Sakit Hati Seorang Wanita Jilid 06

Jilid 06

"TIDAK.... jangan..,, ah, ampunkan mereka.... bunuh aku tapi jangan ganggu mereka. "

"Hemm, enak saja bicara! Aku pun tidak sekejam engkau untuk melakukan se mua itu di depan mata mu, akan tetapi setidaknya engkau akan me ndengarkan sendiri dengan kedua telinga mu." Cui Hong lalu me megang kedua orang anak kecil itu. Dua orang anak itu meronta dan memanggil-manggil ayahnya, akan tetapi Cui Hong menarik tangan mereka, bahkan kini dibantu oleh isteri Louw Ti yang sejak tadi diam saja, hanya menitikkan air mata. Dengan paksa kedua orang anak itu diseret masuk ke dalam kamar yang tidak jauh dari ruangan itu.

"Jangan....! Jangaaaannn....!" Louw Ti meratap, mer intih dan berteriak. Akan tetapi semua Tatapannya tidak ada yang me mperdulikannya. Akhirnya dia diam dan dengan mata terbelalak me mandang ke arah kamar itu yang pintunya ditutup dari dala m, lalu terdengar isterinya menangis dan terdengar pula anak-anaknya menjer it dan menangis ketakutan! Dapat dibayangkan siksaan yang diderita batin Louw Ti di saat itu. Dia membayangkan betapa isterinya diperkosa orang sa mpai merintih-ritih dan  menang is, me mbayangkan kedua anaknya disiksa dan dibunuh sa mpai menjer it-jerit ketakutan,

"Jangan....! Ah, ampunkan mereka..... jangan....!" Dia berteriak-teriak akan tetapi teriakannya semakin le mah karena dia menga la mi guncangan batin yang amat hebat. Membayangkan isterinya diperkosa orang dan anak-anaknya disiksa, tanpa ma mpu berbuat apa pun untuk me nyelamatkan mereka, sungguh mer upakan siksaan yang lebih hebat daripada siksaan badan. Akhirnya dia menangis mengguguk seperti anak kecil.

Kini sunyi saja dari kamar itu. Tangis isterinya dan jerit anak-anaknya sudah berhenti.

“Jangan-jangan mereka sudah mati...., pikir Louw Ti dan tangisnya makin mengguguk.

Ketika daun pintu itu terbuka, Louw Ti menghent ikan tangisnya, mengedip-nged ipkan matanya untuk mengusir air mata yang menghalangi pandang matanya, lalu me mandang dengan melotot ke arah orang berkedok itu, yang keluar dari kamar dengan langkah seenaknya. Diakah yang memper kosa isteriku? Ataukah ada kawan-kawannya? Tentu dia yang telah me mbunuh anak-anakku. Sa mpai mati dia tidak akan me lupakan ini. Dia harus mengena l orang ini agar kelak, kalau ada kesempatan, dia akan me mba las denda m!

"Binatang she Louw, sudah puaskah hatimu mendengar isterimu diperkosa orang dan anak-anakmu disiksa? Aku menyerahkan   isterimu   kepada   orang-orang   ku   agar diper mainkan secara bergilir sampai ma mpus, dan juga me mbunuh anak-anakmu di luar dusun. Akan tetapi aku masih belum selesai dengan dirimu."

Louw Ti yang merasa berduka, marah dan penuh kebencian itu kini sudah nekat dan lupa akan rasa takut. "Jahanam! Iblis keji! Siapakah engkau? Jangan menjad i pengecut dan perlihatkan muka mu kepada ku!"

Tiba-tiba dari balik kedok itu terdengar suara ketawa halus dan disusul suara merdu seorang wanita, berbeda dengan suara si kedok hitam tadi yang seperti suara pria.

"Tentu saja engkau akan mengenal aku." Dan orang itu lalu me mbuka kedoknya dan sepasang mata Louw Ti terbelalak lebar dan penuh keheranan ketika dia me lihat bahwa muka di balik kedok itu adalah wajah cantik dari nona bangsawan tadi! Kini mengertilah dia. Si kedok hita m itu bukan la in adalah nona bangsawan itu pula. Seorang wanita! Dan demikian lihainya, dan demikian penuh dendam kepadanya sehingga mengatur siasat yang sudah direncanakan dengan rapi untuk menghancurkannya!

"Kau....!!" Dia berseru dan habislah harapannya. Bagaimana wanita ini tidak akan berlaku kejam kepadanya? Baru saja dia hendak me mbunuhnya, bahkan   hendak me mper kosanya!

"Ya, akulah si kedok hitam yang mengganggu para hartawan yang kaulindungi itu. Aku pula yang mera mpas harta pusaka yang dititipkan oleh nona bangsawan yang juga aku sendiri orangnya. Aku telah me ngatur se mua ini untuk menjatuhkan mu, untuk menghancurkan mu, Louw Ti!"

"Tapi.... tapi..... mengapa engkau lakukan semua ini kepadaku? Siapakah engkau? Siapa nama mu?"

"Hemm, buka matamu lebar- lebar dan lihat siapakah diriku, Louw Ti." Kim Cui Hong lalu menghapus bedak yang menutupi tahi lalat di dagunya. Ia memang menyembunyikan tahi la lat itu, satu-satunya ciri pada mukanya, agar tidak dikenal oleh musuh-musuhnya sebelum saatnya tiba. "Buka matamu dan lihatlah baik-baik siapa aku!" Wanita itu mendekatkan mukanya dan sepasang matanya mencorong, penuh dengan api denda m.

"Aku.... aku tidak mengenalmu...." kata Louw Ti ragu-ragu. Memang kembali perasaan bahwa dia telah mengenal wanita ini timbul, akan tetapi dia tetap saja tidak dapat mengingatnya siapa wanita ini. "Siapakah engkau. ?"

Bibir yang merah basah dan indah bentuknya itu tersenyum. "Agaknya terlalu banyak sudah engkau menyiksa orang sehingga tidak dapat kauingat kembali satu-satu. Nama ku adalah Kim Cui Hong. Ingatkah engkau akan na ma itu?"

Louw Ti menggeleng kepalanya. "Tidak, aku tidak kenal   "

Memang, waktu yang tujuh tahun lamanya itu telah terisi dengan pengalaman yang banyak sekali sehingga sukar baginya meng ingat gadis ini yang sudah la ma sekali dianggapnya mati dan tidak ada lagi di dunia ini, apa pula dengan kepandaian selihai itu!

"Jahanam keparat, kenal atau tidak, engkau akan menerima pe mbalasanku!" tiba-tiba dengan hati mendongkol sekali Cui Hong menggerakkan ca mbuk ra mpasannya tadi. Terdengar bunyi me ledak dua kali dan ujung ca mbuk sudah me matuk dan menotok, me mbebaskan Louw Ti. Orang ini lalu menggerakkan kaki tangannya dan   bangkit.   Cui   Hong me le mparkan ca mbuk itu kepada pe miliknya.

"Aku tidak mau menyerang orang yang tak berdaya. Nah, pergunakan senjatamu, dan pertahankan nyawamu!"

Hati Louw Ti merasa gentar sekali. Baru se karang dia tahu apa artinya takut. Akan tetapi, dia teringat akan isteri dan dua orang anaknya. Mungkin dua orang anaknya telah tewas dan isterinya.. ... dia menelan ludah, isterinya telah diperkosa orang-orang secara bergantian, mungkin sudah mendekati maut lagi.

Perempuan ini me mbalas denda m? Apakah dia pernah me mbunuh anak-anak pere mpuan ini? Rasanya tak mungkin karena ia masih begitu muda. Kalau begitu, me mperkosanya? Memperkosanya secara bergantian? Banyak sudah perempuan yang pernah diperkosanya ketika dia mas ih menjadi jagoan dan tukang pukul, dan dia tidak ingat lagi pernah memper kosa gadis cantik ini. Isteri dan anak-anaknya sudah tewas, dia sudah jatuh miskin. Dia tidak me miliki apa-apa lagi. Pikiran ini mengusir rasa takutnya, bahkan mendatangkan kemarahannya dan tekad untuk melawan mati- matian, untuk sedapat mungkin me mbunuh wanita yang telah membuatnya sengsara ini.

"Baik, kita mengadu nyawa!" bentaknya marah. Dia menya mbar cambuknya dan dengan gerengan seperti seekor singa terluka, dia pun menyerang Cui Hong dengan cambuknya. Cambuk itu me ledak-ledak di atas kepalanya ketika diputar cepat dan meluncurlah cambuk itu turun ke arah kepala Cui Hong. Dalam keadaan nekad dan marah itu, Louw Ti yang me mang lihai sekali menjad i semakin berbahaya. Dia nekad dan bernapsu sekali untuk me mbunuh lawan tanpa me mperdulikan keselamatan dirinya sendiri. Dalam ilmu silat yang dipergunakan untuk berkelahi, seorang ahli silat hanya mengerahkan setengah bagian dari tenaga dan kepandaiannya untuk melakukan penyerangan, sedangkan setengahnya lagi untuk melindungi diri. Akan tetapi dalam keadaan nekad, Louw Ti mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya untuk menyerang tanpa me mperdulikan pertahanan atau perlindungan diri, oleh karena itu serangan- serangannya amatlah dahsyat.

Namun, pada waktu itu, tingkat Kepandaian Cui Hong sudah lebih tinggi dari tingkat kepandaian lawan. Gadis ini menang dalam segalanya. Menang tinggi ilmu silatnya, menang dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan menang pula dalam kekuatan sinkang (tenaga sakti). Maka, biarpun ia hanya bertangan kosong menghadapi ca mbuk yang diputar dengan cepat dan kuat itu, ia masih tenang saja dan menganda lkan ginkangnya untuk menyelinap di antara gulungan sinar ca mbuk yang tak pernah berhasil menyentuh tubuhnya.

Sebaliknya, di dalam hati Cui Hong juga terjadi kebakaran! Api dendam dan kebencian menyala-nyala di dalam dadanya. Sambil meng imbangi kecepatan gerakan cambuk yang me ledak-ledak, Cui Hong me mbayangkan peristiwa yang terjadi tujuh tahun lebih yang lalu. Masih nampak jelas di depan matanya ketika dia diperkosa oleh musuh-musuhnya, dan pada saat itu, selagi berhadapan dengan Louw Ti, yang terbayang adalah ketika Louw Ti me mperkosanya dengan buas.

Laki- laki bertubuh pendek tegap yang ber muka hita m ini, dahulu ketika me mperkosanya, kelihatan a mat mena kutkan. Matanya yang lebar melotot merah dan Cui Hong yang ketika tiba giliran Louw Ti me mperkosanya sudah lemah dan dalam keadaan setengah pingsan, merasa seolah-olah ia menjadi seekor domba yang dicabik-cabik dan di lahap seekor harimau buas. Hatinya kini merasa sakit bukan ma in dan kalau saja ia tidak teringat akan sumpahnya kepada gurunya, tentu akan dibunuhnya orang ini. "Tidak, aku tidak boleh me mbunuhnya ...." katanya kecewa di dalam hatinya dan ia pun mene kan kemarahannya agar jangan sampai kelepasan tangan me mbunuh lawan ini, kalau ia mau tentu pada saat itu ia akan mampu me mbunuh Louw Ti. Akan tetapi, kemba li peristiwa yang lalu me mbayang di depan matanya, kini dilihatnya bayangan ayahnya dan suhengnya yang disiksa sa mpa i mati oleh tiga orang jagoan itu, ialah Louw Ti, Koo Cai Sun, dan Gan Tek Un.

"Wuuuuttt....!" Kaki kir i Cui Hong menyambar dahsyat, dengan kecepatan yang tak dapat diikuti oleh kecepatan gerakan Louw Ti.

"Krekk....!" Louw Ti menjerit karena tendangan dahsyat yang dilepaskan Cui Hong dengan kemarahan meluap-luap ini tepat mengenai pergelangan tangan kanannya sehingga tulangnya patah dan kembali ca mbuknya sudah pindah ke tangan wanita cantik itu.

"Tar.... tar....!" Cui Hong mengayun cambuk itu di atas kepala dengan sikap me nganca m.

Louw Ti menahan rasa nyeri di lengan kanannya, lalu dengan nekad dia menubruk ma ju, menggunakan tangan kirinya yang membentuk cakar, menceng keram ke arah dada Cui Hong. Sebagai seorang jagoan berilmu t inggi, biar lengan kanannya sudah patah tulangnya dan tak dapat dipergunakan lagi, dia mas ih berbahaya.

"Wuuuuttt.... tarrr.... singgg....!" Cambuk di tangan Cui Hong menyambar seperti kilat cepatnya, dengan amat kuat menya mbut tangan kiri Louw Ti yang menceng keram itu dan samping. Nampak sinar berkilat saking cepatnya cambuk itu menya mbar.

"Crokkk....!" Untuk kedua kalinya Louw Ti menjerit dan dia me mandang terbelalak kepada lengan kir inya yang kini buntung karena ca mbuk itu me mbabat lengannya seperti sebatang pedang saja. Tangan kirinya putus sebatas pergelangan tangan dan terlempar jauh, dan dari lengan yang buntung itu bercucuran darah!

Kini kedua tangan Louw Ti tak dapat dipergunakan lagi, yang kanan telah patah tulang lengannya yang kiri buntung. Hal ini me mbuat Louw Ti menjad i semakin nekad. Dia maklum bahwa dia takkan ma mpu menand ingi gadis itu, ma ka dia tak takut lagi menghadapi kematian, apalagi kalau dia teringat bahwa isteri dan dua orang anaknya tentu akhirnya akan mati pula. Maka biarpun kedua tangannya sudah tak dapat dipergunakannya lagi, dia mas ih belum ma u menyerah.

"Perempuan iblis kejam!" bentaknya sambil menyerang dengan tendangan bertubi-tubi, menggunakan kedua kakinya bergantian.

Cui Hong mengelak ke sana-sini, me mper ma inkan. "Louw Ti jahanam busuk, orang macam engkau masih dapat me ma ki orang lain keja m?"

Melihat kenekatan lawan, Cui Hong kembali mengayun cambuknya yang meluncur ke depan.

"Tarrr....!" Louw Ti mengeluh dan meng gerakkan kedua lengan yang sudah tak berdaya itu ke arah mukanya. Mata kirinya pecah oleh ujung ca mbuk dan berdarah.

Ketika lengan kirinya yang buntung bercucuran darah itu digerakkan untuk menutup mukanya, muka itu pun berlumuran darah yang keluar dari mata kir inya dan dari lengan kiri yang buntung. Mengerikan sekali keadaan Louw Ti di saat itu, namun dia me miliki tubuh yang kuat. Biarpun kedua lengan sudah tak berdaya dan mata kirinya sudah menjad i buta, dia mas ih maj u lagi dengan ganasnya, menyerang dengan tendangan-tendangan me mbab i buta.

Kembali ca mbuk itu meleda k-ledak dan tubuh Louw Ti kini roboh terpelanting karena kedua kakinya tak dapat dipakai untuk berdiri lagi. Tulang kering kaki kir inya patah-patah dan sambungan lutut kaki kanannya terlepas. Dia tidak berdaya lagi, hanya rebah sambil me mandang wanita itu dengan mata kanan yang melotot. Mukanya penuh darah dan mulutnya menge luarkan busa saking marahnya.

"Iblis betina, bunuhlah, aku tidak takut mati!" bentaknya penuh gera m.

Cui Hong sudah merasa puas dengan pembalasan dendamnya dan ia tersenyum sambil mengge leng kepala, me mandang dengan sinar mata mengejek. "Aku t idak akan me mbunuhmu, aku ingin me lihat engkau menyesali hidup dan menyesali dosa mu yang terkutuk!"

"Perempuan iblis! Dosa apakah yang telah kulakukan kepadamu maka engkau berlaku sekejam ini, bahkan telah menyiksa dan me mbunuh isteri dan anak-anakku yang sama sekali tidak berdosa? Katakanlah agar aku tidak mati penasaran!"

"Me mang matamu buta sehingga engkau tidak mengenal aku, Louw Ti. Ingin aku me mbutakan kedua mata mu, akan tetapi biarlah kutinggalkan sebuah agar engkau dapat melihat akibat dari perbuatanmu yang terkutuk. Na ma ku Kim Cui Hong tidak kauingat lagi, akan tetapi agaknya engkau tidak akan lupa kepada gadis puteri guru silat Kim di Dusun Ang-ke-bun itu, ketika si jahanam Pui Ki Cong dibantu oleh Thian-cin Bu- tek Sam-eng me mbunuh guru silat Kim bersama seorang muridnya, kemudian mereka bere mpat itu secara biadab me mper kosa dan menghina puteri guru silat Kim dan me mbuangnya di dalam hutan? Akulah puteri guru silat Kim itu!"

Mata tunggal itu terbelalak, muka yang sudah pucat itu menjad i semakin pucat. Kini teringatlah Louw Ti. "Kau....

kau.... gadis itu.... benar.... tahi lalat di dagumu itu....

ahhhh....!" Louw Ti me meja mkan matanya yang tinggal sebuah seperti hendak mengusir peristiwa tujuh tahun yang lalu, yang kini kemba li terbayang di dalam benaknya. Tentu saja dia teringat karena dia pun ikut pula me mperkosa gadis yang sudah hampir mati itu, me mperkosanya setelah gadis itu oleh Pui Ki Cong dihadiahkan kepada mereka bertiga, dia sendiri, Koo Cai Sun, dan Gan Tek Un, dipelopori oleh Koo Cai Sun yang me mang suka sekali me mper mainkan wanita cantik.    Pantas   saja   gadis   ini   menyuruh   orang-orang me mper kosa isterinya sampai mati, kemudian menyuruh orang-orang menyiksa kedua anaknya sampai mati. Kiranya gadis yang mereka lempar dan tinggalkan di dalam hutan itu masih belum mati dan kini telah menjadi seorang wanita yang me miliki ilmu kepandaian tinggi bukan main!

"Kau.... kau.... menjadi iblis betina yang kejam. Aku hanya me musuhi engkau, akan tetapi kenapa engkau me mba las kepada anak isteriku pula yang tidak tahu apa-apa? Siksalah aku, bunuhlah aku, akan tetapi kenapa engkau menyiksa mereka? "

Cui Hong tersenyum mengejek. "Manusia berhati b inatang! Engkau lupa betapa kalian telah menyiksa dan me mbunuh ayahku dan suheng, juga tunanganku. Akan tetapi aku tidaklah serendah dan sekejam engkau." Cui Hong   lalu me lo mpat ke pintu dan me mbuka daun pintu tembusan itu. Keluarlah seorang wanita dan dua orang anak yang tadi dibawa ke dalam. Isteri Louw Ti itu masih berpakaian biasa, dan sama sekali tidak men unjukkan tanda-tanda bahwa ia telah diperkosa orang! Dan dua orang anak-anak itupun dalam keadaan sehat-sehat saja, sama sekali tidak menderita cidera. Melihat Louw Ti rebah dengan berlumuran darah, isterinya dan kedua orang anaknya lalu lar i mengha mpiri dan menang isinya.

Melihat mere ka, Cui Hong merasa kasihan pula dan ia pun berkata, suaranya tenang dan jelas terdengar oleh isteri Louw Ti. "Seperti sudah kuceritakan kepadamu, Enci, suamimu ini telah melakukan dosa yang tak dapat diampuni terhadap diriku dan ayahku, juga tunanganku. Dia dan komplotannya tidak saja menyiksa dan me mbunuh ayah dan tunanganku yang sama sekali tidak berdosa, bahkan dia dan komplotannya itu me mperkosa aku di depan mata ayah dan tunanganku sebelum me mbunuh mereka. Dia dan komplotannya telah me mper kosa aku bergantian sela ma beberapa hari, kemudian karena mereka mengira aku mati mereka melempar aku ke dalam hutan dan men inggalkan aku. Aku sudah puas sekarang, memba las dendam kepadanya akan tetapi aku tidak me mbunuhnya."

Diingatkan akan perbuatan suaminya yang sudah didengarnya dari Cui Hong, isteri Louw Ti berhenti menangis dan kini ia me mandang wajah suaminya yang berlumuran darah. Di bawah ancaman Cui Hong, juga karena sudah mendengar penuturan gadis itu, ia tadi me mbantu Cui Hong dengan merintih dan menang is seperti orang diperkosa, dan anak-anaknya ditakut-takuti sehingga mereka pun menangis dan berteriak-teriak.

"Benarkah se mua yang diceritakan itu? Benarkah engkau dahulu me lakukan i se mua perbuatan terkutuk itu?" tanyanya sambil bangkit berdiri.

Louw Ti tak dapat menyangkal lagi. Tiada gunanya menyangkal. Dengan mata tunggalnya yang berkedip-kedip dia me mandang anak isterinya seorang demi seorang, lalu berkata dengan suara lirih dan parau, "Benar. semua

benar. "

Jawaban ini seperti me mukul isterinya. Wanita itu cepat meraih dan me megang tangan kedua anaknya, ditariknya menjauh dari tubuh yang rusak itu seolah-olah takut kalau- kalau mereka akan ikut menjadi kotor. "Engkau me mang manus ia biadab! Aku sendiri pun dulu kau paksa menjadi isterimu, dengan menggunakan pengaruh uangmu dan kepandaian mu. ayahku takut meno lak dan aku terpaksa menjad i isterimu. Aku berusaha untuk menyesuaikan diri, belajar mencinta ayah dari anak-anakku, akan tetapi....

kiranya engkau pernah melakukan hai yang sedemikian kejinya. Terkutuk kau! Aku tidak sudi menjad i isterimu lagi, aku tidak sudi melihat muka mu lagi!" Wanita itu menang is dan me mba likkan diri, me mbelakang i suaminya.

Cui Hong menyerahkan sebuah bungkusan kepada wanita itu. "Enci, terimalah uang ini untuk bekal hidupmu bersama anak-anakmu."

Isteri Louw Ti menerima bungkusan itu yang berisi uang yang harganya seratus tail e mas lebih, yaitu uang yang diterima Cui Hong dari Louw Ti sebagai uang tanggungan, hasil penggadaian rumah dan seisinya. Isteri Louw Ti menerima uang itu la lu mengajak pergi kedua orang anaknya, untuk pulang ke rumah orang tuanya dan selamanya tidak akan mau lagi bertemu dengan bekas suaminya itu.

Melihat isteri dan anak-anaknya meninggalkannya, Louw Ti merasa gelisah bukan main. Dia sudah kehilangan segala- galanya, rumahnya dan seisi rumah, juga tubuhnya sudah cacat. Kalau sekarang isteri dan kedua orang anaknya men inggalkannya,  bagaimana  dia  dapat  hidup? Dia me manggil- ma nggil, meratap dan menangis, akan tetapi isteri dan anak-anaknya tidak memperdulikannya lagi sampai lenyap ke luar rumah.

Cui Hong me mandang dengan sinar mata penuh ejekan. "Nah, baru sekarang engkau merasakan akibat dari perbuatanmu terhadap diriku tujuh tahun yang lalu. Rumah ini hanya kusewa dari orang. Selamat tinggal, Louw Til" Cui Hong lalu me loncat keluar.

Louw Ti kini menjerit-jerit dan menang is, akan tetapi tak la ma kemudian terdengar dia tertawa bergelak, lalu menangis lagi. Kiranya pukulan batin lebih hebat daripada pukulan lahir baginya dan dia telah menjadi gila secara mendadak!

Sesal kemudian me mang tiada gunanya sa ma sekali. Penyesalan tidak akan mengubah seseorang dari wataknya yang sesat, karena penyesalan biasanya datang setelah akibat perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi dirinya, kerugian lahir maupun batin. Jadi yang disesalkan bukanlah perbuatan pesatnya, melainkan akibatnya yang merugikan. Andaikata tidak ada akibat yang merugikan, penyesalan pun tidak akan ada, dan biasanya, kalau akibat yang merug ikan itu sudah mereda dan t idak begitu terasa lagi, maka pengulangan perbuatan sesat itupun terjadilah! Yang penting bukan penyesalan, melainkan penga matan setiap detik terhadap diri sendiri, setiap detik pada penga matan apa yang kita pikirkan, ucapkan, lakukan.

Pengamatan diri sendiri ini harus terjadi tanpa adanya "aku" yang menga mati, karena kalau terdapat sang aku, tentu pengamatan ini akan menilai dan pengamatan itu pun akan menjad i miring dengan adanya pendapat-pendapat baik dan buruk, benar dan salah. Padahal, setiap penilaian adalah palsu karena si penilai tentu akan mendasari setiap penilaian dengan perhitungan untung rugi bagi diri sendiri. Jadi, tidak ada "aku" yang menga mati, me lainkan yang ada hanyalah pengamatan itu saja, perhatian sepenuhnya tanpa penilaian dari sang aku. Pengamatan inilah yang akan mengubah! Perubahan seketika pada saat itu juga, tanpa penyesalan, tanpa pamrih.

0odwo0

Laki- laki itu berusia empat puluh tahun lebih. Mukanya yang bulat bersih tidak ada kumis atau jenggotnya selembar pun juga, agak putih dan mata itu bergerak-gerak lincah, mulutnya selalu tersenyum mengejek, akan tetapi seketika menjad i senyum ra mah kalau ada wanita lewat berpapasan dengannya. Perutnya gendut dan pakaiannya serba mewah dan dari sutera mahal. Mukanya masih dibikin lebih putih dengan olesan bedak tipis, dan pakaiannya mengeluarkan bau wangi sekali, seolah-olah sebotol minyak wangi telah tumpah dan menyira m pakaiannya.

Biarpun dia kelihatan seperti seorang laki- laki hidung belang tukang pelesir, dengan sinar mata me mbayangkan kecabulan dan mata keranjang, namun pria ini bukan seorang biasa, bukan sembarang orang. Dia adalah seorang jagoan yang me miliki ilmu silat tinggi! Dialah Koo Cai Sun, dan. seperti pembaca tentu masih ingat, Koo Cai Sun merupakan seorang di antara Thian-cin Bu-tek Sa m-eng atau Tiga Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin! Dialah seorang di antara tiga jagoan yang pernah me mbantu Pui Ki Cong, me mbunuh Kim- kauwsu dan Can Lu San, muridnya, dan me merkosa Cui Hong. Bahkan dalam perbuatan me mperkosa Cui Hong, dialah yang menjad i pelopornya, karena di antara tiga orang jagoan itu, dialah yang berwatak paling mata keranjang dan suka sekali me mper ma inkan  wanita  cantik,  baik  secara  halus me mperguna kan pengaruh uang dan kepandaiannya, namun juga secara kasar dengan jalan mengancam dan me mperkosa. Dan sela ma ini tidak ada orang berani menentangnya, karena selain dia sendiri lihai, juga se mua buaya darat dan kaum penjahat adalah sahabat baiknya!

Seperti juga Louw Ti, Koo Cai Sun tinggal di kota raja. Akan tetapi di antara mereka berdua jarang mengadakan perhubungan karena pekerjaan mereka me mang berbeda. Louw Ti me mpergunakan pengaruhnya untuk "melindungi" para hartawan dengan imbalan jasa, juga kadang-kadang me lindungi pengiriman barang-barang berharga dengan upah tinggi.

Adapun Koo Cai Sun yang tinggal di tengah kota, me mbuka sebuah toko yang berdagang macam- maca m senjata kuno yang dianggap sebagai pusaka-pusaka yang ampuh. Tokonya terkenal sekali dan dia me mpero leh banyak keuntungan, menjad i kaya raya. Para pembesar di kota raja mengenalnya karena para pembesar itu suka me mbe li benda-benda kuno yang dianggap keramat dan bertuah, dan dalam hal mencarikan senjata-senjata kuno yang ampuh untuk para pembesar itu, Cai Sun a mat pintar. Sejak dulu Cai Sun berwatak mata keranjang, tak boleh me lihat wanita cantik. Mudah saja dia tergila-gila kalau melihat wanita cantik, dan celakanya, kalau dia sudah tertarik, tidak perduli wanita itu masih perawan, ataukah sudah janda, bahkan isteri orang, akan diusahakan agar jatuh ke dalam pelukannya. Dan setelah kini men jadi kaya-raya, kegemarannya akan paras cantik ini makin me njadi, sehingga terkenallah nama Koo Cai Sun sebagai seorang hartawan yang mata keranjang. Di dalam rumahnya, dia telah me mpunyai seorang isteri dan tiga orang anak, dan di sa mping isterinya yang dianggapnya sudah tua, masih ada lagi e mpat orang isteri muda di dalam rumahnya. Namun, lima orang isteri di rumah ini mas ih belum cukup bagi Cai Sun. Dia masih berkeliaran ke luar rumah, mencari-cari mangsa baru dan setiap kali mendengar ada janda cantik tentu akan didatangi dan digodanya sampai dapat. Di sa mping itu, dia pun menjadi langganan rumah-ru mah pelacuran yang paling terkenal di kota raja.

Pada suatu hari, pagi-pagi pada saat matahari mulai naik, Koo Cai Sun meninggalkan sebuah rumah yang terletak di dekat sebuah jembatan. Rumah itu te mpat tinggal seorang janda yang terpikat pula oleh rayuan Koo Cai Sun, seorang janda yang tidak muda lagi sudah empat puluh tahun lebih usianya, akan tetapi masih sexy dan genit. Cai Sun yang mata keranjang dan rakus akan wanita ini tidak me lewatkan janda itu sehingga terjadilah hubungan di antara mereka, hubungan gelap tanpa menghirau kan kritik yang dilontarkan oleh anak- anak janda itu yang besar-besar, bahkan janda itu sudah me mpunyai beberapa orang cucu! Tanpa mengenal malu, Cai Sun keluar dari rumah itu dalam keadaan yang agak kusut dan lesu, tidak seperti biasa dia selalu necis dan pesolek.

Ketika dia tiba di je mbatan itu, sesosok tubuh yang mengge letak di tepi jalan menarik perhatiannya. Bagi orang lain yang lewat di situ, tubuh yang menggeletak itu tidak diperdulikan, bahkan dengan jijik mereka me mbuang muka agar jangan terlalu lama me man dang keadaan orang yang menger ikan itu. Keadaan laki- laki yang oleh umum dianggap sebagai seorang gelandangan yang terlantar ini me mang menger ikan sekali. Tangan kirinya buntung dan ujung lengan sebatas pergelangan itu dibalut kain yang mulai kotor. Tercium bau yang busuk dan banyak lalat merubung balutan tangan buntung itu. Agaknya kedua kaki orang itu pun cacat karena ia mengge letak setengah rebah di tepi jembatan. Matanya yang kiri juga buta, biji matanya tidak ada dan pelupuknya mas ih me mperlihatkan luka borok. Rambutnya awut-awutan dan pakaiannya co mpang-ca mping lagi kotor.

Akan tetapi, Cai Sun terkejut dan mengha mpiri orang itu. Biarpun keadaan orang itu seperti gelandangan terlantar, dia masih dapat mengenal orang pendek muka hitam itu.

"Louw Ti! Bukankah engkau Louw Ti....?" tanyanya sambil berjongkok dan me mandang penuh rasa kaget dan heran. Dia ingat bahwa sahabatnya ini telah menjadi seorang yang cukup kaya dan berhasil, tinggal di tepi kota raja. Kenapa kini berada di sini seperti seorang gelandangan dalam keadaan cacat seperti itu?

Orang itu me mbuka mata tunggalnya me mandang kepada Cai Sun, lalu tertawa ha-ha-he-he, kemudian menang is. Tahulah Cai Sun bahwa orang ini telah menjad i gila!

Hai ini me mbuat dia me njadi se makin penasaran dan dipegangnya kedua pundak orang itu, diguncangnya agak keras.

"Louw t Ti! Sadarlah! Aku Koo Cai Sun, sahabat baikmu!"

Orang itu me mang Louw Ti yang telah menjadi cacat dan gila setelah Cui Hong melampiaskan denda mnya kepada musuh besar ini. Dia me mandang Cai Sun dan alisnya berkerut. Agaknya dia mula i ingat kepada wajah sahabatnya ini. "Koo Cai Sun? Ahhh, Koo Cai Su.... hu-hu-huuu. !" Dan dia

pun menangis dan menja mbak-ja mbak rambutnya.

"Louw Ti! Tenangkanlah dan ceritakan apa yang telah terjadi? Kenapa engkau menjadi begini?"

"Hu-hu-huuu.... Cai Sun.... hu-huuuuu, aku celaka. habis-

habisan. "

"Kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa kau tinggalkan rumah mu. ?"

"Aku tidak punya rumah lagi, isteri dan anak-anakku pergi semua.... aku.... aku. "

"Kenapa? Dan engkau cacat seperti ini!   Siapa   yang me lakukan hal ini terhadap dirimu, Louw Ti?"

"Cui Hong.... ia Kim Cui Hong, anak guru silat Kim dari Ang- ke-bun itu.... ia gadis bertahi la lat di dagunya yang kita. perkosa dulu.... ha-ha-ha, ia hidup lagi, ia lihai dan aku disiksanya..... ha-ha-ha, engkau pun tentu dicarinya. Cai Sun..

.... ha-ha-ha...." Setelah tertawa-tawa, Louw Ti me nangis lagi.

Wajah Louw Ti menjadi pucat seketika Dan dia pun me lo mpat berdiri me mandang ke sekeliling, seolah-olah takut kalau-kalau gadis itu muncul di situ. Tentu saja dia teringat. Gadis man is itu! Gadis yang dimusuhi oleh Pui- kongcu di Thian-cin, kemudian ayah dan tunangan gadis itu dibunuhnya bersama dua orang temannya, yaitu Louw Ti dan Gan Tek Un, dan gadis itu diperkosa habis-habisan sampai disangka mati. Pertama oleh Pui-kongcu tentu saja, kemudian dioperkan kepada mereka bertiga, dan setelah me mper kosanya sampai sepuasnya, mereka lalu me le mparkan tubuh gadis itu di tengah hutan. Gadis itu kini menjad i lihai sekali dan me mba las dendam?

"Huh, takut apa menghadapi seorang gadis saja?" Hatinya me mbantah dan mencela diri sendiri. Akan tetapi dia me mandang Louw Ti dan bergidik. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Louw Ti cukup tinggi, tidak lebih rendah dari kepandaiannya sendiri, terutama ilmu ca mbuknya yang lihai. Dan kini Louw Ti dibikin cacat seperti itu oleh gadis itu. “Hemm, jelas bahwa gadis itu tentu merupakan lawan berbahaya,” pikirnya. Dia harus cepat mene mui Pui Ki Cong yang juga tinggal di kota raja, karena kalau gadis itu hidup lagi, menjadi lihai dan me mbalas denda m, tentu bukan hanya Louw Ti saja yang disiksa seperti itu, melainkan gadis itu tentu akan mencar i dia pula, dan tentu saja Pui Ki Cong! Gan Tek Un tidak tinggal di kota raja dan ada sesuatu yang me mbuat Cai Sun segan untuk menyampaikan berita mengejutkan tentang Louw Ti dan gadis bertahi lalat di dagunya itu kepada Tek Un. Bekas sahabatnya itu kini telah menjadi seorang pendeta! Dan telah condong bergaul dengan para pendekar, bahkan kabarnya Gan Tek Un yang telah me njadi pendeta itu kini berpihak kepada para pendekar, menentang golongan hitam! Biar lah gadis itu mencar i dan me ne mukan Tek Un dan menyiksanya, pikirnya. Akan tetapi dia harus mencar i Pui Ki Cong, berunding dan bersa ma-sa ma mencar i daya upaya dan persiapan untuk menghadapi gadis itu kalau-kalau benar- benar gadis itu akan datang men cari mereka!

Cai Sun tidak jadi pulang melainkan langsung saja dia pergi mengunjungi gedung te mpat tinggal Pui Ki Cong. Seperti telah kita ketahui, Pui Ki Cong adalah putera kepala jaksa Thian-cin. Kini usianya sudah tiga puluh tujuh tahun dan dia menikah dengan puteri seorang bangsawan di kota raja, masih kerabat keluarga kaisar. Karena ayah mertuanya adalah seorang pejabat tinggi di istana, maka Pui Ki Cong dengan mudah me mpero leh kedudukan pula sebagai seorang pejabat tinggi di bagian perpajakan. Kedudukannya itu me mbuat dia mudah mencari uang haram dan me mbuat dia menjadi kaya raya dan terhormat. Dia tinggal di sebuah gedung yang terjaga oleh pasukan pengawal, hidup bersama isterinya yang bangsawan dan telah me mpunyai seorang putera yang berusia empat tahun. Seperti juga Cai Sun yang mata keranjang, Pui Ki Cong setelah berkeluarga tidak pula meninggalkan kesenangannya itu, dan karena me miliki kesenangan yang sama, keduanya gemar mengejar paras cantik, ma ka selalu terjalin hubungan dekat antara Pui Ki Cong dan bekas pe mbantunya itu.

Akan tetapi, sudah sebulan lebih Cai Sun t idak pernah berjumpa dengan bekas majikannya yang kini tidak pernah nampak keluar ke tempat pelesir, dan tentu saja amat heranlah hati Cai Sun ketika berkunjung ke rumah Pui Ki Cong, dia ditahan oleh para penjaga. Penjagaan di gedung itu a mat ketat, nampak belasan orang pengawal berjaga dengan senjata tombak dan golok di tangan. Para pengawal itu tentu saja mengenal Cai Sun yang sudah sering datang berkunjung, akan tetapi pada pagi hari itu, mereka menahan Cai Sun dan tidak diperbolehkan dia langsung masuk.

"Eh? Apakah kalian tidak mengenalku lagi? Aku adalah Koo Cai Sun, sahabat baik tuan muda Pui Ki Cong!"

"Maaf, kami harus melaporkan dulu setiap orang tamu yang hendak berkunjung kepada majikan kami," kata kepala penjaga.

Terpaksa Cai Sun menunggu dengan hati yang tidak enak, dan kepala jaga lalu pergi melapor ke dalam. Tidak la ma kemudian, kepala jaga itu datang lagi dan Cai Sun dipersilakan masu k, akan tetapi diantar atau dikawal oleh dua orang pengawal! Hal ini merupakan hal baru baginya, akan tetapi walaupun merasa penasaran, terpaksa dia pun diam saja dengan hati mendongkol karena dia hanya seorang tamu yang harus tunduk akan peraturan tuan rumah.

Cai Sun merasa lebih heran lagi me lihat kenyataan betapa di gedung besar itu pun na mpak penjagaan yang ketat. Hampir di setiap sudut terdapat seorang pengawal berjaga.

Ketika akhirnya dia disa mbut oleh Pui Ki Cong, dia me mandang dengan kaget. Tidak berjumpa dengan bekas maj ikan itu sebulan saja, kini Pui Ki Cong na mpak kurus dan pucat, pada matanya   terbayang   kegelisahan.   Cai   Sun me mandang penuh selidik. Putera kepala jaksa di Thian-ciri itu me mang masih na mpak ta mpan dengan pakaian yang mewah, akan tetapi tubuhnya yang memang sudah tinggi kurus itu kini kelihatan se makin kurus dan mukanya yang tampan agak pucat seperti orang yang baru se mbuh dari penyakit berat.

"Pui- kongcu, ada terjadi hal apakah?" Cai Sun bertanya, hatinya merasa semakin tidak enak karena langsung saja dia menghubungkan keadaan sahabatnya itu dengan keadaan Louw Ti yang mengerikan. "Rumah mu penuh dengan pengawal, dan engkau nampak begini kurus dan pucat."

Pui Ki Cong menarik napas panjang. "Duduklah, Toako, kebetulan sekali kau datang karena me mang aku sebetulnya ingin bertemu dan bicara denganmu."

Semakin tidak enak rasa hati Cai Sun ketika dia duduk berhadapan dengan bekas majikan itu. "Pui-kongcu, katakanlah kepadaku, ada urusan apakah yang membuat mu nampak begini gelisah?"

"Urusan Ayahku   "

"Ayahmu? Ah, apa yang terjadi dengan Pui-taijin?" Cai Sun masih pura-pura bertanya, padahal tentu saja dia sudah mendengar akan peristiwa yang menimpa diri Jaksa Pui di Thian-cin itu. Dia sudah mendengar betapa Jaksa Pui itu kini masu k penjara karena dianggap memberontak dan kesalahan terhadap pembesar atasannya.

"Koo-toako, jangan kau pura-pura lagi. Semua orang sudah mendengar akan apa yang terjadi dengan Ayahku." kata Ki Cong sambil me mandang tajam dengan alis berkerut.

Wajah Cai Sun menjadi agak merah dan dia pun mengangguk. "Me mang sesungguhnya saya sudah mendengar berita angin bahwa Pui-taijin tertimpa musibah dan dihukum penjara oleh atasannya." "Tahukah engkau apa yang telah terjadi sehingga Ayahku tertimpa musibah seperti itu?"

Cai Sun menggeleng kepalanya. "Saya tidak tahu, Kongcu, dan saya tidak berani menca mpuri "

"Dengar baik-baik, Toako, karena dalam urusan ini, engkau pun terlibat. Baru beberapa hari kemudian setelah ayah dipenjara, aku sempat berkunjung dan bertemu dengan ayah di dalam penjara. Ayah menceritakan semua yang telah terjadi dan ternyata bahwa ayah masuk penjara karena fitnah. Ada orang menukar batu-batu per mata yang oleh ayah diberikan kepada Kwa Taijin dengan batu-batu biasa. Batu-batu permata yang amat mahal harganya itu lenyap dicuri orang dan ditukar dengan batu-batu koral. Dan bukan itu saja, malam harinya ada orang mencuri cap   kebesaran   Kwa   Taijin   dan menye mbunyikan nya di dalam kamar ayah sehingga ketika diadakan penggeledahan, cap kebesaran yang hilang itu ditemukan di kamar ayah."

"Ahhh....! Aneh sekali!" kata Cai Sun. "Siapakah yang me lakukan fitnah keji itu, Kongcu?"

Pui Ki Cong menatap tajam wajah yang bulat itu. "Koo- toako, coba kau   terka,   siapa   kiranya   orang   yang mence lakakan Ayah itu?"

Cai Sun merasa betapa jantungnya berdebar kencang, bulu tengkuknya mere mang karena dia merasa ngeri sekali. "Ia....

ia.... bukankah ia puteri Kim-kauwsu yang bernama Kim Cui Hong itu. ?"

Kini Pui Ki Cong yang terkejut bukan main. Dipegangnya lengan Cai Sun dan dengan suara gemetar dia bertanya, "Koo- toako, bagaimana engkau dapat menduga begitu?"

Cai Sun menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang terlanda rasa takut. "Ceritakanlah dulu apa dugaanku itu benar, Kongcu." Ki Cong me ngangguk. "Ayah sendiri tadinya tidak tahu siapa yang telah melakukan fitnah keji terhadap dirinya, akan tetapi ketika dia berada di dalam kamar tahanan, surat ini me layang kepadanya. Kau baca sendiri!" Ki Cong menyerahkan sele mbar surat   kepada   Cai   Sun    yang me mbacanya dengan muka pucat dan kedua tangan agak gemetar.

"Kepala Jaksa Pui, kami mengucapkan selamat kepada mu!" "Mendiang guru silat Kim Siok sekeluarga."

Keringat dingin me men uhi muka dan leher Cai Sun yang gemuk itu ketika dia menge mbalikan surat itu kepada Pui Ki Cong. "Tak salah lagi, tentu ia yang menulisnya "

"Koo-toako, ia siapakah? Bicaralah yang jelas!"

"Kongcu, lupakah engkau akan gadis re maja puteri guru silat Kim Siok dari dusun Ang-ke-bun itu? Gadis manis yang bertahi lalat di dagunya? Kita..., kita telah me mbunuh ayahnya dan tunangannya dan kita..... kita telah me mperkosanya. "

Pui-kongcu mengangguk-angguk dan meraba-raba dagunya, mengenangkan peristiwa tujuh tahun yang lalu. Tentu saja kini dia teringat akan semua itu. Seorang gadis man is yang angkuh dan galak sehingga dia pernah menerima tamparan tangan gadis itu. Akan tetapi dia telah memba las sakit hatinya sampai sepuasnya, bukan hanya me mbunuh ayah dan tunangan gadis itu, melainkan juga me miliki tubuh gadis   itu    sampai   sepuasnya,    selama    tiga   hari   dia me mper ma inkan gadis itu sa mpai me njadi bosan. Dia lalu me mber ikan gadis itu kepada Thian-cin Bu-tek Sa m-eng.

"Tapi, bukankah ia telah kalian bawa pergi dan kalian bunuh ?"

"Itulah kecerobohan kami, Kongcu. Kami me le mparkan ia di dalam sebuah hutan, dalam keadaan hampir mati dan kami yakin bahwa binatang buas tentu akan me mbunuhnya. Akan tetapi ternyata ..... ah, ia hidup kembali dan agaknya hendak me mba las dendam kepada kita se mua."

"Tidak perlu takut! Sebaiknya kita menghubungi saudara- saudara Gan Tek Un dan Louw Ti untuk bersa ma-sama menghadap i gadis itu. Masa kita harus takut menghadapi seorang anak perempuan seperti anak guru silat itu! Kalau ia terjatuh ke tanganku, sekali ini akan kuper mainkan ia sa mpai mati di depan mataku sendiri!" Ki Cong berkata dengan gemas.

"Kongcu, Louw Ti..... Louw Ti.... dia... dia. "

Melihat sikap Cai Sun seperti orang ketakutan, Ki Cong me mandang dengan alis berkerut. "Ada apa dengan Louw Ti?"

"Celaka, Kongcu, dia.... dia.... ah, gadis itu telah turun tangan terhadap Louw Ti. Karena itulah saya datang mene mui Kongcu. Baru saja di jembatan sana, saya bertemu dengan seorang gelandangan gila yang tubuhnya penuh cacat, dan dia adalah Louw Ti! Dia kehilangan segala-galanya, hartanya, rumahnya, anak isterinya dan tubuhnya sendiri cacat, bahkan dia telah menjadi gila, semua itu adalah perbuatan Kim Cui Hong, gadis puteri guru silat Kim di Ang-ke-bun itu!"

"Ahhh....??" Wajah Ki Cong menjad i se makin pucat. "Tapi..... tapi..... bukankah Louw Ti me miliki ilmu kepandaian yang tinggi? Bagaimana mungkin gadis itu dapat me mbikin dia cacat?"

Cai Sun menggeleng-geleng kepala. "Entahlah, Kongcu, ketika Louw Ti masih ma mpu bercerita, dia berkata bahwa gadis itu kini lihai bukan main."

"Mari kita temui dia, aku ingin mendengar sendiri ceritanya." kata Ki Cong, mengajak Cai Sun untuk keluar.

"Nanti dulu, Kongcu..." Cai Sun berkata dan ternyata mukanya yang bulat itu selain pucat juga penuh keringat dingin. Mendengar betapa gadis puteri guru s ilat Kim itu juga sudah menjatuhkan denda mnya terhadap Jaksa Pui, dia menjad i semakin gentar. "Agaknya.... tidak amanlah kalau kita berdua pergi keluar.... bagaimana kalau ia muncul?"

Mendengar ucapan ini, Ki Cong terkejut. Tak disangkanya Cai Sun demikian berubah. Sikap jagoannya hilang dan kini dia menjad i seorang penakut. Dia tidak tahu bahwa me mang demikianlah watak orang yang suka bersikap kejam, seorang jagoan atau tukang pukul. Seorang tukang pukul bersikap kejam dan pemberani kalau menghadapi lawan yang sekiranya dapat ditundukkan. Akan tetapi begitu berhadapan dengan lawan yang lebih kuat, nampaklah wataknya yang sebetulnya. Dia seorang pengecut, seorang penakut yang hendak menye mbunyikan rasa takutnya di balik kekeja man terhadap pihak yang lebih lemah.

Karena Cai Sun, bekas jagoannya itu memper lihatkan sikap takut-takut, Ki Cong juga men jadi gentar dan   dia   lalu me mer intahkan sepasukan pengawal yang terdiri dari belasan orang untuk men gawalnya keluar rumah bersa ma Cai Sun. Dengan adanya pasukan ini, besarlah hati Cai Sun dan dia pun me langkah dengan gayanya di samping Ki Cong, dengan sikap seolah-olah dia yang melindungi putera bekas jaksa Thian-cin itu!

Mereka mene mukan Louw Ti yang kini sudah meningga lkan jembatan dan berusaha sedapatnya untuk pergi dari situ. Ki Cong me mandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia pun mengenal Louw Ti, akan tetapi Louw Ti sekarang telah menjadi seorang yang cacat lahir batinnya. Mata kiri orang itu buta, tangan kiri buntung, tangan kanan tergantung seperti lumpuh, jalannya pun terpincang-pincang, kaki kanan pincang, kaki kiri diseret. Keadaan orang itu sungguh menyedihkan dan mengerikan. Dia tertawa-tawa, lalu menang is dan ketika melihat ro mbongan Pui Ki Cong mengha mpirinya, tiba-tiba dia terbelalak dan berteriak, "Jangan....   ah,   jangan   bunuh   mereka.      ampunkan

aku....!" Dan dia pun me larikan diri sa mbil terpincang-pincang menyeret kakinya.

Wajah Ki Cong menjadi semakin pucat me lihat keadaan Louw Ti. Juga Cai Sun meng ikut i lar inya bekas rekan itu dengan hati penuh kegelisahan dan kengerian me mbayangkan betapa nasib seperti itu mungkin akan men impa dirinya.

"Tidak!" Tiba-tiba dia me mbentak marah dan mengepal tinju tangan kanannya, mengacungkan ke atas. "Aku akan me lawannya, aku akan me mbunuh pere mpuan iblis itu!"

"Tenanglah, Koo-toako. Sungguh menyedihkan se kali nasib Louw-toako. Mari kita kembali, kita harus me mbicarakan urusan ini dan me nga mbil langkah-langkah demi keselamatan kita."

Cai Sun mengangguk dan mereka semua me mba likkan tubuh dan berjalan ke mbali menuju ke gedung te mpat tinggal Pui Ki Cong. Akan tetapi pada saat itu mereka mendengar suara ketawa seorang wanita, disusul kata-kata yang halus merdu.

"Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun, giliran kalian akan tiba.

Tunggu sajalah!"

"Setan!" Koo Cai Sun sudah mencabut senjatanya, yaitu sepasang siang-kek, tombak pendek yang bercagak dan dia me loncat ke arah datangnya suara tadi, dari kiri di mana terdapat sebuah bangunan tembok. Akan tetapi, dia hanya me lihat bayangan yang bertubuh langsing berkelebat dan bayangan itu pun lenyap dari situ.

"Akan kuhajar perempuan iblis itu! Akan kuhancurkan kepalanya dengan kepalanku, akan kucabik-cabik dagingnya dengan siang-kek ini!" Sumbarnya, namun dia m-dia m dia terkejut melihat betapa cepatnya bayangan tadi berkelebat dan bergerak. Akan tetapi, Ki Cong sudah menjadi demikian takutnya sehingga dia cepat-cepat mengajak Cai Sun dan pasukan pengawalnya untuk  kemba li  ke  rumahnya.  Setelah me mer intahkan para pengawalnya untuk melakukan penjagaan yang lebih ketat dan mendatangkan pasukan pengawal lain, Pui Ki Cong lalu mengajak Koo Cai Sun untuk berunding di dalam ruangan sebelah dala m.

"Bagaimana baiknya sekarang?" tanya Ki Cong dengan suara agak gemetar. Melihat keadaan Louw Ti tadi, kemudian me lihat berkelebatnya bayangan yang mengeluarkan suara ancaman, dia menjadi ketakutan.

Di lubuk hatinya, Cai Sun juga sudah takut setengah mati. Dia bukan seorang bodoh, melainkan cerdik dan licik sekali. Dia tahu bahwa wanita puteri guru silat Kim itu muncul untuk me mba las dendam dan bahwa wanita itu kini lihai bukan ma in. Sudah terbukti ketika ia mencelakakan Pui-taijin kemudian menyiksa Louw Ti dan tadi pun kemunculannya me mbuktikan kelihaiannya. Dia dan keluarganya terancam! Dia harus dapat mempergunakan kecerdikannya untuk menyelamatkan keluarganya dan dirinya sendiri, di samping itu jangan sa mpai kelihatan sebagai seorang pengecut besar yang ketakutan. Maka dia pun tersenyum. Wajahnya yang bulat itu seperti terbelah menjadi dua ketika mulutnya terbuka lebar.

"He-he-he, Pui-kongcu. Menghadapi anca man bocah setan itu, tidak perlu kita takut. Memang jelas bahwa ia tentu akan berusaha untuk mencelaka i kita, terutama sekali engkau, Kongcu, mengingat bahwa engkaulah musuh uta manya, akan tetapi aku yakin akan dapat   mengatasinya. Pui-kongcu, me mang seba iknya kalau untuk se mentara waktu ini, kita bergabung untuk menghadapinya, dan juga aku merasa berkewajiban untuk me mbantu mu dalam meno lak anca man perempuan itu. Bagaimana kalau untuk sementara ini aku me mbawa keluargaku tinggal di sini agar dapat menjaga keselamatan Kongcu?"

Tentu saja Pui Ki Cong yang merasa gentar menghadapi ancaman gadis puteri Kim- kauwsu itu menjadi girang bukan ma in. Dia tidak tahu bahwa sebetulnya bekas pembantunya itu pun ketakutan dan ingin berlindung di gedungnya yang banyak dijaga para pengawal!

"Baik sekali kalau begitu, Toako. Dan akupun akan mencari jagoan-jagoan di kota raja ini untuk melindungiku. Selain itu, juga aku akan me ngerahkan orang pandai untuk mencari dan me mbe kuk pere mpuan iblis itu."

Girang sekali rasa hati Cai Sun. Memang itulah yang dikehendakinya. Selain dapat berlindung di gedung Pui Ki Cong dan dalam me nghadapi Kim Cui Hong dia me mperoleh bantuan orang-orang pandai, juga dia dapat berjasa terhadap bekas majikan itu karena seolah-olah dia berada di situ untuk me lindungi keselamatannya, bukan untuk mengungsikan keluarganya!

0-dw-0

Cui Hong me masu ki rumah ma kan yang tidak begitu ra mai itu. Rumah ma kan yang sederhana dan berada di ujung kota. Seorang pelayan restoran yang selama beberapa hari ini me layaninya, segera menyambut dengan senyum ra mah. Nona cantik ini me mang telah menjadi langganan restoran, setiap hari makan di situ.

"Selamat siang, nona. Selamat duduk, dan nona pilih saja meja mana yang nona kehendaki. Banyak yang masih kosong, nona." pelayan itu menegur. Cui Hong mengangguk sedikit lalu matanya menyapu ruangan. Memang tidak banyak tamu, hanya lima enam meja yang ada orangnya. Mereka ini berkumpul di bagian depan, ma ka ia pun me milih meja di sudut agak belakang yang sepi. Hanya ada seorang tamu lain duduk di meja belakang, hanya terpisah dua meja dari tempat yang dipilihnya.

"Sediakan makanan seperti kemarin," kata Cui Hong singkat kepada pelayan itu yang mengangguk-angguk ra mah. Setelah pelayan itu mengundur kan diri untuk me mpersiapkan pesanannya, Cui Hong menga mbil te mpat duduk dan tanpa disengaja ia me ma ndang ke depan. Kebetulan sekali pada saat itu, pemuda yang duduk di meja la in, yang juga duduk sendirian saja, sedang memandangnya. Dua pasang mata bertemu dan Cui Hong segera me mbuang muka. Wajah seorang pria yang sangat menarik, pikirnya. Heran ia men gapa tiba-tiba saja ia tertarik kepada pria itu. Padahal, pria itu me mandangnya dengan sinar mata kagum yang demikian jujur, tidak mengandung sinar kurang ajar seperti yang seringkali ia lihat dalam pandang mata pria lain. Biarpun ia tidak pernah me mandang langsung, dari sudut kerling matanya ia beberapa kali menga mati keadaan pemuda berpakaian serba kuning itu.

Pemuda itu bukan re maja lagi, tentu sudah tiga puluh tahun usianya, atau kurang pun hanya sedikit. Seorang pemuda yang berpakaian sederhana, dari kain kuning yang tidak mahal. Ra mbutnya yang hita m dan tebal agak keriting itu digelung ke atas dan diikat dengan pita biru.

Wajahnya tidak terlalu tampan, na mun ganteng dan penuh kejantanan, dengar, hidung mancung dan dagu meruncing me mbayangkan ketabahan dan kemauan besar. Sinar matanya lembut namun taja m, terbayang kejujuran di dalam pandang matanya. Bentuk tubuhnya sedang, dengan dada yang bidang dan leher yang nampak kuat. Melihat bentuk pakaiannya, tentu dia seorang pe muda petani, pikir Cui Hong yang merasa semakin heran melihat diri sendiri yang begini menaruh perhatian terhadap seorang pria yang tidak pernah dikenalnya.    Padahal,     biasanya     ia     belum     pernah me mperhatikan seorang pria. Se menjak ia diperkosa dan diper mainkan e mpat orang laki-laki, kemudian ia ikut belajar ilmu silat dari gurunya, ia tidak pernah tertarik kepada pria. Apalagi ketika ia mendapat kenyataan betapa pandang mata hampir semua orang pria yang ditujukan kepadanya selalu mengundang sifat kurang ajar, ingin menggoda, kekaguman yang mengandung nafsu, membuat ia teringat akan pandang mata e mpat orang pria musuh besarnya dan ia seperti tak pernah merasa tertarik atau suka kepada pria. Bahkan ada sedikit perasaan benci, menganggap bahwa semua pria adalah makhluk yang kejam dan hanya mengejar kesenangan nafsu berahi belaka!

Inilah sebabnya mengapa ia merasa heran sendiri melihat ia merasa begitu tertarik kepada pria yang satu ini! "Ah, dia hanya seorang laki-laki....." Akhirnya Cui Hong mencela diri sendiri dan segera mengalihkan perhatiannya kepada hidangan yang baru saja dikeluarkan oleh pelayan.

Sambil makan ia me mikirkan dan mencari siasat untuk menghadap i dua orang musuhnya. Setelah berhasil me mba las dendam terhadap Louw Ti, ia me lakukan penyelidikan dan dengan mudah saja ia dapat menemukan di mana tinggalnya Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun. Segera ia melakukan penyelidikan tentang keadaan hidup dua orang musuh besarnya itu. Ia sempat melihat ro mbongan Ki Cong dan Cai Sun yang dikawal belasan orang perajurit mene mui Louw Ti yang telah menjadi gila di je mbatan itu, dan ia se mpat pula mengejek dan menganca m dua orang musuh besarnya. Kalau ia menghendaki, tentu pada waktu itu juga ia dapat menyerangnya dan meluka i mere ka. Akan tetapi tidak, ia tidak mau dan tidak mau menimbulkan keributan, apalagi harus menga muk di antara pasukan pengawal. Ia harus mencari siasat yang tepat dan baik.

Sakit hati yang diderita Cui Hong terlalu besar sehingga me mpengaruhi seluruh hidupnya, me mbentuk suatu watak tersendiri terhadap musuh-musuh besarnya. Ia ingin men ikmati keman isan pe mba lasan dendam sedikit de mi sedikit! Ia tidak tergesa-gesa. Sudah hampir delapan tahun ia menahan sakit hati, sudah bertahun-tahun ia bersabar, maka sekarang pun ia tidak tergesa-gesa. Bagaikan seekor kucing yang melihat dua ekor tikus yang akan dijadikan korban, ia tidak tergesa-gesa menerkam mere ka, melainkan hendak me mper ma inkan sepuasnya, seperti ketika ia diper ma inkan oleh musuh-musuhnya dahulu! la ingin melihat mereka mender ita ketakutan, kengerian dan akhirnya barulah ia akan turun tangan me mbuat mereka menderita badan. Ia ingin mereka men derita lahir batin secara hebat, seperti yang pernah dideritanya dahulu oleh perbuatan mereka. Betapa nikmat dan man isnya melakukan pemba lasan dendam seperti ini! Seperti orang makan hidangan lezat, tidak segera ditelannya, melainkan dikunyahnya perlahan-lahan, demikian pikir Cui Hong sambil mengunyah makanannya. Ia tidak tahu bahwa pria berpakaian kuning itu, yang tadi tidak mau me mandang kepadanya secara langsung, kini menatapnya dengan penuh perhatian dan penuh kagum, selagi ia mencurah kan perhatiannya kepada ma kanannya.

Selama beberapa hari ini, Cui Hong diam-dia m mengikuti semua gerak-gerik dua orang musuhnya. Ia seringkali tersenyum mengejek me lihat kesibukan mereka, melihat betapa Cai Sun me mbawa se mua keluarganya, mengungsi ke rumah gedung Pui Ki Cong, …….

Halaman gak ada

dan ia pun me lihat yang ada hanyalah seorang pemuda yang telah melukai para perajurit pengawal dan aku sebagai seorang kepala pengawal. “Menyerahlah untuk kutangkap dan aku pun tidak akan me mpergunakan senjata terhadap dirimu."

Tan Siong me ngangguk. "Baiklah, ini urusan pribadi dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Siauw-lim-pai maupun Kun-lun-pai. Akan tetapi aku tidak merasa bersalah, maka terpaksa aku menolak untuk menyerah dan ditangkap." "Su-toako, pemuda ini so mbong sekali. Kalau tidak diberi hajaran tentu akan memandang rendah kepada kita!" teriak Cai Sun marah karena dia merasa khawatir kalau-kalau rekannya itu akan berda mai dan tidak me lanjutkan perkelahian melawan pe muda itu. Dia sendiri sudah menggerakkan pedang di tangannya melakukan serangan dahsyat yang disambut oleh Tan Siong dengan tenang. Melihat ini, terpaksa Su Lok Bu maj u lagi me lakukan serangan dengan sepasang pedangnya. Juga dua orang pengawal me mbantu dengan pedang mere ka.

Tiba-tiba muncul seorang laki-laki pendek berkulit putih dan berperut gendut, dengan rambut dan jenggot putih se mua. "Penjahat muda yang nekat, lihat golok besarku!" bentak orang itu dan begitu tiba di situ, dia me mbentak dan menggerakkan sebatang golok besar dan berat dengan gerakan yang amat dahsyat. Suara golok itu se ma kin berdesing-desing dan menya mbar-nyambar ganas menyerang Tan Siong.

Tentu saja Tan Siong terkejut bukan main karena golok itu tidak kalah bahayanya dengan sepasang pedang di tangan Su Lok Bu! Orang yang baru datang ini adalah Cia Kok Han yang menyusul rekannya dan begitu melihat rekan-rekannya mengeroyok seorang pemuda yang amat lihai dan me lihat ada empat orang pengawal yang terluka, dia pun segera maju mengeroyok.

Kini Tan Siong kewalahan sekali, apa lagi karena dia tahu bahwa yang baru datang ini tentulah seorang Bu-tong-pai hatinya merasa semakin ragu dan khawatir. Karena itu, gerakan pedangnya agak….

Halaman gak ada

…… nanti kemanisan balas dendam sepenuhnya tanpa gangguan orang lain. Napsu yang me mbakar hati Cui Hong mirip dengan napsu yang me mbakar d iri Kai Sun atau Ki Cong ketika me mper kosa wanita itu tujuh tahun yang lalu. Dan untuk menjatuhkan pembalasan denda mnya, Cui Hong seperti seekor kucing yang tekun dan sabar mengintai tikus-tikus calon korbannya, kini dengan amat sabarnya menanti saat baik dan me ncari-cari siasat bagaimana agar ia dapat berhadapan dengan dua orang musuh besar itu tanpa adanya gangguan orang lain.

Tiba-tiba Cui Hong dikejutkan dari la munannya oleh suara ketawa seorang laki-laki. Ia mengangkat mukanya dan melihat seorang laki-la ki berusia tiga puluhan tahun, ber muka penuh bopeng dan bertubuh tinggi besar, berdiri dekat mejanya dan sedang me mandang kepadanya sambil tertawa terkekeh- kekeh. Masih ada lagi tiga orang laki- laki lain, te man-teman dari orang yang kini berada di dekat mejanya, berada di meja sebelah kir inya, dan mereka pun tertawa-tawa dan me mberi semangat kepada si muka bopeng.

"Hayo, A-cauw, apakah engkau kehilangan nyalimu setelah berhadapan dengan wanita cantik?" de mikian antara lain orang itu berkata.

Agaknya laki-laki yang berada di dekat meja Cui Hong itu bernama A-cauw dan kini dia me mbungkuk dengan sikap hormat dibuat-buat kepada Cui Hong. "Nona, apakah Nona sendirian saja ma kan di sini?"

Cui Hong ma klum bahwa laki-laki ini hendak kurang ajar, akan tetapi ia tidak mau mencari keributan. Dengan suara datar ia pun menjawab, "Benar, aku duduk dan makan sendirian. Ada sangkutan apakah hal itu dengan dirimu?"

"Begini, Nona. Aku dan teman-teman ku itu, kami berempat baru saja menang taruhan, dan kami mengadakan pesta di restoran ini. Melihat Nona seorang diri saja, kami bere mpat ingin sekali mengundang Nona untuk makan bersama kami, bersenang-senang dan ikut menghab iskan uang kemenangan kami." Cui Hong mengerutkan alisnya dan ingin mena mpar muka yang bopeng itu. Akan tetapi ia menahan diri. Ia sedang berada di kota raja dan dengan tugas yang a mat penting. Kalau ia me mbuat ribut tentu akan menarik perhatian, apalagi kalau sampai ia me mperlihatkan kepandaiannya, tentu akan men imbulkan kecurigaan. Ia harus merahasiakan dirinya agar tidak ada yang tahu bahwa ia adalah Kim Cui Hong yang sedang berusaha membalas dendam terhadap musuh- musuhnya. Untuk ini pula ia sudah bersusah payah menghias mukanya dengan penyamaran sehingga tahi lalat di dagunya juga tidak nampak. Ia percaya bahwa seperti juga Louw Ti, musuh-musuhnya yang lain tidak akan dapat mengenalnya tanpa adanya tahi lalat di dagunya itu. Kalau kini ia me layani segala urusan kecil seperti gangguan laki-laki kurang ajar ini, hai itu amat berbahaya karena dapat membocorkan rahasia tentang dirinya yang hendak dirahasiakan. Pula, sejauh ini, laki- laki bermuka bopeng itu belum me mperlihatkan sikap kurang ajar, bahkan me mpersilakannya dengan sopan, walaupun kesopanan itu dibuat-buat.

"Terima kasih, Saudara. Akan tetapi aku sudah kenyang, maka terpaksa aku tidak dapat menerima undanganmu. Terima kasih, aku ma lah sudah selesai makan dan hendak pergi." Berkata demikian, Cui Hong bangkit dan me mberi isyarat kepada pelayan untuk datang agar ia dapat membayar harga ma kanan dan pergi secepatnya dari situ. Akan tetapi, ketika pelayan itu datang dengan sikap takut-takut Si Muka Bopeng me mbentaknya,

"Mau apa kau? Pergi!" Pelayan itu mundur lagi dengan muka me mbayangkan ketakutan. Hal ini menyadarkan Cui Hong bahwa e mpat orang itu me mang sudah dikenal di situ dan agaknya sudah biasa ditakuti orang.

"Nona, seorang gadis secantik engkau tidak patut kalau makan sendirian, maka mar ilah ikut bersama kami, Nona. Nanti kami akan mengantar Nona pulang. Di manakah rumah mu dan siapa pula nama mu, Nona?" Si Muka Bopeng kini se makin berani dan pertanyaan-pertanyaannya itu mulai kurang ajar.

"Apakah sudah ada yang punya, Nona man is?" terdengar seorang temannya berteriak dari meja sebelah.

"Aihh, jangan jual mahal, Nona manis," kata yang lain.

"Ka mi baru saja mendapat rejeki besar, jangan khawatir, kami ma mpu me mber i hadiah besar kepadamu, Nona man is" sambung orang ke tiga.

O 0 o odwo o 0 O
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar