Sakit Hati Seorang Wanita Jilid 11

Jilid 11

“IH, kawan. Di luar sana terdapat tt banyak pasukan pemberontak. Kalau kami me ma kai pakaian perwira, tentu kami tidak akan dapat sampai di sini! Kami sengaja menyamar sebagai petani agar dapat mudah masuk ke kota raja dan menya mpaikan pesan Panglima Besar Bu kepada keluarganya di kota raja."

"Baiklah, kami percaya. Akan tetapi demi ketertiban, harap sam-wi me mper kenalkan na ma sa m-wi agar kami catat."

"Aku ber marga Cu, dan dua orang temanku ini adalah kakak beradik ber marga Kam. Sekarang maafkan kami karena kami harus segera menghadap keluarga Panglima Besar Bu Sam Kwi." kata Li Cu Seng. Para penjaga itu tidak berani lagi mengha langi dan mereka me mpersilakan tiga orang yang mengaku sebagai   perwira-perwira   utusan   Jenderal   Bu me masu ki pintu gerbang kota raja.

Akan tetapi pada saat itu, tujuh orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai perwira datang dari luar. Su Lok Bu dan Cia Kok Han berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka, diikuti oleh lima orang Liong-san Ngo-eng. Su Lok Bu dan Cia Kok Han sudah menghadang tiga orang yang baru hendak me masu ki pintu gerbang dan Su Lok Bu, murid Siauw- lim-pai yang bertubuh tinggi besar hitam brewokan itu berkata dengan suara yang nyaring.

"Harap kalian bertiga berhenti dulu!" seru Su Lok Bu sa mbil berdiri tegak di depan tiga orang itu dan menga mati wajah mereka dengan tajam menyelidik. "Siapakah kalian, datang dari mana dan hendak ke mana? "

Dengan penuh kewaspadaan namun dengan sikap yang tenang, Li Cu Seng tersenyum lalu menjawab. "Baru saja para penjaga pintu gerbang sudah menanyakan hal yang sama kepada kami sudah kami jawab dengan sejelasnya. Akan tetapi kalau cu-wi (kalian se mua). ingin tahu, boleh kami ulang jawaban kami. Aku she (bermarga) Cu dan dua orang temanku ini kakak beradik bermarga Kam. Kami bertiga datang dari barisan penjaga garis depan di San hai-koan, kami tiga orang perwira kepercayaan Panglima Besar Bu Sairi Kwi dan kami diutus oleh Bu Thai-ciangkun untuk mengunjungi keluarganya di kota raja."

Cia Kok Han yang bertubuh pendek gendut bertanya. "Maafkan kami, sobat-sobat, kalau kami bersikap teliti. Kalau kalian bertiga benar perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi, tolong perlihatkan surat kuasa untuk tanda kalian agar ka mi merasa yakin. Juga agar kalian me mberi keterangan mengapa kalian berpakaian seperti petani dusun dan mengapa pula kalian meninggalkan tiga ekor kuda tunggangan kalian di hutan itu."

Dia m-dia m tiga orang pimpinan laskar pemberontak itu terkejut. Kiranya tujuh orang itu telah mengetahui bahwa mereka datang berkuda! Ini berarti bahwa sudah sejak jauh dari situ mereka telah diawasi! Akan tetapi Li Cu Seng yang cerdik tetap tenang ketika dia menjawab sa mbil tersenyum.

"Ka mi kira sebagai perwira-perwira yang berpengala man, tentu cu-wi mengerti keadaan kami. Di luar sana terdapat banyak sekali pasukan pe mberontak. Kalau kami mengenakan pakaian perwira, sudah pasti kami tidak mungkin dapat sampai di sini dan sudah terbunuh di tengah perjalanan. Kami sengaja meningga lkan kuda kami di hutan karena kami ingin agar tidak menarik perhatian karena kami menyamar sebagai orang desa. Dan tentang surat-surat yang menunjukkan bahwa kami utusan Panglima Besar Bu Sam Kwi, ah, tentu cu- wi sudah mengetahui. Kami adalah perajurit-perajurit yang setia sampai mati. Andaikata kami yang melaksanakan tugas ini harus mati dalam perjalanan, jangan sampai ada yang mengetahui siapa kami untuk menjaga rahasia pimpinan kami."

Jawaban yang lancar ini me mbuat hati Su Lok Bu, Cia Kok Han dan kelima Liong-san Ngo-heng merasa puas.

"Maafkan kalau kami me mer iksa dengan teliti karena kami tidak ingin kecolongan. Nah, kalau begitu silakan sa m-wi (kalian bertiga) me lanjutkan perjalanan ke rumah keluarga Panglima Besar Bu. Perkenalkan, kami bertujuh adalah para pembantu Ciong Goan-swe yang juga merupakan rekan dan sahabat Panglima Besar Bu Sam Kwi. Kami akan melaporkan kedatangan kalian di kota raja kepada beliau." kata Su Lok Bu.

Dia m-dia m hati Li Cu Seng terkejut juga. Kalau Jenderal Cong sendiri yang bertemu dengannya, tentu jenderal itu akan mengenalnya. Maka dia cepat mengucapkan terima kasih dan me lanjutkan perjalanannya ke dalam kota raja, diikuti oleh dua orang pe mbantunya. Karena Li Cu Seng menduga bahwa para perwira tadi cerdik dan tentu tidak akan melepaskannya dari pengawasan begitu saja, maka dia terpaksa mengajak dua orang temannya menuju ke rumah keluarga Panglima Besar Bu Sam Kwi, tidak jadi langsung menyelidiki keadaan dan kekuatan benteng pasukan kerajaan.

Dua orang temannya berbisik, menyatakan kekhawatirannya kalau mereka mengunjungi keluarga Bu Sam Kwi. Bagaimana kalau keluarga itu mengenal Li Cu Seng? Pasti akan gempar dan pasukan datang menangkap mereka. Di dalam kota raja, mereka bagaikan tiga ekor harimau yang sudah terjebak dalam ruangan tertutup dan tidak mungkin dapat lolos!

"Jangan khawatir, tidak ada seorang pun anggauta keluarga Bu Sam Kwi yang pernah mengena! aku. Bahkan Bu Sam Kwi sendiri kalau bertemu dengan aku belum tentu dapat mengenalku. Kami bersahabat ketika kami masih muda, belasan tahun yang lalu. Jangan khawatir, kita ke sana dan biarkan aku yang bicara dengan mereka. Setelah ada kesempatan, baru kita akan berkeliling dalam kota untuk me lakukan penyelidikan."

Tiga orang itu lalu menuju ke rumah besar yang menjadi tempat tinggal keluarga Panglima Besar Bu Sam Kwi. Tentu saja mereka sudah tahu di mana rumah itu karena sebelumnya mereka telah me mpelajari keadaan kota raja dari para penyelidik yang lebih dulu sudah d isebar dalam kota raja Peking. Ketika mere ka sedang berjalan dan tiba di depan sebuah pasar, seorang pengemis berusia sekitar lima puluh tahun, berpakaian compang-ca mping penuh ta mbalan, terbungkuk-bungkuk mengha mpiri mereka dan menyodorkan sebuah mangkok retak dengan tangan kanannya minta sedekah (sumbangan). Tangan kir inya me megang sebatang tongkat hita m. "Kasihanilah, Tuan, berilah sedikit sumbangan!" kata pengemis itu dengan suara cukup lantang sehingga terdengar orang-orang di sekitar tempat itu. Li Cu Seng dan dua orang pembantunya segera mengena l pengemis ini. Ada belasan orang anggauta Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Penge mis Tongkat Hita m), sebuah perkumpulan penge mis yang mendukung gerakan Li Cu Seng, me mang telah menyusup ke dalam kota raja dan menjadi mata-mata yang melaporkan keadaan kota raja kepada para pimpinan pe mberontak. Maka Li Cu Seng dan dua orang te mannya segera mengeluarkan uang receh dan me masukkan nya ke dalam mang kok retak itu. Ketika tidak ada orang lain me mperhatikan peristiwa biasa dan wajar ini, si Pengemis berbisik.

"Beng-cu (Pemimpin Rakyat), hati-hati, ada beberapa ekor serigala me mbayangi." setelah berbisik demikian, pengemis itu pergi. Tiba-tiba Li Cu Seng menjatuhkan dua buah uang receh dan segera membungkuk untuk me mungutnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk melihat ke arah belakangnya dan dia dapat melihat lima orang menyelinap di antara para pengunjung pasar dan tahulah dia bahwa mereka itu yang disebut srigala oleh anggauta Hek-tung Kai-pang itu. Sebutan srigala berarti mata-mata musuh, atau kaki tangan pasukan kerajaan.

Li Cu Seng me mberi isarat kepada dua orang te mannya untuk berjalan tenang seperti biasa dan dia lalu mengajak mereka pergi ke gedung keluarga Panglima Bu. Gedung itu besar dan halaman depannya amat luas. Akan tetapi anehnya, mereka tidak melihat ada perajurit yang berjaga di gardu dekat pintu gerbang. Padahal Panglima Bu Sam Kwi adalah seorang pembesar militer yang me miliki kedudukan tinggi, bahkan kini pertahanan seluruh balatentara kerajaan untuk menghadang gerakan orang-orang Mancu berada di tangan Panglima Bu. Akan tetapi mengapa rumah keluarga panglima yang berkuasa itu tidak dijaga perajurit? Karena tidak ada yang menjaga, tiga orang itu langsung saja memasu ki halaman yang luas me nuju ke pendapa gedung besar itu.

Ketika mereka tiba di pendapa, dua orang laki-la ki setengah tua yang berpakaian sebagai pelayan keluar menyambut. Melihat bahwa yang datang hanya tiga orang laki-la ki berpakaian seperti orang-orang desa, dua orang pelayan itu mengerutkan alis mereka dan tampa k tidak senang.

"Heh, siapa kalian dan mau apa datang ke sini!" seorang di antara mereka me mbentak, ta mpaknya marah.

"Kalau mau minta pekerjaan atau minta sumbangan, kami tidak dapat me mbantu dan hayo pergi dari sini!" kata orang kedua, cak kalah galaknya.

Li Cu Seng dan dua orang pe mbantunya segera dapat mengenal dua orang pelayan ini. Dari sikap mereka, tahulah Li Cu Seng bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang suka menjilat ke atas dan meludah ke bawah, mencari muka kepada atasan dan menekan kepada bawahan. Dan dia tahu bahwa Kerajaan Beng kini penuh dengan orang-orang maca m ini. Sebagian besar para pejabatnya adalah penjilat-penjilat kaisar dan me meras rakyat, merendahkan rakyat, dan menumpuk harta kekayaan dari hasil me meras rakyat. Karena para pembesar sebagian besai merupakan penjilat dan koruptor, maka dia tergerak dan mengerahkan laskar rakyat untuk me mberontak, untuk meruntuhkan kekuasaan para koruptor itu. Baru dua orang pelayan saja sudah begini sikapnya. Dia yakin bahwa mereka ini merupakan sebagian dari anak buah atau pendukung dari para thai-kam yang kini berkuasa di istana.

Gu Kam dan Giam Tit sudah tidak sabar melihat sikap dua orang pelayan itu. Gu Kam yang tinggi besar dan brewok itu me langkah ke depan meng hadapi mereka dan berkata dengan suara keren. "Ka mi adalah perwira-perwira utusan Panglima Besar Bu Sam Kwi! Cepat laporkan kepada keluarga Panglima Bu bahwa kami diutus untuk bicara dengan keluarga beliau!"

Dua orang pelayan itu saling pandang dan cengar-cengir. Jelas bahwa mereka tidak percaya dan menghina. "Huh, siapa percaya?" kata yang seorang.

"Kalian bohong! Hayo pergil Masa ada perwira-perwira seperti kalian tiga orang desa kotor?"

Gu Kam dan Giam Tit tidak dapat menahan kemarahan mereka. Sekali bergerak, mereka sudah me megang lengan kanan dua orang pelayan itu dan begitu mereka mengerahkan tenaga, terdengar suara "krekk!" dan tulang lengan kanan dua orang pelayan itu patah! Tentu saja mereka menjer it dan menyeringai kesakitan.

Tiba-tiba seorang laki-la ki yang juga berpakaian sebagai pelayan muncul dari pintu. Usianya lebih tua dari yang dua orang itu.

"Eh, ada apakah ini? Siapa kalian bertiga dan mengapa ada ribut-ribut di sini?"

Karena pelayan satu ini sikapnya sopan dan kata-katanya juga halus, Li Cu Seng berkata kepada dua orang pembantunya. "Lepaskan mereka!" kemudian setelah dua orang pelayan itu dilepaskan dan mereka me megang i lengan yang patah tulangnya sambil mengadu h-aduh, dia berkata kepada pelayan ke tiga. "Kami bertiga adalah perwira-perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi yang diutus datang mene mui keluarga beliau. Kami sengaja menyamar dan dua orang pelayan ini tidak percaya dan bersikap kurang ajar kepada ka mi."

Pelayan tua itu segera membungkuk dengan hormat. "Ah, kiranya sam-wi adalah perwira-perwira utusan Panglima Besar Bu! Heh, kalian berdua sungguh tidak tahu aturan. Hayo pergi ke belakang!" Setelah dua orang pelayan yang patah tulang lengan kanannya itu sambil merintih pergi, pelayan tua itu lalu berkata kepada Li Cu Seng.

"Harap Sa m-wi Ciangkun (Perwira Bertiga) ketahui bahwa pada saat ini, anggauta Panglima Besar Bu yang berada di rumah hanya tinggal Kim Hujin (Nyonya Kim) seorang saja. Sam-wi Ciangkun tentu mengetahui bahwa se mua keluarga yang lain telah dije mput oleh pasukan utusan Panglima Besar Bu Sam Kwi beberapa minggu yang lalu dan yang tinggal di sini sekarang hanya Kim Hujin."

Tentu saja Li Cu Seng tidak mengetahui akan ha l ini, akan tetapi setelah mengaku sebagai perwira utusan Panglima Bu, tidak mungkin kalau dia tidak mengetahui!

"Tentu saja kami tahu akan hal itu. Kami me mang diutus untuk mene mui Kim Hujin untuk menya mpaikan pesan Panglima Bu."

"Kalau begitu silakan duduk menanti sebentar, saya akan me laporkan kepada Kim Hujin!" kata pelayan itu, lalu dia masu k ke dalam gedung. Li Cu Seng dan dua orang temannya duduk menunggu di atas bangku yang terdapat di pendapa atau ruangan depan itu.

"Beng-cu, apa yang akan kita katakan kalau berhadapan dengan Kim Hujin itu?" Ciam Tit berbisik, bingung.

Li Cu Seng me mberi isarat dengan pandang matanya agar dua orang temannya itu me mandang ke luar. Ketika keduanya me mandang ke luar, mereka me lihat berkelebatnya bayangan beberapa orang di luar pintu gerbang. Tahulah mereka bahwa sampai sekarang ada orang-orang yang me mbayangi mereka seperti dilaporkan anggauta Hek-tung Kai-pang tadi.

"Jangan khawatir, serahkan saja kepadaku." kata Li Cu Seng dengan sikap tenang sehingga dua orang pembantunya merasa agak lega. Mereka percaya sepenuhnya akan kecerdikan pe mimpin mereka ini. Pelayan tua tadi muncul kembali. "Silakan sam-wi masuk dan menunggu di ruangan tamu. Kim Hujin akan segera mene mui sam- wi." Dia mengantar tiga orang tamu itu me masu ki ruangan ta mu yang luas, bersih dan tertutup. Agaknya ruangan ini selain menjadi ruangan ta mu, juga dapat dipergunakan untuk ruangan te mpat perte muan penting yang tak dapat dilihat atau didengar orang luar. Setelah mengajak tiga orang itu masuk ke dalam ruangan ta mu, pelayan itu keluar lagi dan menutup kan pintu depan dari luar.

Li Cu Seng me mberi isarat kepada dua orang pembantunya untuk menga mbil tempat duduk di atas kursi-kursi yang menghadap kepada sebuah meja di mana terdapat pula beberapa buah kursi, agaknya biasa menjadi te mpat duduk mereka yang memimpin pertemuan.

Terdengar langkah kaki le mbut dari dala m. Mereka bertiga cepat menengok dan ketika yang me miliki langkah kaki muncul dari pintu dalam, berdiri di a mbang pintu dan menahan langkahnya lalu me mandang kepada mereka bertiga dengan sinar mata tajam menyelidik, tiga orang itu cepat bangkit berdiri dan mengang kat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan. Mata tiga orang itu terbelalak heran dan juga kagum. Sama sekali Li Cu Seng tidak meng ira bahwa yang disebut Nyonya Kim itu adalah seorang wanita yang demikian muda, dengan kecantikan seorang dewi! Sang Dewi Kzecantikan sendiri yang agaknya berdiri di situ! Usianya paling banyak dua puluh lima tahun, masih ta mpak seperti gadis belasan tahun, na mun sinar mata, senyumnya, dan sikapnya menunjukkan bahwa wanita ini sudah matang dan selain pandai me mbawa diri, juga anggun dan bahkan bersikap agung seperti seorang puteri istana saja! Rambutnya hitam subur dan agaknya panjang sekali karena dilipat menjad i sanggul yang besar ke atas, dihias i tusuk sanggul emas permata berbentuk burung Hong (sejenis Cenderawasih), indah dan tentu mahal sekali. Anak rambut hitam halus melingkar- lingkar manja di atas dahi dan kedua pelipisnya, me mbuat wajah berbentuk bulat telur itu ta mpak semakin putih mulus. Sepasang alis hitam melengkung tanpa dibuat me lindungi sepasang mata bintang yang bersinar tajam namun le mbut dan jernih, dengan bulu mata panjang lentik. Hidungnya kecil mancung dengan ujung agak menjungat sehingga mendatangkan kesan lucu. Mulutnya menggairahkan dengan sepasang bibir yang lunak, tipis na mun penuh, kemerahan kalau bicara bergerak-gerak hidup. Senyu mnya menawan dan kilatan gigi putih rapi berderet teramat manis. Selain wajah yang a mat cantik jelita ini, tubuh wanita itu pun ramping padat dengan lekuk lengkung se mpurna, terbungkus pakaian dari sutera yang indah. Kakinya me ma kai sandal bulu putih yang bersih, terhias sulaman benang sutera keemasan. Benar-benar penampilan seorang wanita yang sepantasnya tinggal di antara awan-awan bersa ma Kwan Im Pouwsat (Dewi Maha Kzasih)!

Li Cu Seng adalah seorang pendekar yang tidak termasuk seorang terpelajar tinggi, lebih tepat disebut seorang ahli silat. Selama ini dia sibuk dengan perjuangan, hidup di dunia kang- ouw (sungai-telaga, dunia persilatan), bahkan tidak menghiraukan keluarganya, tidak mudah tertarik oleh wanita cantik. Akan tetapi sekali ini dia merasa seperti mimpi bertemu seorang dewikz! Inikah yang oleh pelayan disebut Kim Hujin? Seorang Nyonya? Apakah ia isteri dari Panglima Besar Bu Sam Kwi?

"Maaf, Nona, kalau kunjungan kami ini mengganggu." kata Li Cu Seng sambil menatap wajah wanita itu dengan kekagu man terbuka. Wanita cantikitu tersenyum, bukan oleh ucapan yang keluar dari mulut laki-laki gagah itu, melainkan karena ia melihat pandang mata kagum itu. Ah, betapa setiap orang pria me mandangnya seperti itu kalau bertemu dengannya! Ia sudah terbiasa, akan tetapi biasanya laki-laki yang memandang kagum mencoba untuk menyembunyikan kekagu man mereka, tidak seperti laki- laki ini yang me mper lihatkan kekagu mannya secara terbuka. Juga ia geli mendengar sebutan nona itu.

"Aku bukan nona, melainkan seorang diantara selir-selir Panglima Besar Bu Sam Kwi." kata wanita itu sa mbil tersenyum sehingga wajahnya menjadi se makin menarik. "Sa m-wi (kalian bertiga) siapakah dan benarkah kalian diutus Panglima Bu untuk berkunjung ke sini?"

"Maafkan kami, Nyonya, kami adalah utusan Panglima Bu. Saya she Cu dan mereka ini kakak beradik she Kam. Kami adalah perwira-perwira pembantu Panglima Bu. Kami diutus mengabarkan bahwa keadaan Panglima Bu di sana baik-baik saja dan kami disuruh menanyakan keadaan keluarga beliau di sini."

"Hemm, keluarga Panglima Bu yang tinggal di sini hanya aku seorang, dan para pelayan. Semua anggauta keluarga telah diboyong ke San-hai-koan!" wanita itu me mandang tajam penuh selidik.

"Ka mi mengerti, Toanio (Nyonya Besar). "

"Hemm, jangan menyebut aku Nyonya besar! Namaku Kim Lan Hwa dan aku lebih suka disebut Nyonya Kim begitu saja!"

"Baiklah, Nyonya Kim. Kami sudah tahu bahwa sebagian besar anggauta keluarga Panglima Bu sudah diboyong ke sana, justeru Panglima Bu menyuruh kami datang mengunjungimu, Nyonya. Beliau meng khawatirkan keadaanmu di sini."

Wajah yang cantik itu berseri, matanya bersina-sinar. "Aih, Panglima Bu de mikian sayang padaku, sungguh me mbuat aku merasa bahagia sekali! Memang keadaan di sini ah,

bagaimana kalau dua orang teman mu ini disuruh menjaga di luar kedua pintu depan dan belakang agar jangan ada yang ikut mendengarkan percakapan kita? Aku me mpunyai banyak hal yang akan kusa mpaikan kepada Panglima Bu lewat engkau, Cu sicu (orang gagah Cu)." Li Cu Seng berkata kepada dua orang pembantunya. "Kalian berjagalah, seorang di luar pintu depan dan seorang lagi di luar pintu sebelah dalam itu."

Gu Kam lalu keluar dan berjaga di pintu luar dari mana tadi mereka masu k, sedangkan Giam Tit berjaga di luar pintu dalam dari mana tadi Kim Lan Hwa me masuki ruangan tamu.

Setelah kini berada berdua saja dengan Li Cu Seng, Kim Lan Hwa berkata dengan suara lir ih. "Cu-sicu, laporkan kepada Panglima Bu bahwa keadaan kota raja kini terasa tegang. Menurut kabar pasukan pemberontak telah mulai menuju ke kota raja. Sribaginda Kaisar telah memer intahkan semua pasukan pemerintah ditarik ke kota raja untuk melindungi kota raja. Bahkan telah dikirim utusan kepada suamiku, Panglima Bu, agar me mbawa pasukannya kembali ke sini. Akan tetapi aku mendengar bahwa Panglima Bu tidak menghiraukan perintah itu. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan dan amarah para Thaikam yang menuduh Panglima Bu sengaja me mbiarkan kota raja terancam oleh pasukan pemberontak. Karena anggauta keluarga Bu hanya tinggal aku seorang di sini, maka mereka mulai me lontarkan kata-kata tidak enak terhadap aku. Aku takut sekali, Sicu! Apalagi aku mendengar bahwa pemberontak Li Cu Seng dan anak buahnya yang amat banyak itu benci sekali kepada para pejabat pemerintah Kerajaan Beng. Kalau sampai kota raja mereka serbu dan mereka duduki, tentu bahaya besar menganca m diriku sebagai seorang selir Panglima Besar Bu Sam Kwi!" Wanita yang cantik itu mulai ge metar dan tampa k sekali ia me mang ketakutan.

"Akan tetapi, Nona Kim "

"Nyonya, bukan Nona..." Kim Lan Hwa me motong.

"Ketika Panglima Bu me mboyong se mua anggauta keluarga dari sini ke San-hai-koan, mengapa Nona tidak ikut pergi?" Mendengar Li Cu Seng kemba li menyebut Nona Kim Hwa tidak perduli lagi. Ia meng hela napas panjang. "Biarlah aku berterus terang agar engkau mengerti duduknya perkara, Cu-sicu. Sebetulnya tidak semestinya hal ini kuceritakan kepada orang lain. Akan tetapi entah mengapa, aku percaya padamu. Ketahuilah bahwa dahulu aku adalah seorang penyanyi yang terkenal di empat propinsi utara. Panglima Bu Sam Kwi menga mbil aku sebagai seorang selir dan se menjak itu, isteri dan para selir lain dari Panglima Bu a mat me mbenciku... mungkin karena....

Panglima Bu a mat sayang kepadaku.... mereka menjad i iri hati dan cemburu. Maka ketika Panglima Bu menyuruh pasukan menje mput keluarganya dari sini dan diboyong ke San-hai- koan, Nyonya Bu me mpergunakan kekuasaannya sebagai isteri pertama, me maksa aku agar tidak ikut dan tinggal di sini untuk menjaga ruma h. Tentu saja mereka berharap agar kalau pemberontak menyerbu kota raja, aku akan disiksa dan dibunuh pe mberontak yang me mbenci para bangsawan dan keluarga mereka. Aih, aku khawatir sekali, Sicu... aku takut sekali ..." Wanita itu mulai menangis. Rasa takutnya selama ini, se menjak ditinggalkan seorang diri di gedung itu bersama sisa para pembantu yang tidak diikutsertakan boyongan ke San-hai-koan, ia tahan-tahan dan sekarang rasa takut yang ditahan itu jebol sehingga ia menangis tersedu-sedu, menutup i mukanya dengan saputangan yang dipegang kedua tangan.

Li Cu Seng merasa kasihan. Seorang wanita cantik jelita itu kalau tersenyum, me mbuat orang lain merasa ge mbira, akan tetapi kalau menang is, me mbuat hati yang keras seperti hati Li Cu Seng menjadi lunak dan penuh iba! Dia membiarkan saja wanita itu me nangis me ngeluarkan segala rasa takut dan kesedihan bersama air mata. Setelah tangisnya mereda, dia berkata, "Nona Kim, hentikan tangis mu. Jangan takut dan jangan bersedih. Saya akan melindungimu dari marabahaya!"

Kim Lan Hwa menghapus air matanya dengan sepasang mata kemerahan dan me mbengkak ia me mandang wajah Li Cu Seng. "Ah, terima kasih, Cu-sicu, Aku mohon pada mu, sicu.... kalau sicu kembali ke San-hai-koan, bawalah aku serta, Sicu"

Mendengar per mintaan ini, bingung juga hati Li Cu Seng. Tentu saja dia tidak dapat me mbawa wanita ini, karena dia sama sekali tidak akan pergi ke San-hai-koan, melainkan me mimpin pasukannya menyerbu ke kota raja!

Melihat keraguan wajah pria itu, Kim Lan Hwa menjulurkan kedua tangannya dan menyeberangi meja, me megangi lengan kiri Li Cu Seng. "Bawalah aku, Sicu, dan jangan takut. Akulah yang akan bertanggung jawab kalau Panglima Bu marah. Dia tidak mungkin marah padaku, dan dia bahkan akan merasa senang sekali kalau aku menyusul ke sana. Aku ja min engkau tidak akan disalahkan, Cu-sicu!"

Li Cu Seng merasa betapa lunak dan hangat jari-jari tangan yang me megang lengannya itu dan hatinya tergetar. Belum pernah dia begini terpesona terhadap seorang wanita! Tanpa disadarinya, tangan kanannya juga ditumpangkan ke atas tangan wanita itu dan ditekannya dengan penuh perasaan.

"Kalau begitu, baiklah, Nona..."

Pada saat itu, pintu depan terbuka dan Cu Kam menyelinap masu k bersa ma seorang laki- laki setengah tua berpakaian pengemis dan me megang sebatang tongkat hitam. Seorang anggauta Hek-tung Kai-pang! Wajah penge mis itu ta mpak tegang.

"Gu-twako, ada apakah?" Li Cu Seng lupa bahwa tadi dia me mper kenalkan Cu Kam dan Giam Tit sebagai kakak beradik she Kam karena dia terkejut dan ma klum bahwa anggauTa Hek-tung Kai-pang itu tentu me mbawa berita yang buruk maka wajahnya tegang seperti itu.

"Cepat lapor kepada Beng-cu!" kata Cu Kam. Pengemis itu meng ha mpir i Li Cu Seng dan berbisik. "Beng- cu, tujuh orang perwira tadi menuju ke sini. Agaknya mereka mencurigai Beng-cu bertiga!"

Li Cu Seng mengerutkan alisnya. "Hmm, kalau begitu cepat hubungi kawan-kawan dan siap untuk melindungi kami keluar dari kota raja. Jangan turun tangan dulu sebelum terjadi perkelahian."

"Baik, Beng-cu." Setelah berkata demikian, dengan gerakan gesit pengemis itu menyelinap keluar. Gu Kam menutupkan daun pintu luar itu dari dalam.

Kim Lan Hwa kini bangkit dari kursinya dan menatap tajam wajah Li Cu Seng, kemudian ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pe mimpin pe mberontak itu dan berkata gagap, "Engkau Beng-cu...? Engkau Pemimpin Pe mberontak Li I Cu Seng sendiri...?" mata wanita itu terbelalak dan wajahnya berubah pucat.

Gu Kam me nuju pintu dalam dan me manggil Giam Tit sehingga kini mereka bertiga berada di ruangan ta mu. Li Cu Seng mengangguk kepada Kim Lan Hwa. Dalam keadaan seperti itu dia harus tenang na mun dapat menga mbil keputusan tepat dan cepat.

"Nona Kim, melihat kenyataan bahwa Panglima Besar Bu Sam Kwi tidak mau membawa pasukannya ke kota raja untuk me lindungi Kaisar, me mbuktikan bahwa di antara kami terdapat persamaan, yaitu kami sa ma-sama me nentang pemerintah Kerajaan Beng yang brengsek karena Kaisar telah dikuasai oleh para Thaikam dan pe mbesar yang korup dan lalim. Karena itu, keadaan Nona dan kami sa ma-sa ma berada dalam bahaya. Tidak ada pilihan lain bagi Nona kecuali bekerja sama dengan kami!"

"Bekerja sa ma bagaimana maksudmu?"

"Begini, Nona. Nona harus melindungi kami agar kami tidak diganggu dan tidak dikenal para pengawal, kemudian setelah kita dapat keluar dari kota raja, kami akan melindungi Nona dari se mua bahaya yang menganca m diri Nona."

Kim Lan Hwa mengangguk-angguk.

"Baik... baik aku akan berusaha sedapatku!"

Pada saat itu, terdengar pintu diketuk dari luar dan ketika pintu dibuka, seorang pelayan tua masuk dan berkata kepada Kim Lan Hwa. "Kim Hujin, di luar terdapat tujuh orang perwira yang mohon bicara dengan Hujin."

"Baik, katakan kepada mereka bahwa aku akan segera keluar mene mui mere ka." kata Kim Lan Hwa dengan suara tegas. Wanita ini sudah dapat menenangkan hatinya dan tidak tampak ketakutan lagi. Pelayan itu keluar dan Kim Lan Hwa berkata kepada Li Cu Seng bertiga. "Sam-wi tunggu saja di sini, aku akan mene mui mere ka dan percayalah, sebagai selir tersayang Panglima Bu Sam Kwi, aku masih disegani para perwira." Setelah berkata demikian, wanita cantik jelita ini lalu me mbereskan wajahnya yang tadi menangis, me mbedakinya kembali sehingga wajahnya kembali ta mpak berseri. Setelah itu ia keluar dengan langkah gontai dan sikap anggun dan agung.

Tujuh orang perwira yang duduk menunggu di pendapa itu adalah Su Lok Bu, Cia Kok Han, dan lima Liong-san Ngo-heng. Mereka segera bangkit berdiri me mberi hor mat ketika Kim Lan Hwa muncul dari pintu dalam dengan sikapnya yang anggun dan agung. Mereka bertujuh sudah tahu betul siapa wanita cantik jelita ini. Wanita ini selir tersayang Panglima Besar Bu Sam Kwi yang tidak ikut diboyong ke San-hai-koan karena ia menjaga ruma h gedung panglima besar itu.

"Maafkan kami, Toa-nio (Nyonya Besar) kalau kami menganggu. Akan tetapi terpaksa kami datang berkunjung bertalian dengan tiga orang yang datang ke gedung ini. Mereka itu amat mencurigakan dan atas perintah Jenderal Ciong Kak kami diharuskan menahan mereka untuk diperiksa lebih lanjut. Kalau kemudian ternyata bahwa mereka me mang benar tiga orang perwira pembantu Panglima Besar Bu seperti yang mereka katakan, tentu kami akan me mbebaskan mereka kembali. Kami mohon perkenan Toa-nio untuk menangkap mereka bertiga."

Kim Lan Hwa mengerutkan alisnya, mukanya berubah kemerahan, sepasang matanya yang indah itu menyinarkan kemarahan   dan   kedua   tangannya   bertolak   pinggang, me mandang i mereka satu demi satu.

"Berani se kali kalian men uduh yang bukan-bukan terhadap para utusan suamiku, Panglima Besar Bu Sam Kwi? Kalau kalian tidak percaya kepada mereka bertiga, berarti kalian tidak percaya kepadaku dan kalau tidak percaya kepadaku, berarti tidak percaya kepada Panglima Bu! Begitukah? Mereka bertiga, Perwira Cu dan dua orang Perwira Kam adalah orang- orang kepercayaan suamiku, utusan pribadi Panglima Besar Bu Sam Kwi yang diutus untuk bicara dengan aku mengenai urusan keluarga kami. Juga mereka me nceritakan bahwa saat ini, Panglima Besar Bu sedang menyiap kan balatentara untuk ditarik kembali ke kota raja, melindungi kota raja dari ancaman serbuan pasukan pe mberontak! Dan sekarang kalian hendak menangkap mereka, seolah-olah para utusan suamiku itu penjahat-penjahat? Kalau begitu, sebelum kalian menang kap mereka, tangkaplah aku lebih dulu, biar nanti Panglima Besar Bu Sam Kwi yang akan me mutus kan apa yang akan dia lakukan sebagai hukuma n kepada kalian bertujuh!"

Tujuh orang itu tentu saja terkejut sekali mendengar ucapan yang bernada marah ini. Melihat betapa selir tersayang Panglima Bu itu men ja min bahwa tiga orang itu benar-benar utusan pribadi Panglima Bu, tentu saja mereka bertujuh percaya.

"Maaf, Toanio. Kami hanya melaksanakan perintah Jenderal Ciong!" kata Cia Kok Han me mbela diri. "Bagus! Kalau begitu, Jenderal Ciong yang akan menang kap tiga orang utusan pribadi Panglima Besar Bu Sam Kwi? Berarti Jenderal Ciong sudah berani memberontak terhadap atasannya? Kalau perlu, suruh Jenderal Ciong bicara sendiri dengan aku"

Tujuh orang itu kehilangan nyali. Mereka tadinya menaruh kecurigaan besar terhadap tiga orang itu. Akan tetapi setelah Kim Lah Hwa bersikap seperti itu, kecurigaan mereka ha mpir hilang sa ma sekali. Kiranya mustahil kalau selir tersayang Panglima Besar Bu Sam Kwi me lindungi mata- mata pemberontak!

"Baiklah, Toa-nio. Kami tarik kembali keinginan kami menang kap tiga orang itu. Harap maafkan kesalah-pahaman kami ini." kata Su Lok Bu dan mereka bertujuh lalu me mberi hormat dan meninggalkan gedung itu.

Ketika wanita cantikitu bicara dengan tujuh orang perwira, Li Cu Seng bertiga mengintai dari dalam dan mereka sudah siap siaga kalau- kalau wanita itu melaporkan keadaan mereka yang sesungguhnya, atau kalau terjadi bahaya mengancam. Tentu saja mereka akan melawan mati- matian karena kalau Li Cu Seng sampai tertawan hidup-hidup, berarti dia menyerah dan ini akan me le mahkan se mangat laskar rakyat yang dipimpinnya. Sebaliknya kalau dia me lawan sa mpai mati, hal ini malah mena mbah kemarahan para pemberontak terhadap pemerintah Kerajaan Beng. Akan tetapi, betapa lega dan girang rasa hati mereka me lihat sikap Kim Lan Hwa dan mendengar ucapannya yang tegas dan berwibawa sehingga tujuh orang perwira itu men jadi jerih dan meninggalkan gedung itu. Untuk se mentara mereka a man, akan tetapi rianya sementara saja. Hal ini mereka ketahui benar.

Ketika Kim Lan Hwa me masu ki ruangan ta mu kembali, tiga orang itu bangkit menya mbutnya.

"Ah, Nona Kim hebat sekali! Kami sungguh merasa kagum dan berterima kasih!" kata Li Cu Seng dan kembali dia me mandang dengan kekaguman yang tulus. Akan tetapi Kim Lan Hwa mengerutkan alisnya.

"Li Beng-cu, se mentara ini me mang kita a man. Akan tetapi bagaimana selanjutnya? Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

"Tenanglah, Nona Kim. Mari kita bicarakan dan kita cari jalan terbaik untuk dapat me loloskan diri dari kota raja. Yang terpenting, kami bertiga harus dapat keluar tanpa gangguan, dan juga Nona sendiri agar dapat keluar dari sini kemudian menyusul keluarga Nona di San-hai-koan. Hal itu merupakan langkah ke dua. Langkah pertama sekarang bagaimana kita berempat, yaitu kami dan Nona, dapat meninggalkan kota raja tanpa halangan."

Mereka berempat bersiam diri, berpikir-pikir. Tiga orang pria itu t idak bisa mendapatkan ja lan terbaik, maka perhatian mereka tertuju kepada Kim Lan Hwa. Wanita ini mengerutkan alisnya dan jalan hilir mudik dalam ruangan yang luas itu.

Tiba-tiba pintu diketuk dari dalam. "Siapa?" tanya Kim Lan Hwa.

"Ha mba mengantarkan minuman, Hu-jin." terdengar suara

pelayan wanita.

"Baik, bawa masuk." kata Kim Lan Hwa.

Pintu terbuka dan seorang pelayan wanita setengah tua masu k me mbawa baki terisi seguci arak, empat buah cawan perak dan beberapa piring ma kanan kecil. Dengan sikap hormat pelayan itu meletak kan piring makanan dan guci serta cawan di atas meja, kemudian ia me mbungkuk me mberi hormat lalu meninggalkan ruangan ta mu itu.

"Mari, silakan makan dan minum arak untuk mengendurkan ketegangan, perlahan-lahan aku akan mencari akal." kata Kim Lan Hwa. Tanpa sungkan lagi tiga orang itu la lu minum arak dan makan hidangan kecil itu bersama nyonya rumah.

"Ah, aku tahu caranya!" tiba-tiba Kim Lan Hwa berseru dan Li Cu Seng me mandang dengan wajah berseri.

"Apa yang harus kami lakukan, Nona?"

"Begini, Li Beng-cu, kalian bertiga akan kucarikan pakaian perwira. Hal ini akan meng uatkan kepercayaan mereka bahwa kalian me mang perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi. Dan sebagai tiga orang perwira, kalian mengawa l aku keluar pintu gerbang kota raja."

"Hemm, gagasan yang baik sekali." kata Li Cu Seng, dia m- diam semakin kagum karena selain cantik jelita, wanita ini pun cerdik sekali. Tidak mengherankan kalau ia menjad i selir tersayang dari Bu Sam Kwi. Tiba-tiba timbul rasa ir i dalam hatinya terhadap Bu Sam Kwi!

"Akan tetapi, maafkan pertanyaanku, Nona. Bagaimana kalau mereka bertanya ke mana kita hendak pergi?" tanya Cu Kam.

"Tidak akan ada yang berani bertanya kepadaku. Aku naik kereta, Li Bengcu yang menjadi kusir dan kalian berdua mengawal kereta. Kalau ada yang berani bertanya, aku dapat menjawab sesuka hatiku, mungkin pergi berjalan-jalan, atau pergi berburu, atau bahkan aku dapat mengatakan bahwa aku akan menyusul suamiku di San-hai-koan. Siapa yang berani me larangku?"

"Kalau mereka tetap menghalangi?" tanya Li Cu Seng.

Kim Lan Hwa mengangkat kedua pundaknya dan menghela napas panjang. "Kalau sa mpai terjadi de mikian, aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tinggal terserah kalian bertiga."

"Kalau begitu, kita lawan mati- matian!" kata Giam Tit dan Gu Kam menyetujui pendapat ini. "Nona Kim, apakah engkau tidak dapat minta bantuan pasukan yang setia kepada Panglima Besar Bu Sam Kwi agar mereka me mperkuat pengawalan ketika Nona meninggalkan kota raja?"

Kim Lan Hwa meng geleng kepala. "Tidak bisa... kalau hal itu kulakukan, me mang ada perwira yang setia akan tetapi kalau pengawalan pasukan terjadi, hal   itu   tentu akan men imbulkan kecurigaan dan akan terjadi pertempuran besar yang akibatnya bahkan buruk bagi suamiku. Tidak, kurasa jalan tadi yang terbaik. Mudah- mudahan saja akal kita akan berhasil baik."

Kim Lan Hwa bekerja cepat. Ia menyuruh orang-orangnya untuk menyediakan pakaian perwira bagi Li Cu Seng, Gu Kam, dan Giam Tit. Tiga orang itu lalu mengenakan pakaian perwira di luar pakaian penyamaran mereka, sedangkan Kim Lan Hwa me mer intahkan pelayan pria untuk me mpers iapkan kereta yang ditarik dua ekor kuda, juga hendak menyediakan dua ekor kuda untuk Gu Kam dan Giam Tit. Akan tetapi Li Cu Seng berkata. "Tidak perlu disediakan kuda bagi mereka. Kami telah men inggalkan tiga ekor kuda kami di dalam hutan di luar pintu gerbang barat."

Kim Lan Hwa mengumpulkan perhiasan dan beberapa potong pakaian untuk dibawa pergi. Setelah se mua persiapan selesai, ia me mesan kepada para pelayan untuk men jaga rumah baik-baik karena ia akan pergi menyusul keluarganya ke San-hai-koan, dikawal tiga orang perwira pe mbantu Panglima Besar Bu Sam Kwi itu.

"Mari kita berangkat." katanya kepada tiga orang yang sudah berubah menjadi perwira-perwira berpakaian indah me mbuat mereka ta mpak gagah. "Hari telah siang jangan sampai kita ke malaman sebelum jauh dari kota raja."

Wanita itu me masuki kereta dan sengaja tidak menutup tirainya agar semua orang dapat melihat bahwa yang berada di dalam kereta adalah ia. Li Cu Seng yang berpakaian perwira gagah itu duduk di tempat kusir, me megang kendali kuda, dan Gu Kam bersama Giam Tit berjalan di belakang kereta sebagai pengawal. Maka berangkatlah kereta itu keluar dari halaman gedung tempat t inggal keluarga Panglima Besar Bu, diantarkan para pelayan sampai di depan pintu gerbang gedung itu.

-odwo0

Gadis itu sudah dewasa dan matang, usianya sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik dan lembut, namun sinar matanya terkadang sayu seperti orang yang menderita luka dan terkadang tajam lerkilat. Tubuhnya ramping padat, kulit- lya putih mulus kekuningan. Rambut hita m panjang lebat, dikuncir dua sehingga tampa k lucu. Hidungnya kecil man cung, dagunya runcing dan sebuah tahi lalat kecil di dagu me mbuat ia tampak manis sekali. Bibirnya merah basah namun sayang mulut yang manis itu jarang sekali tersenyum. Ia berjalan seorang diri di luar kota raja bagian barat. Karena ia tidak me mbawa senjata apa pun, maka tentu orang akan menyangka bahwa ia seorang gadis le mah, walaupun keadaannya berjalan seorang diri di tempat sepi itu mengheran kan bagi seorang gadis le mah.

Padahal, sesungguhnya gadis ini sa ma sekali bukan seorang wanita lemah. Bahkan ia seorang gadis yang amat lihai, dan pernah mengge mpar kan kota raja dengan perbuatannya yang mendir ikan bulu ro ma. Dan tahun yang lalu, gadis ini telah menga muk dan me mbuat putera seorang kepala jaksa di kota Thian-cin menjadi seorang yang cacat dan menger ikan karena wajahnya dirusak dan kaki tangannya menjad i buntung dan lumpuh. Putera jaksa itu bernama Pui Ki Cong dan bersama dia, dua orang ahli silat yang tangguh juga dibuat serupa dengan majikan mereka, menjadi cacat dan gila, tidak seperti manus ia lumrah lagi. Yang seorang lagi malah tewas membunuh diri. Gadis ini adalah Kim Cui Hong, puteri mend iang guru silat Kim Siok di dusun Ang-ke-bun. Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, ketika ia berusia enam belas tahun, seorang gadis remaja yang cantik, Kim Cui Hong diculik dan diperkosa bergantian oleh Pui Ki Cong bersama tiga orang tukang pukulnya, yaitu Gan Tek Un, Koo Cai Sun, dan Louw Ti. Bukan hanya perkosaan berulang oleh empat orang dan penghinaan   yang   diderita   Cui Hong, me lainkan lebih dari itu karena ayahnya, Kim Siok dan suhengnya, Can Lu San,   tewas   pula   ketika   hendak meno longnya. Mereka berdua tewas di tangan tiga orang jagoan anak buah Pui Ki Cong itu, tiga orang yang terkenal dengan julukan Bu-tek Sa m-eng (Tiga Pendekar Tanpa Tanding).

Setelah menderita ma lapetaka hebat itu, Cui Hong menjadi murid Toat-beng Hek- mo (Iblis Hita m Pencabut Nyawa), seorang datuk kang-ouw yang sakit dan ia digembleng sela ma tujuh tahun oleh gurunya itu, sehingga Cui Hong, yang tadinya me mang sudah pandai bersilat belajar dari ayahnya, kini menjadi seorang gadis yang luar biasa lihainya. Akan tetapi oleh gurunya itu yang setahun lalu telah meninggal dunia karena usianya yang sudah tua, Cui Hong disuruh berjanji bahwa   ilmunya tidak boleh dipergunakan untuk me mbunuh. Akan tetapi, saking demikian mendalam perasaan dendam dan bencinya kepada musuh-musuh itu, walaupun ia tidak me mbunuh mereka, namun ia menyiksa mereka dan me mbuat mereka dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak, lebih berat daripada kalau mereka mati. Bahkan seorang di antara Bu-tek Sam-eng, yang sudah bertaubat dan hidup sebagai seorang tosu pertapa, me mbunuh diri karena tidak ingin me lihat Cui Hong ber musuhan dengan keponakannya sendiri yang hendak melindunginya. Keponakannya itu bernama Tan Siong, murid Kun-lun-pai yang hidup sebagai seorang pendekar.

Sebetulnya Tan Siong jatuh cinta kepada Cui Hong, akan tetapi ketika Cui Hong karena hendak me mbalas dendam kepada Gan Tek Un yang sudah menjadi pertapa, yang dulu juga ikut me mperkosa dan menghinanya, Tan Siong me mbela pamannya dan menghalangi Cui Hong. Melihat ini, dan merasa menyesal akan dosanya, akan perbuatannya yang teramat keji terhadap Cui Hong tujuh tahun yang lalu, Gan Tek Un lalu me mbunuh diri sehingga tidak terjadi perkelahian antara Cui Hong dan Tan Siong.

Cui Hong melangkah santai sambil ter menung. Ia teringat akan Tan Siong. Setelah ia berhasil melaksanakan balas dendam sakit hatinya, Tan Siong menyatakan cintanya kepadanya. Ia menolak karena merasa dirinya sudah ternoda, diperkosa empat orang secara keji. Akhirnya ia meninggalkan Tan Siong walaupun pemuda itu mengaku tetap mencintanya walaupun ia sudah ternoda.

Cui Hong menghe la napas panjang. Selama dua tahun ini ia merantau di dunia kang-ouw (persilatan), bertindak sebagai seorang pendekar wanita yang membe la kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat seperti pesan ayahnya dahulu ketika ayahnya mengajarkan silat kepadanya. Dan selama dua tahun itu, banyak sudah laki-laki yang tertarik dan menyatakan cinta kepadanya, namun semua itu dito laknya dengan halus maupun dengan kasar sesuai dengan sikap laki- laki itu sendiri ketika menyatakan cintanya.

Harus diakuinya bahwa ia tidak dapat melupakan Tan Siong yang amat baik kepadanya, la tahu bahwa Tan Siong amat menc intanya, cinta yang tulus. Namun ia sendiri ragu. Ia sendiri tidak tahu apakah ia juga mencinta Tan Siong. Ia tidak tahu apakah ia masih dapat mencinta seorang laki- laki setelah hidup dan kebahagiannya dihancurkan e mpat orang laki-la ki itu.

Ketika pergolakan terjadi, yaitu adanya pemberontakan- pemberontakan terhadap Kerajaan Beng, terutama sekali yang digerakkan oleh pe mimpin pe mberontakan Li Cu Seng, Cui Hong tidak tahu harus berpihak mana. Ia sendiri sudah menga la mi hal pahit oleh ulah seorang kepala jaksa, yaitu Pembesar Jaksa Pui dan ia pun dalam perantauannya selama dua tahun serlngkall bertemu pembesar-pembesar lalim yang menekan rakyat, yang sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya, maka ada perasaan tidak suka kepada para pejabat pemerintah Kerajaan Beng yang pada umumnya tukang korup dan sewenang-wenang itu. Maka, ketika mendengar ada pemberontakan terhadap pemerintah Kerajaan Beng, ia pun tidak begitu mengacuhkan. Akan tetapi, ia pun me lihat betapa banyak pendekar berdatangan ke kota raja   memenuhi   undangan   Jenderal   Ciong   Kak   untuk me mbantu pe merintah me mperkuat kota raja menghadapi ancaman pe mberontak. Ia menjadi bimbang dan teringatlah Cui Hong kepada seorang saudara sepupunya.

Ayahnya, mendiang Kim Siok me mpunyai seorang kakak bernama Kim Tek dan uwanya itu me mpunyai seorang anak perempuan yang sebaya dengannya. Nama saudara sepupunya itu adalah Kim Lian Hwa. Ia mendengar bahwa enam tahun yang lalu Kim Lian Hwa dia mbil sebagai selir oleh seorang panglima besar Kerajaan Beng yang bernama Panglima Bu Sam Kwi dan yang kini terkenal sebagai panglima yang berkuasa me mimpin balatentara menjaga di San-hai- koan. la mendengar dari para pendekar bahwa Panglima Bu Sam Kwi adalah seorang Panglima baik dan setia, dan dikagumi oleh se mua tokoh dan para datuk dunia kang-ouw. Maka timbul keinginan hatinya untuk mengunjungi saudara sepupunya itu, dan ia tentu akan mendapat keterangan dan penggambaran jelas tentang pemberontakan yang dipimpin Li Cu Seng, nama yang juga dikagumi para pendekar dan kabarnya bahkan partai-partai persilatan besar mendukung gerakan Li Cu Seng ini. Maka pada siang hari itu, Kim Cui Hong berjalan santai seorang diri di luar kota raja sebelah barat.

Pada saat itu juga, kereta yang ditumpangi Kim Lan Hwa dikusiri Li Cu Seng dan dikawal Gu Kam dan Giam Tit. Ketika kereta melalui pintu gerbang, para perajurit penjaga tidak berani meng halangi me lihat kereta dikusiri dan dikawal tiga orang perwira. Apalagi ketika me lihat kereta yang terbuka tirainya itu ditu mpangi Kim Hujin yang dikenal se mua perajurit, mereka malah segera bersikap tegak dan me mberi hormat.

Kereta keluar dari pintu gerbang, mula- mula dijalankan perlahan karena dua orang itu men gawal dengan jalan kaki, akan tetapi setelah agak jauh dari pintu gerbang, Li Cu Seng menja lankan keretanya lebih cepat. Gu Kam dan Giam Tit meng ikut inya sambil berlari.

Ketika mereka tiba di dekat hutan di mana mereka men inggalkan kuda mereka, tiba-tiba muncul delapan orang menghadang di tengah jalan. Terpaksa Li Cu Seng menahan kuda penarik kereta, dan Kim Lian Hwa menjenguk dari kereta. Melihat delapan orang perwira berdiri menghadang dan ternyata mereka adalah tujuh orang yang tadi datang ke gedungnya ditambah seorang perwira tua lagi, Kim Lan Hwa berkata dengan suara tegas dan alis berkerut.

"Hei! Kalian ini perwira-perwira yang tidak tahu aturan! Berani sekali kalian menahan keretaku? Apakah kalian tidak mengenal aku, isteri Panglima Besar Bu Sam Kwi? Hayo minggir dan biarkan kami lewat, atau aku akan melaporkan kekurang-ajaran kalian kepada Panglima Besar Bu!"

"Maafkan kami, Toanio." kata Su Lok Bu yang me mimpin rombongan itu. "Tindakan kami ini justru untuk me lindungi Toanio, karena yang menyamar sebagai perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi ini adalah pemimpin pemberontak Li Cu Seng dan dua orang anak buahnya!"

Mendengar ini, wajah Kim Lan Hwa menjad i pucat dan ia jatuh terhenyak di atas kursi kereta, tidak ma mpu bicara lagi. Akan tetapi Li Cu Seng tetap tenang dan dari tempat duduknya di depan kereta dia berkata dengan lantang. "Sobat, engkau sungguh lancang sekali menuduh orangl Kami bertiga adalah perwira-perwira pe mbantu Panglima Besar Bu Sam Kwi, bagaimana kalian dapat menuduh kami pimpinan pe mberontak?"

Tiba-tiba perwira tua yang muncul bersa ma Su Lok Bu, Cia Kok Han, dan lima Liong-san Ngo-heng berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Li Cu Seng.

"Engkau adalah pemimpin pe mberontak Li Cu Seng! Aku pernah me lihat mu ketika aku ikut me mpertahankan Shen-si dari serbuanmu. Setelah Shen-si jatuh ke tangan pemberontak, aku bertugas di sini. Aku tidak lupa, engkaulah Li Cu Seng!"

"Bohong!" Kim Lan Hwa me mbentak. "Dia adalah Perwira Cu, pembantu suamiku Panglima Besar Bu Sam Kwi!"

"Maaf, Toanio. Terpaksa kami akan menangkap tiga orang ini dan kami bawa kepada Ciong Goan-swe (Jenderal Ciong) untuk ditelit i lebih dulu!" kata Su Lok Bu. jPerw'ra yang bertubuh tinggi besar berkulit hita m, ber mata lebar dan mukanya penuh brewokitu telah mencabut siang-kia m (sepasang pedang) dari pinggangnya. Cia Kok Han, perwira sebaya Su Lok Bu, berusia lima puluh dua tahun, bertubuh pendek gendut, berkulit putih dan matanya sipit, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, juga sudah mencabut sebatang golok besar yang berat. Su Lok Bu adalah seorang jagoan murid Siauw-lim-pai, sedangkan Cia Kok Han adalah seorang tokoh Bu tong pai tentu saja mereka berdua ini me miliki kepandaian tinggi. Lima orang Liong-san Ngo-heng juga mencabut pedang mereka. Tidak ketinggalan perwira tua yang mengenal Li Cu Seng itu pun mencabut pedangnya. ' Delapan orang itu siap untuk menyerang.

"Li Cu. Seng!" bentak Su Lok Bu sambil menudingkan pedang kanannya. "Menyerahlah kalian bertiga agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan!" Karena merasa percuma menyangkal karena perwira tua itu telah mengenalnya, Li Cu Seng me lo mpat turun dari atas kereta sambil me mberi isarat kepada dua orang pembantunya, mereka bertiga lalu merenggut lepas pakaian perwira yang mereka pakai menutupi pakaian mereka yang biasa, dan mencabut senjata masing-masing.

"Aku adalah Li Cu Seng! Kami bertiga pimpinan laskar rakyat dan tidak mudah untuk me nangkap kami!" kata Li Cu Seng. Sementara itu, Gu Kam dan C iam Tit sudah me masang kuda-kuda dengan golok di tangan kanan. Melihat sepasang kuda-kuda itu, Cia Kok Han berseru heran dan marah.

"Kalian   adalah    murid-murid    Bu-tong-pail    Sungguh me ma lukan murid Bu-tong-pai menjad i pe mberontak!"

"Hemm, kuda-kudamu adalah pembukaan ilmu golok Bu- tong-pai pula! Kami me mbantu para pejuang untuk meroboh kan kekuasaan kaisar lalim yang menjadi boneka para Thaika m. Engkau lebih me malukan merendah kan diri menjadi anjing para Thaikam yang korup dan jahat!" bentak Gu Ka m.

Mendengar ini, Cia Kok Han menjadi marah sekali dan dia sudah menggera kkan golok besarnya menyerang Gu Kam. Pembantu Li Cu Seng ini pun menya mbut dengan goloknya.

"Tranggg!" Bunga api berpijar ketika dua batang golok beradu dan mereka merasa betapa tangan mereka tergetar, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Mereka lalu saling serang dengan seru dan mati- mat ian.

Su Lok Bu juga sudah menggerakkan sepasang pedangnya menyerang Giam Tit yang cepat me mutar goloknya untuk menang kis dan balas menyerang. Kedua orang ini pun segera terlibat dalam perkelahian yang seru.

Liong-san Ngo-eng ketika men dengar bahwa laki-laki tinggi tegap yang tampan gagah itu adalah pimpinan pe mberontak Li Cu Seng, segera bergerak maju dan mengeroyok. Mereka mencabut pedang dan segera mengatur gerakan, lambat- la mbat mereka melangkah mengitari Li Cu Seng dengan berbagai kuda-kuda. Melihat gerakan mereka ini, Li Cu Seng waspada. Dia tahu bahwa lima orang itu me mbentu k sebuah kia m-tin (barisan pedang) yang berbahaya sekali. Cepat dia pun me mutar pedangnya dan berusaha membobol kepungan itu dengan menyerang orang yang berada di depannya, menusukkan pedangnya dengan pengerahan tenaga sakti.

"Tranggg...!" Bukan hanya pedang lawan yang dia serang itu yang menangkis, melainkan juga orang di sebelah kir inya sehingga ada dua pedang yang menangkis, lalu pada saat yang bersamaan, orang di sebelah kanannya menyerang dengan bacokan pedang sehingga Li Cu Seng harus cepat menge lak. Benarlah dugaannya. Lima orang itu me mbentuk barisan pedang yang luar biasa tangguhnya. Setelah saling serang beberapa lamanya, tahulah Li Cu Seng bahwa lima orang itu me mbentuk Ngo-heng Kia m-tin (Barisan Pedang Lima Unsur) yang amat berbahaya dan amat tangguh. Seperti juga unsur Ngo-heng, yaitu Air-Kayu-Api-Tanah-Logam, lima orang itu saling meng isi dan saling menghidupkan atau menunjang. Air menghidupkan Kayu, Kayu menghidupkan Api, Api menghidupkan Tanah, Tanah menghidupkan Logam dan Logam menghidupkan Air. Maka, setiap kali Li Cu Seng menyerang seorang lawan, ada orang lain yang bantu menang kis atau melindunginya dan orang lain pula menyerangnya. Semua ini dilakukan secara tertatur sekali sehingga pertahanan mereka a mat kuat, juga mereka dapat menyerang secara bertubi-tubi. Tak lama ke mudian Li Cu Seng menjad i kewalahan juga. Dia me mang seorang pe mimpin perjuangan yang gigih dan pandai, pandai mengatur pasukan, me mbentu k barisan-barisan yang kuat, namun ilmu silatnya tidaklah terlalu tinggi sehingga kini menghadapi Ngo-heng Kia m-tin dari Liong-san Ngo-eng, Li Cu Seng terdesak hebat.

Melihat betapa usaha mereka melarikan diri ketahuan dan kini tiga orang pimpinan pe mberontakitu dikeroyok, Kim Lan Hwa menjadi bingung. Ia hendak turun dari kereta dan me larikan diri, kembali ke kota raja. Akan tetapi tiba-tiba perwira tua itu sudah menghadang di luar kereta sambil menodongkan pedangnya

"Toanio terlibat dengan para pe mberontak, harap tidak men inggalkan kereta." katanya.

Kim Lan Hwa terpaksa duduk kembali. Kini, wanita bangsawan ini tidak dapat lagi menggunakan gertakan karena keadaan Li Cu Seng sudah ketahuan dan ini berarti bahwa ia me mpunyai hubungan dengan pimpinan pe mberontakan itu!

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik sudah berdiri dekat kereta.

"Enci Kim Lan   Hwa,   jangan   khawatir,   aku   datang me lindungimu!"

Kim Lan Hwa terbelalak me mandang gadis itu dan ia berseru girang. "Cui Hong!"

Perwira tua yang tadi menodongkan pedangnya,   kini me mba lik dan menyerang Cui Hong dengan pedangnya. Akan tetapi Cui Hong yang hanya memegang sebatang ranting, dengan mudah menge lak dan sekali ranting itu berkelebat, jalan darah di pundak perwira itu telah tertotok, sehingga lengan kanannya lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangan. Kaki kir i Cui Hong menendang.

"Bukk...!" Perut perwira itu tertendang sehingga tubuhnya terpental dan dia roboh pingsan!

"Adik Cui Hong, cepat engkau bantu mereka!" Kini Kim Lan Hwa menunjuk ke arah Li Cu Seng yang masih kerepotan dikeroyok lima orang itu. Sedangkan dua orang pembantunya, Gu Kam dan Giam Tit, juga masih bertanding seru dengan lawan masing-masing. Kim Lan Hwa tadi segera mengenal Kim Cui Hong, puteri pamannya. Ia sudah mendengar tentang nasib Cui Hong yang malang dan sudah me ndengar pula betapa kini Cui Hong menjadi seorang wanita yang tinggi sekali ilmu silatnya sehingga mereka yang menjadi musuh- musuhnya, yang membunuh ayah dan suhengnya, yang me mper kosa dan menghinanya, semua telah dihukumnya secara mengerikan. Karena yang disiksanya itu putera jaksa tinggi dan orang-orangnya, maka tentu saja Kim Cui Hong menjad i orang buruan pemerintah.  Tentu saja yang me mburunya adalah para penjahat yang menjadi kawan- kawan pe mbesar itu. Maka, kemunculan Cui Hong yang lihai itu menggirangkan hati Kim Lan Hwa.

Seperti kita ketahui, secara kebetulan pada siang hari itu Cui Hong sedang berjalan menuju kota raja untuk mengunjungi saudara sepupunya, yaitu Kim Lan Hwa. Sama sekali tidak disangkanya ia akan bertemu dengan wanita itu di dekat hutan. Melihat perkelahian itu, tadinya ia ragu karena ia tidak tahu akan urusannya. Akan tetapi ketika mengenali Su Lok Bu dan Cia Kok Han yang dulu pemah menjad i jagoan Tuan Muda Pui Ki Cong, ia t idak ragu lagi harus me mbantu pihak mana. Sudah pasti pihak dua orang bekas kaki tangan Pui Ki Cong itu yang tidak benar. Juga melihat Kim Lan Hwa yang duduk di kereta ditodong seorang perwira, ia cepat turun tangan me mbereskan perwira itu. Setelah Kim Lan Hwa minta kepadanya untuk me mbantu, Cui Hong kemba li meragu. Siapa yang harus dibantunya? Jangan-jangan dua orang bekas anak buah Pui Kongcu itu berada di pihak Kim Lan Hwa. Saudara sepupunya ini adalah isteri seorang panglima, ma ka tidak aneh kalau dua orang itu kini menjad i pengawalnya.

"Enci Lan Hwa, siapa yang harus kubantu? Perwira itukah?" tanyanya ragu.

"Bukan! Merekalah yang hendak menangkap a ku. Bantulah tiga orang pendekar itu!"

Pada saat itu, Su Lok Bu menge luarkan bunyi siulian nyaring dan bermuncul- lanlah dua losin perajurit! Tadinya, dia me mandar rendah tiga orang itu dan merasa yakin akan dapat menga lahkan mere ka. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan betapa lihainya mereka, dan melihat pula munculnya seorang gadis cantik me megang ranting yang me mbuat wajahnya pucat dan jantungnya berdebar, dia cepat me mber i isarat me manggil pasukannya yang tadi sudah siap menanti perintah ini. Su Lok Bu mengenal Kim Cui Hong! Juga Cia Kok Han mengenalnya sehingga dua orang ini menjadi jerih sekali karena mereka ma klum betapa lihainya gadis itu.

Cui Hong sudah menerjang dengan rantingnya. Ia melihat betapa seorang di antara tiga pendekar yang dikeroyokitu kewalahan menghadapi barisan pedang lima orang yang lihai. Ia menyerang dan karena ia menyerang dari luar kepungan, tentu saja yang diserangnya me mba lik untuk me mbela diri dan kepungan itu menjadi kacau. Melihat kehebatan gerakan ranting di tangan Cui Hong, dua orang dari lima anggauta kia m-tin itu terpaksa menghadapinya sehingga Li Cu Seng hanya dikeroyok oleh tiga orang. Tentu saja hal ini me mbuat dia tidak terdesak lagi.

Barisan pedang itu berusaha untuk me ma ncing Cui Hong ke dalam kepungan. Biarpu n ada dua orang, kalau keduanya dapat mereka kepung dalam barisan pedang mereka, tentu mereka berlima dapat mendesak dan mengalahkannya. Akan tetapi Cui Hong tidak dapat dipancing. Ia tetap saja bergerak di luar kepungan dan Li Seng bergerak di dalam kepungan.

Akan tetapi, tidak terlalu la ma Li Cu Seng dan Kim Cui Hong me mbuat lima orang Liong-san Ngo-eng terdesak karena Su Lok Bu telah men iup peluitnya dan dua losin perajurit itu datang menyerbu. Segera empat orang itu, Li Cu Seng, Kim Cui Hong, Cu Kam, dan Ciam Tit menghadapi pengeroyokan banyak orang. Tujuh jagoan ditambah dua puluh e mpat orang perajurit. Orang yang tadi dirobohkan Cui Hong mas ih belum dapat ikut mengeroyok.

Melihat e mpat orang itu dikeroyok de mikian banyak perajurit, Kim Lan Hwa menjad i khawatir sekali. Kalau mereka itu roboh, ia sendiri tentu akan ditangkap dan dituduh bersekutu dengan para pimpinan pe mberontak!

Sementara itu, Su Lok Bu dan Cia Kok Han, dibantu belasan orang perajurit, sudah mengepung Cui Hong.

"Kim Cui Hong iblis betina! Sekarang engkau akan menebus semua dosa kekejamanmu dulu!" bentak Su Lok Bu. "Engkau ikut men jadi seorang pemberontak!"

Cui Hong mengelebatkan rantingnya. "Huh, kiranya engkau anjing-anjing penjilat pe mbesar korup dan laknat, sampai sekarang tetap saja menjadi anjing penjilat!"

Empat orang itu tentu saja terdesak hebat karena dikeroyok terlalu banyak orang. Memang mereka masing- masing sudah meroboh kan dua orang pengeroyok, namun pihak musuh terlalu banyak sehingga keselamatan mereka terancam dan gawat sekali. Selain untuk me larikan diri tidak mungkin karena mereka dikepung banyak orang, juga bukan watak Li Cu Seng untuk lari men inggalkan kawan-kawannya. Dia pun bertanggung jawab atas keselamatan Kini Lan Hwa karena bagaimanapun juga, wanita selir Panglima Bu Sam Kwi itu sudah berjasa menolong dia bertiga keluar dari kota raja. Kalau kini dia dan dua orang anak buahnya melarikan diri men inggalkan Kim Lan Hwa dan gadis perkasa yang kini me mbantu mere ka, dunia akan mence moohkan na ma mereka sebagai pengecut-pengecut yang tidak mengenal budi! Lebih baik mati daripada dianggap pengecut.

O 0 dw0 O
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar