Sakit Hati Seorang Wanita Jilid 05

Jilid 05

BIARPUN hatinya marah sekali akhirnya saking lelahnya, Kwa Taijin dapat pulas juga di dalam kamarnya yang mewah, disediakan oleh Kepala Daerah Teng. Akan tetapi lewat tengah ma la m, dia terbangun. Dia terkejut melihat bayangan orang di dalam kamarnya, dan jelas bahwa orang itu menga mbil cap kebesarannya yang terletak di atas meja, lalu orang itu me loncat keluar dari jendela kamarnya. Kwa Taijin bangkit dan mengucek-uce k matanya. Akan tetapi dia tidak bermimpi dan cap kebesaran itu sudah lenyap dari atas meja. Kemudian terdengar suara orang di luar kamarnya, di luar jendela dari mana orang tadi me loncat keluar.

"Aku berhasil menga mbil cap kebesarannya. Cepat larikan cap ini kepada Pui Taijin. Cepat!"

Mendengar suara itu, Kwa Taijin kini yakin bahwa me mang ada maling me masuki kamarnya dan mencuri cap kebesarannya. Dia lalu berteriak-teriak keras

"Maling.....! Maling.....! Tangkap.   !!"

Teriakannya disa mbut oleh derap kaki para pengawal yang lari mendatangi. Kwa Taijin sendiri lari ke jendela yang terbuka dan dia melihat bahwa empat orang penjaga yang berada di luar jendela telah roboh pingsan! Gegerlah gedung itu ketika para pengawal lari berserabutan untuk men gejar dan mencari maling itu. Akan tetapi, bayangan maling itu tidak nampak lagi.

"Cepat, antar aku ke rumah Jaksa Pui. Sekarang juga!" Tiba-tiba Kwa Taijin me mberi perintah kepada komandan pengawalnya, "Dan bersiaplah untuk menangkapnya!"

Komandan pengawal itu segera mengumpulkan anak buahnya, dan ditemani oleh Kepala Daerah Teng yang masih merasa bingung dan kaget itu, Kwa Taijin la lu naik keretanya menuju ke rumah gedung Kepala jaksa Pui.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Kepala jaksa Pui Kian ketika dia menerima kedatangan Kwa Taijin bersama Kepala Daerah Teng dan se mua pengawal dari kota raja itu pada waktu lewat tengah ma la m!

Begitu berhadapan dengan Pui Kian, Kwa Taijin mengerutkan alisnya, dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan, telunjuk kanannya menuding ke arah muka kepala jaksa itu, dia me mbentak, "Pengkhianat she Pui! Hayo cepat kau kemba likan Cap besaranku!"

Tentu saja Pui Kian me longo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan pembesar tinggi itu. "Cap..... cap kebesaran ?

Apa    apa yang taijin maksudkan?"

Sikap dan ucapan ini oleh Kwa Taijin dianggap sebagai sikap pura-pura yang palsu, ma ka kemarahannya ma kin me muncak. "Keparat, kau masih mau berpura-pura lagi setelah menyuruh maling menc uri cap itu dari kamarku? Pengawal, geledah kamarnya dan cari cap itu, dan tahan dia!"

Para pengawal pribadi Pui Kian hanya me longo, tidak berani me mbe la maj ikan mereka karena mereka pun mengenal siapa Kwa Taijin dan tahu bahwa para pengawal kota raja itu adalah pasukan yang lebih tinggi kedudukannya daripada mereka. Kepala pengawal bersama anak buahnya cepat melakukan penggeledahan dan tak lama kemudian, kepala pengawal sudah keluar dari kamar me mbawa sebuah cap kebesaran milik Kwa Taijin yang tadi dicuri ma ling.

"Hemm, lihat ini! Kau masih hendak menyangkal lagi?" Kwa Taijin me mperlihatkan cap itu di depan hidung Pui Kian. Pucatlah wajah Pui Kian.

"Tapi..... sungguh mati...... saya..... saya tidak mencurinya "

"Hemm, kau penjahat kepalang tanggung! Kalau t idak menyuruh curi, apakah cap kebesaranku itu bersayap, terbang men inggalkan meja kamarku lalu hinggap di meja dalam kamar mu?"

"Fitnah...., ini tentu fitnah....." Pui Kian meratap.

"Tangkap dia! Bawa ke dalam tahanan di tempat kepala daerah!" bentak Kwa Taijin.

Malam itu Pui Kian, kepala jaksa Thian-cin yang biasanya menjad i raja kecil di kota itu, harus meringkuk di dalam penjara di belakang gedung kepala daerah, dijaga ketat oleh pengawal-pengawal kota raja atas perintah Kwa Taijin sendiri. Akan tetapi, penjagaan yang amat ketat ini masih tidak ma mpu men cegah Cui Hong yang me mbungkus sebuah kerikil dengan kertas yang telah diberi tulisan, lalu melontarkan kertas itu ke dalam kamar tahanan dari jauh, dan kertas yang me mbungkus kerikil itu melayang melalui jeruji besi, dan tepat mengenai kepala Pui Kian.

"Tukk!" Pui Kian mengaduh dan melihat benda kecil putih itu yang tadi menya mbar kepalanya, dia cepat me mungutnya. Penerangan lampu di luar kamar tahanan cukup terang menerobos melalui jeruji-jeruji besi dan dia lalu me mbuka kertas yang membungkus kerikil itu, dan dibacanya tulisan tangan yang halus di atas kertas.

"Kepala Jaksa Pui,

kami me ngucapkan selamat kepada mu!" "Mendiang guru silat Kim Siok sekeluarga".

Membaca tulisan itu, Pui Kian mengerutkan alisnya. Guru silat Kim Siok? Sudah mendiang ? Dia meng ingat-ingat, lalu mengepal tinju dengan geramnya. Ah, kini dia teringat akan peristiwa tujuh tahun yang lalu. Guru silat Kim? Dengan anak gadisnya yang dila mar oleh Pui Ki Cong puteranya, akan tetapi ditolak. Guru silat itu bersama seorang muridnya telah tewas dan gadis itu..... ah, ke mana perginya gadis itu? Bukankah menurut kabar yang diperolehnya, gadis anak Kim Kauwsu itu oleh puteranya diberikan kepada Thian-cin Bu-tek Sa m-eng? Dan bagaimana mungkin guru silat Kim yang sudah mati itu ma mpu melempar kan surat ini? Kini dia dapat menduga bahwa yang mencuri barang-barang berharga dan menggantinya dengan batu, kemudian melakukan fitnah atas dirinya dengan mencuri cap kebesaran milik Kwa Taijin kemudian menaruh ke dalam kamarnya tentu juga orang yang me le mparkan surat itu! Akan tetapi siapa? Kim Kauwsu tidak mungkin karena dia sudah mati. juga muridnya yang akan menjadi mantunya itu. Lalu siapa? Anak perempuannya? Rasanya tidak mungkin. Anak perempuan itu sudah dibawa Bu-tek Sa m-eng, kalau belum mati pun tentu menjadi bini muda mereka. Apakah murid-murid Kim Kauwsu? Ah, bisa jadi. Bukankah banyak juga murid-murid guru silat itu? Dia mengepal t inju. Dikirimkannya surat pember ian sela mat atas malapetaka yang men impa dirinya itu jelas merupa kan ejekan. Ingin dia menang kap orang itu, menghukumnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi, pembesar itu teringat akan keadaan dirinya dan lenyaplah    semua    kemarahan    terhadap    orang    yang me mfitnahnya, terganti oleh ketakutan yang amat hebat. Dia me mbayangkan dirinya dihuku m, dipecat, dan dibuang, atau bahkan mungkin dihukum mati! Gemetar seluruh tubuhnya meng ingat ini dan tanpa dapat ditahannya lagi dia menangis!

Kerap kali terbukti bahwa orang-orang yang paling kejam hatinya adalah orang-orang yang paling penakut! Ada kalanya pula sifat pengecut dan penakutlah yang mendorong seseorang untuk berwatak kejam terhadap sesama ma nusia. Karena merasa takut dan merasa terancam keselamatannya, maka orang itu akan menyerang siapa saja yang dianggapnya men jadi anca man bagi keselamatannya, kesejahteraannya atau kemuliaan hidupnya. Agaknya Kepala Jaksa Pui ini orang seperti itulah. Biasanya, kalau dia me mper lihatkan kekuasaannya men indas orang lain, hatinya merasa ge mbira dan puas sekali me lihat orang la in itu meratap-ratap minta ampun, menangis di depan kakinya minta keringanan hukuman. Puas dan ge mbira karena tangis orang lain itu merupakan mah kota kekuasaannya. Ratap tangis orang lain bagaikan nyanyi merdu di telinganya. Kini, menghadapi ancaman terhadap dirinya yang sukar untuk dapat dihindarkannya, melihat betapa kekuasaannya runtuh dan dia sama sekali tidak ber daya, kebanggaan dirinya runtuh pula dan timbul iba diri yang berlebihan besarnya, yang mendorong menga lirnya air mata dari sepasang matanya yang sudah lama menger ing tak pernah disentuh perasaan itu.

Dan si pelempar surat, Kim Cui Hong, sambil tersenyum puas dengan sinar mata berkilat dan wajah berseri-seri, men inggalkan kota Thian-cin pada pagi hari itu juga, masih gelap, me mbawa bungkusan pakaiannya yang kini juga terisi sebuah kantung terisi barang-barang berharga yang indah dan amat mahal harganya.

Kota raja masih na mpa k megah dan ra mai, walaupun sebenarnya banyak penduduknya merasa gelisah karena kini pasukan-pasukan pe mberontak sudah se makin maju mende kati kota raja dari semua jurusan. Dari timur kabarnya pemberontak yang dipimpin oleh Lie Cu Seng sudah semakin maju sampai ke perbatasan propinsi, hanya tinggal tiga ratus li dari kota raja. Di barat juga pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Bu Sam Kwl me mperoleh kemenangan- kemenangan. Apalagi di utara. Pasukan kerajaan kewalahan menghadap i serbuan-serbuan bangsa Mancu yang semakin kuat saja. Pendeknya, kota raja telah dikepung dari berbagai jurusan oleh banyak musuh. Bukan hanya tiga golongan musuh itu saja. Mereka bertiga itu adalah golongan musuh paling besar dan paling kuat. Masih banyak lagi pemberontakan-pemberontakan kecil terjadi di daerah-daerah. Semua ini me mbuat para menteri yang mas ih setia kepada kerajaan menjad i se makin gelisah. Akan tetapi apa daya mereka? Kaisar dininabobokkan oleh para thaikam dan selalu menerima pelaporan yang baik-baik saja dari para thaikam itu.

Karena keadaan seperti mendung dan gelap oleh kegelisahan, oleh anca man-anca man yang tidak na mpak dan terasa oleh semua orang bahwa kota raja berada dalam ancaman bahaya besar, maka yang berpesta pora dalam keadaan seperti itu adalah orang-orang yang menjual tenaga dan kepandaian silat mereka sebagai pengawal-pengawal dan penjaga-penjaga keamanan. Orang-orang berpangkat dan orang-orang hartawan yang memiliki uang, tidak sayang menge luarkan banyak uang me mbayar jagoan-jagoan yang bertugas menjaga keamanan mereka dan keluarga mereka. Dalam keadaan ketakutan, orang memang dapat melakukan hal-hal yang menggelikan. Orang-orang hartawan itu sama sekali tidak ingat lagi bahwa ancaman perang tidak mungkin dapat dihindarkan oleh perlindungan yang diberikan jagoan- jagoan silat begitu saja! Dan mereka pun lupa bahwa yang mungkin meng ganggu dalam keadaan kacau itu justeru orang- orang yang biasa bertindak kasar dan keras, yaitu orang-orang yang merasa punya kepandaian silat dan yang merasa unggul, termasuk orang-orang yang mereka angkat menjadi jagoan- jagoan itu! Mereka tidak ingat betapa sudah banyak terjadi adanya pagar makan tanaman, atau orang-orang yang diandalkan sebagai penjaga keamanan bahkan menjadi pengacau keamanan itu sendiri! Seperti me melihara harimau untuk mencegah serbuan serigala. Serigalanya tidak datang, akhirnya sang harimau peliharaan itu yang akan menerka m dan me mangsanya!

Betapapun juga, sudah pasti bahwa para jagoan atau mereka yang merasa me miliki kepandaian silat dan yang berani berkelahi, dalam keadaan seperti itu menjad i laris sekali. Tenaga mereka dan jaminan mereka dibayar mahal oleh orang-orang beruang yang rela me mbayar mahal hanya sekedar untuk menentera mkan hati mereka dan "merasa terlindung".

Banyak jagoan-jagoan atau tukang-tukang pukul yang me miliki ilmu silat tinggi dan yang ditakuti dan disegani orang, yang perlindungannya berharga mahal sekali, berhasil mengumpulkan kekayaan dan menjad i orang kaya. Di antara mereka terdapat seorang jagoan yang terkenal sekali dengan julukannya, yaitu Toat-beng joan-pian (Cambuk Pencabut Nyawa)! Dia telah menjad i kaya raya karena menjadi pelindung beberapa orang hartawan di kota raja. Melihat betapa usaha di luar lebih baik daripada menjadi kepala- kepala pengawal yang makan gaji, sudah la ma jagoan ini men inggalkan pekerjaannya sebagai pengawal seorang pembesar di kota raja dan me mbuka usaha me lindungi hartawan-hartawan dengan menerima bayaran mahal setiap bulannya. Dan dia agaknya me mang berdarah pedagang. Usahanya ini dapat diperluasnya menjadi se maca m perusahaan penjaga keamanan dan dia me miliki puluhan orang pembantu yang bertugas men jaga rumah-ru mah hartawan. Dia sendiri hanya dipakai namanya saja untuk menakuti-nakuti orang. Dan me mang sesungguhnyalah, hartawan yang dijaga oleh anak buah Toat-beng Joan-pian ini, tidak ada yang berani mengganggu. Agaknya para penjahat di kota raja tidak berani menentang Si Ca mbuk Pencabut Nyawa yang selain terkenal lihai bukan main, akan tetapi juga terkenal bertangan besi dan tidak pernah mau menga mpuni siapa yang berani mengganggu hartawan yang dilindunginya. Setelah me mbunuh beberapa orang yang berani mencoba- coba, akhirnya tak seorang pun berani mengganggunya lagi dan dalam waktu dua tiga tahun saja dia telah menjadi seorang yang kaya raya.

Jagoan itu kini me mpunyai sebuah gedung besar di pinggir kota raja dekat pintu gerbang sebelah barat. Dia hidup mewah di situ bersa ma seorang isterinya dan dua orang anaknya. Usianya sudah empat puluh tahun lebih, tubuhnya pendek tegap dan mukanya buruk, ternyata isterinya masih muda dan cantik sekali! Isterinya itu baru berusia dua puluh lima tahun dan dua orang anaknya baru berusia tujuh tahun dan tiga tahun. Hal ini tidak mengherankan karena dia me miliki kepandaian tinggi, me miliki banyak uang dan nama besar! Dan karena dia pun pandai menc inta isterinya yang muda dan cantik, wanita ini pun dapat menjadi seorang isteri yang setia dan seorang ibu anak-anaknya yang baik. Pendek kata, Toat- beng Joan-pian Louw Ti, ya namanya adalah Louw Ti, hidup serba kecukupan dan dapat diduga hidup berbahagia bersama keluarganya. Para pembaca tentu masih ingat kepada nama ini. Louw Ti, jagoan yang pandai me ma inkan joan-pian, se maca m ruyung le mas atau cambuk yang saking tangguhnya diberi nama Cambuk Pencabut Nyawa yang kemudian menjadi julukannya. Ya, dia adalah Louw Ti, seorang di antara Thian-cin Bu-tek Sam-eng (Tiga Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin), bahkan orang yang paling tua, lebih tua setahun daripada dua jagoan lainnya dari Bu-tek Sa m-eng.

Louw Ti, seperti yang lainnya, mendengar juga akan kejatuhan Kepala Jaksa Pui Kian di Thian-cin. Akan tetapi karena persahabatannya dengan pejabat itu dahulu hanyalah persahabatan belian, dalam arti kata persahabatan yang dijalin karena saling menguntungkan, ma ka di dalam hatinya dia sama sekali t idak merasa akrab dan sa ma sekali bukan sahabat Pui Kian. Karena itu, mendengar betapa bekas kepala jaksa itu kini menjad i orang hukuman, dia hanya tersenyum saja dan beberapa menit kemudian sudah me lupakan lagi berita tentang kejatuhan orang she Pui itu. Kalau saja dia tahu mengapa dan siapa yang menyebabkan kejatuhan Pui Kian, mungkin dia tidak akan tersenyum acuh! Dia sama sekali tidak tahu bahwa mendung kelabu mulai datang dari jauh untuk me mbikin gelap sinar keberuntungan yang menerangi kehidupannya.

Mula- mula terjadi pencurian di rumah gedung seorang hartawan yang dijaga oleh empat orang anak buah Louw Ti. Bukan hanya sejumlah perhiasan emas per mata yang dicuri orang, akan tetapi juga empat orang anak buah itu dihajar babak-belur oleh pencuri itu.

"Orangnya bertubuh kecil, akan tetapi mukanya me ma kai topeng hitam dan pakaiannya juga hitam se mua," de mikian empat orang anak buah itu melapor kepada Louw Ti. "Ilmu silatnya lihai sekali. Ketika dia melakukan pencurian, kami berempat yang berjaga di depan pintu besar sama sekali tidak mengetahuinya. Adalah dia sendiri yang mendatangi kami dan mengejek, mengatakan bahwa dia telah mencuri banyak barang perhiasan berharga dari ka mar tuan ruma h."

"Hemm....!" Louw Ti mengerutkan alis nya dan sepasang matanya yang lebar itu me mancarkan sinar berkilat karena marahnya. "Apakah kalian t idak me mberi tahu bahwa kalian adalah anak buahku?"

"Sudah kami beri tahu, Louw-twako. Kami me mberi tahu bahwa kami adalah pe mbantu-pe mbantu Toat-beng Joan-pian yang bertugas menjaga di rumah itu dan kami minta agar dia menge mba likan barang-barang itu dan jangan mengganggu kami." Orang yang bercerita itu berhenti seolah-olah takut me lanjutkan.

"Dan apa katanya?" Louw Ti menuntut, penasaran. "Saya..... saya tidak berani menceritakan. "

"Dess....!" Tubuh orang itu terlempar dan bergulingan kena tendangan Louw Ti yang menjadi marah bukan main.

"Apakah kau ingin ma mpus? Sudah gagal melakukan penjagaan sehingga tuan rumah kema lingan, masih berani merahasiakan keterangan kepadaku?"

"Ampun, twako. Akan tetapi orang itu..... dia menghina sekali kepada twako."

"Hemm, berani menghinaku? Apa kata nya?"

"Dia bilang bahwa tidak takut kepada Toat-beng Joan-pian, bahwa dia tidak takut kepada Louw Ti yang pendek bermuka hitam, bahkan dia minta kami menya mpaikan kepada twako bahwa dia adalah Pencabut Nyawa orang she Louw. "

"Jahanam keparat....!!!" Louw Ti meloncat dan tentu dia sudah menerjang empat orang pembantunya itu kalau saja dia tidak ingat bahwa dia sendiri yang me maksa mereka mengaku. Sepasang mata yang lebar itu menjadi kemerahan, mulutnya terengah-engah seperti mengeluarkan uap panas, kedua tangannya dikepal dan berbunyi berkerotokan.

"Di ma na dia?" hanya itu yang dapat ditanyakan karena kemarahan yang hebat me mbuat dia sukar bicara.

"Ka mi tidak tahu, twako. Mendengar penghinaannya, kami lalu maju mengeroyoknya, akan tetapi kami tidak ma mpu menand inginya dan kami dihajar sa mpai tidak ma mpu bangun kembali."

"Kerbau tolol! Kamu tidak tanya siapa namanya dan di mana te mpat tinggalnya?" bentak Louw Ti.

"Saya sudah tanyakan, akan tetapi dia hanya tertawa dan me loncat pergi, menghilang dalam kegelapan ma la m."

Tentu saja peristiwa itu me mbuat hati Louw Ti me njadi panas dan marah sekali. Hiburan isterinya pun tidak dapat mengobati luka di hatinya dan sejak malam itu, dia sering keluar malam untuk meronda, kalau- kalau dia akan dapat bertemu dengan orang bertopeng hitam itu. Dan untuk menjaga na ma baiknya, dia mengganti kerugian hartawan yang kecurian itu dan meyakinkan hati hartawan itu bahwa pencurian seperti itu tidak akan terulang kembali dan dia akan menang kap si pencuri. Memang perbuatannya mengganti kerugian ini me mbuat namanya menjadi bersih kembali dan kepercayaan para hartawan itu timbul lagi walaupun tadinya mereka meragu dengan adanya pencurian itu. Akan tetapi hanya untuk beberapa hari saja karena segera terjadi lagi pencurian-pencurian yang sama. Pencuri itu datang mencuri uang yang cukup banyak atau perhiasan dari hartawan- hartawan yang rumahnya dijaga oleh anak buah Louw Ti, dan selalu menghajar para penjaga itu sambil menyampaikan ucapan penghinaan kepada Louw Ti.

Setelah terjadi peristiwa seperti itu sa mpai lima enam kali, Louw Ti benar-benar merasa dirongrong dan setiap malam dia me lakukan penyelidikan untuk menang kap pencuri itu. Tanpa hasil. Hartanya sampai ha mpir habis untuk mengganti kerugian para hartawan itu, karena yang dicuri oleh pencuri berkedok hita m itu bukan jumlah yang kecil. Kalau begini terus, akhirnya dia akan jatuh miskin dan namanya tentu akan menjad i rusak. Di antara hartawan langganannya bahkan sudah ada tiga orang yang berhenti dan mencari jagoan lain untuk menjaga keamanan keluarga mereka. Hal ini merupakan pukulan hebat bagi Louw Ti.

"Aku bersu mpah untuk menangkap pencuri keparat itu!" ome lnya marah- marah ketika pada suatu malam dia pulang dari meronda tanpa hasil. "Akan kupatah-patahkan kedua lengannya, kubikin buntung kedua kakinya dan kutusuk buta kedua matanya!"

Isterinya bergidik mendengar anca man-anca man itu. "Ah, kenapa marah- marah setiap hari, suamiku? Kalau pencuri itu me mang tidak ma u bertemu dengan mu, biar setiap malam kau meronda pun, takkan ada gunanya. Lebih baik mengurangi jumlah langganan dan me lipatgandakan penjagaan agar lebih kuat."

"Uang kita sudah hampir habis untuk mengganti kerugian. Kalau dikurangi jumlah langganan, mana penghasilan kita bisa cukup? Selama pencuri jahanam itu masih berkeliaran, aku akan tak dapat tidur nyenyak. Agaknya dia me mang sengaja me musuhiku. Sudah kuselidiki di kota raja ini, tidak ada tempat lain yang diganggunya kecuali ruma h-rumah hartawan yang menjad i langgananku."

"Aih, kalau begitu jelas dia itu seorang musuhmu." kata isterinya khawatir. "Cari saja siapa musuhmu itu, tentu engkau akan dapat menduga siapa adanya pencuri itu."

Suaminya mengge leng-geleng kepala dan matanya yang lebar itu makin bercahaya penuh anca man yang a mat bengis. "Mana aku tahu? Selama menjadi pengawal orang-orang besar dahulu, sudah banyak yang menjad i lawan dan musuhku. Hemm.... sekali waktu aku pasti akan bertemu dengan dia dan joan-pianku inilah yang akan meng habiskan nyawanya!" Dia meraba senjata itu yang tak pernah terpisah dari pinggangnya.

"Hati-hatilah, suamiku. Bagaimana kalau kau kalah? Menurut laporan anak buahmu, pencuri itu lihai bukan ma in."

"Betapapun lihainya, aku tidak mungkin kalah!" bentak suami itu dengan hati mendongkol dan isterinya tidak berani banyak cakap lagi.

Pada keesokan harinya, ketika Louw Ti masih tidur karena semalam dia kurang t idur sehingga setelah matahari naik tinggi belum juga bangun, dia tergugah oleh isterinya. "Ah, aku mas ih ngantuk, kenapa kau me mbangunkan ku?" O melnya dengan sikap ogah untuk men inggalkan bantal gulingnya.

"Sua miku, ada tamu penting yang ingin sekali berte mu dan bicara denganmu. Katanya dia mempunyai pekerjaan untukmu yang akan mendatangkan penghasilan besar sekali dan hanya dapat dilakukan oleh engkau sendiri."

"Hemm  pekerjaan apa? Siapa dia?"

"Agaknya ia puteri seorang bangsawan atau hartawan besar, ia seorang wanita yang cantik sekali dan pakaiannya serba mewah, seperti puteri istana saja. "

Mendengar    keterangan     ini,     Louw     Ti     seketika me mbe lalakkan matanya dan cepat dia membersihkan mukanya, bertukar pakaian lalu keluar mene mui ta munya yang disambut oleh isterinya di ruang depan. Ketika berhadapan dengan tamu itu, Louw Ti cepat me mberi hormat dan dia merasa kagum bukan ma in. Benar isterinya. Tamu ini seorang wanita yang luar biasa cantiknya! Seperti seorang puteri istana me mang. Ketika dia menoleh keluar, di sana berdiri sebuah kereta dengan empat ekor kuda, sebuah kereta yang amat indah. Tentu dia seorang wanita bangsawan, pikirnya dan dia m-dia m dia merasa heran karena belum pernah dia me lihat wanita ini. Dengan kedua matanya yang lebar dan bersinar tajam, dia me mperhatikan tamu itu.

Ia seorang wanita muda, usianya masih lebih muda dari isterinya, antara dua puluh satu dan dua puluh dua tahun. Wajahnya cantik jelita dan terutama sekali matanya yang lebar dan jernih, mulutnya yang berbibir segar kemerahan itu, sungguh a mat menarik hati. Rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan hiasan sanggul terbuat daripada e mas per mata yang amat indah, berbentuk seekor burung Hong. Pakaiannya juga terbuat dari sutera yang amat mahal, dan tubuhnya penuh dengan perhiasan yang serba indah. Gelang, kalung, cincin, hiasan ra mbut, hiasan baju di dada, semua begitu indah dan mahal, gemerlapan.

Ketika Louw Ti me mberi hormat, wanita itu pun bangkit berdiri dan mengangguk, lalu tersenyum man is dan bertanya, "Apakah aku berhadapan dengan Louw-enghiong (Pendekar Louw)?" suaranya merdu dan halus, sikapnya le mbut seperti seorang puteri istana atau puteri bangsawan tinggi.

Girang hati Louw Ti men dengar dirinya disebut enghiong! "Benar, siocia (nona), saya adalah Louw Ti, seorang di antara Thian-cin Bu-tek Sa m-eng!" Dia sengaja menyebut julukan itu untuk menonjolkan diri dan mengaku bahwa me ma ng dia seorang enghiong, seorang di antara Sam-eng (Tiga Pendekar).

"Ah, kalau begitu tepat sekali nasihat pamanku agar aku minta bantuanmu, Louw-enghiong. Pekerjaan ini a mat penting, barang yang harus dilindungi berharga ribuan tail emas, dan meng ingat bahwa pada waktu sekarang ini sangat tidak aman, maka pekerjaan ini hanya dapat dilakukan dengan hasil baik oleh seorang yang memiliki kepandaian tinggi seperti Louw-enghiong."

"Barang apakah yang dilindungi dan di ma na, siocia? Dan kalau boleh saya mengetahui, siapakah siocia?" "Maaf, aku harus merahasiakan diriku, juga pekerjaan ini harus dirahasiakan, dan hanya Louw-enghiong dan isteri saja yang boleh mengetahui. Kalau engkau setuju dengan syarat itu, kami akan me mberi upah sebanyak lima puluh tail e mas! Kalau tidak setuju, biarlah aku pergi me ncari pengawal lain."

Mendengar upah lima puluh tail e mas, jantung dalam dada Louw Ti berdebar. Jumlah itu bukan sedikit! Jauh lebih banyak daripada jumlah yang sudah dikeluarkannya untuk mengganti kerugian kepada hartawan-hartawan langganannya yang kecurian. Hartanya akan pulih kembali bahkan berta mbah!

"Baik, ceritakanlah, nona. Pekerjaan apakah yang harus saya lakukan?"

"Ayahku seorang pejabat tinggi dalam istana yang kini mengundurkan diri. Ka mi me mpunyai harta pusaka yang harus kami kirim ke dusun di mana ayah telah me mbeli dan mend irikan sebuah ruma h.

“Nah, tugasmu adalah mengir im dan mengawal harta kami itu ke dusun itu sampai tiba di sana dengan selamat. Akan tetapi tak seorang pun boleh tahu akan harta itu. Karena itu, engkau harus me mbawanya sendiri, jangan me mberi tahu lain orang dan jangan me mbawa kawan. Harta pusaka itu terdiri dari benda-benda berharga terbuat dari e mas per mata yang amat mahal harganya, mencapai seribu tail e mas lebih, dapat kaubawa dengan berkuda. Setelah tiba di dusun itu, kami menanti di sana untuk menerimanya dan setelah kami terima dengan selamat, kami akan me mbayar lima puluh tail e mas, dalam bentuk emas murni."

Wajah Louw Ti berseri ge mbira, akan tetapi dia pun khawatir. Membawa harta sebanyak itu bukan merupakan hal yang ringan, apalagi perjalanannya jauh. Cukup berbahaya pada waktu itu, apalagi kalau sa mpai ketahuan orang-orang dunia hita m, tentu harta sebanyak itu akan menjad i rebutan dan perjalanannya akan mene mui banyak halangan. "Dari mana dan ke manakah harta pusaka itu harus dibawa, nona?"

"Tidak begitu jauh, hanya mema kan waktu dua hari saja kalau menggunakan kuda yang baik. Dibawa dari kota raja ini menuju ke dusun dekat Thian-cin."

Makin giranglah hati Louw Ti. Begitu dekat! "Dusun manakah, nona?"

"Ayahku telah me mbeli sebidang tanah di dusun Ang-ke- bun dekat Thian-cin, dan sudah me mbangun rumah di sana. Kakekku berasal dari dusun itu, ma ka ayah ingin beristirahat di hari tuanya disana."

"Ang-ke-bun? Aku tahu tempat itu. Baiklah, saya bersedia, nona."

"Ah, tidak begitu mudah. Louw-enghiong. Harta itu berharga ribuan tail, kalau saya serahkan kepada mu, lalu apa tanggungannya? Bagaimana kalau sa mpai harta pusaka itu hilang dira mpas orang? Bagaimana tanggung jawabmu? Hal ini harus kita bicarakan dulu, kita rundingkan pahitnya dulu. Setidaknya, setelah harta itu kau bawa, engkau harus menyerahkan seju mlah uang tanggungan, walau tidak sepenuh harga harta itu, sedikitnya setengahnya."

"Hayaaa.....! Mana kami ada uang begitu banyak, nona? Kalau ada, tentu dengan senang hati saya akan memberikan uang tanggungan itu. Akan tetapi...." Dia menengo k kepada isterinya dengan bingung.

"Bukankah engkau masih me mpunyai rumah gedung ini dan semua is inya? Kalau digadaikan dengan bunga tinggi, kukira banyak hartawan di kota raja yang menerimanya. Nah, kau gadaikan rumah mu ini, kau serahkan uang tanggungan itu kepadaku, dan aku akan menyerahkan harta itu pada mu. Kau boleh me meriksa is inya agar hatimu tenang. Dan tentang bunga uang penggadaian rumah mu, biarlah aku yang me mbayarnya, sebagai tambahan upahmu. Bagaimana? Setujukah?"

Tentu saja Louw Ti setuju. Upah lima puluh tail e mas bukanlah sedikit! Dan apa salahnya menyerahkan uang penggadaian rumahnya kepada nona ini? Bukankah dia juga menerima harta pusaka itu yang jauh lebih besar harganya? Hanya dua hari dan dia akan menerima upah lima puluh tail emas, berikut uang tanggungannya dan bunga penggadaian rumahnya. Dari kota raja ke Ang-ke-bun, dusun kecil di luar kota Thian-cin itu. Amat dekat dan amat mudah! Dia yakin benar bahwa perjalanan antara dua tempat itu aman. Belum pernah terjadi gangguan perampokan besar di daerah itu. Kalaupun ada tentu hanya gangguan penjahat-penjahat kecil yang sudah akan berlari terbirit-birit kalau berjumpa dengan dia. Louw Ti tertawa girang.

"Baiklah, nona. Besok pagi atau nanti saya kira saya sudah akan berhasil menggadaikan rumah kami ini berikut is inya."

"Baiklah, Louw-enghiong. Besok pagi saya akan datang lagi me mbawa harta pusaka itu, menyerahkan kepadamu dan menerima uang tanggungan darimu, dan sekalian akan kujelaskan bagaimana engkau harus melaksana kan tugas itu." Wanita muda yang cantik jelita itu tersenyum man is lalu berpamit, diantar sampai ke depan pintu oleh Louw Ti dan isterinya. Kefeta berkuda e mpat itu lalu bergerak dan dengan cepat lalu men inggalkan rumah Louw Ti.

Tentu saja Louw Ti gembira bukan main. Untuk se mentara dia melupakan maling berkedok hita m yang menggangunya. Ada pekerjaan yang lebih penting, yang akan ma mpu meno longnya dan me mulihkan keadaan keuangannya. Dan me mang tidak sukar baginya untuk me ne mukan seorang hartawan yang mau menggadai rumahnya berikut isinya, hanya untuk jangka waktu beberapa hari saja dengan bunga tinggi tentunya. Demikianlah, ketika pada keesokan harinya nona bangsawan yang cantik itu datang bersama keretanya, dengan bangga Louw Ti dapat menumpuk uang hasil penggadaian rumah dan is inya itu di atas meja. Hanya kurang dari sepersepuluh harga harta pusaka itu, namun nona cantik itu menerima nya dengan girang dan puas. "Bukan uang dan jumlahnya yang penting." katanya. "Melainkan tanggungan itulah. Karena ada tanggungan rumah dan semua isinya, tentu Louw-enghiong akan bekerja lebih hati-hati lagi. Dan inilah pusaka itu, harap enghiong periksa sebentar dan cocokkan dengan catatannya."

Bungkusan kain kuning yang tebal itu dibuka dan Louw Ti bersama isterinya terbelalak kagum. Benar-benar isinya merupakan benda-benda yang amat berharga, tak ternilai harganya. Berkilauan per mata yang besar-besar, seperti mata yang banyak dan yang hidup berkedip-kedip kepada mereka. Dengan jari-jari tangan agak gemetar karena selama hidupnya belum pernah me lihat, apalagi me megang harta pusaka sebanyak itu, Louw Ti lalu mencocokkan jumlah benda-benda itu dengan catatannya. Kemudian, setelah merasa cocok, dia menandatangani catatan itu dan menyerahkannya kepada nona bangsawan itu bersama uang hasil penggadaian rumahnya.

"Nah, hari ini juga engkau boleh me mbawa harta ini dengan berkuda menuju ke dusun Ang-ke-bun, Louw-eng- hiong. Sebaiknya dibungkus dengan buntalan kain yang tua agar tidak menyolok, seperti buntalan pakaian saja. Engkau terpaksa harus bermalam di tengah perjalanan dan besok siang akan dapat sampai ke Ang-ke-bun. Rumah yang dibangun ayahku berada di dekat jembatan di sebelah dalam pintu gerbang dusun yang di selatan. Dia sana ada rumah baru yang paling besar di dusun itu, bercat kuning dan jendela depannya berbentuk bulan purnama. Aku akan menantimu di sana. Sudah jelaskah, Louw-enghiong?" Louw Ti mengangguk-angguk dan tersenyum gembira. "Sudah cukup, lebih dari jelas. Saya akan berangkat sekarang juga mungkin ma lam ini terpaksa harus ber malam di tengah perjalanan. "

"Berhati - hatilah, Louw - enghiong.   "

Nona bangsawan itu me mperingatkan dengan wajah agak khawatir.

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, nona. Di luar hutan pohon pek di sebelah selatan bukit, di lereng itu terdapat sebuah kuil tua. Di sanalah biasanya kami yang melakukan perjalanan beristirahat atau bermalam. Tempat itu a man sekali, belum pernah ada gangguan. Saya jamin bahwa pada besok hari, harta pusaka ini akan saya serahkan kepada nona di Ang-ke- bun dalam keadaan utuh dan sela mat!"

"Baiklah, kini tenteram hatiku." Nona bangsawan itu lalu berpamit dan me mbawa uang tanggungan itu keluar, lalu keretanya pun pergi dengan cepat meninggalkan pekarangan rumah gedung Louw Ti.

Derap kaki kuda itu me mecah kesunyian dalam hutan. Seekor kuda yang besar dan kuat berlari cepat di senja hari itu. Penunggangnya adalah Louw Ti yang berpakaian ringkas dan menggendong buntalan di punggungnya. Buntalan kain hitam kasar dan kuat, tidak menarik perhatian. Wajahnya yang angker itu, dan kemilau cambuknya yang me lingkari pinggangnya, lebih menarik dan me ndatangkan kesera man. Biarpun tubuhnya pendek, orang ini me mang me mpunyai pembawaan diri yang berwibawa dan menyeramkan. Wajahnya yang hitam buruk dan terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan mencorong itulah yang mendatangkan perasaan segan dan takut orang lain, karena wajahnya itu me mbayangkan kebengisan dan keberanian.

Louw Ti me mbalapkan kudanya karena dia ingin tiba di kuil tua itu sebelum hari gelap. Tadi dia berangkat agak siang karena harus mene mui dulu para pembantunya dan me mesan agar mereka bekerja dengan hati-hati, agar selama dia pergi jangan sampai terjadi pencurian-pencurian lagi di rumah- rumah hartawan yang mereka jaga.

Perdagangan agak sunyi semenjak kota raja terancam bahaya oleh para pemberontak yang makin mendekat. Para saudagar   enggan   untuk   melakukan   perjalanan    jauh men inggalkan keluarganya. Karena itu, perjalanan kali ini dari kota raja men uju ke selatan a mat sunyi. Hanya beberapa kali saja Louw Ti bertemu dengan pejalan kaki atau penunggang kuda yang lewat jalan kecil itu. Akan tetapi dia tidak berkecil hati. Sudah biasa jagoan itu me lakukan perjalanan seorang diri. Dia terlalu percaya akan kema mpuan sendiri. Siapakah orangnya berani mengganggu di daerah yang sudah amat dikenalnya ini? Setiap orang penjahat, dari yang kecil sampai yang besar, semua telah mengenalnya dan takkan ada seorang pun di antara mereka yang berani menco ba-coba mengganggunya. Apalagi, tak seorang pun yang tahu bahwa buntalan kain hita m di punggungnya itu terisi harta pusaka yang harganya mencapai seribu tail emas!

Cuaca sudah mulai re mang-re mang akan tetapi belum gelap benar ketika akhirnya dia tiba di depan kuil tua. Me-lihat kesunyian di sekitar situ, juga di depan kuil t idak na mpak ada kereta atau kuda, Louw Ti merasa lega. Lebih enak kalau kuil itu kosong daripada kalau ada orang lain yang juga ber malam di situ, pikirnya. Dia meloncat turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda me masu ki kuil tua itu dan mena mbatkan kudanya di ruang depan yang sudah agak rusak. Berbahaya juga meninggalkan kuda itu di luar, karena pada malam harinya mungkin saja ada orang yang akan mencuri kudanya itu.

Baru saja dia selesai mengikat kendali kuda pada tiang ruangan depan dan hendak menuju ke ruangan belakang yang masih agak bersih dan tidak bocor, tiba-tiba dia mendengar suara dan cepat-cepat dia menengok. Matanya yang lebar itu semakin me lebar ketika dia melihat bahwa di sebelah kanannya, hanya dalam jarak tiga empat meter, berdiri seorang yang berpakaian serba hitam dan yang mengenakan topeng hitam pula di depan mukanya. Dua lubang pada topeng itu memperlihatkan dua buah mata yang amat tajam, mencorong dari dalam topeng atau kedok itu! Jantung dalam dada Louw Ti berdebar walaupun dia tidak merasa takut. Dia terkejut dan merasa tegang karena dia me ngenal orang berkedok itu. Bertubuh ra mping sedang, berpakaian serba hitam dan berkedok hita m, tidak me megang senjata apa pun. Inilah yang diga mbarkan oleh orang-orangnya, pencuri yang selalu mengganggu rumah-ru mah hartawan yang dilindunginya, pencuri yang telah banyak merugikannya bahkan yang berani mengeluarkan kata-kata menghinanya! Dan orang yang sela ma ini dicari-carinya tanpa hasil itu tahu- tahu sekarang muncul di kuil ini, selagi dia seorang diri dan me mbawa barang-barang berharga! Kecut-kecut juga hatinya teringat akan buntalan di punggungnya terisi barang-barang yang amat berharga dan men jadi tanggung jawabnya untuk me lindungi dan mengantar sampai ke te mpat tujuan.

"Siapa kau dan mau apa!" bentak Louw Ti untuk mendahului dengan gertakan, selain untuk me mbesarkan hati sendiri juga untuk menggertak orang itu.

Terdengar dengus suara mengejek dari balik topeng. "Louw Ti, jangan pura-pura tidak mengenal aku, cepat serahkan buntalan di punggungmu itu kepadaku!"

Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan me mbakar hati Louw Ti. Dugaannya tidak keliru. Inilah pencuri kurang ajar itu! Dan sekarang pencuri itu agaknya me mang sengaja menghadangnya di te mpat ini untuk merampas buntalan di punggungnya. Perasaan benci, marah, dendam, akan tetapi juga gelisah berca mpur-aduk dalam hatinya. Otomatis tangan kirinya meraba buntalan di pinggangnya, dan tangan kanannya mencabut keluar ca mbuk dari pinggangnya.

"Jahanam busuk, me mang aku sedang mencarimu untuk menghancurkan kepala mu!" bentaknya dan tanpa banyak cakap lagi, ca mbuknya menyambar dengan suara meledak- ledak ke arah kepala orang itu. Akan tetapi, dengan gerakan yang amat gesit, orang itu sudah mengelak dengan loncatan ke belakang. Cambuk di tangan Louw Ti menya mbar terus karena dia me mang bernafsu sekali untuk segera merobohkan orang itu, melucuti kedoknya dan menyiksanya sampai mati. Akan tetapi, biarpun didesak oleh menyan barnya cambuk yang dahsyat itu, orang berkedok itu dapat menge lak pula ke samping kanan dan kakinya tiba-tiba menya mbar ke arah perut Louw Ti. Cepat sekali gerakan ini dan serangan balasan yang tidak terduga-duga ini hampir saja mengenai perut Louw Ti. Namun, dia seorang ahli silat yang sudah biasa melakukan perkelahian, maka dia pun dapat cepat melemparkan diri ke belakang dan cambuknya meledak-ledak dari atas menyambar ke depan sehingga lawannya terpaksa mengelak pula.

Tentu saja orang berkedok itu bukan lain Kim Cui Hong! Dan seperti pembaca tentu sudah dapat menduga, gadis bangsawan cantik jelita yang menyerahkan harta pusaka kepada Louw Ti untuk diantarkan ke Ang-ke-bun itu adalah Cui Hong pula! Dengan hasil ra mpasannya, yaitu benda-benda berharga dari tangan Kepala jaksa Pui, gadis ini telah menjadi seorang yang kaya raya. Ia menjual beberapa potong benda itu kepada pedagang besar di kota raja, menerima banyak uang dan diaturnyalah rencananya untuk mulai dengan pembalasan denda mnya. Karena menurut hasil penyelidikannya, musuh yang pertama kali diperoleh keterangan adalah Louw Ti, maka dara ini pun segera mengatur siasat untuk turun tangan terhadap Louw Ti terlebih dahulu. Dengan sebagian uangnya, ia membe li tanah bekas keluarga ayahnya, tanpa memperkena lkan diri kepada penduduk dusun itu, dan me mbangun sebuah gedung yang megah. Kepada para tetangga yang sama sekali tidak mengenal gadis bangsawan berkereta itu, ia hanya mengatakan bahwa ayahnya seorang pembesar tinggi dari kota raja yang sudah pensiun dan ingin beristirahat di dusun itu. Mula- mula ia meng ganggu anak buah Louw Ti, selain untuk merusak na ma baik Louw Ti sebagai pelindung bayaran juga untuk me mbikin rugi Louw Ti yang harus mengganti kerugian-kerugian para hartawan yang kecurian itu. Kemudian, ia pun muncul sebagai gadis bangsawan yang menyerahkan harta pusakanya kepada Louw Ti untuk dilindungi dan dengan cerdiknya ia minta uang tanggungan sehingga terpaksa Louw Ti men ggadaikan ruma hnya dan semua is inya! Dan kini, ia telah menjad i si topeng hita m lagi yang melakukan penghadangan di kuil tua un-tuk mera mpas buntalan di punggung musuh besarnya itu.

Louw Ti merasa terkejut juga menyaksikan orang bertopeng ini benar-benar me miliki gerakan yang a mat lincah dan juga aneh. Sampai belasan kali ca mbuknya yang biasanya ampuh sekali itu menya mbar-nyambar ganas, namun selalu lawan itu dapat menghindarkan diri dengan cepat. Padahal, dalam belasan jurus itu dia sengaja mengeluarkan jurus- jurusnya yang paling a mpuh untuk cepat merobohkan lawan yang amat dibencinya itu! Dia bukan seorang bodoh dan setelah melihat bukti kelihaian orang itu, Louw Ti maklum bahwa lawannya amat berbahaya. Mulailah dia merasa khawatir akan keselamatan harta pusaka yang berada di punggungnya. Dia m-dia m dia mulai mencari kese mpatan untuk melarikan diri. Akan tetapi, kudanya sudah diikat kendalinya   kuat-kuat   pada   tiang   di   luar,   dan   untuk me lepaskan kendali me mbutuhkan waktu. Orang ini tentu takkan me mbiarkan dia lari, maka dia pun kini mengubah gerakan cambuknya. Cambuk itu tidak lagi meleda k-ledak menghujankan serangan, melainkan sebagian dipergunakan untuk me lindungi tubuhnya dari serangan lawan. Setelah mengubah gerakan cambuknya, kini gulungan sinar cambuk itu merupakan benteng yang a mat kuat, yang me lindungi tubuh Louw Ti sehingga lawannya sukar me lakukan serangan, apalagi hanya dengan tangan kosong. Ilmu ca mbuk dari Louw Ti me mang dahsyat dan kuat sekali, walaupun kini kehilangan daya serangannya namun masih me miliki daya tahan yang luar biasa kuatnya.

Cui Hong juga ma klum bahwa hanya dengan tangan kosong saja sukarlah baginya untuk menundukkan lawan ini. Pantas mendiang ayah dan suhengnya dahulu tidak ma mpu menang, karena me mang ilmu silat orang ini a mat tinggi. Kalau ia menghenda ki kematian orang ini, walau tanpa senjata pun ia akan sanggup melakukannya karena di antara berkele- batnya sinar cambuk bergulung-gulung,   ia   masih dapat me lihat lowongan-lowongan yang dapat diterobosnya.. Akan tetapi, tidak, dia tidak akan melanggar sumpah nya, tidak akan me mbunuh orang ini. Juga, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja, tidak sepadan dengan perbuatannya yang terkutuk tujuh tahun yang lalu terhadap dirinya. Orang ini, seperti tiga orang musuhnya yang lain, harus disiksa lahir batinnya, agar mati perlahan-lahan, bukan mati langsung oleh tangannya.

Cui Hong me loncat jauh ke kiri dan ia sudah menyambar sebatang tongkat yang tadi ia sandarkan di dinding ruangan itu.

"Wirrrr....!” Tongkat itu diputarnya secara aneh, menyerbu gulungan sinar ca mbuk dan terkejutlah Louw Ti ketika tiba- tiba saja cambuknya macet dan mene mpel pada tongkat lawan!

"Haiiiitttt....!" Dia mengerahkan tenaganya membetot cambuknya agar terlepas dari tempe lan tongkat, akan tetapi tiba-tiba kaki Cui Hong sudah bergerak menyambar ke depan menc ium lututnya. "Dukk....!" Tak dapat ditahan lagi Louw Ti jatuh berlutut karena sebelah kakinya tiba-tiba menjadi lumpuh dan tiba-tiba saja cambuknya terlepas, akan tetapi ujung tongkat itu sudah berkelebat an menya mbar ke arah kedua pundak dan kedua pinggangnya, menotok secara cepat bukan main sehingga tahu-tahu Louw Ti merasa betapa kedua kaki tangannya tak dapat digerakkan lagi.

"Hemm, kiranya hanya begini saja kema mpuan Louw Ti yang berjuluk Toat-beng Joan-pian, yang terkenal sebagai seorang di antara Thian-cin Bu-tek Sa m-eng!" orang berkedok itu mengejek dan sekali tangan kirinya merenggut, buntalan di punggung Louw Ti sudah berpindah ke tangannya! Wajah Louw Ti menjad i pucat sekali, akan tetapi karena kaki tangannya tidak dapat digerakkan lagi, dia hanya memandang dengan mata terbelalak.

"Ja..... jangan rampas itu..... aku mohon pada mu, itu.....

bukan..... bukan milikku....." Akhirnya dia dapat mengeluarkan kata-kata yang penuh per mohonan dan kegelisahan.

Orang berkedok itu berdiri di depan Louw Ti yang sudah rebah terlentang tak berdaya itu. Biarpun tidak nampak karena tertutup kedok, namun mudah diduga bahwa mulut di balik kedok itu tentu ter senyum, entah tersenyum mengejek ataukah tersenyum puas.

"Louw Ti, orang maca m engkau ini mas ih dapat me mo hon, masih dapat minta dikasihani? Aih, betapa aneh dan lucunya! Louw Ti, pernahkah engkau me menuhi per mohonan orang lain, pernahkah engkau mengasihani orang la in?" Setelah berkata demikian, Kim Cui Hong, orang berkedok itu, me loncat ke luar kuil dan terdengarlah derap kaki kuda.

Louw Ti menjadi bingung. Buntalan terisi barang-barang berharga itu dira mpas orang, dan kudanya juga dibawa pergi, dan dia sendiri tidak ma mpu men ggerakkan kaki tangan karena totokan yang luar biasa sekali. Dia mencoba untuk menduga-duga siapa orang berkedok yang sela ma ini mengganggunya, akan tetapi tidak mene mukan orang yang cocok. Saking bingung, gelisah dan marahnya, Louw Ti tak dapat menahan menga lirnya air matanya! Baru sekarang selama ia menjadi jagoan dia tahu dan me rasakan sendiri apa artinya duka. Dia sudah menggadaikan rumahnya, dan kalau barang-barang harta pusaka itu tidak dapat dira mpasnya kembali, dia kehilangan segala-galanya. Rumah dan semua isinya, dan dia bahkan tentu akan dituntut oleh puteri bangsawan itu! Kehilangan se mua hartanya masih masuk penjara lagi!

Setelah lewat tengah ma la m, barulah dia ma mpu menggerakkan kaki tangannya karena pengaruh totokan jalan darah mulai men ipis. Begitu dia dapat bergerak, Louw Ti cepat bangkit dan dia lalu melakukan perjalanan secepatnya menuju ke dusun Ang-ke-bun. Dia harus berjalan kaki atau lari karena kudanya juga dibawa pergi pera mpok berkedok itu. Sa mbil menyumpah-nyu mpah Louw Ti berlari cepat. Setengah malam la manya otaknya diputar mencari siasat. Dia tidak me mikirkan lagi si kedok hita m karena dia kini terhimpit oleh pertanggungan-jawabnya. Dia harus menghadapi nona bangsawan itu dan urusan inilah yang terpenting dan harus dapat diselesaikan dan diatasinya terlebih dahulu. Dan dia sudah merencanakan siasatnya untuk dapat keluar dari ancaman bahaya itu dengan baik. Teringatlah dia akan kedatangan nona bangsawan cantik itu, ketika nona itu menerima uang tanggungan, dan menyerahkan harta pusaka, dan me mesan agar dia merahasiakan kese muanya itu. Yang tahu akan urusan harta pusaka itu hanyalah nona bangsawan itu sendiri dan dia disaksikan pula oleh isterinya. Tidak ada orang lain yang mengetahuinya! Tidak ada jalan la in kecuali yang sudah direncanakannya ketika dia masih rebah tak ma mpu bergerak dan kini dia bergegas lari menuju ke Ang-ke- bun untuk me laksanakan rencana siasatnya menyelamatkan diri, bahkan me mperoleh keuntungan dari masalah yang menghimpitnya itu. Pada keesokan harinya, matahari telah naik tinggi ketika Louw Ti me masuki dusun Ang-ke-bun dan dia segera langsung menuju ke rumah besar baru seperti yang diterangkan oleh nona bangsawan itu. Jantungnya berdebar tegang ketika ia me masu ki pekarangan rumah itu. Punggungnya menggendong sebuah buntalan besar. Dia merasa lega dan girang sekali me lihat betapa rumah besar itu na mpa k sunyi, tidak ada orang lain. Ketika dia mengetuk pintu, yang me mbuka daun pintu adalah nona bangsawan itu sendiri. Nona itu na mpa k ma kin cantik jelita, dengan pakaian yang indah dan sungguh aneh sekali, Louw Ti merasa seolah-olah ia pernah mengenal nona ini. Bukan kemar in dulu ketika nona bangsawan itu datang ke rumahnya di kota raja, melainkan jauh sebelum itu. Dia pernah mengenal atau setidaknya bertemu dengan wanita ini. Akan tetapi dia lupa lagi kapan dan di mana. Akan tetapi, hati dan pikirannya segera dipenuhi oleh rencana siasatnya dan dia tidak mau repot-repot tentang hal itu. Apalagi nona bangsawan itu sudah tersenyum sehingga nampak deretan gigi yang putih seperti mutiara dan rapi.

"Ah, kiranya Louw-enghiong baru datang?"

Tepat seperti yang direncanakan, Louw Ti me mandang ke kanan kiri seolah-olah takut kalau-kalau kedatangannya diketahui orang. "Kudaku jatuh sakit di tengah jalan, nona, sehingga saya terpaksa berjalan kaki. Maaf, saya agak terlambat, akan tetapi saya berhasil me mbawa harta. eh, ini

sampai ke sini."

Kembali ia me man dang ke kanan kiri dan menahan kata- katanya hendak menyebut harta pusaka.

Nona bangsawan itu tersenyum. "Tidak usah khawatir, Louw-enghiong, di sini tidak ada orang lain hanya aku sendiri. Masuklah, aku girang bahwa engkau sudah berhasil me mbawa harta pusaka itu dengan selamat sampai ke ru mah ini. Rumah ini mas ih kosong, karena masih baru dan belum ada pelayan. Besok pagi baru keluarga ayah datang bersama barang- barang dan pelayan."

Bukan main girang rasa hati Louw Ti. Keadaan tempat ini sungguh tepat sekali untuk pelaksanaan siasatnya! Sunyi tidak ada orang lain kecuali mere ka berdua! Dia meng ikut i nona itu masu k ke ruangan sebelah dalam dan dia melihat bahwa rumah ini me man g besar, me mpunyai banyak ka mar.

"Mari, silakan duduk dan berikan buntalan itu kepadaku, Louw-enghiong," kata nona itu setelah mereka tiba di ruangan sebelah dalam yang luas, di mana hanya ada beberapa buah kursi dan sebuah meja besar.

Louw Ti merasa betapa jantungnya berdebar semakin kencang. Dia tidak pernah mengalami ketegangan seperti ini. Biasanya, biar ada maksud me mbunuh orang atau melakukan perbuatan apa pun, dia bersikap tenang saja. Akan tetapi entah mengapa, sekali ini dia merasa a mat tegang dan buntalan itu mengeluarkan bunyi ketika dia letakkan di atas meja, tanda bahwa tangannya agak ge metar.

"Nanti dulu, Siocia, Buntalan ini akan saya serahkan kepada nona kalau uang tanggungan saya berikut ongkos pengirim an yang lima puluh tail emas itu nona serahkan dulu kepada saya."

Nona bangsawan itu tersenyum manis dan kembali Louw Ti seperti merasa pernah melihat mulut yang a mat mengga irahkan itu.

"Ah, tentu saja, tunggu sebentar," kata nona itu dan saking tegang dan ge mbiranya, Louw Ti telah melupakan lagi perasaannya itu. Nona itu me masuki sebuah kamar dengan langkah berlenggang-lenggok a mat menggairahkan dan pada saat itu Louw Ti me na mbah rencananya. Sayang kalau nona itu dibunuh begitu saja, pikirnya, sayang tubuh yang demikian indah, wajah yang demikian cantik! Malam tadi dia merencanakan untuk me mbunuh nona bangsawan ini, karena tidak ada seorang pun yang tahu bahwa nona ini berhubungan dengan dia, tidak ada yang tahu bahwa nona ini menyuruh dia meng irim harta pusaka itu. Kalau dia dapat me mbunuh nona itu dan melenyapkan mayat dan bekas-bekasnya, tentu dia akan selamat. Biarlah harta pusaka itu hilang dirampok orang. Setidaknya dia akan dapat me mpero leh kem-ba li rumahnya dan isinya, bahkan menerima pula upah lima puluh tail e mas! Malapetaka yang menimpa dirinya akan berubah menjadi keuntungan! Dan kini, melihat wajah itu, melihat lenggang itu, dia mena mbahkan "perkosaan" pada rencananya, akan me mper kosa dulu nona bangsawan itu sepuasnya sebelum me mbunuhnya!

Nona itu muncul kembali dari dalam kamar, me mbawa dua buntalan. Ia meletakkan dua buntalan di atas meja, lalu me mbuka dua buntalan itu. Mata Louw Ti bercahaya ketika dia me lihat uangnya, uang tanggungan hasil penggadaian rumah, berada di buntalan besar, sedangkan di buntalan ke dua nampak berkilauan emas batangan lima puluh tail!

"Nah, ini upah lima puluh tail e mas, Louw-enghiong. Dan ini uang tanggungan- mu kukembalikan, di dalamnya sudah kusisipkan uang bunganya. Sekarang perlihatkan harta pusaka itu kepadaku, hendak kulihat apakah masih lengkap, sesuai dengan catatan ini."

Tanpa bicara, Louw Ti me ndorong buntalannya, mende katkannya kepada nona itu. Buntalan dibuka dan nona itu terbelalak, lalu menatap wajah Louw Ti, "Louw enghiong, apa artinya ini?" Ia menuding ke arah tumpukan batu koral yang berada di dalam buntalan.

Sepasang mata Louw Ti yang sejak tadi bersinar-sinar aneh itu kini mencorong dan wajahnya me mbayangkan kebengisan yang menyeramkan. Dia mendekati nona bangsawan itu dan menyeringai bengis.

"Heh-heh, artinya bahwa engkau akan mat i di tanganku dan tak seorang pun tahu apa yang telah terjadi di antara kita!" Setelah berkata demikian, dia menerjang ke depan dengan kedua lengan dipentang lalu menyambar ke depan seperti dua kaki depan harimau   menubruk kelenci. Dia me mbayangkan bahwa sekali tubruk saja tentu dia akan dapat menang kap nona itu dan akan diperkosanya di situ juga sebelum dibunuhnya dan mayatnya akan dikubur di belakang rumah malam nanti setelah gelap.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat nona itu berkelebat ke samping dan tubrukannya mengenai te mpat kosong! Nona ini telah ma mpu me ngelak dari tubrukannya tadi dengan gerakan yang amat lincah! Dengan penasaran, Louw Ti lalu me mbalikkan tubuhnya dan menyerang lagi, lebih cepat dan dengan loncatan, menerka m ke depan. Dia sudah me mperh itungkan bahwa nona itu tentu tidak akan ma mpu menghindarkan diri sekali ini, karena selain cepat, juga terkamannya itu kuat, dan kedua tangannya menyambar dari kanan kiri menutup ja lan keluar bagi lawan.

Akan tetapi untuk kedua kalinya dia kecelik karena tiba-tiba saja tubuh nona bangsawan yang kelihatannya lemah-lembut itu sudah berkelebat ke belakang. Tubrukannya luput dan nona itu sudah lenyap menghilang ke dalam sebuah kamar dan menutupkan daun pintunya dari dalam.

"Ha-ha-ha, hendak lari ke mana kau? Ke dalam kamar? Ha- ha-ha, kebetulan sekali!" Louw Ti tertawa, mengira bahwa calon korbannya itu me larikan diri ke tempat tidur. Dengan beberapa kali loncatan saja, dia sudah berada di depan pintu yang tertutup. Sekali menendang, daun pintu itu roboh dan dia pun meloncat ke dalam. Sebuah kamar kosong dan ada sebuah pintu te mbusan ke be lakangnya. Dia menerjang pintu ini dan ternyata mene mbus ke sebuah lorong yang kosong pula. Louw Ti merasa penasaran, mencar i-cari. Banyak ka mar di kanan kir i lorong dan dia me mbuka daun pintu kamar- kamar itu satu demi satu, akan tetapi semua kamar itu ternyata kosong tidak ada isinya, belum ada perabot kamarnya dan nona bangsawan itu tidak nampak bayangannya.

Terpaksa dia kembali ke ruangan tadi me lalui kamar yang daun pintunya diruntuhkannya tadi dan..... di dekat meja di dalam ruangan itu kini telah berdiri seorang yang me mbuat jantungnya seperti berhenti berdenyut, seorang bertubuh sema mpai yang mengenakan pakaian serba hita m dan me ma kai topeng hita m pula, orang yang pernah merampas harta pusaka itu dan merobohkannya di kuil tua! Wajah Louw Ti yang hitam menjadi agak pucat dan dia merasa gentar sekali. Akan tetapi, orang itu berdiri di dekat me ja dan dua bungkusan uang dan emas telah dikumpulkannya di atas meja di dekatnya. Jelaslah bahwa orang berkedok itu   akan mera mpas pula dua bungkusan berharga itu. Dan habislah kesemuanya untuk dia! Rumahnya habis, tidak ada sepeser pun di sakunya, dan dia masih akan dituntut pula oleh nona bangsawan yang kini telah menghilang entah ke mana! Dan semua barang berharga itu telah dira mpas deh orang berkedok yang berdiri di depannya ini. Orang inilah biang keladi kejatuhannya, semenjak mengganggu rumah harta- wan yang dilindunginya. Orang inilah yang me ncelakakannya!

Teringat akan itu semua, Louw Ti menjad i sedemikian sakit hati dan marahnya sehingga dia men geluarkan suara teriakan yang terdengar seperti gerengan seekor binatang buas dan dia pun sudah menerjang ke depan sa mbil melolos dan menggerakkan senjata cambuknya.

Akan tetapi, Kim Cui Hong yang kini menjadi orang bertopeng hitam itu tidak mau me mbuang waktu seperti ketika ia melayani Louw Ti di kuil tua. Dengan gerakan aneh, tubuhnya menyelinap di bawah sinar ca mbuk dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menang kap ujung ca mbuk itu, tangan kanannya menotok ke depan disusul kaki kanan yang menendang ke arah lutut kiri lawan. Serangan ini sangat cepat dan tak terduga-duga oleh Louw Ti. Dia mencoba untuk menarik kemba li senjatanya, namun cambuk itu tak dapat terlepas dari pegangan tangan lawan, sedangkan tangan kanan lawan sudah menya mbar dengan totokan ganas ke arah pergelangan tangan kanannya. Untuk menyelamatkan tangannya, terpaksa dia melepaskan cambuknya dan meloncat ke belakang menghindarkan tendangan lawan. Dalam segebrakan saja kini ca mbuknya sudah berpindah tangan.

"Tar-tar-tar....!" Kini ca mbuk itu meleda k-ledak dan menya mbar-nyambar, seperti ular-ular me matuk ujung cambuk itu menya mbar ke arah berbagai jalan darah penting di tubuh Louw Ti! Tentu saja orang ini terkejut dan sibuk sekali, berusaha mengelak, na mun datangnya serangan cambuk yang bertubi-tubi itu terlampau cepat baginya sehingga akhirnya, dia pun terpelanting roboh dan tak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya tertotok, seperti keadaannya malam tadi di kuil tua dalam hutan! Ia hanya rebah miring dan memandang dengan mata melotot tanpa dapat menggerakkan kaki tangannya yang menjadi lumpuh. Sinar matanya penuh kebencian kepada orang berkedok itu.

Cui Hong me man dang kepada korbannya melalui lubang di topengnya, sepasang matanya berkilat-kilat penuh denda m. Kemudian dia berkata, "Louw Ti, engkau jahanam keparat yang paling busuk di dunia ini, karena itulah maka aku hendak menghukummu sesuai dengan kejahatanmu."

Karena sudah putus asa dan t idak berdaya, Louw Ti menjad i nekat. "Iblis keji, siapakah engkau?"

Cui Hong menge luarkan suara dengusan mengejek. "Hemm, engkau ingin me lihat isterimu diperkosa di depan mata mu, seperti yang sering kali kau lakukan? Engkau ingin me lihat anak-anakmu dibunuh di depan matamu, seperti engkau me mbunuh mereka? Tunggu sebentar?" Dan Cui Hong lalu men inggalkan Louw Ti, me masuki sebuah kamar. Louw Ti tertegun dan diam-dia m merasa ngeri. Orang berkedok itu kejam seperti binatang buas, jahat seperti iblis, dan dia tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh orang itu, ucapan yang me mbuat hatinya gelisah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan.

Tak la ma kemudian orang berkedok ini muncul lagi dari dalam kamar itu dan Louw Ti merasa jantungnya seperti akan copot karena berdebar keras sekali ketika dia me lihat isterinya dan dua orang anaknya berjalan di samping si kedok hitam itu!

"Ayah.....!" Dua orang anaknya itu, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang usianya baru enam dan empat tahun, memanggilnya dan lari mengha mpir inya, lalu berlutut di dekat tubuhnya. Akan tetapi isterinya hanya berdiri saja me mandang, dengan kedua mata berlinang air mata.

"Louw Ti, inilah isteri dan anak-anakmu. Engkau tentu ingin me lihat isterimu diperkosa orang, bukan oleh satu orang me lainkan  akan  kudatangkan  e mpat  orang  untuk me mper kosanya, dan melihat anak-anakmu dibunuh di depan mata mu, bukan?"

Wajah yang hitam itu menjad i pucat. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya namun tak berhasil. "Tidak ......

tidak...., jangan ganggu mereka....." dia meratap.

"Hemm,   di   mana   kekerasan   hatimu?   Di    mana kekeja man mu? Engkau terlalu sering me mbunuh orang begitu saja, di depan mata orang-orang yang mencintanya, dan engkau selalu sering me mper- kosa wanita, juga di depan orang-orang yang mencintanya. Kenapa sekarang engkau meratap agar isterimu jangan diperkosa di depan matamu dan anak-anakmu dibunuh di depan mata mu?"

0 o -de--wi- o 0 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar