Sepasang Pendekar Kembar Jilid 1

Jilid I

KOTA Liok-hui pada hari itu ramai sekali karena banyak tamu luar kota bahkan luar daerah datang membanjiri kota itu. Mereka terdiri dari bermacam-macam orang. Ada bangsawan dan ada yang berpakaian petani, ada saudagar dan ada pula yang berpakaian seperti pengemis penuh tambalan, ada orang-orang berpakaian seperti   sastrawan dan ada juga yang berpakaian seperti ahli-ahli silat, bahkan tampak pendeta-pendeta, baik hwesio (penganut agama Buddha) gundul maupun tosu (penganut agama To).

Baru keadaan para tamu yang terdiri dari berbagai ragam dan golongan ini saja sudah merupakan pemandangan menarik yang jarang tampak di kota itu, apalagi kalau orang mengikuti para tamu itu dan melihat mereka semua ternyata mengunjungi sebuah gedung besar yang dihias mentereng dan indah, maka orang akan melihat suasana yang lebih ramai lagi. Bunyi suling dan yang-khim, gembreng dan tambur, meramaikan dan menggembirakan sua sana.

Para tamu semua hanya mempunyai satu tujuan, yakni mengunjungi gedung besar yang berada dalam suasana berpesta itu. Gedung ini adalah milik Gak Liong Ek Si Naga Terbang, seorang tokoh kenamaan di kalangan persilatan, yang juga terkenal kaya raya, hingga di kota itu ia disebut Gak-wangwe (hartawan she Gak).

Pada waktu itu Gak-wangwe sedang merayakan hari ulang tahunnya yang ke enampuluh. Karena ia terkenal sebagai tokoh di dunia kang-ouw (dunia orang-orang gagah atau persilatan) dan juga terkenal sebagai seorang kaya raya yang mempunyai hubungan luas dengan para saudagar dan para pembesar, maka tidak heran bila hampir setiap orang yang diundangnya pasti memerlukan datang menghadiri perayaannya. Ternyata  Gak Liong   Ek tidak   menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memamerkan  kekayaannya.  Ia mendatangkan pemain-pemain musik yang paling ternama dari Hok-chiu dan selain memanggil tukang-tukang masak dari Lok-thian, juga sengaja mendatangkan berpuluh-puluh guci arak wangi dari An-hwe-ein. Ia sengaja membongkar beberapa dinding di ruang depan hingga ruang itu menjadi sangat lega dan luas, di mana ia atur bangku-bangku bercat merah dan   meja-meja  bundar  yang  ditilami  kain berkembang.  Kertas-kertas  berwarna dan  daun hijau menghias dinding dan tiang, sedangkan di atas tergantung teng-loleng (lampion) yang indah-indah beraneka warna bentuknya.

Karena sudah tua dan merasa terlalu merendahkan diri kalau ia sendiri menyambut kedatangan para tamu, maka ia perintahkan kedua orang puteranya   yang   kesemuanya sudah berumah tangga, untuk mewakilinya menyambut tamu. Putera sulung menyambut tamu di pintu depan dan putera bungsu di sebelah dalam, mengantar para tamu menuju ke tempat duduk masing-masing. Gak Liong Ek sendiri duduk di tempat yang sengaja ditinggikan di mana terdapat beberapa belas bangku lain yang khusus disediakan untuk para tamu agung yang terdiri dari para locianpwe (orang-orang tua gagah) dan para bangsawan tinggi.

Gak Liong Ek berpakaian serba biru yang indah berkilat karena terbuat dari sutera. Pada dada bajunya itu tampak sulaman naga terbang yang sengaja dibuat berbeda bentuknya dengan naga-naga biasa karena pada waktu itu yang diperbolehkan memakai baju bersulamkan naga hanyalah kaisar seorang dan keluarganya. Gak Liong Ek memakai sulaman naga terbang hanya untuk menyesuaikan dirinya dengan julukannya yang sudah terkenal dan yang mengangkat tinggi namanya selama berpuluh tahun, yakni julukan Hwie-liong atau Naga Terbang.

Untuk menambahkan kebesarannya, ia sengaja menggantungkan pedang pusakanya yang dimasukkan di dalam sarung pedang bergambar naga terbang pula, di atas dinding tempat ia duduk.

Dari penuturan di atas ini orang dapat mengira-ngira akan perangai jago tua itu. Ya, Gak Liong Ek memang sejak dulu terkenal angkuh dan sangat membanggakan kepandaiannya, akan tetapi, betapapun sombongnya dia harus diakui bahwa perangai sombong dan kasar itu dibersihkan oleh adatnya yang jujur dan terus terang.

Gak Liong Ek sudah memesan kepada kedua orang puteranya untuk berlaku hormat kepada semua tamu, tak perduli tamu itu dari golongan apa. Jago kawakan ini memaklumi, bahwa orang-orang gagah di dunia ini banyak sekali yang aneh perangai dan banyak yang menyembunyikan dirinya di balik pakaian pendeta, hwesio, sastrawan, petani, bahkan banyak yang mengenakan baju jembel.

Karena pesan ayahnya inilah, maka kedua puteranya itu m maksa diri berlaku hormat kepada siapa saja yang masuk, baik ia seorang pendeta maupun seorang pengemis jembel. Dan lucunya, keadaan ini rupa-rupanya diketahui juga oleh para pengemis, hingga di antara sekian banyak tamu, ada beberapa orang pengemis tulen yang membonceng dan sengaja berpura-pura menjadi tamu dan ikut masuk. Dan ternyata mereka ini juga diterima baik-baik oleh kedua putera Gak-wangwe hingga pengemis-pengemis itu tentu saja merasa mendapat untung besar dan seperti memasuki sorga saja. Tanpa sungkan-sungkan lagi mereka hantam kromo segala hidangan di meja karena kesempatan macam ini tak mungkin akan terjadi untuk kedua kalinya selama mereka hidup.

-Ooo-dw-ooO-

Kedua putera Gak Liong Ek terpaksa tak dapat menyembunyikan rasa heran, terkejut dan bingung ketika dari luar datang dua orang anak muda yang sangat aneh. Bukan pakaian mereka yang sederhana dan ringkas itu yang aneh, juga bukan wajah keduanya yang sangat tampan dan gagah yang mengherankan. Tapi yang sangat aneh dan menyolok mata ialah persamaan mereka. Kedua   pemuda itu demikian sama dan serupa, sebentuk, dan segaya hingga benar-benar bisa membikin orang yang melihat mereka menjadi kesima dan terheran-heran. Muka serupa, hidung yang mancung dan mulut yang indah bentuknya itu semacam, tubuh sebentuk, pakaian sama, sepatu sama, ikat kepala serupa.

Tak aneh bahwa putera Gak Liong Ek yang menyambut mereka   berdiri keheranan    memandang. Setelah kedua pemuda itu menjura dan memperkenalkan diri sebagai Ouwyang-hengte (kakak beradik she Ouwyang), barulah tuan rumah sadar dari kesimanya dan balas menjura. Berbeda dengan putera sulung, ternyata putera bungsu yang menyambut di sebelah dalam lebih tajam matanya. Tadinya iapun heran sekali, tapi cepat matanya mencari-cari perbedaan yang mungkin ada di antara kedua saudara Ouwyang itu, dan ia berhasil. Ternyata pedang yang tergantung di pinggang kedua saudara itu berbeda. Seorang berpedang panjang, yang lain berpedang pendek. Ia lalu tersenyum lega dan puas melihat perbedaan ini dan segera mengantar mereka ke tempat duduk di bagian para muda, yakni di ujung kiri. Sebelum duduk, sepasang pemuda yang serupa itu lebih dahulu menuju ke tempat di mana Gak Liong Ek duduk dan keduanya lalu menjura dan memberi hormat.

“Siauwte berdua mewakili suhu dan membawa pesan suhu yang menghaturkan selamat dan panjang usia kepada lo-enghiong,” kata yang berpedang panjang.

Gak Liong Ek juga berdiri dan membalas hormat mereka, lalu ia memandang kagum kepada dua orang pemuda yang sangat tampan dan serupa itu, lalu berkata,

“Terima kasih banyak, dan jiwi-hiante ini siapakah? Serta siapa pula suhu kalian yang terhormat? Maaf, saya telah terlalu tua hingga tidak ingat lagi.”

“Tidak heran bila lo-enghiong tidak ingat karena memang kita belum pernah bertemu. Siauwte berdua adalah Ouwyang-hengte dan suhu kami adalah Ang In Liang dari Hong-san.”

Tiba-tiba Gak Liong Ek tampak senang sekali dan ia dongakkan kepalanya lalu tertawa gelak-gelak. “Ha-ha-ha. Jadi suhu kalian adalah Pat-jiu Lo-mo (Iblis Tua Tangan Delapan)? Hei, apakah iblis tua itu masih hidup?”

Melihat kegembiraan dan kekasaran tuan rumah, kedua pemuda itu bersikap tenang saja. Si pedang pendek yang kini menjawab, “Suhu sehat-sehat saja dan mengharap lo- enghiong juga dalam keadaan sehat.”

“Ah, bagus, bagus. Mari, mari, jiwi harus mewakili si iblis tua kawan baikku itu untuk menghabiskan tiga cawan arak wangi.” Mendengar ucapan ini, cepat seorang pelayan yang memegang guci arak menghampiri mereka dan tanpa diperintah, pelayan yang tahu kewajiban itu menuang arak dalam tiga cawan. Untuk menghormat tuan   rumah, terpaksa kedua pemuda itu mengeringkan cawan mereka bersama-sama tuan rumah sampai tiga kali. Kemudian mereka mundur dan duduk di tempat yang memang disediakan untuk para muda, yakni di ujung sebelah kiri tak jauh dari tempat duduk Gak Liong Ek.

Kedua pemuda itu memang murid-murid Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang, seorang pertapa tua bekas perampok tunggal yang sangat ternama dan memiliki kepandaian tinggi dan yang kini bertapa di Bukit Hongsan. Dua saudara ini memang sepasang anak kembar dari keluarga Ouwyeng. Yang berpedang panjang bernama Ouwyang Bun dan adiknya, yang berpedang pendek, bernama Ouwyang Bu. Ayah mereka adalah seorang saudagar bernama Ouwyang Heng Sun yang tinggal di daerah selatan. Ketika mereka berusia sepuluh tahun, Ang In Liang yang tadinya hendak merampok keluarga Ouwyang, mengurungkan maksudnya ketika melihat kedua enak itu dan sebaliknya ia laiu menculik mereka dan membawanya ke Gunung Hong-san.

Ia didik dan ia gembleng kedua anak kembar itu sampai delapan tahun lebih hingga kini mereka telah berusia delapanbelas tahun dan telah memiliki kepandaian silat yang tinggi sekali, karena boleh dibilang mereka telah mewarisi delapan bagian dari seluruh kepandaian Pat-jiu Lo-mo Si Iblis Tua Tangan Delapan. Biarpun muka kedua orarfg pemuda itu serupa benar, namun ternyata perangai mereka berbeda jauh. Ouwyang Bun berwatak pendiam, halus tutur sapanya, dan cerdik penuh akal. Sebaliknya Bu, adiknya, beradat keras, suka terus terang, jujur dan tak begitu mengindahkan adat sopan santun, pula mudah sekali marah. Hanya baiknya anak muda yang keras hati ini sangat cinta dan taat kepada kakaknya, hingga Ouwyang Bun yang lebih cerdik dan halus dapat menguasai dan mengendalikan adiknya itu. Ketika Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang, suhu mereka menerima undangan dari Gak Liong Ek, kebetulan sekali jago tua ini merasa bahwa sudah tiba waktunya bagi kedua muridnya untuk turun gunung dan mempraktekkan semua kepandaian yang telah dipelajarinya di atas gunung dengan tekun dan bersusah payah. Oleh karena itu, maka ia mengutus kedua muridnya itu untuk mewakili dia menghadiri pesta perayaan Gak Liong Ek, agar mereka dapat bertemu dan berkenalan dengan banyak orang pandai di dunia kang-ouw.

Selain menyuruh mereka mengunjungi pesta Gak Liong Ek, juga Iblis Tua Tangan Delapan itu memberi pesan dengan kata-kata bersemangat,

“Kalian boleh pergi mencari orang tuamu yang telah kauketahui terang nama dan tempat tinggalnya. Tapi yang terpenting sekali, aku minta kepada kamu berdua supaya menunjukkan kepada dunia bahwa kamu berdua adalah laki-laki bersikap jantan dan gagah yang tidak sia-sia belajar silat dengan tekun di sini. Ketahuilah bahwa negara sedang terancam oleh serangan-serangan para pemberontak dari utara. Siapa lagi yang akan membela negara selain putera- puteranya seperti kalian berdua? Dengan demikian, maka tidak percuma pula aku mendidik kalian sampai bertahun- tahun. Setelah kamu berdua bertemu dengan orang-tuamu., maka pergilah ke Pak-thian dan carilah seorang panglima perang bernama Cin Cun Ong yang memimpin barisan besar menindas para pemberontak di daerah utara. Ketahuilah bahwa Cin Cun Ong ini adalah susiokmu sendiri. Kalian berikan surat dariku dan kalian harus membantu dia menumpas para pemberontak pengacau negara. Bunuhlah sebanyak-banyaknya para pengkhianat negara itu, sepuas hatimu. Tapi berlakulah waspada dan hati-hati karena di antara mereka banyak terdapat orang- orang pandai.”

Tentu saja kedua saudara Ouwyang ini menerima pesan suhu mereka dengan taat. Mereka menerima masing- masing sebatang pedang, dan setelah menyimpan surat suhunya untuk diberikan kepada panglima Cin Cun Ortg kelak dan berpamit, keduanya lalu turun gunung.

-Ooo-dw-ooO-

Tak lama kemudian, ruang yang sengaja disediakan untuk para tamu di rumah Gak Liong Ek, telah penuh dengan tamu. Tempat tuan rumah yang agak tinggi kini telah penuh tamu pula, yakni orang-orang tua yang ganjil pakaian dan bentuk tubuhnya dan beberapa orang yang berpakaian seperti pembesar. Karena ingin sekali kenal siapakah adanya para locianpwe yang   mendapat kehormatan di kursi tinggi itu, Ouwyang Bun bertanya kepada orang-muda lain yang duduk di dekatnya. Orang muda itu berpakaian sebagai seorang ahli silat juga dan mendengar pertanyaan itu, ia merasa girang dan bangga sekali. Dengan menunjukkan bahwa ia telah kenal semua cianpwe itu, seakan-akan ia telah membanggakan pengalamannya hingga orang dapat menduga bahwa iapun memiliki kepandaian tinggi.

Ia menggunakan jarinya menunjuk dari kiri ke kanan sambil memperkenalkan, “Yang duduk di ujung kiri, tubuhnya bongkok kurus, rambutnya panjang diikatkan ke atas dan berpakaian seperti tosu itu adalah Kin Keng Tojin, tokoh dari Go-bi-san. Kedua dari kiri, hwesio gundul bertubuh gemuk pendek itu adalah Cin Kong Hwesio dari kelenteng Hok-po-tong, di mana ia menjadi ketuanya. Ketiga adalah Bhok Sun Ki dan dari pakaiannya yang penuh tambal an itu kau dapat menduga bahwa dia adalah seorang pengemis, tapi bukan sembarang pengemis karena julukannyapun Raja Pengemis. Lima orang tua berikutnya yang berpakaian petani adalah tokoh-tokoh terkenal, karena mereka ini tidak lain ialah Ki-lok Ngo-koai atau Lima Setan Tua dari Ki-lok. Hanya delapan loeianpwe itulah yang berkepandaian   setingkat   dengan   Gaklo-enghiong, sedangkan yang lain berada di bawah tingkatnya.”

Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu memandang mereka yang dipuji-puji itu dengan kagum. Mereka menduga-duga sampai di mana kehebatan dan keunggulan mereka ini. Apakah mereka ini lebih hebat daripada gurunya? Demikian kedua saudara Ouwyang ini berpikir.

Pada saat itu para tamu sudah banyak yang setengah mabok karena arak wangi yang dihidangkan itu benar-benar keras dan simpanan lama. Dari rombongan   anak-anak muda mulai terdengar suara-suara keras dan tertawa-tawa bebas dan berani, hingga Ouwyang Bun berdua adiknya beberapa kali menengok. Tiba-tiba seorang yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun dan duduk di tengah-tengah di antara kaum muda, berdiri dan mengacungkan cawan araknya ke arah tuan rumah, lalu berkata dengan suara lantang,

“Gak-lo-enghiong yang gagah dan dipanggil Hui-liong (Naga Terbang), sungguh-sungguh telah menghibur kita dengan arak baik dan hidangan lezat. Sayangnya tidak ada sesuatu pertunjukan yang menarik hati, kecuali suara musik yang membosankan. Para locianpwe yang mendapat tempat terhormat, apakah tidak hendak turun tangan sekedar membantu meramaikan pesta dan membalas budi tuan rumah?”

Semua orang-orang tua yang duduk di dekat tuan rumah saling pandang, ada yang memandang marah, ada pula yang geli dan menganggap pemuda itu sudah mabok dan mengoceh tak keruan.

“Ha-ha.” pemuda itu tertawa, “kalau begitu percuma saja tuan rumah menyediakan tempat khusus untuk para locianpwe yang gagah. Nah, Gak-lo-enghiong, biarlah siauwte minum arak ini untuk keselamatanmu.” Terpaksa Gak Liong Ek sambil tertawa menyambut ucapan selamat ini dengan mengangkat cawan araknya pula.

Kemudian anak muda itu berkata pula, “Sekarang, kalau para locianpwe tidak ada yang sudi turun tangan biarlah siauwte yang muda dan bodoh meramaikan pesta ini dengan pertunjukan sedikit kepandaian silat. Harap jangan ditertawakan, karena memang siauwte masih bodoh. Lihat, tempatkupun di rombongan ini, bukan di atas.”

Terang sekali ia menyindir tuan rumah dan para locianpwe, dan setelah meletakkan cawan arak kosong di atas meja, orang itu dengan sekali gerakan tangan, tahu- tahu tubuhnya telah melayang dan meloncat ke panggung yang cukup luas di tengah-tengah ruangan itu. Panggung ini memang sengaja dibangun untuk para penari dan penyanyi, juga karena Gak Liong Ek adalah seorang dari kalangan persilatan, ia sengaja menyediakan tempat ini kalau-kalau ada pertunjukan silat.

Gerakan yang didemonstrasikan oleh pemuda berbaju biru itu memang cukup gesit hingga Ouwyang-hengte (kakak beradik Ouwyang) diam-diam memuji.

Setelah berada di atas panggung, si baju biru lalu memberi tanda kepada para pemukul gamelan untuk menghentikan permainan mereka. Kemudian ia menjura ke arah tuan rumah, lalu ke seluruh penjuru.

“Cuwi sekalian yang mulia. Mungkin cuwi belum pernah mendengar namaku dan belum mengenal siauwte, memang siauwte bukanlah orang gagah yang terkenal. Baiklah siauwte memperkenalkan diri, nah aku Lui Kok Pauw dan terus terang saja siauwte mengaku bahwa siauwte ikut menghadiri pesta ini semata-mata karena kagum akan nama Gak-lo-enghiong, bukan atas undangan. Oleh karena itu, karena aku bukanlah seorang yang hendak makan hidangan orang begitu saja tanpa membayar, biarlah sekarang siauwte bayar makanan dan hidangan itu dengan meramaikan dan menggembirakan pesta ini. Kalau kiranya di antara para locianpwe ada yang merasa bergembira untuk menemani siauwte bermain-main, hal itu akan baik sekali.”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang tinggi dan nyaring dari arah para locianpwe. Ternyata yang tertawa itu adalah si Raja Pengemis Bhok Sun Ki. Dari suara tertawa ini saja dapat diketahui bahwa khikangnya sudah matang dan tentu kepandaiannya juga tinggi sekali.

“Lui-sicu.” katanya kepada si baju biru di atas panggung, “kalau aku tidak salah ingat, namamu sangat terkenal di antara tokoh-tokoh dari utara. Cobalah perlihatkan kepandaianmu dulu untuk kulihat apakah cukup berharga untuk bermain-main dengan aku orang tua.”

Lui Kok Pauw terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa pengemis jembel itu mengenalnya, maka iapun menjura dan berkata, “Lo-enghiong yang gagah menyembunyikan kepandaian tinggi di dalam tubuh yang dibungkus kain-kain lapuk penuh tambalan. Bukankah julukan lo-enghiong ini Kai-ong si Raja Pengemis?”

Kini Bhok Sun Ki yang kaget karena ternyata Lui Kok Pauw bermata tajam. “Ha-ha, Lui-sicu, kaupun   bukan orang bodoh sembarangan saja. Lekas perlihatkanlah beberapa gerakanmu, sudah gatal-gatal tanganku untuk menerima sedikit pengalaman darimu.” Lui Kok Pauw adalah seorang jago muda yang namanya telah menggemparkan daerah utara. Dia adalah murid langsung dari Keng-an-san dan memiliki ilmu silat campuran dengan ilmu silat dan gumul dari Mongolia. Sebenarnya, orang she Lui ini adalah seorang di antara para tokoh pemberontak yang bergerak di sepanjang tembok besar dan berusaha menjatuhkan pemerintahan kaisar yang pada waktu itu berkuasa. Dan kini Lui Kok Pauw datang ke situ bukanlah semata-mata hendak menghadiri pesta, tapi juga hendak mengumpulkan kawan-kawan sepaham dan membujuk orang-orang kang-ouw untuk membantu pergerakan kawan-kawannya.

Untuk inilah, sengaja ia hendak memperlihatkan kepandaiannya agar menarik perhatian para orang gagah. Ia lalu gerakkan kedua kaki dan tangannya dan memainkan Pek-wan-kun-hoat (Ilmu Silat Lutung Putih) yang eepat dan gesit karena tiap-tiap pukulan diakhiri dengan tangkap dan cengkeraman serta tiap pukulan lalu dirobah dengan serangan lain yang tak terduga datangnya. Baru beberapa jurus saja ia bersilat, para locianpwe yang duduk dekat tuan rumah maklum sudah bahwa orang she Lui yang baru berusia paling banyak tigapuluh tahun itu memang memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang sukar ditandingi.

Melihat gerakan-gerakan Lui Kok Pauw yang aneh itu, timbullah kegembiraan Bhok Sun Ki untuk mencobanya. Sekali menggerakkan kaki ia telah sampai di atas panggung itu dan berkata,

“Lui-sicu. Namamu bukan kosong melompong, kau ternyata memang mempunyai isi yang baik juga. Mari kita bermain-main sebentar.”

Tanpa menanti jawaban, si Raja Pengemis itu telah bersilat mengimbangi permainan Lui Kok Pauw. Raja Pengemis ini bersilat Tat-mo-kun-hoat yang cukup kuat dan lihai hingga sebentar saja tubuh mereka berdua Berkelebatan ke sana ke mari, makin lama makin cepat hingga membikin kabur mata para penonton yang tak begitu pandai dalam hal ilmu silat. Ketika kedua lengan mereka bertemu untuk pertama kali, keduanya maklum bahwa tenaga dalam mereka seimbang.

Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu diam-diam kagum juga melihat kelihaian mereka dan dua orang pemuda yang berkepandaian tinggi dan bermata tajam inipun tahu bahwa dalam hal ilmu silat, Lui Kok Pauw lebih menang setingkat, tapi kekalahan si Raja Pengemis itu tertutup dengan kemenangannya dalam ginkang. Memang Bhok Sun Ki memiliki ginkang luar biasa dan tubuhnya sampai hampir tak terlihat lagi karena cepatnya ia bergerak.

Setelah bertempur seratus jurus, keduanya makin panas dan penasaran karena belum juga dapat keluar sebagai pemenang. Sebenarnya Lui Kok Pauw tidak hendak melanjutkan perkelahian yang tadinya hanya bersifat main- main ini, tapi karena Bhok Sun Ki yang sudah memiliki nama besar dan terkenal sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, kini tak dapat menjatuhkan seorang muda, merasa penasaran dan malu sekali hingga Raja Pengemis itu kini tidak main-main lagi, tapi berkelahi dengan sungguh- sungguh dan melancarkan serangan-serangan dan pukulan- pukulan maut. Tentu saja Lui Kok Pauw tahu dan merasa pula, maka iapun terpaksa   mengeluarkan   ilmu simpanannya dan kini setiap serangan dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya hingga sangat berbahaya bagi keduanya.

Pada suatu saat, Bhok Sun Ki menyerang hebat dengan tangan kanannya. Karena serangan ini cepat sekali, Lui Kok Pauw menangkis dan berbareng mencengkeram tangan lawan itu. Ternyata maksudnyapun sama dengan maksud Bhok Sun Ki, karena ternyata pukulan si Raja Pengemis itu lalu diubah menjadi pukulan Eng-jiauwkang   (Pukulan Cakar Garuda). Maka secara tepat dan cepat sekali kedua tangan kanan mereka saling mencengkeram dan saling memegang  hingga jari-jari tangan  mereka  saling menggenggam. Karena gerakan ini dilakukan berbareng, maka kini mereka tak dapat melepaskan tangan lagi dan keduanya mengerahkan tenaga lweekang untuk menjatuhkan lawan. Tubuh mereka diam bagaikan patung, tangan kiri diacungkan ke atas dan kedua mata mereka saling pandang tak berkedip.

Melihat betapa kedua orang itu mengadu kepandaian dan lweekang hingga berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan sekali, semua orang menahan napas. Memang sukar bagi kedua pihak untuk mundur lagi, karena mengalah sedikit saja pasti akan mendapat luka dalam yang berbahaya. Adu tenaga dalam itu telah   mendatangkan peluh di jidat kedua orang itu dan napas mereka telah terdengar terengah-engah.

Pada saat itu, Ouwyang-hengte yang sudah bersepakat, tiba-tiba meloncat dengan gerakan lincah dan ringan ke atas panggung. Ouwyang Bun turun di dekat Raja Pengemis, sedangkan adiknya turun di dekat Lui Kok Pauw. Keduanya berseru,

“Maaf.”  dan cepat sekali mereka keduanya menggunakan tangan kanan untuk menotok pergelangan tangan masing-masing dan cepat membetot tubuh mereka ke belakang. Baik Bhok Sun Ki, maupun Lui Kok Pauw ketika tertotok merasa tenaga mereka lenyap dan tangan mereka lumpuh tak bertenaga, maka mudah saja keduanya ditarik ke belakang hingga terlepaslah genggaman masing- masing. Sekali lagi Ouwyang Bun dan adiknya menjura kepada dua orang itu dan Ouwyang Bun berkata merendah, “Mohon dimaafkan bahwa siauwte berdua lancang tangan memisah, karena dua harimau bergulat, pasti akan ada yang terluka. Bukankah hal itu sayang sekali?”

Sehabis memisah dua orang gagah yang bertanding mati- matian tadi, kedua saudara Ouwyang itu cepat meloncat turun dan duduk kembali ke tempat mereka semula. Diam- diam Bhok Sun Ki dan Lui Kok Pauw merasa kagum akan kecerdikan kedua anak muda itu, dan merasa malu kepada diri sendiri yang telah melupakan maksud semula bahwa mereka bertanding hanya untuk main-main   dan meramaikan pesta saja. Bhok Sun Ki si Raja Pengemis lalu menjura sambil berkata,

“Lui-sicu, sungguh kau gagah perkasa dan aku orang tua takluk padamu. Kau benar-benar patut disebut enghiong sejati, hohan yang berjiwa patriot.”

Lui Kok Pauw buru-buru membalas penghormatan itu dengan merendahkan diri dan berkata, “Sebaliknya siauwte merasa mendapat kehormatan besar sekali karena hari ini telah berkenalan dengan keulungan lo-enghiong, dan mendapat kenyataan bahwa lo-enghiong juga   berjiwa patriot sejati. Atau, apakah siauwte salah raba?” ia memancing untuk mengetahui pendirian orang tua gagah itu.

Si Raja Pengemis tertawa gelak-gelak. “Apakah sicu hendak samakan aku orang tua sebagai segala macam orang pengekor seperti Cin Cun Ong dan para begundalnya?”

Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu terkejut mendengar kata-kata ini, dan mereka memandang kepada pengemis itu dengan mata marah. Cin Cun Ong adalah seorang panglima besar dan menjadi susiok mereka, mengapa kini dimaki-maki oleh raja pengemis itu? Sebaliknya, Lui Kok Pauw menjadi girang sekali, biarpun ia merasa agak heran akan keberanian orang memaki panglima itu di depan orang banyak.

Lui Kok Pauw tentu tidak tahu bahwa sebagian besar orang-orang gagah yang duduk di situ semua merasa simpati dan setuju akan pemberontakan yang dipimpin oleh seorang gagah perkasa bernama Lie Cu Seng yang terkenal. Orang gagah ini memimpin barisan besar sekali yang terdiri dari kaum tani dan jembel yang telah merasa cukup banyak menderita karena tindasan dan perasan para pembesar- pembesar busuk di bawah pemerintahan kaisar yang lalim. Memang harus diakui bahwa pemberontakan yang dicetuskan oleh Lie Cu Seng ini tidak banyak mendapat sambutan dari para orang gagah yang kebanyakan hanya peluk tangan dan bersikap masa bodoh saja, walaupun di dalam hati mereka bersimpati. Akan tetapi tidak sedikit orang-orang gagah di utara dan timur dengan aktif membantu pergerakan ini hingga lambat-laun barisan Lie Cu Seng makin besar dan kuat saja, apalagi karena pergerakan ini dibantu oleh rakyat jelata yang memberi ransum dan makan dengan suka rela kepada mereka.

Kini mendengar betapa Bhok Sun Ki memaki-maki Cin Cun Ong, seorang panglima yang terkenal gagah dan banyak membasmi kaum pemberontak, mereka itu bersikap dingin saja, dan tidak ambil perduli. Akan tetapi, Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu merasa marah sekali, biarpun mereka masih menahan-nahannya. Lebih-lebih Ouwyang Bu, ketika mendengar susioknya yang dipuji oleh suhunya itu dimaki orang, hampir saja tak dapat menahan kemarahan hatinya dan hendak melompat ke atas panggung kalau saja tidak ditahan oleh kakaknya yang lebih sabar. Lui Kok Pauw tertawa senang mendengar kata-kata si Raja Pengemis itu. “Bagus, bagus. Sungguh senang bertemu dengan orang-orang gagah yang berhaluan mulia. Memang, pengekor-pengekor macam orang she Cin itu dan kaki tangannya, kalau bukan orang-orang gagah macam kita yang membasminya, siapa lagi? Lo-enghiong, mengapa kau tidak cepat-cepat menggabungkan diri dengan kami dari utara? Waktunya kini telah tiba untuk membebaskan rakyat dari hidup sengsara.”

“Sicu berada di bawah pimpinan siapakah?”

“Siapa lagi kalau bukan Thio Sian Tiong enghiong yang bijaksana dan gagah perkasa?”

Mendengar bahwa orang she Lui itu adalah seorang anak buah dari barisan pemberontak Thio Sian Tiong, terkejutlah semua orang dan mereka menaruh perhatian besar. Sementara itu, Ouwyang Bu yang sudah tak dapat menahan sabarnya lagi, meloncat sambil memaki,

“Bangsat pemberontak jangan kau lancang mulut.”

Lui Kok Pauw dan Bhok Sun Ki terkejut karena melihat bahwa yang meloncat ke panggung dengan muka merah, ini adalah seorang dari kedua pemuda yang tadi memisah mereka. Belum hilang kaget mereka, seorang pemuda lain melompat menyusul dan kini kedua pemuda yang bermuka sama benar itu telah berdiri menghadapi mereka. Karena tindakan ini, maka sepasang saudara kembar ini jelas kelihatan oleh semua orang yang memandang dengan bingung dan heran. Sungguh kedua pemuda itu sama benar bentuk dan rupanya. Ketika kedua pemuda ini tadi naik ke panggung dan memisah kedua jago yang sedang bertempur, mereka bergerak cepat dan tidak lama tinggal di atas panggung hingga tidak menarik perhatian orang. Juga, gerakan-gerakan mereka yang cepat tadi tak terlihat oleh sebagian besar para tamu hingga mereka tidak menaruh perhatian karena menyangka bahwa pemuda itu hanya memisah dengan mulut saja.

Bhok Sun Ki si pengemis membentak. “He, anak muda, siapakah yang kau maki pemberontak tadi?”

“Siapa lagi kalau bukan kalian berdua? Kalian pemberontak-pemberontak rendah   pengacau   negara sungguh berani mati menghina Cin-ciangkun di muka umum. Agaknya kalian telah bosan hidup.” Ouwyang Bu membentak.

Lui Kok Pauw lalu maju dan menjura. “Jiwi ini sungguh anak-anak muda yang aneh. Tadi kalian bersikap sebagai sahabat, tapi kini tahu-tahu memusuhi kami. Sebenarnya siapakah jiwi dan mengapa melarang kami memaki-maki pembesar pengkhianat yang menjadi penjilat kaisar lalim itu?”

“Bangsat bermulut lancang.” Ouwyang Bu memaki, tapi kakaknya lalu berkata kepada Lui Kok Pauw.

“Saudara   adalah   seorang   yang    berkepandaian, dan bukanlah urusan kami kalau kau hendak berlaku sesat dan ikut-ikut dengan para pemberontak yang kejam dan ganas. Akan tetapi, kami berdua Ouwyang-hengte tentu saja takkan tinggal diam mendengar susiok kami dimaki-maki orang. Ketahuilah,  kami berdua  adalah murid-murid kemenakan  Cin-ciangkun,  dan  kami  berdua hendak membantu susiok membasmi para pemberontak  dan pengkhianat yang mencelakakan rakyat jelata.”

Tiba-tiba Lui Kok Pauw tertawa besar. “Ha-ha. Sungguh lucu. Masih tidak aneh kalau kalian anak-anak muda ini membantu kaisar kejam karena mempunyai susiok yang menjadi panglima penjilat. Tapi sungguh lucu kalau orang- orang sesat dan pengkhianat seperti kalian ini mengaku sebagai pembela rakyat. Ketahuilah orang-orang muda yang buta, para pemberontak itulah rakyat jelata.”

“Jangan jual obrolan kosong.” Ouwyang Bu berseru lalu maju menyerang. Lui Kok Pauw menangkis dan sebentar saja mereka berdua bertempur hebat. Bhok Sun Ki tentu tak mau tinggal diam saja, karena iapun sudah mengaku sebagai seorang patriot, maka kini di situ terdapat orang- orang muda pembela kaisar, mustahil ia harus tinggal diam saja? Maka ia lalu bergerak dan menyerang Ouwyang Bun. Pertempuran di atas panggung makin   menghebat, sedangkan semua tamu menjadi panik dan memandang ke arah panggung dengan wajah tegang. Mereka maklum bahwa kini perkelahian dilakukan dengan sungguh-sungguh dan bukan main-main. Sementara itu, Gak Liong Ek si tuan rumah, menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia tahu bahwa kepandaian keempat orang itu sangat hebat dan untuk memisah mereka adalah pekerjaan yang sangat berbahaya dan sukar, dan ia sendiri memang berpendirian bebas, tidak pro sana tidak anti sini. Oleh karena itu, lain tidak ia hanya bisa mondar-mandir di bawah panggung sambil berseru berkali-kali,

“Berhenti, tahan, tahan.”

Akan tetapi keempat orang yang sudah terlibat dalam pertempuran seru dan mati-matian itu, tidak sudi berhenti demikian saja. Ouwyang-hengte memang memiliki kepandaian asli dari Pat-jiu Lo-mo guru mereka yang tersohor itu, maka setelah bertempur beberapa puluh jurus, Lui Kok Pauw dan Bhok Sun Ki kena didesak hebat dan hanya sanggup menangkis saja.

Maka marahlah kedua orang itu lalu mencabut senjata masing-masing. Lui Kok Pauw mencabut sebatang pedang dan Bhok Sun Ki mengeluarkan sebatang tongkat. Ouwyang-hengte melihat kenekatan lawan, lalu mengeluarkan senjata mereka pula. Ouwyang   Bun mencabut pedang panjangnya, sedangkan Ouwyang Bu mengeluarkan pedang pendeknya. Keempat senjata itu berkelebat dan kembali pertempuran berlangsung dengan hebat dan serunya, bahkan lebih seru dan menyeramkan daripada ketika dilakukan pertandingan tangan kosong tadi.

Ternyata dalam permainan senjata, tongkat si Raja Pengemis sangat hebat sekali, karena ia memiliki kepandaian tunggal, yakni   Hui-coa-tung-hoat   (Ilmu Tongkat Ular Terbang). Dengan gerakan tongkatnya yang berkelebatan dengan bergetar dan berputaran ujungnya, ia dapat melayani pedang panjang Ouwyang Bun dengan baik dan seimbang. Tapi sebentar saja Ouwyang Bu telah dapat mendesak senjata Lui Kok Pauw dengan pedang pendeknya yang ternyata hebat dan ulung pula. Lui Kok Pauw kini hanya dapat main mundur saja dan beberapa kali pedangnya hampir terlepas dari pegangannya kena gempur pedang pendek lawannya yang cepat dan kuat gerakannya itu.

Pada saat itu terdengar suara teriakan orang. “Cuwi, kedua anak muda ini sungguh tak tahu diri. Agaknya ia hendak meng gunakan pengaruh Cin-ciangkun untuk meng hina kami orang-orang kang-ouw. Ayoh kita usir mereka.”

Yang berseru demikian itu adalah tosu bongkok kurus, tokoh Go-bi-san yang bernama Kin Keng Tojin dan yang tadi duduk di deretan tempat para loeianpwe. Tojin ini adalah kawan baik Bhok Sun Ki. Maka ketika melihat kawannya itu terdesak, tentu saja tak mau tinggal diam, apalagi ketika mendengar bahwa dua orang anak muda itu adalah murid kemenakan Cin Cun Ong, panglima raja yang gagah perkasa dan yang sudah banyak mengorbankan jiwa kawan-kawan baiknya di dunia kang-ouw, ia menjadi marah sekali.

Di antara tamu-tamu Gak Liong-Ek, banyak terdapat orang-orang gagah yang telah merasa sakit hati kepada Cin- ciangkun, maka serentak mereka bangun berdiri, hanya masih ragu-ragu karena merasa malu harus mengeroyok dua orang anak muda. Ada juga yang tinggal diam saja karena memang tak kurang jumlahnya orang-orang kang- ouw yang tidak mau ambil perduli tentang pertentangan- pertentangan yang pro dan anti pemberontak atau yang pro dan anti kaisar.

Ouwyang Bu dan Ouwyang Bun melihat sikap orang- orang itu, segera berkata dengan suara keras kepada tuan rumah “Gaklo-enghiong, maafkan kami tidak dapat hadir lebih lama di sini.” lalu dengan cepat sekali Ouwyang- hengte meloncat turun dan lari meninggalkan tempat itu dengan cepat, disusul oleh seruan Gak Liong Ek.

“Jiwi, sampaikan maafku kepada gurumu.”

-Ooo-dw-ooO-

Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu lari dan dengan kepandaiannya meninggalkan tempat pesta itu karena mereka berdua maklum bahwa dengan tenaga berdua saja tak mungkin dapat menghadapi sekian banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka langsung mengambil jalan yang menuju ke selatan, karena niat mereka hendak mencari orang tua mereka terlebih dulu. Mereka telah tahu dari Pat-jiu Lo-mo guru mereka itu bahwa orang tua mereka tinggal di kota Nam-tin dan bahwa ayah mereka bernama Ouwyang Heng Sun. Telah hampir sembilan tahun mereka berpisah dari kedua orang tua hingga wajah ayah ibu mereka hanya teringat dengan samar-samar saja.

Ouwyang Heng Sun adalah seorang saudagar yang berdagang hasil bumi dan memiliki tanah sawah yang beratus hektar luasnya. Ia sangat kaya dan boleh disebut menjadi hartawan terbesar di kota Namtin. Anaknya hanya Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu yang lahir kembar. Maka dapat dipahami bahwa ia dan isterinya sangat menyayangi anak kembar mereka itu.

Tapi ketika kedua anak itu baru berusia kurang lebih sepuluh tahun, pada suatu malam datanglah malapetaka yang merupakan diri Pat-jiu Lo-mo, perampok tunggal yang sangat ditakuti itu. Si iblis tua tangan delapan datang dengan maksud hendak mengambil sedikit bagian dari harta kekayaan Ouwyang Heng Sun, tapi kebetulan sekali ia memasuki kamar kedua anak kembar itu dan sangat tertarik melihat sepasang anak kembar yang cakap dan mungil itu. Memang, selama merantau dan malang melintang di dunia kang-ouw, iblis tua ini belum pernah menerima murid. Juga ia belum pernah kawin dan belum pernah punya anak sendiri, maka melihat kedua anak yang cakap-cakap ini timbullah hati sayangnya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia batalkan niatnya untuk merampok harta benda dan sebaliknya menculik dua anak kembar itu, setelah meninggalkan surat pemberitahuan di atas meja bahwa sepasang anak kembar itu diambil oleh Pat-jiu Lo-mo untuk dijadikan muridnya.

Tentu saja peristiwa ini menghancurkan hati Ouwyang Heng Sun dan isterinya. Mereka telah berusaha sedapat mungkin untuk mencari kedua anak itu. Mereka gunakan harta kekayaan mereka untuk menyewa guru-guru silat dan petugas-petugas guna mencari jejak Pat-jiu Lo-mo, tapi semua usaha ini sia-sia belaka, karena andaikata ada juga guru silat yang dapat menemukan iblis tua itu, siapakah yang berani menentang perampok tunggal yang berkepandaian tinggi itu?

Maka segala kebahagiaan lenyaplah dari. dalam hati Ouwyang Heng Sun dan isterinya dan tiap hari nyonya Ouwyang hanya pasang hio bersembahyang kepada Yang Maha Kuasa untuk memohon berkah bagi kedua puteranya. Sedangkan Ouwyang Heng Sun sendiri, lebih banyak berkecimpung dalam dunia perdagangan untuk melupakan kesedihannya. Oleh karena itu, maka kekayaan keluarga Ouwyang makin bertambah saja.

Ketika Ouwyang-hengte (kedua saudara Ouwyang) memasuki kota Nam-tin, kota kelahirannya, mereka sudah lupa sama sekali dan merasai keasingannya memandangi rumah-rumah di kanan kiri jalan. Mereka mencoba-coba mengumpulkan ingatan, tapi benar-benar keadaan   kota yang memang telah banyak mengalami perubahan itu tampak baru dan asing. Mereka lalu mencari keterangan tentang orang tuanya.

Yang ditanyai memandang heran kepada dua orang pemuda yang sebentuk dan serupa ini karena selain merasa aneh melihat sepasang pemuda yang serupa benar itu, juga ia heran mengapa terdapat orang-orang yang tidak tahu di mana rumah Ouwyang-wangwe (hartawan Ouwyang). Setelah diberi tahu letak rumah Ouwyang-wangwe, dengan hati berdebar kedua pemuda itu menuju ke gedung orang tua mereka.

Di pintu depan mereka disambut oleh seorang pelayan muda yang menyambut dengan hormat dan menanyakan maksud kedatangan mereka.

“Saudara, apakah benar-benar ini rumah Ouwyang Heng Sun?”

Pelayan itu mengangguk dengan heran. “Apakah orang tua itu ada di rumah?”

“Tidak ada, sedang, pergi mengurus perdagangan di Kwi-an. Jiwi dari manakah dan ada keperluan apa?”

Tapi Ouwyang Bu tidak memperdulikan pertanyaan itu, dan malah bertanya lagi dengan tidak sabar, “Ouwyang- hujin (nyonya Ouwyang) adakah?”

Biarpun makin merasa heran, pelayan itu mengangguk dan menjawab,

“Ada, di dalam.. Ada apakah kau menanya-nanyakan hujin?”

Mendapat jawaban itu, kedua pemuda itu tak dapat menahan sabar lagi dan menyerbu ke dalam. Pelayan itu menjadi marah dan membentak. “Eh- eh. Jangan kalian masuk, bukankah sudah kuberi tahu bahwa wangwe tidak ada di rumah?”

“Minggir kau.” seru Ouwyang Bu dan mendorong pelayan itu ke pinggir. Pelayan itu terlempar dan menabrak dinding, hingga ia berteriak-teriak kesakitan dan marah.

“Tolong, tolong, ada perampok. Tangkap pengacau.” teriaknya.

“Diam. Kami adalah putera-putera Ouwyang-wangwe, kau mengerti?”

Mulut pelayan yang tadinya berteriak-teriak itu kini terbuka ternganga dengan mata terbelalak. Mana ia mau mempercayai keterangan ini? Pada saat itu dari dalam gedung keluar beberapa orang pelayan berlarian mendengar teriakan-teriakan tadi. Seorang pelayan tua bernama Tan Ngo berdiri kesima dan memandang kedua pemuda itu. Ia tadi sempat mendengar keterangan Ouwyang Bun bahwa mereka adalah putera Ouwyang-wangwe dan ia teringat akan kedua anak kembar yang dulu diculik penjahat. Akhirnya ia tidak ragu-ragu lagi dan lari menubruk kedua anak muda itu.

“Ah, kongcu, benar-benarkah kalian yang datang ini? Sudah lupakah padaku? Aku A-ngo yang dulu sering bermain-main dengan jiwi.”

Ouwyang Bun masih ingat ketika mendengar nama ini, maka ia pegang tangan orang tua itu dengan girang sekali. “A-ngo, benar-benar kau berhadapan dengan kami berdua. Mana ibu?”

Dengan air mata mengalir saking gembiranya, Tan Ngo lalu menarik-narik tangan kedua anak muda itu menuju ke dalam. Di sepanjang jalan menuju ke kamar majikannya, tiada hentinya ia berteriak-teriak. “Kedua kongcu datang     kedua kongcu pulang.”

Nyonya Ouwyang yang sedang duduk di dalam kamarnya, mendengar teriakan ini, tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya. Ia berdiri dengan muka pucat dan sekali saja memandang kedua anak muda itu, tahulah ia bahwa mereka benar-benar puteranya. Kedua tangannya diulurkan ke depan, bibirnya bergerak-gerak tapi tak mengeluarkan sepatah katapun, sedangkan air mata yang membanjir turun dari kedua matanya dan membasahi pipinya yang masih putih halus itu bicara dalam seribu bahasa.

Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu melihat wanita setengah tua yang masih cantik itu, untuk sesaat menahan kedua kaki mereka dan mengumpulkan semua ingatan. Ouwyang Bun yang teringat lebih dulu, segera lari diikuti oleh Ouwyang Bu. Mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan ibu mereka dan menyebut,

“Ibu    ”

“A Bun.... A Bu....” Nyonya itu akhirnya dapat juga mengeluarkan perkataan, ia menangis tapi mulutnya tertawa-tawa dan tubuhnya menjadi lemas dan limbung.

Kedua anak muda itu cepat berdiri dan memeluk tubuh ibu mereka yang setengah pingsan karena kegirangan dan karena peristiwa perjumpaan ini benar-benar mendatangkan kaget pada hatinya yang memang telah lemah karena banyak bersedih. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, kedua putera itu membimbing ibu mereka memasuki kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur.

“Ibu.... aku dan adikku telah berada di sini. Senangkanlah hatimu, ibu,” kata Ouwyang Bun dengan suara halus dan mengelus-elus rambut ibunya. Nyonya Ouwyang lalu bangun dan duduk di atas pembaringannya. Sekali lagi ia memandang kedua anaknya dari kanan ke kiri dan tiba-tiba ia merangkul mereka dalam pelukannya dan menangis keras.

Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu pun tak dapat menahan keharuan hati mereka dan ikut mengalirkan air mata.

“A Bun.... A Bu... kau anak nakal... jangan kalian tinggalkan ibumu lagi....” Setelah menangis sepuas- puasnya, legalah dada nyonya yang telah bertahun-tahun menderita sedih itu. Berkali-kali dipandanginya wajah kedua anaknya dan akhirnya ia tertawa girang.

“A Bun.... yang manakah kau? Aku sendiri menjadi bingung ”

“Akulah A Bun, ibu....” jawab Ouwyang Bun, dan Ouwyang Bu tersenyum geli melihat ibunya.

“Kaukah A Bun? Ah, serupa benar, tentu aku akan lupa lagi. Kalau dulu mudah saja bagiku, ada tanda biru di pahamu, A Bun. Dan tanda itulah yang memudahkan aku untuk mengenal mana kau mana adikmu.”

Ouwyang Bun tersenyum. “Tanda itu masih ada, ibu.”

Tiba-tiba nyonya itu teringat sesuatu, maka ia segera memanggil Tan Ngo dengan suara nyaring. Nyonya itu ternyata dalam sekejap mata saja mendapatkan kembali kegembiraan hidupnya dan tampak lebih muda beberapa tahun. Tapi yang dipanggil tidak menghadap, dan seorang pelayan lain yang dapat menghadap.

“Mana Tan Ngo? Suruh ia lekas beritahukan wangwe dan menyusulnya di Kwian. Suruh lekas pulang, kedua kongcu telah datang.”

“Dia sudah pergi, sudah sejak tadi.” “Pergi ke mana?”

“Menyusul loya di Kwi-an.”

Ternyata pelayan tua itu dengan gembira sekali mendahului perintah majikannya untuk menyampaikan berita baik ini kepada majikannya di Kwi-an. Karena Kwian hanya terpisah beberapa li saja dari Nam-tin, maka sebentar saja Ouwyang Heng Sun yang mendapat kabar baik itu segera menyuruh pengemudi keretanya membalapkan kuda menuju ke Nam-tin.

Tidak terkira rasa bangga dan girang hati ayah ini ketika ia dapat berhadapan muka dengan kedua puteranya yang tercinta. Semalam itu mereka berempat, kedua orang tua dan kedua anak itu, tiada henti-hentinya mengobrol dan Ouwyang-hengte harus menuturkan segala pengalamannya semenjak mereka diculik oleh suhu mereka.

Esok harinya, Ouwyang-wangwe mengadakan pesta dan mengundang handai-taulan dan langganan-langganan untuk merayakan kedatangan kedua putera mereka. Suasana gembira sekali dan semua orang memberi selamat kepada hartawan yang bahagia itu.

Beberapa hari kemudian, Ouwyang Bun dan adiknya dengan terus terang memberitahukan kepada ayah ibunya tentang pesan suhu mereka agar mereka pergi ke utara dan membantu usaha susiok mereka, yakni Cin Cun Ong untuk membasmi para pemberontak yang bergerak di sepanjang tembok besar sebelah utara.

Ouwyang Heng Sun mengangguk-angguk dan berkata, “Sungguhpun aku sama sekali tidak suka melihat kalian maju bertempur menghadapi para pengacau negara itu, namun aku lebih tidak suka lagi melihat dan mendengar tentang para pemberontak itu. Mereka itu namanya saja pemberontak yang merobohkan pemerintah yang sekarang, tapi pada hakekatnya mereka itu tidak lain hanya perampok-perampok yang mengincar harta benda orang. Aku mendengar dari orang-orang bahwa di utara, tiap kali mereka menduduki sebuah kampung, perampok-perampok itu merampas semua sawah dan membagi-bagikannya di antara kawan-kawan mereka dan orang-orang jembel. Perbuatan ini mereka tutupi dengan kedok menyumbang dan menolong orang melarat. Tapi apa yang dilakukan oleh para jembel yang menerima sawah rampasan itu? Mereka menjualnya lagi kepada orang-orang yang mempunyai uang dan menggunakan uang itu untuk foya-foya hingga sebentar saja sawah dan uang habis ludes. Setelah habis, mereka ikut pula dengan para pemberontak untuk mengharapkan pembagian baru. Hah..”

Ouwyang-wangwe menghela napas. Memang tidak aneh pendapatnya ini, karena sebagai seorang kaya raya yang memiliki ratusan hektar sawah, tentu saja ia sangat khawatir kalau-kalau tanahnyapun dirampas oleh para pemberontak  itu.  Apalagi sebarang  telah  timbul pemberontakan di mana-mana, dan tidak hanya di utara. Di selatan inipun mulai ada orang-orang yang membentuk perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan gelap yang maksudnya menentang dan  memberontak  terhadap pemerintah.

Mendengar kata-kata ayahnya itu, Ouwyang Bun lalu bertanya,

“Kalau begitu, tentu ayah tidak berkeberatan kalau anak berdua pergi memenuhi pesan suhu, bukan?”

Sebelum ayah mereka menjawab, nyonya Ouwyang sudah mendahului, “Baru beberapa hari kalian datang sudah mau pergi lagi. Apalagi sekarang pergi untuk menghadapi pertempuran. Sungguh kalian tidak sayang kepadaku.”

Ouwyang Bun segera mendekati ibunya. “Bukan demikian, ibu. Ibu tahu bahwa aku dan adikku sayang kepada ibu, tapi kepergian kami berdua ini tidak saja demi kepentingan negara den rakyat tapi juga demi kepentingan ayah dan ibu sendiri.”

“Bicara twako benar, ibu,” Ouwyang Bu menyambung, “kalau para pemberontak ini tidak segera dibasmi sampai mereka meluas dan menyerbu ke sini, bukankah hal itu akan menimbulkan celaka den malapetaka terhadap keluarga kita juga?”

Nyonya Ouwyang menutupi mukanya dengan tangan. “Tidak tahu, tidak tahu.” serunya. uTapi aku tidak suka kalian pergi sebelum kalian melangsungkan perjodohan dulu.”

Ouwyang-hengte    meloncat     dengan     kaget.     “Apa?

Perjodohan kami?”

Ibu yang bersedih itu menurunkan tangannya dan memandang kepada mereka. “Ya, perjodohan kalian. Ketahuilah, semenjak kecil kalian telah kami jodohkan dengan kedua puteri dari keluarga Can yang kini telah pindah ke Tung-han. Karena kalian dulu lenyap diculik oleh perampok itu, maka keluarga Can tidak pernah mengirim berita lagi.”

“Ibu, jangan sebut suhu sebagai perampok,” kata Ouwyang Bu.

“Dia itu memang perampok, bukan?” tanya ibunya dan Ouwyang Bu tak dapat menyangkal pula. Memang dulu suhun ya adalah perampok, hal ini tak dapat disangkal, maka ia diam saja dan menundukkan kepala.

“Sekarang kalian telah pulang dan telah dewasa. Kalau tidak salah, tahun ini kalian telah berusia sembilanbelas tahun, cukup dewasa untuk melangsungkan perkawinan. Maka, sebelum kalian langsungkan perjodohan itu, aku tidak rela membiarkan kalian pergi bertempur melawan para pemberontak dan pengacau itu.”

Ouwyang Bun semenjak kecil memang lebih sayang kepada ibunya. Maka mendengar kata-kata ibunya ini, ia lalu bertanya kepada ayahnya.

“Bagaimana, ayah? Aku hanya menurut saja kepada kehendak ayah dan ibu, dan kurasa Bu-tepun demikian juga.”

Ouwyang-wangwe meraba-raba jenggotnya. “Memang menurut pendapatku juga demikian. Sekarang begini, karena Tung-han bukanlah dekat dari sini, lebih baik kau pergi ke Tung-han bersama adikmu, mencari keluarga Can Lim Co itu. Kalau sudah bertemu, sampaikan salam kami dan atas nama kami boleh kalian tanyakan tentang urusan perjodohan itu. Atau di sana kalian boleh mencari seorang perantara untuk menyampaikan pertanyaan   ini.   Kalau pihak sana bersedia, boleh ditetapkan hari kawin pada permulaan musim Chun pada hari keempat bulan depan.”

Memang malam tadi, kedua suami isteri itu telah merencanakan semua itu, hingga kini tanpa mencari hari baik lagi Ouwyang Heng Sun telah dapat memutuskan harinya. Terpaksa Ouwyang-hengte   menurut   kehendak ayah ibu mereka dan mereka berkemas untuk segera berangkat melakukan perjalanan ke Tung-han.

Pada waktu itu, memang di mana-mana banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan dan orang-orang gagah di kalangan kan g-ouw banyak yang bersimpati kepada gerakan Lie Cu Seng hingga diam-diam mereka di tempat masing- masing menghimpun para kawan-kawan sepaham, bersiap- siap untuk sewaktu-waktu menggabungkan diri bila masanya untuk memberontak telah tiba. Juga di Tung-han tak terkecuali, bahkan di sekitar daerah itu telah pecah pertempuran-pertempuran antara   para   pemberontak melawan alat-alat pemerintah. Melihat adanya bahaya dari segenap pihak, para pembesar setempat juga bersiap sedia menjaga keamanan sendiri-sendiri. Mereka membentuk barisan-barisan pengawal yang terdiri dari orang-orang berkepandaian silat tinggi untuk menjadi penjaga keamanan dan menumpas para pemberontak yang berani mengacau.

Karena kota Tung-han bukanlah kota yang sangat besar, maka mudah juga mencari rumah keluarga Can Lim Co. Ternyata orang she Can ini adalah seorang sastrawan yang miskin, biarpun dulu ketika masih tinggal di selatan, ia adalah putera seorang yang kaya raya. Agaknya Can Lim Co bukan berjiwa pedagang hingga ia tak dapat mempergunakan uang warisan ayahnya untuk berdagang. Bahkan sebaliknya, uang warisan itu lekas habis karena dimakan sambil menganggur saja, dan pula, orang she Can ini suka sekali bergaul dengan segala macam orang dan tiap lari di rumahnya selalu penuh dengan tamu-tamu yang diajaknya bercakap-cakap sambil minum arak. Mereka selalu mempersoalkan syair-syair kuno yang penuh arti, tentang peperangan, tentang sejarah dan tentang ilmu pengetahuan lain, tergantung dari sifat dan keadaan tamu yang diajaknya bercakap-cakap itu. Tak heranlah, apabila lambat-laun harta benda yang dulu dikumpulkan dengan susah payah oleh ayahnya menjadi ludes dan habis. Terpaksa Can Lim Co menjual rumah dan sawah, lalu pindah ke kota Tung-han. Ia mempunyai dua orang anak perempuan yang usianya sebaya dengan Ouwyang-hengte. Dulu ketika ia masih tinggal di selatan, ia menjadi kenalan baik keluarga Ouwyang, maka terjadilah ikatan jodoh itu. Kemudian, setelah Ouwyang-hengte diculik orang, dan keadaan keluarganya makin susah, ia lalu pindah ke Tung-han dan semenjak itu ia tak pernah berkabar-kabaran dengan keluarga Ouwyang.

Ketika Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu mengunjungi rumah keluarga Can dengan pertolongan seorang perantara, mereka diterima oleh Can Lim Co sendiri. Sastrawan ini telah nampak tua dan rambutnya telah putih, tapi sikapnya masih lemah-lembut dan pakaiannya bersih.

Ketika dua anak muda itu memperkenalkan diri sebagai kedua putera dari Ouwyang Heng Sun, ia merasa terkejut dan heran sekali. Lalu dipanggilnya isterinya yang berada di dalam dan kedua orang tua itu menghujani Ouwyang- hengte dengan bermacam-macam pertanyaan, membuat kedua anak muda itu menjadi malu dan menuturkan pengalaman mereka dengan singkat.

“Kalian telah belajar silat, itu baik sekali.” kata Can Lim Co sambil mengangguk angguk senang. “Memang dalam keadaan zaman seburuk ini, perlu sekali orang memiliki kepandaian bu (silat) untuk membela keadilan. Apakah gunanya sebatang pit (alat tulis) dan kertas pada masa sekacau ini?” orang tua ini menghela napas, kemudian dengan cara jujur seperti yang telah menjadi kebiasaannya, ia tanyakan maksud kedatangan kedua anak muda itu mengapa mereka datang membawa seorang perantara.

Kini giliran perantara itu untuk bicara, karena mendengar pertanyaan ini. Sedangkan Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu tak berani menjawab. Mereka hanya tunduk dengan muka merah. Perantara itu lalu memberi tahu. maksud keluarga Ouwyang untuk menetapkan hari kawin, yakni pada permulaan musim Chun pada hari keempat bulan depan.

Setelah perantara itu selesai bicara, barulah Ouwyang- Yiengte berani mengangkat muka untuk mendengar jawaban calon mertua mereka. Tapi   sungguh mengherankan sekali karena wajah sastrawan tua tiba-tiba tampak muram dan tak senang, kemudian terdengar ia berkata,

“Pada waktu sekacau ini, siapakah yang ada waktu untuk bicara tentang perkawinan?” kata-kata ini seakan- akan ditujukan kepada diri sendiri, kemudian segera disambungnya dan kini ia bicara kepada kedua anak muda yang masih duduk di depannya dengan hati tak enak mendengar ucapannya tadi. “Jiwi hiante, sungguh menyesal sekali bahwa, aku tak dapat menyetujui kehendak orang tuamu. Tolong kausampaikan saja salamku disertai pernyataan maaf dan hormatku. Kami menolak bukannya tanpa alasan, tapi sesungguhnya pada waktu ini kedua puteri kamipun tidak berada di rumah.”

Kedua anak muda itu heran dan bibir mereka bergerak hendak bertanya ke mana perginya kedua “tunangan” mereka itu tapi mereka tak kuasa membuka mulut karena malu. Can Lim Co maklum akan maksud kedua pemuda itu, maka ia berkata perlahan,

“Karena keadaan di sini kurang aman, mereka pergi dan untuk sementara tinggal di rumah paman mereka di utara.”

Kemudian kedua anak muda itu berpamit dan Can Lim Co berkata lagi kepada mereka, “Biarlah urusan perjodohan ini ditunda dulu sampai keadaan menjadi aman dan beres. Dan jiwi hiante yang memiliki kepandaian, tidak menggunakan kepandaian itu pada masa ini, mau tunggu kapan lagi?” Sebetulnya maksud Cam Lim Co ialah menganjurkan kedua calon mantunya itu untuk membantu pergerakan para pemberontak, tapi karena pada waktu itu tak seorangpun berani mengatakan hal ini dengan terang- terangan yang dapat mengakibatkan mereka ditangkap dan dianggap anggauta pemberontak lalu menerima hukuman mati, maka ia hanya berkata seperti tadi hingga kedua saudara Ouwyang salah mengerti. Mereka mengira bahwa calon mertua mereka juga benci kepada para pemberontak dan menganjurkan untuk menggunakan kepandaian mereka membasmi pemberontak-pemberontak itu. Maka tanpa ragu-ragu lagi mereka menjawab,

“Memang telah menjadi cita-cita kami berdua untuk secepatnya berangkat ke utara menyumbangkan tenaga.” Mendengar kata-kata ini, orang tua itu tampak senang sekali. Maka pergilah Ouwyang-hengte meninggalkan rumah keluarga Can. Mereka lalu menyuruh orang untuk mengirimkan suratnya kepada orang tua mereka di Namtin, karena dari Tung-han mereka akan terus ke utara hingga tidak usah pulang lagi. Ketika menerima surat kedua puteranya itu, Ouwyang Heng Sun dan isterinya hanya bisa menghela napas dan mengharap mudah-mudahan kedua anak muda itu akan pulang dengan selamat.

-Ooo-dw-ooO-

Karena ayah mereka memberi bekal uang yang cukup, kedua saudara itu lalu membeli dua ekor kuda agar perjalanan dapat dilanjutkan lebih cepat dan tidak tertunda- tunda lagi. Dengan menunggang kuda mereka dapat melakukan perjalanan jauh tanpa merasa lelah.

Pada suatu hari, pagi-pagi mereka telah memasuki sebuah hutan besar. Hutan itu liar dan penuh dengan pohon-pohon raksasa. Ketika mereka telah memacukan kuda beberapa li jauhnya di dalam hutan itu, terdengar suara ringkik kuda dibarengi suara senjata beradu dan orang-orang berteriak. Jelas bahwa di sebelah depan sedang terjadi pertempuran hebat. Mereka lalu mempercepat jalan kuda untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam hutan itu.

Tak lama kemudian tampaklah oleh Ouwyang-hengte sebuah pertempuran yang dahsyat dan hebat. Kurang lebih duapuluh orang berpakaian seragam sedang mengeroyok lima orang yang memainkan pedang dengan gerakan luar biasa. Di sana-sini ada beberapa orang pengeroyok yang roboh mandi darah. Melihat pakaian para pengeroyok tadi, tahulah Ouwyang-hengte bahwa mereka adalah tentara negeri, dan rata-rata memiliki kepandaian lumayan juga. Tapi lima orang yang dikeroyok itu lebih hebat lagi.

Ketika diperhatikan, ternyata bahwa lima orang itu berpakaian sederhana. Mereka adalah laki-laki semua yang rata-rata sudah berusia empatpuluh tahun lebih.

Ouwyang Bun dan adiknya lalu melompat turun dari kuda dan Ouwyang Bun yang tidak mau berlaku ceroboh, lalu meng hampiri seorang tentara yang luka.

“Saudara, siapakah lima orang yang mengamuk itu?” tanyanya.

Tentara yang luka itu memandang heran, lalu menjawab dengan suara lemah karena ia telah banyak mengeluarkan darah.

“Siapa lagi, mereka adalah pemberontak.”

Mendengar ini, Ouwyang-hengte lalu meloncat berdiri dan mencabut senjata. Tanpa banyak cakap lagi mereka menyerbu dan menyerang lima orang pemberontak itu. Kedatangan Ouwyang-hengte merobah keadaan pertempuran, karena dengan ilmu pedang mereka yang lihai sebentar saja mereka dapat mendesak kelima orang pemberontak itu. Dan para tentara negeri dengan gembira sekali bersorak-sorak dan mengurung. Akan tetapi, ternyata lima orang itu betul-betul gagah, karena melihat keadaan mereka terdesak, kelimanya lalu mengeluarkan senjata rahasia mereka yang berbahaya. Beberapa orang pengeroyok roboh lagi oleh senjata itu hingga kurungan menjadi kendur. Kesempatan itu mereka gunakan untuk melompat dan kabur. Tapi Ouwyang Bu secepat kilat mengirim serangan pada pemberontak yang terakhir larinya hingga ketika orang itu menangkis, pedangnya kena babat dan putus oleh pedang Ouwyang Bu, berikut dua buah jari tangan orang itu. Dia menjerit kesakitan dan cepat menggunakan tangan kiri menyerang Ouwyang Bu dengan senjata rahasia berupa jarum-jarum halus. Ouwyang Bu maklum akan bahaya senjata-senjata rahasia ini, maka ia cepat melompat mundur dan membiarkan orang itu lari menyusul kawan-kawannya. Terdengar kuda mereka meringkik dan suara kaki kuda mereka meninggalkan tempat itu dengan cepat.

Ouwyang-hengte hendak mengejar, tapi   pemimpin tentara yang berjenggot pendek mencegahnya. “Mereka mungkin masih mempunyai banyak kawan, awas jangan sampai terjebak.” katanya.

-O0od-wo0O- 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar