kemudian, Cui Sian dan Siauw Leng menghampiri Ouwyang Bun dan menjura,

"Ouwyang-taihiap, pertemuan kali ini sungguh-sungguh membuat kami merasa girang sekali," kata Cui Sian sambil memperlihatkan senyumnya yang mempercepat jalan darah dalam tubuh Ouwyang Bun.

Mendengar kata-kata ini, bukan main girang hati pemuda itu, hanya ia merasa kecewa mengapa gadis ini menyatakan bahwa yang bergirang bukan gadis itu seorang diri tapi menggunakan sebutan "kami", maka ia segera menjawab,

"Bolehkah aku bertanya. Dari mana li-hiap ketahui she- ku yang tak ternama, dan mengapa pula lihiap merasa girang dengan pertemuan kali ini?" Ia sengaja bertanya mengapa mereka merasa girang. Cui Sian adalah seorang gadis yang cerdas otaknya, maka mendengar kata-kata ini saja sudah cukup untuk membuat wajahnya yang jelita itu menjadi merah karena merasa malu.

"Kami tahu bahwa taihiap bernama Ouw yang Bun dan murid dari Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang dari Hc-ng-san. Jangan taihiap menjadi kaget karena nama suhumu sudah cukup terkenal dan kami ketahui semua itu dari suhu kami. Adapun tentang kegirangan kami karena pertemuan kali ini ialah karena kau telah membantu kami menghadapi gerombolan kaki tangan kaisar itu."

"Ouwyang-taihiap sungguh gagah perkasa, dengan seorang diri saja berani menghadapi puluhan tentara kaisar, sungguh-sungguh satu perbuatan gagah berani yang pantas dikagumi." Siauw Leng ikut memuji dengan suara yang nyaring dan kerling mata yang tajam.

"Eh, dengarlah, ji-wi. Jangan menganggap bahwa aku telah membantu kalian. Aku bertempur dengan mereka adalah karena persoalanku sendiri. Aku adalah tetap murid keponakan dari Cin-ciangkun dan tentang pemberontakan yang kalian dan kawan-kawanmu lakukan, tiada sangkut- pautnya dengan diriku. Juga aku takkan membela mereka yang mencoba menumpas pemberontakan."

Cui Sian kembali tersenyum manis. "Ucapanmu inipun tidak aneh bagi kami, taihiap. Kami telah tahu benar persoalanmu. Aku tahu juga bahwa kau telah meninggalkan adikmu dan sumoimu." Hampir saja pemuda itu meloncat kaget. "Apa? Dari mana kauketahui semua itu?"

"Ouwyang-taihiap, kau dan adikmu adalah orang-orang hebat yang kalau menjadi lawan akan merupakan musuh yang kuat. Maka sudah menjadi kewajibanku untuk menyelidiki keadaanmu dan hal ini mudah saja karena di setiap kota, di setiap rumah penginapan, di setiap rumah makan, pasti ada rakyat yang membela dan membantu kami."

Ouwyang Bun memandang kagum dan heran kepada nona yang luar biasa cerdiknya itu, lalu ia menggelengkan kepala. "Kalau melihat keadaan ini, hampir aku menyangka bahwa kau juga telah mengetahui segala isi hati dan jalan pikiranku, lihiap."

Cui Sian tersenyum lagi dan suaranya menjadi perlahan sekali ketika ia berkata,

"Mungkin aku dapat menduga isi hati dan jalan pikiranmu itu, taihiap."

"Benarkah? Coba kaukatakan." Ouwyang Bun merasa gembira sekali, di samping heran dan ragu.

"Di dalam hatimu kau bersimpati kepada gerakan kami dan pikiranmu juga membenarkan tindakan para patriot yang hendak membebaskan rakyat dari kekuasaan raja lalim, tapi karena susiokmu kebetulan menjadi panglima perang raja yang justeru berkewajiban membasmi kami, maka liangsim-mu (hati nurani) tidak meng-ijinkan kau untuk mengkhianati paman gurumu itu. Bukankah demikian?"

Sekarang benar-benar Ouwyang Bun merasa heran. Ia pandang wajah yang cantik berseri-seri itu dengan mata tak berkedip dan mulut ternganga. "Nona.....," katanya   setengah   tak   sadar.   "kau   ini....

manusia atau.    dewi kahyangan yang sakti?"

Terdengar suara tertawa cekikikan dari Siauw Leng hingga sadarlah Ouwyang Bun akan kata-katanya yang lucu dan bodoh itu, maka buru-buru ia menjura dengan wajah merah.

"Lihiap, kau sungguh luar biasa. Sukakah kau menerangkan dari mana pula kauketahui semua itu? Apakah juga dari suhumu yang sakti?"

Kini Cui Sian menggeleng-gelengkan kepala. "Bukan dari siapa-siapa. Apakah sukarnya mengetahui atau menerka hal itu? Setiap orang yang berjiwa patriot akan berpendirian seperti itu. Setiap laki-laki yang gagah perkasa, yang berbudi mulia, yang bijaksana, yang berpemandangan luas, akan berpendirian seperti itu. Dapat melihat kebenaran dalam perjuangan para patriot bangsa, tapi juga tidak lupa akart kebaktian terhadap guru."

Kembali terdengar Siauw Leng tertawa cekikikan, kini bahkan dengan menepuk-nepuk bahu Cui Sian.

"Eh, eh, kau kenapa?" tanya Cui Sian sambil memandang gadis lincah itu.

"Ah, ciciku yang baik, betapa kau telah memuji-muji Ouwyang-taihiap. Bagus, bagus, ya??"

Maka sebentar saja otak yang tajam dari Cui Sian dapat menangkap maksud adiknya dan seluruh mukanya berobah merah. Benar saja, tanpa disadarinya ia telah mengatakan bahwa pemuda itu adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, berbudi mulia, bijaksana dan berpemandangan luas. Sementara itu, Ouwyang Bun tersenyum saja dengan hati berdebar girang dan hidungnya berkembang menahan geli hatinya mendengar dan melihat betapa Siauw Leng yang nakal telah menggoda Cui Sian.

Cui Sian merasa malu sekali dan untuk menghilangkan rasa malunya ia cubit lengan adiknya, yang segera lari sambil tertawa. Ouwyang Bun dan Cui Sian yang ditinggal berdua saja hanya berdiri saling berhadapan tanpa mengeluarkan ucapan apa-apa, bahkan mereka tak berani saling memandang, hanya tunduk dan hanya kadang- kadang mencuri pandangan dengan kerling tajam.

Akhirnya Ouwyang Bun memecahkan kesunyian dan kebingungan mereka dengan berkata, "Lihiap, kau telah mengetahui she dan namaku, tapi bolehkah aku ketahui she-mu dan apa pula hubungan nona Siauw Leng dengan kau?"

Cui Sian mengangkat muka dan memandang wajah Ouwyang Bun dengan tenang ketika ia menjawab,

“Aku she Can bernama Cui Sian, dan Siauw Leng adalah adikku sendiri bernama Can Siauw Leng."

Tiba-tiba Ouwyang Bun menjadi pucat dan ia merasa kepalanya pening ketika teringat akan sesuatu. Hampir saja ia tak dapat mengendalikan diri lagi dan hendak memegang lengan gadis itu yang segera mundur.

"Kau..... kau dan adikmu... dari manakah asalmu    ?"

Cui Sian tidak tampak heran melihat sikap Ouwyang Bun yang aneh ini, bahkan dengan tenang sekali ia berkata,

"Aku sudah tahu apakah yang timbul dalam dugaanmu, taihiap. Memang dugaanmu itu benar. Ayahku adalah Can Lim Co yang tinggal di Tung-han." "Kau.. kau....," Ouwyang Bun tak dapat melanjutkan kata-katanya hanya menggunakan jari telunjuknya untuk menuding dada gadis itu lalu menuding dadanya sendiri.

Cui Sian mengangguk-angguk. "Ya, memang ibumu dan ibuku telah menjodohkan kita...," gadis itu lalu menundukkan muka dengan malu.

Ouwyang Bun teringat akan adiknya dan ia meloncat- loncat ke atas bagaikan menginjak pasir panas. "Kalau begitu, adikmu itu.... nona Siauw Leng dan Bu-te. "

"Ya, memang menurut orang tua kita, adikmu itupun telah dijodohkan dengan Siauw- Leng."

Tiba-tiba Ouwyang Bun tertawa gelak-gelak sambil mengangkat kepalanya ke atas. Ia merasa geli sekali ketika teringat betapa Ouwyang Bu telah mengadu kepandaian melawan tunangannya sendiri. Alangkah cocoknya jodoh itu. Adiknya yang kasar dan jujur dan Siauw Leng yang lincah dan Jenaka. Tapi, tiba-tiba ia teringat akan keadaan Ouwyang Bu dan tiba-tiba saja suara ketawanya berobah menjadi isak dan pemuda gagah itu lalu menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis.

Cui Sian yang belum mengetahui duduknya persoalan, menjadi heran sekali dan salah sangka. Terdengar kata- katanya yang diucapkan dengan tenang tapi tetap,

"Ouwyang-taihiap, tak perlu, hal ini dibingungkan dan disusahkan. Kita adalah orang-orang yang mengutamakan kejujuran dan tidak terikat oleh segala yang tak kita setujui. Kalau kita tak menyetujui tindakan orang tua kita, mudah saja. Batalkan dan habis perkara, tak perlu dibingungkan."

Mendengar ini, sekali itu juga hati Ouwyang Bun memberontak dan ingin sekali ia meloncat dan memegang tangan gadis itu dan mengakui bahwa ia setuju sekali dengan ikatan jodoh itu, tapi karena ia sedang merasa hancur hatinya teringat kepada adiknya yang mengambil jalan lain, ia tak kuasa menjawab kata-kata Cui Sian, hanya berkata lirih berkali-kali,

"Bu-te.... Bu-te.   "

Ketika Ouwyang Bun mengangkat mukanya, ternyata Cui Sian telah lenyap dari situ. Ia cepat berdiri memandang ke sekitarnya, tapi keadaan di situ sunyi senyap. Sementara itu, hari telah berobah senja dan keadaan telah mulai gelap.

Tiba-tiba dari timur tampak beberapa orang berlari cepat sekali ke arahnya dan empat orang telah berada di hadapannya. Mereka ini adalah perwira-perwira Sayap Garuda dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Ouwyang Bun yang masih merasa setengah sadar karena pukulan kesedihan tadi, cepat menggunakan pedangnya melakukan perlawanan. Ternyata empat orang pahlawan keraton ini sangat hebat dan segera ia terkurung rapat. Sementara itu, musuh datang lebih banyak. Ouwyang Bun maklum bahwa ia takkan tertolong lagi, karena terlalu banyak musuh pandai mengurung dan menyerangnya, bahkan di antara mereka ini tampak Kin Keng Tojin, tokoh Go-bi-san yang bertubuh bongkok dan rambutnya yang panjang diikal ke atas. Inilah tosu yang pernah ia jumpai di medan pesta Gak Liong Ek dulu, dan ternyata pendeta inipun telah menjadi kaki tangan kaisar pula.

Karena terkurung rapat-rapat sedangkan ia hanya seorang diri, Ouwyang Bun menjadi nekat. Ia mainkan pedangnya sedemikian rupa dan ia kerahkan seluruh tenaga dan kepandaian hingga sampai dua-ratus jurus ia masih tetap dapat mempertahankan diri, biarpun tubuhnyalah merasa lemas dan lelah sekali. Ia telah menerima hantaman tiga kali, yakni sekali bacokan golok yang meleset dan melukai kulit pundaknya, sedangkan dua kali lagi pukulan toya di lengan kiri dan pinggang. Tapi berkat semangatnya yang   menyala-nyala dan kenekatannya yang luar biasa, ia belum juga dapat dirobohkan.

Akhirnya kedua matanya menjadi gelap, pandangan matanya kabur dan kepalanya pening, sepasang lengannya terasa lemah tak bertenaga dan kedua kakinya terhuyung- huyung ke belakang. Ia hanya mendengar suara ketawa dan bentakan-bentakan lawannya di sekelilingnya yang tiba-tiba terhenti dan akhirnya semuanya tampak hitam karena ia telah pingsan.

0odwo0

Ketika sadar kembali, Ouwyang Bun mendapatkan dirinya terbaring di atas sebuah dipan bambu yang bertilamkan kain putih bersih dan pinggirnya berenda. Bantal yang mengganjal kepalanya terbungkus sutera merah bersulam kembang-kembang mawar indah sekali. Bantal itu mengeluarkan bau harum dan sedap menyegarkan. Ouwyang Bun merasa seakan-akan dalam mimpi. Tanpa menggerakkan kepala, kedua matanya bergerak ke sekelilingnya. Ternyata ia berada di dalam sebuah kamar segi empat yang terbuat dari bilik bambu sederhana. Di sebelah kirinya terdapat lubang jendela yang tak berapa besar dan dari jendela itu masuklah angin berhembus perlahan menggerak-gerakkan sutera hijau yang tergantung di belakang jendela. Dari atas sutera hijau itu, ia hanya dapat melihat langit yang biru muda terhias awan-awan putih berkelompok-kelompok. Tiba-tiba teringatlah ia akan pertempuran hebat dan teringatlah ia betapa ia terluka karena dikeroyok oleh jagoan-jagoan keraton. Maka ia segera   menggerakkan kedua lengannya. Lengan kanannya dapat digerakkan seperti biasa, tapi lengan kirinya terasa sakit sekali ketika ia gerakkan, terutama di bagian pundak. Ketika ia raba pundaknya, ternyata bahwa bagian tubuh itu telah dibalut.

Di manakah dia? Demikianlah otaknya mulai berpikir dan ia bangkit dengan perlahan lalu duduk di atas dipan itu. Pada saat itu, daun pintu di sebelah kanannya terbuka perlahan dan seorang gadis masuk dengan langkah kaki perlahan dan halus. Gadis itu membawa sebuah nampan berisi cawan kosong dan poci air teh, dan sebuah mangkuk berisi obat. Ketika pandang mata mereka bertemu, hampir saja Ouwyang Bun berseru karena herannya. Ia merasa seakan-akan berhadapan dengan seorang bidadari yang baru saja turun dari kahyangan. Demikian cantik, demikian manis dengan pakaiannya yang sederhana. Senyumnya menghias mulut yang indah bentuknya itu, sepasang matanya berseri-seri dan bercahaya bagaikan bintang pagi, dan begitu lemah gemulai. Ouwyang Bun hampir tak percaya kepada mata sendiri, tapi tak terasa pula bibirnya bergerak memanggil,

"Cui Sian     "

Gadis yang sedang berdiri dan memandang padanya itu tiba-tiba menundukkan mukanya yang berobah menjadi kemerah-merahan dan tangan berkulit putih halus itu menggigil hingga cawan kosong di atas nampan berbunyi berkerotekan. Benarkah ini Cui Sian, gadis yang biasanya berpakaian laki-laki, gadis yang gagah perkasa, yang telah mendapat kekuasaan memimpin barisan pemberontak, yang biasa menghadapi musuh banyak dengan tenang dan sepasang pedang di tangan. Benarkah tangan yang biasanya pandai mengayun dan mempermainkan pedang itu kini gemetar menggigil untuk membawa sebuah nampan kosong saja?

Ternyata bahwa dara ini memang benar Cui Sian adanya.

"Ouwyang-taihiap, kau sudah sadar?" tanyanya. Aneh sekali pendengaran telinga Ouwyang Bun, suara gadis inipun berobah, merdu halus dan bagaikan kicau murai di waktu pagi.

"Cui Sian..... moi-moi, masih perlukah kau panggil aku dengan segala taihiap-taihiapan?" Ouwyang Bun berkata perlahan.

Muka gadis itu makin merah dan ia mengerling kepada pemuda itu dengan sudut matanya.

"Baiklah, Bun-ko," jawabnya perlahan hampir tak terdengar, kemudian setelah menghela napas untuk menenteramkan hatinya yang berdebar-debar tadi,   ia berkata lagi, kini dengan suara biasa, "Bun-ko, minumlah dulu obat ini."

Semenjak kecil Ouwyang Bun memang paling benci minum obat-obat yang tak sedap rasanya, apalagi kalau yang pahit. Mendengar bahwa ia harus minum obat semangkuk penuh itu, ia kenyitkan hidungnya dan belum apa-apa ia telah merasa mau muntah.

"Haruskah kuminum obat itu, moi-moi?" tanyanya.

Melihat wajah pemuda itu, Cui Sian tertawa geli. "Tentu saja harus kau minum, apa kaukira aku bersusah payah masak obat ini hanya untuk main-main saja?" "Eh, kau memasak obat untukku, adikku yang baik? Dan kau.... kau rawat aku dengan baik pula, ah.... sungguh kau baik sekali, moi-moi "

"Hush..... sudahlah, minum dulu obat ini dan jangan membantah." setelah gadis itu meletakkan nampan di atas meja kecil, lalu mengambil mangkuk obat itu dan menghampiri Ouwyang Bun. Dari pakaian gadis itu keluar bau harum'yang sama dengan bau harum bantalnya, maka Ouwyang Bun memejamkan mata sebentar dan menarik napas dalam, lalu dengan menurut sekali ia terima mangkuk itu, menutup matanya rapat-rapat lalu   sekali tuang habislah obat semangkuk itu.

"Nah, begitu baru baik," gadis itu memuji dan cepat mengambil mangkuk kosong itu menuangkan teh di dalam cawan kecil yang kemudian disodorkan kepada pemuda itu, "dan ini obat penawar pahit," katanya sambil tersenyum dan memandang penuh mesra. Ouwyang Bun juga tak membantah dan meminum habis teh itu.

"Sekarang, kau ceritakan semuanya kepadaku, moi-moi," ia lalu menuntut, tapi cepat disambungnya, "eh, jangan kau berdiri saja, duduklah....." Pemuda itu merasa bingung karena ia merasa tidak sepantasnya kalau mereka duduk berdua di atas pembaringan, sedangkan di situ tidak ada bangku atau kursi. Maka ia lalu cepat turun dari pembaringan. Pinggangnya terasa agak sakit, tapi ditahannya, lalu ia berdiri dan berkata lagi,

"Nah, kau duduklah di situ biar aku berdiri saja."

Cui Sian tersenyum geli. "Kau berbaring saja, Bun-ko. Lukamu belum sembuh benar, tidak boleh turun dari pembaringan. Biar aku duduk di pinggir pembaringan."

Karena memang pinggangnya terasa sakit dan kepalanya masih pusing, Ouwyang Bun lalu merebahkan diri lagi, dan tanpa malu-malu lagi Sui Cian duduk di pinggir pembaringan.

"Moi-moi... bukannya aku tak suka, tapi.... tapi kalau terlihat orang lain... bolehkah kau duduk di pinggir pembaringanku?" sambil berkata demikian pemuda itu menjauhkah diri sedapat mungkin dan mukanya menjadi merah sekali.

Cui Sian menggunakan ujung lengan bajunya untuk menutup mulutnya dan menahan geli hatinya.

"Koko, sungguh kau... menggemaskan. Tiga hari aku terus-menerus menjagamu di sini dan sekarang kau hendak melarang aku duduk di sini?" "Apa? Tiga liari kau menjagaku di sini? Seorang diri?

Dan di mana kawan-kawan yang lain?"

"Sabar, koko. Ketahuilah, ketika kau dengan mati- matian dan gagah berani menghadapi keroyokan beberapa perwira Sayap Garuda dan berada dalam keadaan yang berbahaya sekali, kebetulan aku dan kawan-kawan datang. Untung pada waktu itu suhuku juga ada di antara kami hingga beliaulah yang menolongmu dari bahaya maut. Kalau tidak ada suhu, kiraku sukar menolongmu, karena pengeroyok-pengeroyokmu adalah jago-jago keraton yang berkepandaian tinggi."

"Aduh, kalau begitu aku berhutang budi kepada suhumu."

"Stt, siapa bicara perkara budi? Dengarlah baik-baik ceritaku," gadis itu menyela. "Setelah kami berhasil memukul mun dur mereka semua, kami lalu membawamu ke sini yang terpisah hampir limapuluh li dari tempat kau bertempur. Suhu lalu memeriksamu dan ternyata kau mendapat beberapa luka yang berat juga. Kata suhu, kau akan pingsan sampai dua atau tiga hari karena selain mendapat luka dan terlampau lelah, kau juga menderita tekanan hatin hebat hingga jantungmu terganggu."

"Aah, suhumu sungguh pandai luar biasa seperti seorang dewa," kata Ouwyang Bun dengan kagum.

"Suhu lalu memberi obat dan beliau segera pergi karena mempunyai tugas penting di kota raja, sedangkan semua kawan-kawan juga harus segera menggabungkan diri dengan kawan-kawan lain untuk bersiap sedia menanti perintah penyerbuan besar-besaran ke kota raja. Karena kau harus dirawat baik-baik seperti perintah suhu, maka aku lalu memberikan tugasku kepada Siauw Leng dan aku sendiri tinggal merawatmu." "Ah, moi-moi, adikku yang manis," Ouwyang Bun berbisik terharu sambil memegang tangan gadis itu dan tanpa disadarinya ia mencium tangan yang halus dan hangat itu.

Untuk beberapa lama Cui Sian membiarkan saja tangannya dipegang tapi kemudian ia menarik tangannya sambil berkata lagi.

"Koko, menurut kata suhu, setelah empat hari barulah kau boleh melakukan.perjalanan. Aku mempunyai tugas penting, yakni memimpin kawan-kawan mencari dan menggabungkan diri dengan induk kesatuan.   Maka, terpaksa besok pagi-pagi aku pergi dari sini.”

Ouwyang Bun terkejut. "Pergi ke mana, moi-moi?" "Menyusul kawan-kawan. Ke mana lagi?"

"Aku juga ikut pergi," katanya dengan suara tetap.

Cui Sian mengangkat telunjuknya. "Ingat, koko, aku menunaikan tugasku untuk menyerbu ke kota raja."

"Akupun hendak ikut menyerbu dan bertempur di sampingmu."

"Ingat, koko. Tidak ada yang memaksa kau untuk ikut menggabungkan diri menjadi pemberontak."

"Tidak ada yang memaksa, dan kau bukanlah pemberontak. Kau adalah seorang patriot wanita, semua kawan adalah patriot-patriot gagah sejati. Aku sekarang mengerti dan tahu akan isi perjuanganmu, moi-moi."

"Tapi, koko, janganlah kau berobah pikiran hanya karena ada aku. Ingatlah bahwa kau akan berhadapan dengan susiokmu, bahkan mungkin dengan adikmu

sendiri." Mendengar adiknya disebut-sebut, Ouwyang Bun menghela napas dan berkata perlahan, "Sayang sayang

sekali Bu-te tidak berada di sampingku   "

"Memang, aku juga sangat menyayangkan, koko. Ketahuilah, dari berita para pe nyelidik kita, aku mendapat kabar bahwa adikmu kini telah diangkat menjadi tangan kanan Cin-ciangkun."

Ouwyang Bun makin sedih mendengar ini.

"Dan diberi tugas mengepalai barisan yang menjaga benteng Kwi-ciok-bun di sebelah selatan kota raja. Kabarnya benteng nya besar dan kuat sekali dan merupakan perintang besar sekali bagi kawan-kawan kita."

"Dan kau serta kawan-kawanmu hendak menyerbu ke sana?" tanya Ouwyang Bun.

"Memang tugas kita harus melalui benteng itu."

"Kalau begitu, aku ikut. Biarlah, kalau perlu aku berhadapan dengan adikku sendiri. Mungkin aku dapat menyadarkannya sebelum terlambat."

Sehari itu mereka bercakap-cakap dan pada kesempatan ini Can Cui Sian menceritakan riwayatnya secara singkat.

Ternyata bahwa Can Lim Co, ayah Cui Sian dan Siauw Leng, setelah harta bendanya habis dan menjadi miskin, pindah ke Tung-han dan mendiami rumah sederhana. Pada suatu hari, ketika hujan turun dengan lebatnya, di depan rumah keluarga Can itu tampak meneduh seorang kakek yang memikul keranjang obat. Kakek itu menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus air hujan yang menimpa kepala dan mukanya, lalu mengucapkan syair dengan suara riang sambil memandang air yang mengucur dari atas. Kata orang purbakala

mendung timbul dari samudera mendung jadi hujan

dan air mengalir masuk sungai sungai bergerak maju

dan akhirnya masuk ke samudera kembali Alangkah adilnya kekuasaan alam

segala sesuatu

pasti kembali ke asal semula.

Kebetulan pada waktu itu Can Lim Co sedang duduk di dekat jendela sambil memandang air hujan juga. Can Lim Co adalah seorang sastrawan yang tentu saja pandai akan sastra dan syair. Mendengar syair yang diucapkan orang dari luar ini, ia merasa kagum dan tertarik sekali. Segera ia keluar dan dengan ramah-tamah mempersilakan kakek tukang obat itu masuk.

Kakek itu ternyata adalah Sin-liong Ciu Pek In si Naga Sakti yang tidak hanya hebat sekali ilmu pedangnya. juga seorang ahli ilmu pengobatan yang pintar dan sakti. Ciu Pek In segera menjadi sahabat baik Can Lim Co karena keduanya suka akan syair-syair kuno, maka semenjak saat itu, seringkali Ciu Pek In mengunjungi sahabatnya itu. Kemudian, karena Can Lim Co juga berjiwa patriot, melihat keadaan negara dalam kacau dan tahu bahwa Ciu Pek In adalah seorang pendekar gagah perkasa, orang she Can ini minta kepada sahabatnya untuk menerima kedua anak perempuannya sebagai murid.

Ternyata kedua anak perempuannya, Cui Sian   dan Siauw Leng, memang mempunyai bakat baik hingga mereka mudah £apat menerima pelajaran silat tinggi dari si Naga Sakti. Ketika pemberontakan pecah di mana-mana, sebagai seorang pen cinta bangsa Ciu Pek In juga ikut membantu pergerakan untuk meruntuhkan kekuasaan raja lalim dan para pemimpin jahat, sedangkan dua orang muridnya itu-pun mendapat izin dari orang tuanya untuk membantu pula.

Mendengar cerita Cui Sian, Ouwyang Bun merasa kagum sekali dan tiada habisnya memuji ayah. gadis itu sebagai seorang yang berjiwa patriot.

"Sayang sekali ayahku tidak berpemandangan demikian, dan lebih sayang lagi bahwa Bu-te juga tidak menginsyafi hal ini," katanya sambil menghela napas.

Pada keesokan harinya, ternyata kesehatan Ouwyang Bun telah pulih kembali dan luka-lukanya sudah hampir sembuh. Keduanya lalu berangkat meninggalkan tempat itu dengan naik dua ekor kuda yang memang sengaja disediakan dan ditinggalkan di situ untuk mereka berdua. Mereka memacu kudanya cepat-cepat untuk   dapat menyusul kawan-kawan yang telah mendahului mereka empat hari yang lalu. Karena kawan-kawannya telah berangkat lebih dulu, maka di mana-mana Cui Sian mendapat bantuan orang kampung dan mudah saja baginya mencari tahu dari mereka ini ten-r tang perjalanan kawan- kawannya dan tentang pergerakan tentara negeri yang beraksi mengadakan pembersihan.

Melihat sikap gadis itu kepada orang-orang kampung, makin kagumlah hati Ouwyang Bun dan ia makin yakin para pemberontak memang berada di pihak yang benar dan mulia.

Tiga hari kemudian, ketika mereka sedang melarikan kuda dengan cepat menyeberangi sebuah hutan, tiba-tiba dari depan terdengar suara kaki kuda dilarikan dengan cepat dan sebentar saja tampak penunggang kuda itu dari depan. "Siong-lopeh, kau hendak ke mana?" tiba-tiba Cui Sian menegur dengan suara nyaring dan ramah.

"Twa-lihiap, aku sengaja hendak menyusul dan menyambut engkau." kata orang tua itu. Memang di antara kawan-kawannya itu, Cui Sian dipanggil twa-lihiap dan Siauw Leng dipanggil ji-lihiap, bahkan kadang-kadang Cui Sian mendapat julukan It-to-bwee.

"Apakah ada kejadian-kejadian yang penting, Siong- lopeh?" tanya gadis itu dengan sikap tenang-tenang saja.

"Perjalanan kita terhalang oleh barisan besar yang kuat. Telah dua kali terjadi pertempuran, tapi pihak musuh terlampau kuat dan jumlahnya jauh lebih besar. Ji-lihiap memerintahkan kami supaya mundur dan bersembunyi di dalam hutan-hutan dan tidak boleh menyerang sebelum kau datang. Karena kami merasa gelisah menghadapi musuh yang kuat dan banyak, kami lalu mengambil keputusan untuk menyusulmu dan aku yang mendapat tugas ini. Kebetulan sekali kita bertemu di sini, twa-li-hiap."

Suara gadis itu tetap tenang ketika ia - bertanya, "Bagaimana perbandingan jumlah tenaga dan siapa yang

memimpin pihak musuh?"

"Jumlah musuh menurut para penyelidik kita adalah lebih dari tigaratus orang sedangkan kita hanya berjumlah enampuluh. Pemimpin pihak lawan adalah seorang perwira baru yang masih muda dan memiliki kepandaian silat tinggi. Kabarnya ji-lihiap kenal padanya dan kalau tidak salah perwira itu adalah keponakan Cin-ciangkun sendiri."

"Apa?" Ouwyang Bun tak tahan lagi berseru dengan kaget. Tentu adiknyalah perwira itu. Tapi Cui Sian lebih tenang dan berkata, "Kalau begitu, mari kita menemui kawan-kawan secepatnya, lopeh," dan kepada Ouwyang Bun ia berkata,

"Koko, mari kau ikut."

Biarpun anggauta pemberontak she Siong itu merasa heran mendengar panggilan Cui Sian kepada pemuda itu namun ia tidak berani membuka mulut, dan ketiganya lalu memacu kuda secepatnya. Orang she Siong itu berjalan paling depan sebagai penunjuk jalan, Cui Sian di belakangnya dan Ouwyang Bun di belakang sekali.

Setelah membalapkan kuda hampir setengah hari dan hari telah menjadi gelap, barulah mereka sampai di tempat tujuan yakni sebuah hutan pohon pek yang lebat sekali. Di tengah-tengah hutan itulah para anggauta pemberontak menyembunyikan diri. Ketika Cui Sian datang, semua orang merasa gembira sekali dan lega, karena dengan adanya pendekar wanita ini di antara mereka, maka hati mereka menjadi lebih tabah.

Siauw Leng menyambut encinya dengan girang kemudian memeluknya. Gadis lincah itu lalu menjura kepada Ouwyang Bun dan berkata dengan wajah sungguh- sungguh dan lenyaplah untuk saat itu sifatnya yang nakal, "Ouwyang-taihiap, sungguh-sungguh aku merasa girang dan lega sekali melihat kau suka datang di tempat ini bersama cici."

Kemudian, enci dan adik itu serta beberapa orang yang dianggap sebagai pembantu, mengadakan rapat di dekat api unggun. Di sekeliling api itu ditutup dengan kain tebal hitam hingga dari jauh api itu takkan tampak oleh musuh. Ouwyang Bun ikut duduk di situ, tapi ia hanya mendengarkan saja segala percakapan mereka. Setelah mendengar laporan-laporan para pembantunya, Cui Sian memeras otaknya yang cerdas lalu mengatur siasat.

"Kawan-kawan kita yang berjumlah e-nampuluh ini kita bagi menjadi tiga kelompok. Empatpuluh orang besok pagi- pagi sekali ikut dengan aku sendiri menyerbu musuh di luar hutan. Kalau jumlah mereka bertambah, aku pimpin empatpuluh orang kawan ini mundur dan melarikan diri ke dalam hutan untuk memancing mereka mengejar sampai di tempat yang banyak terdapat pohon siong besar yang kulihat di sana tadi. Di belakang pohon-pohon itu, Siauw Leng harus memimpin sepuluh orang yang pandai menggunakan anak panah dan menunggu sampai musuh yang mengejarku tiba di situ lalu menghujani anak panah tanpa memperlihatkan diri. Tentu keadaan mereka menjadi kacau dan banyak korban jatuh. Kalau mereka melarikan diri dan kembali hendak ke luar hutan, maka Lui-twako yang memimpin sepuluh orang kawan lain harus menyergap mereka dengan anak panah pula dari depan hingga mereka seakan-akan terkurung tanpa mengetahui jumlah kita yang sesungguhnya. Aku sendiri akan memimpin kawan-kawanku untuk menyerbu   kembali hingga mereka betul-betul menjadi kacau-balau."

Semua orang mendengarkan perintah i-ni dengan penuh perhatian, sedangkan Ouwyang Bun merasa kagum sekali.

Pada keesokan harinya semua orang telah bersiap melakukan tugas masing-masing. Ouwyang Bun menemui Cui Sian dan bertanya,

"Moi-moi, aku tentu boleh ikut denganmu, bukan?" "Lebih baik jangan, koko. Siapa tahu, jangan-jangan

adikmu sendiri yang akan maju memimpin pengejaran nanti, dan jika ia melihat kau, ia akan menjadi curiga dan siasatku mungkin akan gagal. Biarlah kau mengamat-amati saja dan membantu bila di antara kawan kita ada yang terkurung atau terancam bahaya."

"Tapi kau harus berlaku hati-hati, moi-moi, jangan kau pandang ringan adikku itu dan.... dan.,,, sedapat mungkin janganlah kau. celakakan dia."

Cui Sian memandang pemuda itu dengan mata sayu. "Apa dayaku, koko? Dalam keadaan seperti ini apakah masih perlu perasaan perseorangan diutamakan?" Ouwyang Bun menghela napas dan tak men jawab karena ia maklum sepenuhnya akan maksud kata-kata gadis itu.

Setelah memberi pesan terakhir kepada kawan-kawannya dan mengatur persiapan-persiapan   untuk   menjalankan siasat itu, Cui Sian lalu memimpin kawan-kawannya untuk menyerbu perkemahan serdadu negeri yang menjaga di luar hutan dalam tenda-tenda berwarna hijau. Kurang lebih tigaratus orang serdadu itu memang dipimpin sendiri oleh Ouwyang Bu. Bagaimanakah nasib pemuda gagah ini yang ditinggal pergi oleh kakaknya yang ia kasihi?

Setelah Ouwyang Bun pergi, Ouwyang Bu merasa sangat sedih, akan tetapi karena kasih dan cintanya kepada Lie Eng jauh lebih besar daripada kasih sayangnya kepada kakaknya itu, maka kenyataan bahwa ia dapat selalu berdampingan dengan gadis itu yang banyak menghibur hatinya.

-00oodwoo00- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar