Jilid 03
BIARPUN tingkat kepandaian tiga orang jagoan itu lebih tinggi, akan tetapi menghadapi amukan dua orang yang sudah nekad tanpa me mperdulikan keselamatan nyawa sendiri Nitu Bu-tek Sa m-eng menjad i kewalahan dan terpaksa mereka lalu menge luarkan senjata mas ing-masing dan akhirnya senjata- senjata mereka dapat merobohkan Kim Siok dan Lu San. Guru silat dan murid itu roboh dengan luka-luka parah dan pada saat itu Cui Hong yang selalu berada dalam keadaan setengah pingsan itu siuman dan melihat ayah dan suhengnya roboh mand i darah, ia me njerit.
"Ayaaaahhhh......!.” Dan gadis itupun menang is. Baru sekarang ia menangis, menangis karena me lihat ayahnya, bukan menang isi dirinya sendiri. Guncangan batin yang men impa dirinya lebih mendalam daripada tangis. Ia tidak lagi dapat menangisi diri sendiri, karena di dalam batinnya, sebagai akibat ma lapetaka yang menimpa dirinya, hanya terdapat dendam dan sekali lagi denda m!
Ki Cong yang kembali terlepas dari anca man maut itu, berdiri dengan muka pucat dan dia me mandang kepada Cui Hong, kepada Kim Siok dan Lu San dengan mata mengandung kemarahan besar. Dia me mang berhasil me mbalas dendam kepada gadis itu, berhasil memper mainkannya dan me mper kosanya sesuka hatinya. Akan tetapi dia sama sekali tidak men ikmati kepuasan dari pengalaman itu, bahkan semakin dia me maksakan kehendaknya, semakin terasa olehnya betapa gadis itu menolaknya sehingga dia terpaksa harus me mperkosanya. Dia merasa bosan harus memper kosa terus, sedangkan keadaan gadis itu lebih banyak mati daripada hidup, lebih sering pingsan daripada sadar.
"Phuhh! Keluarga setan!" Dia mengo me l. "Sa m-wi eng- hiong, kuserahkan gadis itu kepada kalian. Ambillah, aku tidak sudi lagi!" katanya dan diapun men inggalkan kamar itu untuk pergi ke ka marnya sendiri di gedung besar. Koo Cai Sun tertawa girang. "Ha-ha-ha, sungguh beruntung. Aku me mang kagum sekali kepada gadis ini!"
"Pui- kongcu menyerahkan kepada kita bertiga bukan, bukan kepada seorang!" tiba-tiba Gan Tek Un berkata dan matanya yang tajam itu menya mbar dingin.
Koo Cai Sun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, jangan khawatir, kawan. Gadis ini me mang menarik sekali dan amat tabah. Baiklah, kita bagi rasa. Engkau dan Louw toako boleh mendapat giliran lebih dulu, biar aku yang terakhir, ha-ha-ha!"
Gan Tek Un dan Louw Ti me mang tidak se mata keranjang Koo Cai Sun, akan tetapi merekapun bukan laki-laki yang alim. Melihat Cui Hong yang demikian muda dan demikian cantik man is, juga melihat sikap gadis itu yang amat tabah dan keras hati, mereka berduapun merasa tertarik sekali. Dan tiga orang jagoan ini me mang sudah biasa bersenang-senang bertiga, maka kini tanpa malu-malu lagi, tanpa banyak cakap lagi, Gan Tek Un la lu mengha mpiri pe mbaringan di mana Cui Hong masih terbelenggu kaki tangannya. Dengan jari-jari tangannya yang kuat, Gan Tek Un membikin putus belenggu-belenggu itu dan diapun merangkul dengan penuh nafsu.
Ketika merasa betapa kaki tangannya terbebas dari belenggu, Cui Hong la lu bergerak me mukul. Akan tetapi dengan mudah Gan Tek Un menangkap pergelangan kedua tangan gadis yang sudah lemas karena menderita lahir batin, juga sudah tiga hari tidak pernah ma u makan. Dan kemba li Cui Hong tidak ingat apa-apa lagi ketika Gan Tek Un mulai mende kapnya.
Dapat dibayangkan bagaimana perasaan hati Kim Siok dan Lu San menyaksikan betapa Cui Hong diperkosa orang di depan mata mereka. Biarpun mere ka berdua sudah terluka parah, akan tetapi kemarahan dan sakit hati me mbuat mereka ma mpu bergerak lagi dan mereka lalu meloncat ke atas, bangkit berdiri dan dengan tubuh berlumuran darah, dengan mata terbelalak penuh kebencian, merekapun menerjang ke arah manusia berhati binatang yang sedang memper ma inkan tubuh Cui Hong di atas pe mbaringan itu.
Akan tetapi sambil tertawa, Koo Cai Sun dan Louw Ti menyambut mereka dan dengan tendangan-tendangan tubuh Kim Siok dan Lu San terjengkang dan terbanting jatuh kemba li ke atas lantai. Mereka berusaha bangkit, akan tetapi kemba li dua orang jagoan itu menyusulkan tendangan-tendangan yang me mbuat mereka jatuh kembali. Koo Cai
Sun, Louw Ti tertawa-tawa, berdiri dan setiap kali dua orang yang sudah luka-luka itu hendak bangkit berdiri, mereka meroboh kannya ke mbali dengan tendangan-tendangan.
Gan Tek Un me loncat turun kembali dari pe mbar ingan. Wajahnya keruh karena ia merasa terganggu oleh dua orang yang sudah luka-luka itu. "Mereka lebih baik dibunuh saja agar kelak tidak mendatangkan banyak urusan," katanya dan kedua tangannya bergerak menyambar sepasang pedangnya. Nampa k sinar pedang berkelebat. Pada saat itu Cui Hong sudah siuman dan dia se mpat melihat betapa sepasang pedang itu menyambar dan mene mbus dada ayahnya dan suhengnya.
"Ayaaahhh......! Suhengggg......!" Dan iapun jatuh pingsan lagi.
Cui Hong t idak ingat apa-apa lagi, tidak tahu betapa tiga orang itu me mper mainkannya secara bergantian. Setiap kali sadar dari pingsannya, yang tampak hanyalah bayangan ayahnya dan Lu San yang mand i darah.
Jaksa Pui mendengar akan semua peristiwa itu. Setelah dua jenazah Kim Siok dan Lu San disingkir kan, jaksa Pui lalu me mbujuk t iga orang jagoan itu agar segera berangkat ke kota raja, me mbawa suratnya yang memperkenalkan mereka ke kota raja kepada seorang rekannya yang berpengaruh di sana.
"Sebaiknya kalau sa m-wi segera berangkat. Kini keadaan kota raja sedang kalut, dan membutuhkan bantuan tenaga- tenaga yang boleh dipercaya seperti sam-wi. Dan jangan lupa, kalau sam-wi pergi, bawa perempuan itu bersama sam-wi. Kalau ia ditinggalkan di sini, ia hanya akan me mbikin pusing saja."
Tiga orang jagoan itu mener ima hadiah-hadiah berupa masing-masing sekantung e mas, dan merekapun menerima masing-masing seekor kuda terbaik. Setelah menyimpan surat dari 3aksa Pui itu, Koo Cai Sun me mbawa Cui Hong yang le mas itu ke atas kudanya, dan diikuti oleh dua orang temannya, diapun berangkat pada pagi hari sekali menuju ke kota raja di utara.
Koo Cai Sun ternyata jatuh cinta atau me mpunyai rasa sayang kepada Cui Hong, maka ia tidak keberatan membawa gadis itu ke kota raja. Akan tetapi ketika mereka t iba di sebuah hutan, dan berhenti beristirahat di bawah pohon dalam hutan, Gan Tek Un me ncelanya. "Koo-toako, sungguh tidak baik sekali kalau me mbawa pere mpuan ini ke kota raja. Ia hanya akan menimbulkan kesukaran saja. Lihat, pandang matanya penuh dendam. Ia takkan pernah mau menyerah kepada kita dan di sana hanya akan men imbulkan kecurigaan orang banyak saja."
"Benar, ia kelak hanya akan men jadi musuh bagi kita. Di kota raja tentu banyak perempuan yang lebih cantik dan lebih baik daripadanya. Mengapa susah-susah membawa calon mayat ini ke kota raja saja?"
Dibujuk oleh dua orang rekannya, Koo Cai Sun me njadi bimbang. Ia menoleh dan me mandang kepada gadis yang duduk bersandarkan pada pohon itu. Dia telah me notok gadis itu dan mendudukkannya di sana. Gadis itu merupakan pandangan yang tidak me narik sa ma sekali. Seorang wanita muda yang kotor. Rambutnya kusut masai. Mukanya pucat, bibirnya yang masih na mpa k indah bentuknya itu-pun kehilangan warna merahnya, bahkan nampak pucat. Sepasang matanya menger ikan, seperti mata mayat, sama sekali tidak bercahaya lagi, akan tetapi ketika pandang mata itu ditujukan kepada mereka bertiga, seperti ada api me mbara di man ik matanya. Pakaiannya awut-awutan.
Koo Cai Sun menghe la napas panjang. Seorang gadis yang keras hati dan tak pernah mau tunduk walaupun segala- galanya telah dipatahkan dengan paksa. Betapa akan mengge mbirakan kalau saja seorang wanita seperti ini ma mpu mencurah kan kasih sayang. Seorang wanita yang panas me mbara, penuh se mangat. Akan tetapi sayang, penuh pula dengan dendam kebencian. Diapun hanya akan dapat menguasai gadis itu dengan cara me mperkosanya.
"Baiklah, ia akan kutinggalkan saja di sini." akhirnya dia berkata dengan suara bernada menyesal dalam hati.
"Bunuh saja, agar kelak tidak mendatangkan kepusingan." kata Gan Tek Un.
"Benar, me mbas mi tanaman beracun harus sa mpa i ke akar- akarnya." sambung Louw Ti.
Akan tetapi, hati Koo Cai Sun yang mempunyai rasa sayang kepada Cui Hong, merasa tidak tega. "Apakah kalian merasa takut kepadanya? Lihat, ia hanya seorang gadis yang tidak berdaya. Mau bisa apakah ia terhadap kita? Biarlah, biarkan ia di sini dan kita lanjutkan perjalanan kita." "Tapi, kelak. " Louw Ti me mbantah.
"Louw-toako, tidak kita bunuh juga ia akan mati sendiri. Hutan ini penuh dengan binatang buas. Biarlah ia mati dimakan binatang buas. Terus terang saja, setelah menikmati dirinya, aku tidak tega melihat ia terbunuh." jawab Koo Cai Sun.
"Mari kita berangkat!"
Tiga orang jagoan itu lalu berangkat meninggalkan tempat itu, meningga lkan Cui Hong yang masih le mas bersandar pohon. Mereka tidak tahu bahwa biarpun kelihatan seperti orang setengah mati, yang seperti kehilangan se mangatnya, namun sesungguhnya, semangat Cui Hong masih menyala- nyala. Bahkan kekerasan hatinya menekan penderitaannya yang dialami tubuh dan batinnya, yang kadang-kadang me mbuat ia ingin mati saja. Kekerasan hatinya yang menentang ini. Ia harus hidup! Ia harus hidup terus agar kelak ia dapat membalaskan se muanya ini! Ia harus hidup, biarpun semata-mata untuk dendamnya! Ia tidak mau mati sebelum dapat me mbalas dendam kebencian hatinya terhadap e mpat orang, yaitu Pui Ki Cong, Koo Cai Sun, Gan Tek Un, dan Louw Ti! Ia harus hidup, dan kalau ia sudah memiliki kese mpatan, ia akan mengejar e mpat orang itu, biar sa mpai ke neraka sekalipun!
Karena itu, Cui Hong tahu dan sadar betapa tiga orang itu berbantah dan kemudian men inggalkannya. Senyum kemenangan mulai menghias bibirnya yang pucat dan berdarah. Ia berdarah di mana- mana. Bahkan bibirnya luka- luka bekas gigitan, juga lehernya, dadanya, mereka itu telah bertindak melebihi binatang-binatang buas terhadap dirinya!
Setelah tiga orang itu pergi menunggang kuda, terjadilah ketegangan luar biasa dalam hati Cui Hong. Bagaimana kalau mereka itu mengubah p ikiran dan mereka kembali lagi? Setiap ada suara, hatinya terguncang keras, takut kalau-kalau mereka bertiga, atau seorang di antara mereka, ke mbali lagi. Jalan darahnya mulai norma l kembali dan lewat dua tiga jam ke mudian, totok-an pada tubuhnya mencair dan ia dapat bergerak kembali. Pertama-ta ma yang dikerjakannya adalah bangkit berdiri, me mandang ke kanan kir i dan berindap-indap pergi dari tempat itu secepat mungkin, untuk menye mbunyikan diri karena khawatir kalau-kalau tiga orang itu akan datang kembali. Setelah ia berhasil menyusup-nyusup me lalui pohon-pohon dan semak-se ma k belukar, akhirnya ia menjatuhkan diri ke atas rumput tebal di balik se mak be lukar. Dipegang-pegangnya kaki tangannya, kepalanya, tubuhnya, ia masih hidup dan inilah yang terpenting. Ia masih hidup! Tapi ayahnya dan suhengnya sudah mati.
"Ayahhh...............! Suheng..........!" Ia mengeluh dan menang islah Cui Hong. Teringat ia akan ayahnya dan bahwa kini ia hidup sebatangkara, seorang diri, dalam keadaan seperti itu. Ayahnya dibunuh orang, suhengnya atau tunangannya juga dibunuh orang. Dan ia dinodai, diper mainkan dan dihina me la mpaui batas perike manusiaan. Cui Hong menang is, mengguguk akan tetapi ia masih berusaha agar tangisnya tidak mengeluarkan suara.
Ia harus dapat menyelamatkan diri. la harus hidup terus demi dendam! Ia harus dapat membalas se mua ini! Rasa duka yang amat berat menindih perasaannya dan membuat ia merasa lelah bukan main. Dan iapun terkulai dan roboh pulas, tertidur di balik se mak-se mak belukar. Tidur dalam arti yang sesungguhnya karena kelegaan hati terlepas dari cengkeraman musuh, karena kedukaan yang menghimpit. Tidur yang amat dibutuhkan badan dan batinnya, karena hanya tidurlah yang dapat menghapus segala duka.
0dw0
Kalau orang tidak me miliki batin yang kuat, apalagi seorang dara remaja seperti Cui Hong, setelah mengalami segala penderitaan lahir batin yang merupakan malapetaka amat hebatnya itu, mungkin saja orang itu akan menjadi gila. Penderitaan badan masih dapat dipertahankan, akan tetapi penderitaan batin seperti yang dialami Cui Hong itu terlalu hebat untuk dapat ditahan perasaan. Ayahnya dan tunangannya walaupun ia belum me miliki perasaan cinta kasih terhadap tunangannya itu, dibunuh orang di depan matanya. Dan ia sendiri diperkosa di depan mereka, diper mainkan dan dihina oleh e mpat orang yang kejam seperti iblis. Dan kini, ia berada seorang diri di dalam hutan, kehilangan segala- galanya, keluarganya, harta benda, kehormatannya.
Selama kurang lebih sepekan ia berkeliaran di dalam hutan. Rasa lapar di perutnya mendorongnya untuk mencari makanan. Buah-buahan, daun-daun muda, dan binatang kelinci dan ayam hutan menjad i makanannya. Akan tetapi yang amat parah menindih hatinya adalah perasaan dendam yang me mbuatnya putus asa. Bagaimana itu mungkin dapat me mba las sakit hati kepada e mpat orang itu? Pui Ki Cong adalah putera seorang jaksa, putera seorang pembesar yang dilindungi pasukan pengawal. Dan tiga orang musuh besar lainnya adalah Thian-cin Bu-tek Sa m-eng, tiga orang jagoan yang me miliki ilmu kepandaian silat tinggi. Apalagi ia sendiri, bahkan ayahnyapun tidak ma mpu menand ingi mereka. Bayangan inilah yang me mbuatnya putus asa. Dendam sakit hati amat mend idih, akan tetapi ia sadar bahwa ia tidak akan dapat membalas semua dendam itu. Kenyataan ini merupakan siksaan batin baginya dan berkali- kali ia menangis karena ini.
Betapa kita hidup ini terombang-a mbing oleh pikiran yang me lahirkan keinginan-keinginan, diper mainkan antara harapan dan keputusan, suka duka, cinta benci dan sebagainya. Apakah kita semua dilahirkan hanya untuk menjadi per mainan antara terang dan gelap ini? Tidakkah kita yang dilahirkan bukan atas kehendak kita sendiri ini berhak untuk men ikmati kehidupan ini? Mengapa kehidupan selalu penuh dengan duka dan hanya sedikit saja datang suka? Mengapa selalu datang kekecewaan yang mendatangkan duka? Kenapa kita selalu diganggu oleh keresahan, kemurungan, kemarahan yang men imbulkan kebencian? Mengapa terhadap segala pertentangan dan permusuhan dengan orang lain? Mengapa ketenteraman, kedamaian dan kebahagiaan hanya merupakan cahaya khayali yang menggapa i dari jauh tak pernah menjadi kenyataan?
Kita selalu lupa bahwa segalanya itu harapan dan keputusasaan, suka dan duka, cinta dan benci, kemarahan, kebencian dan sikap ber musuhan, kesemuanya itu tidaklah terpisah daripada batin kita sendiri. Kalau kita marah, maka kemarahan itulah kita! Segala maca m perasaan itu adalah d iri kita sendiri. Suka duka bukan datang dari luar walaupun dinyalakan dari keadaan luar. Suka duka adalah suatu keadaan diri kita sendiri, yang kita buat sendiri! Segala macam kebencian, kemarahan, segala maca m perasaan datang dari pikiran, datang dari "aku" yang selalu me mperhatikan dengan dasar rugi untung.
Kalau se mua datang dar i ingatan, dari pikiran, apakah kita lalu menghentikan pemikiran itu dan melupakan segala yang terpikir dan yang menimbulkan duka? Hal ini jelas tidak mungkin. Bagaimana kita bisa melarikan diri dari diri sendiri? Melarikan diri dari duka, dengan kewaspadaan, tanpa me muji atau mencela, tanpa me mbela atau menentangnya, maka kita telah me masuki dime nsi lain.
Pagi itu Cui Hong berkeliaran sa mpai jauh dari hutan di mana ia biasa tinggal semenjak ia terlepas dari cengkeraman tiga jagoan. Kalau ma lam tiba ia naik ke atas pohon dan tidur dengan aman di atas pohon, jauh dari jangkauan binatang buas. Pagi itu ia keluar dari hutan besar dan me masu ki hutan lain yang berada di lereng bukit. Hatinya diliputi kedukaan dan putus asa. Ingin ia mati saja, karena semakin dipikir, semakin hilang harapannya untuk dapat me mbalas denda mnya terhadap empat orang musuh besarnya. Beberapa kali malam tadi ia melepas ikat pinggangnya. Betapa mudahnya meng ikatkan ujung yang satu dari ikat pinggangnya pada dahan pohon yang didudukinya dan mengikatkan ujung yang lain pada lehernya lalu me loncat turun. Betapa mudahnya menghab iskan riwayatnya yang penuh duka itu. Namun, suara lain dari hatinya selalu menentang perbuatan itu. Sejak kecil ia dige mbleng kegagahan oleh ayahnya dan ia merasa betapa perbuatan itu amat pengecut sehingga ia merasa malu sendiri untuk me lakukannya.
Pagi itu ia berkeliaran dengan tubuh le mas, dengan langkah gontai tanpa tujuan. Kalau ada orang mengenal Cui Hong sebelum malapetaka itu, tentu dia akan terkejut dan sukar baginya untuk mengenal kembali gadis ini. Dulu, Cui Hong adalah seorang dara remaja berusia lima belas tahun lebih yang manis, lincah ge mbira, dengan sepasang mata me mancarkan gairah hidup penuh se mangat, dan sebuah mulut yang selalu tersenyum cerah, seorang dara yang me miliki lenggang tegap dan mengga irahkan. Akan tetapi sekarang, perempuan yang berkeliaran di hutan itu sungguh merupakan pe mandangan yang menyedihkan. Kemudaannya tidak na mpak lagi, bagaikan setangkai bunga yang layu karena kekeringan. Rambutnya yang hitam panjang itu kusut masai, sebagian menutupi mukanya yang amat pucat. Sepasang mata yang biasanya penuh gairah hidup itu kini na mpa k sayu tidak bercahaya, seperti lampu yang kehabisan minyak, kadang- kadang me mandang kosong ke tempat jauh mene mbus pohon dan kadang-kadang seperti mata orang yang mengantuk. Mata yang biasanya jeli itu kini agak kemerahan, dan mulut yang biasanya segar kemerahan penuh senyum itu kini kepucatan dan me mbayangkan kepedihan hati. Tubuhnya yang bagaikan bunga baru mulai mekar itu nampak kurus dan layu.
Selagi Cui Hong melangkah tanpa tujuan, dengan hati kosong dan penuh duka, tiba-tiba mendengar suara orang bernyanyi. Otomatis langkah kakinya terhenti dan ia menyelinap di balik sebatang pohon besar, mengintai ke depan. Tidak nampak ada orang, akan tetapi suara laki-laki itu bernyanyi itu terdengar jelas dari depan. Mungkin orangnya berada di balik se ma k-semak belukar yang menghadang di depan. Cui Hong me mperhatikan kata-kata orang itu yang terdengar lantang dan jelas.
"aku bebas ,
tak ingin tak harap tak duka tak suka tak lebih tak kurang
tak kir i - tak kanan.........
apa ke marin sudah lalu
mengapa sesal - mengapa kecewa tiada guna.....
sekarang sadar - sekarang ubah
sekarang baru - sekarang benar sekarang bebas.........
apa ke mudian - hanya akibat bukan
urusanku sekarang benar - esokpun benar mengapa harap - mengapa ingin
apa la munan - apa impian tiada guna......
sekarang insaf - sekarang bebas aku bahagia
karena bebas!
tak sudi aku
terkurung - terbelenggu biar kurung e mas biar belenggu intan lebih baik bebas lepas di udara terbang melayang arah tertentu
sabar - yakin - waspada takkan tersesat
karena bebas!"
Mendengar kata-kata dalam nyanyian yang lantang dan jelas itu, Cui Hong tersenyu m. Lama sudah suara itu terhenti, namun ia masih tertegun. Suara nyanyian itu seolah-olah ditujukan kepadanya. Bebas! Terlepas dari segala sesuatu! Terlepas dari perasaan duka ini, dari kehancuran hati dan dari keputusasaan. Kenapa hidup macam ini harus dipertahankan lagi? Hanya akan menderita siksa batin setiap hari saja. "Aku ingin bebas... ..." bibirnya mengguma m dan tangannya menangga lkan kain ikat pinggang yang panjang dan seperti dalam mimpi saja, Cui Hong lalu meloncat ke atas dahan terendah, mengikatkan ujung kain itu pada dahan pohon, kemudian meng ikatkan ujung yang lain ke lehernya. Tanpa ragu sedikitpun, setelah ujung kain ke dua meng ikat lehernya, ia berbisik, "aku ingin bebas...." dan iapun meloncat turun dari atas dahan.
"Brukkk....!" Tubuhnya jatuh menimpa tanah. Cui Hong terkejut dan merasa heran, cepat ia bangkit dan me mandang ke atas. Kiranya ujung tali yang meng ikat dahan tadi terlepas!
"Tolol.....!" Ia me maki diri sendiri dengan lantang. Betapa bodohnya. Mengikatkan ujung kain itu saja ke dahan sampai begitu ceroboh dan kurang kuat. Kalau ada orang melihat tentu akan mentertawakannya, mengira ia me mang takut me mbunuh diri ma ka mengikatkan ujung kain pinggang itu dengan kendur. Dengan gemas ia me loncat lagi ke atas dahan, me mbawa ikat pinggangnya dan sekali ini ia meng ikatkan ujungnya dengan kuat sampai dua kali. Barulah ia menga lungkan ikatan pada ujung lain pada lehernya dan kembali ia berbisik, "aku ingin bebas...." dan iapun me loncat ke bawah.
"Brukkk.....!" Kembali tubuhnya meluncur dan jatuh ke bawah. Cui Hong me mbelalakkan matanya dan cepat bangkit, akan tetapi pinggulnya agak sakit ketika terbanting yang kedua kalinya itu, pinggulnya terbanting agak keras juga. Dan ternyata tali ikat pinggang yang tadi diikatnya dengan a mat kuat itu telah terlepas pula! Cui Hong meno leh ke kanan kiri dan ia merasa betapa bulu tengkuknya mere mang ketika pikirannya me mbayangkan bahwa yang me lakukan perbuatan jahil seperti ini tentulah sebangsa setan penunggu hutan itu. Celaka, pikirnya, sungguh sial nasibnya. Baru ingin bebas saja sudah dihalangi oleh setan! Akan tetapi bagaimana ia dapat me lawan setan yang tidak nampak? Seratus kali berusaha menggantung diri, tentu seratus kali pula setan itu dapat me lepaskan tali ikat pinggangnya dari dahan pohon dan ia akan terbanting-banting seperti tadi.
"Ah, tolol me mang, sungguh tolol sekali !"
Cui Hong cepat menengok di belakangnya telah berdiri seorang kakek bongkok yang entah dari mana datangnya. Kakek itu sudah a mat tua, sukar ditaksir berapa banyak usianya, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Mukanya hitam keriputan dan a mat kurus. Kulit muka itu berlipatan pada pipi dan kedua matanya, menyembunyikan sepasang mata yang kecil dan a mat hitam mencorong. Mulutnya menyeringai dan nampak di balik bibir itu tidak ada sebuahpun giginya lagi. Pakaiannya serba hita m dan kepalanya botak, hanya ada sisa rambut putih di sekeliling kepala bagian bawah. Tubuh yang kurus itu berdiri bengkok karena di punggungnya, di bawah tengkuk, terdapat tonjolan daging sebesar kepala anak kecil. Pakaiannya yang serba hitam itu kedodoran, seperti kain dibelit-be litkan begitu saja pada tubuhnya, juga sepatunya berwarna hitam. Melihat kakek buruk dan serba hita m ini, Cui Hong merasa jantungnya berdebar keras dan bulu tengkuknya makin tegak berdiri. Setan, pikirnya! Akan tetapi ia melir ik ke arah kedua kaki kakek itu dan me lihat bahwa sepasang sepatu itu meng injak tanah. Padahal, menurut dongeng, setan-setan itu kakinya tidak me nyentuh tanah, kira-kira sejengkal di atas tanah.
"Kau..... ssee..... tankah kau....?" Dengan suara gemetar karena merasa serem dara itu bertanya, telunjuknya menuding ke arah muka
keriputan itu.
"Heh-heh-heh-heh!" bibir yang hitam itu bergerak-gerak dan mulut itu terbuka seperti sebuah guha kecil yang gelap. "Engkaulah yang hampir menjad i setan penasaran, nona. Setan perempuan yang tolol sekali! Aku seorang manusia hidup, masih men ikmati kehidupan ini, tidak seperti kau anak to lol yang mau
mengakhir i hidup begitu saja, seolah-olah engkaulah pengatur hidup dan mati. Huh!"
Lenyap seketika semua keseraman dari hati Cui Hong. Terganti oleh ke marahan yang membuat wajahnya yang pucat itu menjad i kemerahan, sepasang mata yang sayu dan layu itu menjad i hidup dan berse mangat kembali. "Jadi engkaukah yang tadi melepaskan tali gantunganku sampai dua kali?" "Heh-heh-heh, kalau bukan aku, la lu siapa?"
"Manusia jahil!" Cui Hong sudah cepat menyerang dengan pukulan tangannya ke arah dada kakek itu. Kemarahan me mbuat tubuhnya tiba-tiba menjad i gesit dan pukulan tangannya kuat sekali.
"Wuuuttt.... heh-heh...!" Pukulan itu luput dan ternyata kakek itu ma mpu menghindarkan pukulan dengan tanpa menggeser kaki, hanya menarik tubuhnya bagian dada itu ke belakang saja.
"Setan....!" Cui Hong menyerang lagi, kini dengan tendangan kakinya yang menyambar dari bawah ke arah perut orang
"Ehhh?" Kembali kakek itu hanya menarik bagian tubuh yang ditendang dan serangan itupun luput.
Cui Hong men jadi se makin marah. Kakek itu menge lak sambil terkekeh dan me mbuat gerakan-gerakan yang mengejek sekali. Ia lalu men gerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, menyerang kalang-kabut dan me mbabi buta, kedua tangan dan kedua kakinya menyambar-nyambar dengan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Namun, terjadilah hal yang lucu dan aneh. Kakek bongkok itu meliuk- liukkan tubuhnya seperti seekor ular, mengelak ke kanan kir i, hanya dengan cara menarik tubuh ke belakang atau ke depan, ke atas atau ke bawah tanpa menggeser kedua kakinya dan semua serangan itu selalu mengenai te mpat kosong!
Cui Hong sedang dilanda kedukaan, putus asa, dan kemarahan yang me muncak sehingga ia kehilangan kecerdikannya. Kalau tidak dikuasai perasaan yang me mabu kkan itu, tentu ia sudah cepat dapat melihat kenyataan bahwa kakek yang menjad i lawannya itu me miliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya. Akan tetapi ia tidak meng insyafi hal itu dan terus saja menyerang semakin ganas, dengan penuh nafsu, bahkan ia lalu berseru keras, "Kubunuh kau.!"
"Heh-heh-heh, me mbunuh diri sendiri saja tidak becus, mau me mbunuh orang lain. Wah, jahat sekali kau!" Dan kakek itu mengang kat tongkatnya. Dia me mang me megang sebuah tongkat kayu butut berwarna hitam yang sejak tadi dikempitnya saja ketika dara itu menyerangnya kalang kabut.
"Tukkk.....!" Kepala Cui Hong kena dipukul tongkat. Nyeri sekali rasanya dan oto matis tangan gadis itu meraba kepala yang terpukul. Betapa gemas hatinya ketika meraba kepalanya dan mendapatkan benjolan sebesar telur ayam pada kepala yang terpukul. Rasa berdenyut-denyut nyeri mena mbah kemarahannya.
"Kurang ajar kau!" Ia berteriak dan menubruk ke depan, hendak merampas tongkat itu. Dan..... ternyata tongkat itu dengan mudah dapat dira mpasnya! Akan tetapi sebelum Cui Hong sempat me mpergunakan tongkat itu, baru diayunnya untuk me mukul, tahu-tahu tongkat itu seperti bersayap saja, "terbang" dan kembali ke tangan pe miliknya.
"Bukkk!" Tahu-tahu tongkat itu telah menggebuk pinggul Cui Hong, cukup keras sehingga terasa nyeri bukan ma in dan Cui Hong jatuh terpelanting. Dara itu meringis dan mengusap- usap pinggulnya. Seolah-olah pecah-pecah rasa kulit pinggulnya dan baru lega hatinya ketika ia meraba pinggulnya, di situ tidak ada tanda luka, hanya terasa ngilu saja. Sambil menggoso k-gosok pinggul Cui Hong bangkit dan me mandang kakek yang ter-senyum-senyum tanpa gigi di depannya itu, seperti seorang anak kecil kegirangan.
Tiba-tiba Cui Hong teringat akan sesuatu dan ketika kemarahannya lenyap. "Kakek, engkaukah yang bernyanyi tadi? Bernyanyi lagu Bebas?"
"Heh-heh-heh, kalau benar begitu, mengapa? Kau marah- marah karena nyanyianku tadi?" Kakek itu balas bertanya sambil men ga mang-a mangkan tongkatnya. "Kalau marah- marah, boleh maju, akan kuhajar lagi. Anak nakal perlu dihajar sa mpai jera!"
Cui Hong mengge leng kepalanya. "Aku tidak ingin digebuk lagi. Akan tetapi engkau adalah seorang yang berhati palsu, kek."
"Lho! Palsu? Eh, bocah bengal. Kapan engkau menjenguk hatiku? Bagaimana engkau bisa mengatakan hatiku palsu?"
"Orang yang lain tindakannya dari ucapannya, dia berhati palsu. Nyanyianmu tadi menyatakan satu hal, akan tetapi perbuatanmu terhadap diriku mer upakan lain hal yang sama sekali bertentangan."
"Eh, kok begitu? Apanya yang berlainan? Kau bocah tolol, tiada hujan tiada angin mau gantung diri. Apa yang bermimpi bahwa kau telah menjadi Giam Lo Ong Si Raja Akhirat? Hal itu sama sekali tidak boleh, maka aku terpaksa menggunakan tongkat saktiku untuk menggagalkan perbuatan mu yang tolol dan pengecut."
"Nah, perbuatanmu itulah yang palsu! Engkau tadi bernyanyi tentang kebebasan, dan nyanyianmu menggugah hatiku. Aku ingin bebas dari kehidupan yang penuh derita ini. Aku ingin bebas dari kesengsaraan lahir batin, dari duka, dari dendam yang tak mungkin dapat dibalas, dari keputusasaan. Aku ingin bebas dan menga khiri ini se mua. Akan tetapi engkau begitu jahil untuk menggagalkan keinginanku untuk bebas. Bukankah perbuatan mu itu berlawanan dengan nyanyianmu di mana engkau mengatakan bahwa engkau ingin bebas pula?"
"Ho-ho-ha-ha, wah ngawur! Bebas bukan berarti lalu me mbunuh diri agar terlepas dari semua kesengsaraan lahir batin. Siapa bilang kalau sudah mat i itu la lu dapat bebas dari kesengsaraan lahir batin? Heh-heh, anak bengal, mari kita duduk dan bicara. Tubuhku yang tua ini tidak enak kalau harus bicara sa mbil berdiri la ma-lama." Dan kakek itu dengan santainya menjatuhkan diri begitu saja di atas tanah "berumput tebal. Sampai kaget hati Cui Hong dan ha mpir ia turun tangan menyambut tubuh kakek yang agaknya terpelanting jatuh itu. Akan tetapi ia teringat bahwa kakek itu bukan orang sembarangan, maka ia menahan diri dan benar saja. Biarpun tadi kelihatan terguling, kakek itu ternyata dapat mendarat dengan lunak, duduk bersila di atas tanah. Cui Hong menarik napas panjang. Orang ini aneh dan sakti seperti setan. Ada-ada saja peristiwa yang dihadapinya dalam hidup ini. Entah perkembangan apa yang akan menimpa dirinya, bertemu dengan man usia luar biasa ini. Iapun tidak peduli lagi. Mati pun bukan apa-apa lagi baginya, apalagi menghadap i malapetaka lain. Tidak akan ada malapetaka yang lebih hebat daripada yang pernah dialaminya. Ia pun duduk di depan kakek itu, me mandang penuh perhatian dan kembali merasa seram. Wajah kakek itu memang menyeramkan sekali.
Tiba-tiba kakek serta hitam itu lalu me nggerakkan bibirnya me mbaca sajak sambil me mukul- mukulkan tongkatnya ke atas sebuah batu sehingga terdengar suara "tak-tok-tak-tok" berirama. Mula- mula hanya suara tak-tok-tak-tok berirama itulah yang terdengar, kemudian disusul suara kakek itu yang terdengar lembut dan lirih na mun amat jelas me masu ki telinga Cui Hong, seolah-olah kakek itu berbisik di dekat telinganya. Dan Cui Hong yang sejak kecil pernah menerima pelajaran sastera dari mend iang ayahnya, kini me ndengar kata-kata dalam nyanyian itu yang t idak asing baginya.
"Tidak condong itulah Tiong (tegak lurus) tidak berubah itulah Yong (seimbang)
Tiong adalah Jalan Kebenaran Yong adalah hukum alam.”
Mendengar kata-kata itu, Cui Hong lalu berkata, "Kakek yang aneh apa maksudmu meng utip kata-kata dari Sang Budiman Beng Cu itu? Bukankah itu merupakan penjelasan tentang kitab Tiong Yong?"
Kini kakek itu yang mencoba untuk melebarkan sepasang matanya yang sipit dan dia kelihatan lucu, seperti orang mengantuk yang berusaha me mbuka mata lebar-lebar me mandang dara itu. "Eh, eh....! Kau tahu tentang Tiong Yong?" Tiong Yong adalah satu di antara kitab-kitab suci pelajaran Agama Khong Kauw.
"Aku pernah me mbaca kitab suci itu walaupun sukar untuk mengerti maksudnya." jawab Cui Hong dengan jujur.
Kakek itu na mpa k girang sekali, terkekeh senang mendengar bahwa dara itu pernah membaca kitab Tiong Yong. Dia tidak tahu bahwa mendiang ayah dara ini adalah seorang penggemar pelajaran Khong Kauw, bahkan banyak pula me mbaca kitab-kitab Too Kauw sehingga ketika me mberi pelajaran me mbaca kepada puterinya, dia menyuruh puterinya me mbaca kitab-kitab itu. Memang pada ja man itu, belajar me mbaca didasarkan kepada pe mbacaan kitab-kitab agama atau filsafat yang tinggi-tinggi sehingga anak-anak itu hanya ma mpu men ghafal huruf-huruf itu tanpa mengerti artinya secara mendalam.
"Kalau beg itu dengarkan ini: Hi Nouw Ai Lok Ci Bi Hoat, Wi Ci Tiongl"
"Ah, aku ingat!" seru Cui Hong, terseret oleh kegembiraan kakek itu yang meng ingatkan dia akan masa kecilnya ketika me mpe lajari se mua ujar-ujar itu. "Itulah bagian ke empat dari kitab Tiong Yong dan artinya Sebelum timbul perasaan Senang, Marah, Duka dan Girang, keadaan itu disebut Tiong (tegak lurus tidak mir ing)!"
"Heh-heh, bagus, bagus! Atau dengan lain kata-kata, keadaan itulah yang dinamakan Kosong atau Bebas! Aku selalu r indu akan keadaan itu." seru kakek serba hita m dengan girang. "Tapi kau tadi bernyanyi bahwa kau rindu akan kebebasan. Aku yang terhimpit kekecewaan ingin bebas dari semua kesenangan dengan jalan mengakhiri hidup, akan tetapi engkau menghalangiku. Bebas yang bagaimana yang kaumaksudkan, kek?"
"Dengarkan ini Lima warna me mbutakan mata, Lima nada menulikan telinga, Lima kelezatan menumpulkan rasa."
"Wah, itu kitab Tao-tek-keng. !" seru Cui Hong.
Kakek itu menjad i semakin g irang. "Bagus! Engkau seorang anak perempuan aneh. Hafal akan ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong dan Tao-tek-keng, akan tetapi hendak me mbunuh diri. Bebas yang kaumaksudkan bukan melarikan diri dari kenyataan, betapapun pahit kenyataan itu terasa oleh kita, me lainkan bebas dari se mua pengaruh panca indranya, bebas dari pengaruh perasaan dan pikiran. Eh, anak baik, siapakah engkau dan me ngapa engkau seorang diri berada di te mpat ini dan ingin membunuh diri?" Dia berhenti sebentar, me mukul- mukulkan tongkatnya ke atas tanah lalu berkata lagi, "Sungguh pun engkau pernah me mpelajar i ilmu silat, akan tetapi kepandaianmu itu mas ih terlampau rendah untuk dapat kau pakai me mbe la diri, padahal di dunia ini penuh dengan kekerasan."
Setelah semua perasaan kecewa, dendam dan keputusasaan meninggalkan batinnya untuk saat itu karena pikirannya dipenuhi dengan pertemuan aneh itu, maka kecerdikan Cui Hong pun timbul kembali. Ia me mang seorang gadis yang cerdik dan kini ia melihat jelas terbukanya suatu kesempatan yang amat baik baginya. Kakek inilah yang akan dapat menolongnya! Kakek ini adalah seorang sakti, hal itu tak dapat diragukannya lagi dan kalau ia bisa mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari kakek ini, tentu bukan hal mustahil lagi baginya untuk kelak me mbalas dendam terhadap empat orang musuh besarnya! Cui Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Locianpwe, saya adalah seorang yang menderita ma lapetaka. Ayah dan suheng saya dibunuh orang, sehingga sekarang saya hidup sebatangkara di dunia ini. Karena putus asa, tadi saya bermaksud mengakhir i penderitaan ini dengan bunuh diri. Akan tetapi, setelah bertemu dengan locianpwe, baru saya sadari betapa kelirunya niat saya tadi. Saya akan merasa beruntung sekali kalau locianpwe sudi menerima saya sebagai murid locianpwe. "
"Heh-heh-heh, aku harus tertawa agar tidak menang is. Di pelosok manapun di dunia ini selalu kute mui kebencian, kekerasan, permusuhan, bunuh- me mbunuh di antara manus ia. Tidak mudah untuk menjadi muridku, karena selamanya aku tak pernah menerima murid. Akan tetapi....
engkau ini anak pere mpuan yang aneh, hapal akan kitab-kitab suci akan tetapi mau bunuh diri, hemm, siapakah na ma mu?"
"Na ma saya Kim Cui Hong."
"Kenapa ayahmu dan suhengmu dibunuh orang?"
"Mula- mula putera jaksa di Thian-cin me minang saya. Karena saya sudah ditunangkan dengan suheng, maka pinangan itu dito lak oleh ayah. Hal ini me mbuat marah putera jaksa itu dan dia hendak menggunakan kekerasan. Kami me lawan dan akhirnya kami ditangkap, ayah dan suheng dibunuh dan saya..... saya mengalami penghinaan- penghinaan, akan tetapi tidak dibunuh dan dibuang di dalam hutan ini "
"Aihhh.....! Sungguh benar sekali para bijaksana mengatakan bahwa kecantikan, kekayaan, kedudukan, kepandaian lebih banyak mendatangkan sengketa dan permusuhan daripada kedamaian dan persahabatan. Kim Cui Hong, jadi sekarang engkau hidup sebatangkara, tanpa sanak- kadang, tanpa rumah tinggal?" "Benar, locianpwe, saya tidak me miliki apa-apa lagi dan karena itu mohon sudilah locianpwe menerima saya sebagai murid."
"Hemmm, sela manya aku belum pernah mener ima murid, dalam usia setua ini muncul engkau. Inikah yang dina makan nasib, jodoh atau kebetulan saja? Agaknya aku harus men inggalkan se mua yang pernah kupelajari kepada seseorang, akan tetapi bagaimana kalau kelak kepandaian itu dipergunakan untuk kejahatan?"
Cui Hong yang mendengarkan kakek itu bicara seperti bicara kepada diri sendiri, cepat menjawab, "Saya bersumpah tidak akan me mpergunakan ilmu yang saya terima dari suhu untuk kejahatan. Saya akan mentaati semua pesan dan perintah suhu!" Dengan cerdiknya ia langsung menyebut "suhu" kepada kakek itu untuk melenyapkan sa ma sekali keraguan yang masih me mbayang pada suara kakek itu.
"Suhu..... aih, sungguh enak sebutan itu, agaknya sama dengan sebutan ayah yang belum pernah kurasakan. Suhu.....
heh-heh-heh, anak baik, aku suka menjadi suhumu."
Bukan main girangnya hati Cui Hong dan iapun segera me mber i hor mat sambil berlutut. "Suhu, teecu (murid) Kim Cui Hong siap menerima petunjuk dan perintah suhu yang akan teecu taati dengan taruhan nyawa."
"Heh-heh-heh, bangkit dan duduklah, Cui Hong. Kuharap saja engkau akan menjad i murid yang baik. Akan tetapi ketahuilah bahwa tidak enak menjadi murid orang seperti aku, tidak enak dan tidak mudah. Melihat tingkat kepandaian- mu, sedikitnya engkau harus berlatih dengan penuh se mangat dan tekun selama lima tahun, baru boleh diharapkan engkau akan me mpero leh ke majuan."
"Teecu berjanji akan berlatih dengan tekun dan biarpun sampai lima tahun lebih teecu tidak akan mengendurkan semangat dan akan selalu mentaati petunjuk dan perintah suhu."
"Bagus, dan sekarang sebagai tugas pertama, engkau harus bersu mpah bahwa kepandaian yang kau pelajari dariku tidak akan kau pergunakan untuk me mbunuh! Engkau tidak boleh me mbunuh!"
Mendengar ini, Cui Hong terkejut bukan main sa mpai mukanya berubah agak pucat dan kedua matanya terbelalak. Tidak boleh me mbunuh? Dan ia ingin be lajar silat yang tinggi hanya dengan satu tujuan, yaitu me mbalas dendam dan me mbunuh musuh-musuhnya!
"Cui Hong, aku bertemu denganmu ketika engkau hendak me mbunuh diri. Karena itu, aku ingin menghapus semua keinginan me mbunuh dari dalam lubuk hatimu. Engkau tidak boleh me mbunuh, baik me mbunuh diri sendiri maup un orang lain! Engkau me mpunyai musuh-musuh dan dendam kebencian me mbayang di wajah mu, karena itu lah ma ka aku minta kau bersumpah bahwa engkau tidak akan menggunakan kepandaian dariku untuk me mbunuh!"
Biarpun ia terkejut dan kecewa mendengar larangan me mbunuh ini, na mun Cui Hong yang mendapatkan kemba li kecerdikannya, cepat me mutar otaknya dan iapun lalu tanpa ragu-ragu lagi bersumpah, "Baiklah, suhu. Teecu bersu mpah bahwa teecu tidak akan meng gunakan kepandaian dari suhu untuk me mbunuh orang." Ia me mbayangkan bahwa untuk me mba las dendam kepada musuh-musuhnya, tidak perlu me mbunuh! Masih banyak jalan lain kecuali me mbunuh untuk me la mpiaskan denda mnya.
Kakek ini menarik napas panjang. "Bagus, Cui Hong. Aku percaya engkau akan me megang teguh sumpahmu. Ketahuilah, mengapa aku menyuruh engkau bersu mpah untuk pantang me mbunuh? Tiada lain karena aku sudah terlalu banyak me mbunuh orang! Dan aku tidak ingin muridku, selain mewarisi ilmu-ilmu-ku, juga mewarisi pula kesenanganku me mbunuh orang." Dia mengangkat tongkat hitamnya dan menc ium tongkat itu. "Dengan kaki tanganku, terutama dengan tongkat ini, entah sudah berapa ratus atau ribu nyawa orang kurenggut dari tubuhnya. Gurumu ini pernah dijuluki orang Toat-beng Hek- mo (Iblis Hita m Merenggut Nyawa) karena paling suka me mbunuh orang tanpa pilih bulu! Aku diperha mba nafsu-nafsuku sendiri, karena itu lah aku me larikan diri ke hutan-hutan, ke gunung-gunung, tidak mau bertemu manus ia dan aku selalu men cari kebebasan, bebas dari nafsu- nafsuku sendiri. Aih, betapa tersiksanya batinku, betapa kuatnya ikatan-ikatan ini. Karena itu, aku tidak ingin melihat engkau terbelenggu oleh denda m, diperha mba nafsu sendiri. Aku tidak ingin melihat muridku menderita seperti aku."
Cui Hong tidak mengerti, akan tetapi t idak membantah. Ia tidak peduli akan semua masalah gurunya. Yang penting baginya me mpelajari ilmu agar dapat me mbalas dendam kepada musuh-musuhnya. Dan ia sudah bersumpah takkan me mbunuh, maka iapun tidak akan me mbunuh musuh- musuhnya, akan tetapi mem balas denda m, itu harus dan merupakan tujuan tunggal hidupnya! Ia tidak sama dengan gurunya. Gurunya suka me mbunuh orang tanpa pilih bulu. Ia tidak, sama sekali tidak! Dendamnya hanya kepada empat orang saja.
"Teecu akan menaati se mua petunjuk dan perintah suhu," katanya lagi untuk melega kan hati kakek itu. Suhunya dijuluki Toat-beng Hek- mo, tentu saja me miliki kesaktian luar biasa, pikirnya dengan girang. Tidak peduli apakah gurunya itu seorang datuk sesat, seperti julukannya, yang penting ia dapat me mpe lajari ilmu silat tinggi dari kakek itu untuk kelak menghadap i Thian-cin Bu-tek Sa m-eng!
"Engkau tidak akan menyesal telah bertemu dengan aku yang menggagalkan niat mu me mbunuh diri tadi, Cui Hong. Kalau engkau sudah mewarisi ilmu-ilmu-ku, maka engkau akan ma mpu menjelajahi dunia ini tanpa khawatir diganggu lagi. Engkau akan sukar mene mukan tandingan!"
"Terima kasih, suhu."
"Akan tetapi, jangan dikira menjad i muridku itu enak, Cui Hong. Aku orang miskin, tidak punya apa-apa, rumah pun tidak punya. Aku sudah tua, untuk mencari ma kan sehari-hari pun sukar. Kalau kau menjadi muridku harus mencarikan makan setiap hari untukku dan untukmu sendiri, kalau perlu menge mis, atau menc uri."
"Teecu sanggup!" kata Cui Hong.
"Masih ada satu hal lagi." kata kakek itu, mula i ge mbira me lihat betapa dara itu me mang keras hati dan besar semangat, tidak pantang mundur menghadap i segala maca m kesukaran. "Selama engkau belajar silat, kita akan tinggal di puncak gunung yang sunyi terpencil dan sela ma itu, engkau hanya boleh turun ke dusun kalau kehabisan bumbu masak dan keperluan lain, dan itu pun harus kaulakukan dengan singkat, sama sekali engkau tidak boleh me libatkan diri dengan urusan dan pertikaian dengan orang lain, tidak boleh menca mpuri urusan orang lain. Sanggup kati?"
"Teecu (murid) sanggup!" kata pula Cui Hong. Apa pun syarat-syarat gurunya akan disanggupinya karena me mang tujuannya hanya satu, ialah me mpelajari ilmu silat dari kakek ini.
Demikianlah, mulai hari itu Cui Hong menjad i murid kakek yang berjuluk Toat-beng Hek- mo, seorang kakek yang sudah puluhan tahun la manya tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw, yang mengasingkan diri berperang dengan batin sendiri mencar i kebebasan, seorang kakek yang me miliki ilmu kepandaian silat tinggi akan tetapi yang memiliki pengetahuan tentang filsafat hidup melalui ayat-ayat kitab suci yang hanya diketahui kulitnya saja, dengan penafsiran isinya yang kacau balau. Kebebasan, dalam arti kata bebas lahir batin, tidak mungkin bisa didapatkan dengan jalan mencari dan mengejar. Kebebasan, seperti juga kebahagiaan, adalah satu keadaan, bukan merupakan suatu hasil dari pengejaran atau usaha. Kebebasan yang sudah didapatkan me lalui usaha bukan merupakan kebebasan lagi, me lainkan merupa kan kebebasan semu yang terbelenggu oleh KEINGINAN UNTUK BEBAS. Dan di mana ada keinginan, dalam bentuk apapun juga, maka takkan mungkin ada kebebasan. Kebebasan adalah suatu keadaan di mana tidak ada lagi aku yang ingin ini dan itu, tidak ada lagi aku yang sarat dengan nafsu-nafsu yang me mbe lenggu. Kebebasan bukan sekedar bebas dari ikatan dengan manus ia lain atau dengan benda, sehingga tidak mungkin didapatkan melalui pengasingan diri jauh dari manus ia dan harta benda. Sebaliknya, orang dapat berada dalam keadaan bebas walaupun hidup di tengah-tengah masyarakat ramai. Batin yang tidak me miliki apa-apa walaupun lahirnya me mpunyai banyak benda, batin yang sama sekali tidak terbelenggu walaupun badannya me mpunyai ikatan, dengan pekerjaan, dengan keluarga, dengan kewajiban-kewajiban dan sebagainya.
Memang lebih mudah dibicarakan tentang kebebasan, namun se mua pe mbicaraan itu hanya teori belaka. Kebebasan bukan untuk dibicarakan, melainkan untuk dihayati dalam kehidupan ini karena tanpa adanya kebebasan, takkan mungkin ada cinta kasih, takkan mungkin ada kebahagiaan. Hidup kita ini sudah de mikian sarat dengan beban, demikian ruwet penuh ikatan-ikatan sehingga is inya hanyalah permainan e mosi belaka karena sang aku sudah terlanjur merajalela diper mainkan oleh Im dan Yang (Positif dan Negatif).
0odwo0
Semenjak me ngikuti gurunya ke puncak yang amat sunyi, sebuah di antara puncak-puncak yang tinggi dari Pegunungan Lu-Iiang-san di sebelah barat kota raja, Cui Hong mulai suka akan warna pilihan gurunya, yaitu warna hitam. Ia menyukai warna hita m karena untuk menyusup-nyusup ke dalam hutan dan semak-se mak belukar, warna ini paling a man, tidak cepat kotor. Dan setelah beberapa bulan la manya ikut gurunya, berlatih ilmu silat setiap hari sa mbil mengurus kepentingan gurunya dan diri sendiri, mencuci, mencar i air, me masak dan sebagainya, mulai pulih kembali keadaan badan Cui Hong. Kedua pipinya menjadi kemerahan lagi, wajahnya nampak segar berseri, sepasang matanya menjadi hidup dan lincah. Agaknya sisa-sisa peristiwa hebat itu, bekas-bekas malapetaka yang menimpanya, tidak lagi meninggalkan bekas di tubuhnya, walaupun jauh di dalam hatinya, bekas-bekas itu tak mungkin dapat dihapus begitu saja biarpun Cui Hong tidak pernah me mbicarakannya dengan suhunya. Dendam yang amat hebat itu disimpannya di dalam hati sebagai suatu rahasia pribadi yang takkan diungkapkan kepada siapa pun juga, kepada gurunya pun tidak. Apalagi karena ia melihat sikap gurunya yang tidak setuju dengan peme liharaan dendam itu.
Kakek yang berjuluk Toat-beng Hok- mo itu ternyata me mang seorang yang sakti. Ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan hal ini dirasakan benar oleh Cui Hong. Dari hari pertama saja ia sudah menerima latihan sinkang yang luar bisa. Kakek itu bahkan me mbantunya dengan kedua tangannya diletakkan di punggung dara itu, me mbantunya agar dapat dengan cepat menghimpun tenaga sakti, me mpergunakannya di seluruh tubuh dan berlatih samadhi untuk me mperkuat sinkang di dalam tubuhnya. Setelah berlatih selama hampir dua tahun, barulah ia dianggap mulai me miliki sinkang yang cukup kuat untuk me mpe lajari ilmu silat kakek itu. Dan Toat-beng Hek-mo juga tidak mengajarkan banyak ilmu silat, hanya satu maca m saja! Akan tetapi ilmu s ilat ini dapat dima inkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata tongkat. Nama ilmu silat ini menyeramkan, sama dengan nama julukannya, yaitu Toat- beng-kun (Ilmu Silat Mencabut Nyawa)! Kalau dimainkan dengan tongkat maka na ma ilmu itu me njadi Toat-beng Koai- tung (Tongkat Aneh Mencabut Nyawa ). Dan biarpun hanya satu maca m, ternyata ilmu silat ini sede mikian sukar, aneh dan dahsyat sehingga untuk melatihnya sampai se mpurnya, dibutuhkan waktu ha mpir lima tahun! Dapat dibayangkan betapa kesepian rasanya harus hidup sampai bertahun-tahun di te mpat sunyi dan dingin itu. Hanya berte man seorang kakek tua renta yang buruk, dan yang jarang sekali bicara karena kakek itu lebih banyak bersa madhi dan hanya bicara kalau sedang me mberi petunjuk dalam pelajaran ilmu silat. Bahkan di waktu makan pun Toat-beng Hek- mo jarang mengajak bicara muridnya.
Waktu yang seolah-olah meray ap itu merupakan latihan yang paling berat bagi Cui Hong. Hampir ia kehilangan kesabaran dan beberapa kali ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melarikan diri, turun gunung dan mencari musuh-musuhnya. Apalagi setelah ia merasa bahwa kepandaiannya telah meningkat dengan cepat. Namun, dendam yang amat mendalam itu me mbuat ia cerdik dan tidak mau bertindak lancang dan tanpa perhitungan. Ia teringat akan kelihaian Thian-cin Bu-tek Sa m-eng. Kalau ia sekali turun tangan me mbalas denda m, ia tidak boleh gagal! Kegagalan berarti me mbuat musuh-musuhnya menjadi kuat, berjaga dan akan semakin sukarlah kelak baginya untuk mengulangi usahanya me mbalas denda m. Ia harus berhasil dengan sekali pukul dan untuk dapat me mperoleh keyakinan dalam hal ini, ia harus tekun belajar sampai gurunya menyatakan bahwa pelajarannya sudah tamat.
Cui Hong adalah seorang gadis yang masih muda, dan me miliki pembawaan lincah ge mbira. Biarpun ia pernah mender ita ma lapetaka hebat hampir saja me mbuatnya putus asa dan membunuh diri, namun setelah tinggal di puncak gunung itu dan menyibukkan diri dengan pekerjaan sehari-hari dan latihan-latihan, kesegarannya pulih kembali bagaikan setangkai bunga yang pernah layu kini hidup dan segar kembali mendapatkan air dan embun. Bahkan kini, setelah lewat kurang lebih enam tahun, Cui Hong telah berubah, dari seorang dara remaja yang masih me miliki sifat kekanak- kanakan, menjadi seorang gadis yang bagaikan bunga sedang me kar semerbak. Tubuhnya ramping dan padat, keindahan bentuk tubuhnya yang tidak dapat disembunyikan oleh pakaian sederhana berwarna hita m itu. Bahkan pakaian serba hitam itu me mbuat kulitnya yang putih kuning dan halus nampak se makin menyolok. Cui Hong telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik, seorang perempuan yang penuh daya tarik.
Pada suatu pagi, seperti biasa dilakukannya satu dua kali setiap bulan, ia berpamit kepada suhunya untuk me mbe li bumbu dan sedikit kain untuk me mbuat pakaian baru di sebuah dusun di kaki gunung. Untuk me mperoleh uang guna berbelanja, Cui Hong me mbawa sekarung dendeng yang dibuatnya. Di hutan yang terletak di balik puncak terdapat banyak binatang hutan. Cui Hong banyak berburu binatang ini, dagingnya didendeng dan kulitnya dije mur, ke mudian kulit dan dendeng ini dibawanya ke dusun, dijualnya atau ditukarnya dengan bumbu-bumbu dapur, pakaian dan keperluan lain.
Karena selama enam tahun lebih ini sudah seringkali ia berkunjung ke dusun itu, maka se mua orang dusun mengenalnya sebagai nona penghuni puncak yang cantik man is. Melihat betapa nona berpakaian serba hitam itu me mbawa beban berat dan turun dari puncak, semua orang dapat menduga bahwa tentu nona cantik ini seorang yang me miliki ilmu kepandaian tinggi, maka tak seorang pun berani mengganggunya.
Akan tetapi pada pagi hari itu, setelah menjual dendeng sekarung dan me mbeli bumbu masa kan, kain hita m dan lain keperluan, seperti minyak, lilin dan lain-lain, terjadi keributan yang sama sekali tidak dikehendakinya. Sejak terjadi ma lapetaka yang menimpa dirinya, Cui Hong merasa tidak senang kalau me lihat mata laki- laki me mandangnya penuh gairah. Ingin ia marah- marah dan menghajar orang le laki yang berani me mandangnya seperti itu, namun ia mas ih harus menahan kesabarannya selama ini. la teringat akan pesan suhunya, bahwa ia tidak boleh mencari keributan, permusuhan dan tidak boleh meca mpuri urusan orang la in. Maka, karena pandang mata itu tak mungkin d ianggap sebagai gangguan, ia pun pura-pura tidak me lihatnya saja walaupun hatinya merasa mendongkol. Agaknya, perbuatan empat orang musuh besarnya terhadap dirinya menumbuhkan semaca m perasaan benci di dalam hatinya terhadap pria pada umumnya, apalagi kalau pria itu me mandangnya dengan sinar mata kagum dan me mbayangkan gairah birahi. Hal itu dianggapnya kurang ajar, dianggapnya bahwa pria yang me mandangnya itu tiada bedanya dengan empat orang musuh besarnya, dan kalau me mpunyai kese mpatan tentu akan me lakukan kekejian yang sama seperti yang pernah dilakukan e mpat orang musuh besarnya itu terhadap dirinya.
Ketika Cui Hong selesai berbelanja dan berjalan perlahan- lahan hendak men inggalkan dusun itu, me mbawa buntalan terisi barang-barang belanjaannya, tiba-tiba terdengar suara laki- laki di belakangnya, "Nona, bolehkah aku mene manimu?"
Cui Hong terkejut dan seketika mukanya berubah merah. Ia me lir ik sa mbil meno leh dan melihat bahwa yang menegurnya itu seorang laki- laki berusia tiga puluhan tahun yang bertubuh besar dan perutnya agak gendut, matanya sipit dan sinar matanya penuh gairah, mulutnya menyeringai dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa orang ini kagum kepadanya dan berniat meng godanya. Cui Hong me mbuang muka dan tidak me layaninya, tidak menjawabnya, melainkan berjalan terus tanpa me mperdulikan orang itu.
"Aih, nona, mengapa diam saja? Aku sudah tahu bahwa nona tinggal di puncak gunung. Siapakah nama nona dan dengan siapakah nona tinggal di puncak? Kasihan sekali, seorang perempuan cantik jelita tinggal di tempat yang begitu tinggi, dingin dan sunyi."
Cui Hong ha mpir tak dapat menahan lagi kemarahannya. Tanpa menoleh ia me mbentak lirih dan ketus, "Pergilah kau dan jangan ganggu aku!"
Akan tetapi, orang itu bahkan me mperlebar langkahnya sehingga kini dia berjalan di sa mping Cui Hong. Ketika Cui Hong melirik, dilihatnya orang itu menyeringai dan muka yang agak bulat putih itu me ngingatkan ia akan muka seorang di antara musuh-musuh besarnya yang paling dibencinya, yaitu Koo Cai Sun. Akan tetapi jelas bukan karena orang ini masih muda, baru tiga puluh tahun usianya, sedangkan musuh besarnya itu sekarang sudah lebih dari empat puluh tahun.
"Wahai, nona, kenapa marah? Aku ber ma ksud baik, ingin berkenalan dengan mu. Marilah kute mani kau naik ke puncak dan biarlah barang-barangmu yang berat itu kubantu kubawakan." laki-laki itu kembali berkata dengan suara mengandung rayuan. Dia bukan penduduk dusun itu, me lainkan pendatang dari kota lain yang datang ke dusun itu untuk berdagang kain. Ketika dia tadi melihat Cui Hong, hatinya segera tertarik sekali. Dia me mang seorang yang mata keranjang dan melihat ada seorang dusun demikian cantik man isnya, dia merasa ge mbira dan ingin sekali me metik bunga dusun itu. Apalagi ketika dia bertanya dan mendapat keterangan bahwa wanita serba hitam yang manis itu tinggal di puncak gunung, dan tak seorang pun mengenal na manya, agaknya merupakan seorang wanita penuh rahasia, hatinya menjad i se makin kagum. Dibereskannya dagangan-nya, dititipkan kepada seorang kenalannya dan diapun cepat meng ikut i Cui Hong dan menegur di tengah jalan.
"Aku tidak mau berkenalan dan tidak mau dibantu. Pergilah kau!" kata pula Cui Hong. Laki- laki itu terkekeh. Mereka t iba di pinggir dusun, di mana keadaan sepi sehingga laki-laki itu menjad i se makin berani. Dia tahu, menurut pengalamannya, bahwa jika seorang wanita berkata tidak dengan mulutnya, hal itu besar kemungkinan berarti ya di dalam hatinya. Pengetahuan ini me mbuat ia semakin berani melihat betapa wanita cantik yang menarik hatinya ini "pura-pura" tidak mau.
"Nona man is, tidak usah malu-malu. Aku adalah pedagang kain. Nanti kuberi segulung kain yang paling baik, sutera halus yang mahal. Mari kute mani, mau bukan?" Dan tiba-tiba saja, sungguh di luar dugaan Cui Hong, laki-laki itu menggunakan tangan kirinya untuk meraba dan mencubit pinggulnya! Meledak kemarahan di hati Cui Hong dan sekali me mbalikkan tubuhnya dan mencengkera m, punggung baju baju orang itu sudah dicengkeramnya dan sekali ia berseru, tubuh laki- laki itu sudah diangkatnya ke atas. Buntalannya dilepaskan begitu saja dan kini tangan kirinya sudah diangkat hendak memukul remuk kepala orang yang berani kurang ajar kepadanya itu! Laki- laki itu terkejut, meronta namun tidak ma mpu me lepaskan diri.
Tangan kir i Cui Hong sudah diangkat dan sudah berisi tenaga sinkang sepenuhnya, akan tetapi mendadak ia teringat akan sumpahnya kepada suhunya. Dilarang me mbunuh! Maka, ketika tangannya meluncur turun, ia mengubah serangannya, bukan kepala orang itu melainkan tangan kirinya yang menjadi serangan tangan Cui Hong yang meluncur ke depan.
"Krekkk..... I" Pergelangan tangan laki-laki itu remuk tulang- tulangnya dan dia pun menjerit-jerit kesakitan. Cui Hong me lontarkan tubuh itu jauh ke depan.
"Brukkkk....!" Tubuh itu terbanting ke atas tanah dan tidak ma mpu bergerak lagi karena saking nyerinya laki-laki ceriwis itu jatuh pingsan ketika tubuhnya terbanting.
Cui Hong tidak menengok lagi kepada laki-laki itu, menga mbil buntalannya kemudian pergi dari situ dengan cepat. Setelah tidak ada orang melihatnya, ia lalu mengerahkan tenaganya dan menggunakan ilmu berlari cepat mendaki puncak. Wajahnya masih merah sekali, sepasang matanya menge luarkan sinar berapi. Marah sekali ia. Kalau menurut kan hatinya, ingin ia menghancurkan kepala orang tadi, menginjak-injak dadanya sa mpai patah-patah semua tulang iganya! Orang itu baginya tadi seolah-olah menjadi pengganti empat orang musuh besarnya dan semua dendam dan kebencian ia tu mpahkan kepada orang itu. Akan tetapi ia sudah bersumpah tidak akan me mbunuh dan bagaimanapun juga, ia tidak boleh me langgar sumpahnya sendiri.
0 oo -dw- oo 0